Tribune Express LK2 - Esai Kritis: Pro Kontra Penerapan Polisi Virtual Media Sosial

Page 1


“PRO KONTRA PENERAPAN POLISI VIRTUAL MEDIA SOSIAL: MENJAMIN KETERTIBAN ATAU MEMBATASI KEBEBASAN?” Oleh: Muhammad Arfi Pramusintho Staf Literasi dan Penulisan

sumber: bukubaca.id Di tengah pandemi seperti ini, masyarakat Indonesia seringkali menggunakan media sosial sebagai sarana untuk dapat melontarkan segala keluh kesah ataupun argumen-argumen akibat keadaan yang tidak kurun membaik. Media sosial selalu menjadi sarana publik daring yang dapat menjadi wadah bagi masyarakat untuk saling bertukar dan membagikan aktivitas masing-masing. Media sosial juga tak jarang jadi tempat untuk menyuarakan pendapat tentang berbagai fenomena yang mereka temukan. Pasalnya, kita tidak pernah tahu kapan keluh kesah dan pendapat tersebut mendapatkan respon negatif atau bahkan dianggap sebagai bentuk pencemaran atas nama baik seseorang. Pemerintah merasa dalam hal ini perlu melakukan suatu respon dan juga perbaikan terhadap permasalahan sosial yang berujung pada tindak pidana di media sosial. Hingga pada Februari 2021 silam, Badan Reserse Kriminal Kepolisian Negara Republik Indonesia (Bareskrim Polri) meluncurkan suatu lembaga bernama polisi virtual yang akan bertugas mencegah dan mengawasi tindak pidana yang ada di media sosial. Peluncuran tersebut hadir berdasarkan Surat Edaran kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) Nomor 1 tentang


Kesadaran Budaya Beretika untuk Mewujudkan Ruang Digital Indonesia yang Bersih, Sehat, dan Produktif.1 Polisi virtual yang dibentuk oleh Direktorat Tindak Pidana Siber (Dittipidsiber) yakni satuan kerja yang berada di bawah Bareskrim Polri ini bertugas untuk melakukan penegakan hukum terhadap kejahatan siber. Secara umum, Dittipidsiber menangani dua kelompok kejahatan, yaitu computer crime dan computer-related crime. Computer crime adalah kelompok kejahatan siber yang menggunakan komputer sebagai alat utama. Bentuk kejahatannya adalah peretasan sistem elektronik (hacking), intersepsi ilegal (illegal interception), pengubahan tampilan situs web (web defacement), gangguan sistem (system interference), manipulasi data (data manipulation). Computer-related crime adalah kejahatan siber yang menggunakan komputer sebagai alat bantu, seperti pornografi dalam jaringan (online pornography), perjudian dalam jaringan (online gamble), pencemaran nama baik (online defamation), pemerasan dalam jaringan (online extortion), penipuan dalam jaringan (online fraud), ujaran kebencian (hate speech), pengancaman dalam jaringan (online threat), akses ilegal (illegal access), pencurian data (data theft).2 Kadiv Humas Polri Irjen Argo Yuwono juga menyatakan virtual police atau polisi virtual ini bertugas untuk mencegah tindak pidana Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Kehadiran polisi virtual juga merupakan respon dari pemerintah untuk dapat membentuk pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat agar dunia siber dapat bergerak dengan bersih, sehat dan produktif.3 Kapolri menjelaskan bahwa penerapan polisi virtual ini dibentuk untuk mengurangi adanya tindak pidana UU ITE dengan menggunakan pendekatan yang preemtif dan preventif kepada masyarakat. Argo Yuwono juga menyatakan kehadiran polisi di ruang digital juga merupakan bentuk pemeliharaan Kamtibmas agar dunia siber dapat bergerak dengan bersih, sehat dan produktif. Patroli siber yang dilakukan oleh polisi virtual diberlakukan sejak 25 Februari 2021 lalu berdasarkan Surat Edaran Kapolri. Saat ini, setidaknya patroli siber sendiri terbagi menjadi dua tahap prosedural yakni polisi virtual yang mengobservasi kasus tindak pidana dalam media sosial berdasarkan UU ITE yang nantinya akan dikonsultasikan kepada para ahli seperti ahli pidana, ahli bahasa, dan ahli ITE. Hal ini bertujuan untuk mencegah adanya subjektivitas yang 1 Dian Andryanto, “Polisi Virtual atau Polisi Siber, Begini Cara Kerjanya,” https://metro.tempo.co/read/1453165/polisi-virtual-atau-polisi-siber-begini-cara-kerjanya, diakses 10 Juli 2021. 2 Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri, “Tentang Kami Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri,” https://patrolisiber.id/about, diakses 27 Juli 2021. 3 Agus Yozami, “Ada Polisi Virtual? Begini Cara Kerjanya,” https://m.hukumonline.com/berita/baca/lt60399c7b47402/ada-polisi-virtual-begini-cara-kerjanya, diakses 28 Juli 2021.


dilakukan oleh kepolisian untuk menilai konten mana yang berindikasi melanggar ketentuan pidana. Kemudian tahap selanjutnya, apabila terindikasi melanggar peraturan tersebut, polisi virtual akan melakukan peringatan kepada pelaku melalui direct message (DM) kepada akun yang bersangkutan untuk dapat menghapus postingan tersebut dalam jangka waktu 1x24 jam dan apabila peringatan tak kunjung diindahkan, polisi akan membuat surat pemanggilan kepada pelaku untuk dapat memberikan penjelasan mengenai postingan tersebut di kantor polisi. Akan tetapi, penerapan terhadap polisi virtual ini memicu pro dan kontra di kalangan masyarakat. Di satu sisi, masyarakat berpendapat bahwa penerapan polisi virtual ini merupakan suatu inovasi yang baik dalam melindungi kejahatan tindak pidana di media sosial dan juga menjamin bahwa kebebasan individu di media sosial harus tetap beriringan dengan adanya pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat (Kamtibmas) di ruang digital. Namun, di sisi lain, masyarakat menganggap bahwa hal ini menunjukkan semakin dibatasinya kebebasan berpendapat masyarakat terutama di media sosial lantaran selalu diawasi dan belum jelasnya parameter sebuah konten yang dianggap menyalahi peraturan dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 mengatur kebebasan berekspresi bagi warga masyarakat Indonesia. Hal ini diatur pada pasal 28E dan 28F. Akan tetapi, kebebasan tersebut pada dasarnya dibatasi oleh ketentuan undang-undang untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain pula yang diatur dalam Pasal 28 J ayat (2). Oleh karena itu, kewenangan polisi yang diatur dalam Pasal 30 ayat (4) UUD 1945 juga menyatakan bahwa polisi merupakan alat negara yang bertugas untuk menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat serta menegakkan hukum dalam hal ini keamanan dan ketertiban masyarakat di ruang digital. Sehingga, dengan hal menjamin kewenangan polisi dalam menjaga ketertiban dan keamanan masyarakat diwujudkan dengan dibentuknya polisi virtual yang bertugas untuk mengawasi berbagai tindak pidana yang terjadi di media sosial. Oleh karena itu, maka sejatinya kebebasan berpendapat seseorang dapat dibatasi pula oleh Pemerintah. Pembatasan terhadap kebebasan berpendapat ini juga disampaikan oleh Wahiduddin Adams yang merupakan Hakim Mahkamah Konstitusi. Ia mengatakan bahwa kebebasan berpendapat dan berekspresi berlaku untuk semua jenis ide, termasuk yang mungkin sangat offensive atau menyinggung, namun disertai dengan tanggung jawab dan dapat dibatasi secara sah oleh Pemerintah. Dalam hal ini, sambungnya, Pemerintah memiliki kewajiban untuk melarang perkataan yang mendorong kebencian dan hasutan. Pembatasan tersebut juga dapat


dibenarkan apabila pembatasan tersebut dilakukan untuk melindungi kepentingan publik tertentu atau hak dan reputasi orang lain.4 Hak dalam menyatakan pendapat juga pada dasarnya masuk ke dalam hak yang dapat dibatasi (derogable rights), yang terdiri dari hak untuk menyatakan pendapat, hak untuk bergerak, hak untuk berkumpul, dan hak untuk berbicara. Beberapa hak tersebut merupakan hak yang dapat dibatasi dan tidak harus dipenuhi secara mutlak.5 Dalam hal ini, kepolisian berhak menjadi perpanjangan tangan pemerintah untuk tetap dapat menjamin kebebasan berpendapat masyarakat sejalan dengan keamanan dan ketertiban masyarakat di ruang digital dengan menerapkan polisi virtual. Keberadaan lembaga kepolisian sangat diperlukan oleh masyarakat. Polisi bertugas untuk dapat memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat. Dalam hal ini, sudah menjadi tugas kepolisian untuk menjamin penciptaan ruang digital yang bersih dan sehat. Hal ini juga sesuai dengan apa yang dirumuskan dalam Pasal 30 ayat (3) UUD 1945 yang menyebutkan “Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum.” Berdasarkan rumusan tersebut, akhir dari pelaksanaan tugas dan wewenang kepolisian adalah apabila telah terwujudnya situasi dan kondisi masyarakat yang aman dan tertib. Aman dalam arti perasaan bebas dari gangguan fisik maupun psikis, perasaan bebas dari kekhawatiran, perasaan bebas dari resiko dan perasaan damai lahiriah dan batiniah. Atau bebas dari bahaya, bebas dari gangguan, terlindung atau tersembunyi, dan tidak mengandung resiko.6 Selain atas dasar legitimasi wewenang polisi dalam menjaga keamanan dan ketertiban di media sosial, tindakan polisi virtual juga ditujukan untuk menjamin ruang digital yang tetap bersih dan sehat dari hoaks dan berbagai ujaran kebencian. Data dari Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemenkominfo) menyebutkan setidaknya terdapat sekitar 800.000 situs di Indonesia yang telah terindikasi sebagai penyebar informasi palsu.7 Sumber lain menyebutkan bahwa hampir 60 persen masyarakat Indonesia terpapar hoaks saat sedang mengakses internet.8 4

Mahkamah Konstitusi, “Ketentuan Kebabasan Berpendapat Dalam UUD,” https://www.mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=16828, diakses 28 Juli 2021. 5 Osgar Matompo, “Pembatasan Terhadap Hak Asasi Manusia Dalam Perspektif Keadaan Darurat,” Jurnal Media Hukum, Vol. XXI, No. 1, 2014, hlm. 66. 6 Ida Bagus Kade Danendra, “Kedudukan dan Fungsi Kepolisian Dalam Struktur Organisasi Negara Republik Indonesia,” Lex Crimen, Vol. I, No. 4, 2012, hlm. 54. 7 Ayu Yuliani, “Ada 800.000 Situs Penyebar Hoax di Indonesia,” https://kominfo.go.id/content/detail/12008/ada-800000-situs-penyebar-hoax-di-indonesia/0/sorotan_media, diakses 28 Juli 2021. 8 Imam Rahman Rahyadi, “Survei KIC: Hampir 60% Orang Indonesia Terpapar Hoax Saat Mengakses Internet,” https://www.beritasatu.com/digital/700917/survei-kic-hampir-60-orang-indonesia-terpapar-hoax-saatmengakses-internet, diakses 28 Juli 2021.


Internet disebut telah salah dimanfaatkan oleh berbagai oknum-oknum tertentu untuk keuntungan pribadi dan kelompoknya dengan cara menyebarkan konten-konten negatif yang menimbulkan keresahan dan saling mencurigai di masyarakat. Berbagai permasalahan seperti hoaks dan juga respon masyarakat terhadap hoaks tersebut sejatinya juga merupakan akibat dari belum meratanya tingkat pendidikan masyarakat Indonesia, sehingga masyarakat cenderung rentan untuk impulsif dan juga bereaksi terhadap hoaks dan berbagai ujaran kebencian yang terdapat di internet. Penelitian yang baru saja diterbitkan di jurnal Behavior and Information Technology menunjukkan bahwa rendahnya tingkat pendidikan dan ekonomi seseorang membuat mereka rentan untuk menyebarkan hoaks. Penelitian ini juga mengesampingkan penelitian yang menganggap bahwa usia lah yang menjadi faktor rentannya masyarakat dalam menyebarkan informasi palsu. Hasil penelitian dari beberapa responden dengan latar belakang pendidikan, pendapatan, dan usia yang berbeda menunjukkan bahwa terdapat korelasi negatif yang signifikan antara tingkat pendidikan dan penghasilan dengan perilaku menyebarkan hoaks tanpa memverifikasinya terlebih dahulu. Dengan kata lain, semakin rendah tingkat pendidikan masyarakat, semakin tinggi pula kecenderungan mereka untuk menyebarkan hoaks. Selain itu, faktor umur dianggap tidak memiliki pengaruh pada kecenderungan merak dalam menyebarkan hoaks. Ada pula kecenderungan membagikan informasi di media sosial tanpa memverifikasi terlebih dahulu ditentukan dari seberapa banyak pengalaman seseorang menggunakan internet. Semakin banyak pengalaman seseorang dalam berinternet maka kemampuan mereka dalam menggunakan Internet untuk mencari, membagi, dan memverifikasi informasi semakin tinggi. Dengan kata lain, seseorang yang baru saja bisa menggunakan internet cenderung lebih rentan membagi informasi tanpa mengeceknya terlebih dulu.9 Dengan data yang menunjukkan bahwa belum meratanya tingkat pendidikan masyarakat di Indonesia, kecenderungan hoaks hadir dalam ruang digital yang dikonsumsi masyarakat cenderung akan tinggi. Terlebih lagi, setidaknya dari 262 juta jiwa penduduk Indonesia terdapat lebih dari ½ penduduk Indonesia yang merupakan pengguna aktif internet pada tahun 2021, dimana perkembangan dalam penggunaan internet akan selalu bertambah seiring perkembangan zaman.

9

National Geographic Indonesia, “Studi: Hoaks Rentan Disebar Oleh Mereka yang Tingkat Pendidikan dan Penghasilannya Rendah,” https://nationalgeographic.grid.id/read/131849274/studi-hoaks-rentan-disebaroleh-mereka-yang-tingkat-pendidikan-dan-penghasilannya-rendah?page=all, diakses 28 Juli 2021.


Berkebalikan dengan argumentasi tersebut, beberapa masyarakat yang tidak setuju berpendapat bahwa penerapan polisi virtual ini menghalangi kebebasan masyarakat dalam berpendapat. The Economist Intelligence Unit (EIU) sebagai lembaga yang acapkali dijadikan acuan beberapa negara mengenai persentase demokrasi suatu negara, merilis Laporan Indeks Demokrasi pada beberapa negara di dunia dan menyatakan bahwa Indonesia merupakan negara dengan nilai indeks demokrasi 6,3. Data ini menunjukkan bahwa indeks demokrasi Indonesia cenderung rendah dan berada pada peringkat 64 dari 167 negara di dunia yang mana hal ini juga membuktikan bahwa Indonesia sedang menuju negara yang tidak lagi demokratis.10 Angka ini juga merupakan angka yang terus menurun sejak 14 tahun terakhir. Dengan fakta bahwa tingkat demokrasi masyarakat yang semakin menurun, penerapan polisi virtual tentunya akan memicu semakin tingginya ketakutan masyarakat dalam berpendapat di media sosial yang mana akan berdampak pada anggapan masyarakat bahwa pemerintah cenderung semakin bersifat represif dan mengekang terhadap kebebasan rakyatnya dalam berpendapat di media sosial. Direktur Eksekutif SAFEnet, Damar Julianto, juga mengatakan bahwa penerapan polisi virtual ini seolah menghidupkan kondisi Orwellian State dimana negara melakukan pemantauan secara terus menerus terhadap masyarakatnya yang mana hal ini merusak hakikat kesejahteraan masyarakat yang seharusnya bebas dan terbuka. Sehingga, upaya tersebut menandakan Indonesia saat ini tengah menghadapi otoritarianisme digital yang menyebabkan penindasan teknologi dan menjadi hambatan besar pada aktivitas digital di Indonesia. Ia juga berpendapat, bahwa pemantauan terhadap masyarakat tidak boleh dilakukan secara massal tanpa memandang bulu, melainkan seharusnya dilakukan dengan menargetkan masyarakatmasyarakat tertentu yang memang dianggap mengancam keutuhan negara Republik Indonesia. Sebagai contoh, dengan menarget para koruptor atau pula teroris yang memang jelas merupakan pelaku kejahatan. Kewenangan polisi dalam menentukan konten mana yang melanggar ketentuan pidana juga perlu dikritisi lantaran pihak kepolisian berpotensi melakukannya secara subjektif dengan menyalahgunakan konsep yang diterapkan di awal. Kemudian, penerapan dalam surat edaran tersebut juga memiliki banyak celah yang dapat disalahgunakan oleh pihak kepolisian. Hal ini timbul karena tidak adanya unsur yang jelas yang dapat menjadi tolok ukur konten apa yang

10

Rizki Akbar Putra, “Indeks Demokrasi 2020: Indonesia Catat Skor Terendah Dalam 14 Tahun Terakhir,” https://www.dw.com/id/indeks-demokrasi-indonesia-catat-skor-terendah-dalam-sejarah/a-56448378 #:~:text=Indonesia%20menduduki%20peringkat%20ke%2D64,menurun%20dari%20yang%20sebelumnya%20 6.48, diakses 28 Juli 2021.


dapat dikenai peringatan oleh polisi virtual. Meskipun, polisi menyatakan bahwa akan melakukannya bersama dengan beberapa ahli seperti pidana, bahasa, dan lain sebagainya. Akan tetapi, tidak adanya pihak independen yang dapat memastikan bahwa penerapan konsep yang diatur dalam surat edaran tersebut tidak melenceng dari konsep penerapannya di awal. Selain itu, penerapan aturan hukum yang hanya berdasarkan pada Surat Edaran Kapolri tersebut tidaklah cukup kuat untuk dapat menjamin penerapan kebijakan tersebut tidak melenceng dari konsep penerapan di awal. Surat Edaran Kapolri sendiri dikategorikan sebagai sebuah peraturan kebijakan (beleidsregel) yang bersifat internal. Kapolri memiliki kewenangan untuk mengeluarkan suatu kebijakan yang hanya berlaku dalam lingkungan internal Kepolisian Republik Indonesia saja dalam hal ini Surat Edaran tentang Kesadaran Budaya Beretika untuk Mewujudkan Ruang Digital Indonesia yang Bersih, Sehat, dan Produktif. Surat Edaran Kapolri hanya berjenis sama sebagaimana halnya pengumuman, juknis (petunjuk teknis), juklak (petunjuk pelaksana), pedoman, nota dinas atau istilah sejenis lainnya. Peraturan kebijakan adalah peraturan kebijaksanaan yang ditetapkan sendiri oleh administrasi. Oleh karena badan atau pejabat yang membentuk suatu peraturan kebijakan tidak memiliki kewenangan untuk membuat peraturan (wetgevende bevoegheid) maka suatu peraturan kebijakan bukanlah suatu peraturan perundangundangan yang sifatnya mengikat. Penggunaan peraturan kebijakan biasa digunakan oleh badan hukum tata usaha negara dengan tujuan menjadikan dinamis keberlakuannya peraturan perundang-undangan.11 Pada pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 15 tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3) jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan terdiri atas: 1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; 3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; 4. Peraturan Pemerintah; 5. Peraturan Presiden; 6. Peraturan Daerah Provinsi; dan

11 Muhammad Huzaini, “Kedudukan Hukum dan Fungsi Surat Edaran kapolri Nomor: SE/7/VII/2018 Tentang Penghentian Penyelidikan,” Widya Yuridika: Jurnal Hukum, Volume. IV, No. 1, 2021, hlm. 57.


7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Maka, berdasarkan ketentuan pada Pasal 7 ayat (1) tersebut dapat disimpulkan bahwa tidak adanya ketentuan mengenai surat edaran, dalam hal ini Surat Edaran Kapolri, dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia.12 Oleh karena itu, maka dipertanyakan pula bagaimana penerapan dari polisi virtual ini sendiri dapat berjalan sebagaimana yang telah direncanakan, mengingat bahwa penyalahgunaan terhadap peraturan tersebut pun tidak termasuk ke dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sehingga, tidak seharusnya penerapan peraturan yang hanya berdasar pada Surat Edaran Kapolri menyangkut hak kebebasan berpendapat masyarakat Indonesia yang jumlahnya sangat besar. Selain penerapan polisi virtual yang menyangkut hidup rakyat banyak namun hanya berdasarkan pada Surat Edaran Kapolri, parameter tindakan yang termasuk ke dalam tindak pidana di media sosial ini pun masih menuai perdebatan di kalangan masyarakat. Penerapan polisi virtual ini mengacu pada penerapan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik yang mana masih memiliki banyak celah multitafsir. Sebagai contoh, setidaknya ada dua pasal yang cukup menjadi pertentangan di kalangan masyarakat. Pertama, pasal 27 ayat (3) UU ITE menyatakan bahwa setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan, mentransmisikan, membuat dapat diaksesnya dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik. Anwar Natari, perwakilan Yayasan Satu Dunia, mengatakan bahwa dalam pasal tersebut terdapat frasa yang memiliki pemahaman ganda seperti dalam frasa ‘sengaja’ dan ‘membuat dapat diaksesnya informasi’. ‘Sengaja’ dalam pasal tersebut memiliki makna yang sifatnya relatif. Beliau mengatakan bahwa terlapor bisa saja mengatakan bahwa dirinya tidak sengaja dalam melakukan tindakan tersebut untuk dapat menghindari tuduhannya. Selain itu, pada frasa ‘membuat tidak dapat diaksesnya informasi’ berarti bahwa alat atau media yang digunakan pelaku untuk melakukan tindakan yang dianggap pidana dapat pula dituntut dengan pasal yang sama.13 Sedangkan, pada pasal 28 ayat (2) yang menyebutkan bahwa setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu/kelompok berdasarkan SARA. Ujaran kebencian mencakup hal yang luas, mulai dari ucapan kasar kepada orang lain, ujaran kebencian, hasutan untuk melakukan kebencian, perkataan bias yang ekstrem, hingga hasutan kebencian yang berujung pada 12

13

Ibid., hlm.58.

Devita Putri, “Apakah Semua Ujaran Kebencian Perlu Dipidana? Catatan Untuk Revisi UU ITE,”https://theconversation.com/apakah-semua-ujaran-kebencian-perlu-dipidana-catatan-untuk-revisi-uu-ite156132, diakses 28 Juli 2021.


kekerasan. Setidaknya dalam pasal ini, terdapat pula dua unsur frasa yang memungkinkan terjadinya multitafsir, yakni frasa ‘menyebarkan informasi’ dan ‘rasa kebencian’. Pertama, frasa ‘menyebarkan informasi’. Dalam frasa tersebut tidak dijelaskan definisi dari sejauh apa suatu informasi dibagikan sehingga dapat memenuhi standar dari unsur ini. pakah terbatas pada penyampaian informasi dalam forum publik yang dapat diakses dan dibaca oleh siapa pun? Atau termasuk penyampaian informasi dalam forum publik yang aksesnya dibatasi dengan cara misalnya jika disetel privat? Atau termasuk juga penyampaian informasi dalam grup chat privat? Kemudian yang kedua, pada frasa ‘rasa kebencian’ Menurut Robert Post, profesor hukum di Yale Law School, Amerika Serikat (AS), dalam bukunya yang berjudul “Extreme Speech and Democracy”, suatu ucapan harus memenuhi standar intensitas tertentu agar dapat dikualifikasikan sebagai ujaran kebencian yang dapat dipidana.14 Berdasarkan pernyataan tersebut, hal tersebut berarti tidak semua ujaran kebencian dapat diberikan sanksi pidana. Rumusan pada pasal 28 ayat (2) UU ITE mengenai unsur ‘rasa kebencian’ tidak memiliki tolak ukur yang jelas. Sehingga, hal ini berpotensi menyamaratakan semua jenis ucapan kebencian tanpa melihat intensitas pelaku menyematkan hal tersebut. Robert Post juga mengatakan beberapa penyampaian pendapat yang sejatinya kurang tepat untuk diatur dalam ranah hukum pidana yakni seperti perkataan yang hanya merupakan sekadar bentuk dari sifat intoleransi dan perasaan tidak suka yang dimiliki seseorang. Ia mengungkapkan bahwa pendekatan tersebut lebih tepat diterapkan melalui kebijakan edukasi dan pencegahan seperti sosialisasi penggunaan media sosial secara sehat yang didukung dengan censorship yang lebih peka terhadap indikasi ujaran kebencian dalam sosial media.15 Penerapan polisi virtual di satu sisi menjadi lembaga yang berwenang dan mampu dalam menciptakan keamanan dan ketertiban masyarakat dengan mencegah timbulnya hoaks dan ujaran kebencian agar timbul adanya ruang digital yang bersih dan sehat. Akan tetapi, di sisi lain polisi virtual dianggap membatasi kebebasan berpendapat dan penerapannya masih berdasarkan pada Surat Edaran Kapolri dan UU ITE sebagai parameter dari tindak pidana yang diterapkan menyebabkan beberapa masyarakat berpendapat bahwa penerapan polisi virtual untuk lebih tidak segera diterapkan. (kalo mau diterapin harus lebih jelas, penerapannya jelas)

14 15

Ibid. Ibid.


--- THE END ---


DAFTAR PUSTAKA Jurnal: Huzaini, Muhammad. “Kedudukan Hukum dan Fungsi Surat Edaran kapolri Nomor: SE/7/VII/2018 Tentang Penghentian Penyelidikan.” Widya Yuridika: Jurnal Hukum. Volume. IV. No. 1. 2021. Hlm. 57. Matompo, Osgar “Pembatasan Terhadap Hak Asasi Manusia Dalam Perspektif Keadaan Darurat.” Jurnal Media Hukum. Vol. XXI. No. 1. 2014. Hlm. 66. Ida Bagus Kade Danendra, “Kedudukan dan Fungsi Kepolisian Dalam Struktur Organisasi Negara Republik Indonesia,” Lex Crimen, Vol. I, No. 4, 2012, hlm. 54. Internet: Andryanto, Dian. “Polisi Virtual atau Polisi Siber, Begini Cara Kerjanya.” https://metro.tempo.co/read/1453165/polisi-virtual-atau-polisi-siber-begini-carakerjanya. Diakses 10 Juli 2021. Bareskrim Polri, Direktorat Tindak Pidana Siber. “Tentang Kami Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri.” https://patrolisiber.id/about. Diakses 27 Juli 2021. Mahkamah Konstitusi. “Ketentuan Kebabasan Berpendapat Dalam UUD.” https://www.mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=16828. Diakses 28 Juli 2021. National Geographic Indonesia. “Studi: Hoaks Rentan Disebar Oleh Mereka yang Tingkat Pendidikan dan Penghasilannya Rendah.”https://nationalgeographic.grid.id/read/131849274/studi-hoaks-rentan-disebaroleh-mereka-yang-tingkat-pendidikan-dan-penghasilannya-rendah?page=all. Diakses 28 Juli 2021. Putra, Rizki Akbar. “Indeks Demokrasi 2020: Indonesia Catat Skor Terendah Dalam 14 Tahun Terakhir,” https://www.dw.com/id/indeks-demokrasi-indonesia-catat-skorterendah-dalam-sejarah/a56448378#:~:text=Indonesia%20menduduki%20peringkat%20ke%2D64,menurun%20 dari%20yang%20sebelumnya%206.48. Diakses 28 Juli 2021. Putri, Devita. “Apakah Semua Ujaran Kebencian Perlu Dipidana? Catatan Untuk Revisi UU ITE.”https://theconversation.com/apakah-semua-ujaran-kebencian-perlu-dipidanacatatan-untuk-revisi-uu-ite-156132. Diakses 28 Juli 2021. Rahyadi, Imam Rahman. “Survei KIC: Hampir 60% Orang Indonesia Terpapar Hoax Saat Mengakses Internet.” https://www.beritasatu.com/digital/700917/survei-kichampir-60-orang-indonesia-terpapar-hoax-saat-mengakses-internet. Diakses 28 Juli 2021. Yozami, Agus.“Ada Polisi Virtual? Begini Cara Kerjanya.” https://m.hukumonline.com/berita/baca/lt60399c7b47402/ada-polisi-virtual-beginicara-kerjanya. Diakses 28 Juli 2021.


Yuliani, Ayu. “Ada 800.000 Situs Penyebar Hoax di Indonesia.” https://kominfo.go.id/content/detail/12008/ada-800000-situs-penyebar-hoax-diindonesia/0/sorotan_media. Diakses 28 Juli 2021.


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.