Tribune Express Edisi (1) Mei 2021 - Katalog Dokumentasi Ilmiah: Persyaratan Penggunaan Senjata Api

Page 1


Artikel Berita 1 Ramai Video Pria di Bogor Todong Pistol ke Kurir Online Shop

Ilustrasi: Shutterstock Penulis: Mirsan Simamora

Beredar video di media sosial memperlihatkan aksi seorang pria yang menerima barang dari kurir online shop. Pria tersebut menodongkan senjata api ke kurir tersebut. Dalam video berdurasi 38 detik itu, tampak seorang pria membuka paket dari kurir online shop. Namun, pria yang menerima paket itu memprotes isi paket berupa sandal. Kurir itu menjelaskan bahwa paket yang diterima tak bisa dikembalikan. “Ini tak bisa dikembalikan, Pak. Bapak kan sudah memeriksanya,” kata kurir. “Ini nggak sesuai [dengan barang yang dipesan],” jawab pria itu. Tidak terima dengan penjelasan kurir online shop yang hanya bertugas mengantar barang, pria itu masuk ke dalam ruangan. Beberapa saat kemudian, pria itu membawa pistol dan menodong kurir tersebut. Terkait hal itu, Kapolres Bogor, AKBP Harun, membenarkan insiden itu. Saat ini pihaknya tengah melakukan penyelidikan. “Iya,

benar,”

kata

Harun

kepada

kumparan,

Minggu

(2/5).Sumber:

https://kumparan.com/kumparannews/ramai-video-pria-di-bogor-todong-pistol-ke-kurironline-shop-1vfScpE2UWO.


Artikel Berita 2: Alasan Eks CEO Restock.id Acungkan Airsoft Gun, Polisi: Ada yang Pukul Kap

Ilustrasi: shutterstock.com Penulis: M Yusuf Manurung

TEMPO.CO, Jakarta - Polda Metro Jaya mengungkap alasan eks CEO Restock.id Muhammad Farid Andika mengacungkan airsoft gun setelah menabrak pengendara motor di Duren Sawit. Akibat aksi koboi itu Farid Andika ditetapkan sebagai tersangka. Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Yusri Yunus mengatakan pengemudi Fortuner itu mengacungkan senjata dari dalam mobilnya karena ketakutan dikeroyok setelah menabrak pengendara motor. "Pengakuan dia, karena ramainya orang pada saat itu, dan ada yang memukul kap mobil, dan rasa takutnya itu maka mengeluarkan senjata tersebut," kata Yusri di kantornya, Jakarta Selatan, Rabu, 7 April 2021. Yusri mengatakan tindakan Farid menodongkan airsoft gun karena dorongan rasa takut itu juga diperkuat oleh keterangan saksi di tempat kejadian perkara (TKP) dan korban. Setelah kabur karena ramainya orang di lokasi, Farid disebut sempat kembali lagi untuk melihat kondisi korban. "Dia kembali lagi untuk menolong korban, itu keterangan saksi yang ada di TKP," kata Yusri.


Pengendara motor yang menjadi korban kecelakaan itu sudah mewacanakan untuk tidak lagi memperpanjang kasus pelanggaran lalu lintas yang dilakukan oleh Farid. Namun, polisi masih menimbang dan mendalami wacana damai ini. Polisi telah menetapkan Farid yang terpaksa mundur dari posisi CEO Restock.id karena kasus ini sebagai tersangka. Dia dijerat Undang-undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 tentang Kepemilikan senjata. Farid diketahui tak hanya punya senjata airsoft gun seperti yang dipakainya di Duren Sawit. Dia juga menyimpan satu senjata lain berjenis air gun di kediamannya.

Sumber: https://metro.tempo.co/read/1450108/alasan-eks-ceo-restock-id-acungkan-airsoft-gun-polisiada-yang-pukul-kap/full&view=ok.


Artikel Berita 3 Marak Anggota TNI & Polri Salahgunakan Senjata, Apa Penyebabnya?

Ilustrasi: Getty Images Penulis: Alfan Putra Abdi

Anggota Polri Bripka HE (47) menembak istrinya dan seorang anggota TNI Serda HA di Binamu, Jeneponto, Sulawesi Selatan pekan lalu, Kamis (14/5/2020). Akibat kejadian itu, Serda HA menderita luka tembak di dada dan paha. Ia kini dirawat di Rumah Sakit Pelamonia, Makassar. Kasus yang melibatkan dua institusi keamanan tersebut kini ditangani Divisi Propam Polda Sulsel. Menurut Kepala Penerangan Kodam XIV Hasanuddin, Kolonel Infantri Maskun Nafik, kasus ini dipicu dugaan perselingkuhan antara istri pelaku dan korban. "Kami (TNI) serahkan penuh ke kepolisian untuk melakukan pemeriksaan kepada pelaku yang menyalahgunakan senjata api," kata Maskun kepada wartawan di Makassar, Sabtu (16/5/2020) seperti dilansir Antara. Peristiwa penembakan tersebut menambah catatan kasus asal tembak yang dilakukan aparat. Peneliti Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Bidang Kepolisian Bambang Rukminto menilai kasus ini menunjukkan arogansi aparat dan kegagapan dalam bertugas. "Mereka tidak bisa memilah antara kewenangan penggunaan senjata sebagai polisi dengan kepentingan dia sebagai pribadi," ujar Bambang kepada reporter Tirto, Sabtu (16/5/2020). Tak hanya penyalahgunaan, Bambang juga menyoroti kelalaian aparat dalam menggunakan senjata api. Awal mei lalu, misalnya, seorang warga Kelurahan Pagar Dewa,


Kecamatan Selebar, Kota Bengkulu tewas terkena peluru nyasar saat polisi kejar-kejaran dengan pengedar narkoba. Perlu Sanksi Tegas Bambang menilai Polri perlu memperhatikan kasus penyalahgunaan senjata oleh anggotanya secara serius. Hal itu dilakukan agar kasus asal tembak oleh aparat tidak terulang. Selain itu, menurut Bambang, perlu ada sanksi tegas dalam kasus penyalahgunaan senjata oleh aparat. Sanksi diberikan terhadap pelaku hingga pimpinan yang membawahinya. "Lembaga harus memastikan bahwa senjata api itu diberikan pada orang yang tepat," ujarnya. Penggunaan senjata api oleh anggota kepolisian sebenarnya sudah diatur dalam Peraturan Polri Nomor 8 tahun 2009, kata Komisioner Komisi Polisi Nasional (Kompolnas) Dede Farhan Aulawi. Dede mengatakan penggunaan senjata api hanya untuk keadaan luar biasa, membela diri/orang lain dari ancaman kematian dan luka berat, mencegah kejahatan berat, hingga menangani situasi bahaya. Menurut Dede, apabila anggota kepolisian yang menyalahi wewenang menggunakan senjata api dan merugikan orang lain, yang bersangkutan harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. "Sesuai dengan Pasal 49 ayat (2) huruf a Perkapolri 8/2009," ujar Dede kepada reporter Tirto, Sabtu (16/5/2020). Sebagai bentuk pertanggungjawaban hukum, seluruh anggota kepolisian wajib melaporkan setiap penggunaan senjata api. "Pada prinsipnya setiap anggota Polri wajib bertanggung jawab atas pelaksanaan penggunaan kekuatan senjata api dalam tindakan kepolisian sesuai Pasal 13 ayat (1) Perkapolri 1/2009," ujarnya. Minimnya Evaluasi Internal Kasus penyalahgunaan senjata api oleh aparat bukan kali itu saja terjadi. Di Papua, peristiwa baku tembak bahkan melibatkan TNI dan Polri sekaligus. Pada 12 April 2020, Briptu Marselino Manserba Rumaikewy tewas setelah baku tembak dengan personel TNI dari Satgas Pamrahwan Yonif 755/Yalet di pertigaan Jalan Pemda I Kampung Kasonaweja, Distrik Mamberamo Tengah, Kabupaten Mamberamo Raya, Papua. Marselino bertugas di Satuan Reskrim Polres Maberamo Raya. Dalam baku tembak itu, dua polisi lain meregang nyawa. Mereka adalah Briptu Alexander Ndun (anggota Satuan Reskrim) yang terluka tembak pada paha kiri dan satu luka di leher kiri, serta Bripda Yosias Dibangga (anggota Satuan Sabhara). Bripka Alva Titaley (anggota Satuan Reskrim) juga terluka tembak pada paha kiri, sementara Brigpol Robert Marien (anggota SPKT) kena tiga luka tembak di punggung. Dari pihak TNI, Kopda Gerson (anggota satgas 432 BKO 755/Kostrad) mengalami luka sobek pada pelipis kiri akibat pukulan senjata. Direktur Lembaga Studi Pertahanan dan Studi Strategis Indonesia (LESPERSSI) Beni Sukadis menilai insiden saling tembak yang melibatkan personel TNI disebabkan minimnya evaluasi internal. Menurut dia, setiap atasan dalam kesatuan semestinya menghukum tindakan


anggotanya. "Tapi kembali soal leadership lagi. Kalau atasan tidak serius untuk membawa ini ke ranah hukum internal. Pasti berulang lagi," ujar Beni kepada reporter Tirto. Apalagi, kata Beni, saat penggunaan senjata oleh aparat menewaskan orang lain. Menurutnya, pelaku bisa dikenakan hukum disipliner, ditahan secara internal, hingga dicopot jabatan. Namun ada juga hukuman pidana yang diproses melalui Mahkamah Militer. Namun Beni meragukan internal TNI yang tegas menindak personelnya hingga ke tahap Mahkamah Militer. "Mahmil (Mahkamah Militer belum serius untuk meneggakan hukuman sesuai yang ada dalam KUHP. Biasanya hukumannya lebih ringan dari yang semestinya dijatuhkan," ujarnya.

Sumber: https://tirto.id/marak-anggota-tni-polri-salahgunakan-senjata-apa-penyebabnyafwie.


Artikel Berita 4 Begini Mekanisme Hibah Senjata Api untuk Olahraga dan Beladiri

Ilustrasi: Rachman Haryanto Penulis: Mei Amelia R

Tidak sembarang warga sipil dapat menyimpan dan menggunakan senjata api non-organik. Salah satu persyaratan utama adalah pemegang senjata api harus memiliki perizinan dari pihak kepolisian atau lembaga terkait seperti Perbakin. "Perizinan tersebut dibuat salah satunya agar tidak ada penyalahgunaan senjata api di kalangan masyarakat sipil," ujar Direktur Intelkam Polda Metro Jaya Kombes Merdisyam kepada detikcom, Jumat (23/9/2016). Menilik soal kasus kepemilikan senpi non-organik yang dimiliki oleh Gatot Brajamusti, yang mengaku diberikan senjata api dari mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Ary Suta, ada beberapa hal yang perlu dicermati soal hibah senjata api. Persyaratan hibah pemilikan senpi ini diklasifikasikan menjadi dua kategori, yakni senpi untuk kepentingan olahraga dan beladiri. Persyaratan hibah senpi untuk olahraga dan beladiri ini tidak terlalu beda jauh. Selain persyaratan administrasi, ada poin penting syarat yang harus dipenuhi seperti lolos tes psikologi, memiliki kemampuan menembak dan kredibel. Berikut persyaratan hibah senpi untuk pemilikan senpi untuk olahraga dan beladiri dari Direktorat Intelkam

Polda

Persyaratan hibah senpi untuk kepentingan olahraga:

Metro

Jaya.


1. Hasil cek kredibilitas. 2. Permohonan bermaterai. 3. Rekomendasi Perbakin. 4. Surat pernyataan hibah senjata. 5. Berita acara penitipan senjata. 6. Fotocopy KTP dan Kartu Keluarga (KK). 7. Fotocopy kartu anggota Perbakin. 8. Fotocopy buku pas senjata. 9. Fotocopy Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK). 10. Hasil tes psikologi dari Polri. 11. Surat keterangan kesehatan dari Polri. 12. Surat keterangan kemampuan menembak dari Perbakin. 13. Pas foto ukuran 4x6 sebanyak 2 lembar (background merah).

Persyaratan hibah senpi untuk beladiri: 1. Hasil cek kredibilitas. 2. Permohonan bermaterai. 3. Surat pernyataan hibah senjata. 4. Berita acara penitipan senjata. 5. Fotocopy KTP/KTA dan Kartu Keluarga. 6. Fotocopy kartu senjata. 7. Fotocopy buku pas senjata. 8. Fotocopy SIUP. 9. Skep jabatan. 10. Fotocopy SKCK. 11. Hasil tes psikologi dari Polri. 12. Surat keterangan kesehatan dari Polri. 13. Surat keterangan kemampuan menembak dari Perbakin. 14. Pas photo ukuran 2x3 sebanyak 2 lembar. 15. Pas photo ukuran 4x6 sebanyak 2 lembar (background merah). Soal kepemilikan senjata api ini diatur dalam Undang-Undang Darurat No 12 Tahun 1951. Karena adanya sejumlah kasus penyalahgunaan senjata api legal yang dimiliki warga sipil, kemudian diterbitkanlah SKEP Kapolri bernomor 1117/VIII/2005. Surat Keputusan (SKEP) tersebut mengatur penarikan senjata api dari masyarakat sipil yang memang sebelumnya


terdaftar resmi di Wasendak Intelkam. SKEP tersebut menggantikan surat keputusan sebelumnya yakni SKEP Kapolri bernomor 82/II/2004.

Sumber: https://news.detik.com/berita/d-3305106/begini-mekanisme-hibah-senjata-apiuntuk-olahraga-dan-beladiri.

Kajian Dokumentasi Ilmiah: “Persyaratan Penggunaan Senjata Api di Indonesia. Sudah Tepatkah?”


Oleh: Muhammad Arfi Pramusintho Staf Bidang Literasi dan Penulisan LK2 FHUI Lembaga Kajian Keilmuan Fakultas Hukum Universitas Indonesia

Sumber: Unsplash.com UUD 1945 dalam pembukaannya menyebutkan bahwa negara Indonesia memiliki kewajiban untuk melindungi bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Oleh karena itu, diperlukan adanya aturan dan juga batasan mengenai apa saja yang boleh dan dilarang. Salah satunya yakni aturan mengenai kepemilikan senjata api bagi warga sipil dan juga aparat yang berwenang di Indonesia. Beberapa kasus yang diduga sebagai penyalahgunaan senjata telah ramai diperbincangkan di kalangan media, seperti “kasus koboi jalanan”, kasus penembakan anggota Front Pembela Islam (FPI), penembakan seorang anggota polisi terhadap istrinya dan berbagai kasus terkait penggunaan senjata api lainnya. Kasus tersebut menjadi ramai akibat belum terlalu terang di kalangan masyarakat mengenai seperti apa aturan mengenai penggunaan senjata api di Indonesia baik bagi warga sipil maupun bagi aparat yang berwenang seperti Kepolisan Negara Republik Indonesia (Polri) dan Tentara Nasional Indonesia (TNI). Tulisan ini akan sedikit menjelaskan mengenai regulasi kepemilikan senjata api di Indonesia. Siapa sajakah yang berhak memiliki senjata api di Indonesia? Apakah


terdapat persyaratan khusus apabila memiliki senjata api? Kemudian, adakah ancaman hukum yang dapat dibebankan kepada pelaku yang menyalahgunakan kepemilikan senjata yang dimilikinya? Secara umum, pembagian atas senjata api dibedakan ke dalam dua golongan yakni senjata api organik dan senjata api non-organik. Senjata api organik merupakan senjata api yang terinventarisasi dan juga digunakan untuk kebutuhan dinas resmi tiap-tiap personil TNI/Polri. Senjata api organik ini berjenis semi otomatis atau juga otomatis penuh berkelas lethal-military grade. Dengan kata lain, senjata ini memang dirancang sebagai alat bertempur yang mengerikan.1 Sedangkan, senjata non-organik merupakan senjata berjenis semi otomatis atau manual yang bukan milik Polri/TNI. Ada tiga jenis senjata yang termasuk ke dalam senjata non-organik, yakni senjata api peluru tajam, senjata api peluru karet, dan senjata api peluru gas. 2 Pada dasarnya, Pasal 1 Undang-Undang Darurat Republik Indonesia No. 12 Tahun 1951 menyebutkan bahwa barangsiapa yang melakukan kegiatan tanpa hak menggunakan senjata api berhak untuk dihukum. Akan tetapi, pada Pasal 15 ayat 2E Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia menjelaskan lebih lanjut mengenai kewenangan pihak kepolisian untuk memberikan izin dan melakukan pengawasan senjata api, bahan peledak, dan senjata tajam bagi warga sipil. Warga sipil diperbolehkan memiliki senjata api hanya dengan alasan hukum yang jelas yakni hanya sebagai perlindungan diri dari ancaman pihak luar yang nyata-nyata membahayakan keselamatan jiwa, harta benda dan kehormatannya.3 Hal ini karena UUD 1945 menyebutkan bahwa setiap orang sejatinya berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi. Selain itu, terdapat beberapa persyaratan yang harus dipenuhi warga sipil yang ingin memiliki senjata api. Warga sipil yang diperbolehkan memiliki senjata api diharuskan memenuhi 17 persyaratan khusus dalam Pasal 15 Perkapolri No.18 Tahun 2015, yakni seperti 1 Jack S, “Perbedaan Senjata Api Organik vs Non Organik,” https://www.1on1battle.com/2019/10/perbedaan-senjata-api-organik-dan-non.html, diakses pada 28 April 2021. 2 Andita Rahma, “Ini Syarat dan Jenis Senjata Api yang Bisa Dimiliki Warga Sipil,” https://nasional.tempo.co/read/1371668/ini-syarat-dan-jenis-senjata-api-yang-bisa-dimiliki-wargasipil/full&view=ok, diakses pada 28 April 2021. 3 Indonesia, Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Tentang Perizinan, Pengawasan, dan Pengendalian Senjata Api Nonorganik, Ps. 15 ayat (2).


berusia minimal 24 tahun, memenuhi persyaratan psikologis dari Polri, keterampilan dalam penggunaan senjata api dengan klasifikasi paling rendah kelas III dari Sekolah Polisi Negara (SPN) dan persyaratan lainnya. Pada Pasal 4 peraturan yang sama menyebutkan bahwa senjata api yang boleh dimiliki warga sipil adalah senjata api non-organik TNI/Polri yang meliputi senjata api peluru tajam dengan kaliber 12 GA untuk jenis senapan dan kaliber 22, 25, dan 32 untuk jenis pistol atau revolver; senjata api peluru karet dengan kaliber paling tinggi 9mm; dan senjata api peluru gas dengan kaliber paling tinggi 9mm. Selain yang berwujud senjata api, warga sipil juga diperkenankan untuk memiliki benda yang dapat digunakan untuk kepentingan bela diri seperti semprotan gas air mata dan alat kejut listrik. 4 Persyaratan mengenai kewenangan warga sipil dalam kepemilikan senjata api masih dirasa kurang memberikan tujuan hukum yakni kebermanfaatan dalam penerapannya. Hal ini didasarkan pada faktor keamanan dan juga ketertiban masyarakat yang akan tercederai akibat hal-hal seperti psikologis dari pengguna yang dapat berubah dengan situasi dan kondisi tertentu dan juga penafsiran mengenai alasan melindungi diri dari diperbolehkannya seseorang menggunakan senjata api masih samar. Hal ini senada dengan apa yang disampaikan Poengky Indarti, mantan Direktur Eksekutif Imparsial, yang berpendapat bahwa penggunaan senjata api untuk kepentingan warga sipil seharusnya hanya diperbolehkan untuk olahraga saja. Itu pun, menurutnya senjata api untuk olahraga ini tak boleh dikuasai oleh sang atlet. Faktor psikologis seringkali menjadi penyebab seseorang melakukan penyalahgunaan terhadap penggunaan senjata api. Beberapa kasus yang adapun menerangkan bahwa beberapa pelaku melakukannya karena faktor psikologis yang tidak terkendali seperti marah, keadaan mabuk, dan juga perasaan superior karena memiliki senjata sehingga tak jarang melakukan hal yang sewenang-wenang terhadap lawannya. Meskipun telah dilakukan tes psikologi pada persyaratan kepemilikan senjata, akan tetapi hal tersebut tidak membuat penyalahgunaan senjata akibat faktor psikologis menjadi tidak ada. Sebagai contoh, anggota Polri Bripka HE yang menembak istrinya dan seorang anggota TNI Serda HA di Binamu, Sulawesi Selatan, 14 Mei 2020 silam. Dalam hal ini, penggunaan senjata seharusnya menjadi alat yang paling terakhir digunakan mengingat dampaknya yang cukup serius terhadap korban. Sehingga, sesuai dengan tujuan dari penggunaan senjata api itu sendiri yakni hanya untuk keadaan luar biasa, membela diri/orang lain. dan juga menangani dan mencegah kejahatan berat dan berbahaya.

4 Indonesia, Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Tentang Perizinan, Pengawasan, dan Pengendalian Senjata Api Non Organik, Ps. 4.


Selain senjata api, ada pula jenis senjata yang menjadi bahasan menarik apabila membahas mengenai kepemilikan senjata. Salah satunya yakni airsoftgun. Belum ada peraturan perundang-undangan yang membahas secara rinci mengenai pidana bagi warga sipil yang memiliki senjata jenis airsoft gun ini. Namun, dijelaskan secara khusus pada Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No.8 Tahun 2012 yakni Airsoft gun merupakan senjata yang terbuat dari bahan plastik atau campuran yang dapat melontarkan Ball Bullet (BB) dan penggunaannya hanya diperbolehkan untuk kepentingan olahraga menembak reaksi, digunakan di lokasi pertandingan dan latihan, dan juga adanya syarat khusus yang harus dipenuhi untuk dapat menggunakannya untuk kepentingan olahraga. Berkaitan dengan Airsoft Gun ini sendiri, Wakapolres Sampang Kompol, Alfian Nurrizal berpendapat bahwa airsoft gun ini memerlukan penyelidikan siapa yang memilikinya karena pemilik tidak dapat menunjukkan bukti-bukti kepemilikan sebagaimana pada kepemilikan senjata api. 5 Meskipun airsoft gun seringkali dianggap sebagai bukan senjata api, akan tetapi dampak yang ditimbulkan dari penyalahgunaan terhadap airsoft gun itu sendiri juga serius. Sehingga, penggunaan terhadap senjata baik senjata api ataupun airsoft gun tidak diberikan secara legal terhadap masyarakat terlebih lagi dengan persyaratan yang dirasa masih memerlukan analisis lebih lanjut. Selain warga sipil yang memiliki persyaratan ketat mengenai penggunaan senjata api di Indonesia, aparat kepolisian sendiri pun pada dasarnya juga tidak berwenang untuk melakukan penggunaan senjata api secara sewenang-wenang. Meskipun aparat kepolisian memiliki wewenang dalam tugas dan fungsi pelaksanaan keamanan dan ketertiban umum di masyarakat, dalam prakteknya cara yang menyakiti haruslah menjadi langkah terakhir yang dipilih dalam melaksanakan tugasnya. Polisi tidak boleh menggunakan senjata api terhadap orang, kecuali dalam keadaan membela diri atau melindungi orang lain, mencegah terjadinya kejahatan serius (dengan kekerasan) yang mengancam keselamatan orang lain, mencegah penjahat melarikan diri dan itu hanya boleh terjadi jika cara lain sudah tidak dimungkinkan lagi.6 Sebagai contoh, polisi harus memberikan tembakan peringatan yang ditembakkan ke tanah atau udara dengan kehati-hatian tinggi untuk menurunkan mental pelaku sebagai peringatan sebelum tembakan diarahkan kepada pelaku. Dalam hal ini, perlindungan terhadap diri tentunya akan memberikan tafsir yang luas bagi pengguna senjata api. Namun, penafsiran tersebut nantinya akan

5

Tri Jata Ayu Pramesti, “Risiko Hukum Jika Membawa Airsoft Gun,” https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt54cf05c44d4c1/risiko-hukum-jika-membawa-airsoft-gun, diakses pada 29 April 2021. 6 Kunarto, 1996, Ikhtisar Implementasi Hak Asasi Manusia dalam Penegakan Hukum, Cipta Manunggal, Jakarta, hlm. 143.


ditentukan oleh hakim, melalui yurisprudensi, doktrin, ataupun tafsiran dari hakim itu sendiri. Beberapa aparat seringkali mengatasnamakan hukum atas penyalahgunaan yang dilakukannya. Penyalahgunaan senjata api oleh aparat kepolisian biasanya disebabkan oleh beberapa faktor seperti kontrol dan pengawasan yang lemah terhadap pengawasan dan penggunaan senjata api, rendahnya profesionalisme oknum aparat kepolisian, dan juga rendahnya hukuman bagi pelaku penyalahgunaan senjata api tersebut.7 Polisi memang memiliki diskresi dalam menjalankan tugasnya, akan tetap berdasarkan pada hukum yang berlaku yakni karena adanya kekuasaan di bidang hukum dan kekuasaan di bidang pemerintahan yang menimbulkan fungsi utama seperti penegak hukum, pelayanan masyarakat, dan pengayom keamanan. Akan tetapi tentu dalam melaksanakan tugas tersebut, Peraturan Kapolri No. 8 Tahun 2009 menjelaskan bahwa polisi wajib memperhatikan asas legalitas, nesesitas, dan proporsionalitas sebagai dasar dalam melakukan pelayanan dan perlindungan terhadap warga masyarakat. Asas legalitas ini berarti tindakan haruslah dengan prosedur dan hukum yang berlaku. Asas nesesitas berarti memerintah agar tindakan harus sesuai dengan kebutuhan dalam menegakkan hukum yakni apabila tidak ada cara lain untuk dapat melakukan suatu tindakan penggunaan senjata api tersebut. Selain itu, asas proporsionalitas yakni asas yang tindakan penggunaan senjata api harus seimbang dengan ancaman yang ada.8 Dalam penyalahgunaan terhadap senjata api baik bagi warga sipil maupun aparat kepolisian itu sendiri sejatinya sifatnya administratif. Oleh karena itu, sanksi dalam penyalahgunaan senjata api berbentuk seperti pencabutan izin kepemilikan senjata dan tidak diperkenankan kembali untuk mengurus izin mengenai kepemilikan senjata. Namun, apabila ada tindakan tersebut termasuk pula ke dalam pelanggaran yang diatur dalam peraturan lainnya seperti KUHP dan KUHPerdata, seperti mengancam dan menyakiti orang lain tanpa alasan diskresi yang jelas, maka pelaku penyalahgunaan terhadap senjata api dapat dikenai sanksi pidana dan perdata. Secara represif, terhadap anggota Polri pelaku penyalahgunaan senjata api akan dikenakan tindakan berupa pemberian sanksi disiplin dan/atau sanksi pidana sebagaimana diatur dalam KUHP9 7

Yokseni Pangulili, “Penerapan Sanksi Terhadap Penyalahgunaan Senjata Api Oleh Aparat Kepolisian,” Lex et Societatis, Vol.IV, No.2, 2016, hlm. 127. 8 Laode S. K. Laksana, “Tinjauan Kriminologis Terhadap Penyalahgunaan Senjata Api Oleh Anggota Kepolisian Republik Indonesia,” (Skripsi Sarjana Universitas Hasanuddin, Makassar, 2015), hlm. 25—26. 9 Andi A. Y. Putra, “Penyalahgunaan Senjata Api Oleh Aparat Polri (Tinjauan Kriminologis),” (Skripsi Sarjana UIN Alauddin, Makassar, 2013), hlm. 43.


Berbeda halnya dengan regulasi kepemilikan senjata di Indonesia, beberapa negara seperti Amerika Serikat, Finlandia, Swiss, Panama, Norwegia, Kanada, Swedia, Serbia, Republik Ceko, Honduras memiliki aturan yang lebih longgar terkait kepemilikan senjata di negara tersebut.10 Amerika Serikat dalam Amandemen Kedua Konstitusi tahun 1791 bahkan menyebutkan bahwa “Milisi yang diatur dengan baik dibutuhkan untuk keamanan negara merdeka, maka hak-hak masyarakat untuk menyimpan dan membawa persenjataan tak boleh dilarang.” Bukan hanya tidak mengatur mengenai kepemilikan senjata api, pemerintah AS bahkan tidak melarang warganya memiliki senjata api dengan batasan yang cukup longgar. Hal ini tentu menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat mengingat telah beberapa kali terjadi kasus penembakan massal yang terjadi di Amerika Serikat. Namun, Presiden Donald Trump dalam hal ini lebih mengecam mengenai kesehatan mental pelaku. Setiap negara bagian AS memiliki peraturan yang berbeda-beda terkait batasan kepemilikan senjata. Akan tetapi, batasan tersebut hanya menyangkut usia perseorangan yang boleh memiliki senjata api. Dalam hal ini, perlu dikaji lebih lanjut terkait apabila aturan di AS tersebut akan diterapkan di Indonesia. Kepemilikan senjata api tanpa ilegal sejatinya dapat diberikan sanksi pidana berupa pidana penjara 20 tahun atau seumur hidup atau bahkan hukuman mati. Warga sipil hanya diperbolehkan untuk memiliki senjata non-organik dan digunakan hanya untuk melindungi diri tanpa alasan lain. Untuk dapat memiliki senjata api, ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh seseorang yang akan melakukan perizinan terhadap senjata api yang berarti peraturan mengenai kepemilikan senjata api bagi warga sipil tentunya tidaklah mudah. Warga sipil yang telah mendapatkan izin untuk memiliki senjata api tidak diperkenankan untuk melakukan tindakan yang sewenang-wenang terhadap izin yang telah dimilikinya. Apabila terbukti melakukan penyalahgunaan, izin kepemilikan senjata api akan dicabut dan tidak diperkenankan untuk mengurus izin kembali. Namun, persyaratan dan juga sanksi pidana yang ditetapkan dalam kepemilikan dan juga penyalahgunaan senjata api di Indonesia dianggap belum cukup tepat karena tidak menciptakan efek jera terhadap para pelaku dan juga persyaratannya tidak menciptakan tolok ukur yang baik apakah seseorang tersebut telah dapat dianggap pantas untuk memiliki senjata api yang tentu saja akan menimbulkan dampak yang cukup serius apabila disalahgunakan.

10

Ega Sukma Anugrah, “10 Negara Izinkan Warganya Punya Senjata Api, Nomor 9 Bolehkan Menembak Teroris,” https://news.okezone.com/read/2018/09/24/18/1954917/10-negara-izinkan-warganyapunya-senjata-api-nomor-9-bolehkan-menembak-teroris?page=2, diakses pada 28 April 2021.



Daftar Pustaka Kunarto. Ikhtisar Implementasi Hak Asasi Manusia dalam Penegakan Hukum, Jakarta: Cipta Manunggal, 1997. Pangulili, Yokseni. “Penerapan Sanksi Terhadap Penyalahgunaan Senjata Api Oleh Aparat Kepolisian.” Lex et Societatis Vol.IV, No.2 (2016). Hlm. 127. Laksana, Laode. “Tinjauan Kriminologis Terhadap Penyalahgunaan Senjata Api Oleh Anggota Kepolisian Republik Indonesia.” Skripsi Sarjana Universitas Hasanuddin. Makassar, 2015. Putra, Andi. “Penyalahgunaan Senjata Api Oleh Aparat Polri (Tinjauan Kriminologis),” Skripsi Sarjana UIN Alauddin. Makassar, 2013. Indonesia. Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Tentang Perizinan. Pengawasan, dan Pengendalian Senjata Api Nonorganik. Indonesia. Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Tentang Perizinan, Pengawasan, dan Pengendalian Senjata Api Nonorganik. Anugrah, Ega Sukma. “10 Negara Izinkan Warganya Punya Senjata Api, Nomor 9 Bolehkan Menembak Teroris.” https://news.okezone.com/read/2018/09/24/18/1954917/10-negara -izinkan-warganya-punya-senjata-api-nomor-9-bolehkan-menembak-teroris?page=2. Diakses pada 28 April 2021. Pramesti,

Tri

Jata

Ayu.

“Risiko

Hukum

Jika

Membawa

Airsoft

Gun.”

https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt54cf05c44d4c1/risiko-hukum-jikamembawa-airsoft-gun. Diakses pada 29 April 2021. Rahma, Andita. “Ini Syarat dan Jenis Senjata Api yang Bisa Dimiliki Warga Sipi.” https://nasional.tempo.co/read/1371668/ini-syarat-dan-jenis-senjata-api-yang-bisadimiliki-warga-sipil/full&view=ok. Diakses pada 28 April 2021. S,

Jack.

“Perbedaan

Senjata

Api

Organik

vs

Non

Organik.”

https://www.1on1battle.com/2019/10/perbedaan-senjata-api-organik-dan-non.html. Diakses pada 28 April 2021.


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.