Tribune Express LK2 - Fakta Kritis: Meninjau Praktik Surrogate Mother

Page 1


Fakta Hukum: Meninjau Praktik Surrogate Mother Menurut Perspektif Hukum Indonesia Oleh: Melody Akita Staf Bidang Literasi dan Penulisan LK2 FHUI

Sumber: Halodoc Perkembangan zaman memang identik dengan turut berkembangnya teknologi sebagai solusi untuk menjawab permasalahan yang ada di masyarakat. Salah satu teknologi yang berkembang saat ini dan berupaya memecahkan permasalahan bagi pasangan suami istri yang tidak dapat memiliki keturunan adalah in vitro fertilization atau program bayi tabung. In vitro fertilization (IVF) merupakan cara pembuahan dalam suatu cawan petri di mana hasil penyatuannya (zygote) akan ditanam dalam rahim perempuan pemilik benih tersebut. Namun, dalam hal sang perempuan pemilik benih tidak dapat mengandung, dikenal suatu solusi bernama surrogacy atau yang disebut dengan sewa rahim di mana zygote akan ditanamkan pada perempuan yang tidak memiliki hubungan sama sekali dengan benih tersebut. Sewa rahim dituangkan dalam suatu perjanjian yang bernama gestational agreement di mana di dalamnya tertera ketentuan bagi perempuan yang sepakat untuk menyewakan rahimnya bahwa ia akan mengandung, melahirkan, dan menyerahkan bayi yang ditanamkan dalam rahimnya itu kepada perempuan pemilik benih dengan suatu imbalan yang bersifat material. Perempuan yang menyewakan rahimnya ini dikenal dengan sebutan ibu pengganti (surrogate mother).1 1 Dezriza Ratman, Surrogate Mother Dalam Perspektif Etika dan Hukum; Bolehkah Sewa Rahim di Indonesia? (Jakarta: PT. Media Elex Komputindo, 2012), hlm. 2.


Praktik surrogate mother ini kerap ditemukan di negara-negara yang dalam sistem hukumnya memungkinkan terjadinya donasi sel gamet, seperti Inggris, Amerika Serikat, Austria, Jerman, Jepang, Israel, Denmark, Finlandia, Australia, Singapura, Norwegia, dan Prancis.2 Aktivis Agnes Widanti yang juga merupakan koordinator dari Jaringan Peduli Perempuan dan Anak (JPPA) mengungkapkan bahwa di Indonesia praktik surrogate mother ini nyata adanya, tetapi dilakukan secara diam-diam dan tertutup di kalangan keluarga.3 Hal ini wajar mengingat praktik surrogate mother di Indonesia dapat dikatakan masih dilematis karena belum ada peraturan perundang-undangan yang secara eksplisit melarang atau memperbolehkan praktik tersebut sehingga cukup jarang terdengar di masyarakat. Salah satu kasus terkait surrogate mother di Indonesia adalah kasus selebriti Zarima Mirafsur yang diisukan melakukan penyewaan rahim untuk sepasang suami istri yang menurut pengacaranya ia mendapat imbalan berupa mobil dan uang sebesar lima puluh juta rupiah dari perjanjian tersebut.4 Mengingat masih rancunya hukum mengenai praktik surrogate mother di Indonesia maka dirasa perlu untuk meninjau lebih dalam terkait bagaimanakah sebenarnya pengaturan praktik surrogate mother di Indonesia dan apakah ada dampak hukum dari pelaksanaan praktik surrogate mother menurut hukum Indonesia. Praktik surrogate mother dalam hukum kesehatan di Indonesia secara implisit diatur dalam Pasal 127 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Pasal 40 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi, dan Pasal 2 ayat (3) Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 039/Menkes/SK/I/2010 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Teknologi Reproduksi Berbantu. Sementara itu, dalam perspektif hukum perdata praktik surrogate mother terkait dengan syarat sah perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata dan suatu sebab yang halal dalam perjanjian yang diatur dalam Pasal 1335 jo. 1337 KUHPerdata. Lalu, berdasarkan perspektif hukum pidana tidak ada peraturan pidana di Indonesia yang mengatur mengenai praktik surrogate mother tetapi terdapat satu bentuk surrogacy yang merupakan zina di mana hal tersebut merupakan tindak pidana menurut Pasal 284 KUHP. Kemudian, praktik surrogate mother akan berdampak hukum pada status anak dan hak waris anak di mana hal tersebut diatur dalam Pasal 42 dan 43 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan serta KUHPerdata. 2

Fred Ameln, Kapita Selekta Hukum Kedokteran (Jakarta: Grafikatama Jaya, 1991), hlm.124. detikHealth, “Sewa Rahim di Indonesia Dilakukan Diam-Diam,” https://health.detik.com/ibu-dan-anak/d-1370505/sewa-rahim-di-indonesia-dilakukan-diam-diam, diakses 26 September 2021. 4 Kenyatun, “Tinjauan Yuridis terhadap Perjanjian Surrogate Mother yang Tertuang dalam Akta Notaris di Indonesia,” Lex Renaissance Vol. 5, No. 4 (Oktober, 2020), hlm. 975. 3


Dari perspektif hukum kesehatan, dalam Pasal 127 ayat (1) huruf a Undang-Undang Kesehatan dinyatakan sebagai berikut: “(1) Bahwa upaya kehamilan di luar cara ilmiah hanya dapat dilakukan oleh pasangan suami istri yang sah. a. Hasil pembuahan sperma dan ovum dari suami istri yang bersangkutan ditanamkan dalam rahim istri dari mana ovum berasal;” Pada ketentuan tersebut dapat dikatakan adanya limitasi di mana upaya kehamilan dalam konsep in vitro fertilization hanya dimungkinkan apabila hasil pembuahan sperma dan ovum dikandung oleh perempuan pemilik ovum tersebut. Hal ini tentu tidak sejalan dengan konsep surrogate mother di mana janin ditanamkan dalam rahim perempuan yang menjadi pihak yang sepakat untuk menyewakan rahimnya dengan suatu imbalan tertentu. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa praktik surrogate mother di Indonesia menurut ketentuan ini tidak diperbolehkan. Lebih lanjut, ketentuan tersebut dipertegas dalam Pasal 40 ayat (2) PP Kesehatan Reproduksi dengan menyatakan hal yang sama persis sebagaimana bunyi Pasal 127 ayat (1) huruf a Undang-Undang Kesehatan. Kemudian, dalam Pasal 2 ayat (3) Permenkes tentang Penyelenggaraan Pelayanan Teknologi Reproduksi Berbantu dinyatakan bahwa Pelayanan Teknologi Reproduksi Berbantu hanya dapat diberikan kepada pasangan suami istri yang terikat perkawinan sah dan dilakukan secara terbatas untuk pasangan yang tidak dapat memperoleh keturunan akibat adanya indikasi medis. Ketentuan tersebut secara tidak langsung melarang adanya surrogate mother karena saat ini telah terjadi pergeseran makna di mana awalnya dilakukan untuk alasan kelainan medis, tetapi kini justru pihak penyewa melakukan surrogacy untuk alasan estetika sementara pihak yang menyewakan rahimnya untuk mencari nafkah. Permasalahan ini banyak terjadi di negara-negara berekonomi rendah seperti India, Cina, dan Bangladesh.5 Selain itu, dalam surrogate mother dikenal dua bentuk, yakni Gestational Surrogacy dan Genetic Surrogacy. Gestational Surrogacy merupakan bentuk surrogate mother yang biasa di mana hasil pembuahan sperma dan ovum dari suami istri yang sah melalui teknologi IVF disatukan lalu ditanamkan dalam rahim perempuan yang telah bersepakat untuk menyewakan rahimnya. Sementara Genetic Surrogacy merupakan bentuk surrogate mother di mana ovum bukan berasal dari milik istri yang sah yang lalu disatukan dengan sperma milik suami untuk kemudian embrio ditanam dalam rahim perempuan pemilik ovum

5 Desriza Ratman, Surrogate Mother Dalam Perspektif Etika dan Hukum (Jakarta: Elex Media Komputindo, 2012), hlm. 38.


tersebut.6 Tentunya bentuk surrogate mother yang belakangan ini tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat (3) Permenkes tentang Penyelenggaraan Pelayanan Teknologi Reproduksi Berbantu yang mengharuskan upaya kehamilan di luar cara ilmiah didasarkan atas perkawinan yang sah. Selanjutnya, dalam perspektif hukum perdata terkait surrogate mother dapat ditinjau berdasarkan syarat sahnya perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Pada Pasal 1320 KUHPerdata tertera ketentuan sebagai berikut: “Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat: 1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan; 3. Suatu hal tertentu; 4. Suatu sebab yang halal.” Merujuk pada ketentuan tersebut, terdapat syarat yang perlu diperhatikan perihal surrogate mother, yaitu suatu sebab yang halal. Dalam Pasal 1337 KUHPerdata dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan sebab terlarang sebagai keterbalikan dari sebab halal artinya adalah tidak dilarang undang-undang atau tidak bertentangan dengan kesusilaan maupun ketertiban umum. Praktik surrogate mother tidaklah memenuhi syarat perjanjian sebab yang halal karena seperti yang telah dinyatakan sebelumnya, dalam Pasal 127 ayat (1) huruf a UU Kesehatan dan Pasal 40 ayat (2) PP Kesehatan Reproduksi, praktik tersebut tidak dimungkinkan terjadi di Indonesia sebab mengenai upaya kehamilan di luar cara ilmiah berdasarkan peraturan tersebut hanya dapat terjadi apabila embrio ditanamkan kembali pada rahim perempuan pemilik ovum tersebut yang mana hal tersebut tidak sesuai dengan konsep surrogate mother. Maka dari itu, praktik surrogate mother yang dituangkan dalam gestational agreement atau perjanjian sewa rahim adalah bertentangan dengan undang-undang dan oleh karenanya batal demi hukum. Hal ini sebagaimana yang telah diterangkan dalam Pasal 1335 KUHPerdata bahwa suatu perjanjian yang telah dibuat karena suatu sebab terlarang tidaklah memiliki kekuatan. Terkait praktik surrogate mother, tidak terpenuhinya syarat objektif perjanjian sebab yang halal selain dapat menjadi dasar bagi salah satu pihak untuk menuntut pembatalan demi hukum, turut menyebabkan tidak adanya dasar hukum bagi penyewa rahim

6 Muntaha, “Surrogate Mother dalam Perspektif Hukum Pidana Indonesia,” Mimbar Hukum Vol. 25, No. 1 (Februari, 2013), hlm. 78.


dan pihak yang menyewakan rahimnya untuk saling menuntut apabila salah satu pihak mengingkari kewajibannya.7 Dari perspektif hukum pidana, perihal surrogate mother ini tidak diatur ketentuan pidananya di Indonesia.8 Akan tetapi, dalam surrogate mother dikenal salah satu bentuk surrogacy yang disebut dengan Genetic Surrogacy di mana embrio berasal dari sperma milik laki-laki yang terikat perkawinan sah sementara ovumnya adalah milik perempuan lain yang menyewakan rahimnya untuk kemudian embrio tersebut ditanam dalam rahimnya. Genetic Surrogacy ini memberikan jalan untuk terjadinya pelanggaran Pasal 284 KUHP tentang zina (overspel). Hal ini karena hakikat dari tindak pidana zina yang ada dalam KUHP adalah tertanamnya sperma seorang laki-laki dalam rahim perempuan di mana salah satu atau keduanya telah terikat perkawinan yang sah dengan pihak lain.9 Namun, perlu diingat bahwa dalam Pasal 284 ayat (2) KUHP dinyatakan bahwa perbuatan tersebut tidak dituntut kecuali atas pengaduan suami/istri yang tercemar. Oleh karena itu, pihak suami yang terikat perkawinan dan melakukan Genetic Surrogacy tidak dapat dipidana apabila tidak ada pengaduan dari pihak istri karena dalam hal surrogacy umumnya dilakukan berdasarkan keinginan bersama antara pihak suami dan istri. Status anak yang lahir dari surrogate mother dapat dikaitkan dengan ketentuan dalam Pasal 42 dan 43 Undang-Undang Perkawinan. Anak yang lahir dari seorang surrogate mother memiliki dua kemungkinan status menurut pasal tersebut, apabila surrogate mother-nya adalah perempuan yang terikat perkawinan sah maka anak tersebut merupakan anak sah dari perempuan yang menyewakan rahimnya dan suaminya. Akan tetapi, apabila surrogate mother-nya adalah perempuan yang tidak terikat perkawinan sah maka anak tersebut adalah anak luar kawin (ALK) dari surrogate mother itu dan oleh karenanya hanya memiliki hubungan keperdataan dengan surrogate mother tersebut serta keluarganya.10 Terkait hak warisnya, apabila surrogate mother-nya telah menikah, maka pewarisan untuk anaknya seharusnya dilakukan menurut ketentuan Pasal 852 KUHPerdata yang mengatur mengenai pewarisan untuk anak sah. Kemudian, apabila surrogate mother-nya belum menikah, maka pewarisannya dapat dilakukan menurut Pasal 862 KUHPerdata yang mengatur mengenai pewarisan bagi anak luar kawin yang diakui sah. 7

Hukumonline, “Aspek Hukum tentang Surrogate Mother (Ibu Pengganti),” https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt4c562a3b4bba4/aspek-hukum-tentang-isurrogate-mother-i-i bu-pengganti/, diakses 2 Oktober 2021. 8 Aditya Wiguna Sanjaya, “Aspek Hukum Sewa Rahim (Surrogate Mother) dalam Perspektif Hukum Perdata dan Hukum Pidana,” JURNAL RECHTENS Vol. 5, No. 2 (Desember, 2016), hlm. 42. 9 Ibid., hlm 45-46. 10 David Lahia, “Aspek Hukum terhadap Bayi Tabung dan Sewa Rahim dari Perspektif Hukum Perdata,” Lex Privatum Vol. V, No. 4 (Juni, 2017), hlm. 134.


Sementara itu, menurut konsep KUHPerdata, status anak yang lahir dari in vitro fertilization yang embrionya ditanam di rahim seorang surrogate mother dikategorikan sebagai anak angkat. Adapun yang dimaksud dengan anak angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari orang tua atau wali yang sah ke bawah penguasaan orang tua angkat berdasarkan penetapan pengadilan.11 Terkait hak waris untuk anak angkat, dalam Pasal 12 Staatsblad Nomor 129 Tahun 1917 dinyatakan bahwa akibat hukum bagi anak angkat adalah anak tersebut mewarisi nama ayah angkatnya secara hukum sehingga ia dianggap sebagai anak yang lahir dari perkawinan orang tua angkatnya dan dengan serta-merta menjadi ahli waris dari mereka. Dalam perkataan lain, hubungan hukumnya dengan orang tua kandungnya adalah putus. Oleh karena itu, ketentuan pewarisan bagi anak sah dalam Pasal 852 KUHPerdata berlaku bagi anak yang telah diangkat melalui penetapan pengadilan walaupun pewarisan dilakukan tanpa wasiat tertulis.12 Dari pemaparan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa praktik surrogate mother dilarang dalam hukum Indonesia karena di Indonesia in vitro fertilization yang dimungkinkan terjadi hanyalah yang embrionya ditanamkan dalam rahim perempuan pemilik ovum yang terikat perkawinan sah. Dari perspektif hukum perdata, perjanjian surrogate mother atau sewa rahim adalah batal demi hukum karena tidak memenuhi syarat sebab yang halal. Sementara menurut perspektif hukum pidana tidak diatur ketentuan yang melarang surrogate mother, tetapi terdapat satu bentuk surrogacy yang dapat dikategorikan sebagai suatu perbuatan zina, yakni Genetic Surrogacy. Kemudian, praktik surrogate mother membawa dampak hukum terhadap status dan pewarisan anak yang lahir dari praktik tersebut. Terkait status anak dari surrogate mother, menurut Undang-Undang Perkawinan anak itu merupakan anak sah dari sang surrogate mother apabila surrogate mother terikat perkawinan yang sah, sedangkan apabila surrogate mother tidak terikat perkawinan yang sah maka anak tersebut merupakan anak luar kawin. Oleh karena itu, pewarisannya juga dilakukan menurut ketentuan waris bagi anak sah dan anak luar kawin yang ada dalam KUHPerdata. Sementara itu, menurut KUHPerdata anak yang lahir dari surrogate mother dan penguasaannya berpindah ke pasangan penyewa rahim dikatakan sebagai anak angkat yang perlu dimintakan penetapannya ke pengadilan. Pewarisan bagi anak angkat yang diakui secara sah melalui penetapan pengadilan dilakukan menurut ketentuan waris bagi anak sah dalam KUHPerdata. Melihat permasalahan kerancuan hukum karena larangan praktik 11

David Lahia, “Aspek Hukum terhadap Bayi Tabung dan Sewa Rahim dari Perspektif Hukum Perdata,” Lex Privatum Vol. V, No. 4 (Juni, 2017), hlm. 134. 12 Sintia Stela Karaluhe, “Kedudukan Anak Angkat dalam Mendapatkan Harta Warisan Ditinjau dari Hukum Waris,” Lex Privatum Vol. IV, No. 1 (Januari, 2016), hlm. 168-170.


surrogate mother tidak dinyatakan secara eksplisit serta adanya praktik surrogate mother yang dilakukan diam-diam maka dirasa perlu diberikan suatu ketentuan hukum yang lebih terang dan rinci mengenai praktik surrogate mother serta menyangkut juga di dalamnya kejelasan terkait status dan identitas anak yang lahir dari praktik tersebut. Akan tetapi, tidaklah perlu diberikan suatu ketentuan pidana karena praktik tersebut pada hakikatnya dilakukan untuk membantu pasangan suami istri agar dapat memiliki keturunan yang mana hal tersebut termasuk hak konstitusional yang dijamin dalam Pasal 28B ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.


DAFTAR PUSTAKA Buku Ameln, Fred. Kapita Selekta Hukum Kedokteran. Jakarta: Grafikatama Jaya, 1991. Ratman, Dezriza. Surrogate Mother Dalam Perspektif Etika dan Hukum; Bolehkah Sewa Rahim di Indonesia? Jakarta: PT. Media Elex Komputindo, 2012. Artikel Karaluhe, Sintia Stela Karaluhe. “Kedudukan Anak Angkat dalam Mendapatkan Harta Warisan Ditinjau dari Hukum Waris.” Lex Privatum Vol. IV, No. 1 (Januari, 2016). Hlm. 168-170. Kenyatun. “Tinjauan Yuridis terhadap Perjanjian Surrogate Mother yang Tertuang dalam Akta Notaris di Indonesia.” Lex Renaissance Vol. 5, No. 4 (Oktober, 2020). Hlm. 974-990. Lahia, David. “Aspek Hukum terhadap Bayi Tabung dan Sewa Rahim dari Perspektif Hukum Perdata.” Lex Privatum Vol. V, No. 4 (Juni, 2017), Hlm. 130-137. Muntaha. “Surrogate Mother dalam Perspektif Hukum Pidana Indonesia.” Mimbar Hukum Vol. 25, No. 1 (Februari, 2013). Hlm. 76-86. Sanjaya, Aditya Wiguna. “Aspek Hukum Sewa Rahim (Surrogate Mother) dalam Perspektif Hukum Perdata dan Hukum Pidana.” JURNAL RECHTENS Vol. 5, No. 2 (Desember, 2016). Hlm. 36-47. Internet detikHealth. “Sewa Rahim di Indonesia Dilakukan Diam-Diam.” https://health.detik.com/ibu-dan-anak/d-1370505/sewa-rahim-di-indonesia-dilakukandiam-diam. Diakses 26 September 2021. Hukumonline.

“Aspek

Hukum

tentang

Surrogate

Mother

(Ibu

Pengganti).”

https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt4c562a3b4bba4/aspek-hukum-te ntang-isurrogate-mother-i-ibu-pengganti/. Diakses 2 Oktober 2021.


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.