KATALOG PENELITIAN LK2 FHUI 2019

Page 1

KATALOG PENELITIAN 2019

Disusun oleh

Bidang Penelitian LK2 FHUI 2019


LAPORAN PENELITIAN Permasalahan Serta Upaya Penyederhanaan Format Putusan Pengadilan Pidana dan Pengadilan Militer Tingkat Pertama dan Tingkat Banding di Indonesia

PENELITIAN BESAR BIDANG PENELITIAN LEMBAGA KAJIAN KEILMUAN (LK2) FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS INDONESIA


BAB I PENDAHULUAN 1.1

Latar Belakang Masalah Pada tahun 2016 yang lalu, Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia

(MaPPI) FHUI melakukan kegiatan penelitian mengenai penyederhanaan format putusan pada tingkat kasasi untuk Mahkamah Agung (MA) RI. Tujuan dari penelitian tersebut adalah mengetahui apakah dengan kurang sederhananya format putusan tersebut akan berdampak pada hal-hal seperti banyaknya materi pertimbangan hakim dalam putusan tersebut, dampak terhadap penyelesaian minutasi perkara di Mahkamah Agung (MA). Laporan penelitian tersebut pada akhirnya membuahkan hasil yang cukup baik dengan terbitnya Peraturan Mahkamah Agung Nomor 9 Tahun 2017 tentang Format (Template) dan Pedoman Penulisan Putusan atau Penetapan MA. Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) ini berlaku pada putusan MA tingkat kasasi dan Peninjauan Kembali (PK). Melihat keberhasilan dari Format dan Pedoman Penulisan Putusan atau Penetapan MA tersebut, MA bekerjasama kembali lagi dengan MaPPI FHUI untuk membuat Format Putusan untuk pengadilan tingkat pertama dan tingkat banding. Format putusan untuk tingkat pertama dan tingkat banding saat ini masih belum ada keseragaman, dan pertimbangan hakim yang seharusnya menjadi pokok dari putusan hanyalah sebagian kecil dari isi keseluruhan putusan pengadilan. Hal ini menyebabkan pembaca baik dari kalangan akademisi maupun masyarakat pada umumnya mengalami kesulitan. Pada kesempatan ini, Lembaga Kajian Keilmuan Fakultas Hukum Universitas Indonesia (LK2 FHUI) bekerja sama dengan MaPPI FHUI untuk melakukan penelitian tentang simplifikasi format putusan pengadilan tingkat pertama dan tingkat banding di Indonesia. 1.2

Rumusan Masalah 1. Bagaimana format putusan perkara pidana pada tingkat pengadilan pertama dan pengadilan tinggi pada praktiknya dibandingkan dengan ketentuan dalam KUHAP dan peraturan perundang-undangan lainnya yang terkait?


2. Bagaimana format putusan pengadilan militer pada tingkat pengadilan pertama dan pengadilan tinggi pada praktiknya dibandingkan dengan ketentuan dalam KUHAP dan peraturan perundang-undangan lainnya yang terkait?

1.3

Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum Tujuan dari dibuatnya penelitian ini adalah untuk mengetahui bahwa format putusan di Pengadilan Indonesia masih kurang efektif dan efisien yang membuat kesulitan bagi para pembaca. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan pula untuk memberikan urgensi, khususnya kepada Mahkamah Agung, bahwa dibutuhkan setidaknya suatu keseragaman atau unifikasi mengenai format putusan untuk pengadilan di tingkat pertama dan tingkat banding. 1.3.2 Tujuan Khusus 1. Untuk mengetahui implikasi format putusan perkara pidana pada tingkat pengadilan pertama dan pengadilan tinggi terhadap ketentuan dalam KUHAP dan peraturan perundangan-undang lain yang tekait 2. Untuk mengetahui perbandingan format putusan di pengadilan Indonesia dengan format putusan di pengadilan Australia dan pengadilan Amerika Serikat

1.4

Kegunaan Penelitian 1.4.1 Kegunaan Teoritis Penelitian ini akan bermanfaat bagi ilmu pengetahuan terkait hukum acara pidana, terutama dalam hal penyusunan putusan. Dengan adanya penelitian ini, peneliti berharap hukum yang berlaku di Indonesia dapat memperluas lagi hal-hal yang terkait format penyusunan putusan pidana di pengadilan Indonesia.


1.4.2 Kegunaan Praktis a. Bagi peneliti, diharapkan penelitian ini dapat menambah wawasan peneliti mengenai hukum acara pidana, terutama terkait format penyusunan putusan b. Bagi para hakim, diharapkan dengan penelitian ini, Mahkamah Agung dapat melihat urgensi dibutuhkan simplifikasi format penyusunan putusan pengadilan perkara pidana sehingga setidaknya terjadi keseragaman atau unifikasi putusan yang lebih efektif dan efisien yang dapat diterapkan oleh para hakim dan panitera. c.

Bagi peneliti lain, diharapkan dengan penelitian ini, peneliti lain mampu mengungkapkan masalah-masalah secara lebih lanjut mengenai format penyusunan putusan pidana.

1.5

Metode Penelitian Peneliti dalam penelitian ini menggunakan dua pendekatan yaitu pendekatan kuantitatif dan pendekatan kualitatif. Terhadap data-data yang berhasil dikumpulkan, peneliti akan mengolah data-data tersebut dengan pendekatan secara kuantitatif. Pendekatan kuantitatif ini dilakukan dengan tujuan untuk menemukan dan menjelaskan gejala keadaan yang ada melalui pengumpulan data-data sesuai dengan variabel yang ditentukan. Di dalam penelitian,

metode

kuantitatif

digunakan

untuk

menemukan

gejala

permasalahan yang terdapat di format putusan pengadilan tingkat pertama dan pengadilan tingkat banding .Metode dilakukan dengan mengumpulkan 242 putusan yang terdiri 122 putusan pengadilan tingkat pertama dan 120 putusan pengadilan tingkat banding. Rentang waktu putusan yang dicari adalah putusan selama tahun 2011 hingga 2018 ini. Dari 242 putusan yang dikumpulkan, selanjutnya dilakukan indeksasi dengan menggunakan formulir yang dibuat oleh tim peneliti. Lalu data hasil indeksasi diolah ke dalam bentuk statistik. Data statistik akan dianalisis lebih lanjut dengan menggunakan metode kualitatif, yang mana analisa tersebut dibuat dengan merujuk pada data sekunder seperti dokumen-dokumen resmi, buku-buku, dan hasil laporan penelitian lain. Adapun peneliti juga menggunakan bahan primer yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Acara


Pidana (KUHAP). Analisa tersebut akan dijelaskan secara deskriptif, maka peneliti akan berusaha untuk menjelaskan permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini dengan meninjau juga terhadap data primer yang peneliti gunakan. Hasil dari indeksasi ini diharapkan dapat menggambarkan permasalahan di struktur putusan dengan menggunakan angka sehingga permasalahan dapat diukur.


BAB II ANALISIS INDEKSASI PUTUSAN PIDANA DI PENGADILAN TINGKAT PERTAMA Dalam penelitian ini, tim peneliti telah mengumpulkan 122 putusan pengadilan tingkat pertama dan 120 putusan pengadilan tingkat banding, yang membuat secara keseluruhan kami mengumpulkan sebanyak 242 putusan untuk penelitian ini. Putusan-putusan tersebut tim peneliti ambil berdasarkan 5 bidang atau jenis tindak pidana yaitu pidana anak, pidana terorisme, pidana lingkungan, pidana narkotika, dan pidana korupsi. Pada bab ini, peneliti akan memaparkan hasil indeksasi format putusan pidana yang telah tim peneliti kumpulkan tersebut yang mana detilnya akan dijelaskan sebagai berikut. 2.1. Implementasi Putusan Tindak Pidana Khusus Tingkat Pertama A. Overview Untuk mengukur urgensi dari penelitian ini, tim peneliti melakukan preliminary test terhadap beberapa putusan tingkat pertama. Tim peneliti mengumpulkan 122 putusan tingkat pertama. 122 putusan ini diambil secara proporsional dari 5 jenis tindak pidana, yakni pidana anak, pidana terorisme, pidana lingkungan, pidana narkotika, dan pidana korupsi. Dalam preliminary test ini, akan diteliti terkait komposisi setiap putusan dan eksistensi setiap bagian format putusan dalam berbagai putusan yang ada.

amar putusan 5%

paragraf KOMPOSISI RATA-RATA DARI PUTUSAN TINGKAT penutup Kepala Putusan 3% PERTAMA 3% Identitas 3%

pertimbangan hukum 26% Alat bukti 4% Keterangan terdakwa 8%

riwayat penahanan 3% dakwaan 18% tuntutan 5% Keterangan saksi 22%


EKSISTENSI SETIAP BAGIAN FORMAT PUTUSAN DALAM KESELURUHAN PUTUSAN TINGKAT PERTAMA (DALAM PERSEN) paragraf penutup amar putusan pertimbangan hukum Alat bukti Keterangan terdakwa Keterangan saksi tuntutan dakwaan riwayat penahanan Identitas Kepala Putusan 85%

90%

95%

100%

105%

Melalui preliminary test ini, tim peneliti mendapati bahwa komposisi rata-rata dari setiap putusan tingkat pertama adalah: Kepala putusan

99% ada

Identitas Terdakwa 98% ada

Riwayat penahanan Dakwaan Tuntutan Keterangan saksi Keterangan terdakwa Alat bukti Pertimbangan hukum Amar putusan Paragraf penutup

91% ada 98% ada 98% ada 98% ada 95% ada 93% ada 100% ada 99% ada 99% ada


Sementara itu, dari perspektif keberadaan atau eksistensi dari setiap bagian format dalam keseluruhan putusan, tim peneliti mendapati bahwa: Kepala putusan Identitas Terdakwa Riwayat penahanan Dakwaan Tuntutan Keterangan saksi Keterangan terdakwa Alat bukti Pertimbangan hukum Amar putusan Paragraf penutup

3% 3% 3% 18% 5% 23% 8% 4% 26% 5% 3%

B. Minimnya porsi Pertimbangan Hukum dalam Komposisi Setiap Putusan Pidana Khusus Permasalahan pertama yang ditemui dalam preliminary test ini adalah kecilnya angka persentase dari pertimbangan hukum dalam komposisi putusan. Kedudukan pertimbangan hukum dalam putusan sangat penting. Bahkan, dapat dikatakan sebagai inti yuridis dari sebuah putusan hakim.1 Menurut Sudikno Mertokusumo, yang dipandang sebagai dasar putusan adalah pertimbangan hukum.2 Sementara itu, Wiryono Kusumo menjelaskan bahwa pertimbangan hukum atau yang sering disebut juga considerans merupakan dasar putusan Hakim atau argumentasi Hakim dalam memutuskan suatu perkara. Jika argumen hukum itu tidak benar dan tidak sepantasnya (proper), maka orang kemudian dapat menilai bahwa putusan itu tidak benar dan tidak adil. Secara sederhana, hukuman yang akan dijatuhkan Majelis Hakim

1 Dr. Jonaedi Efendi, Rekonstruksi Dasar Pertimbangan Hukum Hakim: Berbasis Nilai-Nilai

Hukum dan Rasa Keadilan yang Hidup dalam Masyarakat,� (Depok: Prenadamedia Group, 2018), hlm. 110. 2 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum : Suatu Pengantar, (Liberty: Yogyakarta, 2005), hlm. 22.


mengikuti pertimbangan hakimnya. 3 Artinya, kehidupan selanjutnya dari terdakwa ditentukan oleh pertimbangan hakim dalam perkaranya, apakah ia akan menjadi terpidana atau tidak. Oleh karenanya, menjadi wajar jika pertimbangan hukum mendapat porsi terbanyak dalam komposisi suatu putusan. Tidak hanya berkaitan dengan jumlah komposisi, pertimbangan hukum juga harus didasarkan pada alasan dan dasar hukum yang tepat dan benar. 4 Putusan harus memiliki pertimbangan hukum yang sempurna. Pertimbangan hukum adalah “zona� nalar untuk mencapai putusan yang dapat diterima logika dan nalar. Pertimbangan hukum adalah jembatan yang menghubungkan antara fakta yang ada dalam duduk perkara dengan amar hakim.5 Putusan yang dijatuhkan oleh hakim harus bedasarkan pertimbangan yang jelas dan cukup. Bahkan, putusan yang tidak memenuhi ketentuan tersebut dikategorikan putusan yang tidak cukup pertimbangan atau onvoldoende gemotiveerd. 6 Selain itu, putusan yang tidak cukup pertimbangan adalah masalah yuridis dan dapat dibatalkan pada tingkat banding atau kasasi.7 Bila diperbandingkan dengan negara-negara lain, pertimbangan hukum telah mendapat porsi khusus untuk dijabarkan dalam suatu putusan. Di Australia, Putusan Pengadilan Federal Australia, baik berupa salinan resmi yang disampaikan oleh pengadilan maupun yang dipublikasikan secara elektronik, terdiri dari tiga bagian utama, yaitu cover sheet, amar 3 https://acch.kpk.go.id/en/component/content/article?id=822:eksaminasi-terhadap-

putusan-pengadilan-tindak-pidana-korupsi-pada-pengadilan-negeri-jakarta-pusat-atas-namaterdakwa-amir-fauzi-putusan-nomor-127-pid-sus-tpk-2015-pn-jkt-pst diakses 4 November 2018. 4 Pasal 53 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman 5 https://badilag.mahkamahagung.go.id/artikel/publikasi/artikel/nalar-dalampertimbangan-hukum-oleh-muhamad-rizki-sh-218 diakses 5 November 2018. 6 http://pn-tilamuta.go.id/2016/07/12/pertimbangan-hukum-hakim-dalam-putusan-

perkara-perdata-dengan-menggunakan-terjemahan-burgerlijk-wetboek/ diakses 5 November 2018. 7 http://pn-tilamuta.go.id/2016/07/12/pertimbangan-hukum-hakim-dalam-putusanperkara-perdata-dengan-menggunakan-terjemahan-burgerlijk-wetboek/ diakses 5 November 2018.


putusan/penetapan, dan pertimbangan hukum. Artinya, pertimbangan hukum terletak pada halaman berikutnya setelah pernyataan amar putusan. Pada bagian ini, Hakim akan mencurahkan segenap kemampuannya untuk mengambil sikap dan pendapat atas putusan-putusan yang diajukan sebelumnya.8 Sementara itu, di Amerika Serikat, putusan pengadilan dibagi menjadi dua bagian, yaitu bagian Syllabus dan bagian Opinion of The Court. Dalam bagian Opinion of The Court, berisi riwayat perkara, riwayat proses pemeriksaan perkara pada pengadilan tingkat sebelumnya, dan pertimbangan hukum. Akan

tetapi,

urgensinya

bagian

pertimbangan

hukum

tidak

diimplementasikan dalam pelaksanaanya di peradilan tingkat pertama. Dari preliminary test didapati bahwa persentase banyaknya pertimbangan hukum hanya sekitar 26% dari suatu putusan. Bila dianalogikan, bila putusan tersebut memuat 100 halaman, maka hanya 26 halaman untuk menjelaskan pertimbangan hukum. Oleh karenanya, jika kita melihat kembali kepada urgensi kehadiran pertimbangan hukum dalam suatu putusan, maka seharusnya pertimbangan hukum memiliki porsi yang lebih besar untuk dijelaskan dalam suatu putusan. C. Adanya Bagian Wajib yang Tidak Dicantumkan dalam Putusan Pidana Khusus Setiap putusan pemidanaan, Hakim Pengadilan Negeri dalam mengadili dan memberikan putusan terhadap perkara pidana adalah wajib atau imperatif memperhatikan formalitas yang harus dipenuhi dalam sebuah Putusan Hakim dalam hukum acara pidana. Pengaturan mengenai format putusan perkara pidana dalam KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) dapat dilihat pada Pasal 197 ayat (1), yang berbunyi: “Surat putusan pemidanaan memuat:

8 Tim Magang MA-FCA 2014, Laporan Internship Program 2014 Mahkamah Agung RI-Federal Court of Australia.Jakarta : Kepaniteraan MA, 2014., hlm 63. Selengkapnya mengenai format putusan Pengadilan Federal Australia dapat dilihat pada Bab VI Karakteristik Putusan Pengadilan Federal Australia Laporan Tim Magang MA-FCA 2014.


a. kepala putusan yang dituliskan berbunyi: "DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA"; b. nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan terdakwa; c. dakwaan, sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan; d. pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan beserta alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa, e. tuntutan pidana, sebagaimana terdapat dalam surat tuntutan; f. pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau tindakan dan pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum dari putusan, disertai keadaan yang memberatkan dan yang meringankan terdakwa; g. hari dan tanggal diadakannya musyawarah Majelis Hakim kecuali perkara diperiksa oleh Hakim tunggal; h. pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah terpenuhi semua unsur dalam rumusan tindak pidana disertai dengan kualifikasinya dan pemidanaan atau tindakan yang dijatuhkan; i. ketentuan kepada siapa biaya perkara dibebankan dengan menyebutkan jumlahnya yang pasti dan ketentuan mengenai barang bukti; j. keterangan bahwa seluruh surat ternyata palsu atau keterangan di mana letaknya kepalsuan itu, jika terdapat surat otentik dianggap palsu; k. perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan; l. hari dan tanggal putusan, nama penuntut umum, nama Hakim yang memutus dan nama Panitera. Putusan pemidanaan harus lengkap memuat ketentuan Pasal 197 (1), mulai dari huruf a sampai l. Kalau keseluruhan ketentuan itu tidak dimuat dalam putusan, maka putusan tersebut menjadi “batal demi hukum.” Akan tetapi, Pasal 197 ayat (2) memberi “kelonggaran” dan pemaafan, karena sesuai dengan ketentuan itu, telah ditentukan apa yang “mutlak” harus dimuat dalam putusan pemidanaan, yakni meliputi ketentuan yang disebut Pasal 197 ayat (1) huruf a,b,c,d,f,h,j,k, dan l. Dengan demikian, kelalaian atau kealpaan memuat


ketentuan huruf g (hari dan tanggal musyawarah hakim), dan huruf i (kepada siapa biaya perkara dibebankan dengan menyebutkan jumlah yang pasti, dan ketentuan

mengenai

barang

bukti),

tidak

merupakan

faktor

yang

mengakibatkan batalnya putusan demi hukum.9 Apabila putusan tidak memuat pernyataan yang ditentukan dalam Pasal 197 ayat (1) jo. Pasal 197 ayat (2), bisa mengakibatkan putusan, “batal demi hukum.” Demikian fatalnya akibat yang akan dialami putusan yang tidak mengindahkan ketentuan yang digariskan Pasal 197 ayat (1) jo. Pasal 197 ayat (2).10 Namun kemudian, sejak adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-X/2012 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana, Mahkamah Konstitusi (“MK”) menyatakan Pasal 197 ayat (2) huruf k KUHAP inkonstitusional. Artinya, Pasal 197 ayat (2) huruf k KUHAP bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, apabila diartikan surat putusan pemidanaan yang tidak memuat ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP mengakibatkan putusan batal demi hukum. Oleh karena itu, redaksional Pasal 197 ayat (2) KUHAP selengkapnya berubah menjadi, “Tidak dipenuhinya ketentuan dalam ayat (1) huruf a, b, c, d, e, f, h, j, dan l pasal ini mengakibatkan putusan batal demi hukum.”11 Selain itu, perlu diperhatikan pula Penjelasan dari Pasal 197 ayat (2). Dalam Penjelasannya dinyatakan, “Kecuali yang tersebut pada huruf a, e, f dan h, apabila terjadi kekhilafan dan atau kekeliruan dalam penulisan, maka kekhilafan dan atau kekeliruan penulisan atau pengetikan tidak menyebabkan batalnya putusan demi hukum.” Dengan demikian maka, apabila suatu putusan pemidanaan tidak mencantumkan ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf g dan huruf i karena tidak disebutkan dalam Pasal 197 ayat (2), serta terjadi 9 Yahya harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP : Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, Dan Peninjauan Kembali, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hlm. 371. 10 Yahya harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP : Pemeriksaan Sidang

Pengadilan, Banding, Kasasi, Dan Peninjauan Kembali, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hlm. 360.

11 https://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt5a84ed465a100/arti-putusan-pengadilanbatal-demi-hukum diakses 29 Oktober 2018.


kekhilafan dan atau kekeliruan dalam penulisan atau pengetikan materi sebagaimana ditentukan dalam Pasal 197 ayat (1) yang mengecualikan huruf a, e, f, dan h, maka tidak menyebabkan batalnya putusan demi hukum.12 Oleh karenanya, bagian Kepala Putusan, Tuntutan, dan Amar Putusan menjadi bagian yang paling wajib untuk ada dalam setiap putusan, meski terjadi kekhilafan dan/atau kekeliruan penulisan atau pengetikan dalam pengetikan bagian tersebut. Putusan yang dinyatakan batal demi hukum adalah putusan yang sejak semula dianggap tidak pernah ada (never existed).13 Setiap putusan yang tidak sah dan dianggap sejak semula tidak pernah ada serta sejak semula batal demi hukum, dengan sendirinya putusan itu tidak mempunyai kekuatan mengikat (krchtelooss, in effective). Oleh karena itu, pada putusan tersebut tidak melekat kekuatan eksekutorial. Akibat hukumnya (rechtsgevolg, legal effect), Jaksa Penuntut Umum tidak dapat mengeksekusinya berdasar kewenangan yang diberikan Pasal 270 KUHAP. 14 Kalau ada pihak Jaksa selaku eksekutor Putusan Pengadilan yang tetap mengeksekusi putusan tersebut, maka eksekutor bisa dituntut dengan Pasal 333 Kitab Hukum Undang-Undang Pidana (KUHP), sedangkan Jaksa Agung bisa dituntut dengan Pasal 55 KUHP.15 Dalam preliminary test ini, ditemukan fakta bahwa tidak semua putusan peradilan tingkat pertama mencantumkan bagian wajib dari format putusan. Sebanyak 1 % dari keseluruhan putusan yang diteliti tidak memuat kepala putusan. Lalu, sebanyak 2 % dari keseluruhan putusan yang diteliti tidak memuat Tuntutan. Terakhir, sebanyak 1 % dari keseluruhan putusan 12 https://media.neliti.com/media/publications/108471-ID-kajian-terhadap-putusan-batal-

demi-hukum.pdf hlm. 55 – 56.

13 https://media.neliti.com/media/publications/108471-ID-kajian-terhadap-putusan-bataldemi-hukum.pdf hlm. 58. 14 https://media.neliti.com/media/publications/108471-ID-kajian-terhadap-putusan-batal-

demi-hukum.pdf hlm. 66.

15 https://www.jpnn.com/news/langgar-kuhap-putusan-pengadilan-harus-batal-demihukum diakses 29 Oktober 2018.


yang diteliti tidak memuat amar putusan. Meski angka presentasenya kecil, hal ini tentu tidak dapat dipandang sebelah mata. Jika suatu putusan tidak memuat kepala putusan, tuntutan, dan/atau amar putusan, meski terjadi karena kekhilafan dan / atau kekeliruan dalama penulisan, maka putusan tersebut menjadi batal demi hukum. Melihat fakta ini, pihak pengadilan harus lebih berhati-hati dalam membuat putusan agar tidak bertentangan dengan kewajiban format dalam hukum acara pidana dan menjadi batal demi hukum. D. Penyederhanaan Putusan dengan Metode Lampiran Berdasarkan penjabaran terkait format putusan dalam KUHAP di atas, maka dapat didorong untuk penyederhanaan putusan, khususnya untuk bagianbagian yang tidak memiliki dampak “batal demi hukum� jika tidak dicantumkan.

Dengan

adanya

penyederhanaan

putusan,

maka

akan

mempermudah para pihak ataupun masyarakat umum untuk memahami putusan dari suatu perkara. Terdapat metode penyederhanaan yang dapat dilakukan tanpa harus melanggar kaidah Pasal 197 KUHAP, yaitu penggunaan lampiran untuk beberapa bagian yang tidak memiliki dampak “batal demi hukum� jika tidak dicantumkan. Contoh dari pelaksanaannya adalah dengan menggunakan metode merujuk dan penggunaan lampiran untuk bagian-bagian yang sering mengalami pengulangan seperti bagian dakwaan dan bagian rincian status barang bukti. Dengan adanya pengulangan bagian tersebut, tentu saja membuat jumlah halaman yang diketik menjadi lebih banyak, terutama pada kasus-kasus yang memiliki barang bukti sangat banyak. Oleh karenanya, penting untuk menggunakan lampiran sebagai alternatif dalam pembuatan putusan 2.2 Implementasi Putusan Tindak Pidana Umum Tingkat Pertama A. Overview Untuk mengukur urgensi dari penelitian ini, tim peneliti melakukan preliminary test terhadap beberapa putusan tindak pidana umum tingkat pertama. Tim peneliti mengumpulkan 43 putusan tingkat pertama. 43 putusan ini diambil secara proporsional dari 5 jenis tindak pidana umum, yakni pidana penadahan, pencurian, penganiayaan, penggelapan, dan penipuan. Dalam preliminary test ini, akan diteliti terkait komposisi setiap


putusan, eksistensi setiap bagian format putusan dalam berbagai putusan yang ada, serta konsistensi urutan penempatan dakwaan dan tuntutan. Melalui preliminary test ini, tim peneliti mendapati bahwa komposisi rata-rata dari setiap putusan tingkat pertama adalah: Kepala putusan

5%

Identitas Terdakwa

5%

Riwayat penahanan

5%

Dakwaan

14%

Tuntutan

6%

Keterangan saksi

22%

Keterangan terdakwa

8%

Alat bukti

5%

Pertimbangan hukum

20%

Amar putusan

6%

Paragraf penutup

5%

Sementara itu, dari perspektif keberadaan atau eksistensi dari setiap bagian format dalam keseluruhan putusan, tim peneliti mendapati bahwa: Kepala putusan

100% ada

Identitas Terdakwa 100% ada

Riwayat penahanan Dakwaan Tuntutan Keterangan saksi Keterangan terdakwa Alat bukti Pertimbangan hukum Amar putusan Paragraf penutup

94% ada 98% ada 100% ada 96% ada 91% ada 87% ada 98% ada 100% ada 100% ada


B. Minimnya porsi Pertimbangan Hukum dalam komposisi setiap putusan Permasalahan pertama yang ditemui dalam preliminary test ini adalah kecilnya angka persentase dari pertimbangan hukum dalam komposisi putusan. Kedudukan pertimbangan hukum dalam putusan sangat penting. Bahkan, dapat dikatakan sebagai inti yuridis dari sebuah putusan hakim.16 Menurut Sudikno Mertokusumo, yang dipandang sebagai dasar putusan adalah pertimbangan hukum.

17

Sementara itu, Wiryono Kusumo

menjelaskan bahwa pertimbangan hukum atau yang sering disebut juga considerans merupakan dasar putusan Hakim atau argumentasi Hakim dalam memutuskan suatu perkara. Jika argumen hukum itu tidak benar dan tidak sepantasnya (proper), maka orang kemudian dapat menilai bahwa putusan itu tidak benar dan tidak adil. Secara sederhana, hukuman yang akan dijatuhkan Majelis Hakim mengikuti pertimbangan hakimnya. 18 Artinya,

kehidupan

selanjutnya

dari

terdakwa

ditentukan

oleh

pertimbangan hakim dalam perkaranya, apakah ia akan menjadi terpidana atau tidak. Oleh karenanya, menjadi wajar jika pertimbangan hukum mendapat porsi terbanyak dalam komposisi suatu putusan. Tidak hanya berkaitan dengan jumlah komposisi, pertimbangan hukum juga harus didasarkan pada alasan dan dasar hukum yang tepat dan benar. 19 Putusan harus memiliki pertimbangan hukum yang sempurna. Pertimbangan hukum adalah “zona� nalar untuk mencapai putusan yang dapat diterima logika dan nalar. Pertimbangan hukum adalah jembatan yang menghubungkan antara fakta yang ada dalam duduk perkara dengan 16 Dr. Jonaedi Efendi, Rekonstruksi Dasar Pertimbangan Hukum Hakim: Berbasis Nilai-Nilai Hukum dan Rasa Keadilan yang Hidup dalam Masyarakat,� (Depok: Prenadamedia Group, 2018), hlm. 110. 17 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum : Suatu Pengantar, (Liberty: Yogyakarta, 2005), hlm. 22. 18 https://acch.kpk.go.id/en/component/content/article?id=822:eksaminasi-terhadap-

putusan-pengadilan-tindak-pidana-korupsi-pada-pengadilan-negeri-jakarta-pusat-atas-namaterdakwa-amir-fauzi-putusan-nomor-127-pid-sus-tpk-2015-pn-jkt-pst diakses 4 November 2018. 19 Pasal 53 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman


amar hakim. 20 Putusan yang dijatuhkan oleh hakim harus bedasarkan pertimbangan yang jelas dan cukup. Bahkan, putusan yang tidak memenuhi ketentuan tersebut dikategorikan putusan yang tidak cukup pertimbangan atau onvoldoende gemotiveerd.21 Selain itu, putusan yang tidak cukup pertimbangan adalah masalah yuridis dan dapat dibatalkan pada tingkat banding atau kasasi.22 Bila diperbandingkan dengan negara-negara lain, pertimbangan hukum telah mendapat porsi khusus untuk dijabarkan dalam suatu putusan. Di Australia, Putusan Pengadilan Federal Australia, baik berupa salinan resmi yang disampaikan oleh pengadilan maupun yang dipublikasikan secara elektronik, terdiri dari tiga bagian utama, yaitu cover sheet, amar putusan/penetapan, dan pertimbangan hukum. Artinya, pertimbangan hukum terletak pada halaman berikutnya setelah pernyataan amar putusan. Pada bagian ini, Hakim akan mencurahkan segenap kemampuannya untuk mengambil sikap dan pendapat atas putusan-putusan yang diajukan sebelumnya. 23 Sementara itu, di Amerika Serikat, putusan pengadilan dibagi menjadi dua bagian, yaitu bagian Syllabus dan bagian Opinion of The Court. Dalam bagian Opinion of The Court, berisi riwayat perkara, riwayat proses pemeriksaan perkara pada pengadilan tingkat sebelumnya, dan pertimbangan hukum. Akan

tetapi,

urgensinya

bagian

pertimbangan

hukum

tidak

diimplementasikan dalam pelaksanaanya di peradilan tingkat pertama. 20 https://badilag.mahkamahagung.go.id/artikel/publikasi/artikel/nalar-dalampertimbangan-hukum-oleh-muhamad-rizki-sh-218 diakses 5 November 2018. 21 http://pn-tilamuta.go.id/2016/07/12/pertimbangan-hukum-hakim-dalam-putusan-

perkara-perdata-dengan-menggunakan-terjemahan-burgerlijk-wetboek/ diakses 5 November 2018. 22 http://pn-tilamuta.go.id/2016/07/12/pertimbangan-hukum-hakim-dalam-putusan-

perkara-perdata-dengan-menggunakan-terjemahan-burgerlijk-wetboek/ diakses 5 November 2018. 23 Tim Magang MA-FCA 2014, Laporan Internship Program 2014 Mahkamah Agung RIFederal Court of Australia.Jakarta : Kepaniteraan MA, 2014., hlm 63. Selengkapnya mengenai format putusan Pengadilan Federal Australia dapat dilihat pada Bab VI Karakteristik Putusan Pengadilan Federal Australia Laporan Tim Magang MA-FCA 2014.


Dari preliminary test didapati bahwa persentase banyaknya pertimbangan hukum hanya sekitar 20% dari suatu putusan. Bila dianalogikan, bila putusan tersebut memuat 100 halaman, maka hanya 20 halaman untuk menjelaskan pertimbangan hukum. Bahkan, 2 % dari putusan yang kami teliti tidak memiliki pertimbangan hukum. Oleh karenanya, jika kita melihat kembali kepada urgensi kehadiran pertimbangan hukum dalam suatu putusan, maka seharusnya pertimbangan hukum memiliki porsi yang lebih besar untuk dijelaskan dalam suatu putusan. C. Inkonsistensi Urutan Penempatan Dakwaan dan Tuntutan dalam Putusan Dakwaan adalah tuduhan dari Penuntut Umum kepada Terdakwa atas perbuatan Terdakwa sesuai dengan pasal-pasal yang ditentukan oleh undang-undang. 24 Dakwaan dibuat oleh penuntut umum setelah ia menerima berkas perkara dan hasil penyidikan yang lengkap dari penyidik. Dalam hal ia berpendapat bahwa dari hasil penyidikan dapat dilakukan penuntutan, maka penuntut umum dalam waktu secepatnya membuat dakwaan. Dakwaan tersebut kemudian dilimpahkan kepada pengadilan, bersamaan dengan perkaranya. Dakwaan ini dibacakan pada saat permulaan sidang atas permintaan dari hakim ketua sidang. 25 Dalam dakwaan, Penuntut Umum dapat menjerat si Terdakwa dengan pasal tunggal atau dakwaan tunggal, yaitu melakukan tindak pidana satu pasal saja.26 Selanjutnya,

tuntutan

diajukan

oleh

penuntut

umum

setelah

pemeriksaan di sidang pengadilan dinyatakan selesai. Surat tuntutan dibacakan setelah proses pembuktian di persidangan pidana selesai dilakukan.27 Pengajuan tuntutan oleh Penuntut Umum dalam persidangan

24 Pasal 140 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

(“KUHAP�). 25 https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt4c71f536dd157/surat-dakwaandengan-surat-tuntutan diakses 20 April 2019. 26 https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt575709df72834/jika-adaketidaksesuaian-antara-dakwaan-dan-tuntutan diakses 20 April 2019. 27 https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt4c71f536dd157/surat-dakwaandengan-surat-tuntutan diakses 20 April 2019.


berkaitan dengan marwah Kejaksaan itu sendiri. Secara filosofis, Kejaksaan, dalam hal ini Penuntut Umum adalah kuasa negara untuk menegakkan ketertiban umum dan juga sebagai representasi dari para korban kejahatan. Sehingga, jika Penuntut Umum mendalilkan dalam dakwaannya

bahwa

Terdakwa

bersalah,

Penuntut

Umum

wajib

membuktikan kesalahan dari terdakwa tersebut.28 Preliminary test menampilkan inkonsistensi dari urutan penempatan antara dakwaan dan tuntutan. Preliminary test menunjukkan bahwa 11 % putusan memuat dakwaannya terlebih dahulu sebelum tuntutannya. Sebaliknya, 89 % putusan memuat tuntutannya terlebih dahulu sebelum dakwaannya. Bila kita melihat dari sisi regulasi, memang tidak ada kewajiban bahwa penulisan dakwaan harus diletakkan sebelum penulisan tuntutan di dalam putusan. Akan tetapi, bila kita melihat proses persidangan, maka seharusnya dakwaan ditulis terlebih dahulu daripada tuntutan. Sebagaimana dijelaskan di atas, dakwaan dibacakan pada saat permulaan sidang sedangkan tuntutan dibacakan setelah pemeriksaan di sidang pengadilan dinyatakan selesai. Tuntutan harus sesuai dengan dakwaan karena tuntutan adalah sikap dari Penuntut Umum terhadap bukti-bukti yang terungkap di persidangan dan telah sesuai dengan dakwaan. Sebaliknya, jika dalil Penuntut Umum yang diuraikan dalam dakwaan tidak sesuai dengan alat-alat bukti yang terungkap pada persidangan, Penuntut Umum bisa menuntut agar Terdakwa dibebaskan.29 Dengan demikian, tuntutan tidak mungkin dibuat tanpa adanya dakwaan. Oleh karenanya, harus ada kesamaan pemahaman bagi pembuat putusan agar

menempatkan

dakwaan

sebelum

tuntutan

dan

menghindari

inkonsistensi urutan sebagaimana ditemukan dalam preliminary test ini. D. Penyederhanaan Putusan dengan Metode Lampiran Berdasarkan penjabaran terkait format putusan dalam KUHAP di atas, maka dapat didorong untuk penyederhanaan putusan, khususnya untuk 28 https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt575709df72834/jika-ada-

ketidaksesuaian-antara-dakwaan-dan-tuntutan diakses 20 April 2019. 29 https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt575709df72834/jika-adaketidaksesuaian-antara-dakwaan-dan-tuntutan diakses 20 April 2019.


bagian-bagian yang tidak memiliki dampak “batal demi hukum� jika tidak dicantumkan. Dengan adanya penyederhanaan putusan, maka akan mempermudah para pihak ataupun masyarakat umum untuk memahami putusan dari suatu perkara. Terdapat metode penyederhanaan yang dapat dilakukan tanpa harus melanggar kaidah Pasal 197 KUHAP, yaitu penggunaan lampiran untuk beberapa bagian yang tidak memiliki dampak “batal demi hukum� jika tidak dicantumkan. Contoh dari pelaksanaannya adalah dengan menggunakan metode merujuk dan penggunaan lampiran untuk bagian-bagian yang sering mengalami pengulangan seperti bagian dakwaan dan bagian rincian status barang bukti. Dengan adanya pengulangan bagian tersebut, tentu saja membuat jumlah halaman yang diketik menjadi lebih banyak, terutama pada kasus-kasus yang memiliki barang bukti sangat banyak. Oleh karenanya, penting untuk menggunakan lampiran sebagai alternatif dalam pembuatan putusan.


BAB III ANALISIS INDEKSASI PUTUSAN PIDANA DI PENGADILAN TINGKAT BANDING 3.1 Implementasi Putusan Tindak Pidana Khusus Tingkat Banding A. Overview Untuk mengukur urgensi dari penelitian ini, tim peneliti melakukan preliminary test terhadap beberapa putusan tingkat banding. Tim peneliti mengumpulkan 120 putusan tingkat banding. 120 putusan ini diambil secara proporsional dari 5 jenis tindak pidana, yakni pidana anak, pidana terorisme, pidana lingkungan, pidana narkotika, dan pidana korupsi. Dalam preliminary test ini, akan diteliti terkait komposisi setiap putusan dan eksistensi setiap bagian

format

putusan

dalam

berbagai

putusan

yang

ada.

KOMPOSISI RATA-RATA DARI PUTUSAN TINGKAT BANDING paragraf pertimbangan amar putusan 6% hukum

13% Alat bukti 7% Keterangan terdakwa 1% amar putusan pengadilan tingkat pertama Keterangan saksi 9% 1%

penutup 4%

Kepala Putusan 4% Identitas 4% riwayat penahanan dakwaan 6% 35%

tuntutan 10%


EKSISTENSI SETIAP BAGIAN FORMAT PUTUSAN DALAM KESELURUHAN PUTUSAN TINGKAT BANDING (DALAM PERSEN) paragraf penutup amar putusan pertimbangan hukum Alat bukti Keterangan terdakwa Keterangan saksi amar putusan pengadilan tingkat‌ tuntutan dakwaan riwayat penahanan Identitas Kepala Putusan 0%

20%

40%

60%

80%

100% 120%

Melalui preliminary test ini, tim peneliti mendapati bahwa komposisi rata-rata dari setiap putusan tingkat banding adalah: Kepala Putusan

4%

identitas terdakwa

4%

riwayat penahanan

6%

Dakwaan

35%

Tuntutan

10%

amar putusan pengadilan tingkat pertama

9%

Keterangan saksi

1%

Keterangan terdakwa

1%

Alat bukti

7%

pertimbangan hukum

13%

amar putusan

6%

paragraf penutup

4%

Sementara itu, dari perspektif keberadaan atau eksistensi dari setiap bagian format dalam keseluruhan putusan, tim peneliti mendapati bahwa: ‘


Kepala Putusan

100% ada

identitas terdakwa 98% ada riwayat penahanan

96% ada

Dakwaan

100% ada

Tuntutan

98% ada

amar putusan pengadilan tingkat pertama

100% ada

Keterangan saksi

11% ada

Keterangan terdakwa

11% ada

Alat bukti

77% ada

pertimbangan hukum

100% ada

amar putusan paragraf penutup

100% ada 100 % ada

B. Minimnya Porsi Pertimbangan Hakim dalam Komposisi Setiap Putusan Permasalahan pertama yang ditemui dalam preliminary test ini adalah kecilnya angka persentase dari pertimbangan hukum dalam komposisi putusan. Kedudukan pertimbangan hukum dalam putusan sangat penting. Bahkan, dapat dikatakan sebagai inti yuridis dari sebuah putusan hakim.30 Menurut Sudikno Mertokusumo, yang dipandang sebagai dasar putusan adalah pertimbangan hukum. 31 Sementara itu, Wiryono Kusumo menjelaskan bahwa pertimbangan hukum atau yang sering disebut juga considerans merupakan dasar putusan Hakim atau argumentasi Hakim dalam memutuskan suatu perkara. Jika argumen hukum itu tidak benar dan tidak sepantasnya (proper), maka orang kemudian dapat menilai bahwa putusan itu tidak benar dan tidak adil. Secara sederhana, hukuman yang akan dijatuhkan Majelis Hakim mengikuti pertimbangan hakimnya.32 Artinya, kehidupan selanjutnya dari

30 Dr. Jonaedi Efendi, Rekonstruksi Dasar Pertimbangan Hukum Hakim: Berbasis Nilai-Nilai Hukum dan Rasa Keadilan yang Hidup dalam Masyarakat,� (Depok: Prenadamedia Group, 2018), hlm. 110. 31 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum : Suatu Pengantar, (Liberty: Yogyakarta, 2005),

hlm. 22.

32 https://acch.kpk.go.id/en/component/content/article?id=822:eksaminasi-terhadapputusan-pengadilan-tindak-pidana-korupsi-pada-pengadilan-negeri-jakarta-pusat-atas-namaterdakwa-amir-fauzi-putusan-nomor-127-pid-sus-tpk-2015-pn-jkt-pst diakses 4 November 2018.


terdakwa ditentukan oleh pertimbangan hakim dalam perkaranya, apakah ia akan menjadi terpidana atau tidak. Oleh karenanya, menjadi wajar jika pertimbangan hukum mendapat porsi terbanyak dalam komposisi suatu putusan. Tidak hanya berkaitan dengan jumlah komposisi, pertimbangan hukum juga harus didasarkan pada alasan dan dasar hukum yang tepat dan benar. 33 Putusan harus memiliki pertimbangan hukum yang sempurna. Pertimbangan hukum adalah “zona� nalar untuk mencapai putusan yang dapat diterima logika dan nalar. Pertimbangan hukum adalah jembatan yang menghubungkan antara fakta yang ada dalam duduk perkara dengan amar hakim. 34 Putusan yang dijatuhkan oleh hakim harus bedasarkan pertimbangan yang jelas dan cukup. Bahkan, putusan yang tidak memenuhi ketentuan tersebut dikategorikan putusan yang tidak cukup pertimbangan atau onvoldoende gemotiveerd.35 Selain itu, putusan yang tidak cukup pertimbangan adalah masalah yuridis dan dapat dibatalkan pada tingkat banding atau kasasi.36 Bila diperbandingkan dengan negara-negara lain, pertimbangan hukum telah mendapat porsi khusus untuk dijabarkan dalam suatu putusan. Di Australia, Putusan Pengadilan Federal Australia, baik berupa salinan resmi yang disampaikan oleh pengadilan maupun yang dipublikasikan secara elektronik, terdiri dari tiga bagian utama, yaitu cover sheet, amar putusan/penetapan, dan pertimbangan hukum. Artinya, pertimbangan hukum terletak pada halaman berikutnya setelah pernyataan amar putusan. Pada bagian ini, Hakim akan mencurahkan segenap kemampuannya untuk mengambil sikap dan pendapat atas putusan-putusan yang diajukan 33 Pasal 53 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman 34 https://badilag.mahkamahagung.go.id/artikel/publikasi/artikel/nalar-dalampertimbangan-hukum-oleh-muhamad-rizki-sh-218 diakses 5 November 2018. 35 http://pn-tilamuta.go.id/2016/07/12/pertimbangan-hukum-hakim-dalam-putusan-

perkara-perdata-dengan-menggunakan-terjemahan-burgerlijk-wetboek/ diakses 5 November 2018. 36 http://pn-tilamuta.go.id/2016/07/12/pertimbangan-hukum-hakim-dalam-putusanperkara-perdata-dengan-menggunakan-terjemahan-burgerlijk-wetboek/ diakses 5 November 2018.


sebelumnya. 37 Sementara itu, di Amerika Serikat, putusan pengadilan dibagi menjadi dua bagian, yaitu bagian Syllabus dan bagian Opinion of The Court. Dalam bagian Opinion of The Court, berisi riwayat perkara, riwayat proses pemeriksaan perkara pada pengadilan tingkat sebelumnya, dan pertimbangan hukum. Akan tetapi, urgensinya bagian pertimbangan hukum tidak diimplementasikan dalam pelaksanaanya di peradilan tingkat banding. Dari preliminary test didapati bahwa persentase banyaknya pertimbangan hukum hanya sekitar 13% dari suatu putusan. Bila dianalogikan, bila putusan tersebut memuat 100 halaman, maka hanya 13 halaman untuk menjelaskan pertimbangan hukum. Artinya, dari setiap putusan yang dihasilkan peradilan tingkat banding, hanya 13 % dari putusan yang murni buah pemikiran dari hakim pengadilan tingkat banding.Oleh karenanya, jika kita melihat kembali kepada urgensi kehadiran pertimbangan hukum dalam suatu putusan, maka seharusnya pertimbangan hukum memiliki porsi yang lebih besar untuk dijelaskan dalam suatu putusan. C. Adanya Bagian Wajib yang tidak dicantumkan dalam Putusan Setiap putusan pemidanaan, Hakim Pengadilan Negeri dalam mengadili dan memberikan putusan terhadap perkara pidana adalah wajib atau imperatif memperhatikan formalitas yang harus dipenuhi dalam sebuah Putusan Hakim dalam hukum acara pidana. Pengaturan mengenai format putusan perkara pidana dalam KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) dapat dilihat pada Pasal 197 ayat (1), yang berbunyi: “Surat putusan pemidanaan memuat: a. kepala putusan yang dituliskan berbunyi: "DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA"; b. nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan terdakwa; 37 Tim Magang MA-FCA 2014, Laporan Internship Program 2014 Mahkamah Agung RIFederal Court of Australia.Jakarta : Kepaniteraan MA, 2014., hlm 63. Selengkapnya mengenai format putusan Pengadilan Federal Australia dapat dilihat pada Bab VI Karakteristik Putusan Pengadilan Federal Australia Laporan Tim Magang MA-FCA 2014.


c. dakwaan, sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan; d. pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan beserta alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa, e. tuntutan pidana, sebagaimana terdapat dalam surat tuntutan; f. pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau tindakan dan pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum dari putusan, disertai keadaan yang memberatkan dan yang meringankan terdakwa; g. hari dan tanggal diadakannya musyawarah Majelis Hakim kecuali perkara diperiksa oleh Hakim tunggal; h. pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah terpenuhi semua unsur dalam rumusan tindak pidana disertai dengan kualifikasinya dan pemidanaan atau tindakan yang dijatuhkan; i. ketentuan kepada siapa biaya perkara dibebankan dengan menyebutkan jumlahnya yang pasti dan ketentuan mengenai barang bukti; j. keterangan bahwa seluruh surat ternyata palsu atau keterangan di mana letaknya kepalsuan itu, jika terdapat surat otentik dianggap palsu; k. perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan; l. hari dan tanggal putusan, nama penuntut umum, nama Hakim yang memutus dan nama Panitera. Putusan pemidanaan harus lengkap memuat ketentuan Pasal 197 (1), mulai dari huruf a sampai l. Kalau keseluruhan ketentuan itu tidak dimuat dalam putusan, maka putusan tersebut menjadi “batal demi hukum.” Akan tetapi, Pasal 197 ayat (2) memberi “kelonggaran” dan pemaafan, karena sesuai dengan ketentuan itu, telah ditentukan apa yang “mutlak” harus dimuat dalam putusan pemidanaan, yakni meliputi ketentuan yang disebut Pasal 197 ayat (1) huruf a,b,c,d,f,h,j,k, dan l. Dengan demikian, kelalaian atau kealpaan memuat ketentuan huruf g (hari dan tanggal musyawarah hakim), dan huruf i (kepada siapa biaya perkara dibebankan dengan menyebutkan jumlah yang pasti, dan ketentuan mengenai barang bukti), tidak merupakan faktor yang mengakibatkan


batalnya putusan demi hukum.

38

Apabila putusan tidak memuat

pernyataan yang ditentukan dalam Pasal 197 ayat (1) jo. Pasal 197 ayat (2), bisa mengakibatkan putusan, “batal demi hukum.” Demikian fatalnya akibat yang akan dialami putusan yang tidak mengindahkan ketentuan yang digariskan Pasal 197 ayat (1) jo. Pasal 197 ayat (2).39 Namun kemudian, sejak adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-X/2012 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana, Mahkamah Konstitusi (“MK”) menyatakan Pasal 197 ayat (2) huruf k KUHAP inkonstitusional. Artinya, Pasal 197 ayat (2) huruf k KUHAP bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, apabila diartikan surat putusan pemidanaan yang tidak memuat ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP mengakibatkan putusan batal demi hukum. Oleh karena itu, redaksional Pasal 197 ayat (2) KUHAP selengkapnya berubah menjadi, “Tidak dipenuhinya ketentuan dalam ayat (1) huruf a, b, c, d, e, f, h, j, dan l pasal ini mengakibatkan putusan batal demi hukum.”40 Selain itu, perlu diperhatikan pula Penjelasan dari Pasal 197 ayat (2). Dalam Penjelasannya dinyatakan, “Kecuali yang tersebut pada huruf a, e, f dan h, apabila terjadi kekhilafan dan atau kekeliruan dalam penulisan, maka kekhilafan dan atau kekeliruan penulisan atau pengetikan tidak menyebabkan batalnya putusan demi hukum.” Dengan demikian maka, apabila suatu putusan pemidanaan tidak mencantumkan ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf g dan huruf i karena tidak disebutkan dalam Pasal 197 ayat (2), serta terjadi kekhilafan dan atau kekeliruan dalam penulisan atau pengetikan materi sebagaimana ditentukan dalam Pasal 197 ayat (1) yang mengecualikan huruf a, e, f, dan h, maka tidak menyebabkan batalnya putusan demi hukum.41 Oleh karenanya, bagian Kepala Putusan, 38 Yahya harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP : Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, Dan Peninjauan Kembali, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hlm. 371. 39 Yahya harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP : Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, Dan Peninjauan Kembali, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hlm. 360. 40 https://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt5a84ed465a100/arti-putusan-pengadilan-

batal-demi-hukum diakses 29 Oktober 2018.

41 https://media.neliti.com/media/publications/108471-ID-kajian-terhadap-putusan-bataldemi-hukum.pdf hlm. 55 – 56.


Tuntutan, dan Amar Putusan menjadi bagian yang paling wajib untuk ada dalam setiap putusan, meski terjadi kekhilafan dan/atau kekeliruan penulisan atau pengetikan dalam pengetikan bagian tersebut. Putusan yang dinyatakan batal demi hukum adalah putusan yang sejak semula dianggap tidak pernah ada (never existed).42 Setiap putusan yang tidak sah dan dianggap sejak semula tidak pernah ada serta sejak semula batal demi hukum, dengan sendirinya putusan itu tidak mempunyai kekuatan mengikat (krchtelooss, in effective). Oleh karena itu, pada putusan tersebut tidak melekat kekuatan eksekutorial. Akibat hukumnya (rechtsgevolg, legal effect), Jaksa Penuntut Umum tidak dapat mengeksekusinya berdasar kewenangan yang diberikan Pasal 270 KUHAP.43 Kalau ada pihak Jaksa selaku eksekutor Putusan Pengadilan yang tetap mengeksekusi putusan tersebut, maka eksekutor bisa dituntut dengan Pasal 333 Kitab Hukum Undang-Undang Pidana (KUHP), sedangkan Jaksa Agung bisa dituntut dengan Pasal 55 KUHP.44 Dalam preliminary test ini, ditemukan fakta bahwa tidak semua putusan peradilan tingkat banding mencantumkan bagian wajib dari format putusan. Sebanyak 2 % dari keseluruhan putusan yang diteliti tidak memuat Tuntutan.. Meski angka presentasenya kecil, hal ini tentu tidak dapat dipandang sebelah mata. Jika suatu putusan tidak memuat kepala putusan, tuntutan, dan/atau amar putusan, meskipun terjadi karena kekhilafan dan / atau kekeliruan dalama penulisan, maka putusan tersebut menjadi batal demi hukum. Melihat fakta ini, pihak pengadilan harus lebih berhati-hati dalam membuat putusan agar tidak bertentangan dengan kewajiban format dalam hukum acara pidana dan menjadi batal demi hukum.

42 https://media.neliti.com/media/publications/108471-ID-kajian-terhadap-putusan-bataldemi-hukum.pdf hlm. 58. 43 https://media.neliti.com/media/publications/108471-ID-kajian-terhadap-putusan-batal-

demi-hukum.pdf hlm. 66.

44 https://www.jpnn.com/news/langgar-kuhap-putusan-pengadilan-harus-batal-demihukum diakses 29 Oktober 2018.


D. Penyederhanaan Putusan dengan Metode Lampiran Berdasarkan penjabaran terkait format putusan dalam KUHAP di atas, maka dapat didorong untuk penyederhanaan putusan, khususnya untuk bagian-bagian yang tidak memiliki dampak “batal demi hukum” jika tidak dicantumkan. Dengan adanya penyederhanaan putusan, maka akan mempermudah para pihak ataupun masyarakat umum untuk memahami putusan dari suatu perkara. Terdapat metode penyederhanaan yang dapat dilakukan tanpa harus melanggar kaidah Pasal 197 KUHAP, yaitu penggunaan lampiran untuk beberapa bagian yang tidak memiliki dampak “batal demi hukum” jika tidak dicantumkan. Contoh dari pelaksanaannya adalah dengan menggunakan metode merujuk dan penggunaan lampiran untuk bagian-bagian yang sering mengalami pengulangan seperti bagian dakwaan dan bagian rincian status barang bukti. Dengan adanya pengulangan bagian tersebut, tentu saja membuat jumlah halaman yang diketik menjadi lebih banyak, terutama pada kasuskasus yang memiliki barang bukti sangat banyak. Oleh karenanya, penting untuk menggunakan lampiran sebagai alternatif dalam pembuatan putusan. Untuk tingkat pengadilan banding, dapat dipertimbangkan pula usulan untuk menghilangkan bagian dakwaan dengan cara membuat link dan atau membuat lampiran tersendiri terhadap surat dakwaan, surat tuntutan, dan amar putusan tingkat sebelumnya. Penyederhanaan bagian seperti ini tidak melanggar kaidah Pasal 197 KUHAP, karena bagianbagian putusan yang dimaksud oleh pasal tersebut tetap ada walaupun ditempatkan pada bagian lampiran. Agar lampiran tersebut mempunyai kekuatan yang sama mengikatnya dengan putusan, maka dalam putusan pengadilan banding harus dinyatakan bahwa bagian lampiran tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dari putusannya. Sehingga nantinya di dalam isi putusan pengadilan banding, disebutkan isi surat dakwaan dengan kata “merujuk di dalam surat dakwaan yang dibuat oleh Penuntut Umum dengan nomor surat...”. 3.2 Implementasi Putusan Tindak Pidana Umum Tingkat Banding


A. Overview Untuk mengukur urgensi dari penelitian ini, tim peneliti melakukan preliminary test terhadap beberapa putusan tindak pidana umum tingkat banding. Tim peneliti mengumpulkan 47 putusan tingkat banding. 47 putusan ini diambil secara proporsional dari 5 jenis tindak pidana umum, yakni penadahan, penganiayaan, penipuan, pencurian, dan penggelapan. Dalam preliminary test ini, akan diteliti terkait komposisi setiap putusan, eksistensi setiap bagian format putusan dalam berbagai putusan yang ada, dan konsistensi urutan penempatan dakwaan dan tuntutan dalam putusan. Melalui preliminary test ini, tim peneliti mendapati bahwa komposisi rata-rata dari setiap putusan tingkat banding adalah: Kepala Putusan

7%

identitas terdakwa

7%

riwayat penahanan

6%

dakwaan

26%

tuntutan

7%

amar putusan pengadilan tingkat pertama

6%

Keterangan saksi

0%

Keterangan terdakwa

0%

Alat bukti

6%

pertimbangan hukum

21%

amar putusan

8%

paragraf penutup

7%

Sementara itu, dari perspektif keberadaan atau eksistensi dari setiap bagian format dalam keseluruhan putusan, tim peneliti mendapati bahwa: Kepala Putusan

100% ada

identitas terdakwa 100% ada riwayat penahanan

92% ada

Dakwaan

92% ada

Tuntutan

85% ada

amar putusan pengadilan tingkat pertama

71% ada

Keterangan saksi

2% ada

Keterangan terdakwa

4% ada


Alat bukti

77% ada

pertimbangan hukum

98% ada

amar putusan

100% ada 100% ada

paragraf penutup

B. Minimnya porsi Pertimbangan Hukum dalam komposisi setiap putusan Permasalahan pertama yang ditemui dalam preliminary test ini adalah kecilnya angka persentase dari pertimbangan hukum dalam komposisi putusan. Kedudukan pertimbangan hukum dalam putusan sangat penting. Bahkan, dapat dikatakan sebagai inti yuridis dari sebuah putusan hakim. 45 Menurut Sudikno Mertokusumo, yang dipandang sebagai dasar putusan adalah pertimbangan hukum. 46 Sementara itu, Wiryono Kusumo menjelaskan bahwa pertimbangan hukum atau yang sering disebut juga considerans merupakan dasar putusan Hakim atau argumentasi Hakim dalam memutuskan suatu perkara. Jika argumen hukum itu tidak benar dan tidak sepantasnya (proper), maka orang kemudian dapat menilai bahwa putusan itu tidak benar dan tidak adil. Secara sederhana, hukuman yang akan dijatuhkan Majelis Hakim

mengikuti pertimbangan hakimnya.

47

Artinya,

kehidupan selanjutnya dari terdakwa ditentukan oleh pertimbangan hakim dalam perkaranya, apakah ia akan menjadi terpidana atau tidak. Oleh karenanya, menjadi wajar jika pertimbangan hukum mendapat porsi terbanyak dalam komposisi suatu putusan. Tidak hanya berkaitan dengan jumlah komposisi, pertimbangan hukum juga harus didasarkan pada alasan dan dasar hukum yang tepat

45 Dr. Jonaedi Efendi, Rekonstruksi Dasar Pertimbangan Hukum Hakim: Berbasis Nilai-Nilai Hukum dan Rasa Keadilan yang Hidup dalam Masyarakat,� (Depok: Prenadamedia Group, 2018), hlm. 110. 46 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum : Suatu Pengantar, (Liberty: Yogyakarta, 2005),

hlm. 22.

47 https://acch.kpk.go.id/en/component/content/article?id=822:eksaminasi-terhadapputusan-pengadilan-tindak-pidana-korupsi-pada-pengadilan-negeri-jakarta-pusat-atas-namaterdakwa-amir-fauzi-putusan-nomor-127-pid-sus-tpk-2015-pn-jkt-pst diakses 4 November 2018.


dan benar. 48 Putusan harus memiliki pertimbangan hukum yang sempurna. Pertimbangan hukum adalah “zona� nalar untuk mencapai putusan yang dapat diterima logika dan nalar. Pertimbangan hukum adalah jembatan yang menghubungkan antara fakta yang ada dalam duduk perkara dengan amar hakim.49 Putusan yang dijatuhkan oleh hakim harus bedasarkan pertimbangan yang jelas dan cukup. Bahkan, putusan yang tidak memenuhi ketentuan tersebut dikategorikan putusan

yang

tidak

cukup

pertimbangan

atau

onvoldoende

gemotiveerd. 50 Selain itu, putusan yang tidak cukup pertimbangan adalah masalah yuridis dan dapat dibatalkan pada tingkat banding atau kasasi.51 Bila diperbandingkan dengan negara-negara lain, pertimbangan hukum telah mendapat porsi khusus untuk dijabarkan dalam suatu putusan. Di Australia, Putusan Pengadilan Federal Australia, baik berupa salinan resmi yang disampaikan oleh pengadilan maupun yang dipublikasikan secara elektronik, terdiri dari tiga bagian utama, yaitu cover sheet, amar putusan/penetapan, dan pertimbangan hukum. Artinya, pertimbangan hukum terletak pada halaman berikutnya setelah pernyataan amar putusan. Pada bagian ini, Hakim akan mencurahkan segenap kemampuannya untuk mengambil sikap dan pendapat atas putusan-putusan yang diajukan sebelumnya.52 Sementara itu, di Amerika Serikat, putusan pengadilan dibagi menjadi dua bagian, yaitu bagian Syllabus dan bagian Opinion of The Court. Dalam bagian 48 Pasal 53 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan

Kehakiman

49 https://badilag.mahkamahagung.go.id/artikel/publikasi/artikel/nalar-dalampertimbangan-hukum-oleh-muhamad-rizki-sh-218 diakses 5 November 2018. 50 http://pn-tilamuta.go.id/2016/07/12/pertimbangan-hukum-hakim-dalam-putusan-

perkara-perdata-dengan-menggunakan-terjemahan-burgerlijk-wetboek/ diakses 5 November 2018. 51 http://pn-tilamuta.go.id/2016/07/12/pertimbangan-hukum-hakim-dalam-putusan-

perkara-perdata-dengan-menggunakan-terjemahan-burgerlijk-wetboek/ diakses 5 November 2018. 52 Tim Magang MA-FCA 2014, Laporan Internship Program 2014 Mahkamah Agung RIFederal Court of Australia.Jakarta : Kepaniteraan MA, 2014., hlm 63. Selengkapnya mengenai format putusan Pengadilan Federal Australia dapat dilihat pada Bab VI Karakteristik Putusan Pengadilan Federal Australia Laporan Tim Magang MA-FCA 2014.


Opinion of The Court, berisi riwayat perkara, riwayat proses pemeriksaan perkara pada pengadilan tingkat sebelumnya, dan pertimbangan hukum. Akan tetapi, urgensinya bagian pertimbangan hukum tidak diimplementasikan dalam pelaksanaanya di peradilan tingkat banding. Dari

preliminary

test

didapati

bahwa

persentase

banyaknya

pertimbangan hukum hanya sekitar 21% dari suatu putusan. Bila dianalogikan, bila putusan tersebut memuat 100 halaman, maka hanya 21 halaman untuk menjelaskan pertimbangan hukum. Artinya, dari setiap putusan yang dihasilkan peradilan tingkat banding, hanya 21 % dari putusan yang murni buah pemikiran dari hakim pengadilan tingkat banding. Bahkan, 2 % putusan yang kami teliti tidak memiliki pertimbangan hukum. Oleh karenanya, jika kita melihat kembali kepada urgensi kehadiran pertimbangan hukum dalam suatu putusan, maka seharusnya pertimbangan hukum memiliki porsi yang lebih besar untuk dijelaskan dalam suatu putusan. C. Adanya Putusan yang tidak memuat amar putusan pengadilan tingkat pertama Banding adalah upaya hukum bagi pihak-pihak yang tidak puas atau tidak dapat menerima keputusan hakim dalam pemeriksaan tingkat pertama. Dari segi formal, pemeriksaan banding merupakan upaya yang tersedia bagi pihak-pihak yang berkepentingan supaya putusan peradilan tingkat pertama diperiksa kembali dalam peradilan tingkat banding. Upaya hukum banding merupakan hak dari pihak-pihak yang berperkara sebagaimana diatur dalam Pasal 67 KUHAP. Dalam kaitan ini M Yahya Harahap mengemukakan, bahwa secara singkat maksud dan tujuan pemeriksaan tingkat banding adalah: a. Memperbaiki kekeliruan putusan tingkat pertama. b. Mencegah kesewenangan dan penyalahgunaan jabatan c. Pengawasan terciptanya keseragaman penerapan hukum.


Memahami tujuan dan maksud pemeriksaan perkara pada tingkat banding itu, maka dalam menggunakan hak-nya melakukan upaya hukum banding disertai dengan alasan-alasan permintaan banding. Dalam kaitan ini, KUHAP tidak menyebutkan apa saja alasan-alasan yang dapat diajukan sebagai alasan untuk membanding putusan pengadilan tingkat pertama. Hal ini berbeda dengan upaya hukum kasasi, dimana Pasal 253 ayat (1) KUHAP menyebutkan dengan tegas apa saja alasan-alasan yang dapat diajukan oleh pemohon kasasi. Karena itu, pemeriksaan perkara pada tingkat banding tentulah bertumpu di dasarkan pada ketidak-setujuan atau keberatan dari pihakpihak yang berperkara atas putusan pengadilan tingkat pertama. Meskipun demikian, biasanya pihak-pihak yang melakukan upaya banding membuat memori banding dan dalam memori banding tersebut pembanding menguraikan hal-hal yang menjadi keberatannya atas pertimbangan dan putusan pengadilan tingkat pertama. Satu hal yang perlu dicatat bahwa memori banding dari pemohon banding tidak bersifat wajib sebagaimana adanya memori kasasi dalam upaya hukum kasasi. Perihal acara peradilan banding dalam hukum pidana diatur dalam pasal 233 sampai dengan pasal 243 KUHAP. Sehubungan dengan soal banding itu, apabila putusan Hakim tingkat pertama memuat perintah “terdakwa ditahan atau membebaskan terdakwa dari tahanan�. Perintah tersebut harus ditetapkan didalam putusan terakhir. Majelis harus memperhatikan ketentuan-ketentuan yang termaktub dalam pasal 193 ayat 2 (a) jo. pasal 21 KUHAP dan pasal 193 ayat 2 (b) KUHAP. Oleh sebab perintah terdakwa ditahan berarti segera masuk tahanan, maka perintah ini hanya dapat dikeluarkan apabila terdakwa diajukan ke muka persidangan pengadilan karena perbuatan-perbuatan yang dimaksud dalam pasal 21 ayat 4 KUHAP. Putusan Majelis tadi harus segera dilaksanakan oleh Jaksa setelah putusan Hakim diucapkan, tanpa menunggu turunnya putusan banding.


Demikian pula apabila terdakwa meminta berpikir dalam tempo 7 (tujuh) hari, jangka waktu mana merupakan jangka waktu untuk mengajukan

banding.

Apabila

Penuntut

Umum

atau

terdakwa/Penasehat Hukum mengajukan bandingnya melampaui tenggang waktu 7 (tujuh) hari, maka Panitera membuat keterangan yang

menyatakan

keterlambatan

permintaan

banding

yang

ditandatangani Panitera dan diketahui Ketua, sehingga berkas perkara permintaan banding tidak dikirimkan ke Pengadilan Tinggi.53 Melihat penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa putusan tingkat banding tidak dapat dipisahkan dengan putusan sebelumnya di tingkat pertama. Akan tetapi, dalam preliminary test ini ditemukan fakta bahwa 29 % putusan tindak pidana umum tingkat banding yang kami teliti tidak memuat amar putusan tingkat pertama. Hal ini tentunya tidak masuk akal karena objek utama dari upaya banding adalah ketidakpuasan atas putusan pengadilan tingkat pertama. Sudah seharusnya, setiap putusan tingkat banding mencantumkan amar putusan pengadilan tingkat pertama. D. Adanya Bagian Wajib yang tidak dicantumkan dalam Putusan Setiap putusan pemidanaan, Hakim Pengadilan Negeri dalam mengadili dan memberikan putusan terhadap perkara pidana adalah wajib atau imperatif memperhatikan formalitas yang harus dipenuhi dalam sebuah Putusan Hakim dalam hukum acara pidana. Pengaturan mengenai format putusan perkara pidana dalam KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) dapat dilihat pada Pasal 197 ayat (1), yang berbunyi: “Surat putusan pemidanaan memuat: a. kepala putusan yang dituliskan berbunyi: "DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA"; b. nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan terdakwa; 53 http://pn-slawi.go.id/v1/upaya-hukum-pidana/ diakses pada 20 April 2019.


c. dakwaan, sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan; d. pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan

beserta

alat

pembuktian

yang

diperoleh

dari

pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa, e. tuntutan pidana, sebagaimana terdapat dalam surat tuntutan; f. pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau tindakan dan pasal peraturan perundangundangan yang menjadi dasar hukum dari putusan, disertai keadaan yang memberatkan dan yang meringankan terdakwa; g. hari dan tanggal diadakannya musyawarah Majelis Hakim kecuali perkara diperiksa oleh Hakim tunggal; h. pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah terpenuhi semua unsur dalam rumusan tindak pidana disertai dengan kualifikasinya dan pemidanaan atau tindakan yang dijatuhkan; i. ketentuan kepada siapa biaya perkara dibebankan dengan menyebutkan jumlahnya yang pasti dan ketentuan mengenai barang bukti; j. keterangan bahwa seluruh surat ternyata palsu atau keterangan di mana letaknya kepalsuan itu, jika terdapat surat otentik dianggap palsu; k. perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan; l. hari dan tanggal putusan, nama penuntut umum, nama Hakim yang memutus dan nama Panitera. Putusan pemidanaan harus lengkap memuat ketentuan Pasal 197 (1), mulai dari huruf a sampai l. Kalau keseluruhan ketentuan itu tidak dimuat dalam putusan, maka putusan tersebut menjadi “batal demi hukum.” Akan tetapi, Pasal 197 ayat (2) memberi “kelonggaran” dan pemaafan, karena sesuai dengan ketentuan itu, telah ditentukan apa yang “mutlak” harus dimuat dalam putusan pemidanaan, yakni meliputi ketentuan yang disebut Pasal 197 ayat (1) huruf a,b,c,d,f,h,j,k, dan l. Dengan demikian, kelalaian atau kealpaan memuat ketentuan


huruf g (hari dan tanggal musyawarah hakim), dan huruf i (kepada siapa biaya perkara dibebankan dengan menyebutkan jumlah yang pasti, dan ketentuan mengenai barang bukti), tidak merupakan faktor yang mengakibatkan batalnya putusan demi hukum.54 Apabila putusan tidak memuat pernyataan yang ditentukan dalam Pasal 197 ayat (1) jo. Pasal 197 ayat (2), bisa mengakibatkan putusan, “batal demi hukum.” Demikian fatalnya akibat yang akan dialami putusan yang tidak mengindahkan ketentuan yang digariskan Pasal 197 ayat (1) jo. Pasal 197 ayat (2).55 Namun kemudian, sejak adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-X/2012 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana, Mahkamah Konstitusi (“MK”)

menyatakan

Pasal

197

ayat

(2) huruf

k

KUHAP

inkonstitusional. Artinya, Pasal 197 ayat (2) huruf k KUHAP bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, apabila diartikan surat putusan pemidanaan yang tidak memuat ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP mengakibatkan putusan batal demi hukum. Oleh karena itu, redaksional Pasal 197 ayat (2) KUHAP selengkapnya berubah menjadi, “Tidak dipenuhinya ketentuan dalam ayat (1) huruf a, b, c, d, e, f, h, j, dan l pasal ini mengakibatkan putusan batal demi hukum.”56 Selain itu, perlu diperhatikan pula Penjelasan dari Pasal 197 ayat (2). Dalam Penjelasannya dinyatakan, “Kecuali yang tersebut pada huruf a, e, f dan h, apabila terjadi kekhilafan dan atau kekeliruan dalam penulisan, maka kekhilafan dan atau kekeliruan penulisan atau pengetikan tidak menyebabkan batalnya putusan demi hukum.” Dengan demikian maka, apabila suatu putusan pemidanaan tidak mencantumkan ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf g dan huruf i karena 54 Yahya harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP : Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, Dan Peninjauan Kembali, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hlm. 371. 55 Yahya harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP : Pemeriksaan Sidang

Pengadilan, Banding, Kasasi, Dan Peninjauan Kembali, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hlm. 360.

56 https://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt5a84ed465a100/arti-putusan-pengadilanbatal-demi-hukum diakses 29 Oktober 2018.


tidak disebutkan dalam Pasal 197 ayat (2), serta terjadi kekhilafan dan atau kekeliruan dalam penulisan atau pengetikan materi sebagaimana ditentukan dalam Pasal 197 ayat (1) yang mengecualikan huruf a, e, f, dan h, maka tidak menyebabkan batalnya putusan demi hukum.57 Oleh karenanya, bagian Kepala Putusan, Tuntutan, dan Amar Putusan menjadi bagian yang paling wajib untuk ada dalam setiap putusan, meski terjadi kekhilafan dan/atau kekeliruan penulisan atau pengetikan dalam pengetikan bagian tersebut. Putusan yang dinyatakan batal demi hukum adalah putusan yang sejak semula dianggap tidak pernah ada (never existed). 58 Setiap putusan yang tidak sah dan dianggap sejak semula tidak pernah ada serta sejak semula batal demi hukum, dengan sendirinya putusan itu tidak mempunyai kekuatan mengikat (krchtelooss, in effective). Oleh karena itu, pada putusan tersebut tidak melekat kekuatan eksekutorial. Akibat hukumnya (rechtsgevolg, legal effect), Jaksa Penuntut Umum tidak dapat mengeksekusinya berdasar kewenangan yang diberikan Pasal 270 KUHAP.59 Kalau ada pihak Jaksa selaku eksekutor Putusan Pengadilan yang tetap mengeksekusi putusan tersebut, maka eksekutor bisa dituntut dengan Pasal 333 Kitab Hukum Undang-Undang Pidana (KUHP), sedangkan Jaksa Agung bisa dituntut dengan Pasal 55 KUHP.60 Dalam preliminary test ini, ditemukan fakta bahwa tidak semua putusan peradilan tingkat banding mencantumkan bagian wajib dari format putusan. Sebanyak 15 % dari keseluruhan putusan yang diteliti tidak memuat Tuntutan. Meski angka presentasenya kecil, hal ini tentu tidak dapat dipandang sebelah mata. Jika suatu putusan tidak memuat 57 https://media.neliti.com/media/publications/108471-ID-kajian-terhadap-putusan-batal-

demi-hukum.pdf hlm. 55 – 56.

58 https://media.neliti.com/media/publications/108471-ID-kajian-terhadap-putusan-bataldemi-hukum.pdf hlm. 58. 59 https://media.neliti.com/media/publications/108471-ID-kajian-terhadap-putusan-batal-

demi-hukum.pdf hlm. 66.

60 https://www.jpnn.com/news/langgar-kuhap-putusan-pengadilan-harus-batal-demihukum diakses 29 Oktober 2018.


kepala putusan, tuntutan, dan/atau amar putusan, meskipun terjadi karena kekhilafan dan / atau kekeliruan dalama penulisan, maka putusan tersebut menjadi batal demi hukum. Melihat fakta ini, pihak pengadilan harus lebih berhati-hati dalam membuat putusan agar tidak bertentangan dengan kewajiban format dalam hukum acara pidana dan menjadi batal demi hukum. E. Penyederhanaan Putusan dengan Metode Lampiran Berdasarkan penjabaran terkait format putusan dalam KUHAP di atas, maka dapat didorong untuk penyederhanaan putusan, khususnya untuk bagian-bagian yang tidak memiliki dampak “batal demi hukum� jika tidak dicantumkan. Dengan adanya penyederhanaan putusan, maka akan mempermudah para pihak ataupun masyarakat umum untuk memahami

putusan

dari

suatu

perkara.

Terdapat

metode

penyederhanaan yang dapat dilakukan tanpa harus melanggar kaidah Pasal 197 KUHAP, yaitu penggunaan lampiran untuk beberapa bagian yang tidak memiliki dampak “batal demi hukum� jika tidak dicantumkan.

Contoh

dari

pelaksanaannya

adalah

dengan

menggunakan metode merujuk dan penggunaan lampiran untuk bagian-bagian yang sering mengalami pengulangan seperti bagian dakwaan dan bagian rincian status barang bukti. Dengan adanya pengulangan bagian tersebut, tentu saja membuat jumlah halaman yang diketik menjadi lebih banyak, terutama pada kasus-kasus yang memiliki barang bukti sangat banyak. Oleh karenanya, penting untuk menggunakan lampiran sebagai alternatif dalam pembuatan putusan. Untuk tingkat pengadilan banding, dapat dipertimbangkan pula usulan untuk menghilangkan bagian dakwaan dengan cara membuat link dan atau membuat lampiran tersendiri terhadap surat dakwaan, surat tuntutan, dan amar putusan tingkat sebelumnya. Penyederhanaan bagian seperti ini tidak melanggar kaidah Pasal 197 KUHAP, karena bagian-bagian putusan yang dimaksud oleh pasal tersebut tetap ada walaupun ditempatkan pada bagian lampiran. Agar lampiran tersebut mempunyai kekuatan yang sama mengikatnya dengan putusan, maka dalam putusan pengadilan banding harus dinyatakan bahwa bagian


lampiran tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dari putusannya. Sehingga nantinya di dalam isi putusan pengadilan banding, disebutkan isi surat dakwaan dengan kata “merujuk di dalam surat dakwaan yang dibuat oleh Penuntut Umum dengan nomor surat...�.


BAB IV ANALISIS INDEKSASI PUTUSAN DI PENGADILAN MILITER TINGKAT PERTAMA DAN BANDING

4.1 Implementasi Putusan Pengadilan Militter Tingkat Pertama A. Overview Untuk mengukur urgensi dari penelitian ini, tim peneliti melakukan preliminary test terhadap beberapa putusan pengadilan militer tingkat pertama. Tim peneliti mengumpulkan 49 putusan pengadilan militer tingkat pertama. Dalam preliminary test ini, akan diteliti terkait komposisi setiap putusan, eksistensi setiap bagian format putusan dalam berbagai putusan yang ada, serta konsistensi urutan penempatan dakwaan dan tuntutan. Melalui preliminary test ini, tim peneliti mendapati bahwa komposisi rata-rata dari setiap putusan tingkat pertama adalah: Kepala putusan Identitas Terdakwa Riwayat penahanan Dakwaan Tuntutan Keterangan saksi Keterangan terdakwa Alat bukti Pertimbangan hukum Amar putusan Paragraf penutup

5% 5% 2% 12% 4% 19% 4% 4% 35% 5% 5%


Sementara itu, dari perspektif keberadaan atau eksistensi dari setiap bagian format dalam keseluruhan putusan, tim peneliti mendapati bahwa: Kepala putusan

100% ada

Identitas Terdakwa 100% ada

Riwayat penahanan

52% ada

Dakwaan

92% ada

Tuntutan

84% ada

Keterangan saksi

86% ada

Keterangan terdakwa

46% ada

Alat bukti

88% ada

Pertimbangan hukum

94% ada

Amar putusan

100% ada

Paragraf penutup

100% ada

B. Minimnya porsi Pertimbangan Hukum dalam komposisi setiap putusan Permasalahan pertama yang ditemui dalam preliminary test ini adalah kecilnya angka persentase dari pertimbangan hukum dalam komposisi putusan. Kedudukan pertimbangan hukum dalam putusan sangat penting. Bahkan, dapat dikatakan sebagai inti yuridis dari sebuah putusan hakim.61 Menurut Sudikno Mertokusumo, yang dipandang sebagai dasar putusan adalah pertimbangan hukum.

62

Sementara itu, Wiryono Kusumo

menjelaskan bahwa pertimbangan hukum atau yang sering disebut juga considerans merupakan dasar putusan Hakim atau argumentasi Hakim dalam memutuskan suatu perkara. Jika argumen hukum itu tidak benar dan tidak sepantasnya (proper), maka orang kemudian dapat menilai bahwa putusan itu tidak benar dan tidak adil. Secara sederhana, hukuman yang

61 Dr. Jonaedi Efendi, Rekonstruksi Dasar Pertimbangan Hukum Hakim: Berbasis Nilai-Nilai

Hukum dan Rasa Keadilan yang Hidup dalam Masyarakat,� (Depok: Prenadamedia Group, 2018), hlm. 110. 62 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum : Suatu Pengantar, (Liberty: Yogyakarta, 2005), hlm. 22.


akan dijatuhkan Majelis Hakim mengikuti pertimbangan hakimnya. 63 Artinya,

kehidupan

selanjutnya

dari

terdakwa

ditentukan

oleh

pertimbangan hakim dalam perkaranya, apakah ia akan menjadi terpidana atau tidak. Oleh karenanya, menjadi wajar jika pertimbangan hukum mendapat porsi terbanyak dalam komposisi suatu putusan. Tidak hanya berkaitan dengan jumlah komposisi, pertimbangan hukum juga harus didasarkan pada alasan dan dasar hukum yang tepat dan benar. 64 Putusan harus memiliki pertimbangan hukum yang sempurna. Pertimbangan hukum adalah “zona� nalar untuk mencapai putusan yang dapat diterima logika dan nalar. Pertimbangan hukum adalah jembatan yang menghubungkan antara fakta yang ada dalam duduk perkara dengan amar hakim. 65 Putusan yang dijatuhkan oleh hakim harus bedasarkan pertimbangan yang jelas dan cukup. Bahkan, putusan yang tidak memenuhi ketentuan tersebut dikategorikan putusan yang tidak cukup pertimbangan atau onvoldoende gemotiveerd.66 Selain itu, putusan yang tidak cukup pertimbangan adalah masalah yuridis dan dapat dibatalkan pada tingkat banding atau kasasi.67 Bila diperbandingkan dengan negara-negara lain, pertimbangan hukum telah mendapat porsi khusus untuk dijabarkan dalam suatu putusan. Di Australia, Putusan Pengadilan Federal Australia, baik berupa salinan resmi yang disampaikan oleh pengadilan maupun yang dipublikasikan secara elektronik, terdiri dari tiga bagian utama, yaitu cover sheet, amar 63 https://acch.kpk.go.id/en/component/content/article?id=822:eksaminasi-terhadap-

putusan-pengadilan-tindak-pidana-korupsi-pada-pengadilan-negeri-jakarta-pusat-atas-namaterdakwa-amir-fauzi-putusan-nomor-127-pid-sus-tpk-2015-pn-jkt-pst diakses 4 November 2018. 64 Pasal 53 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman 65 https://badilag.mahkamahagung.go.id/artikel/publikasi/artikel/nalar-dalampertimbangan-hukum-oleh-muhamad-rizki-sh-218 diakses 5 November 2018. 66 http://pn-tilamuta.go.id/2016/07/12/pertimbangan-hukum-hakim-dalam-putusan-

perkara-perdata-dengan-menggunakan-terjemahan-burgerlijk-wetboek/ diakses 5 November 2018. 67 http://pn-tilamuta.go.id/2016/07/12/pertimbangan-hukum-hakim-dalam-putusanperkara-perdata-dengan-menggunakan-terjemahan-burgerlijk-wetboek/ diakses 5 November 2018.


putusan/penetapan, dan pertimbangan hukum. Artinya, pertimbangan hukum terletak pada halaman berikutnya setelah pernyataan amar putusan. Pada bagian ini, Hakim akan mencurahkan segenap kemampuannya untuk mengambil sikap dan pendapat atas putusan-putusan yang diajukan sebelumnya. 68 Sementara itu, di Amerika Serikat, putusan pengadilan dibagi menjadi dua bagian, yaitu bagian Syllabus dan bagian Opinion of The Court. Dalam bagian Opinion of The Court, berisi riwayat perkara, riwayat proses pemeriksaan perkara pada pengadilan tingkat sebelumnya, dan pertimbangan hukum. Akan

tetapi,

urgensinya

bagian

pertimbangan

hukum

tidak

diimplementasikan dalam pelaksanaanya di peradilan tingkat pertama. Dari preliminary test didapati bahwa persentase banyaknya pertimbangan hukum hanya sekitar 35% dari suatu putusan. Bila dianalogikan, bila putusan tersebut memuat 100 halaman, maka hanya 35 halaman untuk menjelaskan pertimbangan hukum. Bahkan, 6 % dari putusan yang kami teliti tidak memiliki pertimbangan hukum. Oleh karenanya, jika kita melihat kembali kepada urgensi kehadiran pertimbangan hukum dalam suatu putusan, maka seharusnya pertimbangan hukum memiliki porsi yang lebih besar untuk dijelaskan dalam suatu putusan. C. Inkonsistensi Urutan Penempatan Dakwaan dan Tuntutan dalam Putusan Prosedur berperkara peradilan militer berbeda dengan peradilan umum. Dalam proses peradilan militer, dikenal istilah Oditur Militer. Oditur Militer yang selanjutnya disebut Oditur adalah pejabat yang diberi wewenang untuk bertindak sebagai penuntut umum, sebagai pelaksana putusan atau penetapan Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer atau Pengadilan dalam lingkungan peradilan umum dalam perkara pidana, dan sebagai penyidik.69 Berkas Perkara dari Penyidik Polisi Militer setelah

68 Tim Magang MA-FCA 2014, Laporan Internship Program 2014 Mahkamah Agung RIFederal Court of Australia.Jakarta : Kepaniteraan MA, 2014., hlm 63. Selengkapnya mengenai format putusan Pengadilan Federal Australia dapat dilihat pada Bab VI Karakteristik Putusan Pengadilan Federal Australia Laporan Tim Magang MA-FCA 2014. 69 Pasal 1 ayat (7) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1997 Tentang

Peradilan Militer


dilimpahkan kepada Oditurat Militer kemudian dipelajari oleh Oditur terlebih dahulu. Kemudian Oditur menerbitkan Berita Acara Pendapat (Papat Ormil) dan atas dasar Bapat tersebut lalu Kepala Oditurat Milter (Kaotmil) menerbitkan Surat Pendapat Hukum dan melampirkannya serta memohon kepada Perwira Penyerah Perkara (Papera) untuk menerbitkan Surat Keputusan Penyerahan Perkara (Skeppera). Setelah Skeppera terbit yang isinya memerintahkan Pengadilan Militer I-04 untuk memeriksa dan mengadili perkara yang bersangkutan, lalu Oditur membuat Surat Dakwaan, selanjutnya berkas perkara beserta Surat Dakwaan dilimpahkan kepada Pengadilan Militer. Setelah menerima berkas perkara dari Kaotmil, selanjutnya Kepala Pengadilan Militer (Kadilmil) memerintahkan Kepala Panitera (Katera) meregister perkara yang bersangkutan, selanjutnya Kadilmil mempelajari berkas perkara apakah perkara tersebut merupakan kewenangan Pengadilan militer atau tidak. Apabila bukan kewenangan Pengadilan Militer maka Kadilmil menerbitkan Penetapan untuk melimpahkan perkara tersebut kepada Pengadilan yang berwenang melalui Otmil. Sedangkan, jika perkara tersebut menjadi kewenangan Pengadilan Militer, maka Kadilmil segera menetapkan Majelis Hakim yang memeriksa perkara tersebut. Setelah Majelis yang ditunjuk mempelajari berkas perkara lalu Hakim Ketua yang ditunjuk menetapkan hari sidang maupun melakukan penahanan atau, membebaskan Terdakwa dari tahanan (bila perlu) sebelum atau untuk kepentingan pemeriksaan. Pada waktu dan tempat yang ditentukan Majelis Hakim mulai memeriksa perkara yang diawali dengan pembacaan surat dakwaan, proses eksepsi, perlawanan dan putusan sela (bila ada), dilanjutkan pemeriksaan saksi-saksi, pemeriksaan Terdakwa

dan

barang

bukti,

tuntutan

(requisitoir),

Pembelaan/permohonan, Replik, Duplik, dan pembacaan putusan.70 Preliminary test menampilkan inkonsistensi dari urutan penempatan antara dakwaan dan tuntutan. Preliminary test menunjukkan bahwa 12 % putusan memuat dakwaannya terlebih dahulu sebelum tuntutannya. Sebaliknya, 88 % putusan memuat tuntutannya terlebih dahulu sebelum

70 http://www.dilmil-palembang.go.id/index.php/info-perkara/prosedur-berperkara diakses

pada 20 April 2019.


dakwaannya. Bila kita melihat dari sisi regulasi, memang tidak ada kewajiban bahwa penulisan dakwaan harus diletakkan sebelum penulisan tuntutan di dalam putusan. Akan tetapi, bila kita melihat proses persidangan, maka seharusnya dakwaan ditulis terlebih dahulu daripada tuntutan. Tuntutan tidak mungkin dibuat tanpa adanya dakwaan. Oleh karenanya, harus ada kesamaan pemahaman bagi pembuat putusan agar menempatkan dakwaan sebelum tuntutan dan menghindari inkonsistensi urutan sebagaimana ditemukan dalam preliminary test ini. D. Adanya bagian wajib dari Putusan yang tidak dicantumkan Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer telah diatur struktur dari putusan peradilan militer, yakni:71 a. kepala putusan yang dituliskan berbunyi: "DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA"; b. nama lengkap Terdakwa, pangkat, nomor registrasi pusat, jabatan, kesatuan,

tempat

dan

tanggal

lahir/umur,

jenis

kelamin,

kewarganegaraan, agama, dan tempat tinggal; c. dakwaan sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan; d. pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan beserta alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar penentuan kesalahan Terdakwa; e. tuntutan pidana sebagaimana terdapat dalam surat tuntutan; f. pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau tindakan dan pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum dari putusan, disertai keadaan yang memberatkan dan yang meringankan Terdakwa; g. hari dan tanggal diadakannya musyawarah Hakim, kecuali perkara diperiksa oleh Hakim tunggal;

71 Pasal 194 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1997 Tentang

Peradilan Militer.


h. pernyataan kesalahan Terdakwa, pernyataan sudah terpenuhi semua unsur dalam rumusan tindak pidana disertai dengan kualifikasinya dan pemidanaan atau tindakan yang dijatuhkan; i. ketentuan

kepada

siapa

biaya

perkara

dibebankan

dengan

menyebutkan jumlahnya yang pasti dan ketentuan mengenai barang bukti; j. keterangan bahwa seluruh surat ternyata palsu atau keterangan di mana letaknya kepalsuan itu, apabila terdapat surat autentik dianggap palsu; k. perintah supaya Terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan; l. hari dan tanggal putusan, nama Hakim yang memutuskan, nama Oditur, dan nama Panitera. Kemudian, dalam undang-undang tersebut diatur pula bahwa tidak dicantumkannya beberapa bagian di atas menjadikan suatu putusan pengadilan militer batal demi hukum. Bagian tersebut diantaranya kepala putusan, identitas terdakwa, dakwaan, pertimbangan hukum, tuntutan, barang bukti, keterangan surat palsu (bila ada), amar putusan, dan/atau bagian penutup.72 Dalam preliminary test ini, ditemukan fakta bahwa tidak semua putusan yang kami teliti mencantumkan bagian wajib dari format putusan. Sebanyak 8 % tidak memuat Dakwaan, 16 % tidak memuat Tuntutan, 6 % tidak memuat pertimbangan hukum, dan 12 % tidak memuat alat bukti. Meski angka presentasenya kecil, hal ini tentu tidak dapat dipandang sebelah mata. Jika suatu putusan tidak memuat kepala putusan, identitas terdakwa, dakwaan, pertimbangan hukum, tuntutan, barang bukti, keterangan surat palsu (bila ada), amar putusan, dan/atau bagian penutup, meskipun terjadi karena kekhilafan dan / atau kekeliruan dalama penulisan, maka putusan tersebut menjadi batal demi hukum. Melihat fakta ini, pihak pengadilan harus lebih berhati-hati dalam

72 Pasal 194 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1997 Tentang

Peradilan Militer.


membuat putusan agar tidak bertentangan dengan kewajiban format dalam hukum acara pidana dan menjadi batal demi hukum. E. Penyederhanaan Putusan dengan Metode Lampiran Berdasarkan penjabaran terkait format putusan dalam KUHAPM di atas, maka dapat didorong untuk penyederhanaan putusan, khususnya untuk bagian-bagian yang tidak memiliki dampak “batal demi hukum� jika tidak dicantumkan. Dengan adanya penyederhanaan putusan, maka akan mempermudah para pihak ataupun masyarakat umum untuk memahami putusan dari suatu perkara. Terdapat metode penyederhanaan yang dapat dilakukan tanpa harus melanggar kaidah Pasal 197 KUHAP, yaitu penggunaan lampiran untuk beberapa bagian yang tidak memiliki dampak “batal demi hukum� jika tidak dicantumkan. Contoh dari pelaksanaannya adalah dengan menggunakan metode merujuk dan penggunaan lampiran untuk bagian-bagian yang sering mengalami pengulangan seperti bagian dakwaan dan bagian rincian status barang bukti. Dengan adanya pengulangan bagian tersebut, tentu saja membuat jumlah halaman yang diketik menjadi lebih banyak, terutama pada kasus-kasus yang memiliki barang bukti sangat banyak. Oleh karenanya, penting untuk menggunakan lampiran sebagai alternatif dalam pembuatan putusan 4.2 Implementasi Putusan Pengadilan Militer Tinggi A. Overview Untuk mengukur urgensi dari penelitian ini, tim peneliti melakukan preliminary test terhadap beberapa putusan pengadilan militer tinggi. Tim peneliti mengumpulkan 48 putusan pengadilan militer tinggi. Dalam preliminary test ini, akan diteliti terkait komposisi setiap putusan, eksistensi setiap bagian format putusan dalam berbagai putusan yang ada, serta konsistensi urutan penempatan dakwaan dan tuntutan. Melalui preliminary test ini, tim peneliti mendapati bahwa komposisi rata-rata dari setiap putusan pengadilan militer tinggi adalah: Kepala putusan

6%


Identitas Terdakwa

6%

Riwayat penahanan

3%

Dakwaan

16%

Tuntutan

5%

Amar Putusan Pengadilan Tingkat Pertama

5%

Keterangan saksi

14%

Keterangan terdakwa

2%

Alat bukti

4%

Pertimbangan hukum

27%

Amar putusan

6%

Paragraf penutup

6%

Sementara itu, dari perspektif keberadaan atau eksistensi dari setiap bagian format dalam keseluruhan putusan, tim peneliti mendapati bahwa: Kepala putusan

100% ada

Identitas Terdakwa 100% ada

Riwayat penahanan Dakwaan Tuntutan Amar Putusan Pengadilan Tingkat Pertama Keterangan saksi Keterangan terdakwa Alat bukti Pertimbangan hukum Amar putusan Paragraf penutup

63% ada 94% ada 92% ada 50% ada 52% ada 29% ada 88% ada 96% ada 98% ada 98% ada

B. Minimnya porsi Pertimbangan Hukum dalam komposisi setiap putusan Permasalahan pertama yang ditemui dalam preliminary test ini adalah kecilnya angka persentase dari pertimbangan hukum dalam komposisi


putusan. Kedudukan pertimbangan hukum dalam putusan sangat penting. Bahkan, dapat dikatakan sebagai inti yuridis dari sebuah putusan hakim.73 Menurut Sudikno Mertokusumo, yang dipandang sebagai dasar putusan adalah pertimbangan hukum.

74

Sementara itu, Wiryono Kusumo

menjelaskan bahwa pertimbangan hukum atau yang sering disebut juga considerans merupakan dasar putusan Hakim atau argumentasi Hakim dalam memutuskan suatu perkara. Jika argumen hukum itu tidak benar dan tidak sepantasnya (proper), maka orang kemudian dapat menilai bahwa putusan itu tidak benar dan tidak adil. Secara sederhana, hukuman yang akan dijatuhkan Majelis Hakim mengikuti pertimbangan hakimnya. 75 Artinya,

kehidupan

selanjutnya

dari

terdakwa

ditentukan

oleh

pertimbangan hakim dalam perkaranya, apakah ia akan menjadi terpidana atau tidak. Oleh karenanya, menjadi wajar jika pertimbangan hukum mendapat porsi terbanyak dalam komposisi suatu putusan. Tidak hanya berkaitan dengan jumlah komposisi, pertimbangan hukum juga harus didasarkan pada alasan dan dasar hukum yang tepat dan benar. 76 Putusan harus memiliki pertimbangan hukum yang sempurna. Pertimbangan hukum adalah “zona� nalar untuk mencapai putusan yang dapat diterima logika dan nalar. Pertimbangan hukum adalah jembatan yang menghubungkan antara fakta yang ada dalam duduk perkara dengan amar hakim. 77 Putusan yang dijatuhkan oleh hakim harus bedasarkan pertimbangan yang jelas dan cukup. Bahkan, putusan yang tidak memenuhi ketentuan tersebut dikategorikan putusan yang tidak cukup 73 Dr. Jonaedi Efendi, Rekonstruksi Dasar Pertimbangan Hukum Hakim: Berbasis Nilai-Nilai

Hukum dan Rasa Keadilan yang Hidup dalam Masyarakat,� (Depok: Prenadamedia Group, 2018), hlm. 110. 74 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum : Suatu Pengantar, (Liberty: Yogyakarta, 2005), hlm. 22. 75 https://acch.kpk.go.id/en/component/content/article?id=822:eksaminasi-terhadapputusan-pengadilan-tindak-pidana-korupsi-pada-pengadilan-negeri-jakarta-pusat-atas-namaterdakwa-amir-fauzi-putusan-nomor-127-pid-sus-tpk-2015-pn-jkt-pst diakses 4 November 2018. 76 Pasal 53 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan

Kehakiman

77 https://badilag.mahkamahagung.go.id/artikel/publikasi/artikel/nalar-dalampertimbangan-hukum-oleh-muhamad-rizki-sh-218 diakses 5 November 2018.


pertimbangan atau onvoldoende gemotiveerd.78 Selain itu, putusan yang tidak cukup pertimbangan adalah masalah yuridis dan dapat dibatalkan pada tingkat banding atau kasasi.79 Bila diperbandingkan dengan negara-negara lain, pertimbangan hukum telah mendapat porsi khusus untuk dijabarkan dalam suatu putusan. Di Australia, Putusan Pengadilan Federal Australia, baik berupa salinan resmi yang disampaikan oleh pengadilan maupun yang dipublikasikan secara elektronik, terdiri dari tiga bagian utama, yaitu cover sheet, amar putusan/penetapan, dan pertimbangan hukum. Artinya, pertimbangan hukum terletak pada halaman berikutnya setelah pernyataan amar putusan. Pada bagian ini, Hakim akan mencurahkan segenap kemampuannya untuk mengambil sikap dan pendapat atas putusan-putusan yang diajukan sebelumnya. 80 Sementara itu, di Amerika Serikat, putusan pengadilan dibagi menjadi dua bagian, yaitu bagian Syllabus dan bagian Opinion of The Court. Dalam bagian Opinion of The Court, berisi riwayat perkara, riwayat proses pemeriksaan perkara pada pengadilan tingkat sebelumnya, dan pertimbangan hukum.

Akan

tetapi,

urgensinya

bagian

pertimbangan

hukum

tidak

diimplementasikan dalam pelaksanaanya. Dari preliminary test didapati bahwa persentase banyaknya pertimbangan hukum hanya sekitar 27 % dari suatu putusan. Bila dianalogikan, bila putusan tersebut memuat 100 halaman, maka hanya 27 halaman untuk menjelaskan pertimbangan hukum. Bahkan, 4 % dari putusan yang kami teliti tidak memiliki 78 http://pn-tilamuta.go.id/2016/07/12/pertimbangan-hukum-hakim-dalam-putusan-

perkara-perdata-dengan-menggunakan-terjemahan-burgerlijk-wetboek/ diakses 5 November 2018. 79 http://pn-tilamuta.go.id/2016/07/12/pertimbangan-hukum-hakim-dalam-putusan-

perkara-perdata-dengan-menggunakan-terjemahan-burgerlijk-wetboek/ diakses 5 November 2018. 80 Tim Magang MA-FCA 2014, Laporan Internship Program 2014 Mahkamah Agung RIFederal Court of Australia.Jakarta : Kepaniteraan MA, 2014., hlm 63. Selengkapnya mengenai format putusan Pengadilan Federal Australia dapat dilihat pada Bab VI Karakteristik Putusan Pengadilan Federal Australia Laporan Tim Magang MA-FCA 2014.


pertimbangan hukum. Oleh karenanya, jika kita melihat kembali kepada urgensi kehadiran pertimbangan hukum dalam suatu putusan, maka seharusnya pertimbangan hukum memiliki porsi yang lebih besar untuk dijelaskan dalam suatu putusan. C. Inkonsistensi Urutan Penempatan Dakwaan dan Tuntutan dalam Putusan Prosedur berperkara peradilan militer berbeda dengan peradilan umum. Dalam proses peradilan militer, dikenal istilah Oditur Militer. Oditur Militer yang selanjutnya disebut Oditur adalah pejabat yang diberi wewenang untuk bertindak sebagai penuntut umum, sebagai pelaksana putusan atau penetapan Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer atau Pengadilan dalam lingkungan peradilan umum dalam perkara pidana, dan sebagai penyidik.81 Berkas Perkara dari Penyidik Polisi Militer setelah dilimpahkan kepada Oditurat Militer kemudian dipelajari oleh Oditur terlebih dahulu. Kemudian Oditur menerbitkan Berita Acara Pendapat (Papat Ormil) dan atas dasar Bapat tersebut lalu Kepala Oditurat Milter (Kaotmil) menerbitkan Surat Pendapat Hukum dan melampirkannya serta memohon kepada Perwira Penyerah Perkara (Papera) untuk menerbitkan Surat Keputusan Penyerahan Perkara (Skeppera). Setelah Skeppera terbit yang isinya memerintahkan Pengadilan Militer I-04 untuk memeriksa dan mengadili perkara yang bersangkutan, lalu Oditur membuat Surat Dakwaan, selanjutnya berkas perkara beserta Surat Dakwaan dilimpahkan kepada Pengadilan Militer. Setelah menerima berkas perkara dari Kaotmil, selanjutnya Kepala Pengadilan Militer (Kadilmil) memerintahkan Kepala Panitera (Katera) meregister perkara yang bersangkutan, selanjutnya Kadilmil mempelajari berkas perkara apakah perkara tersebut merupakan kewenangan Pengadilan militer atau tidak. Apabila bukan kewenangan Pengadilan Militer maka Kadilmil menerbitkan Penetapan untuk melimpahkan perkara tersebut kepada Pengadilan yang berwenang melalui Otmil. Sedangkan, jika perkara tersebut menjadi kewenangan Pengadilan Militer, maka Kadilmil segera menetapkan Majelis Hakim yang

81 Pasal 1 ayat (7) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1997 Tentang

Peradilan Militer


memeriksa perkara tersebut. Setelah Majelis yang ditunjuk mempelajari berkas perkara lalu Hakim Ketua yang ditunjuk menetapkan hari sidang maupun melakukan penahanan atau, membebaskan Terdakwa dari tahanan (bila perlu) sebelum atau untuk kepentingan pemeriksaan. Pada waktu dan tempat yang ditentukan Majelis Hakim mulai memeriksa perkara yang diawali dengan pembacaan surat dakwaan, proses eksepsi, perlawanan dan putusan sela (bila ada), dilanjutkan pemeriksaan saksi-saksi, pemeriksaan Terdakwa

dan

barang

bukti,

tuntutan

(requisitoir),

Pembelaan/permohonan, Replik, Duplik, dan pembacaan putusan.82 Preliminary test menampilkan inkonsistensi dari urutan penempatan antara dakwaan dan tuntutan. Preliminary test menunjukkan bahwa 48 % putusan memuat dakwaannya terlebih dahulu sebelum tuntutannya. Sebaliknya, 52 % putusan memuat tuntutannya terlebih dahulu sebelum dakwaannya. Bila kita melihat dari sisi regulasi, memang tidak ada kewajiban bahwa penulisan dakwaan harus diletakkan sebelum penulisan tuntutan di dalam putusan. Akan tetapi, bila kita melihat proses persidangan, maka seharusnya dakwaan ditulis terlebih dahulu daripada tuntutan. Tuntutan tidak mungkin dibuat tanpa adanya dakwaan. Oleh karenanya, harus ada kesamaan pemahaman bagi pembuat putusan agar menempatkan dakwaan sebelum tuntutan dan menghindari inkonsistensi urutan sebagaimana ditemukan dalam preliminary test ini. D. Adanya Putusan yang tidak memuat amar putusan pengadilan tingkat pertama Pengadilan Militer Tinggi memeriksa dan memutus pada tingkat banding perkara pidana yang telah diputus oleh Pengadilan Militer dalam daerah hukumnya yang dimintakan banding.83 Terdakwa atau Oditur berhak untuk meminta banding terhadap putusan Pengadilan tingkat pertama kecuali terhadap putusan bebas dari segala dakwaan atau lepas dari segala tuntutan hukum yang menyangkut masalah kurang tepatnya penerapan hukum dan 82 http://www.dilmil-palembang.go.id/index.php/info-perkara/prosedur-berperkara diakses

pada 20 April 2019. 83 Pasal 41 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1997 Tentang Peradilan Militer.


putusan Pengadilan dalam acara cepat yang berupa pidana perampasan kemerdekaan.

84

Pemeriksaan pada tingkat banding dilakukan oleh

Pengadilan tingkat banding atas dasar berkas perkara yang diterima dari Pengadilan tingkat pertama yang terdiri dari berita acara pemeriksaan dari Penyidik, berita acara pemeriksaan di sidang Pengadilan tingkat pertama, beserta semua surat yang timbul di sidang yang berhubungan dengan perkara itu dan putusan Pengadilan tingkat pertama.85 Melihat penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa putusan tingkat banding tidak dapat dipisahkan dengan putusan sebelumnya di tingkat pertama. Akan tetapi, dalam preliminary test ini ditemukan fakta bahwa 50 % putusan yang kami teliti tidak memuat amar putusan tingkat pertama. Hal ini tentunya tidak masuk akal karena objek utama dari upaya banding adalah ketidakpuasan atas putusan pengadilan tingkat pertama. Sudah seharusnya, setiap putusan tingkat banding mencantumkan amar putusan pengadilan tingkat pertama.

E. Adanya bagian wajib dari Putusan yang tidak dicantumkan Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer telah diatur struktur dari putusan peradilan militer, yakni:86 m. kepala putusan yang dituliskan berbunyi: "DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA";

84 Pasal 219 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1997 Tentang Peradilan

Militer. 85 Pasal 225 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1997 Tentang Peradilan Militer. 86 Pasal 194 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1997 Tentang Peradilan Militer.


n. nama lengkap Terdakwa, pangkat, nomor registrasi pusat, jabatan, kesatuan,

tempat

dan

tanggal

lahir/umur,

jenis

kelamin,

kewarganegaraan, agama, dan tempat tinggal; o. dakwaan sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan; p. pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan beserta alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar penentuan kesalahan Terdakwa; q. tuntutan pidana sebagaimana terdapat dalam surat tuntutan; r. pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau tindakan dan pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum dari putusan, disertai keadaan yang memberatkan dan yang meringankan Terdakwa; s. hari dan tanggal diadakannya musyawarah Hakim, kecuali perkara diperiksa oleh Hakim tunggal; t. pernyataan kesalahan Terdakwa, pernyataan sudah terpenuhi semua unsur dalam rumusan tindak pidana disertai dengan kualifikasinya dan pemidanaan atau tindakan yang dijatuhkan; u. ketentuan

kepada

siapa

biaya

perkara

dibebankan

dengan

menyebutkan jumlahnya yang pasti dan ketentuan mengenai barang bukti; v. keterangan bahwa seluruh surat ternyata palsu atau keterangan di mana letaknya kepalsuan itu, apabila terdapat surat autentik dianggap palsu; w. perintah supaya Terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan; x. hari dan tanggal putusan, nama Hakim yang memutuskan, nama Oditur, dan nama Panitera. Kemudian, dalam undang-undang tersebut diatur pula bahwa tidak dicantumkannya beberapa bagian di atas menjadikan suatu putusan pengadilan militer batal demi hukum. Bagian tersebut diantaranya kepala putusan, identitas terdakwa, dakwaan, pertimbangan hukum, tuntutan,


barang bukti, keterangan surat palsu (bila ada), amar putusan, dan/atau bagian penutup.87 Dalam preliminary test ini, ditemukan fakta bahwa tidak semua putusan yang kami teliti mencantumkan bagian wajib dari format putusan. Sebanyak 6 % tidak memuat Dakwaan, 8 % tidak memuat Tuntutan, 4 % tidak memuat pertimbangan hukum, 12 % tidak memuat alat bukti, 2 % tidak memiliki amar putusan, dan 2 % tidak memiliki bagian penutup. Meski angka presentasenya kecil, hal ini tentu tidak dapat dipandang sebelah mata. Jika suatu putusan tidak memuat kepala putusan, identitas terdakwa, dakwaan, pertimbangan hukum, tuntutan, barang bukti, keterangan surat palsu (bila ada), amar putusan, dan/atau bagian penutup, meskipun terjadi karena kekhilafan dan / atau kekeliruan dalama penulisan, maka putusan tersebut menjadi batal demi hukum. Melihat fakta ini, pihak pengadilan harus lebih berhati-hati dalam membuat putusan agar tidak bertentangan dengan kewajiban format dalam hukum acara pidana dan menjadi batal demi hukum. F. Penyederhanaan Putusan dengan Metode Lampiran Berdasarkan penjabaran terkait format putusan dalam KUHAPM di atas, maka dapat didorong untuk penyederhanaan putusan, khususnya untuk bagian-bagian yang tidak memiliki dampak “batal demi hukum� jika tidak dicantumkan. Dengan adanya penyederhanaan putusan, maka akan mempermudah para pihak ataupun masyarakat umum untuk memahami putusan dari suatu perkara. Terdapat metode penyederhanaan yang dapat dilakukan tanpa harus melanggar kaidah Pasal 197 KUHAP, yaitu penggunaan lampiran untuk beberapa bagian yang tidak memiliki dampak “batal demi hukum� jika tidak dicantumkan. Contoh dari pelaksanaannya adalah dengan menggunakan metode merujuk dan penggunaan lampiran untuk bagian-bagian yang sering mengalami pengulangan seperti bagian dakwaan dan bagian rincian status barang bukti. Dengan adanya pengulangan bagian tersebut, tentu saja membuat jumlah halaman yang

87 Pasal 194 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1997 Tentang

Peradilan Militer.


diketik menjadi lebih banyak, terutama pada kasus-kasus yang memiliki barang bukti sangat banyak. Oleh karenanya, penting untuk menggunakan lampiran sebagai alternatif dalam pembuatan putusan.


BAB V PENUTUP 4.1 Kesimpulan Berdasarkan dari hasil analisa yang dibuat oleh peneliti, dapat dikatakan bahwa format putusan perkara pidana di Indonesia, baik di tingkat pengadilan pertama maupun di tingkat pengadilan banding, masih kurang efektif dan efisien diterapkan karena melihat dari putusan-putusan yang dikumpulkan dan dianalisis, jumlah halaman dari sebagian besar putusan sangat banyak di bagian seperti dakwaan, keterangan saksi, ahli, terdakwa, serta barang bukti. Jumlah halaman yang begitu banyaknya menutup isi utama dari suatu putusan yaitu hasil buah pikir dari hakim yang ditulis dalam pertimbangan hukum. Namun, pada sebagian besar putusan, jumlah halaman pada bagian pertimbangan hukum juga sedikit jumlahnya sehingga jika melihat suatu putusan yang banyak jumlah halamannya, hal tersebut tidak berarti bahwa pertimbangan hukum di dalam putusan itu yang membuat jumlah halaman dalam putusan menjadi banyak, justru pada bagian-bagian seperti dakwaan, keterangan saksi, ahli, dan terdakwa, serta barang bukti yang isinya terlalu banyak dan beberapa bagian tersebut cendurung dilakukan pengulangan. Hal ini tidak jauh berbeda pada putusan yang dikeluarkan oleh Pengadilan Militer baik di pengadilan tingkat pertama maupun di pengadilan tinggi, yaitu dalam hal ini masih ditemukan adanya putusan yang tidak memiliki inkonsistensi inkonsistensi dari urutan penempatan antara dakwaan dan tuntutan, masih adanya bagian bagian wajib dari putusan yang tidak ditempatkan sehingga dalam hal ini menimbulkan kesulitan untuk membaca dan memahami isi dari putusan tersebut.

4.2 Saran Oleh sebab permasalahan itu, peneliti berharap supaya ada peraturan atau kebijakan dari Mahkamah Agung untuk menerbitkan sejenis panduan utnuk membantu menyusun format putusan pidana yang lebih sederhana dan hemat. Menerapkan suatu panduan seperti Guide to Uniform Production of Judgements yang dimiliki oleh negara Australia sangat disarankan oleh peneliti untuk diterapkan di Indonesia. Demikian pula, diharapkan pula dalam penyusunan suatu putusan, dapat dilakukan metode “lampiran� untuk bagian-bagian dalam putusan yang cenderung


banyak dan ada pengulangan. Hal ini supaya di dalam putusan tersebut benar-benar dapat menunjukkan hasil buah pikir hakim dalam mengadili dan memutus perkara tersebut dan seperti yang dipaparkan sebelumnya oleh peneliti, bahwa penggunaan metode “lampiran� ini tidak akan melanggar ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.


LAPORAN PENELITIAN Analisis Kinerja DPR Periode 2014-2019 Dilihat Dari Pengesahan Prolegnas Sebagai Perencanaan Pembentukan Hukum Nasional

PENELITIAN BESAR BIDANG PENELITIAN LEMBAGA KAJIAN KEILMUAN (LK2) FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS INDONESIA


BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Sebagai negara hukum (​rechtstaat​) yang meyakini hukum sebagai penopang utamanya, komponen adanya peraturan perundang-undangan menjadi hal yang utama. Oleh sebab itu, teknis pembuatannya (​legal drafting​) yang demokratis dan substansi materi peraturan perundang-undangan yang bermutu dan mampu dijadikan rujukan dan panduan berbangsa tanpa bertentangan dengan kehendak dan keinginan publik harus terpenuhi. Pasal 20 Ayat (1) UUD 1945 memberikan mandat kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai lembaga tinggi negara yang memiliki hak untuk membuat dan membentuk rancangan undang-undang atau disingkat sebagai RUU.1 Hal ini menunjukkan fungsi DPR yang menjadi kunci keberhasilan konsolidasi demokrasi negara Indonesia.2 Untuk mewujudkan undang undang seperti tersebut di atas, maka pembentukan undang-undang perlu dilakukan secara terencana, terpadu dan sistematis

melalui

Program

Legislasi

Nasional

(prolegnas),

dengan

memperhatikan skala prioritas sesuai dengan kebutuhan hukum masyarakat. Prolegnas

merupakan

pedoman

dan

pengendali

penyusunan

peraturan

perundang-undangan tingkat pusat yang mengikat lembaga yang berwenang membentuk peraturan perundang-undangan.3 Dasar hukum prolegnas adalah Pasal 15 UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyatakan “perencanaan penyusunan undang-undang dilakukan dalam suatu Prolegnas”. Prolegnas menjadi fungsi esensial untuk memenuhi kebutuhan hukum masyarakat sesuai dengan tuntutan reformasi dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini maupun di masa yang akan datang.4

1

I​ndonesia, Undang-Undang Dasar 1945, Ps. 20 ayat (1). Agus Riwanto, “Strategi Politik-Hukum Meningkatkan Kualitas Kinerja DPR Ri Dalam Produktivitas Legislasi Nasional”, ​Jurnal Cita Hukum Vol 4 No 2 ​(Desember 2016), hlm. 269. 3 Andi Irman Putra, ​Penulisan Kerangka Ilmiah tentang Peran Prolegnas dalam Perencanaan Pembentukan Hukum Nasional Berdasarkan UUD 1945 (Pasca Amandemen), h​ lm. 2. 4 ​Ibid​., hlm. 3. 2


Menurut data dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, pada periode 2005-2014 Prolegnas selalu berjalan dengan pola yang sama, yaitu diawali dengan target yang ambisius dan diakhiri dengan capaian yang tidak baik.5 Rata-rata capaian pembentukan UU setiap tahunnya hanya 32 UU, angka itu jauh lebih kecil dibandingkan dengan target rata-rata pengesahan RUU yang mencapai 74 RUU.6 Tabel berikut menggambarkan perbandingan antara target dan realisasi dari prolegnas pada periode 2005-2014:

No

Tahun

Target

Realisasi

Selisih

1

2005

55

14

41

2

2006

76

39

37

3

2007

78

40

38

4

2008

81

61

20

5

2009

76

39

37

6

2010

70

16

54

7

2011

93

24

69

8

2012

69

30

39

9

2013

70

22

48

10

2014

69

31

38

Sumber: Dari berbagai sumber Kemudian, ciri lain yang ditunjukkan pada periode ini adalah baru pada akhir kepemimpinan, DPR maraton dalam menyetujui RUU menjadi UU.

5

Farji Nursyamsi, “Menggagas Prolegnas Berkualitas,� https://pshk.or.id/blog-id/menggagas-prolegnas-berkualitas/, diakses 6 Juli 2019. 6 ​Ibid.


Menurut Marzuki Alie, Ketua DPR periode 2009-2014 sulitnya mencapai target prolegnas karena berbagai kendala, antara lain penentuan target tahunan yang terlalu tinggi, belum sepenuhnya mempertimbangkan kapasitas dan ketersediaan waktu legislasi, bahkan lemahnya parameter yang digunakan dalam menentukan RUU yang akan dimasukan dalam Prolegnas. Kemudian, pada periode 2014-2019, DPR RI menetapkan 189 Rancangan Undang-Undang

(RUU) dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas)

2015-2019 dan 31 RUU prolegnas kumulatif. Kita telah melihat beberapa UU yang menimbulkan polemik pada masyarakat seperti UU No. 2 tahun 2018 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang dinilai terdapat sejumlah pasal yang dinilai bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi dan bertentangan dengan UUD 1945. Sebaliknya, terdapat sejumlah UU yang penting untuk dibahas namun belum disahkan atau bahkan sama sekali belum dibahas oleh DPR dan pemerintah. Diantaranya adalah RUU Partai Politik, RUU Pembatasan Transaksi Penggunaan Uang Kartal, dan RUU Perampasan Aset Tindak Pidana. Pada penelitian ini, peneliti akan membahas menganai kinerja DPR pada periode 2014-2019 dilihat dari Prolegnas yang telah ditetapkan dan mengenai keterkaitan pemenuhan Prolegnas dengan penegakan supremasi hukum di Indonesia. Kemudian, ciri lain yang ditunjukkan pada periode ini adalah baru pada akhir kepemimpinan, DPR maraton dalam menyetujui RUU menjadi UU. Menurut Marzuki Alie, Ketua DPR periode 2009-2014 ​sulitnya mencapai target prolegnas karena berbagai kendala, antara lain penentuan target tahunan yang terlalu tinggi, belum sepenuhnya mempertimbangkan kapasitas dan ketersediaan waktu legislasi, bahkan lemahnya parameter yang digunakan dalam menentukan RUU yang akan dimasukan dalam Prolegnas.7 Kemudian, pada periode 2014-2019, DPR RI menetapkan 189 Rancangan Undang-Undang

7

(RUU) dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas)

Anonim, “DPR Periode 2009-2014, Hanya Setujui 126 RUU Jadi Undang-Undang,� https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt542a73a19b652/dpr-periode-2009-2014--hanya-setuju i-126-ruu-jadi-undang-undang/ diakses 6 Juli 2019.


2015-2019 dan 31 RUU prolegnas kumulatif. Kita telah melihat beberapa UU yang menimbulkan polemik pada masyarakat seperti UU No. 2 tahun 2018 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang dinilai terdapat sejumlah pasal yang dinilai bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi dan bertentangan dengan UUD 1945. Sebaliknya, terdapat sejumlah UU yang penting untuk dibahas namun belum disahkan atau bahkan sama sekali belum dibahas oleh DPR dan pemerintah. Diantaranya adalah RUU Partai Politik, RUU Pembatasan Transaksi Penggunaan Uang Kartal, dan RUU Perampasan Aset Tindak Pidana.8 Pada penelitian ini, peneliti akan membahas menganai kinerja DPR pada periode 2014-2019 dilihat dari Prolegnas yang telah ditetapkan dan mengenai keterkaitan pemenuhan Prolegnas dengan penegakan supremasi hukum di Indonesia.

1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti menarik rumusan masalah sebagai berikut 1.

Bagaimana Peran Prolegnas dalam perencanaan pembentukan Hukum Nasional?

2. Bagaimana kinerja DPR pada periode 2014-2019 dilihat dari Prolegnas dan Undang-Undang yang disahkan? 1.3 Tujuan Penelitian A. Tujuan Umum Penelitian ini dilaksanakan untuk mengetahui mengenai kinerja DPR periode 2014-2019 ​dilihat dari pengesahan undang undang yang dilakukan oleh DPR berdasar pada Program Legislasi Nasional Tahunan B. Tujuan Khusus

8

Arie Dwi Satrio, “ICW Bilang Kinerja DPR 2014-2019 Hanya Selesaikan 10% dari Prolegnas,� https://nasional.okezone.com/read/2019/04/09/337/2041306/icw-bilang-kinerja-dpr-2014-2019-ha nya-selesaikan-10-dari-prolegnas diakses 6 Juli 2019.


a. Mengetahui undang undang apa saja yang telah disahkan oleh DPR periode 2014-2019​ dari Prolegnas yang telah ditetapkan. b. Mengetahui undang undang apa saja yang belum disahkan oleh DPR ​periode 2014-2019​ dari Prolegnas yang telah ditetapkan. c. Mengetahui

Keterkaitan

Pemenuhan

Prolegnas

dengan

perkembangan Supremasi Hukum di Indonesia d. Menjelaskan kepada masyarakat Indonesia mengenai kinerja DPR periode 2014-2019 ​sebagai referensi dalam memilih anggota DPR kedepannya.

1.4 Kerangka Konsep A. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) merupakan Lembaga negara pemegang kekuasaan membentuk undang-undang yang Anggota Anggotanya dipilih melalui pemilihan umum dan Susunanan keanggotaannya diatur dengan undang undang serta bersidang sedikitnya sekali dalam setahun.9 B. Program

Legislasi

Nasional

(PROLEGNAS)

adalah

instrumen

perencanaan program pembentukan Undang-Undang yang disusun secara berencana,terpadu, dan sistematis.10 C. Supremasi

Hukum

merupakan

upaya

untuk

menegakkan

dan

menempatkan hukum pada posisi tertinggi yang dapat melindungi seluruh lapisan masyarakat tanpa adanya intervensi oleh dan dari pihak manapun termasuk oleh penyelenggara Negara.11

1.5 Kegunaan Teoritis dan Praktis

A. Kegunaan teoritis Penelitian ini berguna bagi perkembangan ilmu hukum, khususnya untuk

Indonesia, ​Undang-Undang Dasar 1945,​ Ps. 20 ayat (1), Ps. 19 ayat (1), (2), dan (3). Indonesia,​ Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan​, UU No. 10 tahun 2004, LN No. 53 TLN No. 4389 Ps. 1 ayat (9). 11 ​Soetandyo Wignjosoebroto, ​Hukum, Paradigma, Metode, dan Dinamika Masalahnya (Jakarta: ELSAM, 2002), hlm. 457. 9

10


mengetahui kinerja dan kemampuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam mewujudkan supremasi hukum sesuai dengan Program Legislasi Nasional yang telah ditetapkan.

B. Kegunaan Praktis a. Bagi Peneliti sendiri penelitian ini akan

bermanfaat dalam

membuka cakrawala wawasan dan menambah pengetahuan peneliti mengenai kinerja DPR dikaitkan dengan pelaksanaan dari Prolegnas. b. Bagi Pemangku Kebijakan khususnya Anggota DPR, penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi dalam memperbaiki kinerja Anggota DPR dalam hal melaksanakan Prolegnas sehingga dapat mewujudkan Supremasi Hukum yang pasti di Indonesia. c. Bagi Akademisi dan masyarakat Indonesia, penelitian ini diharapkan dapat menambah pemahaman mengenai kinerja DPR dalam melaksanakan Prolegnas sehingga dapat dijadikan referensi dalam memilih anggota DPR pada periode berikutnya. d. Dapat

dimanfaatkan

oleh

peneliti-peneliti

lain

dalam

mengungkapkan masalah-masalah seputar kinerja DPR dalam Pelaksanaan Program Legislasi Nasional.

1.6 Metode Penelitian Penelitian adalah rangkaian kegiatan ilmiah yang berhubungan dengan analisa dan konstruksi, yang dilakukan secara terarah melalui metode, sistem dan konsisten. Disatu pihak, penelitian hukum merupakan kegiatan ilmiah yang berdasarkan pada metode, sistem dan suatu pemikiran tertentu, yang ditujukan untuk mempelajari gejala hukum tertentu. Metode dalam konteks penelitian mengandung makna bahwa penelitian dilakukan dengan menggunakan suatu cara tertentu guna menjamin keteraturan dalam melakukan penelitian.12 Penelitian ini ​ Soerjono Soekanto, ​Pengantar Penelitian Hukum, ​(Salemba: Universitas Indonesia,1942), hlm.4. 12 ​


bertujuan untuk mengetahui kinerja DPR. Pengumpulan data dalam penelitian ini sendiri mengacu kepada penggunaan studi pustaka. Peneliti juga tidak menutup kemungkinan dalam penggunaan data-data primer yang diperoleh melalui wawancara dan kuesioner apabila diperlukan. Jika melihat dari bentuknya, maka penelitian ini termasuk ke dalam penelitian yuridis-empiris. Penelitian ini memandang hukum sebagai pola perilaku masyarakat, sehingga penelitian ini bertujuan untuk melihat hukum secara nyata dan meneliti bagaimana hukum tersebut dipatuhi.


BAB II DEWAN PERWAKILAN RAKYAT

2.1 Sejarah Dewan Perwakilan Rakyat Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah melewati beberapa perkembangan dan perubahan sebelum akhirnya menjadi DPR yang kita kenal seperti saat sekarang ini. Diawali dengan periode masa penjajahan, yaitu terdapat lembaga semacam parlemen bentukan Penjajah Belanda yang dinamakan Volksraad atau Dewan Rakyat.Volksraad dibentuk pada tanggal 16 Desember 1916 sesuai dengan penetapan Pasal 53 sampai dengan Pasal 80 ​Indische Staatsregeling (​ SI) yang memuat mengenai hal-hal yang berkenaan dengan kekuasaan legislatif. Pada awalnya di tahun 1918 keanggotaan Volksraad diisi oleh 1 orang Ketua yang diangkat oleh Raja dan 38 orang

Anggota yang terdiri dari 20 orang dari

golongan Bumiputera dan 18 orang lainya berasal dari golongan non Bumiputera dan sebelum dibubarkan, pada tahun 1930 Keanggotaan Volksraad berisi 1 orang Ketua yang diangkat oleh Raja dan beranggotakan 55 orang yang terdiri dari 25 orang dari golongan Bumiputera dan sisanya dari golongan non Bumiputera.Pada masa ini Peran Volksraad hanyalah sebagai penasihat Gubernur Jendral tidak selayaknya sebagai parlemen, sehingga volksraad tidak memiliki hak angket maupun hak penentu anggaran negara. Pada tanggal 8 Maret 1942 Belanda mengakhiri masa penjajahan selama 350 tahun di Indonesia.Pergantian penjajahan dari Belanda kepada Jepang mengakibatkan keberadaan Volksraad secara otomatis tidak diakui lagi, dan bangsa Indonesia memasuki masa perjuangan Kemerdekaan.Sehari setelah Proklamasi Kemerdekaan, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia menetapkan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia, yang kita kenal sebagai Undang-undang Dasar 1945. Maka mulai saat ini, penyelenggara negara didasarkan pada ketentuan-ketentuan menurut Undang-undang Dasar 1945. Sesuai dengan ketentuan dalam Aturan Peralihan, maka pada tanggal 29 Agustus 1945


dibentuk Komite Nasional Indonesia Pusat atau KNIP beranggotakan 137 orang yang kemudian tanggal tersebuy dijadikan sebagai tanggal lahirnya DPR RI. Dalam Sidang KNIP pertama maka terpilihlah ketua dari KNIP yaitu Mr. Kasman Singodimedjo. Sistem Parlemen yang berlaku pada saat ini adalah unikameral dan tugas sehari-hari Komite Nasional Indonesia dijalankan oleh Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BPKNIP) dan praktis bertindak sebagai parlemen yang bertanggung jawab kepada Komite Nasional Indonesia. Hasil karya pertama Komite Nasional Indonesia ialah usul inisiatif rancangan undang-undang tentang Badan Perwakilan Daerah, yang kemudian melahirkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945. Pada Periode 1945 sampai 1949 Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia telah menyetujui seratus tiga puluh tiga rancangan undang-undang menjadi undang undang.13 Pada Tahun 1949 sampai dengan 1950 adalah berlakunya Konstitusi RIS 1949 sehingga bentuk negara Indonesia berdasarkan Konstitusi RIS 1949 adalah federal.Sistem parlemen menurut Konstitusi RIS adalah bikameral yang terdiri dari Dewan Perwakilan Rakyat dan Senat.14Senat mewakili daerah-daerah bagian dan setiap daerah bagian diwakili oleh dua anggota dalam Senat.15Dewan Perwakilan Rakyat mewakili seluruh rakyat Indonesia yang anggotanya dipilih melalui pemilu dan berjumlah seratus lima puluh anggota.16Kekuasaan perundang-undangan federal termasuk mengenai hubungan antara Republik Indonesia Serikat dan daerah-daerah bagian dilakukan oleh Pemerintah bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat dan Senat. Sedangkan pengaturan selain itu dilakukan oleh Pemerintah bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat. Pada masa berlakunya UUDS 1959 yaitu dari tahun 1950 sampai dengan 1959, sistem parlemen yang dianut kembali menjadi sistem parlemen satu kamar atau unikameral. Pada masa ini DPR sifatnya masih sementara sehingga disebut

Widayati, “Sistem Parlemen Berdasarkan Konstitusi Indoensia,” ​Masalah Masalah Hukum Jilid 44 No. 4, ​(Oktober 2015), hlm. 419. 14 Indonesia​, Konstitusi Republik Indonesia Serikat​ , Konstitusi RIS, Ps.1 ayat (2). 15 Ibid, ​Ps.80 ayat (2) 16 Ibid,​ Ps. 98 13


dengan DPRS dengan jumlah anggota kirakira 235 orang, yang terdiri dari anggota bekas DPR dan bekas Senat Republik Indonesia Serikat, serta anggota Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia dan anggota Dewan Pertimbangan Agung Republik Indonesia yang terpusat di Yogyakarta.17 DPRS pada masa Undang-Undang Dasar Sementara 1950 berjalan selama lima setengah tahun, mulai tanggal 6 Agustus 1950 sampai dengan tanggal 26 Maret 1956. Dalam kurun waktu tersebut, dari dua ratus tiga puluh tujuh Rancangan Undang-Undang yang dibicarakan, seratus enam puluh tujuh diantaranya disetujui menjadi Undang- Undang.18 Sedangkan daritahun 1959 hingga saat sekarang ini Indonesia menganut UUD 1945 dengan beberapa amandemen yang mulai dilakukan pada tahun 2004, sehingga dalam hal ini DPR yang dimaksud pada saat ini merupakan DPR sebagaimana yang ditetapkan dalam UUD 1945 dan amandemennya yang sampai sekarang masih berlaku.

No

Nama

Priode

1

Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP)

29 Aug 1945 – 15 Feb 1950

2

DPR dan Senat Republik Indonesia Serikat 15 Feb 1950 – 16 Aug 1950 (RIS))

3

Dewan Perwakilan Rakyat Sementara 16 Aug 1950 – 26 Mar 1956 (DPRS)

4

DPR hasil Pemilu ke-1

26 Mar 1956 – 22 Jul 1959

5

DPR setelah Dekrit Presiden

22 Jul 1959 – 26 Jun 1960

6

Dewan

Perwakilan

Rakyat

Gotong 26 Jun 1960 – 15 Nov 1965

Royong (DPR GR)

​Indonesia, ​Undang -Undnag Dasar Sementara​, UUDS 1950, Ps. 77. Widayati, “Sistem Parlemen Berdasarkan Konstitusi Indonesia,” ​Jurnal P Hukum​ Jilid 44 No. 4 (Oktober 2015), hlm 422. 17 18


7

DPR GR minus Partai Komunis Indonesia 15 Nov 1965 – 19 Nov 1966 (PKI)

8

DPR GR Orde Baru

19 Nov 1966 – 28 Okt 1971

9

DPR hasil Pemilu ke-2

28 Okt 1971 – 1 Okt 1977

10

DPR hasil Pemilu ke-3

1 Okt 1977 – 1 Okt 1982

11

DPR hasil Pemilu ke-4

1 Okt 1982 – 1 Okt 1987

12

DPR hasil Pemilu ke-5

1 Okt 1987 – 1 Okt 1992

13

DPR hasil Pemilu ke-6

1 Okt 1992 – 1 Okt 1997

14

DPR hasil Pemilu ke-7

1 Okt 1997 – 1 Okt 1999

15

DPR hasil Pemilu ke-8

1 Okt 1999 – 1 Okt 2004

16

DPR hasil Pemilu ke-9

1 Okt 2004 – 1 Okt 2009

17

DPR hasil Pemilu ke-10

1 Okt 2009 – 1 Okt 2014

18

DPR hasil Pemilu ke-11

1 Okt 2014 – 1 Okt 2019

Sumber : http://www.dpr.go.id/tentang/sejarah-dpr

2.2 Tugas dan Fungsi DPR Setelah berlakunya Amandemen Undang Undang Dasar 1945, maka MPR sudah bukan lagi sebagai lembaga tinggi negara sehingga dalam hal ini kedudukan MPR sama dengan lembaga lainya agar dapat mewujudkan adanya ​check and balances a​ ntar lembaga negara. Hal ini dipertegas dengan pengaturan fungsi Dewan Perwakilan Rakyat yang dalam Pasal 69 ayat (1) UU No. 17 Tahun 2014, bahwa Dewan Perwakilan Rakyat memiliki 3 fungsi yaitu legislasi, anggaran, dan pengawasan.


2.2.1 Fungsi Legislasi Mengenai fungsi legislasi DPR, Undang Undang Dasar telah menetapkan dalam pasal 20 yang berbunyi “(1) Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang undang. (2) Setiap rancangan undang undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama. (3) Jika rancangan undang undang itu tidak mendapat persetujuan bersama, rancangan undang undang itu tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan Rakyat masa itu. (4) Presiden mengesahkan rancangan undang undang yang telah disetujui bersama untuk menjadi undang undang. (5) Dalam hal rancangan undang undang yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan undang undang tersebut disetujui, rancangan undang undang tersebut sah menjadi undang undang dan wajib diundangkan.” Sehingga dalam hal ini sudah jelas bahwa DPR memiliki peran penting dalam penegakan supremasi hukum di indonesia dengan mengajukan serta membahas mengenai rancangan Undang Undang yang kemudian diharapkan dapat berkontribusi bagi kemaslahatan masyarakat Indonesia. Demi menjalankan fungsi tersebut tentulah DPR memiliki tugas dan wewenang19. Tugas dan Wewenang DPR dalam melaksanakan fungsi legislasi adalah sebaai berikut 1. Menyusun Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Yaitu menyusun instrumen pembentukan Undang–Undang secara terpadu dan sistematis. Dalam hal ini Program Legislasi Nasional memuat daftar Rncangan Undang Undang yang akan dibahas oleh DPR dan Pemerintah baik untuk lima tahunan serta satu tahunan. 19

Dewan Perwakilan Rakyat,”Tugas dan Wewenang DPR,” http://www.dpr.go.id/tentang/tugas-wewenang, diakses 20 Juni 2019.


2. Menyusun dan membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) Dalam hal ini DPR dapat menyusun rancangan undang undang yang dianggap oleh DPR adalah sesuatu yang esnsial untuk dibahas, hal ini sangat berbeda dari saat sebelum adanya amandemen UUD 1945 yaitu pada saat itu usul inisiatif selalu berasal dari pihak eksekutif sehingga peran DPR sangatlah pasif. 3. Menerima RUU yang diajukan oleh DPD (terkait otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah; pengelolaan SDA dan SDE lainnya; serta perimbangan keuangan pusat dan daerah) Dalam hal adanya rancangan undang undang tentang suatu daerah maka DPR berwenang untuk menerimanya dari DPD dan kemudian membahasanya. 4. Membahas RUU yang diusulkan oleh Presiden ataupun DPD Sesuai dengan Pasal 20 ayat 2 UUD 1945 bahwa setiap rancangan undang undang haruslah dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat bersama dengan Presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama. 5. Menetapkan UU bersama dengan Presiden Dalam hal membahas Rancangan undang undang bersama presiden, suaru rancangan undang undang hanya dapat menjadi undang undang apabila telah disepakati antara DPR dengan Presiden. 6. Menyetujui atau tidak menyetujui peraturan pemerintah pengganti UU (yang diajukan Presiden) untuk ditetapkan menjadi UU Selama proses pembahasan DPR boleh menolak suatu rancangan undang undang , sehingga apabila tidak disetujui oleh DPR maka undang undang tersebut tidak dapat disahkan menjadi undang undang.

2.2.2 Fungsi Anggaran


Pelaksanaan fungsi anggaran yang dilakukan oleh DPR adalah sebagaimana diatur dalam Pasal 69 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014. fungsi anggaran yang terkait dengan fungsi anggaran Dewan Perwakilan Rakyat ialah hal-hal yang berkenaan dengan pelaksanaan kebijakan dalam bentuk program-program kerja pemerintah dan pembangunan untuk mencapai tujuan bernegara sebagaimana ditentukan dalam UUD 1945.20 Salah satunya adalah dengan Penetapan APBN yang dilakukan melalui pengesahan undang-undang sehingga hal itu dapat menjadi jaminan legalitas APBN sebagai produk yang mengatur keuangan negara yang telah disetujui oleh rakyat Indonesia melalui wakil-wakilnya yaitu DPR. Sehingga penyusunan anggaran pendapatan dan belanja tahunan itu harus pula mengacu kepada perencanaan pembangunan jangka panjang dan menengah yang juga dituangkan ke dalam bentuk Undang-Undang.21 Dengan harapan pembangunan itu nantinya akan memberi dampak positif kepada kesejahteraan rakyat.

Dalam melaksanakan fungsi anggaran tentunya DPR memiliki tugas dan wewenang.22 Tugas dan wewenang DPR kaitanya dengan fungsi anggaran adalah sebagai berikut 1. Memberikan persetujuan atas RUU tentang APBN (yang diajukan Presiden) Dalam hal ini apabila DPR tidak menyetujui APBN yang telah diajukan oleh Presiden, maka anggaran yang digunakan adalah anggaran tahun sebelumnya sesuai dengan ketentuan pasal 23 ayat (3) UUD 1945. 2. Memperhatikan pertimbangan DPD atas RUU tentang APBN dan RUU terkait pajak, pendidikan dan agama

20

Jimly Asshidique, “Fungsi Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat,” http://www.jimly.com/makalah/ namafile/139/FUNGSI_ANGGARAN_DPR.pdf, hlm. 2. 21 Ibid, h​ lm. 3. 22 Dewan Perwakilan Rakyat, “Tugas dan Wewenang DPR,” http://www.dpr.go.id/tentang/tugas-wewenang, diakses pada 20 Juni 2019.


Dalam melaksanakan fungsi legislasinya DPD ikut membahas Rancangan Undang Undang bersama DPR dalam pembicaraan Tingkat I, Sehingga sebelum DPR melanjutkan pembicaraan tingkat II bersama presiden maka DPR dapat mempertimbangkan pertimbangan DPD atas RUU tentang APBN dan RUU terkait pajak, pendidikan dan agama sehingga rancangan undang undang tersebut dapat lebih matang untuk di diskusikan oleh DPR dengan Presiden. 3. Menindaklanjuti hasil pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang disampaikan oleh BPK. BPK melaksanakan pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara sesuai dengan pasal 2 ayat(2) UU No.15 Tahun 2004 Tentang Pemeriksaan Keuangan, lalu dari hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh BPK maka DPR dapat menindaklanjuti opini dari BPK mengenai hasil dari pemeriksaan yang dilakukan BPK. 4. Memberikan persetujuan terhadap pemindahtanganan aset negara maupun terhadap perjanjian yang berdampak luas bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara

3) Fungsi Pengawasan

Fungsi DPR yang ketiga adalah fungsi pengawasan yaitu dalam hal ini DPR berperan penting dalam mengawasi dan mengikuti perkembangan dari

kebijakan

pemerintah

yang

sudah

seyogyanya

mendukung

kesejahteraan rakyat.Sehingga kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah benar benar sesuai dengan tujuan yang diharapkan dan tidak mengandung penyimpangan yang dapat merugikan kepentingan bangsa dan Negara. Pelaksanaan fungsi pengawasan oleh DPR juga tidak terlepas dari penegakan ​check and balances antar lembaga negara khususnya kepada presiden sehingga dalam melaksanakan suatu kebijakan presiden tidak


dapat menggunakan kekuasaannya dengan semena mena. Melalui fungsi pengawasan ini diharapkan DPR dapat mengawasi dan mengkritisi kebijakan yang diambil oleh pemerintah dan bila perlu mengambil tindak lanjut terhadap kebijakan yang berjalan tidak sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Dalam menerapkan fungsi pengawasan, DPR memiliki tugas dan wewenang sebagai berikut23 1. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan UU, APBN dan kebijakan pemerintah 2. Membahas

dan

menindaklanjuti

hasil

pengawasan

yang

disampaikan oleh DPD (terkait pelaksanaan UU mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, pengelolaan SDA dan SDE lainnya, pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan dan agama)

23

Ibid.


BAB III PROSES PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANGAN

3.1 Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia Menurut Bagir Manan pengertian Perundang – undangan memiliki esensi yaitu sebagai berikut24 A. Peraturan perundang – undangan berbentuk keputusan tertulis. Karena merupakan keputusan tertulis, peraturan perundang – undangan sebagai kaidah hukum tertulis (​geschrevenrecht,written law)​ ; B. Peraturan perundang – undangan dibentuk oleh pejabat atau lingkungan jabatan (badan, organ) yang mempunyai wewenang membuat “peraturan” yang berlaku atau mengikat umum ​(algemeen​); C. Peraturan

perundang-undangan

bersifat

mengikat

umum,

tidak

dimaksudkan harus selalu mengikat semua orang. Mengikat umum hanya menunjukkan bahwa Peraturan perundang – undangan tidak berlaku terhadap peristiwa konkret atau individu tertentu. Mengenai adanya suatu perundang-undangan, di dalam Undang Undang Dasar 1945 sebelum amandemen tidak disebutkan mengenai tata cara pembentukan Perundang-Undangan di Indonesia. Namun, disebutkan dalam pasal 5 ayat 1 bahwa ​Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan ​Dewan Perwakilan Rakyat.25 Kemudian disebutkan dalam Pasal 20 ayat (1) bahwa

tiap-tiap undang-undang menghendaki persetujuan

Dewan Perwakilan Rakyat dan kemudian pada ayat (2) bahwa Jika

sesuatu

rancangan undang-undang tidak mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat,

maka

rancangan

tadi

tidak

boleh

dimajukan

lagi

dalam

persidangan Dewan Perwakilan Rakyat masa itu.26 Dalam undang-undang ini

Mahendra Kurniawan, ​et al,​ ​Pedoman Naskah Akademik PERDA Partisipatif​, (Yogyakarta: Kreasi Total Media, 2007), hlm. 5 25 Indonesia, Undang Undang Dasar 1945 (Sebelum Amandemen), Ps.5 ayat (1). 26 Ibid, P ​ s. 20 ayat (1) dan (2). 24


disebutkan juga dalam Pasal 21 ayat (1) Perwakilan

Rakyat

berhak

memajukan

bahwa Anggota-anggota Dewan rancangan

undang-undang dan

kemudian pada ayat (2) jika rancangan itu, meskipun disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat, tidak disahkan oleh Presiden, maka rancangan tadi tidak boleh dimajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan Rakyat masa itu.27 Pengaturan terperinci mengenai proses pembentukan undang-undang mulai dijelaskan dalam Konstitusi RIS tahun 1950 bagian II pada pasal 127 sampai

dengan

pasal

143

memuat

tentang

ketentuan

mengenai

perundang-undangan, sedangangkan di dalam Undang-Undang Dasar Sementera (UUDS) 1950 pengaturan mengenai perundang-undangan secara lengkap diatur sebanyak 11 pasal yaitu dari pasal 89 sampai dengan pasal 11.28 Setelah keluarnya Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959 yang menyatakan bahwa UUDS Tahun 1950 tidak berlaku lagi maka segala ketentuan yang terkait dengan pembentukan undang-undang kembali ke Undang-Undang Dasar 1945. Pada tanggal 30 Agustus 1959 kemudian pemerintah mengatur mengenai bentuk dan jenis peraturan perundang-undangan dalam surat Presiden kepada Ketua DPR-GR Nomor 2262/HK/59. Sedangkan untuk meninjau kembali mengenai produk produk Legislatif Negara di luar produk MPRS yang tidak sesuai dengan UUD 1945 sekaligus Memorandum DPR-GR mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Perundangan Republik Indonesia maka dikeluarkan Ketetapan

MPRS

Nomor

XX/MPRS/1966

mengenai

jenis

peraturan

perundang-undangan yaitu29 a. UUD RI 1945; b. Tap. MPR; c. UU/Perpu; d. PP; Ibid,​ Ps. 21 ayat (1) dan (2). Mahmud MD, ​Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi​, (Jakarta: Rajawali Pres ,2010), hlm. 43. 29 Majelis Permusyawaratan Rakyat,​ TAP MPR tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan,​ TAP MPRS No. XX/MPRS/1966. 27 28


e. Kepres; f. Peraturan pelaksana lainya seperti g. Peraturan Menteri h. Instruksi Menteri i. Dan lain-lain Pada tahun 2000 Majelis Permusyawaratan Rakyat mengeluarkan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan yang mencabut Tap

MPRS

Nomor

XX/MPRS/1966.

Pencabutan

Tap

MPRS

Nomor

XX/MPRS/1966 disebabkan bahwa Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan peraturan perundang-undangan Republik Indonesia berdasarkan Ketetapan MPRS Nomor XX/MPRS/1966 menimbulkan kerancuan pengertian, sehingga

tidak

dapat

lagi

dijadikan

landasan

penyusunan

peraturan

perundang-undangan.30 Dalam TAP MPR No. III/MPR/2000 ditetapkan juga mengenai jenis perundang-undangan menjadi31 a. Undang-Undang Dasar 1945; b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia; c. Undang-Undang; d. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu); e. Peraturan Pemerintah; f. Keputusan Presiden; g. Peraturan daerah Pada tanggal 24 Mei 2004 dalam rangka memenuhi amanat Pasal 22A Undang Undang Dasar 19545 yaitu adanya undang-undang organik yang mengatur tentang tata cara pembentukan undang-undang maka dibentuk Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sehingga ketentuan dalam Tap MPR Nomor III/MPR/2000 tidak berlaku lagi.Dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat, ​TAP MPR tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan,​ TAP MPR No. III/MPR/2000. 31 ​Ibid.​ 30


Penjelasan Umum Alinea 6 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dinyatakan bahwa Pada dasarnya Undang-Undang

tentang

Pembentukan

Peraturan

Perundang-undangan

dimaksudkan untuk membentuk suatu ketentuan yang baku mengenai tata cara Pembentukan

Peraturan

Perundang-undangan.32

Undang-Undang

tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan tidak hanya mengikat Pemerintah, Pemerintah Daerah, DPR, MPR saja, tetapi juga mengikat Mahkamah Agung, BPK, Bank Indonesia, Mahkamah Konstitusi, Menteri, lembaga dan komisi yang setingkat dalam tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan. Selain itu UU ini juga menjadi landasan bagi kebijakan unifikasi pembentukan peraturan perundang-undangan di seluruh Indonesia, sehingga proses penyusunan dan pembahasan RUU dan Raperda makin lebih sederhana karena sudah ada pedoman mengenai proses yang harus ditaati.33 Dengan demikian, setelah diundangkannya Undang-Undang

Nomor

10

Tahun

2004,

maka

jenis

peraturan

perundang-undangan yang berlaku adalah sebagai berikut34 a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; c. Peraturan Pemerintah; d. Peraturan Presiden; e. Peraturan Daerah Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud meliputi35 a. Peraturan Daerah provinsi dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah provinsi bersama dengan gubernur; b. Peraturan Daerah kabupaten/kota dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah kabupaten/kota bersama bupati/walikota; Indonesia, ​Undang-Undang Pembentukan Peraturan,​ Penjelasan Umum Alinea 6. A.G. Abdullah, “P ​ engantar Memahami Undang-Undang Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,” ​Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 1 No.2. ​(Sptember 2004), hlm 5. 34 Indonesia, ​Undang-Undang Pembentukan Peraturan,​ Ps.7 ayat (1)​. 35 Ibid.,​ Ps. 7 ayat (2). 32 33


c. Peraturan Desa/peraturan yang setingkat, dibuat oleh badan perwakilan desa atau nama lainnya bersama dengan kepala desa atau nama lainnya. UU No.10 Tahun 2004 kemudian diubah dengan UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan . Perubahan terhadap UU No.10 Tahun 2004 dilakukan karena Undang-Undang ini banyak mengandung kelemahan-kelemahan seperti yang disebutkan dalam Penjelasan Umum UU No.12 Tahun 2011 yaitu36 a. Materi dari Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 banyak yang menimbulkan kerancuan atau multitafsir sehingga tidak memberikan suatu kepastian hukum; b. Teknik penulisan rumusan banyak yang tidak konsisten; c. Terdapat materi baru yang perlu diatur sesuai dengan perkembangan atau kebutuhan hukum dalam Pembentukan Peraturan Perundang undangan; dan d. penguraian materi sesuai dengan yang diatur dalam tiap bab sesuai dengan sistematika. Sehingga jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan yang berlaku hingga saat ini adalah sesuai dengan yang diatur dalam Pasal 7 ayat (1) UU N0.12 yaitu terdiri atas37 a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; d. Peraturan Pemerintah; e. Peraturan Presiden; f. Peraturan Daerah Provinsi; dan g. Peraturan Daerah Kabupaten/

Indonesia, ​Undang Undang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan,​ UU No. 12 Tahun 2011, LN No. 186 TLN 6112, Penjelasan terhadap Undang-Undang No.12. 37 Ibid,​ Ps. 7. 36


3.2 Jenis Perundang-Undangan di Indonesia

Sesuai dengan Undang-Undang No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan maka jenis Peraturan Perundang-Undangan terdiri atas Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Ketetapan Majelis

Permusyawaratan

Rakyat,

Undang-Undang/Peraturan

Pemerintah

Pengganti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Daerah Provinsi; dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

3.2.1 Undang Undang Dasar 1945 Kedudukan Undang-Undang Dasar 1945 dalam hierarki jenis Perundang-undangan yang diatur dalam Undang-Undang No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mempunyai kedudukan yang tertinggi, sehingga artinya adalah peraturan yang berada dibawahnya harus berdasar atau bersumber pada UUD Tahun 1945. Dalam Pasal 3 ayat (1) UU No.12 Tahun 2011 menyebutkan bahwa38 “Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

merupakan

hukum

dasar

dalam

Peraturan

Perundang-undangan. Yang dimaksud dengan “hukum dasar” adalah

norma

dasar

bagi

Pembentukan

Peraturan

Perundang-undangan yang merupakan sumber hukum bagi Pembentukan Peraturan Perundang-undangan di bawah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.” Eksistensi UUD Tahun 1945 sendiri diakui dalam Pasal 3 ayat (1) UUD Tahun 1945 yang menyebutkan bahwa MPR berwenang mengubah dan menetapkan atau mengesahkan Undang-Undang Dasar.39 Materi muatan yang diatur dalam Undang-Undang Dasar adalah mengenai jaminan Hak Asasi 38 39

Ibid, P ​ s. 3 ayat (1). ibid.


Manusia bagi warga negara,prinsip-prinsip dasar negara, tujuan negara dan sebagainya.40 Menurut Maria Farida Undang-Undang Dasar tidak tepat jika

dikatakan

sebagai

peraturan

perundang-undangan

dikarenakan UUD 1945 memiliki dua kelompok norma hukum yaitu41 a. Pembukaan

UUD

1945

yang

merupakan

norma

fundamental negara merupakan norma hukum tertinggi yang bersifat ​pre-supposed ​dan merupakan landasan dasar filosofis yang mengandung kaidah-kaidah dasar bagi pengaturan negara lebih lanjut. Sifat norma hukumnya masih secara garis besar, masih bersifat umum dan merupakan norma hukum tunggal dalam arti tidak dilekatkan oleh norma hukum yang berisi sanksi. b. Batang tubuh UUD 1945 merupakan Aturan Dasar Negara/ Aturan Pokok Negara yang merupakan garis-garis besar atau

pokok-pokok

menggariskan

tata

kebijaksanaan cara

negara

membentuk

untuk Peraturan

Perundang-Undangan yang mengikat umum.

3.2.2 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Ketetapan

MPR

merupakan

hasil

dari

rapat

majelis

Permusyawaratan Rakyat sebagai pengemban kedaulatan rakyat yang ditetapkan dalam sidang-sidang MPR. Sedangkan yang dimaksud dengan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam UU No.12 Tahun 2011 adalah Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis

Permusyawaratan Rakyat yang masih berlaku

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 4 Ketetapan Majelis

Indonesia, ​Undang-Undang Dasar 1945​. Maria Farida,​ Ilmu perundang-undangan : Jenis, Fungsi dan Materi Muatan, (Yogyakarta: PT Kanisius, 2007), hlm.75-76. 40 41


Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor: I/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan

Rakyat

Sementara

dan

Ketetapan

Majelis

Permusyawaratan Rakyat Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002, tanggal 7 Agustus 2003.42 Dalam hal ini beberapa ketentuan berupa 8 ketetapan MPRS/MPR yang dicabut dan dinyatakan tidak berlaku, 3 Ketetapan MPRS/MPR dinyatakan berlaku dengan ketentuan, 8 Ketetapan MPRS/ MPR dinyatakan berlaku sampai dengan terbentuknya pemerintahan hasil pemilu 2004, 11 Ketetapan MPRS/MPR dinyatakan tetap berlaku sampai dibentuknya undang-undang, 5 ketetapan MPRS/MPR dinyatakan masih berlaku sampai ditetapkannya peraturan tata tertib yang baru oleh MPR hasil pemilu 2004 dan 106 Ketetapan MPRS/MPR yang tidak perlu dilakukan tindakan hukum lebih lanjut. Oleh sebab itu, Tap MPR dianggap memiliki legitimasi tinggi. Banyak pendapat yang menyatakan bahwa Tap MPR tidak dapat dikatakan merupakan bagian dalam jenis peraturan perundang-undangan dilatar belakangi oleh adanya perubahan sistem ketatanegaraan pasca amandemen.43 Setelah amandemen, kedudukan MPR tidak lagi sebagai lembaga tertinggi negara, namun diganti menjadi lembaga tinggi negara yang sejajar dengan Presiden, MA, MK, BPK, DPR, dan DPD. kedaulatan juga tidak lagi dilaksanakan sepenuhnya oleh MPR tetapi dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang Dasar sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (2) UUD

1945 yang menetapkan bahwa kedaulatan berada ditangan

rakyat dan di laksanakan menurut Undang-Undang Dasar.44 Selain itu, Pasal 3 UUD 1945 juga telah menghilangkan kewenangan MPR dalam menetapkan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang memberikan konsekuensi bahwa aturan dasar negara hanya bertumpu pada UUD 1945.

Ibid, P ​ s.71. Zaka F. Aditya dan M. R. Winata,”Rekonstruksi Hierarki Peraturan,”​ Jurnal Negara Hukum,Vol. 9, No. 1, ​(Juni 2018), hlm.91. 44 Indonesia, Undang Undang Dasar 1945, Ps. 1 ayat (2). 42 43


45

Meskipun demikian, MPR masih dapat menerbitkan ketetapan yang

bersifat

menetapkan

​(beschiking)​

seperti

ketetapan

pengangkatan

Presiden/Wakil Presiden, ketetapan memberhentikan Presiden/ Wakil Presiden, dan ketetapan menetapkan UUD 1945.46 3.2.3 Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang dalam arti formil ​(wet formele zin) ​adalah apabila pemerintah bersama dengan parlemen mengambil keputusan dalam hal untuk membuat Undang-Undang sesuai dengan prosedur , Sedangkan Undang Undang dalam arti materiil adalah jika suatu lembaga yang mempunyai kewenangan membentuk peraturan perundang-undangan mengeluarkan suatu keputusan yang isinya mengikat masyarakat secara umum. Dalam hal ini Undang-Undang dalam arti formil dilihat dari segi bentuk dan pembentukannya sedangkan Undang-Undang dalam arti Materiil melihat UU dari segi isi, materi dan dan substansinya.47 Sedangkan arti Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) dalam angka 4 pasal 1 Undang-Undang No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan disebutkan bahwa Peraturan Pemerintah

Pengganti

Undang-Undang

adalah

Peraturan

Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa.48 Perpu ditetapkan tanpa terlebih dahulu meminta persetujuan bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan hanya dapat dilakukan dalam hal ikhwal kegentingan memaksa. 3.2.4 Peraturan Pemerintah

​Ibid.,​ Ps.3. Irwandi, “Kedudukan Tap MPR dan Implikasinya Terhadap Hierarki Peraturan Perundang-undangan di Indonesia,” ​Jurnal Inovatif Ilmu Hukum, Vol. 6 No. 2, ​(2013), hlm. 95-96. 47 Made Nurwati,”Jenis,Fungsi dan Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan,” https://simdos.unud.ac.id/uploads/file_pendidikan_1_dir/21d72bd373564110789e3846d9e74f45.p df, diakses 21 Juni 2019. 48 Indonesia, ​Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan,​ Ps.11 angka 4. 45 46


Peraturan Pemerintah atau kemudian disingkat PP memiliki beberapa karakteristik yaitu49 1. PP tidak dapat lebih dulu dibentuk tanpa ada UU yang menjadi induknya; 2. PP tidak dapat mencantumkan sanksi pidana apabila UU yang bersangkutan tidak mencantumkan sanksi pidana; 3. Ketentuan PP tidak dapat menambah atau mengurangi ketentuan UU yang bersngkutan; 4. PP dapat dibentuk meski ketentuan UU yang bersangkutan tidak memintanya secara tegas; 5. Ketentuan-ketentuan PP berisi peraturan atau gabungan peraturan dan penetapan. PP tidak berisi penetapan semata-mata. Keberadaan Peraturan Pemerintah terdapat pada Pasal 5 ayat (2) UUD Tahun 1945 yang menyebutkan bahwa Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya.50 Peraturan Pemerintah yang dimaksud adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan Undang-Undang.51 dikoordinasikan

Perencanaan oleh

penyusunan

menteri

atau

Peraturan

kepala

Pemerintah

lembaga

yang

menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.52

Dalam

penyusunan

Rancangan

Peraturan

Pemerintah, pemrakarsa membentuk panitia antarkementerian dan/atau lembaga pemerintah nonkementerian, pengharmonisasian, pembulatan, dan

pemantapan

dikoordinasikan

konsepsi oleh

Rancangan

menteri

atau

Peraturan kepala

Pemerintah

lembaga

yang

Maria Farida,​ Ilmu perundang-undangan, h​ lm.99. Indonesia, ​Undang Undang Dasar 1945,​ Ps. 5 ayat (2) 51 Indonesia, ​Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,​ Ps.5 angka 49 50

1.

Indonesia, ​Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, UU No.15 Tahun 2019, Ps. 26 angka 1​. 52


menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.53 3.2.5 Peraturan Presiden Peraturan Presiden (Perpres) keberadaannya tidak diatur dalam konstitusi seperti peraturan perundang-undang yang sudah dibahas sebelumnya.

Namun,

sejak

awal

kemerdekaan

presiden

sudah

mengeluarkan Peraturan Presiden No. 1 Tahun 1946 tentang Pemberian Ampunan kepada Hukuman. Peraturan Presiden merupakan kaidah hukum tertulis yang dibuat oleh Presiden untuk menjalankan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau dalam menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan, yang merupakan kewenangan asli Presiden dalam menyelenggarakan pemerintahan sebagaimana diamanatkan Pasal 4 ayat (1) UUD 1945.54 Menurut A. Hamid S. Attamimi, frasa Presiden memegang kekuasaan pemerintah berarti bahwa Presiden berwenang untuk memutuskan (​belissende bevoegheid​) dan mengatur (​regelende bevoegheid​).55 Dalam hal ini, Perpres merupakan kewenangan Presiden untuk mengatur agar penyelenggaraan pemerintahan dapat berjalan lancar, sehingga keberadaan Perpres merupakan atribusi dari Pasal 4 ayat (1) UUD Tahun 1945.Dalam penyusunan Rancangan Peraturan Presiden, pemrakarsa membentuk panitia antar kementerian dan / atau antar nonkementerian,

pengharmonisasian,

pembulatan,

dan

pemantapan

konsepsi Rancangan Peraturan Presiden dikoordinasikan oleh menteri atau kepala lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.56 Muatan materi Perpres yaitu materi yang diperintahkan oleh 53 54

angka 6. 55

Ibid.,​ Ps. 54. Indonesia, ​Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,​ Ps. 1

A. Hamid S. Attamimi,​ Hukum Tentang Peraturan Perundang-Undangan dan Peraturan Kebijakan (Hukum Tata Pengaturan)​ (Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1993), hlm.186-187. 56 Indonesia, ​Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,​ UU No.15 Tahun 2019, Ps.55 ayat (1)​.


undang-undang, dan materi untuk melaksanakan perintah peraturan pemerintah,

atau

materi

untuk

menyelenggarakan

kekuasaan

pemerintahan.57 Namun, Jimly Asshiddiqie menyampaikan beberapa hal yang dapat menjadi pembatasan Perpres, yaitu58 1. Adanya perintah oleh peraturan yang lebih tinggi; 2. Perintah dimaksud tidak harus bersifat tegas dalam arti langsung menyebutkan bentuk hukum penuangan norma hukum yang perlu diatur, asalkan perintah pengaturan tersebut tetap ada; 3. Dalam hal perintah tersebut memang sama sekali tidak ada, maka Perpres itu dapat dikeluarkan untuk maksud mengatur hal hal yang benar-benar bersifat teknis administrasi pemerintahan dan semata-mata dimaksudkan untuk tujuan internal penyelenggaraan ketentuan undang-undang dan peraturan pemerintah. 3.2.6 Peraturan Daerah Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota yang masing – masing mempunyai pemerintahan daerah. Dalam rangka mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dalam daerah maka pemerintah daerah berwenang dalam mengeluarkan Peraturan Daerah. Materi muatan peraturan daerah ini mengatur dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan pelaksanaan aturan hukum diatasnya dan menampung kondisi khusus daerah yang bersangkutan.59 Kewenangan dalam membentuk peraturan daerah adalah berlandaskan pada pasal 18 ayat (6) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang Indonesia, ​Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,​ UU No.12 Tahun 2011, Ps.13. 58 Jimly Asshiddiqie dalam Ni’matul Huda dan R. Nazriyah, T​eori dan Pengujian Peraturan Perundang-Undangan​ (Bandung: Nusamedia, 2011), hlm. 109. 59 Mahendra Kurniawan,​ et al.,​ ​Pedoman Naskah Akademik PERDA Partisipatif (Yogyakarta: Kreasi Total Media, 2007), hlm. 20. 57


menyatakan Pemerintahan Daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.60 Sehingga hal ini dapat

meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pelayanan

umum, dan daya saing daerah. Pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan Peraturan Daerah Provinsi yang berasal dari DPRD Provinsi dikoordinasikan oleh alat kelengkapan DPRD Provinsi yang khusus menangani bidang legislasi, sedangkan pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan Peraturan Daerah Provinsi yang berasal dari Gubernur dilaksanakan oleh kementerian atau lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.61Materi muatan Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota berisi materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan serta menampung kondisi khusus daerah dan/atau penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.62 3.3 Kekuasaan Pembentukan Undang-Undang Kekuasaan

pembentukan

Undnag-Undang

telah

diatur

dalam

Undang-Undang Dasar 1945. Dalam pasal 5 ayat (1) UUD 1945 dikatakan bahwa Presiden berhak mengajukan rancangan Undang- Undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat.63 Sedangkan dalam Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 menyatakan

bahwa Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan

membentuk undang - undang.64 Sehingga lembaga yang memiliki kekuasaan untuk membentuk undang-undang sesuai dengan amanat konstitusi adalah presiden dan DPR. Kemudian Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama, Jika rancangan undang- undang itu tidak mendapat persetujuan bersama,

60

Indonesia,Undang Undang Dasar 1945, Ps. 18 ayat (6). Indonesia, ​Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, UU No.15 Tahun 2019, Ps. 58 ayat (1) dan (2)​. 62 Indonesia, ​Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, UU No.12 Tahun 2011, Ps. 14​. 63 Indonesia,Undang Undang Dasar 1945, Ps. 5 ayat (1). 64 Ibid,​ Ps. 20 ayat (1). 61


rancangan undang-undang itu tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan Rakyat masa itu, tetapi apabila disetujui maka presiden mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama untuk menjadi undang-undang, dalam hal rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan undang-undang tersebut disetujui, rancangan undangundang tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan.65 Ketentuan Pasal 20 ayat (2) menyebutkan secara tegas kata 'presiden' sebagai pejabat ataupun lingkungan jabatan yang membahas bersama dan menyetujui bersama DPR suatu rancangan undang- undang (RUU). ketentuan tersebut mendapat kritik dari kalangan akademisi yang mengatakan bahwa dalam praktik pembahasan suatu RUU tidak pernah presiden yang langsung hadir dalam rapat pembahasan.66 Namun apabila ditelaah memang akan sangat sulit bila presiden secara pribadi yang harus hadir dalam rapat-rapat pembahasan RUU di DPR mengingat pekerjaan tersebut merupakan pekerjaan yang akan menyita waktu yang sangat banyak sedangkan presiden memiliki tugas pemerintahan lainnya justru lebih banyak lagi. Sehingga dalam hal ini presiden diwakili oleh menteri-menteri yang bertugas membantu dalam berbagai urusan pemerintahan.67 Oleh karena itu muncul saran bahwa seharusnya Pasal 20 ayat (2) lebih tepat menyebut dengan istilah pemerintah bukan presiden karena menteri dilekatkan sebagai bagian dari pemerintahan.68 Proses pembentukan suatu UU setidaknya meliputi kegiatan pengusulan suatu RUU, pembahasan, persetujuan, dan pengesahan. Sebuah RUU baik itu yang diusulkan oleh DPR maupun oleh presiden harus dibahas bersama DPR dengan presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama. Dalam proses pembahasan suatu RUU, kedudukan DPR dengan presiden adalah sejajar yang

Ibid,​ Ps. 20 ayat (2) dan ayat (5) Rahayu Prasetyaningsih, “​Menakar Kekuasaan Presiden dalam Pembentukan Peraturan Perundang- undangan Menurut Undang-Undang Dasar 1945,” ​Padjajaran Jurnal Ilmu Hukum, Vol 4, No.2, ​(2017), hlm.270. 67 Indonesia,Undang Undang Dasar 1945, UUD 1945, Ps. 17 ayat (1) dan (3). 68 Rahayu Prasetyaningsih, “​Menakar Kekuasaan Presiden,” Hlm. 270. 65 66


memungkinkan salah satu pihak tidak memberikan persetujuannya atas suatu RUU yang diajukan.69

3.4 Proses Pembentukan Undang-Undang

Dalam Penjelasan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan disebutkan bahwa sebagai negara yang mendasarkan pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, segala aspek kehidupan dalam bidang kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan termasuk pemerintahan harus senantiasa berdasarkan atas hukum.70 Sehingga untuk mewujudkan negara hukum tersebut diperlukan tatanan yang ajeg dalam bidang pembentukan peraturan perundang-undangan. Terdapat berbagai macam ketentuan yang berkaitan dengan Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan

termasuk

teknik

penyusunan

peraturan

perundang-undangan yang diatur secara tumpang tindih baik peraturan yang berasal dari masa kolonial maupun yang dibuat setelah Indonesia merdeka, yaitu71

1. Algemeene Bepalingen van Wetgeving voor Indonesie yang disingkat AB (Stb. 1847 : 23) yang mengatur ketentuan-ketentuan umum peraturan perundang-undangan.

Sepanjang

mengenai Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan, ketentuan AB tersebut tidak lagi berlaku secara utuh karena telah diatur dalam peraturan perundang-undangan nasional. 2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1950 tentang Peraturan tentang Jenis dan BentukPeraturan

yang

Dikeluarkan

oleh

Pemerintah

Pusat.

Undang-Undang ini merupakan Undang-Undang dari Negara Bagian Republik Indonesia Yogyakarta.

69

Ibid. Indonesia, ​Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, UU No.12 Tahun 2011, Penjelasan UU No. 12 Tahun 2011​. 71 Maria Farida, ​et al​., ​Laporan Kompendium Bidang Hukum Perundang-Undangan (Jakarta: Departemen Hukum dan HAM RI, 2008), hlm 28. 70


3. Undang-Undang

Nomor

2

Tahun

1950

tentang

Menetapkan

Undang-Undang Darurat tentang Penerbitan Lembaran Negara Republik Indonesia Serikat dan tentang Mengeluarkan, Mengumumkan, dan Mulai Berlakunya Undang-Undang Federal dan Peraturan Pemerintah sebagai Undang-Undang Federal. 4. Selain Undang-Undang tersebut, terdapat pula ketentuan: a. Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 1945 tentang Pengumuman dan Mulai Berlakunya Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah; b. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 234 Tahun 1960 tentang Pengembalian Seksi Pengundangan Lembaran Negara dari Departemen Kehakiman ke Sekretariat Negara; c. Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 1970 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia; d. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 188 Tahun 1998 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang; e. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 1999 tentang TeknikPenyusunan Peraturan Perundang-undangan dan Bentuk

Rancangan

Undang-Undang,

Rancangan

Peraturan

Pemerintah, dan Rancangan KeputusanPresiden;

Kemudian setelah terbentuknya Dengan terbentuknya Undang-Undang Nomor

12

Tahun

2011

tersebut,

maka

pembentukan

peraturan

perundang-undangan yang pada dasarnya dimulai dari perencanaan, persiapan, teknik penyusunan, perumusan, pembahasan, pengesahan, pengundangan, dan penyebarluasan harus mendasarkan pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011. Dalam pembuatan suatu Perundang-undangan terdapat bebrapa komponen utama yang saling terkait dan tidak dapat dipisah-pisahkan, yaitu Pertama adalah lembaga pembentuk undang-undang yaitu lembaga/pejabat negara yaitu Dewan


Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan daerah (DPD) serta Presiden.72 Di

lingkungan

pemerintah (eksekutif)

pusat yang

membantu Presiden

membentuk/membahas RUU adalah para menteri/kepala LPND dan pejabat struktural yang dibantu oleh para pejabat fungsional, sedangkan di lingkungan pemerintah daerah adalah kepala daerah (gubernur/bupati/walikota) dan pejabat struktural yang dibantu para pejabat fungsional peneliti dan perancang peraturan perundang-undangan daerah. Peraturan perundang-undangan dapat dibatalkan atau batal demi hukum, jika dibuat oleh lembaga/pejabat yang tidak berwenang. Atribusi pembentuk undang-undang yang ditentukan dalam UndangUndang Dasar Negara RI Tahun 1945 adalah DPR-RI dan Presiden. Sedangkan atribusi pembentuk perda yang ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 32 tentang Pemerintahan Daerah adalah DPRD dan Pemerintah Daerah. Untuk pembentukan PP, telah diatribusikan kepada Presiden berdasarkan Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945. Untuk pembentukan Perpres, telah diatribusikan kepada Presiden berdasarkan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945. Kedua, prosedur atau tata cara pembentukannya.73 Dalam hal ini termasuk pula pelaksanaan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik. Asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik menurut I.C. van der Vlies dalam bukunya yang berjudul Handboek Wetgeving dibagi dalam dua kelompok yaitu74 A. Asas-asas formil : a. Asas tujuan yang jelas (beginsel van duidelijke doelstelling) yakni setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus mempunyai tujuan dan manfaat yang jelas untuk apa dibuat;

Ibid.,​ hlm.22. ​Ibid. 74 A. Hamid, SA, ​Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara, (​Disertasi Doktor Universitas Indonesia, Jakarta,1990), hlm. 321- 331. 72 73


b. Asas organ/lembaga yang tepat (beginsel van het juiste orgaan), yakni setiap jenis peraturan perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga atau organ pembentuk peraturan perundagundagan

yang

perundang-undangan

berwenang.

tersebut

Peraturan

dapat

dibatalkan

(​vernietegbaar)​ atau batal demi hukum ​(van rechtswege nieteg)​, bila dibuat oleh lembaga atau organ yang tidak berwenang; c. Asas

kedesakan

pembuatan

pengaturan

​(het

noodzakelijkheidsbeginsel)​; d. Asas kedapatlaksanaan (dapat dilaksanakan) ​(het beginsel van uitvoerbaarheid),​ yakni setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus didasarkan pada perhitungan bahwa peraturan perundang-undangan yang dibentuk nantinya dapat berlaku secara efektif di masyarakat karena telah

mendapat dukungan baik secara filosofis, yuridis,

maupun sosiologis sejak Tahap penyusunannya; e. Asas konsensus​ (het beginsel van de consensus).

B. Asas-asas materiil: a. Asas terminologi dan sistematika yang benar ​(het beginsel van duidelijke terminologie en duidelijke systematiek); b. Asas dapat dikenali ​(het beginsel van de kenbaarheid);​ c. Asas

perlakuan

yang

sama

dalam

hukum

​(het

rechtsgelijkheidsbeginsel);​ d. Asas kepastian hukum ​(het rechtszekerheidsbeginsel); e. Asas pelaksanaan hukum sesuai dengan keadaan individual (het beginsel van de individuele rechtsbedeling).


Ketiga adalah substansi yang akan diatur dalam undang-undang.75 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

(UU

P3)

telah

mengingatkan

kepada

pembentuk

undang-undang agar selalu memperhatikan asas pembentukan peraturan perundangundangan dan asas materi muatan. Dalam membentuk Peraturan Perundang-undangan harus dilakukan berdasarkan pada asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik, yang meliputi76 a. kejelasan tujuan; b. kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat; c. kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan; d. dapat dilaksanakan; e. kedayagunaan dan kehasilgunaan; f. kejelasan rumusan; dan g. Keterbukaan. Sedangkan materi muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan asas 77 a. pengayoman; b. kemanusiaan; c. kebangsaan; d. kekeluargaan; e. kenusantaraan; f. bhinneka tunggal ika; g. Keadilan; h. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan; i. ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau j. keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, k.asas

lain

sesuai

dengan

bidang

hukum

Peraturan

Perundang-undangan yang Maria Farida, ​et al., ​Laporan Kompendium, hlm. 22. Indonesia, ​Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, UU No.12 Tahun 2011, Ps.5​. 77 Ibid, Ps. 6. 75 76


bersangkutan. Dalam

proses

pembentukan

Perundang-undangan

terdapat

tahap

perencanaan dan penyusunan. Tahapan ini menentukan penting atau tidaknya suatu undang-undang untuk dibentuk, di sinilah suatu rancangan undang-undang ditentukan prioritas atau tidaknya untuk dibentuk. Tahap perencanaan adalah tahap dimana DPR dan Presiden serta DPD terkait RUU tertentu menyusun daftar RUU

yang akan disusun yang kemudian dikenal dengan istilah penyusunan

Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Prolegnas terbagi atas Prolegnas jangka menegah yang disusun untuk jangka waktu 5 tahun dan juga Prolegnas Prioritas Tahunan yang disusun untuk jangka waktu tahunan. Penyusunan dan penetapan Prolegnas jangka menengah dilakukan pada awal masa keanggotaan DPR sebagai Prolegnas untuk jangka waktu 5 (lima) tahun, sebelum menyusun dan menetapkan Prolegnas jangka menengah sebagaimana DPR, DPD, dan Pemerintah melakukan evaluasi

terhadap Prolegnas jangka menengah masa keanggotaan DPR

sebelumnya, kemudian Prolegnas jangka menengah dapat dievaluasi setiap akhir tahun bersamaan dengan penyusunan dan penetapan Prolegnas prioritas tahunan.78 Sebelum sebuah RUU dapat masuk dalam Prolegnas tahunan, DPR dan/Pemerintah sudah harus menyusun terlebih dahulu Naskah Akademik dan RUU tersebut.79 Penyusunan dan penetapan Prolegnas prioritas tahunan sebagai pelaksanaan Prolegnas jangka menengah dilakukan setiap tahun sebelum penetapan Rancangan Undang-Undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.80 Dalam ketentuan Pasal 47 Undang Undang No. 15 Tahun 2009 Tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Rancangan Undang-Undang yang diajukan oleh Presiden

disiapkan

oleh

menteri

atau

pimpinan

lembaga

pemerintah

nonkementerian sesuai dengan lingkup tugas dan tanggung jawabnya, kemudian Indonesia, ​Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, UU No.15 Tahun 2019, Ps. (3), (4), dan (5)​. 79 Indonesia, ​Proses Pembentukan Undang-Undang, http://peraturan.go.id/welcome/index/ prolegnas_pengantar.html., diakses tanggal 10 November 2019. 80 Indonesia, ​Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, UU No.12 Tahun 2011, Ps. 20 ayat (6). 78


dalam penyusunan Rancangan Undang-Undang, menteri atau pimpinan lembaga pemerintah nonkementerian terkait membentuk panitia antar kementerian dan atau antar nonkementerian, lalu pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan Undang-Undang yang berasal dari Presiden dikoordinasikan oleh menteri atau kepala lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.81 Mengenai Rancangan Undang-Undang dari DPR diatur dalam pasal 49 Undang Undang No. 15 Tahun 2009 Tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yaitu Rancangan Undang- Undang oleh DPR disampaikan dengan surat pimpinan DPR kepada Presiden, kemudian Presiden menugasi menteri yang mewakili untuk membahas Rancangan Undang-Undang bersama DPR dalam jangka waktu paling lama 60 (enam puluh) hari terhitung sejak surat pimpinan DPR diterima lalu Menteri mengoordinasikan persiapan

pembahasan

dengan

menteri

atau

kepala

lembaga

yang

menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.82 Penyusunan Prolegnas antara DPR dan Pemerintah dikoordinasikan oleh DPR melalui alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi. Penyusunan Prolegnas di lingkungan DPR dilakukan dengan mempertimbangkan usulan dari fraksi, komisi, anggota DPR, DPD, dan/atau masyarakat, Sedangkan penyusunan Prolegnas di lingkungan Pemerintah dikoordinasikan oleh menteri atau kepala lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.83 Rancangan undang-undang (RUU) yang telah disusun dalam Prolegnas Jangka Menengah dan Prolegnas Prioritas tahunan diurutkan prioritas pembahasannya. Pimpinan DPR akan memberitahukan adanya RUU dan membagikan RUU kepada seluruh anggota DPR dalam rapat paripurna. DPR dalam rapat paripurna berikutnya memutuskan

Indonesia, ​Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,​ UU No.15 Tahun 2019, Ps. 47 ayat (1), (2), ayat (3). 82 ​Ibid.,​ Ps. 49 ayat (1) sampi ayat (3). 83 Indonesia, ​Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, UU No.15 Tahun 2019, Ps.21. 81


RUU tersebut berupa persetujuan, persetujuan dengan perubahan, atau penolakan. Selanjutnya RUU ditindaklanjuti dengan dua tingkat pembicaraan. Pembicaraan tingkat I dilakukan dalam rapat komisi, rapat gabungan komisi, rapat Badan Legislasi, rapat Badan Anggaran, atau rapat panitia khusus. Kegiatan dalam pembicaraan tingkat I dilakukan dengan pengantar musyawarah, pembahasan daftar inventarisasi masalah, dan penyampaian pendapat mini fraksi. Pembicaraan tingkat II kemudian dilakukan dalam rapat paripurna yang berisi: 1. Penyampaian laporan yang berisi proses, pendapat mini fraksi, pendapat mini DPD, dan hasil Pembicaraan Tingkat I; 2. Pernyataan persetujuan atau penolakan dari tiap-tiap fraksi dan anggota secara lisan yang diminta oleh pimpinan rapat paripurna; dan 3. Pendapat akhir Presiden yang disampaikan oleh menteri yang mewakilinya. Bila tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah mufakat, keputusan diambil dengan suara terbanyak.84 Rangkaian proses pembahasan rancangan undang-undang ini merupakan suatu rangkaian yang juga dilakukan dalam pembuatan Peraturan Daerah yang dilakukan oleh Gubernur/Walikota/ bersama dengan DPRD dalam menyusun Program Legislasi Daerah. Rangkaian ini seringkali memakan waktu yang lama tanpa adanya kepastian waktu pengesahan. Hal ini tidak jarang mengakibatkan kebutuhan masyarakat akan kepastian hukum menjadi terbengkalai.85 Melalui perdebatan politik yang menyangkut kepentingan terhadap suatu ketentuan yang akan diatur, terkadang membuat tidak mudah untuk mendapat suatu kesepakatan diantara pembahas undang-undang. Ketidaksatuan atau perbedaan pendapat inilah turut mempengaruhi cepat atau lambatnya pembentukan suatu undang-undang.

84 85

​Ibid. ​Ibid.


BAB IV PROGRAM LEGISLASI NASIONAL

4.1 Pengertian dan Peran Prolegnas Dalam tahap perencanaan penyusunan peraturan perundang-undangan tertuang suatu program perencanaan di bidang perundang-undangan secara nasional yakni program legislasi nasional. Pengertian Program Legislasi Nasional (Prolegnas) menurut UU Nomor 10 tahun 2004 adalah instrumen perencanaan program pembentukan undang-undang yang disusun secara berencana, terpadu, dan sistematis.86 Prolegnas berfungsi sebagai landasan operasional pembangunan hukum melalui pembentukan peraturan perundang-undangan yang akan dapat memproyeksikan kebutuhan hukum atau undang-undang baik secara kualitatif maupun kuantitatif dengan menetapkan visi dan misi, arah kebijakan, serta indikator secara rasional.87 Sehingga, prolegnas tidak sekedar himpunan daftar judul RUU, melainkan mengandung kegiatan dalam kurun waktu lima tahun atau satu tahun anggaran yang memiliki nilai strategis yang akan direalisasikan sebagai bagian

dari

pembangunan

perundang-undangan mengarahkan

yang

pembangunan

perundang-undangan,

serta

nasional.88

terarah hukum,

melalui

Pembentukan prolegnas

mewujudkan

meniadakan

diharapkan

konsistensi

pertentangan

peraturan

antara

dapat

peraturan peraturan

perundang-undangan yang ada baik secara vertikal maupun horizontal yang bermuara pada terciptanya hukum nasional yang adil. Selain itu, melalui prolegnas diharapkan akan menghasilkan kebijakan yang sesuai dengan aspirasi masyarakat, mengandung perlindungan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia serta mempunyai daya laku yang efektif dalam masyarakat.89 86 ​

Richo Wahyudi, “Pembaharuan Hukum Agraria Melalui Rancangan Undang-Undang Bidang Hukum Agraria dalam Program Legislasi Nasional,” Tesis Magister Universitas Indonesia, Jakarta, 2011. 87 Badan Legislasi DPR RI, “Membanguan Keterpaduan Program Legislasi Nasional dan Daerah,” (Makalah disampaikan dalam Workshop dan Focus Group Discussion Program Legislasi Nasional Sebagai Politik Pembangunan Hukum Nasional, Jakarta, 21 Mei 2008), hlm. 1. 88 ​ Ibid. 89 ​ BPHN Depkumham, ​Pedoman Lokakarya Program Legislasi Nasional 2009-2014, (Bandung: BPHN, 2009), hlm 2.


Prolegnas juga memiliki peran yang sangat penting dalam pembangunan hukum secara keseluruhan. Upaya pembangunan sistem hukum nasional sendiri mencakup beberapa hal:90 Pertama, pembangunan substansi hukum, baik hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis dengan mekanisme pembentukan hukum nasional yang lebih baik sesuai dengan kebutuhan pembangunan dan aspirasi masyarakat. Kedua, penyempurnaan struktur hukum yang lebih efektif. Ketiga, pelibatan seluruh komponen masyarakat dengan kesadaran hukum tinggi untuk mendukung pembentukan sistem hukum nasional yang dicita-citakan.

4.2 Sejarah Prolegnas Ide prolegnas lahir pada simposium mengenai Pola Perencanaan Hukum dan Perundang-undangan di Provinsi Daerah Istimewa Aceh pada tahun 1976. Simposium

menyimpulkan

bahwa pembuatan Pola Umum Perencanaan

Pembangunan Hukum menjadi sangat penting dan perlu diwujudkan secara konkrit, antara lain dalam bentuk Penyusunan Program Legislasi Nasional.91 Pada tanggal 3 sampai dengan 5 Februari 1997 diadakan Lokakarya Penyusunan Prolegnas di Manado Sebagai tindak lanjut dari simposium di Aceh tersebut. Pada lokakarya ini, untuk pertama kalinya disusun konsep Program Legislasi Nasional yang mencerminkan keseluruhan rencana pembangunan hukum nasional di bidang hukum tertulis secara berencana dan koordinatif oleh BPHN yang dilaksanakan dalam setiap Repelita.92 Prolegnas sebagai instrumen perencanaan hukum yang berisi daftar rencana legislasi atau rencana pembentukan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan RPP hanya didasarkan kesepakatan diantara instansi atau lembaga yang berkepentingan sehingga tidak ada sanksi bagi pihak-pihak yang tidak menjalankan kesepakatan tersebut.93 Pada tanggal 26 Oktober 1983, dimulai institusionalisasi

90 ​

prolegnas

dengan

dikeluarkannya

Richo Wahyudi, “Pembaharuan Hukum Agraria.” Ibid. 92 ​ Ibid. 93 Ibid., h​ lm. 21. 91 ​

Keputusan

Menteri


Kehakiman Nomor M-PR.02.08-41.94 Selanjutnya pada tahun 1988 dikeluarkan Keppres Nomor 32 Tahun 1988. Dengan dikeluarkannya Keppres tersebut, kedudukan BPHN lebih kuat dalam perencanaan pembangunan hukum nasional. BPHN menyusun Rencana Pembangunan Hukum Jangka Panjang dan Menengah pada GBHN 1993 dan Repelita VI serta Rencana Legislasi Nasional.95 Pada saat reformasi, terdapat 3 dari 10 arah kebijakan pembangunan di bidang hukum yang kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam program pembentukan peraturan perundang-undangan yaitu:96 1. Menata sistem hukum nasional yang menyeluruh dan terpadu dengan mengakui dan menghormati hukum agama dan hukum adat serta memperbaharui

perundang-undangan warisan kolonial dan hukum

nasional yang diskriminatif, termasuk ketidak adilan gender dan ketidaksesuaiannya dengan tuntutan reformasi melalui program legislasi; 2. Melanjutkan ratifikasi konvensi internasional, terutama yang berkaitan dengan hak asasi manusia sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan bangsa dalam bentuk undang-undang; 3. Mengembangkan

peraturan

perundang-undangan

yang

mendukung

kegiatan perekonomian dalam menghadapi era perdagangan bebas tanpa merugikan kepentingan nasional. Kemudian pemerintah dan DPR bersama-sama menyusun program pembangunan nasional dan menuangkannya dalam UU No. 25 tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional tahun 2000-2004.97 Isinya, dalam kurun waktu 2000-2004, telah ditetapkan target bahwa 120 (seratus dua puluh) undang-undang harus ditetapkan sampai dengan tahun 2004, dengan dasar pertimbangan, 120 undang-undang yang ditetapkan dalam propenas akan menjadi landasan bagi seluruh penyelenggara negara untuk lebih mempercepat Bangsa Indonesia keluar dari krisis multidimensi sejak tahun 1997.

Ibid., h​ lm. 20. Ibid., h​ lm. 21. 96 Badan Pembinaan Hukum Nasional, ​Tiga Dekade Prolegnas dan Peran BPHN ​(Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, 2008). 97 ​Ibid. 94 95


Pada Undang-Undang nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, untuk pertama kalinya Prolegnas diatur secara tegas di dalamnya, bahwa perencanaan penyusunan Undang-Undang dilakukan dalam suatu Program Legislasi Nasional. Dalam undang-undang ini diatur adanya enam tahap dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan yaitu perencanaan,

persiapan,

pembahasan,

pengesahan,

pengundangan,

dan

penyebarluasan. Pembuatan Prolegnas masuk dalam tahap 'perencanaan'. Tata cara penyusunan dan pengelolaan Prolegnas diatur dengan Peraturan Presiden nomor 61 Tahun 2005 tentang Penyusunan dan Pengelolaan Program Legislasi Nasional, khususnya di lingkungan Pemerintah. Dalam undang-undang ini diatur Prolegnas disusun selama kurun waktu 5 tahun dan penyusunan tersebut berfungsi untuk menentukan skala prioritas pembentukan peraturan perundang-undangan dan berfungsi pula untuk menggalang komunikasi dalam proses perencanaan penyusunan peraturan perundang-undangan.

4.3 Tata Cara Penyusunan dan Pengelolaan Prolegnas Penyusunan prolegnas dibagi menjadi dua yakni, di lingkungan Dewan Perwakilan Rakyat dikoordinasikan oleh Badan Legislasi dan di lingkungan pemerintah dikoordinasikan oleh menteri.98 1. Lingkungan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) a. Badan Legislasi dalam mengkoordinasikan penyusunan Prolegnas di lingkungan Dewan Perwakilan Rakyat dapat meminta atau memperoleh bahan dan/atau masukan dari Dewan Perwakilan Daerah dan/atau masyarakat.99 b. Berdasarkan Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor: 08/DPR Rl/1/2005-2006 Tentang Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Badan Legislasi antara lain bertugas: menyusun Program Legislasi Nasional yang 98

Indonesia, “Penambahan Penyertaan Modal Pemerintah Republik Indonesia ke Dalam Modal Saham Perusahaan Perseroan (Persero) PT Kereta Api Indonesia, PP No. 61 tahun 2005, Ps. 6-7. 99 ​Ibid.,​ Ps. 8


memuat daftar urutan Rancangan Undang-Undang untuk suatu masa keanggotaan dan prioritas setiap Tahun Anggaran, yang selanjutnya dilaporkan dalam rapat Paripurna untuk ditetapkan dengan keputusan DPR. c. Hasil penyusunan Prolegnas di lingkungan Dewan Perwakilan Rakyat oleh Badan Legislasi dikoordinasikan dengan Pemerintah melalui Menteri dalam rangka sinkronisasi dan harmonisasi Prolegnas.100 2. Lingkungan Pemerintah a. Menteri meminta kepada Menteri lain dan Pimpinan Lembaga Pemerintah

Non

Departemen

perencanaan

pembentukan

Rancangan Undang-Undang di lingkungan instansinya masingmasing sesuai dengan lingkup bidang tugas dan tanggung jawabnya.101 b. Menteri

melakukan

pengharmonisasian,

pembulatan,

dan

pemantapan konsepsi Rancangan Undang-Undang yang diterima dengan Menteri lain atau Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen penyusun perencanaan pembentukan Rancangan Undang-Undang dan Pimpinan instansi Pemerintah terkait lainnya. 102

Naskah akademik yang disusun menteri atau pimpinan lembaga

pemerintah non departemen wajib disertakan dalam penyampaian perencanaan pembentukan rancangan undang-undang.103 c. Konsepsi Rancangan Undang-Undang yang telah memperoleh keharmonisan, kebulatan, dan kemantapan konsepsi, oleh Menteri wajib dimintakan persetujuan terlebih dahulu kepada Presiden sebagai Prolegnas yang disusun di lingkungan Pemerintah sebelum dikoordinasikan dengan Dewan Perwakilan Rakyat.104 Dalam hal

Ibid.,​ Ps. 10. Ibid.,​ Ps. 11. 102 Ibid.,​ Ps. 14. 103 ​Ibid.,​ Ps. 13. 104 Ibid.,​ Ps. 8. 100 101


Presiden memandang perlu untuk mendapatkan kejelasan lebih lanjut atas dan/atau memberikan arahan terhadap konsepsi Rancangan Undang-Undang, Presiden menugaskan Menteri untuk mengkoordinasikan kembali.105 d. Hasil penyusunan Prolegnas di lingkungan Pemerintah oleh Menteri dikoordinasikan dengan Dewan Perwakilan Rakyat melalui

Badan

Legislasi

dalam

rangka

sinkronisasi

dan

harmonisasi Prolegnas.106 3. Koordinasi antara Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah a. Hasil Penyusunan Prolegnas di lingkungan Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah dibahas bersama antara Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah yang pelaksanaannya dikoordinasikan oleh Dewan Perwakilan Rakyat melalui Badan Legislasi.107 b. Menteri

mengkonsultasikan

terlebih

dahulu

masing-masing

konsepsi Rancangan Undang-Undang yang dihasilkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat kepada Menteri lain atau Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen108 Kemudian, dimintakan persetujuan lebih dahulu kepada presiden.109 c. Persetujuan

Presiden terhadap

Prolegnas yang disusun di

lingkungan Dewan Perwakilan Rakyat diberitahukan secara tertulis kepada

dan

sekaligus

menugaskan

Menteri

untuk

mengkoordinasikan kembali dengan Dewan Perwakilan Rakyat.110 d. Prolegnas yang disusun di lingkungan Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah yang telah memperoleh kesepakatan bersama antara Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah, dilaporkan pada

Ibid.,​ Ps. 18. Ibid.,​ Ps. 19 107 ​Ibid.,​ Ps. 20. 108 ​Ibid.,​ Ps. 22 ayat (1). 109 ​Ibid.,​ Ps. 23. 110 ​Ibid.,​ Ps. 8​. 105 106


Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat untuk mendapatkan penetapan.111 4.4 Peran Prolegnas Dalam Perencanaan Pembentukan Hukum Nasional Program pembangunan hukum telah menjadi prioritas utama setelah terjadi perubahan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berdampak luas dan mendasar dalam sistem ketatanegaran, sehingga memerlukan perubahan-perubahan di bidang hukum yang mencakup segala aspek dalam masyarkat dan pemerintah. Arus globalisasi yang berjalan pesat ditunjang dengan perkembangan teknologi informasi juga ikut mengubah pola hubungan antara negara dan warga negara dengan pemerintah, untuk itu dalam perubahan tersebut perlu adanya penataan sistem hukum dan kerangka hukum yang melandasi perkembangan tersebut. Dalam hal ini maka diperlukan untuk menata sistem hukum nasional secara menyeluruh dan terpadu yang senantiasa harus didasarkan pada cita-cita proklamasi dan landasan konstitusional yang memegang prinsip bahwa negara Indonesia adalah negara hukum ​(rechtstaats) sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang dapat tertuang dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Pasal 1 angka 9 UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mengartikan Program Legislasi Nasional sebagai suatu instrumen atau suatu mekanisme, dikatakan dalam pasal tersebut bahwa: “Program

Legislasi

Nasional

adalah

instrumen

perencanaan

program

pembentukan Undang-Undang yang disusun secara berencana, terpadu, dan sistematis.”112 Disamping itu, secara operasional Program Legislasi Nasional sering dipakai dalam arti yang merujuk pada materi atau substansi rencana pembentukan peraturan perundang-undangan yaitu sebagai daftar rencana pembentukan undang-undang, dan peraturan perundang-undangan lainnya yang ​Ibid.,​ Ps. 2. Indonesia, ​Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, UU No.15 Tahun 2019, Ps. 1 angka 9. 111 112


disusun berdasarkan metode dan parameter tertentu serta dijiwai oleh visi dan misi pembangunan hukum nasional. 113 Perbedaan antara pengertian program legislasi sebagai instrumen dan substansi tersebut menyebabkan pemahaman terhadap program legislasi umumnya cenderung pada pengertian materi atau substansi. Sehingga tidak mengherankan apabila ada kalangan yang beranggapan bahwa sesungguhnya program legislasi itu tidak penting karena hanya berupa “daftar keinginan” yang diajukan oleh departemen/LPND.114 Padahal perlu dikedepankan juga mengenai kedudukannya sebagai instrumen atau mekanisme yang merupakan bagian dari proses pembentukan peraturan perundang-undangan Hal ini secara jelas dikemukakan dalam Pasal 15 UU No. 10 Tahun 2004, sebagai berikut115 1. Perencanaan penyusunan Undang-Undang dilakukan dalam suatu Program Legislasi Nasional. 2. Perencanaan penyusunan Peraturan Daerah dilakukan dalam suatu Program Legislasi Daerah.

Dengan adanya penegasan bahwa prolegnas merupakan salah satu instrumen yang menjadi prasyarat dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan, maka anggapan-anggapan miring tentang keberadaan dan kedudukan mekanisme program legislasi nasional sedikit banyak dapat dikurangi.116 Selain itu Prolegnas juga pada fokus utamanya berkaitan dengan salah satu elemen dari Hukum, yaitu materi/substansi hukum atau peraturan perundang-undangan.117 Pada hakikatnya

113

Ahmad Ubbe, “Instrumen Prolegnas dalam Proses Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang Terencana dan Terpadu,” ​Jurnal legislasi Vol. 2 No. 1 (​ Maret 2005), hlm. 10. 114 ​Ibid.​ 115 ​Ibid,​ hlm 11 116 ​Ibid. 117 ​ Andi Irman Putra, ​Penulisan Kerangka Ilmiah, h​ lm. 65.


pembangunan hukum adalah pembangunan Sistem Hukum. Dalam kerangka sistem pembentukan prolegnas tercakup empat unsur atau sub-sistem hukum yang satu sama lain saling terkait, yakni118 1. materi atau substansi hukum; 2. sarana atau kelembagaan hukum; 3. aparatur hukum; dan 4. budaya atau kesadaran hukum masyarakat Materi hukum atau peraturan perundang-undangan hanya merupakan salah satu elemen dari Sistem Hukum, akan tetapi unsur inilah yang umumnya dinilai menduduki tempat paling penting karena merupakan landasan terbentuknya fungsi hukum dalam kehidupan masyarakat.119 Bahwa jika ingin memperbaiki kondisi hukum di suatu negara, maka yang terlebih dahulu harus dibenahi adalah materi hukumnya. Hal ini berkaitan dengan masalah etika dan moral dalam materi pembentukan undang-undang di Indonesia yang harus dipertimbangkan sejak tahap penyusunan Prolegnas sampai kepada tahap implementasi peraturan perundang-undangan dan pemberlakuannya di tengah-tengah masyarakat. Krisis etika dan moral yang terjadi sangat menentukan bentuk dan wujud serta karakter perundang-undangan yang dihasilkan karena pada akhirnya kondisi masyarakat dan bangsa akan diciptakan dengan adanya undang-undang tersebut. Di dalam sistem pemerintahan yang demokratis maka etika dan moral dapat diukur dari tiga hal yaitu: hak asasi manusia; keadilan; dan aksesibilitas masyarakat ke dalam Prolegnas.120 Ketiga tolak ukur etika dan moral pembentukan hukum nasional tersebut merupakan penentu seberapa jauhkah politik perundang-undangan nasional sudah secara eksplisit mempertimbangkan etika dan moral pembangunan hukum.121 Dalam melakukan perbaikan materi hukum kemudian konsekuensinya adalah munculnya tafsiran bahwa semakin banyak aturan hukum (tertulis) atau peraturan perundang-undangan yang mengatur segala aspek kemasyarakatan dan ​Ibid.​ , hlm. 60. ​Ibid.​ , hlm. 63. 120 Frans Magnis Suseno, ​Kuasa dan Moral​ (Jakarta: Gramedia, 2000), hlm. 45-48. 121 Andi Irman Putra, ​Penulisan Kerangka Ilmiah, h​ lm. 60. 118 119


kenegaraan maka kondisi hukum akan semakin baik, untuk itu diperlukan sebanyak mungkin peraturan perundang-undangan.122 Akan tetapi apabila derasnya

aliran

usulan-usulan

atau

rencana

pembentukan

peraturan

perundang-undangan (rencana legislasi) yang diajukan tersebut tidak disertai dengan adanya suatu mekanisme yang efektif yang mampu menjamin ketertiban, maka yang terjadi bukan perbaikan kondisi hukum malah justru lebih memperburuk kondisi hukum. Sehingga dalam hal ini peran prolegnas dalam perencanaan pembentukan hukum nasional adalah menentukan bentuk dan wujud serta karakter perundang-undangan yang dihasilkan karena pada akhirnya kondisi masyarakat dan bangsa akan diciptakan dengan adanya undang-undang tersebut. ​Demi mewujudkan peran prolegnas dalam menentukan wujud dan karakter perundang-undang maka diperlukan suatu harmonisasi agar peran prolegnas yang bertujuan untuk mewujudkan

kondisi

masyarakat

melalui

peningkatan

karakter

perundang-undangan yang lebih baik, harmonisasi yang perlu diwujudkan adalah sebagai berikut123 1. Berkenaan dengan konsepsi materi muatan peraturan perundang-undangan mencakup: a. Pengharmonisasian konsepsi materi muatan rancangan peraturan perundang-undangan dengan Pancasila. Nilai-nilai Pancasila harus menjadi sumber dalam setiap peraturan perundang -undangan, sehingga nilai-nilai tersebut menjadi aktual dan memberikan batas kepada peraturan perundang-undangan yang bersangkutan. Setiap peraturan

perundang-undangan

secara

substansial

mesti

​Ibid,​ hlm. 63. Ditjen PP Kemenkumham, Proses Pengharmonisasian Sebagai Upaya Meningkatkan Kualitas Peraturan Perundang-Undangan, http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/htn-dan-puu/232-proses-pengharmonisasian-sebagai-upaya-m eningkatkan-kualitas-peraturan-perundang-undangan.html diakses 2 Desember 2019. 122 123


menjabarkan nilai-nilai

Ketuhanan, kemanusiaan, persatuan,

kerakyatan dan keadilan sosial. Pancasila merupakan cita hukum (​rechtsidee)​ . Cita hukum tidak hanya berfungsi sebagai tolok ukur yang bersifat regulatif, yaitu yang menguji apakah suatu hukum positif adil atau tidak, melainkan juga sekaligus sebagai dasar yang bersifat konstitutif, yaitu yang menentukan bahwa tanpa cita hukum, hukum akan kehilangan maknanya sebagai hukum. b. Pengharmonisan konsepsi materi muatan rancangan peraturan perundang- undangan dengan Undang-Undang Dasar. Materi muatan

rancangan

peraturan

perundang-undangan

harus

diselaraskan dengan ketentuan Undang-Undang Dasar sebagai hukum dasar negara. Pengharmonisasian rancangan peraturan perundang- undangan dengan Undang-Undang Dasar selain berkaitan dengan pasal-pasal tertentu yang dijadikan dasar pembentukannya dan pasal-pasal yang terkait, juga dengan prinsip-prinsip negara hukum dan negara demokrasi baik di bidang sosial politik maupun ekonomi. c. Pengharmonisasian

rancangan peraturan perundang-undangan

dengan asas pembentukan dan asas materi muatan peraturan perundang-undangan. Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 menggolongkan asas peraturan perundang-undangan menjadi 3 (tiga) golongan yaitu : asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, asas materi muatan, dan asas lain sesuai dengan bidang hukum peraturan perundang-undangan yang bersangkutan. Pasal 5 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004

menentukan

bahwa asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik


adalah sebagai berikut: kejelasan tujuan, kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat, kesesuaian antara jenis dan materi muatan, dapat dilaksanakan, kedayagunaan dan kehasilgunaan, kejelasan rumusan, dan keterbukaan. Pasal 6 ayat (1) Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 menentukan bahwa asas materi muatan peraturan perundang-undangan

adalah

sebagai

berikut:

kemanusiaan,

kebangsaan, kekeluargaan, kenusantaraan, bhineka tunggal ika, keadilan, kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, ketertiban kepastian hukum, dan/atau keseimbangan, keserasian, dan kesejahteraan. Di samping itu masih ada asas lain sesuai dengan bidang hukum yang diatur, misalnya asas legalitas dalam hukum pidana, asas kebebasan berkontrak dalam hukum perdata. Aasas hukum adalah penting untuk dapat melihat jalur “benang merah� dari sistem hukum positif yang ditelusuri dan diteliti. Melaluai asas-asas tersebut dapat dicari apa yang menjadi tujuan umum aturan tersebut. Asas peraturan perundang-undangan sangat bermanfaat

bagi penyiapan, penyusunan

dan pembentukan

peraturan perundang-undangan yang baik. Asas tersebut berfungsi untuk

memberi

pedoman

dan

bimbingan

dalam

proses

pembentukan peraturan perundang-undangan. d. Pengharmonisasian

materi

muatan

rancangan

peraturan

perundang-undangan secara horizontal agar tidak tumpang tindih dan saling bertentangan, karena hal tersebut akan menimbulkan ketidakpastian hukum dan ambiguitas dalam penerapannya. Dalam pelaksanaan pengharmonisasian secara horizontal sudah tentu berbagai peraturan perundang-undangan sederajat yang terkait perlu dipelajari secara cermat agar konsepsi materi muatan


peraturan perundang-undangan yang erat berhubungan satu sama lain selaras. Pembentuk peraturan perundang-undangan tentu perlu melakukan koordinasi dengan instansi yang terkait, yang secara substansial

menguasai

perundang-undangan

materi

dan

muatan

keterkaitannya

suatu

peraturan

dengan

peraturan

perundang-undangan lain. e. Pengharmonisasian

materi

muatan

rancangan

peraturan

perundang-undangan dengan konvensi/perjanjian internasional. Konvensi/perjanjian internasional juga harus diperhatikan agar peraturan perundang-undangan nasional tidak bertentangan dengan konvensi/perjanjian internasional, terutama yang telah diratifikasi oleh negara Indonesia. f. Pengharmonisasian

rancangan peraturan perundang-undangan

dengan putusan Mahkamah Konstitusi atau Mahkamah Agung atas pengujian

terhadap

peraturan perundang-undangan. Putusan

Mahkamah Konstitusi atau Mahkamah Agung atas pengujian terhadap peraturan perundang-undangan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap harus dipertimbangkan oleh perancang peraturan

perundang-undangan

dalam

menyusun

peraturan

perundang-undangan. g. Hal yang tidak kalah pentingnya adalah pengharmonisasian rancangan peraturan perundang-undangan dengan teori hukum, pendapat

para

norma-norma

ahli tidak

(dogma),

yurisprudensi,

tertulis,

rancangan

hukum adat, peraturan

perundang-undangan, rancangan pasal demi pasal dalam peraturan perundang-undangan yang bersangkutan, dan kebijakan-kebijakan yang terkait dengan peraturan perundang-undangan yang akan


disusun.

2. Teknik penyusunan peraturan perundang-undangan baik menyangkut kerangka peraturan perundang-undangan, hal-hal khusus, ragam bahasa dan bentuk peraturan perundang-undangan. Teknik penyusunan peraturan

perundang-undangan

tertuang

dalam

lampiran

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004. Pengabaian terhadap teknik penyusunan peraturan perundang-undangan akibatnya memang tidak sefatal pengabaian keharusan harmonisaisi atas susbtansi peraturan perundang-undangan.

Pengabaian

terhadap

teknik

penyusunan

peraturan perundang-undangan, tidak dapat menjadi alasan batalnya peraturan perundang-undangan atau alasan untuk melakukan ​yudicial review. A ​ pabila kita mengabaikan teknik penyusunan peraturan perundang- undangan, paling-paling kita hanya dapat mengatakan bahwa peraturan perundang-undangan tersebut jelek.


BAB V KINERJA DPR DALAM PERIODE 2014-2019 DARI BERBAGAI PERSPEKTIF

5.1 Peraturan Pelaksanaan Peraturan pelaksanaan diatur karena diperlukan dalam pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan negara atau dalam rangka penyelenggaraan urusan tertentu dalam pemerintahan.124 Banyaknya aturan turunan dan pembentukan lembaga baru berpotensi mempengaruhi efektivitas dari segi pencapaian tujuan (​doeltreffendheid)​ , pelaksanaan (​uitvoerbaarheid​), dan penegakan hukumnya (​hanndhaafbaarheid​).125 Karena itu, DPR perlu mengawasi hal ini secara serius. Berikut hasil penemuan Peneliti terkait dengan kuantitas peraturan pelaksanaan A. Tahun 2014 Dari 42 Undang - Undang yang disahkan pada tahun 2014, terdapat 662 peraturan turunn yang terinci dari, 1. 41 Undang-Undang 2. 252 Peraturan Pemerintah 3. 43 Peraturan Presiden atau Keputusan Presiden 4. 326 Peraturan Lain yang terdiri dari peraturan DPRD kabupaten/kota, DPRD Provinsi, Peraturan KPU, Peraturan MA, Peraturan Bawaslu, dan Peraturan Menteri Keuangan. B. Tahun 2015 Dari 14 Undang-Undang yang disahkan pada tahun 2015, terdapat 45 peraturan turunan yang terinci dari, 1.

0 Undang-Undang

2. 10 Peraturan Pemerintah 124

G.Soehino, ​Hukum Tata Negara, Teknik Perundang-Undangan (Setelah dilakukan

Perubahan Pertama dan Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia) (Yogyakarta: Balai Penerbit Fakultas ekonomi UGM, 2006), hal. 46. 125

Soehino, “Evaluasi Prolegnas 2015-2019,” http://ipc.or.id/evaluasi-terhadap-program-legislasi-nasional-2015-2019-dewan-perwakilan-rakyat1/ diakses 6 Desember 2019.


3. 11 Peraturan Presiden atau Keputusan Presiden 4. 24 Peraturan Lain yang terdiri dari peraturan DPRD kabupaten/kota, DPRD Provinsi, Peraturan KPU, Peraturan MA, Peraturan Bawaslu, dan Peraturan Menteri Keuangan. C. Tahun 2016 Dari 20 Undang-Undang yang disahkan pada tahun 2016, terdapat 179 peraturan turunan yang terinci dari, 1. 21 Undang-Undang 2. 38 Peraturan Pemerintah 3. 27 Peraturan Presiden atau Keputusan Presiden 4. 93 Peraturan Lain yang terdiri dari Peraturan BP Tapera, Peraturan menteri, Peraturan OJK, Peraturan LPS, Peraturan DPRD Provinsi, Peraturan DPRD Kabupaten/Kota, dan peraturan perundang-undangan lainnya. D. Tahun 2017 Dari 18 Undang-Undang yang disahkan pada tahun 2017, terdapat 261 peraturan turunan yang terinci dari, 1. 69 Undang-Undang 2. 59 Peraturan Pemerintah 3. 27 Peraturan Presiden atau Keputusan Presiden 4. 106 Peraturan Lain yang terdiri dari Peraturan Menteri, Peraturan KPU, Peraturan Bawaslu, Peraturan DKPP, dan Peraturan Kepala Badan. E. Tahun 2018 Dari 13 Undang-Undang yang disahkan pada tahun 2018, terdapat 67 peraturan turunan yang terinci dari, 1. 29 Undang-Undang 2. 42 Peraturan Pemerintah 3. 2 Peraturan Presiden atau Keputusan Presiden 4. 38 Peraturan Lain yang terdiri dari Peraturan Menteri


F. Tahun 2019 Dari 8 Undang-Undang yang telah disahkan pada tahun 2019, terdapat 14 peraturan turunan yang terinci dari, 1. 0 Undang-Undang 2. 1 Peraturan Pemerintah 3. 0 Peraturan Presiden atau Keputusan Presiden 4. 13 Peraturan Lain yang terdiri dari Peraturan Menteri dan Peraturan Konsil Sehingga, dapat disimpulkan dalam tabel perbandingan sebagai berikut,

Peraturan

2014 ( 42

2015 (14

2016 (20

2017 (18 2018 (13

2019 (8

Turunan

UU)

UU)

UU)

UU)

UU)

UU)

0

21

69

29

0

252

10

38

59

42

1

43

11

27

27

2

0

326

24

93

106

38

13

662

45

120

261

111

14

Undang-Unda 41 ng Peraturan Pemerintah Peraturan Presiden/Kep utusan Presiden Peraturan Lembaga Lain Total


5.2 Penambahan Kewenangan DPR

Dewan Perwakilan Rakyat memiliki wewenang menyusun program legislasi nasional atau disebut juga PROLEGNAS serta menyusun dan mengajukan Rancangan Undang-Undang, dalam hal penyusunan Undang-Undang terdapat beberapa penambahan kewenangan DPR dalam rangka melakukan fungsi legislasi,anggaran,pengawasan dan lainya yang kemudian disebutkan dalam Undang-Undang yang disahkan. Berikut beberapa Undang-Undang yang memuat penambahan kewenangan DPR sejak tahun 2014-2019. A. Tahun 2014 Pada tahun 2014 terdapat 1 Undang - Undang yang menambah kewenangan dari DPR yaitu UU No. 34 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji yang menambahh wewenang DPR yang terdapat pada pasal berikut 1. Pasal 11 ayat 1 Besaran

pengeluaran

untuk

Penyelenggaraan

Ibadah

Haji

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf a ditetapkan oleh Pemerintah setelah mendapat persetujuan DPR. 2. Pasal 12 ayat 4 Besaran pengeluaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diusulkan oleh BPKH dan ditetapkan oleh Menteri setelah mendapat persetujuan dari DPR. 3. Pasal 16 ayat 3 Besaran persentase dari nilai manfaat Keuangan Haji sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan setiap tahun oleh BPKH setelah mendapat persetujuan dari DPR 4. Pasal 38 ayat 3 dan 4


(3) DPR memilih anggota dewan pengawas yang berasal dari unsur masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling lama 20 (dua puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal penerimaan usulan dari Presiden. (4)

Pimpinan

DPR

menyampaikan

nama

calon

terpilih

sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kepada Presiden paling lama 5 (lima) hari kerja terhitung sejak tanggal berakhirnya pemilihan. 5.

Pasal 45 ayat 4 Rencana strategis serta rencana kerja dan anggaran tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) ditetapkan oleh badan pelaksana, setelah mendapat persetujuan dari DPR.

6. 6. Pasal 54 ayat 3 Pengawasan eksternal BPKH dilakukan oleh DPR berdasarkan hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan.

B. Tahun 2015 Dari 14 Undang-Undang yang disahkan pada tahun 2015, terdapat satu Undang-Undang yang mencantumkan penambahan kewenangan DPR yakni dalam UU No. 12 tahun 2015 tentang Pertanggungjawaban atas Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun Anggaran 2014. Jenis kewenangan tersebut adalah DPR dapat meminta BPK

untuk menyampaikan

laporan monitoring

tindak

lanjut

Pemerintah dalam rangka pelaksanaan perbaikan. (Pasal 10 ayat (5))

C. Tahun 2016 Dari 20 Undang-Undang yang disahkan pada tahun 2016, terdapat satu Undang-Undang yang mencantumkan penambahan kewenangan DPR yakni dalam UU No. 12 tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 tahun 2015 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2016. Jenis kewenangan tersebut


adalah Memberikan persetujuan atau tidak pada pemerintah untuk dapat melakukan langkah-langkah, (Pasal 37 ayat (1) 1. Pengeluaran

yang

belum

tersedia

anggarannya

dan/atau

pengeluaran melebihi pagu yang ditetapkan dalam APBN Tahun Anggaran 2016; 2. Pergeseran anggaran belanja antarprogram dalam satu bagian anggaran dan/ atau antarbagian anggaran; 3. Pengurangan pagu Belanja Negara dalam rangka peningkatan efisiensi, dengan tetap menjaga sasaran program prioritas yang tetap harus tercapai; 4. Penggunaan SAL untuk menutup kekurangan pembiayaan APBN, dengan terlebih dahulu memperhitungkan ketersediaan SAL untuk kebutuhan anggaran sampai dengan akhir tahun anggaran berjalan dan awal tahun anggaran berikutnya; 5. Penambahan utang yang berasal dari penarikan pinjaman dan/atau penerbitan SBN; dan/atau 6. Pemberian pinjaman kepada Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), dalam hal LPS mengalami kesulitan

D. Tahun 2017 Pada Tahun 2017 sebanyak dua Undang Undang yang disahkan memberikan penambahan kewenangan kepada DPR, yang pertama adalah Undang-Undang No. 2 Tahun 2017 tentang Jasa Kontruksi yaitu terdapat pada Pasal 84 (5) “Pengurus lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan oleh Menteri setelah mendapatkan persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat.� Dalam Hal ini yang dimaksud dengan “lembaga� adalah lembaga pengembangan Dalam proses untuk mendapatkan persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Menteri menyampaikan calon pengurus lembaga sebanyak dua kali lipat dari jumlah pengurus lembaga yang akan ditetapkan oleh Menteri. Pengurus


lembaga yang mendapat persetujuan dari DPR haruslah diusulkan dari asosiasi perusahaan yang terakreditasi, asosiasi profesi yang terakreditasi, institusi pengguna Jasa Konstruksi yang memenuhi kriteria, dan perguruan tinggi atau pakar yang memenuhi kriteria. Kemudian Undang-Undang No. 8 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2016 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2017 juga menambah kewenangan DPR dalam hal Menerima laporan perubahan rincian APBN Perubahan Tahun Anggaran 2Ol7 dan/atau Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) Tahun 2017 dari pemerintah. hal ini diyatakan dalam Pasal 18 ayat (4) bahwa “Perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (3A) dilaporkan Pemerintah kepada Dewan Perwakilan Rakyat dalam APBN Perubahan Tahun Anggaran 2Ol7 dan atau Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) Tahun 2017.� Perubahan yang dimaksud dalam pasal ini adalah perubahan yang terdapat pada Pasal 18 ayat (1) (2) dan ayat (3) yaitu, Perubahan anggaran Belanja Pemerintah Pusat berupa: a. perubahan anggaran belanja yang bersumber dari PNBP; b. perubahan anggaran belanja yang bersumber dari pinjaman dan hibah termasuk pinjaman dan hibah yang diterushibahkan; c. pergeseran Bagian Anggaran 999.08 (Bendahara Umum Negara Pengelola Belanja Lainnya) ke Bagian Anggaran kementerian negara/lembaga atau antar sub bagian anggaran dalam Bagian Anggaran 999 (BA BUN); d. perubahan anggaran belanja yang bersumber dari SBSN untuk pembiayaan kegiatan/proyek kementerian negara/lembaga; e. pergeseran anggaran antar program dalam 1 (satu) Bagian Anggaran yang bersumber dari rupiah murni untuk memenuhi kebutuhan biaya operasional;


f. pergeseran anggaran antar program dalam 1 (satu) Bagian Anggaran untuk memenuhi kebutuhan ​ineligible expenditure atas kegiatan yang dibiayai dari pinjaman dan/atau hibah luar negeri; g. pergeseran anggaran antara program lama dan program baru dalam rangka penyelesaian administrasi

Daftar Isian Pelaksanaan

Anggaran sepanjang telah disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat; dan/atau h. pergeseran anggaran dalam rangka penyediaan dana untuk penyelesaian

restrukturisasi

kementerian

negara/lembaga.

ditetapkan oleh Pemerintah.

(2)

Perubahan lebih

lanjut

Pembiayaan Anggaran berupa

perubahan pagu Pemberian Pinjaman akibat dari lanjutan, percepatan penarikan Pemberian Pinjaman, dan pengesahan atas Pemberian Pinjaman yang telah closing date, ditetapkan oleh Pemerintah. (3) Perubahan anggaran Belanja Pemerintah Pusat berupa perubahan pagu untuk pengesahan belanja dan penerimaan pembiayaan dan/atau pendapatan hibah yang bersumber dari pinjaman/hibah termasuk pinjaman/hibah yang diterushibahkan yang telah closing date, ditetapkan oleh Pemerintah. (3A) Pemerintah dapat melakukan proses perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) yang dapat mengakibatkan pagu rincian anggaran Belanja Pemerintah Pusat dan rincian Pembiayaan Anggaran dalam Peraturan Presiden tentang Rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan Tahun Anggaran 2017 melebihi pagu sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang ini.

E. Tahun 2018


Pada tahun 2018 hanya satu undang-undang yang disahkan dan memberikan kewenangan tambahan bagi DPR yaitu Undang Undang No. 12 Tahun 2018 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2019. Hal ini terdapat pada Pasal 26 ayat (1) yaitu “ Dalam hal terjadi krisis pasar SBN domestik, Pemerintah dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakryat diberikan kewenangan menggunakan SAL untuk melakukan stabilisasi pasar SBN domestik setelah memperhitungkan kebutuhan anggaran sampai dengan akhir tahun anggaran berjalan dan awal tahun anggaran berikutnya.� Kemudian terdapat pada Pasal 40 ayat (1) yaitu “ Dalam keadaan darurat, apabila terjadi hal-hal sebagai berikut: a. proyeksi pertumbuhan ekonomi di bawah asumsi dan deviasi asumsi dasar ekonomi makro lainnya; b. proyeksi penurunan pendapatan negara dan/atau meningkatnya belanja negara secara signifikan; dan/atau c. kenaikan biaya utang, khususnya imbal hasil SBN secara signifikan, Pemerintah

dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dapat

melakukan langkah-langkah : a. pengeluaran

yang

belum

tersedia

anggarannya

dan/atau

pengeluaran melebihi pagu yang ditetapkan dalam APBN Tahun Anggaran 20l9; b. pergeseran . pergeseran anggaran belanja antar program dalam satu bagian

anggaran

dan/atau

antar

bagian anggaran

dengan

mempertimbangkan sasaran program prioritas nasional yang tetap harus tercapai; c. pengurangan pagu Belanja Negara dalam rangka peningkatan efisiensi, dengan tetap menjaga sasaran program prioritas yang tetap harus tercapai;


d. penggunaan SAL untuk menutup kekurangan pembiayaan APBN, dengan terlebih dahulu memperhitungkan ketersediaan SAL untuk kebutuhan anggaran sampai dengan akhir tahun anggaran berjalan dan awal tahun anggaran berikutnya; dan/atau e. penambahan utang yang berasal.”

Serta terdapat pada Pasal 41 ayat (3) yaitu “Pemberian pinjaman kepada Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan penggunaan sumber dana untuk pemberian pinjaman sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan setelah mendapatkan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.”

F. Tahun 2019

Dari 8 Undang-Undang yang disahkan pada tahun 2019, terdapat satu Undang-Undang yang mencantumkan penambahan kewenangan DPR yakni dalam UU No. 8 tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah. Jenis kewenangan tersebut DPR sebagai pengawas eksternal penyelenggaraan ibadah haji, DPR mendapat laporan pengawasan haji dari DPD. (Pasal 27 ayat (3)

5.3 Undang-Undang dengan Sanksi Pidana

Pemerintah

berusaha

untuk

memperbesar

pengaruhnya

terhadap

masyarakat dengan alat-alat yang ada padanya, salah satu dari alat-alat itu adalah hukum pidana.126 Hal demikian terjadi tentunya tidak terlepas dari kemajuan dan perubahan paradigma masyarakat dalam menyikapi berbagai perubahan yang terjadi dalam masyarakat. Sebagai konsekuensi logis dari perubahan yang terjadi adalah lahirnya berbagai macam bentuk kejahatan dan kriminalitas lainnya. Oleh Roeslan Saleh,​ Beberapa Asas Hukum Pidana Dalam Perspektif,​ (Jakarta: Aksara Baru, 1983), hlm. 51. 126


karena itu pemerintah menyikapi hal tersebut dengan melakukan kriminalisasi terhadap perbuatan-perbuatan yang dianggap telah mengganggu ketertiban dalam masyarakat tersebut.127 Upaya yang dapat dilakukan untuk menyatakan suatu perbuatan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana, harus dirumuskan terlebih dahulu dalam Undang-Undang Pada saat suatu perbuatan sudah dinyatakan sebagai

tindak

pidana,

maka

seketika itu

pula masyarakat dianggap

mengetahuinya dan sekaligus harus menyesuaikan perilakunya sesuai dengan yang diatur dalam aturan tersebut.128 Undang-Undang tentang Pembentukan Perundang-undangan belum memberikan pedoman yang komprehensif bagaimana merumuskan norma hukum pidana dalam peraturan perundang-undangan, baik dalam Undang-Undang Hukum Pidana maupun dalam Ketentuan Pidana dari suatu UU Administratif. Pada dasarnya ruang lingkup perumusan norma hukum pidana dalam peraturan perundang-undangan, meliputi129 1. Rumusan

tentang

hukum

pidana

materil

(tindak

pidana,

pertanggungjawaban pidana dan pidana); 2. Rumusan tentang hukum acara pidana (proses dan prosedur pidana); 3. Rumusan tentang tata cara pelaksanaan pemidanaan. Berikut merupakan Undang Undang yang mengandung ketentuan pidana dari tahun 2014-2019. A. Tahun 2014 Pada tahun 2014 ada sebanyak tujuhbelas Undang-undang yang diterbitkan dan mengandung ketentuan pidana. Ketentuan Pidana dalam hal ini tidak hanya penahanan tetapi juga denda. Pertama, yaitu terdapat dalam Undang-Undang No.1 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.27 Tahun 2007 tentang Perubahan atas

Barda Nawawi Arief, ​Kapita Selekta Hukum Pidana​, (Bandung: Citra Aditya Bhakti, 2010), hlm. 254 128 Chairul Huda, “Perumusan Ketentuan Pidana dalam Peraturan Perundang-Undangan,” http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/files/doc/467_Perumusan%20KetentuanPidana.pdf diakses 2 Desember 2019. 129 ​Ibid. 127


Undang-Undnag No.27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dengan rincian sebagai berikut

Pidana Minimal

Pidana

Denda Minimal

Maksimal

Denda Maksimal

36 bahun (Pasal

60 bulan (Pasal

Rp.200.000.000

Rp.2.000.000.0

75)

75A)

(Pasal 75)

00 (Pasal 75A)

Kedua, UU No. 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian, yaitu Pidana Minimal

Pidana

Denda Minimal

Maksimal

Denda Maksimal

36 bulan (Pasal

60 bulan (Pasal

Rp.1.000.000.0

Rp.3.000.000.0

120 ayat (2) )

120 ayat (1) )

00 (Pasal 120

00 (Pasal 120

ayat (2) )

ayat (1) )

Ketiga, Undang-Undang No. 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan, yaitu Pidana Minimal

Pidana

Denda Minimal

Maksimal

Denda Maksimal

12 bulan (Pasal

144 bulan

Rp.5.000.000.0

Rp.50.000.000.

109)

(Pasal 115)

00 (Pasal 104)

000 (Pasal 107)

Keempat, UU No. 11 Tahun 2014 tentang Keinsinyuran, yaitu Pidana Minimal

Pidana

Denda Minimal

Maksimal

Denda Maksimal

24 bulan (Pasal

120 bulan

Rp.200.000.000

Rp.1.000.000.0

50 ayat (1) )

(Pasal 50 ayat

(Pasal 50 ayat

00 (Pasal 50


(2) )

(1) )

ayat (2) )

Kelima, UU No. 20 Tahun 2014 Tentang Standardisasi dan Penilaian Kesusilaan, yaitu Pidana Minimal

Pidana

Denda Minimal

Maksimal

Denda Maksimal

4 bulan (Pasal

84 bulan (Pasal

Rp.4.000.000.0

Rp.50.000.000.

63)

62)

00 (Pasal 63)

000 (Pasal 62)

Keenam, UU No. 21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi, yaitu Pidana Minimal

Pidana

Denda Minimal

Maksimal

Denda Maksimal

24 bulan (Pasal

60 bulan (Pasal

Rp.200.000.000

Rp.500.000.000

73)

72)

(Pasal 73)

(Pasal 72)

Ketujuh, UU No. 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Pidana Minimal

Pidana

Denda Minimal

Maksimal

Denda Maksimal

3 bulan (Pasal

96 bulan (Pasal

Rp.3.000.000

Rp.50.000.000.

54)

57 (2) )

(Pasal 54 )

000 (Pasal 62 ayat (1) )

Kedelapan, UU No. 25 Tahun 2014 tentang Hukum Disiplin Militer


Pidana Minimal

Pidana

Denda Minimal

Maksimal

Denda Maksimal

24 bulan (Pasal

60 bulan (Pasal

Rp.200.000.000

Rp.500.000.000

145)

144)

(Pasal 145)

(Pasal 144)

Kesembilan, UU No. 29 Tahun 2014 tentang Pencarian dan Pertolongan Pidana Minimal

Pidana

Denda Minimal

Maksimal 14 hari (Pasal 9) 6 bulan (Pasal

Denda Maksimal

Rp.-

Rp.-

11 ayat (2) )

Kesepuluh, UU No. 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No.13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi Korban, yaitu Pidana Minimal

Pidana

Denda Minimal

Maksimal

Denda Maksimal

36 bulan (Pasal

Seumur hidup

Rp.100.000.000

Rp.500.000.000

40)

(Pasal 31 ayat

(Pasal 40)

(Pasal 37 ayat

(3) )

(2) )

Kesebelas, UU No. 32 Tahun 2014 tentang Kelautan, yaitu Pidana Minimal

Pidana

Denda Minimal

Maksimal -

72 bulan (Pasal 49)

Denda Maksimal

-

Rp.20.000.000. 000 (Pasal 49)

Keduabelas, UU No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, yaitu


Pidana Minimal

Pidana

Denda Minimal

Maksimal 24 bulan (Pasal

60 bulan (Pasal

57)

56)

Ketigabelas,

Denda Maksimal

-

Rp.2.000.000.0 00 (Pasal 57)

UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas

Undang-Undang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yaitu Pidana Minimal

Pidana

Denda Minimal

Maksimal

Denda Maksimal

36 bulan (Pasal

240 bulan

Rp.20.000.000

Rp.2.000.000.0

83)

(Pasal 89 (1) )

(Pasal 89 (2) )

00 (Pasal 82 (1) )

Keempatbelas, UU No. 37 Tahun 2014 tentang Konservasi Tanah dan Air, yaitu Pidana Minimal

Pidana

Denda Minimal

Maksimal

Denda Maksimal

6 bulan

72 bulan

Rp.5.000.000

Rp.100.000.000

(Pasal 59 (7) )

(Pasal 59 (3) )

(Pasal 60 (10) )

.000 (Pasal 64 (2) )

Kelimabelas, UU No. 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan, yaitu Pidana Minimal

Pidana

Denda Minimal

Maksimal

Denda Maksimal

36 bulan

120 bulan

Rp.3.000.000.0

Rp.10.000.000.

(Pasal 108)

(Pasal 109)

00 (Pasal 109)

000 (Pasal 10


(g) )

Keenambelas, UU No. 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian, yaitu Pidana Minimal

Pidana

Denda Minimal

Maksimal

Denda Maksimal

36 bulan

180 bulan

Rp.1.000.000.0

Rp.600.000.000

( Pasal 73 ayat

(Pasal 73 ayat

00 (Pasal 73

.000 (Pasal 82)

(3) )

(1) )

ayat (3) )

Ketujuhbelas, UU No. 41 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, yaitu Pidana Minimal

Pidana

Denda Minimal

Maksimal

Denda Maksimal

1 bulan (Pasal

60 bulan

Rp.1.000.000

Rp.1.000.000.0

86)

(Pasal 91A)

(Pasal 86)

00 (Pasal 91A)

B. Tahun 2015 Dari 14 Undang-Undang yang disahkan pada tahun 2016, terdapat satu Undang-Undang yang mencantumkan sanksi pidana yakni UU No. 1 Tahun 2015 UU No. 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang. Adapun rincian pemidanaan adalah sebagai berikut, Pidana Minimal

Pidana Maksimal

Denda Minimal

Denda Maksimal


15 hari (Pasal

120 hari (Pasal

Rp.100.000

Rp.100.000.000

187 ayat (1)

195)

(Pasal 187 ayat

0.000 (Pasal

(1) dan ayat (3)

192)

C. Tahun 2016 Dari 20 Undang-Undang yang disahkan pada tahun 2016, terdapat delapan Undang-Undang yang mencantumkan sanksi pidana. Pertama, Undang-Undang No. 1 tahun 2016 tentang Penjaminan. Adapun rincian pemidanaan adalah sebagai berikut,

Pidana Minimal

Pidana

Denda Minimal

Maksimal

Denda Maksimal

36 bulan (Pasal

180 bulan

Rp.2.500.000.0

Rp.100.000.000

59)

(Pasal 57)

00 (Pasal 59)

.000 (Pasal 57)

Kedua, UU No. 7 Tahun 2016 Tentang Perlindungan Dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, Dan Petambak Garam dengan rincian sebagai berikut, Pidana Minimal

Pidana

Denda Minimal

Maksimal

Denda Maksimal

36 bulan (Pasal

48 bulan (Pasal

Rp.5.000.000.0

Rp.6.000.000,0

73)

74)

00 (Pasal 73)

00 (Pasal 74)

Ketiga, UU No. 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas dengan rincian sebagai berikut, Pidana Minimal

Pidana Maksimal

Denda Minimal

Denda Maksimal


24 bulan (Pasal

60 bulan (Pasal

Rp.200.000.000

Rp.500.000.000

145)

144)

(Pasal 145)

(Pasal 144)

Keempat, UU No. 9 Tahun 2016 Tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan dengan rincian sebagai berikut, Pidana Minimal

Pidana

Denda Minimal

Maksimal -

72 bulan (Pasal

Denda Maksimal

-

47)

Rp.15.000.000. 000 (Pasal 47)

Kelima, UU No. 11 tahun 2016 Tentang Pengampunan Pajak dengan rincian sebagai berikut, Pidana Minimal

Pidana

Denda Minimal

Maksimal -

60 bulan (Pasal

Denda Maksimal

-

-

23 ayat (1)

Keenam, UU No. 13 Tahun 2016 Tentang Paten dengan rincian sebagai berikut, Pidana Minimal

Pidana

Denda Minimal

Maksimal

Denda Maksimal

24 bulan (Pasal

120 bulan (163

Rp.500.000.000

Rp.3.500.000.0

162)

ayat (2))

(Pasal 160)

00 (Pasal 163 ayat (2))


Ketujuh, UU No. 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dengan rincian sebagai berikut, Pidana Minimal

Pidana

Denda Minimal

Maksimal

Denda Maksimal

48 bulan (Pasal

72 bulan (Pasal

Rp.750.000.000

Rp.1.000.000.0

45 ayat (3))

45 ayat (4))

(Pasal 45 ayat

00 (Pasal 45

(3))

ayat (4))

Kedelapan, UU No. 20 Tahun 2016 tentang tentang Merek dan Indikasi Geografis dengan rincian sebagai berikut, Pidana Minimal

Pidana

Denda Minimal

Maksimal

Denda Maksimal

12 bulan (Pasal

240 bulan

Rp.200.000.000

Rp.5.000.000.0

102)

(Pasal 100 ayat

(Pasal 89 ayat

00 (Pasal 82

(3))

(2))

ayat (1))

D. Tahun 2017 Pada tahun 2017 ada sebanyak dua buah Undang-undang yang diterbitkan dan mengandung ketentuan pidana. Ketentuan Pidana dalam hal ini tidak hanya penahanan tetapi juga denda. Pertama adalah Undang Undang No. 16 Tahun 2017 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No.2 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang -

Undang No.2 Tahun

2017

tentang Perubahan Atas

Undang-Undang no.17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan Menjadi Undang-Undang, yaitu


Pidana Minimal

Pidana

Denda Minimal

Maksimal 6 bulan

Seumur hidup

(Pasal 82A ayat

(Pasal 82A ayat

(1))

(2))

Denda Maksimal

-

-

Sedangkan yang kedua adalah UU No. 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia Pidana Minimal

Pidana

Denda Minimal

Maksimal

Denda Maksimal

24 bulan

120 bulan

Rp.200.000.000

Rp.5.000.000.0

(Pasal 79)

(Pasal 81)

(Pasal 79 )

00 (Pasal 81 )

E. Tahun 2018. Dari tigabelas Undang-Undang yang disahkan pada tahun 2018, terdapat tiga buah undang-undang yang mengandung ketentuan pidana didalamnya. Pertama adalah Undang-Undang No. 1 Tahun 2018 tentang Kepalangmerahan, yaitu Pidana Minimal

Pidana

Denda Minimal

Maksimal

Denda Maksimal

12 bulan (Pasal

120 bulan

Rp.100.000.000

Rp.10.000.000.

37)

(Pasal 39 ayat

(Pasal 37)

000

(1) )

(Pasal 39 ayat (10) )

Kedua adalah Undang-Undang No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan


Pidana Minimal

Pidana

Denda Minimal

Maksimal

Denda Maksimal

12 bulan (Pasal

120 bulan

Rp.100.000.000

Rp.15.000.000.

93)

(Pasal 90)

(Pasal 93)

000 (Pasal 90)

Ketiga adalah Undang-Undang No. 9 Tahun 2018 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak Pidana Minimal

Pidana

Denda Minimal

Maksimal 12 bulan (Pasal

72 bulan (Pasal

68)

67)

Denda Maksimal

-

Rp.1.000.000.0 00 (Pasal 68)

F. Tahun 2019 Dari 8 Undang-Undang yang disahkan pada tahun 2019, terdapat satu Undang-Undang yang mencantumkan sanksi pidana yakni UU No. 8 tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah Pidana Minimal

Pidana

Denda Minimal

Maksimal

Denda Maksimal

48 bulan (Pasal

120 bulan

Rp4.000.000.00

Rp.10.000.000

120)

(Pasal 125)

0 (Pasal 120)

(Pasal 126)


BAB VI PENUTUP

6.1 Kesimpulan Dari 160 RUU yang diajukan oleh Presiden, DPR, Presiden beserta DPR, dan DPD pada prolegnas nasional jangka panjang, Undang-Undang yang disahkan pada tahun 2015 adalah 14 Undang-Undang, pada tahun 2016 adalah 20 Undang-Undang, pada tahun 2017 adalah 18 Undang-Undang, pada tahun 2018 adalah 13 Undang-Undang, dan pada tahun 2019 hingga 29 April 2019 hanya 8 Undang-Undang. Kemudian, terdapat kecenderungan banyak Undang-Undang yang disahkan pada akhir masa jabatan DPR contohnya pada tahun 2014 terdapat 42 Undang-Undang yang disahkan. Kemudian, Undang-Undang yang mendelegasikan aturan turunan pada tahun 2015 terdapat delegasi 45 aturan turunan dari 14 Undang-Undang, pada tahun 2016 sebanyak 120 aturan turunan dari 20 Undang-Undang, pada tahun 2017 sebanyak 261 aturan turunan dari 18 Undang-Undang, pada tahun 2018 sebanyak 111 aturan turunan dari 13 Undang-Undang, pada tahun 2019 sebanyak 14 aturan turunan dari 8 Undang-Undang. Banyaknya aturan turunan akan menyebabkan “obesitas regulasi�. Jumlah regulasi di Indonesia saat ini mencapai 42.996. Perinciannya, peraturan pusat sebanyak 8.414, peraturan menteri 14.453, peraturan lembaga pemerintah nonkementerian 4.164, dan peraturan daerah sebanyak 15.965.130 Banyaknya regulasi dapat menyebabkan tumpah tindih pengaturan dan kewenangan. Kemudian,

pada

tahun

2015

terdapat

1

Undang-Undang yang

mencantumkan sanksi pidana, pada tahun 2016 terdapat 8 Undang-Undang yang mencantumkan sanksi pidana, pada tahun 2017 terdapat 2 Undang-Undang yang mencantumkan sanksi pidana, pada tahun 2019 terdapat 1 Undang-Undang yang mencantumkan sanksi pidana. Sanksi pidana adalah sanksi yang merenggut hak

130

Anonim, “Obsesitas Regulasi,� https://pshk.or.id/rr/obesitas-regulasi/, diakses 2 Desember 2019.


asasi manusia sehingga harus diterapkan dengan hati-hati oleh lembaga yang memiliki kewenangan untuk mencantumkannya.

6.2 Saran Terkait

dengan

pembentukan undang-undang yang aspiratif

dan

partisipatif ini, di dalamnya mengandung dua makna, yaitu: proses dan substansi. 131

Banyak peraturan yang masuk ke dalam prolegnas jangka panjang namun

hanya 47 yang disahkan. DPR dan Presiden sebagai pemegang kekuasaan membentuk undang-undang semestinya lebih bersungguh-sungguh dalam melaksanakan perencanaan yang telah dituangkan dalam Prolegnas. Selain meningkatkan jumlah kuantitas Undang-Undang juga harus memperhatikan kualitas Undang-Undang yang disahkan dan melibatkan partisipasi masyarakat. Partisipasi bertujuan untuk memastikan keberhasilan pelaksanaan suatu kebijakan. 132

Meningkatkan partisipasi akan memastikan bahwa kepentingan rakyat dapat

lebih besar terwakili dalam Undang-Undang133

131

Joko Riskiyono, “Partisipasi Masyarakat Dalam Pembentukan Perundang-Undangan Untuk Mewujudkan Kesejahteraan,” ​Aspirasi Vol. 6 No. 2 ​(Desember 2015). 132 ​Ibid., ​hlm. 168. 133 ​Ibid.


DAFTAR PUSTAKA

Peraturan Indonesia​, Konstitusi Republik Indonesia Serikat​ , Konstitusi RIS 1949. ________, ​Undang-Undang Dasar 1945​,UUD 1945. ________, ​Undang Dasar Sementera 1950,​ UUDS 1950. ________, ​Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,​ UU No.12 Tahun 2011. ________, ​Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,​ UU No.15 Tahun 2019. Majelis Permusyawaratan Rakyat, TAP MPR tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan,​ TAP MPRS No. XX/MPRS/1966 Majelis Permusyawaratan Rakyat, ​TAP MPR tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan,​ TAP MPR No. III/MPR/2000​.

Buku Asshiddiqie, Jimly dalam Ni’matul Huda dan R. Nazriyah, T​eori dan Pengujian Peraturan Perundang-Undangan.​ Bandung: Nusamedia, 2011. Attamimi, A. Hamid S. Hukum Tentang Peraturan Perundang-Undangan dan Peraturan Kebijakan (Hukum Tata Pengaturan).​ Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1993. Badan Pembinaan Hukum Nasional. ​Tiga Dekade Prolegnas dan Peran BPHN. Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, 2008. Badan Pembinaan Hukum Nasional​. Pedoman Lokakarya Program Legislasi Nasional 2009-2014. B ​ andung: BPHN, 2009. Farida, M ​ aria. ​Ilmu perundang-undangan : Jenis, Fungsi dan Materi Muatan. Yogyakarta: PT Kanisius, 2007. Farida, Maria. ​et al​. ​Laporan Kompendium Bidang Hukum Perundang-Undangan​. Jakarta: Departemen Hukum dan HAM RI, 2008. Kurniawan, Mahendra, ​et al​. ​Pedoman Naskah Akademik PERDA Partisipatif.​ Yogyakarta: Kreasi Total Media, 2007. MD, Mahfud. ​Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi​. Jakarta: Rajawali Pres, 2010. Soehino, G. ​Hukum Tata Negara, Teknik Perundang-Undangan (Setelah dilakukan Perubahan Pertama dan Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia). ​Yogyakarta: Balai Penerbit Fakultas ekonomi UGM, 2006. Wignjosoebroto, Soetandyo. ​Hukum, Paradigma, Metode, dan Dinamika Masalahnya. ​Jakarta: ELSAM, 2002.


Artikel Abdullah, A.G. “​Pengantar Memahami Undang-Undang Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.” ​Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 1 No.2. (September 2004). Aditya, Zaka F. dan M. R. Winata.”Rekonstruksi Hierarki Peraturan.” Jurnal Negara Hukum,Vol. 9, No. 1, ​(Juni 2018). Ahmad, Ubbe. “Instrumen Prolegnas dalam Proses Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang Terencana dan Terpadu,” ​Jurnal legislasi Vol. 2 No. 1 (​ Maret 2005). Asshidique, Jimly. “Fungsi Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat.” http://www.jimly.com /makalah /namafile/ 139/FUNGSI_ANGGARAN_DPR.pdf. Badan Legislasi DPR RI. “Membanguan Keterpaduan Program Legislasi Nasional dan Daerah.” (Makalah disampaikan dalam Workshop dan Focus Group Discussion Program Legislasi Nasional Sebagai Politik Pembangunan Hukum Nasional, Jakarta, 21 Mei 2008). Irwandi. “Kedudukan Tap MPR dan Implikasinya Terhadap Hierarki Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia.” ​Jurnal Inovatif Ilmu Hukum, Vol. 6 No. 2, (​ 2013). Riwanto, Agus. “Strategi Politik-Hukum Meningkatkan Kualitas Kinerja DPR Ri Dalam Produktivitas Legislasi Nasional.” ​Jurnal Cita Hukum Vol 4 No 2 (Desember 2016). Widayati. “Sistem Parlemen Berdasarkan Konstitusi Indonesia.” ​Masalah Masalah Hukum Jilid 44 No. 4, ​(Oktober 2015). Internet Anonim. “DPR Periode 2009-2014, Hanya Setujui 126 RUU Jadi Undang-Undang,” https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt542a73a19b652/dpr-periode-20 09-2014--​hanya-setujui-126-ruu-jadi-undang-undang/. Diakses 6 Juli 2019 Dewan Perwakilan Rakyat. “Tugas dan Wewenang DPR.” http://www.dpr.go.id/tentang/tugas-​wewenang. Diakses 20 Juni 2019. Ditjen PP Kemenkumham. “Proses Pengharmonisasian Sebagai Upaya Meningkatkan Kualitas Peraturan Perundang-Undangan.” http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/htn-dan-puu/232-proses-pengharmonisa sian-sebagai-upaya-meningkatkan-kualitas-peraturan-perundang-undangan.h tml​. Diakses 2 Desember 2019. Indonesia. ​Proses Pembentukan Undang-Undang, http://peraturan.go.id/welcome/index/​ prolegnas_pengantar.html. Diakses tanggal 10 November 2019


Nursyamsi, Farji. “Menggagas Prolegnas Berkualitas.” https://pshk.or.id/blog-id/menggagas- prolegnas-berkualitas/. Diakses 6 Juli 2019. Nurwati, Made. “Jenis,Fungsi dan Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan.” https://simdos.unud.ac.id/uploads/file_pendidikan_1_dir/21d72bd373564110 789 3846d9e74f45. pdf, diakses 21 Juni 2019. Satrio, Arie Dwi. “ICW Bilang Kinerja DPR 2014-2019 Hanya Selesaikan 10% dari Prolegnas,” https://nasional.okezone.com/read/2019/04/09/337/2041306/icw-bilang-kine rja-dpr- 2014-2019-hanya-selesaikan-10-dari-prolegnas diakses 6 Juli 2019​. Soehino, G. “Evaluasi Prolegnas 2015-2019, http://ipc.or.id/evaluasi-terhadap-program-legislasi-nasional-2015-2019-dew an-perwakilan-rakyat-1/. Diakses 6 Desember 2019.

Tesis dan Disertasi Attamimi, A. Hamid S.​ Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara. D ​ isertasi Doktor Universitas Indonesia, Jakarta,1990. Richo Wahyudi. ​Pembaharuan Hukum Agraria Melalui Rancangan Undang-Undang Bidang Hukum Agraria dalam Program Legislasi Nasional.​ Tesis Magister Universitas Indonesia, Jakarta, 2011.


LAPORAN PENELITIAN “Tinjauan Terhadap Unsur Pencemaran Nama Baik Dalam UU No.19 Tahun 2016 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Dikaitkan Dengan Unsur Pencemaran Nama Baik Dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana”

PENELITIAN MANDIRI BIDANG PENELITIAN LEMBAGA KAJIAN KEILMUAN (LK2) FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS INDONESIA


DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Perumusan Masalah 1.3 Tujuan Penelitian 1.4 Kegunaan Penelitian 1.5 Kerangka Konsep 1.6 Metode Penelitian 1.7 Sistematika Penulisan

BAB II PERAN HUKUM TELEMATIKA TERKAIT PENCEMARAN NAMA BAIK 2.1. Sejarah dan Tujuan Hukum Telematika 2.2. Definisi dan Ruang Lingkup Hukum Telematika 2.2.1. Definisi Hukum Telematika 2.2.2. Ruang Lingkup Hukum Telematika 2.3. Asas-Asas Hukum Telematika 2.4. Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik 2.4.1. Pengaturan UU ITE mengenai terkait pencemaran nama baik

BAB III KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA 3.1. Sejarah dan Perkembangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana 3.2. Hukum Pidana sebagai Hukum Publik 3.3. Dasar-Dasar Hukum Pidana 3.4. Penghinaan

dan

Pencemaran

Nama

Baik

dalam

Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana

1


BAB IV ANALISIS 3.1 Pemaparan dan Perbandingan Unsur-Unsur Pencemaran Nama Baik di UU ITE dan KUHP 3.1.1 Unsur-Unsur Pencemaran Nama Baik di KUHP 3.1.2 Unsur-Unsur Pencemaran Nama Baik di UU ITE 3.1.3 Perbandingan Unsur-Unsur Pencemaran Nama Baik antara KUHP dengan UU ITE 3.1.4 Kontradiksi Pencemaran Nama Baik di dalam KUHP dan UU ITE 3.2 Interpretasi Masing-Masing Pasal dalam Rangka Penegakkan Hukum di Indonesia BAB V PENUTUP 5.1. Kesimpulan 5.2. Saran Daftar Pustaka

2


BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Indonesia, sebagai negara yang merdeka, memberikan kemerdekaan atau kebebasan dalam menyatakan pendapat kepada warganya. Dengan kebebasan ini, masyarakat dapat menyampaikan gagasan-gagasan dan aspirasi-aspirasi yang dapat digunakan sebagai masukan bagi pemerintah. Kebebasan menyatakan pendapat menjadi pilar berdirinya demokrasi di Indonesia. Hal tersebut dibuktikan dengan aturan yang memberi dasar pada kebebasan ini yang tertulis dalam Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Pasal 28E Ayat (3) UUD 1945 tertulis: “Setiap orang berhak atas kebebasan berpendapat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.”1 Selain itu, beberapa instrumen hukum internasional juga menjadi payung hukum untuk kebebasan berekspresi dan berpendapat, seperti ​Universal Declaration of Human Right (UDHR) dan ​International Covenant on Civil and Political Right (ICCPR). Kedua instrumen hukum internasional tersebut secara tegas merumuskan bahwa kebebasan berekspresi merupakan bagian dari hak asasi manusia yang wajib dilindungi. Manusia terus berkembang mengikuti perkembangan zaman. Dari perkembangan tersebut, kemajuan teknologi termasuk dari salah satunya. Teknologi sudah dianggap menjadi suatu kebutuhan manusia seiring dengan berkembangnya zaman. Dengan majunya teknologi, manusia mendapat kemudahan dalam menjalani kehidupannya seperti kemudahan dalam berkomunikasi, mendapatkan informasi elektronik yang cepat dan akurat, mengerjakan berbagai macam hal menjadi lebih praktis, dan masih banyak lagi. Dengan teknologi yang berkembang pesat, masyarakat kini dapat menyelenggarakan kegiatan-kegiatan dalam rangka menggunakan hak 1

Indonesia, ​Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia​, p.s 28E​.

3


dasarnya, dalam hal ini adalah menyatakan pendapat, terkhusus di dunia maya. Dalam penyelenggaraannya, kebebasan berpendapat dibatasi oleh sejumlah peraturan-peraturan yang berlaku secara positif di Indonesia. Pencemaran nama baik merupakan salah satu dari tindakan menyampaikan pendapat yang termasuk dalam perbuatan melawan hukum. Pencemaran nama baik ini diatur dalam Undang Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, lebih tepatnya dalam Pasal 27 Ayat (3). Pasal 27 Ayat (3) UU ITE berbunyi: “Setiap Orang d​ engan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.”2 Selanjutnya, Pasal 45 Ayat (1) Undang Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU ITE mengatur mengenai sanksi atas pelanggaran Pasal 27 Ayat (3) UU ITE, dimana pasal tersebut berbunyi: “Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).” Ria Safitri, Dosen Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Hidayatullah, memaparkan sejumlah konsideran dibuatnya UU ITE, yaitu:3

2

Indonesia, ​Undang Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi

Elektronik​, p.s 27. 3

Ria Safitri, “Undang Undang Informasi dan Transaksi Elektronik Bagi Perguruan

Tinggi,” ​Salam: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i. Volume 5 Nomor 3​ (2018), hlm. 201.

4


a. Pembangunan nasional adalah suatu proses yang berkelanjutan yang harus senantiasa tanggap terhadap berbagai dinamika yang terjadi di masyarakat; b. globalisasi informasi telah menempatkan Indonesia sebagai bagian masyarakat informasi dunia, sehingga mengharuskan dibentuknya pengaturan

mengenai pengelolaan Informasi dan Transaksi

Elektronik di tingkat nasional sehingga pembangunan Teknologi Informasi dapat dilakukan secara optimal, merata, dan menyebar ke seluruh lapisan masyarakat guna mencerdaskan kehidupan bangsa; c. perkembangan dan kemajuan Teknologi Informasi yang demikian pesat telah menyebabkan perubahan kegiatan kehidupan manusia dalam berbagai bidang yang secara langsung telah memengaruhi lahirnya bentuk-bentuk perbuatan hukum baru; d. penggunaan dan pemanfaatan Teknologi Informasi harus terus dikembangkan untuk menjaga, memelihara, dan memperkokoh persatuan

dan

kesatuan

nasional

berdasarkan

Peraturan

Perundang-undangan demi kepentingan nasional; e. pemanfaatan

Teknologi

Informasi berperan

penting

dalam

perdagangan dan pertumbuhan perekonomian nasional untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat; dan f. pemerintah perlu mendukung pengembangan Teknologi Informasi melalui

infrastruktur

hukum

dan

pengaturannya

sehingga

pemanfaatan Teknologi Informasi dilakukan secara aman untuk mencegah penyalahgunaannya dengan memperhatikan nilai-nilai agama dan sosial budaya masyarakat Indonesia. Menimbang dari perspektif hak asasi manusia, tidak mendapatkan pencemaran nama baik atau tidak dihinanya seseorang adalah hak seluruh individu yang bersifat pasif. Dapat diketahui bahwa hak pasif tersebut disandarkan pada tindakan aktif suatu individu untuk tidak mencemarkan nama baik individu lainnya. Untuk mewujudkan hak tersebut, peran negara

5


sangat dibutuhkan. Agar kewajiban tersebut yang semula hanya bersifat etis, dapat berubah menjadi kewajiban hukum yang dikuatkan dengan sanksi hukum, maka kewajiban etis untuk tidak menghina atau mencemarkan nama baik dirumuskan sebagai salah satu delik dalam KUHP (kriminalisasi).4 Dalam UU ITE, masih terdapat isu hukum berupa pasal yang bermasalah. Permasalahan undang-undang ini terdapat pada Pasal 27 Ayat (3) yang menyebabkan pasal tersebut dapat diinterpretasikan sangat bebas oleh hakim. Hal tersebut tentu saja menyebabkan ketidakpastian hukum dan bahkan ketidakadilan dalam sistem peradilan di Indonesia mengenai kebebasan berekspresi di dunia maya. Oleh karena itu, penulis mengangkat penelitian berjudul.

1.2 Pokok Permasalahan Banyaknya permasalahan terkait pencemaran nama baik menunjukkan bahwa walaupun sudah ditetapkan aturan yang mengatur aktivitas-aktivitas di dunia maya membuat peneliti ingin mencari dan menelaah informasi serta pengetahuan lebih lanjut mengenai permasalahan tersebut. Oleh karena itu, peneliti merumuskan rumusan masalah, sebagai berikut: 1. Bagaimana pengaturan mengenai pencemaran nama baik di dalam peraturan perundang-undang di Indonesia? 2. Bagaimana implementasi pasal pencemaran nama baik di dalam penegakkan peradilan di Indonesia?

1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui rumusan pasal yang mengatur mengenai pencemaran nama baik di Indonesia. Peneliti juga ingin memahami hubungan regulasi terhadap pencemaran nama baik 4

Indonesia, Putusan Nomor 31/PUU-XIII/2015, hlm. 29.

6


dapat memengaruhi kebebasan berpendapat warga negara. Tulisan ini pun untuk memahami implementasi penegakkan hukum terhadap pencemaran nama baik di Indonesia. 1.3.2 Tujuan Khusus 1. Memahami pengaturan mengenai pencemaran nama baik di dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. 2. Memahami implementasi pasal pencemaran nama baik di dalam penegakkan peradilan di Indonesia. 1.4 Kerangka Konsepsional a. Informasi Elektronik: Menurut Undang Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, informasi elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, ​electronic data interchange (EDI), surat elektronik (​electronic mail​), telegram, teleks, ​telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya. b. Teknologi Informasi: Menurut Undang Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, teknologi informasi adalah suatu Teknik untuk mengumpulkan, menyiapkan, menyimpan memproses, mengumumkan, menganalisis, dan/atau menyebarkan informasi. c. Mendistribusikan: Menurut Undang Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi

dan

Transaksi

Elektronik,

mendistribusikan

adalah

mengirimkan dan/atau menyebarkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik kepada banyak Orang atau berbagai pihak melalui Sistem Elektronik.

7


d. Mentransmisikan: Menurut Undang Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi

dan

Transaksi

Elektronik,

mentransmisikan

adalah

mengirimkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang ditujukan kepada satu pihak lain melalui Sistem Elektronik. e. Membuat Dapat Diakses: Menurut Undang Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, membuat dapat diakses adalah

semua

perbuatan

lain

selain

mendistribusikan

dan

mentransmisikan melalui Sistem Elektronik yang menyebabkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dapat diketahui pihak lain atau publik.

1.5 Kegunaan Praktis a. Bagi peneliti, penelitian ini berguna untuk menambah wawasan dan pengetahuan mengenai penerapan Pasal 14 dan Pasal 15 UU Nomor 1 Tahun 1946 dan Pasal 28 ayat (2) UU ITE. b. Bagi pemangku kebijakan, dalam hal ini pemerintah, diharapkan dapat menjadi masukan atau kritik atas perumusan aturan-aturan mengenai pencemaran nama baik maupun penegakan hukum yang berkaitan khusus dengan aturan-aturan tersebut. c. Bagi kalangan akademisi dan masyarakat pada umumnya, dapat menambah ilmu pengetahuan mengenai pencemaran nama baik dalam perbandingannya antara Pasal 27 Ayat (3) UU ITE dengan Pasal 310 KUHP. d. Dapat digunakan oleh peneliti lain sebagai bahan tambahan untuk memecahkan masalah dalam topik pencemaran nama baik dalam Pasal 27 Ayat (3) UU ITE dan Pasal 310 KUHP.

8


1.6 Metode Penelitian Penelitian (​research)​ berarti pencarian kembali terhadap pengetahuan yang benar (ilmiah), karena hasil dari pencarian ini akan digunakan untuk menjawab permasalahan

tertentu.5

Penelitian hukum

adalah bentuk

melakukan pemeriksaan yang mendalam terhadap suatu faktor hukum tersebut,

untuk

kemudian

mengusahakan

suatu

pemecahan

atas

permasalahan-permasalahan yang timbul dalam gejala yang bersangkutan.6 Sedangkan metode penelitian adalah suatu tipe pemikiran yang dipergunakan dalam penelitian dan penilaian, atau suatu teknik yang umum bagi ilmu pengetahuan, atau cara tertentu untuk melaksanakan suatu prosedur.7 Dilihat dari bentuknya, penelitian ini termasuk penelitian yuridis normatif. Jenis Penelitian yang akan penulis lakukan adalah penelitian hukum normatif (​legal research​) atau disebut juga dengan penelitian kepustakaan, yaitu penelitian yang dilakukan dengan pendekatan yuridis normatif yang diteliti adalah bahan pustaka atau data sekunder, yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier Penelitian

ini

menggunakan

pendekatan

deskriptif-kualitatif.

Deskriptif dalam artian menjelaskan baik secara umum maupun khusus terhadap suatu keadaan atau gejala. Penulis penelitian ini menggunakan metode deskriptif karena diperlukan untuk mempertegas hipotesis-hipotesis dan untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang permasalahan. Penggunaan

5

pendekatan kualitatif dimaksudkan untuk

menggunakan

Amiruddin, H. Zainal Asikin, ​Pengantar Metode Penelitian Hukum ​(Depok: PT.

Rajagrafindo Persada, 2016). Hlm. 19. 6

Soerjono Soekanto, ​Pengantar Penelitian Hukum​ (Jakarta: Penerbit Universitas

Indonesia (UI-Press), 2006). Hlm. 43. 7

​Ibid.

9


dasar-dasar yang sudah ada sebagai dasar argumen penelitian. Tujuan menggunakan metode deskriptif juga untuk memberikan gambaran umum tentang UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Teknologi Elektronik. Dalam melakukan pengumpulan data, penelitian ini menggunakan metode studi pustaka dan kemudian akan dilanjutkan dengan wawancara secara mendalam (​depth interview​) dan pemikiran tertentu serta pengamatan. Metode-metode ini bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan menganalisanya. Kecuali itu, maka juga diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta. Metode studi pustaka dilakukan untuk melakukan pemeriksaan terhadap data sekunder, dalam hal ini bahan hukum primer. Dengan metode penelitian seperti yang disebutkan di atas, secara garis besar, peneliti ingin menelaah regulasi dan penegakkan pencemaran nama baik sesuai dengan KUHP dan UU ITE.

10


1.7 Jadwal Kegiatan Penelitian

Nama

Minggu

Pelaksana

Kegiatan

Kegiatan 1

Identifikasi

2

3

4

5 Peneliti

Masalah Pengumpulan Data

Peneliti

(Studi

Literatur) Pengolahan

Peneliti

Data Analisis Data

Peneliti

Penulisan

Peneliti

Laporan

11


Finalisasi

Peneliti

Laporan

12


BAB II PERAN HUKUM TELEMATIKA

2.1. Sejarah dan Tujuan Hukum Telematika Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi telah membawa dampak kepada tingkat peradaban manusia yang membawa perubahan besar dalam membentuk pola dan perilaku masyarakat dalam lima tahun terakhir ini.8 Kemajuan yang sangat pesat ini antara lain terjadi pada bidang telekomunikasi, informasi, dan komputer. Hal ini dipercepat dengan adanya konvergensi antara telekomunikasi, informasi, dan komputer.9 Masyarakat mulai mengenal istilah teknologi informasi secara luas pada awal tahun 1980-an. Teknologi tersebut merupakan pengembangan dari teknologi komputer yang berpadu dengan teknologi telekomunikasi. Istilah ini sering disebut dengan telematika yang berarti telekomunikasi dan informatika. Teknologi informasi sendiri diartikan sebagai teknologi yang berhubungan dengan pengolahan data menjadi informasi dan proses penyaluran data atau informasi tersebut dalam batas-batas ruang dan waktu.10 Penggunaan teknologi informasi yang beredar saat ini menunjukkan bahwa peradaban teknologi informasi yang merupakan ciri dari masyarakat gelombang ketiga telah dapat dilihat, sebagaimana diuraikan oleh Alvin Toffler. Toffler menguraikan bahwa peradaban yang pernah dan sedang dijalani oleh umat manusia terbagi dalam tiga gelombang. Gelombang pertama terentang dari tahun 8000 sebelum masehi hingga abad ke-16. Pada tahapan ini, kehidupan manusia ditandai oleh peradaban agraris dan

8

Dimitri Mahayana, ​Menjemput Masa Depan​ (Bandung: Remaja Rosda Karya, 1999),

9

BPHN, ​Pengajian Hukum tentang Konvergensi Telekomunikasi, Informasi, dan

hlm. 11. Komputer ​(1998), hlm. 3. 10

Richardus Eko Indrajit, ​Sistem Informasi dan Teknologi Informasi​ (Jakarta: Gramedia,

2000), hlm. 12.

13


pemanfaatan energi yang terbarukan. Gelombang kedua berlangsung antara abad ke-16 hingga 1970-an yang dimulai dengan munculnya revolusi industri. 11

Selanjutnya ialah peradaban gelombang ketiga yang saat ini mulai jelas

bentuknya. Peradaban ini ditandai dengan kemajuan teknologi komunikasi dan informasi. Dampak yang ditimbulkan dari peradaban tersebut ialah arus informasi dalam kehidupan manusia tidak dapat lagi dibatasi. Marshall MacLuhan menyebut ini sebagai ​Global Village, y​ aitu dunia yang dianalogikan sebagai desa yang luas.12 Istilah latin “​Tempora mutantur, nos et mutamur ini illis”​ , yang berarti zaman berubah dan kita juga berubah bersamanya, terasa sangat relevan dalam era teknologi informasi global ini. Gambaran mengenai fenomena yang sama juga dilukiskan oleh John Naisbitt yang dikatakan bahwa kita telah menapaki zaman baru yang dicirikan oleh adanya ledakan informasi beserta sepuluh kecenderungan pokok yang sesungguhnya menunjukkan bahwa kita telah beralih dari masyarakat industrial ke masyarakat informasi.13 Teknologi informasi memegang pengaruh yang besar dalam kehidupan manusia saat ini. Hasil konvergensi di bidang telematika salah satunya ialah aktivitas dalam dunia siber yang telah berimplikasi luas pada seluruh aspek kehidupan manusia. Persoalan yang muncul yaitu bagaimana penggunaannya tidak terjadi singgungan-singgungan yang menimbulkan persoalan hukum. Hal ini tidak mungkin terjadi karena pada dasarnya kegiatan siber tidak lah sederhana. Kegiatan siber tidak dibatasi oleh teritori negara dan aksesnya dapat dilakukan dengan mudah dari belahan dunia mana pun. Oleh karena itu, kerugian dapat terjadi baik pada pelaku internet maupun orang lain yang tidak 11

Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, “Hukum Teknologi Informasi

(Telematika),”​http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/hukum-teknologi/668-dinamika-konvergensi-hu kum-telematika-dalam-sistem-hukum-nasional.html​, diakses pada 12 Juni 2019. 12

Dimitri Mahanaya, ​Menjemput Masa Depan​, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 1999),

13

Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, “Hukum Teknologi Informasi

hlm. 49. (Telematika),” diakses pada 12 Juni 2019.

14


pernah berhubungan sekalipun misalnya dalam pencurian dana kartu kredit melalui pembelanjaan di internet.14 Kita bisa merasakan semua kemudahan dan manfaat dari hasil konvergensi di bidang telematika. Namun bukan hal yang mustahil dalam berbagai penggunaanya terdapat berbagai permasalahan hukum. Hal tersebut dirasakan dengan adanya berbagai penggunaan yang menyimpang atas berbagai bentuk teknologi informasi, sehingga dapat dikatakan bahwa teknologi informasi digunakan sebagai alat untuk melakukan kejahatan, atau sebaliknya pengguna teknologi informasi dijadikan sasaran kejahatan, misalnya terdapat data yang harus diolah tapi sebenarnya data elektronik ternyata sangat rentan untuk diubah, disadap, dipalsukan dan dikirim ke berbagai penjuru dunia dalam waktu hitungan detik. Dampak dari hal ini dapat terjadi sangat cepat dan dahsyat.15 Pesatnya perkembangan teknologi digital yang hingga pada akhirnya menyulitkan pemisahan teknologi informasi, baik antara telekomunikasi, penyiaran dan teknologi informasi merupakan dinamika konvergensi. Proses konvergensi teknologi tersebut menghasilkan sebuah revolusi “​broadband​” yang menciptakan berbagai aplikasi baru yang pada akhirnya mengaburkan pula batasan-batasan jenis layanan, misalnya VoIP yang merupakan layanan turunan dari Internet, Broadcasting via Internet, dan lain sebagainya. Dengan semakin pesatnya perkembangan teknologi informasi, maka pengaturan teknologi informasi tidak cukup hanya dengan peraturan perundang-undangan yang konvensional, tapi dibutuhkan pengaturan khusus yang menggambarkan keadaan sebenarnya dari kondisi masyarakat sehingga tidak ada jurang antara substansi peraturan hukum dengan realitas yang berkembang dalam masyarakat, misalnya untuk kegiatan-kegiatan siber.16

14

Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, “Hukum Teknologi Informasi

(Telematika),” diakses pada 12 Juni 2019. 15

​Ibid.

16

​Ibid.

15


Kegiatan siber dapat dikategorikan sebagai tindakan dan perbuatan hukum yang nyata meskipun bersifat virtual. Secara yuridis untuk ruang siber sudah tidak pada tempatnya lagi untuk mengkategorikan sesuatu dengan ukuran dan kualifikasi hukum konvensional untuk dapat dijadikan objek dan perbuatan karena jika cara ini yang ditempuh akan terlalu banyak kesulitan dan hal-hal yang lolos dari jerat hukum. Kegiatan siber adalah kegiatan virtual yang berdampak sangat nyata meskipun alat buktinya bersifat elektronik. Oleh karena itu, subjek pelaku kegiatan siber harus dikualifikasikan pula sebagai orang yang telah melakukan perbuatan hukum secara nyata.17 Kecenderungan terus berkembangnya teknologi membawa berbagai implikasi yang harus segera diantisipasi dan diwaspadai. Upaya tersebut kini telah menghasilkan sebuah produk hukum dalam bentuk Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Adapun tujuan dari Hukum Telematika berdasarkan UU ITE, yakni:18 1. Mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai bagian dari masyarakat informasi dunia; 2. Mengembangkan perdagangan dan perekonomian nasional dalam rangka meningkatkan kesejahteraan Masyarakat; 3. Meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan publik; 4. Membuka kesempatan seluas-luasnya kepada setiap Orang untuk memajukan pemikiran dan kemampuan di bidang penggunaan dan pemanfaatan Teknologi Informasi seoptimal mungkin dan bertanggung jawab; dan 5. Memberikan rasa aman, keadilan, dan kepastian hukum bagi pengguna dan penyelenggara Teknologi Informasi.

17

Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, “Hukum Teknologi Informasi

(Telematika),� diakses pada 12 Juni 2019. 18

Indonesia, ​Undang-Undang ITE​, UU No.11 Tahun 2008, Ps.4.

16


Namun, UU ITE belum dapat menyelesaikan semua masalah yang menyangkut ITE. Persoalan tersebut antara lain dikarenakan:19 1. Lahirnya UU ITE tidak semata-mata dapat diketahui oleh masyarakat pengguna teknologi informasi dan praktisi hukum; 2. Berbagai

bentuk

perkembangan

teknologi

yang

menimbulkan

penyelenggaraan dan jasa baru harus dapat diidentifikasikan dalam rangka antisipasi terhadap pemecahan berbagai persoalan teknis yang dianggap baru sehingga dapat dijadikan bahan untuk penyusunan berbagai peraturan pelaksanaan; 3. Pengayaan akan bidang-bidang hukum yang sifatnya sektoral akan semakin menambah semarak dinamika hukum yang akan menjadi bagian sistem hukum nasional. 2.2. Definisi dan Ruang Lingkup Hukum Telematika 2.2.1. Definisi Hukum Telematika Kata telematika berasal dari istilah dalam bahasa Perancis, “​Telematique​”, yang merujuk pada bertemunya sistem jaringan komunikasi dengan teknologi informasi.20 Teknologi informasi merujuk pada sarana prasarana, sistem dan metode untuk perolehan, pengiriman, penerimaan, pengolahan, penafsiran, penyimpanan, pengorganisasian, dan penggunaan telematics

data yang bermakna.21 Perkembangan makna

menjadi

singkatan

dari

“​Telecommunications

and

informatics​”, yang merupakan perpaduan konsep ​Computing and Communication.​ konvergensi

Dewasa

antara

ini, istilah telematika memperlihatkan

telekomunikasi,

media,

dan

informatika.

19

Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, “Hukum Teknologi Informasi

(Telematika),” diakses pada 12 Juni 2019. 20

Centre

National

de

Ressources

Textuelles

et

Lexicales,

“​Telematique,”​

https://www.cnrtl.fr/definition/t%C3%A9l%C3%A9matique​, diakses pada 13 Juni 2019. Hasanuddin Sirait, ​Sejarah Perkembangan Teknologi Telematika (Manado: STMIK

21

Parna Raya, 2009), hlm. 1.

17


Konvergensi pada telematika merupakan penyelenggaraan sistem elektronik yang berbasis teknologi digital.22 Hukum telematika diartikan sebagai padanan kata dari ​Cyber Law​, yang saat ini secara internasional digunakan untuk istilah hukum yang terkait dengan pemanfaatan teknologi informasi. Pengertian ini menunjukkan sifat konvergentif dari ​communication, computing, content, d​ an ​community ​sehingga ​cyber law membahas dari teknologi dan informasi secara konvergensi. Definisi Hukum Telematika, atau yang dikenal dengan ​cyber law,​ adalah keseluruhan asas-asas, norma atau kaidah lembaga, institusi dan proses yang mengatur kegiatan virtual yang dilaksanakan dengan menggunakan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK).23 Segala bentuk perbuatan yang diatur seringkali bersifat tanpa batas (​borderless​) melintas batas-batas teritorial negara, berlangsung demikian cepat sehingga seringkali menembus batas ruang dan waktu. Perbuatan hukum ini meskipun memiliki karakter virtual tetapi berakibat sangat nyata. Hal ini karena penggunaan TIK telah memasuki hampir seluruh segmen kehidupan dari mulai penggunaan seluler, pemanfaatan internet, penggunaan transaksi perbankan secara eletronik dan lain-lain. Perluasan penafsiran asas dan norma dalam dunia hukum mengenai persoalan yang bersifat tidak berwujud sudah berlangsung sejak lama. Persoalan tersebut misalnya kasus pencurian listrik yang pada awalnya sulit dikategorikan sebagai delik pencurian tetapi

Edmon Makarim, ​Pengantar Hukum Telematika – Suatu Kompilasi Kajian​ (Depok:

22

Badan Penerbit FH UI, 2005), hlm. 8. 23

Ahmad M. Ramli, “Pengertian dan Ruang Lingkup Hukum Telematika,”

https://docplayer.info/30171274-Pengertian-dan-ruang-lingkup-hukum-telematika.html#show_full _text​, diakses pada 15 Juni 2019.

18


akhirnya diterima sebagai perbuatan pidana.24 Kegiatan siber tidak lagi sesederhana itu karena kegiatannya tidak lagi dibatasi oleh teritori suatu negara. Setiap orang dapat dengan mudah mengakses dunia siber dari belahan dunia maupun. Kerugian dapat terjadi baik pada pelaku internet maupun orang lain yang tidak pernah berhubungan sekalipun, misalnya dalam pencurian dana kartu kredit melalui pembelanjaan daring. Di samping itu, masalah pembuktian pun menjadi faktor yang sangat penting.

Hal ini karena data elektronik bukan hanya belum

terakomodasi dalam sistem hukum acara Indonesia, tetapi dalam kenyataannya, data dimaksud juga ternyata sangat rentan untuk diubah, disadap, dipalsukan dan dikirim ke berbagai penjuru dunnia dalam waktu hitungan detik.25 2.2.2. Ruang Lingkup Hukum Telematika Hukum Telematika, yang dikenal juga dengan istilah “​Cyber Law​,” adalah aspek hukum yang istilahnya berasal dari “​Cyberspace Law​,” yang ruang lingkupnya meliputi setiap aspek yang berhubungan dengan orang perorangan atau subjek hukum yang mengutilisasi teknologi internet, sejak mulai ​“online” dan memasuki dunia ​cyber atau maya.26 Baik di negara maju maupun negara berkembang, penggunaan internet sebagai alat untuk memfasilitasi kebutuhan hadir dalam setiap aspek kehidupan. Oleh karena itu, Setiap negara membutuhkan peraturan yang mengatur jalannya teknologi internet, terlebih dalam dunia maya. Hal ini bertujuan agar terdapat kepastian hukum, tertib masyarakat, dan terjaganya kepentingan konsumen dari segala bentuk

24

Sovia Hasanah, “Jerat Pidana bagi Pencuri Listrik,”

https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt57e52d74742e7/jerat-pidana-bagi-pencuri-list rik/​, diakses pada 15 Juni 2019. 25

Ahmad M. Ramli, “Pengertian dan Ruang Lingkup Hukum Telematika,”​ ​diakses pada

15 Juni 2019. 26

​Ibid.​

19


kejahatan yang terjadi di dunia maya yang dikenal dengan istilah “​Cybercrime”.​ Internet bukan objek yang kasat mata dan dapat disentuh dan dapat dirasakan. Internet merupakan lapisan kompleksitas teknologi dan jasa yang perlahan-lahan bergabung membentuk sesuatu yang dapat dinikmati oleh semua orang. Internet jaringan komputer terbesar di dunia

yang

menghubungkan

jutaan

manusia,

tumbuh

secara

eksponensial. Jaringan ini menjadi antarjaringan atau “​internetwork​” karena memiliki faktor penggabung sama yang memungkinkan berbagai jaringan untuk bekerja sama.27 Pembahasan mengenai ruang lingkup Hukum Telematika atau “Cyber Law” dimaksudkan sebagai inventarisasi atas persoalan atau aspek hukum yang berkaitan dengan pemanfaatan internet. Ruang lingkup Telematika atau ​“Cyber Law​” yakni:28 1. Hak Cipta (​Copy Right​); 2. Hak Merk (Trademark); 3. Pencemaran Nama Baik (​Defamation)​ ; 4. Ujaran Kebencian (​Hate Speech)​ ; 5. Serangan terhadap Fasilitas Komputer, seperti ​Hacking, Viruses, Illegal Access;​ 6. Regulation Internet Resource ​atau regulasi terhadap sumber internet itu sendiri; 7. Privacy​; 8. Prinsip Kehati-hatian (Duty Care); 9. Liabilitas

Kriminal

(Criminal

Liability)

atau

segala

pertanggungjawaban terhadap tindakan ilegal yang menyebabkan kerugian terhadap seseorang atau sesuatu; 27

Ahmad M. Ramli, “Pengertian dan Ruang Lingkup Hukum Telematika,”​ ​diakses pada

15 Juni 2019. 28

Jonathan Roseneur, ​Cyberlaw: The Law of The Internet​ (Kentfield: 1997), hlm. 24.

20


10. Proses peradilan (yuridiksi, pembuktian, penyelidikan); 11. Kontrak Elektronik (Electronic Contract); 12. Pornografi; 13. Pencurian; 14. Perlindungan Konsumen; 15. E-commerce​ dan ​E-Government​. Hak cipta, atau dikenal juga dengan istilah ​Copy Right,​ merupakan hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis. Hak tersebut didasarkan pada prinsip deklaratif setelah ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa adanya pengurangan pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam hak cipta dikenal istilah hak terkait yang merupakan hak yang berkaitan dengan hak cipta yang merupakan hak eksklusif bagi pelaku pertunjukkan, produser fonogram, atau lembaga penyiaran.29 Merek adalah tanda yang dapat ditampilkan secara grafis berupa gambar, logo, nama, kata, huruf, angka, susunan warna, dalam bentuk dua dimensi dan/atau tiga dimensi, suara, hologram, atau kombinasi dari dua atau lebih unsur tersebut untuk membedakan barang dan/atau jasa yang diproduksi oleh orang atau badan hukum dalam kegiatan perdagangan barang dan/atau jasa. Fungsi dari pemakaian merek itu sendiri antara lain sebagai tanda pengenal, alat promosi, jaminan atas mutu barang, dan penunjuk asal barang atau jasa yang dihasilkan. Untuk itu diperlukan pendaftaran Merek dengan tujuan antara lain sebagai alat bukti bagi pemilik yang berhak atas Merek yang didaftarkan, sebagai dasar penolakan terhadap Merek yang sama keseluruhan atau sama pada pokoknya yang dimohonkan pendaftaran oleh orang lain untuk barang atau jasa sejenisnya, dan sebagai dasar untuk mencegah orang lain

29

Kementerian

Hukum

dan

HAM

R.I.,

“Pengenalan

Hak

Cipta,”

http://www.dgip.go.id/pengenalan-hak-cipta​, diakses pada 17 Juni 2019.

21


memakai Merek yang sama keseluruhan atau sama pada pokoknya dalam peredaran untuk barang atau jasa sejenisnya.30 Pencemaran nama baik atau ​Defamation dapat dipahami sebagai penghinaan sebagaimana dimaksud di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).31 Hal ini diatur dalam Pasal 310 KUHP yang menerangkan bahwa menghina adalah “menyerang kehormatan dan nama baik seseorang, yang diserang ini biasanya merasa malu. Kehormatan yang diserang di sini hanya mengenai kehormatan tentang nama baik, bukan kehormatan dalam lapangan seksual.32 Pada prinsipnya, pencemaran nama baik diatur dalam KUHP Bab XVI tentang penghinaan yang dimuat dalam Pasal 310 s.d. 321 KUHP. Berdasarkan pada penjelasan R. Soesilo dalam Pasal 310 KUHP, dapat diketahui bahwa KUHP membagi enam macam penghinaan yakni Penistaan, penistaan dengan tulisan atau gambar, fitnah, penghinaan ringan, pengaduan palsu atau pengaduan fitnah, dan perbuatan fitnah.33 Penistaan harus dilakukan dengan cara “menuduh seseorang telah melakukan perbuatan tertentu” dengan maksud agar tuduhan itu diketahui oleh orang banyak dan cukup dengan perbuatan biasa yang sudah tentu perbuatan yang memalukan. Fitnah terjadi ketika terhadap tindakan yang dinyatakan sebagai penistaan ternyata yang dituduhkan oleh terdakwa ternyata tidak benar (Pasal 311 KUHP).

30

​Kementerian Hukum dan HAM R.I., “Pengenalan Hak Cipta,” diakses pada 17 Juni

31

Tri Jata Ayu Pramesti, “Perbuatan-Perbuatan yang Termasuk Pencemaran Nama Baik,”

2019. https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt517f3d9f2544a/perbuatan-perbuatan-yang-ter masuk-pencemaran-nama-baik​, diakses pada 18 Juni 2019. R. Soesilo, ​Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya

32

Lengkap Pasal demi Pasal ​(Bogor: Politeia, 1991), hlm. 225. 33

​Tri Jata Ayu Pramesti, “Perbuatan-Perbuatan yang Termasuk Pencemaran Nama Baik,”

https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt517f3d9f2544a/perbuatan-perbuatan-yang-ter masuk-pencemaran-nama-baik/,​ ​diakses pada 18 Juni 2019.

22


Penghinaan ringan adalah penghinaan yang dilakukan di tempat umum berupa kata-kata makian yang sifatnya menghina maupun berupa perbuatan.34 Pengaduan palsu atau pengaduan fitnah diatur dalam Pasal 317 KUHP yakni orang yang sengaja memasukkan surat pengaduan yang palsu tentang seseorang kepada pembesar negeri dan orang yang dengan sengaja menyuruh menuliskan surat pengaduan yang palsu tentang seseorang kepada pembesar negeri sehingga kehormatan atau nama baik orang itu terserang. Terakhir, perbuatan fitnah ialah orang yang dengan sengaja melakukan suatu perbuatan yang menyebabkan orang lain secara tidak benar terlibat dalam suatu tindak pidana.35 Ujaran Kebencian atau ​Hate Speech merupakan suatu tindakan komunikasi yang dilakukan oleh suatu individu atau kelompok dalam bentuk provokasi, hasutan, ataupun hinaan kepada individu atau kelompok lain dalam hal berbagai aspek seperti ras, warna kulit, etnis, gender, cacat, orientasi seksual, kewarganegaraan, agama dan lain-lain. Dalam arti hukum, ​Hate Speech adalah perkataan, perilaku, tulisan, ataupun pertunjukkan yang dilarang karena dapat memicu terjadinya tindakan kekerasan dan sikap prasangka entah dari pihak pelaku maupun korban dari tindakan tersebut.36 Ujaran kebencian tidak hanya terbatas pada dunia nyata tapi juga terjadi di dunia maya. Serangan terhadap fasilitas komputer dapat berupa ​Hacking, Viruses, ​dan ​Illegal Access​. ​Hacking adalah kegiatan meretas segala sesuatu yang berkaitan dengan teknologi komputer. Hal ini dibedakan menjadi beberapa bentuk yakni ​Phising, ​Carding,​ dan ​Deface​, serta 34

Tri Jata Ayu Pramesti, “Perbuatan-Perbuatan yang Termasuk Pencemaran Nama Baik,”

diakses pada 18 Juni 2019. R. Sugandhi, ​Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Berikut Penjelasannya (Surabaya:

35

Usaha Nasional, 1980), hlm. 225. 36

Pemerintah

Kabupaten

Buleleng,

“​HATE

SPEECH

Definisi Hate Speech,”

https://www.bulelengkab.go.id/detail/artikel/hate-speech-definisi-hate-speech-66​, diakses pada 20 Juni 2019.

23


Bruteforce.​ Adapun bentuk lain yang menyerang fasilitas komputer yaitu virus yang dapat merusak sistem, mencuri data, maupun untuk aksi penyadapan.37 Hal yang disebutkan tersebut diatur dalam Pasal 30 UU ITE. Kontrak elektronik adalah perjanjian para pihak yang dibuat melalui sistem elektronik.38 Sistem elektronik yang dimaksud ialah serangkaian perangkat dan prosedur elektronik yang berfungsi mempersiapkan, mengumpulkan, mengolah, menganalisis, menyimpan, menampilkan, mengumumkan, mengirimkan, dan/atau menyebarkan Informasi Elektronik.39 Keabsahan dari kontrak tersebut tercantum dalam Pasal 5 UU ITE yang berbunyi: “Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dinyatakan sah apabila menggunakan Sistem Elektronik sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini.” Adapun ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 5 UU ITE ialah ketentuan yang tercantum pada Pasal 13 s.d. Pasal 16 UU ITE yang meliputi Penyelenggaraan Sertifikasi Elektronik dan Penyelenggaraan Sistem Elektronik. Perlindungan Konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya

kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada

konsumen.40 Perlindungan konsumen tersebut didasarkan pada asas manfaat,

keadilan,

keseimbangan,

keamanan

dan

keselamatan

konsumen, serta kepastian hukum.41 Meskipun, perdagangan elektronik

37

Diskominfo Kalimantan Utara, “Sanksi Hukum Pidana UU ITE terkait Aktivitas

Hacking,​ ”​https://diskominfo.kaltaraprov.go.id/sanksi-hukum-pidana-uu-ite-terkait-aktivitas-hackin g/​, diakses pada 20 Juni 2019. 38

Indonesia, ​Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik,​ UU No.11 Tahun

2008, Ps. 1. 39

​Ibid.

40

Indonesia, ​Undang-Undang Perlindungan Konsumen​, UU No.8 Tahun 1999, Ps. 1.

41

​Ibid.,​ Ps. 2.

24


merupakan

model

transaksi

yang

berbeda

dari

perdagangan

konvensional, tapi di dalam setiap perdagangan pasti mencakup konsumen. Hal ini demikian diatur di dalam UU ITE dan Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik.42 E-Commerce dan E-Government pada dasarnya merupakan pemanfaatan

teknologi

elektronik

terhadap

kegiatan

komersial

perdagangan dan kegiatan pemerintahan. ​E-Commerce merupakan dampak dari perkembangan teknologi informasi dan telekomunikasi, dan secara signifikan mengubah cara manusia melakukan interaksi dengan lingkungannya terkait dengan mekanisme perdagangan.43 Berdasarkan definisi tersebut, ​E-Government dapat dipahami sebagai penggunaan

teknologi

informasi dan telekomunikasi di dalam

mekanisme pemerintahan. 2.3. Asas-Asas Hukum Telematika Indonesia

memuat

asas-asas

Hukum

Telematika

di

dalam

Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Pasal yang mengandung asas-asas hukum ini berbunyi sebagai berikut:44 “Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik dilaksanakan berdasarkan asas kepastian hukum, manfaat, kehati-hatian, iktikad baik, dan kebebasan memilih teknologi atau netral teknologi.” Maka dengan jelas tampak bahwa terdapat lima asas yang menjadi dasar pelaksanaan Hukum Telematika di Indonesia. Kelima asas tersebut yaitu asas

Rizka Syafriana, “Perlindungan Konsumen dalam Transaksi Elektronik,” ​De Lega Lata

42

Volume I (​ 2016), hlm. 443. 43

Bagus Hanindyo Mantri, “Perlindungan Hukum terhadap Konsumen dalam Transaksi

E-Commerce​,” (Tesis Magister Universitas Diponegoro, Semarang, 2007), hlm. 25. 44

Indonesia, ​Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik,​ UU No.11 Tahun

2008, Ps. 3.

25


kepastian hukum, asas manfaat, asas kehati-hatian, asas itikad baik, dan asas kebebasan memilih teknologi atau netral teknologi. Asas kepastian hukum berarti landasan hukum bagi pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik serta segala sesuatu yang mendukung penyelenggaraannya yang mendapat pengakuan hukum di dalam dan di luar pengadilan.45 Kepastian hukum menekankan agar hukum atau peraturan itu ditegakkan sebagaimana yang diinginkan oleh bunyi hukum atau peraturannya. Setiap orang mengharapkan dapat ditetapkannya hukum dalam hal terjadi peristiwa yang konkret. Kepastian hukum ditujukan sebagai perlindungan ​yustisiabel terhadap tindakan sewenang-wenang, yang berarti seseorang akan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu.46 Asas Manfaat merupakan asas bagi pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik diupayakan untuk mendukung proses berinformasi sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.47 Masyarakat mengharapkan manfaat dalam pelaksanaan atau penegakan hukum. Hukum ditujukan untuk manusia sehingga pelaksanaannya harus memberi manfaat bagi manusia.48 Asas Kehati-hatian adalah landasan bagi pihak yang bersangkutan harus memperhatikan segenap aspek yang berpotensi mendatangkan kerugian. Kerugian yang dimaksud ialah kerugian bagi dirinya maupun pihak lain dalam pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik.49 Asas ini pertama kali diterapkan dalam hukum lingkungan Jerman pada awal tahun Indonesia, ​Penjelasan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik​, Penjelasan

45

UU No.11 Tahun 2008, Ps. 3. 46

Yohana Puspitasari Wardoyo, “Kepastian Hukum, Kemanfaatan, dan Keadilan terhadap

Perkara Pidana Anak,” ​Jurnal Yudisial Vol.8 3​ (Desember 2015), hlm. 263. 47

​Indonesia, ​Penjelasan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik,​ Ps. 3.

48

​Yohana Puspitasari Wardoyo, “Kepastian Hukum, Kemanfaatan, dan Keadilan terhadap

Perkara Pidana Anak,” hlm. 259. 49

Indonesia, ​Penjelasan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik​, Ps. 3.

26


1970-an, yang dikenal dengan istilah ​Vorsorgeprinzip​. Asas ini mewajibkan negara

untuk

menghindari terjadinya kerusakan

dengan melakukan

perencanaan secara hati-hati.50 Asas itikad baik yaitu asas yang digunakan para pihak dalam melakukan Transaksi Elektronik tidak bertujuan untuk secara sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakibatkan kerugian bagi pihak lain tanpa sepengetahuan pihak lain tersebut.51 Asas ini juga diatur di dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPer yang menyatakan bahwa asas kebebasan berkontrak harus dibatasi asas itikad baik. Adapun karakter asas itikad baik di antaranya ialah keadilan dan kepatutan, tidak menyalahgunakan keadaan, paksaan, penipuan, kesesatan, kejujuran dan kepatuhan.52 Asas kebebasan memilih teknologi atau netral teknologi dijelaskan sebagai asas pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik tidak terfokus pada penggunaan teknologi tertentu sehingga dapat mengikuti perkembangan pada masa yang akan datang.53 Asas ini merupakan asas yang unik. Hal tersebut karena asas kebebasan memilih teknologi atau netral teknologi hingga saat ini hanya dapat ditemukan dalam UU ITE. 2.4. Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik Hukum positif yang mengatur mengenai permasalahan telematika di Indonesia terdapat pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Undang-undang ini kemudian diubah pada tahun 2016 dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016

50

Fajri Fadhillah, “Asas Kehati-hatian dalam Hukum Lingkungan Indonesia: Studi Kasus

Putusan PTUN Jakarta No.K15/5/2011/PTUN-JKT terkait Izin penempatan Tailing di Dasar Laut oleh PT. Newmont Nusa Tenggara,” hlm. 4. Indonesia, ​Penjelasan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik,​ Ps. 3.

51 52

Luh Nila Winarni, “Asas Itikad Baik sebagai Upaya Perlindungan Konsumen dalam

Perjanjian Pembiayaan,” ​Jurnal Ilmu Hukum​ (Februari 2015), hlm. 10. 53

Indonesia, ​Penjelasan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik,​ Ps. 3.

27


tentang perubahan atas UU ITE. Secara garis besar, materi pokok yang terdapat dalam UU ITE dirangkum sebagai berikut: 1. Asas dan Tujuan; 2. Informasi, dokumen dan tanda tangan elektronik; 3. Penyelenggaraan Sertifikasi Elektronik dan Sistem Elektronik; 4. Alat bukti elektronik; 5. Transaksi Elektronik; 6. Pengaturan nama domain, Hak Kekayaan Intelektual dan perlindungan hak pribadi; 7. Perbuatan yang dilarang; 8. Penyelesaian sengketa; 9. Peran pemerintah dan peran masyarakat; 10. Penyidikan; 11. Ketentuan pidana. Permasalahan yang terjadi saat ini sering mengikutsertakan transaksi elektronik. Kegiatan perdagangan melalui sistem elektronik telah menjadi bagian dari perniagaan nasional dan internasional. Kegiatan melalui media sistem elektronik meski bersifat virtual dapat dikategorikan sebagai tindakan hukum yang nyata.54 Selain perdagangan, tindakan penyebarluasan informasi juga diatur dalam UU ITE. Masyarakat, terutama pengguna media sosial, dituntut untuk bijak dalam menyebarluaskan informasi. Hal ini dimaksudkan agar informasi yang disebarkan tidak menyebabkan pencemaran nama baik (​defamation​), penodaan agama, dan ancaman ​online​.

54

Muchlisin Riadi, “Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan

Transaksi

Elektronik,”

https://www.kajianpustaka.com/2013/12/undangundang-nomor-11-tahun-2008.html​, diakses pada 20 Juni 2019.

28


BAB III KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA

3.1 Sejarah dan Perkembangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Hukum pidana terdiri dari hukum pidana tertulis dan hukum pidana tidak tertulis atau disebut hukum pidana adat. Hukum pidana yang terdapat di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau KUHP merupakan hukum pidana tertulis. Sejarah KUHP dimulai pada saat kedatangan orang Belanda pertama di Indonesia. Pada saat itu berlaku aturan bahwa orang Belanda yang berada di Indonesia menggunakan hukum yang sama dengan hukum yang 55

berlaku di Negeri Belanda atau yang disebut dengan ​asas konkordansi.​

Terhadap pelaksanaan asas konkordansi yang mengatur orang Belanda yang berada di Indonesia, diberlakukan beberapa pengecualian. Hal tersebut karena perbedaan keadaan di Indonesia dengan di keadaan Negeri Belanda, sehingga tidak dapat diberlakukan asas konkordansi secara penuh. Hukum yang berlaku bagi orang Belanda di pusat-pusat dagang VOC yang pertama-tama didirikan di sini adalah hukum yang dijalankan di atas kapal-kapal VOC, yang disebut dengan Hukum Kapal. Hukum kapal tersebut 56

terdiri dari Hukum Belanda yang kuno dan asas-asas hukum romawi.

Akan tetapi, hukum kapal yang diterapkan tersebut, lama-kelamaan tidak lagi dapat digunakan untuk menyelesaikan berbagai macam perkara yang terjadi di pusat-pusat dagang VOC. Oleh sebab itu, dibutuhkan peraturan lain yang dapat memenuhi kebutuhan khusus di daerah yang dikuasai oleh VOC untuk menyelesaikan permasalahan istimewa dan menyesuaikan keperluan

Utrecht, ​Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana I,​ (Bandung: Universitas Padjajaran, 1958), hlm. 8. 56 Ibid. 55

29


hukum pegawai VOC dengan keadaan di masing-masing daerah di mana didirikan suatu pusat dagang.

57

Kemudian VOC membuat peraturan organik yang diumumkan pada plakat-plakat yang pada awalnya hanya berlaku di wilayah kota betawi, lalu kemudian diperluas di daerah-daerah lain tempat VOC mendirikan suatu pusat dagang di Indonesia. Peraturan organik didirikan dengan tujuan untuk dapat menyelenggarakan instruksi diadakan administrasi. Peraturan organik yang diumumkan pada plakat-plakat tersebut, awalnya tidak disusun dan dikumpulkan secara baik dan teratur. Hal tersebut mengakibatkan kekacauan besar karena ketidaktahuan orang-orang mengenai plakat mana yang berlaku 58

dan yang sudah dicabut atau diubah.

Oleh sebab itu, kemudian plakat-plakat yang tidak teratur tersebut disusun dan dikumpulkan dalam suatu himpunan plakat-plakat, yang kemudian himpunan plakat-plakat tersebut diumumkan dengan nama ​Statuta Betawi​. Statuta Betawi tersebut dengan jelas menginformasikan kepada setiap orang mengenai hukum mana yang berlaku di daerah yang dikuasai oleh VOC. 59

Dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa hukum yang berlaku di daerah yang dikuasai oleh VOC adalah Statuta Betawi, hukum belanda yang kuno, dan asas-asas hukum romawi. Hubungan hukum Belanda yang kuno dengan statuta itu adalah sebagai pelengkap. Apabila Statuta Betawi tidak dapat menyelesaikan masalah, maka hukum Belanda kuno yang diterapkan, sedangkan hukum Romawi berlaku untuk mengatur kedudukan 60

hukum budak. Akan tetapi, bagi orang Indonesia asli atau orang Bumiputera

57

Ibid. Ibid., ​hal. 10. 59 Ibid., ​hal. 10-11. 60 Andi Hamzah, ​Asas-Asas Hukum Pidana, ​(Jakarta: Rineka Cipta, 2010), hlm. 16. 58

30


dan orang Timur asing yang berada di daerah yang dikuasai oleh VOC, pada umumnya diberlakukan hukum adat.

61

Pada tahun 1798, VOC dibubarkan dan semua kekayaan dan hutangnya diserahkan kepada Bataafse Republik. Pada tahun 1808 Daendels dikirim ke Indonesia dengan tugas mereorganisasikan pemerintahan, justisi, dan polisi sebagai gubernur Jendral. Gubernur Jendral menetapkan bahwa perlu diperoleh persetujuan dari Gubernur Jendral sebelum menjatuhkan hukuman mati, kecuali hukuman mati yang dijalankan karena pemberontakan dan yang diputuskan oleh penguasa militer. Selain itu, terdapat plakat tertanggal 22 April 1808, yang memperkenankan pengadilan menjatuhkan berbagai hukuman yang ganas. Akan tetapi, terhadap hukuman yang ganas tersebut Daendels membuat pembatasan, sehingga pada umumnya tidak boleh dijatuhkan hukuman-hukuman yang ganas apabila hal itu bertentangan dengan 62

keadilan.

Berdasarkan Konvensi London 13 Agustus 1814, bekas koloni Belanda yang semula jatuh ke tangan Inggris, dikembalikan kepada Belanda. Pemerintahan Inggris diserahterimakan kepada Komisaris Jenderal yang dikirim dari Belanda. Dengan Regerings Reglemen 1815, maka hukum dasar pemerintah kolonial tercipta. Agar tidak terjadi kesenjangan peraturan, maka dikeluarkan proklamasi 19 Agustus 1816, Stbl. 1816 Nomor 5 yang mengatakan bahwa pemerintahan Inggris tetap dipertahankan. Pada umumnya Statuta Betawi yang baru masih berlaku, akan tetapi untuk orang pribumi hukum adat masih diberlakukan asal tidak bertentangan dengan asas-asas 63

hukum yang diakui dan undang-undang dari Pemerintah.

Utrecht, ​Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana I,​ (Bandung: Universitas Padjajaran,

61

1958), hlm. 12. Ibid., h​ lm. 19-21.

62

Andi Hamzah, ​Asas-Asas Hukum Pidana, (​ Jakarta: Rineka Cipta, 2010), hlm. 16-17.

63

31


KUHP yang berlaku bagi golongan Eropa adalah salinan dari ​Code Penal yang berlaku di Negeri Belanda. Akan tetapi, Code Penal yang berlaku di Indonesia hanya terdiri dari dua buku, sedangkan Code Penal terdiri atas empat buku. KUHP yang berlaku bagi golongan Bumiputera juga merupakan KUHP yang berlaku bagi golongan Eropa, tetapi diberikan sanksi yang lebih 64

berat.

Belanda terus berusaha mengadakan perubahan-perubahan, juga usaha menciptakan KUHP nasional. Akan tetapi, usaha Belanda belum juga berhasil, kecuali terhadap sebagian perubahan-perubahan. Pada tanggal 3 Maret 1881, lahirlah KUHP yang Belanda yang baru, yang mulai diberlakukan pada tanggal 1 September 1886. Jarak lima tahun antara disahkannya KUHP Belanda yang baru dengan diberlakukannya adalah karena perlunya dibangun sel-sel dan gedung-gedung baru dengan adanya sistem pidana sel, serta perlu diciptakan

undang-undang baru seperti

65

undang-undang kepenjaraan.

Berdasarkan asas konkordansi, menurut Pasal 75 ​Regerings Reglement dan pasal 131 ​Indische Staatsregerling,​ maka KUHP di Negeri Belanda harus diberlakukan pula di daerah jajahan seperti Hindia Belanda, akan tetapi dengan disesuaikan pada situasi dan kondisi masing-masing daerah. Pada awalnya telah dibentuk dua rancangan KUHP yang berlaku untuk masing-masing golongan Eropa dan golongan Bumiputera. Akan tetapi, Idernburg berpendapat bahwa satu KUHP di Hindia Belanda lebih baik agar terjadi unifikasi, sehingga kemudian dibentuk KUHP yang baru yang disebut Wesboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie,​ yang berlaku untuk seluruh 66

golongan penduduk pada tanggal 1 Januari 1918.

Pada masa pendudukan Jepang, Wesboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie atau WvSI tetap berlaku. Keberlakuan WvSI tersebut

Ibid.,​ hlm. 17.

64

Ibid., h​ lm. 19.

65

Ibid., h​ lm. 19.

66

32


didasarkan pada undang-undang (​Osamu Serei​) Nomor 1 Tahun 1942 yang mulai berlaku pada tanggal 7 Maret 1942 sebagai peraturan peralihan Jawa dan Madura. Akan tetapi berdasarkan Pasal 3 Osamu Serei, beberapa ketentuan WvSI yang menyangkut pemerintahan Belanda sudah tidak lagi berlaku. Selain itu, dibandingkan dengan hukum pidana materiil maka hukum acara pidana lebih banyak berubah karena terjadi unifikasi acara dan susunan pengadilan. Hal tersebut diatur dalam Osamu Serei Nomor 3 Tahun 1942 tanggal 20 September 1942.

67

Berdasarkan pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 berlaku pada tanggal 18 Agustus 1945, menyatakan bahwa keadaan pada zaman pendudukan Jepang dipertahankan

sesudah

proklamasi

kemerdekaan.

Selain

itu,

untuk

memperkuat aturan peralihan tersebut, presiden mengeluarkan suatu peraturan pokok pada tanggal 10 Oktober 1945 yng disebut Peraturan Nomor 2. Kemudian dengan Undang-Undang nomor 1 Tahun 1946, diadakan perubahan yang mendasar atas WvSI. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tersebut bahwa hukum pidana yang berlaku pada saat itu, yakni pada tahun 1946 ialah hukum pidana yang berlaku pada tanggal 8 Maret 1942 dengan berbagai perubahan dan peambahan yang disesuaikan dengan keadan Negara Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Undang-undang hukum pidana yang pada awalnya dikenal dengan ama ​Wetboek van strafrecht voor Nederlandsh indie kemudian diubah menjadi ​Wetboek van Strafrecht,​ yang disebut dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

68

Dengan

berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 untuk seluruh Indonesia berdasarkan Undang-Undang Nomor 73 tahun 1958, maka dualisme berlakunya dua macam undang-undang hukum pidana di Indonesia sudah 69

tidak lagi berlaku.

Ibid., h​ lm. 20.

67

Ibid.,​ hlm. 21.

68

Ibid., h​ lm. 24.

69

33


3.2 Hukum Pidana Sebagai Hukum Publik Hukum pidana merupakan suatu hukum publik. Hukum publik dirumuskan sebagai hukum yang mengatur kepentingan umum dan mengatur hubungan penguasa dengan warga negaranya. Hukum publik adalah keseluruhan peraturan yang merupakan dasar negara dan mengatur pula 70

bagaimana caranya supaya negara melaksaksanakan tugasnya.

Berbeda

dengan hukum privat yang mengatur pergantian-rugi, bagi hukum pidana kepentingan khusus para individu bukan merupakan suatu persoalan primer. Hal tersebut karena yang dititikberatkan oleh hukum pidana adalah 71

kepentingan umum. Dalam hukum privat, antara pihak yang berkepentingan memiliki hubungan yang sederajat atau koordinasi, sedangkan dalam hukum publik hubungan antara pihak yang bersalah dengan pemerintah yang bertugas memerhatikan kepentingan umum adalah tidak sejajar atau subordinasi.

72

Pendapat bahwa hukum pidana sebagai hukum publik banyak ditentang oleh para pengarang, salah satunya adalah Beekhuis, yang berpendapat bahwa hukum pidana tidak membuat kaidah baru. Hukum pidana tidak mengadakan kewajiban yang baru, karena kaidah-kaidah tersebut telah ada di dalam bagian-bagian hukum lain, seperti hukum privat, hukum tata usaha negara, hukum pajak, hukum perburuhan, dan lain sebagainya. Dengan kata lain, kewajiban-kewajiban hukum yang telah ada di dalam bagian-bagian hukum yang lain dari tersebut ditegaskan di dalam suatu paksaan istimewa, yakni

Sudikno Mertokusumo, ​Mengenal Hukum: Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Cahaya

70

Atma Pusaka, 2010), hlm. 168. Utrecht, ​Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana I,​ (Bandung: Universitas Padjajaran,

71

1958), hlm. 58. 72

Ibid.

34


suatu paksaan yang lebih keras daripada paksaan-paksaan yang ada di bagian 73

hukum-hukum lain.

Dengan demikian, hukum pidana pada hakekatnya merupakan suatu 74

hukum sanksi istimewa. Hukum pidana memberikan suatu sanksi istimewa terhadap pelanggaran kaidah hukum privat maupun kaidah hukum publik yang telah ada. Hukum pidana melindungi kepentingan yang diselenggarakan oleh peraturan hukum privat maupun kepentingan yang diselenggarakan oleh 75

peraturan hukum publik.

Sebagai suatu hukum yang membuat sanksi

istimewa, yang memperkuat baik hukum privat maupun hukum publik, maka hukum pidana itu bukan hukum privat maupun hukum publik, tetapi 76

mempunyai suatu kedudukan sendiri.

Baik hukum publik dengan hukum privat membuat suatu kaidah, yakni membuat petunjuk-petunjuk hidup yang mengarahkan tingkah laku manusia dalam pergaulanya dengan manusia lain di dalam masyarakat. Akan tetapi, hukum pidana sama sekali tidak bertugas membuat kaidah. Hukum pidana hanya membuat suatu sanksi lebih keras atas pelanggaran beberapa petunjuk-petunjuk hidup yang telah dibuat oleh hukum privat atau hukum publik. Walaupun sering kali petunjuk-petunjuk tersebut disebutkan dalam 77

ketentuan-ketentuan pidana yang bersangkutan. 3.3 Dasar-Dasar Hukum Pidana

Hukum pidana dipelajari oleh suatu ilmu, yakni ilmu hukum pidana 78

positif yang merupakan suatu bagian dari ilmu hukum positif umum. Tujuan

Ibid.,​ hlm. 64.

73

Ibid.,​ hlm. 65.

74

Ibid.​

75

Utrecht, ​Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana I,​ (Bandung: Universitas Padjajaran,

76

1958), hal. 66. Ibid.,​ hlm. 66-67.

77

Ibid.,​ hlm. 113.

78

35


dari hukum pidana disingkat menjadi tiga R dan satu D yang berupa Reformation, Restrain, Retribution, dan Deterrence. Reformation berarti memperbaiki dan merehabilitasi penjahat menjadi orang baik dan berguna bagi masyarakat, sehingga masyarakat juga akan memperoleh keuntungan dan tidak ada seorangpun yang merugi jika penjahat menjadi baik. ​Restrain ​adalah mengasingkan pelanggar dari masyarakat. Dengan tersingkirkannya pelanggar hukum dari masyarakat berarti masyarakat itu akan menjadi lebih aman. Retribution adalah pembalasan terhadap pelanggar karena telah melakukan kejahatan. Sedangkan, ​Deterrence berarti menyebabkan jera atau mencegah sehingga baik Terdakwa sebagai individual maupun orang lain yang potensial menjadi penjahat akan jera atau takut untuk melakukan kejahatan karena 79

melihat pidana yang dijatuhkan kepada Terdakwa.

Hukum pidana dibagi menjadi hukum pidana materiil dan hukum pidana formil. Hukum pidana materiil memuat perbuatan-perbuatan melanggar hukum yang disebut delik dan yang diancam dengan sanksi. Sedangkan, hukum pidana formil atau hukum acara pidana mengatur bagaimana cara negara menerapkan sanksi pidana pada peristiwa konkret. Jadi hukum pidana formil mengatur bagaimana melaksanakan atau menegakkan hukum pidana 80

materiil.

Hukum pidana memiliki ruang lingkup, yaitu apa yang disebut dengan peristiwa pidana atau delik, ataupun tindak pidana. Menurut D. Simons, peristiwa pidana adalah ​“perbuatan salah dan melawan hukum yang diancam pidana dan dilakukan seseorang yang mampu bertanggung jawab”.

81

Terhadap tindak pidana yang dapat dihukum harus memiliki empat unsur, yakni merupakan perilaku manusia, terjadi dalam suatu keadaan yang Andi Hamzah, ​Asas-Asas Hukum Pidana, (​ Jakarta: Rineka Cipta, 2010), hlm. 28-29.

79

Sudikno Mertokusumo, ​Mengenal Hukum: Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Cahaya

80

Atma Pusaka, 2010), hlm. 171. Fernando M. Manullang, ​Selayang Pandang Sistem Hukum di Indonesia, (Jakarta:

81

Kencana, 2016), hlm. 114.

36


melanggar hukum, pelaku seharusnya atau sepantasnya mengetahui bahwa tindakan

tersebut

merupakan

pelanggaran

hukum,

dan

tidak

ada

82

penyimpangan kejiwaan yang memengaruhi sikap tindak tersebut.

Untuk adanya suatu peristiwa pidana harus memiliki dua unsur, yakni harus adanya kelakuan yang melawan hukum dan seorang yang melakukan tindak pidana dapat bertanggung jawab atas kesalahannya. Agar pelaku tindak pidana dapat bertanggung jawab atas kesalahannya, maka harus terdapat 83

kesalahan di dalam tindak pidana yang dilakukannya.

Kesalahan sebagai

unsur delik dapat berupa kesalahan yang disengaja atau ​opzet dan kealpaan atau ​culpa​. Akan tetapi, terdapat beberapa alasan yang menghapuskan pertanggungjawaban

pidana

dari

seseorang

yang

kesalahan

yang

dilakukannya. Dasar penghapus tersebut dibedakan menjadi dua,yakni dasar pembenar dan dasar pemaaf.

3.4 Penghinaan dan Pencemaran Nama Baik dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pencemaran nama baik diatur di dalam buku dua KUHP tentang kejahatan, tepatnya pada BAB XVI tentang penghinaan. Pengaturan mengenai pengertian pencemaran nama baik dijelaskan di dalam KUHP pada pasal 310 ayat (1). Pasal 310 ayat (1) KUHP berbunyi, “barangsiapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang, dengan menuduh sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam, karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama Sembilan bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah.” Selain itu, berdasarkan pasal 310 ayat (2) KUHP bahwa,

Ibid.,​ hlm. 115.

82

Utrecht, ​Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana I,​ (Bandung: Universitas Padjajaran,

83

1958), hlm. 285.

37


“apabila perbuatan tersebut dilakukan dengan tulisan atau gambaran yang disiarkan, dipertunjukan atau ditempelkan di muka umum, maka yang bersalah, karena pencemaran tertulis, diancam pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah” dan dijelaskan dalam pasal 310 ayat (3) KUHP bahwa, “tidak merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis jika perbuatan terang dilakukan demi kepentingan umum atau karena terpaksa untuk bela diri.” Berdasarkan pasal 310 KUHP, pencemaran nama baik dapat dibedakan menjadi pencemaran dengan lisan yang (pasal 310 ayat 1 KUHP) dan pencemaran dengan surat (pasal 310 ayat 2 KUHP). Selain itu, terdapat unsur-unsur pencemaran nama baik yang didasarkan pada pasal 310 KUHP, yakni dilakukan dengan sengaja, menyerang kehormatan atau nama baik, menuduh melakukan suatu perbuatan, dan menyiarkan tuduhan supaya diketahui umum. Apabila perbuatan pencemaran nama baik hanya diucapkan (menista dengan lisan) maka perbuatan tersebut digolongkan pada pasal 310 ayat (1) KUHP. Akan tetapi, apabila unsur-unsur pencemaran nama baik tersebut dilakukan melalui surat atau gambar yang disiarkan, dipertunjukan atau ditempelkan (menista dengan surat), maka pelaku dapat dijerat dengan 84

pasal 310 ayat (2) KUHP.

Secara singkat dapat dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan pencemaran nama baik adalah menyerang kehormatan atau nama baik seseorang. Pengertian tersebut merupakan pengertian umum ​delik genus dari delik pencemaran nama baik. Sedangkan sifat khusus atau bentuk-bentuk ​delik species dari pencemaran nama baik terdiri dari, pencemaran atau penistaan (pasal 310 ayat 2 KUHP), fitnah (pasal 311 KUHP), penghinaan ringan (pasal 315 KUHP), pengaduan fitnah (pasal 317 KUHP), persangkaan palsu (pasal

84

Reydi Vridell Awawangi, “Pencemaran Nama Baik dalam KUHP dan Menurut UU

No.11 Tahu 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik”, ​Lex Crimen,​ Vol. 3, No. 4, hal. 114.

38


318 KUHP), dan penistaan terhadap orang yang meninggal (pasal 320 KUHP). 85

Dengan adanya pengaturan yang beragam tersebut, terdapat perbedaan antara nama baik dengan kehormatan. Nama baik adalah suatu rasa harga diri atau martabat yang didasarkan pada pandangan atau penilaian yang baik dari masyarakat

terhadap

seseorang

dalam

hubungan

pergaulan

hidup

bermasyarakat. Sedangkan, menyerang kehormatan dapat diartikan sebagai perasaan terhormat seseorang di mata masyarakat atau publik. Menyerang kehormatan, sekalipun yang diserang adalah orang yang hina, berarti melakukan perbuatan menurut penilaian secara umum menyerang kehormatan 86

orang.

Perbuatan menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu harus dilakukan dengan sengaja. Oleh sebab itu, suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai menyerang kehormatan atau nama baik apabila pelaku memang menghendaki adanya akibat yang timbul dari perbuatannya, yakni orang lain yang dituju terserang kehormatan atau nama 87

baiknya. Seseorang yang melakukan tindakan pencemaran, baik secara lisan maupun tertulis, di mana atas tuduhannya ia diizinkan untuk membuktikannya, sementara tuduhan yang dilakukannya itu bertentangan dengan hal yang diketahuinya maka ia telah melakukan fitnah. Akan tetapi, hanya tindak pidana pencemaran dengan alasan tertentu saja yang dapat diizinkan. Izin untuk membuktikan kebenaran tuduhan atas tindak pidana pencemaran hanya dapat diberikan oleh hakim, apabila; tuduhannya dilakukan demi kepentingan umum, dilakukan untuk membela diri, dan dalam hal yang difitnah itu adalah pegawai negeri yang sedang menjalankan tugasnya (Pasal 312 KUHP).

88

85

Mahrus Ali, Pencemaran Nama Baik Melalui Sarana Informasi dan Transaksi Elektronik

(Kajian Putusan MK No.2/PUU-VII/2009), ​Jurnal Konstitusi,​ Vol. 7, No. 6, hal. 126. Ibid.,​ hal. 127.

86

Ibid.,​ hal. 128.

87

Ibid.,​ hal. 129-130.

88

39


BAB IV ANALISIS 4.1. Pemaparan dan Perbandingan Unsur-Unsur Pencemaran Nama Baik di KUHP dan UU ITE 4.1.1. Perbandingan Unsur-Unsur Pencemaran Nama Baik antara KUHP dengan UU ITE

Kriteria

Penjelasan Unsur

Kitab Undang Undang Hukum Pidana

Undang Undang Nomor 11 Tahun 2008

Barangsiapa:

Setiap Orang:

Dengan Sengaja:

Dengan Sengaja

Menyerang kehormatan dan/atau nama baik dengan cara menuduh:

Tanpa Hak

Supaya diketahui umum:

Mentransmisikan dan/atau Dapat

Membuat Diaksesnya

Informasi

Elektronik

dan/atau

Dokumen

Elektronik Memiliki Penghinaan

yang Muatan dan/atau

Pencemaran Nama Baik Ancaman Pidana

9 bulan penjara atau denda

4 tahun penjara dan/atau denda paling banyak Rp750.000.000

40


4.1.2. Unsur-Unsur Pencemaran Nama Baik di KUHP Pencemaran Nama baik di dalam KUHP diatur di dalam Pasal 310 KUHP. Pasal tersebut mengatur mengenai penghinaan khusus berbentuk pencemaran nama baik, selain fitnah dan pengaduan fitnah. Adapun bunyi dari pasal tersebut, yakni: “Barangsiapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran nama baik dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.” Unsur daripada pasal pencemaran nama baik yang diatur dalam KUHP tersebut dapat dijabarkan menjadi empat unsur. Unsur yang tercantum pada pasal tersebut terdiri atas unsur subjektif dan unsur objektif. Unsur subjektif yang terdapat pada pasal tersebut terdiri dari unsur barangsiapa dan dengan sengaja. Unsur objektif yang dikandung dalam pasal tersebut, yakni menyerang kehormatan atau nama baik dengan cara menuduhkan sesuatu hal, supaya diketahui umum. Unsur barangsiapa mensyaratkan bahwa yang dapat memenuhi pasal tersebut, yakni pribadi kodrati (​natuurlijk persoon​) atau badan hukum (​rechtspersoon)​ , kecuali badan hukum privat. Orang yang dimaksud harus mampu bertanggung jawab secara hukum atas tindakannya. Hal tersebut berarti, pelaku ialah orang yang cakap bertindak hukum dan tidak termasuk dalam kriteria yang diatur pada Pasal 44, 45, 48, 49, 50, dan 51 KUHP. Unsur dengan sengaja diartikan sebagai ​dolus.​ Kesengajaan harus mengenai tiga unsur dari tindak pidana, yakni perbuatan yang dilarang, akibat yang menjadi pokok alasan diadakan larangan itu, dan bahwa perbuatan itu melanggar hukum.89 Unsur tersebut dapat

Wirjono Prodjodikoro, ​Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia,​ (Bandung: PT Refika

89

Aditama, 2012), hlm. 66.

41


dibuktikan dengan adanya ​wettens d​ an ​willens​, yakni mengetahui dan menghendaki terjadinya hal yang dilarang tersebut.90 Menyerang kehormatan dan/atau nama baik, menurut R. Soesilo, menyebabkan rasa malu bagi yang diserang. Kehormatan yang diserang di sini hanya mengenai kehormatan tentang nama baik bukan kehormatan dalam lapangan seksual. Perbuatan yang menyinggung kehormatan dalam lapangan seksual ini tidak termasuk dalam kejahatan penghinaan, akan tetapi masuk kejahatan kesopanan atau kejahatan kesusilaan yang tersebut dalam Pasal 281 sampai dengan Pasal 303 KUHP.91 Namun demikian, belum ada takaran yang dapat digunakan untuk mengetahui apakah suatu perbuatan dianggap telah mengakibatkan kehormatan atau nama baik seseorang tercemar. Hal ini tidak diatur dalam pasal-pasal dalam KUHP maupun UU ITE yang juga mengatur mengenai pencemaran nama baik. Menyerang Kehormatan dan/atau nama baik harus dilakukan dengan cara menuduh. Tuduhan yang dimaksud adalah tuduhan yang benar kenyataannya. Apabila tuduhan yang dilontarkan berupa tuduhan yang tidak benar, atau ketika diberi kesempatan oleh hakim untuk membuktikan

kebenaran

tuduhan

terdakwa

tidak

dapat

membuktikannya, maka perbuatan tersebut digolongkan ke dalam perbuatan fitnah sebagaimana diatur di dalam Pasal 311 KUHP.92 Perbuatan yang dituduhkan tersebut tidak harus perbuatan yang dapat dihukum seperti mencuri, tapi cukup perbuatan biasa yang memalukan bagi yang berkepentingan bila diumumkan.93

Andi Hamzah, ​Asas-Asas Hukum Pidana​, (Jakarta:Rineka Cipta, 2010), hlm. 114.

90

R. Soesilo, ​Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta Komentar-Komentarnya

91

Lengkap Pasal Demi Pasal, ​(Bogor: Politea, 2013), hlm. 225. Ibid.,​ hlm. 227.

92

Ibid.,​ hlm 226.

93

42


Pencemaran nama baik dapat terpenuhi apabila tuduhan yang dimaksudkan untuk menyerang kehormatan atau nama baik seseorang tersebut disebarkan di muka umum atau untuk diketahui umum. Umum artinya diketahui oleh banyak orang.94 Hal ini berarti pencemaran nama baik dilakukan sehingga tuduhan tersebut tersiar kepada orang banyak. 95

4.1.3 Unsur-Unsur Pencemaran Nama Baik di UU ITE Pencemaran nama baik dalam UU ITE diatur dalam Pasal 27 Ayat (3). Pasal tersebut mengatur mengenai pencemaran nama baik atau penghinaan dalam bentuk informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik. Pasal tersebut berbunyi: “​Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.” Unsur pertama daripada pasal ini adalah unsur setiap orang yang merupakan unsur subjektif. Unsur ini mensyaratkan bahwa yang dapat memenuhi pasal tersebut adalah pribadi kodrati dan badan hukum. Orang yang dimaksud harus mampu bertanggung jawab secara hukum atas tindakannya. Hal tersebut berarti, pelaku ialah orang yang cakap bertindak hukum dan tidak termasuk dalam kriteria yang diatur pada Pasal 44, 45, 48, 49, 50, dan 51 KUHP. Unsur subjektif selanjutnya adalah unsur dengan sengaja. Unsur sengaja diartikan sebagai ​dolus.​ Kesengajaan harus mengenai tiga unsur dari tindak pidana, yakni perbuatan yang dilarang, akibat yang menjadi pokok alasan diadakan larangan itu, dan bahwa perbuatan itu melanggar

Ibid.,​ hlm. 226.

94 95

Ibid.

43


hukum.96 Unsur tersebut dapat dibuktikan dengan adanya ​wettens ​dan willens​, yakni mengetahui dan menghendaki terjadinya hal yang dilarang tersebut. Sedangkan, unsur tanpa hak ditujukan agar orang yang berhak melakukan perbuatan melakukan mendistribusikan, mentransmisikan, dan membuat dapat diakses Informasi Elektronik tidak dapat dipidana. Namun, UU ITE tidak memberikan keterangan maupun penjelasan mengenai dalam hal apa atau dengan syarat apa orang yang dapat mendistribusikan, mentransmisikan, dan membuat dapat diakses Informasi Elektronik yang isinya bersifat menghina tersebut berhak melakukan.97 Maka dari itu, Pengadilan Negeri Tangerang menekankan bahwa alasan peniadaan sifat melawan hukum diambil dari Pasal 310 Ayat (3) KUHP, yakni apabila dilakukan demi kepentingan umum atau karena terpaksa karena membela diri dan dua keadaan ini lah menjadi alas hak mendistribusikan, mentransmisikan, membuat dapat diakses Informasi Elektronik meskipun isinya bersifat penghinaan.98 Unsur ​mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik. Istilah-istilah tersebut dijelaskan dalam Angka 4 Pasal 27 ayat (1) Penjelasan tentang Undang Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU ITE yaitu:99

Wirjono Prodjodikoro, ​Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia,​ (Bandung: PT Refika

96

Aditama, 2012), hlm. 66. 97

Pengadilan Negeri Tangerang, Putusan Nomor 1269/Pid.B/2010/PN.PNG

98

Ibid.

99

Indonesia, ​Penjelasan Undang-Undang Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik,​

UU No. 19 Tahun 2016 LN RI Nomor 5952, ps. 27.

44


a. Mentransmisikan, yakni ​mengirimkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang ditujukan kepada satu pihak lain melalui Sistem Elektronik. b. Mendistribusikan,

yakni

​mengirimkan

dan/atau

menyebarkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik kepada banyak Orang atau berbagai pihak melalui Sistem Elektronik. c. Membuat Dapat Diaksesnya, yakni ​semua perbuatan lain selain mendistribusikan dan mentransmisikan melalui Sistem Elektronik yang menyebabkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dapat diketahui pihak lain atau publik. Penghinaan atau pencemaran nama baik yang diatur dalam UU ITE merupakan delik aduan sebagaimana diatur dalam KUHP. Karena sifatnya sebagai delik aduan, yang dapat melaporkan tindakan pencemaran nama baik hanyalah korban saja.100 Apabila tidak ada aduan dari korban maka tindakan tersebut tidak dapat diperkarakan ke depan pengadilan. Sebagai delik aduan, penuntutannya digantungkan pada kemauan dan kehendak dari yang terkena tindak pidana atau yang berkepentingan, dengan kata lain yang terkena tindak pidana mempunyai peran menentukan apakah pelaku delik itu dilakukan penuntutan atau tidak.101

4.1.4. Kontradiksi Pencemaran Nama Baik di dalam KUHP dan UU ITE Dr. Brian Amy Prastyo, S.H., M.L.I., LL.​, Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia, menjelaskan mentransmisikan sebagai sebuah istilah teknis suatu informasi terkirim atau dikirim dari satu 100

Indonesia, Putusan Nomor 50/PUU-VI/2008, hlm. 55. Wempi Jh. Kumendong, “Kemungkinan Penyidikan Delik Aduan Tanpa Aduan,” ​Vol.

101

23/No. 9/April/2017 Jurnal Hukum Unsrat (​ 2017), hlm. 54.

45


pihak ke pihak lain. Pihak yang melakukan transmisi adalah orang yang bertanggung jawab atas tindakan tersebut. Oleh karena itu, harus dibedakan antara sumber transmisi dengan siapa yang bertanggung jawab atas transmisi tersebut. Terdapat kemungkinan bahwa pemilik komputer, meskipun bukanlah orang yang mentransmisikan, akan menjadi pihak yang pertama kali tampil sebagai tersangka. Namun, hal tersebut harus dibuktikan di dalam pengadilan siapa yang sebenarnya melakukan transmisi informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang bermuatan pencemaran nama baik tersebut. Dijelaskan kembali bahwa ketentuan pencemaran nama baik pada Pasal 27 Ayat (3) UU ITE merujuk pada ketentuan dalam KUHP.102 ​Pak Brian Amy Prastyo menjelaskan bahwa unsur di muka umum dalam Pasal 310 KUHP sangatlah penting. Hal ini yang menjadikan Pasal 27 Ayat (3) UU ITE bermasalah karena tidak terdapat unsur di muka umum. Pak Brian Amy Prastyo menjelaskan lebih lanjut apa yang termasuk dalam konteks di muka umum adalah ke selain perorangan, misalnya mengirimkan email dalam grup atau ditujukan untuk banyak orang. Tidak ada batasan kuantitatif untuk apa yang dimaksud di muka umum dengan unsur terpenting adalah yang tertuju bukanlah satu individu saja. Tidak terdapat unsur untuk diketahui umum di dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE. Namun demikian, unsur untuk diketahui umum terdapat pada unsur pencemaran nama baik yang diatur di dalam Pasal 310 KUHP. Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, umum berarti mengenai seluruhnya atau semuanya; secara menyeluruh, tidak menyangkut yang khusus (tertentu) saja.103

Wempi Jh. Kumendong, “Kemungkinan Penyidikan Delik Aduan Tanpa Aduan,” ​Vol.

102

23/No. 9/April/2017 Jurnal Hukum Unsrat (​ 2017), hlm. 54. 103

Kamus Besar Bahasa Indonesia, “Umum,” https://kbbi.web.id/umum, diakses pada 29

November 2019.

46


Penjelasan mengenai hal diketahui oleh pihak lain dicantumkan di dalam penjelasan Pasal 27 ayat (3) UU No. 19 Tahun 2016 mengenai mentransmisikan, mendistribusikan, dan membuat dapat diaksesnya informasi elektronik yang bermuatan pencemaran nama baik tersebut. Pada penjelasan mentransmisikan dikatakan bahwa informasi elektronik diberikan kepada satu pihak lain. Mentransmisikan, berdasarkan penjelasan Pasal 27 ayat (3) UU 19 Tahun 2016, merupakan tindakan mengirimkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang ditujukan kepada satu pihak lain melalui Sistem Elektronik. Penjelasan ini dapat diinterpretasikan ke dalam sebuah kasus di mana satu pihak mengirimkan sebuah informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang bermuatan penghinaan mengenai seseorang kepada satu pihak yang lain. Ketika pihak yang dimaksudkan di dalam informasi elektronik

tersebut

mengetahui

akan

perbuatan

pihak

yang

mentransmisikan tersebut, maka dia dapat melaporkan tindakan tersebut sebagai pencemaran nama baik sebagaimana diatur di dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE. Hal ini bertentangan dengan unsur tersiar di muka umum yang diatur di dalam Pasal 310 KUHP yang berbunyi: “Barangsiapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran nama baik dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.� Tidak terdapat kejelasan apakah jika informasi tersebut yang disebarkan hanya kepada satu pihak termasuk ke dalam definisi umum atau tidak. Menurut Pak Brian Amy Prastyo, pencemaran nama baik harus dimaksudkan agar tuduhan yang menyerang kehormatan atau nama baik tersebut diketahui oleh setidak-tidaknya lebih dari satu orang sehingga dapat dikatakan diketahui atau tersiar untuk umum dan tidak bersifat pribadi atau personal. Namun, transmisi yang dimaksud di dalam penjelasan UU No. 19 Tahun 2016 bersifat pribadi karena hanya

47


ditujukan kepada satu pihak lain saja. Jika satu pihak adalah satu orang, maka terdapat kemungkinan penyebar informasi bermuatan penghinaan, meskipun bukan kepada

orang

yang ditujukan untuk dihina,

menyampaikan informasi bermuatan penghinaan tersebut ke satu orang lainnya, yang dimaksud sebagai satu pihak lain, maka memenuhi delik penghinaan. Hal ini menimbulkan ketidakjelasan mengenai batasan apa yang sebenarnya tergolong sebagai pencemaran nama baik di dunia maya. Belum ada penjelasan lebih lanjut mengenai unsur diketahui oleh umum yang terdapat pada rumusan delik pencemaran nama baik di KUHP dan keterkaitannya dengan Pasal 27 ayat (3) UU ITE. Penulis menilai bahwa dengan adanya penjelasan unsur mentransmisikan yang mana informasi elektronik yang mengandung penghinaan atau pencemaran nama baik tersebut yang ditujukan kepada satu pihak lain bertentangan dengan konsep tersiar, diketahui secara umum, yang menimbulkan

kontradiksi

unsur

pada

kedua

peraturan

perundang-undangan tersebut. Oleh karena itu, Pasal 27 ayat (3) UU ITE sebaiknya harus memiliki definisi yang terpisah mengenai pencemaran nama baik dari yang diatur di dalam KUHP mengenai pencemaran nama baik demi terpenuhinya ​lex certa sebagai syarat asas legalitas hukum pidana. 4.​1​.5 Implementasi Pasal Pencemaran Nama Baik dalam UU ITE Dalam menjalankan proses perkara mengenai pencemaran nama baik, tidak jarang perumusan pasal pencemaran nama baik digunakan untuk membungkam kritik dan kebebasan berekspresi terhadap kinerja pemerintah. Pernyataan tersebut didasarkan oleh data ​monitoring jaringan sukarela pembela kebebasan berekspresi dan hak di digital di Asia Tenggara, Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet)​, dimana ​terdapat 245 laporan kasus UU ITE di Indonesia

48


sejak 2008 hingga 26 Juni 2018.104 Karena Pasal 27 Ayat (3) UU ITE merupakan delik aduan, yang dapat melaporkan perbuatan pencemaran nama baik hanya korban atau target dari pencemaran nama baik saja. Berdasarkan data SAFEnet, pejabat negara (kepala daerah, kepala instansi/departemen, menteri, dan aparat keamanan) menjadi pelapor UU ITE terbanyak yaitu sebesar 35,92%. Di posisi kedua, pelapor awam tercatat mencapai 32,24%. Persamaan antara pelapor yang merupakan pejabat negara dengan masyarakat awam adalah kedua kelompok sama-sama banyak menggunakan Pasal 27 Ayat (3) untuk menjerat perbuatan pencemaran nama baik dan unggahan konten bermuatan ujaran kebencian di dunia maya. Selain itu, kedua kelompok tersebut juga paling banyak menjerat terlapor awam yang tercatat sebagai terlapor terbanyak sebesar 29,4%. Perbedaan antara dua kelompok ini terdapat pada motif pelaporannya. Untuk pelapor pejabat negara, motif pelaporan kepada terlapor awam didasarkan pada ujaran ekspresi dan kritik atas kinerja pejabat atau posisi pejabat yang bersangkutan yang diarahkan kepada ujaran kebencian. Sedangkan, motif pelaporan pelapor awam kepada terlapor awam cenderung didasarkan pada intoleransi dan ujaran kebencian. Penegakkan Pasal 27 ayat (3) UU ITE di pengadilan oleh hakim dapat dilihat dari beberapa putusan yang ada mengenai perkara ​aquo​. Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) telah mengkompilasi beberapa

putusan

hakim

yang

patut

diperhatikan

mengenai

implementasi Pasal 27 ayat (3) UU ITE di dalam bidang yudisial.105

104

Scholastica Gerentya, “​Jerat UU ITE Banyak Dipakai oleh Pejabat Negara,”

https://tirto.id/jerat-uu-ite-banyak-dipakai-oleh-pejabat-negara-c7sk, diakses 29 November 2019. Anggara dan rekan, ​Menimbang Ulang Pasal 27 ayat (3) UU ITE dalam Putusan

105

Pengadilan: Pertimbangan Putusan Pengadilan Terkait Penggunaan Pasal 27 ayat (3) UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik di Indonesia,​ (Jakarta: Institute for Criminal Justice Reform, 2016), hlm. 15.

49


Putusan hakim tersebut yang diangkat oleh ICJR dalam tulisannya “Menimbang Ulang Pasal 27 ayat (3) UU ITE dalam Putusan Pengadilan” setidaknya

sebanyak delapan putusan. Salah satu

diantaranya ialah kasus Prita Mulyasari dengan RS. Omni Internasional atas tuduhan pencemaran nama baik yang dilakukan Prita melalui surat elektronik (​mailing list​), kasus Khairudin atas pencemaran nama baik terhadap pelanggaran oleh KPU Kota Bima, dan kasus Arsyad dengan tuduhan pencemaran nama baik melalui status Black Berry Messenger (BBM) terhadap Nurdin Halid di Makasar.106 Pencemaran nama baik yang dilakukan oleh Prita Mulyasari dimulai karena ia merasa tidak puas dengan pelayanan yang diberikan oleh RS. Omni Internasional. Lantas, Prita menuliskan pengalamannya melalui surat elektronik di ​mailing list (milis) yang akhirnya sampai juga ke manajemen Omni Internasional. RS Omni langsung mengambil langkah cepat dengan melaporkan Prita ke polisi atas tuduhan pencemaran nama baik sebagaimana diatur di dalam Pasal 27 ayat (1) UU ITE. Pengadilan pada awalnya memutuskan bahwa Prita tidak bersalah, tetapi Jaksa Penuntut Umum mengajukan kasasi yang diterima di dalam putusan kasasi No.822K/Pid.Sus/2010 yang menyatakan terdakwa bersalah. Lalu dikeluarkan lagi PK 22PK/Pid.Sus/2011 yang menyatakan terdakwa tidak bersalah.107 Pencemaran nama baik yang dilakukan oleh Khairudin terjadi di Kota Bima. Terdakwa didakwa melanggar UU ITE atas dugaan pencemaran nama baik melalui facebook. Khairudin M. Ali adalah koordinator Bidang Pengawasan dan Hubungan Antara Lembaga, Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) Kota Bima. Ia berkomentar lewat

Anggara dan rekan, ​Menimbang Ulang Pasal 27 ayat (3) UU ITE dalam Putusan

106

Pengadilan: Pertimbangan Putusan Pengadilan Terkait Penggunaan Pasal 27 ayat (3) UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik di Indonesia,​ hlm. 26. Ibid.,​ hlm. 30.

107

50


akun facebook atas nama Rangga Babuju tentang dugaan pelanggaran yang kemudian ditanggapi oleh KPU Kota Bima. Ketua KPU Kota Bima, Nurfarhati melaporkannya ke polisi pada Februari tahun 2014. Majelis Hakim memutuskan bahwa terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan menggunakan Pasal 27 ayat (3) jo. Pasal 45 ayat (1) UU ITE jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP.108 Kasus Arsyad di Makassar bermula akibat tulisan status di BBM miliknya yang berbunyi, “​No Fear Nurdin Halid Koruptor!!! Jangan pilih adik koruptor!!!”​. Ia dilaporkan ke polisi oleh Abdul Wahab, anggota DPRD Kota Makassar dari Partai Golkar yang dikabarkan memiliki hubungan kedekatan dengan Nurdin Halid. Arsyad ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan pencemaran nama baik Nurdin Halid pada 13 Agustus 2013. Majelis Hakim menyatakan ia tidak terbukti secara sah melakukan tindak pidana

sesuai dengan tuntutan Jaksa

karena selama Proses persidangan jaksa tidak bisa membuktikan kebenaran status BBM tersebut.109 Pada kasus ini, Abdul Wahab tidak berhak melaporkan tuduhan pencemaran nama baik atas nama Nurdin Halid. Hal ini karena delik tersebut merupakan delik aduan sehingga yang berhak melaporkan ialah pihak yang menjadi korban.

Anggara dan rekan, ​Menimbang Ulang Pasal 27 ayat (3) UU ITE dalam Putusan

108

Pengadilan: Pertimbangan Putusan Pengadilan Terkait Penggunaan Pasal 27 ayat (3) UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik di Indonesia,​ hlm. 30. Ibid.,​ hlm. 26.

109

51


BAB V PENUTUP 5.1. Kesimpulan Keberadaan Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sangat dibutuhkan di masa yang terus mengalami perkembangan teknologi saat ini. Namun, pengaturan undang-undang tersebut masih belum sempurna dan masih dibutuhkan banyak pembenahan lagi. Bagian terkhusus dari UU ITE yang sangat memengaruhi kehidupan berekspresi masyarakat yang seharusnya memberikan perlindungan terhadap tindakan-tindakan yang mencemarkan nama baik malah acap kali salah sasaran sehingga menimbulkan korban. Ketentuan yang masih dinilai kurang jelas menjadi pekerjaan rumah bagi penyusun undang-undang agar peraturan yang dibuat dapat dikonstruksikan lebih baik lagi demi terwujudnya masyarakat yang tertib, damai, dan sehat, terkhusus masyarakat di dunia maya. Pencemaran nama baik melalui sistem elektronik, sebagaimana dimuat di dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE, membutuhkan perhatian lebih dalam rangka membenahi kehidupan hukum di Indonesia. Definisi pencemaran nama baik seharusnya dimiliki secara tersendiri di dalam UU ITE sehingga tidak menimbulkan kontradiksi dan tumpang-tindih terhadap peraturan yang lain, dalam hal ini terhadap Buku II Bab XVI Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tentang Penghinaan, terkhusus pencemaran nama baik. Maksud definisi yang dipermasalahkan di sini, yakni mengenai isu diketahui secara umum, takaran kehormatan atau nama baik yang jelas, serta rumusan yang jelas mengenai apa saja yang termasuk dalam golongan yang berhak dalam menyebarkan informasi elektronik bermuatan penghinaan atau pencemaran nama baik. 5.2. Saran Penulis dapat memberikan saran berdasarkan hasil kesimpulan yang didapat dari tulisan ini. Saran yang dapat dikumpulkan oleh penulis adalah sebagai berikut, yakni:

52


1. Penyusunan UU ITE, terkhusus mengenai pencemaran nama baik sebagaimana diatur di dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE, harus dibenahi lagi. Hal ini guna menjamin kepastian hukum dan menghindari

kriminalisasi kebebasan berpendapat

terhadap

pemerintah dan pejabat negara. 2. Bagi penelitian sejenis agar dapat mencari lebih dalam mengenai konstruksi peraturan perundang-undangan tentang informasi dan transaksi elektronik di negara lain sebagai pembanding bagi regulasi di Indonesia mengenai informasi dan transaksi elektronik, khususnya di bidang perlindungan terhadap penghinaan atau pencemaran nama baik.

53


DAFTAR PUSTAKA Amiruddin, H. Zainal Asikin. ​Pengantar Metode Penelitian Hukum. D ​ epok: PT. Rajagrafindo Persada, 2016. Anggara dan rekan. ​Menimbang Ulang Pasal 27 ayat (3) UU ITE dalam Putusan Pengadilan: Pertimbangan Putusan Pengadilan Terkait Penggunaan Pasal 27 ayat (3) UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik di Indonesia​. Jakarta: Institute for Criminal Justice Reform, 2016. BPHN. P ​ engajian Hukum tentang Konvergensi Telekomunikasi, Informasi, dan Komputer ​(1998) Hamzah, Andi. ​Asas-Asas Hukum Pidana. ​Jakarta: Rineka Cipta, 2010. Indrajit, Richardus Eko Indrajit. ​Sistem Informasi dan Teknologi Informasi. Jakarta: Gramedia, 2000. Mahayana Dimitri. ​Menjemput Masa Depan. Bandung: Remaja Rosda Karya, 1999. Makarim, Edmon. ​Pengantar Hukum Telematika – Suatu Kompilasi Kajian​. Depok: Badan Penerbit FH UI, 2005. Mantri, Bagus Hanindyo. “Perlindungan Hukum terhadap Konsumen dalam Transaksi ​E-Commerce.​ ” Tesis Magister Universitas Diponegoro, Semarang, 2007. Mertokusumo, Sudikno. ​Mengenal Hukum: Suatu Pengantar. ​Yogyakarta: Cahaya Atma Pusaka, 2010. Prodjodikoro, Wirjono. ​Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia​. Bandung: PT Refika Aditama, 2012. Roseneur, Jonathan., ​Cyberlaw: The Law of The Internet.​ Kentfield: 1997. Safitri, Ria. “Undang Undang Informasi dan Transaksi Elektronik Bagi Perguruan Tinggi,” ​Salam: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i. Volume 5 Nomor 3 (2018). Syafriana, Rizka. “Perlindungan Konsumen dalam Transaksi Elektronik,” ​De Lega Lata Volume I (​ 2016).

54


Soekanto, Soerjono. ​Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press), 2006. Sirait, Hasanuddin. ​Sejarah Perkembangan Teknologi Telematika. Manado: STMIK Parna Raya, 2009. Soesilo, R. ​Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal demi Pasal. B ​ ogor: Politeia, 1991. Sugandhi, R. ​Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Berikut Penjelasannya​. Surabaya: Usaha Nasional, 1980. Utrecht. ​Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana I.​ Bandung: Universitas Padjajaran, 1958. Ali, Mahrus. “Pencemaran Nama Baik Melalui Sarana Informasi dan Transaksi Elektronik” (Kajian Putusan MK No.2/PUU-VII/2009), ​Jurnal Konstitusi​, Vol. 7, No. 6. Awawangi, Reydi Vridell. “Pencemaran Nama Baik dalam KUHP dan Menurut UU No.11 Tahu 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik”, ​Lex Crimen​, Vol. 3, No. 4. Fadhillah, Fajri. “Asas Kehati-hatian dalam Hukum Lingkungan Indonesia: Studi Kasus Putusan PTUN Jakarta No.K15/5/2011/PTUN-JKT terkait Izin penempatan Tailing di Dasar Laut oleh PT. Newmont Nusa Tenggara,” Kumendong, Wempi Jh. “Kemungkinan Penyidikan Delik Aduan Tanpa Aduan,” Vol. 23/No. 9/April/2017 Jurnal Hukum Unsrat (​ 2017) Wardoyo, Yohana Puspitasar. “Kepastian Hukum, Kemanfaatan, dan Keadilan terhadap Perkara Pidana Anak,” ​Jurnal Yudisial Vol.8 3​ (Desember 2015). Winarni, Luh Nila. “Asas Itikad Baik sebagai Upaya Perlindungan Konsumen dalam Perjanjian Pembiayaan.” ​Jurnal Ilmu Hukum​ (Februari 2015). Indonesia. ​Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Indonesia. ​Undang Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Indonesia. Putusan Nomor 31/PUU-XIII/2015. Indonesia. ​Undang-Undang Perlindungan Konsumen​, UU No.8 Tahun 1999.

55


Pengadilan Negeri Tangerang. Putusan Nomor 1269/Pid.B/2010/PN.PNG. Indonesia. Putusan Nomor 50/PUU-VI/2008. Centre National de Ressources Textuelles et Lexicales. “​Telematique,​” https://www.cnrtl.fr/definition/t%C3%A9l%C3%A9matique​, diakses pada 13 Juni 2019. Diskominfo Kalimantan Utara, “Sanksi Hukum Pidana UU ITE terkait Aktivitas Hacking​,”​https://diskominfo.kaltaraprov.go.id/sanksi-hukum-pidana-uu-ite -terkait-aktivitas-hacking/​, diakses pada 20 Juni 2019. Gerentya, Scholastica. “​Jerat UU ITE Banyak Dipakai oleh Pejabat Negara,” https://tirto.id/jerat-uu-ite-banyak-dipakai-oleh-pejabat-negara-c7sk, diakses 29 November 2019. Hasanah, Sovia. “Jerat Pidana bagi Pencuri Listrik,” https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt57e52d74742e7/jeratpidana-bagi-pencuri-listrik/​, diakses pada 15 Juni 2019. Kementerian Hukum dan HAM R.I. “Pengenalan Hak Cipta,” http://www.dgip.go.id/pengenalan-hak-cipta​, diakses pada 17 Juni 2019. Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. “Hukum Teknologi Informasi (Telematika),”​http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/hukum-teknologi/668-d inamika-konvergensi-hukum-telematika-dalam-sistem-hukum-nasional.ht ml​, diakses pada 12 Juni 2019. Kamus Besar Bahasa Indonesia. “Umum,” https://kbbi.web.id/umum, diakses pada 29 November 2019. Pemerintah Kabupaten Buleleng. “​HATE SPEECH Definisi Hate Speech,” https://www.bulelengkab.go.id/detail/artikel/hate-speech-definisi-hate-spee ch-66​, diakses pada 20 Juni 2019. Pramesti, Tri Jata Ayu. “Perbuatan-Perbuatan yang Termasuk Pencemaran Nama Baik,” https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt517f3d9f2544a/perbu atan-perbuatan-yang-termasuk-pencemaran-nama-baik​, diakses pada 18 Juni 2019. Riadi, Muchlisin. “Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi

56


Elektronik,”​https://www.kajianpustaka.com/2013/12/undangundang-nomo r-11-tahun-2008.html​, diakses pada 20 Juni 2019. Ramli, Ahmad M. “Pengertian dan Ruang Lingkup Hukum Telematika,” https://docplayer.info/30171274-Pengertian-dan-ruang-lingkup-hukum-tele matika.html#show_full_text​, diakses pada 15 Juni 2019.

57


LAPORAN PENELITIAN Tinjauan Yuridis Normatif Penggolongan Tanaman Ganja sebagai Narkotika Golongan I dalam Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

PENELITIAN MANDIRI BIDANG PENELITIAN LEMBAGA KAJIAN KEILMUAN (LK2) FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS INDONESIA


DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Perumusan Permasalahan 1.3 Tujuan Penelitian 1.4 Kerangka Konsep 1.5 Kegunaan Penelitian 1.6 Metode Penelitian

BAB II PENGGOLONGAN NARKOTIKA DI INDONESIA 2.1

Definisi Narkotika

2.2 Perkembangan Narkotika di Indonesia 2.3 Penggolongan Narkotika di Indonesia

BAB III PERAN KONVENSI TUNGGAL NARKOTIKA 1961 TERHADAP PENGGOLONGAN NARKOTIKA DI INDONESIA 3.1 Sejarah dari Konvensi Tunggal Narkotika 1961 3.2 Penggolongan Narkotika menurut Konvensi Tunggal Narkotika 1961 3.3

Keterkaitan

Konvensi

Tunggal

Narkotika

1961

Penggolongan Narkotika di Indonesia

BAB IV UPAYA REPRESIF TERHADAP PENGGUNA GANJA 4.1 Hukuman bagi Penggunaan Ganja 4.2

Rehabilitasi 4.2.1 Rehabilitasi Sosial 4.2.2 Rehabilitasi Medik

Â

terhadap


BAB V DASAR PERTIMBANGAN PEMERINTAH DALAM PENGGOLONGAN GANJA SEBAGAI NARKOTIKA GOLONGAN I 5.1 Kelebihan dari Penempatan Ganja sebagai Narkotika Golongan I 5.2 Perbandingan Regulasi terkait Ganja di Beberapa Negara 5.3 Kondisi Negara Lain terkait Peraturan Ganja yang Berlaku 5.4 Perkembangan Peraturan mengenai Ganja di Indonesia

BAB VI KONTROVERSI PENGGUNAAN GANJA 6.1 Kondisi Penggunaan Ganja di Indonesia 6.2 Pro dari Penggunaan Tanaman Ganja 6.3 Kontra dari Penggunaan Tanaman Ganja

BAB VII PENUTUP 7.1 Kesimpulan 7.2 Saran


BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika adalah sebuah peraturan yang mengatur tentang penggolongan narkotika berdasarkan kegunaan dari narkotika tersebut. Berdasarkan dari undang-undang tersebut, narkotika adalah sebuah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semi-sintetis yang dalam penggunaannya dapat menuruni atau merubah kesadaran, hilangnya rasa sampai kehilangan rasa nyeri dan juga dapat menyebabkan sebuah ketergantungan dalam 1

penggunaannya. Tanaman ganja atau yang dikenal juga sebagai marijuana adalah salah satu tanaman yang berasal dari tanaman ​Cannabis Sativa​. Dalam UU Nomor 35 Tahun 2009 tersebut, tanaman ganja adalah salah satu jenis narkotika golongan I. Narkotika golongan I dalam UU Nomor 35 Tahun 2009 adalah ​narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan 2

ketergantungan. Hal ini tentu saja membuat tanaman ganja sebagai salah satu narkotika yang dilarang keras dan untuk kebutuhan medis hanya dapat digunakan dalam jumlah yang sangat terbatas bahkan bisa dikatakan tidak bisa sama sekali. Penggolongan ganja ini membuat tanaman ganja memiliki suatu ​stigma bagi masyarakat. Tetapi, dibalik stigma terhadap ganja dikatakan bahwa terdapat juga nilai-nilai positif dari ganja yang belum terekspos dengan adanya perkembangan teknologi. Telah terdapat beberapa pihak yang mulai mencoba mempublikasikan manfaat dari ganja itu sendiri. Hal itu dibuktikan melalui penelitian-penelitian yang telah dilakukan oleh beberapa institusi. Salah satu penelitian yang dilakukan adalah oleh Dr. Dustin Sulak yang merupakan pendiri sebuah institusi bernama ​Healer ​yang merupakan sebuah institusi yang Indonesia, ​Undang-Undang Narkotika, U ​ U No. 35 Tahun 2009, LN No. 143 Tahun 2009, Ps. 1. 2 Ibid., Ps. 6 Ayat (1). 1


memberikan pendidikan terkait ganja dan juga khasiatnya serta melakukan 3

penelitian-penelitian terkait kegunaannya. Berdasarkan hasil-hasil riset yang telah ditemukan oleh Dr. Dustin Sulak, manfaat dari ganja adalah perbaikan kondisi pasien yang terkena penyakit ​multiple sclerosis ​mengalami lebih sedikit kejang otot dan mereka yang mengalami peradangan usus parah bisa kembali makan. Selain itu, ada juga manfaat lain seperti meningkatkan kapasitas paru-paru, mencegah kejang atau epilepsi, mematikan sel kanker, dan masih terdapat banyak 4

lagi manfaat yang belum diketahui. Karena hal ini, telah terdapat beberapa negara yang sudah mulai melegalkan ganja yaitu Kanada. Selain itu, terdapat juga Thailand yang menjadi negara Asia Tenggara pertama yang melegalkan ganja. Permasalahan dari penggolongan ganja sendiri sebagai narkotika golongan I telah menimbulkan suatu kontroversi dalam masyarakat. ​Hal ini dapat dilihat melalui adanya beberapa organisasi yang beranggapan bahwa penggolongan ganja sebagai narkotika golongan I adalah tidak tepat dan menganggap bahwa ganja memiliki banyak manfaat dibandingkan dengan kerugiannya. Salah satu organisasi tersebut yang telah mencanangkan gerakan dalam mendukung pelegalan ganja dalam penggunaan medis adalah Lingkar Ganja Nusantara atau 5

lebih dikenal dengan LGN. LGN adalah organisasi yang berdiri sejak Juni 2010.

LGN sendiri telah melakukan beberapa aksi damai yang dilakukan dengan cara membagikan selembaran-selembaran yang dilakukan di sekitaran bundaran HI 6

yang terletak di Jakarta. Hal ini dilakukan untuk mengubah opini masyarakat tentang hal-hal buruk yang mereka ketahui tentang tanaman ganja. Dengan adanya manfaat ganja dalam kegunaan kepentingan medis ma​ka​, keberadaan ganja sebagai narkotika golongan I dalam UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika perlu dipertanyakan. Apakah dalam hal ini, ganja perlu dipindahkan menjadi narkotika golongan II agar dapat digunakan secara medis? ​“About Healer.com”, Healer, ​diakses pada 11 Mei 2019, ​https://healer.com/about-us/​. Widya Citra Andini, “Manfaat Ganja dalam Dunia Medis Plus Efeknya untuk Kesehatan,” ​https://hellosehat.com/hidup-sehat/fakta-unik/manfaat-ganja-secara-medis/​, diakses pada 20 April 2019. 5 “Sejarah LGN,” LGN, diakses pada 20 April 2019, ​http://www.lgn.or.id/sejarah/​. 6 ​Ibid. 3 4


Jika diadakan perubahan ini, maka tanaman ganja dapat diakses dengan lebih terbuka untuk kepentingan medis karena dalam undang-undang tersebut, narkotika golongan II adalah narkotika yang dapat digunakan untuk kepentingan medis. Ditinjau dari permasalahan dalam latar belakang tersebut, maka penulis ingin menganalisis secara yuridis normatif Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika untuk mengetahui ​tepat atau tidaknya pertimbangan pemerintah dalam menggolongkan tanaman ganja sebagai bagian dari narkotika golongan I serta mengetahui lebih lanjut apakah terdapat regulasi atau peraturan lain dalam penggolongan ganja sebagai bagian dari narkotika. 1.2 Perumusan Permasalahan Berdasarkan latar belakang diatas maka penulisan dari penelitian ini dikhususkan pada rumusan masalah sebagai berikut : 1. Bagaimana dasar pertimbangan pihak pemerintah dalam penggolongan tanaman ganja sebagai narkotika golongan I dalam UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dan regulasi dari negara lain terkait dengan tanaman ganja? 2. Bagaimana pro dan kontra serta upaya yang telah dilakukan terhadap legalisasi ganja?

1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1

Tujuan Umum Penelitian

ini

bertujuan

untuk menganalisis penggolongan

narkotika dalam UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Sehingga dapat dikaji lebih lanjut mengenai penggolongan tanaman ganja sebagai bagian dari narkotika golongan I sesuai dengan UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. 1.3.2

Tujuan Khusus


a. Menjelaskan

dasar

pertimbangan

pihak

pemerintah dalam

menggolongkan tanaman ganja sebagai narkotika golongan I dalam UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. b. Menjelaskan regulasi lain yang berpengaruh dalam penggolongan tanaman ganja sebagai narkotika golongan I.

1.4 Kerangka Konsep Definisi yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah: a. Tanaman Ganja atau ​Marijuana : Tanaman Ganja atau ​Marijuana merupakan suatu jenis obat depresan yang dibuat dari tanaman ​Cannabis Sativa karena ganja dapat mempengaruhi sistem saraf

dengan cara

7

membuat lambat sistem saraf.

b. Narkotika Golongan I : Narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, 8

serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan.

c. Narkotika Golongan II : Narkotika berkhasiat pengobatan digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi 9

mengakibatkan ketergantungan.

1.5 Kegunaaan Penelitian 1.5.1

Kegunaan Teoritis Penelitian ini bermanfaat bagi ilmu hukum, terkhususnya untuk bidang hukum tata negara mengenai kebijakan legislator dalam menggolongkan narkotika. Dengan demikian, ini akan bermanfaat kepada masyarakat Indonesia yang ingin mengetahui latar belakang

7

Rahman Indra, “Mengenali 7 Manfaat dan Bahaya Ganja,” https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20170810210851-255-233888/mengenali-7-manfaat-d an-bahaya-ganja​, diakses pada 20 April 2019. 8 Abi Jam’an Kurnia, “Ini Aturan tentang Penggelongan Narkotika di Indonesia,” https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt5bed2f4b63659/ini-aturan-tentang-penggolon gan-narkotika-di-indonesia#_ftn1​, diakses pada 20 April 2019. 9 ​Ibid.


dari dilakukannya penggolongan tanaman ganja sebagai narkotika terlarang. 1.5.2

Kegunaan Praktis

a. Bagi peneliti, penelitian ini bermanfaat memberikan wawasan dan pengetahuan tentang kebijakan penggolongan tanaman ganja sebagai narkotika golongan I. b. Bagi

pemangku

kebijakan,

penelitian

ini

diharapkan

dapat

memberikan gambaran umum tentang khasiat dari ganja sehingga dapat dijadikan pertimbangan dalam menentukan regulasi terhadap keberadaan tanaman ganja sebagai narkotika. c. Bagi kalangan akademisi dan masyarakat, penelitian ini bermanfaat untuk menambah wawasan mereka terhadap tanaman ganja dan meluruskan miskonsepsi mengenai tanaman ganja yang beredar di masyarakat. d. Dapat digunakan oleh peneliti-peneliti lain dalam menambah bahan penelitian untuk memecahkan permasalahan pro dan kontra dari tanaman ganja.

1.6 Metode Penelitian Menurut Soerjono Soekanto, penelitian adalah penelitian sebagai suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada konstruksi dan analisis yang dilakukan secara metodologis, sistematis, urut, dan konsisten yang bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran suatu isu sebagai suatu manifestasi keinginan 10

manusia yang bertujuan untuk mengetahui apa yang terjadi.

Dalam sebuah penelitian, dibutuhkan suatu metode dalam melakukan penelitian tersebut. ​prosedur, alat, teknik, atau cara bagaimana data dalam 11

penelitian tersebut didapatkan.

​Dilihat dari bentuknya, metode yang

digunakan dalam penelitian ini termasuk dalam penelitian yuridis normatif. 10

Mendy Aisha, “Pengertian Penelitian dan Metode Penelitian,” https://jagad.id/pengertian-penelitian-ilmiah-pendidikan-sosial-dan-metode-penelitian/​, diakses pada 20 April 2019. 11 ​Ibid.


Jenis Penelitian yang akan penulis lakukan adalah penelitian hukum normatif (legal research) atau disebut juga dengan penelitian kepustakaan, yaitu penelitian yang dilakukan dengan pendekatan yuridis normatif yang diteliti adalah bahan pustaka atau data sekunder, yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Dengan penelitian ini, diharapkan dapat memperjelas keberadaan tanaman ganja sebagai narkotika golongan I. H. Jadwal Kegiatan Penelitian

Jadwal Pelaksanaan Penelitian disajikan dalam bentuk tabel, sebagai berikut: Nama Kegiatan

Minggu 1

2

3

Pelaksana 4

5

Kegiatan

Identifikasi Masalah

Peneliti

Pengumpulan data (Melalui

Peneliti

Studi Literatur) Pengolahan Data

Peneliti

Analisis Data

Peneliti

Penulisan Laporan

Peneliti

Finalisasi Laporan

Peneliti


BAB II PENGGOLONGAN NARKOTIKA DI INDONESIA

2.1. Definisi Narkotika Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semi-sintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, kehilangan rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan.12 Hal tersebut terdapat di dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Tetapi, terdapat beberapa definisi lain mengenai narkotika ini sendiri. Misalnya, menurut Djoko Prakoso, Bambang Riyadi, dan Mukhsin yang menyatakan bahwa yang dimaksud dengan narkotika adalah candu, ganja, kokain, zat-zat yang bahan mentahnya diambil dari benda-benda tersebut yakni ​morphine, heroin, codeine, hessisch, dan cocain serta termasuk juga narkotika sintetis yang menghasilkan zat-zat, obat-obat yang tergolong dalam halusinogen dan stimulan.13 Pengertian narkotika juga didefinisikan oleh beberapa ahli lainnya yakni menurut Ghoodse yang mengatakan bahwa narkotika adalah setiap zat kimia yang dibutuhkan untuk merawat kesehatan, saat zat tersebut masuk kedalam tubuh maka akan terjadi suatu perubahan fungsi dalam tubuh.14 Ia juga mengatakan bahwa hal ini dilanjutkan dengan ketergantungan fisik dan psikis pada tubuh, sehingga jika penggunaan dihentikan maka akan terjadi gangguan secara fisik dan psikis. Narkotika sering disamakan dengan psikotropika, tetapi kedua hal ini adalah dua hal yang berbeda. Perbedaan dari kedua hal ini adalah efek dari kedua hal ini. Narkotika dalam penggunaannya akan menyebabkan penurunan atau

12

​Indonesia, ​Undang-Undang Narkotika​, UU No. 35 tahun 2009, L ​ N No. 143 Tahun

2009, ​Ps. 1.

​Damang Averroes Al-Khawarizmi, “Pengertian Narkotika,” http://www.negarahukum.com/hukum/pengertian-narkotika.html​, diakses 2 Juni 2019. 14 ​Liputan6.com, “Pengertian Narkoba Menurut Para Ahli Serta Jenis, Dampak dan Penanganannya,” https://www.liputan6.com/news/read/3867866/pengertian-narkoba-menurut-para-ahli-serta-jenis-d ampak-dan-penanganannya?related=dable&utm_expid=.9Z4i5ypGQeGiS7w9arwTvQ.1&utm_ref errer=https%3A%2F%2Fwww.google.com%2F​, diakses 18 Juli 2019. 13


perubahan kesadaran, dan mehilangkan rasa nyeri.15 Dalam hal ini, pengguna bahkan tidak bisa merasakan apa-apa karena narkotika mempengaruhi sistem saraf. Sedangkan, penggunaan dari psikotropika akan mempengaruhi sistem saraf pusat sehingga pengguna akan mengalami perubahan pada aktivitas mental yang menyebabkan halusinasi, ilusi dan gangguan berpikir.16 Tanaman ganja sendiri termasuk dalam golongan narkotika. Tanaman ganja atau ​marijuana adalah semua tanaman yang memiliki genus ​cannabis dan semua bagian dari tanaman ganja termasuk biji, buah, jerami, hasil olahan tanaman ganja atau bagian tanaman ganja termasuk damar ganja dan hasis.17 Dalam halnya tanaman ganja sebagai narkotika, tanaman ganja merupakan obat depresan yang dibuat dari daun ​cannabis dan disebut sebagai obat depresan karena dapat mempengaruhi sistem saraf sehingga membuat sistem saraf dalam tubuh seseorang menjadi lebih lambat.18 Kandungan zat tetrahidrokanabinol atau yang lebih dikenal dengan THC yang terdapat di dalam tanaman ganja yang membuat tanaman ganja ini menjadi salah satu narkotika yang terlarang di Indonesia. Penggunaan dari ganja ini sendiri dilakukan dengan cara seperti rokok atau dalam bentuk makanan.

2.2 Perkembangan Narkotika di Indonesia Perkembangan narkotika di Indonesia sebenarnya telah terjadi sebelum perang dunia kedua yang merupakan pada masa penjajahan Pemerintahan Belanda. Pada saat itu, Pemerintah Belanda memberikan izin untuk menghisap candu yang dibawa oleh orang-orang China dan pengadaan secara legal

​Ellen Theodora, “Perbedaan Antara Narkotika dan Psikotropika,”​https://www.klikdokter.com/info-sehat/read/3045767/perbedaan-antara-narkotika-da n-psikotropika​, diakses 18 Juli 2019. 16 ​Ibid. 17 ​Indonesia, ​Undang-Undang Narkotika​, UU No. 35 tahun 2009, LN No. 143 Tahun 2009. 18 ​Rahman Indra, “Mengenali 7 Manfaat dan Bahaya Ganja,” https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20170810210851-255-233888/mengenali-7-manfaat-d an-bahaya-ganja​, ​diakses pada 14 Juni 2019. 15


dibenarkan di dalam undang-undang.19 Tetapi, hal ini berubah sejak kedatangan Pemerintah Jepang dimana penggunaan narkotika ini akhirnya dilarang dan dihapuskan dalam undang-undang.20 Pada masa sebelum kemerdekaan sendiri, masyarakat Indonesia sudah menggunakan ganja dalam aktivitasnya sehari-hari. Misalnya saja di daerah Aceh yang pada zaman dahulu menggunakan ganja sebagai salah satu bahan obat dan bahan masakan. Namun, seiring dengan adanya globalisasi,

maka

ganja

ini

disalah

gunakan

sebagai

sarana

untuk

bersenang-senang.21 Setelah kemerdekaan Bangsa Indonesia, pada awalnya permasalahan narkotika ini dianggap oleh pemerintahan orde baru sebagai hal yang kecil dan dapat diatasi melihat dari dasar Indonesia yaitu Pancasila dan Agamis. Tetapi, pemerintah Indonesia lengah dan hal ini membuat perkembangan narkotika di Indonesia menjadi semakin meningkat. Dalam mengatasi hal ini, Pemerintah Indonesia bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat mengesahkan dua undang-undang yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Narkotika dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika.22 Berdasarkan kedua undang-undang tersebut dibentuklah Badan Koordinasi Narkotika Nasional (BKNN) yang kemudian berubah nama menjadi Badan Narkotika Nasional (BNN).23 Sampai saat ini, tercatat bahwa pengguna narkotika di Indonesia telah mencapai sekitar 4 sampai 4,5 juta orang.24 Hal ini dinyatakan oleh Deputi Pemberantasan BNN RI, Irjen Pol Arman Depari pada 8 Februari 2019 yang lalu

​Yudhi, “ Sejarah Singkat Narkoba,” https://dedihumas.bnn.go.id/read/section/artikel/2011/10/31/189/sejarah-singkat-narkoba#​, diakses pada 6 Juni 2019. 20 ​Ibid. 21 Wawancara dengan Bapak Djarot Dimas Achmad Andaru, Dosen Hukum Kesehatan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, tanggal 17 Oktober 2019. 22 ​Tri Septio N, “ Sejarah Narkoba dan Pemberantasannya di Indonesia,” http://www.tribunnews.com/tribunners/2012/05/12/sejarah-narkoba-dan-pemberantasannya-di-ind onesia​, ​diakses pada 6 Juni 2019. 23 ​Ibid. 24 ​Moh Syafii, “ Pengguna Narkoba Tinggi, BNN Optimalkan Peran Keluarga dan Masyarakat,” https://regional.kompas.com/read/2019/02/09/23342401/pengguna-narkoba-tinggi-bnn-optimalkan -peran-keluarga-dan-masyarakat​, diakses pada 6 Juni 2019. 19


saat ditemui di Kabupaten Jombang. Narkotika yang telah beredar di Indonesia sendiri sampai saat ini telah mencapai 74 jenis narkotika tetapi, yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika hanya 64 jenis.25 Hal ini tentu diperlukan suatu pembaharuan dari pemerintahan terutama pembaharuan oleh Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.

2.3 Penggolongan Narkotika di Indonesia Terdapat banyak jenis Narkotika yang tersebar di seluruh dunia. Di Indonesia, narkotika di bagi ke dalam tiga golongan yang terdiri dari golongan I, golongan II, dan golongan III. Pembagian dari golongan narkotika-narkotika ini dibagi berdasarkan dari manfaat dari narkotika tersebut dan juga resiko-resiko yang terdapat di dalam narkotika itu sendiri. Terdapat beberapa narkotika yang memiliki banyak manfaat tetapi ada juga narkotika yang tidak memiliki manfaat sama sekali. Narkotika golongan I adalah narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi serta mempunyai potensi sangat tinggi yang mengakibatkan ketergantungan.26 Contoh dari jenis-jenis narkotika yang termasuk dalam narkotika golongan I adalah opium, kokain, tanaman ganja. Narkotika golongan II adalah narkotika berkhasiat pengobatan digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan.27 Contoh dari narkotika golongan II adalah morfin metobromida, morfina dan ekgonina Terakhir, narkotika golongan III adalah narkotika berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi

​Ibnu Hariyanto, “BNN: Ada 74 Narkoba Jenis Baru di Indonesia,” https://news.detik.com/berita/d-4481994/bnn-ada-74-narkoba-jenis-baru-di-indonesia​, ​diakses pada 6 Juni 2019. 26 ​Abi Jam’an Kurnia, “Ini Aturan tentang Penggelongan Narkotika di Indonesia,” https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt5bed2f4b63659/ini-aturan-tentang-penggolon gan-narkotika-di-indonesia#_ftn1​, diakses pada 6 Juni 2019. 27 ​Ibid. 25


ringan mengakibatkan ketergantungan.28 Contoh dari narkotika golongan III ini adalah etilmorfina, kodeina, polkodina, dan propiram. Ketiga golongan inilah yang memberikan perbedaan di antara narkotika-narkotika yang tersebar di Indonesia.

2.4 Penggolongan Pengguna Narkotika Secara umum, penyalahgunaan narkotika melibatkan 3 (tiga) kelompok pelaku utama yaitu, 1. Produsen (baik jaringan nasional maupun internasional); 2. Pengedar (jaringan produsen dan pengedar lepas yang biasa disebut kurir); 3. Pengguna, yaitu masyarakat dari semua elemen. Sementara,

golongan

pengguna

narkotika

berdasarkan

tingkatan

penyalahgunaannya yakni,29 1. Abstinence,​ yaitu periode dimana seseorang tidak menggunakan narkoba sama sekali untuk tujuan rekreasional. 2. Social use,​ yaitu periode dimana seseorang sudah mulai mencoba narkoba untuk tujuan rekreasional namun tidak berdampak pada kehidupan sosial, finansial, dan juga medis si pengguna. Artinya, si pengguna ini masih bisa mengendalikan kadar penggunaan narkoba tersebut. 3. Early problem use,​ yaitu periode dimana individu sudah menyalahgunakan zat adiktif dan perilaku penyalahgunaan sudah menimbulkan efek dalam kehidupan sosial si penyalahguna seperti malas sekolah, bergaul hanya dengan orang-orang tertentu, dan lainnya. 4. Early addiction​, yaitu kondisi si pecandu yang sudah menunjukkan perilaku ketergantungan baik fisik maupun psikologis, dan perilaku ini mengganggu kehidupan sosial yang bersangkutan. Si pecandu sangat sulit

​Abi Jam’an Kurnia, “Ini Aturan tentang Penggelongan Narkotika di Indonesia,” https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt5bed2f4b63659/ini-aturan-tentang-penggolon gan-narkotika-di-indonesia#_ftn1​, diakses pada 6 Juni 2019. 29 Budi Kurniapraja, Tingkat Penyalahgunaan Narkoba, Media Informasi & Komunikasi: Sinar, Badan Narkotika Nasional, Ed. IX, ISSN 2086-454X, (Depok: PT Trubus Swadaya, 2011), hlm. 45. 28


untuk menyesuaikan dengan pola kehidupan normal, dan cenderung melakukan hal-hal yang melanggar nilai dan norma yang berlaku. 5. Severe addiction, yaitu periode seseorang yang hanya hidup untuk mempertahankan kecanduannya dan sudah mengabaikan kehidupan sosial dan diri sendiri. Pada titik ini, si pecandu sudah berani melakukan tindakan kriminal demi memenuhi kebutuhan konsumsi narkoba. Sementara, Pengguna Narkotika berdasarkan UU Narkotika dibagi menjadi 3 (tiga), yaitu: 1. Pecandu Narkotika Orang yang menggunakan atau menyalahgunakan Narkotika dan dalam keadaan ketergantungan pada Narkotika, baik secara fisik maupun psikis. 2. Penyalah Guna Orang yang menggunakan Narkotika tanpa hak atau melawan hukum. 3. Korban Penyalahgunaan Narkotika Seseorang yang tidak sengaja menggunakan Narkotika karena dibujuk, diperdaya, ditipu, dipaksa, dan/atau diancam untuk menggunakan Narkotika


BAB III PERAN KONVENSI TUNGGAL NARKOTIKA 1961 TERHADAP PENGGOLONGAN NARKOTIKA DI INDONESIA

3.1 Sejarah dari Konvensi Tunggal Narkotika 1961 Konvensi Tunggal Narkotika 1961 adalah awal terbentuknya sebuah hukum internasional terkait narkotika. Konvensi Tunggal Narkotika 1961 ini tidak hanya membahas mengenai definisi dari narkotika itu sendiri tetapi juga penggolongannya dan juga pihak-pihak yang bertanggung jawab atas penggunaan narkotika. Selain itu, Konvensi Tunggal Narkotika 1961 ini juga berisikan upaya kontrol terhadap narkotika yang beredar. Awal dari terbentuknya Konvensi Tunggal ini terjadi pada akhir Perang Dunia II. Pada akhir Perang Dunia II, ketentuan internasional mengenai narkotika diatur dengan sebanyak 6 perjanjian yang merupakan kumpulan dari berbagai konvensi mengenai narkotika yang diadakan antara tahun 1912 hingga 1936, yang pada intinya menyatakan bahwa narkotika hanya boleh digunakan untuk tujuan medis atau ilmiah.30 Aturan-aturan tersebut berhasil mengontrol sebagian besar masalah terkait narkotika di setiap negara, tetapi sistem administrasi yang diterapkan dengan sejumlah peraturan dianggap kurang sempurna dan tidak efektif sehingga membuat hukum itu sendiri menjadi lemah dan inkonsisten.31 Sistem ini juga masih belum mengatur narkotika seperti opium, ganja, dan narkotika Golongan II menurut Konvensi Tunggal Narkotika 1961.32 Oleh karena kekurangan-kekurangan yang telah disebutkan tersebut, dilakukan suatu upaya untuk menangani penggunaan narkotika dalam bentuk suatu konvensi yang kemudian kelak dikenal sebagai Konvensi Tunggal Narkotika 1961. Konvensi Tunggal Narkotika 1961 (​Single Convention on Narcotic Drugs, 1961) ini diselenggarakan pada tanggal 24 Januari hingga 25 Maret 1961 di kantor

​Adolf Lande, “The Single Convention on Narcotic Drugs, 1961.” ​International Organization,​ vol. 16, no. 4, 1962, hlm. 776-777. 31 ​Ibid, ​hlm. 778. 32 ​Ibid, h​ lm. 779. 30


pusat Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), New York, Amerika Serikat.33 Konvensi ini diikuti oleh 184 negara yang dimana Indonesia adalah salah satunya. 34

Berdasarkan persetujuan dalam konvensi tersebut, negara yang mengikuti

konvensi ini harus mengikuti perjanjian. Tetapi, bagi negara yang ingin memperketat

peraturan

yang

sudah

ada

di

negaranya

masing-masing

diperbolehkan. Konvensi ini bertujuan untuk mengekang perdagangan narkotika dan juga mengakhiri penyalahgunaan narkotika.35 Pada konvensi inilah, narkotika pertama kali diklasifikasikan menjadi beberapa golongan.

3.2 Penggolongan Narkotika menurut Konvensi Tunggal Narkotika 1961 Lingkup jenis narkotika yang dibahas pada Konvensi Tunggal Narkotika 1961 hanya terbatas pada narkotika seperti ganja, kokain, dan opium atau narkotika sejenis yang dapat memberikan efek seperti ketiga tersebut.36 Pada konvensi ini, narkotika diklasifikasikan menjadi 4 golongan, yaitu:37 1. Golongan I. Narkotika yang termasuk dalam golongan ini adalah zat yang bersifat adiktif, yang dapat menimbulkan resiko penyalahgunaan yang berat. Tingkat pengendalian pemerintah pada golongan ini sangat ketat, selain itu zat-zat tersebut harus bergantung pada seluruh ketentuan yang berlaku untuk narkotika berdasarkan konvensi ini. Contohnya adalah ganja beserta turunannya, kokain, heroin, metadon, morfin, dan opium. 2. Golongan II. Narkotika yang termasuk dalam golongan ini adalah zat yang biasanya digunakan untuk tujuan medis dan yang menimbulkan resiko penyalahgunaan yang paling rendah. Tingkat pengendalian pemerintah

​United Nations Treaty Collection, “Chapter VI: 15. Single Convention of Narcotic Drugs,” https://treaties.un.org/pages/ViewDetails.aspx?src=TREATY&mtdsg_no=VI-15&chapter=6​, diakses pada 25 Juni 2019. 34 ​FindLaw, “The Single Convention on Narcotic Drugs,” https://criminal.findlaw.com/criminal-charges/the-single-convention-on-narcotic-drugs.html​, diakses pada 25 Juni 2019. 35 ​Ibid. 36 ​World Health Organization, “WHO Work on Controlled Substances,” https://www.who.int/medicines/access/controlled-substances/ecdd/work-on-ecdd/en/​, diakses pada 25 Juni 2019. 37 ​Ibid. 33


terhadap golongan ini tidak seketat Golongan I. Contohnya ​codeine,​ dihydrocodeine,​ dan ​propiram.​ 3. Golongan III. Narkotika yang termasuk dalam golongan ini adalah olahan dari kokain serta olahan dari zat-zat yang termasuk dalam Golongan II. Tingkat pengendalian pemerintah sangat rendah sebab narkotika golongan ini tidak dapat menimbulkan resiko penyalahgunaan sama sekali. Contohnya olahan ​codeine​, ​dihydrocodeine,​ dan ​propiram.​ 4. Golongan IV. Narkotika yang termasuk dalam golongan ini adalah zat yang dianggap paling berbahaya yang termasuk dalam Golongan I terutama yang sangat berbahaya dan hanya boleh digunakan terbatas untuk medis atau terapi. Tingkat pengendalian pemerintah terhadap golongan ini sangat ketat bahkan perlu adanya larangan untuk kegiatan ekonomi yang berkaitan dengan narkotika golongan ini. Narkotika golongan ini hanya boleh digunakan untuk tujuan medis atau penelitian ilmiah. Contohnya ganja serta resin ganja, heroin, dan ​carfentanil​. Berdasarkan dari penggolongan ini, maka urutan dari golongan narkotika yang paling berbahaya adalah narkotika golongan IV, golongan I, golongan II, dan golongan III.

3.3 Keterkaitan Konvensi Tunggal Narkotika 1961 terhadap Penggolongan Narkotika di Indonesia Konvensi Tunggal Narkotika 1961 ini telah lama diprakarsai oleh Pemerintahan Amerika Serikat. Indonesia sendiri telah menindaklanjuti konvensi ini dengan meratifikasi dan menjadikan konvensi tersebut sebagai salah satu bahan pertimbangan dalam pembuatan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Hal ini dibuktikan di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1976 tentang Pengesahan Konvensi Tunggal 1961 beserta Protokol yang Mengubahnya dimana didalam penjelasan dari undang-undang tersebut dikatakan bahwa ketentuan-ketentuan di dalam Konvensi Tunggal tersebut beserta Protokol yang mengubahnya tidak bertentangan dengan kepentingan-kepentingan Indonesia


sehingga ketentuan ini dapat terima dan dipergunakan sebagai dasar dalam penyusunan Undang-Undang Narkotika.38 Selain itu, terdapat ratifikasi yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia maka hal tersebut membuktikan adanya sikap tunduk Pemerintah Indonesia terhadap isi yang terdapat di dalam Konvensi Tunggal tersebut.39 Kedua hal ini membuktikan

bahwa

Pemerintah

Indonesia

dalam

menyusun

isi

dari

Undang-Undang Narkotika terdapat pengaruh dari Konvensi Tunggal Narkotika 1961.

​Indonesia, ​Undang-Undang Pengesahan Konvensi Tunggal Narkotika 1961 beserta Protokol yang Mengubahnya​, UU No. 8 tahun 1976, ​LN No. 36 Tahun 1976, ​TLN No. 3805. 39 ​Patri Handoyo dan Ingrid Irawati Atmosukarto, “​40 Tahun “Perang Melawan Narkotika”​ ​: Pengelolaan Narkotika oleh Negara, Perang Bukan Solusi,” Jurnal Peradilan Indonesia ​5 (Agustus 2016-Januari 2017), hlm. 22. 38


BAB IV UPAYA REPRESIF TERHADAP PENYALAHGUNAAN GANJA

4.1 Ancaman Pidana bagi Penyalahgunaan Ganja Penggunaan Ganja secara ilegal tentu saja akan dikenakan hukuman dikarenakan

hal

ini

merupakan salah satu

tindak

kejahatan menurut

undang-undang yang berlaku di Indonesia. Hal ini dikarenakan ganja yang merupakan narkotika Golongan I yang merupakan narkotika yang ilegal digunakan oleh masyarakat dan hanya dapat digunakan untuk penelitian dalam jumlah yang terbatas. Beberapa pasal yang sering dikenakan oleh Penuntut Umum baik dalam dakwaan maupun tuntutan yakni pasal 111, pasal 112, pasal 114, dan pasal 127 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.40 Pasal-pasal ini akan Penulis uraikan sebagai berikut, Pasal 111 ayat (1) UU Narkotika berbunyi, “Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).”41 Pasal 112 ayat (1) UU Narkotika berbunyi “Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I bukan tanaman, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).”42 Perbedaan dari pasal 111 adalah bentuk narkotikanya berbentuk tanaman atau bukan tanaman.

Supriyadi Widodo Eddyono, Erasmus Napitupulu, Anggara, ​Meninjau Rehabilitasi Pengguna Narkotika dalam Praktik Pengadilan (​ Jakarta, Institute for Criminal Justice Reform, 2016), hlm 23. 41 ​Indonesia, ​Undang-Undang Narkotika,​ ps. 111 ayat (1) 42 ​Ibid, p​ s. 112 ayat (1) 40


Lalu, Pasal 114 ayat (1) UU Narkotika menyatakan bahwa “Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan narkotika Golongan I, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).”43 Sementara, disebutkan bahwa bagi penyalahguna Narkotika Golongan I bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun. Hal ini ditentukan dalam pasal 127. Hal ini menimbulkan kerancuan bagi para penegak hukum dalam menetapkan hukuman. Karena, pada kedua pasal tersebut, orang yang membawa dan memakai narkotika ada di kedua pasal tersebut. Padahal, sanksi kedua pasal tersebut berbeda. Namun, pada praktiknya menurut penelitian Institute for Criminal Justice Reform, p​ encantuman Pasal 111/112 sebagai dakwaan primer/pertama sebanyak 63% dibanding 0% untuk Pasal 127.44 Kemudian pengaturan lainnya yakni Pasal 116 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, setiap orang yang tanpa hak dan melawan hukum menggunakan Narkotika Golongan I terhadap orang lain atau memberikan Narkotika Golongan I untuk digunakan orang lain, dapat dipidana dengan penjara paling singkat lima tahun dan paling lama lima belas tahun.45 Denda yang akan diberikan pun paling sedikit satu miliar rupiah dan paling banyak sepuluh miliar rupiah.46 Jika hal ini menyebabkan kematian atau cacat permanen terhadap korban, maka pelaku akan dikenakan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat lima tahun dan paling lama dua puluh tahun dan pidana denda maksimum sebagai dimaksud pada ayat (1) ditambah sepertiga. 47

Seperti yang dijelaskan pada pasal diatas, penggunaan narkotika sendiri 43 44

hlm. 54. 45

​Ibid., 1​ 14 ayat (1) ​Supriyadi Widodo Eddyono, Erasmus Napitupulu, Anggara, ​Meninjau Rehabilitasi, ​Indonesia, ​Undang-Undang Narkotika,​ UU No. 35 tahun 2009, L ​ N No. 143 Tahun

2009, ​Ps. 116 ayat (1). 46 47

​Ibid. ​Ibid, ​ayat (2).


sejatinya masih diperbolehkan karena terdapat unsur melawan hukum dalam isi pasal tersebut dimana apabila dalam hal terdesak, maka ganja dapat digunakan untuk keperluan tertentu. Oleh karena itu, harus ada pembuktian yang jelas mengenai penggunaan ganja ini sendiri, apakah ini digunakan untuk kepentingan yang mendesak atau hal ini hanya digunakan untuk kepentingan sendiri saja. Jika digunakan untuk kepentingan diri sendiri, maka dapatlah Pasal 116 tadi digunakan dalam menindak pelaku tersebut. Pengguna narkotika khususnya ganja sendiri seperti pada data yang disajikan pada bagian sebelumnya menunjukan angka yang dapat dibilang sangat tinggi. Namun, untuk penindakannya sendiri belum terlalu ketat serta hukuman yang masih belum jelas apabila orang tersebut hanya memakai saja bukan sebagai pengedar. Untuk pengguna sendiri hukuman yang diberikan disesuaikan dengan hasil pembuktian yang dilakukan oleh pihak yang berwenang. Apabila orang tersebut memakai dan mengedarkan, maka orang tersebut mendapat hukuman yang sesuai dengan Pasal 116 Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009.

4.2 Rehabilitasi Rehabilitasi sendiri memiliki banyak definisi yang digunakan. Menurut pasal 1 angka 23 KUHAP adalah “hak seseorang untuk mendapat pemulihan haknya dalam kemampuan, kedudukan, dan harkat serta martabatnya yang diberikan pada tingkat penyidikan, penuntutan atau pengadilan karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.”48 Adapun definisi menurut Soewito sendiri ​ialah segala upaya, baik dalam bidang kesehatan, kejiwaan, sosial, pendidikan, ekonomi, maupun bidang lainnya yang dikoordinir menjadi continous process yang bertujuan untuk memulihkan tenaga penderita cacat baik jasmani maupun rohani, untuk menduduki kembali tempat di masyarakat sebagai anggota penuh yang swasembada, produktif dan berguna bagi masyarakat (rehabilitasi 48

Indonesia, ​Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana​, UU No. 8 tahun 1981, ​LN

No. 76 Tahun 1981,​ ​Ps. 1.


penderita cacat). Rehabilitasi sendiri merupakan salah satu bentuk dari sanksi pidana yang bertujuan untuk mengobati dan memulihkan pengguna. Dari pengertian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa rehabilitasi sendiri merupakan salah satu upaya dalam pemulihan baik itu sosial ataupun medis terhadap pengguna narkoba agar mereka dapat terjun ke dalam masyarakat selayaknya kehidupan pada masyarakat umumnya. Dalam tindak pidana narkotika, berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika terdapat setidaknya 2 (dua) jenis rehabilitasi, yaitu rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. 4.2.1 Rehabilitasi Sosial Seperti yang sudah disinggung pada definisi rehabilitasi, terdapat salah satu langkah dalam rehabilitasi yaitu rehabilitasi sosial. Menurut Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika, rehabilitasi sosial sendiri adalah suatu proses kegiatan pemulihan secara terpadu, baik fisik, mental maupun sosial, agar bekas pecandu Narkotika dapat kembali melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat.49 Dari definisi menurut undang-undang tadi, rehabilitasi sosial sendiri merupakan salah satu upaya dari rehabilitasi sendiri yang bertujuan untuk memulihkan kondisi pengguna dari efek negatif penyalahgunaan narkoba agar nantinya pengguna dapat menjalankan aktivitas sosial di masyarakat dengan normal. Adapun tujuan spesifik rehabilitasi sosial sendiri yaitu: 1. M ​ emulihkan kembali rasa harga diri, percaya diri, kesadaran serta tanggung jawab terhadap masa depan diri, keluarga maupun masyarakat, atau lingkungan sosialnya. 2. Memulihkan kembali kemauan dan kemampuan untuk dapat melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar.50

​Indonesia, ​Undang-Undang tentang Narkotika, ​UU No. 35 Tahun 2009, Ps. 1. ​Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, “​Dasar-Dasar Rehabilitasi dan Pekerjaan sosial”, ​1995. 49 50


Untuk mencapai tujuan di atas, maka diperlukan beberapa tindakan agar tujuan tadi tercapai. Adapun beberapa tindakan tersebut antara lain: 1. Pencegahan51 Pencegahan sendiri bertujuan untuk mencegah timbulnya masalah

daripada

efek

negatif

yang

ditimbulkan

dari

penggunaan narkoba pada seseorang. 2. Tahap Rehabilitasi52 Pada tahap ini, rehabilitasi lebih ditujukan pada pemulihan sosial baik secara individu maupun kelompok. Pemulihan ini sendiri ditujukan agar para pengguna bisa mengembalikan rasa tanggung jawab dan harga diri secara menyeluruh di kehidupan masyarakat. 3. Resosialisasi53 Resosialisasi pada intinya ditujukan agar para pengguna ini dapat kembali berhubungan atau berintegrasi kembali dengan masyarakat. 4. Pembinaan tindak lanjut54 Hal ini bertujuan untuk mengembalikan kondisi seseorang dalam hal ekonomi, sosial, dan lain-lain. 4.2.4 Rehabilitasi Medik Menurut Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika, rehabilitasi medik adalah suatu proses kegiatan pengobatan secara terpadu untuk membebaskan pecandu dari ketergantungan Narkotika.55 Menurut M Minn, rehabilitasi medis adalah ​lapangan spesialisasi ilmu kedokteran baru, berhubungan dengan

penanganan

secara menyeluruh

dari

pasien yang

​ibid. ​ibid. 53 ​ibid. 54 ​ibid. 55 Indonesia, ​Undang-Undang tentang Narkotika, ​UU No. 35 Tahun 2009, Ps. 1. 51 52


mengalami gangguan fungsi/ cedera ​(impairment),​ kehilangan fungsi/cacat ​(disability),​ yang berasal dari susunan otot-tulang (musculos keletal)​, susunan otot syaraf ​(neuromuscular)​, serta gangguan mental, sosial dan kekaryaan yang menyertai kecacatan tersebut.56 ​Rehabilitasi semacam ini biasanya lebih mengarah kepada pemulihan secara medis kepada pengguna yang sudah menggunakan narkotika dengan jangka waktu yang lama. Tentu, apabila narkotika

digunakan

secara berlebihan

juga akan

menimbulkan efek samping bagi tubuh sehingga dibutuhkan pemulihan secara medik. Lalu, tujuan dari rehabilitasi medik ini sendiri yaitu bertujuan agar pasien dapat menjalankan kembali kehidupannya seperti semula tanpa hambatan akibat dari efek samping penggunaan narkotika. Selain untuk mengobati secara medik, rehabilitasi jenis ini juga bertujuan untuk mengembalikan harapan hidup pengguna narkotika. Realisasi dari rehabilitasi ini sendiri dilakukan dengan suatu seleksi terlebih dahulu. Seseorang hanya dapat direhabilitasi apabila ia merupakan seorang pecandu bukan seorang pengedar. Kriteria dari seorang pecandu maupun seorang pengedar sendiri dapat dibedakan dari jumlah narkotika yang dikuasainya.57 Dalam hal ini jika narkotika yang dibawanya tidak lebih dari jumlah maksimum yang telah ditentukan dalam peraturan yang berlaku maka ia bisa saja disebut sebagai pecandu.58 Tetapi, penggolongan seseorang sebagai pecandu tidak hanya melalui jumlah narkotika yang dimilikinya melainkan juga dengan interaksi orang tersebut karena jika diketahui bahwa ia ternyata berinteraksi dengan para

56

“Rehabilitasi Medik Kembalikan Fungsi Tubuh yang Bermasalah”, http://awalbros.com/fisioterapi/pengobatan-rehabilitasi-medik/​, diakses 11 Agustus 2019. 57 Wawancara dengan Bapak Purwoko Nugroho, Penyuluh Badan Narkotika Nasional Kota Depok, tanggal 8 November 2019. 58 ​Ibid.


pengedar lainnya maka dia juga akan dimasukkan sebagai pengedar.59 Tersangka dan terdakwa selama proses peradilan juga dapat ditempatkan di lembaga rehabilitasi medis dan/atau rehabilitasi sosial berdasarkan,60 a. Putusan pengadilan bagi pecandu yang terbukti bersalah melakukan tindak pidana narkotika atau; b. Penetapan pengadilan bagi pecandu narkotika yang tidak terbukti bersalah atau; c. Tersangka yang masih di dalam proses penyidikan atau penuntutan. Hal ini berdasarkan kewenangan dari Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim. Dalam impementasinya, penyidik dan penuntut umum merupakan rekomendasi sekaligus memperkuat rekomendasi tim dokter untuk penetapan hakim.61 Sehingga, penetapan penempatan dalam lembaga rehabilitasi medis dan sosial merupakan peran sentral dari hakim untuk menilai.62

59

Wawancara dengan Bapak Purwoko Nugroho, Penyuluh Badan Narkotika Nasional Kota Depok, tanggal 8 November 2019. 60 Indonesia, Peraturan Presiden tentang Pelaksaan Wajib Lapor Pecandu Narkoba Nomor 25 tahun 2011, PP No. 25 tahun 2011, Ps. 13 ayat (2) 61 Mahkamah Agung, Surat Edaran Mahkamah Agung tentang Penempatan Korban Penyalahgunaan Narkotika di Lembga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial No.3 tahun 2011,​ SEMA No. 3 tahun 2011. 62 Ibid.


BAB V DASAR PERTIMBANGAN PEMERINTAH DALAM PENGGOLONGAN GANJA SEBAGAI NARKOTIKA GOLONGAN I

5.1 Kelebihan dari Penempatan Ganja sebagai Narkotika Golongan I Terdapat kelebihan dari penempatan tanaman ini sebagai Narkotika Golongan I. Hal ini dikarenakan tanaman ganja tergolong sebagai narkotika yang memiliki tingkat ketergantungan yang cukup tinggi. Menurut Kepala Pusat Laboratorium Narkotika Badan Narkotika Nasional Brigjen Pol. Mufti Djusnir, tanaman ganja telah dimasukkan sebagai Narkotika Golongan I dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 karena alasan bahwa penyelewengan dari tanaman ganja ini akan memberikan manfaat buruk yang lebih banyak ketimbang dengan manfaatnya.63 Selain itu, ia juga mengatakan bahwa terdapat banyak pihak yang menggunakan ganja untuk tujuan penyalahgunaan ketimbang untuk penggunaan medis. Peredaran dari tanaman ganja ini adalah sesuatu yang harus sangat dikontrol jika memang tanaman ganja akan digolongkan sebagai Narkotika Golongan II atau III. Hal ini dikarenakan tanaman ganja jika disalahgunakan akan menimbulkan beberapa efek samping yang cukup buruk. Beberapa efek samping tersebut akan berpengaruh terhadap otak, jantung, dan tulang. Terhadap otak, efek akan berpengaruh terhadap sistem saraf dan akan mengakibatkan halusinasi. Jika di konsumsi dalam frekuensi yang sering dan dalam jumlah yang cukup banyak bahkan tanaman ganja ini dapat menyebabkan rusaknya daya ingat seseorang.64 Terhadap jantung, tanaman ganja ini dapat menyebabkan meningkatnya detak jantung dua puluh sampai lima puluh kali lebih banyak per menitnya. Dengan meningkatnya detak jantung yang signifikan ini

63

Ade Indra Kusuma, “Masuk Golongan I, Ganja di Indonesia Tak Akan Pernah Dijadikan Obat Medis,” https://www.suara.com/health/2019/08/01/054514/masuk-golongan-1-ganja-di-indonesia-tak-akan -pernah-dijadikan-obat-medis​, diakses pada 2 Agustus 2019. 64 Widya Citra Andini, “Manfaat Ganja dalam Dunia Medis Plus Efeknya untuk Kesehatan,” ​https://hellosehat.com/hidup-sehat/fakta-unik/manfaat-ganja-secara-medis/​, diakses pada 2 Agustus 2019.


dapat menyebabkan serangan jantung.65 Terakhir, efek tanaman ganja jika digunakan secara berlebihan dapat menyebabkan turunnya kepadatan tulang seseorang yang dapat mengakibatkan resiko dari osteoporosis meningkat.66

5.2 Perbandingan Regulasi terkait Ganja di Beberapa Negara Terdapat beberapa negara lain selain negara Indonesia yang melarang ganja sepenuhnya yaitu sebagai berikut,67 1. Afghanistan​, ​Albania​, ​Algeria​, ​Andorra​, ​Armenia​, ​Azerbaijan 2. Bahamas​, ​Bahrain​, ​Barbados​, ​Belarus​, ​Benin​, ​Bhutan​, Bosnia and Herzegovina, ​Botswana​, ​Brunei​, ​Bulgaria​, ​Burkina Faso​, ​Burundi 3. Cameroon​, ​Cape Verde​, ​Central African Republic​, ​Chad​, People’s Republic of ​China​, ​Comoros​, Democratic Republic of the Congo, Republic of the Congo, ​Cuba 4. Djibouti​, ​Dominica​, ​Dominican Republic 5. East Timor, ​El ​Salvador​, ​Equatorial ​Guinea​, ​Eritrea​, ​Ethiopia 6. Fiji 7. Gabon​, ​Gambia​, ​Ghana​, ​Greenland​, ​Grenada​, ​Guatemala​, Guinea, GuineaBissau​, ​Guyana 8. Haiti​, ​Honduras​, ​Hong Kong​, ​Hungary 9. Iceland​, ​Indonesia​, ​Iraq​, ​Ireland​, ​Ivory Coast 10. Japan​, ​Jordan 11. Kenya​, ​Kiribati​, Kosovo, ​Kuwait​, ​Kyrgyzstan 12. Latvia​, ​Lebanon​, ​Liberia​, ​Libya​, ​Liechtenstein​, ​Lithuania 13. Macau​, ​Madagascar​, ​Malaysia​, ​Malawi​, ​Maldives​, ​Mali​, ​Marshall Islands​, Mauritania​, ​Mauritius​, ​Micronesia​, ​Monaco​, ​Mongolia​, ​Montenegro​, Mozambique 14. Namibia​, ​Nicaragua​, ​Niger​, ​Nigeria ​Ibid. Widya Citra Andini, “Manfaat Ganja dalam Dunia Medis Plus Efeknya untuk Kesehatan,” ​https://hellosehat.com/hidup-sehat/fakta-unik/manfaat-ganja-secara-medis/​, diakses pada 2 Agustus 2019. 65 66

67


15. Oman 16. Palau​, ​Panama​, ​Papua New Guinea​, ​Philippines 17. Qatar 18. Rwanda 19. Saint Kitts and Nevis, ​Saint Lucia​, Saint Vincent and the Grenadines, Samoa​, Sao Tome and Principe, ​Saudi Arabia​, ​Senegal​, ​Serbia​, ​Seychelles​, Sierra Leone​, ​Singapore​, ​Slovakia​, ​Solomon Islands​, ​Somalia​, ​South Korea​, ​South ​Sudan​, Sudan, ​Suriname​, ​Swaziland​, ​Sweden​, ​Syria 20. Taiwan​, ​Tajikistan​, ​Tanzania​, ​Togo​, ​Tonga​, Trinidad and Tobago, ​Tunisia​, Turkmenistan​, ​Tuvalu 21. Uganda​, ​United Arab Emirates​, ​Uzbekistan 22. Vatican City​, ​Venezuela 23. Yemen 24. Zambi​a Sementara, hanya beberapa negara di dunia yang sudah melegalkan ganja atau hanya untuk kepentingan tertentu. Negara-negara yang telah melegalkan ganja baik secara terbatas maupun bebas yaitu Belanda, Jerman, Argentina, Meksiko, Peru, Uruguay, Kolombia, Kanada, dan beberapa daerah di Amerika Serikat seperti Colorado, Washington dan beberapa negara bagian lainnya. Selain itu, terdapat juga negara-negara lainnya. Berikut regulasi di negara-negara tersebut.

1. Belanda Hingga saat ini peredaraan ganja di Belanda tidak menyatakan bahwa ganja adalah legal sepenuhnya. Bahkan, revisi tahun 1976 terhadap UU Opium Belanda menempatkan ganja ke dalam status ilegal dan ada ancaman hukuman bagi produsen, penjual, serta penggunanya. Namun, pemerintah Belanda meregulasi ganja yang dapat digunakan atau dikonsumsi oleh masyarakat. Ide penerapan regulasi ​coffee shops dimulai sejak tahun 1976 dimana Belanda telah menjadi negara terdepan dalam mereformasikan

Undang-Undang

Narkotika

negaranya

dengan


membedakan antara golongan narkotika ringan dan golongan narkotika berat.68 Bagi negara Belanda pengguna ganja adalah bukan ancaman melainkan sumber pemasukan negara. Sehingga masyarakat dapat membeli dan menggunakan ganja di sana. Tidak terbatas pada umur tertentu yaitu hanya anak muda, tetapi pasangan kakek-nenek juga menjadi pemandangan yang sering dijumpai di toko kopi​. Kementerian Kesehatan, Kementerian Keadilan, dan Kementerian Dalam Negeri Belanda memberikan laporan yang menarik mengenai fenomena toko kopi, mereka sepakat bahwa cara paling ampuh untuk melepas ketergantungan dari organisasi kriminal adalah dengan meregulasi sistem pertanian ganja.69 Selain itu, laporan ini juga menggarisbawahi kesuksesan sistem toko kopi dalam mencegah masyarakat menggunakan "hard drugs".70 Sehingga di Belanda, tanaman ganja dapat dibeli dan dikonsumsi secara langsung di kedai ganja. Tetapi, penggunaan di luar kedai ganja tersebut merupakan hal yang ilegal.71 Meski begitu, bukan berarti pemerintah Belanda benar-benar membebaskan penggunaan ganja, pengedaran yang sistematis, serta ekspor-impor, pelakunya akan tetap dapat dipenjara. Pemerintah Belanda membuat pengawasan yang sangat ketat terhadap peredaran obat-obatan. 2. Jerman Sejak tahun 2017, Parlemen Jerman mengesahkan penggunaan ganja medis untuk penyakit-penyakit serius seperti kanker, sklerosis atau pengerasan pembuluh darah, epilepsi, dan juga mual kronis akibat dari

​“Negara-Negara di Dunia yang Sudah Melegalkan Ganja,” LGN, diakses pada 10 Agustus 2019, ​http://www.lgn.or.id/negara-negara-di-dunia-yang-sudah-melegalkan-ganja/​. 69 Fadli Abdul Ghani, “ Studi Komparatif Pengaturan dan Peredaran Ganja di Indonesia dengan Belanda”, ​Prosiding Ilmu Hukum, Vol. 4, No. 2​, (Tahun 2018), hlm. 1015. 70 ibid,​ hlm. 1013 71 Eka Yudha Saputra, “Ganja Legal di Kanada, Saran PM Belanda: Jangan Pernah Mencoba,” https://dunia.tempo.co/read/1140533/ganja-legal-di-kanada-saran-pm-belanda-jangan-pernah-menc oba​, diakses pada 10 Agustus 2019. 68


kemoterapi.72 Izin ini disetujui secara penuh oleh anggota dewan yang berarti memungkinkan bagi dokter di Jerman untuk memberikan resep ganja kepada pasien.73 Tetapi, penggunaan ganja untuk merokok termasuk dengan izin dokter dan penyalahgunaan narkotika tidak diperbolehkan. Legalisasi ganja medis ini tidak hanya memberikan manfaat kepada para pasien, tetapi Perusahaan asing atau investor (luar Jerman) juga mendapatkan keuntungan dari legalisasi tersebut. Keuntungan tersebut dapat dilihat dari besarnya jumlah ganja medis yang diimpor oleh Belanda dan Kanada.74 Belum lama ini, pemerintah Jerman baru saja mengeluarkan lisensi untuk produksi ganja medis professional. Lisensi ini diberikan kepada tiga perusahaan ganja Kanada yaitu Aphria Inc, Aurora Cannabis, dan Wayland Group yang bekerjasama dengan perusahaan dalam negeri Demecan.75 3. Argentina Pada saat ini, Argentina telah menjadi salah satu negara yang melegalkan penggunaan minyak ganja untuk kegunaan medis. Peraturan yang berlaku di Argentina sejak 2017 ini memperbolehkan penggunaan minyak ganja untuk penyakit saraf seperti epilepsi.76 Tidak hanya itu, peraturan ini memperbolehkan penanaman tanaman ganja sebagai bahan penelitian.77 4. Meksiko

72

Endro Priherdityo, “Jerman Mengizinkan Penggunaan Ganja untuk Medis,” https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20170120102228-255-187652/jerman-mengizinkan-pe nggunaan-ganja-untuk-medis​, diakses pada 10 Agustus 2019. 73 ​Ibid. 74 Simon mosser, “​How Far is Germany from Legalising Marijuana?,” https://straininsider.com/germany- marijuana-legalisation/​, diakses 19 Agustus 2019 75

​ibid

76

Muhammad Reza Sulaiman, “Argentina Legalisasi Penggunaan Minyak Ganja untuk Pengobatan,” https://health.detik.com/berita-detikhealth/d-3460111/argentina-legalisasi-penggunaan-minyak-gan ja-untuk-pengobatan​, diakses pada 10 Agustus 2019. 77 ​Ibid.


Pada tahun 2009, Meksiko mengesahkan kepemilikan tanaman ganja sebanyak lima gram.78 Tetapi, keputusan ini kemungkinan akan diubah seperti yang dilansir oleh Kompas Internasional yang menyatakan bahwa Pemerintah Meksiko kemungkinan akan mempertimbangkan mengikuti jejak Kanada sebagai negara yang melegalkan penggunaan tanaman ganja rekreasi.79 5. Peru Sejak tahun 2017, Peru telah melegalkan ganja dalam bentuk minyak ganja yang dapat digunakan tidak hanya untuk medis tetapi, juga untuk diperjual belikan. Hal ini terjadi setelah Presiden Pedro Pablo Kuczynski mengajukan kebijakan tersebut setelah polisi menggerebek sekelompok ibu membuat ganja untuk mengobati anak-anaknya yang mengalami epilepsi.80 6. Uruguay Uruguay telah melegalkan penggunaan ganja rekreasi dalam jumlah yang sedikit sejak tahun 1974. Namun, proses jual beli dari tanaman ganja ini sendiri baru saja di legalkan pada tahun 2013. Di Uruguay sendiri, wacana untuk melegalkan ganja telah dilakukan sejak awal tahun 2000. Hal tersebut baru diwujudkan pada masa pemerintah Presiden Jose Mujica di tahun 2013 dimana pada akhirnya ganja dilegalkan untuk diproduksi, dijual belikan, dan juga untuk konsumsi.81 7. Kolombia

78

“Pengadilan Meksiko Melegalisasi Penggunaan Ganja,” BBC, diakses pada 10 Agustus 2019, ​https://www.bbc.com/indonesia/dunia/2015/11/151105_dunia_meksiko_mariyuana​. 79 Agni Vidya Perdana, “Meksiko Pertimbangkan Ikuti Jejak Kanada untuk Melegalkan Ganja,” https://internasional.kompas.com/read/2018/10/24/14342891/meksiko-pertimbangkan-ikuti-jejak-k anada-untuk-melegalkan-ganja​, diakses pada 10 Agustus 2019. 80 An Uyung Pramudiarja, “Peru Legalkan Ganja Medis,” https://health.detik.com/berita-detikhealth/d-3694013/peru-legalkan-ganja-medis​, diakses pada 10 Agustus 2019. 81 Cruz dan Jose Miguel, “​Saying No to Weed: Public Opinion Towards Cannabis Legalisation in Uruguay,” Drugs: Education, Prevention & Policy 25 ​(Januari 2016- Oktober 2016), hlm. 68.


Pada tahun 2015, Presiden Kolombia Juan Manuel Santos melegalkan pembudidayaan tanaman ganja dan penjualan ganja untuk keperluan medis.82 Namun, pemerintah Kolombia menegaskan bahwa penggunaan hanya boleh untuk keperluan medis dan bukan untuk rekreasi. Selain itu, penanaman ganja sebagai produksi memerlukan suatu izin kepada Dewan Narkotika Nasional untuk lisensi.83 8. Kanada Kanada adalah negara kedua setelah Uruguay yang melegalkan ganja untuk kepentingan medis dan rekreasi. Hal ini terjadi pada tahun 2018, dimana regulasi baru yang mengatur hal tersebut menyatakan bahwa warga Kanada yang telah berusia diatas 18 tahun diizinkan untuk membeli hingga tiga puluh gram ganja dan setiap rumah diperbolehkan menanam empat pohon ganja.84 9. Amerika Serikat Di Amerika Serikat sendiri, terdapat beberapa negara bagian yang telah melegalkan ganja. Salah satu contohnya adalah seperti di Colorado, Sejak 6 Desember 2012 ganja telah dilegalkan untuk penggunaan pribadi bagi mereka yang telah berusia dua puluh satu tahun keatas.85 Selain itu, menanam ganja juga diperbolehkan sampai enam batang di ruang tertutup. 86

5.3 Kondisi Negara Lain terkait Peraturan Ganja yang Berlaku Peraturan yang berlaku di setiap negara tentunya berbeda-beda, ada yang melegalkan ganja sebagai obat untuk menyembuhkan penyakit tertentu, ada yang

82

Tanti Yulianingsih, “Colombia Legalkan Ganja untuk Obat,” https://www.liputan6.com/global/read/2396826/colombia-legalkan-ganja-untuk-obat​, diakses pada 10 Agustus 2019. 83 ​Ibid. 84 Agni Vidya Perdana, “Hari ini, Kanada Resmi Legalkan Ganja untuk Rekreasi,” https://internasional.kompas.com/read/2018/10/17/12510531/hari-ini-kanada-resmi-legalkan-ganja -untuk-rekreasi​, diakses pada 10 Agustus 2019. 85 “Negara-Negara di Dunia yang Sudah Melegalkan Ganja,” LGN, diakses pada 10 Agustus 2019, ​http://www.lgn.or.id/negara-negara-di-dunia-yang-sudah-melegalkan-ganja/​. 86 ​Ibid.


melegalkan ganja untuk rekreasi, ada juga yang melegalkan ganja seutuhnya untuk kedua hal tersebut, dan ada yang sama sekali mengilegalkan ganja untuk keperluan apapun. Uruguay, merupakan negara pertama di dunia yang memutuskan untuk melegalkan ganja seutuhnya. Ganja dapat dibeli dengan mudah pada apotik-apotik di sana dengan harga yang jauh lebih murah dari perdagangan gelap, produksi dan penjualan ganja juga sangat bebas, namun pemasangan iklan untuk ganja masih belum diizinkan karena dapat menghasut orang yang bukan pengguna ganja.87 Menurut mereka, dengan menerapkan sistem kebebasan yang terkontrol bekerja lebih baik daripada sistem larangan.88 Pemerintah Uruguay juga membatasi jumlah ganja yang dapat dijual setiap minggunya untuk menghindari banyaknya warga negara lain yang datang ke Uruguay sebagai pelarian untuk menikmati ganja.89 Hingga saat ini, orang-orang miskin yang biasanya dipenjara karena ganja kini juga sudah berkurang akibat peraturan ini.90 Negara kedua yang melegalkan ganja seutuhnya adalah Kanada.91 Berbagai

makanan

dan

minuman,

seperti

Coca Cola pun

berencana

mengembangkan minuman berganja.92 Perekonomian di Kanada juga diperkirakan meningkat sebanyak 1.1 milyar dolar Amerika (kira-kira Rp 16,7 triliun).93 ​Selain itu, Thailand yang terkenal akan Undang-Undang Narkotika-nya yang sangat ketat dan kejam pada akhir tahun 2018 mengumumkan bahwa negara itu telah melegalkan ganja untuk tujuan kesehatan.94 Thailand juga merupakan negara

87

Ibob Astuga, “Belajar Regulasi Ganja dari Uruguay (1)” http://www.lgn.or.id/belajar-regulasi-ganja-dari-uruguay-1/​ diakses 11 Agustus 2019. 88 Ibob Astuga, “Belajar Regulasi Ganja dari Uruguay (1)” http://www.lgn.or.id/belajar-regulasi-ganja-dari-uruguay-1/​ diakses 11 Agustus 2019. 89 ​Ibid. 90 Ibob Astuga, “Belajar Regulasi Ganja dari Uruguay (2)” http://www.lgn.or.id/belajar-regulasi-ganja-dari-uruguay-2/​ diakses 11 Agustus 2019. 91 BBC, “Kanada Resmi Legalkan Penggunaan dan Penjualan Ganja” https://www.bbc.com/indonesia/dunia-45885844​ diakses 11 Agustus 2019. 92 Bernhart Farras, “Legalkan Ganja, Ekonomi Kanada Raup Rp 16 T”, https://www.cnbcindonesia.com/news/20181017162111-4-37795/legalkan-ganja-ekonomi-kanadaraup-rp-16-t​ diakses 11 Agustus 2019. 93 ​Ibid. 94 Reuters, “​'Hadiah' Tahun Baru, Thailand Sepakat ganja Legal Jadi Obat”, https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20181225185736-255-356287/hadiah-tahun-baru-thail and-sepakat-ganja-legal-jadi-obat​ diakses 11 Agustus 2019.


pertama di Asia Tenggara yang melegalkan ganja untuk hal tersebut.95 Walaupun saat ini banyak yang bingung akan siapa saja yang boleh menggunakan ganja, namun beberapa dari keluarga pasien yang menderita rasa sakit, depresi, hingga kanker mengaku bahwa minyak ganja yang diproduksi mereka secara pribadi sangat ampuh dalam mengobatinya, justru minyak ganja tersebut dikatakan memiliki lebih banyak manfaat daripada risiko yang mungkin terjadi.96

5.4 Perkembangan Peraturan mengenai Ganja di Indonesia Sejak dahulu, masyarakat Indonesia telah menggunakan ganja dalam kehidupannya, baik

sebagai bumbu masakan, untuk kepentingan ritual

keagamaan, ataupun tujuan kesehatan.97 Terutama oleh masyarakat pada bagian barat Sumatera, yaitu Aceh98 dan pada beberapa daerah di Jawa.99 Hal ini diketahui dari adanya istilah ‘ganja’ yang dikenal dalam bahasa Jawa, seperti ganja, gandja, gendji100 dan juga ditemukannya beberapa tanaman ganja yang ditanam di sana. Seiring berjalannya waktu, tepatnya pada tahun 1927, ganja tidak lagi dipergunakan dengan sepantasnya. Penyalahgunaan ganja selain untuk tujuan tradisi maupun kesehatan pun banyak terjadi di dunia internasional. Banyak pengguna, terutama dari kalangan menengah, ditemukan telah candu dengan ganja dan dikatakan dapat membahayakan masyarakat Indonesia. Maka itu, pemerintah Belanda yang saat itu sedang menguasai tanah Indonesia membuat peraturan mengenai kriminalisasi ganja dengan mengeluarkan Ordonansi Obat Bius (​Verdoovende Middelen Ordonnantie​), pada Staatsblad Nomor 278 jo. 536 Tahun ​Ibid. Voa, “Legalisasi Ganja untuk Pengobatan Medis Timbulkan Kebingungan di Thailand”, https://www.voaindonesia.com/a/legalisasi-ganja-untuk-pengobatan-medis-timbulkan-kebingunga n-di-thailand/4930154.html​ diakses 11 Agustus 2019. 97 Reza Gunadha dan Erick Tanjung, “Membongkar Mitos, Mereka Ingin Ganja Dilegalkan di Indonesia”, https://www.suara.com/news/2019/05/06/081500/membongkar-mitos-mereka-ingin-ganja-dilegalk an-di-indonesia​ diakses 10 Agustus 2019. 98 Dania Putri dan Tom Blickman, “Ganja di Indonesia: Pola Konsumsi, Produksi, dan Kebijakan”, ​Transnational Institute: Drug Policy Briefing​, (Januari, 2016), hlm. 2. 99 ​Ibid, h​ lm. 3. 100 ​Ibid. 95 96


1927.101 Peraturan itu melarang ekspor, impor, kepemilikan, pengolahan, penggunaan, dan budidaya ganja dengan hukuman berupa denda atau penjara.102 Setelah Indonesia merdeka, pemerintah Indonesia kala itu memilih untuk mengadopsi peraturan ganja yang dibuat oleh Belanda. Pada masa itu, ganja masih dipandang sebagai masalah kecil di Indonesia karena adanya anggapan bahwa masyarakat Indonesia ber-Pancasila dan agamis.103 Pandangan itu justru salah dan bahkan pada tahun 1970-an, ganja di Indonesia menjadi masalah besar yang sifatnya nasional. Ordonansi Obat Bius juga tidak bisa lagi berlaku karena tidak dapat mengejar perkembangan zaman yang terjadi dalam melakukan kejahatan narkotika. Oleh karena itu, pada tahun 1976 muncul-lah Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika. Undang-Undang tersebut membatasi penggunaan ganja hanya untuk kepentingan medis dan penelitian serta melarang penggunaan pribadi, budidaya, produksi, kepemilikan dan distribusi dalam skala kecil, pengedaran, dan penyelundupan ganja.104 Hukuman yang dijatuhkan masih berupa denda atau penjara, namun dengan kuantitas yang lebih berat dari peraturan sebelumnya. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 kemudian diperbarui dan digantikan

menjadi

Undang-Undang

Nomor

22

Tahun

1997

sebab

Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 dianggap kurang efektif dalam mengendalikan, mencegah, serta memberantas kejahatan narkotika yang sudah berkembang pesat dan bersifat transnasional yang dilakukan dengan menggunakan modus operandi maupun teknologi-teknologi canggih.105 Undang-Undang yang baru ini sudah membagi narkotika menjadi beberapa golongan. Narkotika 101

Milyardi Gagah Diningrad, “Pertimbangan Hakim Menolak Kasasi Dalam Kasus Narkotika (Studi Kasus Putusan No. 2338/K.Pid.Sus/2013 Mahkamah Agung Republik Indonesia)”,​Chapter I​ I, (Repository USU, 2015), hlm. 46. 102 ​Dania Putri dan Tom Blickman, “Ganja di Indonesia: Pola Konsumsi, Produksi, dan Kebijakan”, ​Transnational Institute: Drug Policy Briefing​, (Januari, 2016), hlm. 11. 103 ​Day Firman, “Narkoba, Ancaman Nirmiliter yang Nyata” https://www.kompasiana.com/dayfirman/5500a417a333115b735116db/narkoba-ancaman-nirmilite r-yang-nyata​ diakses 10 Agustus 2019. 104 Dania Putri dan Tom Blickman, “Ganja di Indonesia: Pola Konsumsi, Produksi, dan Kebijakan”, ​Transnational Institute: Drug Policy Briefing​, (Januari, 2016), hlm. 11. 105 Penjelasan atas UU RI No. 22 tahun 1997 tentang Narkotika: Umum


golongan I sangat dibatasi penggunaannya dan hanya boleh digunakan untuk tujuan penelitian, sedangkan narkotika golongan II dan III boleh digunakan untuk keperluan medis dan tujuan penelitian.106 Undang-Undang tersebut melarang penggunaan pribadi, kepemilikan dan budidaya dalam skala kecil dan besar, produksi dan distribusi, perdagangan, impor, ekspor, dan penjualan dengan hukuman yang jauh lebih berat dari Undang-Undang sebelumnya, seperti denda atau penjara hingga maksimal seumur hidup dan bahkan dapat diancam dengan hukuman mati.107 Masih dengan alasan yang sama, lagi-lagi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 juga dianggap sudah tidak dapat mengendalikan dan mencegah kejahatan narkotika yang telah dilakukan dengan berbagai cara menggunakan teknologi yang berkembang sangat pesat. Oleh karena itu, Undang-Undang tersebut kemudian direvisi lagi dan diganti menjadi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 yang masih digunakan hingga saat ini. Dalam perumusan dari Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 ini, terdapat peran dari United Nation Office

on Drugs and Crime

atau

yang kemudian disebut UNODC.

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 dalam menggolongkan narkotika yang terdapat di dalamnya juga merujuk kepada peraturan terkait dengan narkotika yang telah dibuat oleh UNODC.108 Undang-Undang ini melarang berbagai macam kejahatan narkotika yang lebih luas lagi, yakni dalam penggunaan pribadi, kepemilikan, budidaya, penyediaan barang, produksi, impor, ekspor, distribusi, penjualan, pembelian dengan tujuan penjualan (​dealing​), kurir, dan penyediaan obat-obatan terlarang bagi orang lain.109 Hukuman yang dijatuhkan juga berupa

106

Dania Putri dan Tom Blickman, “Ganja di Indonesia: Pola Konsumsi, Produksi, dan Kebijakan”, ​Transnational Institute: Drug Policy Briefing​, (Januari, 2016), hlm. 11. 107 ​Ibid. 108 Wawancara dengan Bapak Purwoko, staff bagian Divisi Penyuluhan Badan Narkotika Nasional, tanggal 8 November 2019. 109 D ​ ania Putri dan Tom Blickman, “Ganja di Indonesia: Pola Konsumsi, Produksi, dan Kebijakan”, ​Transnational Institute: Drug Policy Briefing​, (Januari, 2016), hlm. 11.


denda atau penjara namun dengan kuantitas yang lebih berat hingga hukuman mati.110

110

Dania Putri dan Tom Blickman, “Ganja di Indonesia: Pola Konsumsi, Produksi, dan Kebijakan”, ​Transnational Institute: Drug Policy Briefing​, (Januari, 2016), hlm. 11.


BAB VI KONTROVERSI TANAMAN GANJA

6.1 Kondisi Penggunaan Ganja di Indonesia Penggunaan ganja di Indonesia pada saat ini dapat dikatakan sangat banyak jumlahnya. Menurut data dari Badan Narkotika Nasional, sebanyak 2 juta mahasiswa dan 1,5 juta pekerja menggunakan narkotika khususnya ganja.111 Dari pengguna yang sebanyak itu, sebanyak 45 ribu orang yang menjadi narapidana, mereka direhabilitasi pada akhir desember 2018.112 Dari data yang sudah dipaparkan, belum sepenuhnya pengguna narkotika khususnya ganja dapat direhabilitasi. Sebagian besar dari mereka lebih banyak menggunakan narkotika untuk bersenang-senang dibandingkan dengan penggunaannya untuk keperluan penelitian ataupun keperluan medis. Selain dari itu, di Indonesia juga terdapat budidaya dari tanaman ganja. Wilayah Aceh adalah salah satu daerah di Indonesia yang telah dikenal sebagai sumber utama produksi tanaman ganja. Tetapi, diduga bahwa selain dari Aceh terdapat juga beberapa daerah lain di Sumatera dimana tanaman ganja di budidayakan secara ilegal untuk tujuan komersial seperti Bengkulu, Lampung, dan Mandailing Natal.113 Di sisi lain, berdasarkan hasil wawancara dan observasi yang dilakukan oleh Badan Narkotika Nasional, ganja di beberapa daerah di Indonesia berasal dari Jawa dan Papua Nugini. Terdapat hal lain juga yang perlu diperhatikan yaitu terjadinya peningkatan angka pengguna ganja yang lebih memilih untuk menanam sendiri dibandingkan dengan membeli dari pasar gelap.114 Luas dari perkebunan tanaman ganja ini pun tidak melebihi dari satu hektar. Hal ini dikarenakan 111

Walda Marison, “BNN: Sepanjang 2018, 2 Juta Mahasiswa dan 1,5 Juta Pekerja Terlibat Narkotika,” https://megapolitan.kompas.com/read/2019/03/25/10215681/bnn-sepanjang-2018-2-juta-mahasisw a-dan-15-juta-pekerja-terlibat-narkoba​, diakses 8 Juli 2019. 112 Muhammad Nur Rochmi, “Kasus Narkoba Bertambah, 45 Ribu Napi Akan di Rehabilitasi,” https://beritagar.id/artikel/berita/kasus-narkoba-bertambah-45-ribu-napi-akan-direhabilitasi​, diakses 8 Juli 2019. 113 Dania Putri dan Tom Blickman, “Ganja di Indonesia: Pola Konsumsi, Produksi, dan Kebijakan,” Transnational Institute, (Januari 2016), hlm. 7-8. 114 ​Ibid.​ hlm. 8.


kebanyakan petani yang menanam tanaman ini bukanlah pemilik tanah oleh karena itu, mereka hanya membayar sewa untuk lahan yang digunakan oleh para petani tersebut untuk menanam tanaman ganja. Di Aceh, penanaman tanaman ganja di halaman belakang rumah mereka sendiri merupakan suatu hal yang wajar. penanaman tanaman ganja ini dilakukan untuk kepentingan pribadi dan tidak untuk diperjualbelikan. Hal ini dikarenakan melakukan transaksi tanaman ganja adalah sesuatu yang ilegal dan akan diberikan sanksi yang sangat berat oleh karena itu, terdapat banyak petani ganja yang mencari atau menerima perlindungan dari pasukan militer Indonesia yaitu Tentara Nasional Indonesia dengan membayar suap.115 Hal ini tidak hanya menimbulkan kontroversi dalam penggunaannya saja, tetapi juga menimbulkan kontroversi dalam hal pemberian sanksi pada penggunanya. Terdapat beberapa kasus di Indonesia yang mana penggunaan ganja yang digunakan untuk keperluan medis malah penggunanya dipidana. Contoh dari kasus ini yang cukup viral adalah kasus Fidelis dimana Fidelis menggunakan ganja untuk penyembuhan istrinya yang terkena sindrom ​Guillain Barre. D ​ alam kasus ini pula, Fidelis dikenakan vonis 5 bulan penjara.116 Padahal, di Indonesia, belum ada obat yang dapat mengatasi sindrom yang diderita oleh istri Fidelis.

6.2 Pro dari Penggunaan Tanaman Ganja Menilik dari sejarahnya, penggunaan daun ganja sendiri awal mulanya digunakan sebagai salah satu bahan kain dimana yang digunakan adalah seratnya karena dianggap serat ganja lebih baik ketimbang linen. Banyak negara yang menggunakan ganja sebagai bahan kain diantaranya adalah Amerika Serikat, Rumania, India, dan negara lainnya. Ganja sendiri mulai dikecam pada awal tahun 1930-an dimana terdapat salah satu perusahaan bahan kain di Amerika Serikat yang menemukan serat sintetis. Akhirnya, perusahaan ini mengajukan bahwa 115

Dania Putri dan Tom Blickman, “Ganja di Indonesia: Pola Konsumsi, Produksi, dan Kebijakan,” Transnational Institute, (Januari 2016), hlm. 8. 116 ​Yohanes Kurnia Herawan, “Akhir Perjuangan Fidelis Merawat Sang Istri dengan Ganja,” https://regional.kompas.com/read/2017/04/04/06210031/akhir.perjuangan.fidelis.merawat.sang.istr i.dengan.ganja.bagian.1.?page=all​, diakses 23 Juni 2019.


ganja harus dimasukkan kedalam golongan satu dan akhirnya melalui ​Single Convention on Narcotic Drugs pada tahun 1961, panelis menyetujui ganja dimasukkan kedalam golongan I. Untuk saat ini sendiri, ganja banyak digunakan untuk tujuan kesehatan dan penelitian oleh rumah sakit dan universitas-universitas di luar negeri sana. Misalnya saja di ​University of South Carolina​, mereka melakukan penelitian mengenai ganja sebagai peredam rasa sakit autoimun dan hasil penelitiannya sangat mengejutkan. Penelitian tersebut membuktikan bahwa THC yang terdapat dalam ganja dapat membantu DNA yang menyebabkan proses peradangan. Apabila menilik dari hasil penelitian tadi, ganja sejatinya memiliki banyak manfaat khususnya pada dunia kesehatan. Berikut merupakan beberapa manfaat ganja berdasarkan hasil penelitian negara dan universitas di luar Indonesia.117 1. Ganja dapat mencegah serangan epilepsi Hal ini dibuktikan oleh peneliti dari ​Virginia Commonwealth University dimana senyawa ​Cannabinoids bekerja dengan cara mengikat sel otak yang bertanggung jawab mengatur rangsangan dan rasa tenang pada manusia. 2. Meringankan Glaukoma Hal ini dibuktikan oleh peneliti dari ​National Eye Institute di Amerika Serikat dimana dengan mengkonsumsi ganja ini dapat meringankan tekanan pada saraf mata yang menyebabkan pembesaran bola mata. 3. Memerangi Alzheimer Hal ini dibuktikan dengan adanya publikasi oleh ​The Journal of Alzheimer Disease yang mengungkap dosis kecil dari zat yang terkandung dalam ganja dapat menghambat pembentukan plak amiloid yang membunuh sel otak. 4. Membunuh Kanker Hal ini dibuktikan dengan adanya penelitian yang dilakukan oleh Pemerintah Amerika Serikat. Pemerintah AS mengungkap senyawa 117

Rzn/As, “10 Keajaiban Medis Marijuana”, https://www.dw.com/id/10-keajaiban-medis-mariyuana/g-19183230​, diakses 10 Juli 2019.


Cannabinoids mampu membunuh sel kanker dan memblokir jumlah pembuluh darah yang dibutuhkan tumor untuk tumbuh. 5. Melindungi Otak Hal ini dibuktikan dengan adanya penelitian yang dilakukan oleh University of Nottingham dimana hasil penelitian mereka membuktikan bahwa ganja dapat melindungi otak dari kerusakan yang disebabkan oleh serangan stroke. 6. Meringankan efek samping Hepatitis C Hasil

penelitian

yang

diterbitkan

dari

​European

Journal

of

Gastroenterology and Hepatology mengungkap ganja dapat lebih baik dalam mengatasi Hepatitis C ketimbang obat yang mirip dengan kemoterapi yang banyak menimbulkan efek samping. Dari penjelasan manfaat ganja diatas, apabila ganja digunakan secara bijak dan hanya perkembangan dunia medis dan farmasi, maka ganja dapat menjadi alternatif pengobatan yang minim efek samping.

6.3 Kontra dari Penggunaan Tanaman Ganja Seperti yang telah disebutkan dalam paparan di atas, walaupun ganja memiliki beberapa manfaat untuk kesehatan namun sebagian besar dari pengguna ganja menggunakan narkotika untuk bersenang-senang dibandingkan dengan penggunaannya untuk keperluan penelitian ataupun keperluan medis. Akhirnya penyalahgunaan lebih banyak dibanding dengan penggunaan manfaatnya. Adapun risiko dan efek dari penyalahgunaan ganja sebagai berikut. Pertama, penyalahgunaan ganja menurut penelitian American Heart Association telah dapat mengakibatkan komplikasi kardiovaskular dan keseriusan yang ekstrem dengan tingkat kematian 25,6%.118 Hal ini mengindikasikan risiko penyakit kardiovaskular pada orang muda.119 Kemudian, kematian mendadak pada orang dengan umur kurang dari 35 tahun terjadi di Denmark dari tahun

Emilie Jouanjus, ​et al., ​“Cannabis Use: Signal of Increasing Risk of Serious Cardiovascular Disorders”, ​Journal of the American Heart Association​ (2014). 119 ​Ibid. 118


2000-2006.120 Sebesar 29% dari penyebab kematian tersebut belum dapat dijelaskan, yang juga menunjukan potensi keterkaitannya dengan ganja.121 Sementara 9% diantaranya telah terbukti merupakan akibat dari penyalahgunaan ganja.122 Kedua, penyalahgunaan ganja berakibat terhadap penyakit mental yakni depresi dan ​anxiety.123 G ​ anja juga dikaitkan dengan psikosis (termasuk yang berhubungan dengan skizofrenia), terutama di antara yang telah memiliki keturunan genetik.124 Bagi pengguna ganja dalam usia muda dapat mengakibatkan kerentanan terhadap penyakit mental lebih cepat 2 sampai 6 tahun.125 Ketiga, penyalahgunaan ganja berdampak pada perkembangan otak.126 Penyalahguna yang menggunakan ganja sejak remaja dapat merusak konektivitas saraf dan berakibat pada jumlah saraf yang lebih sedikit dibanding orang pada umumnya.127 Termasuk bagian ​precuneus (berfungsi dalam kewaspadaan dan kesadaran diri) dan ​hippocampus (berfungsi untuk pembelajaran dan memori). Serta berkaitan dengan penurunan IQ.128 Studi peneliti Duke University menunjukkan penurunan 8 poin IQ dan tidak akan dapat dipulihkan walaupun telah berhenti menggunakan ganja.129 Efek penyalahgunaan ganja terhadap otak adalah,130 1. Fungsi indra berubah (misalnya, melihat warna lebih terang); 2. Perubahan reaksi terhadap waktu; 3. Perubahan suasana hati; 4. Gerakan tubuh terganggu; 5. Kesulitan dalam berpikir dan memecahkan masalah; ​Ibid. ​Ibid. 122 Ibid. 123 Nora D. Volkow, ​et al., ​ “Adverse Health Effects of Marijuana Use”​ N Engl J Med (Juni 2014). 124 ​Ibid. 125 ​Ibid. 126 Ibid. 127 ​Ibid. 128 ​Ibid. 129 ​ National Institute of Drug Abuse, “Marijuana,” https://www.drugabuse.gov/publications/drugfacts/marijuana​. diakses 10 November 2019. 130 ​Ibid. 120 121


6. Gangguan terhadap memori; 7. Halusinasi; 8. Khayalan. 9. Psikosis. Ganja juga dapat menyebabkan ketergantungan yakni penyakit ketika seseorang tidak dapat berhenti menggunakan ganja.131 Ketika mereka berhenti, akan berakibat terhadap kesehatan dan masalah sosial. Penelitian menunjukkan 9-30 persen bagi mereka yang menggunakan ganja menunjukkan ketergantungan. 132

Kemudian, orang di bawah 18 tahun dapat 4 kali lebih rentan dalam terkena

ketergantungan.133 Selain itu dampak yang ditimbulkan dari penyalahgunaan dan peredaran narkoba juga terjadi pada segi perekonomian. Ditinjau dari segi ekonomi, perdagangan gelap narkoba menimbulkan gangguan instabilitas moneter dan kinerja perekonomian nasional akibat tindak kejahatan pencucian uang hasil perdagangan narkoba, menurunnya produktivitas nasional, menurunnya investasi asing.134 Implikasi dari dampak ini yaitu menimbulkan gangguan pada kinerja pembangunan serta menghambat kesejahteraan dan keadilan. Selain itu cara penyalahgunaannya ganja dengan dikeringkan dan dicampur dengan tembakau rokok atau dijadikan rokok lalu dibakar serta dihisap membuat pengguna merasa mabuk dan ada kecenderungan adiksi. Hal ini dikarenakan ganja yang dihisap akan langsung bereaksi di dalam otak. Efek yang ditimbulkan dari kecanduan ganja yaitu pengguna akan merasakan kematian. Kematian disini diartikan sebagai suatu kondisi dimana pengguna seperti kehilangan akal pikirannya. Jika diajak berkomunikasi, ia akan tertawa sendiri kemudian melihat teman atau keluarga seperti melihat musuh.135

​Ibid. ​Hasin DS,​ et al.​ “Prevalence of Marijuana Use Disorders in the United States Between 2001-2002 and 2012-2013,” ​JAMA Psychiatry​ (2015). 133 ​Ibid.​ 134 Badan Narkotika Nasional, “Salahgunakan Narkoba Dapat Rusak Otak”, ​Warta BNN, No. 01 Tahun II, ​(2005), hlm. 4. 135 Fajriah Intan Purnama, “Subkulutur Legalisasi Ganja” Skripsi Sarjana Universitas Negeri Jakarta,Jakarta,2015), hlm.80 131

132


Dampak

lainnya

adalah

meningkatnya

kriminalitas

oleh karena

mengonsumsi ganja memerlukan uang untuk membelinya. Pemakaian ganja secara sembarangan atau salah dapat menyebabkan gangguan pada susunan saraf otak. Implikasinya yaitu membuat pengguna tidak dapat berpikir dengan sehat dan jernih. Oleh karena pikiran yang tidak sehat, maka sudah dapat dipastikan perbuatan atau tindakan yang mereka lakukan pun akan tidak baik atau melakukan perbuatan yang melanggar norma-norma sosial dan hukum sehingga dapat meresahkan masyarakat sekitar.136

i​bid, h​ lm. 10.

136


BAB VII KESIMPULAN 7.1 Kesimpulan Tanaman ganja ditempatkan sebagai narkotika golongan I dikarenakan efek ketergantungan yang diberikan oleh tanaman ganja sangatlah berbahaya. Namun, seiring berkembangnya ilmu pengetahuan telah ditemukan beberapa manfaat. Tetapi, sampai saat ini belum terdapat penelitian yang dilakukan oleh institusi-institusi pemerintahan. Oleh karena itu, khasiat dari tanaman ganja sendiri belum terbukti secara sah. Selain dari itu, UNODC sebagai lembaga internasional terkait dengan narkotika pun belum menggolongkan tanaman ganja sebagai narkotika yang dapat digunakan untuk medis. Pertimbangan lain juga yang menjadi alasan dari pemerintah Indonesia untuk tidak melegalkan ganja adalah kesiapan masyarakat Indonesia itu sendiri. Ditakutkan jika pelegalan ganja terjadi di Indonesia dapat mengakibatkan penggunaan ganja yang malah akan merugikan masyarakatnya. Walaupun, dengan pelegalan dari ganja ini sendiri dapat meningkatkan devisa negara dan dapat menjadi alternatif pengobatan baru di Indonesia.

7.1 Saran Saran dari tim adalah dilakukannya penelitian yang dilakukan oleh pihak pemerintahan untuk mengetahui apakah benar adanya khasiat dari tanaman ganja itu sendiri agar. Selain dari itu, pihak penegak hukum dan pemerintah juga harus mulai membuka pandangannya terhadap ganja agar tidak menganggap ganja itu sebagai suatu hal yang buruk agar dalam melakukan penelitian tidak terjadi suatu penyimpangan. Selain itu, perlu mengedepankan rehabilitasi dibanding pidana punitif.


DAFTAR PUSTAKA

ARTIKEL JURNAL Cruz dan Jose Miguel, “​Saying No to Weed: Public Opinion Towards Cannabis Legalisation in Uruguay,” Drugs: Education, Prevention & Policy 25 (Januari 2016- Oktober 2016). Diningrad, Milyardi Gagah, “Pertimbangan Hakim Menolak Kasasi Dalam Kasus Narkotika (Studi Kasus Putusan No. 2338/K.Pid.Sus/2013 Mahkamah Agung Republik Indonesia)”,​Chapter ​II, (Repository USU, 2015). DS, Hasin,​ et al.​ “Prevalence of Marijuana Use Disorders in the United States Between 2001-2002 and 2012-2013.” ​JAMA Psychiatry​ (2015). Handoyo, Patri dan Ingrid Irawati Atmosukarto, “​40 Tahun “Perang Melawan Narkotika​”​: Pengelolaan Narkotika oleh Negara, Perang Bukan Solusi,” Jurnal Peradilan Indonesia ​5 (Agustus 2016-Januari 2017). Jouanjus, Emilie, ​et al., “​ Cannabis Use: Signal of Increasing Risk of Serious Cardiovascular Disorders.” ​Journal of the American Heart Association (2014). Lande, Adolf “The Single Convention on Narcotic Drugs, 1961.” ​International Organization​, vol. 16, no. 4, 1962. Putri, Dania dan Tom Blickman, “Ganja di Indonesia: Pola Konsumsi, Produksi, dan Kebijakan”, ​Transnational Institute: Drug Policy Briefing​, (Januari, 2016). Volkow, Nora D., ​et al. ​ “Adverse Health Effects of Marijuana Use.”​ N Engl J Med​ (Juni 2014). PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Indonesia, ​Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana​, UU No. 8 tahun 1981, LN No. 76 Tahun 1981. Indonesia. ​Undang-Undang Narkotika, U ​ U No. 35 Tahun 2009, LN No. 143 Tahun 2009. Indonesia. ​Undang-Undang Pengesahan Konvensi Tunggal Narkotika 1961 beserta Protokol yang Mengubahnya​, UU No. 8 tahun 1976, LN No. 36 Tahun 1976, TLN No. 3805. Indonesia, ​Peraturan Presiden tentang Pelaksaan Wajib Lapor Pecandu Narkoba Nomor 25 tahun 2011,​ PP No. 25 tahun 2011. Mahkamah Agung,​ Surat Edaran Mahkamah Agung tentang Penempatan Korban Penyalahgunaan Narkotika di Lembga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial No.3 tahun 2011​, INTERNET Aisha, Mendy. “Pengertian Penelitian dan Metode Penelitian”. https://jagad.id/pengertian-penelitian-ilmiah-pendidikan-sosial-dan-metode-p enelitian/​. Diakses pada 20 April 2019. Andini, Widya Citra. “Manfaat Ganja dalam Dunia Medis Plus Efeknya untuk Kesehatan”.


https://hellosehat.com/hidup-sehat/fakta-unik/manfaat-ganja-secara-medis/​. Diakses pada 20 April 2019. Al-Khawarizmi, Damang Averroes.“Pengertian Narkotika”. http://www.negarahukum.com/hukum/pengertian-narkotika.html​. Diakses 2 Juni 2019. Astuga, Ibob. “Belajar Regulasi Ganja dari Uruguay (1)”. http://www.lgn.or.id/belajar-regulasi-ganja-dari-uruguay-1/​. Diakses 11 Agustus 2019. Astuga, Ibob. “Belajar Regulasi Ganja dari Uruguay (2)”. http://www.lgn.or.id/belajar-regulasi-ganja-dari-uruguay-2/​. Diakses 11 Agustus 2019. Farras, Bernhart. “Legalkan Ganja, Ekonomi Kanada Raup Rp 16 T”. https://www.cnbcindonesia.com/news/20181017162111-4-37795/legalkan-ga nja-ekonomi-kanada-raup-rp-16-t​. Diakses 11 Agustus 2019.\ Firman, Day. “Narkoba, Ancaman Nirmiliter yang Nyata”. https://www.kompasiana.com/dayfirman/5500a417a333115b735116db/narko ba-ancaman-nirmiliter-yang-nyata​. Diakses 10 Agustus 2019. Gunadha, Reza dan Erick Tanjung. “Membongkar Mitos, Mereka Ingin Ganja Dilegalkan di Indonesia”. https://www.suara.com/news/2019/05/06/081500/membongkar-mitos-mereka -ingin-ganja-dilegalkan-di-indonesia​.​ Diakses 10 Agustus 2019. Hariyanto, Ibnu. “BNN: Ada 74 Narkoba Jenis Baru di Indonesia”. https://news.detik.com/berita/d-4481994/bnn-ada-74-narkoba-jenis-baru-di-in donesia​. Diakses pada 6 Juni 2019. Healer. “​About Healer.com​”.​ h​ ttps://healer.com/about-us/​. Diakses pada 11 Mei 2019. Herawan, Yohanes Kurnia. “Akhir Perjuangan Fidelis Merawat Sang Istri dengan Ganja”. https://regional.kompas.com/read/2017/04/04/06210031/akhir.perjuangan.fid elis.merawat.sang.istri.dengan.ganja.bagian.1.?page=all​. Diakses 23 Juni 2019. Indra, Rahman. “Mengenali 7 Manfaat dan Bahaya Ganja”. https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20170810210851-255-233888/me ngenali-7-manfaat-dan-bahaya-ganja​. Diakses pada 20 April 2019 Kusuma, Ade Indra. “Masuk Golongan I, Ganja di Indonesia Tak Akan Pernah Dijadikan Obat Medis”. https://www.suara.com/health/2019/08/01/054514/masuk-golongan-1-ganja-d i-indonesia-tak-akan-pernah-dijadikan-obat-medis​. Diakses pada 2 Agustus 2019. Kurnia, Abi Jam’an. “Ini Aturan tentang Penggolongan Narkotika di Indonesia https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt5bed2f4b63659/ini-atura n-tentang-penggolongan-narkotika-di-indonesia#_ftn1​. Diakses pada 20 April 2019. Kertopati, Lesthia. “Pengguna Narkoba Coba-Coba Meningkat 70 Persen”. https://www.cnnindonesia.com/nasional/20161023011815-20-167256/penggu na-narkoba-coba-coba-di-indonesia-meningkat-70-persen​. Diakses 20 Juni 2019.


LGN. “Sejarah LGN”. ​http://www.lgn.or.id/sejarah/​. Diakses pada 20 April 2019. Liputan6.com. “Pengertian Narkoba Menurut Para Ahli Serta Jenis, Dampak dan Penanganannya”. https://www.liputan6.com/news/read/3867866/pengertian-narkoba-menurut-p ara-ahli-serta-jenis-dampak-dan-penanganannya?related=dable&utm_expid=. 9Z4i5ypGQeGiS7w9arwTvQ.1&utm_referrer=https%3A%2F%2Fwww.goog le.com%2F​. Diakses 18 Juli 2019. Marison, Walda. “BNN: Sepanjang 2018, 2 Juta Mahasiswa dan 1,5 Juta Pekerja Terlibat Narkotika”. https://megapolitan.kompas.com/read/2019/03/25/10215681/bnn-sepanjang-2 018-2-juta-mahasiswa-dan-15-juta-pekerja-terlibat-narkoba​. Diakses 8 Juli 2019. Perdana, Agni Vidya. “Meksiko Pertimbangkan Ikuti Jejak Kanada untuk Melegalkan Ganja”. https://internasional.kompas.com/read/2018/10/24/14342891/meksiko-pertim bangkan-ikuti-jejak-kanada-untuk-melegalkan-ganja​. Diakses pada 10 Agustus 2019. Pramudiarja, An Uyung. “Peru Legalkan Ganja Medis”. https://health.detik.com/berita-detikhealth/d-3694013/peru-legalkan-ganja-me dis​. Diakses pada 10 Agustus 2019. Priherdityo, Endro. “Jerman Mengizinkan Penggunaan Ganja untuk Medis”. https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20170120102228-255-187652/jer man-mengizinkan-penggunaan-ganja-untuk-medis​. Diakses pada 10 Agustus 2019. Reuters. “'Hadiah Tahun Baru, Thailand Sepakat ganja Legal Jadi Obat”. https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20181225185736-255-356287/ha diah-tahun-baru-thailand-sepakat-ganja-legal-jadi-obat​. Diakses 11 Agustus 2019. Rochmi, Muhammad Nur. “Kasus Narkoba Bertambah, 45 Ribu Napi Akan di Rehabilitasi”. https://beritagar.id/artikel/berita/kasus-narkoba-bertambah-45-ribu-napi-akandirehabilitasi​. Diakses 8 Juli 2019. Saputra, Eka Yudha. “Ganja Legal di Kanada, Saran PM Belanda: Jangan Pernah Mencoba”. https://dunia.tempo.co/read/1140533/ganja-legal-di-kanada-saran-pm-belanda -jangan-pernah-mencoba​. Diakses pada 10 Agustus 2019. Sulaiman, Muhammad Reza. “Argentina Legalisasi Penggunaan Minyak Ganja untuk Pengobatan”. https://health.detik.com/berita-detikhealth/d-3460111/argentina-legalisasi-pen ggunaan-minyak-ganja-untuk-pengobatan​. Diakses pada 10 Agustus 2019. Septio N, Tri. “ Sejarah Narkoba dan Pemberantasannya di Indonesia”. http://www.tribunnews.com/tribunners/2012/05/12/sejarah-narkoba-dan-pem berantasannya-di-indonesia​. Diakses pada 6 Juni 2019. Syafii, Moh. “ Pengguna Narkoba Tinggi, BNN Optimalkan Peran Keluarga dan Masyarakat”. https://regional.kompas.com/read/2019/02/09/23342401/pengguna-narkoba-ti


nggi-bnn-optimalkan-peran-keluarga-dan-masyarakat​. Diakses pada 6 Juni 2019. Theodora, Ellen. “Perbedaan Antara Narkotika dan Psikotropika”. https://www.klikdokter.com/info-sehat/read/3045767/perbedaan-antara-narko tika-dan-psikotropika​. Diakses 18 Juli 2019. Yudhi. “Sejarah Singkat Narkoba”. https://dedihumas.bnn.go.id/read/section/artikel/2011/10/31/189/sejarah-sing kat-narkoba#​. Diakses pada 6 Juni 2019. Yulianingsih, Tanti. “Colombia Legalkan Ganja untuk Obat”. https://www.liputan6.com/global/read/2396826/colombia-legalkan-ganja-unt uk-obat​. Diakses pada 10 Agustus 2019.


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.