Tribune Express Internship LK2 - Esai Kritis: Polemik Keberlakuan Persetujuan Do Not Resuscitate

Page 1


POLEMIK KEBERLAKUAN PERSETUJUAN DO NOT RESUSCITATE DALAM DUNIA MEDIS INDONESIA Oleh: Angelica Catherine Edelweis Staf Magang Literasi dan Penulisan LK2 FHUI 2021

Sumber: Daisy Daisy - Shutterstock Tubuh manusia dapat berfungsi dan bekerja dengan normal karena adanya aliran darah yang dipompa oleh jantung. Namun, ada beberapa kondisi ketika fungsi jantung mengalami kegagalan sehingga menyebabkan detak jantung, sirkulasi darah, dan pasokan oksigen terhenti. Jika kondisi ini berlangsung, paramedis dan dokter melakukan resusitasi atau yang sering disebut Cardiopulmonary Resuscitation (CPR). CPR adalah prosedur yang dilakukan saat seseorang mengalami kegagalan fungsi jantung. Prosedur tersebut meliputi kompresi dada, intubasi, cardioversion, defibrilasi seperti menggunakan alat kejutan listrik, serta pernapasan buatan.1 Namun, menurut American Heart Association, prosedur CPR tidak diindikasikan kepada semua pasien. Pengecualian CPR dilakukan kepada pasien yang memiliki kondisi penyakit terminal, sudah berusia lanjut, penyakit yang tidak reversibel, dan penyakit dengan prognosis kematian yang

1

Angela Morrow, “Overview of Do Not Resuscitate Orders,” https://www.verywellhealth.com/hands-off-donot-resuscitate-1132382, diakses 25 November.


hampir dapat dipastikan.2 Pengecualian ini dilakukan karena adanya kemungkinan yang lebih buruk jika prosedur CPR dilakukan.3 Pengecualian ini juga dilakukan terhadap pasien yang menandatangani dokumen Do Not Resuscitate (DNR). DNR adalah perintah larangan resusitasi yang ditulis oleh dokter untuk menginstruksikan kepada paramedis/jasa kesehatan lainnya untuk tidak melakukan CPR kepada pasien jika pasien berhenti bernapas atau mengalami kegagalan jantung.4 Perlu untuk diketahui dan dipahami, bahwa DNR hanya menyatakan penolakan terhadap prosedur resusitasi atau CPR bukan membatasi tindakan medis lainnya seperti obat-obatan, bedah/operasi, dan sebagainya.5 Untuk meminimalisir pemahaman yang salah, DNR juga dikenal dengan nama Do Not Attempt Resuscitation (DNAR) dan Allow Natural Death (AND).6 AND memberikan pengertian atas prosedur ini bahwa terkadang kematian datang bukan dengan kegagalan jantung tetapi karena badan pasien secara keseluruhan sudah tidak mampu menopang sehingga prosedur ini memiliki tujuan untuk pasien mendapatkan natural death/ordinary dying.7 Pasien yang memutuskan untuk mengikat dirinya dengan DNR wajib menuangkan keinginan tersebut dalam sebuah dokumen yang sah atau sering disebut advance directives. Advance directives adalah dokumen/pernyataan tertulis dimana seseorang menentukan keputusan medis yang dapat dilakukan terhadap dirinya dan memiliki kekuatan hukum.8 Advance directives dapat berupa sebuah surat wasiat hidup yang berisi keputusan mengenai pelayanan kesehatan atau penunjukan kuasa wali oleh pasien. Advance directives memiliki kekuatan hukum yang mengikat karena berbentuk sebuah perjanjian yang mengikuti dan sesuai dengan hukum perdata tempat advance directives tersebut dibuat. Mengingat kekuatan mengikatnya, maka dalam membuat 2

Audai Nader Sa’id dan Majd Mrayyan, “Do Not Resuscitate: An Argumentative Essay,” Journal of Palliative Care & Medicine 6 (2016), hlm. 2. 3 American Heart Association, “Part 2: Ethical Aspects of CPR and ECC,” Circulation: Journal of The American Heart Association 102 (2000), hlm. 15. 4 Medline Plus, “Do-Not Resuscitate,” https://medlineplus.gov/ency/patientinstructions/000473.htm, diakses 25 November. 5 American Heart Association, “Ethical Aspects of CPR,” hlm. 18. 6 Joseph L Breault, “DNR, DNAR, or AND? Is Language Important?” The Ochsner Journal 11 (2011), hlm. 303. 7 Muiris Houston, “It’s Time for Action to Stop The Inappropriate and Damaging Use of CPR,” https://www.irishtimes.com/life-and-style/health-family/it-s-time-for-action-to-stop-the-inappropriate-anddamaging-use-of-cpr-1.3105625, diakses 25 November. 8 Medline Plus, “Advance Directives,” https://medlineplus.gov/advancedirectives.html, diakses 25 November.


persetujuan DNR, pasien harus mempunyai informasi yang utuh atas praktik DNR baik dari sisi negatif maupun positifnya.9 Pembahasan DNR harus dilakukan sebelum pada tahap melakukan persetujuan dan jika diskusi DNR menyebabkan gangguan fisik dan mental pada pasien maka harus diberhentikan.10 Setelah itu, pasien harus menyatakan persetujuannya kepada pihak rumah sakit yang terkait. Keputusan DNR pasien harus dapat direvisi dan revisi tersebut harus diketahui oleh semua petugas kesehatan yang mungkin bersinggungan dengan pasien sebelumnya. 11 Revisi keputusan ini harus dituangkan dalam rekam medis pasien serta menarik tanda yang sudah dibuat sebelumnya. Prosedur di atas merupakan prosedur umum jalannya sebuah persetujuan DNR. Akan tetapi, prosedur DNR menimbulkan perdebatan di berbagai negara. Ada yang menganggap prosedur ini dianggap tepat secara medis dan merupakan bentuk penghargaan keputusan pasien atas dirinya sendiri. Namun, beberapa negara telah menyatakan dengan tegas pelarangan prosedur DNR atas dasar keadilan bahwa semua masyarakat layak mendapatkan resusitasi jantung. Maka dari itu, tulisan ini akan membahas mengenai keberlakuan dan keabsahan prosedur DNR dalam hukum positif Indonesia. Dalam Pasal 344 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tertulis bahwa, “Barang siapa menghilangkan jiwa/nyawa orang lain atas permintaan itu sendiri, yang disebutkannya dengan nyata dan sungguh-sungguh, dihukum penjara selama-lamanya dua belas tahun.”12 Dengan demikian, jika dengan tidak dilakukannya resusitasi terhadap pasien dapat menghilangkan nyawa pasien tersebut, petugas medis yang dengan sengaja tidak melakukannya atas dasar DNR dapat dipidanakan. Namun, perlu untuk diketahui bahwa selain hukum yang tertuang dalam bentuk undang-undang, Indonesia memiliki asas-asas hukum yang harus diterapkan ketika membaca dan menginterpretasikan sebuah regulasi. Dalam kasus ini asas lex specialis derogat legi generali dapat diberlakukan. Asas ini memiliki pengertian bahwa peraturan yang bersifat khusus membatalkan

9

Breault, “DNR,” hlm. 302. Zac Etheridge dan Emma Gatland, “When and How to Discuss Do Not Resuscitate Decisions With Patients,” BMJ Clinical Research ed. (2015), hlm. 20. 11 Leo L. Boosaert, et.al., “European Resuscitation Council Guidelines for Resuscitation 2015 Section 11. The Ethics of Resuscitation and End-of-Life Decisions,” Resuscitation 95 (2015), hlm. 307. 12 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana [Wetboek van Strafrecht], diterjemahkan oleh Moeljatno, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1976), Ps. 388. 10


atau meniadakan peraturan yang sifatnya umum.13 Untuk prosedur DNR, Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (UU Praktik Kedokteran) sebagai peraturan bersifat khusus membatalkan atau meniadakan KUHP yang merupakan peraturan bersifat umum. Pada hakikatnya, asas tersebut dipakai karena KUHP Pasal 344 dianggap sudah tidak relevan dalam hal persetujuan DNR. Seperti yang kita ketahui, KUHP Indonesia merupakan produk hukum Belanda saat zaman penjajahan dengan nama Wetboek van Strafrecht. Di Belanda sendiri, menurut Nederlandse Vereniging voor een Vrijwillig Levenseinde (NVVE) yang merupakan sebuah organisasi pendukung hak untuk mati, prosedur DNR legal secara perdata yang diatur dalam Wet op de Geneeskundige Behandelingsovereenkomst (WGBO) atau UndangUndang Perjanjian Perawatan Medis dan sesuai dengan KUHPerdata Belanda. 14 WGBO sendiri telah resmi berlaku di Belanda sejak tahun 1994. Bahkan, praktik euthanasia yang sangat kontroversial dan bertentangan dengan KUHP telah resmi dan sah berlaku di Belanda sejak 2002 dalam Wet Toetsing Levensbeëindiging op verzoek en Hulp Bij Zelfdoding atau Undang-Undang Pengakhiran Hidup atas Permintaan dan Tindakan Bunuh Diri yang Dibantu. Regulasi tersebut dibuat untuk membatalkan makna pada beberapa pasal yang terdapat dalam KUHP Belanda.15 Hal ini menunjukan adanya perubahan norma dan kebiasaan yang ada di masyarakat, sehingga beberapa produk hukum yang ada harus dibatalkan dengan undang-undang yang lebih baru ataupun dengan menggunakan asas hukum yang ada. Selain itu, Indonesia juga mengenal dan mengakui asas kebebasan berkontrak atau Freedom of Contract yang tertuang dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) Pasal 1338. Asas ini memberikan kebebasan bagi para pihak untuk membuat klausul-klausul dengan mengesampingkan undang-undang. Dalam asas ini para pihak bebas menciptakan perjanjian sepanjang tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan, serta ketentuan hukum yang berlaku. Dengan lain kata, perjanjian ini harus sah memenuhi syarat-syarat sahnya persetujuan yang diatur oleh Hukum Perdata Indonesia.

13

Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Liberty, 1999), hlm. 86. NVVE, The Final Stages of Life, (Amsterdam: NVVE, 2016), hlm. 9. 15 WFRTDS, “Dutch law on Termination of life on request and assisted suicide (complete text),” https://wfrtds.org/dutch-law-on-termination-of-life-on-request-and-assisted-suicide-complete-text/, diakses 27 November. 14


Menurut KUHPerdata, persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.16 Dalam hal ini, persetujuan DNR memiliki hubungan yang dua arah yang berarti bukan hanya pasien yang memberikan persetujuannya, tetapi dokter juga memiliki suara. Dokter atas pertimbangan matangnya dapat memutuskan untuk menyetujui ataupun menolak surat/dokumen DNR yang diajukan oleh pasien. Dalam melakukan persetujuan ini, terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi baik oleh pasien maupun dokter yang tercantum dalam KUHPerdata Pasal 1320. Syarat tersebut adalah sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, kecakapan untuk membuat sebuah perikatan, suatu hal tertentu, dan suatu sebab yang halal.17 Syarat sah ini terbagi menjadi syarat sah subjektif yang mengenai subjek dari persetujuan ini yaitu adanya kesepakatan dan kecakapan yang melakukan persetujuan, lalu syarat sah objektif mengenai objek dari persetujuan yaitu adanya objek/perihal tertentu dan sebab yang halal atau dilegalkan. Pertama, adanya sepakat atau konsensus yang dicapai oleh pihak-pihak yang mengikatkan diri, yang berarti baik dokter maupun pasien harus mencapai kata sepakat atas prosedur yang akan dilakukan. Ketika dokter menyetujui maupun menolak, dokter memiliki kewajiban untuk memberikan informasi dan argumentasi yang utuh atas pendapatnya. Diskusi dan pemahaman menyeluruh diperlukan dari kedua belah pihak agar mencapai kata sepakat. Persetujuan dapat dikatakan sah jika ada kesepakatan yang diberikan oleh pihak-pihak bersangkutan secara sukarela tanpa adanya paksaan, tidak diperoleh melalui penipuan atau tidak diberikan karena kekhilafan.18 Kedua belah pihak harus sadar, paham, dan benar-benar memiliki informasi yang menyeluruh dan sepaham dalam melakukan prosedur DNR.19 Persetujuan ini berarti memiliki sifat konsensual yang mana kedua belah pihak telah mencapai persesuaian kehendak dan sudah mempunyai kekuatan mengikat.20 Syarat kedua berbicara mengenai subjek yang melakukan persetujuan ini harus dianggap cakap oleh hukum. Menurut pasal 1330 KUHPerdata, subjek hukum yang dianggap tidak cakap 16 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata [Burgerlijk Wetboek], diterjemahkan oleh Subekti dan R. Tjitrosudibio, (Jakarta: Balai Pustaka, 2017), Ps. 1313. 17 Ibid., Ps. 1320. 18 Ibid., Ps. 1321. 19 Busro, “Aspek Hukum,” Ibid. 20 Mariam Darus Badrulzaman, et.al., Kompilasi Hukum Perikatan, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001), hlm. 66.


membuat suatu perjanjian adalah orang-orang yang belum dewasa, dan mereka yang ditaruh di dalam pengampuan (under curatele).21 Untuk orang yang belum dewasa dan dalam pengampuan, persetujuan DNR dapat diwakilkan oleh wali yang sah, pasangan hidup, anak yang telah dewasa, orang tua kandung, saudara kandung yang telah dewasa, dan kerabat terdekat yang ditunjuk.22 Seseorang diluar keluarga juga dapat mewakilkan pasien jika orang tersebut ditunjuk langsung oleh pasien yang dituangkan dalam advance directives baik lisan maupun tertulis. Ketiga, syarat sah sebuah persetujuan adalah suatu hal tertentu. Suatu hal tertentu mengindikasikan bahwa sebuah persetujuan atau perjanjian harus memuat sebuah pokok persoalan yang dibahas. Pokok persoalan adalah sesuatu yang dibahas dan menjadi poin dari sebuah persetujuan. Sebuah persetujuan harus memuat adanya hak dan kewajiban yang dimiliki oleh pihak-pihak yang terkait.23 Sehingga persetujuan tersebut menjadi persetujuan utuh yang dapat dipahami kedua belah pihak dan memberikan informasi mengenai keberadaan serta kewenangan yang dimiliki pihak-pihak terkait. Pokok permasalahan yang dibahas tidak hanya berupa benda tetapi juga bisa berupa jasa. Dalam prosedur DNR, pokok yang menjadi persoalan adalah penolakan resusitasi atau yang disebut dengan DNR atau dengan bentuk nama lain yang disepakati. Lebih lanjut, persetujuan harus memuat mengenai hak dan kewajiban yang harus diemban oleh pasien dan dokter dalam hal penolakan resusitasi. Salah satunya adalah hak pasien untuk diberikan opsi natural death tanpa resusitasi. Syarat terakhir agar sebuah persetujuan dianggap sah di mata hukum adalah sebab yang halal. Pengertian dari sebab yang halal adalah bahwa isi dari persetujuan yang dilakukan tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selain itu, isi persetujuan tidak boleh bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum. Dalam prosedur DNR, persetujuan tersebut harus sesuai mengikuti kaidah bioetik, Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI), serta Undang-Undang Praktik Kedokteran. Berkenaan dengan pertentangan dengan KUHP, sudah dijelaskan mengenai asas yang membatalkan ketentuan hukum tersebut.

21

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Ps. 1330. Ikatan Dokter Indonesia, “Kode Etik,” hlm. 25. 23 Retna Gumanti, “Syarat Sahnya Perjanjian (Ditinjau Dari KUHPerdata), Jurnal Pelangi Ilmu (2012), hlm. 22

8.


Sejalan dengan KUHPerdata, dalam Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang Praktik Kedokteran mengatakan bahwa, “Setiap tindakan medis yang akan dilakukan dokter terhadap pasien harus mendapat persetujuan oleh pasien yang bersangkutan.”24 Pasal tersebut menegaskan adanya hak pasien atas tubuhnya yang mana dokter harus menghormati hak tersebut. Untuk dapat melihat keberlakuan undang-undang tersebut dapat dilakukan pembedahan unsur-unsur yang terdapat dalam pasal tersebut dan dikaitkan dengan permasalahan DNR. Pertama, adanya tindakan medis yang akan dilakukan. Dikutip dari Law Insider, tindakan medis adalah pemeriksaan, pengobatan, serta aksi yang dilakukan oleh dokter/tenaga medis yang memenuhi syarat secara hukum untuk mengatasi suatu kondisi yang pertama kali muncul, memburuk, menjadi akut, atau memiliki gejala yang mendorong seseorang untuk mencari diagnosis, perawatan, dan pengobatan.25 Salah satu bentuk tindakan medis adalah resusitasi atau CPR. Selanjutnya, pasal ini membahas soal subjek yang melakukan dan menerima perlakuan. Sebuah tindakan medis tertulis harus dilakukan oleh seorang dokter. Dalam hal ini, dokter adalah tenaga kesehatan yang memiliki sertifikasi dan telah memenuhi syarat-syarat kedokteran dan sah secara hukum. Dokter dalam hal ini memberikan perlakuan atau sebuah tindakan medis terhadap pasien. Pasien adalah seseorang yang memiliki kelemahan fisik atau mental dan sedang dalam masa pengobatan. Pasien dalam kasus DNR adalah pasien paliatif dengan kriteria menderita sakit kronis, penyakit yang tidak reversibel, dan penyakit dengan prognosis kematian hampir dapat dipastikan. Terakhir, adanya persetujuan yang diberikan oleh pasien. Jika dipahami lebih dalam, pasal tersebut memuat kewajiban informed consent. Informed Consent adalah proses pembahasan mengenai informasi tindakan medis antara dokter dan pasien yang akan dilakukan dokter kepada pasien.26 Menurut ayat (2) dalam pasal yang sama, persetujuan diberikan pasien setelah mendengar dan mendapat penjelasan lengkap, serta pada ayat (4) dituliskan bahwa persetujuan dapat diberikan secara tertulis maupun lisan.27 Untuk DNR sendiri, persetujuan untuk menolak resusitasi diberikan 24

Indonesia, Undang-Undang Praktik Kedokteran, UU No. 29 Tahun 2004, LN No. 116 Tahun 2004, TLN No. 4431, Ps. 45 ayat 1. 25 Law Insider, “Medical Treatment,” https://www.lawinsider.com/dictionary/medical-treatment, diakses 25 November. 26 Achmad Busro, “Aspek Hukum Persetujuan Tindakan Medis (Inform Consent) Dalam Pelayanan Kesehatan,” Law & Justice Journal (2018), hlm. 3. 27 Indonesia, Undang-Undang Praktik Kedokteran, Ps. 45 ayat 2 dan 4.


dalam sebuah surat/dokumen resmi yang ditandatangani dan disaksikan pihak rumah sakit serta keluarga pasien sebagai bukti keabsahan tindakan menolak resusitasi oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Hal ini disebabkan menurut ayat (5) setiap tindakan medis dengan risiko tinggi harus diberikan melalui persetujuan tertulis.28 Lebih lanjut lagi, menurut penjelasan Pasal 45, jika pasien tidak dapat memberikan persetujuan atau sedang dibawah pengampuan (under curatele), maka persetujuan/penolakan tindakan medis dapat dilakukan oleh keluarga terdekat. Bersamaan dengan Undang-Undang Praktik Kedokteran, menurut Pasal 17 KODEKI, setiap dokter diwajibkan untuk memberikan pertolongan darurat sebagai wujud perikemanusiaan kecuali bila ia diyakinkan bahwa ada orang lain yang bersedia dan mampu memberikannya.29 Namun, kewajiban tersebut dapat gugur jika pada pasien telah mendapatkan keputusan medis “Do Not Resuscitate” yang diberikan kepada pasien paliatif.30 Pasien paliatif adalah pasien yang sedang menerima perawatan medis untuk meningkatkan kualitas hidup dan bukan kesembuhan dari penyakit yang dialami.31 Perawatan paliatif diberikan karena penyakit yang diderita pasien tidak dapat disembuhkan atau sudah sangat kronis. Dengan melihat KODEKI dan penjelasannya, dapat disimpulkan prosedur DNR dapat dilakukan di Indonesia kepada pasien paliatif. Hal ini sejalan dengan tujuan awal prosedur DNR yang hanya dapat dilakukan kepada pasien dengan kriteria tertentu. Petugas medis yang tidak melakukan resusitasi kepada pasien yang menandatangani surat persetujuan DNR tidak menyalahi KODEKI yang ada. Lebih lanjut, adanya persetujuan DNR membantu petugas medis untuk mengidentifikasi pasien paliatif. Sehingga, petugas medis dapat langsung mengetahui bahwa kewajiban resusitasi gugur dikarenakan resusitasi dapat membuat kesakitan yang lebih parah pada pasien paliatif. Selanjutnya dalam Pasal 5 KODEKI mengatakan bahwa setiap tindakan/nasihat yang diberikan dokter kepada pasien yang memiliki kemungkinan melemahkan daya tahan psikis

28

Ibid., Ps. 45 ayat 5. Majelis Kehormatan Etika Kedokteran Indonesia Ikatan Dokter Indonesia, Kode Etik Kedokteran Indonesia, (Jakarta: Ikatan Dokter Indonesia, 2012), hlm. 5. 30 Ibid., hlm. 49. 31 Erna Irawan, “Pengaruh Perawatan Paliatif Terhadap Pasien Kanker Stadium Akhir (Literature Review),” Jurnal Ilmu Keperawatan (2013), hlm. 35. 29


maupun fisik pasien wajib memperoleh persetujuan pasien dan keluarganya.32 Pasal tersebut memiliki pengertian bahwa dokter harus memberikan informasi yang utuh dengan jujur kepada pasien mengenai tindakan medis yang akan dilakukan. Informasi tersebut memuat mengenai adanya kemungkinan pelemahan daya psikis dan fisik yang dialami pasien. Dokter juga memiliki keharusan untuk menghormati keinginan pasien yang menolak untuk dilakukan tindakan medis tertentu terhadap dirinya. Hal ini sejalan dengan prinsip menghargai hak pasien. Sehingga, dokter dan petugas medis lainnya wajib menghormati kedaulatan pasien atas keputusan yang menyangkut hidupnya termasuk mengambil langkah DNR. Ketentuan dalam KODEKI serta Undang-Undang Praktik Kedokteran bersumber atau berprinsip pada bioetika yang diakui oleh dunia medis secara global. Setidak-tidaknya ada 4 kaidah dasar bioetika yaitu menghargai hak otonomi pasien (autonomy), prinsip do no harm (nonmaleficence), asas kebermanfaatan (beneficence), dan perlakuan yang adil (justice).33 Pertama, hak otonomi pasien harus dihormati dan dihargai oleh dokter sebagai bentuk perwujudan Pasal 1 International Covenant on Civil and Political Rights yaitu, “All peoples have the right of self-determination.”34 Kaidah bioetika yang pertama mengartikan bahwa pasien memiliki hak untuk memutuskan tindakan medis apa yang dapat dilakukan oleh dokter terhadap dirinya. Dokter dan tenaga medisnya wajib untuk menghormati segala keputusan pasien, termasuk persetujuan DNR yang menolak adanya tindakan resusitasi. Kedua, prinsip non maleficence yang dikenal sebagai prinsip do no harm. Prinsip ini memiliki arti bahwa dokter tidak diperbolehkan untuk melakukan tindakan yang dapat memperburuk keadaan pasien.35 Telah disampaikan sebelumnya, bahwa CPR terkadang tidak dapat dilakukan kepada beberapa pasien karena dapat memperburuk keadaan pasien tersebut. Oleh karena hal tersebut, sah saja jika pasien dengan kondisi-kondisi tertentu dapat meminta untuk membuat persetujuan DNR. Pihak rumah sakit seperti dokter, perawat, dan paramedis harus

32

Ikatan Dokter Indonesia, “Kode Etik,” hlm. 4. Tom L. Beauchamp dan James F. Childress, Principles of Biomedical Ethics, (Oxford: Oxford University Press, 2001), hlm. 57-225. 34 Perserikatan Bangsa-Bangsa, International Covenant on Civil and Political Rights, UNTS 999 (1966), hlm. 171, Ps.1. 35 Taufik Suryadi, “Prinsip-Prinsip Etika dan Hukum Dalam Profesi Kedokteran,” (makalah disampaikan pada Pertemuan Nasional V JBHKI dan Workshop III Pendidikan Bioetika dan Medikolegal, Medan, 14-17 Desember 2009), hlm. 4. 33


mengikuti kaidah ini sesuai dengan bioetika yang ada. Prinsip ini memberikan opsi pada pasien, wali, keluarga, dan para tenaga medis untuk dapat mengambil sebuah tindakan medis untuk pasien setelah menimbang manfaat dan hambatan sebuah prosedur. Ketiga, prinsip kebermanfaatan atau beneficence. Prinsip ini melihat sisi kebermanfaatan sebuah prosedur yang dilakukan pada pasien. Dalam melakukannya, prinsip ini tidak bisa dilihat sendiri tetapi harus memperhatikan resiko yang dihadirkan oleh sebuah prosedur sehingga tidak menyalahi prinsip non maleficence.36 Dalam melakukan resusitasi, tenaga medis harus melihat keseimbangan kebermanfaatan dan resiko yang dihadirkan oleh prosedur ini ke pasien. Jika, resiko dirasa terlalu tinggi dan cenderung menghilangkan kebermanfaatan, maka tenaga medis harus kembali pada prinsip yang kedua yaitu do no harm. Selain resiko, faktor lain seperti biaya pun dapat menjadi perhitungan dalam mempertimbangkan kebermanfaatan sebuah prosedur. Namun, faktor biaya bukanlah faktor utama melainkan pendukung saja. Terakhir, prinsip justice yaitu tenaga medis wajib memperlakukan semua pasien dengan adil, layak, dan sesuai dengan haknya. Prinsip keadilan biasanya yang menjadi sebuah hambatan prosedur DNR karena setiap pasien dianggap layak untuk mendapatkan pertolongan resusitasi atau CPR. Namun, prinsip ini diberlakukan jika tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip lainnya. Prosedur DNR tidak dapat bersinggungan dengan prinsip non maleficence, autonomy, dan beneficence. Sehingga, tenaga medis dalam melakukan sebuah prosedur medis harus mempertimbangkan segala prinsip yang ada untuk membuat keputusan yang tepat dan adil untuk semua pasien. Adil bukan berarti mendapat perlakuan yang sama, tetapi poin utama dari prinsip justice adalah perlakuan yang sesuai dengan haknya. Dengan dasar argumentasi yang telah dijabarkan, sebuah Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) di Kabupaten Tuban telah memiliki Panduan Penolakan Pasien Terhadap Resusitasi atau istilahnya, DNR.37 Surat Pernyataan DNR ditentukan oleh pasien dalam advance directives yang tertulis. Surat ini dapat dilakukan juga oleh pihak keluarga yaitu wali sah pasien, individu yang ditunjuk langsung pasien, pasangan hidup pasien, anak pasien yang sudah dewasa, orang tua

36

Ibid., hlm. 5. RSUD dr.R.Koesma, Panduan Penolakan Pasien Terhadap Tindakan Resusitasi Pada RSUD dr. R. Koesma Tuban, (Tuban: RSUD dr.R. Koesma Tuban, 2019), hlm. 1. 37


pasien, dan saudara kandung pasien yang sudah dewasa.38 Jika pasien dan keluarga telah menyetujui setelah mengetahui informasi menyeluruh tentang prosedur DNR maka akan diberikan Surat Pernyataan Penolakan Tindakan Resusitasi. Surat ini nantinya akan ditandatangani pasien/kerabat yang terkait dan disaksikan oleh pihak rumah sakit dan kerabat pasien. Setelah itu, pihak rumah sakit akan memberikan gelang identifikasi berwarna ungu dan bertuliskan “DNR”, serta pemberian kode “DNR” dalam rekam medis dan buku operan perawat. 39 Dengan begitu prosedur DNR dapat dilaksanakan sesuai dengan persetujuan yang ditulis, baik saat ada dokter yang bersangkutan maupun tidak. Sejatinya, tidak ada yang harus ditakutkan dari mengadakan praktik DNR karena praktik ini justru menjadi bentuk simpati dan perhatian rumah sakit terhadap pasien paliatif. Contoh tindakan RSUD di atas merupakan contoh yang baik dan diharapkan menjadi pelajaran bagi rumah sakit lainnya yang masih menghindari praktik prosedur DNR. Tindakan RSUD di atas juga menjadi harapan akan adanya ketegasan regulasi mengenai prosedur DNR. Namun, sayangnya RSUD diatas merupakan contoh dari sebagian kecil rumah sakit yang ada di Indonesia yang memberikan opsi DNR dan benar-benar menjalankannya terhadap pasien paliatif. Mayoritas dari rumah sakit yang ada di Indonesia cenderung takut dan menghindari DNR. Hal ini disebabkan adanya polemik mengenai tindakan penolakan resusitasi yang tidak kunjung dibahas dan diselesaikan oleh Pemerintah. Keberadaan banyaknya peraturan perundang-undangan di Indonesia terkadang membuat sebuah ambiguitas tersendiri. Hal ini dikarenakan tidak semua peraturan perundang-undangan dibuat pada periode dan situasi yang sama, serta pemikiran masyarakat pun turut berkembang. Adanya sebuah pasal di KUHP yang bersinggungan dengan UU Praktik Kedokteran serta KODEKI dalam masalah prosedur DNR menciptakan sebuah polemik yang harus segera dibahas secara tegas agar tidak terjadi perdebatan dan ambiguitas yang berkepanjangan. Di saat inilah, asas-asas hukum yang diakui di Indonesia menjadi penengah polemik yang ada. Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, asas lex specialis derogat legi generali menjadi penengah antara perdebatan berkaitan dengan Pasal 338 KUHP dengan UU Praktik Kedokteran serta KODEKI.

38 39

Ibid., hlm. 5 Ibid., hlm.8.


Selain itu, asas Freedom of Contract juga mempertegas keabsahan keberadaan prosedur dalam dunia medis Indonesia. Selain menjembatani berbagai peraturan perundang-undangan yang ada, asas-asas yang telah dijabarkan menjadi dasar pertegasan hak yang dimiliki pasien. Pasien sebagai seorang pribadi yang utuh telah dijamin oleh Konstitusi Indonesia bahwa hak-haknya diakui secara hukum. Dalam permasalahan ini hak yang diakui dan dijamin oleh mata hukum adalah hak otonomi. Setiap orang baik sehat maupun sedang dalam pengobatan memiliki hak penuh atas tubuh dan hidupnya. Maka dari itu, pasien (yang dalam permasalahan persetujuan DNR adalah pasien paliatif), memiliki hak penuh atas tindakan medis yang akan dilakukan terhadap tubuhnya oleh dokter maupun petugas medis lainnya. Ambiguitas mengenai keabsahan dan keberlakuan prosedur DNR harus segera ditanggapi oleh Pemerintah. Dengan begitu, regulasi khusus terkait DNR dirasa diperlukan untuk menyatakan secara tegas bahwa rumah sakit dan petugas medis dapat melakukan prosedur DNR terhadap pasien paliatif. Pihak rumah sakit dan petugas medis juga akan merasa lebih tenang ketika melakukan prosedur tersebut karena tidak menyalahi peraturan perundang-undangan manapun. Sudah seharusnya Pemerintah bertindak dan memberikan regulasi khusus terkait DNR. Hal ini bertujuan sebagai perlindungan hak otonomi dan kepastian hukum untuk pasien paliatif.


DAFTAR PUSTAKA BUKU Badrulzaman, Mariam Darus. et.al. Kompilasi Hukum Perikatan. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001. Beauchamp, Tom L. dan James F. Childress. Principles of Biomedical Ethics. Oxford: Oxford University Press, 2001. Ikatan Dokter Indonesia, Majelis Kehormatan Etika Kedokteran Indonesia. Kode Etik Kedokteran Indonesia. Jakarta: Ikatan Dokter Indonesia, 2012. Mertokusumo, Sudikno. Mengenal Hukum Suatu Pengantar. Yogyakarta: Liberty, 1999. NVVE. The Final Stages of Life,. Amsterdam: NVVE, 2016. RSUD dr.R.Koesma. Panduan Penolakan Pasien Terhadap Tindakan Resusitasi Pada RSUD dr. R. Koesma Tuban. Tuban: RSUD dr.R. Koesma Tuban, 2019. JURNAL American Heart Association. “Part 2: Ethical Aspects of CPR and ECC.” Circulation: Journal of The American Heart Association 102 (2000). Hlm. 11-21. Boosaert, Leo L. et.al. “European Resuscitation Council Guidelines for Resuscitation 2015 Section 11. The Ethics of Resuscitation and End-of-Life Decisions.” Resuscitation 95 (2015). Hlm. 302-311. Breault, Joseph L. “DNR, DNAR, or AND? Is Language Important?” The Ochsner Journal 11 (2011). Hlm. 302-306. Busro, Achmad. “Aspek Hukum Persetujuan Tindakan Medis (Inform Consent) Dalam Pelayanan Kesehatan.” Law & Justice Journal (2018). Hlm. 1-18.


Etheridge, Zac dan Emma Gatland. “When and How to Discuss Do Not Resuscitate Decisions With Patients.” BMJ Clinical Research ed. (2015). Hlm. 20-21. Gumanti, Retna. “Syarat Sahnya Perjanjian (Ditinjau Dari KUHPerdata).” Jurnal Pelangi Ilmu (2012). Hlm. 1-13. Irawan, Erna. “Pengaruh Perawatan Paliatif Terhadap Pasien Kanker Stadium Akhir (Literature Review).” Jurnal Ilmu Keperawatan (2013). Hlm. 34-38. Sa’id, Audai Nader dan Majd Mrayyan. “Do Not Resuscitate: An Argumentative Essay,” Journal of Palliative Care & Medicine 6 (2016). Hlm.1-4. MAKALAH Suryadi, Taufik. “Prinsip-Prinsip Etika dan Hukum Dalam Profesi Kedokteran.” Makalah disampaikan pada Pertemuan Nasional V JBHKI dan Workshop III Pendidikan Bioetika dan Medikolegal, Medan, 14-17 Desember 2009. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Indonesia. Undang-Undang Praktik Kedokteran, UU No. 29 Tahun 2004, LN No. 116 Tahun 2004, TLN No. 4431, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata [Burgerlijk Wetboek]. Diterjemahkan oleh Subekti dan R. Tjitrosudibio. Jakarta: Balai Pustaka, 2017. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana [Wetboek van Strafrecht]. Diterjemahkan oleh Moeljatno. Jakarta: Pradnya Paramita, 1976. DOKUMEN INTERNASIONAL Perserikatan Bangsa-Bangsa. International Covenant on Civil and Political Rights. UNTS 999 (1966). INTERNET Houston, Muiris. “It’s Time for Action to Stop The Inappropriate and Damaging Use of CPR.” https://www.irishtimes.com/life-and-style/health-family/it-s-time-for-action-to-stop-theinappropriate-and-damaging-use-of-cpr-1.3105625. Diakses 25 November. Law Insider. “Medical Treatment.” https://www.lawinsider.com/dictionary/medical-treatment. Diakses 25 November. Medline Plus. “Advance Directives.” https://medlineplus.gov/advancedirectives.html. Diakses 25 November.


Medline

Plus.

“Do

Not

-

Resuscitate.”

https://medlineplus.gov/ency/patientinstructions/000473.htm. Diakses 25 November. Morrow,

Angela

“Overview

of

Do

Not

Resuscitate

https://www.verywellhealth.com/hands-off-do-not-resuscitate-1132382.

Orders.” Diakses

25

November. WFRTDS. “Dutch law on Termination of life on request and assisted suicide (complete text).” https://wfrtds.org/dutch-law-on-termination-of-life-on-request-and-assisted-suicidecomplete-text/. Diakses 27 November.


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.