Tribune Express LK2 - Esai Kritis: Tanah Warisan Adat Tanpa Sertifikat di Sumatera Barat

Page 1


Tanah Warisan Adat Tanpa Sertipikat di Sumatera Barat Dilihat dari Kacamata Hukum Agraria Indonesia Oleh: Ashilah Chaira Yasmin

Sumber: Pinterest, diambil oleh irwansyahst https://pin.it/1LwECxJ

Mayoritas penduduk Provinsi Sumatera Barat berasal dari suku bangsa Minangkabau yang sekaligus menjadi penduduk asli wilayah tersebut. Di tengah pesatnya perubahan dunia saat ini, masyarakat Minangkabau masih dapat mempertahankan adat istiadat mereka secara turun temurun. Salah satu bentuk adat yang masih dipertahankan hingga saat ini adalah sistem pewarisan. Masyarakat Minangkabau memiliki sistem pewarisan yang unik. Harta warisan dalam masyarakat Minangkabau dikategorikan menjadi dua yaitu Harato Pusako Randah (Harta Pusaka Rendah) dan Harato Pusako Tinggi (Harta Pusaka Tinggi). Harato Pusako Randah adalah harta peninggalan orang tua yang berasal dari hasil kerja keras orang tua ahli waris selama hidup atau harta warisan yang asal-usulnya dapat dijelaskan dengan mudah oleh ahli waris. Harato Pusako Randah ini biasanya dibagi antar sesama ahli waris menggunakan hukum Islam atau hukum Negara selayaknya pembagian harta warisan pada umumnya di Indonesia. Sedangkan Harato Pusako Tinggi adalah harta yang diwariskan secara turun temurun dari nenek moyang atau minimal tiga generasi ke atas yang telah digunakan secara bersama oleh anggota keluarga sehingga tidak dipertanyakan lagi


asalnya dan dianggap sebagai Harato Pusako Tinggi dalam keluarga. Harato Pusako Tinggi ini pada umumnya berupa tanah, sawah, ladang, dan rumah gadang.1 Keunikan Harato Pusako Tinggi dari harta warisan lainnya adalah Harato Pusako Tinggi tidak memiliki sertipikat kepemilikan selayaknya tanah atau properti pada umumnya. Sertipikat tanah sendiri merupakan bukti kepemilikan seseorang atau badan hukum atas sebuah bidang tanah yang paling kuat sesuai dengan Undang-Undang No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA).2 Lantas, bagaimana persoalan ini dilihat dari kacamata hukum agraria Indonesia? Untuk menjawab pertanyaan tersebut dan demi ketajaman tulisan maka pembahasan selanjutnya akan berfokus kepada Harta Pusako Tinggi saja. Mengacu pada Pasal 5 UUPA diketahui bahwa hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa adalah hukum adat sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara.3 Hal ini senada dengan isi Pasal 3 UUPA yang menyatakan bahwa pelaksanaan hak ulayat atau hak-hak yang serupa dari masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada haruslah sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara.4 Bertolak dari sini maka hendaklah dijelaskan mengenai sistem pewarisan yang digunakan oleh masyarakat adat Minangkabau terkhususnya untuk Harato Pusako Tinggi. Harato Pusako Tinggi diwariskan menggunakan sistem kewarisan kolektifmatrilineal. Penggunaan sistem pewarisan kolektif-matrilineal ini berkaitan dengan sistem kekerabatan berdasarkan garis keturunan ibu (matrilineal) yang digunakan oleh masyarakat Minangkabau. Sebagaimana yang diungkapkan Hazairin bahwa hukum kewarisan merupakan cerminan dari sistem kekeluargaan.5 Sistem ini adalah sistem yang digunakan oleh masyarakat tradisional Minangkabau sebelum

1

Yelia Nathassa Winstar, “Pelaksanaan Dua Sistem Kewarisan Pada Masyarakat Adat Minangkabau, dalam Jurnal Hukum dan Pembangunan No. 2 (April-Juni, 2007), hlm. 164-167. 2 Indonesia, Undang-Undang Pokok Agraria, UU No. 5 Tahun 1960, LN No. 104 Tahun 1960, TLN No. 2043. 3 Indonesia, Undang-Undang Pokok Agraria, UU No. 5 Tahun 1960, LN No. 104 Tahun 1960, TLN No. 2043, Ps. 5. 4 Indonesia, Undang-Undang Pokok Agraria, UU No. 5 Tahun 1960, LN No. 104 Tahun 1960, TLN No. 2043, Ps. 3. 5 Yelia Nathassa Winstar,”Pelaksanaan Dua Sistem Kewarisan Pada Masyarakat Adat Minangkabau,”dalam Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-37 No.2 (April-Juni 2007), hlm. 159-164.


Islam masuk ke daerah Minangkabau lalu menjadi agama yang dianut oleh mayoritas masyarakat setempat.

Setelah Islam menjadi agama yang dianut

masyarakat Minangkabau, telah terjadi pergeseran sistem pewarisan yang menggolongkan harta warisan menjadi dua seperti yang disinggung pada awal tulisan. Hal ini dilakukan sebagai bentuk penyesuaian dengan hukum kewarisan Islam (faraid).6 Dalam teorinya, hukum kewarisan tradisional Minangkabau mengandung tiga asas dasar yaitu unilateral, kolektif, dan keutamaan. Asas unilateral berarti sistem kewarisan ini hanya menggunakan satu garis keturunan sebagai acuan penentu ahli waris. dalam hal ini, masyarakat Minangkabau menggunakan garis keturunan ibu (matrilineal). Hal ini berarti Harato Pusako Tinggi akan diwariskan pada generasi berikutnya melalui anak perempuan. Selanjutnya, asas kolektif berarti bahwa Harato Pusako Tinggi tersebut diwarisi secara bersama-sama dan tidak dapat dibagi hak kepemilikannya secara individu. Para ahli waris hanya mewarisi hak penggunaan dan pemanfaatannya saja. Asas kolektif ini mengakibatkan kematian atau kelahiran ahli waris tidak mempengaruhi hak kolektif ahli waris lainnya terhadap harta tersebut. Terakhir, asas keutamaan berarti bahwa dalam proses pewarisan ini terdapat posisi-posisi kekerabatan yang lebih diutamakan dibanding posisi yang lain. Penerapan asas ini menyebabkan adanya posisi-posisi yang diutamakan dalam pewarisan harta dibandingkan posisi-posisi lainnya. Keutamaan atas posisi tertentu ini didasarkan atas kedekatan hubungan darah dengan pewaris.7 Dari pembahasan tersebut dapat dimengerti bahwasanya sistem kewarisan dalam masyarakat minangkabau untuk Harato Pusako Tinggi menggunakan sistem pewarisan kolektif-matrilineal yang berarti bahwa harta warisan akan diturunkan kepada ahli waris perempuan berdasarkan garis keturunan ibu dimana harta warisan tersebut adalah milik bersama seluruh anggota keluarga. Dalam sistem pewarisan ini pihak laki-laki dalam keluarga bertindak sebagai pengawas dan pengatur atas

6

Ibid. Yelia Nathassa Winstar,”Pelaksanaan Dua Sistem Kewarisan Pada Masyarakat Adat Minangkabau,” dalam Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-37 No.2 (April-Juni 2007), hlm. 160. 7


penggunaan harta sesuai perannya sebagai niniak-mamak8 dan kepala waris. Kepemilikan atas harta tersebut bersifat kolektif atau bersama-sama sehingga hak milik atas harta tersebut tidak bisa dibagikan kepada masing-masing individu ahli waris. Berdasarkan asas kolektif atau kepemilikan bersama tersebut maka seluruh perlakuan yang akan dikenakan terhadap Harato Pusako Tinggi haruslah mendapat persetujuan seluruh anggota keluarga.9 Tidak dimungkinkannya kepemilikan pribadi atas Harato Pusako Tinggi ini juga ditegaskan dalam ketentuan adat dalam suatu peribahasa yang berbunyi “ Tanah Ulayat di Minangkabau dijua indak dimakan bali, digadai indak dimakan sando.” Arti dari peribahasa tersebut adalah tanah ulayat di Minangkabau (Harato Pusako Tinggi) tidak boleh diperjualbelikan dan tidak boleh pula digadai.10 Ketentuan ini bersifat kuat dan hanya dapat dikesampingkan dalam empat perkara. Pertama, adanya anggota keluarga yang meninggal dunia sehingga perlu biaya yang besar untuk menyelenggarakan jenazah. Kedua, adanya gadis dewasa yang belum menikah dan membutuhkan biaya untuk keperluan pernikahan. Ketiga, apabila rumah gadang yang ditempati mengalami kerusakan dan membutuhkan perbaikan. Keempat, untuk melakukan upacara pengangkatan penghulu kaum atau menurunkan gelar pusaka yang acaranya memerlukan biaya. Pemakaian Harato Pusako Tinggi untuk empat keperluan itupun diusahakan sebagai jalan terakhir yang ditempuh apabila memang tidak ada cara lain lagi untuk mendapatkan uang. Selain itu penggunaannya pun diusahakan untuk digadai bukan dijual.11 Setelah memahami konsep sistem pewarisan Harato Pusako Tinggi ini, dapatlah dimengerti mengapa terjadi fenomena tanah warisan adat tanpa sertipikat di Sumatera Barat. Sistem kepemilikan bersama membuat tanah Harato Pusako Tinggi ini tidak dapat didaftarkan selayaknya tanah dengan hak milik individu pada umumnya karena pendaftaran sertipikat hanya dapat dilakukan atas nama satu

8

Niniak-mamak adalah penghulu adat atau orang tua-tua menurut KBBI Online, diunduh dari https://kbbi.web.id/ninik. 9 Yelia Nathassa Winstar,”Pelaksanaan Dua Sistem Kewarisan Pada Masyarakat Adat Minangkabau,” dalam Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-37 No.2 (April-Juni 2007), hlm. 160-161. 10 Iza Hanifuddin, “Harta Dalam Konsepsi Adat Minangkabau,” dalam Jurnal JURIS Vol. 11 No. 1 (Juni 2012), hlm. 2. 11 Fitrah Ahmad Citrawan, “Konsep Kepemilikan Tanah Ulayat Masyarakat Adat Minangkabau,” dalam Jurnal Hukum dan Pembangunan Vol. 50 No. 30 (2020), hlm. 600.


orang. hal ini tentunya akan memicu perselisihan diantara ahli waris lainnya yang memiliki hak yang sama atas tanah tersebut. Terlebih ketentuan adat yang menyatakan bahwa tanah tersebut tidak dapat dibagi-bagi, dijual, ataupun digadai jika tidak dalam keadaan terdesak dan tanpa persetujuan bersama. Beberapa alasan lain dikemukakan oleh Dosen Hukum Agraria Universitas Andalas, Kurnia Warman, sebagai penyebab munculnya fenomena ini. Pertama, masyarakat tidak merasa perlu untuk menerbitkan sertipikat atas tanah Harato Pusako Tinggi ini karena pada kenyataannya tanah ini pasti ditempati oleh anggota kaum dan tidak pernah kosong, sehingga masyarakat tidak takut tanahnya akan diambil orang lain. Selain itu, tanah ini memang tidak dikomersilkan oleh pemiliknya sebagaimana yang telah disinggung sebelumnya. Oleh sebab itu, penerbitan sertipikat tidak dirasa perlu. Kedua, sulitnya untuk mendapat persetujuan niniak-mamak atau persetujuan kaum. hal ini karena adanya anggapan bahwa dengan menerbitkan sertipikat atas tanah ini akan muncul potensi lepasnya pengawasan dari niniak-mamak dan mudahnya untuk melakukan penyelewengan oleh orang yang namanya dicantumkan di dalam sertipikat tersebut. Ketiga, adanya anggapan bahwa dengan menerbitkan sertipikat atas tanah Harato Pusako Tinggi ini menjadi penyebab hilangnya status Harato Pusako Tinggi itu sendiri karena tanah yang telah disertipikatkan dianggap menjadi milik orang yang namanya dicantumkan dalam sertipikat. Keempat, yang paling unik, munculnya sengketa antara ahli waris atau sesama anggota masyarakat setelah terbitnya sertipikat atas tanah Harato Pusako Tinggi ini. Contoh kasus yang dapat menggambarkan situasi ini adalah ketika tanah Harato Pusako Tinggi didaftarkan atas nama niniak-mamak selaku kepala waris. Di kemudian hari anak dari niniak-mamak ini mengklaim bahwa tanah tersebut adalah milik pribadi ayahnya dan bukan Harato Pusako Tinggi milik kaum. Situasi ini memang bertolak belakang dengan tujuan dari penerbitan sertipikat itu sendiri yakni kepastian hukum.12

12

Kurnia Warman, “Pendaftaran Tanah Milik Pusako Sebagai Tanah Milik Adat Melalui Pendaftaran Tanah Sistematik Lengkap di Sumatera Barat,” (makalah disampaikan pada Focused Group Discussion (FGD) Kondisi Aktual Penguasaan Tanah Ulayat dan Implikasinya Terhadap Pengakuan dan Pendaftarannya, diselenggarakan oleh Pusat Kajian Hukum Adat Djojodigoeno, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional, dan Perkumpulan HuMa, Yogyakarta, 23 April 2019.), hlm 17-20.


Kondisi tanah Harato Pusako Tinggi tanpa sertipikat mungkin tidak menjadi masalah pada zaman dahulu sebelum hukum agraria Indonesia secara resmi mengatur tentang kepemilikan atas tanah. Namun, hal tersebut tidak sesuai lagi dengan kondisi Negara Indonesia yang sistem hukumnya telah mengatur masalah kepemilikan tanah ini. Dasar hukum mengenai kepemilikan tanah ini tertuang dalam beberapa peraturan berikut. Pertama, Pasal 20 Ayat (1) UUPA menyatakan: bahwa “hak milik merupakan hak yang bersifat turun-temurun, terkuat, dan penuh atas suatu tanah”.13 Berikutnya, pada Pasal 19 UUPA juga dinyatakan bahwa untuk memberikan jaminan kepastian hukum maka diadakanlah pendaftaran tanah oleh pemerintah.14 Selanjutnya, Pasal 1 Angka 20 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah menyatakan bahwa sertipikat merupakan bukti hak atas tanah yang diakui secara hukum. 15 Dari beberapa dasar hukum tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwasanya sertipikat hak milik menjadi bukti kepemilikan seseorang atau badan hukum atas sebidang tanah tertentu yang terkuat, memiliki kepastian hukum dan dilindungi oleh hukum. Selain untuk memberikan kepastian hukum kepada pemilik, pendaftaran tanah juga memiliki fungsi untuk memudahkan penyediaan informasi bagi pihak-pihak yang berkepentingan termasuk pemerintah dalam upaya melakukan pembangunan serta untuk mencapai tertib administrasi pertanahan.16 Meskipun demikian, dalam konteks Harato Pusako Tinggi di Sumatera Barat, kekuatan sertipikat tadi justru dapat menimbulkan permasalahan tersendiri apabila tidak ditangani dengan baik dan diharmonisasi dengan ketentuan adat. Kondisi tanah yang tanpa sertipikat menggoda pihak-pihak yang mementingkan kepentingan pribadi untuk melakukan pendaftaran tanah secara diam-diam tanpa sepengetahuan dan persetujuan kaum agar mendapatkan sertipikat yang konon kabarnya memberikan kepastian dan perlindungan hukum bagi pemiliknya.

13

Indonesia, Undang-Undang Pokok Agraria, UU No. 5 Tahun 1960, LN No. 104 Tahun 1960, TLN No. 2043, Ps. 20. 14 Indonesia, Undang-Undang Pokok Agraria, UU No. 5 Tahun 1960, LN No. 104 Tahun 1960, TLN No. 2043, Ps. 19. 15 Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Pendaftaran Tanah, PP No. 24 Tahun 1997, LN No. 59 Tahun 1997, Ps. 1. 16 Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Pendaftaran Tanah, PP No. 24 Tahun 1997, LN No. 59 Tahun 1997, Ps. 3 dan 4.


Satu contoh kasusnya terjadi di Kabupaten Tanah Datar. Tepatnya di Nagari Padang Laweh Malalo, Kecamatan Batipuh Selatan, Kabupaten Tanah Datar. Pada Senin, 12 Oktober 2020 masyarakat Malalo melakukan pembakaran sepeda motor di daerah perbatasan Padang Laweh Malalo dengan wilayah Nagari Sumpur sebagai bentuk protes akibat diterbitkannya sertipikat atas tanah seluas 60 Hektar yang diketahui sebagai tanah ulayat atas nama Isna. Diduga sebagian dari tanah tersebut telah dijual kepada seorang investor di Jakarta. Seorang tokoh pemuda setempat pertama Apriadi memberikan tanggapannya saat diwawancarai oleh perwakilan dari media Rakyat Sumbar. Ia menerangkan bahwa masyarakat setempat tidak terima atas penerbitan sertipikat kepemilikan tanah yang dilakukan secara sepihak tersebut. Kasus ini lalu dibawa ke Pengadilan Negeri Padang Panjang.17 Dari kasus ini terlihat dilema penerbitan sertipikat hak milik atas Harato Pusako Tinggi atau tanah ulayat ini. Di satu sisi apabila tidak dilakukan pendaftaran maka tidak ada kepastian hukum bagi para pemilik sah. Namun apabila didaftarkan akan

berpotensi

menimbulkan

konflik

dalam

masyarakat

yang

masih

mempertahankan ketentuan adat Minangkabau. Pemerintah pusat maupun daerah sebenarnya telah menaruh perhatian dan upaya terhadap permasalahan yang terjadi di Sumatera Barat ini. Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Sofyan Djalil, memberikan himbauan kepada Gubernur Sumatera Barat untuk mempercepat pelaksanaan target sertifikasi tanah di Minangkabau yang hingga saat ini masih banyak yang belum tersertifikasi karena tersandung persoalan status tanah ulayat. Dalam acara penyerahan sertipikat tanah secara virtual pada Jumat, 7 Oktober 2020, Sofyan sempat berkata, “Memang tantangan bagi Sumatera Barat adalah status tanah ulayat. Barangkali harus kita pikirkan sebuah cara. Karena kalau masyarakat memiliki tanah ulayat namun tidak bisa dikeluarkan sertipikat hak milik individu karena kepemilikan tanah ulayat bersifat kolektif, maka masyarakat tidak bisa melakukan peminjaman uang ke bank.” Ia menyayangkan hal ini karena menurutnya masyarakat Minang merupakan entrepreneur bangsa Indonesia, tapi banyak yang terkendala untuk pengadaan modal. Ia juga menyayangkan kenyataan 17

Rakyat Sumbar, “ Diklaim Sepihak, Masyarakat Malalo Pertanyakan Sertifikat Tanah Ulayat,” https://rakyatsumbar.id/diklaim-sepihak-masyarakat-malalo-pertanyakan-sertifikat-tanahulayat/, diakses pada 03 Desember 2021.


bahwa masyarakat memiliki tanah tetapi tidak bisa dijaminkan ke bank untuk mendapatkan uang sebagai modal usaha. Meski telah mengeluarkan pendapat sedemikian rupa, ia pun mengakui bahwa ia tidak mengetahui dengan pasti cara untuk menyelesaikan permasalahan ini dan menyerahkannya kepada pemerintah daerah Sumatera Barat.18 Setidaknya perhatian beliau dapat menjadi katalisator bagi pihak-pihak berwenang agar menyegerakan perumusan solusi yang dapat diterima semua pihak. Terkait hal ini sebenarnya pemerintah daerah Sumatera Barat telah mengeluarkan Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat Nomor 6 Tahun 2008 Tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya. Dalam Pasal 8 Perda ini diatur mengenai pendaftaran tanah ulayat. Untuk tanah ulayat ini didaftarkan atas nama niniak-mamak sebagai perwakilan dari kaum.19 Namun hal ini tidak serta merta menyelesaikan masalah. Peraturan ini dinilai memberikan ruang niniak-mamak untuk menyalahgunakan sertipikat tersebut untuk kepentingan pribadinya atau disalahgunakan oleh keturunannya yang tidak berhak atas tanah ulayat tersebut karena tanah itu merupakan hak kaum si niniak-mamak (saudara perempuan niniakmamak).20 Persoalan tanah warisan adat tanpa sertipikat di Minangkabau ini memanglah rumit dan membingungkan. Di satu sisi dengan semakin berkembangnya sistem hukum Indonesia sertipikat kepemilikan tanah menjadi barang bukti yang terkuat atas kepemilikan sebidang tanah. Hal itu berlaku di seluruh wilayah Indonesia termasuk di Sumatera Barat. Namun pada kenyataanya, di Sumatera Barat terdapat hukum adat yang mengatur kepemilikan tanah dengan cara yang tidak sejalan dengan peraturan pemerintah Indonesia dimana dalam ketentuan hukum adat Minangkabau tidak dimungkinkan adanya kepemilikan secara individu. Oleh karenanya tanah Harato Pusako Tinggi tidak dapat disertifikatkan, karena ketentuan sertifikat di Indonesia haruslah mencantumkan nama perorangan atau badan 18

Detik Finance, “ Sofyan Minta Tanah Ulayat di Sumbar Segera Disertifikasi,” https://finance.detik.com/properti/d-5088367/sofyan-minta-tanah-ulayat-di-sumbar-segeradisertifikasi, diakses pada 4 Desember 2021. 19 Indonesia, Provinsi Sumatera Barat, Peraturan Daerah tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya, Perda Prov No. 6 Tahun 2008, Ps. 8. 20 Pengadilan Tinggi Agama Jambi, “Kepastian Hukum Bagi Tanah Ulayat Masyarakat Minangkabau di Sumatera Barat,” http://pta-jambi.go.id/11-artikel/2013-kepastian-hukum-bagitanah-ulayat-masyarakat-minangkabau-di-sumatera-barat-10-12-2014, diakses 03 Desember 2021.


hukum. Hal ini tentu menjadi dilema bagi masyarakat untuk mengikuti ketentuan hukum adat atau hukum negara. Solusi yang dapat ditawarkan dari permasalahan ini salah satunya adalah mengadakan satu jenis sertipikat khusus untuk tanah ulayat di Sumatera Barat yang dapat menjembatani hukum agraria Indonesia dengan hukum adat Minangkabau. Untuk melaksanakan ini tentunya perlu diadakan pertemuan antar pihak-pihak yang berwenang dan berkepentingan diantaranya niniak-mamak, pemuka adat, pemuda daerah, pemerintah daerah, dan ahli hukum yang diusahakan berasal dari anak daerah itu sendiri agar dapat memahami kedua perspektif hukum agraria Indonesia dan hukum adat dengan lebih baik dan mendalam. Selanjutnya, apabila telah dicapai kesepakatan yang dapat diterima oleh semua pihak, maka hendaklah kesepakatan itu disahkan dalam sebuah peraturan daerah yang memberikan kejelasan mengenai prosedur pendaftaran dan kekuatan hukum tanah ulayat atau Harato Pusako Tinggi ini. Setelah itu, hendaklah peraturan tersebut disosialisasikan secara masif, terang, jelas, dan menggunakan pendekatan yang dapat diterima oleh masyarakat setempat agar tidak menimbulkan konflik. Mengingat perkembangan kehidupan masyarakat dan sistem tata hukum di Indonesia, maka permasalahan banyaknya tanah tanpa sertipikat karena tersandung ketentuan adat di Sumatera Barat ini harus dicari jalan keluarnya. Demi menjamin kepastian hukum atas tanah maka sertpikat hak milik haruslah diterbitkan. Penerbitan sertipikat hak milik ini juga akan memudahkan pemerintah dan masyarakat untuk mengelola tanah tersebut. Namun, kehadiran hukum adat mengenai kepemilikan tanah memiliki perbedaan yang mencolok dengan hukum agraria Indonesia, dimana pada kenyataannya hingga saat ini masih dijalankan secara langsung oleh masyarakat secara bersama-sama sehingga diperlukannya pertimbangan oleh para perumus kebijakan untuk mengatur hal ini. Jalan keluar terbaik adalah dengan membuat peraturan daerah khusus untuk menangani masalah penerbitan sertipikat hak milik Harato Pusako Tinggi yang disesuaikan dengan kearifan lokal yang hidup di masyarakat setempat agar dapat menghadirkan manfaat yang ingin didapatkan dari kedua hukum baik itu hukum agraria maupun hukum adat.


DAFTAR PUSTAKA


PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Indonesia. Undang-Undang Pokok Agraria. UU No. 5 Tahun 1960. LN No. 104 Tahun 1960. TLN No. 2043. Indonesia. Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat Tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya. Perda Provinsi Sumatera Barat No. 6 Tahun 2008. Indonesia. Peraturan Pemerintah tentang Pendaftaran Tanah. PP No. 24 Tahun 1997. LN No. 59 Tahun 1997.

JURNAL Winstar,Yelia Nathassa. ”Pelaksanaan Dua Sistem Kewarisan Pada Masyarakat Adat Minangkabau.” Hukum dan Pembangunan Tahun ke-37 No.2 (April-Juni 2007). Hlm. 154-186. Citrawan, Fitrah Ahmad. “Konsep Kepemilikan Tanah Ulayat Masyarakat Adat Minangkabau.” Hukum dan Pembangunan Vol. 50 No. 30 (2020). Hlm. 586-602. Hanifuddin, Iza. “Harta Dalam Konsepsi Adat Minangkabau.” dalam Jurnal JURIS Vol. 11 No. 1 (Juni 2012). hlm. 1-13.

MAKALAH Warman, Kurnia. “Pendaftaran Tanah Milik Pusako Sebagai Tanah Milik Adat Melalui Pendaftaran Tanah Sistematik Lengkap di Sumatera Barat.” Makalah disampaikan pada Focused Group Discussion (FGD) Kondisi Aktual Penguasaan Tanah Ulayat dan Implikasinya Terhadap Pengakuan dan Pendaftarannya,

diselenggarakan

oleh

Pusat

Kajian

Hukum

Adat

Djojodigoeno, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional, dan Perkumpulan HuMa, Yogyakarta, 23 April 2019. INTERNET Pengadilan Tinggi Agama Jambi. “Kepastian Hukum Bagi Tanah Ulayat Masyarakat Minangkabau di Sumatera Barat.” http://pta-jambi.go.id/11-


artikel/2013-kepastian-hukum-bagi-tanah-ulayat-masyarakat-minangkabaudi-sumatera-barat-10-12-2014. Diakses 03 Desember 2021. Rakyat Sumbar. “ Diklaim Sepihak, Masyarakat Malalo Pertanyakan Sertifikat

Tanah

Ulayat.”

https://rakyatsumbar.id/diklaim-sepihak-

masyarakat-malalo-pertanyakan-sertifikat-tanah-ulayat/.

Diakses

03

Desember 2021. Detik Finance. “ Sofyan Minta Tanah Ulayat di Sumbar Segera Disertifikasi,” https://finance.detik.com/properti/d-5088367/sofyan-minta-tanah-ulayat-disumbar-segera-disertifikasi, diakses pada 04 Desember 2021.


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.