Buletin Sastra Lembah Kelelawar #3 (Hitam Bukan Berarti Penganut Setan)

Page 1

Edisi 3/ April 2010

[Hitam Bukan Berarti Penganut Setan]


Kali ini kemajuan teknologi telah meremasremas pemikiran. Segala hal telah disuguhkan secara instan. Sajian telah tercipta manis dalam kemasan yang beraneka warna dan beraneka rupa. Bermacam wujud dan bentuknya. Ada kemasan berbentuk kaleng sekali pakai langsung lempar, ada kemasan plastik sekali pakai langsung bakar, dan ada juga kemasan elastis sekali pasang satu klimaks langsung buang. Karena kali ini kita telah dihadapkan pada jaman kemasan. Dari segala yang berwujud dan akan bergegas hilang hanya lewat satu kepulan (baca: asap). Parahnya lagi, budaya kemasan pesan skripsi pun telah ikut-ikutan mengakar pada kalangan mahasiswa. Banyak terpampang pada pohonpohon di jalanan, “Skripsi, hubungi nomor ini 085 xxx xxx xxx.” Apakah kehidupan semudah itu? Kalau begitu, apa arti proses?

Jadi tak perlu repot-repot untuk memulai dengan berpuisi. Apa lagi berprosa/ mencipta cerpen untuk melumpuhkan pacar. Tak lagi ada basa-basi. Jarang kita jumpai pertemuan kedua belah keluarga, apalagi ritual 'melamar'. Yang ada: ketemuan, lansung kunci pintu, lepas selimut dan tiga bulan kemudian telat deh. Maka jangan heran bila tak lagi ada perjalanan diksi dalam proses penemuan keutuhan ungkap. Kali ini tradisi berprosa telah terpasung mati dan mendinosaurus. Semua ingin segala sesuatu menjadi cepatcepat dan singkat. Maka jangan heran juga bila akan banyak kita jumpai orang tergeletak mati mendadak karena stroke. Mau bagaimana lagi? Sukses saja diperoleh dengan cara instan, jadi jangan kaget dong bila jatuh dengan jalan instan juga… Hahaha…. [red/ ka]

Semua telah tergantung dan beralih fungsi. Dari generasi kutu buku menjadi generasi nggoogle yang sekali ‘klik’ langsung beribu informasi terkantongi. Dari generasi surat pos disulap menjadi generasi update status facebook. Ibaratnya, kali ini tak lagi ada perenungan mendalam untuk segala bentuk penemuan. Semua ingin lansung, singkat dan cepat (baca: pesan pendek/ sms). Rasanya kita menjadi malas untuk berprosa. Tak lagi ada narasi yang tepat untuk mengungkap perihal dalam sebuah penemuan. Jarang kita temukan salam pembuka, isi dan penutup. Tinggal ketik sms, ketemuan, langsung deh masuk kamar. Instan bukan?

Peringatan Lembah Kelelawar: “Hura-hura Untuk Berkarya, Bukan Berkarya Untuk Hura-hura”


hanya secangkir kopi tanpa gula dan puisi ibu, jangan kau peluk aku dengan air matamu mendiamkan aku dengan bimbangmu lihatlah awan putih itu menggantung di sana doa-doamu yang kau kirim dari panci-panci yang tak lagi berisi kompor yang tak lagi berapi bakul yang tak lagi bernasi adakah Tuhan kirimkan pagi ini sarapan pagi meski hanya secangkir kopi tanpa gula dan puisi agar aku tak kantuk lagi ketika pak guru memintaku berdiri karena aku lupa mengerjakan tugas hari ini maret 2006

sepotong senyum milik pak tua pak tua yang kupuja adalah pak tua yang selalu kutemu di sudut sana baju yang sama, senyum yang sama menyapaku dengan keramahan seorang tua “belajar yang rajin ya, biar jadi orang kaya,� katanya pernah suatu hari kubertanya mengapa pak tua selalu membagi senyumnya sedang tetangga sebelah yang punya harta berlimpah tak lagi bisa tersenyum ramah katanya, 'hanya senyum yang kupunya' pak tua yang aku puja tak lagi kutemu di sudut sana sebab dia telah berpulang kepadanya tapi senyumnya yang aku puja telah menjadikanku orang kaya seperti yang dia minta maret 2006

:Beliau kini menyumbangkan ilmunya sebagai pengajar tetap di SMP N 20 Semarang.


Putra Mahkota Von Masoch Maka maki dan ludahi saja diriku yang telah meruntuhkan langit hijaumu. Padaku bergulung kesia-siaan yang akan melumatmu jika kau biarkan dirimu mendekat. Dan rapalkan kalimat kalimat yang tak ingin kau ingat. Dan kirimkan segala mala pada tiap garis wajahku, tiap lekuk tubuhku; serpihan serpihan yang selalu membuatmu ragu untuk dekat atau lewat. Padaku sesungguhnya berdiam kerinduan samudra pada tanah tanah basah dan lentik jemari bunda. Cinta yang lekat dikulitku adalah patahan patahan angin pantai; asin dan likat. Yang kau perlu hanya sekedar membesihkan diri. Kemballi ke rumah dan biarkan kamar mandi menyelesaikan semuanya. Sederhana. Tapi tentu kau tahu menjadi sederhana adalah tak sederhana. Maka kau pun kembali mengotori merah ranum payudaramu dengan tetesan tetesan liurku yang menjijikkan. Seperti ketika tengah malam kau terbangun dan menemukan kecoak merayap mantap di wastafel rumahmu. Ah, sesungguhnya cinta tak pernah salah memilih tempat jatuh. Kita pun telah mengatasi bentangan rintangan yang datang bersamanya. Mungkin kita, ah, tentu aku saja, yang salah mengambil dan menggunakannya. Dan kita pun terusir dari surga. Meski sekuat tenaga kita bertahan, sabda telah jatuh dan kita tak akan kuasa. Aku memang lelaki durhaka. Dan akhirnya kau harus ikut merasakan tuba dari torehan torehan khianat yang kucipta sendiri. Pada tubuhkulah berumah segala penyakit dan kesakitan. Dan aku rindu menjadi putra mahkota Von Masoch yang jelita. Maka tak perlu kau korbankan tubuh pualammu di altar persembahan de Sade. Aku sekedar tak sengaja menemunaiki kereta kuda sebelum memutuskan maju ke medan laga. Kemenanganan yang kudapatkan hanyalah lorong lorong gelap labirin pengap ciptaan lelaki tua yang sadar di ujung jidatnya malaikat melayang-layang hendak menyudahi dunia. Ya, labirin yang sangat sulit dan rumit bahkan jika kau bandingkan dengan labirin Daedalus di Kreta. Dengan apa pula kuciptakan sebelah sayap tanpamu? Kembalilah, karena malam ini jendela terbuka dan telah dibisikkan namaku menjadi putra mahkota Von Masoch yang jelita. Aku tak akan perlu siapa siapa untuk di sakiti, apalagi kau, kekasihku yang surga. Aku akan selalu mencintaimu, dan kupuja kau di lorong lorong yang gulita. Simpan saja diingatanmu: ketika kau mendengar lolongan serupa serigala, dengan beban berjuta derita, itulah saat ketika aku sungguh merindukanmu. 241209 12.54


di gigir september 10 September 2009 jam 18:38 ternyata tiap garis tangan kita menyimpan arah yang berbeda dan langkah kita menyampaikan jejak kepulangannya sendiri sendiri jengkal jarak ternyata punya engah yang beda juga hingga aku gagap menangkap nafasmu yang jatuh di tepian kuku aku gemetar menapaki gigir september yang membentang sepanjang kulitmu meraba betapa licinnya cuaca dan sepinya perak purnama aku berputar mengukur jejak jejak kita curiga jatuh bersama gerimis renta lalu semuanya tak ada tak ada. 080909 01.56

beringin kupu kupu 27 Oktober 2009 jam 18:35 serupa beringin di alun alun kota padanya dititipkan segala suka juga luka bersama dedaunan wajah wajah jatuh tanggal tanggal menua gerimis serasa tangis di muka jendela merupalah beringin di alun alun kota menjengkali langit dan menjaga rindu yang di tanam orang orang arah jalan cuma bayang bayang suram kita tetak dengan pisau lipat yang tumbuh di balik matamu lalu larungkan kata kata yang sempat terlupa di bawah lampu yang muram kaulah beringin ditumbuhi kupu kupu 271009


di windu jenar di windu jenar segalanya tampak usang seperti topengtopeng lawas yang terpampang sambil dipaksa tersenyum juga seperti ibuku yang malas menanam album foto di jantung kami “kita tak seperti windu jenar yang hanya menjual album foto lawas!� katanya di windu jenar sebuah guci antik yang menyimpan langkah pecah di dadaku mengajakku menikmati gerimis di city walk dengan segelas laju kereta yang bisu lalu perlahan melupakan album foto lawas yang dihujat ibuku solo, 14 maret 2010

fragmen kursi tunggu ketika ia kembali pergi bergegas mencari kenangan lampulampu di taman mengantarnya menuju banyak arah sedikit saja aku bersuara membaca setiap fragmen kursi tunggu dengan suara lantang ia tak kan kembali lagi ia selalu bercerita kepadaku : sepi adalah rindu tak terbaca dan kita selalu menginginkannya terhidang di meja makan

Bhre Wijaya Lahir di Karanganyar, 1 Maret 1989.

Aktif dalam Teater Tesa Fakultas Sastra dan Seni Rupa UNS, Teater Nglilir Karanganyar, Kelompok Bandul Nusantara


Segala hal yang berkenaan dengan rencana antologi puisi sedang kami masak secara intensif di dapur lembah kelelawar. [Gambar Cover: Charier]


PERPUSTAKAAN TERBUKA Membaca. Adalah hal mudah, karena sejak kecil kita diajari. Dan ketika kita memasuki dunia pendidikan, kita tidak pernah seharipun melepas buku bacaan, karena memang harus begitu. Membaca membuka jendela dunia, mungkin petuah itu sering kita dengar dari bapak atau ibu guru, dan karena betapa luasnya dunia, maka intiplah dulu lewat jendela biar tidak kaget. Anak TK diajari membaca kata “ kuda,- bebek,-kursi”, anak SD diajari membaca kalimat “ ini bapak budi, budi sedang bermain bola “, anak SMP mulai diajari membaca berparagraf, anak SMA sudah mulai membaca buku, mahasiswa diajari mambaca apa ? dan kalau siswa tidak pernah seharipun melepas buku bacaan, maka kita, mahasiswa, apa mau disamakan dengan siswa TK, SD, SMP dan SMA, atau bahkan apa mau kalah dengan mereka? tentu tidak mau bukan ? Di awal telah saya sebut, membaca adalah hal mudah, semudah apakah ? tentu saudara tahu bahwa membaca lebih mudah dilakukan dari tidur,


Oleh Heri CS Dalam Catatan Pinggir, Goenawan Mohamad pernah bertutur jika Thomas Alfa Edison kecil pernah mengerami telur ayam. Melihat kelakuan sang anak, Ibunya pun kaget. Tapi, itu lah yang terjadi, Edison kecil menduga bahwa telur menetas karena suhu yang hangat. Ia ingin tahu benarkah dugaannya itu. Ia pun mencoba. Ibu Edison yang miskin dan suaminya yang galak dan tak acuh ternyata tidak menghalangi apa yang hendak diperbuat sang anak. Edison kecil cuma bersekolah tiga bulan lalu pada umur 12 tahun Ia juga harus cari makan. Tapi, sang ibu telah menanamkan rasa ingin tahu dan semangat yang tak kunjung habis buat bereksperimen dalam diri Edison. Itu saja belum cukup rupanya. Edison ternyata kemudian berhasil melahirkan 1.093 barang baru buat orang sezamannya, dan tersohor sebelum usianya sampai 35 tahun. Lalu, kita pun bertanya, apa jadinya seandainya Edison jadi murid sebuah sekolah -- institusi yang bisa cuma sibuk dengan tata tertib, lembaga yang bisa hanya sekadar mengurus disiplin dan mendaftar prestasi. Jawabnya, barangkali, si anak akan menghargai kekuasaan lebih dari menghargai semangat ilmu. Memang, dalam hidupnya Edison, bukanlah seorang ilmuwan. Dia teknikus. Dia bukan seorang jenius yang menemukan teori, yang menyelidik ke alam kenyataan dengan sikap seperti seorang Einstein. Tapi ada persamaan antara seorang penemu alat-alat dan seorang penyusun konsepkonsep fisika. Mereka bermula dari kebebasan jiwa, dan berlanjut dalam kreasi. Keduanya menolak pengekangan. Keduanya melintasi tabu. Seperti itulah kiranya berkarya. Dalam hal ini, menulis. Entah apapun, baik sastra maupun non-sastra. Baik puisi, cerpen, novel atau esai sekalipun. Semua perlu kerja keras. Semua perlu keuletan dan ketekunan. Atau katakanlah berdarah-

darah atau nggetih dalam satu visi menuju kualitas tulisan yang baik. Secara umum, banyak bukubuku yang "menyengat" keterampilan kita perihal proses kreatif. Jika kita baca tuntas, cukuplah mungkin bukubuku "how to" itu membakar adrenalin kita untuk menulis dengan tips-tips ringan dan menyehatkan. Namun, sesungguhnya proses itu tidak sesederhana yang ditawarkan di dalamnya. Banyak hal yang patut diperhitungkan dengan matang dan sadar diri jika suatu proses kreatif yang dilematis itu tak segampang yang dibayangkan. Pertanyaan yang muncul kemudian: apa makna dan mengapa proses kreatif jadi begitu sulit diwujudkan? Mengapa pula ia membutuhkan keberanian yang besar? Bukankah itu semata soal menjernihkan serapan mata dan pikiran atas sekerumun ingatan, simbol dan mitos yang tak bernyawa? Betapa kita dihadapkan dengan gelimang tekateki yang mustahil dapat dipecahkan.


Menurut Fadrudin Nasrullah dalam blog Amongraga-nya, proses kreatif, bagi pengarang, seolah-olah lahir dari kuburan mimpi, semacam perjumpaan secara intensif antara manusia yang sadar dengan dunianya: antara yang nyata dan yang maya. Jika boleh dibilang bahwa hakikat proses kreatif berada dalam bebayang absurditas diri yang demikian personal dan nyaris tak tersadari, yang memantik kecemasan yang gulana, semacam kemuskilan sekaligus tertawan dalam ikhtiar mengenal dunia yang kita diami. Maka, dengan sendirinya, proses kreatif juga merupakan sebentuk upaya penanggulangan eksistensi diri. Tampaknya inilah yang tiada henti menghantui sebagian pengarang, bahkan menjadi kutukan, untuk menulis hingga berdarah-darah sampai mati. Mencambuknya demi melahirkan karya yang tak lekang oleh waktu dan ruang. Jika demikian, kenikmatan apa yang menggerakkan pengarang untuk berkarya? Lanskap indrawi macam apa yang menyusup ke dalam jiwanya saat ia menikmati teks yang dihasilkannya? Sekadar jouissance (kenikmatan) atau ocehan yang tak rampung diomelkan? Memang, dalam ranah sastra, mengutip Foucault, teks tak lebih sekadar a point of rest, a halt, a blazon, a flat. Sehubungan dengan itu, novelis Karel Capek pernah ditanya tentang apa yang membuatnya ingin jadi penulis, ia menjawab, “Karena saya benci membicarakan tentang diri saya sendiri.” Barangkali Camus, Goethe, Chateaubriand, Proust, Calvino, Faulkner, Kafka, dan Joyce tak memberondongkan gagasan besar. Mereka sekadar melahirkan makna keberadaan yang asing. Mereka tak memekikkan sabda, tapi semata mencari bentuk dari bayangan mimpi-mimpi mereka. Mungkin menulis adalah tindakan gaib atas nama kata dengan segenap penghancuran dan kepalsuan, dan berakhir dengan karya. Lantas bagaimana dengan bakat itu sendiri yang kerap dikaitkan dengan pengarang? Desiderius berdalih, “Bakat itu tidak ada. Yang ada hanyalah keinginan yang kuat untuk-

mewujudkan setiap impian. Tak seorang pun menghormati bakat, sejauh itu masih tersembunyi.” Mungkin bakat secara neurologis dapat dikatakan sebagai “berkah”. Tetapi justru kreatifitas yang terus dinyalakan harus menjadi tindakan yang nyata. Apabila menilik proses kreatif para pujangga Jawa kuno, sebagaimana ungkapan Kuntara Wiryamartana bahwa, panca indra merupakan dimensi raga untuk memasuki jiwa. Pengendapan dimulai dengan semadi untuk menyesap pengalaman ragawi ke kedalaman jiwa. Di sinilah tahap penjinakan berbagai aktivitas untuk bisa masuk ke dunia sukma, dunia niskala: dunia tanpa ukuran, tanpa rasa, tanpa warna, semua serba kosong. Dalam dimensi inilah terjadi hubungan dengan Yang Maha Tunggal. Pada titik pertemuan itu, imbuhnya, ilham tidak dapat digambarkan sebelum masuk ke dimensi jiwa. Jadi, ada penjernihan ilham dari ruang sukma ke ruang jiwa, yang kemudian diwujudkan dalam ruang raga. Proses itu, tuturnya, terus berlangsung dalam diri para kawi (pujangga) yang berkreasi untuk menempuh kesempurnaan. Pengalaman yang luas tentang kehidupan di dunia nyata menjadi syarat mutlak para kawi untuk memunculkan kreatifitas. Pengalaman yang bersifat naratif maupun dramatik dikumpulkan sebanyak mungkin untuk diwujudkan dalam kakawin (karya sastra). Kakawin keluar dari puncak budi, kemudian menyurup ke diri pengarang, dan akhirnya, ia kuasa mewujudkan karyanya. Proses kreatif, intinya, adalah pengenalan diri hingga bisa mengendalikan proses tersebut. Sebagaimana dalam cerita wayang Dewa Ruci. Pertemuan dua kesejatian antara Bima dengan Dewa Ruci yang melebur menjadi satu. Dewa Ruci adalah perwujudan jiwa Bima. Gambaran ini digambarkan dengan petuah Carilah kayu besar yang menjadi sarang angin. Makna kayu besar adalah wadag manusia-


yang hidup karena ada siklus udara saat bernapas. (baca Agung Setyahadi Merefleksi Proses Kreatif Leluhur, Kompas, Sabtu 25 Maret 2006). Menurut W.S. Rendra, proses kreatif adalah manjing ing kahanan nggayuh ngarsaning Hyang Widi (melebur dalam dunia nyata dan merengkuh dunia keilahian). Pengarang harus memahami sekaligus menghayati proses kreatifnya sebagai bentuk yogabasa: sujud karya. Bahwa setiap karya harus menjadi roh ibadah; bahwa prinsip berkarya adalah untuk mewujudkan kebebasan, kejujuran dan keindahan.

sepanjang jaman? Ihwal ini, Lord Byron menyindir, “Apa arti ketenaran? Kecuali mengisi bagian kertas yang tak pasti, selain sesuatu yang bakal hilang dalam uap.

Sekadar untuk itu: manusia menulis, bicara, berkhotbah, membunuh, dan membakar mimpi buruk mereka. Untuk merengkuh yang pada akhirnya hanyalah debu. ” Lantas bagaimana dengan pengarang yang gagal, setelah bernanahnanah menguras daya kreatifnya Lantaran menulis merupakan peristiwa magis namun hanya menghasilkan karya demi menghadirkan dunia baru, maka proses kreatif, sampah (atau plagiat)? Mungkin, bagi pengarang yang berhasil ataumenurut Archibald MacLeish dalam Poetry and pun yang gagal: itu adalah urusan Experience, tak lain setakik usaha guna memperbatin mereka masing-masing. Setitemukan dua kutub: antara yang Ada dan yang daknya, mereka telah berusaha seMaya. Terus berjuang mengetuk keheningan atas kuat tenaga -- dengan segenap ke-Tidak Ada-an untuk menghasilkan Ada. kesia-siaan dan kepedihan -- untuk memaknai hidup mereka. Sebab itu, segala hal yang bersentuhan dengan proses kreatif memang menjadi suatu Artinya, untuk berkarya, penulis keniscayaan yang musti dijalani oleh setiap tidak harus mengandalkan publikasi pengarang. Melenyapkan bayangan kegagalan media untuk wujud eksistensi dalam dan tak bersekutu dengan manusia berjiwa memuat karya-karyanya. Pasalnya, malang dan yang gentar menghadapi penderitaan. penulis-penulis dunia justru terlahir Di sinilah pengarang mempertaruhkan segenap bukan dari publikasi karya di mehidupnya: hidup terkutuk sebagai pengarang dia, namun oleh penerbitan bukuatawa hidup dalam omong kosong yang buku karya mereka. menyedihkan. Sejalan dengan itu, Isaac Asimov juga bersemboyan, “Hidup adalah menulis sebagaimana hidup adalah bernapas.” Stephen King dalam bukunya On Writing memancangkan anjuran senada dalam proses kreatif, “Ada dua hal yang harus kau lakukan: banyak membaca dan banyak menulis. Setahuku, tidak ada jalan lain selain dua hal ini, dan tidak ada jalan pintas.” Andaikata pengarang adalah sosok pencecap rahasia tabir semesta demi menggetarkan jiwa pembacanya, seperti angin yang mendesir pada permukaan air, maka benarkah anggapan bahwa pengarang mengarang karena tersiksa menanggung misteri keberadaannya? Lalu apa yang diburu pengarang sepanjang hayat? Mengukir nama di atas tinta emas dalam buku sejarah dan berharap dikenang

Di sinilah proses eksperimen itu hadir tanpa berkesudahan. Seperti halnya Thomas kecil, seyogianya, para calon penulis pun, selalu bereksperimen untuk mencari bentuk karya yang "membaru" tanpa berpikir apakah ada media yang memuatnya atau orang yang membicarakannya. Eksperimen seharusnya menjadi nafas bagi orang-orang yang hendak serius menjadi penulis. Bukankah, menulis juga perlu keseriusan?

Heri CS, koordinator Komunitas Lerengmedini Boja Kendal


Berat juga untuk memulai membangun musikalitas, budaya dan kemerdekaan! Bahasa apa itu? Tapi nanti dulu, ini persoalan keseharian kita juga, di jalanjalan kota, perempatan traffic light, ganggang, lorong-lorong kumuh dan bahkan jalan sejuk menuju puncak gunung. Siapa sih yang asing dengan sosok bergitar? Tentu boleh dong sambil membuka malaga atau anggur orang tua (hasil dari riungan... hiks) terus mengeluarkan suara sember dan falsnya kuat-kuat? Wa, Indonesia, tanah. Ha ha ha.. I luph u pull!

Oleh: Kelana Jelata Pusing! memang aku nulis apaan? Serius ya, begini, yang penting bagaimana membangun musikalitas dengan kualitas artistik yang tinggi serta budaya organisasi yang rapi. Ideologi yang memerdekakan tetap terjaga. Sehingga kita nggak jadi tukang potret keadaan semata mirip Bang Iwan. Piss bang! Tapi sebagai pekerja seni kita juga turut turun langsung ke jalan untuk melawan penindasan. Jangan percaya JF Kenedi, bule amrik yang sudah di neraka, "Jika politik itu kotor, puisilah yang akan membersihkannya," Ngawur tuh, sekeras apapun puisi tetap nggak akan ngaruh terhadap perubahan kondisi. Yang penting adalah orangnya atau senimannya, musisinya, atau 'kamu' nya bagaimana bergerak.

Keseharian yang seperti itu ada pada ranah kita. Serta lantaran rasa 'gue banget' so nyaman! Jadilah satu budaya! Budaya kita dan kita ini bisa siapa saja, mahasiswa, punk, pengamen, “Ah haus, minum dulu nih malaga! Toast, buruh bahkan anak papi-mami, anak sruppp!” pelacur atau koruptor sekalian. Yang penting 'muda' [dalam konteks pandangan hidup dan semangat] bukan dalam ukuran angka umur. Nah, semua jadi semangat muda, berbudaya muda. Tetap semangat dan tetap nggak nolak mendengar, menikmati atau memainkan genjrang-genjreng. Bengawan Solo, wow sambil... sruput! Setenggak malaga atau anggur orang tua disela asap ganja membuat malam semakin syahdu. Sementara penjual mie dorong memukul-mukul penggorengannya. Ah, menggoda juga, tapi duwit cupet. Ya cukup menelan ludah saja sambil koar-koar nyanyi. Semangat, tapi tetep jaga nama sekolah, kata Ambon Marley: “Hop! Opla....” Nah dapat kan? Dua hal, musikalitas dan budaya. Lalu di manakah kemerdekaannya? Kata Alimin nerocos: “Jangan! Bukan lantaran angka 17. Itu sih hari merdeka. Betul, tanya saja kepada Tuan SBY.” Bukankah tadi di atas yang kita omongan, selimutnya merdeka? ah ya kita bebas dan membebaskan diri Untuk apa? Ya itulah kemerdekaan kita. Nggak percaya? Tanya saja kepada asap ganja yang mengalun!


Lawas itu bagus Semangat baru, dan tentunya kreasi baru. Siapa sih yang ga' mau kalau semua serba baru? Ya nggak munafik lah, kita pasti menginginkan semua yang terbaru jika memang hal itu bisa memberikan kenyamanan dan kepuasan tersendiri. Misalnya saja pacar baru, masih seger-segernya, manis, cantik, masih hangat untuk ditenteng kemana-mana. Tapi bagaimana dengan yang lama, akankah dilupakan dan di biarkan begitu saja? Padahal yang terdahulu pastinya memberikan pengalaman berharga agar kedepan kita bisa lebih menghargai sesuatu. “Kalau ada yang baru kenapa mesti pakai yang lama?â€? Nggak salah dengan pernyataan tadi, karena pada dasarnya manusia membutuhkan pembaruan agar hidup lebih menantang. Tapi jangan salah sangka â€?kalau yang lama begitu menyenangkan, kenapa mesti cari yang baruâ€? itulah dua sisi mata uang yang sama-sama benar. Jika yang lama masih layak dan (justru) lebih menyenangkan, kenapa mesti cari yang baru? Bukankah lawas itu bagus‌?heheheh kata temenku sih.. Tapi ada benarnya juga. Banyak hal yang menjadi berharga justru setelah lama berlalu. Contohnya saja salah satu penyair besar Indonesia, Chairil Anwar. Beliau justru menjadi terkenal dan dikagumi setelah meninggal dunia. Ketika beliau masih hidup, karyanya tidak begitu dikagumi dan namanya tidak setenar sekarang. Lawang Sewu terkenal dan menjadi ikon kota Semarang justru setelah bangunan tak lagi digunakan. Dulunya Lawang Sewu hanya sebuah bangunan penjara milik penjajah dan (mungkin) karena itulah Lawang Sewu mempunyai nilai sejarah yang tinggi.

Ada benarnya ketika lawas lebih bagus dari yang baru. Bisa dibayangkan jika Lawang Sewu dibangun sekarang, pasti tidak setenar sekarang. Yap..yang pasti nggak salah kalau mau mencari sesuatu yang baru, entah itu pengalaman baru, barang baru atau mungkin pacar baru. Karena lawas itu bagus.. Tidak ada yang salah dengan hal baru asal itu tidak bersifat negatif, akan tetapi perlu diingat bahwa semua yang baru kelak akan menjadi lama dan yang lama masih bisa kita perbarui, tinggal bagaimana kita menyikapinya. Intinya ya kita mesti bisa memilih sesuai fungsi, kalau memeng harus ganti yang baru ya ganti aja. Tapi kalau yang lama masih pantas dan memang masih layak, kenapa mesti ganti yang baru? Karena lawas itu bagus..


Cahaya matahari sinar kehidupan.Cahaya bulan temani mimpi. Cahaya bintang penyejuk hati. Cahaya lilin terangi kegelapan. Seperti cahaya, Nur seorang gadis lulusan SMP, memberanikan diri pergi mengarungi nasib di negeri seberang untuk menyinari kehidupan keluarga. Bukan gadis biasa. Berbeda dengan teman-teman lainya yang masih sibuk mencari sekolah favorit. Bahkan, ada yang rela mengeluarkan biaya jutaan untuk masuk di sekolah favoit itu. Ah, sama saja. Sekolah dimana pun tetap mengikuti Ujian Akhir Nasional. ... Pagi itu, tiga tahun setelah Nur pergi. Tanpa pamit padaku, sahabatnya. Entah apa Pandanganya berpaling kearah yang dipikikanya waktu itu, sampai hati tidak dalam rumahku. memberitahukan kepegianya menuju medan “Lia, kenapa masih diluar? Diajak perang melawan kemiskinan. Waktu dia pergi masuk!“ Teriak ibuku sambil berjalan meaku ingin marah, tapi untuk apa aku marah? nuju kearahku. Aku hanya bisa berdoa semoga dia selalu “Bu?'' Sapa Nur pada ibuku sambil dilindungi. Saat aku tengah duduk santai di menjulurkan tanganya untuk bersalaman. ruang tengah sambil bercanda dengan adik “Ini Nur?” Tanya ibu sambil membalas kecilku, aku mendengar suara di balik pintu, uluran tangannya. ”Assalamualaikum.“ Suara seorang wanita. Aku berlari menuju pintu itu, tak sabar ingin tahu. Seolah kepalaku di penuhi tanda tanya, siapa orang di balik pintu rumahku? “Waalaikum salam.” Jawabku. Kubuka pintu dengan berlahan dan telah berdiri tepat dihadapanku seorang yang bercahaya tersenyum padaku. Aku kaget dan tercengang. Nur sahabatku, saudaraku. Tiba-tiba air mataku tak terbendung lagi. Benar-benar berbeda dari yang dulu, saat pertama kali aku melihat di hari pertama masuk kelas satu SD. Nur yang bercahaya, kulitnya putih, rambutnya panjang, tersenyum padaku. Tapi sekarang berubah, rambutnya dipotong pendek. Terlalu pendek, tubuhnya kurus, kuku jari-jari tangannya menghitam. Meski begitu, dia masih tetap bercahaya dengan senyum manisnya. Dia menjulurkan tangan, kami bersalaman. Ya Allah, tanganya kasar karena luka-luka goresan. Aku ingin memeluknya dan menangis keras-keras. Tapi semua itu tidak aku lakukan karena dia terlihat bahagia.

Aku tahu yang dipikirkan ibuku waktu itu, prihatin. Aku dan ibu saling berpandangan. Ibu tahu kalau Nur dan aku berteman dekat. Kami selalu akrab sejak pertama masuk SD hingga lulus SMP. Sudah tujuh tahun aku sekelas denganya, dari kelas satu SD hingga kelas satu SMP. Bahkan kami pernah satu bangku. Suka duka saat itu kami lalui bersama. Saat SD, Nur adalah siswa yang pintar. Lebih tepatnya siswa perempuan yang paling pintar. Tapi bukan rangking satu, namun dia selalu rangking dua. Rangking satu waktu itu Ndirin, anak laki-laki cerdas yang sok jagoan. Memang aneh? Nakal tapi pintar. Tapi waktu SMP prestasi Ndirin menurun drastis, mungkin karena pencarian jati diri. Sering keluar masuk ruang BK, karena bolos seperti biasa. Kurang bersyukur atas karunia kecerdasan yang di berikan oleh Allah. “Ayo masuk ! “ Kata ibu. Kami bertiga berjalan beriringan menuju ruang tengah, tapi ibu tidak ikut bergabung dengan kami. Ibu pergi menuju dapur.


Tidak lama setelah duduk Nur berkata, ”Kenapa dek? Dari tadi kamu hanya diam saja?”

Aku tersenyum dan berkata, ”Aku masih belum percaya.” “Wah, kamu itu! Kemarin waktu aku baru pulang, aku bertemu Nana, dia cerita tentang kamu. Katanya kamu selalu bertanya tentang kabar aku. Maaf ya? Waktu itu aku belum sempat pamit karena aku benar-benar terburu-buru. Selain itu kamu sepertinya masih sibuk mencari sekolah.” Tegasnya. “Kapan sampai?” tanyaku. “ Baru seminggu,” jawabnya. Tiba-tiba ibu datang dari dapur sambil membawa penampan yang berisi dua gelas teh manis hangat dan satu toples kue kering. “Ini minumnya. Seadanya ya?” “Iya Bu, terima kasih. Maaf merepotkan.” “Ah, tidak repot!” Balas ibu. Ibu meletakan penampan itu dan ikut duduk dengan kami.

“Apa iya?” Sindir Nur lagi. ''Nanti dulu setelah lulus.” Sambung ibu. “Itu, dengarkan dek?“ Ejek Nur lagi. “Memang belum, untuk apa bohong? Bagiku punya pacar itu hubungan pertemanan dengan orang lain. Kemana-mana jalan berdua, tidak kreatif. Masih banyak hal yang bisa aku kerjakan. Terserah orang bilang, kalau pacaran itu bermanfaat karena wujud berbagi kasih sayang. Aku bisa membaginya dengan keluargaku, teman-temanku. Mungkin kamu sendiri yang sudah punya pacar?” Kataku untuk membela diri. “Bagaimana mungkin? Kerja pagi hingga malam. Waktu paling luang saat keluarga majikanku liburan, pekerjaanya tidak seberat harihari biasa karena mereka mengajakku juga untuk menjaga anaknya dan mengurusi keperluan mereka.” Kata Nur. “Kakakmu sekarang bekerja dimana?” Tanya ibu mengalihkan topik pembicaraan. “Alhamdulilah berkat kerja keras saya selama tiga tahun di Malaysia, saya bisa membiayai Kang Mus dipindah tugaskan di Makasar. Sudah satu tahun dia bekerja sebagai Marinir. Mudah-mudahan dengan hal ini bisa mengangkat derajat hidup dan masa depan kedua adik saya yang masih kecil. Jangan sampai mereka menjadi seperti saya dan orangtua, pekerja kasar.” Jawab Nur dengan raut wajah sedikit memelas.

”Bu, kabarnya ibu sudah tidak mengajar di SD N 2 Turunrejo lagi?” Tanya Nur pada ibu. “Iya, Ibu sekarang sudah pindah di SD N 1 Purwokerto. Sudah dua puluh lima Aku kaget dan kagum padanya. Aku tak tahun ibu mengajar di SD N 2 Turunrejo. menyangka, Kang Mus bisa menjadi Marinir Dari Mas Yudi belum lahir hingga sekarang berkat usaha Nur. Seorang Nur memang pemmenjadi mahasiswa.” beri cahaya bagi keluarganya. Aku malu, benar“Sekarang sudah mengajar anaknya benar malu pada dirinya, keluargaku dan pada muridnya Ibu dulu, sudah punya banyak diriku sendiri. Sampai saat ini belum ada hal cucu.” Sambungku. yang bisa aku berikan pada orang tuaku. “Ternyata sudah lama ya, Bu? Keada- Hanya mengeluh meminta dan menuntut. an sekolah yang baru bagaimana, Bu? Ya Allah, begitu mulia dirimu Nur. “Sama saja, hanya tempat dan orangnya yang berbeda. Jadi ibu harus memulai “Saya ikhlas, benar-benar ikhlas. Setelagi hubungan baik dengan masyarakat di lah apa yang saya lakukan meski begitu berat, sana.” Jawab Ibu. berat sekali. Majikan saya non muslim. Jika “Kamu dek? Sudah punya pacar ya?” shalat harus sembunyi-sembunyi. Jika ketahuKata Nur mengejeku. an puasa, dihukum. Jika anaknya menangis, “Pacar? Makanan apa itu? Alhamdulilahdihukum. Dan jika saya nekat keluar sebelum belum.” Candaku. kontrak selesai meskipun kurang sehari saja


saya tidak akan digaji dan tidak akan dibiayai pulang.” Sambung Nur sambil meneteskan air mata. Suasana berubah menjadi hening. “Sabar ya Nur, apa yang kamu lakukan itu sudah sangat mulia. Mudahmudahan apa yang kamu lakukan mendapat balasan yang lebih baik.” Hibur ibuku. Aku hanya bisa diam dan ikut menangis. Begitu sayangnya Nur pada keluarganya sehingga dia rela dan nekat pergi ke negeri seberang. “Mengapa tidak melapor saja?” Tanya ibuku. “Tidak mungkin bisa Bu, mereka sudah bekerja sama. Saya hanya bisa menjalani. Karena saya juga butuh uang.” “Ibu cuma mau memberi pesan kepada kakakmu. Jika sudah berhasil, jangan pernah melupakan pengorbananmu, ingat terus keluargamu. Mus anak yang baik, dia pernah ibu ajar dikelas empat dulu.” “Iya Bu, nanti saya sampaikan. Kang Mus juga selalu bilang, jika sudah berhasil dia akan mengembalikan uang saya. Saya hanya bilang, untuk selalu ingat pada adikadik.” Jawabnya. “Kamu tidak sekolah lagi? Untuk mengambil paket C. Nanti kamu bekerja di Indonesia saja.” Ibuku menasihati. “Wah, saya memikirkan sekolah adikadik saya saja, Bu” Nur masih saja memikirkan nasib keluarganya tanpa mempedulikan nasibnya sendiri.

“Kenapa pergi lagi? Kamu kan baru datang?” Tanyaku. “Ada cita-cita besar yang yang harus aku raih. Aku mau membangun rumah untuk keluagaku. Aku tidak mau terus-terusan menumpang di rumah Bulikku.” “Seminggu lagi ya?” Tanyaku lagi. “Iya, uangku sudah habis. Hanya tinggal beberapa ratus ribu saja, uangnya sudah aku pakai untuk membayar hutang Emak,” jawabnya lugu. “Ya sudah, hati-hati di sana.” Kata ibu. Nur bangun dari tempat duduk dan berkata, ”Saya pamit pulang dulu, Bu. Sudah siang. Dek kapan-kapan kerumahku ya?” “Kok cepat-cepat?” Kata Ibu. “Insya Allah aku kerumahmu besok pagi?” Kataku. Aku dan ibu mengantarnya lalu bersalaman. ”Assalamualaikum.” “Waalaikum salam.” Hari itu benar-benar hari yang penuh dengan pelajaran. Tentang perjuangan hidup yang harus dijalani meskipun itu berat namun dijalani dengan ikhlas. Kita harus bersyukur karena diberi kenikmatan, bersyukur dalam keadaan apapun. Aku akan berjuang untuk belajar lebih keras, mungkin itu yang bisa kulakukan untuk keluargaku sekarang. Nur adalah cahaya. Cahaya yang selalu bersinar karena semangat juangnya. Nur, kamu adalah pahlawan tanpa tanda jasa di keluargamu. Pahlawan devisa di negaramu.

“Sebenarnya kedatanganku kesini untuk pamit.” “Pamit?” Kataku Keheranan. “Aku mau bekerja lagi, tapi ke Taiwan. Seminggu lagi aku berangkat ke penampungan.”

Penulis adalah penimba ilmu di IKIP PGRI Semarang, Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni, Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, semester 4. : [untuk sahabatku, kakakku, sumber inspirasiku, penyemangatku. Nur yang selalu bercahaya. Selamat berjuang ya? Kamu mengais rejeki di negeri orang. Semoga mimpimu terwujud. Aku hanya bisa berdoa untukmu. Ini cerpen pertamaku yang muncul karenamu, telah dibaca oleh banyak orang, meski bukan nomor 1, tapi sangat berarti bagiku]


Ia mendapati otaknya sedang sibuk mencari bau anyir episentrum luka pada hatinya untuk digali dan mengabadikannya pada larik-larik puisinya yang melulu muram. Penyair luka, itulah julukannya. Segala bentuk luka: kemiskinan, bencana alam, krisis ekonomi, asusila, dan banyak lagi luka kehidupan yang berhasil ia eksploitasi dalam puisi-puisinya hingga pada titik estetik yang hampir membosankan. Kalau saja tak ada kritikus sastra yang menyatakan bahwa ada satu bentuk luka yang belum ia tuliskan, prihal cinta, barangkali ia sudah beralih tema dan memulainya dari titik awal kepenyairannya. Sejak saat itulah ia mulai mencari referensi prihal cinta dan segala gejolaknya yang membuat Julius Caisar bertekuk sujud pada Cleo Patra. Tapi ia tak memiliki empirik prihal cinta, puisinya terasa dangkal. Terlalu jauh untuk mencapai estetiknya. “Dasar penyair kutu buku! Prihal cinta tak bisa dicari di buku, apalagi koran. Okelah, luka-luka yang kau tulis sebelumnya bisa dicari referensinya. Dengan tanpa empirik sekalipun kau bisa menuliskannya dengan penghayatan yang dahsyat. Tapi prihal cinta kau harus lesap di dalamnya. Susunlah puncak perih luka itu. Dan hati-hati jangan sampai larutbahaya! Penamu bisa mandul!� Ia teringat masukan temannya di sebuah pertemuan para penyair. Akhirnya ia tercandu mereka-reka pertemuan demi pertemuan dengan seorang gadispemilik sorot mata yang memancarkan bahkan memberikan kesejukan hijau daun pada tatapnyayang ia kenal sebelumnya. Goresan-goresan pada pertemuan yang puitik disusunnya dengan rapi dan dijadikannya luka untuk diperam di hatinya. Ruang dan waktu sengaja ia rentangkan menjadi jurang pemisah demi kentaranya rindu pada pertemuan yang mencipta l uka. Setiap kali otaknya menciumi luka yang ia peram, selalu saja susunan kata-katanya tak pantas disebut 'puisi'. Hanya baris kalimat yang membuatnya gila.

Keratan malam yang kita nikmati di meja hidangan yang puitik telah membuatku gila. Sungguh aku tergila-gila pada pertemuan itu. Pesan singkat pada perempuannya. Maaf, pertemuan yang membuatmu gila kini tak bisa kuhidangkan untukmu. Balasnya. Ia sadar akan kebosanan yang melilit perempuannya itu. Karenannya ia tak merasa heran jika perempuan itu lebih memilih laki-laki yang namanya sering disebutkan dalam setiap pertemuan dan menggoreskan luka. Ia bahagia, karena inilah puncak pedih dari luka yang ia susun selama ini untuk puisi-puisi luka prihal cinta. Namun tak ia sangka, luka yang ia reka telah mencipta episentrum luka di hatinya yang tak bisa ia tuliskan dan membuatnya tersiksa. Kerinduannya pada pertemuan yang ia reka demi sebuah inspirasi tak bisa ia dapati lagi. Atau mungkin sajaksajak yang hendak ia tuliskan sudah tak lagi menjadi hal penting baginya. Ia merasa telah melanggar pantangan. Penanya telah kering. “Terima kasih, Manis. Pedih yang kutanam di atas episentrum luka yang perlahan meretak kini telah berbunga. Aromanya menebar kematian pada setiap sudut ruang kosong jiwaku. Anggap saja ini pengakuan dosa; aku benar-benar mencintaimu.� Pondok ASAS, Bandung 130108

Episentrum; titik pada permukaan bumi yang terletak tegak lurus di atas pusat gempa yang ada di dalam bumi (KBBI edisi ke tiga)


HAYALAN PADANG TANDUS karya :Setia Naka Andrian jika alam punya mata perlihatkanlah aku, saat kutadahkan jari-jemari‌ dan katakan kepada-Nya bila perkataanku lah, yang sesungguhnya mengumpamakan perasaan agar Tuhan mau mendengar Ditengah bentangan luas rerumputan yang telah lama mengering. Sepi dan tak nampak aktifitas kehidupan. Hanya penggembala yang tersisa di sebuah perkampungan mati. Terlihat gubuk reot yang digunakan sebagai tempat berteduhnya saat masih menggembala kambing. Ketika rerumputan di perkampungan tempat tinggalnya masih membentang lebat dan memberi kemakmuran bagi masyarakat. Sebelum ada yang serakah, menghancurkan dan memusnahkan kehidupan kampung.

Penggembala: (Menatap langit dan memohon menadahkan tangan). �Ya Tuhan, sudah terlalu lamakah aku berdiri? Perlahan melangkahkan kaki mengitari rerumputan kering ini. (Sembari seorang adik datang disekitar tempat itu yang tak diketahui oleh penggembala). Ternyata tak ada lagi yang mau tumbuh, walaupun hujan mengguyur dan melucuti butiran tetes-tetes keringat yang telah menemani lelahku. Hingga sampai menjamur tapi belum juga mereka melambaikan tangannya. Hadirkan kesejukan setelah lama pergi dan membuat semua binatang ternakku kehilangan nyawa. Tiga ekor kambing peninggalan orang tuaku. Oh, telah ludes mati kelaparan. Terus apa lagi yang bisa kuperbuat setelah tidak ada lagi yang bisa kupegang dan kukendalikan. Haruskah kumelamun hingga hayalan-hayalan itu terlahir menjadi nyata dan membelai tubuhku karena anugerah-Mu? Terus bagaimana caranya menumbuhkan rumputrumput itu tanpa memohon kepada-Mu? Apakah layak bila pembunuh rerumputan ini

diberi hidup karena keinginan dan permintaan-Mu? Apakah belum cukup permohonanku berlarian dan membela berdesakdesakan untuk menghadap dan mengharap pengertian-Mu? Ya Tuhan Yang Maha Agung... Aku terlalu lama menghayal, mengharap kedatangan anugerah-anugerah-Mu. Karena memang hanya aku satu-satunya yang masih kuat dan berdiri, memohon dan terus memohon kepada-Mu Ya Tuhan. Karena semua telah pergi, jauh hari setelah mereka menghancurkan habis rerumputan hijau yang dulu mengharumkan dan selalu memberikan kesejukan dan selalu memberi makan kambingkambing dan seluruh hewan ternak di perkampungan ini. Tapi setelah semua rumput ini kering, semuanya pergi begitu saja meninggalkan kampung ini. Seuanya pergi, termasuk kedua orang tuaku dan seorang adikku.


Terus kalau begini, apa yang harus aku lakukan Ya Tuhan? Apakah layak bila jari-jariku ini terputus bila memang sudah tak lagi sanggup menadahkan tangan dan menggenggam erat karunia-Mu Ya Tuhan? Apakah air mataku ini pantas juga mengering seperti rerumputan ini? Apa memang tidak ada lagi yang mampu memberi, mengabulkan dan menghalalkan permintaan serta impian-impianku? Termasuk juga Kau Ya Tuhanku? Kalau begini caranya lebih baik aku mati, aku sudah tidak kuat lagi Tuhan…!” (Sembari mengambil tombak dan berusaha untuk menancapkan keperutnya, tombak yang tergeletak didekatnya yang biasa digunakannya untuk berburu, tetapi niatnya urung karena kedatangan seseorang yang tiba-tiba menghentikannya, ternyata dia adik dari sang penggembala yang tanpa sepengetahuannya sudah lama berada didekatnya dan menguping pembicaraannya).

ataukah hanya sosok yang selalu mempermanis didepan dan memberondong kepahitan dan kesengsaraan dibelakang? Hingga tersisa tulang-tulang tak berbaju seperti kakakmu ini. Siapa sebenarnya Dia? Raja bijaksana, raja yang mengotori baju rakyatnya, lalu membersihkan, lalu pada akhirnya membunuh perlahan-lahan dengan dalih-dalih yang dia sebarkan lewat pengikut-pengikut berjubah dan bersorban itu? Hah…! Itukah Tuhan yang kau maksud?”

Adik: (Menegaskan dan mengingatkan perlahan). ”Kakak sudah kelewatan. Kakak telah mengingkari janji-janji yang kakak ucapkan sendiri. Apa kakak lupa? Ataukah kakak ingin melupakan dan membuang janji-janji itu?”

Penggembala:

(Menegaskan dan mencoba untuk mengingatkan). ”Apa kakak sudah tak percaya lagi kepada Tuhan?”

”Hah…Persetan…! Aku tak peduli dengan janjijanji itu! Karena Dia juga tak pernah membuktikan janji-janji yang kerap selalu Dia bisikan di telingaku. Aku iri dengan mereka. Aku iri. Aku merasa tak dianggap. Aku terlalu dipermainkan. Mengapa saat mereka yang diluar sana bersenang-senang, tertawa dan selalu berselimut gembira, aku yang disini merintih dan mengadu yang tak kunjung usai tapi tetap saja sengsara. Aku selalu berhayal lewat doa, memohon dan selalu merintih agar semua segera berakhir dan aku menemukan jalan yang aku cari-cari selama ini. Jalan lurus, tegak, halus dan tak ada satupun kerikil yang bersedia untuk memberanikan menantang dan menghadang di tengah jalanku. Itu yang membuat aku menjadi tak yakin dan merasa aku terhianati oleh Tuhanku sendiri. Lebih baik aku mati. Aku ingin segera mengakhiri semua ini!” (Berusaha ingin menusuk perutnya kembali dengan tombak, tapi terhalang dan terurungkan lagi oleh adiknya).

Penggembala:

Adik:

(Menentang). ”Hah…! Tuhan….? Siapa Tuhan….? Pembela kebenaran, pemberi keadilan,

Penggembala:

Adik: (Mendekati dan menarik tangan penggembala dan berusaha untuk mengambil tombak yang terpegang erat di tangannya). ”Kakak apa yang hendak kamu lakukan? Apa kau sudah gila?”

Penggembala: (Membela diri dan berusaha untuk tetap memegang erat tombak yang ingin segera ditancapkan ke perutnya). ”Tak perlu kau tanyakan lagi tentang semua ini adikku. Ini bukan urusanmu! Lepaskan! Lepaskan!”

Adik:

(Mencoba merebut tombak yang hendak ditusukkan ke perut). ”Kakak hentikan!”

(Memberontak). ”Lepaskan!”


Adik: ”Hentikan!”

Penggembala: ”Lepaskan! Biarkan aku mati! Lepaskan!”

Adik:

Adik: ”Karena hanya kakak lah satu-satunya orang yang tinggal di perkampungan ini yang mengerti ilmu agama dan memahami ajaranajaran Tuhan. Dan mereka takut, lalu ingin membunuhmu perlahan-lahan, itu pikir mereka. Tapi mengapa kau ikhlas? Tapi mengapa kau sekarang seperti ini?”

(Membentak, menegaskan). ”Ingat Tuhan! (Terhenti sejenak). Apa Kakak benar-benar lupa dengan katakata kakak saat itu. Ketika Kakak ingin terus berdoa dan memohon walaupun semua telah pergi dan hanya Kakak yang tersisa disini?”

(Menangis kacau). ”Sudah adikku… Sudah… Cukup… Tolong jangan lagi kau teruskan omonganmu itu…”

Lamunan Penggembala dan Adik:

Adik:

(Perkataan Penggembala dari luar panggung, menegaskan keluarganya dan orang-orang yang hendak pergi meninggalkan perkampungan). ”Sampai kapan pun aku akan tetap tinggal disini. Kalian tak usah menghiraukanku. Aku akan baik-baik saja disini. Disini aku merasa dilindungi dan aku akan selalu terlindungi. Tak usah banyak pikir. Cepat kalian tinggalkan tempat ini! Tak usah menunggu lama! Sebelum akan berdatangan lagi bencanabencana yang lebih besar lagi!”

(Menyadarkan kembali). ”Dan sekarang saat semua jari-jemari Kakak masih utuh karena terurungkan dipotong mereka. Karena pertolongan Tuhan, hingga jari-jemari dan tangan mereka bahkan pedang yang mereka pegang telah membabat habishabisan tubuh mereka.”

Adik: ”Apakah Kakak lupa? Saat jari-jemarimu hampir kaurelakan untuk orang-orang itu, ketika kau difitnah mencuri perhiasan mereka? Padahal semua itu hanya kelicikan mereka untuk menanggalkan jari-jemarimu agar kau tak lagi mampu memohon dan merintih kepada Tuhan.”

Lamunan Penggembala dan Adik: (Perkataan salah seorang pemimpin dari sekelompok penghancur perkampungan, dari luar panggung). ”Ha..ha...ha..ha...ha...ha... Kali ini jari-jemarimu harus segera kupotong. Karena kaulah pencuri. Kaulah satu-satunya pencuri yang tinggal di perkampungan ini. Kau telah merenggut perhiasan yang menjadi penghias hidup kami. Ha...ha...ha..ha...ha...”

Penggembala:

Lamunan Penggembala dan Adik: (Teriak kesakitan dari seorang pemimpin penghancur perkampungan dan pengikutnya, dari luar panggung). ”Aaa....akh....aakh...! Apa ini? Kekuatan apa ini? Siapa dibalik semua ini? Apa yang terjadi? Kenapa dengan tanganku? Akh....akh....aaa...!”

Adik: ”Hingga kakak berjanji untuk tetap berada di tempat ini karena Kakak merasa terselamatkan oleh Tuhan. Dan karena Kakak merasa terlindungi, maka Kakak berjanji dihadapan orang-orang yang hendak pergi meninggalkan tempat ini, bahkan kepada mayat-mayat mereka yang terbunuh oleh Tuhan, mayat-mayat mereka yang membunuh tanah kelahiran kita.”

Lamunan Penggembala dan Adik: (Perkataan penggembala). ”Tuhan....! Tuhan Yang Maha Agung! Kaukah dibalik semua ini? Terima kasih Tuhan! (Terhenti sejenak). Demi keberadaan-Mu dan untuk tanah yang telah kau jadikan peringatan bagi kami lewat mereka


para penghancur, aku berjanji dihadapanMu, di atas tanah kelahiranku dan dihadapan mayat-mayat yang terbunuh oleh-Mu! Aku akan tetap tinggal di perkampungan ini. Karena inilah karunia-Mu! Inilah kehendakMu!”

Penggembala: (Memegang pundak adik). ”Terimakasih adikku. Kamu terlalu mengasihiku. Kamu rela pergi dari duniamu untuk menengok aku yang hanya seorang diri tinggal ditempat kering ini. Kamu memang berhati mulia adikku.”

Adik: ”Dan orang-orang yang tersisa dikampung ini tak mau lagi dan tak mampu lagi untuk hidup di tempat kering seperti ini. Termasuk aku, bapak dan ibu kita Kak? Apakah Kakak lupa dengan semua ini? Atau Kakak melupakan semua ini karena Tuhan disangka sudah tak lagi berpihak pada Kakak? Hingga Kakak ingin mati karena merasa tak layak hidup lagi bila Kakak hidup dalam jeratan janji-janji yang ternyata Kakak merasa tak kuat lagi untuk menjunjungnya? Jawab Kak…? Jangan hanya diam tetapi melakukan halhal buruk lagi yang tak sejalan itu Kak?

Penggembala: (Menangis pasrah dan tersadar). Iya adikku aku merasa sangat berdosa telah ingkar kepada Tuhanku... Aku merasa sangat berdosa karena aku telah melupakan segala pertolongan-pertolongan-Nya. Ampuni aku Tuhan!!! Aku telah tersesat karena termakan janjijanjiku, karena terlalu berhayal akan semua nikmatmu Tuhan… Akan semua nikmat dan karuniamu yang aku pikir hanyalah untuk aku… Ampuni aku Tuhan…

Adik: (Sambil mengambil tombak yang terbawa dan mengusap air mata penggembala). Sudahlah Kak, Kakak tak perlu lagi menyesali semua yang telah terjadi. Sekarang yang terpenting Kakak harus melupakan semua itu dan memulai kembali untuk merangkai dan memperbaiki semua yang pernah Kakak robohkan. Dan semua yang telah Kakak jatuhkan saat Kakak merasa menjauh dari dekapanNya.

Adik: (Menatap mata penggembala). ”Kakak jangan berkata seperti itu. Aku, bapak dan ibu merasa bersalah karena telah tega meninggalkan Kakak seorang diri disini. Kalau bukan karena janji-janji yang telah Kakak ucapkan itu, pasti aku, bapak dan ibu akan tetap menetap dan tinggal di tempat kering ini walaupun tandus dan tak berdaun ini. Maafkan aku Kak… Juga tolong maafkan bapak dan ibu Kak… ”

Penggembala: (Memegang tangan adik). ”Dik, bergegaslah kamu pulang. Hari sudah sore. Jarak tempat tinggalmu dengan kampung ini sangat jauh. Aku tak mau kalau nanti kamu menemui malam. Aku tak bisa mengantarmu, karena aku tidak bisa meninggalkan tempat ini walaupun sekejap. Maafkanlah kakakmu ini... Bergegaslah pulang. Bapak dan ibu mungkin telah risau menunggumu. Aku tak mau kalau nanti terjadi sesuatu padamu. Hati-hati... Perjalananmu sangat jauh dan melelahkan, dan jalan juga sepi. Hati-hati…”

Adik: ”Iya Kak, aku akan berhati-hati. Kakak juga jaga diri baik-baik disini. Ingat, Kakak jangan pernah mengulang semua itu lagi.” (Sambil meneteskan air mata).

Penggembala: (Membalas pula dengan tetesan air mata). ”Pasti Dik, Kakak akan selalu ingat katakatamu. Sampai jumpa lagi. Jangan terlalu sering kau datang kesini. Karena aku ingin menenangkan diri dan meneduhkan hati


disini. Sudahlah. Hati-hati.� (Melepas kepergian adiknya). (Adik sang penggembala telah pergi meninggalkannya seorang diri di tempat yang sepi, kering, tandus dan tak berdaun).

Penggembala: (Menatap langit dan menadahkan tangan). Tuhan‌! Jika benar jari-jemariku ini kau ciptakan agar aku selalu memohon kepadaMu. Tolong katakan juga kepada mereka.

Agar semua merasakan saat janji-janji-Mu lah yang paling benar. Bukan janji mereka yang selalu merasa menang karena banyak dukungan. Bukan karena mereka tak terkalahkan, tapi karena mereka yang mencipta mimpi-mimpi yang selalu membuat kita terlarut, mendekat, bercumbu dan akhirnya kita membeli. (Terhenti sejenak). Karena sejatinya mimpi akan terlahir dan hanya dijual oleh Tuhan.� sarangkatahati, 201108, 11.36 am

Ndopok Bareng [Hysteria, UKM KIAS, dan Lembah Kelelawar] Mempertahankan kesuksesan akan lebih berat dari meraihnya. Kita tentu sepakat bukan? Ketika kita berhasil meraih sebuah prestasi, yang akan dilakukan berikutnya adalah menjaga agar prestasi itu tidak hilang direbut orang lain atau hilang karena kesalahan sendiri. Memahami hal yang demikian, UKM KIAS dan Komunitas Sastra Lembah Kelelawar bekerja sama dengan Komunitas Hysteria Semarang mengadakan Ndopok Bareng Strategi Bertahan dan Kiat-kiat Mengakses Yayasan Kelola, sebagai pembicara Adin selaku Koordinator Komunitas Hysteria. Bertempat di Perpustakaan IKIP PGRI Semarang Lantai 2, pada 19 maret 2010, acara digelar secara sederhana dengan peralatan seadanya; beberapa tikar, MMT yang dijadikan layar untuk LCD, beberapa piring berisi pisang goreng dan air gelas pasti, dan beberapa mahasiswa. Acara diawali pembacaan puisi kemudian dilanjut diskusi dan di bagian akhir acara diselingi pembacaan puisi bagi peserta. [Red/ wid]




Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.