Tribune Express LK2 - Fakta Hukum: Kepemilikan Hak atas Tanah terhadap Permukiman Rumah Apung

Page 1


Kepemilikan Hak Tanah terhadap Permukiman Rumah Terapung di Wilayah Perairan Indonesia Oleh : Metta Yoelandani Staf Bidang Literasi dan Penulisan

Sumber: Masterumah.id

Seperti yang kita ketahui Indonesia merupakan negara maritim yang wilayahnya sebagian besar dikelilingi oleh lautan. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang wilayahnya terdiri dari 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang 81.000 km2 dan luas laut sekitar 3,1 km2 atau setara dengan 0,3 juta km2 perairan teritorial dan 2,8 juta km2 perairan nusantara.1 Dalam UNCLOS 1982 (United Nation Convention On The Law of The Sea 1982), Indonesia mendapatkan hak kedaulatan berupa pemanfaatan Zona Ekonomi Eksklusif seluas 2,7 km2. Artinya, Indonesia dapat mengelola wilayahnya dengan hal-hal bermanfaat. Salah satu cara untuk memanfaatkan kedaulatan ini adalah dengan penataan ruang. Penataan ruang tidak hanya berlaku di daratan, tetapi berlaku juga di daerah pesisir pantai. Alasan perlunya penataan ruang di daerah pesisir pantai karena daerah ini merupakan perbatasan antara daratan dan lautan, maka banyak sekali kekayaan sumber daya yang dimiliki di daerah pesisir. Seperti yang kita ketahui, di Indonesia sendiri banyak masyarakatnya yang memanfaatkan daerah pesisir sebagai tempat tinggal karena lokasinya yang kaya akan sumber daya. Banyak masyarakat Indonesia yang bermukim di pesisir pantai yang telah mendapatkan hak atas tanah di wilayah pesisir.

1 Muhammad Ilham Arisaputra, “Penguasaan Tanah Pantai dan Wilayah Pesisir di Indonesia,” Perspektif Hukum Vol. 15 No. 1 (Mei 2015), hlm. 28.


Nama dari permukiman yang berada di daerah pantai adalah rumah apung. Rumah apung sendiri merupakan konsep tempat tinggal yang menggunakan struktur apung atau floating structure.2 Dilansir dari Dinas Perumahan, Kawasan Permukiman dan Pertanahan (PERKIM) diketahui bahwa salah satu wilayah yang masih terdapat rumah apung adalah kota Tanjung Pinang di Kepulauan Riau yang memiliki setidaknya 200 rumah apung dengan sertifikat hak milik, tetapi banyak pula rumah apung yang belum mempunyai sertifikat hak milik karena terbentur masalah proses perizinan.3 Maka dari itu, dapat terlihat bahwa masalah kepemilikan hak atas tanah bagi pemilik rumah apung baik di daerah Tanjung Pinang maupun daerah lainnya masih menjadi masalah yang krusial. Rumah apung memiliki konsep yang unik karena hanya bisa didirikan dekat dengan wilayah perairan yang berbatasan dengan darat. Di Indonesia sendiri, pada umumnya rumah apung biasa ditemukan di daerah sungai seperti di Kalimantan. Namun, kita juga dapat menemukan rumah apung di daerah Tanjung Pinang, Provinsi Kepulauan Riau. Berdasarkan syarat yang unik tersebut, populasi rumah apung di Indonesia sudah jarang ditemukan. Alasan yang membuat langkanya rumah apung, khususnya di Kota Banjarmasin, Provinsi Kalimantan Selatan karena masyarakat yang bermukim di rumah apung tersebut masih bergantung dengan sungai untuk kebutuhan sanitasi.4 Ketergantungan ini akan membuat ekosistem sungai menjadi buruk. Hal ini yang menjadikan pemerintah daerah melakukan peremajaan pada rumah Lanting menjadi objek wisata. Kepemilikan tanah di Indonesia pada dasarnya adalah dikuasai oleh negara dan menjadi milik Bangsa Indonesia. Hal ini sesuai dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang menyebutkan bahwa “Bumi dan air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.5 Menurut penulis kata “milik Bangsa Indonesia” berarti tanah pada dasarnya tidak boleh digunakan untuk kepentingan negara yang dapat mengancam kesatuan bangsa. Selain terdapat istilah kepemilikan, terdapat juga istilah penguasaan terhadap tanah. Maksud hak penguasaan adalah hak yang memberi wewenang untuk melakukan suatu

2

Dido Cahya Mahardika P dan Triwilaswandio WP, “Analisis Teknis dan Ekonomis Pengembangan Industri Rumah Apung Sebagai Pendukung Wisata Bahari Indonesia,” Jurnal Teknik ITS Vol. 6 No. 2 (2017), hlm.18. 3 Irman, et al., “Analisis Yuridis terhadap Status Hak Kepemilikan Permukiman Penduduk di Atas Air,” Jurnal Hukum dan Pembangunan Vol. 51 No.2 (April 2021),hlm. 402. 4 Kumparan.com, “Budaya Rumah Apung Lanting yang Mulai Punah di Kalimantan,” https://kumparan.com/fajar-prasetyoo/budaya-rumah-apung-lanting-yang-mulai-punah-di-kalimantan-1xb9Hxy8 0wW/full, diakses pada 19 April 2022. 5 Indonesia, Undang-Undang Dasar NRI 1945,Ps. 33 ayat (3).


perbuatan hukum sebagaimana orang yang mempunyai hak.6 Menurut UUPA 1960, terdapat enam jenis hak tanah yaitu pertama, hak milik yang merupakan hak atas tanah yang dapat dimiliki hanya oleh seorang WNI. Kedua, Hak Guna Usaha (HGU) yang merupakan hak yang dikuasai pemerintah untuk kepentingan usaha dengan jangka waktunya yaitu 35 tahun dan dapat diperpanjang selama 25 tahun. Hak ini juga dapat dimiliki oleh WNI atau badan hukum tertentu. Ketiga, Hak Guna Bangunan (HGB) yang merupakan hak untuk mendirikan bangunan diatas hak milik orang lain dengan jangka waktu HGB 30 tahun dan dapat diperpanjang selama 20 tahun. Keempat, hak pakai yang merupakan hak untuk memungut dan atau menggunakan hasil dari tanah yang dikuasai oleh negara atau milik perorangan dengan jangka waktu yang tidak tentu. Hak pakai ini berlaku bagi WNI, WNA, badan hukum Indonesia, maupun badan hukum asing. Kelima, hak sewa yang merupakan hak menyewa tanah orang lain dan melakukan pembayaran sejumlah sewa tersebut. Keenam, hak membuka tanah dan memungut hasil hutan yang mana hak ini berhubungan dengan tanah ulayat dan hukum adat yang memungut hasil hutan secara sah.7 Dalam UUPA sendiri tidak mengatur mengenai legalitas permukiman di atas air. Padahal, telah dijelaskan sebelumnya bahwa salah satu daerah, yaitu Tanjung Pinang memiliki setidaknya 200 rumah apung yang sudah mempunyai sertifikat kepemilikan namun sisanya belum, hal ini dapat menyebabkan masyarakat di Tanjung Pinang tidak dapat membuktikan kepemilikan sertifikatnya secara sah. Padahal, bukti suatu subjek hukum dalam menguasai tanah atau bangunan adalah adanya sertifikat. Sertifikat hak atas tanah terdapat kekuatan hukum yang sangat kuat dan bahkan mutlak, kekuatan hukum tersebut diperoleh dari ketentuan hukum surat-surat yang menunjang alas hak. Selain berupa bukti formil, terdapat juga bukti materiil berupa cara-cara diperolehnya hak tersebut. Apabila bukti formil telah terpenuhi kebenaran hukumnya, tetapi pada bagian bukti materiilnya tidak terpenuhi, maka hak atas tanah masih lemah.8 Hal ini menyebabkan timbulnya akibat hukum lain, yakni mudahnya tanah tersebut untuk diklaim oleh orang lain yang merasa memilikinya. Alasan adanya sertifikat dan pendaftaran tanah sangat penting agar tidak terjadi perebutan tanah. Hal ini dijelaskan dalam Pasal 3 dan 4 Peraturan Pemerintah Nomor 24 6

Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, cet.9 (Jakarta : Djambatan, 1989), hlm. 23. Zuman Malaka, “Kepemilikan Tanah dalam Konsep Hukum Positif di Indonesia, Hukum Adat, dan Hukum Islam,” Al Qanun Jurnal Pemikiran dan Pembaharuan Hukum Islam Vol. 21, No. 1 (Juni 2018), hlm. 108-110. 8 Mohammad Machfudh Zarqoni, Hak Atas Tanah (Perolehan, Asal, dan Turunannya, serta Kaitannya dengan Jaminan Kepastian Hukum Maupun Perlindungan Hak Kepemilikannya), cet.1 (Jakarta: Prestasi Pustakaraya,2015).hlm.65. 7


Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah sebagaimana yang telah diubah dalam Peraturan Pemerintah No.18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah Secara rinci, tujuan adanya sertifikat tanah dijelaskan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah sebagaimana yang telah diubah dalam Peraturan Pemerintah No.18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah, yaitu:9 “(1) Untuk memberikan kepastian dan perlindungan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a kepada pemegang hak yang bersangkutan diberikan sertifikat hak atas tanah. (2) Untuk melaksanakan informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf b data fisik dan data yuridis dari bidang tanah dan satuan rumah susun yang sudah terdaftar terbuka untuk umum. (3) Untuk mencapai tertib administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf c, setiap bidang tanah dan satuan rumah susun termasuk peralihan, pembebanan, dan hapusnya hak atas bidang tanah dan hak atas milik atas satuan rumah susun wajib didaftarkan.” Berdasarkan pasal tersebut, dapat disimpulkan bahwa hal-hal yang disebutkan di atas berlaku universal, artinya berlaku untuk apapun kondisi geografis tanah tersebut, baik di daratan maupun perairan. Di Indonesia mengenai hak milik tanah di wilayah perairan, tidak dijelaskan di dalam UUPA. UUPA hanya menetapkan regulasi wilayah perairan berupa pemberian hak guna ari, hak pemeliharaan dan penangkapan ikan, dan hak guna ruang angkasa.10 Hal ini serupa dengan UU No.1 Tahun 2011 tentang Perumahan Permukiman yang tidak mengatur tentang pemukiman yang berada di wilayah perairan. Padahal rumah yang berada di perairan juga termasuk dalam benda tak bergerak. Dalam KUHP Pasal 506 dijelaskan bahwa benda tak bergerak adalah segala sesuatu yang menancap di tanah, baik diatas maupun terkandung di dalamnya.11 Seperti yang telah kita ketahui, bahwa rumah adat telah ada sejak zaman dahulu dan bahkan lebih awal dibanding dengan rumah yang kita ketahui sekarang. Lalu, alasan masyarakat mendiami permukiman di wilayah perairan karena mereka memiliki hak ulayat. Hak ulayat adalah yang terdapat dalam masyarakat adat berupa kekuasaan untuk mengatur dan mengurus tanah serta seisinya.12

9

Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Pendaftaran Tanah, PP No. 24 Tahun 1997, Ps. 24. Indonesia, Undang-Undang Pokok Agraria, UU No. 5 Tahun 1960, LN No. 104 Tahun 1960, TLN No. 2043, Ps. 16 ayat (1). 11 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, diterjemahkan oleh Soebekti, (Jakarta: Balai Pustaka, 2020), Ps. 506. 12 Ahmad Redi, et al., “Konstitusionalitas Hak Masyarakat Hukum adat atas Hak Ulayat Rumpon di Provinsi Lampung,” Jurnal Konstitusi Vol. 14 No. 3 (September 2017), hlm. 468. 10


Sistem hak ulayat inilah yang menjadi dasar adanya UUPA, belum adanya kepastian hukum mengenai rumah di wilayah perairan dalam UUPA ini menyebabkan terjadinya kontradiksi antara Pasal 8 Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang No.17 Tahun 2016 dengan Pasal 5 ayat (1) tepatnya pada poin c sehingga hal ini pun mengakibatkan adanya berbagai penafsiran hukum. Jika ditelaah lebih dalam, terdapat perbedaan secara gramatikal yang mana makna wilayah pesisir berbeda dengan makna wilayah perairan pesisir.13 Pada wilayah pesisir merupakan wilayah peralihan antara daratan dan lautan. Sedangkan wilayah perairan pesisir merupakan perbatasan antara daratan dan lautan yang berjarak 12 mil yang diukur dari garis pantai sehingga hak atas tanah hanya dapat diberikan jika mendirikan rumah apung di wilayah perairan pesisir bukan wilayah pesisir. Oleh karena itu, dibutuhkannya suatu aturan khusus yang mengatur mengenai permukiman, terutama permukiman di wilayah perairan atau pesisir guna memberikan kepastian serta perlindungan hukum bagi masyarakat yang tinggal di daerah perairan. Alasan di atas lah yang menyebabkan lahirnya Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang No. 17 Tahun 2016 tentang Penataan Pertanahan di Wilayah Pesisir. Dalam peraturan menteri ini, secara spesifik memberikan perlindungan hukum bagi warga yang tinggal di wilayah perairan. Dalam Pasal 5 ayat (1) Permen Agraria dan Tata Ruang No. 17 Tahun 2016 ini disebutkan bahwa pemberian Hak Atas Tanah pada perairan pesisir dapat dilakukan untuk tempat tinggal masyarakat hukum adat yang telah tinggal di daerah tersebut secara turun temurun.14 Walaupun rumah apung diperbolehkan dan bahkan diberikan perlindungan hukum, tetap saja terdapat permasalahan yang ditimbulkan akibat adanya tumpang tindih peraturan. Dalam UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana pada Pasal 31 ayat (1) dijelaskan bahwa wilayah perairan merupakan wilayah penanggulangan bencana, maka tidak boleh didirikan permukiman di wilayah tersebut.15 Hal ini akan mengakibatkan ketidak jelasan status tentang rumah apung di mata hukum Indonesia. Namun, jika dilihat dari sisi lain, sesungguhnya rumah apung ini memiliki manfaat terhadap mitigasi bencana karena konsep bangunannya yang terapung.16

13

Indonesia, Menteri Agraria dan Tata Ruang, Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang tentang Penataan Pertanahan di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Nomor PM 17 Tahun 2016, Ps.8. 14 Indonesia,Menteri Agraria dan Tata Ruang, Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang tentang Penataan Pertanahan di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Nomor PM 17 Tahun 2016, Ps.5 ayat (1). 15 Indonesia, Undang-Undang Penanggulangan Bencana, UU No.24 Tahun 2007,LN No. 66 Tahun 2007, TLN No. 4723, Ps. 32 ayat (1) 16 Bunga Nurani, “Kajian Yuridis terhadap Permukiman Rumah Terapung Di Atas Air Pada Wilayah Perairan Pesisir di Indonesia,” Novum : Jurnal Hukum Vol. 7 No. 3 (2020),hlm.6.


Dalam Hukum Agraria mengenal pembagian hak atas tanah. Pembagian itu berupa hak-hak atas tanah yang bersifat primer dan sekunder. Hak atas tanah yang bersifat primer adalah hak atas tanah yang dapat dimiliki oleh individu atau badan hukum dalam waktu yang lama dan dapat dipindahkan kepemilikannya kepada orang atau badan hukum lain. Sedangkan, hak yang bersifat sekunder adalah hak tanah yang bersifat sementara karena tanah tersebut dimiliki oleh orang lain.17 Hak pakai adalah hak untuk memungut hasil dari tanah milik negara dan tanah milik orang lain yang terdapat perjanjian antara pemilik tanah dan pemakai tanah.18 Melihat sifatnya yang berada di daerah perairan dan biasanya ditempati secara turun temurun, maka rumah apung cocok untuk diberikan hak milik atau hak pakai. Dijelaskan dalam UUPA Pasal 20 ayat (1) bahwa hak milik adalah hak turun temurun yang kuat dan penuh yang dapat dikuasai orang lain. Alasan bahwa rumah apung cocok untuk diberikan hak milik karena kebanyakan rumah apung di Indonesia, sifatnya tradisional dan diwariskan turun temurun. Hal ini juga telah dijelaskan dan dipertegas keabsahannya di UUPA Pasal 20 ayat (1) di atas. Namun, ada pilihan lain, yaitu hak pakai. Alasannya karena letak masyarakat yang tinggal di rumah apung, banyak menggantungkan sanitasi mereka di sungai. Oleh karena itu, sungai sering kali tercemar, agar tidak terjadi pencemaran, maka rumah apung tidak melulu harus ditempati, melainkan difungsikan sebagai tempat yang bermanfaat seperti adanya tambak ikan. Selain itu, hak pakai juga dapat diimplementasikan dengan dijadikannya rumah apung sebagai tempat wisata. Hal ini cocok karena sifat dari hak pakai adalah sementara, ekosistem akan terjaga dan dapat menambah pemasukkan pengelola rumah apung, baik perorangan maupun pemerintah. Setelah pemaparan penjelasan di atas mengenai kepemilikan hak atas tanah terhadap rumah apung dapat dilihat bahwa keberadaan rumah apung di Indonesia terbentur masalah perizinan serta regulasi yang melindunginya tentang hak atas tanah. Hak kepemilikan atas tanah ditandai dengan adanya sertifikat, sertifikat merupakan alat bukti kepemilikan atas tanah yang dibuat oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang bekerja sama juga dengan PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah). Namun, pada kenyataannya rumah apung hingga saat ini masih banyak yang belum memiliki sertifikat kepemilikan atas tanah. Padahal, adanya sertifikat tanah menjadi penting guna mencegah adanya pengakuan hak milik tanah milik orang lain terhadap tanah milik pribadi. Selain itu, juga karena untuk mencegah adanya 17

Reynaldi. A Dilapanga, “Sertifikat Kepemilikan Hak Atas Tanah Merupakan Bukti Otentik Menurut Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960,” Lex Crimen Vol. 6 No. 5 (Juli 2017), hlm. 1. 18 Hukumonline, “Jenis-jenis Hak Atas Tanah dan yang Dapat Menjadi Pemegangnya,” https://www.hukumonline.com/klinik/a/jenis-jenis-hak-atas-tanah-dan-yang-dapat-menjadi-pemegangnya-lt5eeb 3b383296d, diakses pada 20 April 2022.


perebutan lahan akibat meningkatnya populasi manusia yang secara langsung menyebabkan tanah menjadi langka. Adapun peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai kepemilikan hak atas tanah, yaitu UUPA, sayangnya tidak mengatur mengenai hak atas tanah bagi rumah apung. Selain itu, terdapat Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang No. 17 Tahun 2016 tepatnya Pasal 5 ayat (1) yang memberikan izin atas tanah bagi pemukiman penduduk yang berada di wilayah perairan pesisir, tetapi tidak berlaku untuk wilayah pesisir seperti pada Pasal 8. Dengan demikian, mengacu pada pasal tersebut, rumah apung tetap dapat diberikan izin untuk hak atas tanahnya. Kemudian, dari berbagai macam jenis hak atas tanah dalam UUPA sebagaimana yang telah dipaparkan di atas, dapat disimpulkan bahwa hak atas tanah yang cocok diberikan untuk rumah apung adalah hak milik atau hak pakai. Hak milik cocok diberikan untuk kepemilikan rumah apung karena sifatnya yang turun temurun. Sedangkan, hak pakai cocok untuk diberikan karena kebiasaan masyarakat yang tinggal di rumah apung yang menggantungkan sanitasinya di sungai dan mencemarkan lingkungan, maka agar tidak terjadi pencemaran, dapat dikelola untuk hal yang bermanfaat seperti budidaya ikan dan pariwisata.


DAFTAR PUSTAKA Buku Harsono, Boedi. Hukum Agraria Indonesia. Cet.9 Jakarta : Djambatan, 1989. Zarqoni, Mohammad Machfudh, Hak Atas Tanah (Perolehan, Asal, dan Turunannya, serta Kaitannya dengan Jaminan Kepastian Hukum Maupun Perlindungan Hak Kepemilikannya). Cet.1 Jakarta: Prestasi Pustakaraya, 2015. Jurnal/Majalah Arisaputra, Muhammad Ilham, “Penguasaan Tanah Pantai dan Wilayah Pesisir di Indonesia.” Perspektif Hukum Vol. 15 No. 1 (Mei 2015). Hlm. 28. Dilapanga, Reynaldi. A. “Sertifikat Kepemilikan Hak Atas Tanah Merupakan Bukti Otentik Menurut Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960.” Lex Crimen Vol. 6 No. 5 (Juli 2017). Hlm. 1. Irman, et al. “Analisis Yuridis terhadap Status Hak Kepemilikan Permukiman Penduduk di Atas Air.” Jurnal Hukum dan Pembangunan Vol. 51 No. 2 (April 2021). Hlm. 402. Mahardika P, Dido Cahya dan Triwilaswandio WP. “Analisis Teknis dan Ekonomis Pengembangan Industri Rumah Apung Sebagai Pendukung Wisata Bahari Indonesia.” Jurnal Teknik ITS Vol. 6 No. 2 (2017). Hlm.18. Malaka, Zuman. “Kepemilikan Tanah dalam Konsep Hukum Positif di Indonesia, Hukum Adat, dan Hukum Islam.” Al Qanun Jurnal Pemikiran dan Pembaharuan Hukum Islam Vol. 21, No. 1 (Juni 2018). Hlm. 108-110. Nurani, Bunga, “Kajian Yuridis terhadap Permukiman Rumah Terapung Di Atas Air Pada Wilayah Perairan Pesisir di Indonesia.” Novum : Jurnal Hukum Vol. 7 No. 3 (2020). Hlm.6. Redi Ahmad, et al. “Konstitusionalitas Hak Masyarakat Hukum adat atas Hak Ulayat Rumpon di Provinsi Lampung.” Jurnal Konstitusi Vol. 14 No. 3 (September 2017). Hlm. 468.


Perundang-undangan Indonesia, Menteri Agraria dan Tata Ruang. Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang tentang Penataan Pertanahan di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Nomor PM 17 Tahun 2016. Indonesia. Peraturan Pemerintah tentang Pendaftaran Tanah, PP No. 24 Tahun 1997. Indonesia. Undang-Undang Dasar 1945. Indonesia. Undang-Undang Penanggulangan Bencana, UU No.24 Tahun 2007,LN No. 66 Tahun 2007, TLN No. 4723. Indonesia. Undang-Undang tentang Peraturan Pokok Agraria,UU No. 5 tahun 1960, LN No. 104 Tahun 1960, TLN No. 2043. Internet Hukumonline. “Jenis-jenis Hak Atas Tanah dan yang Dapat Menjadi Pemegangnya,” https://www.hukumonline.com/klinik/a/jenis-jenis-hak-atas-tanah-dan-yang-dapat -menjadi-pemegangnya-lt5eeb3b383296d. Diakses pada 20 April 2022. Kumparan.com. “Budaya Rumah Apung Lanting yang Mulai Punah di Kalimantan,” https://kumparan.com/fajar-prasetyoo/budaya-rumah-apung-lanting-yang-mulai-p unah-di-kalimantan-1xb9Hxy80wW/full. Diakses pada 19 April 2022.


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.