Tribune Express LK2 - Esai Kritis: Implementasi UU Perlindungan Anak terhadap Anak Jalanan

Page 1


IMPLEMENTASI UU PERLINDUNGAN ANAK TERHADAP ANAK JALANAN DARI BERBAGAI PIHAK Oleh: Vanesha Ayu Sekarini Zega Staf Magang Bidang Literasi dan Penulisan

Sumber: Gaya Tempo. com PENDAHULUAN Sebagai anugerah dari Tuhan, orang tua memiliki kewajiban untuk menjaga, merawat, dan membesarkan anaknya. Peran orang tua dalam pengasuhan anak adalah kunci dari kesuksesan tumbuh kembang seorang anak. Didikan, perhatian, dan kasih sayang orang tua dapat memengaruhi perkembangan fisik, mental, dan sosial anak. Jika orang tua dapat memberikan yang terbaik, anak pun dapat mencapai kesuksesannya. Namun, perlu diketahui tidak semua anak memiliki kondisi keluarga yang sama dengan lainnya. Banyak anak terlahir dengan kondisi yang tidak mendukungnya untuk tumbuh dan berkembang dengan baik. Sering kali anak dihadapkan dengan kenyataan bahwa ia tidak bisa mendapatkan haknya dengan penuh, seperti hak mendapatkan pendidikan, hak kesejahteraan ekonomi, dan bahkan hak untuk dilindungi. Banyak hal yang menjadi penyebab hal ini, salah satunya adalah ekonomi. Ketidakmampuan ekonomi orang tua atau keluarga dalam mencukupi kebutuhan seorang anak bisa mengakibatkan anak kehilangan hak-haknya, seperti hak mendapatkan pendidikan. Sebagai contoh, hasil survei kerja sama dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi; Bank Dunia; dan UNICEF terdapat peningkatan jumlah


anak yang putus sekolah, yakni 10% karena adanya krisis ekonomi yang merupakan dampak lanjutan dari pandemi COVID-19.1 Dengan adanya kondisi ini akan memunculkan masalah sosial baru, seperti masalah sosial tentang anak jalanan. Isu anak putus sekolah tidak lepas dari kenyataan bahwa adanya peningkatan jumlah anak jalanan. Hal ini terbukti dengan adanya kasus baru-baru ini pada bulan November 2021 di Kota Banjar. Pasalnya, Forum Pemuda Peduli Pendidikan (FPPP) mendapati ada 2 dari 4 orang anak yang terkena razia pengemis adalah anak yang putus sekolah.2 Di lain sisi, Dinas Sosial Kota Medan juga menemukan ada 127 total orang anak jalanan yang dirazia hingga Desember 2020.3 Berdasarkan pernyataan dari Fahrul Rozi, Kepala Bidang Rehabilitasi Dinas Sosial Kota Medan menyebutkan bahwa adanya peningkatan jumlah anak jalanan ini disebabkan karena pandemi COVID-19. Kedua kasus itu sama-sama menunjukkan bahwa adanya ketidakmampuan orang tua dalam memenuhi kehidupan ekonomi keluarganya akibat lanjutan dari pandemi COVID-19 ini. Akibatnya, banyak anak-anak yang turun ke jalan dengan alasan mencari uang tambahan untuk keluarga yang membuat mereka disebut sebagai anak jalanan. Anak jalanan adalah anak-anak yang menghabiskan sebagian besar waktunya di jalan, melakukan pekerjaan ringan, seperti mengamen, mengemis, hingga bekerja sebagai buruh atau pekerja informal sehingga membuatnya rentang terhadap kekerasan, penganiayaan, dan eksploitasi baik eksploitasi seksual atau tenaga.4 Melihat realitas yang ada, dibutuhkan regulasi segera dalam menangani kondisi ini. Penanganan anak jalanan yang tidak segera akan memunculkan kasus-kasus baru, seperti kekerasan, penganiayaan, eksploitasi seksual, pencurian, dan lain-lain yang membahayakan keselamatan anak-anak. Dalam hal ini, Indonesia sebenarnya sudah memberikan perhatian khusus dengan membuat sejumlah peraturan sebagai payung hukum dalam mengatasi masalah anak jalanan demi menjamin dan melindungi hak-haknya. Dalam mewujudkan hal tersebut, telah disahkannya sejumlah peraturan perundang-undang, yaitu Undang-Undang Dasar 1945 1

Vanis Rossa, “Pandemi Membuat Angka Anak Putus Sekolah Bertambah 10 Kali Lipat,” https://www.suara.com/lifestyle/2021/10/13/174515/pandemi-membuat-angka-anak-putus-sekolah-bertambah-1 0-kali-lipat, diakses pada 2 Desember 2021. 2 Ari Syahril Ramadhan Miris, “Ada Anak Putus Sekolah Jadi Pengemis di Kota Layak Anak,” https://jabar.suara.com/read/2021/11/02/125335/miris-ada-anak-putus-sekolah-jadi-pengemis-di-kota-layak-ana k?page=1, diakses pada 2 Desember 2021. 3 Almazmur Siahaan, “Data Dinsos Menunjukkan Jumlan Anak Terlantar Meningkat Selama Pandemi, Mayoritas Usia Sekolah Dasar,” https://medan.tribunnews.com/2021/08/14/data-dinsos-menunjukan-jumlah-anak-terlantar-meningkat-selama-pa ndemi-mayoritas-usia-sekolah-dasar?page=1, diakses pada 2 Desember 2021. 4 Pipin Armita, “Meningkatkan Kesejahteraan Sosial Anak Jalanan dengan Teori Self Esteem,” Jurnal PKS, Vol. 15 No. 4 (Desember, 2016), hlm. 377-386.


(UUD 1945), Undang-Undang Hak Asasi Manusia (UU HAM) Nomor 39 Tahun 1999, Undang-Undang Perlindungan Anak (UU PA) Nomor 23 Tahun 2002, UU Perlindungan Anak Nomor 35 Tahun 2014 yang merupakan perubahan dari UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perppu) Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dan Peraturan Menteri Sosial (Permensos) Nomor 4 Tahun 2020 tentang Rehabilitasi Sosial Dasar bagi Anak Terlantar. Peraturan-peraturan ini timbul dari adanya ratifikasi terhadap Konvensi Hak Anak Internasional oleh PBB pada 20 November 1959 dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 36 Tahun 1990.5 Dalam konvensi tersebut, PBB menyatakan bahwa anak memiliki 10 hak yang tidak bisa dirampas oleh orang lain. Salah satu hak yang menjadi poin penting dalam pembahasan ini adalah hak untuk memperoleh perlindungan, hak untuk memperoleh makanan, hak atas tubuh yang sehat, hak atas pendidikan, dan hak bermain.6 Demi terciptanya perlindungan dan penjaminan terhadap hak anak tersebut, sekiranya ada 3 poin penting dalam konvensi ini, yaitu siapakah pihak yang berkewajiban memenuhi hak anak, yaitu keluarga, masyarakat, dan negara; siapakah pihak yang menerima hak tersebut, yaitu anak; dan bentuk-bentuk hak apa yang dijamin dan dilindungi.7 PEMBAHASAN Anak jalanan adalah anak-anak yang menghabiskan sebagian besar waktunya di jalan, melakukan berbagai pekerjaan ringan, seperti mengamen, mengemis, bahkan bekerja sebagai buruh sektor informal.8 Umumnya anak jalanan menyebar di tempat-tempat publik, seperti lampu merah, tempat wisata, pasar, rumah makan, dan lain-lain. Motif yang mendorong mereka berada di jalanan ialah motif ekonomi. Anak-anak jalanan biasanya berasal dari keluarga yang tidak mampu secara ekonomi sehingga mereka harus membantu orang tuanya atau dirinya sendiri dalam mencari uang. Kemunculan anak-anak jalanan di tempat umum memanglah menjadi pemandangan tidak sedap di mata karena mereka mengganggu ketertiban umum. Namun, perlu juga diketahui bahwa dengan munculnya anak jalanan di 5

Indonesia, Keputusan Presiden tentang Pengesahan Convention On The Rights Of The Child, Keppres Nomor 36 Tahun 1990. 6 Anastasia Anjani, “10 Hak Anak yang Diamanatkan PBB Beserta Penjelasannya”, https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-5507800/10-hak-anak-yang-diamanatkan-pbb-dan-penjelasannya, diakses pada 8 Desember 2021. 7 Raisa Lestari, “Implementasi Konvensi Internasional tentang Hak Anak di Indonesia,” JOM FISIP, Vol. 4 No. 2 (Oktober, 2017). 8 Pipin Armita, “Meningkatkan Kesejahteraan Sosial Anak Jalanan dengan Teori Self Esteem,” Jurnal PKS, Vol. 15 No. 4 (Desember, 2016), hlm. 377-386.


tempat umum ini juga berisiko terhadap keselamatan diri mereka sendiri. Mereka mempunyai kesempatan untuk dijadikan target atau korban dari kekerasan, penganiayaan, eksploitasi seksual, eksploitasi tenaga, dan kejahatan lainnya yang bisa mengancam diri dan martabat mereka. Isu anak jalanan ini bukan lah isu baru, dari tahun ke tahun selalu ada peningkatan yang cukup drastis. Berdasarkan data dari

Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS)

SIKS-NG ada sebanyak 67.368 jumlah anak terlantar di Indonesia per 15 Desember 2020 lalu.9 Melihat data dari satu tahun ke belakang, terdapat peningkatan anak terlantar sebanyak 3.315 anak dari 64.053 anak pada tahun 2019.10 Hal serupa juga ditampilkan pada data dari DATAKU, sebuah web dari Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), yang menyatakan adanya peningkatan jumlah anak jalanan pada 2019 dengan 2018.11 Pada tahun 2018 terdapat 67 anak, sedangkan pada tahun 2019 terdapat 72 anak.12 Data dari DATAKU membedakan data antara anak tersebut menjadi 3 bagian, yaitu data anak jalanan, data anak terlantar, dan data balita terlantar. DATAKU memperlihatkan adanya perbandingan yang terbalik dengan data anak jalanan terhadap data anak terlantar dan data balita terlantar. Data anak terlantar pada tahun 2018 sebanyak 11.009 anak, sedangkan pada 2019 hanya sebanyak 9.607 anak terlantar yang berarti terjadi penurunan yang signifikan. Begitu juga pada data balita terlantar, ada 762 balita terlantar pada tahun 2018 yang kemudian berkurang pada tahun 2019, yaitu menjadi 620 balita terlantar. Adanya perbedaan data tersebut disebabkan oleh kinerja dari pemerintah, terlebih pemerintah daerah. Pada data dari DTKS, data yang diambil adalah data dari seluruh Indonesia. Sedangkan, data dari DATAKU adalah data anak-anak di Kota Yogyakarta saja. Walaupun data antara anak jalanan dan terlantar berbanding terbalik, namun kita dapat melihat kinerja pemerintah daerah Kota Yogyakarta dalam menangani kasus ini. Bejo Suwarno, Pelaksana Tugas Kepala Dinas Sosial Kota Yogyakarta, mengatakan bahwa pemerintah Yogyakarta lebih berfokus pada langkah preventif, yaitu dengan cara sosialisasi ke anak jalanan dan melakukan pendekatan personal dalam menghadapi masalah anak

9

Puput Mutiara, “Penanganan Anak Terlantar Butuh Komitmen,” https://www.kemenkopmk.go.id/penanganan-anak-terlantar-butuh-komitmen, diakses pada 8 Desember 2021. 10 OHH Ditjen Rehsos, “Komitmen Kemensos Bantu Anak-anak di Kondisi COVID-19 Melalui Progresa,” https://kemensos.go.id/komitmen-kemensos-bantu-anak-anak-di-kondisi-covid-19-melalui-progresa, diakses pada 8 Desember 2021. 11 DATAKU, “Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial dan Sarana Kesejahteraan Sosial,” http://bappeda.jogjaprov.go.id/dataku/data_dasar?id_skpd=5, diakses pada 8 Desember 2021. 12 Ibid.


jalanan di kota itu.13 Suwarno juga menambahkan bahwa dalam melaksanakan kegiatan ini, pemerintah daerah Kota Yogyakarta menggunakan Peraturan Daerah (Perda) DIY Nomor 1 Tahun 2014 tentang Penanganan Gelandangan dan Pengemis.14 Adanya perda yang dikeluarkan merupakan bentuk nyata dan serius kepedulian pemerintah terhadap masalah anak jalanan. Beranjak dari hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa peran serta pemerintah yang nyata dalam penanganan kasus anak jalanan sangat penting. Hal ini tertuang dalam UUD 1945 yang menjelaskan bahwa pemerintah memiliki kewajiban dalam memelihara anak jalanan yang dalam UUD tersebut disebut sebagai anak terlantar.15 Pemeliharaan anak jalanan yang dimaksud adalah pemberian rehabilitasi, pemberdayaan, dan perlindungan sosial sehingga hak-hak anak jalanan tersebut dapat dijamin pemenuhannya oleh pemerintah.16 Penjaminan hak-hak anak jalanan tersebut dapat terwujud dengan pemberian dana bagi mereka sesuai dengan realitas kebutuhan yang ada. Seperti yang tertuang dalam UU PA Nomor 35 Tahun 2014 Pasal 53 ayat (1) yang menyatakan tentang kewajiban pemerintah terhadap pembiayaan dan pemeliharaan anak jalanan dengan berbunyi : “Pemerintah dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab untuk memberikan biaya pendidikan dan/atau bantuan cuma-cuma atau pelayanan khusus bagi Anak dari Keluarga kurang mampu, Anak Terlantar, dan Anak yang bertempat tinggal di daerah terpencil.”17 Yang dimaksud dengan anak terlantar adalah anak-anak yang tidak mendapatkan hak-hak dasarnya, seperti pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan sosial atau yang biasa kita sebut anak jalanan.18 Menurut World Health Organization (WHO), anak-anak dalam hal ini adalah yang berada pada rentang umur 0 tahun hingga 19 tahun.19 Sedangkan menurut UU PA Nomor 35 Tahun 2014, anak-anak berada pada rentang umur 0-18 tahun, termasuk pada saat di dalam kandungan.20 Anak-anak ini kemudian dianggap sebagai kelompok rentan dalam UU HAM 13

Eka Arifa Rusqiyati, “Yogyakarta Tersu Tekan Keberadaan Anak Jalanan,” https://www.antaranews.com/berita/773060/yogyakarta-terus-tekan-keberadaan-anak-jalanan, diakses pada 8 Desember 2021. 14 Ibid. 15 Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945, Ps. 34. 16 Indonesia, Penjelasan atas Undang-Undang Kesejahteraan Sosial, UU Kesejahteraan Sosial Nomor 11 Tahun 2009. 17 Indonesia, Undang-Undang Perlindungan Anak, UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, Ps. 53 ayat (1). 18 Ibid, Ps. 1 ayat (6). 19 Asni Harismi, “Risiko Penyakit Berdasarkan Klasifikasi Umur Menurut WHO,” https://www.sehatq.com/artikel/risiko-penyakit-berdasarkan-klasifikasi-umur-menurut-who, diakses pada 8 Desember 2021. 20 Indonesia, Undang-Undang Perlindungan Anak, UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, Ps. 1 ayat (1).


Nomor 39 Tahun 1999 Pasal 5 ayat (3) sehingga mereka berhak mendapatkan perlindungan dan pelayanan lebih khusus.21 Dapat disimpulkan bawah anak terlantar adalah orang-orang dalam usia di bawah 18 tahun dan merupakan orang-orang dalam kategori rentan. Merujuk pada pasal tersebut, pemerintah merupakan salah satu aktor yang berperan dalam penanganan kasus ini. Namun, yang menjadi pertanyaan adalah apakah hanya pemerintah saja yang memiliki peran dan tanggung jawab dalam hal ini? Tentu saja tidak. Pemenuhan akses terhadap hak-hak anak merupakan tanggung jawab utama dari orang tua dan keluarga sebagai unit terkecil dan terdekat bagi anak. Keluarga sebagai pranata sosial memiliki 8 fungsi dalam pembinaan dan aktualisasi anak. 8 fungsi tersebut meliputi fungsi agama, perlindungan, sosialisasi dan pendidikan, ekonomi, sosial budaya, cinta kasih, dan reproduksi.22 8 fungsi keluarga itu merupakan fondasi terwujudnya tegar keluarga yang dapat menjamin perlindungan dan pemenuhan hak-hak dasar anak. Namun, seperti yang dijabarkan di atas, tidak semua keluarga dapat menjalankan kedelapan fungsi itu dengan baik. Salah satu fungsi yang paling memengaruhi ialah fungsi ekonomi. Fungsi ekonomi ini meliputi pencarian pendapatan, perencanaan keuangan, dan penggunaan keuangan.23 Fungsi ekonomi ini sangat memengaruhi kesuksesan fungsi-fungsi keluarga lainnya. Misal, fungsi pendidikan tidak dapat berjalan dengan baik jika fungsi ekonomi terhambat. Mengapa demikian? Pada fungsi pendidikan, keluarga berkewajiban untuk mendidik dan mengajarkan anak. Pendidikan dan pengajaran ini tentu tidak dapat dilakukan sendiri oleh orang tua. Oleh karena itu, orang tua harus mengirimkan anaknya ke sekolah-sekolah formal. Dalam menempuh dunia pendidikan formal, dibutuhkan biaya yang tak seberapa. Biaya yang digunakan untuk membiayai pendidikan anak merupakan penghasilan orang tua. Oleh karena itu, orang tua harus memiliki penghasilan tetap dan stabil sehingga beban biaya sekolah dapat dibiayai. Namun pada kenyataanya, tidak semua keluarga memiliki pekerjaan tetap yang dapat membuatnya memiliki penghasilan yang tetap dan stabil. Data menunjukkan bahwa tenaga kerja Indonesia masih didominasi oleh pekerja sektor informal. Data per Agustus 2020 mengungkapkan ada 60,47% pekerja sektor informal dan 44,12% pekerja sektor formal.24 21

Indonesia, Undang-Undang Hak Asasi Manusia, UU Nomor 39 Tahun 1999, Ps. 5 ayat (3). Teopilus Tarigan, “Keluarga sebagai Pranata Sosial yang Pertama dan Terutama,” https://www.kompasiana.com/teotarigan/5c38e40512ae940b2d6cfdd5/keluarga-sebagai-pranata-sosial-yang-pert ama-dan-terutama, diakses pada 8 Desember 2021. 23 Edelweis Lararenjana, “Fungsi Lembaga Keluarga Beserta Pengertian dan Ciri-cirinya, Patut Diketahui,” https://www.merdeka.com/jatim/fungsi-lembaga-keluarga-beserta-pengertian-dan-ciri-cirinya-patut-diketahui-kl n.html, diakses pada 8 Desember 2021. 24 Rahmat Fauzan, “Wow! Makin Banyak Pekerja Informal Akibat Covid-19,” 22


Data tersebut telah dipengaruhi oleh dampak dari pandemi COVID-19 sehingga adanya peningkatan pekerja pada sektor informal dan penurunan pekerja pada sektor formal. Dengan adanya perbedaan ini tentu berpengaruh pada penghasilan orang tua atau keluarga. Orang tua yang bekerja pada sektor informal biasanya memiliki penghasilan yang lebih sedikit dan tidak menentu sehingga akan membuatnya kesulitan dalam menafkahi atau menghidupi keluarga. Dampak dari kondisi ini menyebabkan orang tua tak segan memanfaatkan anaknya dalam mencari pendapatan lebih. Orang tua banyak mengirimkan anaknya ke jalan-jalan atau tempat umum lainnya untuk disuruh mengemis atau mengamen demi mendapat rupiah-rupiah tambahan. Hal ini merupakan bentuk dari eksploitasi ekonomi terhadap anak. Eksploitasi ekonomi terhadap anak sendiri adalah tindakan kesewenangan seseorang terhadap anak dengan cara menggunakan waktu dan tenaga anak demi keuntungan pribadi sehingga anak dipaksa melakukan pekerjaan yang tidak seharusnya ia lakukan.25 Eksploitasi ekonomi yang terjadi terhadap anak jalanan merupakan kesalahan dari orang tua atau keluarganya. Namun, banyak anak yang hanya menerima hal demikian terjadi pada dirinya karena ia sendiri tidak tega dan sanggup untuk membiarkan orang tuanya kesusahan dalam mencari nafkah. Dampak dari eksploitasi ekonomi terhadap anak yang membuat anak menjadi anak jalanan akan menyebabkan masalah sosial lainnya. Tidak sedikit dari anak jalanan yang mengalami kekerasan dari orang asing yang ia temui di jalan atau tempat umum. Tindakan yang dilakukan orang tua tersebut tentu melanggar hak asasi anak. Eksploitasi anak dalam bidang ekonomi telah diatur pada pasal 76I UU PA Nomor 35 Tahun 2014. Pelanggaran terhadap pasal ini dijatuhi denda dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).26 Maraknya kasus eksploitasi ekonomi dan penelantaran anak harus segera dituntaskan. Pemerintah harus segera bergerak dan mulai mengimplementasikan kebijakan yang telah dibuat. Penanganan kasus anak jalanan telah diatur pada sejumlah peraturan pemerintah, diantaranya adalah UUD 1945 yang mengatur mengenai kewajiban negara dalam memelihara anak terlantar.27 Selanjutnya, UU PA Nomor 35 Tahun 2002 yang kemudian diubah menjadi UU PA Nomor 35 Tahun 2014 menjelaskan lebih detail tentang pemeliharaan anak terlantar pada pasal 55, pasal 58, 59, dan pasal 71. Dan terakhir, dalam menangani anak terlantar, https://ekonomi.bisnis.com/read/20201105/12/1313914/wow-makin-banyak-pekerja-informal-akibat-covid-19, diakses pada 8 Desember 2021. 25 Syarifah Qurrata Ayyun Kusumaningsih Rukhsal, “Faktor-Faktor Penyebab Eksploitasi Secara Ekonomi Terhadap Anak Jalanan dalam Perspektif Hukum Perlindungan Anak,” (Skripsi Sarjana Universitas Brawijaya, Malang, 2015), hlm. 3. 26 Indonesia, Undang-Undang Perlindungan Anak, UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, Ps. 88. 27 Ibid, Ps. 34 ayat (1).


Kementerian Sosial mengesahkan Permensos Nomor 4 Tahun 2020 tentang Rehabilitasi Anak Terlantar. Implementasi kebijakan pemerintah dalam penanganan anak terlantar sebagaimana tertera dalam Pasal 71 ialah dengan melakukan upaya pengawasan, pencegahan, perawatan, konseling, rehabilitasi sosial, dan pendampingan sosial.28 Hal ini dapat dilakukan dengan tiga metode, yaitu Community Based, Street Based, dan Center Based yang masing-masing memiliki pola dan fokus yang berbeda.29 3 metode di atas merupakan metode bertahap yang dimulai dengan langkah preventif hingga represif yang sesuai dengan upaya kebijakan pemerintah tersebut. Metode pertama yaitu Community Based. Community based adalah metode yang digunakan sebagai langkah preventif timbulnya anak jalanan. Langkah preventif ini dilakukan dengan menitik beratkan pada peran keluarga yang merupakan sasaran metode ini.30 Target dari kegiatan ini adalah keluarga yang rentan secara ekonomi yang artinya tidak dalam kondisi finansial yang baik sehingga dapat memiliki peluang dalam penelantaran anak. Tujuan akhir dari adanya metode ini ialah agar tidak terjadinya penelantaran anak. Community based dilakukan dengan sosialisasi dan penyuluhan oleh lembaga sosial pemerintah seperti

sosialisasi dan

penyuluhan sosial kepada masyarakat rentan,

pemberdayaan keluarga dan peningkatan penghasilan, serta pengajaran pendidikan kepada anak-anak rentan.31 Dalam melaksanakan pencegahan dan penanganan kasus anak jalanan pemerintah tentu tidak bergerak sendiri, tetapi juga dibantu oleh masyarakat. Peran penting masyarakat

dibutuhkan

mengingat

masyarakat

juga bertanggung jawab

terhadap

perlindungan anak. Salah satu keikutsertaan masyarakat dalam program pencegahan dan penanganan kasus anak jalanan ialah dengan melalui lembaga masyarakat atau Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).32 LSM bekerja dalam pencegahan terjadinya kasus anak jalanan dengan melakukan pemberdayaan komunitas rentan terhadap ekonomi dengan memberi pelayanan pendidikan kepada anak-anak rentan dan advokasi kepada orang tua anak-anak rentan. Guna dari advokasi ini ialah untuk memberikan pemahaman mengenai penelantaran anak dan apa saja yang dapat dilakukan orang tua dalam peningkatan penghasilan keluarga. 28

Ibid, Ps. 71. Hari Harjanto Setiawan, “Mencegah Menjadi Anak Jalanan dan Mengembalikannya Kepada Keluarga Melalui Model Community Based,” Jurnal Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Vol. 12 No. 02 (Agustus, 2007), hlm. 44-53. 30 Ibid. 31 Ibid. 32 Elysa Nur Tristyana, “Peran Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Rumah Impian dalam Penanganan Anak Jalanan di Kabupaten Sleman Tahun 2016-2018,” (Skripsi Sarjana Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Yogyakarta, 2019), hlm. 3. 29


Contoh dari penerapan ini ialah adanya kerjasama antara pemerintah Kota Yogyakarta dengan Yayasan Rumah Impian sebagai bentuk implementasi Perda Nomor 6 Tahun 2011 tentang Perlindungan Anak yang Hidup di Jalan.33 Dalam melaksanakan kebijakan yang ada dalam perda itu, pemerintah Kota Yogyakarta bekerja sama dengan LSM Yayasan Rumah Impian di bawah naungan Dinas Sosial Provinsi Yogyakarta. Dalam kerja sama tersebut terdapat beberapa bentuk kegiatan seperti Hope Shelter, sebuah program beasiswa dan asrama gratis untuk anak jalanan; Education Center, program pengajaran dan pendidikan formal dan nonformal;

Street Contacting, pelatihan edukatif dengan metode praktek

langsung di jalan; Parents Empowerment, layanan yang diberikan khusus untuk orang tua dari anak jalanan; dan terakhir yaitu Dream Campaign, program yang berisi kampanye kegiatan yang ada di Rumah Impian.34 Adanya kegiatan ini merupakan bentuk kepedulian dan komitmen dari pemerintah daerah DIY menanggulangi masalah sosial anak jalanan ini. Tidak hanya Yogyakarta saja yang menunjukkan kontribusinya dalam penanganan kasus anak jalanan ini, Kota Bontang, Kalimantan Timur juga sudah mengeluarkan perda pada Juli 2011 lalu. Perda Nomor 4 Tahun 2011 tentang Perlindungan Anak Terlantar adalah bukti nyata Kota Bontang. Sama seperti perda Kota Yogyakarta, perda ini juga mengatur tentang pembinaan dan pengawasan anak terlantar, serta penyelenggaraan kegiatan bersama lembaga-lembaga kemasyarakatan yang ada di sana. Terbitnya perda ini sebagai payung hukum penanganan kasus anak jalanan semakin menunjukkan komitmen serius pemerintah dalam terhadap isu anak jalanan. Bentuk dukungan LSM lain terhadap isu anak jalanan sebagai bentuk upaya pencegahan dan advokasi keluarga rentan secara ekonomi juga terjadi di daerah Jakarta Timur, yaitu Rumah Singgah Erbe. Rumah Singgah Erbe ini merupakan inisiasi dari seorang mantan anak jalanan bernama Pak Abdul Rohim. Rumah singgah ini ia didedikasikan kepada anak-anak yang tinggal di Kampung Pemulung. Anak-anak tersebut merupakan anak-anak yang tidak bisa mendapatkan hak dasarnya, seperti pendidikan, kesehatan, dan bermain. Lingkaran kemiskinan keluarganya lah yang membuat anak-anak di kampung tersebut menjadi anak jalanan yang memulung sampah-sampah untuk mendapat sesuap nasi. Respon dari pemerintah setempat yang tidak dapat memutus rantai kemiskinan ini dan menjamin kembali anak-anak mendapatkan hak-hak dasarnya merupakan alasan Rohim membangun rumah singgah ini. Kegagalan pemerintah dan orang tua terhadap pemenuhan dan penjamin

33

Ibid, hlm 4. Ibid, hlm. 5-6.

34


hak anak terlihat dari realitas pada kampung tersebut. Namun, dengan adanya Rumah Singgah Erbe diharapkan dapat memenuhi hak-hak anak jalanan.35 Tidak hanya pencegahan, LSM juga berkontribusi dalam penanganan kasus anak jalanan melalui cara kedua, yaitu Street Based. Street based adalah kegiatan pengawasan dan pendidikan anak-anak jalanan langsung di jalanan.36 Pada kegiatan ini, masyarakat LSM turun ke jalan mendampingi anak-anak dengan memberikan edukasi, mengawasi, dan merangkul mereka sebagai keluarga. Para LSM yang ada menempatkan diri mereka sebagai keluarga kedua atau sahabat sehingga anak-anak jalanan dapat merasakan kehadiran keluarga atau orang terkasih seperti yang mereka rasakan dulu. Kegiatan ini lebih berfokus pada anak-anak jalanan yang sudah tidak mempunyai keluarga atau hidup sebatang kara. Dengan adanya kegiatan ini, diharapkan anak-anak jalanan dapat kembali lagi menjadi anak pada umumnya. Pengembalian anak ini akan diserahkan kepada pemerintahan yang bertugas dalam rehabilitasi, perawatan, dan pemeliharaan anak-anak jalanan. Berlandaskan UUD 1945 Pasal 34 ayat (1) yang menjamin pemeliharaan anak jalanan, pemerintah kemudian merencanakan strategi yang baik dan tepat dalam penanganan kasus anak jalanan. Penanganan kasus anak jalanan ini berupa pemberian rehabilitasi, perawatan, dan pemeliharaan anak-anak jalanan guna mengembalikan kehidupan mereka normal kembali dan mencegah mereka kembali lagi ke jalanan. Dalam melaksanakan pencegahan dan penanganan anak jalanan tersebut, pemerintah membuat Program Kesejahteraan Sosial Anak (PKSA) yang disahkan melalui Keputusan Menteri Sosial Nomor 15A/HUK Tahun 2010.37 Adanya program PKSA ini merupakan instruksi presiden dalam meningkatkan pembangunan nasional pada tahun 2010. PKSA dibagi menjadi 2 kegiatan, yaitu Pemberdayaan Masyarakat dan Pelayanan Sosial Dasar. Pelayanan Sosial Dasar itu sendiri terdiri dari Pemberian Subsidi dan Perlindungan dan Pemberian Perlindungan dan Jaminan Sosial. Usaha rehabilitasi, perawatan, dan pemeliharaan anak-anak jalanan dilakukan dengan cara metode ketiga, yaitu Center Based yang berfokus pada rehabilitasi anak jalanan.38 Center 35

CNN Indonesia, “Asa Pendidikan Untuk Anak Jalanan,” https://www.youtube.com/watch?v=H7yLTC1YUAY, diakses pada 8 Desember 2021. 36 Hari Harjanto Setiawan, “Mencegah Menjadi Anak Jalanan dan Mengembalikannya Kepada Keluarga Melalui Model Community Based,” Jurnal Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Vol. 12 No. 02 (Agustus, 2007), hlm. 44-53. 37 Tundzirawati, Binahayati Rusyidi, & Nurliana Cipta Apsari, “Upaya Peningkatan Kesejahteraan Sosial Anak Jalanan,” Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat, Vol. 2 No.1 (2015), hlm. 1-146. 38 Hari Harjanto Setiawan, “Mencegah Menjadi Anak Jalanan dan Mengembalikannya Kepada Keluarga Melalui Model Community Based,” Jurnal Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Vol. 12 No. 02 (Agustus, 2007), hlm. 44-53.


based adalah upaya yang dilakukan dalam pemulihan kondisi anak jalanan baik fisik maupun psikis. Center based ini merupakan upaya penanganan anak jalanan dalam bentuk kuratif dan represif. Dikatakan kuratif karena pada metode ini terdiri dari program rehabilitasi yang bertujuan untuk mengembalikan norma-norma dan jati diri anak itu yang sama dengan pengertian kuratif, yaitu pengembalian norma yang salah. Dikatakan represif karena pada program ini akan mencegah terjadinya anak jalanan kembali dengan dilakukannya berbagai program yang mendukung seperti rehabilitasi dan rumah singgah. Rehabilitasi merupakan salah satu program kegiatan dalam PKSA. Kegiatan rehabilitasi ini terdiri dari pendirian panti asuhan, Children Center, Rumah Perlindungan Sosial Anak (RPSA), dan Pusat Rehabilitas Sosial.39 Kegiatan rehabilitas sendiri telah diatur dalam Permensos Nomor 4 Tahun 2020 tentang Rehabilitasi Sosial Dasar Bagi Anak Terlantar.40 Pada rehabilitasi ini, setidaknya ada 3 poin yang ingin dicapai. 3 poin itu yaitu perawatan, konseling, dan pendampingan sosia. Dengan mengikuti rehabilitasi baik dalam maupun luar panti asuhan, maka anak-anak mendapat 3 poin itu. Kegiatan rehabilitasi ini dapat dilakukan dengan 2 cara yang masing-masing tetap mengimplementasikan 3 poin itu, yaitu rehabilitasi di luar panti sosial dan di dalam panti sosial.41 Perbedaan dari keduanya ialah tempat pelaksanaan rehabilitasi tersebut. Pertama, rehabilitasi di luar panti sosial dilakukan di keluarga atau masyarakat terdekat anak. Artinya, rehabilitasi ini diperuntukkan bagi anak-anak jalanan yang masih mempunyai orang tua, keluarga, atau wali. Namun, ini tidak menutup kemungkinan anak-anak tersebut untuk tetap bisa menerima rehabilitasi di dalam panti. Kedua, rehabilitasi di dalam panti sosial. Rehabilitasi ini diperuntukkan kepada anak-anak jalanan yang tidak memiliki orang tua, keluarga, atau pun wali yang dapat menyokong kehidupannya, anak jalanan akan melakukan rehabilitasi di dalam panti sosial atau anak jalanan yang masih memiliki orang tua atau keluarga namun rentan terhadap tindak kekerasan atau perilaku yang mengancam nyawa dan martabatnya. Rehabilitasi di dalam panti sosial ini dilakukan paling sedikit 3 bulan. Dengan adanya rehabilitasi ini pemerintah telah menjalankan kewajibannya dalam memelihara anak-anak jalanan atau terlantar. Baik rehabilitasi yang dilakukan di luar atau di dalam panti juga terus dibantu oleh masyarakat yang merupakan pekerja sosial. Dalam 39

Indonesia, Keputusan Menteri Sosial Republik Indonesia tentang Panduan Umum Program Kesejahteraan Sosial Anak, Kepmensos Nomor 15A/HUK/2010. 40 Indonesia, Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia tentang Rehabilitasi Sosial Dasar Bagi Anak Terlantar, Permensos Nomor 4 Tahun 2020. 41 Ibid, Ps. 2 ayat (1).


melakukan rehabilitasi, pemerintah menyediakan sarana-sarana dalam menunjang pemenuhan hak-hak anak. Pengembalian jati diri anak juga merupakan salah satu goal dalam rehabilitas ini. Metode terakhir ini, yaitu center based, akan menghantarkan anak-anak jalanan pada kondisi normal yang seharusnya mereka punya, yaitu pemenuhan dan penjaminan perlindungan hak-hak anak.

KESIMPULAN Sebagai kelompok golongan rentan, anak mudah untuk mendapat kekerasan. Oleh karena itu, dibutuhkan payung hukum yang dapat melindungi anak dan juga memiliki sanksi bagi yang melanggarnya. PBB sebagai organisasi besar dunia merespon cepat kecemasan masyarakat terhadap hal ini. Disahkannya Konvensi Hak Anak Internasional pada 1959 lalu merupakan bukti besar keberpihakan PBB terhadap masa depan generasi bangsa dengan janji memberikan perlindungan dan menjamin pemenuhan 10 hak-hak anak. Keluarnya Keppres Nomor 36 Tahun 1990 dalam merespon konvensi internasional itu menjadi awal bagi perlindungan dan pemenuhan hak-hak anak Indonesia. Hadirnya UU Perlindungan Anak Nomor 23 Tahun 2002 pertama kali semakin memberikan kejelasan payung hukum terhadap isu-isu sosial anak. Munculnya peraturan yang silih berganti harus terus direspon oleh semua masyarakat, baik keluarga, masyarakat umum, dan pemerintah itu sendiri. Semua elemen harus bekerja sama demi menciptakan suasana yang aman dan nyaman bagi anak. Di satu sisi perlindungan terhadap anak sudah tercapai, tetapi masalah sosial lainnya bermunculan sehingga berdampak terhadap pemenuhan hak-hak anak. Salah satu masalah sosial yang ada hingga saat ini adalah munculnya anak-anak jalanan. Munculnya anak jalanan di area publik akan menjadi ancaman bagi diri mereka sendiri mengingat area publik adalah area yang umum dan sering terjadi bentuk tindak kekerasan. Munculnya anak-anak jalanan ini disebabkan oleh kondisi ekonomi keluarga yang tidak stabil sehingga memaksa mereka untuk mencari kehidupan sendiri. Dalam mengatasi masalah ini dibutuhkan peran serta aktif keluarga, pemerintah, dan masyarakat. Peran serta ini dilakukan dengan 3 cara, yaitu community based, street based, dan center based yang memungkinkan anak untuk mendapatkan kembali hak-hak dasarnya. Pengimplementasian program ini dilakukan melalui kebijakan pemerintah, baik pemerintah pusat maupun daerah. Pengimplementasian 8 fungsi keluarga dengan baik dan pemberdayaan masyarakat rentan secara ekonomi adalah yang utama dan pertama dalam menangani kasus ini. Hadirnya lembaga swadaya masyarakat juga merupakan faktor pendorong yang penting


dalam menangani kasus ini. Terakhir, dengan bergerak bersama sama, penanganan terhadap kasus anak jalanan akan berjalan dengan baik sehingga anak jalanan dapat merasakan hak-haknya kembali.


DAFTAR PUSTAKA Artikel Armita, Pipin. “Meningkatkan Kesejahteraan Sosial Anak Jalanan dengan Teori Self Esteem.” Jurnal PKS. Vol. 15 No. 4 (Desember, 2016). Hlm. 377-386. Lestari, Raisa. “Implementasi Konvensi Internasional tentang Hak Anak di Indonesia.” JOM FISIP. Vol. 4 No. 2 (Oktober, 2017). Setiawan, Hari Harjanto. “Mencegah Menjadi Anak Jalanan dan Mengembalikannya Kepada Keluarga Melalui Model Community Based.” Jurnal Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial. Vol. 12 No. 02 (Agustus, 2007) Hlm. 44-53. Tundzirawati, Binahayati Rusyidi, & Nurliana Cipta Apsari, “Upaya Peningkatan Kesejahteraan Sosial Anak Jalanan,” Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat, Vol. 2 No.1 (2015), hlm. 1-146. Skripsi Rukhsal, Syarifah Qurrata Ayyun Kusumaningsih. “Faktor-Faktor Penyebab Eksploitasi Secara Ekonomi Terhadap Anak Jalanan dalam Perspektif Hukum Perlindungan Anak.” Skripsi Sarjana Universitas Brawijaya, Malang, 2015. Tristyana, Elysa Nur. “Peran Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Rumah Impian dalam Penanganan Anak Jalanan di Kabupaten Sleman Tahun 2016-2018.” Skripsi Sarjana Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Yogyakarta, 2019. Undang-Undang Indonesia. Keputusan Menteri Sosial Republik Indonesia tentang Panduan Umum Program Kesejahteraan Sosial Anak. Kepmensos Nomor 15A/HUK/2010. Indonesia, Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia tentang Rehabilitasi Sosial Dasar Bagi Anak Terlantar. Permensos Nomor 4 Tahun 2020. Indonesia. Keputusan Presiden tentang Pengesahan Convention On The Rights Of The Child. Keppres Nomor 36 Tahun 1990. Indonesia. Undang-Undang Dasar 1945. Indonesia. Penjelasan atas Undang-Undang Kesejahteraan Sosial. UU Kesejahteraan Sosial Nomor 11 Tahun 2009. Indonesia. Undang-Undang Perlindungan Anak, UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Indonesia. Undang-Undang Hak Asasi Manusia. UU Nomor 39 Tahun 1999.


Internet Vanis Rossa. “Pandemi Membuat Angka Anak Putus Sekolah Bertambah 10 Kali Lipat.” https://www.suara.com/lifestyle/2021/10/13/174515/pandemi-membuat-angka-anak-p utus-sekolah-bertambah-10-kali-lipat. Diakses pada 2 Desember 2021. Ari Syahril Ramadhan Miris. “Ada Anak Putus Sekolah Jadi Pengemis di Kota Layak Anak.” https://jabar.suara.com/read/2021/11/02/125335/miris-ada-anak-putus-sekolah-jadi-pe ngemis-di-kota-layak-anak?page=1. Diakses pada 2 Desember 2021. Almazmur Siahaan. “Data Dinsos Menunjukkan Jumlan Anak Terlantar Meningkat Selama Pandemi, Mayoritas Usia Sekolah Dasar.” https://medan.tribunnews.com/2021/08/14/data-dinsos-menunjukan-jumlah-anak-terla ntar-meningkat-selama-pandemi-mayoritas-usia-sekolah-dasar?page=1. Diakses pada 2 Desember 2021. Anastasia Anjani. “10 Hak Anak yang Diamanatkan PBB Beserta Penjelasannya.” https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-5507800/10-hak-anak-yang-diamanatkan-pb b-dan-penjelasannya. Diakses pada 8 Desember 2021. Puput

Mutiara. “Penanganan Anak Terlantar Butuh Komitmen.” https://www.kemenkopmk.go.id/penanganan-anak-terlantar-butuh-komitmen. Diakses pada 8 Desember 2021.

OHH Ditjen Rehsos. “Komitmen Kemensos Bantu Anak-anak di Kondisi COVID-19 Melalui Progresa.” https://kemensos.go.id/komitmen-kemensos-bantu-anak-anak-di-kondisi-covid-19-me lalui-progresa. Diakses pada 8 Desember 2021. DATAKU. “Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial dan Sarana Kesejahteraan Sosial.” http://bappeda.jogjaprov.go.id/dataku/data_dasar?id_skpd=5. Diakses pada 8 Desember 2021. Eka

Arifa Rusqiyati. “Yogyakarta Tersu Tekan Keberadaan Anak Jalanan.” https://www.antaranews.com/berita/773060/yogyakarta-terus-tekan-keberadaan-anakjalanan. Diakses pada 8 Desember 2021.

Asni Harismi. “Risiko Penyakit Berdasarkan Klasifikasi Umur Menurut WHO.” https://www.sehatq.com/artikel/risiko-penyakit-berdasarkan-klasifikasi-umur-menurut -who. Diakses pada 8 Desember 2021. Teopilus Tarigan. “Keluarga sebagai Pranata Sosial yang Pertama dan Terutama.” https://www.kompasiana.com/teotarigan/5c38e40512ae940b2d6cfdd5/keluarga-sebag ai-pranata-sosial-yang-pertama-dan-terutama. Diakses pada 8 Desember 2021. Edelweis Lararenjana. “Fungsi Lembaga Keluarga Beserta Pengertian dan Ciri-cirinya, Patut Diketahui.” https://www.merdeka.com/jatim/fungsi-lembaga-keluarga-beserta-pengertian-dan-ciri -cirinya-patut-diketahui-kln.html. Diakses pada 8 Desember 2021. Rahmat Fauzan. “Wow! Makin Banyak Pekerja Informal Akibat Covid-19.”


https://ekonomi.bisnis.com/read/20201105/12/1313914/wow-makin-banyak-pekerja-i nformal-akibat-covid-19. Diakses pada 8 Desember 2021. CNN

Indonesia. “Asa Pendidikan Untuk Anak Jalanan.” https://www.youtube.com/watch?v=H7yLTC1YUAY. Diakses pada 8 Desember 2021.


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.