Paper Review - Perlindungan Hak Asasi Manusia Pengungsi dan Pencari Suaka di Indonesia

Page 1


Perlindungan Hak Asasi Manusia Pengungsi dan Pencari Suaka di Indonesia

Nama Jurnal

: Masalah-Masalah Hukum

Pengarang

: Rahayu, Kholis Roisah, dan Peni Susetyorini

Tahun

: 2020

Pengulas

: Diandra Paramita Anggraini

Pendahuluan Pengungsi merupakan kelompok yang rentan terhadap berbagai bentuk persekusi serta diskriminasi. Mereka kerap mengalami pemulangan paksa atau pengusiran dari negaranegara tertentu, tak terkecuali negara yang telah mengemban kewajiban untuk memenuhi hak-hak mereka akibat ratifikasi The 1951 Refugee Convention (Konvensi 1951). Hal ini bertentangan dengan semangat Hak Asasi Manusia (HAM) yang seharusnya dijunjung tinggi dalam dunia internasional. Berdasarkan Pasal 13 dan 14 Deklarasi Universal HAM, setiap orang berhak meninggalkan dan kembali ke negaranya, memiliki hak untuk mencari suaka, dan mendapatkan perlindungan dari pengejaran di negara lain.

Indonesia senantiasa menghargai HAM pengungsi dengan menerapkan prinsip nonrefoulement atau prinsip yang menjamin pengungsi untuk tidak dipulangkan secara paksa. Hal ini adalah upaya paling minimal yang Indonesia bisa lakukan bagi pengungsi karena belum meratifikasi Konvensi 1951 dan Protokol 1967 yang mengatur hak-hak lainnya bagi negara pihaknya. Selain itu, meskipun belum meratifikasi kedua konvensi tersebut, Indonesia tetap berkomitmen melindungi pengungsi melalui Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2016 (Perpres 125/2016) tentang Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri. Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, rumusan masalah artikel ini adalah mengenai usaha Indonesia sebagai negara nonpihak kedua konvensi tersebut dalam mengakomodasi HAM pengungsi melalui peraturan nasional.

Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan adalah sosiolegal yang memungkinkan penulis mendalami masalah hukum tak hanya berdasarkan doktrin, tetapi juga konteks dan


implementasinya. Penelitian ini didasari oleh data primer dan sekunder yang didapatkan dari pengamatan, wawancara mendalam, dan studi pustaka.

Pembahasan Sebagai negara nonpihak Konvensi 1951 dan Protokol 1967, Indonesia memang tidak berkewajiban memenuhi hak-hak pengungsi dan pencari suaka, tetapi hal ini tidak membuat negara ini lepas tangan secara hukum terhadap kelompok ini. Sesuai dengan prinsip non-refoulement yang dipatuhi Indonesia selaku bagian dari dunia internasional, negara ini memiliki seperangkat aturan tentang pengungsi, salah satunya Perpres 125/2016 yang mengatur tentang pengamanan terhadap para pengungsi dan pencari suaka, koordinasi antara Pemerintah dengan UNHCR soal status mereka, serta penghormatan kebebasan fundamental mereka. Selain itu, aturan-aturan lainnya terkait pengungsi dan pencari suaka dapat ditemukan dalam Pasal 28G Undang-Undang Dasar 1945 dan Pasal 25, 26, dan 27 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri.

Meski sekilas Indonesia telah memiliki peraturan perundang-undangan yang komprehensif tentang penanganan pengungsi, nyatanya Perpres 125/2016 belum cukup untuk menangani permasalahan ini. Pada Perpres ini, skema perumusan kebijakan pengungsi yang terdiri dari penemuan, penampungan, penanganan, dan pengawasan keimigrasian baru disampaikan kepada Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan setelah mendapatkan pertimbangan dari Menteri Luar Negeri. Mekanisme koordinasi ini menyebabkan proses penanganan pengungsi terhambat karena kerumitan alur kerja sama. Hal ini diperparah ketika beberapa negara tujuan pengungsi menutup akses resettlement yang mengakibatkan mereka terjebak di Indonesia dalam waktu lama tanpa pemenuhan hak atas pekerjaan dan pendidikan. Sayangnya, kedua hak ini tidak dapat diakomodasi oleh Indonesia sebagai negara yang belum meratifikasi Konvensi 1950 dan Protokol 1967.

Penutup Meski terdapat beberapa kekurangan, penelitian ini telah memaparkan dengan jelas keberpihakan Indonesia dalam menanggapi isu penanganan pengungsi, khususnya


tentang perlindungan HAM dengan prinsip non-refoulement. Penelitian lanjutan diperlukan untuk mengkaji kemungkinan Indonesia merevisi Perpres 125/2016 dengan menambahkan pasal terkait hak atas pendidikan dan pekerjaan yang menjadi masalah utama pengungsi selama menunggu resettlement.

Catatan Kritis Secara teoretis, artikel ini sudah mengulas rumusan masalah yang diajukan, yaitu upaya Indonesia melindungi hak pengungsi melalui Perpres 125/2016. Artikel ini menyoroti poin penting bahwa keberadaan Perpres ini belum menyelesaikan masalah penanganan pengungsi terkait resettlement. Secara metodologis, metode penelitian sosiolegal membantu peneliti untuk dapat mengetahui kualitas perlindungan pengungsi di Indonesia dari pengamatan dan wawancara mendalam. Namun, dua metode itu kurang ditonjolkan dalam penulisan artikel karena tidak ada narasi khusus yang menyatakan data mana yang menggunakan pendekatan itu. Dari aspek hasil penelitian, artikel ini telah mengelaborasi argumen tentang perlindungan HAM bagi pengungsi berdasarkan prinsip nonrefoulement. Akan tetapi, lingkup penelitian menjadi terlalu sempit karena perlindungan HAM bagi pengungsi hanya dimaknai sebagai penghormatan terhadap prinsip tersebut. Padahal, problematika penanganan pengungsi di Indonesia tidak hanya terkait pemulangan paksa, tetapi juga lamanya proses resettlement yang menyebabkan pengungsi terjebak di Indonesia sebagai negara suaka tanpa akses terhadap pendidikan dan pekerjaan. Hak atas pendidikan dan pekerjaan tidak dijamin dalam Perpres 125/2016 sehingga pemenuhan HAM dengan peraturan ini belum optimal. Seharusnya, kritik terhadap Perpres ini juga menyinggung hal tersebut.


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.