Paper Review - RUU KUHP di Indonesia Perspektif Teori Pembaharuan Hukum

Page 1

Rancangan Undang Undang Kitab Undang Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) di Indonesia Perspektif Teori Pembaharuan Hukum

Nama Jurnal : Veritas

Pengarang : Wahyu Haryadi

Tahun : 2020

Diulas oleh : Vanesha Ayu Sekarini Zega

Pendahuluan

Hukum pidana yang berlaku di Indonesia bersumber pada Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) yang ada sejak zaman kolonial Belanda. Hal ini membuat KUHP banyak dipengaruhi oleh hukum pidana Belanda. Hingga saat ini, KUHP masih digunakan dalam peradilan pidana Indonesia. Namun, KUHP sudah tidak sepenuhnya sesuai dengan perkembangan hukum dan keadaan sosial masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, dilakukan pembaharuan hukum dalam KUHP melalui bentuk Rancangan Undang Undang Kitab Undang Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) yang sudah dimulai sejak tahun 1958 dengan terbentuknya Lembaga Pembinaan Hukum Nasional. Setidaknya, ada tiga alasan dilakukannya pembaharuan hukum pada KUHP. Pertama, KUHP sudah dianggap tidak sepenuhnya sesuai dengan realita yang ada di Indonesia. Kedua, bergesernya sistem hukum pidana dalam KUHP karena munculnya hukum pidana di luar KUHP yang mengakibatkan terjadinya duplikasi norma hukum pidana dan terbentuknya sistem hukum pidana lain yang berlaku dalam waktu yang sama. Ketiga, hukum Indonesia harus sesuai dengan rekomendasi dari United Nation Convention Against Corruption (UNCAC).

Walaupun KUHP masih dipakai sebagai sumber hukum pidana nasional, pembaharuan hukum pidana nasional masih tetap dilakukan. Upaya pembaharuan hukum pada KUHP masih terus dilakukan hingga sekarang oleh lembaga legislatif. Berdasarkan latar belakang tersebut, rumusan masalah dalam penelitian ini, yaitu tentang apa yang menjadi pilar pembaharuan hukum pidana dalam RUU KUHP dan bagaimana ketentuan yang mengatur tindak pidana korupsi dalam Buku II RUU KUHP.

Metode Penelitian

Artikel ini tidak membahas secara eksplisit tentang metode penelitian. Namun, menurut pendapat pengulas, metode yang digunakan dalam artikel ini adalah metode penelitian hukum normatif. Metode penelitian normatif adalah metode yang membahas dan membandingkan peraturan dalam KUHP, Undang Undang Pidana di luar KUHP, dan RUU KUHP secara vertikal dan horizontal.

Pembahasan

Perubahan asas yang digunakan dalam RUU KUHP berpengaruh terhadap isi RUU KUHP. Asas monistis yang menggabungkan antara tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana dalam KUHP diganti dengan asas dualistis yang memisahkan keduanya (tindak pidana dan pertanggungjawabannya). Asas dualistis itu kemudian membentuk 3 pilar dalam RUU KUHP, yaitu tindak pidana (criminal act), pertanggungjawaban pidana (criminal responsibility), dan pidana dan pemidanaan (punishment and treatment system). Perbedaan mencolok antara KUHP dan RUU KUHP terdapat padajumlahbuku. RUUKUHP hanyamemiliki 2bukusaja,yaituBuku Itentang Ketentuan Umum dan Buku II tentang Tindak Pidana yang berarti RUU KUHP tidak lagi membagi tindak pidana menjadi kejahatan dan pelanggaran. Tindak pidana sebagai pilar pertama dalam RUU KUHP didefinisikan sebagai perbuatan yang bersifat melawan hukum, kecuali memiliki alasan pembenar. Permufakatan jahat dan perbuatan persiapan dalam RUU KUHP telah dikualifikasikan sebagai tindak pidana. Pertanggungjawaban pidana sebagai pilar kedua dalam RUU KUHP terdiri atas kesengajaan sebagai bentuk pertanggungjawaban, kealpaan yang tidak dipidana jika tidak ada kesalahan, dan kesesatan sebagai alasan pemaaf. Terakhir, pilar ketiga, yaitu pidana dan pemidanaan yang dilihat secara objektif melalui tindak pidananya (actus reus) dan subjektif melalui pertanggungjawaban pidananya (mens rea). Pada pilar ketiga ini, belum adanya aturan mengenai daluarsa terhadap tindak pidana korupsi. Pembayaran uang pengganti sebagai bentuk pidana masih digunakan dalam RUU KUHP walaupun dampaknya tidak jauh lebih baik dibandingkan dengan penggunaan pidana pembayaran ganti kerugian.

Perumusan tindak pidana korupsi dalam RUU KUHP menuai banyak konflik. Tindak pidana korupsi dikembalikan ke dalam RUU KUHP dengan tujuan untuk menyesuaikan

perkembangan hukum pidana agar sesuai dengan standar norma hukum pidana dan pengancaman sanksi pidana. Alasan ini menuai kontra bagi penulis. Menurut penulis, tujuan dimasukkannya tindak pidana korupsi ke dalam RUU KUHP yaitu demi menentukan norma pidananya, bukan sekadar untuk standarisasi penentuan norma pidana dan pengancaman sanksi, dimana hal tersebut sebenarnya dapat dilakukan dengan merevisi Undang Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Dalam Buku II RUU KUHP, Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor dihilangkan. Hal ini akan membuat kesulitan dalam pemberantasan korupsi di Indonesia karena kedua pasal itu telah berkontribusi dalam pemberantasankorupsi di Indonesia.Dalamhal ini,penulis meyakini harus dilakukan reformulasi Pasal 2 dan 3 UU Tipikor. Tindak pidana korupsi dalam Buku II RUU KUHP dianggap tidak memberikan hukuman yang adil. Hukuman yang diberikan untuk tindak pidana suap kepada pegawai negeri dan penegak hukum jauh lebih berat dibanding dengan pejabat publik yang mencerminkan ketidakadilan dalam pemberian sanksi pidana. Selain itu, tindak pidana suap yang dimasukkan dalam RUU KUHP dikualifikasikan sebagai tindak pidana jabatan sehingga kewenangan untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan kejaksaan hilang. Di satu sisi, obstruction of justice sebagai bentuk tindak pidana yang berdiri sendiri memberikan dampak positif dalam sistem peradilan pidana Indonesia. Namun, masih diperlukan hukum acara dalam mengatur kewenangan penanganan obstruction of justice sebagai tindak pidana. Setelah dicermati, ternyata masih banyak norma norma yang ada dalam UNCAC yang tidak diatur dalam RUU KUHP. Misalnya, perbuatan persiapan terhadap tindak pidana korupsi, aturan tentang daluwarsa tindak pidana korupsi, dan illicit enrichment (peningkatan kekayaan pejabat publik yang tidak dapatdijelaskansecaramasukakal)yangdapatmenjadicikalbakaltindakpidanakorupsi. Melihat penjelasan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa ketentuan dalam RUU KUHP mengenai tindak pidana korupsi masih tabu. Adanya perilaku “mengistimewakan” tindak pidana korupsi akan berdampak pada sistem peradilan pidana Indonesia yang dapat memunculkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan bagi masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, perlu adanya pembahasan lebih lanjut tentang tindak pidana korupsi dalam RUU KUHP yang dapat memberikan kepastian hukum dan keadilan bagi masyarakat Indonesia.

Penutup

Dianutnyaasas dualistis dalamRUUKUHP sebagai langkahpembaharuan hukum pidana Indonesia memberikan dampak besar terhadap isi RUU KUHP. 3 pilar yang menjadi dasar pembentukkan RUU KUHP membawa perubahan terhadap hukum pidana materiil Indonesia. Pengaturan mengenai tindak pidana korupsi dalam RUU KUHP masih belum menunjukkan adanya keadilan dan kepastian hukum dalam sistem peradilan pidana Indonesia. Hal ini ditunjukkan dengan masih adanya norma norma dalam UNCAC yang belum diatur dalam RUU KUHP sehingga harus dibahas ulang agar tindak pidana dalam RUU KUHP tidak bertentangan dengan UNCAC.

Catatan Kritis

Ditinjau dari aspek teoretis, artikel yang berjudul “Rancangan Undang Undang Kitab Undang Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) di Indonesia Perspektif Teori Pembaharuan Hukum” yang ditulis oleh Wahyu Haryadi telah menjawab pertanyaan dalam rumusan masalah tentang apa yang menjadi pilar pembaharuan hukum pidana dalam RUUKUHP danbagaimanaketentuanyang mengaturtindakpidana korupsi dalam Buku II RUU KUHP. Ditinjau dari aspek metodologis, penulis tidak mencantumkan metode apa yang digunakan dalam penelitian hukum ini sehingga pengulas berpendapat bahwa penulis menggunakan metode normatif karena hanya membahas dan membandingkan peraturan dalam KUHP, Undang Undang (UU) Pidana di luar KUHP, dan RUU KUHP secara vertikal dan horizontal saja. Ditinjau dari aspek penelitian, penulis dapat memilih judul artikel yang sesuai dengan isinya sehingga dapat merepresentatifkan isi artikel dengan padat dan jelas serta sesuai dengan judul mampu memberikan hasil pembahasan dan perbandingan seluruh peraturan yang ada dalam perumusan RUU KUHP. Namun, dalam penulisan artikel ini, terdapat beberapa kelemahan. Pertama, penulis kurang mampu untuk menjelaskan alasan lebih detail atau mendalam terhadap pendapat penulis, baik pro atau kontra, tentang pembahasan RUU KUHP. Hal ini membuat pembaca kesulitan untuk mengetahui posisi penulis terhadap isi RUU KUHP. Kedua, terdapat beberapa kata yang tidak ditulis sesuai dengan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI).

Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.