LEX VOL. III 2020 -ADIL-

Page 1

03

LEX JULI 2020/VOL.3

MENGGALI DATA MENYAMPAIKAN FAKTA

adil

Reportase Lex tentang Keadilan Sosial

foto: unsplash- / Sushil Nash


Keadilan sosial menghendaki bahwa setiap hak dan kewajiban masyarakat harus betul-betul terpenuhi oleh setiap individu di dalamnya. Namun kenyataannya, masih banyak pihak yang tidak benar-benar sadar dan mau menerapkan nilai-nilai keadilan yang notabene menjadi aspek penting dalam kehidupan berbangsa di negeri ini. Oleh karena itu, penerapan keadilan yang terpikul di pundak hukum membutuhkan konsistensi peran masyarakat dan negara dalam mewujudkannya.

prakata

LEX edisi kali ini akan membahas perihal dilema dan realita yang selama ini ada dalam proses penerapan keadilan sosial di Indonesia. Dengan berbagai soal bagaimana dalam kenyataan sosial yang belum sesuai PIMPINAN REDAKSI dengan harapan, baik regulasi yang memberikan Marion Mutiara Matauch privilese terhadap sebagian pihak maupun Marion Mutiara Matauch FHUI 2019 diskriminasi secara sistematis, menggambarkan dilematisnya makna keadilan yang tidak memihak itu sendiri. Semoga LEX kali ini dapat meningkatkan pengilhaman kita tentang pentingnya keadilan sosial bagi seluruh masyarakat, khususnya mereka yang haknya sering terpinggirkan dan terabaikan. Selamat membaca dan selamat berproses!

EDITOR EDITOR

Farrazka Staf Jurnalistik 2020

Pelindung Pembina Penanggung Jawab Ketua Harian Wakil Ketua Harian Pimpinan Redaksi Editor I Editor II Desainer Redaktur

Nouvaliza Aisy Akmalia Staf Jurnalistik 2020

redaksi

: Dr. Edmon Makarim, S.Kom., LL.M. : Junaedi, SH,M.Si.,LL.M. : Abdul Rayhan Hanggara : Gabriel Marvin Emilio Simanjuntak : Raissa Zhafira Sulaeman : Marion Mutiara Matauch : Nouvaliza Aisy Akmalia : Farrazka : Raissa Zhafira Sulaeman : Staf Biro Jurnalistik LK2 FHUI 2020


I NV E ST I G A S I

Bergulirnya Bola Panas UU Minerba 2020

4

Oleh Miyuki Fattah dan Muhammad Firman

Investigasi............................................. PROFIL

Anggiasari Puji Aryatie: Melawan Stigma Penyandang Disabilitas

8

Oleh Ardia Khairunnisa dan Ninda Maghfira

OPINI

Pengakuan Setengah Hati akan Eksistensi Penghayat Kepercayaan

12

Oleh Faradila Utami

OPINI

Mengintip Rupa Keadilan di Balik Jeruji Lapas

14

Oleh Aditya Weriansyah

KATA KITA

Refleksi Perlindungan Hukum bagi Pembela HAM

16

Oleh Hany Areta Athayalia

MELEK HUKUM

Hak Masyarakat dan Kesenjangan Pemerataan Pelayanan Kesehatan

18

Oleh Gita Rachma

JAS MERAH

Potret Sejarah Diskriminasi terhadap Etnis Tionghoa di Indonesia

20

Oleh Siti Chatlia Quranina

SEKITAR KITA

Melihat Kasus Kekerasan Seksual Secara Aktual bersama HopeHelps UI

22

Oleh Beatrice Chrestella dan M. Ammar Jihad

SPOTLIGHT

24

daftar isi


Bergulirnya Bola Bola Bergulirnya Panas UU UU Minerba Minerba Panas 2020 2020 Redaktur: Muhammad Firman dan Miyuki Fattah Rizki

P

menjadi titik tolak mengenai isu yang berkembang asca Kemerdekaan Indonesia, pertambangan sesudah diundangkannya UU No. 3/2020 beserta menjadi salah satu hal yang diperhatikan oleh Pe- pro dan kontra yang menyertainya. merintah melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Pokok Pertambangan pada masa Orde Urgensi Pembahasan UU Minerba Baru, yang mana hal tersebut kemudian menjadi “renaissance� atas kehidupan pertambangan di Eddy Soeparno, Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Indonesia. Tidak hanya di era tersebut, pertambangan 2019-2024, menyatakan bahwa setiap undangjuga menjadi isu penting pada pada masa Reformasi, undang tentu memiliki masa berlaku dan masa efeksaat dilahirkannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun tif sesuai kebutuhan era dan zaman. Pada era kini, ia 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara menilai bahwa sektor pertambangan mineral dan (UU No. 4/2009). Kini, isu pertambangan kembali batubara (Minerba) dapat menjadi ladang investasi mencuat, tepatnya pada 10 Juni 2020, revisi UU dan pembaharuan ekonomi Indonesia. Dengan Minerba diundangkan sebagai Undang-Undang melihat kenyataan dan kebutuhan hukum yang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas demikian, maka perlu dilakukan pembaharuan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang UU No. 4/2009, yakni dengan dilahirkannya UU Pertambangan Mineral dan Batubara (UU No. 3/2020 No. 3/2020. atau UU Minerba 2020) setelah disahkan oleh Presiden Joko Widodo. Sebelumnya, UU Minerba Kembali menurut Soeparno, UU No. 3/2020 me2020 telah dibahas dan disepakati sebagai miliki 4 (empat) aspek penting yang menjadi fokus Undang-Undang oleh Dewan Perwakilan Rakyat perubahannya. Pertama, tentang masalah hilirisasi, Republik Indonesia (DPR RI) dalam sidang paripurna yang mana pada ketentuan yang baru ini mewajibkan tertanggal Selasa, 12 Mei 2020. Pembahasan tersebut para pengusaha tambang untuk melakukan monitor-

LEX | VOL. III

4

Foto: Unsplash.com/Julian Elbert

investigasi


Investigasi

ing dalam proses hilirisasi. Kedua, dalam aspek pengaturan lingkungan hidup dengan mempertegas sanksi bagi para pemegang izinnya yang tidak memperhatikan kelestarian lingkungan. Ketiga, dioptimalisasikannya penerimaan negara dengan regulasi yang meningkatkan penerimaan royalti yang lebih tinggi. Keempat, terdapat ruang pengaturan tentang DMO (Domestic Market Obligation) dengan memperhatikan ekspor batubara guna menjaga supply batubara untuk kepentingan dalam negeri. Soeparno sendiri menjelaskan bahwa aspek-aspek ini adalah fokus utama yang menjadi spirit diberlakukannya UU No. 3/2020. Hal tersebut yang membuat ketentuan ini menjadi relevan terhadap perkembangan zaman, khususnya untuk urusan mineral dan batubara.

Berangkat dari landasan berpikir tersebut, pemilik izin pertambangan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) akan berubah menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) dengan mempertimbangkan penerimaan negara sesuai dengan ketentuan Pasal 169A UU No. 3/2020. Izin ini bisa diperpanjang oleh Kementerian ESDM untuk 2x10 tahun. Perubahan permintaan izin ini juga menguntungkan pihak pengusaha tambang, sebab permintaan dapat dikirim lima tahun sebelum masa berakhir yang sebelumnya 2 tahun. Menurut Soeparno, hal ini ditujukan agar perusahaan tambang memperoleh kepastian berusaha. Sebab, jika ada investor yang melakukan investasi besar namun izin usaha tidak kunjung dikeluarkan, maka akan besar kemungkinan risiko yang ditimbulkan, misalnya kurangnya keSoeparno juga menambahkan bahwa salah satu fokus percayaan dengan investor maupun timbulnya utama dibentuknya UU No. 3/2020 adalah sebagai sengketa hukum yang tidak diinginkan. bentuk “pembelajaran� dalam beberapa preseden perkara pertambangan. Hal ini tercetus dari fenomena Selanjutnya, berdasarkan UU No. 3/2020, proses perizinan tambang yang dipegang oleh PT Tanito perizinan tambang akan menggunakan prinsip sentralHarum. Perseroan ini dinyatakan pailit oleh sebab isasi di bawah Kementerian ESDM. Soeparno melambatnya pemberian izin, terlepas dari kenyataan nyatakan bahwa proses yang terkoordinir di pusat ini bahwa perusahaan ini mesti pailit disebabkan ter- bertujuan untuk mencegah proses perizinan yang sangkut kasus korupsi. Menteri ESDM kala itu, memakan banyak waktu dan tumpang tindih. Namun, Ignasius Jonan, akhirnya membatalkan perpanjangan Kementerian ESDM juga memiliki hak untuk mendeleizinnya setelah menerima surat dari Komisi Pem- gasikan khususnya untuk penambangan batuan dan berantasan Korupsi (KPK). Kembali menurut penambang rakyat. Berbeda dengan pandangan Merah Soeparno, dengan izin yang tidak kunjung keluar, bekas Johansyah, Koordinator Jaringan Advokasi Tambang lahan proyek yang telah diusahakan PT Tanito Harum, (JATAM), yang berpendapat bahwa perizinan tambang ditinggalkan mangkrak, dengan kubangan lumpur serta tersebut tidak tepat apabila semuanya bertumpu pada peralatannya dijarah oleh perusahaan-perusahaan pemerintah pusat. Hal tersebut dikhawatirkan dapat tambang liar. memicu inefisiensi pengawasan Pemerintah di daerah.

Foto: Unsplash.com

5

LEX | VOL. III


Foto: Unsplash.com

Investigasi

Pro dan Kontra UU 3/2020 Walaupun dilandaskan dengan cita-cita yang baik, keberlakuan UU No. 3/2020 nyatanya menuai banyak protes dari sebagian pihak terhadap materi muatannya. UU tersebut hendak menghapuskan ketentuan tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) di dalam pasalnya. Penghapusan AMDAL dalam UU No. 3/2020 adalah untuk menyelaraskan dengan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja. Johansyah mengatakan, “UU Minerba sebelum perubahan yang memiliki Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) (ternyata) tidak dijalankan di lapangan dan malah dijadikan lahan bisnis (oleh) para ahli lingkungan, apalagi (jika nantinya) dihilangkan.� Di lain sisi, Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Susiwijono memberikan bantahan bahwa ketentuan AMDAL tidak dihapus sama sekali, tapi analisisnya berdasarkan risiko usaha dan diintegrasikan dalam bentuk Peta Digital Rencana Detail Tata Ruang (RDTR). Selanjutnya, beliau mengatakan jika peng-hapusan AMDAL ini guna untuk penyederhanaan izin usaha. Menurut Koordinator JATAM tersebut, UU No. 3/2020 telah memberikan banyak dampak terhadap lingkungan maupun manusia. Dari aspek lingkungan, LEX | VOL. III

6

UU ini dibilang telah memberikan kemudahan perpanjangan izin pertambagan untuk terus beroperasi sehingga terdapat kemungkinan tambang yang terbengkalai dan menimbulkan kubangan tambang berkurang. Selain itu pada Pasal 1 ayat (28a) UU No. 3/2020, terdapat definisi baru, yaitu Wilayah Hukum Pertambangan (WHP), yang meliputi seluruh ruang darat, ruang laut, termasuk kepulauan Indonesia, tanah diatas perairan, dan landas kontinen. Definisi WHP baru ini membuka kemungkinan kerusakan alam di seluruh wilayah di Indonesia baik darat maupun perairan. Ditambah dengan adanya perubahan ketentuan luas Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) di dekat sungai pada Pasal 22 UU No. 3/2020, luas WPR yang mulanya pada UU No. 4/2009 maksimal 25 Hektar (Ha) menjadi maksimal 100 Ha pada UU No. 3/2020. Perluasan tersebut berpotensi menyebabkan tercemarnya sungai yang merupakan sumber air bersih bagi warga sekitar yang dapat menyebabkan penyakit. Oleh karena itu, menurut Johansyah, lahan perairan saat dan pasca tambang sangat berisiko kepada masyarakat di sekitar tambang karena berisi zat-zat kimia yang dapat merusak kesehatan seperti penyakit paru-paru hitam (pneumokoniosis).


Investigasi Selain itu, wilayah pertambangan yang terkontaminasi juga menyebabkan masyarakat sekitar yang memiliki profesi bergantung pada alam kehilangan pekerjaan, dimana sesuai riset Kementerian Keuangan (Kemenkeu), terdapat 18,4 juta orang berprofesi sebagai petani, peternak, dan pekebun, serta 900 ribu orang berprofesi sebagai nelayan (Databoks, 2020). Parahnya lagi, masyarakat sekitar juga berpotensi kehilangan hak kebebasan untuk menolak pertambangan sebagaimana diatur Pasal 162 dan Pasal 164 UU No. 3/2020. Aturan tersebut dapat menimbulkan upaya kriminalisasi terhadap tindakan masyarakat yang menolak tambang. Mereka dapat diancam pidana kurungan paling lama satu tahun atau denda paling banyak Rp100 juta, ditambah dengan pidana tambahan berupa perampasan barang yang digunakan dalam melakukan tindak pidana, perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana, dan/atau kewajiban membayar biaya yang timbul akibat tindak pidana.

UU No. 3/2020 hadir sebagai upaya menyikapi kondisi ekonomi Indonesia, khususnya dalam sektor Minerba. Konsep sentralisasi yang dibawakan memang tidak sesuai dengan semangat desentralisasi yang digaungkan di era Reformasi. Di sisi lain, UU Minerba 2020 juga berfungsi bagi peningkatan ekonomi Indonesia. UU tersebut hadir sebagai keberlanjutan dari naiknya posisi Indonesia menjadi Negara “Upper Middle Income Class�. Meskipun keberadaan UU tersebut harus selaras dengan Pasal 33 ayat (1) UUD 1945, yang mana kekayaan alam bangsa Indonesia dikuasai negara dan digunakan untuk kemakmuran rakyat Indonesia. Oleh sebabnya alangkah lebih bijak jika melihat sambil mengawasi hasil baik dari keberlakuan UU No.3/2020. Sebagaimana dikatakan oleh Satjipto Rahardjo, aturan hukum yang buruk akan tetap menjadi baik selama diterapkan oleh aparat hukum yang baik, begitupun sebaliknya.

Bagaimana Semestinya Memandang Lahirnya UU No. 3/2020?

Miyuki Fattah Rizki Staf Jurnalistik LK2 FHUI FHUI 2019

Muhammad Firman Staf Jurnalistik LK2 FHUI FHUI 2019

Foto: google.com

7

LEX | VOL. III


profil Anggiasari Puji Aryatie:

Melawan Stigma Penyandang Disabilitas Foto: dokumen pribadi

I

Oleh Ardia K. dan Ninda M.

“Yang salah itu bukan disabilitas, tetapi bagaimana masyarakat melihat disabilitas.� Anggiasari Puji Aryatie

bu Anggiasari Puji Aryatie atau yang lebih akrab Pada tahun 1987, ketika Ibu Anggiasari baru medipanggil dengan Anggiasari, terlahir dengan masuki Sekolah Dasar (SD), belum terdapat konsep gangguan pertumbuhan tulang yang disebut dengan bahwa anak disabilitas memerlukan akomodasi yang akondroplasia. Gangguan tersebut menyebabkan tinggi layak. Alhasil, ia dipaksa oleh keadaan untuk badannya hanya mencapai 40% dari tinggi badan beradaptasi dengan lingkungan sekolah umum yang manusia biasanya. Namun, keterbatasan fisik tidak kurang menunjang keterbatasan fisiknya, tanpa lantas menyurutkan keinginannya untuk belajar layak- bantuan dari pihak manapun. Beruntung, nya anak-anak pada umumnya. Sejak memasuki teman-teman SD beliau tidak ada yang pernah mengTaman Kanak-Kanak (TK), Ibu Anggiasari, yang olok-olok kondisi fisiknya. Kemudian, ketika mulai tengah menjabat sebagai staf ahli untuk Wakil Ketua memasuki masa Sekolah Menengah Atas (SMA), Ibu Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI Ibu Lestari Anggiasari memilih untuk bersekolah di salah satu Moerdijat, tidak pernah menempuh pendidikan di sekolah negeri di daerah Halim. Pada titik ini, Ibu Sekolah Luar Biasa (SLB). Sebab, jenis disabilitas yang Anggiasari akhirnya dapat keluar dari rasa rendah diri dialaminya tidak membuat perkembangan kognitifnya yang kerap muncul. Ia menolak untuk merasa lebih menjadi berbeda dengan anak-anak lainnya. Kondisi lemah dari orang lain. “Sakit memang, tapi keadaan itulah yang menyebabkan orang tua dari Ibu sudah begini. Saya tidak pernah berkepanjangan Anggiasari bersikeras menyekolahkannya di sekolah mengasihani diri sendiri karena yang saya pikirkan umum. saat itu adalah bagaimana saya bisa memperbaiki diri LEX | VOL. III 8


profil saya, mahir dalam suatu bidang, dan tidak merepot- dengan stigma yang ada untuk penyandang disabilitas. kan orang lain.� ucapnya. Alhasil, ia memutuskan untuk melanjutkan Memulai Aktivisme pendidikannya kembali, yaitu S-1 jurusan Sastra Inggris di Sekolah Tinggi Bahasa Asing LIA dan S-2 Selepas SMA, Ibu Anggiasari melanjutkan pen- jurusan Teologi di Universitas Kristen Duta Wacana. didikan S-1 Sastra Perancis di Universitas Gadjah Selama mengambil program magister, ia juga ikut Mada. Dapat dikatakan, pendidikan sastra me- membantu sebagai penerjemah dalam sebuah rupakan salah satu pengalaman yang membentuk komunitas disabilitas internasional bernama pribadinya. Ketika itu, ia juga gemar mengikuti ber- International Disability Advocacy Network. Dari kegiatan bagai diskusi yang marak dilakukan di kampus. ini, beliau mulai mengenal isu disabilitas. Namun Menurutnya, dunia perkuliahan lah yang membuka demikian, perkenalan tersebut tidak langsung memsegala pikiran mengenai berbagai permasalahan buatnya memutuskan untuk menjadi seorang aktivis sekitar yang selama itu menjadi kegelisahannya, isu disabilitas. Sebelum akhirnya terjun ke isu tetapi tidak tahu apa nama dari permasalahannya. disabilitas, beliau masih berfokus pada isu keberagaman di Indonesia bersama Lembaga Swadaya Setelah menyelesaikan kuliahnya, Ibu Anggiasari Masyarakat (LSM) Interfidei. Setelah lulus S-2, ia dihadapkan dengan realita bahwa sebagian per- berfokus pada isu kesehatan reproduksi melalui LSM usahaan atau instansi belum siap untuk menerima- CD Bethesda Yakkum sekitar satu tahun lamanya. nya dengan disabilitasnya. Beberapa kali, dirinya mencoba peruntungan dengan melamar di Berkaca dari pengalamannya itu, Ibu Anggiasari meperusahaan swasta dan berhasil lulus tahapan yang nyadari bahwa isu kesehatan reproduksi bagi tidak memerlukan interaksi tatap muka. Namun, saat anak-anak sekolah di Indonesia masih belum didipanggil untuk melakukan sesi wawancara terakhir, bicarakan secara luas dan berdasar pada sumber yang ia gagal karena perekrut melihat kondisi disabilitas- akurat. “Apalagi untuk teman-teman disabilitas, siapa nya. Kendala ini juga dialaminya saat ingin melamar yang mau berbicara tentang hak kesehatan reproduksi menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) karena dan seksualitas?� ucap beliau, “itu kan sesuatu yang selalu ada persyaratan sehat jasmani dan rohani juga tabu, juga anggapan bahwa orang dengan disabilitas batas minimal tinggi badan. Beliau mendapati kega- tidak mempunyai seksualitas.� Padahal dengan pengegalannya dalam melamar pekerjaan karena terbentur tahuan yang cukup, orang tua dan masyarakat bisa

Foto: dokumen pribadi

9

LEX | VOL. III


profil memitigasi kemungkinan-kemungkinan buruk yang akan terjadi. Setelah berkecimpung dalam isu kesehatan reproduksi, Ibu Anggiasari mengadvokasikan kesehatan ibu dan anak di sebelas rumah sakit di Jawa Tengah. Beliau mendapati fakta bahwa ibu dengan disabilitas memiliki risiko yang sangat tinggi akan komplikasi, seperti kematian bayi, kematian ibu, ataupun kelainan lain. Di sinilah ia merasakan suatu dorongan yang kuat untuk membantu penyandang disabilitas. Selesai dengan proyek kesehatan ibu dan anak, akhirnya ia memutuskan untuk mulai mengadvokasikan isu tanggap bencana bagi disabilitas dan berlanjut hingga sekarang dengan fokus inklusi di masyarakat. Pengalaman Aktivisme Sekitar tahun 2017, Ibu Anggiasari diundang untuk memberikan pelatihan tentang inklusi di kamp pengungsian suku Karen dari Myanmar, di bagian utara Thailand. Sebagaimana kamp pengungsian, kondisi fasilitas dan pengungsi di kamp tersebut sangatlah memprihatinkan. Di sana, ia bertemu dengan seorang anak perempuan difabel yang tinggal di rumah khas daerah. Ketika melihatnya, Ibu Anggiasari sadar bahwa tidak ada yang memberi perhatian khusus kepada anak tersebut dan menimbulkan perasaan simpati dalam hatinya. “Bagaimana kalau nanti dia sudah memasuki masa pubertas? Bagaimana kalau dia ditinggal keluarganya untuk berladang atau mencari kayu bakar? Dia akan menjadi orang yang sangat rentan dan berisiko.” papar Ibu Anggiasari. Pengalaman tersebut membuatnya sedih karena tidak mampu untuk membantu anak perempuan itu. Mulai saat itu, ia meyakini bahwa perjuangan untuk membantu komunitas disabilitas, setidaknya akan membuat keadaan menjadi sedikit bearable. Pada tahun 2019, Ibu Anggiasari bersama dua rekannya membentuk sebuah gerakan untuk menyebarluaskan inklusi disabilitas yang bernama “Mulai dari Kita Indonesia”. Gerakan tersebut melakukan kampanye inklusi berbasis sosial media dan berpusat di Yogyakarta. Selain inklusi disabilitas, fokus dalam gerakan ini juga untuk memperjuangkan hak-hak minoritas serta kesehatan mental kepada masyarakat. LEX | VOL. III

Resistensi dan Hambatan Selama menjadi aktivis, Ibu Anggiasari menyadari bahwa resistensi di masyarakat sangatlah menonjol. Pendekatan memahami isu disabilitas masih cenderung menggunakan kisah-kisah tragis dan kasihan, misalnya mengatakan bahwa disabilitas merupakan akibat dari perbuatan dosa orang tuanya, akibat dari suatu pesugihan, dan mitos-mitos lainnya. Sekali waktu Ibu Anggiasari sedang mengadvokasikan isu ini ke daerah-daerah di Jawa. Kemudian, didapatinya warga di daerah tersebut mengasihaninya dengan ungkapan “Aduh, Mbak, melas, melas banget, Mbak.” Namun demikian, bagi dirinya, hal-hal semacam ini justru semakin memacu semangat untuk mendorong penghapusan stigma penyandang disabilitas dengan pendekatan berbasis hak. “Yang salah itu bukan disabilitas, tetapi bagaimana masyarakat melihat disabilitas,” ujarnya dalam menanggapi bagaimana sikap masyarakat terhadap isu ini. Ia percaya bahwa disabilitas adalah bawaan lahir yang tidak bisa diubah dan dapat terjadi kepada siapa saja. Namun sayangnya, konsep tersebut masih belum tertanam dalam pikiran kebanyakan masyarakat Indonesia. Hal tersebut tercermin dengan adanya fakta bahwa terdapat penyandang disabilitas yang tidak boleh keluar rumah, dipasung, dan tidak didaftarkan akta kelahirannya karena malu atas stigma yang diberikan masyarakat. “Untuk sampai pendekatan dengan hak, kita harus menghapus stigma. Masyarakat Indonesia masih melihat disabilitas sebagai sesuatu yang tragis dan magis,” terang Ibu Anggiasari. Pemenuhan Hak Disabilitas di Indonesia Berdasarkan penjelasan dari Ibu Anggiasari, diketahui bahwa Indonesia telah memiliki berbagai payung hukum untuk menjamin pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas sejak tahun 1997 hingga sekarang dan terus mengalami perkembangan. Mulai dari Undang-Undang No. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat, kemudian diratifikasinya Convention on the Rights of Persons with Disabilities melalui Undang-Undang No. 19 Tahun 2011, dan Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Selain itu, peraturan mengenai penyandang disabilitas juga tersebar di beberapa peraturan sektoral dan peraturan daerah.

10


profil Ketika ditanya mengenai komitmen Pemerintah dalam menjalankan peraturan perundang-undangan, Ibu Anggiasari berpendapat bahwa isu disabilitas adalah isu yang mudah diucapkan, tapi implementasinya belakangan. Kondisi ini dapat dilihat dari belum maksimalnya diseminasi kebijakan kepada masyarakat yang dilakukan oleh pemerintah. Pemerintah yang seharusnya menjadi leading sector, masih tertutupi perannya dengan gerakan masyarakat, organisasi, maupun LSM. Selain itu, Ibu Anggiasari juga menjelaskan mengenai Peraturan Presiden No. 68 Tahun 2020 tentang Komisi Nasional Disabilitas. Menurutnya, dengan dibentuknya komisi ini dapat menjadi langkah awal untuk kegiatan advokasi isu-isu disabilitas yang lebih baik. Namun, banyak lapisan penyandang disabilitas merasa bahwa dibentuknya Komisi Nasional Disabilitas di bawah Kementerian Oleh: Miyuki Chan

Sosial masih belum tepat. Sebab, Kementerian Sosial dinilai masih menggunakan pendekatan yang mengandung unsur charity-based atau dengan belas kasihan, bukan dengan right-based atau pemenuhan hak. Keterbatasan fisik yang dimiliki oleh Ibu Anggiasari tidak menghalanginya untuk terus menjalani hidup sebaik mungkin dan membawa manfaat bagi orang-orang di sekitarnya, terutama bagi teman-teman penyandang disabilitas. Meskipun stigma terhadap penyandang disabilitas masih melekat dalam masyarakat, ia tetap memacu langkahnya untuk menggiatkan masyarakat Indonesia yang lebih inklusif. Perjalanan untuk mencapainya tentu masih panjang. Oleh karena itu, dukungan dari setiap lapisan masyarakat terhadap kegiatan advokasi isu disabilitas oleh Ibu Anggiasari dan rekan-rekannya sangatlah diperlukan.

Ardia Khairunnisa Setiawan Staf Jurnalistik LK2 FHUI FHUI 2019

Ninda Maghfira Staf Jurnalistik LK2 FHUI FHUI 2019

Foto: Unsplash.com

11

LEX | VOL. III


opini

Oleh Faradila Utami

Pengakuan Pengakuan Setengah Setengah Hati Hati akan akan Eksistensi Eksistensi Penghayat Penghayat Kepercayaan Kepercayaan P

ada periode 2010-2015, telah tercatat adanya 115 kasus kekerasan dan diskriminasi yang menimpa penghayat kepercayaan (Medcom.id, 2016). Penghayat kepercayaan atau penganut aliran kepercayaan lokal, menjadi korban diskriminasi karena stigma masyarakat dan kurangnya pengakuan oleh negara. Belum lagi, berdasarkan Pasal 61 ayat (1) dan (2) serta Pasal 64 ayat (1) dan (5) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, mereka harus mengosongkan kolom agama dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP) seakan-akan tidak beragama. Tidak jarang pula, penghayat dipandang sebagai aliran sesat, perdukunan, dan primitif (Kompas, 2017). Sebab hal ini, penghayat menggugat pasal-pasal tersebut dan meminta dicantumkannya kepercayaan pada KTP.

Foto oleh oppobaca.news

kepercayaannya itu.” Atas dasar tersebut, penghayat berhak mengamalkan kepercayaannya dan bebas dari diskriminasi. MK memutuskan pasal-pasal tersebut tidak memiliki kekuatan hukum mengikat secara bersyarat, sepanjang tidak termasuk “kepercayaan”. Akan tetapi, putusan MK hanya sekadar pengakuan oleh negara, nyatanya hak-hak penghayat di lapangan masih sulit untuk dipenuhi.

Walaupun seharusnya penghayat sudah dapat merevisi KTP, hal ini tidak mudah untuk direalisasikan. Bonie Nugraha Permana, Ketua Masyarakat Luhur Kepercayaan Indonesia Kota Bandung, menyatakan tidak semua petugas Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil tahu atas aturan penerbitan KTP untuk penghayat, bahkan ada yang tidak tahu penghayat (BBC, 2019). Gugatan tersebut akhirnya berbuahkan hasil. Dalam Selain itu, ada pula petugas yang memiliki stigma Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor negatif dan tidak melayani perubahan KTP penghayat. 97/PUU-XIV/2016, Mahkamah Konstitusi (MK) Sebagai solusi, penghayat melakukan cara yang dinilai mengabulkan permohonan tersebut berdasarkan Pasal lebih berhasil, yaitu dengan merevisi secara kolektif, 29 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik seperti di Surabaya dengan total sekitar delapan puluh Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) yang orang dan Semarang dengan total sekitar empat ratus berbunyi, “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap orang. (Okezone, 2019). Usai proses revisi KTP terpenduduk untuk memeluk agamanya masing-masing sebut, masalah masih berlanjut di berbagai bidang, dan untuk beribadat menurut agamanya dan terutama administrasi, pendidikan, dan sosial.

LEX | VOL. III

12


opini

Dalam bidang administrasi, penghayat masih mengalami kesulitan dalam pengisian formulir-formulir administrasi sebab fasilitas layanan publik hanya menyediakan enam pilihan agama. Tidak adanya harmonisasi formulir menyebabkan kendala administrasi yang berujung pada pelanggaran hak penghayat. Sebagai contoh mengenai perihal pelayanan kesehatan. Tuti Ekawati, penganut kepercayaan Budidaya, memiliki pengalaman terkendala administrasi rumah sakit karena formulir hanya mencantumkan enam agama (Okezone, 2019). Padahal, berdasarkan Pasal 28H ayat (1) UUD NRI 1945, setiap orang berhak atas pelayanan kesehatan. Permasalahan administrasi ini juga terjadi pada aktivitas yang mengharuskan pengisian formulir, seperti layanan perbankan dan lamaran pekerjaan. Dalam bidang pendidikan, penghayat kepercayaan terhambat oleh stigma dan ketersediaan tenaga pengajar. Padahal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan telah menyediakan mata pelajaran Pendidikan Kepercayaan guna menggantikan mata pelajaran Pendidikan Agama bagi penghayat. Walaupun begitu, Kuswijoyo Mulyo, koordinator penyuluh Pendidikan Kepercayaan di Yogyakarta, menyebutkan bahwa tidak semua sekolah mau menerima keberadaan Pendidikan Kepercayaan (VOA Indonesia, 2020). Tidak adanya keterbukaan dari pihak sekolah menyebabkan terlanggarnya hak siswa sebagaimana diatur pada Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang berbunyi, “Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama.� Setelah masalah keterbukaan pihak sekolah, ketersediaan pengajar juga harus menjadi perhatian pemerintah. Pengajar Pendidikan Kepercayaan tidak disebut guru karena sebutan itu mewajibkan adanya ijazah pendidikan sarjana sebagaimana tertera pada Pasal 9 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, sedangkan tidak ada program sarjana untuk Pendidikan Kepercayaan. Akhirnya, pengajar diambil dari berbagai organisasi kepercayaan yang diberikan pelatihan, kemudian disebut dengan penyuluh. Tanpa sebutan “guru�, penyuluh tidak mendapatkan hak sebagaimana

13

pengajar mata pelajaran resmi seharusnya. Muslam Hadiwiguna Putra, budayawan sekaligus penyuluh di Cilacap, mengungkapkan bahwa penyuluh mengajar sukarela tanpa mendapatkan gaji dari negara maupun sekolah (Kompas, 2020). Dalam kata lain, perlindungan hukum dan kesejahteraan bagi pengajar Pendidikan Kepercayaan belum mendapat perhatian oleh pemerintah.

Di luar bidang pendidikan dan administrasi, penghayat juga mengalami ketidakadilan dalam kehidupan sosial. Stigma masyarakat bahwa aliran kepercayaan adalah aliran sesat atau primitif, tidak hilang begitu saja dengan adanya kolom kepercayaan dalam KTP. Sebagai contoh, di Brebes, terjadi kesulitan memakamkan jenazah penghayat di Tempat Pemakaman Umum karena adanya penolakan dari pihak tertentu. Alhasil, 90% penghayat yang telah meninggal harus dimakamkan di tanah wakaf (Kumparan, 2019). Selain itu, penghayat juga tidak dapat mendirikan tempat ibadah sebab belum ada payung hukum yang mengatur hal tersebut. Kepala Kesbangpolinmas Kabupaten Karanganyar, Agus Cipto Wardoyo, mengatakan pihaknya tidak bisa mengizinkan walaupun sudah ada keputusan MK (Okezone, 2018). Putusan MK memang hanya berisikan penulisan kepercayaan dalam KTP. Untuk pendirian tempat ibadah, aparat masih menunggu adanya aturan dari pemerintah. Dengan demikian, penghayat kepercayaan masih mengalami berbagai masalah ketidakadilan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Putusan MK hanya memberikan pengakuan kepada eksistensi penghayat dari negara, tetapi hak-hak penghayat dalam kehidupan bermasyarakat masih belum sepenuhnya terpenuhi. Pengakuan tersebut perlu ditindaklanjuti dengan adanya sosialisasi eksistensi penghayat kepada masyarakat maupun petugas pelayanan publik, serta dibuatnya payung hukum lebih lanjut untuk mendukung eksistensi penghayat kepercayaan.

Faradila Utami Staf Jurnalistik LK2 FHUI FHUI 2019

LEX | VOL. III


opini Mengintip Rupa Keadilan di Balik Jeruji Lapas foto: unsplash.com

Oleh Aditya Weriansyah

“If a deadly snake slithering around in a preschool bit a child, would you box it up for a month as punishment, and then release it to prey upon the children once again?�

D

Edward M. Wolfe, When Everything Changed

ahulu saat manusia masih berstatus naturalis atau belum bernegara, manusia hidup dengan mengutamakan ego masing-masing hingga digambarkan sebagai homo homini lupus (manusia adalah serigala bagi manusia lainnya). Suasana yang demikian membuat manusia berpikir untuk menata kembali kehidupannya agar hak-hak mereka dapat terlindungi. Alhasil, manusia berpikir untuk mengadakan kontrak sosial atau yang juga dikenal dengan perjanjian masyarakat. Mulai dari titik ini, ketiga ahli yang mengemukakan pandangan tadi yaitu J.J Rousseau, Thomas Hobbes, dan John Locke sedikit berbeda pendapat. Namun muaranya tetap sama, yaitu dengan adanya kontrak sosial tadi maka segala tatanan kehidupan akan diatur dan ditata oleh negara (red: penguasa). Lebih kurang begitulah gambaran sederhana menurut ketiga filsuf tadi mengapa negara sampai memiliki kewenangan yang begitu besar atas rakyatnya. Mulai dari memerintah hingga mengambil tindakan penghukuman semuanya ada di pundak negara. Seperti yang disampaikan pula oleh Leo Polak dalam Verspreide Geschriften II tentang mengapa negara memiliki ius puniendi (hak untuk memberi LEX | VOL. III

hukuman), alasannya sederhana, negaralah yang memerintah maka negara berhak untuk menghukum. Berbicara perihal hukuman, kini penghukuman telah jauh berkembang dibanding saat para filsuf di atas masih hidup. Dewasa ini, hukuman telah merubah haluannya dari yang mulanya sebagai ajang pembalasan kini sebagai ajang pemasyarakatan. Begitulah yang dipercayai oleh hampir seluruh negara, termasuk negara kita sesuai dengan Undang-Undang Pemasyarakatan Pasal 1 ayat (2) yang menjelaskan bahwa tujuan dimasukkannya seseorang ke dalam lembaga pemasyarakatan adalah supaya mereka sadar atas kesalahannya dan memperbaiki diri agar siap terjun kembali ke masyarakat. Dengan demikian dapat dikatakan lapas sebagai tempat perbaikan diri bagi narapidana. Tentu saja dengan sifat memanusiakan manusia. Iya! Demikianlah gambaran ideal yang diamanatkan oleh undang-undang. Namun seperti kebanyakan hal lainnya, kinerja pemasyarakatan pun tak lepas dari banyak kekurangan yang dapat menjadi bahan kritikan. Merupakan tanggung

14


opini

jawab besar memang bagi negara ketika membatasi hak seseorang dengan menempatkannya di suatu tempat isolasi mengingat ada hak-hak fundamental lain yang harus dipastikan tetap terpenuhi. Sayangnya, tanggung jawab besar tadi belum ditunjang dengan kemampuan negara dalam menjalankan kewajibannya secara optimal. Hukum yang dimiliki saat ini bukan hanya dianggap cacat dalam praktiknya, namun rumusannya sendiri dianggap masih banyak kekurangan. Dalam praktiknya, dapat kita jumpai dengan mudah golongan mereka yang untuk berbaring sejenak saja harus berimpit-impitan dengan sesama akibat lapas yang overcrowded hingga 75% (Republika, 2020). Namun, di sisi lain, dapat dijumpai golongan mereka yang dengan mudahnya pelesiran sana-sini saat masih menyandang status narapidana. Hebatnya lagi kita juga dapat menjumpai narapidana dengan harga kamar Rp2000,- hasil dari pembayaran perkara sidang, dibandingkan narapidana dengan harga kamar Rp200.000.000,- hasil dari penyogokan (Kompas, 2018). Belum lagi deretan masalah lain akibat penyimpangan seksual para narapidana karena hukum kita yang belum mengakomodasi hak mereka untuk memenuhi kebutuhan biologisnya (Merdeka, 2019).

Dengan demikian, kita semua dapat merefleksikannya kembali dengan tujuan dari lembaga pemasyarakatan itu sendiri, apakah dengan segala problematika tadi kita dapat mengubah seseorang supaya dapat kembali siap hidup bermasyarakat? Atau sebaliknya? Jumlah narapidana yang overcrowded selain membuat kondisi dalam penjara menjadi sangat tidak layak huni, juga membuat kesulitan bagi para penjaga lapas karena beban kerja yang semakin tidak proporsional. Belum lagi dapat memicu kerusuhan dan tidak optimalnya program rehabilitasi bagi para narapidana karena tidak berimbangnya tenaga kerja dengan jumlah narapidana yang ada. Lalu dengan adanya sel hunian mewah tentu saja membuat efek jera bagi narapidana hanya sebatas angan-angan semata.

Turut pula harus diperhitungkan dengan tidak terpenuhinya kebutuhan biologis para narapidana, dikhawatirkan akan menjurus pada rasa stres yang berujung pada penyimpangan seksual. Melihat peliknya permasalahan di atas, tampaknya lembaga pemasyarakatan kita masih jauh dari kata “ideal�. Tampaknya pula keadilan di negeri ini enggan menampakkan dirinya bahkan di tempat pemasyarakatan sekalipun. Justru yang menonjol adalah betapa tidak siapnya negara dalam mengakomodasi hak-hak mereka dan pertunjukan gratis dari negara tentang bagaimana uang dapat membeli segalanya. Sudah saatnya kita harus merombak sistem pemasyarakatan kita dan tak membiarkan permasalahan ini kian berlarut. Membenahi Undang-Undang Pemasyarakatan saja tidak cukup untuk mengatasi permasalahan tadi karena sistem kita memiliki sistem peradilan pidana terpadu (integrated criminal justice system). Artinya kapasitas di dalam lapas tergantung institusi kepolisian, kejaksaan dan kehakiman. Oleh karena itu, kita harus memperbaiki dari muaranya dengan menguatkan kembali hukum pidana sebagai ultimum remedium (upaya terakhir). Selain itu, tentu tak ada artinya bila suatu peraturan yang telah dibuat dan disusun rapi, apabila ternyata pada praktiknya tidak sesuai dengan apa yang seharusnya terjadi. Pengawasan dan sikap tegas pun terhadap aparatur lembaga pemasyarakatan perlu menjadi pusat perhatian. Dengan demikian besar harapan agar secara perlahan rupa keadilan mulai tampak sedikit demi sedikit dan tujuan dari pemasyarakatan yang diidamidamkan dapat tercapai. Aditya Weriansyah Staf Jurnalistik LK2 FHUI FHUI 2019

Justice will not be served until those who are unaffected are as outraged as those who are Benjamin Franklin

15

LEX | VOL. III


kata kita

Foto: Unsplash.com

K

Refleksi Perlindungan Hukum bagi Pembela HAM

Oleh M. Ammar J. dan Andini V. Oleh Hany Areta Atahayalia

asus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia belum kunjung usai. Rentetan kasus pelanggaran terjadi di kalangan aktivis yang memperjuangkan dan membela HAM. Dilansir dari Kompas, Koalisi Masyarakat Sipil untuk perlindungan pembela HAM mencatat terdapat 73 kasus pelanggaran yang menimpa pembela HAM dalam rentang Januari 2014 hingga November 2019. Pelanggaran tersebut terjadi dalam bentuk intimidasi, penyerangan, upaya kriminalisasi, dan peretasan. Kepala Badan Advokasi Yayasan Perlindungan Insani Indonesia (YPII), Ainul Yaqin, menyebut kriminalisasi menjadi teror di kalangan aktivis HAM dengan jumlah 31 kasus. Komisioner Komnas HAM, Beka Ulung, mengungkapkan bahwa dalam negara demokrasi, seharusnya aktivis pembela HAM mendapatkan ruang sendiri agar tetap bisa menyuarakan perlindungan HAM yang ada di Indonesia. Saat ini sudah terdapat beberapa instrumen hukum khusus soal jaminan perlindungan terhadap pembela HAM, yaitu tujuh instrumen pokok HAM internasional diantaranya ICCPR, ICESCR, ICERD, CEDAW, CAT, CRC, dan Konvensi PBB 1990 yang telah diratifikasi oleh LEX | VOL. III

Pemerintah Indonesia sebagai hukum nasional berdasarkan Pasal 7 ayat (2) UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM) yang berbunyi, “Ketentuan hukum internasional yang telah diterima Negara Republik Indonesia yang menyangkut hak asasi manusia menjadi hukum nasional�. Selain itu, dalam konteks nasional diatur dalam Pasal 28E UUD 1945, Pasal 16 UU HAM mengenai jaminan atas hak berasosiasi, Pasal 66 UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan Peraturan Komnas HAM RI Nomor 5 Tahun 2015 tentang Prosedur Perlindungan Pembela HAM. Lantas apakah dalam pelaksanaannya mekanisme jaminan perlindungan bagi para pembela HAM saat ini telah optimal? Aspek apa yang sekiranya perlu diperhatikan dalam menjamin perlindungan para pembela HAM? “Pembahasan mengenai perlindungan HAM sampai saat ini masih merupakan hal yang menarik. Ketentuan HAM di Indonesia memang sudah diatur dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM.

16


kata kita

Namun, hal ini dirasa masih kurang memadai oleh karena masih banyak para aktivis HAM dalam memperjuangkan HAM mengalami sejumlah tantangan khususnya perlakuan buruk seperti ancaman, kekerasan, kriminalisasi dan sebagainya. Hal tersebut sedikit banyaknya terjadi karena belum adanya ketentuan yang cukup memadai terkait perlindungan bagi para aktivis HAM. Selain belum adanya regulasi yang cukup mengatur perlindungan para aktivis HAM, pemerintah dan para penegak hukum belum cukup memberikan perlindungan dan perlakuan yang adil terhadap aktivis HAM. Oleh karena itu, perlindungan bagi aktivis HAM memang masih menjadi tantangan pemerintah dan para penegak hukum agar dapat terlaksananya demokrasi dan terpenuhinya hak kebebasan berpendapat bagi masyarakat ataupun pembela HAM demi terciptanya pelaksanaan hukum yang adil dalam melindungi hak-hak yang dimiliki tiap individu.” - Dhanty Arwa Ghianni, FHUI 2017

“Kebebasan berpendapat dan partisipasi publik merupakan komponen penting dalam sebuah negara demokrasi seperti Indonesia. Banyaknya kasus kriminalisasi, kekerasan, dan intimidasi terhadap para aktivis HAM, di mana pemerintah seringkali menjadi aktornya, sayangnya menunjukkan bahwa komitmen negara dalam menegakkan hak-hak mendasar tersebut masih sangat kurang. “Komitmen” di sini perlu digaris bawahi karena instrumen hukum sekarang sudah mencakup pasal-pasal dalam melindungi para aktivis tersebut, misalnya terdapat ketentuan pidana terhadap tindakan penyiksaan, kekerasan, maupun intimidasi dalam KUHP maupun UU ITE. Dengan demikian, pemerintah harus mewujudkan mekanisme yudisial dan pertanggungjawaban individual terhadap para pelaku yang adil dan imparsial sehingga tidak berakibat pada impunitas pelaku. Untuk kriminalisasi, pemerintah harus segera mengeluarkan peraturan perundang-undangan yang komprehensif terkait anti-SLAPP (Strategic Lawsuits against Public Participation) untuk menjamin perlindungan para aktivis HAM dari gugatan maupun tuntutan sistematis yang berusaha membungkam suara mereka. Selain itu, peran masyarakat, NGO, maupun LSM juga diperlukan untuk menekan pemerintah agar melaksanakan kewajiban-kewajibannya dalam pemenuhan HAM.”

Foto: Unsplash.com

“Regulasi terkait jaminan perlindungan bagi para pembela HAM yang ada saat ini hanya sebatas formalitas dan implementasinya hanya sebatas retorika. Problematikanya pun tidaklah terletak pada regulasi, tetapi lebih pada pihak yang membuat dan menjalankan regulasi tersebut. Setelah reformasi, segalanya memang tampak lebih longgar dan bebas. Akan tetapi, jika yang berkuasa adalah mereka yang memiliki mental dan cara berpikir yang sama dengan rezim Orde Baru, tentu cita-cita reformasi terutama mengenai HAM tidak dapat dicapai dengan sempurna. Apalagi saat ini tidak jarang kita melihat justru orang-orang yang berada dalam rezim Orde Baru, muncul dan memegang kendali kekuasaan saat ini. Pelanggaran HAM pun terjadi lagi bagi para pejuang HAM dan keadilan. Terutama, bila mereka mengganggu kepentingan penguasa. Regulasi yang ada tidak dipedulikan karena mereka punya tentara dan polisi yang lebih setia pada oligarki dibanding hukum. Kalau sudah seperti itu yang bisa dilakukan adalah peningkatan kesadaran rakyat terhadap isu HAM itu sendiri. Rakyat tidak boleh apatis. Rakyat harus lebih sadar dan kuat dibanding penguasa. Agar penguasa tidak dapat semena-mena dalam menodongkan senjatanya.” - Sultan Falah Basyah, FHUI 2018 Hany Areta Athayalia Staf Jurnalistik LK2 FHUI FHUI 2019

- Stanislaus Demokrasi Sandyawan, FHUI 2018

17

LEX | VOL. III


Apakah hak masyarakat atas kesejahteraan sosial dilanggar apabila terjadi kesenjangan pemerataan pelayanan kesehatan di Indonesia ?

Alvin Milevanto - FMIPA UI 2018

P

asal 4 jo. Pasal 1 angka 13 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial (UU Kesos) menyatakan bahwa negara berdasarkan UUD NRI 1945 dan Pancasila diamanatkan untuk mewujudkan tujuan bangsa, yaitu kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Selanjutnya, Pasal 1 ayat (2) UU Kesos mendefinisikan Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial sebagai upaya yang terarah, terpadu, dan berkelanjutan yang dilakukan Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat dalam bentuk pelayanan sosial guna memenuhi kebutuhan dasar setiap warga negara, yang meliputi rehabilitasi sosial, jaminan sosial, pemberdayaan sosial, dan perlindungan sosial. Selain itu, Pasal 11 ayat (1) International Covenant of Economic, Social, and Cultural Rights (ICESCR), yang telah diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005, menyatakan kepada Pemerintah agar mengakui hak setiap orang atas standar kehidupan yang layak baginya dan keluarganya, termasuk cukup pangan, sandang dan papan yang layak, dan atas perbaikan kondisi hidupnya yang berkelanjutan. bagaimana regulasi yang dihadirkan. Selaras dengan definisi dan amanat yang terkandung dalam Undang-Undang tersebut, maka Pemerintah sebagai garda terdepan penyelenggara kesejahteraan sosial memiliki peran yang besar untuk mewujudkan kesejahteraan agar dilaksanakan secara merata di

seluruh wilayah Indonesia. Namun, rupanya upaya Pemerintah dalam mencapai tujuan tersebut masih dijumpai dengan sejumlah tantangan. Salah satunya adalah kesenjangan pemerataan pelayanan kesehatan yang mengancam terlanggarnya hak kesejahteraan warga sebagaimana yang diatur baik dalam UU Kesos maupun dalam ICESCR. Kesenjangan pemerataan pelayanan kesehatan di Indonesia tentunya melanggar hak warga negara sebagaimana diatur dalam Pasal 34 ayat (3) UUD NRI 1945 yang menyatakan bahwa negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak. Selain itu, hal tersebut juga melanggar hak warga negara untuk menikmati standar tertinggi yang dapat dicapai atas kesehatan fisik dan mental sebagaimana yang diatur dalam Pasal 12 ayat (1) dan (2) International Covenant of Civil and Political Rights (ICCPR), yang telah diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005. Selain itu, hak warga yang dilanggar juga terdapat pada Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang mengatakan, “Setiap individu, keluarga dan masyarakat berhak memperoleh perlindungan terhadap kesehatannya, dan negara bertanggung jawab mengatur agar terpenuhi hak hidup sehat bagi penduduknya termasuk bagi

Oleh: Gita Rachma

melek hukum LEX | VOL. III

18

Foto: unsplash.com


melek hukum

seluruh wilayah Indonesia. Namun, rupanya upaya Pemerintah dalam mencapai tujuan tersebut masih dijumpai dengan sejumlah tantangan. Salah satunya adalah kesenjangan pemerataan pelayanan kesehatan yang mengancam terlanggarnya hak kesejahteraan warga sebagaimana yang diatur baik dalam UU Kesos maupun dalam ICESCR.�

Kesenjangan pemerataan pelayanan kesehatan di Indonesia tentunya melanggar hak warga negara sebagaimana diatur dalam Pasal 34 ayat (3) UUD NRI 1945 yang menyatakan bahwa negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak. Selain itu, hal tersebut juga melanggar hak warga negara untuk menikmati standar tertinggi yang dapat dicapai atas kesehatan fisik dan mental sebagaimana yang diatur dalam Pasal 12 ayat (1) dan (2) International Covenant of Civil and Political Rights (ICCPR), yang telah diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005. Selain itu, hak warga yang dilanggar juga terdapat pada Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang mengatakan, “Setiap individu, keluarga dan masyarakat berhak memperoleh perlindungan terhadap kesehatannya, dan negara bertanggung jawab mengatur agar terpenuhi hak hidup sehat bagi penduduknya termasuk bagi masyarakat miskin dan tidak mampu.� Apabila kesehatan yang tidak merata, jelas merupakan bentuk dari kegagalan upaya perwujudan kesejahteraan sosial di Indonesia. Hal tersebut menandakan belum terpenuhinya hak dalam memperoleh pelayanan sosial dari negara sehingga warga negara tidak dapat menjalani kehidupannya dengan keadaan yang layak. Pemenuhan pelayanan kesehatan merupakan salah satu bagian dari pelaksanaan UUD NRI 1945 yang menyebutkan bahwa kesehatan merupakan Hak Asasi Manusia (HAM) yang harus diwujudkan dalam bentuk pemberian berbagai upaya kesehatan kepada seluruh masyarakat (Hafid Abbas, et. al., 2008:1). Oleh karena itu, pelanggaran terhadap hak atas kesehatan juga merupakan pelanggaran terhadap HAM. Apabila dibandingkan dengan negara lain, dalam hal ini Inggris, jaminan kesehatan ditanggung oleh pemerintah melalui program National Health Service (NHS). Poin-poin unggul yang dapat kita jadikan inspirasi bagi pelayanan kesehatan di Indonesia adalah layanan ini tidak berbayar setiap bulannya, melainkan dibiayai oleh pajak yang dibayarkan masyarakat. Tidak juga ada pengecualian penyakit, hampir semuanya dapat ditanggung oleh NHS

19

mulai dari penyakit ringan hingga penyakit kronis. Proses rawat inap juga tidak memakai sistem kelas, jadi semua pasien akan dilayani dengan pelayanan yang sama. (NHS England, 2020) Dengan demikian, dapatlah ditarik suatu kesimpulan bahwa pemerataan pelayanan kesehatan pada dasarnya telah melanggar hak atas kesehatan dan kehidupan yang layak. Padahal hak atas kesehatan dan kehidupan yang layak seharusnya melekat di setiap warga negara. Sebab hal tersebut sudah menjadi tujuan negara untuk selalu melindungi hak masyarakat untuk memperoleh keadilan sosial melalui pemenuhan kesejahteraan umum. Semua hal tersebut menjadi tanggung jawab Pemerintah, yakni dengan mengurangi ketimpangan pelayanan kesehatan melalui peningkatan akses layanan kesehatan dan penempatan/penugasan tenaga kesehatan di seluruh wilayah; pembangunan puskesmas di perbatasan, daerah tertinggal, dan kepulauan terluar; serta pendistribusian obat dan vaksin sampai ke daerah terpencil. Seluruh upaya tersebut diharapkan dapat memberikan hasil yang nyata terhadap pemerataan kesejahteraan sosial, khususnya dalam pelayanan kesehatan secara optimal. Yang mana pada akhirnya untuk mewujudkan tujuan dan cita-cita bangsa Indonesia, yang tercantum di dalam Alinea ke-4 UUD NRI 1945. Gita Rachma Staf Jurnalistik LK2 FHUI FHUI 2019

Foto: Unsplash.com


Foto: jakartaoldtown.indonesia-tourism.com

I

jas merah

Potret Sejarah Diskriminasi terhadap Etnis Tionghoa di Indonesia Oleh Siti Chatlia Quranina

Orde baru tahun 1998, dimana masyarakat keturunan Tionghoa menjadi korban pemerkosaan, pembunuhan serta rumah dan toko miliknya dibakar. Berdasarkan organisasi Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), terdapat 85 perempuan dengan etnis Tionghoa yang menjadi korban pemerkosaan pada saat kerusuhan tersebut.

ndonesia merupakan negara yang sangat menjunjung tinggi keadilan bagi masyarakatnya. Hal tersebut dapat dilihat dari Pasal 28D ayat (1) UUD NRI 1945 yang berbunyi “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.� Pasal tersebut mengatakan bahwa sudah sepatutnya seluruh masyarakat di Indonesia diberikan pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang sama tanpa dibeda-bedakan. Namun, pada kenyataannya hal tersebut belum dapat sepenuhnya diterapkan, salah satunya bagi etnis yang sejak dahulu ada di Indonesia, yaitu masyarakat Tionghoa. Sejarah membuktikan berbagai diskriminasi yang terjadi terhadap mereka.

Dalam peristiwa-peristiwa tersebut, Pemerintah juga memiliki peran tersendiri yang menunjukkan bentuk diskriminasi terhadap etnis Tionghoa. Hal tersebut ditunjukkan dengan beberapa peraturan di masa lalu yang dengan jelas merugikan etnis Tionghoa yang merupakan Warga Negara Indonesia (WNI). Peraturan tersebut tentu saja bertentangan dengan konstitusi yang telah dijelaskan diatas, yang seharusnya menerapkan keadilan terhadap seluruh warga negaranya.

Sejak 9 Oktober 1740, saat pemerintah Belanda telah menangkap dan menindas kaum Tionghoa. Selanjutnya, pada 23 September 1825, Putri Sultan Hamengkubuwono I, yaitu Raden Ayu Yudakusuma menyerbu Ngawi dan melakukan pembantaian terhadap kaum Tionghoa. Bentuk diskriminasi yang menargetkan etnis Tionghoa terus berlanjut, bahkan dalam kehidupan sejarah yang kontemporer. Sebagaimana terbentuk Gerakan Anti Tionghoa di Tangerang pada Mei-Juli 1946, juga di Palembang pada 10 November 1965. Di tahun berikutnya terjadi juga kerusuhan massal di Medan, dimana etnis Tionghoa menjadi sasaran pembunuhan dan pembantaian karena dianggap anggota komunis. Dan peristiwa yang masih hangat dalam ingatan, pada masa LEX | VOL. III

Berbagai peraturan yang dibuat pada masa lalu tersebut memiliki tujuan untuk “mengindonesiakan� masyarakat yang memiliki etnis Tionghoa. Hal tersebut ditunjukkan dengan salah satu peraturan adalah Keputusan Presiden No. 127/U/Kep/12/1996 yang menganjurkan WNI yang merupakan etnis Tionghoa diharapkan agar mengganti nama yang mereka miliki dengan nama yang sesuai dengan orang Indonesia. Padahal nama-nama tersebut, pada umumnya tersusun dari nama keluarga yang terdiri dari tiga suku kata dan

20


jas merah

nama orang itu sendiri. Peraturan tersebut menyebabkan nama-nama Tionghoa menjadi hilang digantikan penggunaan nama Indonesia. Terdapat beberapa orang Indonesia keturunan Tionghoa yang tetap memutuskan menggunakan namanya, salah satunya adalah Yap Thiam Hien, yang berprofesi sebagai seorang pengacara. Hal lain yang menunjukkan bahwa Pemerintah Indonesia berusaha menghilangkan budaya Tionghoa pada masa tersebut adalah dengan mengeluarkan Keputusan Presiden No. 49/V/IN/8/1967 yang berisikan pelarangan materi publikasi dan periklanan yang ditulis dengan Hanzi, yang merupakan bahasa asli dari etnis Tionghoa tersebut. Padahal, pada masa yang sama, penulisan menggunakan huruf asing lain seperti tulisan Arab serta Kanji yang berasal dari Jepang diperbolehkan. Selanjutnya, Pemerintah juga melakukan pelarangan penggunaan bahasa Mandarin pada zaman Orde Baru di masa kepemimpinan Soeharto. Film-film yang berasal dari negara Tiongkok, terpaksa harus dialih suarakan menggunakan bahasa Indonesia ketika ingin ditampilkan di ruang publik. Hal ini makin membuat hilangnya budaya Tionghoa serta ketertarikan masyarakat Indonesia sendiri terhadap budaya tersebut. Masyarakat Tionghoa yang tinggal di Indonesia pada saat itu secara terpaksa hanya bisa menggunakan budaya yang mereka miliki secara tertutup.

Selain dari pelarangan akses budaya Tionghoa, diskriminasi juga terjadi dalam aspek kependudukan, yaitu mengenai kewajiban untuk memiliki Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI) bagi warga etnis Tionghoa di era Orde Baru. Kewajiban tersebut hanya diberikan kepada etnis Tionghoa, tetapi bagi pendatang lain seperti warga keturunan Arab atau India tidak memerlukan surat tersebut. Meskipun, saat ini sistem SBKRI memang telah ditiadakan. Namun demikian, sistem tersebut tetap dipertahankan hingga era reformasi. Tepatnya di keluarkan melalui Instruksi Presiden No 4/1996 tentang Pelaksanaan Keputusan Presiden No 56/1996 yang menginstruksikan tidak berlakunya SBKRI bagi etnis Tionghoa yang sudah menjadi WNI. Setelah dikeluarkannya instruksi tersebut, berdasarkan Penelitian Yayasan Pengkajian Hukum Indonesia (YPHI), sebagian masyarakat Tionghoa di Indonesia masih dibebani kewajiban menyertakan SBKRI tersebut ketika mengurus dokumen kependudukan dan keimigrasian hingga tahun 2003 berdasarkan The Jakarta Post. Perilaku diskriminatif yang dilakukan terhadap masyarakat Indonesia yang memiliki etnis Tionghoa telah terjadi sejak dahulu. Tidak hanya tindakan masyarakat, tetapi juga berbagai peraturan yang dibentuk oleh pemerintah yang secara tidak langsung menunjukkan ketidakadilan bagi masyarakat Tionghoa sendiri. Meski demikian, kini regulasi nasional yang ada sekarang dirasa telah memberikan hak yang setara terhadap masyarakat Tionghoa, dengan diterimanya kembali agama Konghucu di Indonesia pada masa kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid melalui pencabutan Inpres No. 14/1967 yang mengenai pelarangan agama, kepercayaan, dan adat istiadat Cina walaupun sebelumnya telah diresmikan melalui Penetapan Presiden Nomor 1 Tahun 1965 yang diundangkan melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969, serta Perayaan Hari Raya Imlek yang telah menjadi hari libur nasional. Hal-hal tersebut merupakan hal yang memang sepatutnya sedari awal dilakukan oleh Pemerintah, yang mana berkewajiban memberikan perlakuan yang tidak diskriminatif dan menjamin pemenuhan hak bagi setiap warga negaranya. Siti Chatlia Quranina Staf Jurnalistik LK2 FHUI FHUI 2019

Foto: Klook dan Reuters

21

LEX | VOL. III


seputar kita

Oleh Muhammad Ammar Jihad dan Beatrice Chrestella

Melihat Kasus Kekerasan Seksual Secara Aktual Bersama HopeHelps UI

Foto: Unsplash.com, dokumentasi pribadi

H

opeHelps Universitas Indonesia (HopeHelps UI) merupakan perkumpulan mahasiswa Universitas Indonesia yang hadir untuk memberikan layanan tanggap dan pencegahan kekerasan seksual di kampus UI. Pada Sabtu, 4 Juli 2020, HopeHelps UI mengadakan diskusi publik dalam rangka peluncuran Ringkasan Tahunan (RITA) HopeHelps UI 2020: “Esa Hilang Dua Terbilang: Refleksi Angka Kekerasan Seksual di Universitas Indonesia”. Diskusi publik ini berlangsung pukul 13.00-15.00 WIB, dilaksanakan secara daring melalui media Google Meet dengan dihadiri oleh 72 orang. Diskusi ini dibagi menjadi dua sesi, yaitu 100 menit pemaparan materi dan diakhiri dengan sesi tanya jawab. Acara ini dibuka dan dipandu oleh Prilia Kartika Apsari, Direktur Lokal HopeHelps UI periode 2020-2021 selaku moderator. Adapun kelima narasumber dalam diskusi ini ialah Dr. Lidwina Inge Nurtjahyo, S.H., M.Si. selaku Dosen Masyarakat dan Pembangunan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Yosephine Dian Indraswari, M.Psi, Psi. selaku Koordinator Yayasan Pulih, Siti Ma’zuma, LEX | VOL. III

22

S.H. selaku Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) APIK, Dr. Nahe’i, MHI selaku Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), dan M. Wildan Teddy selaku Direktur Jaringan dan Hubungan Masyarakat HopeHelps Network dan Direktur Lokal HopeHelps UI 2019-2020. Dalam kesempatan diskusi kali ini, RITA HopeHelps UI 2020 diadakan atas dasar beberapa tujuan. Tujuan yang pertama adalah untuk memaparkan data jumlah laporan kekerasan seksual yang diterima serta prevalensi berbagai bentuk kekerasan seksual seperti pelecehan, pemerkosaan, intimidasi, dan lain sebagainya yang terjadi pada anggota sivitas akademika Universitas Indonesia (UI) selama kepengurusan HopeHelps UI periode 2019-2020. Selanjutnya, acara bertujuan untuk mempublikasikan hasil temuan dan kegiatan-kegiatan advokasi kepada publik. Terakhir, diskusi ini diharapkan dapat menjadi acuan umum bagi pemangku kebijakan dalam penyusunan kebijakan, lembaga, dan/atau satuan tugas berdasarkan pengalaman kolaborasi penanganan kekerasan seksual yang ada.


seputar kita

Sesi pemaparan materi dimulai oleh Siti Ma’zuma, beliau menjelaskan mengenai fungsi LBH APIK dan kinerja LBH APIK selama pandemi Corona Virus Disease (Covid-19). Dalam masa Work from Home (WFH), LBH APIK hanya melayani secara daring, kecuali terdapat kepentingan yang membutuhkan tatap muka seperti sidang, pertemuan atau jika ada korban yang membutuhkan rumah aman (tempat kediaman sementara atau baru yang dirahasiakan sesuai standar berdasarkan ketentuan yang berlaku). M. Wildan Teddy sebagai pembicara kedua membuka materi dengan pengenalan mengenai HopeHelps UI, dilanjutkan dengan penjelasan Ringkasan Tahunan HopeHelps UI 2020 serta berbagai upaya dan fungsi yang dilakukan oleh HopeHelps UI dalam menangani kasus kekerasan seksual. Kemudian, pembicara ketiga, yakni Dr. Lidwina Inge Nurtjahyo, S.H., M.SI., memberikan paparan tentang kriteria kampus aman dari kekerasan seksual. Beliau menerangkan bagaimana supaya kampus dapat menjadi tempat aman yang dapat melindungi sivitas akademika UI dari ancaman kekerasan seksual. Ia juga menyusun buku saku Standar Operasional Prosedur (SOP) penanganan kasus kekerasan seksual di lingkungan kampus yang disusun bersama Dr. L. G. Saraswati Putri, M. Hum (Dosen FIB UI), BEM UI, BEM FH UI, dan BEM FIB UI. Harapannya, SOP ini dapat diimplementasi-kan ke dalam peraturan atau kebijakan kampus dalam penanganan kasus kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan UI. Yosephine Dian Indraswari sebagai pembicara keempat mempresentasikan materi mengenai Yayasan Pulih dengan slogannya, yaitu “Memulihkan Harapan, Memutus Rantai Kekerasan, Menggalang Perdamaian.” Yayasan ini berusaha memulihkan para korban kekerasan seksual secara psikis serta mensosialisasikan pencegahan dan penanganan korban kekerasan seksual. Terakhir, Dr. Nahe’i, MHI menutup diskusi dengan bahasan mengenai upaya yang saat ini sedang dilakukan oleh Komnas Perempuan untuk mewujudkan payung hukum dalam menangani kasus kekerasan seksual di kampus.

yakni dengan menuliskan thread di media Twitter. Adapun laporan tersebut paling banyak berasal dari korban yakni sebanyak 24 orang, teman korban sebanyak dua belas orang, keluarga sebanyak satu orang, dan pihak lainnya sebanyak dua orang. Selain itu, pelaku terduga kekerasan seksual paling banyak dilakukan oleh teman korban, yakni lima belas orang. Pelaku lainnya ialah pacar sebanyak empat orang, mantan pacar sebanyak dua orang, orang tidak dikenal sebanyak lima orang, tidak diinfokan sebanyak enam orang, dan lainnya sebanyak tujuh orang. Jenis kasus kekerasan seksual yang paling banyak terjadi yakni pelecehan seksual (fisik) sebanyak 22 kasus. Laporan kasus kekerasan seksual yang diterima tidak sedikit terjadi karena adanya kehadiran relasi kuasa. Relasi kuasa ini dapat berupa dosen dengan mahasiswa, pemimpin organisasi dengan anggota, mahasiswa beda tingkat, dan lainnya. Sebanyak 28 kasus di atas merupakan kasus kekerasan seksual yang memiliki ketimpangan relasi kuasa.

HopeHelps UI sendiri mengusulkan beberapa rekomendasi untuk mengatasi kasus kekerasan seksual yang terjadi, dengan salah satu rekomendasinya yakni agar Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) dapat segera mengesahkan Rancangan UndangUndang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS). SOP Penanganan Kasus Kekerasan Seksual di Lingkungan Kampus dapat diakses melalui tautan bit.ly/bukusakuSOP. Untuk informasi lengkap terkait Ringkasan Tahunan HopeHelps UI 2020 dapat diakses melalui tautan bit.ly/RITAHHUI2020. Bagi pembaca yang pernah mengalami kekerasan seksual atau memiliki teman yang menjadi korban kekerasan seksual di lingkungan Universitas Indonesia, dapat memberanikan diri, dengan persetujuan korban, untuk melapor melalui hotline HopeHelps UI, Telpon/SMS/WhatsApp: 0822-9978-8860, Email: advokasi.hopehelps@gmail.com, Line: @vkk9381c. Beatrice Chrestella Staf Jurnalistik LK2 FHUI FHUI 2019

Secara spesifik, dalam pemaparan oleh Wildan Teddy, disebutkan bahwa dalam kurun waktu Maret 2019 sampai Mei 2020, HopeHelps UI telah menerima 39 laporan kekerasan seksual yang dialami oleh sivitas akademika UI. Laporan paling banyak diterima melalui hotline resmi HopeHelps, yakni sebanyak 37 kasus. Dua kasus lainnya diterima berdasarkan upaya “jemput bola” di mana pihak HopeHelps UI menjangkau kasus atau korban kekerasan seksual yang telah memberanikan diri untuk bercerita ke publik, seperti yang sedang ramai belakangan ini

M. Ammar Jihad Staf Jurnalistik LK2 FHUI FHUI 2019

23

LEX | VOL. III


spotlight

biro

Jurnalistik LK2 FHUI 2020

Biro Jurnalistik merupakan salah satu biro yang berada di bawah naungan Lembaga Kajian Keilmuan (LK2) FHUI yang mewadahi pengembangan pengetahuan dan kemampuan jurnalistik. Media yang digunakan adalah melalui buletin LEX sebagai sarana untuk menyebarluaskan informasi yang aktual dan akurat bagi khalayak ramai. Dalam kegiatan rutinnya, Biro Jurnalistik melakukan wawancara tokoh, investigasi, liputan, penulisan populer, serta mengemasnya dalam bentuk buletin. Program kerja Biro Jurnalistik adalah LEX, Pelatihan Jurnalistik, serta Infografis Kajian.

Gabriel Simanjuntak Kepala Biro Jurnalistik

Ardia Khairunnisa S.

Raissa Sulaeman Wakil Kepala Biro Jurnalistik

Gita Rachma

Marion Mutiara M.

Hany Areta A.

Ninda Maghfira

M. Firman

Miyuki Fattah R.

Siti Chatlia Q.

Nouvaliza Aisy A.

Farrazka

Faradila Utami

Beatrice Chrestella

Aditya Weriansyah

M. Ammar Jihad


Delay of justice is injustice Walter Savage Landor


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.