LEX VOL. II 2020 -SISU-

Page 1

02

LEX MEI 2020/VOL.2

MENGGALI DATA MENYAMPAIKAN FAKTA

sisu

Reportase Lex tentang Pendidikan bagi disabilitas

foto: unsplash / trevor cole


prakata

Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia. Dengan ribuan pulau yang dimilikinya, Indonesia dikaruniai Tuhan Yang Maha Kuasa beragam potensi. Mulai dari potensi sumber daya alam hingga sumber daya manusia, semua melimpah di Indonesia. Sayangnya, potensi tersebut belum dimanfaatkan secara maksimal.

Pendidikan merupakan salah satu cara dalam memaksimalkan potensi, utamanya sumber daya manusia. Pemaksimalan potensi sumber daya manusia merupakan hal terpenting dalam memaksimalkan sumber daya yang dimiliki Indonesia. PIMPINAN REDAKSI Sumber daya manusia yang unggul dapat mengorganisir segala potensi yang dimiliki. Di tengah ekspektasi yang Ardia Khairunnisa FHUI 2019 tinggi terhadap pendidikan, terdapat realita bahwasanya pendidikan belum mampu diakses semua golongan. Lex edisi kali ini akan mengupas mengenai pendidikan dari perspektif orang-orang yang keberadaannya terpinggirkan dan terabaikan.

EDITOR Satrio Alif Febriyanto Staf Magang Jurnalistik FHUI 2019

Pelindung Pembina Penanggung Jawab Ketua Harian Wakil Ketua Harian Pimpinan Redaksi Editor Desainer Redaktur

redaksi

: Dr. Edmon Makarim, S.Kom., LL.M. : Junaedi, SH,M.Si.,LL.M. : Abdul Rayhan Hanggara : Gabriel Marvin Emilio Simanjuntak : Raissa Zhafira Sulaeman : Ardia Khairunnisa Setiawan : Satrio Alif Febriyanto : Raissa Zhafira Sulaeman : Staf Biro Jurnalistik LK2 FHUI 2020


I NV E ST I G A S I

Pendidikan Inklusi: Program Mulia Cacat Realisasi

4

Investigasi............................................. Oleh Aditya Weriansyah, Nouvaliza Aisy Akmalia, dan Farrazka

PROFIL

Muhammad Joni Yulianto, S.Pd, M.A., M.P.A

8

Oleh Emmanuel S. dan Yohanes F.

OPINI

Realitas Kondisi Guru Honorer di Indonesia

12

Oleh Hany Areta Athayalia

OPINI

Sistem Zonasi: Pemerataan atau Penyengsaraan

14

Oleh Siti Chatlia Quranina

OPINI

Dunia Pendidikan dan Dunia Kerja, Sesuaikah?

16

Oleh Marion Mutiara Matauch

KATA KITA

Masa Depan Dunia Pendidikan Indonesia

18

Oleh M. Ammar Jihad dan Andini V.

MELEK HUKUM

Sudakah Pendidikan Indonesia Sesuai dengan Tuntutan Revolusi Industri 4.0?

20

Oleh Brilian Suci

JAS MERAH

Membaca Disabilitas dalam Sejarah Pendidikan

22

Oleh Faradila Utami dan Gita Rachma

SEKITAR KITA

Ragam Potensi, Satu Visi bersama Inaugurasi FHUI 2019

24

Oleh Nadia S. dan Arista S.

daftar isi


investigasi Pendidikan Inklusi: Program Mulia, Mulia Cacat Realisasi Difabel merupakan kata serapan dalam bahasa Inggris yaitu ‘different ability’ yang memiliki makna seseorang dengan kemampuan yang berbeda. Kata difabel memiliki persamaan kata yang bermaksud sama namun berbeda pemaknaannya, yaitu kata ‘disabilitas’ dengan makna seseorang dengan keterbatasan kemampuan. Pengertian disabilitas sendiri tercantum dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas Pasal 1 ayat 1 yang berbunyi, “Penyandang Disabilitas adalah setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensoris dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak.” Undang-Undang tersebut dikhususkan membahas mengenai pengertian serta hak-hak seorang disabilitas sebagai Warga Negara Indonesia, salah satu diantaranya adalah hak untuk mendapatkan pendidikan.

Foto: Unsplash.com/Julian Elbert

Redaktur: Aditya Weriansyah, Nouvaliza Aisy Akmalia, dan Farrazka

total jumlah anak di Indonesia yaitu mencapai 66,17 juta jiwa. Sedangkan menurut data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dari 1,6 juta anak berkebutuhan khusus di Indonesia tersebut, baru 18 persen dengan pembagian sekitar 115 ribu anak berkebutuhan khusus bersekolah di SLB, sedangkan anak difabel yang bersekolah di sekolah reguler pelaksana Sekolah Inklusi berjumlah sekitar 299 ribu. Sehingga masih ada sekitar 1,14 juta anak difabel belum mendapatkan haknya untuk mengenyam pendidikan.

Melihat dari data yang tersajikan, persoalan pendidikan untuk anak difabel masih sangat membutuhkan perhatian yang besar dari pemerintah. Hal ini perlu dibenahi mengingat isi dari UndangUndang Dasar 1945 Pasal 31 ayat 1 yang berbunyi, “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.” Dalam mengatasi hal tersebut, upaya yang dilakukan pemerintah hingga saat ini yaitu melalui dua opsi pendidikan yang dapat diakses oleh anak-anak Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah difabel, antara lain Sekolah Luar Biasa (SLB) dan anak difabel di Indonesia mencapai angka 1,6 juta dari Sekolah Inklusi. LEX | VOL.1

4


Investigasi

Selain SLB, pemerintah telah menyediakan Sekolah Inklusi sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 70 Tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa. Sekolah Inklusi adalah sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik

yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam satu lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya. Sekolah ini ditujukan agar dapat mewujudkan penyelenggaraan pendidikan yang menghargai keanekaragaman, dan tidak diskriminatif bagi semua peserta didik. Pemerintah kabupaten/kota menunjuk paling sedikit 1 sekolah dasar, dan 1 sekolah menengah pertama pada setiap kecamatan dan 1 satuan pendidikan menengah untuk menyelenggarakan Sekolah Inklusi yang wajib menerima peserta didik difabel. Dalam setiap sekolah diwajibkan memiliki minimal 1 guru pembimbing khusus (GPK). Guru pendamping khusus atau GPK bertugas melaksanakan pendampingan anak berkelainan pada kegiatan pembelajaran bersama-sama dengan guru kelas/guru mata pelajaran/guru bidang studi. Saat ini, sekolah reguler yang menjadi Sekolah Inklusi telah tersedia sebanyak 32 ribu sekolah yang tersebar di berbagai daerah. Apakah anak difabel kini beralih ke Sekolah Inklusi yang pada hakikatnya memberikan kesempatan yang sama dengan anak pada umumnya? Keinginan pemerintah dalam mewujudkan pendidikan yang menghargai keanekaragaman serta tidak diskriminatif sangatlah baik. Dengan adanya sekolah inklusi, anak-anak difabel dapat mengenyam pendidikan serta berkesempatan untuk dapat bersosialisasi dengan anak-anak pada umumnya. Hal ini tentu sangat mendukung anak difabel untuk meraih kesempatan berprestasi seperti anak-anak pada umumnya. Terbukti bahwa salah seorang siswa autis di SMA Negeri 4

Foto: Unsplash.com/Julian Elbert

Sekolah SLB adalah pendidikan yang khusus yang diselenggarakan bagi peserta didik yang menyandang kelainan fisik dan/atau mental. SLB tersedia dalam 3 jenjang, yaitu Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB), Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Luar Biasa (SLTPLB), dan Sekolah Menengah Luar Biasa (SMLB). Anak difabel dapat mengenyam pendidikan di SLB dengan syarat usia maksimal 6 tahun ketika mendaftar di tingkat SDLB. Kemudian, tenaga pendidik pada SLB merupakan tenaga kependidikan yang memiliki kualifikasi khusus sebagai guru pada satuan pendidikan luar biasa. Kurikulum SLB ditetapkan untuk menyiapkan siswanya agar memiliki keterampilan yang dapat menjadi bekal sumber mata pencaharian sehingga dapat mandiri di masyarakat. Maka dari itu kurikulum SLB dirancang khusus oleh pemerintah dengan porsi 20% akademik dan 80% vokasional. Anak difabel diajarkan untuk mandiri terutama dalam memahami dirinya sendiri dan cara bersikap yang baik. Di SLB anak- anak dikembangkan minat dan bakatnya seperti memasak, menjahit, dan melukis. Meskipun begitu, SLB tetap menyediakan ujian nasional yang tingkat kesulitan soalnya telah disesuaikan dengan kemampuan anak difabel. Hingga saat ini, jumlah SLB yang tersedia sekitar 2 ribu sekolah dan tersebar di berbagai daerah.

5

LEX | VOL.1


Investigasi Banjarbaru mampu meraih juara 2 Olimpiade Sains Nasional di Bidang Matematika di tingkat Kabupaten/Kota pada tahun 2018.

Program Sekolah Inklusi tentu merupakan tindakan yang sangat tepat. Bagi penyandang disabilitas ringan yang masih memungkinkan untuk mengenyam pendidikan sebagaimana orang pada umumnya, tentu di satu sisi dapat menjadi ajang bagi mereka untuk menumbuhkan kepercayaan diri serta mendapatkan standar pendidikan sebagaimana pada umumnya. Namun disisi lain tak dapat dipungkiri kekhawatiran orang tua akan terjadinya perundungan, kesulitan beradaptasi bagi si anak, dan kualitas guru yang mendampingi merupakan hal yang menyebabkan program ini kurang diminati. Setelah kurang lebih satu dekade, tampaknya tidak ada perubahan berarti dalam program ini. Keseriusan pemerintah pun patut dipertanyakan, program sekolah inklusi yang semula begitu dibanggakan kini justru seolah tampak mati suri terlihat dari sangat kurangnya niat pemerintah untuk meneruskan program ini. Hal ini semakin menguatkan bukti bahwa program ini cacat dalam realisasi. Lebih lanjutnya, konsep awal rancangan program ini tidaklah matang, hal fundamental seperti jumlah guru pendamping khusus atau yang dikenal dengan GPK dalam 10 tahun terakhir masih saja tidak berkembang. Selain dari kuantitas pengajar, kualitas mereka pun patut dipertanyakan. Latar belakang yang tidak sesuai hanya disiasati pemerintah dengan pembekalan pelatihan hanya selama beberapa bulan bahkan 1-2 hari saja. Sedangkan seorang tenaga pendidik yang memiliki latar belakang Pendidikan Luar Biasa telah mempelajari cara penanganan anak difabel selama kurang lebih empat tahun. Hal ini tentu terdapat perbedaan yang sangat mendasar dalam praktik penanganan anak difabel nantinya.

Meskipun begitu, pada kenyataannya hingga saat ini peminat SLB selalu lebih banyak dibandingkan Sekolah Inklusi. Dalam satu Sekolah Inklusi, biasanya hanya terdapat satu siswa difabel dalam setiap rombongan belajar. Sedangkan di SLB, seringkali hingga menolak siswa yang ingin mendaftar sebab keterbatasan kuota karena jumlah tenaga pendidik yang terbatas. Seorang wali murid siswa SLB bernama SN yang anaknya penyandang tunarungu sejak kecil, lebih memilih menyekolahkan anaknya di SLB dibandingkan Sekolah Inklusi. Sebagaimana diketahui tunarungu adalah kerusakan atau cacat pendengaran yang mengakibatkan seseorang tidak dapat mendengar atau tuli atau pekak. Termasuk disini seseorang yang kurang daya pendengarannya. Dari sini diketahui bahwa anak yang tuna rungu sebenarnya memiliki intelegensi yang cukup baik dan mampu mengikuti pembelajaran sebagaimana anak-anak pada umumnya. Sedangkan hambatan berkomunikasi dapat diatasi oleh GPK untuk menerjemahkan apa yang dijelaskan oleh guru kelas ke bahasa isyarat sehingga anak tersebut dapat mengikuti pelajaran di sekolah umum. Meski mengetahui hal ini, wali murid tersebut tetap memilih SLB dibandingkan Sekolah Inklusi. Ibu SN berpendapat bahwa di SLB terdapat guru-guru yang lebih terpercaya serta ahli dalam menangani anak difabel sebab mereka merupakan lulusan dari pendidikan luar biasa. Tidak dapat dipungkiri bahwa hingga saat ini, GPK yang disediakan oleh sekolah inklusi tidak memiliki latar belakang Pendidikan Luar Biasa. Hal ini mengakibatkan penanganan yang kurang profesional terhadap anak difabel di lingkungan Sekolah Inklusi terlebih lagi GPK tidak semuanya tersedia di Sekolah Inklusi.

Bukti program ini cacat realisasi juga ditunjukan dengan keberlanjutannya yang kini tidak jelas mengarah kemana. Bahkan, di tahun 2018 masih banyak terjadi kasus penolakan difabel masuk sekolah atau perguruan tinggi dengan alasan-alasan yang secara substantif bertentangan dengan undang-undang. Hal ini membuktikan satu dari sekian potret diskriminasi yang dirasakan difabel di lembaga pendidikan. Problem lanjutan ketika difabel ditolak masuk di sekolah atau perguruan tinggi, mereka harus hidup sebatang kara dan tidak memiliki cukup basis pengetahuan untuk berkembang di masa depan. Terputusnya akses pendidikan mengakibatkan difabel semakin tersisih dari pentas dunia

Kemudian, ada pula timbul rasa khawatir dari wali murid akan sikap anak-anak di sekolah umum yang tidak mampu memaklumi keterbatasan anaknya. Terlebih banyak sekali kasus perundungan yang dilakukan oleh anak-anak pada umumnya dan semakin meyakinkan wali murid tersebut untuk menyekolahkan anaknya di SLB. Lantas tepatkah keputusan pemerintah untuk mewujudkan pendidikan yang egaliter bagi mereka?

LEX | VOL.1

6


Investigasi ketenagakerjaan dan selalu menjadi bagian dari pe- didikan terhadap mereka. Diskriminasi yang terjadi dewasa ini menjadi pil pahit terutama bagi mereka nyandang masalah kesejahteraan sosial. yang bersangkutan, namun apa daya walaupun sudah Terlihat dari program baru Kementerian Pendidikan beberapa kali terjadi rotasi pimpinan hingga saat ini dan Kebudayaan yang tidak ada mengatur mengenai masih tidak terlihat adanya keseriusan dari pemerintah kelanjutan pengembangan program Sekolah Inklusi. dalam memperbaiki program ini. Besar harapan Hal ini tentu sangat disayangkan sebab regulasi yang tentunya program ini kembali diacuhkan dan didibuat oleh pemerintah sangatlah mengharapkan galakkan dengan harapan bukan hanya sekadar janji adanya kesempatan yang sama bagi anak-anak difabel. manis politik belaka. Guru-guru dengan kompetensi Regulasi seperti Pasal 5 Undang-Undang Ke- khusus untuk Pendidikan Luar Biasa harus segera tenagakerjaan yang menyatakan bahwa setiap tenaga ditingkatkan baik secara kualitas maupun kuantitas kerja mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk serta penciptaan iklim yang nyaman dan ramah bagi memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak penyandang disabilitas pun juga harus menjadi sorottanpa membedakan jenis kelamin, suku, ras, agama, dan an. Sehingga tidak ada lagi sekolah yang berlabel aliran politik sesuai dengan minat dan kemampuan inklusi namun tak memiliki GPK ataupun GPK yang tenaga kerja yang bersangkutan, termasuk perlakuan tidak memiliki standar kompetensi yang baik, begitu yang sama terhadap para penyandang cacat. juga dengan perundungan yang harus dihilangkan dengan menciptakan suasana saling menghargai antar Namun pembekalan yang diberikan pemerintah kepada sesama. Dengan demikian amanat bahwa pendidikan anak difabel menunjukan tolak belakang dengan ke- adalah hak bagi semua orang dapat terealisasikan inginan pemerintah untuk memberikan kesempatan sebagaimana konsensus kita bersama. Mengingat pada yang sama kepada anak difabel. Regulasi-regulasi ini dasarnya mereka semua sama dengan kita, KITA seolah-olah hanya menjadi legitimasi bagi pemerintah ADALAH MEREKA dan MEREKA ADALAH sebagai bukti telah memberikan kesempatan yang sama KITA. kepada anak difabel secara de jure. Akan tetapi jika dilihat secara de facto, realisasi dari regulasi tersebut cacat. Harapan Kita Semua Ironi memang ketika menyadari bahwa anak-anak difabel yang seharusnya mengenyam pendidikan secara layak seperti sebagaimana yang diamanatkan oleh Pasal 10 Undang-Undang No. 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, namun justru diabaikan dan hanya diberi angin sesaat oleh pemerintah. Keterbatasan yang mereka miliki tentu tak dapat menjadi alasan pembenar untuk mengurangi pelayanan pen-

Nouvaliza Aisy Akmalia Staf Magang Jurnalistik FHUI 2019

“Mudah-mudahan kampanye dan janji akan perbaikan serta perhatian untuk difabel menjadi kenyataan bukan hanya sebatas angan-angan ketika musim pemilihan.� -AM

Aditya Weriansyah Staf Magang Jurnalistik FHUI 2019

Farrazka Staf Magang Jurnalistik FHUI 2019

7

LEX | VOL.1


profil

M

Muhammad Joni:

Difabel yang Mengenyam Pendidikan dari Indonesia hingga Singapura dan Inggris Foto: tokohinspiratif.id

Bagi Mas Joni, semuanya adalah baik, semuanya adalah sempurna. “Tuhan adalah sempurna, semua agama mengamini itu. Karena Tuhan sempurna, maka tidak ada kesalahan ketika Tuhan menciptakan apapun yang Dia ciptakan, tidak ada cacat karena semua ciptaan-Nya adalah simbolisasi kesempurnaan yang Tuhan miliki,� pungkasnya. Kondisi difabel yang dialami, bukanlah penghalang baginya untuk terus berkarya. Jumat, 15 November 2019, pukul empat sore, tim redaksi berkesempatan berbincang-bincang dengan Mas Joni melalui saluran telepon. Bincang ringan sore itu terasa riang, menyenangkan, ditemani cukup banyak gelak tawa, dan informasi-informasi baru. Semua itu dimulai dari cerita Mas Joni, tentang masa kecilnya.

uhammad Joni Yulianto, S.Pd, M.A, M.P.A, seorang pejuang pendidikan bagi difabel, namanya kini begitu harum sebagai pembela hak difabel. Pria yang kerap disapa Mas Joni ini ikut menginisiasi LSM Sasana Inklusi dan Gerakan Advokasi Difabel (SIGAB), LSM yang didirikan dengan tujuan untuk menjadi wadah bagi teman-teman difabel dalam memperjuangkan apa yang menjadi haknya dan untuk mendidik masyarakat. Lebih luasnya, LSM SIGAB juga memiliki tujuan agar pemerintah juga masyarakat lebih paham apa serta bagaimana difabel, juga bagaimana cara memperlakukan difabel secara adil. Pria kelahiran Banyumas pada 26 Juni 1980 ini telah sejak lama aktif membela hak teman-teman difabel, yang bahkan dia lakukan sejak menempuh kuliah mengejar gelar sarjana dari Universitas Negeri Yogyakarta. Kondisi tunanetra yang dialaminya sejak kecil bersama pengalaman-pengalaman susah-senang yang dilaluinya semakin mengukuhkan niatnya untuk memperjuangkan hak-hak difabel dan berbagi motivasi untuk dunia yang lebih baik.

LEX. | VOL. II

Oleh Emanuel S. dan Yohanes F.

Sedari kecil mengalami tunanetra total, dengan penglihatan yang hanya dapat melihat cahaya, Mas Joni sejak kecil berkeinginan kuat untuk menimba ilmu. Semenjak awal SD beliau bersekolah di sekolah umum karena mengikuti bapaknya, kebetulan

8


profil

bapaknya adalah guru, namun begitu kelas dua, naik kelas tiga, dan pelajaran sekolah semakin sulit, kemudian beliau, dengan keterbatasan informasi yang ada, dicarikan sekolah yang dapat menangani siswa tunanetra. Lalu tersebutlah suatu sekolah di Semarang, sebuah Sekolah Luar Biasa yang menjadi tempatnya menimba ilmu dari umur delapan tahun sampai beliau kelas tiga SMP. Hidup di asrama harus dialaminya kala itu dan menjadi pengalaman yang terasa mendalam baginya. “Sewaktu saya pertama pindah ke SLB, itu menjadi pengalaman pertama saya tinggal di asrama, dan sebenarnya bukan minder yang saya rasakan, tetapi merasa seperti dibedakan,dipisahkan, atau dibuang. Meski saya tahu bukan maksud orang tua saya membuang seperti itu, maksud mereka agar saya jadi anak pintar, “sesuk gedhe dadi dokter,” tapi rasanya sekecil itu harus pisah dari orang tua bukanlah sesuatu yang diinginkan, itu hal paling sulit. Tapi pengalaman itu mengajarkan saya, saya harus tahan banting,” tambahnya ketika asyik bercerita perihal masa kecilnya.

belajarnya tidak ada, beliau sendiri yang harus menyesuaikan diri, kondisinya sangat berbeda dengan sekarang. Kalau sekarang sekolah yang menyesuaikan diri, guru yang menyesuaikan metode belajarnya, berbeda dengan kondisi dulu. “Dulu malah sudah jadi seperti prinsip, kalau ingin masuk sekolah umum, kita yang harus bisa menyesuaikan diri, yang tidak boleh banyak-banyak protes, yang tidak boleh menuntut yang tidak-tidak, fasilitas tidak ada, bacaan/buku Braille juga tidak ada, buku-buku paket saya juga bersama teman-teman saya yang berbaik hati membacakan, ya sudah siap-siap tidak dapat mengakses pelajaran, jadi itu yang benar-benar terasa mindernya. Terlebih prestasi juga dari waktu di SLB selalu paling baik ranking satu, begitu masuk sekolah umum ranking dua puluh tiga, nilainya jadi lebih banyak merahnya, karena fasilitas belajarnya juga tidak ada, sudah begitu ada banyak guru yang bilang “wah untuk mata pelajaran ini sulit, udah ya kamu dengerin aja. Kalau bisa ya ikuti, kalau enggak ya sudah, ndak usah dipaksa.” Jadi kita benar-benar sudah melihat dan merasa tidak diperlakukan sebagai Memasuki masa SMA, perasaan minder pernah orang bodoh,” tambahnya menuntaskan pembicaraan hinggap pada Mas Joni. Kala itu, sewaktu baru tentang masa SMP-SMA-nya. masuk SMA, dengan kondisi yang berbeda antara sekolah khusus dengan sekolah umum, beliau harus Sebagai penyandang difabel, Mas Joni memandang mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan bahwa memperjuangkan hak-hak difabel bukan mebarunya itu. Dulu sewaktu di sekolah khusus, teman- rupakan suatu bentuk pengkhususan. Penyandang nya paling banyak lima, ingin ranking satu juga difabel bukanlah pengkhususan dari publik apalagi mudah, karena mungkin saingannya hanya empat, dianggap sebagai sebuah golongan tertentu. Mereka dan sementara di sekolah umum, sudah sarana adalah bagian dari masyarakat, sehingga mem-

Foto: jogja.suara.com

9

LEX. | VOL. II


profil

perjuangkan hak difabel, artinya kita juga memperjuangkan hak publik. Mas Joni berkata, “Difabel ada di sekitar kita. Siapa saja dapat menjadi difabel akibat dari penyakit, kecelakaan, dan sebagainya.” Dalam dunia pendidikan, apabila tersedia lembaga pendidikan yang terbuka untuk umum, maka hal tersebut dapat memudahkan semua kalangan. Hal ini akan membawa perubahan yang berarti bagi Indonesia dengan memperbaiki sistem pendidikan yang lebih memberikan kesempatan bagi semua lapisan masyarakat. Berangkat dari upaya tersebut, Mas Joni memandang bahwa pendidikan akan menjadi sebuah investasi bagi negara karena membuat warganya lebih produktif “Dari sudut pandang ekonomi, dengan mereka (re: difabel) yang lebih produktif, hal ini akan menjadi returns to investment terhadap negara yang menjadi lebih tinggi,” ujarnya. Pandangannya yang kuat mengenai kesempatan pendidikan yang setara bagi semua kalangan menjadi suatu semangat baginya untuk menempuh pendidikan magister ke Singapura dan Inggris dengan biaya pendidikan gratis melalui program beasiswa. Foto: publikasionline.id

Dalam bekerja sehari-hari di LSM SIGAB, Mas Joni menjalin kerja sama dengan pemerintah. Ia pernah merasakan kesulitan dalam menjalin kerja sama tersebut, yaitu pada saat memberikan rasa yakin kepada pemerintah akan pentingnya memperjuangkan hak difabel karena antara pemerintah dengan Mas Joni berangkat dari sudut pandang yang berbeda. Namun, Ia juga mendapatkan makna atas itu semua, “Perlu waktu dan proses untuk mencapai sudut pandang yang sama untuk meyakinkan pemerintah dan hal tersebut yang membuat kita (re: LSM SIGAB) untuk lebih sabar dan telaten,” ujarnya. Perihal meyakinkan pemerintah, Mas Joni merasa kesulitan akibat dari keterbatasan data, bukti, dan riset untuk mendukung pendapatnya tersebut, sehingga terkadang hal-hal demikian menyebabkan pemerintah kurang rasa yakin terhadap LSM-nya tersebut.

nesia belum memadai dari segi pengajar dan fasilitas. Namun demikian, di Yogyakarta terdapat Peraturan Daerah No. 4 Tahun 2012 tentang Perlindungan dan Pemenuhan Hak-Hak Penyandang Disabilitas di mana dalam Perda tersebut diatur tentang pendidikan khusus bagi penyandang difabel. Ujar Mas Joni, “Perda No. 4 Tahun 2012 menjadi kebijakan yang baik, di mana di dalam Perda tersebut diatur bahwa lembaga layanan pendidikan tidak boleh menolak satupun difabel.” Menurutnya, “Perda tersebut perlu pengawasan, mengingat banyak sekolah di Yogyakarta yang masih menolak difabel dengan alasan tidak adanya pengajar dan fasilitas yang mumpuni.” Berkaca pada permasalahan pada bidang pendidikan bagi penyandang difabel, pemerintah harus bekerja lebih ekstra terkait penyelenggaraan pendidikan bagi semua kalangan, termasuk di dalamnya adalah bagi penyandang difabel karena pada prinsipnya, mendapatkan pendidikan merupakan hak setiap warga negara yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945. Pada akhir wawancara, Mas Joni menyampaikan salah satu moto hidup yang paling diingatnya, “Tidak perlu harus terlihat untuk berbuat sesuatu!” Kemudian, dijelaskan oleh Mas Joni bahwa dalam melakukan suatu hal, kita hanya perlu melakukan hal tersebut tanpa berpikir siapa yang akan melihat suatu hal yang akan kita lakukan. Ia memandang bahwa setiap insan harus berani berbuat untuk bertindak demi perubahan yang baik bagi sesama manusia, terlebih kepada Bangsa IndonesiaPerjuangannya yang gigih dalam menempuh pendidikan tinggi di dalam hingga luar negeri dapat menjadi motivasi bagi para pembaca. Perbedaan kemampuan bukan menjadi ‘batu penghalang’ atau alasan untuk dapat maju dan memberikan suatu hal baik kepada Bangsa Indonesia karena sejatinya setiap orang memiliki kesempatan yang sama, salah satunya dalam dunia pendidikan. Emanuel S. Staf Magang Jurnalistik FHUI 2019

Yohanes Febrientama Staf Magang Jurnalistik FHUI 2019

Dalam wawancara yang kami lakukan, Mas Joni memandang bahwa pendidikan bagi difabel di IndoLEX. | VOL. II

10


foto: unsplash.com

Oleh: Miyuki Chan

Disability is e inability to see ability Vikas Khanna


opini

Realitas Kondisi Guru Honorer di Indonesia Oleh Hany Areta

P

endidikan menjadi tonggak yang penting dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Salah satu pendukung untuk menciptakan pendidikan yang baik adalah tenaga pendidiknya. Di Indonesia, dikenal dua tenaga pendidik yaitu guru tetap dan guru tidak tetap atau yang kerap disebut guru honorer. Menurut Mulyasa (Prestiana & Putri, 2013), guru honorer bekerja berdasarkan kontrak sehingga status kepegawaiannya kurang jelas apakah akan diangkat menjadi guru tetap atau menjadi guru honorer selamanya. Padahal, apabila melihat pengertian dari honorer itu sendiri menurut KBBI adalah bersifat sebagai suatu kehormatan. Namun, pada realitanya, guru honorer cenderung kurang terhormat dalam segi kesejahteraan. Contoh yang dapat dilihat adalah perbandingan antara guru honorer dengan guru PNS atau guru tetap. Kondisi guru honorer dan guru tetap sangat terlihat perbedaannya. Tidak hanya dari status saja, namun juga dari upah, tunjangan, maupun fasilitas yang mereka dapatkan. Guru honorer hanya mendapatkan honorarium per bulan, cuti, dan perlindungan hukum. Sedangkan guru honorer tidak mendapatkan hal yang serupa dengan guru tetap. Padahal, jika dilihat realitanya jam kewajiban guru honorer lebih banyak dibandingkan dengan guru tetap. Bahkan, guru honorer

LEX. | VOL. II

12

Foto oleh jpnn.com

lebih banyak dibandingkan dengan guru tetap. Bahkan, guru honorer mendapatkan upah hanya berkisar 150 ribu- 600 ribu rupiah yang arti nya upah yang mereka dapatkan dibawah UMR. Tentunya, ini tidak sebanding dengan perjuangan yang mereka berikan untuk mengajar. Seperti contohnya yang terjadi pada guru honorer di Provinsi Papua. Dikutip dari papua.go.id, mereka hanya digaji sebesar Rp300.000,00 dan dibayar tiap tiga bulan sekali, dimana sangat jauh dari UMP Papua yang sebesar Rp 3.240.900. Mirisnya, 3000 guru diantaranya mengalami keterlambatan dalam pembayaran. Kondisi ini sangat memprihatinkan karena tentunya hal ini tidak sebanding dengan beban tanggung jawab yang mereka pikul dimana mereka harus mampu meluluskan siswanya dengan integritas tinggi. Sedangkan, menurut Ketua PB PGRI, Didi Suprijadi mengatakan, besaran gaji yang diterima guru yang berstatus sebagai Pegawai Negeri Sipil atau guru tetap di DKI Jakarta bisa membawa pulang uang hingga Rp 15 juta per bulan dimana sudah termasuk diantaranya berbagai tunjangan seperti tunjangan beras, tunjangan fungsional, sertifikasi guru dan lainnya, ditambah lagi


opini kebijakan Presiden yang memberikan gaji ke-13 atau THR kepada tiap PNS. Jumlah guru tetap pun hanya sekitar 1,5 juta orang yang berarti lainnya merupakan guru honorer. Ini jelas membuktikan kesenjangan antara guru honorer dan guru tetap. Dalam regulasinya, Pemerintah sudah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2018 Tentang Manajemen Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja. Dengan adanya PP ini, guru honorer K2 (kategori dua) dan non kategori berusia di atas 35 tahun yang tidak lulus dalam tes calon pegawai negeri sipil (CPNS) bisa diangkat menjadi pegawai pemerintah. Peraturan ini bisa memberikan dampak positif tersendiri bagi guru honorer karena bisa mendapatkan status yang jelas dan kesejahteraan seperti guru tetap. Namun, pada realitasnya guru honorer yang telah lulus sebagai Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja masih belum mendapatkan kepastian mengenai statusnya setelah hampir 9 bulan dinyatakan lulus. Dikutip dari CNN Indonesia, Komisi II DPR RI sempat mengangkat isu terkait PPPK yang tak kunjung ada berakhir. Namun jawaban dari pemerintah tetap serupa yakni masih perlu aturan pendukung. Dengan kondisi tersebut, para pegawai honorer tak punya pilihan selain menunggu dalam ketidakpastian. Hingga saat ini upah mereka masih berkisar 150 ribu rupiah perbulan. Hal ini menandakan regulasi mengenai Manajemen Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja belum sepenuhnya terlaksana.

Pemerintah telah membahas isu mengenai guru honorer sebelumnya, seperti contohnya Menteri Pendidikan dan Kebudayaan ( Mendikbud) Muhadjir Effendy mengatakan, nantinya gaji guru honorer disetarakan paling tidak sama dengan upah minimum regional, menindaklanjuti rencana itu, dia telah meminta kepada Dirjen Guru dan Tenaga Kependidikan (GTK) Kemendikbud Supriano membentuk tim dalam menyusun tata kelola guru (Kompas.com, 2019). Namun, tentunya rencana ini sulit dilakukan mengingat banyaknya jumlah guru honorer di Indonesia. Pemerintah seharusnya bisa menegaskan kembali ke lembaga pendidikan yang ada untuk menunda guru pensiun yang menyebabkan terjadinya pengangkatan guru honorer. Setidaknya sekolah dapat menunda sampai pemerintah telah mengangkat guru honorer menjadi guru PNS maupun PPPK. Dengan begitu diharapkan jumlah guru honorer menjadi berkurang dan dapat diperhatikan kembali kesejahteraannya termasuk upah dan fasilitas yang didapatkan serta kejelasan status mereka. Seperti harapan yang disampaikan oleh beberapa guru honorer kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Kabinet Indonesia Maju, Nadiem Makarim. Hany Areta Athayalia Staf Magang Jurnalistik FHUI 2019

Foto: Unsplash.com / Tra Nguyen

13

LEX. | VOL. II


opini Sistem Zonasi: Pemerataan atau Penyengsaraan? P

foto: merdeka.com

Oleh Siti Chatlia Quranina

endidikan adalah suatu hal yang seringkali mengalami perubahan sesuai dengan berjalannya zaman. Sistem pendidikan sendiri adalah suatu hal yang selalu mengalami perubahan dengan maksud menjadi suatu sistem yang jauh lebih baik dari sistem sebelumnya. Tujuan lainya terjadi suatu perubahan sistem untuk lebih menguntungkan serta mensejahterahkan rakyat yang tentu saja berpengaruh akan sistem tersebut. Sistem pendidikan di Indonesia sendiri, seringkali mengalami perubahan. Dari pergantian pembelajaran KTSP 2006 hingga berubah menjadi Kurikulum 2013. Hingga yang baru saja terjadi di Indonesia adalah perubahan penerimaan peserta didik baru di sekolah. Perubahan yang terjadi adalah di tahun ini jalur yang memiliki suatu persen yang paling tinggi adalah jalur dengan sistem zonasi.

Penerimaan peserta didik baru adalah tahap yang selalu dilakukan tiap-tiap sekolah sebelum tahun ajaran baru dimulai. Terkhusus untuk sekolah negeri, terdapat tiga jalur yang dapat digunakan calon murid untuk mendaftar di sekolah tersebut. Di tahun ini, menurut website kumparan tiga jalur yang dapat dilewati oleh siswa baru adalah zonasi, prestasi, dan yang paling terakhir adalah perpindahan tugas orangtua atau wali. Hal yang membuat banyak masyarakat tidak setuju akan hal tersebut dikarenakan sistem zonasi yang merupakan sebuah sistem pengaturan proses penerimaan siswa baru sesuai LEX. | VOL. II

14

sistem pengaturan proses penerimaan siswa baru sesuai dengan wilayah tempat tinggal siswa tersebut memiliki persen yang paling tinggi dibanding kedua jalur lainya yaitu 90%, dan sisanya untuk jalur prestasi dan perpindahan tugas orangtua atau wali. Semenjak berlakunya sistem zonasi sendiri, menimbulkan banyak pendapat yang berbeda-beda dari masyarakat sendiri. Hampir kebanyakan dari masyarakat tidak setuju akan berlakunya sistem zonasi ini karena merasa sangatlah dirugikan. Warga merasa dirugikan, karena berdasakan website tirto.id terdapat banyak kasus dimana seorang anak yang memiliki nem tinggi kalah dengan siswa dengan rumah yang lebih dekat. Tetapi, ternyata ada juga pihak yang mengambil keuntungan dari berlakunya sistem ini. Tentu saja yang mendapatkan keuntungan adalah siswa yang tinggal di dekat sekolah yang sudah menjadi sekolah favorit di daerah tersebut. Tetapi ada juga rakyat yang menggunakan sistem ini sebagai tindak kecurangan, FSGI menemukan sebuah kasus dimana terdapat siswa yang menumpang nama di kartu keluarga kerabatnya untuk dapat bersekolah di sekolah favorit. Hal tersebut membuktikan bahwa sistem zonasi ini sangatlah mudah dikelabui. Dapat dilihat bahwa sistem zonasi yang diterapkan di Indonesia lebih memberikan banyak kerugian daripada keuntungan. Tetap saja sistem zonasi yang telah diberlakukan dari 2018 ini, digunakan kembali di tahun 2019. Sistem ini


opini

tetap diterapkan, walaupun mendapatkan banyak sekali protes, serta ketidaksetujuan dari rakyat. Pemerintah tentu saja memiliki tujuan tertentu mengapa tetap menerapkan sistem zonasi ini di Indonesia.

Fasilitas yang berbeda tersebut dapat dicontohkan dengan kelengkapan kelas, kamar mandi, dan lain-lain. Oleh karena itu, sebaiknya pemerintah sebelum menerapkan sistem zonasi ini, menyamakan fasilitas yang ada di sekolah-sekolah, agar tidak menimbulkan keMenteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir timpangan yang menyebabkan masyarakat tidak setuju Effendy merupakan orang yang memberlakukan sistem akan sistem zonasi yang diterapkan. zonasi ini di Indonesia. Beliau mengatakan bahwa sistem zonasi itu berguna untuk memberikan akses dan keadilan Faktor yang kedua adalah, di Jepang sendiri guru serta terhadap pendidikan bagi semua kalangan masyarakat. kepala sekolah yang bekerja di sekolah terkena sistem Beliau juga menambahkan, zonasi juga berperan meng- rolling. Sistem rolling di Jepang sendiri bertujuan agar hilangkan tindakan diskriminatif, hak eksklusif, serta setiap guru memiliki kesempatan untuk mengajar di kompetisi yang berlebihan untuk mendapatkan layanan dari setiap sekolah, serta murid juga mendapatkan kesempemerintah. Ditambahkan pula, alasan dilakukanya sistem patan untuk diajarkan oleh semua guru. Dari sistem zonasi ini adalah untuk menghilangkan stereotip sekolah rolling tersebut terjadi pemerataan pengajar dan tidak favorit ataupun sekolah unggulan, agar semua sekolah dapat terdapat perbedaan pengajar dari setiap sekolah. Hal menjadi sekolah yang baik serta maju. Dikarenakan sebuah tersebut tentu berbeda dengan di Indonesia, dimana sekolah sebenarnya diukur dari masing-masing individu sistem rolling belum diterapkan dan dapat membuat seorang anak, bukan dari nama sekolahnya. terjadinya perbedaan pengajar. Berdasarkan pemaparan diatas, dapat dikatakan bahwa Indonesia Singkatnya, dengan penerapan sistem zonasi ini, dapat ter- belum siap untuk menerapkan sistem zonasi. Hal jadi pemerataan pendidikan, penghilangan sebutan sekolah tersebut dikarenakan fasilitas yang ada di tiap sekolah favorit ataupun sekolah unggulan, dan membuat seluruh belum memadai. Ketika sistem zonasi diterapkan, sekolah memiliki level yang sama. Dikarenakan dengan tidak dapat merugikan siswa yang ingin mendaftar serta menggunakan sistem zonasi, biasanya siswa yang memiliki orang tuanya. Dapat kita ambil sebuah contoh, ketika kecerdasan yang tinggi akan mendaftar ke sekolah favorit, seorang siswa yang berprestasi pada akhirnya terpaksa dan siswa yang memiliki kemampuan akademis biasa-biasa mendaftar di sekolah yang dekat dengan tempat saja karena tidak diterima terpaksa masuk ke sekolah yang tinggalnya, tetapi yang disayangkan adalah sekolah kurang favorit. Hal tersebut membuat sekolah yang favorit tersebut tidak memiliki fasilitas yang baik serta pengakan terus menjadi favorit, dan sekolah yang biasa saja tidak ajar yang bagus. Maka dapat dikatakan bahwa murid dapat berkembang. Jika sistem zonasi dilakukan, sekolah tersebut sangatlah dirugikan, karena ia terpaksa belajar yang biasa-biasa saja dapat berkembang karena mendapat- di sekolah yang tidak memiliki fasilitas baik, padahal kan murid-murid yang berkualitas, dan suatu pemerataan sebenarnya ia bisa belajar di sekolah dengan fasilitas pendidikan dapat terwujud. yang baik. Dapat kita lihat, bahwa tujuan dari diberlakukanya sistem zonasi tersebut sangatlah baik yaitu untuk menerapkan pemerataan pendidikan di Indonesia. Yang menjadi permasalahan dari sistem zonasi tersebut adalah bukanlah sistemnya, melainkan Indonesia sen-diri sebagai sebuah negara belum siap untuk menerapkan sistem zonasi di negara ini. Dikarenakan sistem zonasi sendiri tidak diterapkan pertama kali di Indonesia. Terdapat banyak negara yang telah menerapkan sistem ini dari Australia, Inggris hingga Jepang.

Maka dari itu sudah sepatutnya pemerintah melakukan beberapa perubahan sebelum menerapkan sistem zonasi di Indonesia. Karena dapat dilihat dari pemaparan diatas, bahwa Indonesia sama sekali belum siap untuk mengikuti sistem zonasi, seperti negara jepang. Hal tersebut dikarenakan Indonesia belum melakukan pemerataan fasilitas sekolah serta sistem rolling guru di sekolah. Maka dari itulah, masyarakat Indonesia banyak yang menolak sistem zonasi yang diterapkan oleh pemerintah walaupun memiliki tujuan yang bagus. Jika pemerintah menerapkan sistem zonasi Berdasarkan dari seruni.id, dikatan bahwa di Jepang sistem setelah melakukan pemerataan, maka sistem zonasi zonasi dapat diterapkan secara baik, dikarenakan beberapa yang diterapkan tidak akan menimbulkan penolakan faktor, yaitu yang pertama setiap sekolah memiliki standar dari masyarakat Indonesia sendiri. sekolah yang sama jika dilihat dari fasilitas yang diberikan oleh sekolah. Hal ini tentu saja berbeda dengan Siti Chatlia Quranina Indonesia yang setiap fasilitas sekolahnya masih berbeda Staf Magang Jurnalistik dan belum terdapat persamaan fasilitas di tiap-tiap sekolah. FHUI 2019 LEX. | VOL. II

15


opini

foto: unsplash.com / Headway

Dunia Pendidikan dan Dunia Kerja, Sesuaikah? Oleh Marion Mutiara Matauch

S

emakin banyak orang indonesia yang sadar akan pentingnya pendidikan, sehingga lulusan perguruan tinggi pun meningkat dari sebelumnya. Namun, tingkat pengangguran di Indonesia juga ikut meningkat. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa jumlah pengangguran di Indonesia masih berjumlah 6,82 juta orang. Salah satu faktor utama yang menyebabkannya adalah di sisi penawaran, ada ketidakcocokan antara kebutuhan dunia kerja dan pengetahuan yang didapat di sekolah. Sumber daya manusia Indonesia masih tergolong rendah kualitasnya sehingga dunia usaha menghadapi kesulitan untuk merekrut tenaga kerja. Seharusnya pemerintah dapat menyambung sistem pendidikan dengan dunia kerja. Kebanyakan sekolah formal di Indonesia sejak lama mengatur sistem nya sendiri, tidak mau tahu kebutuhan dunia di luarnya. Akhirnya lulusan yang dihasilkan tidak sesuai dengan kebutuhan dunia kerja dan kebutuhan masyarakat sehingga perusahaan-perusahaan lebih memilih untuk mempekerjakan tenaga kerja asing yang lebih memiliki skill untuk praktik langsung daripada tenaga kerja dari Indonesia yang kebanyakan lulusannya hanya menguasai teori-teori belaka. Banyak sekali hal-hal yang LEX. | VOL. II

16

tidak di ajarkan di pendidikan formal yang sebenarnya dibutuhkan di dunia kerja. Pendidikan formal kebanyakan hanya mengasah pengetahuan dan sikap seseorang daripada keterlampilannya. Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dan progam vokasi di perguruan tinggi sendiri sudah sejak lama menjadi solusi untuk mengatasi kekurangan keterampilan para lulusan pendidikan menengah sampai pendidikan tinggi. Namun, kebanyakan orang Indonesia memiliki stigma yang buruk akan sistem pendidikan ini dan lebih menghargai orang-orang yang lulusan Sekolah Menengah Atas (SMA) dan sarjana di perguruan tinggi. Padahal dalam SMK dan vokasi, keterampilan akan lebih diasah dibanding teoritisnya. Kemampuan inilah yang di butuhkan di Indonesia khususnya sebagai negara berkembang. Seharusnya pemerintah dan para pendidik dapat memperbaharui sistem pendidikan yang lebih dapat menyambung sistem pendidikan dengan dunia kerja. Apalagi kita sudah memasuki industri 4.0 yang tidak hanya berkutat masalah kecanggihan teknologi yang digunakan, namun kualitas SDM ketenagakerjaan juga menjadi faktor penting dan mesti menjadi


opini perhatian utama pemerintah. Banyak juga pengetahuan penting yang tidak di ajarkan di sekolah padahal berguna untuk kehidupan sehari-hari dan dunia kerja. Misalnya dalam masalah pembuatan Kartu Tanda Penduduk (KTP). Banyak orang yang memilih untuk mengambil jalan cepat dengan cara menyogok dalam proses pembuatan KTP. Hal tersebut karena karena anggapan bahwa proses pembuatan KTP itu sangatlah rumit namun hal yang mendasari sikap tersebut adalah karena kurangnya pengetahuan akan pembuatan KTP karena tidak diajarkan oleh sekolah. Contoh lainnya adalah cara pembayaran pajak. Kurangnya pengetahuan akan pembayaran pajak membuat banyak orang cenderung malas membayar pajak. Pertolongan pertama pada kecelakaan, sikap tanggap terhadap tindakan kejahatan, dan pendidikan seks masih kurang diajarkan oleh sekolah-sekolah pada umumnya. Sekolah seharusnya mengevaluasi sistem, aturan, dan pembelajaran yang sudah tidak relevan dan masih tetap saja diajarkan di sekolah.

Sekolah malah mencetak pola pikir murid untuk mendewakan nilai dan absensi, menyeragamkan kemampuan murid dan apatis apabila ada murid yang memiliki kemampuan berpikir kritis yang berbeda. Pemerintah sendiri malah sibuk menggantiganti kurikulum dan menjadikan murid sebagai objek uji coba kebijakan. Manusia merupakan sumber daya terpenting dari sebuah pembangunan. Maka dari itu perbaikan kualitas pendidikan merupakan kepentingan yang harus ditanggapi dengan serius. Oleh karena, itu sudah seharusnya sekolah mengutamakan untuk mengajarkan pelajaran yang pasti terpakai di dunia kerja atau kehidupan sehari-hari daripada yang tidak pasti terpakai. Marion Mutiara Matauch Staf Magang Jurnalistik FHUI 2019

17

LEX. | VOL. II


Foto: Unsplash.com

kata kita Masa Depan Dunia Pendidikan

Oleh M. Ammar J. dan Andini V.

B

eberapa tahun terakhir, dunia Pendidikan sedang mengalami banyak perubahan. Banyak kebijakan baru yang diterapkan oleh pemerintah dalam bidang pendidikan. Dari sekian kebijakan baru tersebut, banyak diantaranya yang menuai pertanyaan dan kontroversi. Zonasi misalnya yang menuai banyak penolakan dari masyarakat. Zonasi merupakan sistem penerimaan peserta didik baru yang bertujuan meratakan pendidikan dan menghapus predikat sekolah favorit di Indonesia. Walaupun demikian, kebijakan ini sepertinya tidak membawa kesejahteraan dan manfaat baik untuk masyarakat. Sejak diberlakukan pada tahun 2017 bahkan hingga dikeluarkannya Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 51 Tahun 2019 sebagai payung kebijakan ini, setiap tahunnya masih terjadi protes dalam pelaksanaan sistem ini. Tidak hanya zonasi, kebijakan lainnya yang cukup kontroversial, mulai dari perubahan kurikulum baru 2013, perubahan sistem seleksi masuk perguruan tinggi, hingga sistem zonasi untuk pendidikan dasar. Apakah perubahan yang dilakukan perlu dan tepat? apakah perubahan tersebut telah dibuat atau dirancang dengan matang? Pertanyaan tersebut sering muncul di tengah masyarakat setiap kali pemerintah (Kemendikbud) mengeluarkan kebijakan baru. Bukankah seharusnya pemerintah lebih memperhatikan pemerataan pendidikan daripada terus LEX. | VOL. I I

18

mengubah sistem pendidikan? Dimana perubahan yang terlalu sering tersebut malah membuat sekolah-sekolah di daerah tertinggal menjadi lebih tertinggal. Masalah apa yang paling penting untuk diselesaikan saat ini di dunia Pendidikan Indonesia? Dunia Pendidikan memiliki banyak tantangan, namun yang seharusnya menjadi fokus dalam dunia pendidikan adalah penyetaraan kualitas pendidikan di kota maupun desa. Penyetaraan dalam hal ini mencakup infrastruktur dan fasilitas, namun yang paling utama adalah sumber daya manusia. Perlu adanya suatu penyelarasan kualitas guru karena mereka merupakan titik informasi bagi siswa. Hal ini menjadi sangat penting di daerah dimana akses kepada informasi sangatlah terbatas. Di daerah, mereka menjadi satu-satunya sumber informasi bagi banyak murid. Perlu juga dimengerti bahwasanya kualitas guru menentukan kualitas murid karena guru juga menjadi pedoman seperti


kata kita yang ada tertulis di semboyan pendidikan Indonesia; Ing Ngarso sing Tulodo. Semboyan ini berarti bahwa guru memiliki peran sebagai teladan. - Derek Gunawan FHUI 2019 Dunia pendidikan di Indonesia masih memiliki banyak masalah, mulai dari tidak meratanya layanan Pendidikan terutama di luar pulau jawa, hingga kurang sejahteranya tenaga pendidik di daerah-daerah pelosok Indonesia. Pemerintah seharusnya memusatkan layanan pendidikan di luar kota-kota besar terutama di luar pulau jawa, dan mulai memusatkan pengembangan sekolah-sekolah di daerah-daerah, terutama di daerah perbatasan. Seharusnya Indonesia bisa memiliki penerus masa depan bangsa yang berkualitas dengan meningkatkan kualaitas Pendidikan di daerah-daerah. Tenaga pendidik di daerah-daerah juga masih kurang sejahtera, banyak dari mereka yang mendapat gaji dan tunjangan yang kurang. Banyak juga dari mereka yang masih menjadi guru honorer dan dibayar dengan gaji dibawah upah minimum regional, sehingga sedikit atau jarang orang yang ingin menjadi guru terutama di daerah. - Pasha Fatika Putri FHUI 2019 Salah satu permasalahan yang ada adalah berubahnya sistem yang terlalu sering, seperti kurikulum yang sering diubah dan direvisi. Seharusnya pemerintah melakukan kajian yang lebih mendalam terlebih dahulu sebelum menerapkannya di kurikulum sekolah agar kurikulum tidak terlalu sering direvisi, karena jika terlalu sering direvisi maka guru dan murid akan merasa susah dalam pembelajaran. Masalah yang masih cukup hangat selanjutnya adalah sistem zonasi, maksud dari sistem zonasi itu agar tidak ada sekolah favorit. Namun yang menjadi permasalahan disini adalah belum merata atau memadainya fasilitas dan kinerja guru, sehingga murid-murid yang ada di daerah-daerah turut menjadi prihatin. Intinya pemerintah harus memeratakan tenaga pendidik dan infrastruktur sebelum menerapkan sistem zonasi.

Dalam dunia pendidikan dari taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi peran guru, dosen atau pengajar adalah salah satu kunci yang paling utama untuk siswa-siswi atau mahasiswa-mahasiswi bisa belajar dan mencintai pelajaran yang diberikan. Permasalahannya tidak semua pengajar memiliki skill atau kemampuan mengajar yang baik. Bukan dari kompetensi dari pengajar itu sendiri melainkan bagaimana cara pengajar tersebut mengajar dengan menghidupkan suasana belajar yang kondusif di kelas namun seru dan serius secara bersamaan. Sehingga terjadi interaksi yang intens antara pengajar dan pelajar yang membuat pelajaran lebih mudah dimengerti. Kesimpulannya, sebelum dinyatakan sah menjadi pengajar, harus ada pelatihan skill mengajar terlebih dahulu. - Farah Clarissa FHUI 2018

M. Ammar Jihad Staf Magang Jurnalistik FHUI 2019

Andini Vidyalestari Staf Magang Jurnalistik FHUI 2019

- Habibah Shabilah FHUI 2018

19

LEX. | VOL. II


Sudahkah Pendidikan Indonesia Sesuai dengan Tuntutan Industri 4.0 ? Oleh Brilian Suci

T

idak dapat dipungkiri bahwa dunia sedang mengalami fase perkembangan yang cepat dan signifikan yang berdampak pada seluruh aspek kehidupan manusia. Manusia dituntut untuk mampu menguasai teknologi agar bisa bersaing dalam menghadapi kompetitor; perubahan. Pemicu perubahan berdampak juga pada pola pikir manusia yang membuat manusia dituntut untuk terus berinovasi menghasilkan gagasan yang luar biasa, untuk terus melangkah maju kedepan atau sekedar mempertahankan posisi saat ini asal tidak tergilas oleh perubahan ataupun ditinggalkan oleh ‘kereta perubahan’ itu. Oleh karena itu, perubahan adalah suatu keniscayaan yang akan selalu terjadi. Manusia sebagai pemeran utama pemicu perubahan haruslah sadar bahwa ia adalah subjek dari perubahan. Oleh karena itu, pemerintah sebagai penyelenggara kesejahteraan suatu bangsa harus memahami betapa pentingnya mengambil andil untuk ikut memikirkan tentang aset-aset pembawa perubahan, yaitu dengan meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Pemerintah berperan dalam merehabilitasi dan memfasilitasi sumber daya manusia yang berarti ditangani dengan serius seperti, mewadahi penyelenggaraan pendidikan yang berbasis industri 4.0. Berbagai perubahan dalam bidang pendidikan yang mengikuti konsep efisiensi juga berdampak pada pembaharuan sumber daya manusia yang diharapkan mampu bersaing dan berdaya guna. Lalu apakah sebenarnya industri 4.0, perkembangannya, serta

bagaimana regulasi yang dihadirkan. Industri 4.0 berawal dari revolusi industri yang telah merubah peradaban dunia. Industri 4.0 itu sendiri adalah suatu alat yang mengandalkan automatisasi dalam pelaksanaanya. Hal itu diperuntukan agar tercapainya efisiensi ; waktu, biaya, dan tenaga manusia. Hal yang bisa dijadikan contoh adalah penggunaan artificial intelligence (AI) dalam meminimalisir tenaga kerja. Hal itu dinamakan dengan internet of things (IoT) yang memiliki kemampuan untuk untuk memudahkan proses pengendalian antar mesin dengan menyambungkannya ke internet. Akibat kecanggihan tersebut, ekosistem kehidupan juga ikut terseret ke dalam jurang perubahan. Contohnya seperti perubahan sistem yang harus mengikuti perkembangan zaman. Oleh karena itu, Indonesia khususnya pemerintah dalam hal ini diharapkan untuk membentuk suatu sistem yang mampu menangani masalah kualitas manusia agar tidak kalah dengan perubahan itu sendiri. Kualitas manusia biasanya ditingkatkan melalui penyelenggaran pendidikan yang memiliki tujuan dan sasaran yang tepat. Dari sini, timbullah suatu pertanyaan tentang apakah pendidikan di Indonesia sudah sesuai dengan tuntutan industri 4.0, bagaimanakah penerapannya dan seperti apa regulasi dihadirkan dalam mengawasi jalannya agar sampai pada tujuan.

melek hukum LEX. | VOL. II

20

Foto: https://www.mongabay.co.id


melek hukum Sebelum lebih dalam, perlu disadari bahwa Indonesia masih tercatat sebagai negara dengan kualitas pendidikan yang rendah. Mengutip dari tirto.id, Indonesia peringkat ke-6 di ASEAN terkait kualitas pendidikan. Dalam menyongsong industri 4.0 pemerintah diharapkan ikut andil dalam hal terkait perubahan. Jika ditanya apakah pendidikan indonesia sudah sesuai dengan tuntutan industri 4.0? maka jawaban yang dapat saya simpulkan adalah sudah, namun belum merata. Contoh dari pengaplikasian industri 4.0 di bidang pendidikan seperti, mengenai materi pembelajaran yang sudah cukup banyak menghadirkan buku-buku secara elektronik sehingga hanya mengandalkan ponsel pintar dan internet dalam mengaksesnya. Hal itu menjadi efisien dan efektif seperti mengurangi penggunaan kertas, meminimalisir sumber daya, serta memudahkan dalam membawa sehingga dapat diakses dimanapun dan kapanpun. Di Indonesia juga ada sekolah kejuruan yang mulai berorientasi teknologi. Dalam beberapa tahun terakhir Presiden Jokowi telah mengadakan revitalisasi dunia pendidikan kejuruan/SMK agar mampu menyesuaikan dengan perubahan. Hal yang dilakukan adalah dengan merombak kurikulum pendidikan itu sendiri yang awalnya menggunakan sistem supply driven menjadi demand driven agar mampu menyesuaikan dengan permintaan pasar. Contoh lain dari penerapan regulasi yang berbasis industri 4.0 adalah mengenai buku elektronik yang bisa diakses dimana saja. E-book sendiri telah diatur dalam UU No. 3 tahun 2017 tentang perbukuan. E-book wajib memiliki standar buku internasional elektronik, menurut pasal 58 UU no 3 tahun 2017 yang berbunyi “Pengembangan buku elektronik yang dilakukan melalui Penerbitan Naskah Buku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 huruf a harus memiliki angka standar buku internasional elektronik� sedangkan batasan-batasan dalam konversi buku cetak ke buku elektronik (e-book) antara lain:

Aturan mengenai E-book ini adalah sebagai dasar payung hukum agar buku-buku yang di hadirkan memiliki kriteria tertentu agar dalam penyebarnya tidak membawa dampak negatif sehingga menjadi suatu bentuk preventif dari kemungkinankemungkinan penyalahgunaannya. Perubahan terhadap sistem dari konvensional menjadi digital ini juga menghasilkan dan merombak peraturanperaturan dasar di dalam undang-undang agar dapat menyesuaikan dengan perkembangan yang ada. Dapat dilihat bahwa E-book adalah salah satu dari beberapa pengaplikasian industrialisasi di dunia pendidikan, tak hanya itu hukum yang berlaku juga harus memiliki kepekaan. Jadi, perubahan dan pembaharuan haruslah berjalan beriringan.

Brilian Suci Staf Magang Jurnalistik FHUI 2019

1. Buku teks utama dapat dikonversi ke dalam bentuk buku elektronik untuk memudahkan masyarakat memperoleh dan mengakses buku teks utama. 2. Buku elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diunduh secara gratis dan digandakan. 3. Ketentuan mengenai pengkonversian ke dalam bentuk buku elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri. Foto: Unsplash.com / Sol

21

LEX. | VOL. II


Foto: songulara.com

jas merah

Membaca Disabilitas dalam Sejarah Pendidikan

Oleh Faradila Utami dan Gita Rachma

P

Memasuki abad ke-19, mulai muncul pionir-pionir terkait pendidikan luar biasa. Pionir pertama adalah Jean Marc-Gaspard Itard, seorang terapis sekaligus pendidik asal Perancis. Pada tahun 1801-1805, Itard mendidik Victor, seorang anak yang tidak bisa bicara, dengan program latihan sensori, yang disebut dengan metode modifikasi perilaku. Ia mendidik Victor untuk dapat berkomunikasi serta bersosialisasi dengan orang lain dalam keseharian. Pada tahun 1846, psikolog yang bekerja di bawah Itard, Édouard Séguin, mengembangkan pedoman yang mempengaruhi aktivitas pembelajaran bagi penyandang disabilitas, dengan judul The Moral Treatment, Hygiene, and Education of Idiots. Dalam pedoman metode pendidikannya, ia menekankan pentingnya pengembangan rasa percaya diri dan kemandirian pada siswa penyandang disabilitas. Pada tahun 1897, hasil kerja dari Itard dan Séguin dilirik oleh Maria Montessori. Dengan dasar ini, Montessori memprakarsai pendidikan luar biasa dengan sistem kelas, mulai dari taman kanak-kanak hingga jenjang sekolah menengah pertama.

endidikan merupakan hak untuk setiap individu, terlepas dari bagaimana kondisi fisik atau mental dari individu tersebut. Untuk menjamin hal ini, pemerintah dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 (UU 20/2003) tentang Sistem Pendidikan Nasional, menerapkan sistem Pendidikan Khusus untuk mereka yang memiliki kebutuhan istimewa dalam proses pembelajaran. Dalam undang-undang tersebut, Pendidikan Khusus ditujukan untuk dua kalangan. Salah satunya adalah kalangan anak penyandang disabilitas, yaitu mereka yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, dan sosial. Sistem Pendidikan Khusus untuk kalangan ini, disebut dengan Pendidikan Luar Biasa, dan diimplementasikan dengan sebutan Sekolah Luar Biasa (SLB). Jauh sebelum istilah SLB muncul, pendidikan bagi disabilitas sudah mulai dibahas pada tahun 1578. Pada tahun tersebut, Pedro Ponce de Léon di Spanyol membuat suatu dokumentasi pengalaman mengenai pendidikan untuk tunarungu dari kaum bangsawan. Pedro seringkali disebut sebagai orang pertama yang mengembangkan metode dalam mengajar para tunarungu. Setelah Pedro, sistem pengajaran untuk disabilitas baru muncul kembali di permukaan hampir 200 tahun setelahnya. Hal ini ditandai dengan berdirinya Institut Pour Sourds di Paris oleh Abbé Charles Michel de l’Epée, sekolah khusus bagi tunarungu, pada tahun 1760.

LEX. | VOL. II

Indonesia sendiri memiliki sejarah panjang tentang pendidikan luar biasa. Kesadaran masyarakat Indonesia sudah dimulai dari periode Indonesia sebelum kemerdekaan. Walaupun diprakarsai oleh orang belanda yaitu dr. Westhoff, namun tidak dapat dipungkiri bahwa berdirinya Blinden Institute tahun 1901 di Bandung membantu memberikan

22


jas merah pelayanan terhadap difabel di Indonesia saat itu. Dengan tujuan sebagai pusat kegiatan pelayanan tunanetra di indonesia, para pengurus aktif secara berkala, dari hari ke hari, mencoba memberi bekal pengetahuan, melakukan kampanye, dan penyuluhan mengenai kebutaan. Badan pelayanan ini, yang juga dikenal sebagai Yayasan Perbaikan Nasib Orang Buta di Nusantara, menjadi salah satu titik tolak sejarah perkembangan berdirinya sekolah khusus bagi tunanetra di Indonesia Berlanjut ke tahun 1927, berdirilah sekolah bagi anak tunagrahita yang pendirinya bernama Folker, sehingga diberi nama Folker School. Nama Folker School pada tahun 1942 diganti menjadi Perkumpulan Pengajaran Luar Biasa yang kini dikenal dengan nama SLB C Cipaganti Bandung. Lalu tahun 1930, dibuka sekolah bagi anak tunarungu-wicara pertama di Bandung bernama Vereniging Voor Onderwijs en Doofstomme Kinderen in Indonesia. Sekolah yang juga dikenal dengan nama SLB Cicendo Bandung, menjadi sekolah tuli-bisu tertua di Indonesia. Walaupun pada masa penjajahan Jepang sekolah ini sering beralih fungsi, seiring tercapainya kemerdekaan bagi Bangsa Indonesia, sekolah ini kembali ke fungsi awalnya yaitu menjadi lembaga pendidikan bagi penyandang disabilitas di Indonesia. Seiring perkembangannya, pada tahun 1954 Departemen Pendidikan menetapkan lembaga pendidikan untuk para penyandang disabilitas di Indonesia dinamakan Sekolah Luar Biasa (SLB).

Perjalanan pendidikan bagi penyandang disabilitas telah berjalan sejak masa Indonesia sebelum merdeka. Selama kurun waktu tersebut pendidikan bagi para penyandang disabilitas telah berkembang secara signifikan ditinjau dari pelayanan dari pemerintah maupun tenaga ahli yang bertugas. Pada tahun ajaran 2017/2018, jumlah SLB di Indonesia telah mencapai 307.655 sekolah. Penyediaan fasilitas oleh pemerintah pun semakin membaik, sistem layanan pendidikannya yang diberikan juga sejalan dengan perkembangan teknologi nasional maupun internasional.

Faradila Utami Staf Magang Jurnalistik FHUI 2019

Gita Rachma Staf Magang Jurnalistik FHUI 2019

Foto: Hariannasional.com

23

LEX. | VOL. II


seputar kita

Ragam Potensi, Satu Visi bersama Inaugurasi FH UI 2019 M

Oleh Nadia Sekar Widyastuti dan Arista Salsabila Hakimah

asa bimbingan kehidupan perkuliahan selalu menjadi hal yang mengesankan dan akan terus teringat dalam ingatan. Begitu juga masa bimbingan (mabim) yang ada di Fakultas Hukum Universitas Indonesia (selanjutnya disebut FHUI). Dibuktikan dengan terselenggaranya acara Inaugurasi FHUI tahun ini, yang merupakan penutup dan puncak dari segala rangkaian masa bimbingan yang selalu ada setiap tahunnya. Pada tahun ini, angkatan FHUI 2019 kembali menyelenggarakan Inaugurasi yang dilaksanakan pada tanggal 8 November 2019 di Lapangan Belakang (dikenal juga dengan nama Tribunal) FHUI.

Meskipun sasaran acara ini adalah anggota IKM FHUI, aksi panggung yang ada di Inaugurasi FHUI 2019 tidak kalah seru dengan acara pentas seni lainnya. Acara diisi dengan penampilan band dari IKM FHUI, drama dan modern dance yang dipersembahkan oleh FHUI angkatan 2019, awarding, serta ditutup dengan karaoke bersama. Adapun band yang ikut memeriahkan Inaugurasi tahun ini adalah Mabago, Diciannove, THR, Justitio, Lex Musica, serta tidak ketinggalan pula Rechtovibe.

Inaugurasi FHUI, yang merupakan project angkatan mahasiswa baru selalu memiliki kesan tersendiri bagi setiap anggota IKM FHUI. Karena perbedaan penyelenggara setiap tahunnya, Inaugurasi FHUI selalu mengangkat tema unik tersendiri, tidak terkecuali Inaugurasi FHUI tahun ini. Inaugurasi FHUI 2019 mengangkat tema ‘Ragam Potensi, Satu Visi’ yang bertujuan agar mahasiswa baru FHUI 2019

Tidak hanya disuguhi dengan penampilan band yang menarik, penampilan drama persembahan dari angkatan 2019 juga bisa dikatakan menjadi highlight dari Inaugurasi tahun ini. Drama yang mengangkat tema PMB (Penerimaan Mahasiswa Baru) FHUI ini turut serta memeriahkan acara dengan acting para aktor dan aktrisnya yang berhasil membawa memori penonton mengenang masa-masa ketika PMB di-

LEX. | VOL. II

24

memiliki keberanian untuk menunjukkan potensi terbaik dari diri mereka masing-masing.


seputar kita

laksanakan. Hal ini cukup menarik perhatian para penonton, terlihat dari antusias mereka yang cukup tinggi untuk menyaksikan drama tersebut. Setelah melihat penampilan luar biasa dari band, drama, dan modern dance, penonton dibawa terhanyut oleh penampilan dari Svara Collective yang memutarkan lagu-lagu hits Indonesia untuk dinyanyikan bersama. Berakhirnya karaoke yang dimainkan oleh Svara Collective menandakan berakhirnya pula acaraInaugurasi FHUI 2019. Tetapi, meskipun penampilan di panggung telah selesai, penonton masih bisa berkeliling untuk melihat art exhibition yang merupakan persembahan FHUI angkatan 2019. Art exhibition yang bertajuk KUHP (Kesan Ungkapan Harapan Pesan) membuat kenangan akan masa-masa PMB kembali ke dalam ingatan. Pada bagian ini, berbagai hal yang berkaitan dengan PMB menghiasi dinding yang bertuliskan night to remember tersebut. Mulai dari berbagai foto kelompok PMB, kutipan perkataan komdis (Komisi Disiplin), hingga jaket kuning dengan tiga lakban hitam yang menjadi ciri khas komdis terpampang jelas pada dinding art exhibition tersebut. Hal ini tentu menarik perhatian para pengunjung sehingga tak jarang banyak yang mengabadikan momen dengan berfoto menggunakan background tersebut.

Tim reporter LEX LK2 FHUI berhasil mewawancarai tiga orang yang hadir di acara Inaugurasi FHUI kemarin. Pertama, Shimaa, FHUI angkatan 2019. Rangkaian acara yang menjadi favoritnya selama Inaugurasi adalah ketika penonton diajak untuk sing along bersama Svara Collective. Menurutnya, pilihan lagu yang dimainkan sangat tepat untuk dinyanyikan bersama-sama. Selain itu, ia juga memuji desain dari photo spot yang ada di Inaugurasi, yang ‘gemas’ untuk dijadikan tempat berfoto bersama. Sedangkan Rakha, orang kedua yang kami wawancarai, yang ternyata ikut tampil sebagai komisi disiplin di drama Inaugurasi FH UI 2019, mengatakan bahwa persiapan panjang yang ia dan teman-temannya lakukan jauh sebelumnya dapat terbayarkan dengan antusias dan apresiasi dari penonton. Ia mengaku sempat merasa takut jika tiba-tiba ditengah jalannya drama terjadi kesalahan dan gangguan dari luar, tetapi ternyata tidak ada kesalahan yang berarti dan tim drama bisa menampilkan hasil yang maksimal. Tidak hanya itu, tim reporter LEX LK2 FHUI juga berhasil mewawancarai Project Officer dari Inaugurasi FHUI 2019, Carolus Bitho. Ia menyatakan bahwa tujuan dilaksanakannya Inaugurasi FHUI 2019 salah satunya adalah sebagai bentuk kepanitiaan pertama di FHUI untuk angkatan 2019. Selain itu, Inaugurasi juga dapat digunakan untuk mempererat hubungan antar sesama angkatan 2019 dalam bentuk kerja sama demi kesuksesan acara. Sedangkan, perihal tema dari Inaugurasi FHUI 2019, Bitho menyatakan bahwa Inaugurasi FHUI 2019 itu sendiri mengangkat tema yang sama dengan tujuan dan beberapa masalah yang ada di angkatan 2019. Dirinya merasa bahwa angkatan 2019 masih belum berani menunjukkan potensinya secara keseluruhan. Adapun harapan Bitho untuk Inaugurasi FHUI tahun depan dapat dilaksanakan lebih baik dari tahun ini dan tetap menjadi ajang untuk dapat lebih dekat dengan sesama mahasiswa baru. Nadia Sekar Widyastuti Staf Magang Jurnalistik FHUI 2019

Arista Salsabila Hakimah Staf Magang Jurnalistik FHUI 2019

25

LEX. | VOL. II


In special education, ere's too much emphasis on e deficit and not enough on e streng Temple Grandin

Seorang Profesor pengidap Sindrom Autis


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.