Tribune Express LK2 - Esai Kritis: Penjatuhan Pidana Mati bagi Pelaku Kekerasan Seksual

Page 1


Esai Kritis: Penjatuhan Pidana Mati bagi Pelaku Kekerasan Seksual (Studi Kasus Herry Wirawan): Upaya Eradikasi Kekerasan Seksual atau Bentuk Salah Fokus Negara? Oleh: Suci Lestari Palijama Staf Bidang Literasi dan Penulisan LK2 FHUI 2022

Sumber: Tempo Pada penghujung tahun 2021, masyarakat Indonesia diramaikan dengan pemberitaan kasus pemerkosaan Herry Wirawan, pemilik Pondok Pesantren berinisial MH di Bandung, terhadap 12 orang santriwatinya.1 Kedua belas santriwati merupakan anak dibawah umur dengan tujuh di antaranya telah melahirkan anak dari pelaku.2 Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban mengidentifikasi adanya eksploitasi ekonomi yang dilakukan oleh Herry kepada santri yang menjadi korban pemerkosaannya.3 Fakta persidangan menunjukkan indikasi kejahatan yang bersifat sistematik di mana anak-anak yang dilahirkan oleh korban diakui sebagai anak yatim piatu untuk menjadi dasar pelaku meminta dana kepada sejumlah pihak.4 Terhadap kasus Herry, Pengadilan Negeri Bandung menjatuhkan vonis hukuman penjara seumur hidup.5 Namun, pasca penjatuhan putusan, Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan 1 Achmad Nasrudin Yahya, “Fakta Kasus Herry Wirawan, LPSK: Perkosa Santriwati hingga Anak yang Dilahirkan Jadi Modus Minta Dana,” https://nasional.kompas.com/read/2021/12/10/14100401/fakta-kasus-herry-wirawan-lpsk-perkosa-santriwati-hin gga-anak-yang?page=all, diakses 11 Juli 2022. 2 Ibid. 3 Ibid. 4 Ibid. 5 Doni Indra Ramadhan, “Jejak Perkara Herry Wirawan: Perkosa 13 Santriwati hingga Divonis Mati,” https://www.detik.com/jabar/hukum-dan-kriminal/d-6016627/jejak-perkara-herry-wirawan-perkosa-13-santriwat i-hingga-divonis-mati, diakses 11 Juli 2022.


Tinggi Jawa Barat mengajukan banding terhadap putusan tersebut.6 Pada tingkat banding, hukuman Herry dianulir menjadi vonis hukuman mati.7 Hakim menilai bahwa perbuatan Herry telah melanggar Pasal 81 ayat (1), ayat (3), dan ayat (5) juncto Pasal 76D Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak juncto Pasal 65 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).8 Hakim memutuskan agar dilakukan pembayaran restitusi kepada korban sebesar Rp 331 juta yang dibebankan kepada negara melalui Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak.9 Dalam pertimbangannya, terdapat tiga hal yang diputuskan majelis hakim menjadi alasan pemberat hukuman Herry, yaitu pertama, perbuatan Terdakwa telah menimbulkan anak-anak dari korban yang sejak lahir kurang mendapatkan kasih sayang dengan pembebanan perawatan anak yang melibatkan banyak pihak; kedua, perbuatan Terdakwa menimbulkan trauma dan penderitaan bagi korban dan orang tua korban; dan ketiga, perbuatan Terdakwa dianggap menggunakan simbol agama sehingga mencemarkan lembaga pondok pesantren dan merusak citra agama Islam.10 Indonesia memang merupakan salah satu negara yang masih menerapkan pidana mati dalam sistem hukum positifnya. Data Amnesty International menyebutkan bahwa setidaknya terdapat 114 vonis hukuman mati yang dijatuhkan di Indonesia pada tahun 2021.11 Beberapa peraturan perundang-undangan yang membahas mengenai pidana mati, antara lain Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, KUHP, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika, serta Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan 6

Tim detikcom, “Jaksa Ajukan Banding Ingin Herry Wirawan Dihukum Mati, Ini Alasannya,” https://news.detik.com/berita/d-5954729/jaksa-ajukan-banding-ingin-herry-wirawan-dihukum-mati-ini-alasanny a, diakses 11 Juli 2022. 7 Naviandri, Pengadilan Tinggi Bandung Kabulkan Banding Hukuman Mati Herry Wirawan,” https://mediaindonesia.com/nusantara/483181/pengadilan-tinggi-bandung-kabulkan-banding-hukuman-mati-her ry-wirawan, diakses 11 Juli 2022. 8 Dony Indra Ramadhan, “Ini Pertimbangan Hakim Hakim Perberat Vonis Herry Wirawan Jadi Hukuman Mati,” https://www.detik.com/jabar/hukum-dan-kriminal/d-6016017/ini-pertimbangan-hakim-perberat-vonis-herry-wir awan-jadi-hukuman-mati, diakses 12 Juli 2022. 9 Doni Indra Ramadhan, “Restitusi Rp 331 Juta Korban Pemerkosaan Herry Wirawan Dialihkan ke Negara,” https://news.detik.com/berita-jawa-barat/d-5943417/restitusi-rp-331-juta-korban-pemerkosaan-herry-wirawan-di alihkan-ke-negara, diakses 12 Juli 2022. 10 Febriyan, “Ini Putusan Lengkap Vonis Herry Wirawan Si Pemerkosa 12 Santriwati,” https://nasional.tempo.co/read/1578364/ini-putusan-lengkap-vonis-herry-wirawan-si-pemerkosa-12-santriwati, diakses 12 Juli 2022. 11 Amnesty Indonesia, “Laporan Hukuman Mati 2021: Vonis Mati di Indonesia Terus Dipertahankan Tanpa Alasan,” https://www.amnesty.id/laporan-hukuman-mati-2021-vonis-mati-di-indonesia-terus-dipertahankan-tanpa-alasan, diakses 13 Juli 2022.


Hak Asasi Manusia. Kelompok masyarakat yang menyatakan dukungan pada penerapan pidana mati umumnya memiliki beberapa argumen, seperti: pertama, pidana mati menghilangkan pelaku kejahatan dari tengah masyarakat yang berimplikasi pada timbulnya ketenangan dan ketentraman; kedua, pidana mati menimbulkan efek retributif yang memberikan rasa keadilan kepada korban dan keluarga korban; ketiga, pidana mati dapat menimbulkan efek preventif bagi anggota masyarakat lain yang hendak melakukan tindak kejahatan; dan keempat, pidana mati tidak dilarang oleh norma-norma agama utama.12 Pemberlakuan hukuman pidana mati dalam hukum Indonesia memiliki beberapa batasan yang salah satunya muncul sebagai implikasi dari ratifikasi Indonesia terhadap Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005. Berangkat dari hal tersebut, terdapat ketentuan dalam pemberlakuan pidana mati yang perlu diperhatikan, yaitu pidana mati diberlakukan dalam ranah hukum pidana sesuai aturan hukum yang berlaku. Selain itu, pidana mati hanya dapat diberlakukan sebagai penghukuman terhadap kejahatan-kejahatan yang tergolong serius.13 Secara normatif, hukum Indonesia memang mengakomodir kekerasan seksual sebagai kejahatan yang tergolong serius. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (UU Pengadilan HAM) mengenali adanya dua bentuk pelanggaran HAM berat, yakni genosida dan kejahatan kemanusiaan. Kejahatan kemanusiaan dapat didefinisikan sebagai perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan meluas atau sistematik yang diketahui bahwa serangan tersebut ditujukan langsung kepada penduduk sipil.14 Salah satu bentuk perbuatan kejahatan kemanusiaan yang diakui dalam Pasal 9 huruf g UU Pengadilan HAM adalah perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara. Maka dari itu, tindakan pemerkosaan dalam bentuk kejahatan kemanusiaan dapat dikategorikan sebagai salah satu bentuk pelanggaran HAM berat yang berdasarkan Pasal 40 UU Pengadilan HAM dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 20 tahun. Lebih lanjut, pelaku kejahatan seksual terhadap anak dapat dikategorikan sebagai extraordinary crime dan merupakan bentuk kejahatan yang sensitif (sensitive crime).15 Hal 12

Arie Siswanto,“Hukuman Mati dalam Perspektif Hukum Internasional,” Jurnal Ilmu Hukum Refleksi Hukum (2009), hlm. 10. 13 Institute for Criminal Justice Reform, Fenomena Deret Tunggu Pidana Mati Indonesia, (Jakarta: ICJR, 2020), hlm 12. 14 Indonesia, Undang-Undang tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, UU No. 26 Tahun 2000, LN No. 208 Tahun 2000, TLN No. 4026, Ps. 9. 15 Vidya Prahassacitta, “The Concept of Extraordinary Crime in Indonesia Legal System: Is The Concept an Effective Criminal Policy?” Humaniora 7 (2016), hlm. 516.


tersebut disebabkan oleh dua aspek, yakni anak sebagai korban dan dampak tindakan kekerasan seksual yang dialami.16 United Nation Convention on Child Right 1988 menegaskan bahwa karena ketidakmatangan fisik dan mental, maka anak memerlukan perlindungan dan perawatan khusus termasuk perlindungan hukum yang layak, sebelum dan sesudah kelahiran.17 Tujuan tersebut menjadi tidak tercapai dengan terjadinya tindakan kekerasan seksual terhadap anak. Kekerasan seksual yang dialami oleh anak juga berpotensi menimbulkan penderitaan bagi anak dan merupakan bentuk pelanggaran integritas fisik dan psikologis anak dan pelanggaran norma moral pada masyarakat.18 Hal tersebut memenuhi syarat penjatuhan pidana mati menurut Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik karena dijatuhkan untuk penghukuman kejahatan yang tergolong serius. Penerapan pidana mati bagi Herry dapat dikatakan bersesuaian dengan Pasal 6 ayat (2) Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik bahwa “Di negara-negara yang belum menghapuskan hukuman mati, putusannya dapat diberikan hanya untuk kejahatan yang paling berat, sesuai dengan undang-undang yang berlaku pada waktu kejahatan demikian dilakukan, dan tanpa melanggar suatu ketentuan dari Kovenan ini dan Konvensi Tentang Pencegahan Dan Penghukuman Kejahatan Pemusnahan (suku) Bangsa.”19 Namun, penanggulangan suatu tindak pidana tidak hanya didasari pada timbulnya kejahatan atau metode yang digunakan dalam penyelesaian pelaku kejahatan, yang perlu menjadi fokus utama adalah korban kejahatan itu sendiri.20 Dalam penanganan kasus kekerasan seksual, selain dari pemberian sanksi terhadap pelaku, hal krusial lain yang juga perlu untuk diperhatikan adalah penanganan berperspektif korban yang bertujuan memberikan keadilan dan kemaslahatan bagi korban.21 Pidana mati dapat menjadi salah satu bentuk solusi pelaku-sentris pemerintah atas fenomena kekerasan seksual. Terdapat beberapa hal yang membuat

vonis hukuman mati berpotensi memberikan dampak negatif terhadap

keberlanjutan penanganan kekerasan seksual. Pertama, vonis hukuman mati menghilangkan tanggung jawab pelaku untuk memberikan dana restitusi sebagai bentuk pemenuhan hak korban atas pemulihan. Restitusi merupakan bentuk ganti kerugian bagi korban atau keluarganya yang dilakukan oleh pelaku 16

Ibid. Ibid. 18 Ibid. 19 Indonesia, Undang-Undang tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights, UU No. 12 Tahun 2005, LN No. 119 Tahun 2005, TLN No. 4558, Ps. 6 ayat (2). 20 Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor… Tahun… tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, (Jakarta: Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia, 2021), hlm 19. 21 Ibid., hlm 9. 17


atau pihak ketiga.22 Hilangnya tanggung jawab pembayaran restitusi disebabkan oleh prinsip dalam Pasal 10 KUHP yang mengkategorikan pidana mati sebagai salah satu bentuk pidana pokok. Dalam penerapan pidana mati, hakim akan menemukan batasan dalam Pasal 67 KUHP yang menyatakan bahwa terdakwa yang mendapat vonis hukuman mati tidak dapat dijatuhi pidana tambahan kecuali pencabutan hak, perampasan barang-barang yang telah disita sebelumnya, dan pengumuman putusan hakim. Hal tersebut disebabkan oleh perampasan nyawa yang dilakukan oleh negara dalam pidana mati dianggap sebagai hukuman terberat yang secara otomatis telah merampas seluruh kepemilikan terdakwa terhadap hal lainnya.23 Kedua, pidana mati berpotensi menurunkan tingkat pelaporan terhadap tindakan kekerasan seksual yang terjadi. Data Catatan Tahunan 2021 Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan menunjukkan bahwa kekerasan terhadap perempuan terjadi paling tinggi dalam ranah personal yakni sebesar 79% atau 6480 kasus.24 Maka, pelaku otomatis merupakan seseorang yang memiliki hubungan darah dengan korban, kerabat, ataupun memiliki relasi perkawinan maupun relasi intim (berpacaran) dengan korban.25 Hal tersebut berpotensi menambah beban bagi korban untuk melaporkan tindakan kekerasan seksual yang dialaminya sebab korban mengetahui bahwa pelaporan yang dilakukannya memiliki potensi untuk berujung pada kematian orang terdekatnya.26 Lebih lanjut, pidana mati juga berpotensi membahayakan korban.27 Ketakutan akan hukuman mati dapat menyebabkan pelaku membunuh korbannya atau membuat korban tidak dapat mengenali pelaku sehingga menghancurkan bukti kejahatan yang telah dilakukan.28 Ketiga, penerapan pidana mati tidak sesuai untuk menjadi upaya preventif keberulangan tindakan kekerasan seksual. Salah satu teori penghukuman dari filsuf utilitarian abad ke-18, Jeremy Bentham, yakni deterrence theory mengungkapkan bahwa ancaman hukuman pidana secara terbuka—dalam hal ini pidana mati—dibuat untuk memberikan efek 22

Indonesia, Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, UU No. 31 Tahun 2014, LN No. 293 Tahun 2014, TLN No. 5602, Ps. 1 ayat (1). 23 Institute for Criminal Justice Reform, “Untuk Pemulihan Korban, Pidana Mati Bukan Solusi,” https://icjr.or.id/untuk-pemulihan-korban-pidana-mati-bukan-solusi/, diakses 16 Mei 2022. 24 Komnas Perempuan, CATAHU 2021: Perempuan Dalam Himpitan Pandemi: Lonjakan Kekerasan Seksual, Kekerasan Siber, Perkawinan Anak Dan Keterbatasan Penanganan Di Tengah Covid-19, (Jakarta: Komnas Perempuan, 2021), hlm. 12. 25 Scholastica Gerintya, “Pelaku Kekerasan Seksual Terbanyak adalah Orang Dekat Korban,” https://tirto.id/pelaku-kekerasan-seksual-terbanyak-adalah-orang-dekat-korban-cmrD, diakses 15 Juli 2022. 26 Bansari Kamdar, “Death Penalty for Rape: An Ineffective Lethal Lottery in South Asia,” https://thediplomat.com/2021/01/death-penalty-for-rape-an-ineffective-lethal-lottery-in-south-asia/, diakses 15 Juli 2022. 27 Ibid. 28 Ibid.


pencegahan yang diharapkan timbul sebelum kejahatan dilakukan.29 Deterrence theory memiliki dua tipe, yaitu specific deterrence yang bekerja dengan menghukum penjahat untuk mencegah ia melakukan kembali tindakan kejahatan di masa depan dan general deterrence yang bekerja dengan memberikan ancaman hukuman untuk mencegah kemungkinan calon pelaku melakukan suatu kejahatan.30 Masyarakat Indonesia memiliki anggapan bahwa pidana mati dapat bekerja sebagai general deterrence, akan tetapi beberapa bukti empiris menyatakan bahwa pidana mati tidak memenuhi tujuan penghukuman tersebut. Responden survei dan penelitian dari Universitas Colorado mengenai efektivitas pidana mati dalam menurunkan tingkat kejahatan pembunuhan menemukan 78% mengatakan bahwa pidana mati tidak berhasil menurunkan tingkat pembunuhan, 91% mengatakan bahwa para politisi memberi dukungan terhadap penerapan pidana mati untuk nampak tangguh dalam menangani kejahatan, dan 75% mengatakan bahwa penerapan pidana mati mengalihkan fokus negara untuk menciptakan solusi nyata dari masalah kejahatan.31 Lebih lanjut, 91,6% mengatakan bahwa peningkatan frekuensi penerapan pidana mati dalam penanganan kejahatan tidak menambah efek jera.32 Kepercayaan

masyarakat

akan

efektivitas

pidana

mati

dalam

menangani

kejahatan—terlepas dari data-data yang menyatakan model penghukuman tersebut tidak efektif—dapat dipengaruhi oleh bias konfirmasi (confirmation bias). Bias konfirmasi merupakan bentuk kegagalan psikologis di mana manusia memiliki kecenderungan untuk mencari dan menginterpretasikan informasi baru sedemikian rupa untuk mengkonfirmasi keyakinan yang sudah ada.33 Retorika “deterrence” atau pidana mati sebagai upaya pencegahan cenderung digunakan untuk mengolah wacana publik dalam masyarakat untuk meminimalisasi konflik maupun menantang keyakinan moral pihak yang oposisi dengan gagasan pidana mati.34 Kemudian, spesifik pada masyarakat Indonesia, popularitas dukungan atas pidana mati datang dari keinginan akan keadilan, terlepas dari lemahnya sistem peradilan pidana negara.35 Temuan Indeks Negara Hukum World Justice Project pada tahun 2020 29

Maharani Adiannarista Wardhani, “Efektivitas Penghukuman dalam Studi Kasus Hukuman Penjara dan Hukuman Mati : Kajian Alternatif Penghukuman Lain,” DEVIANCE: Jurnal Kriminologi 3 (2019), hlm. 75. 30 Jason Luliano, “Why Capital Punishment is No Punishment At All,” American University Law Review 64 (2015), hlm. 1382. 31 Michael L. Radelet dan Traci L. Lacock, “Do Executions Lower Homicide Rates?: The Views of Leading Criminologist,” The Journal of Criminal Law and Criminology (2009), hlm. 502. 32 Ibid. 33 Luliano, Why Capital Punishment is No Punishment At All, hlm. 1388. 34 Ibid., hlm. 1391. 35 Usman Hamid, “Death penalty false cure for ailing Indonesian justice system,” https://www.thejakartapost.com/academia/2021/04/20/death-penalty-false-cure-for-ailing-indonesian-justice-sys tem.html, diakses 28 Juli 2022.


menyatakan bahwa responden Indonesia menganggap sistem penyidikan pidana Indonesia tidak efektif, sistem pemasyarakatannya tidak efektif dalam mengurangi kejahatan, dan sistem pidananya yang tidak imparsial.36 Hal tersebut membuat masyarakat Indonesia memiliki anggapan bahwa pelaku kejahatan harus mendapat hukuman seberat mungkin untuk mencegah potensi keberulangan.37 Anggapan tersebut diperkuat dengan rutinnya pemerintah dan politisi mencetuskan ide bahwa pidana mati dapat mencegah kejahatan.38 Keempat, penerapan pidana mati merupakan hukuman yang tidak sesuai dalam menangani penyebab langgengnya fenomena kekerasan seksual yang mengakar pada budaya masyarakat serta sistem hukum Indonesia. Dalam keseharian bermasyarakat, penyebab kekerasan seksual dapat dijelaskan melalui teori vulnerable victim hypothesis di mana proses sosialisasi peran gender dalam masyarakat yang mengglorifikasi maskulinitas serta budaya objektifikasi perempuan menempatkan laki-laki dalam posisi sosiokultural tertinggi yang membuat kelompok masyarakat dengan status dan peran sosiokultural yang lebih rendah (dalam hal ini perempuan) lebih rentan terhadap tindakan kekerasan seksual.39 Lebih lanjut, kekerasan seksual juga dapat disebabkan oleh adanya relasi kuasa dalam masyarakat. Hal tersebut dijelaskan melalui social power theory di mana interseksi ragam identitas sosial yang dimiliki seseorang dapat menciptakan ketimpangan relasi kuasa di masyarakat yang memberi kesan legitimasi kepada seseorang bahwa status mereka memberikan mereka hak untuk melakukan kekerasan seksual.40 Budaya normalisasi kekerasan seksual sejatinya juga menjadi permasalahan dalam hukum positif Indonesia. Survei daring yang dilakukan oleh Lentera Sintas Indonesia bersama media Magdalene.co menyatakan bahwa 93% penyintas pemerkosaan tidak pernah melaporkan kasus mereka pada aparat hukum, hanya 1% penyintas memilih penyelesaian lewat jalur hukum.41 Hal tersebut secara implisit menunjukkan adanya kesulitan bagi korban dalam mengakses keadilan pasca mengalami tindakan kekerasan seksual. Misalnya, dalam hal penanganan kasus pemerkosaan melalui Pasal 285 KUHP yang berpotensi mempersulit penyelesaian kasus karena adanya unsur “dengan kekerasan atau ancaman kekerasan” dan “memaksa perempuan yang bukan isterinya bersetubuh dengan dia”. Aspek pembuktian 36

Ibid. Ibid. 38 Ibid. 39 Shawn Meghan Burn, “The Psychology of Sexual Harassment,” Teaching of Psychology (2018), hlm. 37

98. 40

Ibid. MaPPI FHUI, “Kekerasan Seksual di Indonesia: Data, Fakta, dan Realita,” http://mappifhui.org/wp-content/uploads/2016/12/Kekerasan-Seksual-di-Indonesia-Data-Fakta-Realita.pdf, diakses 15 Juli 2022. 41


adanya unsur paksaan maupun kekerasan tentu tidak relevan mengingat korban bisa saja diperkosa dalam keadaan tidak sadarkan diri atau mengalami tonic immobility.42 Kemudian, unsur “perempuan yang bukan istrinya” secara tidak langsung menyatakan bahwa pemidanaan dengan Pasal 285 KUHP tidak berlaku bagi kasus suami yang memperkosa istrinya.43 Budaya normalisasi kekerasan seksual turut terjadi dalam lingkungan pengadilan di mana faktor keperawanan dan riwayat seksual korban menjadi salah satu bias utama pertimbangan hakim dalam menangani kasus pemerkosaan.44 Hal tersebut dipengaruhi oleh prasangka yang berkembang dalam masyarakat bahwa seorang perempuan dianggap memiliki tubuh yang “menggiurkan”, menggoda, atau menggairahkan.45 Hal tersebut kemudian berdampak pada cara hakim dalam memutus hukuman bagi pelaku pemerkosaan. Hakim cenderung memberikan hukuman yang ringan kepada terdakwa jika korbannya sudah tidak perawan (sudah pernah melakukan hubungan seksual sebelum pemerkosaan terjadi) pada saat pemerkosaan terjadi.46 Hakim juga memiliki kecenderungan untuk menyalahkan korban atas pemerkosaan yang dialaminya, mulai dari menyalahkan pakaian, sikap dan perilaku, hingga penampilan korban.47 Lingkungan pengadilan masih melanggengkan mitos bahwa seseorang dapat mencegah dirinya dari tindakan pemerkosaan dengan berperilaku “sebagaimana mestinya”.48 Hal-hal tersebut secara gamblang menunjukkan bahwa terdapat pelanggengan rape culture atau budaya pemerkosaan dalam lingkup aparat penegak hukum yang berdampak pada kegagalan korban dalam mengakses keadilan dan kepastian hukum. Budaya pemerkosaan melanggengkan norma budaya dan institusi yang melindungi pemerkosa, mempromosikan impunitas, mempermalukan dan menyalahkan korban, dan menuntut agar seseorang melakukan pengorbanan yang tidak masuk akal untuk menghindari kekerasan seksual.49 Budaya hukum Indonesia sejatinya masih mengaitkan fenomena kekerasan seksual

42

Francine Russo, “Sexual Assault May Trigger Involuntary Paralysis, https://www.scientificamerican.com/article/sexual-assault-may-trigger-involuntary-paralysis/, diakses 17 Juli 2022. 43 Anugrah Rizki Akbari, Adery Ardhan Saputro, dan Bela Annisa, Reformasi Pengaturan Tindak Pidana Perkosaan, (Depok: MaPPI FHUI, 2016), hlm 51. 44 Choky R. Ramadhan, “Reforming Indonesian Rape Law: Adopting U.S. Rape Shield Law in Excluding Prejudicial Evidence,” Indonesian Law Review (2018), hlm. 71. 45 Ibid., hlm 67. 46 Ibid., hlm 70. 47 Ibid., hlm. 71. 48 Ibid., hlm. 67. 49 Alissa Kessel, “Rethinking Rape Culture: Revelations of Intersectional Analysis,” American Political Science Review (2021), hlm 1.


dengan moralitas.50 Akibatnya, proses hukum kasus kekerasan seksual menjadi minim dalam hal menunjukkan empati terhadap korban.51 Maka dari itu, perlu dipertimbangkan kembali apakah pidana mati mumpuni dalam memberikan edukasi kepada masyarakat maupun aparat penegak hukum terkait eradikasi budaya normalisasi kekerasan seksual yang tumbuh dalam masyarakat. Langgengnya fenomena kekerasan seksual sejatinya merupakan permasalahan struktural yang seharusnya melibatkan masyarakat dalam penyelesaiannya serta pembuatan kebijakan publik yang menganut perspektif korban. Peraturan perundang-undangan Indonesia memang mengakomodir penerapan pidana mati bagi pelaku pemerkosaan. Masyarakat luas menganggap pidana mati sebagai solusi yang melindungi korban sekaligus menimbulkan efek jera bagi calon pelaku kejahatan selanjutnya. Namun, penerapan pidana mati pada kenyataannya tidak efektif dalam menyelesaikan kasus kekerasan seksual secara menyeluruh. Pidana mati memiliki potensi untuk menghilangkan tanggung jawab pelaku membayar dana restitusi bagi pemulihan korban, membuat korban ragu untuk melaporkan tindakan kekerasan seksual yang dialaminya, memperbesar potensi pelaku untuk membunuh korban, serta merupakan bentuk pemidanaan yang gagal dalam mengidentifikasi akar permasalahan

budaya normalisasi kekerasan seksual dalam

masyarakat. Pidana mati dapat memindahkan perhatian negara yang seharusnya berfokus pada pemulihan korban menjadi berfokus pada pembalasan dan pemidanaan terhadap pelaku. Terhambatnya penyelesaian kasus kekerasan seksual sejatinya juga merupakan permasalahan struktural dalam sistem hukum dan kinerja aparat penegak hukum Indonesia yang minim perspektif korban sehingga pidana mati bukanlah solusi yang tepat dalam menangani permasalahan-permasalahan tersebut. Upaya eradikasi kekerasan seksual seharusnya dilakukan dengan memberikan kepastian hukum bagi korban, bukan dengan memperkejam hukuman bagi pelaku.

50

Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor… Tahun… tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, hlm 7. 51 Ibid.


DAFTAR PUSTAKA Buku Akbari, Anugrah Rizki, Adery Ardhan Saputro, dan Bela Annisa. Reformasi Pengaturan Tindak Pidana Perkosaan. Depok: MaPPI FHUI, 2016. Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor… Tahun… tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Jakarta: Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia, 2021. Institute for Criminal Justice Reform. Fenomena Deret Tunggu Pidana Mati Indonesia. Jakarta: ICJR, 2020. Komnas Perempuan. CATAHU 2021: Perempuan Dalam Himpitan Pandemi: Lonjakan Kekerasan Seksual, Kekerasan Siber, Perkawinan Anak Dan Keterbatasan Penanganan Di Tengah Covid-19. Jakarta: Komnas Perempuan, 2021. Jurnal Akademis Burn, Shawn Meghan. “The Psychology of Sexual Harassment.” Teaching of Psychology (2018). Hlm. 96 – 103. Kessel, Alissa. “Rethinking Rape Culture: Revelations of Intersectional Analysis.” American Political Science Review (2021). Hlm. 131 – 143. Luliano, Jason. “Why Capital Punishment is No Punishment At All.” American University Law Review 64 (2015). Hlm. 1377 - 1441. Prahassacitta, Vidya. “The Concept of Extraordinary Crime in Indonesia Legal System: Is The Concept an Effective Criminal Policy?” Humaniora 7 (2016). Hlm. 512 – 521. Ramadhan, Choky R. “Reforming Indonesian Rape Law: Adopting U.S. Rape Shield Law in Excluding Prejudicial Evidence.” Indonesian Law Review (2018). Hlm. 63 – 86. Radelet, Michael L. dan Traci L. Lacockn. “Do Executions Lower Homicide Rates?: The Views of Leading Criminologists." The Journal of Criminal Law and Criminology (2009). Hlm. 489 – 508. Siswanto, Arie. “Hukuman Mati dalam Perspektif Hukum Internasional.” Jurnal Ilmu Hukum Refleksi Hukum (2009). Hlm. 7 – 20 Whardani, Maharani Adiannarista. “Efektivitas Penghukuman dalam Studi Kasus Hukuman Penjara dan Hukuman Mati : Kajian Alternatif Penghukuman Lain.” DEVIANCE: Jurnal Kriminologi 3 (2019). Hlm. 69 – 90.


Peraturan Perundang-Undangan Indonesia. Undang-Undang tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, UU No. 26 Tahun 2000, LN No. 208 Tahun 2000, TLN No. 4026. Indonesia. Undang-Undang tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights, UU No. 12 Tahun 2005, LN No. 119 Tahun 2005, TLN No. 4558. Indonesia. Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, UU No. 31 Tahun 2014, LN No. 293 Tahun 2014, TLN No. 5602. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana [Wetboek van Strafrecht]. Diterjemahkan oleh Moeljatno. Jakarta: Bumi Aksara, 2008. Internet Amnesty Indonesia. “Laporan Hukuman Mati 2021: Vonis Mati di Indonesia Terus Dipertahankan

Tanpa

Alasan.”

https://www.amnesty.id/laporan-hukuman-mati-2021-vonis-mati-di-indonesia-terus -dipertahankan-tanpa-alasan. Diakses 13 Juli 2022. Febriyan. “Ini Putusan Lengkap Vonis Herry Wirawan Si Pemerkosa 12 Santriwati.” https://nasional.tempo.co/read/1578364/ini-putusan-lengkap-vonis-herry-wirawansi-pemerkosa-12-santriwati. Diakses 12 Juli 2022. Gerintya, Scholastica. “Pelaku Kekerasan Seksual Terbanyak adalah Orang Dekat Korban.” https://tirto.id/pelaku-kekerasan-seksual-terbanyak-adalah-orang-dekat-korban-cmr D. Diakses 15 Juli 2022. Hamid, Usman. “Death penalty false cure for ailing Indonesian justice system.” https://www.thejakartapost.com/academia/2021/04/20/death-penalty-false-cure-forailing-indonesian-justice-system.html. Diakses 28 Juli 2022. Institute for Criminal Justice Reform. “Untuk Pemulihan Korban, Pidana Mati Bukan Solusi.”

https://icjr.or.id/untuk-pemulihan-korban-pidana-mati-bukan-solusi/.

Diakses pada 16 Mei 2022. Kamdar, Bansari. “Death Penalty for Rape: An Ineffective Lethal Lottery in South Asia.” https://thediplomat.com/2021/01/death-penalty-for-rape-an-ineffective-lethal-lotter y-in-south-asia/. Diakses 15 Juli 2022.


MaPPI

FHUI.

“Kekerasan

Seksual

di

Indonesia:

Data,

Fakta,

dan

Realita.”

http://mappifhui.org/wp-content/uploads/2016/12/Kekerasan-Seksual-di-IndonesiaData-Fakta-Realita.pdf. Diakses 15 Juli 2022. Naviandri. Pengadilan Tinggi Bandung Kabulkan Banding Hukuman Mati Herry Wirawan.” https://mediaindonesia.com/nusantara/483181/pengadilan-tinggi-bandung-kabulka n-banding-hukuman-mati-herry-wirawan. Diakses 11 Juli 2022. Ramadhan, Dony Indra. “Ini Pertimbangan Hakim Hakim Perberat Vonis Herry Wirawan Jadi Hukuman

Mati.”

https://www.detik.com/jabar/hukum-dan-kriminal/d-6016017/ini-pertimbangan-ha kim-perberat-vonis-herry-wirawan-jadi-hukuman-mati. Diakses 12 Juli 2022. Ramadhan, Doni Indra. “Jejak Perkara Herry Wirawan: Perkosa 13 Santriwati hingga Divonis Mati.” https://www.detik.com/jabar/hukum-dan-kriminal/d-6016627/jejak-perkara-herrywirawan-perkosa-13-santriwati-hingga-divonis-mati. Diakses 11 Juli 2022. Ramadhan, Doni Indra. “Restitusi Rp 331 Juta Korban Pemerkosaan Herry Wirawan Dialihkan

ke

Negara.”

https://news.detik.com/berita-jawa-barat/d-5943417/restitusi-rp-331-juta-korban-pe merkosaan-herry-wirawan-dialihkan-ke-negara. Diakses 12 Juli 2022. Russo,

Francine.

“Sexual

Assault

May

Trigger

Involuntary

Paralysis.”

https://www.scientificamerican.com/article/sexual-assault-may-trigger-involuntaryparalysis/. Diakses 17 Juli 2022. Tim detikcom. “Jaksa Ajukan Banding Ingin Herry Wirawan Dihukum Mati, Ini Alasannya.” https://news.detik.com/berita/d-5954729/jaksa-ajukan-banding-ingin-herry-wirawa n-dihukum-mati-ini-alasannya. Diakses 11 Juli 2022. Yahya, Achmad Nasrudin. “Fakta Kasus Herry Wirawan, LPSK: Perkosa Santriwati hingga Anak

yang

Dilahirkan

Jadi

Modus

Minta

Dana.”

https://nasional.kompas.com/read/2021/12/10/14100401/fakta-kasus-herry-wirawa n-lpsk-perkosa-santriwati-hingga-anak-yang?page=all. Diakses 11 Juli 2022.


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.