Tribune Express LK2 - Fakta Hukum: Mengupas Izin Penangkaran Satwa Dilindungi dan Terancam Punah

Page 1


“Fakta Hukum: Mengupas Izin Penangkaran Satwa Dilindungi Dan Terancam Punah di Indonesia” Oleh: Angelica Catherine Edelweis Staf Bidang Literasi dan Penulisan

Sumber: GettyImage/Dodik Putro Dewasa ini marak diperbincangkan mengenai kepemilikan tiga harimau oleh seorang youtuber bernama Alshad Ahmad. Melalui video-video yang diberikan di kanal Youtube-nya, ia diketahui memiliki dua harimau benggala, satu harimau benggala berwarna putih, dan masih banyak hewan eksotis lainnya yang berada di rumah pribadinya. Kepemilikan ini menimbulkan kontroversi mengenai keketatan dan perhatian hukum Indonesia terhadap satwa-satwa liar yang ada apalagi mengingat banyaknya satwa asli Indonesia yang eksotis, langka, dan terancam punah. Menurut Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jawa Barat, Alshad telah memiliki izin resmi atas kepemilikan harimau benggala yang dimilikinya.1 Akan tetapi, pernyataan lisan dari BKSDA saja dirasa belum cukup memuaskan rasa penasaran masyarakat akan regulasi satwa liar yang dilindungi dan terancam punah. Maka, bagaimana sebenarnya keberadaan regulasi penangkaran satwa liar yang sudah ada di Indonesia? Apakah kepemilikan 1

harimau

benggala

yang

dimiliki

Alshad

Ahmad

maupun

Satira Yudatama, “Kader Konservasi Kritisi Kejanggalan Terbitnya Izin Sepupu Raffi Ahmad Bawa Pulang Harimau Benggala,” https://www.pikiran-rakyat.com/bandung-raya/pr-01330541/kader-konservasikritisi-kejanggalan-terbitnya-izin-sepupu-raffi-ahmad-bawa-pulang-harimau-benggala, diakses 29 Maret.


penangkaran-penangkaran lain sudah sesuai dengan ketentuan yang ada? Apakah ada penyimpangan-penyimpangan regulasi yang terjadi di dunia penangkaran satwa Indonesia? Indonesia memiliki beberapa ketentuan yang mengatur soal satwa liar mulai dari ketentuan internasional Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES) yang telah diratifikasi melalui Keputusan Presiden Nomor 43 Tahun 1978, Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa, PP Nomor 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar, Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 19 Tahun 2005 tentang Penangkaran Tumbuhan dan Satwa Liar, serta Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 69 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kehutanan. Secara umum, hukum positif Indonesia melarang tindakan menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup.2 Atas ketentuan ini, bagi setiap orang yang melanggar secara sengaja dapat dikenakan pidana penjara maksimal lima tahun dan denda maksimal Rp 100.000.000,00.3 Dengan begitu, ketentuan di atas menimbulkan sebuah pertanyaan mengenai peliharaan harimau benggala milik Alshad Ahmad. Bukankah hal tersebut dilarang dan bahkan dapat dipidana? Perlu untuk diketahui bahwa kepemilikan harimau benggala yang dimiliki Alshad Ahmad merupakan atas nama sebuah badan hukum perseroan terbatas berbentuk penangkaran yang bernama PT Taman Satwa Eksotik yang dibentuknya.4 Hukum Indonesia memang mengatur perizinan dan aturan yang berbeda mengenai kepemilikan atas satwa liar secara pribadi dan untuk keperluan konservasi seperti penangkaran. Oleh karena itu, untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan seputar regulasi penangkaran satwa liar di Indonesia, pembahasan dalam tulisan ini akan meliputi jenis tujuan penangkaran, asal spesimen, jumlah minimal populasi satwa, fasilitas yang ada, serta praktik pemberian izinnya di Indonesia. Sebelum membahas mengenai regulasi penangkaran satwa liar, penting untuk dipahami lebih lanjut mengenai apa yang dinamakan satwa liar dan klasifikasinya. Menurut Pasal 5 ayat (1) PP Nomor 7 Tahun 1999, yang dinamakan satwa liar adalah satwa dengan populasi rendah, adanya penurunan tajam pada jumlahnya di alam liar, serta penyebaran yang 2

Indonesia, Undang-Undang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya, UU No. 5 Tahun 1990, LN No. 49 Tahun 1990, TLN No. 3419, Ps. 21 ayat (2) c. 3 Ibid., Ps. 40 ayat (2). 4 Abdan Syak, “Menengok Penangkaran Taman Satwa Eksotik di Bandung,” https://www.republika.co.id/berita/q3ucr6283/menengok-penangkaran-taman-satwa-eksotik-di-bandung, diakses 6 April.


terbatas maupun merupakan jenis satwa endemik.5 Salah satu contoh dari satwa yang dilindungi di Indonesia adalah harimau sumatera.6 Lantas, bagaimana dengan harimau benggala? Untuk satwa-satwa yang terancam punah atau dilindungi lainnya yang tidak dicantumkan dalam ketentuan Peraturan Pemerintah tersebut, maka dapat merujuk ketentuan CITES. CITES membagi satwa-satwa liar dalam beberapa kategori yang dinamakan appendiks. Appendiks merupakan kategorisasi satwa-satwa liar yang ada oleh CITES berdasarkan derajat kepentingan perlindungan dari eksploitasi berlebihan yang dimulai dari kategori perlindungan terketat yaitu Appendiks-I hingga Appendiks-III.7 Harimau benggala dan jenis harimau lainnya masuk dalam kategori Appendiks-I, yang berarti satwa tersebut merupakan satwa yang terancam punah sehingga perdagangan internasional satwa yang diambil dari alam liar harus dikontrol dengan sangat ketat dan hanya diperkenankan untuk kepentingan tertentu, non-komersial, dan dengan izin khusus.8 Dengan begitu, dapat disimpulkan untuk dapat memiliki harimau benggala tidak bisa diambil dari alam liar serta kepemilikannya bersifat non-komersial yang berarti tidak boleh dimiliki perorangan melainkan tempat konservasi dan penangkaran-penangkaran tertentu. Selain mengetahui klasifikasi satwa liar dan asal satwa yang diperbolehkan untuk dimiliki di sebuah penangkaran maka perlu untuk dibahas mengenai apa sebenarnya penangkaran itu menurut hukum Indonesia. Penangkaran adalah tempat yang ditujukan untuk pengupayaan pengembangbiakan dan pembesaran tumbuhan serta satwa liar sesuai dengan kemurnian jenisnya.9 Penangkaran ini dibagi menjadi dua jenis atau dua fokus tujuan yang berbeda yaitu yang pertama untuk pengembangbiakan dan yang kedua untuk pembesaran satwa liar. Perbedaan jenis penangkaran ini menjadi sangat penting untuk mengetahui regulasi selanjutnya seperti minimal populasi satwa, jenis-jenis satwa yang dilarang ataupun diperbolehkan untuk dipelihara, syarat-syarat fasilitas, dan sebagainya. Untuk dapat mengupas izin regulasi yang dimiliki penangkaran-penangkaran yang ada pada umumnya dan milik Alshad Ahmad pada khususnya di pembahasan kali ini maka penting untuk membagi dalam dua lingkup bahasan, yaitu (1) asumsi bahwa penangkaran yang dimiliki merupakan

Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar, PP No. 7 Tahun 1999, LN No. 14 Tahun 1999, TLN No. 3804, Ps. 5 ayat (1). 6 Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar, PP No. 8 Tahun 1999, LN No. 15 Tahun 1999, TLN No. 3803, Ps. 34. 7 CITES, “How CITES works,” https://cites.org/eng/disc/how.php, diakses 31 Maret. 8 International Union for Conservation of Nature, Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora, UNTS 993 (1973), hlm. 243, Ps. 2 ayat (1). 9 Ibid., Ps. 1 ke-1. 5


penangkaran pengembangbiakan dan (2) asumsi bahwa penangkaran yang dimiliki merupakan penangkaran pembesaran. Pertama, penangkaran dengan tujuan pengembangbiakan satwa. Penangkaran dengan tujuan pengembangbiakan ditujukan untuk satwa-satwa yang memiliki jumlah populasi yang sedikit dan terancam punah populasinya. Rangkaian pengembangbiakan mulai dari pengumpulan bibit, memelihara, membesarkan induk, mengatur perkawinan, kelahiran, dan pembesaran hasil keturunan menjadi kewajiban yang diemban oleh penangkaran dengan tujuan pengembangbiakan.10 Sebagai penggambaran pentingnya keberadaan penangkaran untuk pengembangbiakan, data CITES menunjukan sampai tahun 2020, ada sekitar 4.891 harimau di alam liar, 12.574 di penangkaran, dan 2.589 di kebun binatang yang terakreditasi.11 Populasi harimau menjadi sangat terbantu dengan adanya penangkaran jenis pengembangbiakan. Penangkaran satwa liar merupakan bentuk perhatian negara terhadap ekosistem dan alamnya yang dituangkan dalam bentuk regulasi-regulasi yang ada. Hal ini juga menjadi alasan mengapa untuk penangkaran untuk pengembangbiakan dilarang mengambil dari alam liar kecuali mendapat izin Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, karena tujuannya untuk ketahanan populasi secara keseluruhan. Tidak hanya untuk populasi penangkaran maupun di kebun binatang tetapi juga penangkaran ini harus menjaga ketahanan populasi di alam liar. Dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 19 Tahun 2005 (Permen LHK No. 19/2005) mengenai Penangkaran Tumbuhan dan Satwa liar, Pemerintah menegaskan mengenai asal kepemilikan satwa yang dilindungi dan satwa yang termasuk dalam kategori Appendiks-I menurut CITES untuk penangkaran jenis pengembangbiakan satwa. Satwa yang dilindungi dan termasuk dalam kategori Appendiks-I CITES boleh dimiliki dengan maksud mengembangbiakan dalam penangkaran resmi. Spesimen dapat diambil dari hasil penangkaran, luar negeri, rampasan, penyerahan masyarakat, temuan, dan lembaga konservasi.12 Mayoritas dari harimau penangkaran yang ada di Indonesia termasuk juga harimau benggala yang dimiliki Alshad Ahmad merupakan hasil dari penangkaran lainnya, seperti punya Alshad Ahmad yang diambil dari hasil peranakan harimau benggala milik Kebun

10

Burhanuddin Masy’ud dan Lin Nuriah Ginoga, Penangkaran Satwa Liar, (Bogor: IPB Press, 2016),

hlm. 16. 11

Sarika Khanwilkar, Monique Sosnowski, dan Sharon Guynup, “Patterns of illegal and legal tiger parts entering the United States over a decade (2003–2012),” Conservation Science and Practice 4 (2022), hlm. 2. 12 Indonesia, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan tentang Penangkaran Tumbuhan dan Satwa Liar, Nomor PM 19 Tahun 2005, Ps. 4 ayat (2) huruf a.


Binatang Bandung.13 Walaupun, tidak dapat dipungkiri, banyak satwa yang dilindungi dan terancam punah dikembangbiakan oleh pihak-pihak tidak bertanggung jawab dan dijual secara komersial. Untuk hasil penangkaran dari generasi pertama (F1) diperlukan izin dari Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan untuk generasi kedua (F2) dan selanjutnya diperlukan izin Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam.14 Maka, kepemilikan harimau benggala Alshad Ahmad dalam ketentuan regulasi asal spesimen atau satwa untuk penangkaran berjenis pengembangbiakan telah sesuai apabila telah mengantongi izin Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam. Penangkaran satwa liar untuk jenis pengembangbiakan memang ditujukan untuk menambah jumlah satwa yang ditangkarkan. Namun, tujuan lain penangkaran ini yang tidak kalah pentingnya adalah tetap memelihara kemurnian jenisnya. Tujuan ini mengindikasikan setiap usaha pengembangbiakan satwa dalam penangkaran tidak boleh menghilangkan dan mengurangi variabilitas genetik yang merupakan bawaan asli satwa tersebut.15 Maka, praktik-praktik pengembangbiakan seperti perkawinan silang, seinduk, dan yang dapat merusak kemurnian satwa dilarang. Oleh karena itu, satwa-satwa yang terancam punah populasinya karena tekanan alam dapat dipertahankan sebanyak dan semurni mungkin. Maka, dengan terbantunya pertahanan populasi harimau melalui penangkaran dengan jenis pengembangbiakan, sudah seharusnya hal ini dilengkapi dengan regulasi yang lebih ketat untuk tidak hanya menambah populasi tetapi juga tetap mempertahankan kemurnian jenis. Salah satunya dengan mengadakan regulasi minimal populasi satwa yang ada dalam sebuah penangkaran berjenis pengembangbiakan. Minimal populasi ini menjadi sangat penting untuk menghindari penggunaan indukan yang mempunyai hubungan kekerabatan atau sedarah segaris keturunan sehingga dapat menimbulkan kelainan-kelainan genetik. Menurut Pasal 16 ayat (1) Permen LHK No. 19/2005 untuk penangkaran tujuan pengembangbiakan satwa yang dilindungi dan yang termasuk di Appendiks-I CITES adalah minimal dua pasang dan bagi jenis satwa poligamus adalah minimal dua ekor satwa jantan. Sekali lagi, minimal dua pasang adalah untuk penangkaran perkembangbiakan dengan dasar untuk mempertahankan kemurnian jenis. Maka, kita dapat melihat sebuah kejanggalan dalam praktiknya. Seperti yang dapat dilihat dari berbagai video yang telah diunggah oleh Alshad Ahmad, ia hanya memiliki sepasang harimau benggala dewasa dan satu ekor harimau 13

Garda Animalia, “Kejanggalan Penangkaran Harimau Benggala Milik Alshad Ahmad,” https://gardaanimalia.com/kejanggalan-penangkaran-harimau-benggala-milik-alshad-ahmad/, diakses 29 Maret. 14 Indonesia, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan tentang Penangkaran Tumbuhan dan Satwa Liar, Nomor PM 19 Tahun 2005, Ps. 8. 15 Burhanuddin Masy’ud dan Lin Nuriah Ginoga, Penangkaran Satwa Liar, (Bogor: IPB Press, 2016), hlm. 17.


benggala putih. Jumlah ini belum mencukupi batas minimal satwa untuk dapat diberikan izin penangkaran dengan tujuan pengembangbiakan. Sejauh riset Penulis, tidak ada peraturan turunan lainnya yang mengisyaratkan aturan pengecualian untuk ketentuan minimal populasi satwa. Hal ini menjadi sangat janggal bagaimana BKSDA Jawa Barat bisa memberikan izin untuk penangkaran harimau benggala ini saat ketentuan minimalnya saja belum terpenuhi. Kejanggalan mengenai minimal satwa yang wajib dimiliki penangkaran tidak hanya ditemukan di penangkaran satwa yang dimiliki oleh Alshad Ahmad. Seperti kepemilikan satu ekor harimau benggala oleh konglomerat asal Sukoharjo16, kepemilikan satu ekor burung cendrawasih dan dua ekor singa putih yang langka oleh ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia17, kepemilikan seekor orang utan oleh Bupati Langkat18 dan masih banyak oknum lain yang tidak disebut. Mayoritas kepemilikan satwa dilindungi yang ditemui selalu memiliki jumlah yang janggal, tidak pernah memenuhi kuota minimal untuk penangkaran. Maka, sudah sewajarnya dipertanyakan keberadaan izinnya. Selanjutnya, permasalahan yang ada bukan hanya berbicara minimal jumlah satwa yang wajib dimiliki, tetapi juga bentuk kepemilikan satwa-satwa ini, apakah perseorangan atau berbentuk penangkaran yang sah seperti Alshad Ahmad. Karena, hal ini akan berdampak juga pada regulasi fasilitas untuk satwa-satwa yang ada. Untuk mendapat izin mengembangbiakan satwa di penangkaran, diperlukan fasilitas-fasilitas yang memadai untuk kesehatan dan kualitas hidup satwa-satwa yang dilindungi ini. Sesuai dengan tujuan diadakannya penangkaran, yaitu untuk ketahanan populasi dan kualitas hidup satwa-satwa yang dilindungi dan terancam punah, maka perlu regulasi dan izin yang ketat pula. Mengenai fasilitas yang wajib dimiliki oleh penangkaran untuk pengembangbiakan, menurut Pasal 5 ayat (3) dan (4) Permen LHK No. 19/2005, penangkaran harus memiliki lingkungan terkontrol, yaitu lingkungan buatan di luar habitat alaminya dengan batasan yang jelas, dapat berupa kandang, kolam, sangkar, dan lingkungan semi alam. Selanjutnya, ada fasilitas-fasilitas khusus yang wajib dimiliki seperti tempat penempatan induk dan keturunan yang berbeda, tempat khusus penempatan satwa yang sakit, pembuangan limbah, fasilitas

16

Nugroho Meidinata, “Siapa Andry Sumampow, Konglomerat Sukoharjo yang Pelihara Harimau,” https://www.solopos.com/siapa-andry-sumampow-konglomerat-sukoharjo-yang-pelihara-harimau-1197328, diakses 6 April. 17 Tempo, “Kakatua Langka di Kediaman Siti Nurbaya,” Tempo (2017), hlm. 47. 18 Nuryanti, “Selain Kerangkeng Manusia, Ditemukan Orangutan dan Hewan Dilindungi Lainnya di Rumah Bupati Langkat,” https://www.tribunnews.com/regional/2022/01/25/selain-kerangkeng-manusiaditemukan-orangutan-dan-hewan-dilindungi-lainnya-di-rumah-bupati-langkat, diakses 6 April.


kesehatan satwa, perlindungan dari predator, penyediaan makanan satwa yang sesuai, serta harus dijaminnya kenyamanan, keamanan, serta kebersihan tempat tinggal satwa. Dalam kasus Alshad Ahmad, terlihat dari liputan-liputan video dalam kanal Youtube-nya mengenai fasilitas penangkarannya, cukup terlihat lengkap. Mulai dari kandang indukan yang berbeda, kandang calon keturunan induk yang berbeda, fasilitas kesehatan, kolam, adanya penjagaan dari pagar-pagar besi yang ada, pekerja-pekerja yang ahli di bidang penangkaran satwa yang selalu berjaga-jaga, pakan yang mencukupi, serta lingkungan yang bersih. Jelas hal ini akan sangat berpengaruh untuk kualitas hidup para satwa yang ada, dan perlu diakui, hal ini telah dipertimbangkan dengan matang oleh Alshad Ahmad. Akan tetapi, pertanyaan yang sama diajukan kepada satwa-satwa dilindungi dan eksotis lainnya yang dimiliki oleh oknum-oknum yang ada. Apakah fasilitas yang diberikan sesuai dan dapat menggantikan alam liar atau fasilitas penangkaran lain untuk satwa tersebut? Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana jika penangkaran yang dimiliki Alshad Ahmad merupakan penangkaran bertujuan pembesaran satwa seperti asumsi yang kedua? Maka,

kepemilikan harimau benggala yang dimiliki penangkarannya tetap patut

dipertanyakan legalitasnya menurut hukum positif Indonesia. Untuk asal pengambilan satwa tetap merujuk pada Pasal 4 Permen LHK No. 19/2005. Menurut Pasal 37 Permen LHK No. 19/2005, harimau benggala maupun jenis satwa lain yang termasuk dalam kategori satwa yang dilindungi atau termasuk dalam kategori Appendiks-I memang boleh ditangkarkan dengan tujuan pembesaran satwa. Namun, dalam Pasal 39 ayat (1) dalam Permen yang sama ditegaskan bahwa satwa tersebut harus terlebih dahulu ditetapkan sebagai satwa buru oleh ketentuan yang berlaku karena memang tujuan dari pembesaran adalah untuk satwa yang memiliki populasi cukup besar tetapi ketahanan di alam liar yang rendah. Sampai sekarang, harimau benggala tidak termasuk satwa yang ditetapkan sebagai satwa buru. Pembesaran satwa dalam penangkaran biasanya dilakukan bersama dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia dan dapat bekerja sama juga Perguruan Tinggi atau Lembaga Swadaya Masyarakat sesuai dengan rekomendasi Otoritas Keilmuan. Penangkaran bertujuan pembesaran dibagi menjadi dua bagian, yaitu pengelolaan dan pemantauan populasi di habitat alam dan pengelolaan dan pemantauan di lokasi pembesaran. Lokasi pembesaran dilakukan di sebuah lingkungan terkontrol. Berdasarkan kasus-kasus yang ada dan penjelasan yang diberikan Permen No. 19 Tahun 2005, penangkaran yang lebih banyak dan masuk akal untuk dibuat adalah penangkaran bertujuan pengembangbiakan karena jumlah populasi satwa lebih kecil, tujuan atau cakupan tanggung jawab lebih sempit, dan program yang tidak berskala


sebesar penangkaran untuk pembesaran. Penangkaran dengan program pembesaran satwa semua diawasi langsung oleh Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam. Ketentuan-ketentuan mengenai asal satwa, jumlah minimal populasi satwa, serta fasilitas penangkaran wajib dipenuhi untuk mendapatkan izin penangkaran yang sah baik untuk penangkaran program pengembangbiakan maupun pembesaran satwa. Menurut Pasal 74 Permen LHK No.19/2005, izin penangkaran dapat diberikan kepada perorangan, badan hukum, koperasi, dan lembaga konservasi yang telah memenuhi semua ketentuan wajib serta administrasi yang ada. Selain dari ketentuan wajib mengenai satwa dan penangkarannya untuk mendapat izin penangkaran yang legal, maka terdapat beberapa peraturan-peraturan yang wajib dipenuhi setelah mendapat izin tersebut. Seperti melakukan registrasi satwa, penandaan satwa, membuat laporan satwa dan keuangan penangkaran bulanan, melakukan pencatatan dan pelaporan hasil pengembangbiakan satwa, memelihara satwa-satwa tersebut sesuai standar pemeliharaan, pencatatan distribusi satwa ke penangkaran lain, dan masih banyak lagi. Bagi penangkaran berizin yang keluar dari atau tidak menepati ketentuan-ketentuan yang ada, dapat dikenakan sanksi seperti sanksi administratif mulai dari penahanan izin, pencabutan izin, lalu sanksi denda yang jumlahnya akan ditentukan sesuai dengan pelanggaran dan kerugian, dan yang terakhir adalah sanksi pidana bagi penangkaran yang khususnya melanggar ketentuan asal indukan satwa. Bagi kepemilikan satwa yang dilindungi dan terancam punah sesuai kategori Appendiks-I CITES yang tidak memiliki izin penangkaran resmi, maka kepemilikan tersebut dianggap merupakan pelanggaran terhadap Pasal 21 UU Nomor 5 Tahun 1990 dan dikenakan sanksi seperti perampasan satwa yang dimiliki serta sanksi pidana penjara paling lama lima tahun dan denda paling paling banyak Rp 100.000.000,00. Hukum positif Indonesia yang mengatur mengenai penangkaran satwa dilindungi dan termasuk kategori dilindungi menurut CITES sudah cukup banyak dan ketat. Akan tetapi yang menjadi permasalahan utama yang ditemukan adalah penegakan hukum tersebut dalam praktiknya. Kasus-kasus perburuan,

perdagangan, kepemilikan, penangkaran satwa

dilindungi secara ilegal masih bertebaran dan belum melahirkan satu putusan yang bisa membawa efek jera.19 Dikutip dari Majalah Tempo pada tahun 2017, Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem pada saat itu, Wiratno, giat menggencarkan kampanye mengenai izin kepemilikan satwa yang dilindungi, bahkan mengatakan akan tarik 19 Fathi Hanif, “Upaya Perlindungan Satwa Liar Indonesia Melalui Instrumen Hukum dan Perundang-Undangan,” Jurnal Hukum Lingkungan (2015), hlm. 42.


satwa-satwa tersebut untuk dilindungi negara sekalipun yang memiliki satwa-satwa tersebut kebanyakan adalah pejabat negara.20 Kicauan manis telah diberikan lima tahun yang lalu, dan ironinya, sekarang hanya kicauan burung Cendrawasih dalam kandang tak berizin yang terdengar. Penegakan hukum penangkaran satwa yang dilindungi dan terancam punah perlu ditunjukkan kepada masyarakat sebagai contoh, apalagi mengingat banyak dari kepemilikan yang sangat janggal dan bahkan menyalahi aturan ini mendapat sorotan dan ketertarikan masyarakat Indonesia yang sangat besar. Sudah menjadi tugas Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, BKSDA, Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem, serta lembaga-lembaga berwenang lainnya untuk tidak hanya menegakan hukum penangkaran satwa yang dilindungi dan terancam punah, tetapi juga mengedukasi masyarakat. Indonesia adalah tempat hidup ribuan satwa eksotis, langka, dan bahkan terancam punah. Untuk melindungi kekayaan dan kebanggaan bersama, perlu dukungan dari berbagai pihak. Jika tidak bisa berkontribusi secara langsung, dapat dilakukan dengan pengawasan bersama. Ini merupakan tanggung jawab bersama. Maka, perlu payung hukum yang komprehensif dan ketat untuk melindungi kekayaan ini, perlu penegakan yang lebih ketat dan tegas pula, serta perlu kesadaran hukum dan kepedulian yang lebih tinggi pula dari masyarakat Indonesia.

20

Tempo, “Kakatua Langka di Kediaman Siti Nurbaya,” Tempo (2017), hlm. 56.


DAFTAR PUSTAKA BUKU Masy’ud, Burhanuddin dan Lin Nuriah Ginoga. Penangkaran Satwa Liar. Bogor: IPB Press, 2016. JURNAL/MAJALAH Hanif, Fathif. “Upaya Perlindungan Satwa Liar Indonesia Melalui Instrumen Hukum dan Perundang-Undangan.” Jurnal Hukum Lingkungan (2015). Hlm. 29-48. Khanwilkar, Sarika, Monique Sosnowski, dan Sharon Guynup, “Patterns of illegal and legal tiger parts entering the United States over a decade (2003–2012),” Conservation Science and Practice 4 (2022). Hlm. 1-15. Tempo. “Kakatua Langka di Kediaman Siti Nurbaya.” Tempo (2017). Hlm. 45-56. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Indonesia. Undang-Undang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya, UU No. 5 Tahun 1990, LN No. 49 Tahun 1990, TLN No. 3419. Indonesia. Peraturan Pemerintah tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar, PP No. 7 Tahun 1999, LN No. 14 Tahun 1999, TLN No. 3803 Indonesia. Peraturan Pemerintah tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar, PP No. 8 Tahun 1999, LN No. 15 Tahun 1999, TLN No. 3804. Indonesia. Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan tentang Penangkaran Tumbuhan dan Satwa Liar. Nomor PM 19 Tahun 2005. DOKUMEN INTERNASIONAL International Union for Conservation of Nature. Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora. UNTS 993 (1973). INTERNET CITES. “How CITES works.” https://cites.org/eng/disc/how.php. Diakses 31 Maret. Garda Animalia. “Kejanggalan Penangkaran Harimau Benggala Milik Alshad Ahmad.” https://gardaanimalia.com/kejanggalan-penangkaran-harimau-benggala-milik-alshadahmad/. Diakses 29 Maret. Nuryanti. “Selain Kerangkeng Manusia, Ditemukan Orangutan dan Hewan Dilindungi Lainnya di Rumah Bupati Langkat.” https://www.tribunnews.com/regional/2022/01/


25/selain-kerangkeng-manusia-ditemukan-orangutan-dan-hewan-dilindungi-lainnya-d i-rumah-bupati-langkat. Diakses 6 April. Meidinata, Nugroho. “Siapa Andry Sumampow, Konglomerat Sukoharjo yang Pelihara Harimau.” https://www.solopos.com/siapa-andry-sumampow-konglomerat-sukoharjoyang-pelihara-harimau-1197328. Diakses 6 April. Syak,

Abdan.

“Menengok

Penangkaran

Taman

Satwa

Eksotik

di

Bandung.”

https://www.republika.co.id/berita/q3ucr6283/menengok-penangkaran-taman-satwa-e ksotik-di-bandung. Diakses 6 April. Yudatama, Satira. “Kader Konservasi Kritisi Kejanggalan Terbitnya Izin Sepupu Raffi Ahmad

Bawa

Pulang

Harimau

Benggala.”

https://www.pikiran-rakyat.com

/bandung-raya/pr-01330541/kader-konservasi-kritisi-kejanggalan-terbitnya-izin-sepup u-raffi-ahmad-bawa-pulang-harimau-benggala. Diakses 29 Maret.


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.