Tribune Express LK2 - Esai Kritis: Melihat Aspek Perlindungan HAM dan Kesetaraan Gender

Page 1


Esai Kritis: Melihat Aspek Perlindungan Hak Asasi Manusia dan Kesetaraan Gender dalam Usulan Perpajakan Berbasis Gender Oleh: Ashilah Chaira Yasmin Staf Bidang Literasi dan Penulisan

Sumber: abc.net.au Indonesia mendapat kehormatan untuk menjadi tuan rumah pertemuan Presidensi G20 pada tahun 2022. G20 adalah sebuah forum kerjasama multilateral yang beranggotakan 19 negara, yaitu: Afrika Selatan, Amerika Serikat, Arab Saudi, Argentina, Australia, Brasil, India, Indonesia, Inggris, Italia, Jepang, Jerman, Kanada, Meksiko, Republik Korea, Rusia, Perancis, Tiongkok, Turki, dan Uni Eropa (EU). Forum ini diinisiasi oleh anggota forum G7 agar dapat menyatukan negara maju dan negara berkembang dalam mencari solusi untuk menghadapi krisis, terutama di wilayah Asia, Rusia dan Amerika Latin. Terdapat 3 jenis pertemuan dalam forum G20. Pertama, Summit/Konferensi Tingkat Tinggi (KTT), yaitu rapat tingkat kepala negara/pemerintahan yang menjadi puncak dari proses pertemuan G20. Kedua, Ministerial & Deputies Meetings atau pertemuan tingkat menteri dan deputi. Ketiga, Working Groups/Kelompok Kerja, yaitu pertemuan yang dihadiri oleh para pakar menurut topik yang didiskusikan dari tiap negara anggota G20. Working group ini nantinya akan terbagi dalam dua alur kerja, yaitu alur Sherpa dan alur Finance. Tahun ini, salah satu isu yang akan dibahas dalam working group pada alur finance adalah Gender Based Tax atau Perpajakan Berbasis Gender.1 1

Bank Indonesia, “Presidensi G20 Indonesia 2022,” https://www.bi.go.id/id/g20/default.aspx, diakses 10 July 2022.


Pembahasan mengenai perpajakan berbasis gender ini diinisiasi oleh Organisation for Economic Cooperation and

Development (OECD). OECD adalah sebuah organisasi

internasional yang bertujuan untuk menciptakan regulasi untuk meningkatkan kemakmuran, kesetaraan, kesempatan, dan kesejahteraan bagi semua orang. OECD berfokus pada pembentukan regulasi berstandar internasional di bidang sosial, ekonomi, dan lingkungan. Perpajakan berbasis gender ini dinilai oleh OECD sebagai bentuk implementasi perlindungan hak asasi manusia dan peningkatan kesetaraan gender antara pria dan wanita.2 Tulisan ini bertujuan untuk mencari tahu apakah usulan mengenai sistem perpajakan berbasis gender ini betul-betul dapat memberikan perlindungan hak asasi manusia dan memperkecil kesenjangan gender antara pria dan wanita serta bagaimana posisi regulasi perpajakan Indonesia terhadap sistem perpajakan berbasis gender ini. Isu mengenai hak asasi manusia dan kesetaraan gender telah lama bergulir di kancah nasional maupun internasional. Pengangkatan isu perpajakan berbasis gender ini pada diskusi forum G20 pun didasarkan pada pertimbangan bahwa sistem ini dapat meningkatkan kesetaraan gender, menurunkan diskriminasi berbasis gender, dan memperkuat partisipasi wanita dalam dunia ekonomi sebagai bentuk implementasi the United Nation Declaration of Human Rights (UDHR).3 Kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan sejatinya adalah bagian yang tidak terpisahkan dari konsep hak asasi manusia. Kesetaraan gender pun merupakan salah satu prinsip dalam piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang telah diakui oleh banyak negara sejak tahun 1945. Dalam Hak Asasi Manusia (HAM),

kata

“manusia” mencakup laki-laki dan perempuan tanpa terkecuali. Oleh karenanya, perempuan berhak untuk menuntut hak asasi manusia yang setara dengan laki-laki.4 Baik pria maupun wanita merupakan bagian dari umat manusia yang tidak terdapat perbedaan tingkatan antara keduanya. Hak-hak dasar sebagai manusia yang melekat sedari kelahirannya berlaku bagi pria maupun wanita. Hal ini juga ditegaskan pula dalam Pasal 45 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia (UU 39/1999), yang menyatakan bahwa hak wanita adalah hak asasi manusia. Menurut

Pasal 1 ayat (1) UU 39/19999, Hak Asasi Manusia sendiri didefinisikan

sebagai “seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, 2

Organisation for Economic Cooperation and Development, Tax Policy and Gender Equality: A Stocktake of Country Approaches, (Paris: OECD Publishing, 2022), hlm.8. 3 Organisation for Economic Cooperation and Development, Tax Policy and Gender Equality: A Stocktake of Country Approaches, (Paris: OECD Publishing, 2022), hlm. 8. 4 Dhea Januastasya Audina, “Kesetaraan Gender dalam Perspektif Hak Asasi Manusia,” Nomos : Jurnal Penelitian Ilmu Hukum Vol. 1 No. 6 (Juni 2021), hlm. 227.


dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.” Kemudian, hak khusus bagi wanita dijelaskan lebih lanjut dalam undang-undang yang sama pada Pasal 49 ayat (2) yang menerangkan bahwa “Wanita berhak untuk mendapatkan perlindungan khusus dalam pelaksanaan pekerjaan atau profesinya terhadap hal-hal yang dapat mengancam keselamatan dan atau kesehatannya berkenaan dengan fungsi reproduksi wanita.” Pada ayat (3) Pasal yang sama, dijelaskan pula bahwa “Hak khusus yang melekat pada diri wanita dikarenakan fungsi reproduksinya, dijamin dan dilindungi oleh hukum.” Berangkat dari dasar hukum ini, dapat ditarik kesimpulan bahwa harus diakui, dilindungi, dan diberikan keistimewaan kepada wanita dalam hal-hal yang bersinggungan dengan dengan fungsi reproduksinya. Dari hal ini dapat dianalisis bahwa keadilan dalam konteks hak asasi manusia tidak dapat diartikan dengan memberikan perlakuan yang sama antara pria dan wanita, melainkan hendaklah memberikan perlakuan yang sesuai dengan kebutuhan dan kondisi masing-masing pihak. Dalam kaitannya dengan sistem perpajakan berbasis gender, secara ringkas sistem ini dibuat dengan tujuan untuk memberikan afirmasi kepada para perempuan dalam dunia pekerjaan. Sejauh ini belum ada rancangan resmi terkait sistem ini. Akan tetapi, gambaran mengenai bagaimana implementasi sistem ini dapat kita telaah melalui pernyataan pihak-pihak yang terlibat dalam diskusi mengenai hal ini pada forum G20. Salah satunya Wempi Saputra, Staf Ahli Kementerian Keuangan untuk Ekonomi Makro dan Keuangan Internasional, menyatakan bahwa salah satu bentuk implementasi sistem perpajakan berbasis gender ini adalah dengan memberikan insentif kepada wanita karir yang menjalankan masa kehamilan dan harus mengambil cuti hamil dan melahirkan. Wanita dalam kondisi tersebut dijamin untuk tidak mengalami pemotongan gaji dan mendapatkan afirmasi untuk mendapatkan perlakuan yang adil.5 Usulan lain datang dalam bentuk pemberian pajak marginal yang lebih kecil kepada perempuan yang diharapkan dapat meningkatkan status perempuan di pasar tenaga kerja dan lingkungan keluarga. Kebijakan ini juga diharapkan mampu untuk meningkatkan partisipasi kerja dan pendapatan kaum perempuan.6 Dalam disertasinya yang berjudul Measuring the labor supply effect of income taxation using a life-cycle labor supply model: A case of Indonesia, Menteri Keuangan, Sri 5

Ricky Mohammad Nugraha, “Gender Based Taxation to Be Dicussed in G20 Precidency,” https://en.tempo.co/read/1555147/gender-based-taxation-to-be-discussed-in-g20-presidency, diakses 11 July 2022. 6 Herry Setyawan, “Perpajakn Berbasis Gender atau Gender Based Taxation,” https://komwasjak.kemenkeu.go.id/in/post/perpajakan-berbasis-gender-atau-gender-based-taxation, diakses 11 July 2022.


Mulyani menjelaskan bahwa tingkat partisipasi kerja wanita, terkhususnya di Indonesia, sangat "elastis" terhadap ketentuan perpajakan. Artinya, perubahan kecil dalam ketentuan perpajakan akan berdampak besar pada partisipasi wanita dalam dunia kerja. Kondisi yang paling mungkin terjadi ialah, apabila ketentuan perpajakan memangkas lebih banyak pendapatan, maka banyak wanita akan memilih untuk berhenti bekerja. Hal ini berlaku terutama pada wanita yang telah menikah dimana mereka diposisikan bukan sebagai tulang punggung utama dalam keluarga yang lengkap.7 Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2021, 49,43% dari total jumlah penduduk Indonesia atau sebesar 134,81 juta jiwa merupakan wanita.

Wanita juga

menyumbang untuk angkatan kerja sebesar 49,37% atau 93,282 juta jiwa. Menurut BPS, angkatan kerja adalah penduduk yang telah memasuki usia kerja yaitu antara usia 15 tahun atau lebih yang bekerja, memiliki

pekerjaan tetapi sementara tidak bekerja, dan

pengangguran.8 Angka tersebut merupakan potensi tenaga kerja yang sangat besar dan dapat menyumbangkan kontribusi untuk meningkatkan Produk Domestik Bruto Indonesia sebagai salah satu indikator pengukuran kesejahteraan negara. Hal ini membuktikan bahwa ketentuan tarif pajak yang sama memiliki implikasi yang berbeda antara pria dan wanita. Oleh sebab itu, untuk mewujudkan keadilan dalam pasar tenaga kerja, hendaklah diberikan perlakuan khusus kepada wanita yang dapat mendorong mereka untuk memasuki pasar tenaga kerja. Salah satu bentuk yang diusulkan adalah dengan pemberian insentif berupa penambahan besaran Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP), penurunan tarif pajak kepada wanita yang tengah cuti hamil atau melahirkan, dan penundaan kewajiban pelaporan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) wajib pajak bagi wanita hamil dan melahirkan.9 Selain itu, kebijakan perpajakan diketahui juga dapat mengubah perilaku target kebijakan, seperti partisipasi angkatan kerja, tingkat konsumsi, dan investasi. Hal ini dapat dilihat dari penerapan pajak tidak langsung seperti Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang cenderung menimbulkan bias gender. PPN adalah pajak yang dikenakan atas kegiatan konsumsi yang dilakukan dalam wilayah Indonesia oleh wajib pajak perorangan, badan, atau pemerintah. PPN umumnya langsung ditambahkan pada biaya atas barang-barang yang kita

7 Sri Mulyani Indrawati, Measuring the labor supply effect of income taxation using a life-cycle labor supply model: A case of Indonesia, (Disertasi Ph. D University of Illinois at Urbana-Champaign, United States of America, 1992.) 8 Badan Pusat Statistik, “ Tenaga Kerja: Konsep/Penjelasan Teknis,” https://www.bps.go.id/subject/6/tenaga-kerja.html, diakses 27 Juli 2022. 9 Galih Ardin, “Menggagas Kesetaraan Gender dalam Sistem Pajakan Indonesia,” https://news.ddtc.co.id/menggagas-kesetaraan-gender-dalam-sistem-pajak-indonesia-38623, diakses 14 Juli 2022.


konsumsi.10 Adanya perbedaan pola konsumsi antara pria dan wanita nantinya akan mempengaruhi besaran pajak yang dikeluarkan. Wanita cenderung membeli lebih banyak barang terutama dalam hal kesehatan, gizi, dan pendidikan. Selain itu wanita juga memiliki kebutuhan tambahan seperti perawatan tubuh, pakaian, dan produk kebersihan wanita yang tidak diperlukan oleh pria. Hal ini juga mengharuskan wanita mengeluarkan dana tambahan untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Oleh karena itu, ketentuan PPN yang sama antara pria dan wanita berpotensi lebih memberatkan bagi wanita.11 Argumen-argumen di atas menjadi alasan usulan perpajakan berbasis gender hadir sebagai upaya untuk mempromosikan kesetaraan gender. Namun, terdapat argumen kontra terhadap ide perpajakan berbasis gender dari seorang ahli ekonomi berkebangsaan Perancis, Gilles Saint-Paul. Dalam tulisannya, ia menyatakan ketidaksetujuan terhadap mekanisme yang diterapkan dalam sistem ini. Ada beberapa hal yang menjadi dasar argumennya untuk menolak penerapan sistem ini. Pertama, ia menilai bahwa usulan sistem perpajakan berbasis gender ini tidak mengurangi ketimpangan gender, tetapi malah merupakan suatu bentuk yang nyata dari diskriminasi gender. Ia menyatakan bahwa sistem ini akan membuat sebuah regulasi yang secara nyata membedakan perlakuan terhadap seseorang berdasarkan gender yang nantinya akan menciptakan kondisi dimana wanita ditempatkan pada kasta di atas pria. Lebih dari itu, sistem ini menilai kesetaraan di antara dua golongan, bukannya antara individu. Mengutip dari tulisannya, sistem ini jelas tidak akan menghapus kesenjangan antara pengemis pria dan Oprah Winfrey, seorang publik figur kenamaan Amerika. Dari poin tersebut ia menekankan untuk

lebih mengutamakan

kesetaraan bagi

setiap individu

berdasarkan kondisi

masing-masing individu tersebut daripada berdasarkan gender.12 Kedua, menurut Gilles, sistem gender-neutral voluntary akan lebih efektif untuk diterapkan dibandingkan sistem perpajakan berbasis gender pada pajak pemasukan rumah tangga. Salah satu argumen utama yang mendasari sistem perpajakan berbasis gender adalah tingginya tingkat elastisitas partisipasi kerja wanita terhadap besaran pajak penghasilan yang harus dikeluarkan. Ketika menikah lalu memiliki anak, muncul pekerjaan rumah tambahan 10

Fitriya, “Pengertian, Peraturan, Tarif Pajak Pertambahan Nilai, PPN 11 Persen Terbaru Adalah Berikut,” https://klikpajak.id/blog/pajak-pertambahan-nilai-ppn/#:~:text=Seperti%20yang%20tertulis%20dalam%20judul, Pribadi%2C%20Badan%2C%20dan%20Pemerintah, diakses 19 July 2022. 11 Herry Setyawan, “Perpajakn Berbasis Gender atau Gender Based Taxation,” https://komwasjak.kemenkeu.go.id/in/post/perpajakan-berbasis-gender-atau-gender-based-taxation, diakses 11 July 2022. 12

Gilles Saint-Paul, “Against Gender-Based Taxation,” Toulouse School of Economics and Birkbeck College (November, 2007), hlm. 1-3.


dan kewajiban untuk merawat anak. Pada kondisi ini wanita cenderung memutuskan untuk berhenti bekerja untuk bertanggung jawab atas tugas tersebut sedangkan pria cenderung untuk tetap bekerja.13 Kontra argumen yang diberikan Gilles adalah bahwa saat ini telah banyak rumah tangga di mana wanita yang menghasilkan pendapatan lebih besar daripada suaminya. Dia pun memprediksi bahwa hal ini akan menunjukkan tren naik ke depannya mengingat telah banyak wanita yang mendapatkan pendidikan lebih daripada pria. Untuk itu, ia mengusulkan bahwa hendaknya setiap rumah tangga dapat memilih skema pembayaran pajak antara gabungan pendapatan suami dan istri atau penagihan pajak yang lebih besar berdasarkan pendapatan yang lebih besar pula.14 Ketiga, sistem ini dinilai dapat memicu keretakan dalam rumah tangga. Berdasarkan teori dasar pernikahan menurut Becker , keuntungan pasangan yang menikah menjadi lebih besar ketika ada ketimpangan pendapatan dimana suami memiliki pendapatan yang lebih besar dibanding istri.15 Hal ini juga dibenarkan oleh para sosiolog dengan istilah “independent effect” (efek kemandirian) yang diartikan bahwa ketika wanita memiliki penghasilan tinggi, ia menjadi lebih tidak tergantung kepada suaminya. Kenaikan pendapatan istri dinilai dapat mengancam keutuhan rumah tangga. Oleh karena itu Gilles menilai sistem perpajakan berbasis gender ini akan mendorong angka perceraian. Untuk memperkuat argumennya, ia juga mencantumkan beberapa efek negatif perceraian terhadap anak di mana anak dengan orang tua yang telah berpisah rentan mengalami masalah kontrol emosi, sulit bergaul, haus perhatian, kurang cemerlang dalam hal akademik, tidak percaya diri, depresi dan kecemasan berlebih.16 Di Indonesia sendiri masih menjadi perdebatan apakah ketentuan perpajakan yang berlaku saat ini sudah mempromosikan kesetaraan gender atau belum. Di Indonesia tidak ada peraturan yang secara spesifik membedakan ketentuan perpajakan untuk pria dan wanita. Menurut laporan OECD, Indonesia tercatat sebagai negara yang memilih menerapkan regulasi perpajakan yang netral dalam hal gender. Meski begitu, dilaporkan juga bahwa terdapat upaya-upaya untuk meningkatkan kesetaraan gender melalui peraturan dalam bidang lain.17 Contohnya penyesuaian jam kerja bagi pekerja wanita, penyediaan fasilitas penunjang 13

Yuri Andrienko, “Gender Bias In Tax System Based on Household Income,” Annals of Economics and Statistics , No. 117/118, SPECIAL ISSUE ON THE ECONOMICS OF GENDER, (June 2015), hlm 141-143. 14 Gilles Saint-Paul, “Against Gender-Based Taxation,” Toulouse School of Economics and Birkbeck College (November, 2007), hlm. 8-9. 15 Gary S. Becker, "A Theory of Marriage: Part I," Journal of Political Economy 81(4):813-46,(1973). 16 Gilles Saint-Paul, “Against Gender-Based Taxation,” Toulouse School of Economics and Birkbeck College (November, 2007), hlm. 13-15. 17 Organisation for Economic Cooperation and Development, Tax Policy and Gender Equality: A Stocktake of Country Approaches, (Paris: OECD Publishing, 2022), hlm.13.


kebutuhan wanita seperti ruang menyusui, dan area khusus wanita dalam kendaraan umum. Namun, ada beberapa pendapat yang menilai bahwa regulasi perpajakan di Indonesia telah menunjukkan keberpihakan kepada wanita. Di antaranya adalah melalui Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 yang memberikan kesempatan bagi wanita baik lajang maupun telah menikah, untuk membayar pajak dan memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak sendiri. Namun, ada juga yang menilai bahwa regulasi perpajakan di Indonesia belum berpihak ada wanita terkhususnya yang telah menikah. Salah satu contohnya adalah ketentuan penghitungan pajak gabungan suami dan istri yang lebih kecil dibanding ketika istri memutuskan untuk membayar sendiri kewajiban pajaknya dinilai secara tidak langsung memaksa wanita untuk menggabungkan hartanya dengan suami.18 Dari pemaparan diatas terlihat bahwa ide mengenai perpajakan berbasis gender ini memiliki kelebihan dan kekurangannya sendiri. Penulis setuju pada beberapa hal yang diusung oleh kubu pro dan kontra. Dari kubu pro, penulis setuju bahwa perempuan berhak mendapatkan keistimewaan dalam beberapa hal terkait dengan kodrat bawaannya sebagai seorang perempuan. Perempuan memiliki kebutuhan-kebutuhan khusus serta melalui fase-fase khusus yang berlangsung pada tubuhnya secara alamiah. Kondisi tersebut tentu akan berefek pada performa kerja mereka dibandingkan pada saat normal dan hal tersebut adalah fitrah atau ketetapan dari yang maha kuasa. Dalam konteks ini, perlakuan yang adil dalam bagi laki-laki dan perempuan tidak berarti memberi perlakuan yang sama. Melainkan memberikan perlakuan sesuai dengan kebutuhan dan kondisi masing-masing individu. Poin ini sebenarnya sejalan dengan argumen yang disampaikan dari kubu kontra yang menilai bahwa semestinya perlakuan khusus bukan diberikan terhadap suatu golongan tertentu, yang dalam konteks ini adalah perempuan, melainkan harusnya diberikan berdasarkan kondisi individu. Menurut

hemat

penulis,

memang

akan

lebih

bijak

apabila

peraturan

perundang-undangan dirumuskan secara spesifik dengan menyebutkan kondisi dari orang dan bukan golongan sehingga siapapun yang berada dalam kondisi tersebut dapat mengklaim keuntungan yang disediakan oleh peraturan terkait. Semisal, adanya regulasi terkait insentif kepada pekerja yang bukan pencari pendapatan utama dalam keluarga dengan tanggungan lebih dari tiga orang. Peraturan yang dibuat dengan model demikian tidak memberi batasan gender, tetapi lebih menekankan pada kondisi pihak yang akan mendapatkan perlakuan khusus. Terlepas orang tersebut pria ataupun wanita, selagi memenuhi kriteria tersebut, mereka akan mendapat bantuan. Hanya saja memang dalam kebanyakan kasus yang akan 18

Aprilia Hariani, “Tax News: Kesetaraan Gender Jadi Pertimbangan,” https://majalahpajak.net/kesetaraan-gender-jadi-pertimbangan/, diakses 19 July 2022.


menjadi target dari peraturan semacam ini adalah wanita dikarenakan perannya berdasarkan kebiasaan yang berkembang dalam masyarakat. Kembali ditegaskan bahwa penerapan sistem perpajakan berbasis gender ini akan sangat kontroversial mengingat baik argumen pro atau kontra memiliki dasar yang kuat. Untuk itu, apabila hendak diterapkan di Indonesia dibutuhkan penelitian dan persiapan secara menyeluruh dan matang dengan memperhatikan karakteristik khusus masyarakat Indonesia. Dalam perumusan peraturannya pun tidak bisa hanya mempertimbangkan aspek ekonomi semata, melainkan harus pula memperhatikan aspek sosiologi, budaya, tingkat pendidikan, dan kesiapan masyarakat untuk menerima regulasi tersebut.


DAFTAR PUSTAKA Buku Organisation for Economic Cooperation and Development. Tax Policy and Gender Equality: A Stocktake of Country Approaches. Paris: OECD Publishing, 2022. Jurnal Saint-Paul, Gilles. “Against Gender-Based Taxation,” Toulouse School of Economics and Birkbeck College. November, 2007. Andrienko, Yuri. “Gender Bias In Tax System Based on Household Income.” Annals of Economics and Statistics , No. 117/118, SPECIAL ISSUE ON THE ECONOMICS OF GENDER. Juni, 2015. Hlm. 141-155. Becker, Gary S. "A Theory of Marriage: Part I." Journal of Political Economy. 1973. Audina, Dhea Januastasya. “Kesetaraan Gender dalam Perspektif Hak Asasi Manusia.” Nomos : Jurnal Penelitian Ilmu Hukum Vol. 1 No. 6. Juni, 2021. Hlm. 227-232. Disertasi Indrawati, Sri Mulyani. Measuring the labor supply effect of income taxation using a life-cycle labor supply model: A case of Indonesia, Disertasi Ph. D University of Illinois at Urbana-Champaign, United States of America, 1992. Perundang-Undangan Indonesia. Undang-Undang Tentang Hak Asasi Manusia. UU No. 39 Thn. 1999. TL No. 165 Tahun 1999, TLN No. 3886. Internet Bank

Indonesia.

“Presidensi

G20

Indonesia

2022.”

https://www.bi.go.id/id/g20/default.aspx. Diakses 10 July 2022. Nugraha, Ricky Mohammad. “Gender Based Taxation to Be Dicussed in G20 Precidency,.” https://en.tempo.co/read/1555147/gender-based-taxation-to-be-discussed-in-g20-p residency. Diakses 11 July 2022. Setyawan, Herry. “Perpajakn Berbasis Gender atau Gender Based Taxation.” https://komwasjak.kemenkeu.go.id/in/post/perpajakan-berbasis-gender-atau-gende r-based-taxation. Diakses 11 July 2022.


Ardin, Galih. “Menggagas Kesetaraan Gender dalam Sistem Pajakan Indonesia.” https://news.ddtc.co.id/menggagas-kesetaraan-gender-dalam-sistem-pajak-indones ia-38623. Diakses 14 July 2022. Fitriya. “Pengertian, Peraturan, Tarif Pajak Pertambahan Nilai, PPN 11 Persen Terbaru Adalah

Berikut.”

https://klikpajak.id/blog/pajak-pertambahan-nilai-ppn/#:~:text=Seperti%20yang% 20tertulis%20dalam%20judul,Pribadi%2C%20Badan%2C%20dan%20Pemerinta h. Diakses 19 July 2022. Hariani,

Aprilia.

“Tax

News:

Kesetaraan

Gender

Jadi

Pertimbangan.”

https://majalahpajak.net/kesetaraan-gender-jadi-pertimbangan/. Diakses 19 July 2022. Badan Pusat Statistik. “Tenaga Kerja: Konsep/Penjelasan https://www.bps.go.id/subject/6/tenaga-kerja.html. Diakses 27 Juli 2022.

Teknis.”


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.