6 minute read
WALKING THE SECOND MILE
WALKING THE SECOND MILE
*)Iswara Rintis Purwantara
Dalam khotbah-Nya di atas bukit, Yesus berkata, “Dan siapa pun yang memaksa engkau berjalan sejauh satu mil, berjalanlah bersama dia sejauh dua mil” (Mat 5:41). Apa maksud Yesus?
Tentu kita tidak boleh memaknai kata-kata Yesus ini secara literal, kecuali kita mau tiba pada kesimpulan bahwa Yesus adalah seorang psikopat, atau penyiksa yang sadis. Bagaimana tidak? Di ayat-ayat sebelumnya Dia berkata, “…jika matamu yang kanan menyesatkan engkau, cungkillah dan buanglah itu…,” dan “…jika tanganmu yang kanan menyesatkan engkau, penggallah dan buanglah itu….” (Mat 5:29-30). Pasti sudah dari dulu-dulu kedua mata kita buta dan kedua tangan kita buntung!
Lalu, bagaimana seharusnya kita menafsirkan kata-kata Yesus di atas? Pemahaman akan historical background akan sangat membantu kita.
Latar Belakang Sejarah
Pada zaman Yesus, ada sebuah hukum Kerajaan Roma yang berlaku di seluruh wilayah negaranegara jajahannya, termasuk Palestina. Hukum itu disebut ‘the law of requisition’. Hukum yang berasal dari Bangsa Persia ini dibuat untuk melindungi hakhak dan wewenang tentara Roma. Isinya adalah seorang serdadu Romawi diizinkan untuk memaksa penduduk sipil (orang jajahan) yang ia jumpai, siapapun itu, untuk berjalan mengangkut barangbarang bawaannya sejauh satu mil. Bagi yang tidak mau, atau menolak, akan dihukum (bandingkan otoritas tentara Romawi ini dengan wewenang Federal Bureau Investigation atau FBI, yang biasa Anda saksikan di film-film Amerika. Dalam keadaan darurat, seorang agen FBI, sambil menunjukkan kartu identitasnya, diperbolehkan meminta seseorang yang ia jumpai untuk menyerahkan kendaraannya untuk ia pakai mengejar pelaku kriminal yang melarikan diri).
Lalu, apakah itu artinya Yesus menghendaki kita untuk berdiri di tepi jalan, menunggu seorang tentara datang memaksa kita membawakan peralatan-peralatan perangnya sejauh satu mil? Tentu tidak. Hanya satu orang yang menggenapi secara harfiah kata-kata Yesus di atas yang tercatat di dalam Perjanjian Baru, yaitu Simon dari Kirene. Ketika Yesus sudah tidak sanggup lagi memanggul salib-Nya, para serdadu Romawi memaksa Simon
untuk menggantikan Yesus memikul salib-Nya di sisa perjalanan menuju tempat eksekusi (Luk. 23:26).
Jadi, apa arti dan signifikansi dari kata-kata Yesus itu bagi kita?
Prinsipnya bagi Kita
Perhatikan: hukum itu hanya mewajibkan seseorang untuk berjalan sejauh satu mil. Tidak lebih. Bisa Anda tebak, apa yang akan dilakukan oleh seorang penduduk sipil Palestina setelah ia berjalan memikul perlengkapan-perlengkapan bawaan seorang serdadu Roma sejauh satu mil?
Ya, persis setelah satu mil, ia akan segera menaruh barang-barang itu ke tanah (mungkin dengan agak sedikit membantingnya) sambil berkata dengan kesal, “Nih.., ambil barang-barangmu!” lalu bergegas pergi. Mungkin juga sambil mengumpat di dalam hatinya: “Dasar, Romawi jahat!” (dan, bayangkan kalau penduduk sipil itu ternyata adalah seorang anggota partai Zelot, sekelompok orang Yahudi yang sangat radikal dalam perlawanannya terhadap penjajahan Roma!).
Kenapa penduduk sipil itu berbuat seperti itu? Ya, karena dia pikir dia sudah memenuhi apa yang dituntut atau dipersyaratkan oleh hukum (hanya sejauh satu mil, tidak lebih). Ia sudah melaksanakannya dan tak seorang tentara Romawi pun yang bisa menghukum atau menganiaya dia.
Coba Anda renungkan. Bukankah ini adalah tendensi kita semua? Kita cenderung mau melakukan segala sesuatu hanya sejauh apa yang dipersyaratkan atau dituntut. Namun, dari pada menyuruh para pendengar-Nya untuk berjalan sejauh satu mil, Yesus meminta mereka untuk berjalan sejauh dua mil. Yesus menggandakannya.
Jadi, apa yang Yesus kehendaki dari kita?
Aplikasinya bagi Kita
Kita harus mengerjakan pekerjaan-pekerjaan baik kita melampaui apa yang diperintahkan, dituntut atau dipersyaratkan, entah oleh hukum atau peraturan. Kita harus melakukan melampaui apa yang diminta atau harapkan oleh orang lain. Sementara tendensi kebanyakan kita adalah melakukan yang minimum
(khususnya ketika sesuatu itu kita lakukan untuk orang lain), kita diajar oleh Yesus untuk melakukan yang maksimal, yang terbaik sejauh yang kita bisa (do our best).
Sebagai seorang pengajar misalnya, saya bisa membedakan ‘a good student’ dari ‘a bad student’. Namun Yesus mengajar saya bahwa ada perbedaan yang fundamental antara ‘a great student’ dan ‘a good student’. Kalau saya menugaskan murid-murid saya untuk membaca 15 halaman dari sebuah buku, ‘a bad student’ paling-paling akan membaca 10 halaman, bahkan kurang dari itu. ‘A good student’ akan membaca 15 halaman, persis seperti apa yang saya minta, tidak lebih, tidak kurang. Tetapi ‘a great student’ akan membaca dua kali lipat (30 halaman), bahkan lebih! Karena selalu mengerjakan tugas-tugasnya melampaui apa yang dituntut atau diharapkan oleh dosennya, ia akan selalu lebih maju dalam pengetahuan dan keterampilan. Ia juga akan selalu lebih baik dalam persiapan, lebih berpotensi untuk mendapatkan nilai bagus, untuk lulus, dan untuk menyelesaikan studinya tepat waktu.
Coba Anda bayangkan, apa reaksi serdadu Romawi itu, ketika melihat apa yang dilakukan penduduk sipil negara jajahannya tadi. Bukannya berhenti setelah satu mil, ia malah terus berjalan memikul barang-barang bawaannya sejauh satu mil lagi. Serdadu Romawi itu mungkin akan terheranheran, bahkan shock, lalu bertanya kepada penduduk sipil itu, “Why?”
Orang tidak akan terkesan kalau Anda melakukan sesuatu seperti apa yang mereka tuntut atau harapkan. Orang akan selalu terkesan, kalau Anda melakukan sesuatu melampaui apa yang mereka harapkan dari Anda – mereka akan heran, karena apa yang Anda lakukan itu berbeda dari kecenderungan orang-orang pada umumnya (kecenderungan natur manusia yang sudah jatuh dalam dosa). Ketika Anda membuat seseorang heran, orang itu akan bertanya, “Kenapa?” Anda lalu akan menjawab “Karena Yesus.”
Anda lihat? Anda bukan saja sedang mempergunakan perlakuan buruk orang lain atas diri Anda sebagai kesempatan untuk berbuat baik. Lebih dari itu, Anda sedang membuka pintu bagi Injil. Anda sedang bersaksi tentang siapa Kristus kepada orang lain. Anda sedang memuliakan Dia!
Bagaimana Cara Mengaplikasikannya?
Ada sekelompok wisatawan mengunjungi sebuah pabrik jam tangan merek ‘Rolex’ yang terkenal itu, di Swiss. Mereka memperhatikan bagaimana selama proses manufaktur, komponenkomponen internal jam tangan kinetik yang sangat kecil seperti jembatan, pelat, roda gigi atau gir, roda keseimbangan, per, sekrup mikroskopis, dan pegas rambut kecil dibuat dengan presisi tinggi lalu dirakit dengan sangat hati-hati. Mereka melihat bagaimana
sebuah mur yang sangat kecil dibuat sebagus, seindah dan semengkilap mungkin (dibutuhkan waktu satu tahun untuk mengerjakan satu jam tangan saja!).
Lalu seorang wisatawan bertanya kepada salah satu dari para pembuat jam itu: “Kenapa Anda harus repot-repot membuat mur-mur itu seindah mungkin? Mur-mur itu sangat kecil. Lagi pula, itu hanya akan dipergunakan untuk merakit mesin yang ada di bagian dalam jam, bukan di bagian luarnya. Tidak ada seorangpun yang akan melihatnya, bukan?”
“Siapa bilang kalau tidak ada yang melihat murmur ini?” tukas si pembuat jam. “Ada!” lanjutnya. “Pertama, saya melihatnya!” katanya sambil menunjuk kepada dirinya sendiri. “Kedua, Tuhan melihatnya!” katanya sambil mengarahkan jari telujuknya ke atas. Wisatawan itu terdiam.
Para pembuat jam tangan Rolex bekerja dengan segenap hati dan maksimal. Mereka melakukan yang terbaik, berusaha menghasilkan sesuatu lebih dari apa yang diharapkan oleh para konsumen mereka. Kenapa? Karena mereka bekerja seperti untuk Tuhan. Tidak heran kalau jam tangan produk mereka mendapatkan pengakuan sebagai jam tangan terbaik di seluruh dunia.
Alkitab berkata, “Apa pun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia” (Kol 3:23).
Kalau Yesus tidak pernah melakukan sesuatu yang kurang kurang dari 100 persen, kenapa kita suka melakukan sesuatu yang setengah-setengah?
*Penulis adalah dosen Sekolah Tinggi Teologi Baptis Indonesia (STBI) Semarang Editor: Juniati