Tribune Express Edisi II, Oktober 2020

Page 1


Artikel Berita 1 Apakah Pandemi Covid-19 Sudah Masuk Kategori Force Majeure? Ini Kata Pengamat Hukum \Penulis: Barly Haliem

ILUSTRASI. (Nasional Kontan) KONTAN.CO.ID - Wabah virus corona Covid-19 bisa mengganggu kelangsungan kontrakkontrak bisnis. Sebab kondisi ini bisa menjadi alasan para debitur untuk mengingkari perjanjian dengan alasan keadaan memaksa atau force majeure alias overmacht. Lalu bagaimana tanggapan pakar hukum soal status pandemik virus corona Covid-19 ini? Apakah sudah masuk kategori force majeur? Menurut pengamat hukum Michael Hadilaya, pada intinya kondisi penyebaran wabah virus corona saat ini bisa masuk kategori sebagai force majeure. Tapi, ia juga sepakat dengan Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Polhukam) Mahfud MD bahwa kondisi saat ini tidak otomatis bisa membatalkan perjanjian dan kontrak.

1


"Force majeure itu memang tujuannya supaya kalau ada wanprestasi enggak salah. Karena enggak salah, jadi enggak perlu bayar ganti rugi, denda, bunga, dan konsekuensi lainnya,"katanya. Michael juga mengapresiasi penjelasan dari pemerintah sebagai bentuk upaya untuk menenangkan masyarakat, agar para pihak tidak perlu khawatir untuk tetap menjalankan perjanjian dengan penuh itikad baik. Namun ia mengusulkan agar pemerintah bisa lebih tegas untuk menyepakati bahwa keadaan saat ini adalah overmacht (kondisi kahar), sehingga dalam pelaksanaan renegosiasi sebagaimana dikemukakan oleh Menko Polhukam Mahfud MD bahwa para pihak tidak perlu lebih dahulu berdebat bahwa Covid-19 ini overmacht atau bukan. Menurut dia, situasi sekarang termasuk overmacht. Sekarang situasi overmacht berdasarkan penyebab keadaan darurat, yaitu keadaan memaksa yang ditimbulkan oleh situasi atau kondisi yang tidak wajar, keadaan khusus yang bersifat segera, dan berlangsung dengan singkat, tanpa dapat diprediksi sebelumnya. Ini mengacu misalnya terjadi peperangan, blokade, pemogokan, epidemi, terorisme, ledakan, kerusuhan massa, termasuk di dalamnya adanya kerusakan suatu alat yang menyebabkan tidak terpenuhinya suatu perikatan. "Epidemi saja masuk apalagi sekarang masuk kategori pandemic," katanya. Karena overmacht itu lanjut Michael ada berbagai kategori. Pertama apakah overmacht absolut atau relatif. Bahkan kalau melihat dari ruang lingkupnya ada yg membagi overmacht menjadi 5 kategori. "Jadi kalau semua pihak sudah sepemahaman bahwa bencana nasional ini overmacht, proses renegosiasi diharapkan dapat berjalan dengan itikad baik dan berhasil menemukan titik temu," katanya kepada KONTAN, Selasa (14/4). Sumber https://nasional.kontan.co.id/news/apakah-pandemik-covid-19-sudah-masukkategori-force-majeur-ini-kata-pakar-hukum

2


Artikel Berita 2 Pandemi Covid-19 dan Implikasinya Bagi Kontrak Bisnis Penulis: Fernan Rahadi Bagi dunia bisnis, pandemi Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) menyisakan ruang persoalan tersendiri. Betapa tidak, pandemi Covid-19 mengakibatkan mandeknya berbagai sektor usaha di Indonesia. Sektor usaha yang terdampak langsung di antaranya perhotelan, transportasi, pariwisata, manufaktur dan sektor usaha lainnya yang bergantung pada pergerakan bebas manusia. Beberapa sektor tersebut diprediksi akan mengalami perlambatan dan kesulitan untuk menjalankan kegiatan usahanya. Namun, perlu diketahui bahwa tidak semua sektor usaha terdampak pandemi. Ada beberapa sektor usaha yang justru mengalami peningkatan permintaan pasar dan diprediksi justru memperoleh keuntungan lebih. Beberapa sektor tersebut di antaranya farmasi, alat kesehatan, jasa telekomunikasi dan internet, logistik dan beberapa industri tekstil. Merespons kondisi tersebut, pemerintah mengeluarkan berbagai kebijakan guna melakukan penyelamatan perekonomian nasional. Berbagai stimulus ekonomi dan insentif fiskal maupun non fiskal diberikan kepada masyarakat dan pelaku usaha yang terdampak pandemi. Langkah tersebut seakan menegaskan bahwa implikasi pandemi Covid-19 telah berdampak antara lain terhadap perlambatan pertumbuhan ekonomi nasional, penurunan penerimaan negara, dan peningkatan belanja negara dan pembiayaan, sehingga diperlukan berbagai upaya Pemerintah untuk melakukan penyelamatan kesehatan dan perekonomian nasional. Payung hukum Pemerintah dalam penyelamatan perekonomian nasional di antaranya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara Dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Coronavirus Disease 2019 (Covid19) Dan/Atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/Atau Stabilitas Sistem Keuangan, Keputusan Presiden No. 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Non-alam Penyebaran Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) Sebagai Bencana Nasional dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No. 11 /POJK.03/2020 Tentang Stimulus Perekonomian Nasional Sebagai Kebijakan Countercyclical Dampak Penyebaran Coronavirus Disease 2019. Timbul pertanyaan di kalangan masyarakat dan dunia bisnis, apakah pandemi Covid-19 menimbulkan implikasi bagi kontrak bisnis? Apabila memiliki implikasi, bagaimana implikasinya

3


terhadap kelangsungan kontrak bisnis dan kewajiban-kewajiban kontraktual para pihak? Analisis akan hal ini penting untuk menjaga iklim investasi yang kondusif dan keberlangsungan dunia usaha di Indonesia. Berbagai perbedaan multitafsir akan hal tersebut justru menimbulkan polemik di tengah masyarakat dan ketidakpastian hukum. Pertama, apakah pandemi Covid-19 berimplikasi terhadap kontrak bisnis? Keadaan pandemi dapat berimplikasi terhadap kontrak bisnis apabila keadaan tersebut dapat dikualifikasikan sebagai force majeure. Istilah force majeure memang tidak didefinisikan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) dan beberapa peraturan di Indonesia dalam lingkup keperdataan. Namun, International Chamber of Commerce (ICC) sebuah organisasi perdagangan dunia mendefinisikan force majeure sebagai the occurrence of an event or circumstance (“Force Majeure Event�) that prevents or impedes a party from performing one or more of its contractual obligations under the contract, if and to the extent that the party affected by the impediment (“the Affected Party�) proves: (a)that such impediment is beyond its reasonable control; and (b)that it could not reasonably have been foreseen at the time of the conclusion of the contract; and (c) that the effects of the impediment could not reasonably have been avoided or overcome by the Affected Party. Menurut ICC, force majeure adalah terjadinya suatu peristiwa atau keadaan yang mencegah atau menghalangi suatu pihak untuk melakukan satu atau lebih kewajiban kontraktualnya berdasarkan kontrak yang sudah disepakati. Unsur-unsur suatu keadaan dapat dikatakan force majeure apabila dapat dibuktikan: (a) bahwa hambatan tersebut berada di luar kendalinya; (b) keadaan itu tidak dapat secara wajar diprediksi pada saat penyelesaian kontrak; dan (c) bahwa akibat dari halangan tidak dapat secara wajar dihindari atau diatasi oleh pihak yang terkena dampak. Merujuk pada unsur-unsur tersebut, maka pandemi Covid-19 dapat dikualifikasikan sebagai force majeure. Hal ini karena, pandemi terjadi di luar kendali para pihak, tidak dapat diprediksi sebelumnya oleh para pihak dan berakibat pada terhalangnya para pihak untuk melaksanakan kewajiban kontraktualnya. Namun, perlu pendekatan case per case apakah pandemi tersebut berakibat terhalangnya debitur untuk melaksanakan kewajiban kontraktualnya. Hal ini mengingat, keadaan pandemi tidak mengakibatkan semua sektor usaha berhenti berjalan atau terdampak sehingga terhalang untuk memenuhi kewajiban kontraktualnya. Artinya, untuk dapat dikatakan sebagai force majeure, unsur terhalangnya pemenuhan kewajiban kontrak penting untuk diperhatikan. Apabila itu terjadi, maka pandemi Covid-19 berimplikasi terhadap kontrak bisnis. 4


Kedua, implikasi apa yang ditimbulkan? Keadaan pandemi Covid-19 yang dikualifikasikan sebagai force majeure berimplikasi pada kontrak bisnis yang dibuat oleh para pihak. Hal itu ditegaskan dalam Pasal 1244 KUHPerdata, Pasal 1245 KUHPerdata, Pasal 1444 KUHPerdata dan Pasal 1445 KUHPerdata. Mengacu pada beberapa pasal tersebut, implikasi pandemi Covid-19 terhadap kontrak bisnis adalah bahwa pihak debitur dalam kontrak bisnis tidak diwajibkan menanggung kerugian dan membayar biaya, denda, dan bunga yang diakibatkan karena terhalangnya memenuhi kewajiban. Debitur tidak dapat dinyatakan wanprestasi karena tidak terlaksananya kewajiban kontraktual bukan karena kesengajaan maupun kelalaian melainkan karena pandemi Covid-19. Pihak yang memiliki kewajiban kontraktual tidak dapat diminta ganti rugi dalam hal terdapat keadaan yang tidak dapat diperkirakan sebelumnya atau diluar kendali yang wajar karena adanya faktor eksternal. Selain itu, implikasi pandemi Covid-19 terhadap kontrak bisnis juga berakibat bagi para pihak untuk melakukan perubahan/addendum perjanjian. Hal itu dilakukan agar para pihak tetap dapat menjalankan kewajiban kontraktualnya dilain waktu yang telah disepakati para pihak tergantung dari isi klausul perjanjian itu sendiri. Kewajiban kontraktual debitur untuk sementara waktu dapat ditangguhkan sampai dimungkinkan pemenuhan kewajiban kembali ketika situasi dan kondisi sudah terkendali akibat pandemi. Oleh karena itu, bagi para pihak disarankan negosiasi ulang kontrak bisnisnya dengan klausula-klausula yang dapat mengakomodir kepentingan para pihak, melindungi para pihak dan memastikan agar kewajiban kontraktual tetap dilaksanakan ditengah pandemi. Sumber https://republika.co.id/berita/qb2isf291/pandemi-covid19-dan-implikasinya-bagi-kontrak-bisnis

5


Artikel Berita 3 Corona Force Majeure, Ini Nasib Kontrak Kerja yang Ingkar Penulis: Yuni Astutik

CNBC Indonesia Jakarta, CNBC Indonesia - Penetapan status bencana nasional untuk wabah virus corona (COVID-19) menjadi dasar hukum yang kuat untuk menentukan penetapan status force majeure. Hal ini bisa dijadikan dasar bagi kontrak bisnis yang belum menjalankan kewajibannya karena dampak corona. "Ini kan Force Majeure, jadi karena darurat nasional itu hukumnya harus mengikuti. Kontrak bisa dijadikan alasan untuk tidak memenuhi kewajibannya," ujarnya Pengamat Hukum Tata Negara Universitas Indonesia, Budi Darmono, kepada CNBC Indonesia, Senin (13/4/2020). Keadaan memaksa atau force majeure adalah suatu keadaan yang terjadi setelah dibuatnya perjanjian/kontrak yang menghalangi salah satu pihak untuk memenuhi prestasinya/kewajibannya. Dalam keadaan, force majeure pihak yang tidak menjalankan kewajiban tidak bisa dinyatakan sebagai wanprestasi.

6


Meski demikian, Budi menegaskan tetap ada peluang kontrak yang tidak memenuhi kewajiban tersebut dianggap sebagai wanprestasi dan dibawa ke pengadilan. Tapi kembali lagi, kondisi ini adalah di luar kemampuan manusia sehingga kerugian tidak bisa dihindari. "Tapi terkait kontrak ini kalau kedua belah pihak sama-sama tahu bisa dinegosiasi," tegasnya. Sebelumnya, penetapan COVID-19 sebagai bencana nasional tertuang dalam Keputusan Presiden (Keppres) 12/2020 tentang Penetapan Bencana Non Alam Penyebaran Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) Sebagai Bencana Nasional. Dalam salinan Keppres tersebut, penetapan corona sebagai bencana nasional menimbang dampak meningkatnya jumlah korban dan kerugian harta benda. Selain itu, meluasnya cakupan wilayah yang terkena bencana, serta menimbulkan implikasi aspek sosial ekonomi yang luas di Indonesia. Apalagi, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah menetapkan COVID-19 sebagai pandemic global. Dijelaskan pula dalam salinan tersebut bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Keputusan Presiden tentang Penetapan Bencana Non Alam Penyebaran Coronavirus Disease 2019 (COVID l9/ Sebagai Bencana Nasional. Dalam Keppres ini disebutkan bahwa penanggulangan bencana nasional akibat COVID-19 akan dilaksanakan oleh Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 sesuai dengan Keppres 7/2020 Jokowi, dalam Keppres tersebut juga berpesan kepada gubernur, bupati, maupun walikota sebagai ketua Gugus Tugas di daerah agar dalam menetapkan kebijakan di daerah masing-masing harus memperhatikan kebijakan pemerintah pusat. Adapun keppres ini ditandatangani oleh Jokowi pada Senin (13/4/2020) dan berlaku sejak tanggal ditetapkan. Sumber https://www.cnbcindonesia.com/news/20200414133502-4-151798/corona-force-majeure-ininasib-kontrak-kerja-yang-ingkar

7


Artikel Berita 4 Menko Mahfud: Keppres Bencana Nasional Tak Bisa Jadi Dasar Force Majeure! Penulis: Kanavino Ahmad Rizqo

Mahfud Md (Andika/detikcom) Jakarta - Menko Polhukam Mahfud Md menilai Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 12 Tahun 2020 tentang penetapan virus Corona (COVID-19) sebagai bencana nasional tidak dapat dijadikan dasar sebagai force majeure. Karena itu, menurut Mahfud, kontrak-kontrak tetap terikat pada ketentuan yang berlaku. "Keppres Nomor 12/2020 tentang Penetapan Bencana Non-Alam Penyebaran COVID-19 sebagai Bencana Nasional tidak dapat dijadikan dasar sebagai 'force majeure' untuk membatalkan kontrak. Kontrak-kontrak tetap terikat pada ketentuan Pasal 1338 KUHPerdata yang relaksasinya bisa diatur OJK. Elaborasinya nanti saya videokan," tulis Mahfud dalam akun Twitter resminya seperti dilihat detikcom, Selasa (14/4/2020). Mahfud belum memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai alasan penetapan Corona sebagai bencana nasional itu tak bisa dijadikan dasar force majeure. Dia mengatakan akan memberikan penjelasan lebih lengkap lewat video Sebelumnya, Presiden Jokowi meneken Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 12 Tahun 2020. Jokowi menetapkan virus Corona sebagai bencana nasional. 8


"Menyatakan bencana non-alam yang diakibatkan oleh penyebaran Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) sebagai bencana nasional," kata Jokowi dalam Keppres Nomor 12/2020 tentang Penetapan Bencana Non-alam Penyebaran Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) sebagai bencana nasional, yang dikutip detikcom, Senin (13/4). Sumber https://news.detik.com/berita/d-4976489/menko-mahfud-keppres-bencana-nasional-tak-bisa-jadidasar-force-majeur

9


Katalog Dokumentasi Ilmiah: Pandemi COVID-19 sebagai Force Majeure dalam Kontrak Bisnis, Sudah Tepatkah? Oleh: Della Puspita Loga Staf Bidang Literasi dan Penulisan Lembaga Kajian Keilmuan Fakultas Hukum Universitas Indonesia Saat ini berbagai belahan wilayah di dunia sedang menghadapi sebuah pandemi yang dinamakan Coronavirus Disease 2019 (COVID-19). Menurut data World Health Organization (WHO) per tanggal 2 Maret 2020, telah terdapat 65 negara terinfeksi virus ini.1 Berbagai bidang kehidupan turut terdampak dikarenakan adanya pandemi tersebut, seperti tentunya bidang kesehatan, sosial, serta ekonomi, dan aktivitas bisnis dengan berbagai perjanjian yang dilakukan dalam masyarakat. Jika dilihat pada bidang ekonomi, COVID-19 juga turut menyebabkan perlambatan pertumbuhan perekonomian di Indonesia. Mulai dari terjadinya Panic Buying pada masa awal pandemi, turun drastisnya indeks harga saham, rendahnya nilai tukar Rupiah terhadap Dolar Amerika Serikat (USD), dan lesunya manufaktur.2 Selain itu, pada aktivitas bisnis terutama dalam praktiknya juga mengalami berbagai kendala dan konflik antar para pihak yang terikat dan melakukan kontrak bisnis. Kontrak bisnis merupakan hubungan hukum dalam bidang harta kekayaan/harta benda antara dua orang atau lebih, yang memberi kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi (kreditur) dan pada waktu yang sama mewajibkan pihak lain menunaikan prestasi (debitur).3 Dalam hal ini, pihak debitur dapat menjadikan adanya pandemi ini sebagai alasan untuk membebaskan diri dari kewajibannya untuk memenuhi prestasi yang telah disepakati sebelumnya dan telah mengikat kedua belah pihak. Selain itu, terdapat juga pelaku usaha yang menjadikan pandemi ini sebagai alasan untuk pembatalan kontrak yang telah ada.4 Para pihak dapat

1

Yuliana, “Coronavirus diseases (Covid-19); Sebuah Tinjauan Literatur,” Wellness and Healthy Magazine 2 (Februari 2020), hlm 188. 2 Dona Budi Kharisma, “Pandemi COVID-19 Apakah Force Majeure?” RechtsVinding Online (Juni 2020), hlm 1. 3 Ramziati, Sulaiman dan Jumadiah. Kontrak Bisnis:Dalam Dinamika Teoritis dan Praktis (Lhokseumawe: Unimal Press, 2019), hlm 3. 4 Dona Budi Kharisma, “Pandemi COVID-19 Apakah Force Majeure?” RechtsVinding Online (Juni 2020), hlm 1.

10


menjadikan ini alasan karena umumnya dalam kontrak pada umumnya tertera apa yang dinamakan Force Majeure. Force majeure sendiri adalah keadaan memaksa (overmacht) dimana menyebabkan debitur tidak dapat memenuhi prestasi kepada kreditur. Dalam hal ini, keadaan tersebut terjadi diluar kekuasaan dan tidak dapat diketahui oleh debitur pada waktu membuat perjanjian.5 Dapat juga diartikan sebagai keadaan kahar, dimana debitur terhalang untuk melaksanakan prestasinya karena adanya peristiwa atau keadaan yang tidak terduga saat dibuatnya suatu kontrak dimana peristiwa dipenuhinya kewajiban dari debitur kepada kreditur, sementara pihak debitur pada saat itu tidak dalam keadaan beritikad buruk.6 Adanya klausa force majeure pada kontrak bisnis bertujuan untuk mencegah terjadinya kerugian salah satu pihak yang dikarenakan hal di luar kendalinya, pada umumnya mencakup seperti gempa bumi, kebakaran, banjir bandang, hujan badai, angin topan (beserta bencana alam lainnya),

epidemi, pemadaman listrik, sabotase, perang, invasi,

pemberontakan, revolusi, kudeta militer, terorisme, nasionalisasi, blokade, embargo, mogok, dan lain sebagainya.7 Dalam masa pandemi ini, pemerintah telah mengeluarkan berbagai peraturan seperti Keputusan Presiden (Keppres) No. 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Non-Alam Penyebaran Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) dan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang (Perpu) No.1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan yang saat ini banyak digunakan sebagai dasar membatalkan kontrak bisnis di masyarakat.8 Peraturan-peraturan tersebut dapat memberi dampak positif maupun negatif bagi berjalannya perekonomian dan kontrak. Apabila dilihat dari sisi positif dikeluarkannya peraturan tersebut, masyarakat/pihak yang terkait dapat melakukan penyesuaian/negosiasi ulang mengenai ketentuan yang tercantum dalam kontrak bisnisnya. Sedangkan bila kita menelaah dari sisi negatif, peraturan tersebut dapat menyebabkan lebih banyak lagi masyarakat menggunakannya sebagai landasan pembatalan kontrak atau untuk tidak menjalankan prestasinya sebagaimana yang telah disepakati dan akan menimbulkan konflik-konflik baru lagi.

5

Annisa Dian Arini, “Pandemi Corona Sebagai Alasan Force Majeure Dalam Suatu Kontrak Bisnis,� Jurnal Supremasi Hukum: Jurnal Kajian Ilmu Hukum 9, (2020), hlm 47. 6 Ibid., hlm 48. 7 Ibid., hlm 51. 8 Ibid., hlm 53.

11


Banyak pihak yang menggunakan COVID-19 sebagai alasan force majeure. Hal ini dikarenakan apabila terdapat keadaan ini, maka dapat berakibat suatu kontrak tidak lagi bekerja walaupun kontrak itu tetap ada. Dimana dengan demikian akan menyebabkan beberapa hal seperti kreditur tidak dapat menuntut agar perikatan dipenuhi, tidak dapat mengatakan debitur dalam keadaan lalai, Kreditur tidak dapat meminta pemutusan perjanjian.9 Dalam menghadapi permasalahan ini, terdapat beberapa hal yang harus diketahui terlebih dahulu sebelum melakukan tindakan dan menerima alasan force majeure dengan berbagai pertimbangan. Ketentuan mengenai force majeure diatur dalam Pasal 1244 dan 1245 Kitab UndangUndang Hukum Perdata (KUHPerdata) yang umumnya hanya mengatur masalah force majeure dalam hal ganti rugi dan bunga. Perlu diketahui bahwa terdapat dua jenis force majeure, yaitu force majeure permanen dan force majeure temporer.10 Force majeure permanen merupakan keadaan dimana sampai kapanpun suatu prestasi yang telah disepakati sama sekali tidak mungkin dilakukan lagi. Dalam hal ini, perikatan akan menjadi batal/berakhir karena kondisi permanen dan akan dapat dilakukan sama sekali, kembali seperti semula dimana tidak pernah terjadi perikatan sebelumnya. Misalnya barang yang menjadi objek dari sebuah perjanjian musnah di luar kesalahan debitur, hal ini akan menyebabkan debitur tidak mungkin lagi menjalankan prestasinya, dengan berakhirnya perjanjian, maka kontra prestasi juga turut berakhir.11 Sedangkan force majeure temporer merupakan keadaan dimana suatu prestasi tidak dapat dilakukan sementara dikarenakan peristiwa tertentu, dan apabila keadaan tersebut selesai maka prestasi dapat dilanjutkan kembali seperti sebagaimana yang telah disepakati. Pada hal ini, perikatan masih akan tetap ada, hanya saja pelaksanaan prestasi ditunda untuk sementara waktu, misalnya endemi. Dalam hal ini, COVID-19 tidak dapat diklasifikasikan sebagai force majeure absolut, karena keadaan yang terjadi saat ini dapat pulih kembali seiring berjalannya waktu, dapat dilihat di beberapa negara terjadi penurunan kasus COVID-19 dan sudah cukup dapat dikendalikan.12 Oleh karena itu, force majeure dengan alasan COVID-19 diklasifikasikan sebagai temporer yang termasuk dalam keadaan yang tidak bisa dihindari, tidak diduga, dan telah dinyatakan sebagai

9

Annisa Dian Arini, “Pandemi Corona Sebagai Alasan Force Majeure Dalam Suatu Kontrak Bisnis,� Jurnal Supremasi Hukum: Jurnal Kajian Ilmu Hukum 9, (2020), hlm 51. 10 Ibid., hlm 53. 11 Ibid., hlm 52. 12 Nur Rohmi Aida, "Kasus Covid-19 Menurun, Sejumlah Negara Mulai Melonggarkan Pembatasan,"https://www.kompas.com/tren/read/2020/04/28/070000065/kasus-covid-19-menurun-sejumlahnegara-mulai-melonggarkan-pembatasan-?page=all, diakses 2 September 2020.

12


bencana nasional13 oleh Pemerintah Republik Indonesia, Pandemi Global oleh WHO14 serta dapat pulih kembali. Namun, alasan ini tidak serta merta dapat dijadikan landasan untuk pembatalan kontrak. Penyelesaian permasalahan ini dapat berupa penangguhan/penundaan pelaksanaan prestasi dan melakukan negosiasi ulang oleh kedua belah pihak dengan itikad baik mengenai ketentuan lebih lanjut agar prestasi dapat berjalan kembali apabila keadaan kahar tersebut berakhir. Keadaan memaksa ini dapat dijadikan jalan untuk melakukan negosiasi pembatalan atau mengubah isi kontrak. Keadaan memaksa tidak bisa secara serta merta dijadikan alasan pembatalan kontrak dengan alasan force majeure. Dalam penerapannya harus juga memperhatikan klausul yang telah diatur dalam kontrak bisnis. Perlu dilihat juga isi dari perjanjian bisnis yang disepakati, apakah dapat tetap berjalan atau dilaksanakan walaupun sedang dilanda pandemi, atau tidak dapat dijalankan sama sekali atau ditunda. Apabila tetap dapat dijalani, maka tidak termasuk force majeure. Maka apabila hal ini terjadi, cukup perlu dilakukan penyesuaian kontrak melalui negosiasi ulang atau kesepakatan kedua belah pihak. Melihat kondisi dan penjabaran yang telah disampaikan, dapat diketahui bahwa pandemi COVID-19 berdampak ke berbagai sektor kehidupan masyarakat, tak terkecuali bidang perekonomian yang mencakup kontrak bisnis. Termasuk menjadi alasan force majeure tidaknya pandemi ini tergantung dari isi kontrak bisnis yang disepakati, apabila masih dapat berjalan, perlu dilakukan negosiasi ulang atau penyesuaian. Namun, apabila tidak dapat dilaksanakan untuk beberapa waktu, hal ini termasuk force majeure temporer dimana penyelesaiannya adalah negosiasi ulang atau penundaan pelaksanaan prestasi.

13 Indonesia, Keputusan Presiden Republik Indonesia tentang Penetapan Bencana Non-Alam Penyebaran Coronavirus Disease 2019 (Covid-19), Keppres No. 12 Tahun 2015. 14 Seng Hansen, “Does the COVID-19 Outbreak Constitute a Force Majeure Event? A Pandemic Impact on Construction Contracts,� Journal of Civil Engineering Forum, (May 2020), hlm 201.

13


Daftar Pustaka Buku Ramziati, Sulaiman dan Jumadiah. Kontrak Bisnis: Dalam Dinamika Teoritis dan Praktis. Lh okseumawe: Unimal Press, 2019. Peraturan Perundang-undangan Indonesia. Keputusan Presiden Republik Indonesia tentang Penetapan Bencana Non-Alam Penyebaran Coronavirus Disease 2019 (Covid-19). Keppres No. 12 Tahun 2015. Jurnal Arini, Annisa Dian. “Pandemi Corona Sebagai Alasan Force Majeure Dalam Suatu Kontrak Bisnis.” Jurnal Supremasi Hukum: Jurnal Kajian Ilmu Hukum 9. (2020). Hlm 47. Hansen, Seng. “Does the COVID-19 Outbreak Constitute a Force Majeure Event? A Pandem ic Impact on Construction Contracts.” Journal of Civil Engineering Forum. (May 2020). Hlm 201. Kharisma, Dona Budi. “Pandemi COVID-19 Apakah Force Majeure?” RechtsVinding Online (Juni 2020). Hlm 1. Yuliana. “Coronavirus diseases (Covid-19); Sebuah Tinjauan Literatur.” Wellness and Health y Magazine 2 (Februari 2020). Hlm 188. Internet Aida, Nur Rohmi. "Kasus Covid-19 Menurun, Sejumlah Negara Mulai Melonggarkan Pemba tasan."https://www.kompas.com/tren/read/2020/04/28/070000065/kasus-covid-19menurun-sejumlah-negara-mulai-melonggarkan-pembatasan-?page=all.

Diakses

September 2020. Harlem, Barley. “Apakah pandemi Covid-19 sudah masuk kategori force majeur? Ini kata pen gamat hukum.”https://nasional.kontan.co.id/news/apakah-pandemik-covid-19-sudahmasuk-kategori-force-majeur-ini-kata-pakar-hukum. Diakses 30 Agustus 2020. Rahadi, Rernan. “Pandemi Covid-19 dan Implikasinya Bagi Kontrak Bisnis.” https://republik a.co.id/berita/qb2isf291/pandemi-covid19-dan-implikasinya-bagi-kontrak-bisnis https ://www.cnbcindonesia.com/news/20200414133502-4-151798/corona-force-majeure-ininasib-kontrak-kerja-yang-ingkar. Diakses 30 Agustus 2020. Rizqo, Kanavino Ahmad. “Menko Mahfud: Keppres Bencana Nasional Tak Bisa Jadi Dasar Force Majeur!” https://news.detik.com/berita/d-4976489/menko-mahfud-keppres-ben cana-nasional-tak-bisa-jadi-dasar-force-majeur. Diakses 30 Agustus 2020

14

2


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.