Tribune Express LK2 - Esai Kritis: Peradilan HAM Berat Kasus Paniai

Page 1

EsaiKritis:PeradilanHAMBeratKasusPaniaisebagaiPanggungSandiwaraPenegakan HAMdiIndonesia

OlehAngelicaCatherineEdelweis StafLiterasidanPenulisan

Sumber:HeryLopulalann

Dalam sistem peradilan Indonesia terdapat beberapa jenis peradilan, seperti peradilan umum, peradilan militer, peradilan agama, dan peradilan tata usaha negara.1 Untuk peristiwa-peristiwa khusus, Indonesia juga dapat memberikan sebuah badan peradilan khusus atau ad hoc SepertihalnyauntukkasuspelanggaranHakAsasiManusia(HAM)berat,Indonesia dapat membentuk pengadilan HAM ad hoc dengan mekanisme peradilan yang disesuaikan dengan kasus pelanggaran HAM berat.2 Peradilan khusus bukanlah peradilan yang sering ditemukan, hal ini disebabkan untuk peristiwa-peristiwa khusus, akan ada mekanisme khusus juga. Peradilan khusus seperti peradilan HAM hanya dibentuk jika terdapat kasus pelanggaran HAM yang telah dinilai oleh Komnas HAM sebagai kasus pelanggaran HAM berat.3 Dengan

1Indonesia, Undang Undang Kekuasaan Kehakiman, UU No 48 Tahun 2009, LN No 157 Tahun 2008, TLNNo 5076,Ps 25ayat(1)

2Indonesia, Undang Undang Pengadilan Hak Asasi Manusia, UU No 26 Tahun 2000, LNNo 208Tahun 2000,TLNNo.4026,Ps.4.

3Ibid,Ps 20ayat(1)

mekanisme yang berbeda dan lebih rumit, dapat dipastikan kehadiran peradilan khusus seperti peradilanHAMinitidakseringdijumpai.

Dalam sejarah peradilan HAM di Indonesia, peradilan HAM ad hoc tidak sering dijumpai, bahkan peradilan HAM ad hoc terakhir yang pernah digelar di Indonesiadiadakan19 tahun yang lalu atau pada tahun 2003.4 Jarangnya kehadiran peradilanHAMdiIndonesiabukan berartiIndonesiaterluputdarikasus-kasusyangseyogyanyamerupakankasuspelanggaranHAM berat. Akan tetapi, dengan mekanisme penyelidikan dan peradilan yang berbeda, terkadang kasus-kasustersebutmemakanwaktu.SepertihalnyauntukkasuspelanggaranHAMberatPaniai yang sekarang sedang dalam proses peradilan. Kasus Paniai menjadi kasus pelanggaran HAM berat pertama dalam 19 tahun yang mampu menghidupkan kembali peradilan HAM ad hoc di Indonesia.5

Kasus Paniai menggemparkan Indonesia pada 8 Desember 2014 silam dengan pemberitaan kematian 5 orang pelajar asal Paniai saat melakukan aksi protesdiLapanganKarel Gobai,Enarotali,Paniai.6 BerdasarkanhasilpenyidikanJaksaAgung,peristiwainidipicudengan adanya pengeroyokan terhadap 4 pemuda oleh beberapa anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) pada tanggal 7 Desember. Atas pengeroyokan tersebut, warga sipilmelakukanaksiprotes dengan membawa senjata tajam dan melakukan blokade jalan.7 Keadaan semakin memanas ketika masa yang kala itu ditangani oleh Polisi diambil alih oleh TNI yang merasa bertanggungjawab atas amarah warga. Dengan semakin tidak terkendalinya keadaan warga setelah melakukan tarian perang waita, massa menyerbu Markas Koramil 1705-02/Enarotali yang mana tersangka IS meminta untuk anggota koramil menutup pagar agar massa tidak masuk.8

Ketegangan antara warga sipil dengan anggota TNI semakin disulut dengan aksi pemanjatan pintu markas koramil dan masa yang mengancam anggota TNI untuk menembaki masa. Personel koramil lantas meminta arahan dari IS terhadap aksi massa. Namun, sebelumIS

4PutusanPengadilanHAMAdHoc,PutusanNo 02/Pid HAM/Ad Hoc/2003/PNJKT/PST

5Wahyu Pratama Tamba, “Menyambut Pengadilan HAM untuk Paniai,” https://kolomtempoco/read/1626730/menyambut pengadilan ham untuk paniai,diakses28Oktober

6CNN Indonesia, “Jejas Kasus Berdarah Paniai Disidangkan Hari ini,” https://wwwcnnindonesiacom/nasional/20220921130532 12 850711/jejak kasus paniai berdarah 2014 hingga disi dangkan hari ini,diakses28Oktober

7Xenos Z. Ginting, “Kronologi Lengkap Pelanggaran HAM Berat Paniai Papua Tewaskan 4 Orang 10 Luka,” https://wwwdetikcom/sulsel/hukum dan kriminal/d 6304230/kronologi lengkap pelanggaran ham berat paniai papua tewaskan 4 orang 10 luka,diakses28Oktober

8Ibid

menjawab, anggota koramil telah melakukan penembakan ke arah massa dan melakukan pengejaran disertai penikaman dengan sangkur.9 Penembakan tersebut menewaskan 4 orang pelajar, serta beberapa orang terluka parah.10 Atas peristiwa tersebut, KomnasHAMmengambil alih penyelidikan dan setelah 6 tahun penyelidikan, menetapkan bahwa peristiwa tersebut merupakankasuspelanggaranHAMberatyaitukejahatanterhadapkemanusiaan.11 Penetapan kasus Paniai sebagai kasus pelanggaran HAM berat dan secara khususnya sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan menimbulkan kontroversi di berbagai pihak. Pertama, banyak yang menyayangkan ketidaktegasan Komnas HAM terhadap kasus-kasus yang dinilai publik secara faktual merupakan pelanggaran HAM berat seperti peristiwa Trisakti, peristiwa Semanggi I dan II, Peristiwa Wasior Wamena, dan masih banyaklainnya.12 Kedua,banyakyang berpendapat termasuk keluarga korban bahwa penetapan pelaku dalam peristiwa pelanggaran HAM berat terdapat kejanggalan dari segi jumlah pelakunya.13 Terakhir, terdapat perdebatan apakah kasus ini sebenarnya cukup untuk dianggap sebagai kasus kejahatan terhadap manusia yang dapat menghidupkan kembali peradilan HAM Indonesia yang sudah usang. Apakah kasus ini sejatinya merupakan bentuk perhatian Indonesia terhadap penegakan HAM masyarakatnya atauapakahkasusinidijadikanpanggungsandiwaraparapihakyangberkepentingan?

Menurut Pasal 1 angka 7, Komnas HAM merupakan lembaga yang berfungsi untuk melaksanakan, mengkaji, meneliti, menyuluh, memantau, dan melakukan mediasi terkait HAM.14 DalamfungsinyasebagailembagayangmenjadigardautamapenegakanHAM,Komnas HAM juga dapat berlaku sebagai penyelidik untuk dapat memutuskan apakah suatu peristiwa merupakanpelanggaranHAMbiasaatauberat.Sebelummemutuskanapakahsebuahkasusdapat dikatakan sebagai pelanggaran HAM berat atau tidak, Komnas HAM akan melakukan sidang

9Ibid

10 Koalisi Masyarakat Sipil Pemantau Paniai 2014, “Sidang Pemeriksaan Saksi Kedua Pengadilan HAM Peristiwa Paniai 2014: Ajang Penyudutan Warga Sipil dan Korban” https://wwwamnestyid/sidang pemeriksaan saksi kedua pengadilan ham peristiwa paniai 2014 ajang penyudutan warga sipil dan korban/,diakses30Oktober

11Fikri Arigi, “Awal Mula Kasus Pelanggaran HAM Berat di Paniai Papua,” https://nasional.tempo.co/read/1308202/awal mula kasus pelanggaran ham berat di paniai papua,diakses 28Oktober.

12Tri Indriawati, “Kasus Pelanggaran HAM Berat di Indonesia yang Belum Terselesaikan,” https://wwwkompascom/stori/read/2022/09/15/140000879/kasus pelanggaran ham berat di indonesia yang belum terselesaikan?page=all,diakses30Oktober

13BBC Indonesia, “Sidang Perdana Kasus Paniai: Korban Anggap Penghinaan, Pegiat Sebut Sandiwara Hukum,” bbccom/indonesia/articles/c10p7389pjpo#:~:text=Tragedi%20Paniai%20terjadi%20pada%207, berjanji%20akan%20menyelesaikan%20kasus%20tersebut,diakses28Oktober

14Indonesia, Undang Undang Hak Asasi Manusia, UU No. 39 Tahun 1999,LNNo.165Tahun1999,TLN No 3886,Ps 1angka(7)

paripurna, yang mana nantinya hasil tersebut dilimpahkan kepada Jaksa Agung jika merupakan pelanggaran HAM berat.15 Melalui mekanisme ini, Komnas HAM menetapkan setelah 6 tahun penyelidikan bahwa kasus Paniai dianggap memenuhi seluruh unsur pelanggaran HAM berat kejahatanterhadapkemanusiaan.

Untuk dapat membedakan kasus Paniai dari kasus penembakan (pembunuhan) biasa menjadi kasus kejahatanterhadapkemanusiaan,harusdiketahuiterlebihdahuluapaitukejahatan terhadap kemanusiaan. Menurut Rome Statue of The International Criminal Court, kejahatan kemanusiaan adalah, “Widespread or systematic attack directed against any civilian population with knowledge of the attack.”16 Suatu tindak pidana dapat dikatakan menjadi pidana pelanggaran HAM berat setidaknya harus merupakan perbuatan yang melanggar ketentuan, perbuatan dilakukan dengan unsur kesengajaan ataupun sikap pembiaran perbuatan yang seharusnya dicegah, perbuatan yang tersistematis, serta perbuatan tersebut menimbulkan akibat dan ketakutan kemanusiaan yang luar biasa yang dirasakan oleh penduduk sipil.17 Mengenai kejahatan terhadap kemanusiaan, David Luban memberikan pengertian yang ditarik dari Rome StatuteofTheInternationalCriminalCourtyangdiringkasdalam5unsurpenting,yaitu:18

1. Kejahatan dianggap masyarakat umum sebagai tindakan yang menodai kemanusiaanatautidakmanusiawi;

2. Kejahatanditetapkanmasyarakatinternasionalsebagaikejahataninternasional;

3. Kejahatandilakukansecaraterorganisasi,meluas,dansistematis;

4. Kejahatandilakukanterhadapkelompokmanusia;dan

5. Kejahatandilakukanterhadapsesamawarganegara.

Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Pengadilan HakAsasiManusiamemberikanpengertian kejahatan terhadap kemanusiaan yang adalah, “Salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa pembunuhan.”19 Pembunuhan sendiri menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) adalah tindakan seseorang

15Ibid ,Ps 79ayat(1)

16

Perserikatan Bangsa Bangsa, Rome StatuteofTheInternationalCriminalCourt, UNTS 2187(2002),hlm 3,Ps 7

17JerryFowler, Keadilan Bagi Generasi Mendatang,(Jakarta:Elsam,2001),hlm VIII

18David Luban, “A Theory of Crimes Against Humanity,” Yale Journal of International Law 29 (2004), hlm 93 109

19Indonesia, Undang Undang Pengadilan Hak Asasi Manusia, UU No.26Tahun2000,LNNo.208Tahun 2000,TLNNo 4026,Ps 9huruf(a)

merampas nyawa orang lain dengan sengaja.20 Bahwa, dari kedua pengertian tersebut dapat disimpulkan pembunuhan sebagai bagian dari kejahatan terhadap kemanusiaan adalah tindak seseorang untuk merampas nyawa orang lain dengan sengaja melalui seranganyangmeluasdan sistematik, serta ditujukan kepada penduduk sipil. Dari pengertian tersebut, dapat ditarik beberapa unsur yang harus dipenuhi agar sebuah kasus pembunuhan (penembakan) untuk dapat ditetapkansebagaikasuspelanggaranHAMberat,yaitu:

1. Unsurserangan;

2. Unsurmeluasdansistematik;dan

3. Unsurditujukankepadapenduduksipil.

Pertama, unsur serangan. Serangan dapat diartikan sebagai tindakan melukai atau memberikan nestapa/ penderitaan terhadap seseorang baik dengan kekerasan secara langsung maupun melalui pihak lain yang dilakukan secara sengaja.21 Disimpulkan dari unsur-unsur kejahatan terhadap kemanusiaan yang telah dijabarkan sebelumnya, maka, serangan haruslah merupakan kejahatan yang dianggap menodai kemanusiaan dan ditetapkan sebagai kejahatan yang universal. Bahwa, dalam kasus penembakan di Paniai, serangan yang dilakukan harus menimbulkan nestapa kepada pihak yang dituju dan bahwa tindakan yang memberikan nestapa adalah tindakan yang ditetapkan sebagai kejahatan oleh mata internasional.DalamkasusPaniai, penembakanyangdiberikantelahmemenuhiunsurserangansebagaimanatelahdiuraikan. Kedua, unsur meluas atau sistematik. Meluas menurut Charles Jalloh merupakan bentuk serangan yang berskala besar hingga “menampar”rasakemanusiaanmasyarakat.22 Dapat diartikan serangan tersebut tidak hanya ditujukan kepada seseorang melainkan kepada sebuah komunitas secara kolektif. Secara kolektif menurut putusan pengadilan HAM berat terdahulu yaitu Putusan No. 02/PID.HAM/AD.HOC/2003/PN.JKT.PST dapat diartikan bahwa serangan tersebut dilakukan berkali-kali, merupakan delik berlanjut, dan serangan tersebut merupakan rangkaiandarisebuahkejahatanyangtersistematis.23 MenurutEdwardO.S.Hiariejmerujukpada Pasal 64 KUHP, delik berlanjut merupakan rangkaianperistiwapidanayangberkaitansatusama

20Kitab Undang Undang Hukum Pidana [Wetboek van Strafrecht], diterjemahkanolehMoeljatno,(Jakarta: BumiAksara,2016),Ps 338

21Angelica C Edelweis, Cornellia D Natallina, dan Nindya A Minar, “Tinjauan Yuridis Terhadap Kasus Kerangkeng Manusia oleh Bupati Langkat: Indikasi Perbudakan Modern Berupa Tindak Pidana Perdagangan Orang,” Corpus Law Journal 1 (2022),hlm 55

22 Charles Chernor Jalloh,“WhatMakesaCrimeAgainstHumanityaCrimeAgainstHumanity,” American University International Law Review 28 (2013),hlm.404.

23PengadilanNegeriJakartaPusat,PutusanNo 02/PIDHAM/ADHOC/2003/PNJKTPST,hlm 181

lain dalam memenuhi satu tujuan yang sama.24 DalamkasusPaniai,delikyangdilakukanadalah pembunuhan yang berdiri sendiri. Tidak terdapat rangkaian delik yang berkaitan satu sama lain untuk mencapai tujuan yaitu perampasan nyawa penduduk sipil. Dengan begitu, unsur meluas dapatdikatakantidakterpenuhi.

Sistematik menurut Massiomo dapat diartikan bahwa sebuah serangan dilakukan oleh badan kewenangan de facto atau oleh organisasi yang tersusun secara politis.25 Sekalipun umumnya dilakukan oleh kelompok yang terorganisir, hal ini tidak menutup kemungkinan jika serangan dilakukan oleh orang perorangan. Akan tetapi, Massiomo menambahkan jika sebuah serangan dilakukan oleh pelaku tunggal harus dapat dibuktikan bahwa serangan tersebut seolah-olah merupakan perbuatan berkelompok.26 Frasa terorganisir tidak dijelaskan lebihlanjut apakah intensi pembentukan kelompok dan perencanaan tindakan berkelompok menjadi unsur wajib dalam unsur sistematik. Akan tetapi, dalam Putusan No. 02/PID.HAM/AD.HOC/2003/PN.JKT.PST dijelaskan bahwa sistematis berarti terdapat perencanaanterlebihdahuluataupelaksanaanberdasarkandesign (by design) 27

Kehadiran perencanaan dalam unsur sistematik juga menjadi berkorelasi dengan adanya unsur “dengan sengaja” dalam tindak pidana pembunuhan itu sendiri. Bahwa, dalam perbuatan melakukan pembunuhan harus terdapat intensi/niat yang tertuang dalam rencana untuk merampas nyawa seseorang. Dapat ditarik kesimpulan bahwa kehadiran badanterorganisiryang terencana dan berkelanjutan dalam unsur meluas dan sistematik harusmemangdibentukdengan intensi untuk merampas nyawa sekelompok orang. Dalam kasus ini, tidak terdapat badan yang terorganisir dengan intensi, perencanaan, dan serangan yang berkelanjutan untuk membunuh kelompok warga sipil Paniai. Tidak terdapat pembentukan badan/kelompok terorganisir baik secara terencana maupun secara spontan oleh para anggota dan komandannya untuk melakukan pembunuhanterhadapparapenduduksipil. Dapat ditarik kesimpulan dari surat dakwaan yang telah dibacakan Jaksa Penuntut Umum, kehadiran terdakwa IS sebagai pelaku tunggal atas dasar pertanggungjawabankomando berdasarkan Pasal 42 Undang-Undang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Pertanggungjawaban

24

Edward OS Hiariej, Prinsip Prinsip Hukum Pidana, (Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka, 2015), hlm 142

25

Massiomo Renzo, “Crimes Against Humanity and The Limits of International Criminal Law,” Law and Philosophy 31 (2012),hlm 444

PengadilanNegeriJakartaPusat,PutusanNo 02/PIDHAM/ADHOC/2003/PNJKTPST,hlm 181 26Ibid

27

komando adalah bentuk pertanggungjawaban yang dibebankan kepada seorang komandan militer/seseorang yang secara efektif dapat dikatakan sebagai komandan militer atas perbuatan pelanggaran HAM berat yang dilakukanolehpasukanyangsecaraefektifdibawahkomandonya yang seharusnyadapatdicegah.28 Halinimemberikanpengertianbahwasatu-satunyabadanyang dapat dijadikan organisasi penaung parapelakuadalahTNIkarenabadanyangmemilikistruktur komando militer efektif di Indonesia hanyalah TNI. Akan tetapi, TNI tidak dapat dikatakan sebagai badan yang menaungi/mengorganisir para pelaku kejahatan kemanusiaan peristiwa Paniai. Hal ini dikarenakan TNI merupakan badan yang didirikan berdasarkan Pasal 34 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 34 tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia. TNI tidak didirikan menjadi badan yang terorganisir hanya untuk melakukan peristiwa pembunuhan di Paniai ataupun melakukan perlakuan sejenis terhadap penduduk sipil. Lebih lagi, TNI tidak digunakan sebagai badanyang menaungiperbuatankejahatanterhadapkemanusiaansecarasistematis. Seperti yangtelahdibahasterdahulu,dalamunsursistematikterdapatberbagaikomponen penyusun, seperti unsur perencanaan dan badan yang terorganisir. Dari fakta-fakta yang telah diperoleh tidak terdapat unsur perencanaan dalam melakukan penembakan terhadap penduduk sipil Paniai. Dalam peristiwa Paniai pun tidak dapatditemukanbadanterorganisiryangmemang dibentuk untuk menaungi aksi yang melanggar HAM yang dilakukan oleh para pelaku. Dengan begitu, dapat disimpulkan bahwa unsur sistematik yang menjadi unsur penting dan wajib dalam tindakpidanakejahatanterhadapkemanusiaantidakterpenuhi.

Ketiga, unsur ditujukan kepada penduduk sipil. Unsur ini memberikan pengertian bahwa serangan yang dilakukan diberikan atau ditujukan kepada sebuah kelompok tertentu. Luban dalam teorinya menyatakan bahwa penduduk sipil dapat dikatakan sebagai kelompok umum yang umumnya merupakan warga negara yang sama dengan para pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan.29 Dalam kasus ini terlihat terdapat sekelompok warga sipil yang sedang melakukan aksi yang menjadi target dalam kasus penembakan di Paniai ini. Dapat dikatakan bahwaunsurditunjukankepadapenduduksipilterpenuhidalamkasusPaniai.

28Joko Setiyono, “Penerapan Pertanggungjawaban Komando di Indonesia atas Pelanggaran HAM Berat KategoriKejahatanTerhadapKemanusiaan,” Jurnal Masalah masalah Hukum 39 (2010),hlm 354

29David Luban, “A Theory of Crimes Against Humanity,” Yale Journal of International Law 29 (2004), hlm 93 109

Dalam Putusan No. 02/PID.HAM/AD.HOC/2003/PN.JKT.PST, unsur sistematik dan meluas juga menjadi unsur yang tidak dapat dibuktikan oleh Jaksa Penuntut Umum. Unsur ini menjadi unsur yang sangat penting dalam membuktikan sebuah tindak pidana menjadi pelanggaran HAM berat. Unsur ini menjadi sangat krusial dan seharusnya dicermati dengan seksama sebelum melakukan pelimpahan berkas ke pengadilan. Tidak terpenuhinya unsur ini dapat menjadikan terdakwa diputus bebas dan hilangnya keadilan bagi para keluarga korban. Putusan bebas terdakwa dapat berakibat kasus ini menjadi nebis in idem. Dalam hal nebis in idem, jika seseorang dalam sebuah perkara diputus bebas atau dilepaskan dari segala tuntutan, maka, atas perkara tersebut ia tidak boleh dituntut ulang.30 Dengan begitu, tidak terpenuhinya unsur meluas atau sistematik dalam persidangan menjadi sebuah keuntungan besar bagi pihak terdakwa karena atas perbuatannya ia tidak harusbertanggungjawabyangmanaseharusnyajika penuntutandilakukandipengadilanmiliteriaharusbertanggungjawab.

Lantas, dengan tidak terpenuhinya unsur meluas atau sistematik yang menjadi unsur krusial dan wajib dalam pembuktian pidana kejahatan terhadap kemanusiaan, tujuan apa yang ingin dicapai Jaksa Penuntut Umum dalam menghadirkan peristiwa Paniai sebagai pelanggaran HAM berat yang dipaksakan?JikakitaberkacadarisejarahperadilanHAMdiIndonesiasendiri, maka, dapat diambil sebuah pola menarik dari keberlangsungan penegakan HAM di Indonesia. Di Indonesia, peradilan HAM muncul sebagai akibat dari desakan masyarakat terhadap Pemerintah akan banyaknya dugaan kasus pelanggaran HAM selama33tahunmasaordebaru.31 Kemunculan peradilan HAM dan Undang-Undang Pengadilan Hak Asasi Manusiajugamenjadi kontroversi di mata internasional karena Indonesia dinilai seolah-olah menutupi kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh pihak penguasa untuk tidak ditarik ke tribunal HAMinternasional.32

Pola ini menjadi semakin menarik jika dikorelasikan dengan teori Luban. Luban mengatakan bahwa dalam kasus kejahatan terhadap kemanusiaan terdapat unsur penting, yaitu penetapan dunia internasional bahwa sebuah kejahatan adalah benar sebuah kejahatan

30Wirjono Prodjodikoro, Asas Asas Hukum Pidana di Indonesia, (Bandung: Refika Aditama, 2014), hlm 160

31Anwar Hafidzi, “Dampak Dari Penetapan UU Nomor 26 Tahun 2000 Terhadap Kejahatan Kemanusiaan danGenosidadiIndonesia,” Syariah Jurnal Ilmu Hukum 15 (2015),hlm 107

32Mys, “Ada Tekanan Internasional Saat Membentuk Pengadilan HAM,” https://www.hukumonline.com/berita/a/ada tekanan internasional saat membentuk pengadilan ham hol11810?page =2,diakses5November

universal.33 Hal ini mengindikasikan bahwa dalam isu sensitif seperti pelanggaran HAM berat akan selalu terdapat tekanan dan intervensi dari dunia internasional masuk ke dalam negara. Tekanan ini terbukti nyata hadir dan mempengaruhi politik HAM Indonesia seperti pada saat Indonesia memberikan kemerdekaan kepada Timor Leste setelah opresi yang dilakukan pada awal periode 2000 an.34 Apakah tekanan yang sama diberikan oleh dunia internasional terhadap berbagai kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia selama tahun 2000-2020 membuat Indonesia mengambil jalan pintas untuk menggunakan kasus hangat ini menjadi bentuk “kehidupankembali”peradilanHAMdiIndonesia?

Selain daripada penanganan peristiwa Paniai yang cukup janggal dan seolah-olah mempermainkan penegakan HAM, terdapat hal-hal yang sepatutnya disoroti dan diperhatikan lebihlagiolehbeberapapihak.Pertama,KomnasHAMsebagailembagayangmenjadipengawas langsung terhadap penegakan HAM di Indonesia sudah seharusnya memberikan perhatian dan panggung yangsamaterhadapkasuspenembakandiPaniaisepertiperhatianyangKomnasHAM berikan terhadap kasus penembakan Brigadir Josua. Atensi ini juga seharusnya diberikan dan ditegaskan oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia serta Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Hak Asasi Manusia. Kedua, sudah seharusnya Komnas HAM membuka hasil pemantauan dan penyelidikan kasus penembakan di Paniai seperti yang Komnas HAM lakukan terhadap kasus kekerasan kerangkeng manusia di Langkat yang tertuang dalam Keterangan Pers Nomor 007/HM.00/III/2022 sesuai dengan fungsi pemantauan yang termaktub dalam Pasal 89 ayat (3) Undang-Undang Hak Asasi Manusia. Hal ini menjadi penting sebagai bentuk transparansi dan bentuk penarikan kepercayaan masyarakat terhadap kinerja Komnas HAMdalampenegakanHAMdiIndonesiasendiri. Menurut hemat pikir penulis, kasus penembakan di Paniai sejatinya bukanlah kasus pelanggaran HAM berat. Kasus penembakan Paniai merupakan pelanggaran hukum pidana umum yaitu pembunuhan yang disertai adanya kesewenangan jabatan militer. Akan menjadi lebih baik dan memenuhi rasa keadilan jika kasus ini diadili dalam tribunal militer seperti pelaku-pelaku dalam kasus penembakan di Paniai lainnya. Hal ini disebabkan dari fakta yang

33David Luban, “A Theory of Crimes Against Humanity,” Yale Journal of International Law 29 (2004), hlm 93 109

34Ardli Johan Kusuma, “Pengaruh Norma HAM Terhadap Proses Kemerdekaan Timor Leste dari Indonesia,” Jurnal Ilmu Pemerintahan 7 (2017),hlm 7

telah ada, tidak terdapat pemenuhan unsur meluas atau sistematik yang menjadi unsur wajib dalampidanapelanggaranHAMberat. Vakumnya pengadilan HAM di Indonesia selama 19 tahun seharusnya membuat pengadilan inimenjadilebihistimewadandiperhatikanlebihdalamlagi.Dimulaidaripemilahan kasus yang tepat, pengumpulan bukti-bukti yang cukup, strategi pembuktian, dan sebagainya. Mengingat kasus pelanggaran HAM berat bukanlah kasus yang ringan dan merupakan kasus yang sangat sensitif tidak hanya terhadap keluarga korban tetapi juga masyarakat secara umum. Kasus-kasus pelanggaran HAM berat didesain lebih rumit, terperinci, dan spesifik karena sensitivitas yang menjadi efek langsung dari tindak pidana ini. Kasus ini memerlukan perhatian dan waktu yang khusus. Prinsip kehati-hatian ini seharusnya turut dipakai dalam memproses kasus penembakan di Paniai. Dengan begitu,tidakhanyakasusinidapatmenghidupkankembali pengadilan HAM yang menjadi bentuk konkret penegakan HAM di Indonesia, tetapi jugadapat melahirkan rasa keadilan bagi keluarga korban dan masyarakat umum. Akhir kata, kasus ini diharapkan dapat menjadi pelajaran dan dapat melahirkan yurisprudensi yang baik bagi penegakanHAMdiIndonesiakedepannya.

Buku

Fowler,Jerry. Keadilan Bagi Generasi Mendatang.Jakarta:Elsam,2001.

Hiariej, Edward O.S. Prinsip-Prinsip Hukum Pidana.Yogyakarta:CahayaAtmaPustaka, 2015.

Prodjodikoro, Wirjono. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia. Bandung: Refika Aditama,2014.

Jurnal

Edelweis, Angelica C., Cornellia D. Natallina, dan Nindya A. Minar. “Tinjauan Yuridis Terhadap Kasus Kerangkeng Manusia oleh Bupati Langkat: Indikasi Perbudakan Modern Berupa Tindak Pidana Perdagangan Orang.” Corpus Law Journal 1 (2022).Hlm.26-65.

Hafidzi, Anwar. “Dampak Dari Penetapan UU Nomor 26 Tahun 2000 Terhadap Kejahatan Kemanusiaan dan GenosidadiIndonesia.” Syariah Jurnal Ilmu Hukum 15 (2015).Hlm.107-116.

Jalloh, Charles Chernor. “What Makes a Crime Against Humanity a Crime Against Humanity.” American University International Law Review 28 (2013). Hlm. 381-441.

Kusuma, Ardli Johan. “Pengaruh Norma HAM Terhadap Proses Kemerdekaan Timor LestedariIndonesia.” Jurnal Ilmu Pemerintahan 7 (2017).Hlm.1-13.

Luban, David. “A Theory of Crimes Against Humanity.” Yale Journal of International Law29(2004).Hlm.85-167.

Renzo, Massiomo. “Crimes Against Humanity and The Limits of International Criminal Law.”Law and Philosophy 31 (2012).Hlm.443-476. Setiyono, Joko. “Penerapan Pertanggungjawaban Komando di Indonesia atas Pelanggaran HAM Berat Kategori Kejahatan Terhadap Kemanusiaan.” Jurnal Masalah-masalah Hukum 39 (2010).Hlm.351-358.

PeraturanPerundang-Undangan

Indonesia. Undang-Undang Hak Asasi Manusia, UU No. 39 Tahun 1999, LN No. 165 Tahun1999,TLNNo.3886.

DAFTARPUSTAKA

Indonesia. Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman,UUNo.48Tahun2009,LNNo.157 Tahun2008,TLNNo.5076.

Indonesia. Undang-Undang Pengadilan Hak Asasi Manusia,UUNo.26Tahun2000,LN No.208Tahun2000,TLNNo.4026.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana [Wetboek van Strafrecht] Diterjemahkan oleh Moeljatno.Jakarta:BumiAksara,2016.

DokumenInternasional

Perserikatan Bangsa-Bangsa. Rome Statute of The International Criminal Court. UNTS 2187(2002).

PutusanPengadilan

PengadilanNegeriJakartaPusat.PutusanNo.02/PID.HAM/AD.HOC/2003/PN.JKT.PST

Internet

Arigi, Fikri. “Awal Mula Kasus Pelanggaran HAM Berat di Paniai Papua.” https://nasional.tempo.co/read/1308202/awal-mula-kasus-pelanggaran-ham-beratdi-paniai-papua.Diakses28Oktober.

BBC Indonesia. “Sidang Perdana Kasus Paniai: Korban Anggap Penghinaan, Pegiat Sebut Sandiwara Hukum.” bbc.com/indonesia/articles/c10p7389pjpo#:~:text= Tragedi%20Paniai%20terjadi%20pada%207,berjanji%20akan%20menyelesaikan %20kasus%20tersebut.Diakses28Oktober.

CNN Indonesia. “Jejas Kasus Berdarah Paniai Disidangkan Hari ini.” https://www.cnnindonesia.com/nasional/20220921130532-12-850711/jejak-kasuspaniai-berdarah-2014-hingga-disidangkan-hari-ini.Diakses28Oktober

Ginting, Xenos Z. “Kronologi Lengkap PelanggaranHAMBeratPaniaiPapuaTewaskan 4 Orang- 10 Luka.” https://www.detik.com/sulsel/hukum-dan-kriminal/ d-6304230/kronologi-lengkap-pelanggaran-ham-berat-paniai-papua-tewaskan-4-o rang-10-luka.Diakses28Oktober.

Indriawati, Tri. “Kasus Pelanggaran HAM Berat di Indonesia yang Belum Terselesaikan.” https://www.kompas.com/stori/read/2022/09/15/140000879/kasus-pelanggaran-ha m-berat-di-indonesia-yang-belum-terselesaikan?page=all.Diakses30Oktober.

Koalisi Masyarakat Sipil Pemantau Paniai 2014. “Sidang Pemeriksaan Saksi Kedua Pengadilan HAM Peristiwa Paniai 2014: Ajang Penyudutan Warga Sipil dan Korban.” https://www.amnesty.id/sidang-pemeriksaan-saksi-kedua-pengadilanham-peristiwa-paniai-2014-ajang-penyudutan-warga-sipil-dan-korban/. Diakses 30Oktober

Mys. “Ada Tekanan Internasional Saat Membentuk Pengadilan HAM.” https://www.hukumonline.com/berita/a/ada-tekanan-internasional-saat-membentu k-pengadilan-ham-hol11810?page=2.Diakses5November.

Tamba, Wahyu Pratama. “Menyambut Pengadilan HAM untuk Paniai.” https://kolom.tempo.co/read/1626730/menyambut-pengadilan-ham-untuk-paniai. Diakses28Oktober.

Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.