PAPER REVIEW: Problematika Pelaksanaan DIversi Bagi Anak Berhadapan dengan Hukum di Kota Layak Anak

Page 1


PROBLEMATIKA PELAKSANAAN DIVERSI BAGI ANAK BERHADAPAN DENGAN HUKUM DI KOTA LAYAK ANAK (Studi pada Aparat Hukum, Pemerintah Kota dan Masyarakat di Depok dan Surakarta) Nama Jurnal : Jurnal IUS Kajian Hukum dan Keadilan Pengarang

: Iva Kasuma, Ian Aji Hermawan dan Melly Setyawati

Tahun

: 2020

Pendahuluan Peningkatan angka kriminalitas yang melibatkan anak sebagai korban maupun pelaku menjadi konsentrasi yang semakin memperihatikan di Indonesia. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) merilis bahwa terdapat 1.072 kasus anak berhadapan dengan hukum (ABH) pada tahun 2015 yang didominasi oleh anak sebagai korban kekerasan fisik dan seksual. Bahkan, tahun 2018 menjadi titik nadir perlindungan anak di Indonesia dengan ABH sejumlah 1.434 kasus. Masih sama dengan tahun-tahun sebelumnya, anak sebagai korban kekerasan seksual selalu mendominasi. Beberapa daerah juga mencatat lonjakan kasus serupa, termasuk kota yang menyandang gelar Kota Layak Anak (KLA), seperti Depok dan Surakarta. Padahal, KLA merupakan penghargaan nasional untuk kota dengan pelayanan, perlindungan, dan pemenuhan hak anak secara holistik. Melalui Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 13 Tahun 2011 tentang Kebijakan Pengembangan Kabupaten/Kota Layak Anak, negara menunjukkan komitmen penjaminan hak anak yang terintegrasi pada peran beberapa lembaga. Dalam konteks anak berhadapan dengan hukum, klaster Perlindungan Khusus mengamanatkan proses restorative justice melalui diversi. Diversi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) merupakan pengalihan penyelesaian perkara anak dari peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. Penelitian ini berusaha mengulas kendala pada aparat hukum, pemerintah kota dan masyarakat dalam mewujudkan keadilan restoratif bagi pelaku dan korban. Tingginya angka anak berhadapan dengan hukum tentu membawa probabilitas pelaksanaan diversi sebagai keadilan restoratif meningkat. Mak dari itu, penting untuk melihat masalah-masalah yang timbul secara holistik dari berbagai institusi yang terlibat. Metode Penelitian Surakarta dan Depok menjadi sampel penelitian dengan pertimbangan meningkatnya angka kekerasan pada anak di daerah tersebut walaupun beberapa kali dinobatkan sebagai Kota Layak Anak. Penelitian dengan pendekatan sosiolegal ini dilakukan untuk menjawab persoalan hukum dengan meminjam teori dari rumpun ilmu sosial. Narasumber terdiri dari beberapa birokrat pemerintah kota, petugas LPKS, aparat penegak hukum (polisi, jaksa, hakim, Balai Rehabilitasi Sosial, serta keluarga korban. Pembahasan Temuan lapangan menunjukkan komitmen masing-masing pemerintah kota untuk menangani persoalan ABH, khususnya pengejawantahan melalui peraturan daerah dan surat keputusan walikota. Kedua daerah kemudian membentuk layanan pendampingan ABH, Tim


Respon Cepat JETSKI (Jelajah Cepat Isu Kekerasan Anak Indonesia) Depok, serta Pusat Terpadu Perempuan Anak Surakarta (PTPAS). Sayangnya, ditemukan problematika berupa disparitas data ABH yang menjalani diversi pada berbagai institusi di Depok maupun Surakarta. Jika keberhasilan perlindungan khusus ABH didasarkan pada meningkatnya proses yang diselesaikan secara diversi, data-data tersebut mutlak disinkronisasi untuk validitasnya. Dalam hal implementasi diversi, tantangan yang didapat ialah perspektif yang seolah menilik proses ini bukan prosedur hukum formil. Pemidanaan terkesan “lembut” dan tidak mendidik masyarakat untuk jera. Diversi juga dianggap kerap merugikan korban (hasil wawancara keluarga korban) sebab hingga saat ini belum ada pedoman teknis pelaksanaan diversi untuk kepolisian. Hal ini berdampak pada kondisi aparat yang kurang memahami prinsip keadilan restoratif dan teknis diversi dengan imbas bermuara di masyarakat. Pada pihak kejasaan dan pengadilan, hambatan pelaksanaan diversi disebabkan sulitnya melakukan pendekatan personal pada keluarga. Perasaan tidak ingin kompromi selalu memandang bahwa kejahatan yang dilakukan pada korban harus diadili, tidak cukup melalui diversi. Kalaupun telah sepakat melakukan konsolidasi diversi, terkadang kedua pihak sulit melakukan kesepakatan ganti rugi materil. Para pihak secara esensial kurang memahami tujuan keadilan restoratif, sehingga diharapkan pemerintah semakin intens menyosialisasikan mengenai hal ini. Tidak hanya pada proses penegakannya, proses rehabilitasi turut mengalami kendala mengenai fasilitas, anggaran, dan sumber daya manusia Pekerja Sosial yang masih kurang di balai rehabilitasi. Padahal, jumlah anak berkonflik dengan hukum (AKH) yang menjalani rehabilitasi melebihi daya tampung. Sama halnya, Balai Pemasyarakatan (BAPAS) Surakarta juga merasakan masalah dari segi anggaran. Alokasi dirasa tidak seimbang dengan lingkup BAPAS yang luas mencakup 5 kabupaten dan 1 kota. Untuk masyarakat sendiri, terkadang pelaku tidak memperoleh manfaat diversi sesuai harapan. Seperti kasus pelecehan seksual seorang anak di Surakarta, stigmatisasi sebagai pelaku sering menghambat akses kehidupan sosial dan lingkungan pendidikan. Begitupun beberapa kebijakan di Sekolah Ramah Anak (SRA) yang terkesan diskriminatif terhadap anak sebagai korban. Hal itu kelihatan pada beberapa kebijakan yang mewajibkan siswi hamil untuk mengundurkan diri. Justru kebijakan ini yang menjadikan korban kembali menjadi korban (reviktimisasi). Simpulan Pertama, hambatan pelaksanaan diversi adalah aparat hukum yang belum memahami betul proses tersebut. Kemudian koordinasi pemerintah daerah cenderung masing bersifat administratif sehingga perwujudan keadilan restoratif belum efektif. Kedua, fokus peningkatan infrastruktur tidak dibarengi dengan pemaksimalan koordinasi antar lembaga. Adapula temuan bahwa proses perlindungan ABH korban belum maksimal, pasalnya anggaran rehabilitasi tidak memadai. Terakhir, masyarakat masih menganggap tanggung jawab pidana harus sebanding dengan penderitaan korban, maka diversi bukan solusinya.


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.