Juris Volume 10 Nomor 1, Juli 2020

Page 1

Volume 10, Nomor 1, Juli 2020 | Juris LK2 FHUI


Volume 10, Nomor 1, Juli 2020

Penanggung Jawab Redaksi Abdul Rayhan Hanggara Pemimpin Umum Darwin Setiawan Wakil Pemimpin Umum Joshua Manurung Pemimpin Redaksi Della Puspita Loga Redaktur Pelaksana William Khoswan Staf Redaktur Edmund Khovey

Muhammad Rafi Syamsudi

Kirei Litvia Ummi Sitkha

Tazqia Aulia Al-Djufri

Raaf Muhammad Jay Heriyantoro

Ananda Ma’rifah

Muhammad Farrel Abhyoso

Brigitta Eva Sonya S

Muhammad Kahlil Alfarabi

Nabila Azzahra A. K. S. Alwini Desain Tata Letak Della Puspita Loga

Raihan Al Hadi Nst

Volume 10, Nomor 1, Juli 2020 | Juris LK2 FHUI

William Khoswan


i

Peer-reviewer

Kris Wijoyo Soepandji S.H., M.P.P. Akademisi Ilmu Negara, Fakultas Hukum Universitas Indonesia

Nathalina S.H., M.H. Akademisi Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas Indonesia

Ghunarsa Sujatnika S.H., M.H. Akademisi Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum Universitas Indonesia

Abdul Karim Munthe S.H., M.H. Akademisi Hukum Islam, Fakultas Hukum Universitas Indonesia

Hana Farida, S.H. Akademisi Hukum Administrasi Negara, Fakultas Hukum Universitas Indonesia

Volume 10, Nomor 1, Juli 2020 | Juris LK2 FHUI


iiÂ

PENGANTAR REDAKSI

Dunia saat ini terus mengalami perkembangan dan perubahan seiring berjalannya waktu, dimana perubahan itu juga turut mempengaruhi dunia hukum. Dunia hukum tak terlepas dari berbagai peristiwa serta konflik baik dalam kancah nasional, regional, maupun internasional. Berbagai peristiwa yang terjadi tersebut menuntut dan mengharuskan dunia hukum terus berkembang mengikuti tuntutan agar dapat menjadi pengendali dalam kehidupan masyarakat untuk mencapai sebuah kepastian hukum dan keadilan agar tercipta kehidupan masyarakat yang makmur, adil, dan sejahtera. Dalam kerangka penyusunan hukum mengimbangi perkembangan yang ada, diperlukan dan akan selalu ada pihak-pihak untuk menghasilkan produk hukum. Pihak-pihak tersebut merupakan pemerintah, pihak swasta, serta masyarakat dimana ketiga pihak tersebut memiliki perannya masing-masing yang berkaitan dan berhubungan satu sama lain untuk menciptakan sebuah tatanan hukum dan memberi ruang bagi para pihak untuk bergerak dan dapat mencurahkan ide-idenya dengan bebas namun tetap dengan batasan-batasan sesuai dengan hak dan kewajiban para pihak dalam lingkup hukum. Untuk mengimbangi perkembangan yang terjadi pada dunia khususnya dunia hukum saat ini, sudah sepatutnya suatu entitas dapat turut serta menyumbangkan ide-ide dan pemikirannya dalam karya yang nyata. Dedikasi pemikiran tersebut dapat bermanfaat untuk memberikan sebuah pandangan baru pada hukum itu sendiri yang terus berkembang mengikuti perubahan dunia. Menghadapi hal tersebut, kita harus lebih giat dan bergerak cepat agar tidak tertinggal melihat pesatnya waktu berjalan dan perubahan yang terus terjadi. Kita perlu mencari solusi dan pemikiran baru yang sebelumnya belum ada dan tidak diatur untuk menciptakan keadilan hukum bagi seluruh rakyat. Juris merupakan salah satu implementasi, karya nyata yang dapat mendukung, menyeimbangi, dan mengisi perubahan yang terjadi. Juris sebagai jurnal hukum dari Lembaga Kajian dan Keilmuan Fakultas Hukum Universitas Indonesia (LK2 FHUI) memuat gagasan serta pemikiran para praktisi, akademisi, serta mahasiswa-mahasiswi hukum yang berkontribusi menciptakan dan mengembangkan gagasan dan pemikirannya. Melalui Juris ini, kami memberikan ruang dan kesempatan bagi para penulis untuk berkarya dan menuangkan ide serta pemikirannya untuk terus mempertajam pemikiran dan daya kritis mahasiswa hukum dalam menanggapi dan melihat berbagai peristiwa yang

Volume 10, Nomor 1, Juli 2020 | Juris LK2 FHUI


iii

terjadi pada dunia saat ini, baik dalam kancah nasional, regional, maupun internasional. Di samping itu, Tim Redaksi berharap para pembaca dapat memperoleh manfaat dari tulisan-tulisan dalam Juris ini, seperti menambah wawasan serta dapat memicu dan menginspirasi pembaca agar dapat turut serta berkarya nyata dengan berbagai penemuan hukum lainnya yang diharapkan terus tercipta dari berbagai entitas serta fakultas hukum di Indonesia. Yang juga dapat memberikan kontribusi bagi bangsa dan negara pada saat ini dan di masa yang akan datang. Akhir kata, kami dari tim redaksi mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah membantu dan terlibat dalam proses penyusunan jurnal hukum “Juris� ini. Kami sebagai Tim Redaksi juga membuka diri dan mengharapkan kritik dan masukan yang dapat membangun dan menjadikan Juris semakin baik lagi di edisi kedepannya. Kami berharap agar Juris ini dapat menjadi acuan dan dapat berguna bagi banyak pihak terutama para mahasiswa dalam menimba ilmu dan wawasan yang lebih luas dan berguna bagi para pembaca dan negara.

Selamat membaca, Tim Redaksi Juris

Volume 10, Nomor 1, Juli 2020 | Juris LK2 FHUI


ivÂ

SAMBUTAN DIREKTUR EKSEKUTIF LK2 FHUI 2020 Assalamualaikum

Wr.

Wb.

Salam sejahtera bagi kita semua. Lembaga

Kajian

Keilmuan

Fakultas

Hukum Universitas Indonesia atau yang akrab disebut LK2 FHUI merupakan lembaga yang bergerak di bidang kajian, penulisan, penelitian dan jurnalistik

yang

berdasar

keilmuan.

Serta

senantiasa menyumbangkan ide dan gagasan nya untuk mengembangkan ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang hukum. Tujuan LK2 FHUI berdiri adalah untuk menumbuhkembangkan pola pikir pada anggota LK2 FHUI khususnya dan mahasiswa pada umumnya. Hal tersebut yang menjadi dasar dari semangat dan tekad kami untuk mencetak insan-insan yang berpikir kritis, altruis dan meningkatkan kemampuan kognitif seperti pemahaman dan analisis yang dapat digunakan oleh anggota LK2 FHUI untuk menciptakan produk-produk yang bermutu dan berkualitas tinggi. Sesuai dengan nilai yang dipegang oleh LK2 FHUI, produk ini diharapkan mampu membawa dampak positif bagi para pembaca, dan meningkatkan kemampuan berpikir bagi para penulis. Bidang Literasi dan Penulisan merupakan salah satu bidang di LK2 FHUI yang memiliki program kerja yang bernama Juris. Juris adalah jurnal ilmiah hukum yang ditulis oleh akademisi, praktisi maupun mahasiswa semester akhir. Produk Juris merupakan sebuah kebanggaan bagi LK2 karena Juris menjadi bukti nyata akan sumbangsih LK2 FHUI dalam perkembangan ilmu hukum. Juris telah ada sejak tahun 2011 hingga sekarang. Pada setiap tahunnya, Juris akan terbit dalam dua edisi, yakni di bulan Juli dan Desember. Semenjak tahun 2018, pengkhususan dalam tema Juris telah dihapuskan demi mempertahankan dan meningkatkan kualitas tulisan Juris secara umum. Hal itu yang membuat para penulis lebih fleksibel sekaligus fokus dalam pembahasan yang akan di tulisnya secara terstruktur dalam menuangkan ide dan gagasan para penulis. Juris sebagai satu-satunya jurnal ilmiah hukum yang ada di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, sudah memiliki standar nasional ISSN dan dapat digunakan sebagai bahan referensi yang kredibel. LK2 FHUI Periode 2020, dengan sangat bangga mempersembahkan Juris Volume 10 No. 1 Edisi Juli 2020. Besar harapan kami Juris

Volume 10, Nomor 1, Juli 2020 | Juris LK2 FHUI


v

dapat menjadi ujung tombak bagi jurnal ilmiah hukum mahasiswa dan bagi perkembangan ilmu pengetahuan khususnya di bidang hukum untuk kedepannya. Kehadiran Juris kali ini diharapkan pula dapat memuaskan hasrat para pembaca dan sebagai kunci dari penyelesaian masalah yang solutif yang dapat digunakan oleh FH, UI dan Indonesia. Dengan besar hati saya mengucapkan terima kasih yang sebesar- besarnya kepada Bidang Literasi dan Penulisan yang telah menyelesaikan Juris yang telah bekerja keras baik dari Pemimpin Umum hingga para staf Redaktur dan segala tetesan keringat yang telah dihasilkan demi terwujudnya Juris Volume 10 No.1 Edisi Juli 2020. Semoga semua proses yang telah dilalui, dapat membuahkan hasil yang memuaskan. Tak lupa saya ingin berterimakasih kepada para penulis yang dengan hebatnya telah menyumbangkan ide dan gagasan nya dalam Juris tahun ini. Tanpa kalian, Juris tidak akan berjalan dengan sukses. Oleh karena itu, saya sangat mengapresiasi setiap tulisan yang telah dibuat oleh para penulis hebat. Terakhir, saya ingin mengucapkan terima kasih kepada para peer reviewer yang telah menyempatkan waktu untuk membantu kami dalam proses pembuatan Juris ini. Kami dari LK2 FHUI mungkin tidak dapat membalas jasa Bapak/Ibu satu per satu dengan penghargaan yang mewah, namun kami yakni, nama Bapak/Ibu akan selalu kami catat dalam perjalanan bersama LK2 FHUI 2020. Akhir kata, saya ingin mengucapkan terima kasih banyak untuk semua pihak yang terlibat dalam proses penyusunan Juris Volume 10 No.1 Edisi Juli 2020, semoga segala ilmu dan pengetahuan yang disampaikan dalam Juris kali ini dapat bermanfaat bagi para pembaca, serta apabila ada kekurangan dengan segala kerendahan hati mohon dimaafkan. Terima kasih, selamat membaca! Wassalamualaikum Wr. Wb. Abdul Rayhan Hanggara Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Keilmuan Fakultas Hukum Universitas Indonesia

Volume 10, Nomor 1, Juli 2020 | Juris LK2 FHUI


DAFTAR ISI PEER REVIEWER‌........................................................................................................ i PENGANTAR REDAKSI ................................................................................................ii SAMBUTAN DIREKTUR EKSEKUTIF LK2 FHUI 2020 ............................................ iv Paradigma Kekuatan Hukum Pengesahan Presiden dalam Pembentukan Undang-Undang di Indonesia Pasca Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Melta Setya Rahayu Pujianti dan Wahidiyah Putri Rahayu ..................................... 1 Status Kewarganegaraan dari Anak Warga Negara Indonesia Mantan Islamic State of Iraq and Syria (ISIS): Sebuah Tinjauan Hukum Kania Jennifer Wiryadi dan Monica Gracia Irjanto Putri ...................................... 21 Hak Usaha Bagi Hasil Tanah Pertanian Ditinjau Dari Hukum Tanah Nasional dan Hukum Islam Fahrul Fauzi .................................................................................................................. 45 Implikasi Adanya Pola Dasar Pembinaan Karir PNS dalam Jabatan Struktural yang Ajeg Tersistemasi untuk Mereduksi Terjadinya Konflik Kepentingan Pada Suatu Institusi Pemerintahan Dara Salsabila ................................................................................................................ 68 Menanti Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Sebagai Upaya Penuntasan Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat di Masa Lalu Aditya Nurahmani ........................................................................................................ 90

Volume 10, Nomor 1, Juli 2020 | Juris LK2 FHUI


PARADIGMA KEKUATAN HUKUM PENGESAHAN PRESIDEN DALAM PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG DI INDONESIA PASCA UNDANGUNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 Oleh: Melta Setya Rahayu Pujianti Magister Hukum Bisnis dan Kenegaraan, Universitas Gadjah Mada Email: meltasrp@gmail.com

Wahidiyah Putri Rahayu Bawaslu Kota Blitar Email: wahidiyahputri@gmail.com Abstrak Hilangnya kekuatan hukum pengesahan Presiden merupakan pembatasan UUD NRI 1945 terhadap peran Presiden dalam pembentukan UU. Secara teori, hilangnya kekuatan hukum pengesahan Presiden menimbulkan tahapan pengesahan tidak memiliki nilai esensial dalam pembentukan UU. Sedangkan dalam praktik, pengesahan Presiden tidak mampu menghadapi upaya Presiden maupun masyarakat menolak RUU yang telah mendapat persetujuan bersama. Sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum dan merusak kesakralan pembentukan UU. Paradigma dibahas menggunakan metode yuridis normatif dengan pendekatan peraturan perundang-undangan, sejarah, dan konsep. Tulisan membahas mengenai pengaturan, sejarah, dan konsep mengenai kekuatan hukum pengesahan Presiden serta problematika yang ditimbulkan. Kata kunci: Pengesahan Presiden, pembentukan UU.

Volume 10, Nomor 1, Juli 2020 | Juris LK2 FHUI


Abstract The loss of the legal power of Presidential inauguration is a limitation of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia towards the role of the President in the legislation. In theory, the loss of the legal power of Presidential inauguration gives to the stage of the inauguration that has no essential value in the legislation. Whereas in practice, the Presidential inauguration is unable to deal with the efforts of the President and the public to reject the draft that has been agreed. Resulting in legal uncertainty and damaging the sanctity of the legislation. The paradigm discussed using the normative juridical method with the statue, historical, and conceptual approach. The article discusses about the regulation, history, and concept of the legal power of the Presidential inauguration and the problematics arising.

Keywords: Presidential inauguration, the legislation.

Volume 10, Nomor 1, Juli 2020 | Juris LK2 FHUI


I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Agenda perubahan UUD 19451 merupakan reaksi atas UUD 1945 yang memberikan kekuasaan begitu besar kepada eksekutif tanpa memiliki batas-batas kekuasaan dan check and balances yang jelas antar lembaga negara. Hal tersebut dipicu oleh pilihan the founding fathers yang menolak menerapkan Trias Politica murni dalam arti pemisahan kekuasaan (separation of power) dalam UUD 1945. UUD 1945 menganut Trias Politica dalam arti pembagian kekuasaan (distribution of power)2 sehingga kekuasaan eksekutif dapat mencakup kekuasaan legislatif dan yudikatif. Hal tersebut dapat ditemukan dalam Pasal 4 (1) UUD 1945 mengatur bahwa Presiden memegang kekuasaan pemerintahaan (kekuasaan eksekutif),3 Pasal 5 (1) UUD 1945 mengatur bahwa Presiden memegang kekuasaan membentuk UU (kekuasaan legislatif)4 dan Pasal 24 (2) UUD 1945 yang mengatur bahwa dalam menentukan susunan dan kekuasaan badanbadan kehakiman diatur dengan UU.5 Serta Pasal 25 UUD 1945 mengatur syarat-syarat menjadi dan diberhentikan sebagai hakim ditetapkan dengan UU6 maka Presiden dalam derajat tertentu dapat memegang kekuasaan yudikatif melalui pengaturan dan penetapan UU. Tulisan ini khusus membahas mengenai hubungan kekuasaan eksekutif dan legislatif sebagai latar belakang hilangnya kekuatan hukum pengesahan Presiden. UUD 1945 tidak menentukan secara tegas kekuasaan legislatif harus berada di tangan DPR. Pasal 5 (1) UUD 1945 mengatur bahwa Presiden memegang kekuasaan membentuk UU dengan persetujuan DPR dan Pasal 20 (1) UUD 1945 menyatakan bahwa anggota DPR berhak mengajukan RUU.7 Akan tetapi, hak inisiatif DPR hanya bersifat tambahan dibandingkan kekuasaan utama membentuk UU dimiliki oleh Presiden.8 Sistem ini bertolak belakang dengan sistem pemerintahan presidensial yang menitikberatkan

1

Istilah UUD 1945 digunakan untuk UUD 1945 sebelum perubahan. Damang Averroes Al-Khawarizmi, “Pemisahan Kekuasaan Vs Pembagian Kekuasaan,� https://www.negarahukum.com/hukum/pemisahan-kekuasaan-vs-pembagian-kekuasaan.html, diakses 21 Maret 2020. 3 Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945, Ps. 4. 4 Ibid., Ps. 5 (1). 5 Ibid., Ps. 24 (2). 6 Ibid., Ps. 25. 7 Ibid., Ps. 20 (1). 8 Jimly Asshiddiqie, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan dalam UUD 1945, (Yogyakarta: FH UII Press, 2005), hlm. 182. 2

Volume 10, Nomor 1, Juli 2020 | Juris LK2 FHUI


pada pemisahan kekuasaan secara tegas antara kekuasaan eksekutif dan legislatif dalam kekuasaan membentuk UU. Pembicaraan perubahan UUD 1945, khususnya mengenai DPR telah muncul dalam Rapat BP MPR ke-2, 6 Oktober 1999. Secara umum fraksifraksi mempertimbangkan trauma terhadap kekuasaan Presiden yang begitu besar (executive heavy) sehingga timbul penyelewengan kekuasaan, korupsi, kolusi dan nepotisme. Trauma tersebut menimbulkan keinginan untuk membatasi kekuasaan Presiden guna mencegah abuse of power terjadi kembali. Selain membatasi kekuasaan presiden, salah satu tujuan perubahan adalah untuk mendayagunakan kembali DPR sebagai lembaga legislatif serta memperjelas check and balance antar lembaga negara di Indonesia.9 Wujud untuk mendayagunakan kembali DPR tersebut adalah dengan mengembalikan kekuasaan membentuk UU kepada DPR (pergeseran legislasi). Perubahan pertama UUD 1945 menghasilkan Pasal 20 (1) UUD NRI 194510 yang mengatur bahwa DPR memegang kekuasaan membentuk UU.11 Pergeseran legislasi berimplikasi pada peran Presiden dalam pembentukan UU. Terjadi rekonstruksi hubungan kekuasaan eksekutif dan legislatif dalam pembentukan UU yang mengarah pada keseimbangan, yaitu Presiden dan DPR sama-sama memiliki peran dalam tahapan pembentukan UU. Dari panjangnya tahapan pembentukan UU, terdapat satu peran Presiden yang direduksi, yaitu pengesahan presiden. Hilangnya kekuatan hukum pengesahan Presiden merupakan pembatasan UUD NRI 1945 terhadap peran Presiden dalam pembentukan UU. Pasal 21 (2) UUD 1945 memberikan kekuatan hukum pengesahan Presiden sehingga ketika suatu RUU tidak disahkan Presiden, maka RUU tersebut tidak dapat dimajukan lagi dalam persidangan DPR.12 Berbeda dengan Pasal 20 (5) UUD NRI 1945 yang tidak memberikan kekuatan hukum pengesahan Presiden sehingga apabila RUU tidak disahkan Presiden dalam waktu 30 hari semenjak RUU disetujui maka RUU tersebut sah dan wajib diundangkan.13 Secara teori, hilangnya kekuatan hukum pengesahan Presiden menimbulkan tahapan pengesahan tidak memiliki nilai esensial dalam pembentukan UU. Hal ini merupakan upaya perumus perubahan 9 Mahkamah Konstitusi, “Pembahasan Perubahan UUD 1945 mengenai Dewan Perwakilan Rakyat�, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Buku III Jilid 2 (2010), hlm. 666. 10 Istilah UUD NRI 1945 digunakan untuk UUD 1945 setelah perubahan. 11 Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, Ps. 20 (1). 12 Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945, Ps. 21 (2). 13 Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, Ps. 20 (5).

Volume 10, Nomor 1, Juli 2020 | Juris LK2 FHUI


5

UUD 1945 (the second founding fathers) untuk mencegah Presiden menghentikan berlakunya RUU. Sedangkan dalam praktiknya, pengesahan Presiden tidak mampu menghadapi upaya Presiden maupun masyarakat menolak RUU yang telah mendapat persetujuan bersama. Sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum dan merusak kesakralan pembentukan UU. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (UU Pilkada) tidak disahkan oleh Presiden SBY namun Presiden SBY secara tegas menyatakan menolak RUU Pilkada dan menerbitkan Perpu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pilkada (Perpu Pilkada).14 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK (UU Revisi KPK) tidak disahkan oleh Presiden Joko Widodo namun sikap tersebut menimbulkan berbagai opini. Satu yang umum berpendapat bahwa sikap Presiden merupakan bentuk penolakan UU Revisi KPK namun hingga saat ini Presiden tidak mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu)15. Penulis melihat dengan hilangnya kekuatan hukum pengesahan Presiden menimbulkan paradigma baru, yaitu tidak adanya kepastian hukum artinya sikap Presiden untuk tidak mengesahkan RUU dapat dipandang berbagai hal. Merusak kesakralan pembentukan UU artinya tahapan pengesahan seharusnya tidak lagi muncul upaya penolakan RUU karena seharusnya penolakan harus berakhir ketika RUU telah mendapat persetujuan bersama DPR. B. Rumusan Masalah Adapun rumusan masalah yang diangkat dalam tulisan ini, yaitu bagaimana paradigma kekuatan hukum pengesahan Presiden dalam pembentukan undang-undang pasca UUD NRI 1945?

14

Humas Sekretariat Kabinet Republik Indonesia, “Tolak Pilkada Lewat DPRD, Presiden SBY Terbitkan 2 Perppu,” https://setkab.go.id/tolak-pilkada-lewat-dprd-presiden-sby-terbitkan-2-perppu/, diakses 21 Maret 2020. 15 Popy Rakhmawaty, “Jokowi Tegaskan Tak Akan Terbitkan Perppu KPK,” https://www.tagar.id/jokowi-tegaskan-tak-akan-terbitkan-perpu-kpk/amp/, diakses 21 Maret 2020.

Volume 10, Nomor 1, Juli 2020 | Juris LK2 FHUI


C. Metode Penelitian Telaah paradigmatik akan dibahas menggunakan metode yuridis normatif dengan pendekatan peraturan perundang-undangan (statute approach), sejarah (historical approach), dan konseptual (conceptual approach).16 Pertama, pendekatan perundangundangan digunakan untuk mengkaji peraturan perundang-undangan terkait, antara lain: UUD 1945 sebelum maupun sesudah perubahan dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU 12/2011). Kedua, pendekatan sejarah digunakan sebagai telaah atas original intent dan catatan-catatan sejarah mengenai kekuatan hukum pengesahan Presiden dalam UUD NRI 1945 dan ketiga, pendekatan konseptual digunakan dalam konteks memahami kekuatan hukum pengesahan Presiden dalam pembentukan UU. Teknik analisis bahan hukum yang digunakan, yaitu teknik analisis deduktif. Teknik analisis deduktif dimulai dari proposisi yang bersifat umum kemudian ditarik menjadi proposisi yang bersifat khusus. II. PEMBAHASAN A. Sejarah Kekuatan Hukum Pengesahan Presiden Kekuatan hukum pengesahan Presiden menjadi bagian tak terpisahkan dari pembahasan kekuasaan membentuk UU dalam perumusan UUD 1945. Pembahasan tidak banyak menimbulkan perdebatan dari the founding fathers karena secara umum pembahasan kental dengan penegasan sistem pemerintahan “sistem sendiri�. Sejak awal, Soepomo mengaitkan kekuasaan membentuk UU dengan sistem pemerintahan yang memberikan kekuasaan lebih besar kepada Presiden. Soepomo mengemukakan concentration of power and responsibility upon the President, bahwa Presiden tidak tergantung pada DPR karena hendak meletakkan pusat kekuasaan di tangan Presiden sedangkan DPR hanya sebagai legislative council. Soepomo menolak Trias Politica murni dalam arti pemisahan kekuasaan (separation of power) karena menurutnya dengan sistem itu Presiden tidak mempunyai kekuasaan membentuk UU namun memiliki hak veto. Melalui pandangan tersebut dirumuskan pasal-pasal mengenai kekuasaan membentuk UU yang cenderung memberikan Presiden kekuasaan yang begitu besar

16

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Edisi Revisi, (Jakarta: Kencana, 2017), hlm. 136-

177.

Volume 10, Nomor 1, Juli 2020 | Juris LK2 FHUI


7

dalam kekuasaan legislatif. Bahkan kekuatan hukum pengesahan Presiden dapat menghentikan RUU yang telah mendapat persetujuan bersama DPR (lihat Tabel 1. Perbandingan Rumusan Kekuasaan Membentuk UU). Rumusan draf RUUD tidak mengalami perubahan substansial hingga dilakukan pengesahan oleh PPKI 18 Agustus 1945. Hal ini yang dimaksudkan the founding fathers sebagai “sistem sendiri” yang menurut Saldi Isra lebih mendekati sistem pemerintahan parlementer. Sistem pemerintahan parlementer dapat dilihat dari hak inisiatif Presiden, hak inisiatif DPR yang terbatas, dan unsur “bersama-sama” dalam membentuk UU menunjukan bahwa tidak ada pemisahan yang jelas (no-clear-cut separation of powers) antara cabang kekuasaan legislatif dan eksekutif.17 Tabel 1. Perbandingan Rumusan Kekuasaan Membentuk UU Draf RUUD Pertama

Draf RUUD Kedua

UUD 1945

Pasal 3: Presiden memegang kekuasaan membentuk UU dengan persetujuan DPR

Tetap

Tetap, diubah menjadi Pasal 4(1).

Pasal 21: Tiap UU harus disetujui DPR jika sesuatu RUU tidak disetujui oleh DPR, maka RUU tidak boleh dimajukan lagi dalam sidang DPR pada masa itu.

Pasal 21: (1) Tiap UU menghendaki persetujuan DPR (2) Jika suatu RUU tidak mendapat persetujuan DPR, maka RUU tidak boleh dimajukan lagi dalam persidangan DPR masa itu.

Tetap, diubah menjadi Pasal 20

Pasal 22: (1) anggota-anggota DPR berhak memajukan RUU, dan (2) jika RUU meskipun disetujui oleh DPR, tidak disahkan oleh Presiden, maka RUU tidak boleh dimajukan lagi dalam sidang DPR masa itu.

Pasal 22: (1) anggota-anggota DPR berhak memajukan RUU (2) Jika RUU, meskipun disetujui DPR, tidak disahkan oleh Presiden, maka RUU tidak boleh dimajukan lagi dalam persidang DPR masa itu.

Tetap, diubah menjadi Pasal 21

Sumber: Analisa Penulis

Original intent kekuasaan membentuk UU di atas dapat ditarik benang merah, bahwa sesungguhnya the founding fathers memang memberikan Presiden kekuasaan yang begitu besar dalam kekuasaan legislatif bahkan Pasal 21 (2) UUD 1945 memberikan kekuatan hukum pengesahan Presiden yang begitu besar sehingga dapat menghentikan 17

Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi, Edisi Kedua, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2018), hlm. 87-90.

Volume 10, Nomor 1, Juli 2020 | Juris LK2 FHUI


8

keberlakuan RUU. Dalam perkembangannya, kekuasaan yang besar sarat akan muatan politis. Hal ini pernah terjadi pada Orde Baru, tahun 1997 Presiden Soeharto pernah menolak mengesahkan RUU Penyiaran. RUU Penyiaran dikembalikan kepada DPR untuk dibahas kembali.18 Materi muatan RUU Penyiaran memiliki tujuan untuk menghentikan monopoli siaran oleh stasiun televisi Jakarta namun alasan sesungguhnya penolakan tersebut tidak pernah dijelaskan. Ade Armando19 menyatakan bahwa salah satu faktor yang menjadi penolakan Presiden adalah pembatasan siaran nasional. Bagi para pemilik stasiun televisi besar yang merupakan kalangan terdekat Presiden, RUU Penyiaran akan berdampak ekonomi serius bagi pebisnis tertentu. Presiden baru mengesahkan RUU Penyiaran setelah pasal mengenai pembatasan siaran dihilangkan.20 Penulis hendak menyampaikan bahwa kekuatan hukum pengesahan Presiden pada periode UUD 1945 sarat akan muatan politis sehingga pada agenda perubahan muncul pemikiran untuk membatasi peran Presiden dalam kekuasaan membentuk UU. Pembatasan peran Presiden dalam kekuasaan membentuk UU disepakati seluruh fraksi dalam Rapat PAH II BP MPR Ke-1, 7 Oktober 1999. Pembatasan ini diwujudkan dengan pemberdayaan DPR melalui pergeseran legislasi yang nantinya akan berdampak pula pada hilangnya kekuatan hukum pengesahan Presiden. Seperti telah disinggung sebelumnya, kekuatan hukum pengesahan Presiden yang begitu besar sarat akan muatan politis sehingga perlu adanya pembatasan. Hendi Tjaswadi dari F-TNI/Polri berpendapat:21 “... sudah melalui suatu pembahasan bersama sehingga adalah tidak logis apabila undang-undang yang sudah dibahas bersama dan disetujui, sehingga pada akhirnya pada ketingkat empat pengambilan keputusan dan disahkan oleh DPR dan disetujui oleh pemerintah. Kemudian Presiden justru tidak menandatangani undang-undang yang sudah dibahas bersama tersebut ... “

18

Sulardi, “Presiden dan Pengesahan Undang-Undang,” https://antikorupsi.org/id/news /presidendan-pengesahan-undang-undang, diakses 22 Maret 2020 19 Pakar Komunikasi Indonesia yang mengajar di Departemen Ilmu Komunikasi, Fakultas Sosial dan Politik, Universitas Indonesia, Jakarta, Indonesia. 20 Ade Armando, “Konstestasi dan Negosiasi Kepentingan dalam Implementasi Sistem Siaran Jaringan Televisi Indonesia”, Jurnal Komunikasi Indonesia Vol. 14 No. 1 (Oktober 2019), hlm. 46. 21 Mahkamah Konstitusi, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Buku III Jilid 2, hlm. 747.

Volume 10, Nomor 1, Juli 2020 | Juris LK2 FHUI


Selain mencegah adanya pengaruh politis, menurut Harun Kamil dari F-UG pembatasan pengesahan Presiden diperlukan dalam mencegah kemandekan berlakunya UU:22 “ ... Ini dalam praktek pernah terjadi bahwa RUU sudah disahkan, lama tidak disahkan oleh Presiden. Ini untuk mengatasi kemandekan alur dan proses kelahiran suatu undang-undang. Disini tentu Presiden diberi waktu untuk menandatangani RUU tersebut. Cuma kalau yang di atas tentu Presiden dengan kata setuju jelas akan mengundangkan, yang di bawah akan tidak setuju. Jadi menurut saya perlu ditambah kata-kata tentang kewajiban Presiden untuk mengundangkan ...� Sehingga konstruksi kekuasaan membentuk UU yang dibangun oleh the second founding fathers menekankan adanya keseimbangan antara Presiden dan DPR. Setiap RUU baru menjadi UU ketika telah mendapatkan persetujuan bersama antara Presiden dan DPR, sehingga setelah persetujuan bersama tercapai tidak ada kesempatan Presiden untuk menggunakan kekuatan pengesahan Presiden dalam mencegah berlakunya UU seperti pada periode Orde Baru. Hal inilah yang penulis maksudkan sebagai hilangnya kekuatan hukum pengesahan Presiden. Hasil perubahan tersebut kemudian dituangkan dalam Pasal 20 (5) UUD NRI 1945 yang mana dalam hal RUU yang telah disetujui bersama, tidak disahkan Presiden dalam waktu 30 hari semenjak RUU disetujui, RUU sah menjadi UU dan wajib diundangkan. Akibat hilangnya kekuatan hukum pengesahan Presiden menimbulkan perdebatan terkait mekanisme Presiden dapat menolak mengesahkan RUU yang telah disetujui bersama dikarenakan suatu kondisi tertentu. Perdebatan tersebut terjadi dalam pembahasan perubahan kedua UUD 1945, dalam Rapat Lobi Komisi A Sidang Tahunan MPR, 12 Agustus 2000. Taufiequrochman Ruki dari F-TNI/Polri menyampaikan bahwa pasal tersebut mengharuskan Presiden untuk mengesahkan, apapun yang terjadi. Jika tidak disahkan, maka RUU tersebut akan berlaku secara otomatis.23 Lukman Hakim FPPP menyampaikan mekanisme yang dapat ditempuh adalah dengan diterbitkannya Perpu oleh Presiden. Jika dalam kurun waktu yang diberikan oleh undang-undang dasar Presiden di pertengahan terdapat pertimbangan lain atau muatan yang tidak disepakati, Presiden mengesahkan RUU terlebih dahulu, kemudian Presiden menerbitkan Perpu.24 22

Mahkamah Konstitusi, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Buku III Jilid 2, hlm. 748. 23 Mahkamah Konstitusi, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Buku III Jilid 2, hlm. 1060. 24 Ibid., hlm. 1062.

Volume 10, Nomor 1, Juli 2020 | Juris LK2 FHUI


10Â

Namun, muncul kekhawatiran Taufiequrochman Ruki F-TNI/Polri terhadap mekanisme tersebut apabila suatu Perpu diterbitkan oleh Presiden dengan alasan bahwa RUU yang telah diundangkan tersebut membahayakan dan menimbulkan keadaan memaksa, maka hal tersebut dapat menjadi postulat umum.25 Pendapat Taufiequrochman Ruki perlu mendapat perhatian bahwa Perpu tidak seharusnya digunakan Presiden untuk mencabut UU yang materinya telah disadari membahayakan dan menimbulkan keadaan maksa. Justru dengan adanya mekanisme yang dibenarkan seperti ini secara tidak langsung tetap mempertahankan kekuasaan Presiden yang begitu besar. Dengan hilangnya kekuatan hukum pengesahan Presiden maka mengharuskan tahapan pembahasan menjadi tahapan Presiden maupun DPR untuk menolak suatu RUU sehingga ketika telah mendapat persetujuan bersama, RUU tersebut baik secara materil maupun formil telah disetujui oleh Presiden dan DPR. Hilangnya kekuatan hukum pengesahan Presiden dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia menimbulkan paradigma baru. Tercatat fenomena UU tanpa pengesahan Presiden pertama kali terjadi pada periode Presiden Megawati dengan tidak mengesahkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2002 tentang Pembentukan Provinsi Kepulauan Riau. Fenomena tersebut tidak sekali terjadi, dalam kurun waktu 2002 – 2019 terdapat sederet UU yang tidak disahkan oleh Presiden, antara lain: Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, UU Pilkada, UndangUndang Nomor 2 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, dan UU Revisi KPK. Secara langsung maupun tidak langsung sederet UU tersebut merupakan UU yang mendapat upaya penolakan dari Presiden maupun masyarakat. Misalnya, UU Pilkada mengatur mekanisme pemilihan kepala daerah dipilih melalui DPRD sehingga UU Pilkada mendapat penolakan masyarakat melalui aksi gabungan Koalisi Kawal RUU Pilkada karena substansi dinilai merampas hak konstitusional rakyat. Selain itu, Presiden SBY berpandangan bahwa selain merampas hak konstitusional rakyat, proses pengambilan keputusan telah menimbulkan persoalan, dan memenuhi ikhwal kegentingan yang

25

Mahkamah Konstitusi, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Buku III Jilid 2, hlm. 1065.

Volume 10, Nomor 1, Juli 2020 | Juris LK2 FHUI


11

memaksa sesuai Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009, maka Presiden SBY menerbitkan Perpu Pilkada yang mencabut keberlakuan UU Pilkada. UU Revisi KPK juga merupakan contoh UU yang mendapat upaya penolakan. Secara materil, UU Revisi KPK dinilai memiliki muatan yang bersifat melemahkan KPK misalnya, pemangkasan wewenang pimpinan KPK dan adanya dewan pengawas.26 Sedangkan, secara formil, Indonesian Legal Roundtable (ILR) menilai ada lima cacat formil dalam UU Revisi KPK, yaitu: tidak memenuhi asas kejelasan tujuan dan asas keterbukaan, tidak ada urgensi nasional dalam UU Revisi KPK, tidak ada naskah akademik, dan tidak ada partisipasi masyarakat.27 Kekurangan UU Revisi KPK mengakibatkan penolakan masyarakat hampir di sepanjang bulan September 2019 dengan adanya Aksi Reformasi Dikorupsi dan menuntut Presiden Joko Widodo untuk menerbitkan Perpu guna mencabut UU Revisi KPK. Hingga 18 Oktober 2019 atau tepat 30 hari setelah RUU Revisi KPK mendapat persetujuan bersama, Presiden Joko Widodo memilih tidak menandatangani UU Revisi KPK tersebut dan tidak juga menerbitkan Perpu sehingga UU Revisi KPK dapat berlaku hingga sekarang. Paradigma baru yang muncul ini perlu mendapatkan analisis yuridis lebih mendalam berkenaan dengan alasan Presiden tidak mengesahkan UU padahal dalam tahapan pembahasan telah mendapat persetujuan bersama Presiden dan DPR yang artinya materil dan formil UU telah disetujui Presiden. Munculnya paradigma baru ini seolah membenarkan kekhawatiran Taufiequrochman Ruki dengan hadirnya postulat umum, lebih jauh dari itu justru tetap mempertahankan kekuasaan Presiden yang begitu besar dalam membentuk UU. B. Konsep Kekuatan Hukum Pengesahan Presiden Pasca UUD NRI 1945 UUD NRI 1945 memberikan perubahan pada desain ketatanegaraan Indonesia terutama pada fungsi lembaga negara melalui terwujudnya check and balance antar lembaga negara dan pemberdayaan DPR sebagai pemegang kekuasaan membentuk UU. Pemberdayaan DPR sebagai pemegang kekuasaan membentuk UU diberikan melalui berbagai ketentuan, yaitu Pasal 5 (1), 20, dan 21 UUD NRI 1945. Perubahan tersebut 26

Aji Prasetyo, “Ramai-Ramai Menolak RUU KPK,” https://www.hukumonline. com/berita/baca/lt5d7932c71df42/ramai-ramai-menolak-ruu-kpk/, diakses 2 April 2020. 27 Tim detikcom, “ Ini 5 Cacat Formil di Revisi UU KPK, Hentikan Pembahasannya Segera,”https://news.detik.com/berita/d-4709112/ini-5-cacat-formil-di-revisi-uu-kpk-hentikan-pem bahasannya-segera, diakses 2 April 2020.

Volume 10, Nomor 1, Juli 2020 | Juris LK2 FHUI


12

berimplikasi pada tahapan pembentukan UU yang mencangkup perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan28 dilakukan secara seimbang antara Presiden dan DPR (fifty-fifty). Tahapan perencanaan dilaksanakan oleh DPR dan Presiden29 dengan pembentukan Program Legislasi Nasional (Prolegnas) sebagai skala prioritas pembentukan UU30. Tahapan penyusunan berupa usulan RUU dapat berasal dari DPR atau Presiden31 untuk selanjutnya dilakukan pembahasan. Tahapan Pembahasan dilakukan dalam dua tingkat pembicaraan, yaitu tingkat pertama yang dilakukan dalam rapat komisi, gabungan komisi, Badan Legislasi, Badan Anggaran, atau Panitia Khusus dan tingkat kedua dalam rapat paripurna yang dilakukan bersama Presiden.32 Tahapan ini yang kemudian membuka kesempatan adanya penolakan dari Presiden maupun DPR dengan tidak menyetujui RUU33 dan apabila RUU tidak mendapatkan persetujuan bersama maka RUU tersebut tidak dapat diajukan lagi dalam masa sidang DPR tersebut.34 Tahapan pembahasan dapat dikatakan sebagai tahapan vital dalam pembentukan UU karena menghasilkan persetujuan bersama. Wicipto Setiadi berpendapat bahwa pembentukan UU yang berasal dari DPR tidak dapat berjalan apabila tidak ada persetujuan dari Presiden. Baik DPR maupun Presiden harus sama-sama setuju, tidak bisa hanya DPR menyetujui tetapi Presiden tidak menyetujui. Keduanya harus berjalan beriringan untuk menghasilkan persetujuan bersama.35 Pendapat Wicipto Setiadi tidak berarti bahwa salah satu pihak harus selalu setuju dengan semua RUU yang sedang dibahas. Dalam tahapan pembahasan DPR maupun Presiden dapat saja tidak setuju dengan suatu RUU. Pasal 20 (3) UUD NRI 1945 mengatur bahwa jika RUU tidak mendapat persetujuan bersama maka suatu RUU tidak boleh diajukan lagi dalam masa sidang DPR tersebut. Meskipun tidak secara eksplisit mengatur penolakan namun frasa “tidak mendapat persetujuan bersama” dapat dinalarkan terjadi penolakan oleh salah satu 28 Indonesia, Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, UU No. 12 Tahun 2011, LN No. 82 Tahun 2011, TLN No. 5234, Ps. 1 angka 1. 29 Ibid., Ps. 20 (1). 30 Ibid., Ps. 16. 31 Ibid., Ps. 43 (1). 32 Ibid., Ps. 67. 33 Ibid., Ps. 69 (2). 34 Ibid., Ps. 69 (3). 35 Wicipto Setiadi, “Makna Persetujuan Bersama dalam Pembentukan Undang-Undang serta Penandatangan oleh Presiden atas Rancangan Undang-Undang yang telah Mendapat Persetujuan Bersama”, Jurnal Legislasi (September 2004), hlm. 23.

Volume 10, Nomor 1, Juli 2020 | Juris LK2 FHUI


13Â

pihak (Presiden atau DPR). Maka, penolakan baik Presiden maupun DPR terhadap suatu RUU lebih tepat dilakukan dalam tahapan pembahasan karena pada tahap ini sebetulnya telah diambil persetujuan bersama terhadap suatu RUU.36 Oleh karena tahapan pembahasan ini merupakan tahapan vital dalam pembentukan UU, persetujuan bersama disebut sebagai pengesahan materiil. Dikatakan vital karena dalam konstruksi pembentukan UU pasca UUD NRI 1945, pengesahan UU sejatinya telah terjadi dalam tahapan pembahasan, yaitu dengan adanya persetujuan bersama.37 Kaitannya dengan hilangnya kekuatan hukum pengesahan Presiden dalam pembahasan sebelumnya, persetujuan bersama (pengesahan materiil) memiliki pijakan konstitusi yang sangat kuat dalam pembentukan UU pasca UUD NRI 1945. Sebelum perubahan, pengesahan materil hanya diatur dalam Tata Tertib DPR sehingga pelaksanaan persetujuan bersama (pengesahan materil) tergantung pada konstelasi politik di DPR sedangkan setelah perubahan persetujuan bersama (pengesahan materil) diangkat menjadi muatan undang-undang dasar. Artinya, persetujuan bersama (pengesahan materil) merupakan syarat konstitusional yang tidak dapat ditiadakan dari tahapan pembentukan UU dan memiliki pelaksanaan yang baku. Jika persetujuan bersama (pengesahan materil) tidak tercapai maka tahapan pengesahan atau penetapan (pengesahan formal) tidak dapat digunakan.38 Konstruksi pembentukan UU yang demikian memberikan titik tumpu pada persetujuan bersama (pengesahan materil) dibandingkan pada pengesahan Presiden (pengesahan formal) yang artinya bahwa menyetujui maupun menolak dari salah satu pihak harus dilakukan dalam tahapan ini. Dimana apabila persetujuan bersama (pengesahan materil) tidak tercapai maka RUU tidak dapat diajukan dalam masa sidang DPR tersebut39 namun apabila pengesahan Presiden (pengesahan formal) tidak dilakukan oleh Presiden, suatu RUU sah menjadi UU dan wajib diundang40. Berbeda dengan konstruksi pembentukan UU dalam UUD 1945 apabila RUU tidak mendapat persetujuan DPR (pengesahan materil) maka RUU tidak boleh dimajukan lagi dalam persidangan DPR masa itu41 dan apabila meskipun disetujui

36

Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi, hlm. 247. Ibid, hlm. 256. 38 Ibid. 39 Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, Ps. 20 (3). 40 Ibid, Ps. 20 (5). 41 Indonesia, Undang-Undang Dasar Tahun 1945, Ps. 20 (5). 37

Volume 10, Nomor 1, Juli 2020 | Juris LK2 FHUI


14Â

DPR namun tidak disahkan oleh Presiden maka RUU tidak boleh diajukan lagi dalam masa sidang DPR tersebut.42 Terlihat bahwa kedudukan persetujuan bersama (pengesahan materil) dan pengesahan Presiden (pengesahan formal) pasca UUD NRI 1945 tidak seimbang. Selain konsekuensi hukum yang tidak seimbang, pengaturan mengenai persetujuan bersama (pengesahan materil) dalam Pasal 20 (3) UUD NRI 1945 dan pengesahan Presiden (pengesahan formal) dalam Pasal 20 (5) UUD NRI 1945 saling menegasikan. Pasal 20 (3) UUD NRI 1945 mengandung makna ketika suatu RUU telah mendapat persetujuan bersama (pengesahan materil) maka memberikan kewajiban konstitusional kepada Presiden untuk mengesahkan RUU yang telah disetujui. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, persetujuan bersama (pengesahan materil) sekaligus menandai terjadinya pengesahan materil terhadap suatu RUU. Berarti apabila Presiden menolak untuk mengesahkan RUU yang telah mendapat persetujuan bersama (pengesahan materil) maka Presiden melanggar kewajiban konstitusionalnya (inkonstitusional) yang di atur dalam Pasal 20 (3) UUD NRI 1945. Sedangkan dalam Pasal 20 (5) UUD NRI 1945 menunjukan pergeseran kewajiban konstitusional Presiden dalam Pasal 20 (3) UUD NRI 1945 menjadi hak konstitusional Presiden. Pergeseran menjadi hak konsitusional ini dapat mencerminkan bahwa UUD NRI 1945 membenarkan Presiden untuk tidak mengesahkan suatu RUU yang telah mendapat persetujuan bersama (pengesahan materil) dan sikap Presiden yang demikian konstitusional. Meminjam pendapat Jimly Asshiddiqie, pengesahan Presiden dikatakan sebagai pengesahan formal karena tidak lagi menentukan materi UU. Materi UU telah dianggap final dan tidak dapat diubah sejak persetujuan bersama (pengesahan materil) telah tercapai. Bahkan tinggal menunggu waktu, yaitu 30 hari sejak disetujui bersama akan berlaku dengan sendirinya sebagai norma hukum yang mengikat umum. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa pengesahan Presiden (pengesahan formal) bersifat formal dan administratif karena tidak lagi dapat berpengaruh dengan materi UU tersebut.43 Pendapat Jimly ini meneguhkan pendapat bahwa pasca tercapainya persetujuan bersama (pengesahan materil) maka suatu RUU telah resmi menjadi UU meskipun belum memiliki 42

Indonesia, Undang-Undang Dasar Tahun 1945, Ps. 20 (5).Ps. 21 (2). Jimly Ashiddiqie, Perihal Undang-Undang di Indonesia, (Jakarta: Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi, 2006), hlm. 295. 43

Volume 10, Nomor 1, Juli 2020 | Juris LK2 FHUI


15Â

daya mengikat umum namun materi UU sudah bersifat final. Artinya, tidak ada ikhwal apapun yang dapat merubah materi UU yang telah mendapat persetujuan bersama (pengesahan materil), termasuk jika itu berasal dari Presiden. Dalam arti lebih, dengan tertutupnya kemungkinan merubah materi UU yang telah mendapat persetujuan bersama (pengesahan materil) secara langsung juga menutup alasan pembenar bagi Presiden untuk menolak materi UU dan menolak untuk mengesahkan UU seperti dalam praktik Orde Baru. Sekecil apapun perubahan dalam materi UU yang telah mendapat persetujuan bersama (pengesahan materil) akan dianggap merubah UU yang telah mendapat persetujuan bersama (pengesahan materil). Mari melihat problematika UU Pilkada dan UU Revisi KPK yang merupakan contoh UU tanpa pengesahan Presiden namun memiliki paradigma berbeda. Presiden SBY tidak memberikan pengesahan dengan alasan menolak materi UU Pilkada meskipun telah mendapat persetujuan bersama Presiden dan DPR. Sikap Presiden untuk tidak mengesahkan dengan alasan menolak materi UU Pilkada tetap tidak dapat merubah materi dan mencegah keberlakuan UU Pilkada. Namun, pasca UU Pilkada diundangkan Presiden SBY menerbitkan Perpu Pilkada yang kemudian dapat mencabut UU Pilkada. Baik tidak mengesahkan UU Pilkada maupun menerbitkan Perpu Pilkada merupakan hak konstitusional Presiden. Perbedaannya adalah tidak mengesahkan UU merupakan salah satu dari tahapan pembentukan UU yang tidak dapat merubah materi dan mencegah pemberlakuan UU. Sementara itu, menerbitkan Perpu tidak termasuk ke dalam tahapan pembentukan UU dan berakibat pada dicabutnya suatu UU. Berbeda dengan itu, dalam UU Revisi KPK, Presiden Joko Widodo tidak memberikan pengesahan, tidak memberikan alasan untuk tidak mengesahkan, dan tidak menerbitkan Perpu sehingga UU Revisi KPK tetap berlaku hingga sekarang meskipun telah banyak mendapatkan penolakan. Menarik dicermati, sikap Presiden SBY maupun Presiden Joko Widodo tidak mengesahkan UU justru terjadi setelah persetujuan bersama (pengesahan materil) yang artinya dalam pembahasan bersama Presiden menyetujui materi UU. Sehingga hal ini menunjukan ketidakpastian hukum dan merusak kesakralan pembentukan UU yang dilakukan oleh Presiden. Pasal 20 (3) UUD NRI 1945 seolah terlupakan bahwa secara konstitusional UUD NRI 1945 memberikan jalan bagi Presiden untuk menolak materi RUU yang sedang dibahas. Dengan tidak menyetujui maka Presiden tidak perlu melakukan pengesahan

Volume 10, Nomor 1, Juli 2020 | Juris LK2 FHUI


16Â

karena pengesahan baru akan terjadi ketika persetujuan bersama (pengesahan materil) tercapai. Sikap Presiden untuk tidak mengesahkan UU seolah mencerminkan bahwa Presiden menyetujui suatu RUU dalam tahapan pembahasan hanyalah paksaan kekuatan politik di DPR sehingga mau tidak mau Presiden tetap harus menyetujui materi UU. Soal Presiden pada dasarnya menolak UU tersebut maka Presiden dapat tidak mengesahkan UU atau dapat menerbitkan Perpu dikemudian hari. Problematika ini secara akademis seharusnya dikembalikan kepada tujuan the second founding fathers merubah desain ketatanegaraan Indonesia dengan menerapkan kolaborasi sistem pemerintahan presidensial dan check and balances. Pemisahan secara jelas hubungan Presiden dan DPR dalam sistem pemerintahan presidensial mengakibatkan pembentukan pemerintah tidak tergantung proses politik di DPR44 dan tak lupa check and balances memberikan kedudukan Presiden dan DPR seimbang untuk saling mengawasi. Jelas hal ini masih menemui tantangan karena dianutnya sistem pemerintahan presidensial dengan multipartai seperti di Indonesia sangat memungkinkan Presiden untuk terdesak secara politik di dalam pembentukan UU. III. PENUTUP Telaah paradigmatik yang dilakukan di atas telah sampai pada beberapa kesimpulan. Pertama, hilangnya kekuatan hukum pengesahan Presiden mengandung kekhawatiran timbulnya postulat umum. Lebih jauh postulat umum ini ditimbulkan karena Presiden dibenarkan untuk tidak mengesahkan yang kemudian mengeluarkan Perpu sedangkan hal ini justru akan semakin mewujudkan kekuasaan Presiden yang begitu besar dalam tahapan pembentukan UU. Kedua, hilangnya kekuatan hukum pengesahan Presiden justru menunjukan tahapan pembahasan yang tidak maksimal karena Presiden seolah harus menyetujui RUU yang sedang dibahas sedangkan hal ini bertolak belakang dengan tujuan penerapan sistem pemerintahan presidensial dan check and balances pasca UUD NRI 1945.

44

Saldi Isra, Sistem Pemerintahan Indonesia, (Depok: PT RajaGrafindo Persada, 2019), hlm. 36.

Volume 10, Nomor 1, Juli 2020 | Juris LK2 FHUI


17

DAFTAR PUSTAKA Buku Asshiddiqie, Jimly. Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan dalam UUD 1945. Yogyakarta: FH UII Press, 2005. Ashiddiqie, Jimly. Perihal Undang-Undang di Indonesia. Jakarta: Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi, 2006. Isra, Saldi. Pergeseran Fungsi Legislasi. Edisi Kedua. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2018. Isra, Saldi. Sistem Pemerintahan Indonesia. Depok: PT RajaGrafindo Persada, 2019. Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum. Edisi Revisi. Jakarta: Kencana, 2017.

Jurnal Artikel Armando, Ade. “Konstestasi dan Negosiasi Kepentingan dalam Implementasi Sistem Siaran Jaringan Televisi Indonesia”, Jurnal Komunikasi Indonesia Vol. 14 No. 1 (Oktober 2019). Mahkamah Konstitusi, “Pembahasan Perubahan UUD 1945 mengenai Dewan Perwakilan Rakyat”, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Buku III Jilid 2 (2010). Setiadi, Wicipto. “Makna Persetujuan Bersama dalam Pembentukan Undang-Undang serta Penandatangan oleh Presiden atas Rancangan Undang-Undang yang telah Mendapat Persetujuan Bersama”, Jurnal Legislasi (September 2004).

Peraturan Perundang-Undangan Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945. Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Volume 10, Nomor 1, Juli 2020 | Juris LK2 FHUI


18

Indonesia, Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, UU No. 12 Tahun 2011, LN No. 82 Tahun 2011, TLN No. 5234.

Internet Al-Khawarizmi, Damang Averroes. “Pemisahan Kekuasaan Vs Pembagian Kekuasaan.” https://www.negarahukum.com/hukum/pemisahan-kekuasaan-vs-pembagiankekuasaan.html. Diakses 21 Maret 2020. Humas Sekretariat Kabinet Republik Indonesia. “Tolak Pilkada Lewat DPRD, Presiden SBY Terbitkan 2 Perppu.” https://setkab.go.id/tolak-pilkada-lewat-dpr d-presidensby-terbitkan-2-perppu/. Diakses 21 Maret 2020. Prasetyo, Aji. “Ramai-Ramai Menolak RUU KPK.” https://www.hukumonline. com/berita/baca/lt5d7932c71df42/ramai-ramai-menolak-ruu-kpk/. Diakses 2 April 2020. Rakhmawaty, Popy. “Jokowi Tegaskan Tak Akan Terbitkan Perppu KPK.” https://www.tagar.id/jokowi-tegaskan-tak-akan-terbitkan-perpu-kpk/amp/. Diakses 21 Maret 2020. Sulardi. “Presiden dan Pengesahan Undang-Undang.” https://antikorupsi.org/id/news /presiden-dan-pengesahan-undang-undang. Diakses pada 22 Maret 2020 Tim detikcom. “ Ini 5 Cacat Formil di Revisi UU KPK, Hentikan Pembahasannya Segera.” https://news.detik.com/berita/d-4709112/ini-5-cacat-formil-di-revisi-uukpk-hentikan-pem bahasannya-segera. Diakses 2 April 2020.

Volume 10, Nomor 1, Juli 2020 | Juris LK2 FHUI


19Â

BIODATA PENULIS

MELTA SETYA RAHAYU PUJIANTI adalah Mahasiswi Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Program Studi Magister Hukum Kenegaraan angkatan 2019. Pada jenjang sebelumnya penulis telah menyelesaikan Sarjana Ilmu Hukum di Fakultas Hukum Universitas Brawijaya dengan predikat Cumlaude pada 2019. Selain fokus pada bidang akademik, penulis memiliki orientasi dalam berbagai kegiatan riset dan organisasi. Dalam kegiatan riset penulis berpengalaman dalam project Perancangan Peraturan Daerah dan Jurnal Ilmiah. Sedangkan dalam kegiatan organisasi tercatat sebagai Mentor Karya Ilmiah YES Institute (2020), Anggota Divisi Penelitian dan Kajian Keluarga Mahasiswa Magister Hukum (KMMH) FH UGM (2019), Direktur Utama Forum Kajian dan Penelitian Hukum (FKPH) FH UB (2018), Kepala Bidang Internal Forum Mahasiswa Konsentrasi Hukum Tata Negara (FORMATERA) FH UB (2018), Bendahara I Pengenalan Kehidupan Kampus Mahasiswa Baru (PKK Maba) FH UB 2018, Steering Commitee Koordinator Constitusional Law Festival (CLFest) 2018, Koordinator Acara CLFest (2017), Direktur PSDM FKPH FH UB (2017), Koordinator Sponsorship CLFest (2016), dan lain sebagainya. Ketertarikan pada kegiatan riset dan organisasi telah mengantarkan penulis kepada berbagai penghargaan yang diraih, antara lain Mahasiswa Berprestasi II FH UB (2018), Best Chairman FH UB (2018), Bronze Medal Thailand’s Inventors Day (2018), Juara 2 Constitutional Drafting, Padjajaran Law Fair (2018), Juara 3 Lomba Karya Tulis Ilmiah UII Law Fair (2018), Juara Umum Islamic Law Fair (2018), Juara Berkas Terbaik Legislative Drafting Law Fair (2018), Medali Perunggu Pekan Kreativitas Mahasiswa Bidang Gagasan Tertulis (PKM GT) Rector Cup UB (2016), dan lain sebagainya.

Volume 10, Nomor 1, Juli 2020 | Juris LK2 FHUI


20Â

BIODATA PENULIS Wahidiyah Putri Rahayu saat ini merupakan Staf Divisi

Hukum,

Penindakan

dan

Penanganan

Pelanggaran Badan Pengawas Pemilihan Umum Kota Blitar. Penulis menyelesaikan pendidikan S1 di Fakultas

Hukum

Universitas

Brawijaya

dan

mendapatkan penghargaan sebagai Lulusan Terbaik pada periode wisuda tersebut. Selama menempuh pendidikan, penulis aktif di berbagai organisasi antara lain: Forum Kajian dan Penelitian Hukum (FKPH) FHUB, Islamic Study Club dan Eksekutif Mahasiswa Universitas Brawijaya. Ketertarikan dibidang riset dimulai sejak SMA dengan mengikuti perlombaan dan berhasil mendapat penghargaan sebagai Juara I Presentasi Gagasan Ilmiah Kemah Riset Nasional di IPB Bogor pada tahun 2014. Tahun 2015 Penulis mendapatkan Juara III Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) Rektor Cup Universitas Brawijaya. Selain itu juga berhasil menjadi finalis di beberapa lomba karya tulis ilmiah, yaitu: Finalis Call For Paper Ekonomi Bebas Korupsi Universitas Gajah Mada tahun 2015, Finalis Call For Paper Eversest Universitas Sumatera Utara tahun 2016, Finalis Lomba Karya Tulis Ilmiah Law Year Universitas Sebelas Maret tahun 2016. Penulis pun aktif dalam berbagai kegiatan penulisan karya ilmiah bidang hukum selama menjadi mahasiswi FH Universitas Brawijaya, diantaranya esai yang berjudul Greenbottle: Solusi Inovatif Kinerja Monitoring Masyarakat dalam Eliminasi Korupsi di Era Otonomi Daerah, Rekonstruksi Politik Hukum Terhadap Tenaga Kerja Indonesia (TKI) Ilegal Guna Mewujudkan Asas Keadilan Berdasarkan Perspektif HAM, Regulatory Agency dalam Rekrutmen Hakim sebagai Upaya Akselerasi Mewujudkan Hakim yang Berintegritas, Perbandingan Pengaturan Tindak Pidana Cyber Crime di Indonesia, Singapura, Inggris dan Malaysia. Satu diantara tulisan penulis berjudul Inspektorat Yudisial Sebagai Upaya Pemberantasan Judicial Corruption Guna Mewujudkan Lembaga Kehakiman Yang Berintegritas telah terbit dalam Jurnal Juris Vol. 7 Tahun 2017.

Volume 10, Nomor 1, Juli 2020 | Juris LK2 FHUI


21Â

Status Kewarganegaraan dari Anak Warga Negara Indonesia Mantan Islamic State of Iraq and Syria (ISIS): Sebuah Tinjauan Hukum Oleh: Kania Jennifer Wiryadi Mahasiswa Fakultas Hukum UI Angkatan 2017 kaniawiryadi@gmail.com Monica Gracia Irjanto Putri Mahasiswa Fakultas Hukum UI Angkatan 2017 monica.gracia@yahoo.com Abstrak Keputusan Indonesia untuk tidak memulangkan 689 Warga Negara Indonesia (WNI) mantan ISIS oleh pemerintah menimbulkan pertanyaan mengenai konsekuensi dari kebijakan tersebut terhadap kewarganegaraan anak yang ikut serta orang tuanya keluar dari Indonesia maupun yang lahir disana. Terkait kewarganegaraan, Indonesia menganut ius sanguinis dan ius soli terbatas. Di satu sisi, anak dapat tetap mempertahankan kewarganegaraannya karena kehilangan kewarganegaraan orang tua tidak sendirinya berlaku terhadap anaknya (Pasal 25 UU Kewarganegaraan). Namun disisi lain terdapat pula aturan-aturan dalam UU Kewarganegaraan yang menimbulkan konsekuensi hilangnya kewarganegaraan dari si anak. Tulisan ini bertujuan untuk mengulas status kewarganegaraan anak eks-ISIS dengan menyajikan kekhususan dari beberapa skenario serta dikaitkan dengan kemampuan deradikalisasi di Indonesia. Kata Kunci: Anak, Ius Sanguinis, Kewarganegaraan, Deradikalisasi, Pertahanan Negara

Volume 10, Nomor 1, Juli 2020 | Juris LK2 FHUI


22Â

Abstract Indonesia's decision not to repatriate 689 ex-Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) member to return to their home country, raise some questions in related to the consequences of that decision towards the ex-ISIS children that brought by their parent out of Indonesia and the children that born in ISIS territory. In regard to nationality, Indonesia use the principle of ius sanguinis, and limited ius soli. On one hand, the loss of nationality does not automatically affect their children (Article 25 Law concerning Kewarganegaraan). But on the other hand, there are other provisions in the Law concerning Kewarganegaraan that may revoke the nationality of the children. This article will assert the ex-ISIS children's nationality by presenting the answer through various possibilities and show current Indonesia’s deradicalization capacity. Keywords: Children, Ius Sanguinis, Nationality, Deradicalization, National Defense

Volume 10, Nomor 1, Juli 2020 | Juris LK2 FHUI


23

I. PENDAHULUAN Salah satu bentuk evolusi ancaman global adalah radikalisme yang disertai dengan kekerasan berupa terorisme. Kelompok Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) dinyatakan kalah total di wilayah Suriah oleh Pasukan Demokratik Suriah (SDF), yang didukung koalisi pimpinan Amerika Serikat (AS).1 Hal ini menyebabkan simpatisan ISIS kembali mencari suaka ke negara asalnya. Data terakhir yang dikumpulkan oleh BNPT dan Densus menunjukan terdapat 1.276 orang Warga Negara Indonesia (WNI) eks ISIS.2 Hal ini menimbulkan pertanyaan bagaimana status kewarganegaraan WNI karena berkaitan dengan kewajiban negara untuk melindunginya. Di sisi lain, kepentingan itu dihadapkan dengan ketakutan terhadap ancaman ketahanan nasional yaitu terorisme. Karena meskipun ISIS telah mengalami keredupan, tidak berarti paham terorisme juga redup, karena ISIS sendiri yang mendapatkan pengaruh global di tahun 2013-2014 merupakan kebangkitan dari redupnya pengaruh al-Qaeda dan kematian Osama bin Laden.3 4 Permasalahan selanjutnya adalah kasus anak dalam radikalisme dan terorisme merupakan permasalahan yang membutuhkan fokus khusus karena sering kali terjadi salah tafsir terhadap peran anak. Keterlibatan anak-anak dalam kelompok atau gerakan tersebut tidak bisa disamakan dengan orang dewasa.5 Keberadaan anak dalam jaringan terorisme merupakan korban dari keputusan orang tuanya. Sehingga, pemulangan anak terlibat dalam ISIS yang menjadi prioritas dan pembahasan oleh pemerintah. Tulisan ini akan membahas lebih lanjut mengenai status kewarganegaraan dari anak WNI yang tergabung dalam ISIS, kesiapan institusi Indonesia dalam deradikalisasi, dan ancaman transnasional terhadap ketahanan nasional.

1

Novi Christiastuti, “Akhirnya Kalah Total, Begini Awal Sejarah Kemunculan dan Jatuhnya ISIS,” https://news.detik.com/internasional/d-4481924/akhirnya-kalah-total-begini-awal-sejarahkemunculan-dan-jatuhnya-isis, diakses 11 April 2020. 2 CNN Indonesia, “Yasonna: Data Terbaru Ada 1.276 WNI Eks ISIS di Luar Negeri,” https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200225163222-20-477996/yasonna-data-terbaru-ada-1276wni-eks-isis-di-luar-negeri, diakses 11 April 2020. 3 David Sterman dan Nate Rosenblatt, All Jihad is Local Volume II: ISIS in North Africa and the Arabian Peninsula (America: New America, 2018), hlm. 58. 4 5

Khariroh Maknunah, “Penanganan Anak Dalam Tindak Pidana Terorisme,” C-Save: Indonesia Civil Society Against Violent Extremism, hlm. 1.

Volume 10, Nomor 1, Juli 2020 | Juris LK2 FHUI


24

A. Landasan Teori 1. Kewarganegaraan Warga negara merupakan subjek hukum yang menyandang hak-hak sekaligus kewajiban-kewajiban dari dan terhadap negara. Artinya, setiap warga negara mempunyai hak yang wajib diakui (recognized) oleh negara dan wajib dihormati (respected), dilindungi (protected), dan difasilitasi (facilitated), serta dipenuhi (fulfilled) oleh negara.6 Sebaliknya, setiap warga negara memiliki kewajiban kepada negara yang merupakan hak-hak negara yang juga wajib diakui (recognized), dihormati (respected), dan ditaati atau ditunaikan (complied) oleh setiap warga negara.7 2. Asas Kewarganegaraan Indonesia Penentuan syarat-syarat untuk menjadi warga negara adalah kedaulatan seluruhnya suatu negara. Di Indonesia, pengaturan mengenai asas terkait dengan kewarganegaraan diatur secara khusus dalam Undang-Undang tersendiri yaitu Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan (UU Kewarganegaraan 1958). Di dalam UU Kewarganegaraan 1958, Indonesia menganut asas ius sanguinis, sehingga anak-anak yang dilahirkan akan mengikuti kewarganegaraan ayahnya.8 Namun dengan dicabutnya Undang-Undang tersebut melalui

UU

Nomor

12

Tahun

2006

tentang

Kewarganegaraan

(UU

Kewarganegaraan), asas yang digunakan juga mengalami pergeseran dari hanya ius sanguinis, menjadi ius sanguinis dengan dibarengi dengan ius soli secara terbatas. Dalam UU Kewarganegaraan, yang dimaksud dengan “Asas ius sanguinis (law of the blood) adalah asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan keturunan, bukan berdasarkan negara tempat kelahiran” sedangkan “Asas ius soli (law of the soil) secara terbatas adalah asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan negara tempat kelahiran, yang diberlakukan terbatas bagi

6

Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), hlm.

383. 7

Ibid. Zulfa Djoko Basuki, Dampak Putusnya Perkawinan Campuran Terhadap Pemeliharaan Anak (Child Custody): Tinjauan dari segi Hukum Perdata Internasional, cet.1 (Jakarta: Yarsif Watampone, 2005), hlm. 119. 8

Volume 10, Nomor 1, Juli 2020 | Juris LK2 FHUI


25

anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini.”9 Selain penambahan asas ius soli terbatas, UU Kewarganegaraan juga memperluas makna dari ius sanguinis sehingga seorang anak dari Ibu WNI meskipun memiliki ayah WNA juga tetap mendapatkan kewarganegaraan Indonesia,10 sedangkan menurut UU Kewarganegaraan 1958 menggunakan garis keturunan dari ayah.11 3. Radikalisme dan Deradikalisasi Radikalisme pada dasarnya mempunyai makna netral bahkan dalam studi filsafat jika seseorang mencari kebenaran harus sampai kepada akarnya. Namun, ketika radikalisme dibawa ke wilayah terorisme maka radikalisme memiliki konotasi negatif.12 Radikalisme memiliki makna militansi yang dikaitkan dengan kekerasan yang kemudian dianggap anti sosial.13 Deradikalisasi merupakan suatu proses yang terencana, terpadu, sistematis, dan berkesinambungan yang dilaksanakan untuk menghilangkan atau mengurangi dan membalikkan pemahaman radikal terorisme yang telah terjadi.14 II. PEMBAHASAN A. Pengaruh Perubahan Ancaman Transnasional Terhadap Ketahanan Nasional Perkembangan Industri 4.0 berpengaruh terhadap evolusi ancaman transnasional antar negara-negara di dunia. Isu global yang di masa lampau didominasi oleh perebutan wilayah berevolusi menjadi lebih beragam mulai dari terorisme, radikalisme, kerusakan lingkungan hidup, hingga potensi kesenjangan sosial-ekonomi-politik dan ketegangan global. Oleh karena itu perlu adanya antisipasi dari bangsa Indonesia terhadap perkembangan dinamika geopolitik dari kesatuan antara manusia Indonesia dengan tempat atau tanah air ke arah antisipasi bangsa Indonesia dengan hal-hal yang berkaitan 9 Indonesia, Undang-Undang tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, UU No.12 Tahun 2006, LN No.63 Tahun 2006, TLN No. 4634, Lampiran hlm. 2. 10 Ibid., Ps. 4 huruf d. 11 Indonesia, Undang-Undang tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, UU No.62 Tahun 1958, LN No. 113 Tahun 1958, TLN 1647, Ps. 1 huruf b. 12 Muhammad Nursalim, “Deradikalisasi Terorisme: Studi Atas Epistemologi, Model Interpretasi, dan Manipulasi Pelaku Teror,” Jurnal Studi Agama dan Pemikiran Islam Vol 8 No 2 (2014), hlm. 336. 13 Nursalim, “Deradikalisasi Terorisme: Studi Atas Epistemologi, Model Interpretasi, dan Manipulasi Pelaku Teror.” 14 Indonesia, Undang-Undang Kewarganegaraan Republik Indonesia, UU No.12 Tahun 2006, Ps. 43D ayat (1).

Volume 10, Nomor 1, Juli 2020 | Juris LK2 FHUI


26

dengan isu-isu transnasional.15 Untuk itu, diperlukan suatu ketangguhan atas ketahanan nasional dalam seluruh aspek kehidupan nasional dalam menghadapi dan mengatasi segala tantangan, ancaman, hambatan dan gangguan baik yang datang secara eksternal maupun internal untuk menjamin identitas, integritas, dan kelangsungan hidup bangsa dan negara. Terkait dengan mempertahankan ketahanan nasional tersebut, Indonesia mengenal delapan aspek ketahanan nasional atau astra gatra yang terdiri dari aspek alamiah (tri gatra) yang terdiri atas gatra geografi, gatra demografi, dan gatra sumber kekayaan alam dan aspek dinamis (panca gatra) yang terdiri atas gatra ideologi, gatra politik, gatra ekonomi, gatra sosial budaya, dan gatra pertahanan dan keamanan.16 Menyadari bahwa ancaman transnasional telah berevolusi dan menyerang melalui lebih banyak aspek, maka garis pertahanan nasional juga harus mengalami penguatan untuk menjaga ketahanan nasional Indonesia. Salah satu ancaman yang dihadapi dan banyak mengancam ketahanan nasional dari negara-negara di dunia termasuk Indonesia adalah ancaman terorisme. Di Prancis, pada hari Jumat, 13 November 2015, terjadi serangan terorisme yang disebut dengan “Bataclan”. Pada hari itu, enam hingga tujuh serangan terjadi secara berturut-turut di berbagai wilayah di Prancis dengan korban jiwa sebanyak 129 orang, dan 350 orang mengalami luka-luka. Tujuh orang teroris meninggal dunia dalam melancarkan aksi penyerangan bunuh diri ini. Pada tanggal 15 November 2015, polisi Prancis memastikan bahwa setidaknya tiga orang dari pelaku merupakan warga negara Prancis. Terhadap aksi ini, ISIS mengaku bertanggung jawab terhadap aksi ini melalui pesan yang dikeluarkan oleh mereka di berbagai media sosial dalam tiga bahasa yaitu Arab, Prancis, dan Inggris dengan mengatakan bahwa mereka telah memilih targetnya dengan teliti bahkan melakukan pengancaman dengan mengatakan, “Let France and all nations following its path know that they will continue to be at the top of the target list of the Islamic State (...). Indeed this is just the beginning. It is also a warning for any who wishes to take heed”.17 15 Kris Wijoyo Soepandji dan Muhammad Farid, “Konsep Bela Negara Dalam Perspektif Ketahanan Nasional,” Jurnal Hukum dan Pembangunan 48, No. 3 (2018), hlm. 443. 16 Soepandji dan Farid, “Konsep Bela Negara Dalam Perspektif Ketahanan Nasional,” hlm. 444. 17 International Institute for Counter-Terrorism (ICT), “The Black Friday Paris Attacks,” https://www.ict.org.il/UserFiles/ICT-The-Black-Friday-Paris-Attacks-Nov15.pdf, diakses 10 April 2020, hlm. 4.

Volume 10, Nomor 1, Juli 2020 | Juris LK2 FHUI


27

Bahkan menurut International Institute for Counter-Terrorism serangan dengan skala yang masif dan sistematis ini tidak terdeteksi oleh radar dari security services Prancis maupun Eropa.18 Pada kenyataannya, ancaman terorisme tidak hanya ditujukan kepada negaranegara barat saja, namun negara seperti Indonesia pun menjadi salah satu target dari terorisme. Misalnya, teror Bom Bali I tahun 2002, Bom Hotel Ritz-Carlton dan Hotel JW Marriott pada tahun 2003, serta Bom Kedubes Australia tahun 2004, di mana terdapat puluhan bahkan ratusan masyarakat awam yang tewas dalam serangan tersebut.19 Contoh serangan teror yang lebih baru yaitu teror di kedai kopi Starbucks Sarinah, Thamrin, Jakarta pada awal Januari 2016, di mana teror tersebut diduga dilakukan oleh kelompok ISIS,20 atau lebih spesifiknya didalangi oleh Jamaah Ansharut Daulah (JAD), kelompok terkait ISIS yang beroperasi di Indonesia. Tidak hanya melakukan penyerangan di Thamrin, menurut keterangan dari Kapolri Jenderal Tito Karnavian, JAD juga bertanggung jawab atas serangan di tiga gereja Surabaya yang dilakukan oleh enam orang, yakni pasangan suami-istri dan empat anaknya, di mana sang suami diduga kuat adalah Ketua JAD Surabaya.21 Menurut Tito, penyerangan tersebut merupakan upaya pembalasan kelompok JAD karena ketuanya yaitu Aman Abdurrahman (juga merupakan ketua ISIS Indonesia), ditangkap kembali dan mendekam di balik jeruji.22 Sebelum aksi bom bunuh diri di Sarinah dan gereja di Surabaya terjadi, telah terdapat indikasi atau informasi yang dimiliki oleh kepolisian dari kelompok peretas (hacker) Anonymous yang mengatakan bahwa Indonesia akan menjadi salah satu target penyerangan kelompok radikal ISIS. Kelompok peretas Anonymous tersebut menginfokan bahwa kelompok teroris akan menyerang Indonesia setelah Teror Paris pada 13 November 2015.23 Ternyata informasi tersebut benar bahwa setelah Teror Paris, Indonesialah yang menjadi target penyerangan dan diketahui bahwa penyerangan tersebut 18

International Institute for Counter-Terrorism (ICT), “The Black Friday Paris Attacks,” hlm. 10. Debora Sanur Lindawaty, “Upaya Penanggulangan Terorisme ISIS di Indonesia,” Politica 7, No. 1 (Mei 2016), hlm. 26. 20 Ibid. 21 Rinaldy Sofwan, “Bom Surabaya, JAD dan Ancaman ISIS di Indonesia,” https://www.cnnindonesia.com/nasional/20180514151221-12-298088/bom-surabaya-jad-dan-ancamanisis-di-indonesia, diakses 10 April 2020. 22 Ibid. 23 Lindawaty, “Upaya Penanggulangan Terorisme ISIS di Indonesia,” hlm. 26-27. 19

Volume 10, Nomor 1, Juli 2020 | Juris LK2 FHUI


28

direncanakan oleh Bahrun Naim, warga Indonesia yang ingin memimpin kelompok ISIS di Asia Tenggara.24 Melihat dari kasus di atas, terdapat tendensi bahwa ancaman terorisme di suatu negara tertentu kerap kali dilakukan oleh warga negara dari negara tersebut juga meskipun dengan infiltrasi paham dari luar yang dalam hal ini dilakukan oleh ISIS. Kenyataan itu menunjukan bahwa kewarganegaraan seseorang tidak serta merta menunjukan keinginan dari individu yang bersangkutan untuk membangun ketahanan nasional demi keamanan bangsa dan negara. Kewarganegaraan juga tidak dapat diartikan sebagai sebuah persamaan ideologi maupun persamaan tujuan. Tujuan dari Pemerintah Negara Indonesia dapat dilihat di dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.25 Sedangkan di sisi lain, terorisme adalah: 1. Petrus Reinhard Golose: terorisme adalah setiap tindakan yang melawan hukum dengan cara menebarkan teror secara meluas kepada masyarakat, dengan ancaman atau cara kekerasan, baik yang diorganisir maupun tidak, serta menimbulkan akibat berupa penderitaan fisik dan/atau psikologis dalam waktu berkepanjangan sehingga dikategorikan sebagai tindak kejahatan yang luar biasa (extraordinary crime) dan kejahatan terhadap kemanusiaan.26 2. Muchamad Ali Syafa’at sebagaimana dikutip oleh Debora Sanur, menyatakan bahwa terorisme merupakan suatu paham yang berpendapat bahwa penggunaan cara-cara kekerasan yang menimbulkan ketakutan adalah cara yang sah untuk mencapai tujuan.27 Dari pengertian-pengertian tersebut dapat kita ketahui bahwa perilaku dari seorang teroris yang menggunakan ancaman atau kekerasan untuk menimbulkan suatu ketakutan dan penderitaan fisik dan/atau psikologis merupakan suatu hal yang bertentangan dengan tujuan dari bangsa Indonesia yang mencita-citakan perlindungan

24

Lindawaty, “Upaya Penanggulangan Terorisme ISIS di Indonesia,” hlm. 27. Indonesia, Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, alinea IV. 26 Golose, Deradikalisasi Terorisme Human Soul Approach dan Menyentuh Akar Rumput, hlm. 2. 27 Lindawaty, “Upaya Penanggulangan Terorisme ISIS di Indonesia,” hlm. 8. 25

Volume 10, Nomor 1, Juli 2020 | Juris LK2 FHUI


29

terhadap segenap bangsa Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, dan melaksanakan ketertiban dunia. Pertanyaannya selanjutnya adalah, bagaimana bisa ada seseorang yang karena terpengaruh suatu paham yang datang dari luar mengubah pola pikirnya, padahal secara fisik ia lahir dan dibesarkan di suatu negara namun rela menggoyahkan keamanan nasional dari negaranya sendiri, dan apakah ada karakteristik dari orang yang memiliki tendensi tersebut. Sayangnya, dari penelitian psikologi telah dilakukan oleh Prof. John Horgan yang dijelaskan olehnya dalam wawancara yang dilakukan oleh American Psychological Association, ia mengakui bahwa tidak terdapat suatu karakteristik atau profil yang pasti mengenai siapa orang-orang yang memiliki tendensi kuat untuk menjadi teroris. Meskipun telah ada penelitian selama empat dekade, namun belum tercapai jawaban yang pasti.28 Ketiadaan pengetahuan untuk menemukan siapa saja yang lebih mudah ditarik oleh paham ini, serta maraknya propaganda yang dilakukan oleh organisasi-organisasi terorisme menyebabkan sukarnya suatu usaha prevensi untuk mencegah infiltrasi paham terorisme ke dalam pikiran dan hati nurani seorang warga negara. Dalam hal ini, ISIS yang muncul di tahun 2013 dengan cepat mendapatkan popularitasnya karena organisasi ini memahami pentingnya alat komunikasi digital untuk memproklamasikan kekhalifahan global dengan memamerkan perbuatan-perbuatan biadab mereka untuk menggetarkan musuhnya dan memperoleh tanah di Suriah dan Irak. ISIS menggunakan portal media sosial yaitu Twitter, YouTube, dan JustPaste dalam menginjeksi informasi-informasi dan pandangan radikal untuk menarik anggota-anggota baru di kalangan pemuda Muslim secara global. Menurut Eric Schmidt, mantan CEO Google, dalam sehari ISIS dan suporternya dapat memproduksi sebanyak 90,000 cuitan di Twitter dan media sosial lain.29 Bahkan di dalam portal YouTube, terdapat video ISIS yang menjadi viral dengan judul “Welcome to ISIS Land” yang dilihat sebanyak 844,000 kali di YouTube. Video itu berhasil memberikan gangguan yang signifikan kepada target mereka.30

28 John Horgan, “Speaking of Psychology: Getting into a terrorist’s mind,” https://www.apa.org/research/action/speaking-of-psychology/terrorist-mind, diakses 11 April 2020. 29 Ahmad Shehabat and Teodor Mitew, “Black-boxing the Black Flag Anonymous Sharing Platforms and ISIS Content Distribution Tactics,” Perspectives on Terrorism, Vol. 12, No. 1 (February 2018), hlm. 83. 30 Ibid.

Volume 10, Nomor 1, Juli 2020 | Juris LK2 FHUI


30Â

Setelah berhasil melakukan propaganda, selanjutnya ISIS melakukan proses rekrutmen. Dalam tulisan ilmiahnya yang berjudul All Jihad is Local, David Sterman dan Nate Rosenblatt melampirkan formulir rekrutmen yang digunakan oleh ISIS baik dalam bahasa aslinya maupun versi yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Terdapat 22 pertanyaan dan 1 catatan yang ada dalam formulir itu termasuk: 6. Marital status: [check boxes for] Single, Married, Number of children; 9. Level of sharia expertise: [check boxes for] Advanced Student, Intermediate, Basic; 15. Have you engaged in jihad before, and where?; 16. [Do you want to be a] fighter, istishhadi [suicide bomber], or inghimasi [suicide fighter]?.31 Pertanyaan-pertanyaan dalam formulir tersebut dapat menggambarkan hal-hal apa saja yang menjadi bahan pertimbangan ISIS dalam merekrut anggota baru dan di sisi lain juga menunjukkan bahwa para calon anggota tersebut telah menyatakan setuju bahwa ia (beserta dengan keluarga yang dibawa) akan menjadi anggota teroris baik sebagai pejuang, pelaku bom bunuh diri, maupun pejuang bunuh diri ISIS. Di dalam konsep ISIS, ahli menyebut kelompok ini sebagai Salafi-Jihadisme yang merujuk pada suatu kelompok atau individu yang memiliki tujuan untuk meniru praktik tiga generasi pertama Islam meskipun harus melalui kekerasan.32 Hal ini merupakan sebuah bentrokan yang luar biasa dari tujuan nasional Indonesia yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya. Bentrokan semacam ini dan ancaman terhadap ketahanan nasional merupakan konsiderasi penting bagi pemerintah dalam mengambil kebijakan terkait dengan terorisme. B. Alasan Kehilangan Kewarganegaraan Dalam Pasal 23 UU Kewarganegaraan, disebutkan mengenai syarat-syarat WNI kehilangan kewarganegaraannya yakni: 1. memperoleh kewarganegaraan lain atas kemauannya sendiri; 2. tidak menolak atau tidak melepaskan kewarganegaraan lain, sedangkan orang yang bersangkutan mendapat kesempatan untuk itu; 3. dinyatakan hilang kewarganegaraannya oleh Presiden atas permohonannya sendiri, yang bersangkutan sudah berusia 18 (delapan belas) tahun atau sudah 31 Sterman dan Rosenblatt, All Jihad is Local Volume II, Appendix II. The ISIS Registration Form – Translated, hlm. 63. 32 Ibid., hlm.72.

Volume 10, Nomor 1, Juli 2020 | Juris LK2 FHUI


31Â

kawin, bertempat tinggal di luar negeri, dan dengan dinyatakan hilang Kewarganegaraan Republik Indonesia tidak menjadi tanpa kewarganegaraan; 4. masuk dalam dinas tentara asing tanpa izin terlebih dahulu dari Presiden; 5. secara sukarela masuk dalam dinas negara asing, yang jabatan dalam dinas semacam itu di Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan hanya dapat dijabat oleh Warga Negara Indonesia; 6. secara sukarela mengangkat sumpah atau menyatakan janji setia kepada negara asing atau bagian dari negara asing tersebut; 7. tidak diwajibkan tetapi turut serta dalam pemilihan sesuatu yang bersifat ketatanegaraan untuk suatu negara asing; 8. mempunyai paspor atau surat yang bersifat paspor dari negara asing atau surat yang dapat diartikan sebagai tanda kewarganegaraan yang masih berlaku dari negara lain atas namanya; atau 9. bertempat tinggal di luar wilayah negara Republik Indonesia selama 5 (lima) tahun terus-menerus bukan dalam rangka dinas negara, tanpa alasan yang sah dan dengan sengaja tidak menyatakan keinginannya untuk tetap menjadi Warga Negara Indonesia sebelum jangka waktu 5 (lima) tahun itu berakhir, dan setiap 5 (lima) tahun berikutnya yang bersangkutan tidak mengajukan pernyataan ingin tetap menjadi Warga Negara Indonesia kepada Perwakilan Republik Indonesia yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal yang bersangkutan padahal Perwakilan Republik Indonesia tersebut telah memberitahukan secara tertulis kepada yang bersangkutan, sepanjang yang bersangkutan tidak menjadi tanpa kewarganegaraan.33 Berdasarkan

syarat-syarat

tersebut,

kemungkinan

WNI

kehilangan

kewarganegaraannya karena ikut dalam ISIS adalah: 1) masuk dalam dinas tentara asing tanpa izin terlebih dahulu dari Presiden (huruf d); 2) secara sukarela mengangkat sumpah atau menyatakan janji setia kepada negara asing atau bagian dari negara asing tersebut (huruf f); dan 3) bertempat tinggal di luar wilayah negara Republik Indonesia selama lima tahun berturut-turut bukan dalam rangka dinas negara, tanpa alasan yang sah dan dengan

33

Indonesia, Undang-Undang Kewarganegaraan Republik Indonesia, UU No. 12 Tahun 2006,

Ps. 23.

Volume 10, Nomor 1, Juli 2020 | Juris LK2 FHUI


32

sengaja tidak menyatakan keinginannya untuk tetap menjadi Warga Negara Indonesia (huruf i). Berdasarkan alasan huruf d dan huruf f, maka terdapat pertanyaan apakah ISIS merupakan bentuk “bagian dari negara asing” dan/atau “tentara asing”. Tidak ada pengaturan yang menyebutkan pengertian dan definisi lebih lanjut dari “tentara asing”. Mengacu pada Undang-Undang No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI), tentara adalah warga negara yang dipersiapkan dan dipersenjatai untuk tugas-tugas pertahanan negara guna menghadapi ancaman militer maupun ancaman bersenjata.34 Kemudian, disebutkan bahwa tugas pokok TNI adalah salah satunya menegakkan kedaulatan negara.35 Kemudian, militer diartikan sebagai orang yang dididik, dilatih dan dipersiapkan untuk bertempur.36 Berdasarkan definisi ‘tentara’ dalam UU TNI dan militer serta dikaitkan secara tersirat dengan tugas pokok TNI, ISIS dapat dikategorikan sebagai tentara asing. Hal ini dikarenakan ISIS mendeklarasikan dirinya sendiri sebagai khilafah Islam yang berada di wilayah Suriah dan Irak37 sehingga dapat disebut sebagai pemberontakan terhadap kedua negara tersebut dengan tujuan memperoleh kedaulatan sebagai negara sendiri. Kemudian, mengacu pada huruf f, menurut Prof. Hikmahanto Juwana klausa “bagian dari negara asing” dapat diartikan sebagai pemberontak yang hendak menggulingkan pemerintah yang sah. Berdasarkan pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa WNI yang menjadi bagian ISIS telah kehilangan kewarganegaraannya. Pertanyaannya ialah bagaimana dengan

kewarganegaran

dari

anak

WNI

yang

orang

tuanya

kehilangan

kewarganegaraannya? Penulis membagi kemungkinan anak menjadi dua yakni, anak yang dilahirkan setelah orang tua telah menjadi anggota ISIS dan anak yang ikut serta orang tua ikut ke dalam ISIS. Untuk kemungkinan pertama, karena Indonesia menganut asas ius sanguinis maka apabila orang tua anak tersebut menjadi tanpa kewarganegaraan (stateless) maka anak juga akan menjadi stateless. Untuk kemungkinan kedua, perlu dilihat pengaturan pengecualian kehilangan kewarganegaraan bagi anak dalam UU Kewarganegaraan, yakni Pasal 25 ayat (1) dan (2) yang menyatakan bahwa hilangnya 34

Indonesia, Undang-Undang Kewarganegaraan Republik Indonesia, UU No. 12 Tahun 2006,

Ps. 1. 35

Ibid., Ps. 7 ayat (1). Amiroeddin Sjarif, Hukum Disiplin Militer Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta, 1996), hlm. 1. 37 Yan Mulyana, Akim, dan Deasy Silvya Sari, “Power Negara Islam Irak dan Suriah (Islamic State Of Iraq and Suriah, ISIS),” Jurnal Ilmu Politik dan Komunikasi, Vol. 6, No. 1 (Juni 2016), hlm. 20. 36

Volume 10, Nomor 1, Juli 2020 | Juris LK2 FHUI


33

kewarganegaraan Republik Indonesia seorang ayah (ayat 1) dan seorang ibu (ayat 2) tidak sendirinya berlaku terhadap anaknya,38 sehingga terdapat kemungkinan anak tersebut tetap menjadi WNI. Artinya, terdapat kewajiban bagi negara untuk memberikan perlindungan sesuai dengan Pasal 59 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak (UU PA), perlindungan khusus diberikan kepada anak korban jaringan terorisme (huruf k).39 Hal ini juga telah diwacanakan oleh pemerintah bahwa anak yang berumur di bawah sepuluh tahun yang yatim piatu akan dipulangkan.40 Selain syarat yang tercantum dalam huruf d dan huruf f, perlu juga dipastikan apakah anak telah kehilangan kewarganegaraannya atau belum sebagai seorang individu bukan berdasarkan hilangnya kewarganegaraan orang tuanya. Berdasarkan Pasal 23 huruf i UU Kewarganegaraan, maka anak tersebut akan kehilangan kewarganegaraan apabila ia telah bertempat tinggal di luar wilayah negara Republik Indonesia (dalam hal ini wilayah ISIS), selama lima tahun berturut-turut bukan dalam rangka dinas negara, tanpa alasan yang sah dan dengan sengaja tidak menyatakan keinginannya untuk tetap menjadi Warga Negara Indonesia.41 Kemudian, jika anak tersebut belum memenuhi unsur tersebut maka terdapat peluang bagi anak untuk tetap memiliki kewarganegaraan Indonesia sekalipun orang tuanya telah kehilangan kewarganegaraan Indonesia. Namun, berdasarkan data yang terekam, kedatangan para anggota hasil rekrutmen ISIS dari berbagai belahan dunia di perbatasan Suriah dan Turki terjadi di pertengahan tahun 2013 sampai pertengahan tahun 2014,42 sehingga apabila anak-anak ini memang berangkat bersama orang tuanya ke teritori ISIS pada rentang tahun tersebut, maka mereka juga kehilangan

38

Indonesia, Undang-Undang Kewarganegaraan Republik Indonesia, UU No.12 Tahun 2006, Ps. 25 ayat (1) dan (2). 39 Indonesia, Undang-Undang tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, UU No. 35 Tahun 2014, LN No. 297 Tahun 2014, TLN No. 5606, Ps. 59 ayat (2). 40 Achmad Nasrudin Yahya, “Anak Yatim Piatu WNI Eks ISIS Dipulangkan, Mahfud: Kebijakannya Sudah Resmi,” https://nasional.kompas.com/read/2020/02/24/18164331/anak-yatim-piatuwni-eks-isis-dipulangkan-mahfud-kebijakannya-sudah-resmi, diakses 10 April 2020. 41 Indonesia, Undang-Undang Kewarganegaraan Republik Indonesia, UU No. 12 Tahun 2006, Ps. 23 huruf i. 42 Sterman dan Rosenblatt, All Jihad is Local Volume II, Appendix II. The ISIS Registration Form – Translated, hlm. 10.

Volume 10, Nomor 1, Juli 2020 | Juris LK2 FHUI


34

kewarganegaraan, tetapi jika mereka berangkat sesudah itu maka terdapat kemungkinan mereka masih memiliki kewarganegaraan Indonesia. C. Institusi dan Kerangka Hukum Deradikalisasi Anak Deportan ISIS Dengan adanya wacana untuk memulangkan anak di bawah sepuluh tahun yang yatim piatu, tidak tertutup kemungkinan anak tersebut telah terpapar oleh paham radikalisme. Oleh sebab itu, dalam bagian ini Penulis akan menjelaskan dan memaparkan konstruksi kesiapan Indonesia dalam deradikalisasi baik berdasarkan framework hukum maupun institusionalisasi. Deradikalisasi dipahami sebagai bagian dari sebuah cara mengubah ideologi kelompok teroris secara drastis yang tidak hanya berwujud individu yang terbebas dari tindakan kekerasan tetapi juga melepaskan diri dari kelompok radikal yang menaunginya selama ini.43 Selain deradikalisasi, yang perlu diperhatikan adalah counter-radicalization yakni upaya preventif untuk mencegah radikalisasi dan mencegat orang yang sedang berada dalam proses radikalisasi.44 Dalam kasus anak di bawah umur, proses counter-radicalization juga meliputi pemisahan paksa anak dari lingkungan yang tidak sehat.45 Umumnya di negara Asia Tenggara dan Timur Tengah, upaya counterradicalization berdampingan dengan program radikalisasi.46 Inisiatif kebijakan deradikalisasi di Indonesia diumumkan pada Februari 2007, ketika parlemen mendukung kebijakan deradikalisasi oleh pemerintah yang bertujuan menghentikan terbentuknya kelompok keagamaan garis keras dan melawan terorisme.47 Sebelumnya, lembaga yang memiliki kewenangan dalam pemberantasan tindak pidana terorisme adalah Desk Koordinasi Pemberantasan Terorisme (DKPT). Sejak dikeluarkannya Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 2010 tentang Pembentukan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (yang kemudian diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2012), lembaga yang melaksanakan tugas pemerintahan bidang 43 Jerry Indrawan dan M. Prakoso Aji, “Efektivitas Program Deradikalisasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Terhadap Narapidana Terorisme Di Indonesia,” Jurnal Pertahanan dan Bela Negara Vol 9 No 2 (2019). 44 Gabriel Hoeft, “'Soft' Approaches to Counter-Terrorism: An Exploration of the Benefits of Deradicalization Programs,” International Institute for Counter Terorrism (Spring 2015), Hlm. 11 45 Asim Qureshi, “Taking Away our Children: The Counter-Terrorism and Security Bill 2014," Cage (2015), hlm. 34. 46 Hoeft, “Soft Approaches,” hlm. 11-12. 47 Indrawan dan Aji, “Efektivitas Program Deradikalisasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Terhadap Narapidana Terorisme Di Indonesia.”.

Volume 10, Nomor 1, Juli 2020 | Juris LK2 FHUI


35Â

penanggulangan terorisme adalah BNPT. BNPT memiliki lima fungsi untuk memberantas terorisme, yaitu pencegahan, perlindungan, penindakan, penyiapan, kesiapsiagaan nasional, dan deradikalisasi.48 Kebijakan deradikalisasi sendiri telah termuat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2019 tentang Pencegahan Tindak Pidana Terorisme Dan Perlindungan Terhadap Penyidik, Penuntut Umum, Hakim, dan Petugas Pemasyarakatan (PP PTPT). Dalam PP PTPT, terdapat pendekatan deradikalisasi yang berbeda bagi tersangka, terdakwa, terpidana, dan narapidana tindak pidana terorisme; dan mantan narapidana terorisme, orang atau kelompok orang yang sudah terpapar paham radikal terorisme.49 Deradikalisasi bagi orang yang sudah terpapar paham radikal terorisme dilakukan dengan pembinaan

wawasan

kewirausahaan.50

kebangsaan,

Rekomendasi

pembinaan

program

wawasan

deradikalisasi

keagamaan, tersebut

dan/atau

dilaksanakan

berlandaskan informasi dan penilaian yang dilakukan berdasarkan informasi intelijen.51 Untuk tersangka, terdakwa, terpidana, dan narapidana terorisme, tahapan yang dilakukan adalah melalui identifikasi dan penilaian, rehabilitasi, reedukasi, dan reintegrasi sosial. Selain itu, PP PTPT juga telah memuat mengenai kontra radikalisasi yang dilakukan terhadap terhadap orang atau kelompok orang yang rentan terpapar paham radikal terorisme.52 Kontra radikalisasi dilakukan melalui kontra narasi, kontra propaganda, dan kontra ideologi.53 Untuk membangun kapasitas pemberantasan terorisme di berbagai provinsi, BNPT juga membentuk Forum Komunikasi Pencegahan Terorisme (FKPT). Namun, dalam praktik penanganan deportan dan returnee ISIS, disebutkan oleh Policy Brief yang dikeluarkan Civil Society Against Violent Extremism, peran FKPT belum begitu

48 Agus Surya Bakti, Darurat Terorisme: Kebijakan Pencegahan, Perlindungan,dan Deradikalisasi, (Jakarta: Daulat Press, 2014), hlm. 74. 49 Indonesia, Peraturan Pemerintah (PP) tentang Pencegahan Tindak Pidana Terorisme dan Pelindungan terhadap Penyidik, Penuntut Umum, Hakim, dan Petugas Pemasyarakatan, PP No. 46 Tahun 2010, Ps. 28. 50 Ibid., Ps. 47. 51 Ibid., Ps. 52 dan Ps. 54. 52 Indonesia, Peraturan Pemerintah (PP) tentang Pencegahan Tindak Pidana Terorisme dan Pelindungan terhadap Penyidik, Penuntut Umum, Hakim, dan Petugas Pemasyarakatan, PP No. 46 Tahun 2010, Ps. 22. 53 Ibid., Ps 23.

Volume 10, Nomor 1, Juli 2020 | Juris LK2 FHUI


36

terdengar.54 FKPT juga terkesan level tinggi yang hanya mengikutsertakan elit regional dalam meningkatkan kesadaran terhadap ekstremisme dibanding menjangkau orangorang yang rentan radikalisme.55 Dari permasalahan internal kelembagaan, BNPT yang merupakan elaborasi antara UU TNI dan UU POLRI seakan sebagai wadah sharing power antara TNI dan POLRI. Pada praktiknya, kerjasama antara keduanya kerap terhambat.56 Kemudian, produk hukum untuk deradikalisasi bagi anak tercantum dalam Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan Dan Perlindungan Anak (Permen PPPA) Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2019 Tentang Pedoman Perlindungan Anak Dari Radikalisme Dan Tindak Pidana Terorisme. Berdasarkan PP tersebut, penanganan mencakup empat upaya:57 Pertama, edukasi tentang pendidikan, edukasi tentang ideologi (dilakukan untuk memberikan pengajaran dan pemahaman tentang Pancasila sebagai ideologi negara), dan edukasi tentang nilai-nilai nasionalisme. Kedua, konseling tentang bahaya radikalisme dan terorisme yang mencakup konseling tentang agama, konseling tentang kepribadian, konseling tentang kehidupan bermasyarakat, dan konseling tentang keluarga. Ketiga, rehabilitasi sosial yang terdiri dari:58 1. Pendekatan awal: Dilakukan dengan sosialisasi dan konsultasi, identifikasi, motivasi, seleksi, dan penerimaan. Intinya ialah untuk memperkenalkan dan memberikan pemahaman terhadap anak; 2. Pengungkapan dan Pemahaman

Masalah

atau Asesmen:

mengumpulkan,

menganalisis, dan merumuskan masalah, kebutuhan, potensi, dan sumber yang dapat dimanfaatkan dalam pelayanan Rehabilitasi Sosial 3. Penyusunan Rencana Pemecahan Masalah

54

Johari Efendi, “RUU Terorisme: Antara Upaya Penanganan Terorisme dan Perlindungan HAM,” Indonesia Civil Society Against Violent Extremism, hlm. 4. 55 Cameron Sumpter, “Counter Violent Extremism in Indonesia: Priorities, Practice and the role of Civil Society,” Journal for Deradicalization (Summer 2017). 56 Ibid. 57 Indonesia, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan Dan Perlindungan Anak Republik Indonesia tentang Pedoman Perlindungan Anak Dari Radikalisme dan Tindak Pidana Terorisme, Nomor PM 7 Tahun 2019, Lampiran Bab III. 58 Ibid.

Volume 10, Nomor 1, Juli 2020 | Juris LK2 FHUI


37

4. Pemecahan Masalah atau Intervensi: mengintervensi pemenuhan kebutuhan dasar, terapi psikososial, terapi mental dan spiritual, dan kegiatan pendidikan dan/atau pelatihan vokasional. 5. Resosialisasi: untuk mengembalikan Anak Korban atau Anak Pelaku ke keluarga/keluarga pengganti dan masyarakat. 6. Terminasi 7. Bimbingan Lanjut: Dilakukan dengan memantau perkembangan Anak Korban atau Anak Pelaku setelah kembali ke keluarga/keluarga pengganti dan masyarakat. III.

PENUTUP Perlawanan terhadap terorisme bukanlah hal yang mudah, karena di satu sisi

masih dangkal pemahaman rasional terkait terorisme mengenai konsiderasi, motif, dan akar dari ideologi maupun instrumen yang menjadi motivasi mereka sebelum akhirnya mereka melakukan eksekusi dari serangan mereka.59 Di sisi lain, sebagaimana pendapat Manuel Castells bahwa "the fundamental power struggle is the battle for the construction of meaning in the minds of the people"60 yang mana sebuah media yang dalam hal ini diatur oleh ISIS dapat membangun konstruksi berpikir yang pasti bertujuan untuk mengokohkan hegemoni pihak tersebut.61 Sehingga jika Indonesia telah gagal dalam pertempuran dengan ISIS dalam mempertahankan konstruksi pikiran nasional terhadap pihak-pihak yang memilih berangkat, maka perlu dikaji lagi apakah konstruksi asing tersebut juga telah terinjeksi di dalam pikiran anak-anak mereka dan apakah konstruksi pikiran tersebut dapat diputar balik sehingga kembali ke konstruksi pikiran nasional. Proses pengembalian konstruksi pikiran dari radikalisasi disebut sebagai deradikalisasi. Kebijakan deradikalisasi sendiri telah termuat dalam PP PTPT. Deradikalisasi bagi orang yang sudah terpapar paham radikal terorisme dilakukan dengan pembinaan

wawasan

kebangsaan,

pembinaan

59

wawasan

keagamaan,

dan/atau

International Institute for Counter-Terrorism (ICT), “The Black Friday Paris Attacks,” hlm. 10. Manuel Castells dalam Kris Wijoyo Soepandji dan Muhammad Farid, “Konsep Bela Negara Dalam Perspektif Ketahanan Nasional,” hlm. 441. 61 Ibid. 60

Volume 10, Nomor 1, Juli 2020 | Juris LK2 FHUI


38

kewirausahaan.62 Kemudian, khusus untuk anak program deradikalisasi diatur dalam Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan Dan Perlindungan Anak (Permen PPPA) Nomor 7 Tahun 2019. Berdasarkan PP tersebut, penanganan mencakup empat upaya, yaitu edukasi, konseling, dan rehabilitasi sosial.63 Secara institusional, lembaga yang memiliki kewenangan dan tugas utama dalam deradikalisasi adalah BNPT. Namun, terlihat bahwa BNPT masih memiliki kelemahan seperti koordinasi internal, forum daerah (FKPT) tidak efektif, dan kurangnya kesiapan penanganan seperti belum ada SOP mengenai penanganan anak deportan.64 Jika Indonesia sebagai negara belum mampu menemukan senjata untuk melumpuhkan konstruksi pikiran terorisme yang telah berakar dalam diri individuindividu tersebut, maka ketahanan nasional tidak boleh dipertaruhkan dengan mengambil risiko tetap memasukkan mereka kembali ke wilayah Negara Republik Indonesia. Karena ancaman yang mungkin akan terjadi sangatlah besar, baik secara badani maupun secara psikis, karena konstruksi berpikir teroris tersebut dapat menyebar ke individu lain jika kita belum memiliki obatnya. Lebih lagi, pola terorisme yang biasanya terlihat adalah suatu organisasi teroris telah ditaklukkan namun tidak lama kemudian muncullah organisasi terorisme yang baru untuk menggantikannya. Misalnya ISIS yang mendapatkan pengaruh global sejak di tahun 2013-2014 merupakan kebangkitan dari redupnya pengaruh al-Qaeda dan kematian Osama bin Laden.65 Karena meskipun secara mata organisasi teroris sebelumnya redup, nilai-nilai terorisme terus menyebar dan jumlah pengikutnya meningkat. Demikian juga meskipun saat ini ISIS mengalami penurunan pengaruh, tidak berarti paham terorisme telah berhasil dibendung. Tidak berarti Penulis menyarankan agar negara Indonesia berdiam saja, namun upaya-upaya baik yang menggunakan prinsip hard power dan soft power yang telah dilakukan

62 Indonesia, Peraturan Pemerintah (PP) tentang Pencegahan Tindak Pidana Terorisme dan Pelindungan terhadap Penyidik, Penuntut Umum, Hakim, dan Petugas Pemasyarakatan, PP No. 46 Tahun 2010, Ps. 47. 63 Indonesia, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan Dan Perlindungan Anak Republik Indonesia tentang Pedoman Perlindungan Anak Dari Radikalisme dan Tindak Pidana Terorisme, Nomor PM 7 Tahun 2019, Lampiran Bab III. 64 Mira Kusumarini, “Bukan Pemenjaraan, tapi Rehabilitasi,” https://tirto.id/penanganan-deportanisis-bukan-pemenjaraan-tapi-rehabilitasi-cLn2, diakses 10 April 2020. 65 Sterman dan Rosenblatt, All Jihad Is Local Volume II, Appendix II. The ISIS Registration Form – Translated, hlm. 58.

Volume 10, Nomor 1, Juli 2020 | Juris LK2 FHUI


39Â

Indonesia saat ini untuk menangani terorisme66 harus senantiasa internal yang dilakukan Indonesia dalam menangani terorisme sebagaimana tersebut di atas, menggunakan prinsip hard power dan soft power. Demikian pula penelitian-penelitian untuk menyelidiki motivasi dan alasan yang mendorong masuknya individu sebagai bagian dari terorisme perlu diselidiki dengan lebih lanjut lagi.

66

Agus Surya Bakti, Darurat Terorisme: Kebijakan Pencegahan, Perlindungan, dan Deradikalisasi, (Jakarta: Daulat Press, 2014), hlm. 174.

Volume 10, Nomor 1, Juli 2020 | Juris LK2 FHUI


40

DAFTAR PUSTAKA Buku Asshiddiqie, Jimly. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Jakarta: Rajawali Pers, 2011. Bakti, Agus Surya. Darurat Terorisme: Kebijakan Pencegahan, Perlindungan,dan Deradikalisasi. Jakarta: Daulat Press, 2014. Basuki, Zulfa Djoko. Dampak Putusnya Perkawinan Campuran Terhadap Pemeliharaan Anak (Child Custody): Tinjauan dari segi Hukum Perdata Internasional, cet.1. Jakarta: Yarsif Watampone, 2005. Golose, Petrus Reinhard. Deradikalisasi Terorisme Human Soul Approach dan Menyentuh Akar Rumput. Jakarta: Yayasan Pengembangan Kajian Ilmu Kepolisian, 2010. Sjarif, Amiroeddin. Hukum Disiplin Militer Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta, 1996. Sterman, David dan Nate Rosenblatt. All Jihad is Local Volume II: ISIS in North Africa and the Arabian Peninsula. America: New America, 2018.

Artikel Jurnal Efendi, Johari. “RUU Terorisme: Antara Upaya Penanganan Terorisme dan Perlindungan HAM.” Indonesia Civil Society Against Violent Extremism. Hoeft, Gabriel. “'Soft' Approaches to Counter-Terrorism: An Exploration of the Benefits of Deradicalization Programs.” International Institute for Counter Terorrism (Spring 2015). Indrawan, Jerry dan M. Prakoso Aji. “Efektivitas Program Deradikalisasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Terhadap Narapidana Terorisme Di Indonesia.” Jurnal Pertahanan dan Bela Negara Vol 9 No 2 (2019).

Volume 10, Nomor 1, Juli 2020 | Juris LK2 FHUI


41

Lindawaty, Debora Sanur. “Upaya Penanggulangan Terorisme ISIS di Indonesia.” Politica 7, No.1 (Mei 2016). Mulyana, Yan, Akim, dan Deasy Silvya Sari. “Power Negara Islam Irak dam Suriah (Islamic State Of Iraq and Suriah, ISIS).” Jurnal Ilmu Politik dan Komunikasi, Vol. 6, no. 1 (Juni 2016). Nursalim, Muhammad, “Deradikalisasi Terorisme: Studi Atas Epistemologi, Model Interprestasi, dan Manipulasi Pelaku Teror.” Jurnal Studi Agama dan Pemikiran Islam Vol 8 No 2 (2014). Qureshi, Asim. “Taking Away our Children: The Counter-Terrorism and Security Bill 2014." Cage (2015). Shehabat, Ahmad and Teodor Mitew. “Black-boxing the Black Flag Anonymous Sharing Platforms and ISIS Content Distribution Tactics,” Perspectives on Terrorism, Vol. 12, No. 1 (February 2018). Hlm. 81-99. Soepandji, Kris Wijoyo dan Muhammad Farid. “Konsep Bela Negara Dalam Perspektif Ketahanan Nasional.” Jurnal Hukum dan Pembangunan 48, No. 3 (2018). Sumpter, Cameron. “Counter Violent Extremism in Indonesia: Priorities, Practice and the role of Civil Society.” Journal for Deradicalization (Summer 2017).

Peraturan Perundang-Undangan Indonesia. Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Indonesia. Undang-Undang tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia. UU No.62 Tahun 1958, LN No. 113 Tahun 1958, TLN 1647. Indonesia. Undang-Undang Republik Indonesia Tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan

Volume 10, Nomor 1, Juli 2020 | Juris LK2 FHUI


42

Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang. UU No. 5 Tahun 2018, LN No. 92 Tahun 2018, TLN 6216. Indonesia. Undang-Undang tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia. UU No.12 Tahun 2006, LN No.63 Tahun 2006, TLN No. 4634. Indonesia. Undang-Undang tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. UU No. 35 Tahun 2014, LN No. 297 Tahun 2014, TLN No. 5606. Indonesia. Peraturan Pemerintah (PP) tentang Pencegahan Tindak Pidana Terorisme dan Perlindungan terhadap Penyidik, Penuntut Umum, Hakim, dan Petugas Pemasyarakatan. PP No. 46 Tahun 2010. Indonesia. Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan Dan Perlindungan Anak Republik Indonesia tentang Pedoman Perlindungan Anak Dari Radikalisme Dan Tindak Pidana Terorisme. Nomor PM 7 Tahun 2019.

Internet Anonim. “Yasonna: Data Terbaru Ada 1.276 WNI Eks ISIS di Luar Negeri.” https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200225163222-20-477996/yasonnadata-terbaru-ada-1276-wni-eks-isis-di-luar-negeri. Diakses 11 April 2020. Christiastuti, Novi. “Akhirnya Kalah Total, Begini Awal Sejarah Kemunculan dan Jatuhnya ISIS.” https://news.detik.com/internasional/d-4481924/akhirnya-kalahtotal-begini-awal-sejarah-kemunculan-dan-jatuhnya-isis. Diakses 11 April 2020. Horgan, John. “Speaking of Psychology: Getting into a terrorist’s mind.” https://www.apa.org/research/action/speaking-of-psychology/terrorist-mind. Diakses 11 April 2020.

Volume 10, Nomor 1, Juli 2020 | Juris LK2 FHUI


43

International Institute for Counter-Terrorism (ICT), “The Black Friday Paris Attacks.”https://www.ict.org.il/UserFiles/ICT-The-Black-Friday-Paris-AttacksNov15.pdf. Diakses 10 April 2020. Kusumarini, Mira. “Bukan Pemenjaraan, tapi Rehabilitasi.” https://tirto.id/penanganandeportan-isis-bukan-pemenjaraan-tapi-rehabilitasi-cLn2. Diakses 10 April 2020. Sofwan, Rinaldy. “Bom Surabaya, JAD dan Ancaman ISIS di Indonesia.” https://www.cnnindonesia.com/nasional/20180514151221-12-298088/bomsurabaya-jad-dan-ancaman-isis-di-indonesia. Diakses 10 April 2020. Yahya, Achmad Nasrudin.“Anak Yatim Piatu WNI Eks ISIS Dipulangkan, Mahfud: Kebijakannya

Sudah

Resmi.”

https://nasional.kompas.com/read/2020/02/24/18164331/anak-yatim-piatu-wnieks-isis-dipulangkan-mahfud-kebijakannya-sudah-resmi. Diakses 10 April 2020.

Volume 10, Nomor 1, Juli 2020 | Juris LK2 FHUI


44Â

BIODATA PENULIS Kania Jennifer Wiryadi adalah mahasiswa di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok. Lahir di Jakarta, pada 9 September tahun 1999, menyelesaikan studi di SMA Kristen Penabur Kota Tangerang. Semasa mahasiswa aktif di beberapa seperti menjadi Badan Pengurus Harian di Lembaga Kajian Keilmuan (LK2) FH UI, dan beberapa kali mengikuti kompetisi seperti Juara 1 Kompetisi Legal Opinion yang diselenggarakan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya dan Juara 1

Kompetisi

Legislative

Drafting

yang

diselenggarakan Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia.

BIODATA PENULIS Monica Gracia Irjanto Putri adalah Mahasiswa di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok. Lahir di Surabaya, 21 April 1999, menyelesaikan Sekolah Dasar di IPH West Surabaya, SD Sunodia Samarinda,

SDK

Pelita

Nusantara

Kasih

Surakarta (2005-2011), lalu melanjutkan di SMP PL Bintang Laut Surakarta (2011-2014), dan menempuh Pendidikan Sekolah Menengah Atas di SMAN 3 Surakarta. Aktif di beberapa kegiatan mahasiswa, antara lain Lembaga Kajian dan Keilmuan (LK2) FHUI, English Debating Society UI dan UI Model United Nations Club.

Volume 10, Nomor 1, Juli 2020 | Juris LK2 FHUI


45Â

HAK USAHA BAGI HASIL TANAH PERTANIAN DITINJAU DARI HUKUM TANAH NASIONAL DAN HUKUM ISLAM Oleh: Fahrul Fauzi Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jl. Prof. Mr Djokosoetono, Pondok Cina, Kecamatan Beji, Kota Depok, Jawa Barat 16424 fahrul.fauzi@ui.ac.id / ffahrul107@gmail.com

Abstrak: Hak usaha bagi hasil dalam konteks hukum tanah adalah hak seseorang untuk menggarap tanah pertanian berdasarkan perjanjian yang dilakukan antara pemilik dan penggarap. Perjanjian itu pada pokoknya memperkenankan penggarap untuk melakukan usaha pertanian di tanah yang bukan miliknya, dimana hasil dari usaha tersebut akan dibagi sesuai perjanjian yang disepakati sebelumnya. Di Indonesia, hak usaha bagi hasil merupakan salah satu hak yang disebutkan dalam Undang-Undang Pokok Agraria yang sebelumnya telah diatur lebih khusus dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil. Sedangkan dalam Hukum Islam, dikenal istilah Muzara’ah yang memiliki konsep hampir sama dengan hak usaha bagi hasil dalam Hukum Tanah Nasional. Sebagai suatu studi perbandingan, tulisan ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif yang didukung dengan studi literatur. Tulisan ini diharapkan dapat menambah khazanah ilmu pengetahuan hukum khususnya di bidang hukum agraria dan hukum Islam, sehingga dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam pembuatan kebijakan di bidang hukum pertanahan nasional. Kata Kunci: Perjanjian Bagi Hasil, Hak Usaha Bagi Hasil, Muzaraah.

Volume 10, Nomor 1, Juli 2020 | Juris LK2 FHUI


46Â

Abstract: The right of production-sharing endeavour in the context of land law is a person's right to work on agricultural land based on an agreement made between the owner and the cultivator. The agreement basically allows the cultivator to work on agricultural land on land that does not belong to him, where the results of the work will be divided according to the agreement previously agreed. In Indonesia, the right of production-sharing endeavour is one of the rights mentioned in the Basic Agrarian Law which was previously more specifically regulated in Law Number 2 of 1960 concerning Production Sharing Agreements. Whereas in Islamic Law, the term Muzara'ah is known which has a concept similar to the right of production-sharing endeavour in the National Land Law. As a comparative study, this paper uses normative juridical research methods supported by literature studies. This paper is expected to increase the treasury of legal knowledge, especially in the field of Agrarian Law and Islamic Law, so that it can be taken into consideration in making policy in the field of National Land Law. Keywords: Production Sharing Agreements, The Right of Production-Sharing Endeavour, Muzara’ah.

Volume 10, Nomor 1, Juli 2020 | Juris LK2 FHUI


47Â

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tanah akan selalu dibutuhkan oleh manusia karena tanah karena manusia dalam menjalankan aktivitasnya akan selalu berhubungan dengan tanah. Konstitusi kita, UUD 1945 menyatakan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat1. Berdasarkan pasal dalam UUD 1945 tersebut, dibentuklah Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, yang selanjutnya untuk mempermudah penyebutan akan digunakan istilah UUPA. Dalam hukum agraria sebutan istilah "tanah" dipakai dalam arti yuridis, sebagai suatu pengertian yang telah diberi batasan resmi oleh UUPA. Berdasar pada Pasal 4 UUPA yang menyatakan "Atas dasar hak menguasai dari Negara..., ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi yang disebut tanah yang dapat diberikan dan dipunyai oleh orang-orang.2" Dengan demikian definisi tanah secara yuridis meliputi permukaan bumi seperti yang disebutkan dalam pasal tersebut sehingga hak atas tanah mencakup juga hak atas bagian tertentu yang ada di permukaan bumi. Setiap orang dapat menguasai tanah hak-hak yang disebutkan UUPA, dengan memperhatikan ketentuan subjek dan peruntukan tanah tersebut. Tentu penguasaan tanah hanya berupa permukaannya saja tidak atau kurang memiliki arti, oleh karenanya diperkenankan pula untuk menggunakan tubuh bumi (isi) di bawah permukaan dan air serta ruang angkasa yang berada di atas permukaan tanah tersebut. Oleh sebab itu, ketentuan Pasal 4 ayat (2) UUPA menjelaskan bahwa hak-hak atas tanah tidak hanya memberikan wewenang pada pemiliknya untuk menggarap permukaan tanahnya saja, namun juga meliputi tubuh bumi, air, serta ruang angkasa yang berada di bawah maupun atas di tanah tersebut. Dengan demikian walau yang dipunyai hanya sebagian tertentu dari permukaan bumi, namun wewenang menggunakan hak tersebut diperluas hingga meliputi penggunaan apa yang ada di atas dan di bawah permukaan tanah tersebut.3

1

Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945, Ps. 33 ayat (3). Indonesia, Undang-Undang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, UU No.5 Tahun 1960, LN No.104 Tahun 1960, TLN No. 2043, Ps. 4. 3 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, cet. 4 (Jakarta: Universitas Trisakti, 2018), hlm. 18. 2

Volume 10, Nomor 1, Juli 2020 | Juris LK2 FHUI


48Â

Menyadari bahwa sebagai manusia yang diberikan kelimpahan sumber daya dalam bentuk tanah, maka dalam rangka mensyukuri nikmat Tuhan YME yang telah diberikan kepadanya, manusia harus menggunakan atau mengerjakan tanah tersebut dengan sebaik-baiknya. Salah satu contoh pemanfaatan tanah adalah digunakan untuk usaha di sektor pertanian. Disebutkan dalam Pasal 10 UUPA, bahwa pada asasnya seorang ataupun badan hukum yang memiliki lahan pertanian mesti mengusahakan atau menggarap sendiri secara aktif dengan tetap menghindari penggunaan pemerasan.4 Namun terdapat kondisikondisi yang mengecualikan Pasal 10 UUPA ini, yang mana membolehkan seseorang dengan batasan-batasan tertentu untuk mengerjakan tanah pertanian milik orang lain sebagaimana diatur dalam Pasal 24 UUPA. Pasal 24 UUPA merupakan pengecualian dari Pasal 10 UUPA.5 Penggarapan lahan pertanian oleh orang yang bukan memiliki tanah tersebut dapat melalui lembaga hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang, dan hak sewa tanah pertanian sesuai dengan ketentuan UUPA khususnya Pasal 16 ayat (1) butir h dan Pasal 53 ayat (1). Pasal 58 UUPA mengatur lebih lanjut bahwa peraturan perundang-undangan turunan dari UUPA belum terbentuk maka, peraturan baik tertulis (written) maupun tidak tertulis (unwritten) sepanjang mengatur bumi, air, kekayaan alam, dan hak atas tanah yang disebutkan dalam UUPA tetap berlaku selama tidak bertentangan dengan UUPA. Sebelum UUPA diberlakukan, telah berlaku Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil (UU No. 2/1960) untuk menjamin kepastian hukum baik bagi penggarap dan si pemilik tanah pertanian dalam hal terdapat perjanjian hak usaha bagi hasil antara pemilik tanah dan penggarapnya. Hak usaha bagi hasil adalah hak atas tanah yang bersifat sementara (limited land rights). Sebelum adanya UU No. 2/1960, hak usaha bagi hasil diatur berdasarkan ketentuan hukum adat. Namun dalam praktiknya, pelaksanaan hak ini terlihat adanya kelemahan karena dalam hukum adat kesepakatan tidak dituangkan secara tertulis sehingga tidak memberikan kepastian hukum akan

4 5

Indonesia, Undang-Undang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Ps. 10. Ibid., Ps. 24.

Volume 10, Nomor 1, Juli 2020 | Juris LK2 FHUI


49Â

besaran bagian yang akan dibagi oleh pemilik tanah pada penggarap dan tidak jelas juga apa saja hak dan kewajiban antara kedua pihak tersebut. Secara garis besar, maksud dibentuknya UU No. 2/1960 ini agar pembagian hasil pertanian antara kedua belah pihak dilakukan seadil-adilnya, terjaminnya kepastian hukum tentang hak dan kewajiban kedua belah pihak, dan memberikan perlindungan hukum kepada petani penggarap dalam mengerjakan tanah garapan dan kesejahteraan sandang pangan. Perjanjian bagi hasil tanah pertanian ini, tanah bukan merupakan tujuan utama dari perjanjiannya, melainkan hanya berkaitan dengan tanah atau adanya hubungan dengan tanah.6 Objek dari perjanjian bagi hasil tanah pertanian ini adalah hasil pertanian yang dihasilkan dari tanah tersebut dan penggarap yang mengerjakan tanah tersebut. Konsep bagi hasil atas tanah pertanian juga dikenal dalam Hukum Islam. Dalam Hukum Islam terdapat pengaturan mengenai prinsip bagi hasil dalam pengerjaan tanah pertanian. Konsep tersebut dikenal dengan muzaraah dan mukhabarah. Konsep ini merupakan suatu sistem kerja sama dalam bidang pertanian antara pemilik lahan pertanian dan petani penggarap. Oleh karenanya, Penulis dalam tulisan ini akan mengomparasikan lebih lanjut hak usaha bagi hasil tanah pertanian menurut Hukum Tanah Nasional yang diatur dalam peraturan perundang-undangan (hukum positif) di Indonesia dan Hukum Islam yang diatur dalam Al-Quran, Hadits, dan pendapat para ulama. Sehingga dapat menambah khazanah ilmu pengetahuan hukum khususnya di bidang hukum pertanahan.

B. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif (juridical normative). Penelitian hukum normatif menganalisis permasalahan hukum dari beberapa aspek salah satunya adalah aspek perbandingan. Dalam penelitian ini penulis menggunakan data sekunder (statute approach). Data sekunder adalah data yang diperoleh melalui bahan

6

Suryaman Mustari Pide, Hukum Adat Dahulu, Kini, dan Akan Datang, Ed.1, (Jakarta: Prenadamedia Grup, 2014), hlm. 148.

Volume 10, Nomor 1, Juli 2020 | Juris LK2 FHUI


50Â

pustaka seperti buku, kamus hukum, jurnal hukum, komentar atas undang-undang, ataupun komentar atas putusan peradilan. Penelitian ini menggunakan metode analisis deskriptif kualitatif, yaitu mengambil suatu penilaian secara tidak langsung dengan cara menarik kesimpulan yang dituangkan dalam bentuk pernyataan dan tulisan. Analisis ini dipakai untuk menelaah data yang didapatkan dari bahan pustaka yang merupakan data kualitatif. Supaya data kualitatif yang didapatkan dari kajian pustaka mudah dimengerti baik oleh para ahli hukum maupun masyarakat umum, maka data tersebut akan dianalisis yang kemudian akan dibuatkan kesimpulan yang bersifat umum.

C. Manfaat Penelitian Diharapkan dengan dilakukannya penelitian ini, dapat menambah khazanah ilmu pengetahuan di bidang hukum, khususnya di bidang Hukum Agraria. Dan dapat dijadikan rujukan dalam pengambilan kebijakan oleh pemerintah dalam pembentukan peraturan perundang-undangan di bidang hukum tanah khususnya peraturan perundang-undangan yang mengatur konsep bagi hasil antara pemilik tanah pertanian dan penggarapnya.

II. PEMBAHASAN PERMASALAHAN A. Hak Usaha Bagi Hasil Tanah Pertanian Dalam Hukum Tanah Nasional Perjanjian bagi hasil tanah pertanian merupakan bentuk perjanjian antara seseorang yang memiliki hubungan yuridis dengan tanah pertanian dan orang lain yang akan mengusahakan atau mengerjakan lahan pertanian di tanah tersebut atau lebih sering disebut sebagai penggarap. Dimana dalam perjanjian yang dibuat, penggarap diperbolehkan untuk mengerjakan tanah yang bukan miliknya, dengan syarat akan ada pembagian hasil pertanian yang dihasilkan dari tanah tersebut. Persentase pembagian antara pemilik tanah dan penggarap dilakukan berdasarkan imbangan yang telah disepakati bersama. Contohnya seperti pemilik dan penggarap, masing-masing mendapatkan seperdua “maro� atau penggarap mendapat sepertiga dan pemilik tanah mendapatkan dua pertiga bagian “mertelu�. Banyak istilah di beberapa daerah mengenai pembagian ini, di Minahasa dikenal istilah toyo (2 : 1), di Lombok dikenal istilah sakap

Volume 10, Nomor 1, Juli 2020 | Juris LK2 FHUI


51Â

(1 : 3), di Priangan dikenal istilah nengah (2 : 1) dan jejuran (1 : 2), di Minangkabau dikenal istilah menduai, di Jawa Tengah terdapat beberapa istilah maro (1 : 1), mertelu (1 : 2), mrapat (1 : 3), dan nyeblok (1 : 4). Dengan demikian yang akan diterima oleh masing-masing pihak tergantung pada besarnya hasil pertanian dari tanah tersebut. Perbedaan perjanjian bagi hasil dengan perjanjian sewa-menyewa adalah bahwa dalam perjanjian sewa-menyewa hal yang didapatkan oleh yang menyewakan sebagai sewa tidak dipengaruhi dari besar kecilnya hasil tanah yang digarap. Dalam sewa menyewa seluruh risiko atau keuntungan yang ada ketika penggarap mengusahakan tanah tersebut akan menjadi tanggungan atau keuntungan si penggarap itu seorang diri, sementara dalam perjanjian bagi hasil, risiko maupun keuntungan akan dipikul dan diterima bersama antara penggarap dan pemilik tanah. Hak usaha bagi hasil tercipta sebagai akibat adanya perjanjian bagi hasil yang sebelum ada UU No. 2/1960 dilakukan berdasarkan hukum adat. Dimana hak dan kewajiban penggarap dan pemilik tanah ditetapkan berdasarkan kesepakatan lisan (unwritten contract) dan belum ada kewajiban untuk dibuat dihadapan pejabat-pejabat adat. Tentunya hal ini akan menimbulkan ketidakpastian hukum dan rentan akan terjadinya perselisihan antara kedua belah pihak dalam perjanjian. Prinsip bagi hasil tanah tersebut berasal dari hukum adat, yang masyarakat adat lebih mengenalnya dengan hak menggarap. Hak menggarap ialah hak seseorang untuk mengerjakan tanah pertanian di atas tanah yang bukan miliknya dengan klausul perjanjian dimana hasil yang dihasilkan dari pengerjaan tanah tersebut akan dibagi dengan besaran yang berimbang dan adil berdasarkan persetujuan keduanya.7 Hak usaha bagi hasil ialah adanya seseorang atau badan hukum yang disebut pemilik berdasarkan perjanjian memberikan kewenangan menggarap kepada orang lain, dimana hasilnya akan dibagi menurut persentase pembagian yang telah disepakati bersama.8 Perjanjian bagi hasil dilakukan antara pemilik tanah dan penggarap, penggarap

7

K. Wantjik Saleh, Hak anda Atas Tanah, (Jakarta: Ghalia, 1987), hlm. 51. Rizka Nurmadany, “Pelaksanaan Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian Antara Pemilik Tanah dan Penggarap di Kabupaten Sleman,� Jurnal Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta (Desember 2016), hlm. 3. 8

Volume 10, Nomor 1, Juli 2020 | Juris LK2 FHUI


52

merupakan individu yang butuh akan lahan untuk diolah dan bersepakat untuk menyerahkan bagian tertentu kepada pemilik tanah berdasarkan kesepakatan keduanya. Perjanjian bagi hasil itu semula diatur menurut Hukum Adat setempat. Berdasarkan ketentuan adat, persentase pembagian hasil yang disepakati antara penggarap dan pemilik, pada umumnya tidak menguntungkan bagi penggarap tanah. Hal tersebut dikarenakan tanah yang tersedia untuk digarap tidak sebanding dengan jumlah petani yang membutuhkan tanah garapan. Dalam rangka melindungi golongan petani ekonomi lemah dari praktik-praktik golongan yang kuat (mafia tanah), yang mengandung unsur-unsur “exploitation”, dalam masa jabatan Menteri Agraria Sadjarwo dikeluarkan UU No. 2/1960 tentang “Perjanjian Bagi Hasil”. Undang-undang tersebut mengadakan perubahan pada aturan perjanjian bagi-hasil itu, yang bertujuan memperbaiki kedudukan pihak penggarap. Antara lain mengenai imbangan pembagian hasil, jangka waktu perjanjian, bentuk perjanjian dan siapa-siapa yang diperbolehkan menjadi penggarap. Perjanjian bagi hasil berdasarkan UU No. 2/1960 ini adalah perjanjian yang dilakukan antara pemilik tanah pada satu pihak dan seseorang atau badan hukum pada pihak lain yang dalam undang-undang tersebut disebut sebagai ‘penggarap’ berdasarkan perjanjian dimana penggarap diperbolehkan oleh pemilik tanah untuk mengusahakan pertanian pada tanah pemilik, yang mana pembagian hasilnya disepakati antara kedua belah pihak. Subjek hukum dalam perjanjian bagi hasil dapat berupa orang maupun badan hukum. Yang mana secara umum dapat digolongkan menjadi penggarap dan pemilik tanah. UU No. 2/1960 menyebutkan dalam Pasal 1 butir b mendefinisikan pemilik tanah ialah orang atau badan hukum yang berdasarkan suatu hak menguasai tanah. Pasal 1 butir e kemudian mendefinisikan petani ialah orang, baik yang memiliki maupun tidak memiliki tanah yang mata pencaharian pokoknya adalah mengusahakan tanah untuk pertanian.9 Pasal 3 UU No. 2/1960 mengatur bahwa bentuk dari perjanjian bagi hasil adalah tertulis, dimana bunyi pasal tersebut:

9

Indonesia, Undang-Undang Perjanjian Bagi Hasil, UU No.2 Tahun 1960, Ps. 1.

Volume 10, Nomor 1, Juli 2020 | Juris LK2 FHUI


53Â

1. Semua perjanjian bagi-hasil harus dibuat oleh pemilik dan penggarap secara tertulis dihadap kepala desa atau daerah yang setingkat dengan itu tempat letak tanah yang bersangkutan, yang selanjutnya dalam undang-undang ini disebut "kepala desa" dengan disaksikan oleh dua orang, masing-masing dari pihak pemilik dan penggarap; 2. Perjanjian bagi-hasil termaksud dalam ayat (1) diatas memerlukan pengesahan dari camat/kepala kecamatan yang bersangkutan atau penjabat lain yang setingkat dengan itu, selanjutnya dalam undang-undang ini disebut "camat"; 3. Pada tiap kerapatan desa kepala desa mengumumkan semua perjanjian bagihasil yang diadakan sesudah kerapatan yang terakhir; 4. Menteri Muda Agraria menetapkan peraturan-peraturan yang diperlukan untuk menyelenggarakan ketentuan-ketentuan dalam ayat (1) dan (2) diatas.10 Jangka waktu perjanjian bagi hasil diatur dalam Pasal 4 UU No. 2/1960, dimana diatur bahwa perjanjian bagi hasil dilakukan untuk jangka waktu yang telah ditentukan dalam kontrak, dengan batasan bahwa bagi persawahan minimal tiga tahun dan bagi tanah kering minimal lima tahun. Namun dalam hal tertentu yang ditetapkan oleh menteri, camat diizinkan untuk mengadakan perjanjian bagi hasil dengan jangka waktu kurang dari batasan minimal. Kemudian jika pada waktu berakhirnya perjanjian itu tanah yang bersangkutan masih ada tanaman yang belum dipanen maka perjanjian masih berlaku terus hingga tanaman tersebut dipanen, namun tidak melebihi jangka waktu satu tahun. Jika ada kebingungan menentukan tanah tersebut merupakan tanah sawah atau tanah kering, maka desa memiliki kewenangan untuk memutuskan.11 Pasal 6 ayat (1) UU No. 2/1960 mengatur mengenai pemutusan perjanjian bagi hasil sebelum berakhirnya jangka waktu perjanjian dapat dilaksanakan melalui: 1. Atas persetujuan kedua belah pihak yang bersangkutan dan setelah mereka melaporkan kepada kepala desa; 2. Dengan izin kepala desa atas tuntutan pemilik, didalam hal penggarap tidak mengusahakan tanah yang bersangkutan sebagaimana mestinya atau tidak

10 11

Indonesia, Undang-Undang Perjanjian Bagi Hasil, UU No.2 Tahun 1960, Ps. 3. Ibid., Ps. 4.

Volume 10, Nomor 1, Juli 2020 | Juris LK2 FHUI


54Â

memenuhi kewajibannya untuk menyerahkan sebagian dari hasil tanah yang telah ditentukan kepada pemilik atau tidak memenuhi bahan-bahan yang menjadi tanggungannya yang ditegaskan didalam surat perjanjian tersebut pada Pasal 3 atau tanpa izin dari pemilik menyerahkan penguasaan tanah yang bersangkutan kepada orang lain.12 Besarnya bagian dalam perjanjian bagi hasil diatur dalam Pasal 7 UU No. 2/1960, dimana disebutkan: 1. Besarnya bagian hasil-tanah yang menjadi hak penggarap dan pemilik untuk tiap-tiap kabupaten ditetapkan oleh Bupati yang bersangkutan, dengan memperhatikan jenis tanaman, keadaan tanah, kepadatan penduduk, zakat yang disisihkan sebelum dibagi dan faktor-faktor ekonomis serta ketentuan-ketentuan adat setempat; 2. Bupati memberitahukan keputusannya mengenai penetapan pembagian hasiltanah yang diambil menurut ayat 1 Pasal ini kepada Badan Pemerintah Harian dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang bersangkutan.13 Dalam Pasal 8 UU No. 2/1960 ditentukan bahwa: 1. Pembayaran uang atau pemberian benda apapun juga kepada pemilik yang dimaksudkan untuk memperoleh hak mengusahakan tanah pemilik dengan perjanjian bagi-hasil, dilarang; 2. Pelanggaran terhadap larangan tersebut pada ayat (1) Pasal ini berakibat bahwa uang yang dibayarkan atau harga benda yang diberikan itu dikurangkan pada bagian pemilik dari hasil tanah termaksud dalam Pasal 7; 3. Pembayaran oleh siapapun, termasuk pemilik dan penggarap, kepada penggarap ataupun pemilik dalam bentuk apapun juga yang mempunyai unsur-unsur ijon, dilarang;

12 13

Indonesia, Undang-Undang Perjanjian Bagi Hasil, UU No.2 Tahun 1960, Ps. 6 ayat (1). Ibid., Ps. 7.

Volume 10, Nomor 1, Juli 2020 | Juris LK2 FHUI


55Â

4. Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana dalam Pasal 15, maka apa yang dibayarkan tersebut pada ayat (3) di atas itu tidak dapat dituntut kembali dalam bentuk apapun juga.14 Kemudian dalam Pasal 9 UU No. 2/1960 dijelaskan bahwa kewajiban membayar pajak mengenai tanah yang bersangkutan dilarang untuk dibebankan kepada penggarap.15 Berikut secara lebih rinci mengenai kewajiban dan hak penggarap dan pemilik tanah: Hak pemilik tanah: 1. Menerima pembagian hasil tanah yang besarnya sesuai dengan kesepakatan imbangan bagi hasil oleh para pihak dan ditambah untuk ganti rugi biaya bibit, pupuk, dll; 2. Menerima sawahnya kembali dalam keadaan baik. Kewajiban pemilik tanah: 1. Menyerahkan tanahnya kepada penggarap untuk digarap; 2. Mengeluarkan biaya produksi, meliputi biaya benih, biaya pupuk dan biaya penggarapan sesuai dengan kesepakatan para pihak. Hak penggarap: 1. Menerima pembagian hasil tanah yang besarnya sesuai dengan kesepakatan imbangan bagi hasil oleh para pihak dan ditambah untuk penggantian uang bibit,pupuk, dll; 2. Menerima penyerahan tanah dari pemilik tanah untuk digarap. Kewajiban penggarap: 1. Mengeluarkan biaya produksi, meliputi biaya benih, biaya pupuk dan biaya penggarapan sesuai dengan kesepakatan para pihak; 2. Menyerahkan kembali tanah dalam keadaan baik.16

14

Indonesia, Undang-Undang Perjanjian Bagi Hasil, UU No.2 Tahun 1960, Ps. 8. Ibid., Ps. 9. 16 Rizka Nurmadany, “Pelaksanaan Perjanjian Bagi Hasil‌.â€?, hlm. 9. 15

Volume 10, Nomor 1, Juli 2020 | Juris LK2 FHUI


56

Selanjutnya, Pasal 11 UU No. 2/1960 menentukan bahwa “Perjanjian-perjanjian bagi hasil yang sudah ada pada waktu mulai berlakunya undang-undang ini, untuk panen yang berikutnya harus disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan dan Pasal-Pasal.”17 Kemudian Pasal 12 UU No. 2/1960 mengatur bahwa “Ketentuan dalam undang-undang ini tidak berlaku terhadap perjanjian bagi hasil mengenai tanaman keras.”18 Kemudian diatur juga bahwa perjanjian bagi hasil pertanian antara pemilik dan penggarap apabila terdapat perselisihan maka berdasarkan Pasal 13 UU No. 2/1960: 1. Jika pemilik dan atau penggarap tidak memenuhi atau melanggar ketentuan dalam surat perjanjian tersebut pada Pasal 3 maka baik camat maupun kepala desa atas pengaduan salah satu pihak ataupun karena jabatannya, berwenang memerintahkan dipenuhi atau ditaatinya ketentuan yang dimaksudkan itu; 2. Jika pemilik dan/atau penggarap tidak menyetujui perintah kepala desa tersebut pada ayat (1) diatas, maka soalnya diajukan kepada camat untuk mendapat keputusan yang mengikat kedua belah pihak.19 Demikian pembahasan mengenai pengaturan perjanjian bagi hasil yang menciptakan hak usaha bagi hasil berdasarkan hukum tanah nasional tepatnya UU No. 2/1960. Hingga saat ini belum ada peraturan perundang-undangan setingkat Undangundang yang baru atau mengubah Undang-undang tersebut. Sehingga peraturan tersebut masih berlaku hingga saat ini.

B. Hak Usaha Bagi Hasil Dalam Hukum Islam Manusia sebagai makhluk yang secara kodrat hidup harus berinteraksi satu dengan yang lain, atau dapat disebut sebagai makhluk sosial. Manusia sebagai makhluk sosial pasti membutuhkan manusia lain yang hidup bersama dalam masyarakat. Kondisi masyarakat akan mempengaruhi aktivitas berusaha dan bekerja setiap individu. Faktanya, mayoritas masyarakat Indonesia hidup dan bertempat tinggal di pedesaan dan sebagian besar dari mereka bekerja pada sektor pertanian. Keberadaan tanah atau lahan adalah hal 17

Indonesia, Undang-Undang Perjanjian Bagi Hasil, UU No.2 Tahun 1960, Ps. 11. Ibid., Ps. 12. 19 Ibid., Ps. 13. 18

Volume 10, Nomor 1, Juli 2020 | Juris LK2 FHUI


57

yang penting dalam sektor pertanian. Ajaran Islam menganjurkan untuk memanfaatkan bumi sebagai sumber penghidupan bagi manusia dengan cara-cara yang sesuai dengan firman Allah SWT dan hadits Rasulullah SAW, dan jangan membuat kerusakan di muka bumi yang Allah telah ciptakan ini. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an surat AlA’raf ayat 58 sebagai berikut: ‫◌َ ﻭﺍ َْﻟﺒﻠَﺪُ ﺍﻟ ِ◌ ﺐ ﻳَ ْﺨ ُﺮ ﺝ ﻧَﺒَُﺎﺗﻪُ ِﺑﺈِ ْﺫ ِﻥ ﺭ ِ◌ﺑّ ِ◌ﺬﻱ ﺧﺒُ ﺚ ﻻ َﻳ ْﺨ ُﺮﺝ ﱠﻻ ﻧَ ِﻜﺪًﺍ ۚ ٰ◌ ﻚ ﻧُ ِ◌ ﺍ ْﻵﻳﺎَ ﺕ ﻟﻘَ ْﻮﻡٍ ﻳَﺸ ُﻜ ُﺮﻭﻥ‬ ‫ِ◌ﻪ ۖ ﻭﺍﻟﱠ‬ ّ◌ ِ‫ﺬَ ﻟ‬ ّ‫ﻴ‬ ‫ﻑ‬ ‫ﻛ‬ ‫ﺮ‬ ‫ﻄ‬ ‫ﺼ‬ “Dan tanah yang baik, tanaman-tanamannya tumbuh subur dengan seizin Allah; dan tanah yang tidak subur, tanaman-tanamannya hanya tumbuh merana. Demikianlah kami mengulangi tanda-tanda kebesaran (kami) bagi orang-orang yang bersyukur.” Salah satu bentuk pemanfaatan tanah adalah dapat dilakukan dengan cara bagi hasil dalam pertanian. Dalam bagi hasil setidaknya ada dua unsur produksi yang memiliki peran sentral yaitu modal dan tenaga manusia. Dalam islam, perjanjian atau akad bagi hasil tanah pertanian dikenal dengan konsep muzara’ah dan mukhabarah. Dalam kedua akad tersebut harus ada pihak yang mengikrarkan diri untuk memberikan sebidang tanah pertanian dan pihak lain yang akan mengelola lahan pertanian tersebut. Mengenai hasil panen dari lahan pertanian tersebut akan dibagi berdasarkan akad yang telah dilakukan sehingga diharapkan dari bagi hasil ini akan diperoleh kesejahteraan yang merata di antara penggarap maupun pemilik lahan pertanian. Seperti yang telah dibahas pada sub-bab sebelumnya bahwa bagi hasil menurut UU No. 2/1960 pada intinya adalah perjanjian yang dilakukan antara pemilik tanah pada satu pihak dan seseorang atau badan hukum pada pihak lain yang dalam undang-undang tersebut disebut sebagai ‘penggarap’ berdasarkan perjanjian dimana penggarap diperbolehkan oleh pemilik tanah untuk mengusahakan pertanian pada tanah pemilik, yang mana pembagian hasilnya disepakati antara kedua belah pihak. Dalam Islam, prinsip bagi hasil ini diperbolehkan. Alasan tentang kebolehan untuk kerja sama bagi hasil ini adalah berdasarkan Al-Qur’an, hadits dan ijma’, adalah Al-Qur’an Surat An-Nisa’(4) ayat 29 dan Hadits Nabi: Dari Shohih bin Shuhaib r.a. bahwa Rasulullah SAW baersabda “Tiga hal yang didalamnya terdapat keberkatan: jual beli secara tangguh, muqaradhah (mudharabah)

Volume 10, Nomor 1, Juli 2020 | Juris LK2 FHUI


58

dan mencampur gandum dengan tupung untuk keperluan rumah, bukan untuk dijual. (HR. Ibnu Majah) Pengertian muzara’ah bersumber dari kata dasar (zara’a, yazrau) yang artinya bercocok tanam. Selanjutnya muzara’ah dari kata kerja tambahan yaitu (zaara’a, yuzaarau, muzaara’ah) yang memiliki makna tharhu al-zur’ah yang artinya melemparkan tanaman atau secara etimologis adalah pengolahan atau penanaman. Kata muzara’ah secara terminologi adalah kesepakatan dan kebersamaan mengelola lahan pertanian antara pemilik dan penggarap.20 Konsep muzara’ah yang dilakukan antara pemilik lahan dan penggarap dilakukan atas dasar kepercayaan kepada mitra agar tanah pertanian tersebut dapat diberdayakan dengan persentase tertentu dari hasil panen akan dijadikan imbalan. Para ulama pun berpendapat mengenai konsep muzara’ah dan mukhabarah. Ulama Hanafiyah, mengartikan muzara’ah sebagai akad bercocok tanam dengan sebagian yang keluar dari bumi. Kemudian Hanabilah memandang muzara’ah adalah pemilik tanah sebenarnya menyerahkan tanah untuk ditanam dan yang mengerjakannya diberikan bibit. Ulama Malikiyah, mengartikan muzara’ah sebagai bersekutu dalam akad. Berdasarkan pada pengertian itu, muzara’ah berarti menjadikan harga sewaan tanah dari uang, hewan, atau barang-barang perdagangan. Menurut Dhahir Nash, Syafi’iyah memiliki pendapat bahwa muzara’ah adalah seorang pekerja menyewa tanah dengan apa yang dihasilkan dari tanah yang disewa. Syaikh Ibrahim Al-Bajuri, menerangkan bahwa muzara’ah adalah pekerja mengelola tanah dengan sebagian dari apa yang dihasilkan dari tanah tersebut dan modal dari pemilik tanah.21 Kemudian terdapat hadits Nabi yang artinya sebagai berikut: “Sesungguhnya Nabi SAW menyatakan, tidak mengharamkan bermuzara’ah, bahkan beliau menyuruhnya, supaya sebagian menyayangi sebagian yang lain, dengan katanya, barang siapa yang memiliki tanah, maka hendaklah ditanaminya atau diberikan faedahnya kepada

20

Wahbah al Zuhaily, al-Fiqhu al Islamiy wa Adillatuhu Mujallad VI, Cet. IV(Damaskus: Dar al Fikr, 1997), hlm. 468. 21 Abdul Muttalib, “An Analysis on the Profit Sharing System of Muzara’ah and Mukhabarah in Rice Farming Activity and Its Implications Towards Welfare of the Families of the Sharecroppers and the Land Owner in East Praya Subdistrict,” JIME Vol. 1 No. 2 (Oktober 2015), hlm. 4.

Volume 10, Nomor 1, Juli 2020 | Juris LK2 FHUI


59

saudaranya, jika ia tidak mau, maka boleh ditahan saja tanah itu.” (HR. Muslim, Himpunan Hadits Shahih Muslim, 1987, hal 173-174) Kondisi muzara’ah biasanya terjadi ketika kondisi-kondisi para pihak yaitu pemilik tanah dan penggarap sebagai berikut, dimana pemilik memiliki lahan yang cukup luas sehingga tidak mampu mengerjakan sendiri lahannya karena banyak pekerjaan, timbullah rasa tolong-menolong untuk memberikan kesempatan kepada orang lain yang tidak memiliki tanah garapan, selain itu, pemilik tanah juga ingin agar tetap menghasilkan uang tanpa mengerjakan lahannya sendiri. Sedangkan kondisi penggarap yang membuat praktik muzara’ah ini digunakan adalah para penggarap tidak mempunyai tanah garapan pada awalnya atau sawahnya sedikit sehingga tidak memenuhi kebutuhan keluarga. Walaupun ada juga yang melakukan praktik muzara’ah karena ingin mendapatkan hasil tambahan dari menggarap lahan orang lain. Kerja sama pengelolaan pertanian berupa muzara’ah atau mukhabarah sering kali dinilai sebagai suatu hubungan yang dapat memberikan nilai positif baik secara umum maupun khusus. Perekonomian petani dan taraf kehidupan masyarakat dapat meningkat dengan adanya kerja sama berdasarkan konsep ini. Bentuk kerja sama muza’raah dapat menjadi solusi pemanfaatan tanah pertanian untuk melawan egoisme moral spiritual dan mengurangi kesenjangan sosial budaya sehingga nilai-nilai Islam senantiasa berdasarkan nilai-nilai kesejahteraan dan nilai keadilan.22 Pengertian yang dikemukakan oleh Ulama Hanabilah berfokus pada pengalihan pengelolaan lahan kepada pihak yang lain yang memiliki kemampuan untuk mengelola dan hasilnya akan dilakukan bagi hasil antara kedua belah pihak. Muzara’ah dapat disebut juga mukhabarah atau muhalaqah, orang Iraq menyebutnya dengan qarah. Ulama Syafi’iyah mendikotomikan bahwa istilah muzara’ah dan mukhabarah, muzara’ah diartikan sebagai pengerjaan lahan yang pertanian yang akan diikuti pembagian hasil panennya, dimana benih berasal dari si pemilik tanah, sedangkan mukhabarah, benih yang digunakan berasal dari si penggarap.23

22 Firman Muh. Arif, “Muzara’ah dan Pengembangan Ekonomi Umat di Pedesaan,” Al-Amwal Vol. 3 No. 2 (September 2018), hlm. 112. 23 Wahbah Zuhaily, al-Fiqh al-Islâmy wa Adillatuhu, Vol. V, (Damaskus: Dar al-Fikr, 2008), hlm. 482.

Volume 10, Nomor 1, Juli 2020 | Juris LK2 FHUI


60

Islam memandang bertani lebih utama dibandingkan sektor perdagangan dan industri. Hal itu dikarenakan bertani mengajarkan kepada seseorang untuk berusaha melalui jerih payahnya sendiri atau dari hasil tangannya sendiri, juga memberikan manfaat bagi manusia, hewan, dan tanaman. Bertani juga dapat menumbuhkan sikap sabar dan tawakkal (berserah diri) atas benih yang ditanam. Salah satu riwayat yang menyatakan bahwa Islam memandang bertani adalah profesi yang mulia: Dari Anas bin Malik ra. berkata, Rasulullah saw bersabda: “Tidak seorang muslim yang menanam pohon atau menanam tanaman kemudian tanaman tersebut besar dan berubah, lalu dimakan oleh burung, manusia atau hewan lainnya melainkan itu menjadi sedekah. (HR. Bukhari No. 2320) Mayoritas ulama dalam perkembangannya berpendapat bahwa bolehnya akad muzara’ah didasari pada riwayat Ibnu Umar, dimana Rasulullah SAW dalam suatu riwayat pernah menyerahkan tanah di Khaibar kepada penduduk sana untuk digarap dengan imbalan berupa pembagian hasil panen dari buah atau tanaman yang dihasilkan dari lahan tersebut. Kemudian dari riwayat Bukhari dari Jabir menginformasikan bahwa bangsa Arab telah terbiasa mengelola lahan pertanian dengan muzara’ah dengan rasio pembagian hasil panen 1/3 banding 2/3, atau 1/4 banding 3/4, atau pun 1/2 banding 1/2. Rasulullah SAW bersabda, “Hendaklah menanami atau menyerahkannya untuk digarap. Barang siapa tidak melakukan salah satu dari keduanya, tahanlah tanahnya.” Keberadaan muzara’ah dalam Islam tidak hanya terbatas pada produktivitas tanah pertanian, namun juga dapat berdampak signifikan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat setempat. Abu Ubaid meriwayatkan, suatu ketika Umar ibnul Khattab ra. menyampaikan kepada Bilal yang telah diberi tanah dari Rasulullah SAW dengan peruntukan agar diperdayakan, namun kemudian dalam praktiknya, ia tidak mampu mengelolanya sehingga kemudian negara mengambil alih dan diberikan kepada pihak lain yang mampu untuk mengelolanya.24 Dalam riwayat Nafi’ dari Abdullah ibnul Umar, bahwa ia pernah mengabarkan dengan mempekerjakan penduduk di Khaibar dengan persyaratan bagi hasil 1/2 banding 1/2 atas hasil kurma atau tanaman lainnya.25

24

Djalaludin Misbahul Muns, Ekonomi Qur’ani Doktrin Eformasi Ekonomi dalam Al-Qur’an (Malang: UNI Press, 2006), hlm. 30. 25 Rachmat Syafe’i, Fiqih Muamalah, Cet. 1 (Bandung: Pustaka Setia, 2001), hlm. 206-207.

Volume 10, Nomor 1, Juli 2020 | Juris LK2 FHUI


61

Praktik muzara’ah yang dilakukan dengan pembagian zona lahan garapan seperti misalnya, lahan satu (1) Ha yang tersedia ditentukan dengan melakukan pembagian lahan, dimana 1/2 Ha pertama menjadi bagian pemilik dan 1/2 lainnya menjadi bagian penggarap, praktik seperti ini berpotensi menimbulkan kerugian kepada salah satu pihak. Di kemudian hari saat sudah masa panen dapat saja terjadi dimana lahan yang menjadi bagian penggarap mengalami keuntungan atau surplus dan lahan bagian pemilik lahan mengalami kerugian atau defisit, maka tak dapat dipungkiri akan timbul masalah padahal salah satu nilai Islam adalah menyelesaikan masalah tanpa menimbulkan masalah (solve problems without causing problems). Praktik yang ideal untuk menerapkan konsep muzara’ah ialah jika lahan yang disediakan oleh pemilik tanah digarap oleh orang lain tanpa disertai dengan pembagian zona lahan namun disatukan sehingga ketika tiba masa panen, panen yang dihasilkan dari lahan itu dibagi sesuai persentase yang disepakati. Apabila modal benih, alat tani, dan pupuk berasal dari pemilik dan penggarap hanya bermodalkan tenaga maka persentase pembagian hasil panen untuk pemilik lahan dapat lebih besar dibanding penggarap. Sebaliknya, jika modal baik tenaga, benih, alat, dan pupuk dari penggarap maka persentase bagi hasil bagi penggarap lebih besar dibandingkan pemilik tanah. Tak boleh terlupa, bahwa harus tetap mempertimbangkan luasnya lahan garapan dan durasi pelaksanaan muzara’ah. Sistem muzara’ah ini lebih menguntungkan ketimbang sistem ijarah (sewa tanah), baik untuk pemilik tanah ataupun penggarap. Penggarap diuntungkan karena tidak akan banyak menderita kerugian dibandingkan dengan menyewa tanah apabila mengalami gagal panen, sedangkan pemilik tanah mendapatkan harga yang lebih banyak dari uang sewa tanah karena pemilik tanah mendapatkan pula bagian dari hasil panen (bagi hasilnya). Profit and Loss Sharing diterapkan pada praktik muzara’ah. Apabila hasil panen mengalami keuntungan, maka keuntungan dibagi antara pemilik tanah dan penggarap. Sebaliknya, jika hasil pertaniannya mengalami kerugian, maka hal itu ditanggung bersama pula.26

26

Muhammad Rafly, Muhammad Natsir, dan Siti Sahara, “Muzara’ah (Perjanjian Bercocok Tanam) Lahan Pertanian Menurut Kajian Hukum Islam,” Samudra Keadilan Vol. 11 No. 2 (Juli-Desember 2016), hlm. 221-222.

Volume 10, Nomor 1, Juli 2020 | Juris LK2 FHUI


62Â

Demikian penjelasan mengenai hak usaha bagi hasil apabila dikaitkan dengan ajaran Islam. Dimana pada intinya hak usaha bagi hasil dalam pertanian juga dikenal dalam ajaran Islam dengan nama muzaraah atau mukhabarah. Perbedaannya ialah bahwa dalam mukhabarah pengerjaan lahan yang selanjutnya diikuti dengan pembagian hasil panennya dimana benih berasal dari si penggarap. Adapun muzara’ah pengerjaan lahan dengan benih yang bersumber dari pemilik tanah. Konsep bagi hasil dalam sistem pertanian Islam ini hampir serupa dengan konsep bagi hasil dalam Hukum Tanah Nasional. Mengenai perbedaan dan persamaan akan dibahas dalam sub bagian selanjutnya. C. Persamaan dan Perbedaan Setelah penjelasan di atas dapatlah diambil suatu benang merah persamaan dan perbedaan yang ada antara hak usaha bagi hasil dalam Hukum Tanah Nasional dan Islam. Dari pemaparan di atas dapat penulis simpulkan bahwa baik hak usaha bagi hasil atas tanah pertanian dalam Hukum Tanah Nasional maupun Hukum Islam, keduanya harus dilakukan antara pemilik tanah dan penggarap. Dimana pemilik tanah merupakan orang yang memiliki atau menguasai hak atas tanah tersebut dan penggarap adalah orang lain yang berdasarkan perjanjian menggarap tanah tersebut untuk selanjutnya keuntungan atau hasil panen dari tanah yang digarap tersebut dibagi sesuai dengan proporsi. Persamaan lainnya adalah bahwa pembagian keuntungan atau kerugian dari hasil panen setelah tanah dikerjakan atau diusahakan oleh penggarap disesuaikan dengan akad atau perjanjian para pihak baik oleh penggarap maupun pemilik tanah yang telah dilakukan sebelum penggarapan dimulai. Kemudian selanjutnya untuk mempermudah memahami perbedaan maka akan disajikan dalam bentuk tabel sebagai berikut:

Volume 10, Nomor 1, Juli 2020 | Juris LK2 FHUI


63Â

Perbedaan Aspek

Hukum Tanah Nasional

Penamaan

Hak Usaha Bagi Hasil.

Muzara’ah/Mukhabarah.

Pengaturan

UU No. 2 Tahun 1960

Al-Quran, Hadits Nabi,

tentang Perjanjian Bagi Hasil. Bentuk Perjanjian

Hukum Islam

dan Ijtihad Ulama.

Setelah berlakunya UU No.

Tidak diatur secara detail

2 Tahun 1960 tentang Perjanjian

apakah

Bagi Hasil, perjanjian bagi hasil

harus tertulis atau lisan saja.

atas

tanah

pertanian

bentuk

perjanjiannya

harus

dituangkan dalam kontrak tertulis. Sebelumnya, dalam hukum adat, praktek hak usaha bagi hasil ini dilakukan dalam bentuk tidak tertulis (hanya lisan saja). Sumber Benih

Dalam

hukum

tanah

Dalam

hukum bagi

islam,

nasional tidak diatur mengenai

penamaan

hasilnya

siapa yang memberikan benih

dibedakan berdasarkan darimana

dalam hal terjadi perjanjian bagi

benih disediakan. Apabila benih

hasil atas tanah pertanian. Hal

disediakan oleh penggarap maka

tersebut tergantung pada perjanjian

dinamakan

yang dibuat antara pemilik tanah

sedangkan apabila benih berasal

dan penggarap.

dari pemilik tanah maka

mukhabarah

dinamakan muzaraah. Demikian benang merah yang dapat simpulkan mengenai persamaan maupun perbedaan hak usaha bagi hasil dalam Hukum Tanah Nasional dan muzara’ah dalam konsep Hukum Islam.

III. PENUTUP A. Kesimpulan Hak usaha bagi hasil merupakan hak untuk mengerjakan atau mengusahakan tanah pertanian berdasarkan perjanjian antara pemilik tanah yang bersangkutan dan

Volume 10, Nomor 1, Juli 2020 | Juris LK2 FHUI


64Â

seseorang atau suatu badan hukum yang disebut ‘penggarap’, yang didasari adanya perjanjian dimana penggarap diperbolehkan oleh pemilik untuk mengerjakan usaha pertanian di atas tanah si pemilik, dengan ketentuan adanya bagi hasil atas hasil panennya antara kedua belah pihak, sesuai dengan perjanjian yang diadakan sebelumnya. Pengaturan hak usaha bagi hasil di Indonesia diatur secara khusus dalam UU No. 2/1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil. Islam juga mengenal istilah muzara’ah dan mukhabarah yang memiliki arti hampir sama dengan konsep hak usaha bagi hasil dalam Hukum Tanah Nasional, yaitu kerja sama dalam hal pengolahan lahan pertanian antara pemilik tanah dan pihak lain sebagai penggarap, dimana pemilik tanah memberikan lahan pertanian kepada si penggarap untuk ditanami dan dipelihara. Sebagai imbalan, panen yang dihasilkan dari lahan tersebut dibagi berdasarkan persentase dalam akad yang telah dilakukan. Hak usaha bagi hasil baik dalam Hukum Tanah Nasional maupun Islam memiliki kesamaan. Dimana harus dilakukan antara orang yang memiliki tanah dan penggarap. Persamaan lainnya adalah bahwa pembagian keuntungan atau kerugian dari hasil panen setelah tanah digarap disesuaikan dengan perjanjian atau akad yang telah dilakukan para pihak baik penggarap maupun pemilik tanah. Adapun terdapat perbedaan di antara keduanya seperti dalam segi penamaan, pengaturannya, bentuk perjanjiannya, dan sumber benih yang akan digarap oleh penggarap. Baik hak usaha bagi hasil, muzara’ah, maupun mukharabah, kesemuanya memiliki keuntungan baik bagi penggarap maupun pemilik tanah. Bagi penggarap dengan adanya sistem ini akan membantu kehidupannya agar kesejahteraan penggarap dapat terpenuhi seperti kesediaan bahan makanan yang didapatkan dari hasil panen yang dibagi sesuai presentasi yang diperjanjikan. Bagi pemilik tanah, sistem ini bermanfaat dikarenakan tidak semua pemilik tanah dapat mengerjakan atau mengusahakannya secara langsung. Sistem ini membantu pemilik tanah tetap mendapatkan keuntungan walau tidak bekerja secara langsung terhadap tanahnya dengan membuat perjanjian bagi hasil yang nantinya hasil panen dari tanah yang digarap oleh penggarap akan dibagikan kepada pemilik tanah dan penggarap sesuai dengan presentasi atau kesepakatan keduanya.

Volume 10, Nomor 1, Juli 2020 | Juris LK2 FHUI


65

DAFTAR PUSTAKA Buku Al Zuhaily, Wahbah. al-Fiqhu al Islamiy wa Adillatuhu Mujallad VI. Cet. IV. Damaskus: Dar al Fikr, 1997. Al Zuhaily, Wahbah. al-Fiqh al-Islâmy wa Adillatuhu, Vol. V. Damaskus: Dar alFikr, 2008. Harsono, Boedi. Hukum Agraria Indonesia Bagian Pertama Jilid I. Jakarta: Penerbit Djambatan, 1999. Harsono, Boedi. Hukum Agraria Indonesia Bagian Pertama Jilid II. Jakarta: Penerbit Djambatan, 1999. Muns, Djalaludin Misbahul. Ekonomi Qur’ani Doktrin Eformasi Ekonomi dalam AlQur’an. Malang: UNI Press, 2006. Pide, Suryaman Mustari. Hukum Adat Dahulu, Kini, dan Akan Datang. Ed.1. Jakarta: Prenadamedia Grup, 2014. Saleh, K. Wantjik. Hak anda Atas Tanah. Jakarta: Ghalia, 1987. Syafe’I, Rachmat. Fiqih Muamalah. Cet. 1. Bandung: Pustaka Setia, 2001. Tim Pengajar Landreform dan Tata Guna Tanah Universitas Indonesia. Buku Ajar: Land Reform dan Tata Guna Tanah. Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2001.

Jurnal Arif, Firman Muh. “Muzara’ah dan Pengembangan Ekonomi Umat di Pedesaan,” AlAmwal Vol. 3 No. 2 (September 2018). Hlm. 108-136. Muttalib, Abdul. “An Analysis on the Profit Sharing System of Muzara’ah and Mukhabarah in Rice Farming Activity and Its Implications Towards Welfare of the Families of the Sharecroppers and the Land Owner in East Praya Subdistrict.” JIME Vol. 1 No. 2 (Oktober 2015). Hlm. 1-13.

Volume 10, Nomor 1, Juli 2020 | Juris LK2 FHUI


66

Nurmadany, Rizka. “Pelaksanaan Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian Antara Pemilik Tanah dan Penggarap di Kabupaten Sleman” Jurnal Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta (Desember 2016). Hlm. 1-12. Rafly, Muhammad, Muhammad Natsir, dan Siti Sahara. “Muzara’ah (Perjanjian Bercocok Tanam) Lahan Pertanian Menurut Kajian Hukum Islam” Samudra Keadilan Vol. 11 No. 2 (Juli-Desember 2016). Hlm. 220-228.

Peraturan Perundang-Undangan Indonesia. Undang-Undang Dasar 1945. Indonesia. Undang-Undang Perjanjian Bagi Hasil, UU No.2 Tahun 1960. Indonesia. Undang-Undang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, UU No.5 Tahun 1960, LN No.104 Tahun 1960, TLN No. 2043. Indonesia. Undang-Undang Penetapan Luas Tanah Pertanian, UU No.56 Prp Tahun 1960, LN No. 174720 Tahun 1960, TLN No. 2117.

Volume 10, Nomor 1, Juli 2020 | Juris LK2 FHUI


67Â

BIODATA PENULIS

The author named Fahrul Fauzi, was born in Tangerang, January 21, 1999. The author is currently studying at the Faculty of Law, University of Indonesia. The author is currently also a Assistant Researcher at the Centre of Islam and Islamic Law Studies & Center of Health Law and Policy in Indonesia, Faculty of Law, Universitas Indonesia. The author has an interest in researching Agrarian Law, Islamic Law, Health Law, Civil Law, Company Law, and Capital Market Law. The author has a hobby of analyzing and writing legal issues disseminated through his personal website futurelawyer-s.blogspot.com. The author can be contacted via 0895381886665 and ffahrul107@gmail.com.

Volume 10, Nomor 1, Juli 2020 | Juris LK2 FHUI


68Â

Implikasi Adanya Pola Dasar Pembinaan Karir PNS dalam Jabatan Struktural yang Ajeg Tersistemasi untuk Mereduksi Terjadinya Konflik Kepentingan Pada Suatu Institusi Pemerintahan Oleh: Dara Salsabila Mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Angkatan 2017 dengan Program Kekhususan Hukum Administrasi Negara. darajelitasalsabila@gmail.com Abstrak Dalam mengupayakan manajemen kepegawaian secara masif untuk menjamin kepastian arah pengembangan karir Pegawai Negeri Sipil (yang selanjutnya disingkat PNS) jabatan struktural diperlukan suatu pola dasar karir sebagai pedoman bagi instansi yang dinaungi. Pola tersebut dikonstruksikan agar pemberdayagunaan PNS dapat meningkat sehingga menghasilkan pelayanan publik yang optimal. Akan tetapi kondisi tersebut justru tidak berjalan inheren oleh sebab peraturan perundang-undangan telah melegitimasi adanya kenaikan sistem pangkat pilihan oleh PNS struktural yang bersamaan dengan pelanggaran norma etik dan kesusilaan sehingga hasil yang diharapkan tidak tercapai. Penulisan ini berusaha menelaah kaitan kondisi pragmatis PNS dengan urgensitas manajemen kepegawaian secara terintegrasi. Penulis menggunakan metode penulisan yuridisnormatif dengan pendekatan sosio-kultural berdasarkan literatur kepustakaan. Kata kunci: Pegawai Negeri Sipil, Pengembangan Karir, Sosio-kultural.

Volume 10, Nomor 1, Juli 2020 | Juris LK2 FHUI


69Â

Abstract In an effort to carry out massive civil servants’ management to ensure a certainty in the career development of civil servants (later known as PNS) in structural position, a basic career pattern is needed as a guideline for each institution where the civil servants are on. This pattern is constructed in the hope that civil servants can produce an outcome to improve optimal public services. However, this condition does not work inherently because the laws and regulations have legitimized an increase in the ranking system of choice by structural civil servants every four years later which is distorted by various forms of violations of ethical and moral norms so that the expected results are not achieved. This article examine the meeting point of a link between the pragmatic conditions of civil servants with the need for massive staffing management. The author uses a juridical-normative writing method with a sociocultural approach to the condition of civil servants through literary literature. Keywords: civil servants, career development, sosio-cultural.

Volume 10, Nomor 1, Juli 2020 | Juris LK2 FHUI


I. PENDAHULUAN Pasca penggantian undang-undang berkenaan dengan aparatur negara dari UU Nomor 8 tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian menjadi UU Nomor 43 tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian hingga kini yang berlaku UU No 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN) menimbulkan konsekuensi terhadap tatanan perikehidupan masyarakat Indonesia dan secara khusus para aparaturnya. Hal ini berkenaan dengan tugas dan fungsi Pegawai Negeri Sipil (PNS) atau Aparatur Sipil Negara (ASN) dalam memberikan pelayanan publik yang optimal dan sesuai dengan kebutuhan yang ada. Adanya UU No 43 tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian berhasil merumuskan ketentuan, menginternalisasikan nilai-nilai netralitas kepada birokratnya. Sebagaimana yang dinyatakan pada pasal 3 ayat (3)1, untuk menjamin netralitas pegawai negeri dilarang menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik sehingga menjamin keutuhan, kekompakan dan persatuan pegawai negeri dan bisa memusatkan perhatian dan pikiran pada tugas yang dibebankan kepadanya. Adapun akibat apabila pegawai negeri menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik adalah diberhentikan baik dengan hormat maupun tidak hormat. Konsepsi ini merupakan refleksi daripada suatu sistem pemerintahan yang baru berkembang dari Amerika Serikat yakni Old Public Administration ditahun 1800-an akhir dan satu abad setelah itu Indonesia mengadopsi konsepsi tersebut. Old Public Administration menekankan adanya dokotomi antara politik dan administrasi agar setiap kerja-kerja organisasi maupun struktur dapat berjalan dengan efektif dan efisien. Administrasi negara merupakan bidangnya birokrat secara teknis dan politik menjadi bidang politisi. Hasil yang diharapkan adalah tidak adanya suatu kebijakan yang dikeluarkan oleh birokrat yang tendensius pada suatu kegiatan politik tertentu sehingga institusi dan birokrasi dapat memiliki daya stabilitas yang tinggi dengan menekankan pada pertimbangan obyektif. Lima belas tahun kemudian UU No 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara hadir menggantikan UU No 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian karena dianggap sudah tidak cukup mampu lagi mengakomodir perubahan paradigma mengenai 1

Indonesia, Undang-Undang Pokok-Pokok Kepegawaian, UU No. 43 Tahun 1999, LN No. 169 Tahun 1999, Ps. 3 Ayat (3).

Volume 10, Nomor 1, Juli 2020 | Juris LK2 FHUI


71

aparatur. Indonesia harus memiliki Aparatur Sipil Negara yang berintegritas, profesional, netral dan bebas dari intervensi politik, bersih dari praktik Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) dan bisa menyelenggarakan pelayanan publik bagi masyarakat dan menjadi unsur perekat persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia2. Dari konsideran ini dapat diartikan secara gramatikal bahwa ASN tidak boleh bersikap tendensius dan terlibat KKN untuk menghindari adanya conflict of interest, di lain sisi ASN-pun diharuskan untuk profesional agar tujuan pelayanan publik tercapai. Akan tetapi hal ini tidak bergerak secara bipendalis terhadap kondisi faktual ASN yang mana pada tahun 2019 saja kasus korupsi yang ditangani oleh lembaga penegak hukum terbanyak dilakukan oleh ASN, dengan catatan 580 tersangka ditetapkan Kejaksaan, Kepolisian dan KPK dan 231 orang diantaranya adalah ASN.3 Secara otomatis ASN tersebut telah melanggar kode etik ASN dan juga melanggar amanat undang-undang. Profesionalisme diartikan sebagai mutu, kualitas dan tindak tandung yang merupakan ciri sebuah profesi atau orang yang professional.4 Maka dari itu profesionalisme disimpulkan sebagai suatu proses yang eskalatif untuk memberikan output yang maksimal. Dalam Peraturan Pemerintah RI Nomor 99 Tahun 2000 tentang kenaikan Pangkat Pegawai Negeri Sipil yang dibagi menjadi empat dan salah satunya adalah kenaikan pangkat reguler atau kenaikan pangkat otomatis (KPO). KPO adalah kenaikan pangkat yang diberikan kepada PNS yang sudah memenuhi syarat-syarat tetentu tanpa terikat pada jabatan yang sudah dipangkunya dan diberikan kepada Pegawai Negeri Sipil yang tidak menduduki jabatan struktural atau jabatan fungsional tertentu dan diberikan sepanjang tidak melampaui jabatan atasan langsungnya. Kenaikan pangkat ini diberikan dalam waktu sekurang-kurangnya empat tahun dalam pangkat terakhir dan untuk kenaikan pangkat pertama PNS dihitung pada waktu sejak pengangkatan sebagai CPNS dan Pangkat tertingginya ditentukan dengan pendidikan tertinggi yang dimilikinya. Dalam PP No. 99 Tahun 2000 Dan PP No. 12 Tahun 2002 Kenaikan Pangkat adalah penghargaan yang diberikan atas prestasi kerja dan pengabdian PNS kepada 2

Indonesia, Undang-Undang Aparatur Sipil Negara, UU No. 5 Tahun 2014, LN No. 6 Tahun

2014. 3

Media Indonesia, “ICW: ASN Terbanyak lakukan Korupsi Pada 2019,” Https://Mediaindonesia.Com/Read/Detail/290964-Icw-Asn-Terbanyak-Lakukan-Korupsi-Pada-2019, diakses 24 Maret 2020. 4 Kamus Besar Bahasa Indonesia, “Arti Kata Profesionalisme” Https://Jagokata.Com/ArtiKata/Profesionalisme.Html, diakses 24 Maret 2020.

Volume 10, Nomor 1, Juli 2020 | Juris LK2 FHUI


72

negara dan menjadi dorongan agar meningkatkan prestasi kerja dan pengabdiannya. Dalam rumusan pasal ini mengindikasikan adanya ‘prestasi kerja’ yang merupakan perwujudan daripada profesionalisme. Namun dalam KPO tidak mendasarkan pada prestasi kerja secara dominan namun lebih kepada limitasi ‘empat tahun’ sejak seorang PNS berstatus sebagai CPNS dan bisa melakukan kenaikan pangkat secara bertahap atau reguler. Menjadi kontradiksi dari semangat meristokrasi pemerintahan jika dasar pengambilan keputusan kenaikan pangkat adalah karena adanya batasan waktu pada PNS dalam jabatan struktural. Selain dari ‘sekurang-kurangnya empat tahun dalam pengkat terakhir’, PNS-pun harus memiliki unsur penilai prestasi kerja sekurang-kurangnya bernilai baik dalam dua tahun terakhir. Pada tahun 2015 Badan Kepegawaian Nasional (BKN) memberlakukan ketentuan sistem kenaikan pangkat secara otomoatis tanpa melalui mekanisme pengusulan atasan atau pimpinan sebagaimana yang diterapkan selama ini5. Maka dari itu PNS dalam Jabatan Struktural bisa mengajukan kenaikan pangkat secara mandiri tanpa usulan maupun bentuk assessment vertical lainnya. Pertimbangan kenaikan pangkat seharusnya sejalan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 Tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil yang mana pada pasal 134 ayat 2 huruf d menyatakan sistem merit yang diterapkan memiliki kriteria mempunyai manajemen karir yang terdiri dari perencanaan, pengembangan, pola karir dan kelompok rencana suksesi yang diperoleh dari manajemen talenta. Maka dari itu urgensi adanya pola karir menjadi hal yang substansial untuk mendukung alur pengembangan karir yang menunjukan keterkaitan dan keserasian antara jabatan, pangkat, pendidikan dan pelatihan jabatan, kompetensi dan masa jabatan PNS sejak pengangkatan pertama hingga pensiun pada PNS dalam Jabatan Struktural. Berdasarkan permasalahan diatas penulis ingin meneliti tentang bagaimana implementasi UU No. 5 tahun 2014 tentang ASN dengan penelaahan secara mendalam dan komprehensif perilaku ASN dan dikaitkan dengan kebijakan-kebijakan pemerintah mengenai ASN. Pembahasan tersebut disusun oleh penulis dalam suatu artikel yang berjudul Implikasi Adanya Pola Dasar Pembinaan Karir PNS dalam Jabatan

5 Achmad Fauzi, “BKN Berlakukan Sistem Kenaikan Pangkat Oromatis Bagi PNS” Https://Www.Wartaekonomi.Co.Id/Read57150/Bkn-Berlakukan-Sistem-Kenaikan-Pangkat-OtomatisBagi-Pns, diakses 25 Maret 2020.

Volume 10, Nomor 1, Juli 2020 | Juris LK2 FHUI


73

Struktural yang Ajeg Tersistemasi untuk Mereduksi Terjadinya Konflik Kepentingan Pada Suatu Institusi Pemerintahan. Dalam penyusunan penulisan ini, penulis menggunakan pendekatan yuridis normatif yakni penelitian hukum yang dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan yang menitikberatkan pada penelitian data sekunder berupa norma-norma yuridis dan kaidah-kaidah hukum yang berupa peraturan perundang-undangan, asas hukum dan pengertian hukum yang kemudian dianalisis sesuai dengan materi pembahasan. Spesifikasi penelitian yang diterapkan adalah dengan deskriptif-analitis dengan tujuan agar memberikan gambaran yang jelas mengenai realitas pembahasan yang diteliti secara obyektif.

II. PEMBAHASAN 1.

Kompleksitas Permasalahan Structural Aparatur Sipil Negara (Pegawai Negeri Sipil Dalam Jabatan Struktural) Permasalahan manajemen Aparatur sipil negara (ASN) tidak hanya berkaitan

dengan masalah kultural seperti budaya kerja, etos kerja, adanya primordialisme namun lebih dari itu juga mengenai kapabilitas ASN pada posisi yang diemban dengan memperhatikan komposisi Aparatur secara nasional dan daerah. ASN adalah profesi bagi Pegawai Negeri Sipil Dan Pegawai Pemerintah Dengan Perjanjian Kerja yang bekerja pada instansi pemerintah.6 Sedangkan PNS adalah warga negara Indonesia yang memenuhi syarat tertentu diangkat sebagai pegawai ASN secara tetap oleh pejabat pembina kepegawaian untuk menduduki jabatan pemerintahan.7 Pada tahun 2019 jumlah ASN Indonesia mencapai 4.352.490 orang dengan komposisi 1.643.535 orang (37,70%) ASN administrasi umum, 1.636.322 (37,60%) adalah guru, 434.488 (9,99%) PNS jabatan struktural, kesehatan 264.305 (6,07%) dan jabatan fungsional teknis adalah sebanyak 372.740 (8,57%).8 Dengan komposisi diatas terlihat jumlah yang tidak proporsional karena didominasi oleh ASN administrasi umum dan bukan pada jabatan-jabatan dengan keahlian spesifik. Hal ini berimplikasi pada 6

Indonesia, Undang-Undang Aparatur Sipil Negara, Ps. 1 Angka 1. Ibid., Ps. 1 Angka 3. 8 Carlos KY Paath, “Jumlah ASN di Indonesia� Https://Www.Beritasatu.Com/Nasional/515506Jumlah-Asn-Di-Indonesia-4351490-Orang.Html, diakses 27 Maret 2020. 7

Volume 10, Nomor 1, Juli 2020 | Juris LK2 FHUI


74

kenyataan bahwa Indonesia sedang mengalami Parkinson Law. Sebuah teori yang berasal dari sebuah esai yang dikarang oleh Northcote Parkinson seorang ahli administrasi Inggris dalam karya Parkinson’s Law Or The Rising Pyramid (1957).9 Pelbagai bentuk Parkinson menggerogoti kerangka birokrat Indonesia seperti adanya ‘penggemukan’ dengan peningkatan kuantitas aparatur namun tidak pada posisi strategis dan adanya pembentukan Lembaga maupun departemen baru dalam struktur pemerintahan. Sebagai komparasi pada kabinet Indonesia 2020 Pimpinan Presiden Jokowi, mengangkat 12 wakil Menteri baru yang sebelumnya tidak ada dalam nomenklatur pemerintahan sehingga tidak mencerminkan semangat reformasi karena membuat postur kerja menjadi ‘gemuk’ sehingga efektifitas dan efisiensi sukar dilakukan.10 Dalam struktur organisasi terdiri dari tiga klasifikasi yakni first line atau low level management, Middle level of management dan top level of management11. untuk menghasilkan ASN yang berkualitas maka akan dipengaruhi dengan sistem perekrutannya. Sebagaimana amanat UU ASN yang menyatakan adanya sistem merit artinya mendasarkan pada kualifikasi, kompetensi dan kinerja tanpa membedakan latar belakang politik, ras, warna kulit, agama, asal usul dll. Dalam tataran low level management ini berhasil diterapkan melalui seleksi terbuka PNS yang diselenggarakan pada tiga tahun terakhir yang semakin baik dari segi transparansinya dan adanya pelayanan satu pintu sehingga bisa mereduksi conflict of interest bagi yang melaksanakannya. Pada tataran middle level of management memiliki tendensi pemilihan secara spoil system yang terlihat pada materi muatan mengenai pengangkatan PNS dalam jabatan struktural memperhatikan faktor senioritas dalam kepangkatan, usia, Pendidikan dan pelatihan jabatan dan pengalaman yang dimiliki12 dan kemudian adanya pengisian pejabat pimpinan tinggi melalui assessment jabatan pimpinan tinggi. Dalam pasal 53 UU No.

5

tahun

2014

presiden

selaku

pemegang

kekuasaan

tertinggi

dalam

menyelenggarakan pembinaan ASN dapat mendelegasikan kewenangan menetapkan

9

Magdalena Lumbantoruan, Ensiklopedia Ekonomi, Bisnis Dan Manajemen, (Jakarta: Cipta Adi Psutaka, 1992), hlm. 14. 10 Anonim, Inkonsistensi Reformasi Birokrasi, Https://Harianandalas.Com/KanalEditorial/Inkonsistensi-Reformasi-Birokrasi, diakses 27 Maret 2020. 11 Anonim, “Tingkatan Manajemen”, Https://Jurnalmanajemen.Com/Tingkatan-Manajemen/, diakses 27 Maret 2020. 12 Indonesia, Peraturan Pemerintah Pengangkatan Pegawai Negeri SIpil dalam Jabatan Struktural, UU No. 100 Tahun 2000, LN No. 197 Tahun 2000, Ps. 6.

Volume 10, Nomor 1, Juli 2020 | Juris LK2 FHUI


75

pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian pejabat selain pejabat pimpinan tinggi utama dan madya dan pejabat fungsional keahlian utama kepada menteri dikementrian, pimpinan lembaga dilembaga pemerintah non-kementrian, sekretaris kendera di sekretariat lembaga negara dan lembaga nonstruktural, gubernur di provinsi dan bupati/walikota di kabupaten/kota. Selain pengangkatan, mekanisme permutasian juga berkaitan erat dengan praktik-praktik manipulasi dan feodal sehingga menimbulkan penyalahgunaan mutasi bermuatan politis dan sarat kepentingan. Alasan permutasian tidak secara subyektif namun berdasarkan rekomendasi KASN kepada kepala daerah untuk pemberhentian ASN. Dalam top level of management sangat jelas digambarkan dalam pelantikan wakil Menteri Angel Herliani Tanosoedibjo sebagai Wakil Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif13 yang biasanya wakil Menteri diisi oleh birokrat karir dan bukan jabatan politik. Pada struktur ini memiliki otoritas tertinggi setelah Menteri dalam pengambilan keputusan yang akan dilakukan oleh suatu pemerintahan sehingga harus memiliki pengalaman dan kapasitas dalam pemerintahan. Hal yang diharapkan adalah agar pengisi jabatan tertinggi tersebut memiliki legitimasi dan paham mengenai tugas-tugas penyelenggaraan pemerintahan yang tidak hanya persoalan loyalitas yang dinilai secara subjektif dan relasional belaka. Terlepas dari isu tatanan oligarki yang dicoba dikonstruksi oleh Presiden Jokowi dalam sistem administrasi negara, ini termasuk pada spoil system yang membahayakan operasionalisasi kerja-kerja pemerintah. Manajemen ASN mestinya secara konkret menekankan profesi, etika profesi dalam menjalankan tugas pelayanan public, pemerintahan dan tugas pembangunan. Maka dituntut adanya sinergisitas Badan Kepegawaian Nasional dan Pejabat Pengelolaan kepegawaian pusat dan daerah untuk mengentaskan hal demikian. Semakin banyaknya jumlah aparatur maka akan berimplikasi pada penyerapan anggaran yang dialokasikan menjadi inefektivitas dan inefisien karena anggaran diserap maksimal untuk biaya-biaya birokrasi dan bukan dari biaya-biaya program. Pada akhir 2019 Kemenkeu melaporkan penyerapan anggaran belanja pemerintah pusat Rp 2.461 triliun yakni sekitar Rp 368,6 triliun digunakan untuk biaya ASN/PNS atau naik sekitar

13

Felix Nathaniel, “Politik Turun Temurun dalam Lingkaran Oligarki Jokowi,� Https://Tirto.Id/Politik-Turun-Temurun-Dalam-Lingkaran-Oligarki-Jokowi-Emvh, diakses 18 Maret 2020.

Volume 10, Nomor 1, Juli 2020 | Juris LK2 FHUI


76

Rp 26,1 triliun dari tahun sebelumnya.14 Padahal secara nyata pemerintah Menteri PANRB sudah mengeluarkan Surat Edaran Nomor 10 Tahun 2014 Tentang Peningkatan Efektifitas Dan Efisiensi Kerja Aparatur Negara dan SE Nomor 11 Tahun 2014 Tentang Pembatasan Kegiatan Pertemuan/Rapat Diluar Kantor15 sehingga diharapkan instansi pemerintah melakukan efisiensi penggunaan anggaran dalam segmentasi institusional bukan dengan penyerapan biaya birokrasi. Selain itu permasalahan rendahnya kualitas ASN harus dihadapi pemerintah. Terlihat dari latar belakang Pendidikan ASN pada tahun 2017 dengan persentasi 52% menduduki tingkat Pendidikan setara sarjana dan 21% setingkat sekolah lanjutan tingkat pertama16 dan dari 4,6 juta ASN hanya 64% yang memiliki kemampuan administrasi, guru 37% dan tenaga Kesehatan 4,43% dengan hampir 58% ASN berasal dari honorer.17 Selain itu, adanya 37% pendidikan ASN tidak sesuai dengan bidang kompetensinya (latar belakang pendidikannya) sehingga akan mempengaruhi output kinerja kedepannya.18 Masih adanya tenaga honorer ini memungkinkan spoil system diterapkan oleh birokrat selain itu melanggar PP No. 48 tahun 2005 dan PP No. 43 tahun 2007. Spoil system adalah proses perekrutan yang tidak memenuhi persyaratan khusus yang ada pada posisi publik dan pengangkatan seseorang pada posisi publik secara subyektif atau berdasarkan kepentingan pribadi atau golongan tertentu.19 Akan tetapi upaya meristokrasi birokrat yang berkaitan dengan tenaga honorer sudah dilakukan sejak tahun 2018 dengan tidak diadakannya perekrutan honorer namun honorer yang masih ada diminta menjalani tes CPNS dan tes CPPPK.

14 Septian Deny, “Kenaikan Gaji PNS di 2019 Bakal Bebani APBN,” Https://Www.Liputan6.Com/Bisnis/Read/3622836/Kenaikan-Gaji-Pns-Di-2019-Bakal-Bebani-Apbn, diakses 27 Maret 2020. 15 Humas MenpanRB, “Ukuran Kinerja Instansi bukan lagi Penyerapan Anggaran,” Https://Www.Menpan.Go.Id/Site/Berita-Terkini/Ukuran-Kinerja-Instansi-Bukan-Lagi-PenyerapanAnggaran, diakses 9 April 2020. 16 Humas BKN, “Tingkat Pendidikan ASN Indonesia,” Www.Bkn.Go.Id, Https://Www.Google.Com/Search?Q=Tingkat+Pendidikan+Asn+Indonesia+2019&Oq=Tingkat+Pendidi kan+Asn+Indonesia+2019&Aqs=Chrome..69i57l2.6307j0j7&Sourceid=Chrome&Ie=Utf-8, diakses 27 Maret 2020. 17 Bayu Anggoro, “Kualitas ASN Masih Rendah,” Https://Mediaindonesia.Com/Read/Detail/96192-Kualitas-Asn-Masih-Rendah, diakses 27 Maret 2020. 18 Fira Nursyabani, “LAN: 37% ASN tak Miliki Latar Belakang Sesuai Kompetisi,” https://www.google.com/amp/s/amp.ayobandung.com/read/2019/11/18/70543/lan-37-asn takmiliki-latarbelakang-sesuai-kompetisi, diakses 27 Maret 2020. 19 Veitzal Rivai, Manajemen Sumber Daya Manusia, (Jakarta: Raja Grapindo Persada, 2004), hlm 8.

Volume 10, Nomor 1, Juli 2020 | Juris LK2 FHUI


77

Adanya konstruksi bahwa ASN adalah penguasa sehingga memiliki jiwa penguasa yang seharusnya ASN menjadi pelayan masyarakat dan memiliki jiwa hospitality.20 Ketidakseimbangan ini menentang teori Max Weber dengan birokrat rasionalnya melalui penekanan pada birokrasi patrimonial, Pakem tersebut mengharuskan adanya spesialisasi kerja seorang birokrat. Intervensi politik dalam administrasi dan birokrasi masih ada dikarenakan nilai netralitas yang sukar dilaksanakan dan tidak bisa lepas sepenuhnya dari intrik politik yang tergambar pada pejabat Pembina birokrasi politis yakni Menpan yang memiliki tendensi terpengaruh pada fluktuasi politik yang ada. 2.

Pola pembinaan PNS dalam Jabatan Struktural yang ajeg dan tersistemasi Penekanan adanya pola pembinaan ASN akan berhadapan dengan ketidaksiapan

ASN pada proses internalisasi suatu nilai baru. ASN dituntut memiliki creative abrasion yang tidak menekankan pada keragaman atas gender, preferensi seksual maupun latar belakang etnis dan bukan konfrontasi yang bersifat konstruktif. Creative abrasion menekan pada pendekatan kognitif terhadap pemecahan permasalahan dan inovasi agar bisa menyelenggarakan integrasi kerangka masalah dan pendekatan dalam pemecahan masalah yang berbeda. Tugas penting pimpinan harus melakukan spesialisasi terhadap bawahannya dan menyesuaikan gaya kognisi yang mengarah pada crative abrasion. Pola karir ASN adalah pola dasar yang berkaitan dengan penempatan atau perpindahan ASN dalam dan antar suatu posisi di setiap jenis jabatan yang berkontinuitas dan bertujuan untuk menjamin keselarasan potensi ASN dalam rangka menyelenggarakan tugas-tugas pemerintahan dan pembangunan. Pola dasar karir harus memperhatikan aspek kepastian mengenai arah alur karir yang akan diselenggarakan ASN dengan prinsip profesionalisme, transparan, dan keadilan. Maka dari itu pengembangan pola karir ASN secara langsung menerapkan sistem merit. Tujuan adanya pola karir dapat dicapai dengan eskalasi kemampuan teknis, konseptual dan moral sehingga berujung pada prestasi dan bisa menyelenggarakan pelayanan public optimal. Adanya pola dasar pembinaan karir PNS akan diimplementasikan spesifik pada PNS dalam jabatan struktural. Upaya ini dilakukan untuk menyiapkan para birokrat PNS dalam jabatan struktural yang handal, bertanggungjawab dan prestatif guna mengakomodir proses Kenaikan Pangkat Otomatis 20

Veitzal Rivai, Manajemen Sumber Daya Manusia, (Jakarta: Raja Grapindo Persada, 2004), hlm

8.

Volume 10, Nomor 1, Juli 2020 | Juris LK2 FHUI


78Â

yang tidak hanya berdasarkan limitasi masa kerja melainkan prestasi kerja dan kapabilitas dalam mengemban tanggungjawab pada pangkat setelahnya. Dalam pandangan Rosenbloom, pengembangan sumber daya aparatur dapat dilakukan dengan pendekatan legal, manajerial dan politik.21 Merupakan hal yang sulit saat berusaha untuk menjalankan birokrasi pada fragmentasi pendekatan tersebut. Hal ini dikarenakan adanya kompleksitas pengelolaan sumber daya aparatur oleh sebab itu tercipta suatu sistem tersendiri yang merupakan hasil interaksi antar sub-sistem didalamnya dan juga bagian dari suatu sistem yang lebih besar dan integral. Pusat Kajian Pendidikan Dan Pelatihan Aparatur I lembaga Administrasi Negara telah melakukan kajian dan merumuskan manajemen talenta dalam konteks birokrasi nasional yang terdiri dari talent recruitment, talent development, dan talent retention. Pertama, talent recruitment diawali dengan pola rekruitmen menerapkan kriteria kualifikasi, kompetensi, attitude dan kinerja.22 Kedua, talent development untuk memberikan program pengembangan kepada ASN yang memiliki potensi menciptakan lingkungan kondusif agar bisa berkembang optimal yang dilakukan selama satu tahun anggaran dan pada akhir tahun diadakan evaluasi. Talent retention, agar mempertahankan ASN berpotensi agar senantiasa mempertahankan kinerja secara prima dan menjunjung loyalitas pada institusi, evaluasi pun dilakukan serta adanya penilaian terhadap para pegawai berpotensi setiap akhir tahun setelah program pengembangan dan berdasarkan hasil penilaian tersebut maka pegawai akan menerima program retensi yang berbedabeda. Dalam memastikan adanya pola karir yang efektif maka harus diselenggarakan optimalisasi sumber daya aparatur yang ada dengan cara zero growth yakni dengan pendekatan rekrutmen ASN tanpa menambahkan kuantitas namun menggantikan (replace) ASN yang berhenti seperti pensiun. Pendekatan ini bisa dianalisis dengan sistem bezitting dengan perhitungan data keseimbangan persediaan ASN. Ketentuan ini pun sudah dilegitimasi dalam Lampiran Kepmenpan. Nomor: KEP/75/M.PAN/7/2004

21

David Rosenbloom, Public Administration:Under Standaing Management, Politics And Law In The Public Sector, Mcgraw-Hill Book,Co. (2005), hlm. 7. 22 Sebagaimana Dalam Pasal 69 Ayat 1 UU No. 5 Tahun 2014 Pengembangan Karir PNS Dilakukan Berdasarkan Kepada Kualifikasi, Kompetensi, Penilaian Kinerja dan Kebutuhan Instansi dan Pada Ayat 2 menerangkan Pengembangan Pola Karir Mempertimbangkan Integritas dan Moralitas

Volume 10, Nomor 1, Juli 2020 | Juris LK2 FHUI


79

Tanggal 23 Juli 2004 tentang Pedoman Perhitungan Kebutuhan Pegawai Berdasarkan Beban Kerja Dalam Rangka Penyusunan Formasi Pegawai Negeri Sipil, dengan melakukan Analisa kebutuhan pegawai (suatu proses yang dilakukan secara rasional, teratur serta berkesinambungan agar mengetahui jumlah dan kualitas pegawai yang diperlukan). Hasil yang diharapkan adalah adanya perubahan dogmatic perilaku dan moralitas, profesionalisme meningkat, skill dipertajam, ekspektasi dan adanya etos kerja. Maka dari itu tujuan reformasi birokrasi dapat diimplementasikan sejalan dengan itu adanya proses pembinaan ASN. Pola karier PNS dalam Jabatan Struktural dilakukan dengan beberapa tahapan antara lain: a.

Training atau Pendidikan dan pelatihan pra-jabatan. Training terbagi atas training prajabatan diselenggarakan sebelum pelantikan ASN dengan materi berkaitan dengan wawasan kebangsaan, penyelenggaraan pemerintah, kode etik dsb. Selain itu dalam tahap ini dapat dilakukan Need identification dalam memposisikan PNS sesuai dengan kemampuan dan spesialisasi kerjanya. Semua PNS yang sudah lulus Seleksi Kompetensi Dasar (SKD) dan seleksi kompetensi Bersama (SKB) akan melalui mekanisme ini. Terdapat perubahan mendasar dalam pola perekrutan PNS yakni, setelah tahap SKB maka PNS dalam Jabatan Struktural akan melaksanakan magang pada instansi yang dilamar selama satu tahun dengan komposisi enam bulan pertama sebagai penentu diterima atau tidaknya PNS tersebut dan pada akhir tiap semester akan dilakukan assessment dan laporan kinerja dengan kepastian selambatlambatnya enam bulan magang. Artinya jika dinyatakan lolos dalam SKB sekalipun tidak mutlak diterima dan bisa langsung bekerja pada instansi tersebut, ada bentuk tahapan selanjutnya. Hal ini didasarkan adanya pengaruh attitude dan moral yang ditunjukan oleh PNS tersebut dalam lingkungan kerja yang baru dan membutuhkan masa orientasi dan adaptasi, system ini sudah diterapkan di Jepang. Selain itu institusi terkait bisa menerapkan standar kompetensi jabatan sehingga PNS yang lolos akan sesuai dengan kualifikasi yang dibutuhkan dan related dengan bidang pekerjaannya.

Volume 10, Nomor 1, Juli 2020 | Juris LK2 FHUI


80Â

b. Training atau Pendidikan dan pelatihan dalam masa jabatan dengan tujuan penyelenggaraan adalah mengembangkan penalaran dan pengetahuan, kritisme, pemahaman tugas-tugas aparatur negara secara profesional dalam rangka menjalankan tugas pemerintahan dan tugas pembangunan sehingga ASN akan memeroleh keterampilan baru dan menerapkan inovasi tersebut secara institusional. Dalam tahap ini terdapat selection dengan tolak ukur kemampuan kinerja (kompetensi), attitude dan komitmen sehingga akan menghasilkan ASN yang berkomitmen terhadap pekerjaanya. Adapun penilaiannya dilakukan dengan competencies assessment, civil servants performance review, dan 360 degree assessment untuk attitude. Hasilnya akan berupa excellent, very good, good dan need for improvement, sehingga yang memiliki nilai rendah-pun masih bisa berkembang dengan pola pembinaan karir yang berbeda. Mekanisme ini akan dilakukan pada enam bulan setelah proses magang institusi. c. Penempatan, dilaksanakan berdasarkan hasil evaluasi dan monitoring selama tahapan training. Mekanismenya dilakukan dengan penempatan pada beberapa satuan kerja atau fungsi artinya dengan pola karir terbuka sehingga bisa memperluas wawasan dan pengetahuan. Pada posisi strategis juga bisa diisi oleh PNS yang memiliki hasil training yang terbaik dan memiliki potensi untuk berkembang progresif. Dapat menggunakan pola organizational, divisional, Pendidikan formal dan personal selama dua tahun anggaran. Dalam masa ini tetap dilakukan pengembangan dengan Global civil servants program dan national civil servants program. Ini ditujukan agar para PNS memiliki studi komparasi mengenai suatu system maupun implementasi nilai daripada suatu sistem yang ada sehingga bisa membawa pembaharuan pada institusinya. Sebelum penempatan akan dilaksanakan pelantikan PNS terlebih dahulu dan pengangkatan dalam jabatannya. d. Retention merupakan suatu cara untuk mempertahankan PNS agar kinerjanya stabil dan bisa memberikan nilai lebih. Hal yang bisa dilakukan dengan adanya paket remunerasi yang kompetitif dari gaji pokok sebagai apresiasi pemerintah terhadap hasil yang baik. Selain remunerasi, ASN juga bisa mendapatkan program

Volume 10, Nomor 1, Juli 2020 | Juris LK2 FHUI


81

retensi yang berbeda-beda sesuai dengan hasil penilaian dan evaluasi yang dilakukan seperti adanya development program, golden shake balanced (pensiun dini dengan pesangon), promosi jabatan maupun benefit lain seperti keberlanjutan Pendidikan formal, pelatihan-pelatihan untuk mendukung kompetensi jabatannya dan juga environment atau perpindahan PNS pada institusi yang sama namun beda kompetensi relatifnya. Untuk menunjang kapabilitas PNS maka perlu diterapkan kebijakan early warning system (EWS) dan Whistle blower system agar mengetahui adanya potensi atau dugaan pelanggaran baik secara etik maupun pidana pada proses manajemen PNS dan juga sebagai pencegahan pelanggaran manajemen ASN dan menerapkan good and clean governance dalam pemerintahan.

3.

Suksesi peran Lembaga Administrasi Negara dan Badan Kepegawaian Negara dalam membentuk pola karier PNS dalam Jabatan Struktural dan Komisi Aparatur Sipil Negara dalam upaya pengawasan Indonesia dalam sistem birokrasi pemerintahan ASN/PNS terdapat Lembaga yang

yang berwenang yakni Menpan (Menteri pendayagunaan aparatur negara, LAN (Lembaga Administrasi Negara) yang menyelenggarakan pelatihan baik diklat yang langsung dan ada diklat yang tidak terkait dengan karier pegawai, KASN, dan BKN sehingga menimbulkan konsekuensi adanya tumpang tindih kewenangan dan subordinasi kerja sehingga tidak menjamin adanya sinergitas antar instansi tersebut bahkan bisa saja menimbulkan konflik kepentingan. Sedangkan di Jepang Lembaga yang memiliki kewenangan Pembina birokrasi yakni sebuah Lembaga independen yakni NPA (national personnel authority) sehingga adanya sentralisasi kebijakan perekrutan daripada NPA dan pembinaannya akan lebih terstruktur dan jelas satu arah. NPA pun berwenang untuk menilai dan menjaga kenetralitasan PNS-nya karena kewenangannya terbatas pada jabatan karier dan non-partisan dan berbeda dengan Indonesia seperti adanya Kenaikan Pangkat Otomatis berdasarkan unsur senioritas dan pengabdian yang bisa diukur secara subjektif dan Pengisian Jabatan Tinggi yang memiliki tendensi adanya unsur kepentingan.

Volume 10, Nomor 1, Juli 2020 | Juris LK2 FHUI


82Â

Maka dari itu di Indonesia perlu melakukan reformasi administrasi yang ajeg untuk pembenahan yang lebih baik. Sebagaimana yang dinyatakan Caiden, reformasi administrasi adalah adanya perubahan administrative dalam arti sesuatu yang dibuat sebagai upaya untuk menghadapi resistensi (perlawanan atas suatu perubahan itu sendiri dan menurut Yehezkel Dror menyatakan reformasi administrasi adalah perubahan yang terencana dengan aspek utamanya yakni administrasi.23 Dalam konstruksi yang lebih luas menurut Bintoro Tjokroamidjojo reformasi adalah sebuah sistem dan budaya politik yang paternal, otokratik, monolitik, sentralistik dengan regimentasi dam adanya intervensi pemerintah yang distorsif (KKN) ke arah sebuah sistem dan budaya politik yang lebih terbuka, egaliteran, demokratis dengan pemeran utama ekonomi adalah masyarakat dalam sistem pasar.24 Demikian itu adanya PNS adalah untuk melayani kebutuhan public yang prima. Sebagai bentuk balancing dari manajemen ASN/PNS maka dibentuklah suatu Lembaga non struktural mandiri dan bebas dari intervensi politik yaitu Komisi ASN (KASN) untuk menjalankan kewenangan monitoring dan evaluasi kebijakan dan manajemen ASN dengan memastikan sistem merit dan pengawasan diterapkan dengan baik.25 KASN mempunyai fungsi dalam pengawasan pelaksanaan norma dasar, kode etik dan kode perilaku ASN dan penerapan sistem merit pada suatu kebijakan dan manajemen ASN. Untuk menelaah patologi dalam birokrasi yang terjadi pada aparatur maka harusnya ditelaah dari dogma organisasi otoritas tradisional yakni managing, organizing dan controlling dan menjadi dogma yang diaktualisasikan dalam nilai, visi dan karakter atau attitude. Dalam menyukseskan pola pembinaan dan karir PNS BKN dan LAN, KASN dan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara bisa berkoordinasi untuk melakukan transformasi training dengan basis human capital management seperti e-learning, ementoring, e-coaching, blended learning, problem solving, action learning, on the job training, culture change, community of practice dalam mendukung internalisasi Revolusi 4.0 sehingga mencapai titik kulminasi yang diharapkan. Human capital theory 23

Zauhar Soesilo, Reformasi Administrasi: Konsep Dimensi dan Strategi, (Bandung: Bumi Aksara, 1996), hlm 89. 24 H Bintoro Tjokroamidjojo, “Reformasi Administrasi Public,� (Tesis Pendidikan Magister Ilmu Administrasi Program Pascasarjana Universitas Krinadwipayana Jakarta, 2009), hlm 69. 25 Indonesia, Undang-Undang Aparatur Sipil Negara, Ps. 30.

Volume 10, Nomor 1, Juli 2020 | Juris LK2 FHUI


83

menyatakan bahwa organisasi merupakan hal penting yang melihat manusia sebagai aset yang penting sebagai investasi masa depan sehingga pembinaannya harus dilakukan pada tataran bawah sekalipun. Selain untuk efisienan, mekanisme ini juga mendorong PNS daerah mendapatkan aksesibilitas yang sama tanpa penyerapan anggaran untuk birokrasi yang besar yang habis karena biaya konsumsi dan transportasi PNS (biaya birokrasi). Mekanisme ini juga mendorong para PNS untuk melek terhadap perubahan paradigma global di masa distruptif ini. Sejalan dengan pandangan Rivai, Pendidikan dan pelatihan difokuskan untuk meningkatkan produktivitas kerja aparatur dengan menyediakan pembelajaran mengenai keahlian yang sesuai dengan bidang kerjanya dan dapat membantu agar membantu peningkatan dan memperbaiki kekurangan dalam kinerja aparatur.26 Penyelenggaraan training berbasis paper atau text book konvensional tidaklah relevan dengan masa sekarang dengan perkembangan revolusi industri 4.0 dan di era disruptif. Diskursus mengenai corporate university (CU) muncul bersamaan dengan pandangan A Smith yang mengatakan CU merupakan ide dalam pembelajaran dan penciptaan pengetahuan formal dan dari proses suatu organisasi sehingga berfokus pada strategi penciptaan dan manajemen pengetahuan pada seluruh aspek organisasi.27 Adapun menurut Fresina mengatakan CU memiliki kontribusi yakni ”depending on the purpose of the corporate university three prototypes can be distinguished. depending on their strategy and environment organizations should choose the right prototype.28 Di lain sisi ini mendukung program e-government yang diterapkan secara institusional kementerian atau Lembaga atau badan karena adanya tuntutan dari masyarakat untuk pertama: menerapkan smart government dengan optimalisasi penggunaan teknologi dan digitalisasi, kedua penerapan open government yang mana output ASN dapat dipublikasikan dan diketahui public sehingga dampaknya dapat dirasakan langsung oleh masyarakat, ketiga dalam big data driven policy pemerintah dapat menerima aspirasi 26

Rivai, Veitzal, Ella Jauvani Sagala, Manajemen Sumber Daya Manusia Dari Teori ke Praktik, (Jakarta: Pt Raja Grafindo Persada, 2009), hlm. 219. 27 Ayuningtyas H G, Anggadwita A.N.G. dan Putri M. K., “The Corporate University Landscape In Indonesia,” (Atlantis Press 3rd International Seminar And Conference On Learning Organization Isclo 2015), hlm. 9. 28 Assen Daan, “Corporate Universities: Making A Strategic Contribution By Enchancing Absorptive Capascity”, Working Paper, Atrivision, Amesfoort, The Netherlands, Faculty Of Behavioural Sciences, University Of Twente, Enchede, The Netherlands P.O.Box 217 7500 Ae Enschede The Netherlands D.T.Asses@Utwente.Nl (2010), hlm. 54.

Volume 10, Nomor 1, Juli 2020 | Juris LK2 FHUI


84Â

masyarakat dan memberikan layanan kepada masyarakat, keempat cultural shofting atau pergeseran budaya oleh zaman.29 Dalam proses internalisasi system baru sangat sulit dilakukan namun bukan berarti tidak bisa. BKN dapat membentuk satuan kerja sub-koordinasi untuk melakukan pembelajaran berbasis smart learning sehingga transfer knowledge bisa dilakukan dan terdistribusikan dengan baik. Smart learning dalam CU memadukan atau blended learning antara praktik dan pembelajaran konvensional dan pemanfaatan teknologi menjadi media untuk efektifitas belajar. Sebagaimana yang dilakukan oleh kementrian keuangan yakni

Sumber: Kementerian Keuangan Republic Indonesia BKN, LAN, Menpan dan KASN merupakan motor penggerak dari proses pembinaan dan karir ASN termasuk PNS dalam jabatan struktural dan atas peran stakeholder terkait sekaligus bisa mempresentasikan peran strategis pimpinan terkait. BKN dan LAN dapat menjadi fasilitator dari pengembangan kemitraan Bersama lembaga pembelajaran untuk memberikan intervensi pengembangan dalam suatu organisasi dan diharapkan kerjasama lintas sektor dapat meningkatkan kapasitas sumber daya manusia yang berkontinuitas.

29 Assen Daan, “Corporate Universities: Making A Strategic Contribution By Enchancing Absorptive Capascity�, Working Paper, Atrivision, Amesfoort, The Netherlands, Faculty Of Behavioural Sciences, University Of Twente, Enchede, The Netherlands P.O.Box 217 7500 Ae Enschede The Netherlands D.T.Asses@Utwente.Nl (2010), hlm. 54.

Volume 10, Nomor 1, Juli 2020 | Juris LK2 FHUI


85

III. PENUTUP Pada dasarnya adanya suatu proses dalam menginternalisasikan nilai atau sistem baru sangatlah susah karena dibutuhkan sikap terbuka dari para PNS untuk menerima dan menerapkan. Adanya kenaikan pangkat otomatis PNS dalam Jabatan Struktural menimbulkan konsekuensi pada degradasi kualitas PNS dalam jabatan selanjutnya karena dasar perhitungan pada limitasi waktu tidak dengan kualitasnya dan dalam pengangkatan PNS Dalam Jabatan Tinggi pun juga menimbulkan permasalahan dengan adanya conflict of interest institusi perekrut sehingga loyalitas saja tidak cukup sebagai dasar, dan membutuhkan kapabilitas yang mumpuni dan memiliki attitude yang baik. Adanya pola pembinaan karier yang dihadirkan mampu menjadi reformulasi kebijakan reformasi birokrasi nasional sehingga pelayanan public dapat tercapai dan tujuan pembangunan diselenggarakan secara konsisten. Selain itu untuk mendukung kesiapan PNS dalam Jabatan Struktural untuk menerima nilai baru Revolusi 4.0 maka secara bertahap transformasi administrasi dan upaya eskalasi PNS dapat dijalankan dengan pemanfaatan teknologi yang semakin masif di era disruptif ini salah satunya penerapan Corporate University. Kebijakan pola pembinaan karir semestinya diimplementasikan secara masif terhadap PNS dalam jabatan struktural di seluruh instansi pemerintah sehingga adanya pedoman pengembangan PNS yang sejalan dengan proses meristokrasi.

Volume 10, Nomor 1, Juli 2020 | Juris LK2 FHUI


86

DAFTAR PUSTAKA Buku Lumbantoruan, Magdalena. Ensiklopedia Ekonomi, Bisnis dan Manajemen. Jakarta: Cipta Adi Pustaka, 1992. Rivai, Veitzal. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: Raja Grapindo Persada, 2004. Rivai, Veitzal. Ella Jauvani Sagala, Manajemen Sumber Daya Manusia dari Teori ke Praktik. Depok: PT Raja Grafindo Persada, 2009. Soesilo, Zauhar. Reformasi Administrasi: Konsep Dimensi dan strategi. Bandung: Bumi Aksara, 1996.

Jurnal atau Majalah Assen Daan. “Corporate Universities: Making A Strategic Contribution By Enchancing Absorptive Capascity.” Working Paper, Atrivision, Amesfoort, The Netherlands, Faculty Of Behavioural Sciences,University Of Twente, Enchede The Netherlands (2010). Rosenbloom, David. “Public Administration:Under Standaing Management, Politics And Law In The Public Sector.” Mcgraw-Hill Book,Co. (2005).

Skripsi, Tesis atau Disertasi Tjokroamidjojo, Bintoro. “Reformasi Administrasi Public Pendidikan Magister Ilmu Administrasi.” Disertasi Program Pascasarjana Universitas Krinadwipayana. Jakarta, 2001.

Makalah Ayuningtyas H G, Anggadwita A.N.G. dan Putri M. K.. “The Corporate University Landscape In Indonesia.” (The 3rd International Seminar And Conference On Learning Organization, Atlantis Press 2015).

Volume 10, Nomor 1, Juli 2020 | Juris LK2 FHUI


87

Peraturan Perundang-Undangan Indonesia. Peraturan Pemerintah Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil dalam Jabatan Struktural. PP No. 100 Tahun 2000. LN No.197 Tahun 2000. Indonesia. Undang-Undang Aparatur Sipil Negara. UU No. 5 Tahun 2014. LN No.6 Tahun 2014. Indonesia. Undang-Undang Pokok- Pokok Kepegawaian. UU No. 43 Tahun 1999. LN No.169 Tahun 1999.

Internet Anonim, “Inkonsistensi Reformasi Birokrasi,” Https://Harianandalas.Com/KanalEditorial/Inkonsistensi-Reformasi-Birokrasi. Diakses 27 Maret 2020. Anonim,

“Tingkatan

Manajemen.”

Diakses

Melalui

Laman

Https://Jurnalmanajemen.Com/Tingkatan-Manajemen/. Diakses 27 Maret 2020. Anggoro,

Bayu.

ASN

“Kualitas

Masih

Rendah.”

Https://Mediaindonesia.Com/Read/Detail/96192-Kualitas-Asn-Masih-Rendah. Diakses 27 Maret 2020. Deny,

Septian.

“Kenaikan

Gaji

PNS

di

2019

Bakal

Bebani

APBN.”

Https://Www.Liputan6.Com/Bisnis/Read/3622836/Kenaikan-Gaji-Pns-Di-2019Bakal-Bebani-Apbn. Diakses pada 27 Maret 2020. Fauzi, Achmad. “BKN Berlakukan Sistem Kenaikan Pangkat Otomatis Bagi PNS.” Https://Www.Wartaekonomi.Co.Id/Read57150/Bkn-Berlakukan-SistemKenaikan-Pangkat-Otomatis-Bagi-Pns. Diakses 25 Maret 2020. Humas

BKN.

“Tingkat

Pendidikan

ASN

Indonesia.”

Www.Bkn.Go.Id,Https://Www.Google.Com/Search?Q=Tingkat+Pendidikan+As n+Indonesia+2019&Oq=Tingkat+Pendidikan+Asn+Indonesia+2019&Aqs=Chro me..69i57l2.6307j0j7&Sourceid=Chrome&Ie=Utf-8

Volume 10, Nomor 1, Juli 2020 | Juris LK2 FHUI


88

Humas MenpanRB. “Ukuran Kinerja Instansi bukan lagi Penyerapan Anggaran.” Https://Www.Menpan.Go.Id/Site/Berita-Terkini/Ukuran-Kinerja-InstansiBukan-Lagi-Penyerapan-Anggaran. Diakses 27 Maret 2020. Kamus Besar Bahasa Indonesia. “Arti Kata Profesionalisme.” Https://Jagokata.Com/ArtiKata/Profesionalisme.Html. Diakses 24 Maret 2020. Media

Indonesia.

“ICW:

ASN

Terbanyak

lakukan

Korupsi

Pada

2019.”

Https://Mediaindonesia.Com/Read/Detail/290964-Icw-Asn-Terbanyak-LakukanKorupsi-Pada-2019. Diakses 24 Maret 2020. Nathaniel, Felix. “Politik Turun Temurun dalam Lingkaran Oligarki Jokowi.” Https://Tirto.Id/Politik-Turun-Temurun-Dalam-Lingkaran-Oligarki-JokowiEmvh. Diakses 18 Maret 2020. Nursyabani, Fira. “LAN: 37% ASN tak Miliki Latar Belakang Sesuai Kompetisi.” https://www.google.com/amp/s/amp.ayobandung.com/read/2019 /11/18/70543/lan-37-asn-takmiliki-latar-belakang-sesuai-kompetisi. Diakses 27 Maret 2020. Paath,

Carlos

KY.

“Jumlah

ASN

di

Indonesia.”

Https://Www.Beritasatu.Com/Nasional/515506-Jumlah-Asn-Di-Indonesia4351490-Orang.Html. Diakses 27 Maret 2020.

Volume 10, Nomor 1, Juli 2020 | Juris LK2 FHUI


89

BIODATA PENULIS Penelitian ini disusun oleh Dara Salsabila mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Angkatan 2017 dengan Program Kekhususan Hukum Administrasi Negara. Penulis memiliki ketertarikan di bidang ilmu HAN, lingkungan, dan Keuangan Negara. Penulis saat ini aktif sebagai Wakil Ketua Badan Audit Mahasiswa Kema Unpad dan menjadi Junior Assistant di Padjadjaran Jurnal Ilmu Hukum. Sebelumnya penulis aktif sebagai Kepala Biro Pengembangan Padjadjaran Law and Research Society dan Sekretaris Umum Lembaga Pengkajian dan Pengabdian Masyarakat Demokratis Unpad.

Volume 10, Nomor 1, Juli 2020 | Juris LK2 FHUI


90Â

MENANTI UNDANG-UNDANG KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI SEBAGAI UPAYA PENUNTASAN PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA BERAT DI MASA LALU Oleh: Aditya Nurahmani, S.H. Fakultas Hukum, Universitas Padjadjaran Jalan Raya Bandung-Sumedang KM, 21, Hegarmanah, Kecamatan Jatinangor, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat. Telepon: 0895361064451 || email: adityanurahmani98@gmail.com Abstrak Upaya negara dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu dimanifestasikan dengan membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi melalui Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004. UU tersebut selanjutnya dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi untuk seluruhnya karena dinilai tidak lagi sesuai dengan tujuan pembentukannya. Sebagai respon, MK memerintahkan untuk membentuk kembali UU KKR baru yang sesuai dengan konstitusi termasuk hukum HAM Internasional. Dengan menggunakan metode normatif, Penulis melihat bahwa terdapat urgensi untuk menerbitkan kembali UU KKR yang konstitusional sebagai salah satu upaya dalam penuntasan pelanggaran HAM di masa lalu. Oleh karena itu proses penyelesaian pelanggaran HAM berat di masa lalu bukan hanya mengandalkan penerapan hukum pidana, tetapi juga melihat akar lahirnya persoalan kejahatan ini dari persoalan sosial.

Kata Kunci: komisi kebenaran rekonsiliasi, konstitusional, pelanggaran HAM berat, pembentukan undang-undang. Waiting for Law Commission on the Truth and Reconciliation in Indonesia, as an Effort to Resolve Human Rights Violations in the Past

Volume 10, Nomor 1, Juli 2020 | Juris LK2 FHUI


91

Abstract The effort of the state in resolving obsolete human rights violations cases manifested by forming Truth and Reconciliation Commission Through Law Number 27 of 2004. The law was canceled by the Constitutional Court because the law is considered no longer in accordance with the purpose of its formation. Nevertheless, the Constitutional Court instructed to re-establish a new Truth and Reconciliation Law in accordance with the constitution and international human rights law. By using normative method, the author sees the urgency to re-establish a new Truth and Reconciliation Law in Indonesia as an effort to resolve human rights violations in the past, not only rely on the implementation of criminal law but also look at the root of this crime from social approach. Keywords: truth and reconciliation commission, constitutional, human rights violations, legislation.

Volume 10, Nomor 1, Juli 2020 | Juris LK2 FHUI


92

I. PENDAHULUAN Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat di masa lalu selalu menjadi problematika yang belum terselesaikan dari berbagai rezim pemerintahan yang berkuasa. Janji-janji kampanye oleh setiap rezim pemerintahan untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu selalu berakhir dengan imajinasi tanpa realisasi. Sebut saja pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang berjanji untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu sebelum berakhir masa jabatanya sebagai Presiden Republik Indonesia periode ke-2 (Dua) tahun 2014,1 namun hasilnya nihil sampai beliau selesai menjabat. Setelah rezim SBY berakhir, Joko Widodo pada kampanye 2014 datang dengan sebuah harapan segar. Beliau lantang menyuarakan penuntasan pelanggaran HAM berat di masa lalu. Pada saat proses kampanye Pemilu 2014, Jokowi-JK menjanjikan terwujudnya sembilan agenda prioritas. Sembilan program tersebut disebut sebagai Nawacita. Salah satu poin dari Nawacita Jokowi, ditegaskan dalam poin nomor 4 (empat) yang mana fokus Jokowi-JK dalam Nawacita-nya adalah mengenai Penegakkan Hukum dan HAM. Bentuk penjabaran dari penegakan hukum tersebut adalah penghormatan HAM dan penyelesaian secara berkeadilan terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM pada masa lalu.2 Namun sampai saat ini belum terdapat titik terang terkait dengan penyelesaian kasus pelanggaran HAM di masa lalu. Beberapa kasus pelanggaran HAM yang selalu menjadi pekerjaan rumah dan tidak pernah terselesaikan, diantaranya, Kasus Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II, kasus Mei 1998, Kasus Petrus 1997-1998, Kasus Wasior (Juni 2001-Oktober 2002), Wamena (2003), Kasus Talangsari 1989 dan lain-lain. Dari banyaknya kasus dugaan pelanggaran HAM berat, belum ada tindak lanjut oleh kejaksaan Agung hingga saat ini. Hanya beberapa yang telah dibawa ke Pengadilan HAM. Sebut saja Kasus Timor Timur tahun 1999, hasil penyelidikan telah diserahkan kepada Kejaksaan Agung pada tahun 2000. Kasus ini telah disidik dan diperiksa pengadilan dan sampai tingkat Kasasi. Satu

1 Berita Satu, “SBY Janji Selesaikan Kasus HAM Sebelum 2014” https://www.beritasatu.com/nasional/35457/sby-janji-selesaikan-kasus-ham-sebelum-2014, diakses 7 Maret 2020. 2 Visi Misi dan Program Aksi Jokowi – JK 2014-2019. pdf. hlm 7-9.

Volume 10, Nomor 1, Juli 2020 | Juris LK2 FHUI


93

terdakwa dinyatakan bersalah. Namun kasus lainnya berdasarkan catatan Komnas HAM belum terungkap bahkan cenderung semakin terabaikan.3 Beberapa upaya yang dilakukan oleh pemerintah dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM di masa lalu salah satunya adalah melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang dituangkan kedalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004. Namun Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Putusan bernomor 006\/PUU-IV\/2006 menyatakan UU tersebut tidak berlaku lagi, karena dianggap bertentangan dengan UUD 1945.4 MK berargumen bahwa pasal yang dibatalkan merupakan pasal yang merupakan jantung dari tujuan UU KKR. Dengan pembatalan pasal ini maka KKR tidak lagi bisa menjadi tujuannya, sehingga UU KKR perlu dibatalkan secara keseluruhan. Diantara pertimbangan Mahkamah mengenai pemberian amnesti kepada pelaku, dan penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu yang “seolah” terjadi tawar menawar dengan pelaku, karena adanya prasyarat rekonsiliasi atau penyelesaian pelanggaran HAM yang berat dilakukan setelah adanya amnesti kepada para pelaku, klausul-klausul tersebut juga dianggap bertentangan dengan hukum hak asasi manusia internasional, hukum humaniter, dan bertentangan dengan prinsip-prinsip terkait hak-hak korban.5 MK kemudian merekomendasikan untuk membentuk UU KKR baru sesuai dengan UUD 1945, hukum humaniter dan hukum hak asasi manusia internasional. Dalam perjalanannya, meskipun konstitusionalitas dan urgensi KKR telah ditegaskan MK dengan begitu terang benderang, serta mendapat dukungan internasional yang tidak sedikit, namun perkembangan pembentukan kembali UU KKR tampak sangat tertatih-tatih. Empat belas tahun pasca dibatalkan MK, RUU KKR yang diajukan belum kunjung disahkan. Jangankan untuk disahkan, masuk ke dalam Prolegnas prioritas saja sulit untuk dilakukan. RUU KKR hanya dimasukkan dalam daftar program legislasi nasional 2007-2010, selanjutnya pada tahun 2010-2014, dan pada tahun 2015-2019 tanpa

3

Komnas HAM, “Ringkasan Eksekutif Laporan Penyelidikan Pelanggaran HAM yang Berat Peristiwa Simpang KAA Aceh Oleh Komnas HAM,” https://www,komnasham.go.id/index/php/hamberat/2016/09/29/2/ringkasan-eksekutif-laporanpenyelidikan-pelanggaran-ham-yang-berat-peristiwa-kaa-aceh.html, diakses 6 Maret 2020. 4 Fajar, “MK Cabut UU Komisi kebenaran dan Rekonsiliasi,” https://news.detik.com/berita/d717368/mk-cabut-uu-komisi-kebenaran-dan-rekonsiliasi, diakses 8 Maret 2020. 5 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Putusan No. 006/PUU-IV/2006 pengujian UndangUndang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonslisiasi, hlm. 25.

Volume 10, Nomor 1, Juli 2020 | Juris LK2 FHUI


94

ada pembahasan sama sekali.6 Padahal pembentukkan UU KKR dinilai sebagai solusi dan menunjukkan adanya kesadaran bersama sebagai bangsa, bahwa pada masa lalu telah terjadi penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran hak asasi manusia yang perlu untuk diungkapkan demi menegakkan kebenaran. Namun belum ada political will secara konkret dari setiap rezim pemerintahan untuk merealisasikan hal tersebut.7 Berangkat dari latar belakang diatas, perlu dibahas secara lebih komprehesif mengenai urgensi keberadaan Undang-Undang KKR serta impilkasi penerapanya bagi penuntasan pelanggaran HAM berat di masa lalu. Atas dasar tersebutlah penulis menuangkan tulisan yang berjudul “Menanti Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi sebagai Upaya Penuntasan Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat di Masa Lalu.” Adapun rumusan masalah yang hendak dijawab adalah: 1) Bagaimana urgensi pembentukkan kembali Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang konstitusional sebagai salah satu upaya penuntasan pelanggaran HAM berat di masa lalu? 2) Bagaimana konsep Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang konstitusional sebagai salah satu upaya penuntasan pelanggaran HAM berat di masa lalu?

A. Metode Penelitian Artikel ini menggunakan metode penelitian normatif yaitu penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah atau norma dalam hukum positif. Metode ini menggunakan bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Jenis penelitian yang digunakan termasuk ke dalam penelitian deskriptif analitis, yaitu jenis penelitian yang bekerja dengan cara mengumpulkan data, fakta, serta analisis dari hasil penelitian yang bertujuan memperoleh gambaran guna mendukung argumentasi hukum secara

6

DPR RI, “Program Legislasi Nasional Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia,” http://www.dpr.go.id/uu/prolegnas, diakses 9 Maret 2020. 7 Ali Abdurahman & Mei Susanto, “Urgensi Pembentukan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Indonesia Dalam Upaya Penuntasan Pelanggaran HAM Berat di Masa Lalu,” Padjadjaran Jurnal Ilmu Hukum (Juli 2016), hlm. 519.

Volume 10, Nomor 1, Juli 2020 | Juris LK2 FHUI


95

sistematis dan terstruktur.8 Adapun teknik analisis data penelitian hukum normatif dengan cara data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif kualitatif yaitu analisis terhadap data yang tidak bisa dihitung. Hasil analisis bahan hukum kemudian diinterpretasikan menggunakan metode interpretasi sistematis dan teologis.9

II. PEMBAHASAN A. Pelanggaran HAM Berat Dalam Konteks Hukum Pidana Pengertian pelanggaran HAM berat, di dalam The U.S Restatement of Law dinyatakan bahwa suatu pelanggaran HAM dianggap “berat” apabila pelanggaran tersebut secara luar biasa menimbulkan keguncangan karena begitu pentingnya hal yang dilanggar atau beratnya pelanggaran. Pelanggaran HAM berat termasuk pula dalam kategori extra ordinary crime berdasarkan dua alasan, yaitu:10 1. pola tindak pidana yang sangat sistematis dan dilakukan oleh pihak pemegang kekuasaan; 2. kejahatan tersebut sangat mencederai rasa keadilan secara mendalam (dilakukan dengan cara-cara yang mengurangi atau menghilangkan derajat kemanusiaan). Kebijakan Pengaturan terhadap HAM dalam Hukum Pidana nasional dapat dilihat dari aspek politik hukum maupun dari politik kriminal. Dilihat sebagai bagian dari politik hukum, maka politik hukum pidana mengandung arti, bagaimana mengusahakan atau membuat dan merumuskan suatu perundang-undangan pidana yang baik.11 Terdapat dua masalah sentral dalam kebijakan kriminal dengan menggunakan sarana penal (hukum pidana) ialah masalah penentuan:12

8 Prof. Mr. Dr. LJ. Van. Apeldoorn, Meuwissen tentang Pengembangan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum dan Filsafat Hukum [Van Apeldoorn’s Inleiding Tot De Studie Van Het Nederlandsche Recht], diterjemahkan oleh B. Arief Sidharta (Bandung: PT Rafika Aditama, 2003), hlm. 56-57. 9 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, ed.1, cet.10 (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), hlm. 13. 10 Dina Septiani, “Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Dalam Pemenuhan Hak-Hak Korban Pelanggaran HAM Berat di Daerah”, (Skripsi Sarjana Universitas Pasundan, Bandung, 2011) hlm. 63. 11 Prof. Dr. Barda Nawawi Arief, S.H., Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, ed.2, cet.6 (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996), hlm. 28. 12 Ibid., hlm. 32.

Volume 10, Nomor 1, Juli 2020 | Juris LK2 FHUI


96

1.

Perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana, dan

2.

Sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada pelanggar.

Kebijakan penanggulangan kejahatan dapat dilakukan melalui dua pendekatan yaitu pendekatan penal (penerapan hukum pidana) dan pendekatan non penal (pendekatan di luar hukum pidana). Integrasi kedua pendekatan ini disyaratkan dan diusulkan dalam United Nations Congress on The Prevention of Crime and The Treatment of Offenders. Hal ini dilatarbelakangi bahwa kejahatan adalah masalah sosial dan masalah kemanusiaan. Oleh karenanya upaya penanggulangan kejahatan tidak hanya dapat mengandalkan penerapan hukum pidana semata, tetapi juga melihat akar lahirnya persoalan kejahatan ini dari persoalan sosial, sehingga kebijakan sosial juga sangat penting dilakukan.13 Rekonsiliasi tampak lebih bermakna dalam kajian psikologi sosial politik. Hal ini dilakukan agar menjamin masyarakat nasional atau internasional terbebas dari kekerasan politik yang berlanjut. Rekonsiliasi dengan demikian adalah kesediaan untuk memaafkan atau melupakan demi penciptaan tatanan politik yang demokratis di masa depan.14 Terkait dengan stabilitas tatanan demokrasi sebagai tujuan akhir yang diharapkan, Carlos S. Nino dalam jurnal “The Duty to Punish Past Abuses of Human Rights Put Into Context The Case of Argentina”. Beliau mengatakan:15 …… But prosecutions may have some limit and must be counter balanced with the aim of preserving the democratic system. This last caveat is all the more sensible once we realize that the preservation of the democratic system is a prerequisite of those very prosecutions and the loss of it is a necessary antecedent to massive violation of human right.” Dibalik tuntutan pidana, harus diimbangi dengan tujuan untuk mempertahankan persatuan dan kesatuan. Kesediaan untuk memaafkan diwujudkan demi penciptaan tatanan politik yang demokratis. Hal inilah yang terkait dengan konsep rekonsiliasi. Selain mengungkapkan kebenaran terkait dengan pelanggaran HAM berat di masa lalu, 13 Laras Astuti, “Penegakan Hukum Pidana Indonesia Dalam Penyelesaian Pelanggaran Hak Asasi Manusia,” Jurnal Kosmik Hukum (Juni 2016), hlm. 110. 14 Ifdhal Kasim, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat , “Apakah Komisi dan Kebenaran Rekonsiliasi itu”, 2000. hlm. 6. 15 Carlos S. Nino, “The Duty to Punish Past Abuses of Human Rights Put Into Context: The Case of Argentina,” The Yale Law Journal, hlm. 2620.

Volume 10, Nomor 1, Juli 2020 | Juris LK2 FHUI


97

juga dilakukan upaya reintegrasi sosial melalui upaya rekonsiliasi agar tidak terjadi perpecahan dan tuduh menuduh berkepanjangan.

B. Urgensi Pembentukan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Diskusi mengenai definisi Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi sebetulnya tidak ada definisi yang dapat diterima secara umum. KKR merupakan penamaan umum terhadap komisi-komisi yang dibentuk pada situasi transisi politik dalam rangka menangani pelanggaran berat atau kejahatan HAM di masa lalu. Di Indonesia, berdasarkan Undang-Undang KKR disebutkan bahwa KKR adalah lembaga independen yang dibentuk untuk mengungkapkan kebenaran atas pelanggaran hak asasi manusia yang berat dan melaksanakan rekonsiliasi.16 Berdasarkan hasil riset terdapat kurang lebih 20 KKR di berbagai negara yang mempunyai nama, wewenang yang berbeda satu sama lain.17 KKR di berbagai negara sebagaimana dimaksud, misalnya sebagai berikut:18 Afrika Selatan (1983 – 1985)

Komisi kebenaran dan rekonsiliasi (South African Truth and Reconciliation Commission/TRC)

Menginvestigasi rezim apartheid

30

tahun

Chili (1990-1991)

Komisi Nasional untuk Kebenaran dan Rekonsiliasi (Chilean National Commission on Truth and Reconciliation)

Laporan ekstensif mendokumentasikan 2.100 kasus, apparatus represi di analisi, banyak rekomendasi untuk reparasi dan rehabilitasi.

Argentina 1983-1985

Komisi untuk penghilangan paksa (Enforced Disappearance Commission)

Laporan Nunca mas didokumentasikan, hampir 9.000 orang yang di hilangkan, aparatus represi dianalisis

Tabel. 1 Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Berbagai Negara

16

Indonesia, Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, UU No. 27 Tahun 2004, LN No 114 Tahun 2004, TLN No. 4429, Ps. 1 ayat (3) 17 Susanto, Urgensi Pembentukan, hlm. 512. 18 Daan Bronkhorst, “Truth and Reconciliation: Obstacles and Opportunities for Human Rights. Amnesty International�, Amsterdam, 1995 sebagaimana diakses dari Kasim, Apakah Komisi, hlm. 12-15.

Volume 10, Nomor 1, Juli 2020 | Juris LK2 FHUI


98

Pembentukan KKR di Indonesia berangkat dari amanat Ketetapan MPR No. V/MPR/2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional pada pokoknya mengamanatkan untuk mengidentifikasi permasalahan yang ada, menentukan kondisi yang harus diciptakan dalam rangka menuju kepada rekonsiliasi nasional dan menetapkan arah kebijakan sebagai panduan untuk melaksanakan pemantapan persatuan dan kesatuan nasional.19 Ketetapan ini belum dilaksanakan seluruhnya, sehingga TAP MPR No. V/MPR/2000 masih berlaku. TAP ini mengamanatkan agar dibentuk sebuah komisi yang dinamakan dengan Kebenaran dan Rekonsiliasi Nasional.20 Pada tahun 2004 memang telah dibentuk UU Nomor 27 Tahun 2004 mengenai KKR. Namun secara praktek keberadaan KKR ini dinilai menyimpang yaitu terkait dengan amnesti, pemberian kompensasi yang digantungkan pada amnesti, dan sifat substitutif mekanisme KKR atas pengadilan. Ketidakjelasan dan ketidaksempurnaan konsep atas tiga materi tersebut dikhawatirkan akan berimplikasi pada hilangnya kerangka hukum bagi narasi korban, sehingga terbuka kembali ruang pengingkaran tanggung jawab negara atas kekerasan masa lalu.21 Selain itu, materi-materi di dalam undang-undang tersebut juga telah kehilangan roh pengungkapan kebenaran dan memungkinkan keberlangsungan praktik impunitas. Ternyata kekhawatiran tersebut terbukti setelah dibatalkan oleh MK.22 Cacatnya Undang-Undang KKR inipun sebetulnya disadari oleh Sidarto Danusubroto yang merupakan Ketua Pansus RUU KKR ketika itu. Dimana terdapat sejumlah penolakan terhadap keberadaan Pasal 27 yang disampaikan oleh para korban pelanggaran HAM berat dan sejumlah Lembaga Bantuan Hukum. Namun karena konstelasi politik pada waktu itu membuat fraksi di DPR mempertahankan rumusan Pasal 27. Hal ini dikatakan dalam proses perumusan ketika itu bahwa “lebih baik

19 Indonesia, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional, TAP MPR No No. V/MPR/2000, Ps. 3 ayat (1). 20 Indonesia, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Tentang Peninjauan Terhadap Materi Dan Status Hukum TAP MPR/S Republik Indonesia Tahun 1960 Sampai Dengan Tahun 2002. TAP MPR Nomor Nomor I/Mpr/2003, Lampiran, BAB V Kaidah Pelaksanaan. 21 Lembaga Studi & Advokasi Masyarakat (Elsam), Policy Brief, “Mendorong Pembentukan Kembali Komisi Kebenaran dan Rekonsilisasi,” http://advokasi.elsam.or.id/assets/2015/09/00000000_Polivy-Brief_Mendorong-pembentukan-kembaliUU-KKR.pdf, diakses 5 Maret 2020. 22 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Putusan No. 006/PUU-IV/2006, hlm. 131.

Volume 10, Nomor 1, Juli 2020 | Juris LK2 FHUI


99

Undang-Undang ini lahir dengan agar “cacat” daripada tidak sama sekali”.23 Hal inilah yang menunjukan bahwa pembentukan Undang-Undang ini sebetulnya penting untuk dilakukan, namun tidak sepenuhnya memperhatikan aspirasi dan substansi yang ideal, sampai pada akhirnya Undang-Undang ini dinyatakan cacat secara substansi. Pentingnya kehadiran Undang-Undang ini tidak ditindaklanjuti dengan political will untuk membahas ulang Undang-Undang KKR yang konstitusional. Hal ini ditunjukan bahwa empat belas tahun pasca dibatalkan oleh MK, Undang-Undang KKR belum juga ditindaklanjuti. Berlarut-larutnya pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, telah berimplikasi pada tertundanya keadilan (delay justice) bagi para korban pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu:24 “Persons who individually or collectively suffered harm, including physical or mental injury, emotional suffering, economic loss or substantial impairment of their fundamental rights, through acts or omissions that constitute gross violations of international human rights law, or serious violations of international humanitarian law. Berlandaskan penjelasan tersebut, korban adalah orang yang secara individu atau kolektif menderita kerugian, termasuk cedera fisik atau mental, penderitaan emosional, kerugian ekonomi atau penurunan nilai substansial dari hak-hak fundamental mereka, melalui tindakan atau kelalaian yang merupakan pelanggaran berat hukum hak asasi manusia internasional, atau pelanggaran berat hukum humaniter internasional. Apabila kondisi ini dibiarkan, maka potensi konflik berkepanjangan memungkinkan terjadi. Terlebih kondisi ini akan berkelanjutan kepada turunan-turunan korban yang hidup. Oleh karenanya, KKR dinilai sebagai sebuah penyelesaian terhadap ketegangan inheren yang melekat dalam bentuk sebuah paradoks yaitu “menyelesaikan masa lalu dan menyelamatkan masa depan” dalam konstruksi persatuan dan kesatuan bangsa.25 Artinya

23

Keterangan Sidarto Danusubroto (Mantan Pansus RUU KKR) dalam pengujian Undang-Undang di Mahkamah Konstitusi bernomor 006\/PUU-IV\/2006 atas pengujian UU No. 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. 24 Perserikatan bangsa-Bangsa, Basic Principles and Guidelines on the Right to a Remedy and Reparation for Victims of Gross Violations of International Human Rights Law and Serious Violations of International Humanitarian Law, UNGA (2006), Poin.8. 25 Daniel Sparingga, “Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi: Penyelesaian atas Warisan Rejim Ororitarian dan Penyelamatan Masa Depan di Indonesia,” (Makalah Seminar Pembangunan Hukum Nasional VII, Badan Pembinaan Hukum Nasional, Juli 2003), hlm 9.

Volume 10, Nomor 1, Juli 2020 | Juris LK2 FHUI


100Â

pelanggaran HAM berat yang terjadi di masa lalu bisa menjadi pesan sejarah bagi generasi mendatang yakni future of never again. KKR yang nantinya diimplementasikan harus mampu memupuk sebuah kesadaran penting untuk belajar, agar pengalaman pahit di masa lalu tidak terjadi lagi di masa yang akan datang, terlebih ketika menyangkut hak-hak asasi manusia yang merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng, oleh karena itu harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi atau dirampas oleh siapapun. Tentu hal ini menjadi kewajiban dasar antara manusia yang satu terhadap yang lain dan terhadap masyarakat secara keseluruhan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara untuk menghormati hak asasi manusia.26 C. Dampak Tidak Adanya Undang-Undang KKR Di daerah yang rawan akan konflik seperti halnya Aceh, terdapat willing untuk membentuk KKR. Di Aceh sendiri, KKR merupakan lembaga yang dibentuk sesuai mandat nota kesepahaman (MOU) pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Helsinki, 15 Agustus 2005. Rencananya KKR Aceh akan mendengarkan kesaksian 600 orang penyintas dalam konflik Aceh, tetapi sebagai tahap pertama mereka mengundang empat belas orang. Diharapkan upaya mengungkap kebenaran dan rekonsiliasi yang diterapkan di Aceh, idealnya dapat berjalan seiring dengan upaya proses pengadilan yang dituntut Komnas HAM.27 Para pegiat HAM dan para penyintas di Aceh sejak awal menuntut pembentukan KKR, tetapi baru terbentuk secara resmi pada 2013 setelah DPR Aceh mengesahkan peraturan daerah (qanun) KKR. Pembentukan KKR tingkat lokal ini , menurut Kepala Biro Hukum Kementerian Dalam Negeri pada tahun 2013, Zudan Arif Fakhrulloh mengatakan, karena KKR Aceh merupakan bagian dari KKR di tingkat nasional, maka

26 Indonesia, Undang-Undang Hak Asasi Manusia, UU No. 39 Tahun 1999, LN No 165 Tahun 1999, TLN No. 3886, bagian menimbang. 27 BBC, “KKR Aceh mulai mendengarkan kesaksian korban dugaan pelanggaran HAM,� https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-46396048, diakses 6 Maret 2020.

Volume 10, Nomor 1, Juli 2020 | Juris LK2 FHUI


10

pembentukannya harus menunggu pengesahan Undang-Undang KKR.28 Namun di satu sisi, komitmen pemerintah tidak sejalan dengan fakta dilapangan, dimana political will pemerintah untuk membentuk KKR di tingkat pusat dipertanyakan. Hal ini dikarenakan KKR tingkat nasional termasuk dasar hukumnya (Undang-Undang) tidak pernah terbentuk sejak MK menolak UU KKR pada 2006 lalu. Kembali berbicara mengenai urgensi pembentukan kembali UU KKR. Pada tahun 2006, Di tengah keterlambatan pembentukan KKR Nasional, pemerintah menjanjikan kepada rakyat Aceh untuk membentuk KKR sebagai instrumen penyelesaian masalah HAM. Melalui UU No. 11 tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh, pasal 229 menyatakan bahwa “untuk menyelesaikan pelanggaran HAM di masa lalu di Aceh dibentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.” KKR yang dijanjikan untuk Aceh ini, merupakan bagian dari KKR Nasional.29 Kepincangan berikutnya dapat dilihat di dalam UU Pemerintahan Aceh, dalam aturan tersebut dikatakan bahwa KKR Aceh adalah bagian yang tidak terpisahkan dengan KKR Nasional.30 Hal tersebut diatur di dalam Pasal 229 UU Pemerintahan Aceh. Ketentuan yang termaktub di dalam Pasal 229 tersebut menegaskan bahwa KKR Aceh sebetulnya tidak dapat dipisahkan dari KKR yang bersifat nasional. Terlebih KKR Aceh harus berdasarkan peraturan perundang-undangan. Pertanyaanya, bagaimana mungkin KKR di tingkat nasional termasuk dasar hukumnya belum ada, sementara KKR di tingkat daerah berdiri sendiri-sendiri. Problematika lain yang akan dijumpai adalah KKR di tingkat daerah akan sulit dalam melaksanakan tugasnya tanpa adanya KKR di tingkat nasional yang dibentuk berdasarkan undang-undang. Kesulitan yang ada agar Qanun Aceh bersifat efektif dikarenakan ruang lingkup KKR Aceh hanya berlaku di tingkat provinsi, sehingga upaya untuk mengungkap kebenaran sebagai jalan menuju rekonsiliasi yang berada diluar Provinsi Aceh tetapi misalnya memiliki kaitan dengan kasus pelanggaran HAM di Aceh

28 BBC, “Kemendagri Pertanyakan KKR Aceh,” https://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2013/12/131227_kemendagri_pertanyakan_kkraceh, diakses 8 Maret 2020. 29 ELSAM Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, “Mendorong Pembentukan Kembali Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi,” Policy Brief (Juni 2014), hlm. 4. 30 Indonesia, Undang-Undang Pemerintahan Aceh, UU No. 11 Tahun 2006, LN No. 62 Tahun 2006, TLN No. 4033, Ps. 229 ayat (2).

Volume 10, Nomor 1, Juli 2020 | Juris LK2 FHUI


102Â

menjadi sulit dilakukan, mengingat daya laku aturan tersebut hanya mengikat di dalam Provinsi Aceh. Bukti lainnya kesulitan tersebut bisa kita jumpai dalam Pasal 10 Qanun KKR Aceh, dimana KKR Aceh memiliki kewenangan dapat mengakses sumber informasi yang diperlukan untuk penyelidikan dalam bentuk dokumen tertulis atau lisan yang berasal dari institusi pemerintah maupun non pemerintah,31 Menjadi pertanyaan jika institusi pemerintah yang dimaksud berada di pusat dan ternyata yang bersangkutan tidak bersedia menyerahkan informasi, apakah Qanun Aceh dapat memaksa instansi pemerintahan yang berada di Pusat. Hal inilah yang menjadi alasan, mengapa secara praktik Qanun Aceh tidak dapat menjadi dasar hukum yang kuat untuk memaksa keluar Aceh. Hal ini sejalan dengan teori dalam ilmu perundang-undangan yang menyebutkan bahwa suatu norma berlaku karena mempunyai validitas/daya laku/geltung. Menurut Maria Farida Indrati, daya laku ada apabila norma tersebut dibentuk oleh norma yang lebih tinggi.

32

Permasalahanya adalah, KKR di Aceh dibentuk tanpa adanya KKR Nasional berikut dasar hukumnya pasca dibatalkan MK. Sehingga atas landasan tersebut, KKR Aceh layak disebut antara ada dan tiada, ada karena memiliki dasar hukum secara kedaerahan, namun dikatakan tiada atau dikatakan mati suri karena sebetulnya tidak dapat efektif dilaksanakan.33

D. Meluruskan Konsep Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang Konstitusional 1. Meninjau Kembali Amanat Putusan Mahkamah Konstitusi Mahkamah

Konstitusi

dalam

Putusan

Nomor

006\/PUU-IV\/2006

menyatakan bahwa Undang-Undang KKR Inkonstitusional, Adapun Pasal yang dinyatakan Inkonstitusional adalah sebagai berikut:

31 Indonesia, Aceh, Qanun Aceh Tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh, UU No. 17 Tahun 2013, Lembaran Aceh No 17 Tahun 2013, Ps. 10. 32 Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-undangan, (Yogyakarta: PT Kanisius, 2007), hlm. 39. 33 Susanto, Urgensi Pembentukan, hlm. 526-527.

Volume 10, Nomor 1, Juli 2020 | Juris LK2 FHUI


10

a. Pasal 1 Angka 9 dan Pasal 27 UU KKR Mengenai Pemberian Amnesti Kepada Pelaku Pasal ini menentukan bahwa kompensasi dan rehabilitasi diberikan apabila permohonan amnesti dikabulkan. Ketentuan tersebut mensyaratkan, apabila pelaku mengakui kesalahan, mengakui kebenaran fakta-fakta, menyatakan penyesalan atas perbuatannya, dan bersedia meminta maaf kepada korban atau keluarga korban sebagai ahli warisnya, pelaku pelanggaran HAM berat dapat mengajukan permohonan amnesti kepada Presiden. Apabila permohonan beralasan, Presiden dapat menerima permohonan tersebut, dan korban diberikan kompensasi dan/atau rehabilitasi. Apabila permohonan amnesti ditolak, kompensasi dan rehabilitasi tidak diberikan negara, dan perkaranya ditindaklanjuti untuk diselesaikan berdasarkan ketentuan UU Pengadilan HAM. Hal yang dikritisi dari ketentuan tersebut adalah, penentuan adanya amnesti sebagai syarat kompensasi/rehabilitasi, merupakan hal yang mengesampingkan perlindungan hukum dan keadilan yang dijamin oleh UUD 1945. Ketentuan Pasal 27 UU KKR yang membuat hak korban atas kompensasi dan rehabilitasi bergantung pada pemberian maaf dan bukan pada substansi perkara. Hal ini jelas telah mendiskriminasi korban dan melanggar jaminan atas perlindungan dan persamaan di depan hukum dan penghormatan terhadap martabat manusia. Seharusnya pemulihan korban sama sekali tidak memiliki korelasi dengan ada atau tidaknya amnesti.

34

Pemberian amnesti kepada pelaku “seolah� membiarkan terjadinya tawar menawar dengan pelaku, karena adanya prasyarat rekonsiliasi atau penyelesaian pelanggaran HAM yang berat dilakukan setelah adanya amnesti kepada para pelaku, klausul-klausul tersebut juga dianggap bertentang dengan hukum hak asasi manusia internasional, hukum humaniter, dan bertentangan dengan prinsip-prinsip terkait hak-hak korban.35 Oleh karenanya terkait dengan konsep Amnesti di UU KKR lama dibatalkan oleh MK. Dalam

34 35

Mahkamah Konstitusi, Putusan No. 006/PUU-IV/2006, hlm. 20-22. Ibid., hlm. 20-22.

Volume 10, Nomor 1, Juli 2020 | Juris LK2 FHUI


104Â

konteks hukum nasional, Pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 27 Ayat (1), Pasal 28D Ayat (1), dan Pasal 28I Ayat (4) UUD 1945. b. Pasal 44 Undang-Undang Komisi Kebenaran Rekonsiliasi Pasal

44

Undang-Undang

KKR

menyebutkan

bahwasanya

�Pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang telah diungkapkan dan diselesaikan oleh Komisi, perkaranya tidak dapat diajukan lagi kepada Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc.� Dari Penjelasan Umum UU KKR dapat disimpulkan bahwa tugas KKR adalah untuk mengungkap kebenaran serta menegakkan keadilan dan untuk membentuk budaya menghargai HAM guna mewujudkan rekonsiliasi untuk mencapai persatuan nasional, karena adanya pelanggaran HAM berat sebelum berlakunya UU Pengadilan HAM. KKR tidak menyangkut proses penuntutan hukum, tetapi mengatur proses pengungkapan kebenaran, pemberian restitusi, dan/atau rehabilitasi serta memberi pertimbangan amnesti. Pertanyaan yang timbul adalah, apakah KKR merupakan substitusi atau pengganti pengadilan atau tidak. Penjelasan umum juga secara tegas menentukan bahwa apabila pelanggaran HAM berat telah diputus oleh KKR, maka Pengadilan HAM Ad Hoc tidak berwenang memutuskan, kecuali apabila permohonan amnesti ditolak oleh Presiden. Demikian juga sebaliknya jika Pengadilan HAM Ad Hoc telah memutus, KKR tidak berwenang memutus. Meskipun dikatakan bahwa KKR hanya merupakan alternatif terhadap Pengadilan HAM dan bukan merupakan badan penegakan hukum, maka jelas bahwa dia merupakan satu mekanisme alternative dispute resolution, yang akan menyelesaikan satu perselisihan HAM secara amicable dan apabila berhasil akan menutup mekanisme penyelesaian secara hukum. Konsep inilah yang dianggap keliru, mengingat konsep KKR dalam UndangUndang lama seolah menggantikan keberadaan lembaga peradilan dalam proses pengungkapan kebenaran.

Volume 10, Nomor 1, Juli 2020 | Juris LK2 FHUI


10

E. Konsep Komisi Kebenaran Rekonsiliasi yang Ideal Berangkat dari permasalahan diatas, maka perlu meluruskan kembali konsep Komisi Kebenaran Rekonsiliasi yang ideal dan konstitusional, sesuai dengan konstitusi, prinsip HAM yang universal dan hukum humaniter internasional. 1. Meluruskan konsep Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi dan Pengadilan Rekonsiliasi secara semantik memiliki artian “memulihkan kembali relasi dan kepercayaan atas dasar penghormatan pada prinsip kemanusiaa di antara dua kelompok atau lebih yang dirusakan oleh hubungan yang tidak adil di masa lalu.36 Rekonsiliasi dalam konteks KKR terkait dengan usaha memperbaiki hubungan sosial, politik, dan psikologis antar warga negara sebagai pribadi atau kelompok dengan negara akibat perlakuan atau tindakan negara yang tidak adil dan tidak manusiawi. Rekonsiliasi itu diperlukan untuk membangun masa depan bangsa dan negara yang demokratis diatas pilihan sikap saling memaafkan. Dalam konteks ini, maka rekonsiliasi mensyaratkan dilakukannya pengungkapan kebenaran. Kebenaran dan rekonsiliasi dianggap sebagai satu kesatuan yang sulit dipisahkan. Apabila dipisahkan akan dapat menimbulkan ketimpangan tertentu, mengingat

rekonsiliasi

antara

pelaku

dan

korban

pelanggaran

HAM

membutuhkan pengungkapan kebenaran di belakang semua kejadian secara menyeluruh. Rekonsiliasi yang mensyaratkan pengungkapan kebenaran ini telah menjadi prinsip dasar KKR di Afrika Selatan. Adapun rekonsiliasi yang dimaksud adalah rekonsiliasi politik nasional dan bukan rekonsiliasi individual.37 Titik tekannya adalah, proses rekonsiliasi tidak bisa dilaksanakan secara serta merta tanpa proses pengungkapan kebenaran mengenai fakta yang sesungguhnya terhadap pelanggaran HAM yang terjadi di masa lalu. Institute for Criminal

Justice

Reform

(ICJR)

misalnya,

pada

dasarnya

ICJR

mendukung langkah-langkah rekonsiliasi, namun tanpa adanya pengungkapan kebenaran terlebih dalam jalur yudisial dengan seluruh kemampuan yang saat ini dimiliki oleh Pemerintah, maka Pemerintah dapat dianggap lari dari tanggung 36

Sparingga, Komisi Kebenaran, hlm. 1. Rhona K. M Smith, Hukum Hak Asasi Manusia, (Yogyakarta: Pusham UII, 2010, hlm 364, sebagaimana diakses dari Ali Abdurahman, Op.cit. hlm 514. 37

Volume 10, Nomor 1, Juli 2020 | Juris LK2 FHUI


106Â

jawab kemanusiaan.38 Oleh karena itu mekanisme rekonsiliasi dan yudisial adalah mekanisme yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. KKR bukanlah lawan dari penyelesaian hukum, meskipun dapat memiliki mekanisme dan hasil akhir yang berbeda. KKR tidak dapat dan tidak boleh menggantikan fungsi pengadilan, mengingat KKR bukan badan yudisial, KKR bukan tempat persidangan hukum, dan KKR tidak memiliki kekuasaan untuk mengirim seseorang ke penjara atau memvonis seseorang karena suatu kejahatan tertentu. Namun problematikanya, justru di dalam Pasal 44 UU KKR memposisikan KKR sebagai lembaga yang sama dengan lembaga pengadilan telah menutup akses setiap orang untuk mendapat penyelesaian melalui proses yudisial.39 Peranan lembaga yudisial lah yang berwenang untuk mengadili, apakah secara hukum pihak-pihak yang diduga melakukan kejahatan kemanusiaan terbukti bersalah dan memenuhi unsur-unsur kejahatan. Hal ini sejalan dengan tujuan pembentukan Pengadilan HAM yang termaktub dalam bagian menimbang huruf c Undang-Undang Pengadilan HAM.40 KKR menurut penulis bisa saja dilibatkan dalam proses pencarian kebenaran tanpa overlapping dengan badan peradilan itu sendiri. Hal ini berangkat dari hakikat bahwa badan peradilan yang bersifat pasif dan menunggu perkara terlebih dahulu. KKR nantinya bisa lebih aktif mencari fakta-fakta peristiwa pelanggaran HAM untuk diserahkan dan dinilai secara objektif menurut kaca mata pengadilan. Setelah kebenaran terungkap, KKR kembali berperan terkait dengan usaha memperbaiki hubungan sosial, politik, dan psikologis antar warga negara sebagai pribadi atau kelompok dengan negara akibat perlakuan atau tindakan yang tidak adil dan tidak manusiawi. Selanjutnya KKR memastikan diberikannya restitusi, dan/atau rehabilitasi secara adil kepada korban yang dirugikan. Hal ini penting dilakukan agar terjadi reintegrasi sehingga tidak terjadi konflik

38

ICJR, “ICJR Kritik Keras Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat Kasus Trisakti dan Semanggi Melalui Jalur Rekonsiliasi,� https://icjr.or.id/icjr-kritik-keras-penyelesaian-pelanggaran-ham-berat-kasustrisakti-dan-semanggi-melalui-jalur-rekonsiliasi/, diakses 8 Maret 2020. 39 Indonesia, Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, UU No. 27 Tahun 2004, LN No. 114 Tahun 2004, TLN No. 4429, Ps. 44. 40 Indonesia, Undang-Undang Pengadilan Hak Asasi Manusia, UU No. 26 Tahun 2000, LN No. 208 Tahun 2000, TLN No. 4026, konsideran huruf c.

Volume 10, Nomor 1, Juli 2020 | Juris LK2 FHUI


10

berkepanjangan bahkan sampai berkelanjutan kepada turunan-turunan korban. Namun sekali lagi titik tekanya adalah upaya rekonsiliasi dilakukan setelah di ungkapkan kebenaran terlebih dahulu secara adil dan jelas agar tidak terjadi kesalahpahaman sejarah bahkan konflik yang lebih besar lagi. 2. Konsep Amnesti Dalam Undang-Undang KKR Konsep amnesti dalam UU KKR lama bagi pelanggaran HAM berat bertentangan dengan hukum internasional, terlebih Ketentuan Pasal 27 UU KKR membuat hak korban atas kompensasi dan rehabilitasi bergantung pada dikabulkannya amnesti, bukan pada substansi perkara. Ketentuan ini telah mendudukkan korban dalam keadaan yang tidak seimbang dan tertekan sebab korban diberikan persyaratan berat untuk mendapatkan haknya, yakni bergantung pada pemberian amnesti. Mantan Ketua Komnas HAM, Abdul Hakim Nusantara sempat menjelaskan dalam keterangannya sebagai ahli terkait dengan pengujian Undang-Undang KKR. Konsep yang ideal terkait dengan amnesti, kompensasi, dan rehabilitasi adalah amnesti secara konsep tidak bisa menjadi syarat untuk sebuah pembayaran kompensasi dan rehabilitasi. Mengingat amnesti adalah proses tersendiri dan bersifat kondisional. Artinya tidak bisa di campur adukan keduanya.41 Namun sebaliknya, rumusan Pasal 27 UU KKR justru telah menafikkan kewajiban Negara atas pemberian pemulihan tersebut dengan membuat hak atas pemulihan tergantung pada pemberian amnesti. Padahal prinsip hukum yang berlaku secara universal melarang atau membatasi amnesti untuk pelanggaran hak asasi manusia yang berat, namun justru undang-undang ini menjelaskan sebaliknya. Adequate, effective and prompt reparation is indeed to promote justice ‌‌. Reparation should be proportional to the gravity of the violations and the harm suffered. In accordance with its domestic laws and international legal obligations, a State shall provide reparation to victims for acts or omissions which can be attributed

41

Keterangan ahli Pemohon dalam sidang Mahkamah Konstitusi bernomor 006\/PUU-IV\/2006 atas pengujian UU No. 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.

Volume 10, Nomor 1, Juli 2020 | Juris LK2 FHUI


108Â

to the State and constitute gross violations of international human rights law or serious violations of international humanitarian law.42

Resolusi dalam Majelis Umum PBB tahun 2015 diatas pada pokoknya menjelaskan bahwa reparasi kepada korban kejahatan harus proporsional dengan beratnya pelanggaran dan kerugian yang diderita korban. Menjadi kewajiban negara untuk hadir menyelesaikannya. Oleh karena itu, konsep yang ideal adalah, perlu ada pemisahan antara amnesti dengan pokok/substansi suatu perkara keduanya tidak boleh dicampur adukan. Titik tekannya adalah pemulihan korban sama sekali tidak berhubungan dengan ada atau tidaknya amnesti. Kendati amnesti adalah hak konstitusional Presiden yang dijamin oleh konstitusi, namun tentunya hak tersebut tidak boleh diberikan semaunya, artinya perlu ada batasan-batasan. Hak tersebut hendaknya tidak diberikan kepada mereka yang melakukan pelanggaran hak asasi berat dan hukum humaniter internasional yang merupakan kejahatan. Penentuan adanya amnesti sebagai syarat merupakan hal yang mengesampingkan perlindungan hukum dan keadilan yang dijamin oleh konstitusi.

III. PENUTUP Berdasarkan analisis dalam tulisan ini, maka perlu dibentuk Undang-Undang KKR yang konstitusional sesuai dengan konstitusi, hukum HAM internasional, hukum humaniter, dan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip terkait hak-hak korban. Mengingat pembentukan UU KKR adalah amanat dari TAP MPR No. V/MPR/2000 dan Putusan MK Nomor 006\/PUU-IV\/2006 yang harus dilaksanakan. Konsep dari UndangUndang KKR lama yang harus diperbaiki, khususnya terkait dengan konsep amnesti yang mengesampingkan perlindungan hukum dan keadilan serta kesesuaian konsep antara KKR dan Pengadilan HAM yang tidak boleh saling bertentangan satu sama lain. KKR tidak dapat dan tidak boleh menggantikan fungsi pengadilan, mengingat kedudukan KKR bukan merupakan badan yudisial. Langkah-langkah rekonsiliasi diperlukan namun 42 Perserikatan bangsa-Bangsa, Basic Principles and Guidelines on the Right to a Remedy and Reparation for Victims of Gross Violations of International Human Rights Law and Serious Violations of International Humanitarian Law, UNGA (2006), article. 15.

Volume 10, Nomor 1, Juli 2020 | Juris LK2 FHUI


10

didahului dengan adanya pengungkapan kebenaran terlebih dalam jalur yudisial. Mengkolaborasikan keduanya menjadi penting mengingat Pelanggaran HAM bukan hanya masalah kemanusiaan tetapi juga termasuk masalah sosial yang bisa menimbulkan perpecahan berkepanjangan. Oleh karena itu penanggulangan kejahatan tidak hanya dapat mengandalkan penerapan hukum pidana semata, tetapi juga melihat akar lahirnya persoalan kejahatan ini dari persoalan sosial, sehingga kebijakan sosial juga sangat penting dilakukan. KKR diharapkan menjadi sarana reintegrasi sosial melalui upaya rekonsiliasi agar tidak terjadi perpecahan dan argumentasi yang berkepanjangan setelah kebenaran terungkap secara adil.

Volume 10, Nomor 1, Juli 2020 | Juris LK2 FHUI


110

DAFTAR PUSTAKA Buku Prof. Mr. Dr. LJ. Van. Apeldoorn. Meuwissen tentang Pengembangan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum dan Filsafat Hukum [Van Apeldoorn’s Inleiding Tot De Studie Van Het Nederlandsche Recht]. Diterjemahkan oleh B. Arief Sidharta. Bandung: PT Rafika Aditama, 2003. Arief, Barda Nawawi. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996. Indrati, Maria Farida. Ilmu Perundang-undangan. Yogyakarta: Kanisius, 2007. Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003.

Jurnal, Artikel dan Sumber Lainnya Abdurahman, Ali dan Mei Susanto. “Urgensi Pembentukan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Indonesia Dalam Upaya Penuntasan Pelanggaran HAM Berat di Masa Lalu. Padjadjaran Jurnal Ilmu Hukum (Juli 2016). Agustina, Dede Rosita. “Hukum Kepegawaian: Sengketa Kepegawaian Pegawai Negeri

Sipil.”

Fakultas

Hukum

Universitas

Negeri

Semarang.

https://www.academia.edu/32365652/_Hukum_Kepegawaian_Sengketa_Kep egawaian_Pegawai_Negeri_Sipil. Diakses 29 September 2019. Nino, Carlos S. “The Duty to Punish Past Abuses of Human Rights Put Into Context: The Case of Argentina.” The Yale Law Journal, vol 100. Elsam Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat. Policy Brief. “Mendorong Pembentukan Kembali Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.”

Volume 10, Nomor 1, Juli 2020 | Juris LK2 FHUI


111

Astuti, Laras. “Penegakan Hukum Pidana Indonesia Dalam Penyelesaian Pelanggaran Hak Asasi Manusia.” Jurnal Kosmik Hukum. Vol. 16 No. 2 (Juni 2016). ELSAM Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat. “Mendorong Pembentukan Kembali Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.” Policy Brief (Juni 2014) Septiani, Dina. “Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Dalam Pemenuhan Hak -Hak Korban Pelanggaran HAM Berat di Daerah.” Skripsi Sarjana Universitas Pasundan, Bandung, 2011. Visi Misi dan Program Aksi Jokowi – JK Periode Tahun 2014-2019. Pdf.

Peraturan Perundang-Undangan Indonesia. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional, TAP MPR No. V/MPR/2000. Indonesia. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Peninjauan Terhadap Materi Dan Status Hukum, TAP MPR/S Republik Indonesia Tahun 1960 Sampai Dengan Tahun 2002, TAP MPR Nomor I/Mpr/2003. Indonesia. Undang-Undang Hak Asasi Manusia, UU No. 39 Tahun 1999, LN No 165 Tahun 1999, TLN No. 3886. Indonesia. Undang-Undang Pengadilan Hak Asasi Manusia, UU No. 26 Tahun 2000, LN No 208 Tahun 2000, TLN No. 4026. Indonesia. Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, UU No. 27 Tahun 2004, LN No 114 Tahun 2004, TLN No. 4429. Indonesia. Undang-Undang Pemerintahan Aceh, UU No. 11 Tahun 2006, LN No 62 Tahun 2006, TLN No. 4033. Indonesia, Aceh. Qanun Aceh Tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh, UU No. 17 Tahun 2013, Lembaran Aceh No 17 Tahun 2013. Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Putusan Nomor 006/PUU-IV/2006.

Volume 10, Nomor 1, Juli 2020 | Juris LK2 FHUI


112

Internet BBC. “KKR Aceh mulai mendengarkan kesaksian korban dugaan pelanggaran HAM.” https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-46396048. Diakses 6 Maret 2020. BBC.

“Kemendagri

Pertanyakan

KKR

Aceh.”

https://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2013/12/131227_kemendag ri_pertanyakan_kkraceh. Diakses 8 Maret 2020. Berita

Satu.

“SBY

Janji

Selesaikan

Kasus

HAM

Sebelum

2014.”

https://www.beritasatu.com/nasional/35457/sby-janji-selesaikan-kasus-hamsebelum-2014. Diakses 7 Maret 2020. Tutu,

Desmond.

“Truth

and

Reconciliation

Commision,

South

Africa.”

https://www.britannica.com/topic/Truth-and-Reconciliation-CommissionSouth-Africa. Diakses 8 Maret 2020. Fajar.

“MK

Cabut

UU

Komisi

kebenaran

dan

Rekonsiliasi.”

https://news.detik.com/berita/d-717368/mk-cabut-uu-komisi-kebenaran-danrekonsiliasi. Diakses 8 Maret 2020. ICJR. “Kritik Keras Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat Kasus Trisakti dan Semanggi Melalui Jalur Rekonsiliasi.” https://icjr.or.id/icjr-kritik-keras-p enyelesaian-pelanggaran-ham-berat-kasus-trisakti-dan-semanggi-melaluijalur-rekonsiliasi/. Diakses 8 Maret 2020. Komnas HAM. “Ringkasan Eksekutif Laporan Penyelidikan Pelanggaran HAM yang berat Peristiwa Simpang KAA Aceh Oleh Komnas HAM.” https://www,komnasham.go.id/index/php/hamberat/2016/09/29/2/ringkasaneksekutif-laporan-penyelidikan-pelanggaran-ham-yang-berat-peristiwa-kaaaceh.html. Diakses 6 Maret 2020.

Volume 10, Nomor 1, Juli 2020 | Juris LK2 FHUI


113

BIODATA PENULIS

Penulis bernama Aditya Nurahmani, lulusan S1 dari Fakultas

Hukum

Universitas

Padjadjaran.

Penulis

mengambil program kekhususan Hukum Administrasi Negara. Penulis pernah melakukan publikasi ilmiah yang berjudul:

1)

Reorientasi

Perekonomian

Nasional

Berdasarkan Pancasila Melalui Perubahan Pasal 33 UUD NRI Tahun 1945 Dengan Model Directive Principle of State Policies pada Majalah Hukum Nasional, Jurnal Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Kementerian Hukum dan HAM edisi Desember 2018; 2) Problematika Dalam Mewujudkan Pancasila Sebagai Ideologi Yang Bernilai Substantif, dalam jurnal Padjadjaran Law Review tahun 2019. Penulis pun pernah mengikuti beberapa perlombaan diantaranya: 1) Juara 2 Nasional Debat Konstitusi Piala MPR Tahun 2017, Juara 1 Nasional Bintang Orator Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Tahun 2019, Juara 1 Nasional Lomba Pidato “Pemuda Masa Depan� Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta dan menjadi Best Paper dalam Konferensi Hukum Nasional Pekan Progresif, Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro Tahun 2019.

Penulis pernah aktif di organisasi kampus diantaranya Kepala Bidang Dinamisasi Kampus dan Kepala Departemen Kajian dan Aksi Strategis BEM FH Universitas Padjadjaran Tahun 2018 dan 2019. Menjadi Staff Departemen Kajian BEM Universitas Padjadjaran dan aktif di Biro Debat Padjajaran Law Research and Debate Society FH Unpad. Penulis pun pernah menjadi Ketua Paguyuban Mahasiswa Ciamis Tahun 2018.

Volume 10, Nomor 1, Juli 2020 | Juris LK2 FHUI



Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.