Paper Review: Implikasi Kebijakan Moratorium Eksekusi Pidana Mati

Page 1


A. Informasi Jurnal Jurnal: Implikasi Kebijakan Moratorium Eksekusi Pidana Mati Pengarang: Frananda Saragih Tahun: 2017 Diulas oleh: Cindy Aulia Prasasti

B. Pendahuluan Pada 28 Juli 2018, Jaksa Agung melaksanakan kebijakan moratorium atau menunda pelaksanakan eksekusi terhadap 10 (sepuluh) orang terpidana mati di Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah. Akan tetapi, pelaksanaan kebijakan moratorium ini terkesan sebagai upaya mengulur-ngulur waktu dan tidak jelas motivasinya, apakah para terpidana akan dikabulkan grasi ataupun mendapat upaya hukum lainnya. Hal ini menimbulkan tidak adanya kepastian hukum bagi para terpidana mati maupun masyarakat serta dinilai tidak tepat secara moral maupun etis. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis implikasi kebijakan moratorium pidana mati terhadap kepastian hukum. C. Metodologi Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini merupakan metode yuridis normatif. Maka dari itu, data yang digunakan dalam penelitian berasal dari sumber sekunder atau bahanbahan kepustakaan. Bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Undang-Undang No 2/PNPS/1964, serta Peraturan Kepala Kepolisian Negara Repbulik Indonesia No 12 Tahun 2010. Selain itu, Bahan sekunder diperoleh dari pendapat hukum serta non-hukum yang berasal dari buku, internet dan media masa. Sedangkan bahan tersier diperoleh dari Kamus Besar Bahasa Indonesia dan Kamus Hukum. Pengumpulan data akan diperoleh

melalui studi pustaka dari sumber-sumber tersebut serta wawancara dari

narasumber, yaitu Bapak Yendi Kusynedi selaku Kepala Sub Direktorat Eksekusi dan Eksaminasi Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum. Data yang diperoleh diolah dan dianalisis secara kualitatif serta diproses dengan penalaran berpikir deduktif. D. Hasil Penelitian Kebijakan moratorium merupakan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah untuk secara legal menunda atau menangguhkan kinerja kewajiban hukum dengan alasan-alasan tertentu


yang dalam konteks penelitian ini merupakan penundaan penjatuhan pidana mati. Pelaksanaan pidana mati memiliki tiga tujuan utama. Pertama, sebagai usaha melenyapkan seseorang yang melakukan kehajatan berat berulang kali dan dirasa tidak dapat menerima pembinaan atau bimbingan lagi; kedua, sebagai usaha melindungi masyarakat dari ancaman bahaya; serta ketiga, sebagai usaha preventif yaitu menakuti masyarakat agar tidak melakukan kejahatan serupa. Permasalahan utama mengenai kebijakan moratorium dalam pidana mati merupakan kepastian hukum. Kebijakan moratorium pidana mati saat ini tidak diatur dalam KUHP namun diatur dalam RUU KUHP pasal 91 ayat (1) yang menyebutkan bahwa pelaksaan pidana mati dapat ditunda dengan masa percobaan 10 tahun. Akan tetapi, RUU KUHP merupakan rancangan undang-undang yang belum disahkan dan belum dapat dijadikan landasan dari kebijakan moratorium. Jika ditinjau melalui UU No. 2/PNPS/1964 Tahun 1964 tentang Tata Cara Pelaksaan Pidana Mati, berdasarkan pasal 6 ayat (2) penundaan pidana mati dapat dilakukan atas permintaan dari terpidana tersebut. Selain itu, pasal 7 juga mengatur bahwa jika terpidana hamil, maka demi mencegah penghilangan jiwa yang tidak bersalah pelaksanaan pidana mati ditunda hingga 40 hari setelah terpidana melahirkan. Selanjutnya, penundaan juga dapat dilakukan jika ada hak-hak terpidana yang belum dipenuhi seperti pengajuan banding dan kasasi. Jika dilihat sisi positifnya, kebijakan moratorium dapat meminimalisir terjadinya kesalahan penjatuhan pidana mati dan melindungi hak-hak terpidana mati dalam memperjuangkan hak hidupnya. Moratorium dapat memberi kesempatan bagi terpidana untuk membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah ataupun membuktikan hal-hal yang dapat meringankan hukumannya. Namun, perlu diketahui bahwa tidak semua penundaan pidana mati memiliki alasan yang jelas seperti yang terncantum dalam UU No. 2/PNPS/1964. Implikasi yuridis dari moratorium yang tidak memiliki alasan jelas dan tidak diatur dalam perundang-undangan adalah ketidakpastian hukum yang berpotensi besar untuk menimbulkan kebutaan bertindak. Terdapat juga implikasi sosiologis bagi terpidana maupun masyarakat. Penundaan yang tidak jelas jangka waktunya membuat terpidana hidup dalam kegelisahan dan penderitaan karena tidak megetahui dengan pasti kapan eksekusi akan dilakukan. Selain itu, timbul keresahan di masyarakat dan kesan bahwa pemerintah tidak serius mengenai penjatuhan pidana mati. Hal tersebut dapat menggeser tujuan pidana mati sebagai pelindung sosial dan usaha preventif dengan menakuti atau menimbulkan efek jera di masyarakat agar tidak melakukan kejahatan.


E. Kesimpulan Dapat disimpulkan bahwa kebijakan moratorium memiliki dampak positif dalam melindungi hak-hak terpidana mati. Namun, kebijakan moratorium yang tidak diiringi dengan regulasi yang jelas dapat menimbulkan berbagai akibat negatif, yaitu pertama, pembatalan eksekusi yang mendadak dapat menimbulkan kerugian materiil negara; kedua, kebijakan moratorium yang tidak berlandasan hukum jelas dapat menyebabkan ketidakpastian hukum yang bertentangan dengan UUD 1945 pasal 28 D ayat (2); serta ketiga, ketidakpastian hukum dapat berdampak pada kebutaan bertindak yang berpotensi mengakibatkan pelanggaran prinsip equality before the law atau persamaan di mata hukum bagi terpidana mati.


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.