Tribune Express LK2 Edisi (1) April 2021 - Katalog Dokumentasi Ilmiah: Quo Vadis Revisi UU ITE?

Page 1


Quo Vadis Revisi UU ITE? Oleh: Luhut A. Pandiangan Staf Bidang Literasi dan Penulisan LK2 FHUI

Artikel Berita 1 Pasal Pencemaran UU ITE Bahayakan Kebebasan Berekspresi

Ilustrasi

: MI/Tiyok

Penulis

: Emir Chairullah Meskipun sudah direvisi, keberadaan sejumlah pasal dalam Undang-Undang (UU)

No.11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) membahayakan kebebasan berekspresi masyarakat sipil. Apabila dijalankan tanpa batasan yang jelas, UU ini berpotensi digunakan untuk praktik penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power). “Ada indikasi UU ini ingin membungkam daya kritis masyarakat,” kata Koordinator mahasiswa pasca sarjana Indonesia yang tergabung dalam Indonesian Scholars Queensland Australia yang juga wartawan Media Indonesia, Emir Chairullah usai diskusi 'UU ITE dan Masa Depan Demokrasi Indonesia' di Brisbane, akhir pekan lalu. Disebutkan, keberadaan pasal 27 ayat 3 tentang ketentuan penghinaan/pencemaran nama baik dianggap bertentangan dengan hakekat kebebasan berpendapat yang tercantum dalam Pasal 28 UUD 1945. Adanya pasal 27 UU ITE tersebut menyebabkan seseorang memilih bungkam atau ‘self censorship’ atas kondisi sosial politik yang ada di masyarakat. “Masyarakat jadi takut untuk bersuara mengenai ketidakadilan di sekelilingnya dan berteriak terhadap pelanggaran yang dilakukan penguasa karena khawatir dianggap penghinaan,” paparnya. Yang membuat ironis, pada praktiknya pasal pencemaran nama baik ini hanya dikenakan kepada masyarakat awam yang strata ekonomi politiknya berada di bawah.


Sementara pasal ini menjadi tidak bertaji ketika pihak penguasa yang menghina masyarakat yang kelasnya lebih rendah. “Lihat sejak kasus Prita (yang digugat sebuah rumah sakit swasta), pihak yang terkena gugatan maupun hukuman melalui pasal penghinaan merupakan orang yang tidak punya kekuatan ekonomi maupun politik. Kita tidak pernah mendengar kalangan elite politik atau pimpinan perusahaan terkena gugatan akibat penghinaan,” ujar kandidat PhD bidang politik dari University of Queensland tersebut. Sementara itu Kandidat Doktor dari Queensland University of Technology (QUT), Ari Margiono menambahkan, jika memang masih menjamin kebebasan berpendapat, pemerintah seharusnya membuat batasan atau kondisional tentang komentar atau kritik yang dianggap merusak. Contoh pendapat yang membahayakan seperti pendapat seseorang di sosial media atau media daring dianggap menyuburkan aksi terorisme atau menyerang etnis lain. “Kalau tidak ada kondisionalnya, apapun kritik yang dikeluarkan akan dianggap sebagai penghinaan. Ini kan artinya pasal karet dimana masyarakat awam yang tidak punya kuasa pasti bakal kena getahnya,” ujarnya. Yang membuat semakin miris, pasal ini kemudian bisa dimanfaatkan individu di sebuah institusi untuk membungkam individu lainnya untuk tidak bersuara. Sebagai contoh kasus yang menimpa salah seorang mahasiswa di Aceh yang harus berhadapan dengan hukum yang digugat dosennya karena dianggap mencemarkan nama baiknya di sosial media. “Pertanyaannya kemudian, memangnya mahasiswa bisa menggugat dosennya saat dikritik sementara mahasiswa masih butuh nilai untuk lulus. Ini kan menunjukkan relasi kuasa di mana yang lemah pasti tak punya daya,” ungkapnya. Sedangkan Kandidat doktor dari QUT lainnya Fiona Suwana menyebutkan, berdasarkan data yang dikumpulkan aktivis peduli literasi media, sebanyak 200 orang telah digugat dan diadvokasi akibat tuduhan penghinaan di media daring selama 2016. Jumlah tersebut, menurutnya, lebih rendah dari laporan yang diterima polisi sebanyak 700 orang. “Angka ini menunjukkan bahwa keberadaan pasal ini begitu mengkhawatirkan masyarakat awam yang menggunakan internet,” ungkapnya. Dalam sejumlah kasus, ungkap Fiona, beberapa orang terkena jeratan pasal ini hanya karena mengeluh terhadap kondisi yang dialaminya di media sosial. Bahkan ada masyarakat yang tetap terkena jeratan pasal ini walaupun tidak menyebutkan sama sekali nama yang dikeluhkan. “Dalam kasus warga yang bernama Yusniar di Makassar misalnya. Perempuan ini langsung ditahan akibat pencemaran walaupun ‘no mention’ pihak yang dicemarkan,” ujarnya. Walaupun demikian ia mengakui, banyak pengguna sosial media yang terkena jeratan pasal ini karena ketidaktahuan mereka mengenai pencemaran nama baik di UU ITE. Karena


itu pemerintah dan juga aktivis sosial media harusnya bersama-sama mengkampanyekan digital literacy kepada seluruh anggota masyarakat agar tidak salah kaprah dalam menggunakan teknologi. “Sayangnya hal tersebut agak berat diwujudkan untuk saat ini. Apalagi pemerintah menghilangkan pelajaran dari kurikulum pengajaran,” pungkasnya.

Sumber:

https://mediaindonesia.com/politik-dan-hukum/80884/pasal-pencemaran-uu-ite-

bahayakan-kebebasan-berekspresi


Artikel Berita 2 Kemenkominfo UU ITE adalah Rambu-Rambu Ruang Digital

Ilustrasi

: Shutterstock

Penulis

: Deti Mega Purnamasari Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika

(Kemenkominfo) Semuel Abrijani Pangerapan mengatakan, dibuatnya Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) berfungsi sebagai rambu-rambu di ruang digital. Jika diibaratkan jalan raya, kata dia, UU ITE merupakan rambu-rambu agar lalu lintas di ruang digital menjadi lebih tertib. "UU ITE dibuat untuk membuat ketertiban," kata Semuel ketika ditanya tentang UU ITE yang dinilai membahayakan demokrasi dalam konferensi pers bertajuk Strategi Kominfo Menangkal Hoaks Covid-19 secara daring, Senin (19/10/2020). Tanpa rambu-rambu, kata Semuel, akan banyak kekacauan, seperti halnya di jalan raya. Semuel mengatakan, pasal di UU ITE yang sering digunakan dalam kasus pidana adalah Pasal 27 Ayat 3. Pasal tersebut berbunyi: Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik. Menurut Semuel, penggunaan pasal tersebut banyak terjadi pada konflik antarmasyarakat, bukan antara negara dan rakyat. "Ini yang perlu dipahami. Jadi tidak ada upaya untuk memberangus masyarakat. UU ini adalah rambu-rambu supaya jalannya tertib untuk di ruang digital," ucap dia. Diketahui, saat ini banyak masyarakat yang mudah terkena UU ITE ketika menyampaikan pendapat di media sosial. Tak sedikit di antara mereka yang berujung ke jeruji besi karena dianggap mencemarkan nama baik. Hal ini pula yang membuat banyak kalangan


menganggap UU ITE membatasi kebebasan masyarakat untuk berekspresi. Oleh karena itu, pasal-pasal di dalamnya pun dianggap sebagai pasal karet.

Sumber: https://nasional.kompas.com/read/2020/10/19/17245241/kemenkominfo-uu-ite-adalahrambu-rambu-ruang-digital


Artikel Berita 3 Selama 2019, Korban Kriminalisasi UU ITE Terbanyak dari Jurnalis dan Media

Foto

: Jessica Helena Wuysa

Penulis

: Nicholas Ryan Aditya Perkumpulan Pembela Kebebasan Berekspresi Asia Tenggara atau SAFEnet

meluncurkan laporan situasi hak-hak digital di Indonesia pada 2019. Berdasarkan laporan tersebut, tercatat 24 kasus pemidanaan dengan Undang Undang (UU) Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Jumlah tersebut menurun dibandingkan kasus di tahun sebelumnya, yaitu 25 kasus. Direktur Eksekutif SAFEnet Damar Juniarto mengungkapkan, dari 24 kasus kriminalisasi tersebut, para korban terbanyak berasal dari jurnalis dan media dengan 8 kasus. "Jurnalis dan media menjadi korban terbanyak dari kriminalisasi ini, sebanyak 8 kasus. Terdiri atas satu media dan tujuh jurnalis menjadi korban," kata Damar dalam acara peluncuran laporan secara virtual, Jumat (13/11/2020). Damar menuturkan, dalam dua tahun terakhir jumlah media dan jurnalis yang dipidanakan cenderung lebih tinggi dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Setelah jurnalis dan media, korban terbanyak kedua dari UU ITE yakni aktivis dan warga dengan total lima kasus. Jumlah tersebut, jelas Damar, naik satu kasus dibandingkan data pada 2018. Korban berikutnya adalah tenaga pendidik dan artis, masing-masing tiga kasus. Sementara itu, latar belakang pelapor kasus paling banyak berasal dari pejabat publik dan politisi dengan 10 kasus. pelapor menggunakan pasal-pasal karet untuk memidanakan korban. Menurut Damar, korban kriminalisasi kerap dijerat dengan pasal-pasal karet dalam UU ITE. Misalnya, terkait pasal pencemaran nama baik atau defamasi, ujaran kebencian dan pornografi. Damar berpendapat pasal-pasal tersebut cenderung multitafsir dan kerap digunakan untuk membungkam kritik. "Dari yang paling banyak dipidanakan, pasal yang paling sering


digunakan adalah Pasal 27 ayat 3 UU ITE atau Pasal Defamasi. Dilanjutkan dengan Pasal 28 ayat 2 tentang ujaran kebencian, dan Pasal 27 ayat 1 tentang pornografi," ucap Damar. Terkait hal tersebut, Damar mengingatkan agar masyarakat waspada dengan makin meluasnya korban kriminalisasi menggunakan UU ITE. Khususnya, bagi masyarakat yang berprofesi sebagai akademisi dan kerap kritis terhadap isu politik nasional maupun di tempat bekerja.

Sumber: https://nasional.kompas.com/read/2020/11/13/19153851/selama-2019-korban-kriminalisasiuu-ite-terbanyak-dari-jurnalis-dan-media.


Artikel Berita 4 Kapolri, Polisi Serba Salah Terima Laporan Perkara UU ITE

Foto

: Icha Rastika

Penulis

: Tsarina Maharani Kapolri Jenderal Listyo Sigit mengatakan, polisi ada di posisi serba salah ketika

menerima laporan dalam perkara UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Sebab, sering muncul anggapan bahwa polisi berpihak kepada pelapor yang laporannya diterima. "Serba salah. Di satu sisi penerapan UU ITE ini dampak polarisasi yang masih terus kelihatan. Kita bisa lihat pengelompokan ini sumber masalah yang harus kita selesaikan," kata Sigit saat memberikan sambutan Dies Natalis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) ke-74 di Masjid Sunda Kelapa, Jakarta, Kamis malam (18/2/2021), dikutip dari Kompas TV. Karena itu, dia berjanji segera menyelesaikan persoalan itu, salah satunya dengan menginstruksikan jajarannya membuat panduan dalam menerima laporan yang menggunakan UU ITE. Dengan begitu, tiap penyidik memiliki pedoman umum yang sama dalam penerapan UU ITE . "Hoaks dan kritik itu beda tipis. Ini potensi kondisi bangsa terpecah," ujar dia. Salah satu aturan yang akan ditentukan dalam panduan yakni laporan dengan pasal UU ITE yang bersifat delik aduan harus dilaporkan langsung oleh korban. Artinya, korban tidak boleh diwakilkan. "Pengaduannya korban langsung. Kalau yang lapor bisa diwakili ramai. Panas terus," kata Sigit. Ia berpendapat, jika pelapor kasus UU ITE bisa diwakili, akan membuat keramaian bahkan situasi terus memanas. Sementara itu, saat ini negara tengah menghadapi situasi serius akibat pandemi Covid-19. "Kita sekarang lagi tidak butuh itu. Kita lagi butuh bersatu, yang kita hadapi masalah serius (Covid-19)," ujar dia. Sumber: https://nasional.kompas.com/read/2021/02/19/11085101/kapolri-polisi-serba-salah-terimalaporan-perkara-uu-ite.


Artikel Berita 5 Tidak Ada Alasan untuk Tunda Revisi UU ITE

Ilustrasi

: Wahyunanda Kusuma

Penulis

: Rakhmat Nur Hakim Wacana revisi Undang-undang (UU) No. 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan

Transaksi Elektronik (ITE) mencuat setelah Presiden Joko Widodo menyatakan implementasi beleid tersebut yang kerap merugikan masyarakat. Pernyataan Jokowi itu disampaikan dalam pembukaan Rapat Pimpinan TNI-Polri di Istana Negara, Jakarta, Senin (15/2/2021). Menurut Jokowi, belakangan semakin banyak warga yang saling melapor ke pihak kepolisian dengan merujuk pada dugaan pelanggaran UU ITE. Ia tidak ingin implementasi UU tersebut justru menimbulkan rasa ketidakadilan. Jika UU ITE tak bisa memberikan rasa keadilan, kata Jokowi, ia bakal minta kepada DPR untuk bersama-sama merevisi UU ITE ini. "Karena di sini lah hulunya, hulunya ada di sini, direvisi, terutama menghapus pasal-pasal karet yang penafsirannya bisa berbeda-beda, yang mudah diinterpretasikan secara sepihak," ujar Jokowi. Wacana revisi UU ITE tersebut ditanggapi secara positif oleh para aktivis,lembaga swadaya masyarakat, bahkan sejumlah politisi DPR. Direktur Eksekutif Southeast Asia Freedom of Expression Network ( Safenet) Damar Juniarto mengatakan, pernyataan Jokowi yang mewacanakan revisi UU ITE adalah momentum yang baik untuk proses penegakan hukum di Indonesia. Ia berharap jika revisi UU itu jadi dilakukan maka benar-benar menyentuh aspek substantif dan menghilangkan pasal-pasal yang bermasalah. Damar menjelaskan setidaknya ada empat pasal bermasalah dan seharusnya dihapuskan dari UU ITE yaitu Pasal 27 Ayat 1, Pasal 27 Ayat 3, Pasal 28 Ayat 2, dan Pasal 29. "Pasalpasal itu lebih baik dihapus. Karena, pertama rumusannya multitafsir. Kedua terjadi duplikasi


hukum, yaitu ada permasalahan sudah diatur di KUHP tapi ada juga di UU ITE," kata Damar. Jika saat ini pemerintah membuka wacana untuk revisi UU ITE, Damar mengaku siap memberikan masukan untuk perubahan yang akan terjadi pada UU itu kedepannya. Menurut Damar, UU ITE penting untuk direvisi karena tidak hanya membawa dampak hukum saja, namun juga memberi dampak politik dan sosial di masyarakat. "Dampak politiknya adalah UU ITE sekarang ini melenceng dari niatan awal, dan dia digunakan oleh politik dan kekuasaan untuk menjatuhkan lawan-lawannya," ucap Damar. "Sedangkan dampak sosial yang terjadi adalah robeknya jalinan sosial di masyarakat. UU ITE digunakan untuk lapor melapor, balas dendam, barter kasus, dan hal-hal lain yang justru jauh dari aspek keadilan," kata dia. Adapun Ketua Komisi I DPR Meutya Hafid menyatakan, parlemen siap untuk membahas kembali UU ITE sebagaimana yang diusulkan oleh Presiden Jokowi. Meutya mengatakan, revisi UU ITE dapat diajukan oleh Pemerintah, sehingga DPR akan menunggu Pemerintah untuk memasukkan usulannya tersebut. "Terkait usulan dari Presiden Joko Widodo untuk merevisi UU ITE, kami menyambut baik dan siap untuk membahas kembali UU ITE. Revisi UU ITE bisa diajukan pemerintah, sehingga DPR akan menunggu pemerintah memasukkan usulannya terkait hal tersebut,” kata Politikus Partai Golkar itu nenuturkan, DPR terus menerima masukan dari masyarakat dan akademisi terkait UU ITE setelah UU tersebut pertama kali direvisi pada 2016 lalu menjadi UU Nomor 19 Tahun 2016. "Kami juga berharap akan ada peningkatan literasi digital, agar masyarakat aware terhadap penggunaan media sosial,” ujar Meutya. Sedianya, masyarakat sudah pernah menggugat ke Mahkamah Konstitusi (MK) beberapa pasal di UU ITE yang dianggap multitafsir dan kerap dijadikan alat kriminalisasi di antara sesama masyarakat. Pasal-pasal itu ialah Pasal 27 ayat 3 yang berbunyi “Melarang setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik. Ada pula Pasal 28 ayat 2 yang berbunyi “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA)”. Namun uji materi terhadap dua pasal tersebut ditolak MK. MK berpendapat kedua pasal itu konstitusional dan tak bertentangan dengan UUD 1945. Kendati demikian bukan tak mungkin pasal-pasal karet tersebut direvisi atau dihapus lewat kesepakatan politik di DPR antara partai-partai politik dengan pemerintah.


Pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra menyatakan kedua pasal tersebut tetap bisa direvisi oleh DPR meskipun uji materinya pernah ditolak MK. “Meskipun suatu pasal dalam UU pernah dimohonkan uji materi ke MK untuk dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945, namun ditolak karena MK berpendapat bahwa norma UU yang dimohonkan untuk diuji itu tidak bertentangan dengan UUD 1945, DPR dan Presiden berwenang saja untuk mengubah materi muatan pasal tersebut,” kata Yusril menuturkan kewenangan DPR bersama pemerintah untuk mengubah UU tidak dapat dicampuri oleh MK. Karena itu DPR dan pemerintah tak perlu beralasan bahwa Pasal 27 ayat 3 dan Pasal 28 ayat 2 tak bisa direvisi lantaran pernah ditolak uji materinya oleh MK. “Kewenangan DPR dan Presiden untuk mengubah UU adalah kewenangan yang tidak dapat dicampuri oleh MK. DPR bisa saja melakukan legislative review terhadap suatu norma UU dan kemudian mengambil prakarsa untuk mengubahnya,” tutur Yusril. "Karena suatu norma UU tidak bisa diuji dengan putusan MK. Norma UU hanya bisa diuji dengan norma konstitusi di dalam UUD 1945," kata Yusril. Wacana revisi UU ITE yang mendapat sambutan positif saat ini tentu menjadi momentum bagi pemerintah dan DPR untuk memanfaatkannya dengan segera melakukan legislative review. Masing-masing elemen sudah menyatakan dukungannya untuk merevisi pasal-pasal bermasalah di UU ITE. Terlebih tak ada hambatan yuridis dalam merevisi pasal-pasal karet di UU ITE. Dan hanya lewat revisi-lah pasal-pasal karet itu dapat dihilangkan. Sebabnya, jalan untuk menggugatnya kembali di MK sudah kandas lantaran pasal-pasal tersebut telah dianggap konstitusional. Kini masyarakat menanti keseriusan pemerintah dan DPR untuk merespons momentum positif tersebut untuk segera melakukan langkah-langkah menuju proses revisi UU ITE di DPR. Sebabnya, tak ada alasan yuridis apapun yang bisa menghalangi proses revisi UU ITE untuk menciptakan kehidupan berdemokrasi yang lebih baik dari teror saling lapor ke polisi, yang selama ini mengancam sikap kritis masyarakat.

Sumber: https://nasional.kompas.com/read/2021/02/18/16084031/tak-ada-alasan-untuk-tunda-revisiuu-ite?page=all.


Analisis Berita Quo Vadis Revisi UU ITE? Oleh: Luhut A. Pandiangan Staf Bidang Literasi dan Penulisan LK2 FHUI

Dinamisasi yang terjadi di bidang teknologi informasi membuat terjadinya disrupsi atas berbagai kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat. Disrupsi adalah sebuah lompatan perubahan dari sistem lama ke cara-cara baru. Contohnya, bila semula penyampaian aspirasi dan pendapat yang dilakukan oleh masyarakat dilakukan secara konvensional dengan bertemu secara langsung, maka kini masyarakat lebih condong melakukan hal tersebut dengan menggunakan berbagai media sosial. Dibalik sisi positif penggunaan media sosial untuk menyampaikan aspirasi dan pendapat, terdapat juga sisi negatif dimana proses komunikasi yang dilakukan dalam media sosial cenderung menimbulkan miskomunikasi dan perdebatan kontraproduktif yang berujung pada terjadinya tindak pidana. Perubahan masyarakat dalam konteks penyampaian pendapat tersebut dapat mempengaruhi hukum, dan sebaliknya hukum dapat pula mempengaruhi perilaku masyarakat.1 Adanya hal tersebut membuat pembentuk undang-undang membentuk Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (yang selanjutnya disebut sebagai “UU ITE”) yang kini sudah direvisi menjadi Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (yang selanjutnya disebut sebagai “UU ITE Perubahan”). UU ITE dibentuk didasarkan atas adanya berbagai kajian seperti, kajian filosofis, sosiologis, dan yuridis. Meski demikian, adanya UU ITE yang kini telah menjadi UU ITE Perubahan masih kerap memunculkan berbagai diskusi di ruang publik karena beberapa pasal yang diatur dalamnya menimbulkan keresahan bagi berbagai kalangan yang menggunakan media sosial. Asumsinya, bahwa undang-undang tersebut cenderung mudah menjerat seseorang yang menggunakan media sosial untuk menyampaikan aspirasi dan pendapat masuk dalam ranah tindak pidana. Pengguna media sosial pada hakikatnya dapat mengungkapkan kebebasan berpendapat dan berekspresi dalam berbagai bentuk, dalam hal ini media sosial atau internet. Tetapi, kebebasan berpendapat tersebut cenderung terelimitasi dengan adanya Pasal 27 ayat 3 UU ITE

1

Munir Fuady, Teori-Teori Besar (Grand Theory) dalam Hukum, (Jakarta: Kencana, 2013), hlm. 251.


yang berbunyi ”Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.”2 Pasal 27 ayat 3 berdampak pada nilai-nilai demokrasi yang ditandai dengan semakin takutnya pengguna media sosial menyuarakan pendapat kepada pemerintah, pelanggaran, serta isu sosial politik yang sedang trendi.3 Hal tersebut yang kemudian dinilai bertentangan dengan pasal 28 UUD 1945 pada Bab IX A tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika Semuel Abrijani Pangerapan menyatakan bahwa UU ITE merupakan rambu-rambu ruang digital agar tercipta situasi tertib. Lebih lanjut, apabila rambu-rambu tidak ada, akan banyak kekacauan yang terjadi di ruang digital.4 Kemudian, mantan Menteri Komunikasi Rudiantara menegaskan bahwa Pasal 27 ayat 3 UU ITE Perubahan tidak akan mungkin dihapuskan karena jika pasal tersebut dihapus, maka akan menghilangkan efek jera bagi pelanggar hukum. Bukan pasal 27 ayat 3 yang salah, sebaliknya adalah penerapan dari pasal tersebut.5 Di sisi lain, dampak yang diharapkan dengan dibentuknya UU ITE agar dapat mewujudkan situasi tertib justru menjadi sebaliknya. Perkumpulan Pembela Kebebasan Berekspresi Asia Tenggara (SAFEnet) melaporkan situasi digital di Indonesia dimana pada tahun 2019 terdapat 24 kasus pelanggaran UU ITE Perubahan. Rinciannya adalah delapan kasus dari kalangan media dan jurnalis, lima kasus dari aktivis, dan sisanya berasal dari warga, tenaga pendidik, dan artis. Korban tersebut merupakan hasil laporan dari pejabat publik dan politisi yang menggunakan pasal 27 ayat 3, 27 ayat 1, 28 ayat 2 UU ITE Perubahan. Damar Juniarto sebagai Direktur Eksekutif SAFEnet pun berpesan pada pengguna media sosial agar berhati-hati akan meluasnya korban kriminalisasi akibat UU ITE Perubahan.6 2

Indonesia, Undang Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, UU No 11 Tahun 2008 jo. UU No 19 Tahun 2016, Ps. 27 ayat 3. 3 Emir, Chairullah, “Pasal Pencemaran UU ITE Bahayakan Kebebasan Berkspresi,” https://mediaindonesia.com/politik-dan-hukum/80884/pasal-pencemaran-uu-ite-bahayakan-kebebasanberekspresi, diakses 26 Maret 2021. 4 Deti Mega Purnamasari, “Kemenkominfo: UU ITE adalah Rambu-Rambu Ruang Digital,” https://nasional.kompas.com/read/2020/10/19/17245241/kemenkominfo-uu-ite-adalah-rambu-rambu-ruangdigital, diakses 26 Maret 2021. 5 Kominfo, “Menkominfo: Pasal 27 Ayat 3 UU ITE Tidak Mungkin Dihapuskan,”https://kominfo.go.id/index.php/content/detail/4419/Menkominfo%3A+Pasal+27+Ayat+3+UU+IT E+Tidak+Mungkin+Dihapuskan/0/berita_satker, diakses 26 Maret 2021. 6 Nicholas Ryan Aditya, “Selama 2019, Korban Kriminalisasi UU ITE Terbanyak dari Jurnalis dan Media,” https://nasional.kompas.com/read/2020/11/13/19153851/selama-2019-korban-kriminalisasi-uu-iteterbanyak-dari-jurnalis-dan-media, diakses 26 Maret 2021.


Jenderal Listyo Sigit yang baru memulai masa jabatannya sebagai Kapolri juga ikut berkomentar terkait UU ITE Perubahan. Listyo merasa polisi berada pada kondisi serba salah saat menerima laporan perkara UU ITE Perubahan. Hal ini dapat dilihat dengan adanya pandangan publik yang melihat bahwa polisi berpihak pada pelapor perkara yang berhubungan dengan informasi dan transaksi elektronik. Listyo memberi solusi dengan mengamanatkan jajarannya untuk membuat panduan penerimaan laporan perkara UU ITE Perubahan. Salah satu contoh panduan yang dimaksud adalah jika laporan delik aduan harus dilaporkan oleh korban dan tidak dapat diwakilkan.7 Meskipun demikian, pedoman interpretasi UU ITE Perubahan bukan hal utama sebab pokok persoalannya adalah segera merevisi kembali UU ITE Perubahan agar memiliki kepastian dan kekuatan hukum sesuai hierarki perundang-undangan.8 Mencuatnya opini publik untuk merevisi UU ITE Perubahan atas maraknya penyimpangan yang terjadi akhirnya ditanggapi Presiden Jokowi. Jokowi menyebutkan apabila UU ITE Perubahan tidak dapat memberikan keadilan pada masyarakat, Pemerintah akan merangkul DPR dan bersama-sama merevisi UU ITE Perubahan. Momentum revisi UU ITE Perubahan harus dimaknai oleh jajaran di bawah Presiden yakni pejabat istana presiden dan kementerian terkait yang kemudian dibahas kembali bersama DPR dan masyarakat sipil. Fokus utama dalam merevisi UU ITE Perubahan ada pada pasal yang multitafsir atau lebih dikenal dengan pasal karet. Pasal karet ini kerap menimpa para aktivis, jurnalis, media, masyarakat sipil sehingga membuat korban terancam hukuman pidana.9 Menilik kembali tentang pembentukannya, bahwa UU ITE menempuh perjalanan panjang yang dimulai pada masa pemerintahan Presiden Megawati dengan fokus kajian Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Teknologi Informasi dan E-commerce. RUU ITE dibahas oleh beberapa kementerian, yaitu Kementerian Perindustrian, Kementerian Perhubungan, dan Kementerian Perdagangan. DPR pada masa pemerintahan SBY membahas RUU dengan nama Undang-Undang Informasi Transaksi dan Elektronik pada tahun 2005 sampai 2007. DPR dalam menyusun naskah RUU ITE tidak hanya bersama pemerintah saja,

7

Tsarina Maharani, “Kapolri: Polisi Serba Salah Terima Laporan Perkara UU ITE,” https://nasional.kompas.com/read/2021/02/19/11085101/kapolri-polisi-serba-salah-terima-laporan-perkara-uuite, diakses 26 Maret 2021 8 Rakhmat Nur Hakim, “Keabsahan Pedoman Interprestasi UU ITE Dipertanyakan,” https://nasional.kompas.com/read/2021/02/18/23371931/keabsahan-pedoman-interpretasi-uu-ite-dipertanyakan, diakses 26 Maret 2021. 9 Gun Gun Heryanto, “Momentum Revisi UU ITE,” https://mediaindonesia.com/kolom-pakar/386224/ momentum-revisi-uu-ite, diakses 16 Maret 2021.


tetapi juga mendapat kontribusi dari tim Universitas Indonesia, Universitas Padjadjaran, dan Institut Teknologi Bandung.10 DPR menyetujui RUU ITE menjadi UU ITE Nomor 11 Tahun 2008 pada 25 Maret 2008 dan diberlakukan pada 21 April 2008. Hadirnya UU ITE memberikan kepastian hukum dan mengakomodir kebutuhan hukum di bidang terkait. UU ITE mengatur beberapa hal seperti E-Commerce, tindak pidana teknologi informasi, dan aturan soal akses ilegal. Selain menjawab kebutuhan masyarakat, UU ITE ternyata memunculkan dampak buruk dalam dinamisasi demokrasi di Indonesia. Hal itu ditandai dengan munculnya berbagai perkara yang cenderung membatasi hak kebebasan berpendapat di media sosial menggunakan pasal UU ITE. Kemudian, dalam perkembangannya diadakan revisi UU ITE No. 11 Tahun 2008 pada tahun 2016 di era pemerintahan Jokowi.11 Revisi UU ITE menjadi UU Perubahan pun tidak menghasilkan dampak yang signifikan karena hanya terdapat sedikit perubahan saja. Bagian pasal yang menjadi perhatian pada UU ITE Perubahan adalah penambahan lima materi muatan pada Pasal 27 ayat 3 dan 4, Pasal 28 ayat 1 dan 2. Muatan pasal ini disinyalir tidak sejalan dengan naskah akademik dan tujuan dari UU ITE Perubahan.12 Hukum sejatinya memiliki asas keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum bagi masyarakat. Tetapi Pasal 3 UU ITE Perubahan tidak memasukkan asas keadilan sebagai bagian dari asas diberlakukannya undang-undang tersebut. Asas keadilan memiliki peranan penting dalam peraturan perundang-undangan yang mencakup tindak pidana. Banyak masyarakat mendapat perlakuan tidak adil dalam berpendapat, mengkritik, dan mengungkapkan aspirasi terkhusus aktivis, jurnalis, oposisi, dan masyarakat kelas bawah. Beberapa pihak yang tidak menyukai hal tersebut dapat dengan mudah menggunakan pasal-pasal UU ITE Perubahan untuk menjerat seseorang untuk tindak pidana.13 Munculnya berbagai kritik terhadap undang-undang ini membuat kita perlu mengetahui politik hukum pembentukan UU ITE Perubahan ini. Politik hukum adalah legal policy atau garis (kebijakan) resmi tentang hukum yang akan diberlakukan baik dengan hukum baru maupun dengan penggantian hukum lama, dalam rangka mencapai tujuan negara.14 10

Melda Agnes Manuhutu, et al., Pengantar Forensik Teknologi Informasi, (Medan: Yayasan Kita Menulis, 2021), hlm. 21 11 Ibid., hlm. 22 12 Tobias Basuki, et al., “Unintended Consequences: Dampak Sosial dan Politik UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) 2008,” CSIS Working Paper Series WPSPOL (Maret 2018), hlm. 26 13 A. P. Edi Atmaja “Kedaulatan Negara di Ruang Maya Kritik UU ITE dalam Pemikiran Satjipto Rahardjo,” Jurnal Opinio Juris Vol. 16 (Mei-September 2014), hlm. 78 14 Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2009), hlm. 2.


Selanjutnya, Sunaryati Hartono tidak mendefinisikan politik hukum secara eksplisit, namun ia melihat bahwa politik hukum sebagai sebuah alat atau sarana dan langkah yang dapat digunakan pemerintah untuk menciptakan sistem hukum nasional yang dikehendaki dan dengan sistem hukum nasional itu akan diwujudkan cita-cita bangsa Indonesia15. Politik hukum pembentukan UU ITE ini menjadi penting sebagai paradigma dalam pembentukan undang-undang. Pembentukan UU ITE sebagai hasil kesepakatan Pemerintah dengan DPR RI pada dasarnya mengamanatkan penting bagi masyarakat agar membangun etika dalam penggunaan media sosial sehingga lebih berhati-hati dan bijak dalam menggunakan media sosial.16 Hal tersebut merupakan sikap dan respon atas berbagai fenomena yang terjadi dimana semakin maraknya pelanggaran-pelanggaran serta tindakan diluar batas yang tidak sesuai dengan budaya yang dimiliki bangsa ini. Pokok masalah dalam UU ITE Perubahan adalah interpretasi pada pasal multitafsir yang tentunya menimbulkan pro dan kontra bagi berbagai kalangan. Materi pasal multitafsir tersebut mengatur tentang penghinaan, pencemaran nama baik, serta kekerasan dalam kaitannya dengan perkembangan digitalisasi dan informasi. Sebab pada dasarnya, sistem dan peraturan hukum berkaitan dengan metode penafsiran supaya memiliki kesesuaian dengan gagasan dan materil ketika suatu peraturan dilaksanakan. Pentingnya interpretasi dapat ditemui dalam Pasal 5 Undang-Undang No. 12 Tahun 2012 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan disebutkan kejelasan tujuan, dapat dilaksanakan, kedayagunaan dan kehasilgunaan, serta kejelasan rumusan.17 Pada tahun 2016 oleh pembentuk undang-undang telah mengeluarkan UU ITE Perubahan yang merevisi beberapa pasal, yaitu Pasal 27 ayat (1) dan (3), Pasal 28 ayat (2), dan Pasal 31 ayat (3). UU ITE Perubahan tersebut membahas mengenai perbaikan kata yang multitafsir agar tidak ada kesalahpahaman dalam mengartikannya; menjelaskan mengenai penurunan ancaman hukum pidana; melaksanakan putusan dari Mahkamah Konstitusi; melakukan sinkronisasi dalam ketentuan hukum yang ada dalam KUHP; adanya penghapusan ketentuan yang dianggap menjadi pelanggaran dengan penghapusan informasi/hak untuk

15

Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, (Bandung: Alumni, 1991),

hlm. 1. 16

Alwi Al Hadad, “Politik Hukum dalam Penerapan Undang-Undang ITE untuk Menghadapi Dampak Revolusi Industri 4.0,” Jurnal Khazanah Hukum, Vol. 2 No. 2, hlm. 69. 17 Indonesia, Undang Undang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, UU No 12 Tahun 2011 Ps. 5


dilupakan; serta memperkuat peranan pemerintah dan kewenangannya dalam memberikan perlindungan dalam penyalahgunaan informasi dan transaksi elektronik.18 Namun, dilakukannya revisi terhadap beberapa pasal tersebut tetap saja mendapat kritik dari berbagai kalangan, karena adanya anggapan bahwa pemerintah sedang melakukan upaya bertahan atau menekan atas berbagai aspirasi serta kritik yang dilakukan oleh masyarakat. Hal tersebut terlihat dengan disisipkannya 2 ayat diantara ayat (2) dan ayat (3) Pasal 40 yang berisi “(2a) Pemerintah wajib melakukan pencegahan penyebarluasan dan penggunaan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang dilarang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2b) Dalam melakukan pencegahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2a), Pemerintah berwenang melakukan pemutusan akses dan/atau memerintahkan kepada Penyelenggara Sistem Elektronik untuk melakukan pemutusan akses terhadap Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar hukum.”19 Selain itu, Pasal 27 ayat (1) yang menyatakan bahwa “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan” juga perlu direvisi.20 Mengingat kasus-kasus yang diadukan dengan Pasal 27 ayat (1) kerap kali justru merugikan korban, seperti pada kasus Baiq Nuril. Kemudian, Pasal 27 ayat (3) yang menyatakan bahwa “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.”21 Pasal tersebut cenderung multitafsir karena tidak ada batasan yang jelas terkait pengaduan kesusilaan, penghinaan dan pencemaran nama baik. Orang-orang yang tersinggung dengan pernyataan orang lain dapat saja merasa terhina yang kemudian dengan mudah untuk melaporkan masalah terkait penghinaan yang tidak jelas limitnya tersebut kepada pihak kepolisian. Selanjutnya, Pasal 28 ayat (2) yang menyatakan bahwa “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama,

18

Ibid., hlm. 70. Indonesia, Undang Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, UU No 11 Tahun 2008 jo. UU No 19 Tahun 2016, Ps. 40 ayat 2a dan 2b 20 Ibid., Ps. 27 ayat 1. 21 Ibid., Ps. 27 ayat 3. 19


ras, dan antargolongan (SARA).”22 Ketentuan tersebut cenderung multitafsir karena tidak memberikan batasan yang tegas terkait SARA sehingga rentan dimanfaatkan oleh berbagai pihak yang merasa tidak suka atau benci terkait pernyataan orang lain. Lebih lanjut, Pasal 29 yang menyatakan bahwa “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mengirimkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi.”23 Pasal tersebut tidak memberikan batasan yang tegas mengenai frasa “menakut-nakuti” sehingga upaya memperingatkan dan menegur dapat saja terkualifikasi sebagai perbuatan yang melanggar hukum. Disamping adanya kritik terhadap berbagai pasal multitafsir yang ada pada UU ITE dan UU ITE Perubahan, penting pula membahas mengenai keterkaitan antara undang-undang tersebut dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (yang selanjutnya disebut sebagai “KUHP”). Keterkaitan antara UU ITE Perubahan dengan KUHP dapat dianalisis menggunakan asas lex specialis derogat legi generalis. Asas lex specialis derogat legi generalis adalah suatu asas yang menyatakan bahwa hukum yang bersifat khusus mengesampingkan hukum yang bersifat umum. Dalam penerapannya asas lex specialis derogat legi generalis harus memperhatikan tiga hal penting. Pertama, bahwa ketentuan-ketentuan yang didapati dalam aturan hukum umum tetap berlaku, kecuali yang diatur khusus dalam aturan hukum khusus tersebut. Kedua, bahwa ketentuan-ketentuan lex specialis harus sederajat dengan ketentuan-ketentuan lex generalis (undang-undang dengan undang-undang). Ketiga, bahwa ketentuan-ketentuan lex specialis harus berada dalam lingkungan hukum (rezim) yang sama dengan lex specialis.24 Berdasarkan uraian tersebut, dapat diberikan contoh keterkaitan antara kedua undangundang tersebut. Pasal 27 ayat 1 tentang kesusilaan dalam materilnya memiliki kemiripan dengan Pasal 281 hingga 303 KUHP. Kemudian dalam Pasal 45 ayat 1 mengikuti ketentuan pidana seperti pada Pasal 281 dan 282 KUHP, hal yang membedakan kedua undang-undang itu ada pada KUHP berfokus pada tempat terjadinya suatu perbuatan, sedangkan pada UU ITE Perubahan adanya asas ekstrateritorial atau tidak adanya batas dalam lingkup internet. Pasal 27 ayat 3 memiliki kemiripan dengan Pasal 310 sampai 321 KUHP tentang penghinaan atau pencemaran nama baik. Pasal 28 ayat 2 memiliki kesamaan dengan Pasal 156 dan 157 KUHP

22

Ibid., Ps. 28 ayat 2. Ibid., Ps. 29. 24 Bagir Manan, “Hukum Positif Indonesia,” (Jakarta: FH UII Press, 2004), hlm. 56. 23


tentang diskriminasi atau penyebaran ujaran kebencian akibat SARA. Pasal 29 memiliki kesamaan dengan Pasal 335, 368, dan 369 KUHP tentang ancaman kekerasan. Perlu diperhatikan beberapa persoalan lain atas dampak UU ITE Perubahan selain interpretasi, yakni penerapan oleh aparat penegak hukum dan dampak sosial bagi masyarakat. Penerapan UU ITE Perubahan oleh aparat penegak hukum dapat dikatakan rancu ketika mendalami laporan kasus yang diterima. Hal tersebut dapat dilihat bahwasannya bagi beberapa orang terlapor yang memiliki jabatan atau status sosial dapat hilang dari jeratan pasal UU ITE Perubahan, sebaliknya. Selain itu, penegakan hukum UU ITE Perubahan juga menimbulkan fenomena dimana terkesan terjadi kesenjangan antara berbagai strata dalam masyarakat. Seperti ketika masyarakat biasa atau aktivis memberikan kritik dan aspirasi pada pejabat pemerintah yang sering dilapor menggunakan pasal UU ITE Perubahan. Kemudian, seseorang juga dapat menggunakan pasal UU ITE Perubahan untuk ajang balas dendam bagi terlapor, persekusi ekspresi, kriminalisasi, dan masih banyak lagi. Banyaknya kasus dan korban dari pasal UU ITE Perubahan menjadi bahan evaluasi bagi aparat penegak hukum. Polisi dalam menerima laporan yang menggunakan UU ITE Perubahan agar lebih selektif. Polisi juga agar tidak berpihak dalam menerima laporan dan berusaha menciptakan keadilan pada masyarakat. Terutama para pihak yang aktif kritis menyatakan aspirasi dan kritik kepada pemerintah tidak mudah dikaitkan dengan tindak pidana. Sebab kritik bukanlah tindak pidana, namun apabila dalam isi penyampaiannya dianggap bagian dari penghinaan dan ujaran kebencian, baru dapat dikategorikan sebagai tindak pidana.25 Pemerintah dan DPR dalam menyusun dan membahas UU ITE perubahan tetap tidak menghiraukan betapa pokoknya pasal-pasal yang terkait pada ranah privat dan publik dalam membentuk peraturan tersebut. Hal ini juga dipengaruhi oleh bukti bahwa Pemerintah dan DPR sangat kurang melibatkan peran kalangan masyarakat dalam menyusun dan membahas UU ITE Perubahan. Melihat situasi masyarakat pada saat penggunaan pasal UU ITE Perubahan yang penuh dengan pasal yang multitafsir dan membawa banyak korban kasus pelaporan, masyarakat Indonesia ingin UU ITE Perubahan direvisi kembali. Revisi UU ITE Perubahan yang tidak masuk prolegnas DPR RI tahun 2021 memang mengecewakan, ditambah lagi dibentuknya tim kajian revisi UU ITE Perubahan yang tidak 25

Tim CNN Indonesia, “Cerita Kapolri Soal Serba Salah Polisi Terima Kasus UU ITE” https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210219090819-12-608214/cerita-kapolri-soal-serba-salah-polisiterima-kasus-uu-ite, diakses 26 Maret 2021.


independen karena semua tim pengarah dan pelaksana merupakan wakil dari pemerintah. Dalam salinan Keputusan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan tentang Tim Kajian Undang-Undang Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik bahwa tim pelaksana seluruhnya berasal dari pemerintahan, kementerian, kejaksaan, dan kepolisian. Baik dalam penyusunan dan pembahasan DPR serta pemerintah kurang melibatkan peran masyarakat, tim kajian revisi UU ITE tahun 2021 bahkan tidak melibatkan masyarakat menjadi bagian dalam tim tersebut Banyak LSM meragukan dan mengkritik keseriusan pemerintah dalam rencana merevisi UU ITE.26 Tidak independennya tim kajian revisi UU ITE Perubahan diprediksi akan membawa pengaruh buruk terhadap proses revisi dan hasil revisi undang-undang tersebut. Meskipun demikian, beberapa pihak yang tergabung mewakili masyarakat seperti SAFEnet, YLBHI, LBH, ICJR, IJRS, ELSAM, Amnesty International Indonesia, AJI Indonesia, ICW, WALHI, dan lainnya berharap pemerintah tetap menjaring tim independen seperti Komisi Nasional untuk Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM) untuk bergabung dalam tim kajian revisi UU ITE Perubahan.27 Berdasarkan analisis dan pembahasan yang sudah dipaparkan di atas, dapat dilihat kembali bahwa UU ITE Perubahan pada tahun 2016 secara umum tidak memberikan kesan keseriusan Pemerintah dan DPR dalam memperbaiki undang-undang tersebut. Politik hukum undang-undang tersebut yang menekankan agar masyarakat dapat memiliki pedoman dan bersikap bijak dalam menghindari pelanggaran-pelanggaran yang terjadi dalam penggunaan media sosial ditengah perkembangan digitalisasi teknologi masih belum mampu terwujud dengan baik dalam UU ITE Perubahan, seperti dengan adanya pasal yang harus direvisi berupa Pasal 26 ayat 3, 27 ayat 1 dan 3, 28 ayat 2, 36, 40 ayat 2a, 36, 45 ayat 3. Pemerintah dan DPR seharusnya bergerak cepat menyerap aspirasi masyarakat melalui tim kajian revisi dan segera memasukkan revisi UU ITE Perubahan dalam program legislasi nasional untuk merevisi beberapa pasal yang bermasalah. Penegak hukum harus dapat menjamin asas equality before the law dalam penegakan aturan UU ITE. Hal ini penting karena selama ini banyak kasus yang tidak diproses karena kasus tersebut tidak punya power atau tidak berpengaruh besar.

26

Tim CNN Indonesia, “Tim UU ITE Mahfud Dikritik Tak Libatkan Pihak Independen,” https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210223192050-12-610044/tim-uu-ite-mahfud-dikritik-tak-libatkanpihak-independen, diakses 26 Maret 2021. 27 Achmad Nasrudin Yahya, “Tak Libatkan Pihak Independen, Tim Kajian UU ITE Diyakini Tak Buahkan Hasil,” https://nasional.kompas.com/read/2021/02/23/14453661/tak-libatkan-pihak-independen-timkajian-uu-ite-diyakini-tak-buahkan-hasil?page=all, diakses 26 Maret 2021.



Daftar Pustaka Buku Fuady, Munir. Teori-Teori Besar (Grand Theory) dalam Hukum. Jakarta: Kencana, 2013. Manuhutu, Melda Agnes, et al. Pengantar Forensik Teknologi Informasi. Medan: Yayasan Kita Menulis, 2021. Manan, Bagir. Hukum Positif Indonesia. Jakarta: FH UII Press, 2004. MD, Moh. Mahfud. Politik Hukum di Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2009. Hartono, Sunaryati. Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional. Bandung: Alumni, 1991.

Artikel Basuki, Tobias, et al. “Unintended Consequences: Dampak Sosial dan Politik UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) 2008.” CSIS Working Paper Series WPSPOL (Maret 2018). Hlm. 1-47. Atmaja, A. P. Edi. “Kedaulatan Negara di Ruang Maya Kritik UU ITE dalam Pemikiran Satjipto Rahardjo.” Jurnal Opinio Juris Vol. 16 (Mei-September 2014). Hlm. 1-34. Hadad, Al Hadad Alwi. “Politik Hukum dalam Penerapan Undang-Undang ITE untuk Menghadapi Dampak Revolusi Industri 4.0.” Jurnal Khazanah Hukum, Vol. 2 No. 2 (2020). Hlm. 65-72.

Peraturan Perundang-Undangan Indonesia. Undang Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. UU No 11 Tahun 2008 jo. UU No. 19 Tahun 2016. Indonesia. Undang Undang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. UU No 12 Tahun 2011.

Internet Chairullah, Emir. “Pasal Pencemaran UU ITE Bahayakan Kebebasan Berekspresi.” https://mediaindonesia.com/politik-dan-hukum/80884/pasal-pencemaran-uu-itebahayakan-kebebasan-berekspresi. Diakses 26 Maret 2021. Kominfo. “Menkominfo: Pasal 27 Ayat 3 UU ITE Tidak Mungkin Dihapuskan.” https://kominfo.go.id/index.php/content/detail/4419/Menkominfo%3A+Pasal+27+A yat+3+UU+ITE+Tidak+Mungkin+Dihapuskan/0/berita_satker. Diakses 26 Maret 2021.


Aditya, Nicholas Ryan. “Selama 2019, Korban Kriminalisasi UU ITE Terbanyak dari Jurnalis dan Media.” https://nasional.kompas.com/read/2020/11/13/19153851/selama-2019korban-kriminalisasi-uu-ite-terbanyak-dari-jurnalis-dan-media. Diakses 26 Maret 2021. Maharani, Tsarina. “Kapolri: Polisi Serba Salah Terima Laporan Perkara UU ITE.” https://nasional.kompas.com/read/2021/02/19/11085101/kapolri-polisi-serba-salahterima-laporan-perkara-uu-ite. Diakses 26 Maret 2021. Hakim, Rakhmat Nur. “Keabsahan Pedoman Interprestasi UU ITE Dipertanyakan.” https://nasional.kompas.com/read/2021/02/18/23371931/keabsahan-pedomaninterpretasi-uu-ite-dipertanyakan. Diakses 26 Maret 2021. Heryanto, Gun Gun. “Momentum Revisi UU ITE.” https://mediaindonesia.com/kolompakar/386224/momentum-revisi-uu-ite. Diakses 26 Maret 2021. Tim CNN Indonesia. “Cerita Kapolri Soal Serba Salah Polisi Terima Kasus UU ITE.” https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210219090819-12-608214/cerita-kapolrisoal-serba-salah-polisi-terima-kasus-uu-ite. Diakses 26 Maret 2021. Tim CNN Indonesia. “Tim UU ITE Mahfud Dikritik Tak Libatkan Pihak Independen.” https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210223192050-12-610044/tim-uu-itemahfud-dikritik-tak-libatkan-pihak-independen. Diakses 26 Maret 2021. Yahya, Achmad Nasrudin. “Tak Libatkan Pihak Independen, Tim Kajian UU ITE Diyakini Tak Buahkan Hasil.” https://nasional.kompas.com/read/2021/02/23/14453661/ taklibatkan-pihak-independen-tim-kajian-uu-ite-diyakini-tak-buahkan-hasil?page=all. Diakses 26 Maret 2021.


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.