Urgensi dan Tantangan Hukum Pelaksanaan Online Dispute Resolution (ODR) dalam Menyelesaikan Sengketa E-Commerce di Indonesia Oleh: Nafila Andriana Staf Bidang Literasi dan Penulisan LK2 FHUI
Dewasa ini, teknologi informasi berkembang begitu pesat. Hampir seluruh aktivitas manusia saat ini tidak bisa lepas dari bantuan teknologi. Ditambah lagi dengan kehadiran pandemi Coronavirus Disease-19 (Covid-19) yang mengharuskan masyarakat untuk tidak banyak beraktivitas di luar rumah, turut serta memasifkan perkembangan serta menambah jumlah pengguna teknologi informasi. Salah satu aktivitas manusia yang semakin bergantung pada teknologi yaitu belanja online melalui e-commerce atau tempat perdagangan elektronik. Bahkan, Bambang PS Brodjonegoro, Menteri Riset dan Teknologi/Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (Menristek/Kepala BRIN), menyebutkan bahwa belanja online merupakan tren pertama dari sepuluh tren teknologi baru dalam tatanan baru kehidupan baik pada saat masa pandemi Covid-19 maupun sesudah pandemi Covid-19 berakhir.1 Di Indonesia, belanja online telah menjadi kebiasaan bagi sebagian besar masyarakat. Hal ini dibuktikan dengan data dari Bank Indonesia yang menyatakan bahwa pada triwulan I dan II tahun 2021, transaksi e-commerce tumbuh sebesar 63,4 persen menjadi Rp186,7 triliun. Bank Indonesia juga memproyeksikan bahwa transaksi e-commerce akan terus meningkat hingga 48,4 persen sepanjang tahun 2021.2 Karena pertumbuhan yang besar tersebut, tidak mengherankan apabila hasil survei We Are Social pada April 2021 menyebut bahwa Indonesia adalah negara dengan pengguna e-commerce tertinggi. Penelitian tersebut juga menyebutkan bahwa 88,1% pengguna internet di Indonesia memakai layanan e-commerce untuk membeli sesuatu dalam beberapa bulan terakhir.3 Tingginya jumlah transaksi e-commerce tersebut tentunya berpotensi menimbulkan berbagai sengketa, baik antara sesama pelaku usaha (Business to Business/B2B) maupun antara
1
Rosi Oktari, “Sepuluh Tren Teknologi Selama Pandemi,” https://indonesiabaik.id/infografis/10-trenteknologi-selama-pandemi, diakses 26 Agustus 2021. 2 Bank Indonesia, Laporan Kebijakan Moneter Triwulan II 2021, (Jakarta: Bank Indonesia, 2021), hlm. 4. 3 Andrea Lidwina, “Penggunaan E-Commerce Indonesia Tertinggi di Dunia,” https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2021/06/04/penggunaan-e-commerce-indonesia-tertinggi-di-dunia, diakses 26 Agustus 2021.
pelaku usaha dengan konsumen (Business to Consumer/B2C).4 Permasalahan yang kerap terjadi dalam transaksi e-commerce meliputi: (1) deskripsi produk tidak sesuai; (2) permintaan untuk menyelesaikan transaksi dan menerima pembayaran; (3) status pembayaran; (4) pengembalian dana pembeli; (5) pelanggaran hak kekayaan intelektual; (6) barang rusak dalam perjalanan; (6) pengiriman terlalu lama; (7) pedagang tidak konfirmasi; (8) barang tidak bisa dibeli secara cash on delivery; (9) barang kosong; (10) barang tidak sesuai fungsi.5 Penyelesaian dari permasalah tersebut dapat diselesaikan baik melalui jalur litigasi di pengadilan umum maupun melalui jalur non-litigasi berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa.6 Macam jalur non-litigasi yang bisa ditempuh oleh para pihak dalam sengketa di atas meliputi penyelesaian yang diinisiasi pelaku usaha secara internal maupun yang menggunakan pihak ketiga sesuai dengan Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (UU AAPS).7 Bahkan dalam hal sengketa yang berkaitan dengan perlindungan konsumen, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UU PK) menyebutkan bahwa Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) dapat menjadi alternatif penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara non-litigasi.8 Namun, akhir-akhir ini banyak muncul pertanyaan mengapa penyelesaian sengketa dalam transaksi e-commerce yang terjadi secara online tidak dilakukan secara online juga? Menanggapi pertanyaan tersebut, mekanisme penyelesaian sengketa non-litigasi secara online disebut dengan Online Dispute Resolution (ODR). Hingga saat ini, di Indonesia belum ada peraturan yang mengatur mengenai pelaksanaan ODR. Dari hal tersebut, timbul pertanyaan kembali, apakah Indonesia membutuhkan ODR sebagai mekanisme penyelesaian sengketa non-litigasi? dan apabila hal tersebut dibutuhkan, apa saja yang menjadi tantangan hukum penerapan ODR di Indonesia?
Maka dari itu, pada bagian selanjutnya, Penulis akan
mengelaborasi pertanyaan-pertanyaan tersebut.
4
Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, “Mendorong Online Dispute Resolution untuk Perluasan Akses Keadilan Bagi Konsumen,” Siaran Pers Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (18 Juni 2021), hlm. 1. 5 Rofi Uddarojat, “Praktik Penyelesaian Sengketa dalam Perdagangan Elektronik,” (materi disampaikan pada Diskusi Publik tentang Digitalisasi dan Akses Konsumen terhadap Keadilan: Online Dispute Resolution, Jakarta, 16 Juni 2021), hlm. 6. 6 Indonesia, Undang-Undang Perlindungan Konsumen, UU No. 8 Tahun 1999, LN No. 22 Tahun 1999, TLN No. 3821, Ps. 45. 7 Indonesia, Undang-Undang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa., UU No. 30 Tahun 1999, LN No. 138 Tahun 1999, TLN No. 3872, Ps. 1. 8 Ibid., Ps. 49.
Perlu diketahui bahwa ODR merupakan implementasi daring dari mekanisme alternatif penyelesaian sengketa melalui sarana konferensi video, surat elektronik, chat feature, automated system, bahkan gabungan dari fitur-fitur tersebut.9 Pada dasarnya, ODR sama dengan alternatif penyelesaian sengketa hanya saja pelaksanaannya dilakukan secara daring.10 Van den Heuvel menyebutkan bahwa terdapat empat mekanisme pelaksanaan ODR, yaitu (1) penyelesaian daring (online settlement) yang menggunakan sistem keahlian untuk menyelesaikan klaim finansial secara otomatis; (2) arbitrase daring yang menggunakan berbagai fitur teknologi untuk menyelesaikan sengketa dengan bantuan arbiter/pihak ketiga; (3) resolusi daring terhadap pengaduan konsumen yang digunakan untuk menyelesaikan permasalahan pengaduan dari konsumen; dan (4) mediasi daring yang menggunakan fitur teknologi untuk menyelesaikan sengketa dengan bantuan mediator/pihak ketiga.11 Mekanisme ODR ini telah diterapkan di beberapa negara, seperti Amerika dan China. Di Amerika terdapat salah satu lembaga arbitrase yang telah menyediakan layanan ODR yaitu American Arbitration Association (AAA). AAA dibentuk berdasarkan Federal Arbitration Act pada tahun 1926 dengan tujuan membantu pengimplementasian arbitrase sebagai “out-of-court solution” dalam menyelesaikan suatu sengketa.12 Pelayanan ODR dari AAA dapat diakses melalui tools “Online Services” pada website AAA yaitu www.adr.org. Melalui tools tersebut, klien dapat memberikan pelayanan pengajuan klaim secara online, melakukan pembayaran, memanajemen sengketa secara online, mengakses peraturan dan prosedur online, pertukaran dokumen secara elektronik, dan memilih pihak netral (dalam mediasi atau arbitrase) untuk menyelesaikan sengketa yang diajukannya.13 Kemudian pada website itu pula, para pihak dapat mengakses peraturan-peraturan saat pelaksanaan ODR serta mengetahui biaya untuk menyelesaikan sengketanya.14 Tahapan melakukan ODR pada website tersebut pun cukup mudah, dimulai dengan pendaftaran para pihak dengan pengisian formulir mengenai identitas para pihak dan pengisian besar gugatan bagi penggugat serta melampirkan dokumen-dokumen yang berkaitan dengan sengketa, setelah itu AAA akan menghubungi para pihak mengenai
9
Ethan Katsh, ”Online Dispute Resolution: Some Implications for the Emergence of Law in Cyberspace,” Lex Electronica 10 no. 3 (2006), hlm. 2. 10 Pablo Cortes, Online Dispute Resolution for Consumers in the European Union, (Abingdon: Routledge, 2011), hlm. 54. 11 Esther van den Heuvel, Online Dispute Resolution as A Solution to Cross-Border E-Disputes: An Introduction to ODR, http://www.oecd.org/internet/consumer/1878940.pdf, hlm. 11. 12 Meline Gerarita Sitompul, M. Syaifuddin, dan Annalisa Yahanan, “Online Dispute Resolution (ODR): Prospek Penyelesaian Sengketa E-Commerce di Indonesia,” Jurnal Renaissance 1 no. 2 (Agustus 2016), hlm. 82. 13 American Arbitration Association, “Home”, www.adr.org, diakses 28 Agustus 2021. 14 American Arbitration Association, “AAA Rules, Forms, and Fees”, www.adr.org/rules, diakses 28 Agustus 2021.
siapa yang menjadi pihak yang netral dan tahapan-tahapan untuk memulai penyelesaian sengketa secara online.15 Hasil putusan ODR yang diselenggarakan oleh AAA ini bersifat final dan mengikat.16 Sedangkan di China, ODR berada di bawah lembaga China International Economic and Trade Arbitration Commission (CIETAC) berdasarkan regulasi mandiri yang dibuatnya yaitu CIETAC Online Arbitration Rules (CIETAC OAR). Untuk pelayanan ODR itu sendiri, CIETAC membentuk badan khusus tersendiri yaitu CIETAC ODR Center. Adapun prosedur ODR pada CIETAC dimulai dengan pendaftaran perkara, pemilihan arbiter, pembuatan putusan, penyerahan dokumen, musyawarah arbitrator,serta pemberitahuan akan adanya putusan dilakukan secara online dan form telah disediakan di dalam website.17 China membagi ODR ke dalam beberapa kelompok platform, yaitu (1) Professional ODR, Platform ODR khusus dan profesional yang disediakan khusus untuk ODR itu sendiri oleh sektor privat, misalnya CIETAC’s Domain Name Dispute Resolution Center and Guangzhou Arbitration Commission’s; (2) ODR yang didirikan oleh pengadilan/tribunal, contohnya Chengdu Intermediate People’s Court, Hefei Intermediate People’s Court dan Shanghai Maritime Court; (3) ODR yang didirikan oleh lembaga administratif negara, contohnya Chongqing Judicial Bureau bersama Chongqing Broadcasting Group; (4) dan ODR yang didirikan oleh e-commerce, contohnya Taobao, Jingdong dan Gome.18 Melihat data pengguna e-commerce di Indonesia yang terus bertumbuh, maka bukanlah tidak mungkin terjadi sengketa dan kemudian pihak yang dirugikan melayangkan gugatan. Berdasarkan Pasal 39 UU No.19 Tahun 2016 tentang perubahan atas UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) menyatakan bahwa setiap orang dapat mengajukan gugatan kepada pihak yang merugikannya berdasarkan peraturan perundangundangan. Artinya, gugatan tersebut dapat dilakukan melalui jalur litigasi atau non-litigasi. Secara litigasi, gugatan sengketa bisnis dilayangkan kepada pengadilan. Meria Utama mengatakan bahwa penyelesaian sengketa di tingkat pengadilan negeri berkisar sekitar enam bulan, pada pengadilan tinggi berkisar sekitar satu tahun, dan pada tingkat Mahkamah Agung berkisar sekitar tiga sampai empat tahun dalam penyelesaian perkara.19 Maka dari itu, dapat
15
Ibid. Sitompul, et al, “Online Dispute Resolution (ODR)” hlm. 88. 17 Ibid., hlm. 83 18 Zhengmin Lu dan Xinyu Zu, “Study on the Online Dispute Resolution System in China,” Advances in Engineering Research 129 (2017), hlm. 2. 19 Meria Utama, “Arbitrase Selesaikan Sengketa Dengan Cepat,” www.fh.unsri.ac.id/index.php/posting/48, diakses 28 Agustus 2021. 16
diketahui bahwa gugatan yang dilayangkan ke pengadilan memiliki proses yang cukup lama. Untuk ranah bisnis, tentunya waktu yang sangat lama ini menimbulkan ketidakpastian, biaya yang tinggi, serta ketidakstabilan bisnis yang sedang bersengketa. Hal inilah yang menyebabkan penyelesaian sengketa non-litigasi lebih efektif dan efisien dalam hal menyelesaikan sengketa bisnis. Sengketa yang timbul dari transaksi elektronik pada e-commerce merupakan ranah perdagangan, maka penyelesaian non-litigasi pada sengketa ini berdasar kepada UU AAPS. Dalam Pasal 4 ayat (3) UU AAPS disebutkan bahwa arbitrase dapat dilakukan dengan pertukaran surat, maka pengiriman teleks, telegram, faksimili, e-mail atau dalam bentuk sarana komunikasi lainnya dengan syarat disertai dengan suatu catatan penerimaan oleh para pihak. Selain itu, pada Pasal 72 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 80 tahun 2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PP PMSE) menyebutkan bahwa apabila terjadi sengketa dalam PMSE, para pihak dapat menyelesaikan sengketa melalui pengadilan atau melalui mekanisme penyelesaian sengketa lainnya. Kemudian pada Pasal 72 ayat (2) ditambahkan bahwa penyelesaian sengketa PMSE dapat juga diselesaikan secara elektronik atau online dispute resolution. PP PMSE ini secara eksplisit mengakui keberadaan ODR untuk segera diterapkan. Kedua dasar tersebut dapat dijadikan dasar legalitas bahwa ODR dapat diterapkan di Indonesia. Penerapan ODR di Indonesia juga mendapat dorongan dari dunia internasional akibat meningkatnya transaksi cross-border. Seperti halnya yang kebijakan yang dikeluarkan oleh ASEAN. Pada sidang ASEAN Committee on Consumer Protection (ACCP) ke-21 yang dilaksanakan pada tanggal 16-18 November 2020, sidang tersebut menyetujui rencana implementasi The ASEAN Strategic Action Plan for Consumer Protection (ASAPCP) 20162025. Salah satu luaran yang ditargetkan di ASAPCP adalah pembentukan ODR secara nasional di masing-masing negara anggota ASEAN terlebih dahulu dari pembentukan ASEAN ODR.20 Setelah itu dengan adanya ODR pada masing-masing negara anggota ASEAN diharapkan dapat membangun mekanisme penyelesaian sengketa dan investigasi tanpa batas.21 Selain itu, negara-negara dengan ekonomi yang kuat di dunia seperti Amerika, China, negara-
20
Direktorat Jenderal Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga Kementerian Perdagangan, “Perkembangan Online Dispute Resolution (ODR) di Indonesia,” (materi disampaikan pada Diskusi Publik tentang Digitalisasi dan Akses Konsumen terhadap Keadilan: Online Dispute Resolution, Jakarta, 16 Juni 2021), hlm. 6. 21 Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara, The Asean Strategic Action Plan for Consumer Protection (ASAPCP) 2016-2025: Meeting The Challenges of a People-Centered ASEAN Beyond 2015, hlm. 4.
negara di Eropa, Australia, dan United Kingdom telah menerapkan mekanisme ODR ini.22 Karena Indonesia kerap melakukan transaksi e-commerce dengan negara-negara tersebut, maka Indonesia juga harus segera menerapkan ODR pula. Selain mendapat dukungan dari UU AAPS, PP PMSE, serta dukungan internasional, dilihat dari sisi perlindungan konsumen, ODR juga dapat meningkatkan kepercayaan diri konsumen dalam bertransaksi di e-commerce.23 Hal tersebut dapat terjadi karena konsumen berpikir bahwa telah ada penyelesaian sengketa yang jelas dan mudah apabila nantinya mereka terlibat dalam sengketa transaksi pada e-commerce. Mereka juga akan lebih aktif memperjuangkan hak-haknya sebagai konsumen. Masih dalam hal perlindungan konsumen, sebenarnya UU PK telah menggagas lembaga penyelesaian sengketa khusus mengenai perlindungan konsumen. Lembaga penyelesaian sengketa tersebut dalam hal perlindungan konsumen adalah BPSK yang diatur dalam Pasal 45 UU PK. Pada dasarnya sengketa akibat transaksi e-commerce merupakan ranah perlindungan konsumen, tetapi ODR jelas masih dibutuhkan walaupun telah ada lembaga BPSK. Hal ini disebabkan terdapat beberapa permasalahan yang dihadapi oleh BPSK yang bisa diselesaikan dengan penerapan ODR. Tulus Abadi, Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, menyebutkan permasalahan tersebut meliputi (1) keberadaan BPSK sebagai alternatif penyelesaian sengketa perlindungan konsumen belum secara optimal memberikan kemudahan akses bagi konsumen; (2) jumlah BPSK yang terbatas dan hanya berada pada area kota-kota tertentu di Indonesia; dan (3) terkendala masalah geografis, biaya, dan infrastruktur. Bahkan beliau perlu menyebutkan bahwa perlu optimalisasi BPSK melalui revisi UU PK dan butuhnya BPSK berwajah virtual (ODR).24 Kabar baiknya, beberapa situs e-commerce di Indonesia telah memiliki kebijakan ODR sendiri dalam hal melayani konsumennya. Seperti layanan pengaduan pesanan tidak diterima, pengembalian pesanan, pembatalan pesanan, dan lain-lain. Berdasarkan kelompok platform ODR di China seperti yang telah disebutkan sebelumnya, ODR pada e-commerce seperti ini
22
Tim Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, “Studi atas Online Dispute Resolution di Indonesia Terkait Digitalisasi dan Akses Terhadap Keadilan Bagi Konsumen,” (materi disampaikan pada Diskusi Publik tentang Digitalisasi dan Akses Konsumen terhadap Keadilan: Online Dispute Resolution, Jakarta, 16 Juni 2021), hlm. 12. 23 Direktorat Jenderal Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga Kementerian Perdagangan, “Perkembangan Online Dispute Resolution (ODR) di Indonesia,” (materi disampaikan pada Diskusi Publik tentang Digitalisasi dan Akses Konsumen terhadap Keadilan: Online Dispute Resolution, Jakarta, 16 Juni 2021), hlm. 6. 24 Tulus Abadi, “Fenomena Ekonomi Digital dan Urgensi Online Dispute Resolution,” (materi disampaikan pada Diskusi Publik tentang Digitalisasi dan Akses Konsumen terhadap Keadilan: Online Dispute Resolution, Jakarta, 16 Juni 2021), hlm. 10.
masuk ke dalam kelompok keempat. Dengan demikian, alangkah lebih baiknya apabila Indonesia memiliki regulasi yang mengatur mengenai ODR meliputi bagaimana pembagian kelompok platform ODR seperti yang China terapkan. Hal ini tentunya untuk mengantisipasi potensi forum shopping yang akan terjadi dan mengantisipasi penyelesaian sengketa tidak integratif satu sama lain.25 Dari pemaparan di atas, dapat dilihat bahwa sudah saatnya Indonesia menerapkan mekanisme ODR sebagai mekanisme penyelesaian sengketa e-commerce. Namun, untuk dapat menerapkan mekanisme ODR tersebut, terdapat beberapa tantangan hukum yang akan dihadapi. Tantangan hukum tersebut meliputi belum adanya regulasi yang jelas mengenai ODR, tantangan kelembagaan, tantangan eksekusi putusan, dan perlindungan data pribadi. Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, UU AAPS melalui Pasal 4 ayat (3) UU AAPS dan PP PMSE melalui Pasal 72 ayat (2) PP PMSE mendukung penerapan ODR pada transaksi e-commerce di Indonesia. Namun, UU PK belum satu pandang dengan UU AAPS dan PP PMSE. Memang pada Pasal 45 ayat (2) UU PK diatur bahwa konsumen dapat melakukan penyelesaian sengketa dengan jalur litigasi dan non-litigasi, tetapi tidak menyebutkan dengan gamblang bahwa penyelesaian sengketa yang dipilihnya dapat dilakukan secara online seperti halnya UU AAPS dan PP PMSE. Selain itu, berdasarkan Pasal 49 UU PK, UU PK membentuk suatu badan penyelesaian sengketa non-litigasi khusus, yaitu BPSK. Tentunya hal ini menunjukkan ketidakharmonisan regulasi. Maka dari itu, diperlukan revisi UU PK agar mengakui penyelesaian sengketa konsumen secara online atau BPSK berwajah virtual seperti pendapat Tulus Abadi yang telah dipaparkan sebelumnya. Selain revisi UU PK, revisi UU AAPS juga diperlukan untuk memuat ketentuanketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan ODR di Indonesia. Memang pada Pasal 4 ayat (3) UU AAPS menyebutkan bahwa penyelesaian sengketa melalui arbitrase dapat dilakukan bentuk pertukaran surat, maka pengiriman teleks, telegram, faksimili, e-mail atau dalam bentuk sarana komunikasi lainnya. Pasal tersebut hanya dapat dijadikan basis pelaksanaan ODR, tetapi mekanisme persidangan ODR itu sendiri belum diatur secara jelas. Berkaca pada model ODR di China dan Amerika, ketentuan-ketentuan yang penting diatur yaitu mekanisme pelaksanaan ODR, kelompok platform ODR, lembaga resmi ODR, kompetensi absolut dari ODR, eksekusi
25
Forum Shopping adalah tindakan pihak atau para pihak yang berusaha membawa suatu sengketa dalam forum yang akan menguntungkan mereka atau tindakan untuk mencari tempat yang paling menguntungkan untuk mengadili suatu perkara atau sengketa. Lihat Markus Petsche, ”What’s Wrong with Forum Shopping? An Attempt to Identify and Assess the Real Issues of a Controversial Practice,” The International Lawyer 45 no. 4 (2011), hlm.1006-1028.
putusan ODR, variasi teknologi, dan perlindungan data pribadi. Dengan begitu, ODR memiliki dasar hukum yang jelas di Indonesia. Permasalahan berikutnya yaitu kelembagaan. Seperti halnya pelaksanaan ODR di Amerika dan China, dalam menerapkan ODR sebagai salah satu mekanisme penyelesaian sengketa di luar pengadilan, ODR perlu memiliki suatu lembaga tersendiri atau berada dibawah Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) sebagai suatu lembaga alternatif penyelesaian sengketa. Hal ini disebabkan dengan dilegalkannya pembentukan ODR bagi lembaga swasta, asosiasi, dan sektor industri berpotensi terjadinya forum shopping yang dilakukan oleh pihak yang beritikad buruk. Apalagi mekanisme penyelesaian sengketa dalam transaksinya tersebut tidak diatur jelas dalam perjanjian.26 Dengan demikian, diperlukan suatu lembaga pusat ODR yang selain melayani mekanisme penyelesaian sengketa melalui ODR, lembaga pusat tersebut juga dapat menjadi pusat koordinasi dan pengawas berjalannya ODR di Indonesia Kemudian permasalahan keempat yang tidak kalah pentingnya yaitu perihal perlindungan data pribadi. Sayangnya, hingga saat ini Indonesia belum mengesahkan UndangUndang Perlindungan Data Pribadi. Maka dari itu, perlindungan data pribadi pelaksanaan ODR dapat didasarkan pada Pasal 26 UU ITE yang berbunyi “Kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan, penggunaan setiap informasi melalui media elektronik yang menyangkut data pribadi seseorang harus dilakukan atas persetujuan Orang yang bersangkutan”. Kemudian pada penjelasan Pasal 26 UU ITE tersebut dijelaskan bahwa perlindungan data pribadi merupakan salah satu hak privasi yang meliputi hak untuk menikmati kehidupan pribadi dan bebas dari segala macam gangguan, hak untuk dapat berkomunikasi dengan Orang lain tanpa tindakan memata-matai, dan hak untuk mengawasi akses informasi tentang kehidupan pribadi dan data seseorang. Selain dapat berdasar kepada UU ITE, perlindungan data pribadi dalam hal penerapan ODR ini dapat merujuk juga pada Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 20 Tahun 2016 tentang Perlindungan Data Pribadi dalam Sistem Elektronik (Permenkominfo PDPSE). Pasal 1 angka 1 Permenkominfo PDPSE tersebut menyebutkan bahwa data pribadi adalah data perseorangan yang harus disimpan, dirawat, dan dijaga kebenarannya serta dilindungi kerahasiaannya. Selanjutnya ditegaskan pula pada Pasal 2 ayat (1) bahwa yang tercakup dalam perlindungan data pribadi dalam sistem elektronik perlindungan terhadap perolehan,
pengumpulan,
pengolahan,
penganalisisan,
penyimpanan,
penampilan,
pengumuman, pengiriman, penyebarluasan, dan pemusnahan data pribadi. Walaupun
26
Ibid.
permasalahan perlindungan data pribadi pada penerapan ODR dapat dijamin dengan kedua regulasi ini, alangkah lebih baiknya apabila rancangan UU Perlindungan Data Pribadi juga segera disahkan. Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa ODR merupakan alternatif penyelesaian sengketa yang harus segera diterapkan di Indonesia mengingat angka pertumbuhan transaksi e-commerce terus meningkat. Penerapan ODR dapat menggunakan Pasal 4 UU AAPS dan Pasal 72 PP PMSE sebagai basis hukum karena pada pasal tersebut pada intinya disebutkan bahwa penyelesaian sengketa dapat dilakukan secara elektronik. Selain itu, cita-cita ASEAN yang menargetkan untuk menerapkan ODR nasional pada masing-masing negara dalam ASEAN sebelum mewujudkan ODR pada lingkup regional sebagaimana yang terkandung dalam ASAPCP 2016-2025, turut mendorong Indonesia untuk segera menerapkan ODR. Kemudian jika dilihat dari sisi perlindungan konsumen, adanya ODR membuat masyarakat lebih percaya dan memiliki rasa aman dalam melakukan transaksi e-commerce. Ditambah lagi dengan BPSK sebagai badan penyelesaian sengketa perihal perlindungan konsumen dirasa kurang optimal dalam melaksanakan tugasnya, maka dibutuhkan inovasi baru yaitu BPSK berwajah virtual atau yang disebut juga dengan ODR. Disamping urgensi penerapan ODR di Indonesia ini, terdapat beberapa tantangan hukum yang harus dihadapi. Pertama, tidak harmonisnya regulasi yang terkait dengan ODR dalam transaksi e-commerce dan juga dan belum adanya regulasi yang jelas mengenai mekanisme pelaksanaan ODR itu sendiri. Kedua, belum adanya lembaga resmi khusus mengenai pelaksanaan ODR di Indonesia. Ketiga, tantangan perlindungan data pribadi yang kerap dikhawatirkan oleh konsumen, mengingat Indonesia belum mengesahkan UU Perlindungan Data Pribadi. Untuk menghadapi tantangan hukum mengenai penerapan ODR tersebut, terdapat beberapa saran dari Penulis agar tantangan hukum ini tidak menjadi hambatan dalam penerapan ODR di Indonesia. Hal yang paling utama adalah melakukan revisi beberapa perundangundangan yang bermasalah guna menciptakan keharmonisan regulasi dan kepastian hukum. Seperti revisi UU PK untuk mengakui BPSK dalam wajah virtual, revisi UU AAPS untuk lebih menjelaskan mekanisme khusus pelaksanaan ODR, serta melakukan pengesahan rancangan Undang-Undang Data Pribadi agar masyarakat selalu merasa aman dalam menggunakan jasa ODR. Selain itu, Indonesia dapat membentuk suatu lembaga khusus mengenai ODR atau menempatkan ODR dibawah BANI. Dengan demikian, mekanisme penyelesaian sengketa melalui ODR ini dapat diterapkan di Indonesia tanpa adanya ketidakpastian hukum.
DAFTAR PUSTAKA Buku Bank Indonesia. Laporan Kebijakan Moneter Triwulan II 2021. Jakarta: Bank Indonesia, 2021. Jurnal Cortes, Pablo. Online Dispute Resolution for Consumers in the European Union. Abingdon: Routledge, 2011. Katsh, Ethan. ”Online Dispute Resolution: Some Implications for the Emergence of Law in Cyberspace,” Lex Electronica 10, No. 3 (2006). Lu, Zhengmin. dan Xinyu Zu. “Study on the Online Dispute Resolution System in China.” Advances in Engineering Research 129 (2017). Petsche, Markus. ”What’s Wrong with Forum Shopping? An Attempt to Identify and Assess the Real Issues of a Controversial Practice.” The International Lawyer 45, no. 4 (2011). Sitompul, Meline Gerarita, M. Syaifuddin, dan Annalisa Yahanan. “Online Dispute Resolution (ODR): Prospek Penyelesaian Sengketa E-Commerce di Indonesia.” Jurnal Renaissance 1, No. 2 (Agustus 2016). Utama, Meria .“Arbitrase Selesaikan Sengketa Dengan Cepat.” www.fh.unsri.ac.id/index.php/posting/48. Diakses 28 Agustus 2021. van den Heuvel, Esther. Online Dispute Resolution as A Solution to Cross-Border E-Disputes: An Introduction to ODR. http://www.oecd.org/internet/consumer/1878940.pdf. Diakses 29 Agustus 2021.
Perundang-Undangan Indonesia. Peraturan Pemerintah tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik. PP No. 80 Tahun 2019. LN No. 222 Tahun 2019. TLN No. 6420. Indonesia. Undang-undang (UU) tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik. UU No. 11 Tahun 2008. LN No. 251 Tahun 2016. TLN No. 5952. Indonesia. Undang-Undang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa., UU No. 30 Tahun 1999. LN No. 138 Tahun 1999. TLN No. 3872. Indonesia. Undang-Undang Perlindungan Konsumen. UU No. 8 Tahun 1999. LN No. 22 Tahun 1999. TLN No. 3821. Dokumen Internasional Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara. The Asean Strategic Action Plan for Consumer Protection (ASAPCP) 2016-2025: Meeting The Challenges of a People-Centered ASEAN Beyond 2015. Hasil Konferensi Abadi, Tulus “Fenomena Ekonomi Digital dan Urgensi Online Dispute Resolution.” Materi disampaikan pada Diskusi Publik tentang Digitalisasi dan Akses Konsumen terhadap Keadilan: Online Dispute Resolution, Jakarta, 16 Juni 2021. Direktorat Jenderal Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga Kementerian Perdagangan. “Perkembangan Online Dispute Resolution (ODR) di Indonesia.” Materi disampaikan pada Diskusi Publik tentang Digitalisasi dan Akses Konsumen terhadap Keadilan: Online Dispute Resolution, Jakarta, 16 Juni 2021.
Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia. “Mendorong Online Dispute Resolution untuk Perluasan Akses Keadilan Bagi Konsumen,” Siaran Pers Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (18 Juni 2021). Tim Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia. “Studi atas Online Dispute Resolution di Indonesia Terkait Digitalisasi dan Akses Terhadap Keadilan Bagi Konsumen.” Materi disampaikan pada Diskusi Publik tentang Digitalisasi dan Akses Konsumen terhadap Keadilan: Online Dispute Resolution, Jakarta, 16 Juni 2021. Uddarojat, Rofi. “Praktik Penyelesaian Sengketa dalam Perdagangan Elektronik” Materi disampaikan pada Diskusi Publik tentang Digitalisasi dan Akses Konsumen terhadap Keadilan: Online Dispute Resolution, Jakarta, 16 Juni 2021. Internet American Arbitration Association. “AAA Rules, Forms, and Fees”. www.adr.org/rules. Diakses 28 Agustus 2021. American Arbitration Association. “Home”. www.adr.org. Diakses 28 Agustus 2021. Lidwina, Andrea. “Penggunaan E-Commerce Indonesia Tertinggi di Dunia” https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2021/06/04/penggunaan-e-commerceindonesia-tertinggi-di-dunia. Diakses 26 Agustus 2021. Oktari, Rosi. “Sepuluh Tren Teknologi Selama Pandemi” https://indonesiabaik.id/infografis/10-tren-teknologi-selama-pandemi. Diakses 26 Agustus 2021.