Majalah Edisi 50 | LPM DIMENSI

Page 1


2

majalah dimensi | edisi 50


edisi 50 | majalah dimensi

3


Lembaga Pers Mahasiswa

DIMENSI

Pelindung Ir. Supriyadi, M.T. Penasihat Garup Lambang Goro, S.T., M.T. Pembina Drs. Khairul Saleh, M.S.I. Pemimpin Umum Dwiki Ilham Ramadan Sekretaris Umum Reza Annas Ma’ruf Bendahara Umum Anisa Ayu Lestari Pemimpin Redaksi Arum Ambarwati Redaktur Majalah Annissa Permanasari Redaktur Buletin Gatot Zakaria Manta Editor Irma Novita, Ninda Prastika Reporter Dewi Ristiana Palupi, Tri Mayasari Putri, Windi Agustina Dewi, Nailis Soraya, Hesti Ayu Ambarwati, Bangkit Ari Wijaya (non aktif ), Devi Oktavianingtyas, Tiara Wintriana Redaktur Foto M. Yanuar Nur Adi Fotografer Oka Mahendra, M. Haqqi, Aditya Utomo (non aktif ), Luthfi Desty A. Redaktur Artistik Ahmad Gozali Layouter Hilmi Imawan, Herlambang Setoaji, Afrizal Fajar, Ahmad Prabawanto Cyber Astri Dita Kumalasari, Sabrizal Ekky R. Ilustrator Uwais Qurni, Arien Maharani, Sapto Nugroho, Danu Eska, Yuli (non aktif ) Pemimpin Litbang Badra Nuraga Kepala Divisi PSDM Anak Agung Maya Septanti Staf PSDM Nova Nur Anisa, Miftahudin, Nico Aldila Kepala Divisi Humas Fieryanti Kamaril Kusumawardhani, Staf Humas Nurtyana Tri Utami (non aktif ), Dinda Azis Aisyarahmi, Virgine Anindya Putri Kepala Divisi Riset Ika Putri Raswati Staf Riset Upik Kusuma, Reza Wahyu, Samuel Hono (non aktif ), Yuni Pambreni Pemimpin Perusahaan Anwar Hamid Zul Fauzi Bendahara Perusahaan Miftahul Jannah Pratiwi Putri Kepala Divisi Periklanan Maulida Artha Kepala Divisi Usaha Non Produk Eko Prabowo Mukti Staf Periklanan dan Usaha Non Produk Matahun Triastuti, Sabrina Aldila Puteri, Lisanti Dian, Fitri Nur Khasanah, Mugiyanti, Endah Purnamasari (non aktif ), Agus Wijayanto (non aktif ) Kepala Divisi Produksi dan Distribusi Wira Ariffiansyah Staf Produksi dan Distribusi Miqdar Nafisi (cuti), Alden Mirza, M. Fiqqi Kepala Divisi Kreatif M. Nur Chafiddin (non aktif ) Staf Produksi dan Distribusi M. Iftor Hilal, Dwiki Luthfi, Edo A. Kurniawan

4

majalah dimensi | edisi 50

COVER

model : Ayanda ghany putra h. Foto : rizaldi eka p* Grafis : artistik dimensi *Nb : Calon Kru

Salurkan Idemu ! Redaksi menerima tulisan, karikatur, ilustrasi, atau foto. Hasil karya merupakan karya asli, bukan terjemahan/saduran atau hasil kopi. Redaksi berhak memilah karya yang masuk dan menyunting tulisan yang akan dimuat tanpa mengubah esensi. Karya dapat langsung dikirim melalui surat elektronik di lpmdimensi_redaksi@ymail.com atau dikirim ke alamat kantor redaksi di: Gedung PKM Baru Kampus Politeknik Negeri Semarang Jl. Prof. Soedharto Tembalang Selamat berkarya!


r u p a D Dari

W

aktu memang sangat cepat berlalu. Tak terasa, telah lebih dari 25 tahun LPM Dimensi berkiprah di bidang pers mahasiswa. Selama itu pula kami terus berjuang sebagai media kontrol sosial bagi almamater kami, Polines. Menyuarakan suara-suara pembaruan, menampung ide-ide segar yang berasal dari generasi muda, para mahasiswa. Mengawal setiap kebijakan yang diambil oleh institusi, pemerintah, dan mengawal isu-isu sosial di tengah-tengah masyarakat.

Kini kami tiba pada edisi yang ke 50. Di edisi kali ini kami mengangkat pergeseran media permainan anak-anak dari tradisional ke gadget sebagai laporan utama. Berangkat dari keprihatinan kami terhadap dunia anak masa kini, yang jauh berbeda dengan dunia anak pada masa kami. Kini, jarang kita temui riuh rendah suara anak-anak yang sedang bermain di pekarangan. Ataupun terdengar lantunan-lantunan lagu anak-anak dalam sebuah permainan. Yang banyak kita lihat adalah anak-anak lebih asyik bermain dengan gadgetnya. Pada liputan khusus kami menyajikan kisah dari dunia perpustakaan. Keadaan perpustakaan konvensional menjadi fokus ulasan kami. Semua berawal dari minimnya minat baca yang berpengaruh pada minat kunjungan masyarakat ke perpustakaan yang juga sedikit. Selain itu, canggihnya teknologi internet juga semakin menyingkirkan keberadaan perpustakaan konvensional. Sungguh hal yang sangat disayangkan. Selain dua sajian utama di atas, kami juga menyajikan cerita menarik dari Kota Semarang. Sekolah alam dan komunitas akademi berbagi adalah diantaranya. Tak ketinggalan juga berita dari dalam kampus Polines tercinta. Pemberlakuan UKT menjadi topik sorotan utama kami. Selain itu kami juga mengajak Anda menikmati indahnya Kawah Kamojang, Garut, Jawa Barat, serta mencicipi sego boran khas Lamongan dan Lumpia Boom Purwokerto. Semuanya dapat Anda simak di rubrik Travelogue. Ada pula resensi film dan buku, serta bingkaian foto-foto, sketsa, dan coretan sastra yang kami kemas di rubrik Incognito. 50 tentu bukanlah angka yang kecil. Pun usia 25 tahun usia LPM Dimensi bukanlah waktu yang cukup untuk mencapai sebuah kesempurnaan. Karena itu kami terus melakukan pembenahan di setiap edisi. Mengoreksi, mengevaluasi, dan memperbaiki kualitas sajian kami. Semua itu demi tersajinya produk terbaik di tangan Anda, para pembaca. Dibalik sajian-sajian tersebut, kami terus menyadari bahwa produk yang ada di tangan Anda ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu segala koreksi dan evaluasi yang membangun selalu kami nantikan dari balik meja redaksi. Pada akhirnya kami ucapkan selamat membaca dan sampai berjumpa di edisi selanjutnya. Hidup Pers Mahasiswa! - REDAKSI -

edisi 50 | majalah dimensi

5


INDEKS

Travelogue

LAPORAN UTAMA

KAMPUSIANA

12

33

51 50. Backpacker : Catatan Perjalanan Kawah Kamojang

10. Teropong : Gadget dan Anak

53. Kuliner : Yang Lebih Khas Dari Lamongan, Sego Boran

12. Gadget, Ancaman Bagi Permainan Tradisional

54. Kuliner : Lumpia Boom

14. Infografis : Permainan Tradisional yang mulai lekang oleh waktu

32. Perpustakaan Jurusan, Aset Berharga yang Terlupakan

17. Orang Tua Jangan Hanya Memfasilitasi

34. Pemerintah Resmi Berlakukan UKT 37. Speak UP : UKT Ringankan Mahasiswa

55. Tradisi : Kondangan Sekedar Definisi Lain

INCOGNITO

LAPORAN KHUSUS SEMARANGAN

22

40 59

22. Minimnya Minat Baca, Dan Kunjungan Perpustakaan

24. Gencar Berinovasi, Pengunjung Dambakan Koleksi 26. Perpustakaan, Antara Konvensional dan Modern 28. Infografis : Kronik Perkembangan Perpustakaan

59. Resensi Buku : Dijual Cepat, Surga ! 40. Komunitas : Akademi Berbagi, Berbagi Itu Bikin Happy

61. Resensi Film : Ditimur Matahari

42. Pendidikan : Mengenal Sekolah Alam AR-RIDHO

62. Galeri Foto : Gamelan Jawa, Cerminan Masyarakat Jawa

46. Sosok : Tirta Nursari, Srikandi Pendidikan dari Kabupaten Semarang

64. Sastra : Yin dan Yang dalam Ruang yang Berbeda 67. Kelakar : Tentang Kualitas dan Kuantitas 69. Sketsa : Kang Prov

6

majalah dimensi | edisi 50


SURAT PEMBACA

Sudah Sakit Masih Dipersulit

D

i sini, saya hanya ingin sekedar memberi komentar, pendapat, masukan, maupun saran dari saya dan teman-teman, yang menurut saya mempunyai pengalaman yang sama dalam masalah yang ada di seputar kampus tercinta, Polines. Hal yang saya sorot adalah tentang sistem perijinan dari kampus yang menurut saya sering dipersulit dari pihak kampusnya sendiri. Terutama topik yang saya ambil yaitu sistem perijinan ketidakhadiran dikarenakan sakit dari pihak kampus. Sistem perijinan sakit ini terutama dari pihak Poliklinik yang menurut saya dan teman-teman sangat berbelit-belit jika kita mau mengurus surat perijinannya. Saya ambil contoh dari kasus pengalaman pribadi saya sendiri yang pada saat itu sedang sakit dan tidak dapat mengikuti KBM pada hari itu. Singkat cerita ketika saya sudah sehat dan dapat masuk kampus kembali, saya mencoba segera mengurus surat keterangan izin dikarenakan sakit. Pada saat saya mengajukan surat keterangan sakit yang sebelumnya saya dapat kan dari Rumah Sakit yang memeriksa saya, di situ sempat terjadi penolakan secara sepihak dari pihak poliklinik. Hal ini dikarenakan menurut mereka surat yang saya berikan itu tidak sah karena suratnya tidak terdapat lampiran yang menyatakan bahwa surat itu meminta izin agar nama yang bersangkutan tidak mengikuti kuliah. Memang di suratnya hanya tercantum tiga hari izin sakit. Kebetulan saya sakit pada hari libur sampai dengan hari masuk. Total hari saya sakit jadi empat hari (satu hari libur dan tiga hari jadwal kuliah). Hal yang membuat saya kecewa juga adalah cara mereka menolak surat tersebut yang menurut saya menggunakan kata-kata dan nada yang agak tinggi. Jelas saja saya agak tersinggung dengan cara berkata beliau. Padahal di sana juga tertulis itu dari rumah sakit mana siapa nama dokternya yang memeriksa dan ada stempel asli di amplopnya maupun di dalam suratnya itu sendiri. Saya yakin mahasiswa lain juga kurang lebih pernah mendapatkan perlakuaan yang sama. Oleh karena itu menurut saya pihak Poliklinik harus bisa bekerja sama dan saling mendukung untuk dapat memajukan Politeknik ini sendiri. Agar kita pun bisa samasama saling menjaga nama baik kampus kita. Jangan ada lagi dari salah satu contoh kasus dari saya ini bisa terjadi. Jika terus seperti itu, selain nama kampus, nama polikliniknya sendiri juga jadi tidak baik. Atau nanti juga bisa membuat mahasiswa jadi malas untuk berhubungan lagi dengan pihak polikliniknya. Demikian masukan dari saya. Semoga semua paparan ini dapat diambil yang baiknya, bermanfaat dan dapat dilihat dari sisi positifnya. Lebih dan kurangnya saya ucapkan terimakasih.

Fadli Irawan Marjan (Mahasiswa Jurusan Akuntansi Program Study Komputerisasi Akuntansi)

edisi 50 | majalah dimensi

7


SURAT PEMBACA

Turunnya Eksistensi “PERAK”

S

EBAGAI mahasiswa semester 6 untuk program D III tentunya dapat dikatakan sebagai mahasiswa tingkat akhir pun mahasiswa tua. Seingat saya saat awal pertama kali masuk dua setengah tahun silam, setiap mahasiswa baru pasti diberi buku peraturan akademik (perak). Saya yakin para dosen juga tahu tentang buku ini. Lalu yang menjadi pertanyaan buat saya, untuk apa buku ini diberikan? Tentu, dari nama bukunya pun sudah jelas jawabannya, sebagai aturan penyelenggaraan pendidikan, kegiatan akademik dan proses belajar mengajar di Polines. Namun dalam pelaksanaannya, apakah sudah berjalan 100%? Bahkan yang miris, apakah semua mahasiswa serta dosen (yang diatur di dalamnya) tahu dan paham akan isi dan fungsi buku yang berisi 13 BAB dan 50 pasal peraturan ini? Buku perak ini disusun, dicetak, dan dibagikan bukan hanya sekedar untuk memenuhi rak - rak buku yang kosong, melainkan untuk dijalankan aturanaturan yang ada di dalamnya sehingga sesuai dengan tujuan dari buku tersebut. Diantaranya “membudayakan sikap disiplin dan perilaku professional sebagai jati diri pendidikan di Politeknik”. Untuk itu, mari kita pahami bukunya, laksanakan aturannya.

[ M. Samsul Arifin – Teknik Konversi Energi ]

Visit us

LPM DIMENSI The Way Of Journalism f facebook.com/LPMDIMENSI t @LPMDIMENSI w

8

www.lpmdimensi.com

majalah dimensi | edisi 50 Gedung PKM Baru Kampus Politeknik Negeri Semarang - Jl. Prof. Soedharto Tembalang


LAPORAN UTAMA

Anak. Ceria. Aktif. Lari. Permainan. Bekel. Congklak. Petak Umpet. Jamuran. Ular Naga. Gobak Sodor. Tradisional. Gadget. Modern. Games. Ipad. PSP. Handphone. Teknologi. Canggih. Kreatif. Imajinatif. Edukatif. Saraf. Autis. Apatis. Antipati. Game Over.

edisi 50 | majalah dimensi

9


TEROPONG

“Teknologi hanya sebuah alat. Dalam hal membuat anak – anak bekerja sama dan memotivasi mereka, akan tetapi orang tua dan guru lah yang terpenting� - Bill Gates -

10

majalah dimensi | edisi 50


FENOMENAPENGGUNAAN

GADGETPADAANAK

G

adget adalah salah satu hasil kecanggihan teknologi umat manusia. Namun ternyata dibalik kecanggihannya gadget juga memiliki dampak negatif. Diantaranya adalah penggunaan gadget pada anak usia dini. Seringkali penggunaan gadget pada anak usia dini dianggap oleh sebagian orang tua sebagai suatu kemajuan. Mereka menganggap dengan menguasai gadget maka anak mereka telah mengikuti perkembangan jaman. Di sisi lain penggunaan gadget tersebut secara tidak langsung juga membatasi diri mereka sendiri dari lingkungan sekitar. Bahkan tak jarang mereka lebih senang berkutat pada gadgetnya alih-alih bermain bersama teman-temannya.

edisi 50 | majalah dimensi

11


LAPORAN UTAMA

“

tir khawa t a g n a na Saya s n di ma a m a j ah pada ia dijaj manus logi yang kno oleh te uat sendiri ab ) merek nstein E t r e b (Al

“

Gadget, Ancaman Bagi Permainan Tardisional Oleh: Dwiki Ilham Ramadhan dan Tiara Wintriana | Design : Artistik Dimensi

P

ERUBAHAN zaman menuntut kita untuk lebih maju. Begitu pula dengan teknologi, semuanya semakin berkembang. Budaya pun harus terus berjuang untuk tetap ikut mengiringi perkembangan zaman. Semakin berkembangnya teknologi semakin memudahkan kita untuk melakukan segala aktifitas. Salah

12

majalah dimensi | edisi 50

satu hasil dari perkembangan teknologi adalah munculnya gadget.

Gadget merupakan alat berukuran mini (baik berupa handphone, komputer tablet, laptop dan lain sebagainya dengan banyak kegunaan yang dapat diperoleh di dalamnya. Kemudahan dalam

mengakses berbagai informasi dan hiburan telah tersaji dalam bentuk online dan offline. Gadget dewasa ini menjadi sarana utama untuk menunjang kegiatan sehari-hari atau sekedar menghibur diri di waktu senggang. Mulai dari kelompok usia dewasa sampai anak-anak, pada acara non-formal maupun formal, baik


sedang sendiri maupun dalam kelompok, gadget selalu hadir. Mulai dari bangun tidur hingga mau tidur seseorang yang sudah terkena candu gadget tidak akan mampu jauh dari gadgetnya. Tingginya frekuensi pemakaian gadget tersebut telah memberikan dampak negatif pada penggunanya. Terutama pemakaiannya pada kalangan anak-anak. Banyak anak-anak di bawah umur yang kini dapat mengoperasikan berbagai model gadget. Bahkan tidak sedikit dari mereka telah kecanduan bermain game di gadgetnya. Hal ini diakui oleh Yuni Kusuma Setyaningrum, Kepala Yayasan Taman Kanakkanak (TK) Mentari di Mijen. “Di sini (TK Mentari-Red) hampir semua anak-anaknya sudah punya gadget, baik berupa handphone ataupun ipad. Mereka sangat pandai mengoperasikan gadget tersebut, bahkan tidak jarang mereka lebih suka menghabiskan waktu mereka dengan bermain gadgetnya dibandingkan bermain bersama teman-temannya”, ujarnya. Beberapa anak usia sekolah dasar di daerah Tembalang mulai dari usia 10-12 tahun pun mengaku lebih senang bermain

gadget. Jawaban dari mereka pun sederhana. “Kalau main gadget itu tinggal klak klik klak klik, tidak capek, tidak keringatan, dan gampang maininnya”, ujar salah seorang anak. Fenomena ini sangat disayangkan. Sebab bukan tidak mungkin jika anak-anak telah kecanduan dalam bermain gadget, maka mereka aken meninggalkan permainan-permainan tradisional seperti bermain kelereng, congklak, bekel, dll. Pasalnya permainan-permainan tradisional ini lebih mengasah kemampuan kognitif, afektif, dan psikomotorik anak. Ketiga kemampuan ini akan berpengaruh pada kemampuan komunikasi, sosialisasi, maupun daya kreasi mereka. Suatu studi oleh sebuah organisasi nirlaba Joan Ganz Cooney Center dan Sesame Workshop di Amerika Serikat menyimpulkan, lebih dari 80% anak usia 1-5 tahun menggunakan gadget setidaknya sekali dalam seminggu. Rasa ingin tahu yang tinggi merupakan faktor terbesar bagi anak untuk gemar mengulik gadget. Selain itu ada pula beberapa orang tua yang sengaja memberikan anak mereka gadget dengan alasan demi perkembangan si anak. Bahkan tidak sedikit orang tua merasa bangga bila anaknya dapat menggunakan gadget. “Sekarang kan jamannya sudah modern, gadget merupakan alat yang menurut saya wajib dimiliki. Maka dari itu saya memberikan anak saya yang masih belajar di playgroup sebuah gadget, supaya perkembangannya semakin cepat dan supaya ia betah di rumah. Kalau ia bermain di luar, saya khawatir”, ungkap Ika Nursari, salah satu orang tua anak berusia dini. “Pengenalan gadget pada anak usia dini seharusnya dilakuan dengan beberapa tahap”, ungkap dokter Psikologi Anak, Dra. Husni M. “Seharusnya anak usia di bawah lima tahun lebih dibatasi dalam penggunaan gadget. Seharusnya penggunaan gadget hanya sebatas pembelajaran seputar pengenalan bentuk, warna, suara, huruf dan angka. Serta jadikan gadget hanya sebagai sarana karena orangtua lah yang seharusnya menjadi yang utama dalam masa pembelajaran anak”, tambahnya. Artinya, pemberian kesempatan bermain gadget pada anak di bawah lima tahun harus dibatasi dan diawasi. []

edisi 50 | majalah dimensi

13


INFOGRAFIS

N A N I A M PER

L A N O I TRADIS

ati Putri Rasw a Ik : h le O

WAKTU H E L O G N A K E YANG MULADIesiLgn : Ahmad Prabawanto

Ingatkah Anda dengan masa kecil Anda dulu? Permainan apa yang sering Anda mainkan kala itu? Masih ingatkah Anda dengan permainan seperti petak umpet, lompat tali, engklek, atau bekelan? Mungkin masa kecil Anda penuh dengan permainan-permainan tersebut. Namun sadarkah Anda jika saat ini permaianan tradisional seperti itu sudah sulit kita jumpai di sekitar kita? Saat ini justru banyak kita jumpai anak–anak kecil yang asyik sendiri dengan gadgetnya seperti Tab, Ipad, Play Station Portable (PSP), Play Station (PS), dll. Alih-alih bermain bersama temannya dengan permainan-permainan yang penuh olah gerak, sekarang mereka lebih sering asik sendiri dengan gadgetnya. Melihat hal tersebut kami Tim Riset Dimensi melakukan riset untuk mengetahui sejauh mana perkembangan jaman mempengaruhi jenis permainan mereka. Kali ini kami melakukan riset menggunakan metode wawancara kepada 79 responden yang berdomisili di daerah Tembalang. Responden tersebut adalah murid-murid Sekolah Dasar (SD) di SD 1 Tembalang, SD 1 Sumurboto, dan SD Islam Hidayatullah.

14

majalah dimensi | edisi 50


Permainan mana yang lebih kamu sukai ? 11 % 89%

Hal pertama yang kami tanyakan kepada mereka adalah mainan mana yang lebih mereka sukai. Sebanyak 89% responden menjawab lebih menyukai permainan modern seperti PS, PSP, Tab, dan hanya 11% responden yang menyukai permainan tradisional.

Permainan Modern Permainan Tradisional

Mengapa lebih memilih permainan modern ? 14% 9% 77%

Lalu pertanyaan lebih kami fokuskan kepada responden yang lebih menyukai mainan modern. Mengapa mereka menyukai mainan modern tersebut? Sebanyak 77% responden merasa mainan modern lebih menyenangkan, seru, serta memiliki variasi permainan yang sangat beragam. Sedangkan sebanyak 14% responden merasa permainan modern lebih modern dalam hal mengasah kemampuan, juga dapat dimanfaatkan untuk belajar dan menambah pengetahuan. Sisanya menyukai mainan modern karena tampilannya menarik.

Lebih Modern Menarik Menyenangkan edisi 50 | majalah dimensi

15


Seberapa sering kamu memainkan permainan modern tersebut? 47%

24% 29% Jarang Kadang Sering

Setelah mengetahui bahwa lebih banyak dari mereka yang menyukai permainan modern dibanding permainan tradisional, kami menanyakan intensitas waktu permainan mereka. Sebanyak 24% mengaku jarang memainkannya karena dibatasi oleh orang tua. Mereka hanya memainkannya seminggu sekali, biasanya pada hari Sabtu atau Minggu. Sementara itu 29% responden lainnya mengaku kadang-kadang memainkannya. Ada yang memainkannya seminggu dua kali, tiga kali atau empat kali tergantung pada keinginan mereka. Sedangkan sebanyak 47% responden mengaku hampir setiap hari memainkannya. Bahkan ada yang dalam sehari dapat memainkannya berkali-kali.

Apakah permainan tersebut mengganggu? 47%

62%

Dengan intensitas penggunaan gadget tersebut, sebanyak 62% responden merasa tidak terganggu. Hal ini dikarenakan mereka hanya memainkannya sebentar dan pada waktu senggang saja. Namun sebanyak 38% responden merasa permainan itu mengganggu dengan alasan sering lupa waktu. Selain itu mereka juga merasa gadget mengganggu belajar, dan terkadang permainan tersebut membuat ketagihan.

Mengganggu Tidak Mengganggu Dari hasil riset tersebut dapat kami simpulkan bahwa perkembangan jaman mempengaruhi jenis permainan mereka. Saat ini mereka lebih tertarik pada permainan modern daripada permainan tradisional. Hal ini terbukti dari hasil riset yang menyatakan bahwa 89% anak–anak lebih menyukai permainan modern. Mereka lebih tertarik pada permainan modern karena permainan yang disuguhkan pada gadget tersebut lebih menyenangkan, seru, memiliki banyak variasi permainan, dan lebih mengasah kemampuan. Permainan modern ini juga tidak mengganggu anak-anak selama penggunaannya masih diawasi dan masih dalam pantauan orang tua. Hal tersebut dapat kita lihat dari grafik ketiga dan keempat karena hampir semua responden yang menjawab tidak mengganggu adalah mereka yang memainkan permainan modern itu seminggu sekali. []

16

majalah dimensi | edisi 50


Orang Tua, Jangan Hanya Memfasilitasi Oleh: Dewi Ristiana Palupi dan Devi Oktavianingtyas | Design : Hilmi Imawan

Dahulu anak-anak sering membuat jengkel para orang tua dengan ­­kegaduhan yang mereka hasilkan ketika bermain bersama teman-teman sebayanya. ­Sekarang, keadaan sudah jauh berubah. Kini, anak-anak sibuk memainkan gadget-nya.

edisi 50 | majalah dimensi

17

doc.Dimensi/Oka


LAPORAN UTAMA

Para orang tua yang membesarkan anaknya di zaman globalisasi ini mempunyai tantangan yang sangat besar. Teknologi, dalam hal ini gadget, menyumbang ilmu pengetahuan yang luas bagi anak. Tetapi di sisi lain, jika orang tua hanya memfasilitasi tanpa adanya pengawasan dan pengarahan, si anak akan lebih banyak mendapatkan dampak negatif dibandingkan hal positif dari gadget tersebut. APATIS DAN ANTI SOSIAL Dengan memainkan permainan tradisional bersama temanteman sebayanya, anak-anak akan belajar bersosialisasi dan melakukan hubungan timbal balik. Akan tetapi jika anak sibuk bermain gadget, ia akan cenderung pendiam dan kurang tanggap terhadap lingkungan sekitar. Karena apatis itulah si anak akan gagal dalam berteman dan disisihkan. Lebih luasnya lagi, ia menjadi minder dan tidak mempunyai soft skill yang terasah sehingga sampai dewasa pun akan sulit mendapatkan pekerjaan. Panca Asih Puji Novi Rina, S.Pd, salah satu guru Bimbingan ­Konseling (BK) Sekolah Dasar ­Islam Diponegoro Semarang yang sekarang tengah menyelesaikan program S2 Psikologi

18

majalah dimensi | edisi 50

Anak menuturkan bahwa sebenarnya boleh-boleh saja bagi orang tua untuk mengenalkan gadget kepada anaknya. Namun mereka harus tetap mengawasi dan mengarahkan si anak selama ia menggunakan gadget tersebut. “Kita sebagai pendidik hanya bisa mendam­ pingi anak selama 7 sampai 8 jam. Selebihnya mereka menghabiskan waktu dengan orang tuanya”, tutur Novi. Tidak hanya sekolah swasta yang kebanyakan orang tuanya adalah para orang-orang ber­ ekonomi menengah ke atas sehingga bisa memfasilitasi anak-anaknya dengan gadget, sekolah negeri dan institusi pendidikan lainnya pun sudah tak asing lagi dengan teknologi yang satu ini. “Ilmu pengetahuan kan sebenarnya datangnya dari teknologi ya, cuma jadi salah kaprah karena kurang rem dan kurang pengawasan,”

lanjutnya. GAME DENGAN ADEGAN KEKERASAN Terbuka luasnya akses untuk mendapatkan berbagai jenis permainan sekaligus dalam sebuah gadget membuat anak dengan mudah bisa memainkan permainan apapun yang membuat mereka tertarik. Tak jarang anak memilih permainan yang tidak sesuai dengan usia


mereka, seperti permainan yang sarat akan adegan kekerasan bahkan adegan ­pornografi. Sifat dasar anak-anak yang mempunyai rasa ingin tahu tinggi serta ditambah lagi pandai meniru, menjadikan mereka dengan mudah mempraktikkan apa yang mereka liht

KREATIFITAS DAN IMAJINASI TINGGI

PAHAM ILMU DAN TEKNOLOGI (IT)

Anak yang gemar dan sering memainkan permainan modern pada gadget kebanyakan mempunyai daya ingat yang kuat serta kreatifitas dan imajinasi yang tinggi. Menurut ­Suharto, psikolog anak Home Schooling Kak Seto Semarang, hal itu merupakan salah satu dampak positif dari permainan gadget. Menyukai permainan gadget juga bisa berarti si anak lebih menyukai metode pem­ belajaran visual. Jadi, seharusnya ini bisa dimanfaatkan untuk mengarahkan perhatian anak kepada permainan gadget yang bersifat edukatif. Selain game edukasi, permainan-permainan tradisional seperti congklak, dakon, dan gamelan sekarang juga sudah bisa dimainkan dalam gadget.

Hidup di era globalisasi, manusia dituntut untuk dapat mengikuti perkembangan zaman terutama teknologi. Sering menggunakan gadget dapat menunjang anak dalam hal tersebut. “Begitu dia paham IT lalu diarahkan dengan baik, anak itu jadi mempunyai nilai lebih”, jelas psikolog anak yang sering disapa “Kak Ito” tersebut. Akan tetapi, kembali lagi dalam hal ini peran orang tua sangatlah penting. Antara lain bisa dengan menerapkan beberapa peraturan sederhana di rumah seperti batasan waktu bermain untuk si anak dan larangan membawa gadget selama di sekolah. Ketika anak bermain pun orang tua harus mengawasi, agar anak-anak dapat memilih permainan yang bersifat edukatif dan sesuai dengan usia mereka. “Jadi menurut saya kecanduan game itu bukan merupakan sesuatu yang berat. Karena bisa kita alihkan,” tutup Kak Ito. []

edisi 50 | majalah dimensi

19


QUOTES

STEVE JOBS TELEVISI BUKANLAH KEHIDUPAN NYATA. DALAM KEHIDUPAN NYATA, SESUNGGUHNYA ORANG AKAN MENINGGALKAN KEDAI KOPI DAN PERGI BEKERJA! ANTOINE DE SAINT PENGUASAAN AKAN TEHNOLOGI MENDATANG AKAN MEMBUAT MANUSIA SENANG DAN PANDAI DENGAN ADANYA TEHNOLOGI MESIN, HAL INI AKAN MEnimbulkan MASA SURAM SERTA KEBODOHAN manusia ALBERT ENSTEIN HAL INI TELAH MENJADI MENGGEMPARKAN, JELAS BAHWA TEKNOLOGI TELAH MELAMPAUI KEMANUSIAAN KITA. OMAR N. BRADLEY JIKA KITAI TERUS MENGEMBANGKAN TEKNOLOGI TANPA KEBIJAKSANAAN ATAU KEHATI-HATIAN, KITA AKAN MENJADI PELAYAN DARI TEKNOLOGI YANG KITA BUAT. PICASO SATU MESIN DAPAT MELAKUKAN PEKERJAAN DARI LIMA PULUH ORANG BIASA. TIDAK ADA MESIN DAPAT MELAKUKAN PEKERJAAN DARI SATU ORANG YANG LUAR BIASA. ELBERT HUBBARD MESIN TIDAK MEMBANTU MANUSIA DARI MASALAH BESAR TETAPI MENJERUMUSKAN DIA LEBIH DALAM KE DALAMNYA.

20

majalah dimensi | edisi 50


LAPORAN KHUSUS

Perpustakaan. Buku. Baca. Kertas. Pengetahuan. Konvensional. Digital. Modern. Internet. Ilmu. Wawasan. Referensi. Pengunjung. Papyrus. Mesir. Yunani. Indonesia. Kunjungan. Almari. Daerah. Arsip. Member. Pinjam. Koleksi. Denda. Pameran. Multimedia.

edisi 50 | majalah dimensi

21


LAPORAN KHUSUS

Minimnya Minat Baca

dan

Kunjungan ke Perpustakaan Oleh: Nailis Soraya dan Windi Agustina Dewi | Design : Artistik Dimensi

B

uku adalah jendela dunia. Membacanya akan membuat wawasan kita bertambah luas. Membaca juga menjadi salah satu cara untuk meningkatkan ilmu pengetahuan generasi muda Indonesia. Namun, sekarang ini minat baca anak muda Indonesia sangatlah kurang. Bahkan bagi sebagian orang membaca merupakan hal membosankan. Jika dibandingkan dengan zaman dahulu, peminat buku lebih banyak daripada saat ini. Sebut saja data yang dilansir dari website Kelembagaan Perpustakaan Nasional Republik Indonesia mengenai minat baca penduduk di suatu wilayah di Indonesia. Di tahun 2009, Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data untuk mengetahui seberapa besar minat penduduk terhadap dua aktivitas, yaitu menonton dan membaca. Survei dilakukan kepada penduduk yang berusia 10 tahun ke atas. Hasilnya sungguh mengejutkan. Sebesar 90,27% penduduk menyukai menonton dan hanya 18,94% yang menyenangi aktivitas membaca surat kabar atau majalah.

22

majalah dimensi | edisi 50


Dahulu buku merupakan senjata andalan seseorang untuk mendapatkan ilmu pengetahuan. Kini jangankan untuk membaca buku, untuk membawanya saja terkadang membuat seseorang malas dan merasa direpotkan. Generasi Indonesia sekarang ini lebih tertarik dengan kecanggihan internet dan berbagai perangkat canggih lainnya seperti smart phone, laptop, dan Tab. Dengan menggunakan teknologi-teknologi tersebut mereka bisa mendapatkan informasi-informasi yang ingin mereka dapatkan. Alih-alih membuka lembar demi lembar buku yang tersedia. Beberapa pengunjung Perpustakaan Daerah Kota Semarang mengakui kebiasaan membaca kini dilakukan hanya kala diperlukan saja. Misalnya Bagas Damar. Mahasiswa yang mengakui bahwa dirinya berkunjung ke perpustakaan hanya karena ingin melengkapi materi yang diperlukan untuk bahan skripsi. Padahal sebelumnya ia belum pernah sama sekali berkunjung bahkan hanya untuk sekedar membaca.

orang saja dengan usia dibawah 15 tahun. Hal ini dapat diartikan bahwa mayoritas pengunjung tersebut adalah kalangan pelajar. Jika dibandingkan dengan jumlah penduduk kota Semarang, minat mereka mengunjungi Perpustakaan Kota hanya sebesar 14,77%. Hal tersebut juga diakui oleh Kepala Seksi Perpustakaan Kota Semarang, Dr. Supriyadi. Menurut penuturannya, pengunjung Perpustakaan Kota Semarang biasanya berasal dari kalangan anak – anak Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama. Akan tetapi sering kali perpustakaan ini dikunjungi oleh rombongan dari taman kanakkanak yang didampingi oleh guru mereka. []

Namun ada pula pengunjung yang masih memiliki ketertarikan untuk membaca. “Sebenarnya ke sini hanya untuk baca– baca saja, daripada di rumah sepertinya lebih asyik di sini. Biasanya kalau sudah penasaran dengan isi bukunya, bisa berjam–jam ada disini”, tutur Amel seorang Ibu Rumah Tangga. Untuk melestarikan minat baca, Perpustakaan Pemerintah Kota Semarang yang telah berdiri sejak tahun 2001 ini juga harus bersaing dengan perkembangan zaman. Meskipun dari tahun ke tahun jumlah pengunjung di Perpustakaan Kota Semarang ini mengalami kenaikan, namun jika dilihat dari presentasenya, orang yang membaca dengan yang jarang membaca jaraknya semakin lama semakin lebar. Pernyataan di atas didukung dengan data yang kami terima dari badan Perpustakaan dan Arsip Pemerintah Kota Semarang. Di mana pengunjung Perpustakaan Kota Semarang pada tahun 2012 setiap bulannya hanya sekitar 54 ribu

edisi 50 | majalah dimensi

23


LAPORAN KHUSUS

Gencar Berinovasi,

Pengunjung Dambakan

Tambahan

Koleksi

Oleh: Dewi Ristiana Palupi & Tri Mayasari Putri | Design : Afrizal Fajar

K

etika kami mengunjungi Perpustakaan Kota Semarang, kami berpikir akan datang ke tempat berfasilitas lengkap, bersih, nyaman, dan penuh sesak oleh pengunjung yang tengah membaca buku. Sesampainya di sana pemandangan yang kami lihat sedikit berbeda dengan apa yang kami bayangkan. Gedungnya memang bersih, cukup besar, dan juga nyaman karena menggunakan pendingin ruangan. Ironisnya ketika kami datang, kami adalah pengunjung pertama di perpustakaan tersebut. Memang saat itu jam

24

majalah dimensi | edisi 50

masih menunjukkan sekitar pukul 10.30 pagi, akan tetapi sampai waktu sholat Dzuhur tiba pun perpustakaan hanya dipenuhi sekitar 5 sampai 6 orang pengunjung saja. Kami penasaran, tidak adakah usaha dari pengelola perpustakaan untuk meningkatkan jumlah pengunjung serta minat baca masyarakat? Saat hal tersebut dikonfirmasi, Dr. Supriyadi selaku kepala sie perpustakaan Kantor Perpustakaan


dan Arsip Kota Semarang menuturkan bahwa sesungguhnya pihak perpustakaan sudah melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan minat masyarakat untuk berkunjung ke perpustakaan. Ada beberapa program rutin yang sudah dilaksanakan selama beberapa tahun terakhir. Antara lain fasilitas perpustakaan keliling yang mereka namai “mobil pintar”. Perpustakaan Kota Semarang memiliki tiga unit Mobil Pintar yang beroperasi minimal lima belas kali dalam satu bulan. Sektorsektor yang dikunjungi antara lain perkampungan, tempat ibadah, dan juga sekolah-sekolah. Cara lain adalah dengan mengadakan pameran buku. Sejak tahun 2007, Perpustakaan Kota Semarang secara rutin mengadakan acara tersebut. Bertempat di gedung wanita, pameran buku diadakan dua kali dalam setahun yakni pada peringatan hari pahlawan serta perayaan hari jadi kota Semarang yang jatuh pada tanggal 1 Mei. Pihak panitia menilai jika hanya buku-buku saja yang disediakan, pengunjung menjadi kurang tertarik. Maka sejumlah lomba seperti lomba tari kreasi jawa dan mendongeng diselipkan di sela-sela acara guna menarik minat pengunjung untuk datang ke arena pameran. Bahkan dalam pameran buku tanggal 6 sampai 12 November 2013 yang lalu, dihadirkan pula replika pesawat terbang dari TNI Angkatan Udara Jogjakarta. Hal ini tidak lain adalah guna menarik minat masyarakat untuk datang mengunjungi pameran tersebut. Dari segi fasilitas pun Perpustakaan Kota Semarang sudah memiliki layanan e-library yang memudahkan pengunjung dalam mencari buku secara cepat menggunakan perangkat komputer. E-library juga memungkinkan pengunjung untuk membaca jenis buku elektronik secara online. Guna meningkatkan minat baca pada kalangan anak-anak, perpustakaan juga menyediakan

layanan teater mini yang menampilkan berbagai macam pengetahuan yang bermanfaat melalui tayangan audio visual. Setelah pemutaran video, anak-anak yang kebanyakan adalah siswa Taman Kanak-kanak tersebut didengarkan sajian dongeng rakyat dari para tutor yang sudah terlatih. “Kalau berhasil menarik banyak pengunjung ke perpustakaan memang belum ya, tapi yang jelas animo mereka untuk datang menyaksikan kegiatan yang kami adakan sangat besar sekali”, begitu tutur Supriyadi secara optimis. Supriyadi juga menambahkan, bahwa usaha-usaha tersebut dirasa sudah cukup maksimal karena perpustakaan berWusaha mengikuti perkembangan zaman yang terjadi sekarang ini. Jika mengandalkan buku-buku saja dikhawatirkan perpustakaan akan semakin ditinggalkan oleh masyarakat yang sekarang ini sudah semakin maju apalagi anak-anak dan mahasiswa. Berbagai inovasi sudah dilaksanakan. Akan tetapi pihak pengunjung yang merupakan sasaran utama inovasi ini mempunyai pandangan yang berbeda. “Lebih baik kalau koleksi bukunya dilengkapi lagi. Di sini kebanyakan buku-buku koleksi baru semua, koleksi lama tidak ada”, aku Amel. Ia adalah seorang ibu rumah tangga yang biasa berkunjung ke Perpustakaan Kota Semarang 2 sampai 3 kali seminggu. Di tempat yang berbeda yaitu Perpustakaan Daerah Semarang, seorang pengunjung memberikan pernyataan yang sama. Amin Sutrisno, seorang wiraswasta mengaku dirinya sudah lama terdaftar sebagai anggota dari kedua perpustakaan tersebut. Akan tetapi ia lebih sering berkunjung ke perputakaan daerah karena beberapa alasan. “Buku yang di sana ada, di sini juga pasti ada. Sedangkan kalau di sana nggak ada, kemungkinan besar di sini ada”, tutur Sutrisno. []

edisi 50 | majalah dimensi

25


LAPORAN KHUSUS

Perpustakaan, Antara Konvensional dan Modern Oleh: Hesti Ayu Ambarwati dan Astri Dita Kumalasari | Design : Afrizal Fajar

S

ejak kecil kita sudah diajarkan cara mengeja suku kata agar dapat membaca dengan baik dan benar. “Dengan membaca, maka kita dapat menguasai dunia�. Begitulah kalimat yang sering diungkapkan orang-orang di sekitar untuk memupuk minat baca kita. Buku adalah salah satu benda yang kita baca. Bicara tentang buku, tak akan lepas dari yang namanya Perpustakaan. Sejak kita masih Sekolah Dasar hingga Perguruan Tinggi, sering kita jumpai yang namanya perpustakaan. Setiap kita mendengar kata tersebut, pasti yang ada di benak kita adalah sederetan lemari-lemari yang berisikan buku-buku. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, perpustakaan adalah sebuah tempat, gedung, atau ruang yang digunakan untuk memelihara dan mengunakan koleksi buku tersebut. Dalam arti lain, perpustakaan adalah koleksi buku, majalah, atau sumber pustaka lainnya yang disimpan untuk dibaca, dipelajari, dan dibicarakan.

26

majalah dimensi | edisi 50


Perpustakaan berdiri dengan beberapa fungsi. Pertama adalah fungsi pendidikan. Maksudnya perpustakaan merupakan tempat pembelajaran bagi banyak orang. Semua orang bisa datang ke perpustakaan, baik itu orang kaya, kurang mampu, orang pintar bahkan orang yang ingin belajar pintar pun dapat berkunjung ke perpustakaan. Fungsi kedua yaitu fungsi informatif. Dimana fungsi informatif yang dimaksud adalah perpustakaan menyediakan berbagai informasi yang dibutuhkan oleh para penggunanya, sehingga pengguna merasa terbantu dengan adanya perpustakaan. Berikutnya adalah fungsi kultural, yakni perpustakaan berisi hasil cipta karya anak bangsa yang dilestarikan dalam bentuk buku ataupun yang lain. Fungsi yang terakhir adalah fungsi rekreatif. Perpustakaan tak hanya berisi buku-buku pelajaran yang kadang menuntut kita agar berpikir keras dan serius. Tapi di perpustakaan juga terdapat buku-buku hiburan seperti novel, komik, ataupun majalah yang dapat memanjakan otak kita dari kepenatan rutinitas. Seiring berjalannya waktu, teknologi pun semakin berkembang pesat. Banyak sumber lain yang dapat kita akses untuk mencari suatu pengetahuan, informasi, maupun data yang kita butuhkan selain buku. Internet misalnya. Kita dapat memanfaatkan internet guna mencari referensi tentang suatu informasi selain dari buku. Perpustakaan pun tidak ingin ketinggalan dengan perkembangan teknologi ini. Bila kita berkunjung ke perpustakaan baik yang terdapat pada lembaga pendidikan maupun perpustakaan daerah, di sana sudah menyediakan fasilitas wifi untuk mengakses internet. Menanggapi hal ini Janti Dwi Sembodo, salah satu pustakawati Fakultas Ekonomi Universitas Tujuh Belas Agustus (Untag) Semarang pun angkat bica-

ra. “Era modernisasi ini tidak mematikan minat pembaca untuk berkunjung serta tetap menggunakan buku yang disediakan oleh perpustakaan”, ujar Janti. “Wifi yang kita pasang juga akan membantu untuk mencari referensi. Namun kenyataannya para pengunjung perpustakaan tetap mencari buku atau karya ilmiah ketika datang ke perpustakaan”, tambahnya. Perkembangan lain yang nampak terlihat adalah munculnya perpustakaan digital. Kini sedikit demi sedikit perpustakaan digital mulai berkembang, bersaing dengan perpustakaan konvensional atau perpustakaan manual. “Kalau dulu perpustakaan masih konvensional, sekarang sudah digital. Pergeseran tersebut terjadi seiring perkembangan teknologi”, tutur Dyah Sri Rejeki, S.Sos., M.I.Kom salah seorang Dosen Ilmu Perpustakaan Universitas Diponegoro. Adanya perpustakaan digital dapat mempermudah para penggunanya dalam hal kebutuhan informasi. Mereka tinggal duduk manis, buka laptop dan mengetik di keyboard apa yang mereka butuhkan. Tinggal menunggu beberapa detik maka akan muncul informasi yang mereka inginkan. Tanpa menunggu lama dan tanpa beranjak dari tempat duduk mereka. Perbedaan pun dapat kita lihat jika dibandingkan dengan perpustakaan konvensional. Di mana pada perpustakaan konvensional, butuh waktu yang relatif lama untuk mendapatkan informasi yang kita perlukan. Kita harus datang ke perpustakaan, mencari buku yang berisi informasi yang dibutuhkan. Pun belum tentu buku yang kita cari ada di perpustakaan tersebut. Jika hal tersebut berangangsur-angsur terjadi, maka tidak menutup kemungkinan keberadaan perpustakaan konvensional akan tergeser oleh keberadaan perpustakaan digital. Menjadi sebuah pekerjaan rumah bagi kita semua untuk mencari cara bagaimana agar dapat menghidupkan kembali perpustakaan konvensional. []

edisi 50 | majalah dimensi

27


INFOGRAFIS

KRONIK

PERKEMBANGAN PERPUSTAKAAN

Oleh: Reza Wahyu Prasetyo dan Arum Ambarwati* | Design : Tim Layouter

Tahun 3000 SM Bangsa Sumeria dan Babilonia mencatat rekening, jadwal kegiatan, dan pengetahuan yang diperoleh di sebuah lempengan tanah liat. Tahun 2500 SM Papyrus ditemukan di Mesir sebagai bahan tulis menulis. Abad ke-1 M Cina menemukan bahan semacam kertas yang digunakan pada saat ini. Abad ke-12 M Bangsa Eropa mengenal kertas untuk pertama kali. Tahun 1440 Jerman mencetak buku dengan jenis cetak gerak. Abad ke-15 M Mesin cetak pertama kali dikenal. Dikenal sejenis terbitan bernama incunabula yang berarti buku yang dicetak dengan menggunakan teknik bergerak (movable type). Abad ke-16 M Ditemukan mesin cetak cepat yang mampu menghasilkan ratusan eksemplar dalam waktu singkat. Kegiatan penulisan dan penyimpanan naskah masih terus dilanjutkan oleh para raja dan sultan yang tersebar di Nusantara. Misalnya, jaman kerajaan Demak, Banten, Mataram, Surakarta Pakualaman, Mangkunegoro, Cirebon, Demak, Banten, Melayu, Jambi, Mempawah, Makassar, Maluku, dan Sumbawa. Tahun 1643 Didirikan perpustakaan pertama di Indonesia yaitu perpustakaan gereja di Batavia (Jakarta). Tahun 1778 Berdiri perpustakaan lembaga Bataviaasche Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (BGKW). Pendirian perpustakaan lembaga BGKW tersebut diprakarsai oleh Mr. J.C.M. Rademaker, ketua Raad van Indie (Dewan Hindia Belanda). Koleksi perpustakaan ini bersifat khusus dan pemakainya khusus untuk peneliti. Tahun 1842 Didirikan perpustakaan pertanian tertua yaitu Bibliotheek’s Lands Plantentuin te Buitenzorg. Pada tahun 1911 namanya diubah menjadi Centra Natuurwetenschappelijke Bibliotheek van het Departement van Landbouw, Nijverheid en Handel. Nama tersebut kemudian diubah lagi menjadi Biblioteca Bogoriensis. Sekarang perpustakaan ini dikenal sebagai Pusat Perpustakaan dan Persebaran Hasil-Hasil Pertanian.

28

majalah dimensi | edisi 50


Tahun 1950 Perpustakaan Bataviaasche Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (BGKW) berubah nama menjadi Lembaga Kebudayaan Indonesia.Pada tahun ini pula didirikan rintisan Perpustakaan Nasional. Masih ditahun yang sama berdiri perpustakaan Yayasan Bung Hatta. Tahun 1962 Lembaga Kebudayaan Indonesia diserahkan kepada Pemerintah Republik Indonesia dan namanya diubah menjadi Museum Pusat. Koleksinya kemudian dikenal dengan Perpustakaan Museum Pusat. Ketika nama Museum Pusat berubah menjadi Museum Nasional maka perpustakaan tersebut dikenal dengan Perpustakaan Museum Nasional. Tahun 1980 Perpustakaan Museum Nasional dilebur ke Pusat Pembinaan Perpustakaan. Tahun 1988 Pengelolaan dokumen menjadi lebih cepat dan efisien dengan menggunakan perangkat lunak pengolah kata. Pada waktu ini perpustakaan berkembang menjadi semi modern dengan menggunakan katalog indeks. Tahun 1989 Pusat Pembinaan Perpustakaan menjadi bagian dari Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Pada tahun ini pula secara resmi Perpustakaan Nasional Republik Indonesia didirikan melalui Keputusan Presiden No. 11 Tahun 1989. Tahun 1990 Seiring perkembangan teknologi internet, katalog indeks berubah menjadi katalog elektronik. Tahun 1991 Muncul proyek TULIP (The University Licensing Project) yaitu penelitian mengenai sistem pengumpulan dan penyimpanan data serta teknik pengaksesan perpustakaan digital. Tahun 1995 Istilah perpustakaan digital digunakan untuk pertama kalinya. Tahun 2013 Kini perpustakaan digital semakin berkembang, namun perpustakaan konvensional juga masih diminati,dilengkapi dengan fasilitas-fasilitas modern seperti internet, e-book, multimedia, dll. *dari berbagai sumber

edisi 50 | majalah dimensi

29


MEGA MITRA KAMPUS

Jl. Ngesrep Timur V No. 19 Semarang Telp. 024 747693 Menyediakan : Berbagai macam alat tulis Photo Studio Faximile Pakaian Kerudung Makanan Ringan Kebutuhan lainnya

Kualitas Istimewa Harga Mahasiswa. Murah, Pelayanan Cepat dan Bersahabat.

30

majalah dimensi | edisi 50


kampusiana

Politeknik. Kampus. Almamater. Vokasi. SPP. Jurusan. Perpustakaan. Mahasiswa. Seputar Kampus. UKT. Ringan. BOPTN. Dana. 2014. Referensi. Koleksi. Institusi. Pendidikan Tinggi. Program Studi. Kelas. Formal. Keuangan. Polines.

edisi 50 | majalah dimensi

31


Perpustakaan Jurusan, Aset Berharga yang Terlupakan Oleh: Nova Nur Anisa dan Nailis Soraya | Design : Afrizal Fajar

“ “

Sampai saat ini masih belum ada upaya dari institusi untuk memperbaiki pengelolaan perpustakaan jurusan supaya lebih baik dari kondisi saat ini

P

erpustakaan adalah sebuah tempat di mana ada banyak dan berbagai macam buku di dalamnya. Semua lembaga pendidikan pasti tidak akan terlepas dari yang namanya perpustakaan. Politeknik Negeri Semarang (Polines) salah satunya. Polines memiliki satu perpustakaan pusat yang diperuntukan civitas akademika Politeknik Negeri Semarang (Polines) dan perpustakaan jurusan yang ada di setiap jurusan di Polines. Perpustakaan jurusan sengaja dibuat untuk mahasiswa Polines di masing-masing jurusan agar lebih dekat dan mudah dalam mengakses buku yang berkaitan dengan pelajaran di jurusan masingmasing. Sebagai contohnya untuk jurusan Akuntansi akan lebih mudah mengakses buku pengantar akuntansi di perpustakaan jurusan dibandingkan jika harus berjalan menuju perpustakaan pusat.

32

majalah dimensi | edisi 50

Akan tetapi kenyataannya perpustakaan jurusan yang berdiri sejak tahun 2005 tidak memberikan pelayanan seperti yang diharapkan. Hal ini dibenarkan oleh Sri Sumarsih, S.Sos. selaku Kepala Perpustakaan Pusat Polines. Ia mengungkapkan bahwa kondisi perpustakaan jurusan saat ini memang tidak terlalu baik. “Sejak delapan tahun lalu berdiri hanya perpustakaan Jurusan Elektro saja yang memperlihatkan kondisi meningkat setiap tahunnya, namun itu pun belum bagus benar,� tuturnya. Sri juga berpendapat bahwa ada berbagai alasan mengenai hal ini. Diantaranya adalah dari pengelola perpustakaan jurusan yang notabene adalah mahasiswa aktif Polines. Menurutnya status mahasiswa ini menyebabkan terbenturnya waktu menjaga perpustakaan dengan kuliah yang dijalaninya. Sri juga menambahkan bahwa dalam proses pinjam


KAMPUSIANA

meminjam buku kurang dilakukan dengan benar disebabkan karena pengelola tidak mengetahui ilmu pustaka. Untuk sekarang ini hanya perpustakaan Jurusan Elektro saja yang sistem peminjaman bukunya sudah menggunakan pencatatan komputer. Koleksi bukunya juga diperbarui setiap tahunnya. Namun sayangnya antusias dari mahasiswa Jurusan Elektro masih kurang. Pengurus perpustakaan jurusan Elektro sendiri membenarkan jika jumlah pengunjung dari perpustakaan Jurusan Elektro pun juga masih sedikit. Dari data pengunjung perpustakaan jurusan sendiri rata-rata pengunjung per hari hanya sebanyak dua orang saja. “Itupun jika sudah musim membuat Tugas Akhir, ya kalau tidak musim kadang hanya dua orang per minggu”, ungkap Irsyad, pengelola perpustakaan Jurusan Teknik Elektro. Lain lagi dengan perpustakaan jurusan lainnya. Di perpustakaan jurusan Akuntansi misalnya. Di sana terdapat banyak laporan magang, Tugas Akhir (TA) dan laporan-laporan lain yang bersangkutan dengan Jurusan Akuntansi. Sayangnya kondisi perpustakaan ini tidak terawat. Seperti yang dituturkan oleh Karin Faricha, mahasiswa tingkat IV Program Studi Perbankan Syariah. “Keadaan perpustakaan jurusan akuntansi itu pengap, sempit, dan banyak debunya”, ucap Karin. Pengunjung dari perpustakaan jurusan Akuntansi pun juga bisa dihitung dengan jari setiap minggunya.

Ia lebih menyoroti pada koleksi buku yang ada di perpustakaan Jurusan Teknik Sipil. “Perpustakaan jurusan belum ada kemajuan karena buku-buku tentang bangunan Sipil masih minim sekali”, tuturnya. Sampai saat ini masih belum ada upaya dari institusi untuk memperbaiki pengelolaan perpustakaan jurusan supaya lebih baik dari kondisi saat ini. “Sebenarnya dalam rapat yang diselenggarakan beberapa waktu lalu, pihak institusi sendiri juga sudah menyetujui supaya lebih memperhatikan lagi perpustakaan jurusan. Namun belum ada tindakannya”, tutur Sri. Ia pun sudah mengusulkan agar ditempatkan tenaga pustaka agar pengelolaan lebih teratur. Dengan keadaan perpustakaan jurusan yang demikian Afni mengharapkan agar perpustakaan jurusan lebih diperbaiki lagi pengelolaannya. Selain itu ia juga berharap agar almarinya ditambah sehingga buku-buku yang tidak menonjol atau jauh dari pandangan bisa terlihat dan membuat mahasiswa berminat untuk membacanya. Sementara itu Andani Kisworo, Kepala Departemen Perpustakaan Himpunan Mahasiswa Teknik Mesin selaku pengelola perpustakaan Jurusan Teknik Mesin berharap agar pihak institusi lebih peduli dengan keadaan perpustakaan jurusan yang ada. “Saya berharap Ketua Jurusan dan pihak atas (institusi-red) bisa lebih peduli. Dalam pengelolaannya juga kami harap diberikan Pembina, serta dari segi transparansi anggaran perpustakaan agar bisa dimaksimalkan”, ujarnya. []

Berbeda dengan hal tersebut, Afni Ibna Ghoribuddin mahasiswa tingkat akhir Jurusan Teknik Sipil.

edisi 50 | majalah dimensi

33


Pemerintah Resmi Berlakukan UKT Oleh: Gatot Zakaria Manta (reportase bersama Tiara Wintriana dan Hesti Ayu Ambarwati) Design : Annissa Permanasari

Pada tahun pertamanya, Polines menggunakan besaran biaya pendidikan tahun sebelumnya untuk menghitung biaya yang akan dibebankan kepada mahasiswa baru. Pihak institusi beralasan bahwa penggunaan sistem history dilakukanatas saran dari Dikti.

U

ang Kuliah Tunggal (UKT) resmi diberlakukan pada tahun ajaran 2013-2014 untuk pembayaran biaya pendidikan bagi semua Perguruan Tinggi Negeri (PTN), termasuk Politeknik Negeri Semarang (Polines). Melalui Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 2013, semua biaya pendidikan dihitung dalam satu kesatuan dan dibayarkan dalam nominal yang sama setiap semesternya. Peraturan ini berusaha menghilangkan kesempatan dari PTN untuk menaikkan uang kuliah secara sepihak dan biasanya cenderung memberatkan mahasiswa. Dalam pelaksanaannya, mahasiswa dibagi menjadi lima kelompok berdasarkan kemampuan ekonominya. Setiap golongan memiliki nominal pembayaran yang berbeda. Hal ini mencerminkan adanya system subsidi silang

34

majalah dimensi | edisi 50

antar golongan.

Namun benarkah hanya itu esensi dari UKT?

Trinoto Widodo, Kepala Bagian Administrasi Umum dan Keuangan (BAUK) Polines menegaskan jika pemberlakuan UKT membuat pengelolaan keuangan menjadi lebih mudah. “Kami sudah tidak ribet lagi, sebab sekarang ini tidak boleh ada rekening liar. Dulu kan rekening untuk kegiatan awal beda, untuk asuransi beda, tapi sekarang dengan adanya UKT ya satu, rekening resmi�, ujarnya. Kesan positif juga datang dari Zumala Ramadhani, salah seorang mahasiswa angkatan 2013-2014. “Dengan adanya UKT itu lebih menguntungkan mahasiswa. Karena biayanya lebih murah dan apa yang kita bayar sebanding dengan apa yang kita terima�, ujarnya. Hal ini terjadi karena sejalan dengan pemberlakuan


KAMPUSIANA

UKT, Dikti juga memperbesar anggaran untuk Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Negeri (BOPTN) sehingga sanggup menyubsidi Sumbangan Penyelenggaraan Pendidikan (SPP) yang seharusnya juga menjadi elemen biaya pendidikan. Subsidi BOPTN yang diberikan untuk tahun ajaran 2013-2014 dijanjikan meningkat cukup signifikan. Menurut data yang diliris oleh Dikti, dana BOPTN untuk Polines pada tahun 2013 adalah sebesar Rp 5,6 miliar dari total Rp 2,7 triliun dana BOPTN yang digelontorkan oleh Dikti. Peraturan yang berkenaan dengan UKT dari Mendikbud juga menjanjikan bahwa jumlah masing-masing kelompok satu dan dua yang merupakan kelompok dengan keadaan ekonomi terendah, minimal 5 % dari jumlah mahasiswa yang diterima dalam PTN. Namun sebenarnya dampak dari pelaksanaan UKT ini sendiri lebih besar dari kemudahan yang akhirnya dirasakan oleh BAUK ataupun biaya pendidikan yang dirasa semakin murah oleh beberapa mahasiswa. UKT sendiri merupakan satu rangkaian dari peraturan-peraturan yang sebelumnya sudah dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti), diantaranya adalah Surat Edaran Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Nomor 97/E/KU/2013 dan Surat Edaran Dirjen Pendidikan Tinggi (Dikti) No. 272/E1.1/KU/2013. Yang pertama menghimbau pimpinan PTN untuk menghapus uang pangkal untuk program S1 Reguler, sementara surat edaran yang kedua berisi instruksi mengenai besaran UKT terendah dan hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penentuan UKT. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhammad Nuh, mengartikan secara sederhana bahwa dengan UKT berarti mahasiswa hanya membayar uang SPP saja. Namun dalam

prakteknya, penerapan UKT tidaklah semudah itu. Supanto, Kepala Urusan (Kaur) Keuangan Polines menyatakan jika perhitungan UKT didasarkan pada Biaya Kuliah Tunggal (BKT) selama menjalani pendidikan dikurangi BOPTN yang berasal dari pemerintah. Selisih itulah yang kemudian ditanggung oleh mahasiswa dengan lima golongan berbeda. UKT di Polines Pada tahun pertamanya, Polines menggunakan besaran biaya pendidikan tahun sebelumnya untuk menghitung biaya yang akan dibebankan kepada mahasiswa baru. Pihak institusi beralasan bahwa penggunaan sistem history dilakukanatas saran dari Dikti. Sampai saat ini, pelaksanaan UKT masih terus dikawal dan diperbarui.Bahkan sampai saat ini pengembalian sisa UKT masih belum selesai. Dengan adanya pengumuman hasil banding bagi mahasiswa yang mengajukan keberatan atas penggolongan yang dilakukan oleh institusi, maka bisa dipastikan proses pengembalian sisa uang kuliah masih akan berlanjut. Supanto menyatakan jika banding itu sudah final dan tidak akan ada banding kedua. “Untuk data-data dari mahasiswa yang bandingnya diluluskan akan diproses sebelum akhir bulan ini (Desember),” tambahnya. Adanya pengembalian uang kuliah ini dilatarbelakangi oleh keterlambatan Surat Keputusan (SK) dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan berkenaan dengan pelaksanaan UKT. Karena proses penerimaan mahasiswa baru di Polines lebih dulu dilakukan sebelum terbitnya SK tersebut, maka mahasiswa baru yang dinyatakan diterima harus membayar biaya pendidikan sesuai dengan biaya yang digunakan pada tahun sebelumnya.

Kemudian ketika SK tersebut turun dan penggolongan kelompok UKT di Polines sudah ditetapkan, institusi berkewajiban untuk mengembalikan sisa biaya pendidikan yang melebihi UKT masing-masing golongan. Menurut Supanto hal ini tidak hanya dialami Polines, namun juga dialami oleh pendidikan tinggi lain terutama politeknik negeri. Sebab, kebijakan pelaksanaan UKT dilaksanakan secara serentak. Untuk terus mengawasi proses pengembalian uang lebih tersebut, pihak institusi selalu menyosialisasikan setiap perkembangan ke mahasiswa melalui papan-papan pengumuman yang ada di Polines. Karena itu Supanto juga meminta mahasiswa untuk aktif memantau setiap perkembangan yang terjadi. “Mengenai prosedur, sebetulnya sangat sederhana. Mahasiswa tinggal menyetorkan fotokopi bukti pembayaran uang kuliah yang didapat ketika daftar ulang dan juga nomor rekening bank yang dia punyai. Setelah diproses, maka dana akan ditransfer ke rekening masingmasing”, jelasnya mengenai prosedur yang harus dijalani mahasiswa jika ingin mengambil pengembalian sisa uang kuliah. Meski begitu, Supanto tidak memungkiri bahwa proses yang dibutuhkan memang relatif lama sebab banyaknya data yang harus dikaji. “Yang paling ba-nyak adalah dari mahasiswa jalur Ujian Masuk Politeknik Negeri (UMPN), karena mereka adalah jalur penerimaan yang terakhir”, tambahnya. Supanto juga menyatakan bahwa untuk tahun depan, institusi akan melakukan suatu penganggaran sehingga bisa menentukan semua biaya kuliah di awal. Dengan begitu, diharapkan di tahun depan tidak ada lagi pengembalian uang kuliah yang telah dibayarkan.

edisi 50 | majalah dimensi

35


Jurnalisme Tidak Hanya melihat Fakta dari mata tetapi juga dari hati nurani

36

majalah dimensi | edisi 50


UKT Ringankan

SPEAK UP

Mahasiswa

U

Oleh : Windi Agustina Dewi dan Sapto Nugroho Design : Hilmi Imawan

ang Kuliah Tunggal atau yang lebih dikenal dengan istilah UKT akhir-akhir ini marak diperbincangkan di kalangan civitas akademika kampus di Indonesia, termasuk Polines. UKT merupakan sebagian

biaya kuliah yang ditanggung setiap mahasiswa pada setiap semester. Pemberlakuan UKT ini menyebabkan tidak akan ada lagi tambahan biaya apa-

pun selama masa perkuliah­ an. Bagaimana tanggapan mahasiswa Polines mengenai kebijakan baru yang diterap­ kan oleh pemerintah ini? Berikut beberapa komentar dari mereka. []

Menurutku untuk ukuran D3 UKT sudah pas,tidak terlalu banyak namun juga tidak terlalu sedikit. Sistemnya juga bagus, sesuai dengan golongan, dan tentunya lebih meringankan.

| Roni Amir Chamdani | Prodi Teknik Elektro

Aku kurang tahu pasti bagaimana UKT. Yang aku tahu proses penentuannya itu dilihat dari gaji orang tua per bulan, lalu digolongkan. Tapi dengan adanya UKT ini aku juga senang, soalnya lumayan meringankan. Orang tua juga bilangnya alhamdulilah. Selain itu sebagai mahasiswa baru kita jadi seperti dipermudah.

Prodi Akuntansi | Nia Rochayatul Fu’ani |

Aku seneng banget dengan diberlakukannya UKT , kan bisa meringankan orang tua. Lagipula di wilayah Indonesia pendapatan semua orang kan tidak merata. Dengan adanya UKT, orang yang pendapatannya rendah , bebannya jadi tidak terlalu berat. | Ita Wahyu Utami | Prodi Keuangan Perbankan

edisi 50 | majalah dimensi

37


UKT di Polines itu berbeda dengan UKT di universitas. Di Polines lebih me­ringankan. Apalagi bisa mengajukan penurunan dari golongan tiga ke golong­an dua dan satu. Membuka kuota tambahan lagi. Tapi menurutku sistem itu enggak efektif. soalnya selisih dari golongan satu ke dua dan tiga terpaut jauh. Jadinya kan nggak seimbang.

| Feri Setiawati | Prodi Administrasi Bisnis

Menurut saya dengan adanya kebijakan baru ini sangat membantu karena pembayaran bisa dilakukan satu paket. Jadi dengan sistem itu pemerintah bisa me­ ringankan mahasiswa. Karena saya melalui jalur Penelusuran Siswa Berprestasi (PSB), jadi kebijakan seperti itu ada setelah saya membayar uang pendaftaran. Baru setelah itu melalui beberapa syarat, kelebihan pembayarannya dikembalikan. Prodi Teknik Konversi Energi | Septa Mutrisari |

Adanya sistem baru ini ya terima aja. Sistemnya meringankan, jadi nggak ada tambahan – tambahan. Kalau tentang pengembalian, saya nggak dapat soalnya kan saya jalur Ujian Masuk Politeknik Negeri (UMPN). Cuma bayar di golongan tiga pas pendaftaran ulang. Untuk semester selanjutnya tinggal membayar dengan jumlah yang sama. Jadi menurut orang tua saya itu me­ringankan.

| Restra Oki Baskara | Prodi Teknik Konstruksi Sipil

Menurutku bagus dengan adanya sistem UKT tersebut. Mahasiswa yang kurang mampu jadi nggak terbebani dengan biaya kuliah. Apalagi lebih me­ringankan bagi yang kurang mampu, khususnya bagi yang kuliah di Politeknik. Karena menurutku sistem UKT yang diterapkan di Universitas lain masih terasa membebani bagi yang kurang mampu. Prodi Teknik Mesin | M.Choirul Anam |

38

majalah dimensi | edisi 50


semarangan

Jawa Tengah. Alam. Ar Ridho. Khalifah. Bumi. Pendidikan. Sekolah. Siswa. Umum. Sosok. Baca. Warung. Belajar. Sinau. Srikandi. Pejuang. Berbagi. Akademi. Share. Learn. Gratis. Non Formal. Kota. Tugu Muda. Lawang Sewu. Semarang. ATLAS.

edisi 50 | majalah dimensi

39


Akademi Berbagi, 2

“Berbagi Itu Bikin Happy” Oleh: Tiara Wintriana dan Arum Ambarwati | Design : Afrizal Fajar

Sebuah komunitas pun bisa berbagi ilmu kepada sesama. Bagaimana dengan individu kita sendiri, sudah berbagi apa hari ini?

B

erbagi tidak harus berbentuk materi, berbagi ilmu pun bisa kita lakukan. Disamping menambah teman, kita juga menambah pengalaman dan banyak manfaat dari berbagi. Hal ini telah dilakukan oleh sebuah komunitas di Indonesia. Akademi Berbagi. Akademi Berbagi (Akber) adalah komunitas sosial dengan kegiatan berbagi ilmu kepada masyarakat secara gratis. Komunitas yang didirikan oleh Ainun Chomsun (@pasarsapi) ini pertama diselenggarakan pada Juni 2010. Awal mulanya Akademi Berbagi hanya dilakukan di Jakarta. Seiring berjalannya waktu mulailah banyak yang ingin bergabung. Saat ini Akademi Berbagi telah menyebar ke berbagai kota di Indonesia. Sedikitnya ada 38 kota yang kini telah bergabung. Salah satunya adalah Semarang.

“Alasannya sih kita ingin berbagi, karena kita lihat dunia pendidikan Indonesia sekarang semakin mahal”, ujar Lala salah seorang volunteer asal Semarang. Mahalnya biaya pendidikan saat ini adalah salah

40

majalah dimensi | edisi 50

satu alasan adanya Akademi Berbagi. Selain itu Akademi Berbagi juga ingin memberikan ilmuilmu yang tidak akan didapat di bangku sekolah. Lebih khusus, Akademi Berbagi ingin berbagi dengan mereka yang tidak mampu mengenyam bangku pendidikan. Alasan-alasan itu lah yang kini membuat Akademi Berbagi membuka kelas secara rutin di setiap wilayahnya secara gratis. Gratis bukan sembarang gratis. Meskipun gratis komunitas ini tidak sembarangan memilih guru untuk memberikan pelajaran di kelas akber ini. Mereka memilih seseorang yang mumpuni, berkualitas, mampu, dan mau. “Alhamdulillah karena akber ini sudah punya nama, jadi banyak pengisi kelas yang berkualitas, bahkan tanpa diminta pun mereka ada yang menawarkan diri” tambah Lala. Para volunteer Semarang ini bergabung dengan Akademi berbagi pada Maret 2011. Hanya berawal dari 5 orang volunteer, saat ini tercatat 10 volunteer lain telah bergabung. Dalam sebulan mereka biasanya mengadakan dua kali pertemuan (kelas) dengan materi yang berbeda –beda.


1

KOMUNITAS

Menjalankan sebuah gerakan sosial itu tidak mudah, dan semakin besar gerakan tantangan pun semakin berat. Tetapi ketika semua dilakukan dengan senang hati maka tidak ada yang susah di dunia ini. Mari sebarkan virus Akademi Berbagi, karena “Berbagi Bikin Happy”. (akademiberbagi.org)

4

“ foto : Akber

3

Sebutan kelas untuk akber ini bukanlah seperti ruang yang tetap layaknya kelas dalam sekolah. Kelas akber berpindah-pindah, diselenggarakan di tempat yang secara khusus didapat dari sponsor atau mencari tempat yang bebas biaya. Materi yang diangkat pun cukup beragam. Dari fotografi, public speaking, branding, dll. Selama dua tahun ini sedikitnya 62 kelas telah berhasil mereka gelar. Kelas diadakan setiap pukul 19.00 -21.00 dengan publikasi melalui media jejaring sosial, twitter. Jika ingin mengikuti kelas akber peserta harus mendaftar terlebih dahulu melalui info yang ada di akun twitter akademi berbagi Semarang (@ AkberSMG). Akademi berbagi mengombinasikan kegiatan secara online dan offline. Online mereka gunakan sebagai media publikasi melalui akun twitter. Offline mereka gunakan untuk penyelenggaraan kelas yang mereka adakan. “Setiap ada kelas kita

umumkan lewat twitter. Karena bergerak di jejaring sosial, bisa jadi hal itu adalah kekurangan juga untuk kita”, ungkap Lala. Nyaris tak ada tempat khusus yang dijadikan para volunteer ini sebagai kantor, sekretariat, atau semacamnya. Pun Akber Semarang. Jika ingin mengadakan pertemuan antar volunteer untuk membahas kelas selanjutnya, maka mereka cukup berkumpul di sebuah kafe, warung kopi, atau tempat lain yang dapat mereka gunakan untuk berembug. Kedepannya Lala berharap akan ada lebih banyak lagi volunteer dan murid yang bergabung dengan Akademi Berbagi. Sebab, banyak manfaat yang bisa dipetik melalui Akademi Berbagi. Selain ilmu dan wawasan, hal lain yang tak kalah penting adalah teman dan jaringan. Semuanya itu bisa mereka dapat di Akademi Berbagi. []

edisi 50 | majalah dimensi

41


Mengenal Sekolah Alam Ar-Ridho Oleh : Miftahudin dan Ika Putri Raswati | Design : Annissa Permanasari | Foto : Miftahudin

‘‘

Konsep Sekolah Alam adalah sekolah yang pembelajarannya berhubungan dengan alam. Konsep tersebut didasarkan karena manusia diciptakan sebagai kholifah yang memelihara bumi.

42

majalah dimensi | edisi 50

S

iang itu pintu kantor Sekolah Alam Ar-Ridho Nampak tertutup. Padahal jam masih menunjukkan pukul 08.30. Kami sempat berfikir jika sekolah alam Ar-Ridho sedang libur, karena saat itu yang tampak hanya beberapa anak – anak yang sedang bermain. Namun tak berapa lama kami bertemu dengan salah satu guru sekolah alam Ar-Ridho. “Saya Teddi, guru ekskul disini”, tuturnya dengan halus. “Kalau hari Sabtu-Minggu sekolah alam libur mas, ini anak-anak yang ikut ekskul yang ada disini”, tambahnya. Matanya menatap ke arah anak-anak yang sedang beraktivitas. Ia membawa kami untuk mene-mui salah satu guru senior di sekolah alam tersebut. “Saya Ira, guru TK disekolah alam Ar-Ridho”, ucapnya. Kami saling memperkenalkan diri dan dipersilakan duduk di teras gazebo tempat mereka bercengkrama tadi.

Tak lupa ia juga memesankan minuman dan beberapa cemilan untuk kami. Siang itu kami berbincang dengan Ira perihal seluk beluk sekolah alam Ar-Ridho. Gelak tawa sesekali menyelip disela-sela perbincangan. Meskipun cuaca di luar sangat panas, namun di sekolah alam tersebut tetap terasa sejuk lantaran banyak pohon hijau disekeli-lingnya. Ini lebih terlihat seperti taman. Jelas saja, sejauh mata memandang bukan gedung-gedung rapi berjajar yang tertangkap oleh mata, melainkan pepohonan hijau dan arena bermain yang ditata secara tradisional. Bangunan-bangunan kelas juga bukan bangunan tinggi permanen yang berjajar rapi. Namun lebih kepada ruangan kecil sederhana dengan desain unik. Hal tersebut disebabkan karena sekolah ini menitik beratkan kenyamanan. Bukan


PENDIDIKAN

dari kemewahan, namun dari keindahan bernuansa alam. *** Menurut Ira, penggagas berdirinya sekolah alam di Indonesia adalah bapak Lendo Novo. Sekolah alam pertama adalah sekolah alam Ciganjur di Jakarta Barat. Sekarang namanya berubah menjadi Sekolah Alam Indonesia. Kini sekolah alam sudah menjamur hampir di seluruh Indonesia. Termasuk Sekolah Alam Ar-Ridho, di Desa Meteseh, Tembalang, Semarang. Sekolah Alam Ar-Ridho terdiri dari Taman Kanak-Kanak (TK), Sekolah Dasar (SD), dan Sekolah Menengah Pertama (SMP). Ira juga menuturkan bahwa konsep Sekolah Alam adalah sekolah yang pembelajarannya berhubungan dengan alam. Konsep tersebut didasarkan karena manusia diciptakan sebagai kholifah yang memelihara bumi. Maka didirikanlah sekolah yang pembelajarannya berkaitan dengan alam agar para siswa paham bagaimana alam diciptakan, untuk apa alam dikelola dan dampak jika alam tidak dikelola. Selain itu mereka juga diajarkan cara memanfaatkan alam dengan sebaik-baiknya.

Para siswa serius melaksanakan kegiatan belajar di kelas

“Nah itu, maksudnya tujuan awal sampai tujuan akhir geraknya manusia ya hidup di sini untuk mengelola alam. Makanya didirikan sekolah alam”, terang Ira bersemangat.

Misalnya ketika anak belajar tentang serangga, mereka akan menangkap sendiri binatangbinatang yang mereka anggap serangga yang ada di sekitar sekolah. Kemudian mereka mencocokan ciri-ciri serangga yang mereka tangkap dengan yang tertera pada buku referensi. Dengan begitu, anak bisa tahu langsung binatang apa saja yang termasuk serangga melalui pengalaman berinteraksi langsung, bukan melalui buku referensi saja. “Sistem pembelajaran di sini itu dasanya kongkrit, tidak abstrak. Anak diajak menemukan sendiri kepahamannya. Anak tidak didulang, tapi mencari sendiri kemudian dicocokkan pada referensi”, jelas Ira.

Sistem pembelajaran di sekolah alam berbeda dengan sekolah umum. Di sekolah alam siswa dilibatkan langsung dengan alam. Awalnya anak belajar melalui alam terlebih dahulu. Selanjutnya siswa akan mencocokan pengalamannya dengan referensi yang ada di buku.

Sekolah alam juga memiliki penilaian yang berbeda. Tidak ada sistem rangking di Sekolah Alam. Semua anak dianggap sama. Sekolah Alam tidak menilai kecerdasan anak hanya sebatas melalui nilai. Prinsip kami, semua anak itu punya kelebihan dan kekurangan yang berbeda-

beda. “Ibaratnya jika katak itu dari sananya pintar melompat jangan diajarin terbang. Dia tidak akan bisa terbang”, canda Ira sambil tertawa. Para siswa di Sekolah Alam juga tidak menggunakan seragam, mereka mengenakan pakaian bebas. Hal tersebut sengaja dilakukan untuk mempermudah para guru untuk mengetahui tipe-tipe anak dari cara berpakaiannya. “Misal ada anak perempuan yang gayanya agak tomboi, kita tidak bisa memaksanya menggunakan rok. Karena itu akan membatasi ruang geraknya, di sini yang penting menutup aurat”, ujar Ira. Mengenai persaingan dengan sekolah umum atau konvensional, Sekolah Alam tetap mampu mengimbanginya. “Sekolah alam sama dengan sekolah biasa. Kami juga mengikuti Ujian Nasional. Hanya di sini sistem pembelajarannya kita lebih membentuk karakter bukan ke kognisi nilai.” Ungkap Donny,

edisi 50 | majalah dimensi

43


salah satu guru Sekolah Dasar di Sekolah Alam. “Selain itu kami juga ada pelajaran tambahan (PETA) itu semacam les untuk pembahasan soal-soal UN. Karena meskipun sistem di Sekolah Alam berbeda, tapi kita juga masih terikat dengan UN untuk kelulusan siswanya. Jadi untuk mendongkrak itu kita mengadakan strategi untuk memperlancarnya melalui PETA”, tambahnya. Saat berkeliling menikmati suasana di Sekolah Alam, kami juga menemui beberapa orang tua murid yang sedang duduk menunggu anaknya. Salah satunya adalah Pak Akmal, ayah dari siswa yang bernama Alit. “Dulu waktu habis pindah, saya masih nyari sekolah-sekolah untuk Alit. Setelah cari-cari sepertinya kok tertarik dengan metode pembelajaran sekolah alam, makanya saya masukkan si Alit ke Sekolah Alam”, ungkapnya. “Kalau kekhawatiran sebenarnya ada, tapi tetap saja kalau masalah persaingan dengan sekolah konvensional saya kira semua kembali lagi keanaknya masingmasing”, tambahnya. Selain itu, Bu Dwi, orang tua dari Farhan kelas 6 SD dan Fatin kelas 3 SD, mengaku sengaja menyekolahkan anaknya di Sekolah Alam. “Memang dari awal saya ingin menyekolahkan anak saya di sini. Awalnya saya tahu dari teman saya yang menyekolahkan anaknya di sini. Kemudian saya diberitahu perbedaan Sekolah Alam dengan sekolah umum. Akhirnya saya tertarik dengan Sekolah Alam. Selain itu juga melihat sistem pengajarannya yang berbeda dengan sekolah umum. Di sini anak belajar, tapi tidak tertekan. Guru-gurunya juga memperlakukan murid sesuai dengan karakteristik kepribadian, jadi gurunya itu tahu

44

majalah dimensi | edisi 50

Siswa memainkan alat musik

Siswa sekolah alam Ar-Ridho

anak ini mesti didukung potensi yang anak miliki.” Ungkapnya yakin. Kami juga menemui Chandra, siswa kelas 6 SD yang sedang duduk di gazebo sembari bermain gadgetnya. “Sekolah

disini itu enak, jarang ada PR, terus tasnya juga nggak berat. Aku juga betah kalau disuruh berlama-lama disini sambil main-main”, ungkapnya bersemangat.


PROMOTE YOUR ADS HERE ! Hamid : +6285 640 444 206 Koko : +6285 740 671 736

edisi 50 | majalah dimensi

45


Tirta Nursari : Srikandi Pendidikan dari Kabupaten Semarang Oleh : Dwiki Ilham Ramadan | Design : Tim Layout | Foto : Dwiki Ilham Ramadan

U

ngaran di selimuti hujan malam itu. Saya menelusuri jalan setapak menuju sebuah tempat. Aroma pedesaan terhirup begitu kentara di tempat tersebut. Saya mendengar seorang anak kecil sedang membaca buku dan seorang wanita paruh baya sedang menuntun anak tersebut membaca. “Tempat yang sedang saya tuju sudah tidak jauh lagi”, pikir saya. Sesampainya di sumber suara tersebut saya langsung disambut dengan hangat oleh wanita paruh baya tersebut. Bu Tirta begitu orang sekitar memanggil. Tirta Nursari adalah nama lengkap beliau, “srikandi” pendidikan yang berjuang mendirikan sekaligus mengelola Taman Bacaan

46

majalah dimensi | edisi 50

Masyarakat (TBM) Warung Pasinaon di Desa Bergas Lor, Kecamatan Bergas, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah. Walau bukan dilahirkan dari keluarga kaya, namun Tirta tak kehabisan cara untuk memberikan dedikasi bagi lingkungan sekitar.“Saya pernah merasakan bagaimana sulitnya membayar SPP sekolah, sulitnya mencari beasiswa untuk kuliah dan memakan gereh bakar sebagai sarapan”, ungkap ibu dua anak tersebut. Tirta kecil diajarkan untuk peka terhadap lingkungan, selalu berbagi terhadap sesama dan selalu memberikan kasih sayang terhadap anak kecil. “Saya beruntung karena orang tua saya peduli terhadap pendidikan saya, namun sekarang ini di daerah saya, banyak ibu-ibu harus bekerja di pabrik sedangkan anaknya di rumah sendirian”, terang Tirta. “Maka dari situ adalah ketukan bagi saya untuk berdedikasi sesuai dengan yang saya bisa dan saya sukai”, lanjut wanita yang lahir di Brebes, 7 maret 1973 tersebut. Bagi Tirta, keuntungan itu tak selamanya berbentuk materi. “Ketika saya melihat ada anak yang baru bisa membaca berkat belajar di sini, saat mereka (anak-anak-red) mendapatkan nilai bagus karena ada di sini, dan ketika mereka tidak mendapatkan pelukan di rumah dari ibunya saat


‘‘

SOSOK

“Walau bukan dilahirkan dari keluarga kaya, namun Tirta tak kehabisan cara untuk memberikan dedikasi bagi lingkungan sekitar”.

pulang mereka sudah tidur tapi mereka bisa mendapatkan pelukan di sini, itulah keuntungan bagi saya”, terang Tirta.

dihitung-hitung sudah empat kali pindah, dan yang kelima akhirnya bisa dilakukan di rumah saya”, ujar Tirta.

Baginya, keuntungan juga tidak hanya dapat dihitung secara nominal. Sesuai dengan yang selalu diajarkan oleh ibunya, berbagi merupakan hal yang sangat menyenangkan. Ia mendapatkan keuntungan batiniah setelah dapat berdedikasi terutama di wilayah sekitar.

Dengan keterbatasan dana Tirta berusaha membangun dan mengelola Warung Pasinaon. “Jalan rezeki ada saja, dari mula saya ngumpulin dana dan dimulai pada tahun 2009 banyak yang melirik kegiatan kami dari perpustakaan daerah mensupport untuk menyumbangkan buku untuk Warung Pasinaon ini dan banyak warga sekitar turut membantu”, ungkap Tirta.

Usahanya dalam membangun Warung Pasinaon diawali pada tahun 2007 tidaklah lancar. Tempat untuk mengajar adalah salah satu masalah yang menghambat. Ia mengajar berpindah-pindah, dari mushola, ruang tamu tetangga sampai garasi tetangga. Barulah pada tahun 2009 Tirta mampu membangun rumahnya sehingga dapat digunakan sebagai tempat untuk mengajar di Warung Pasinaon sampai sekarang. “Kalau

Awalnya hanya sekitar 14 anak yang mau belajar, namun sekarang bisa mencapai 200 anak dari usia taman kanak-kanak hingga SMA. Mereka umumnya datang setelah jam sekolah usai, sekitar pukul 12.30 dan berakhir hingga malam hari. Tirta mengaku, dirinya merasa perlu terus bersyukur atas anugerah yang diberikan oleh

Tuhan Yang Maha Esa akan hal tersebut. Kini walaupun telah memiliki Warung Pasinaon, Tirta masih memiliki mimpi besar untuk memiliki sebuah sekolah dengan laboratorium khusus. Kelak sekolah itu akan ia namakan “laboratorium kehidupan”. Di sekolah itu, ia bercita-cita tak akan ada lagi batasan umur untuk mereka yang mau belajar. Tirta berpendapat bahwa membaca dan menulis merupakan salah satu jalan keluar bagi kemiskinan dan keterbatasan. “Taman bacaan dan perpustaakan itu tidak hanya berkutat pada buku, menulis, dan membaca. Tetapi, bagaimana menulis dan membaca itu dapat mempengaruhi seseorang, termasuk menyelesaikan PR kita menghadapi kemiskinan dan keterbatasan”, ungkap Tirta. Tak hanya anak-anak, tetapi kaum ibu pun belajar di TBM Warung

edisi 50 | majalah dimensi

47


Pasinaon. Ibu-ibu tersebut mengikuti program pemberantas buta aksara. Tirta pun menggagas lahirnya sebuah media untuk para ibu agar mereka dapat terus mengasah kemampuan baca tulisnya. Tirta berhasil membuat ibu-ibu rutin mengunjungi TBM Warung Pasinaon sekadar untuk membaca koleksi buku maupun untuk mengasah kemampuan baca tulis. �Nyaris semua perempuan di desa ini hampir kehilangan kemampuan membaca dan menulis mereka karena tidak pernah digunakan. Di TBM, saya membangkitkan semangat mereka untuk kembali memaksimalkan kemampuannya�, kata Tirta yang juga aktif mengajak kaum ibu belajar komputer. Tirta pun mengajak ibu-ibu yang hobi bergunjing untuk mengubah pandangan dengan berani menanyakan kebenaran bahan gunjingan langsung kepada orang yang dimaksud. Tanpa mereka sadari, cara Tirta ini membuat penyebar gosip menjadi berkurang, dan menggiring para perempuan memiliki pikiran positif. Kini halaman rumah Tirta menjadi redaksi Koran Pasinaon yang setiap harinya selalu dipenuhi ibu-ibu pembuat artikel. Para wartawan itu menulis di kertas sobekan buku tulis, lalu dikumpulkan di sebuah kotak. Dari kotak itu, Tirta menyunting dan memilih sendiri materi yang akan diterbitkan. Menurut Tirta, selayaknya kepedulian itu dipupuk sedari kecil. “Ketika kalian masih mahasiswa itulah saat di mana kalian masih memiliki taring yang sangat kuat dan sayap yang sangat lebar untuk merangkul semua. Jadi jangan buang waktu, salah satunya adalah ayo berbagi dan ayo melakukan sesuatu yang lebih berguna bagi orang lain�, pungkas Tirta. []

48

majalah dimensi | edisi 50


travelogue

Wisata. Hang Out. Jalan-Jalan. Kawah. Dingin. Gunung. Kuliner. Lamongan. Purwokerto. Boran. Nasi. Kaki Lima. Sayur. Urapan. Lumpia. Jumbo. Enak. Harga. Tradisi. Lebaran. Kurban. Tetangga. Refresh.

edisi 50 | majalah dimensi

49


BACKPACKER

CATATAN PERJALANAN

KAWAH KAMOJANG Oleh: Devi Okta via

ningtyas | Desig

n : Hilmi Imawan

Perjalanan ini adalah perjalanan pertama saya menuju tempat yang jauh sendirian. Tujuan saya adalah Kawah Kamojang di area perbatasan 足 Bandung - Garut. Lebih tepatnya berada di Gunung Guntur atau yang saat ini biasa disebut dengan Gunung Kamojang.

Minggu, 9 Juli 2013 Saya berangkat dari Semarang. Sebelumnya dari Jatingaleh saya menuju Stasiun足 19.00 足Tawang menggunakan bus kota dengan ongkos Rp 4 ribu. Sesampainya di Stasiun Tawang , saya menunggu kedatangan kereta Harina yang akan membawa saya menuju Bandung. Ongkosnya sebesar Rp 175 ribu.

20.45

Kereta yang saya tunggu tiba dan kereta berangkat pukul 20.55 menuju ke stasiun kota Bandung.

Senin, 10 Juli 2013 sampai di stasiun kota Bandung dan memutuskan istirahat sebentar untuk solat 05.00 Saya subuh. Sebelum melanjutkan perjalanan, saya sempatkan mengisi perut dengan sepotong roti seharga Rp 5 ribu untuk sarapan. Setelah merasa kenyang dan badan terasa segar, saya menuju terminal Cicaheum menaiki angkutan tujuan Gede Bage dengan ongkos sebesar Rp 3 ribu. Namun, saya tidak turun di Gede Bage. Menurut arahan dari sopir angkutan, saya diturunkan di halte tempat menunggu bus Damri untuk melanjutkan ke terminal Cicaheum. Hanya menunggu sekitar 5 menit bus Damri yang saya tunggu tiba dan mengantarkan saya hingga sampai ke Terminal Cicaheum ongkosnya sebesar tiga ribu rupiah juga.

50

08.00

Sesampainya di Terminal Cicaheum, saya segera menaiki bus jurusan Garut yaitu bus Mios. Setelah bangku bus terisi penuh, sopir menginjak pedal gasnya dan mengawali perjalanan di pagi hari yang cerah menuju Terminal Taragong Garut Jawa Barat.

11.00

Saya melanjutkan perjalanan dengan menggunakan angkutan kota menuju ke 足Samarang dengan ongkos enam ribu rupiah. Perjalanan dari Terminal Taragong menuju Samarang membutuhkan waktu 60 menit.

majalah dimensi | edisi 50


Foto : Dok. Pribadi

12.00

Saya kembali melanjutkan perjalanan menuju ke daerah Kamojang. Namun, ada hal yang cukup mengejutkan bagi saya ketika sampai di Samarang. Tidak ada angkutan kota yang menuju ke Kamojang . Ketika saya bertanya kepada orang sekitar, mereka me足 nyarankan saya untuk menaiki angkutan sayur. Tanpa berpikir panjang saya memutuskan untuk menaiki angkutan sayur, yaitu kendaraan pick up dengan penutup di bagian belakangnya. Dan ada tempat duduk menyamping yang dapat digunakan orang-orang untuk duduk. Perjalanan dari samarang menuju Kamojang sangat menyenangkan. Perjalanan ini melewati sawah hijau di sepanjang jalan yang naik turun dan berkelok-kelok. Udara sekitar pun sangat segar dan dingin meskipun saat itu menunjukkan pukul 12.00 siang. Sepanjang perjalanan angkutan sering berhenti untuk mengangkut dan menurunkan sayuran dari sawah. Banyak juga warga dari desa Kamojang yang ikut naik angkutan tersebut, dan rata-rata mereka pulang dari pasar Samarang untuk membeli kebutuhan mingguan mereka. Hal ini karena di daerah Kamojang jarang pedagang dan jauh dari kota maupun pasar. Satu-satunya pasar terdekat adalah pasar Samarang dan itu membutuhkan waktu 45 menit untuk sampai.

13.00

Setelah satu jam, saya sampai di desa Kamojang tempat dimana saya akan beristirahat sebentar sebelum akhirnya melanjutkan perjalanan menuju kawah kamojang. Sesampainya di desa tersebut saya tidak sendiri lagi karena ada 3 sahabat saya sudah menanti. Mereka adalah Danar dan Moko dari Universitas Indonesia dan Dika dari Institut Teknologi Telkom. Kami berempat menuju rumah pak Yayan, salah satu warga di desa kamojang. Di rumah pak Yayan lah kami mandi, beribadah, beristirahat dan makan siang.

14.30

Badan sudah bersih, segar dan perut sudah terasa kenyang. Kami melanjutkan perjalanan menuju kawah kamojang dengan berjalan kaki dari desa yang kami singgahi.

edisi 50 | majalah dimensi

51


Foto : Dok. Pribadi

15.30

Dibutuhkan waktu 1 jam untuk sampai ke kawah pertama yaitu kawah berecek. Kawah berecek adalah kawah yang berada di depan pintu masuk area kawah kamojang. Kawah ini indah dengan asap yang selalu mengepul di beberapa titiknya. Untuk melihat kawah selanjutnya kami harus membayar biaya masuk sebesar 5 ribu rupiah. Akhirnya kita sampai di kawah kedua, yaitu kawah kereta api yang terkenal dengan suara bisingnya. Kawah ini dinamakan kawah kereta api karena selalu mengeluarkan suara seperti suara uap keluar dari cerobong kereta api. Sungguh luar biasa ciptaan Tuhan yang diperlihatkan kepada kita. Sesudah mengambil gambar dan menikmati suara serta keindahan kawah kereta api kami melanjutkan naik ke kawah ketiga. Kawah ketiga cukup jauh dari kawah kereta api , melewati hutan dan hanya ada jalan setapak selebar 50 cm. Namun perjalanan ini lah yang menyenangkan, karena kami dapat melihat pohon-pohon tinggi menjulang dan mendengarkan suara jangkrik dari sekeliling. Butuh waktu 10 menit untuk kita sampai di kawah ketiga yaitu kawah hujan. Kawah hujan ini menimbulkan percikan air dari atas karena adanya pertemuan antara uap panas dan udara dingin di sekitarnya. Sehingga kawah ini disebut kawah hujan.

17.00

Hari sudah mulai terlihat gelap, karena kanan kiri hutan dan matahari mulai tenggelam. Kami tidak dapat mendirikan tenda di hutan sekitar kawah karena tidak memperoleh ijin dari petugas. Selain itu di hutan itu masih terdapat banyak binatang buas yang keluar ketika malam hari. Saatnya kami untuk segera pulang ke rumah pak yayan untuk menginap dan keesokan harinya melanjutkan kegiatan kami.

Foto : Dok. Pribadi

Sungguh perjalanan ke kawah kamojang yang menyenangkan dan penuh pengalaman. Perjalanan yang panjang terbayarkan dengan keindahan alam yang disajikan. []

52

majalah dimensi | edisi 50


KULINER

Yang Lebih Khas dari Lamongan: Sego Boran Oleh : Gatot Zakaria Manta | Design : Tim Layouter | Foto : Gatot Zakaria Manta

BEBERAPA hari setelah lebaran, saya menyempatkan diri untuk pergi ke Lamongan Plaza yang terletak di jalur pantura. Bukan ingin berbelanja, namun niat saya adalah untuk mencicipi kuliner khas Lamongan, kota kelahiran saya. Selain soto dan tahu campur yang merupakan kuliner asli Lamongan, ada satu lagi makanan asal Lamongan yang juga nikmat, yaitu Sego Boran. Bedanya adalah jika soto dan tahu campur sudah bisa ditemui di daerah lain, maka Sego Boran hanya bisa ditemui di Kota Lamongan. Sesuai namanya, nama Sego Boran sendiri telah menggambarkan ciri khas dari kuliner tersebut. Berasal dari Bahasa Jawa: Sego yang berarti nasi dan Boran yang merupakan sebutan bagi wadah bagi nasi tersebut yang terbuat dari anyaman bambu. Seorang penjual Sego Boran yang saya temui, Yu Sih—begitu dia biasa dipanggil—berkata jika Boran tersebut khusus dia pesan dari sebuah desa di Lamongan yang disebut Kaotan. Hal yang senada juga saya dapatkan dari beberapa penjual Sego Boran yang mangkal di belakang Lamongan Plaza sore itu. Mereka beralasan jika penggunaan boran itu selain sebagai ciri khas, juga untuk menambah aroma sedap pada nasi yang dijual. Meskipun hanya bisa ditemui di Kota Lamongan, namun jangan harap Sego Boran bisa dijumpai di restoran atau warung yang banyak tersebar di Lamongan. Ciri khas lain dari makanan ini adalah hingga saat ini, Sego Boran masih mempertahankan karakternya sebagai jajanan kaki lima. Maka tak heran jika penjual Sego Boran bisa dengan mudah ditemui di pinggir-pinggir jalan dan pusatpusat keramaian. Khusus untuk penjual Sego Boran yang saya temui di Lamongan Plaza sore itu, merupakan program pembinaan kaki lima yang dilakukan Pemerintah Kabupaten Lamongan. Rasa khas Sego Boran berasal dari sambalnya yang berasal dari aneka bumbu yang sebenarnya sering dijumpai di dapur, seperti bawang putih, bawang merah, kemiri, dan lain sebagainya. Namun untuk sambal ini menggunakan cabai dengan porsi yang lebih banyak dan dengan tingkat kekentalan yang cenderung encer. Biasanya disajikan dengan rempeyek dan krawu atau parutan kelapa yang telah dibumbui sedemikian rupa dalam bungkus sederhana berupa koran dan daun pisang. Sementara untuk lauknya, pembeli bisa memilih sendiri lauk yang ingin ditambahkan, seperti ayam goreng, ikan goreng, telur, sate usus, dan daging. Pemilihan lauk inilah yang kemudian mempengaruhi harga jual Sego Boran. Sebagai contoh, sore itu saya memilih telur dadar sebagai lauk Sego Boran dan harus membayar Rp 5 ribu. Sementara seorang pembeli lain, mesti merogoh kocek sebesar Rp 6 ribu untuk sepasang cakar ayam. Yu Sih juga menambahkan, “Saya lebih suka kalau Sego Boran nggak dijual sembarangan, Mas. Jadi kalau ingin makan Sego Boran ya silakan datang ke Lamongan.� Kali ini saya mengangguk. Dalam hati, saya setuju dengannya. Barangkali juga boleh dipertimbangkan untuk mengubah sebutan Lamongan Kota Soto menjadi Lamongan Kota Sego Boran, makanan yang lebih mencirikan kota itu.

edisi 50 | majalah dimensi

53


Lumpia Boom

Oleh: Badra Nuraga | Design : Tim Layouter | Foto : Badra Nuraga

L

umpia. Makanan khas Semarang ini tentu sudah tidak asing lagi ditelinga kita. Tapi pernahkah anda mendengar Lumpia Boom? Mungkin untuk mahasiswa asal Purwokerto dan sekitarnya sudah tak asing lagi dengan makanan tersebut. Ya, makanan ini adalah salah satu kuliner terkenal di Purwokerto. Sesuai dengan namanya, lumpia ini berukuran besar. Bahkan mencapai 4-5 kali dari ukuran lumpia khas Semarang. Lumpia ekstra besar ini juga mempunyai berbagai macam rasa seperti ayam, cumi, ati-ampela, jamur dll. Untuk isiannya sendiri lumpia ini tergolong unik yaitu sesuai rasa yang dipesan yang dipotong kecil-kecil. Lumpia Bom ini digemari masyarakat Purwokerto, terutama di kalangan mahasiswa. Hal ini dikarenakan Lumpia Bom tidak hanya untuk camilan saja, melainkan juga sebagai teman makan nasi. Makanan ini biasa disajikan dengan sambal. Rasa ekstra pedas dari sambal yang ditonjolkan serta kombinasi antara nasi, lalapan dan potongan lumpia akan membangkitkan selera makan bagi siapa saja yang melahapnya. Untuk yang suka pedas sangat direkomendasikan mencoba makanan ini. Dari berbagai Lumpia Bom yang dijual di Purwokerto, yang terkenal adalah Lumpia Bom Kedai Extra Pedas. Kedai ini sudah tersebar di pulau Jawa seperti Jakarta dan Jogja. Bagi Anda yang ingin mencoba, Lumpia Bom di Purwokerto bisa Anda jumpai di daerah sekitar Universitas Jendral Soedirman, Purwokerto, Jawa Tengah. Untuk menikmati satu porsi lumpia beserta nasi dan es teh, Anda hanya perlu merogoh kocek lima belas ribu rupiah. Selamat mencoba. []

54

majalah dimensi | edisi 50


TRADISI

Kondangan:

Sekadar Definisi Lain

ia Zakar Gatot sign : : h e l O De asi & n Ilustr a w a Im Hilmi

U

mumnya, kondangan diartikan sebagai kunjungan dalam sebuah hajatan, entah pernikahan, khitanan, atau hajatan lainnya. Kosakata ini sudah lazim digunakan dan tak hanya terbatas di wilayah tertentu saja. Apalagi di masyarakat Jawa, tradisi kondangan erat hubungannya dengan hubungan antara satu dengan yang lain, tanpa tersekat perbedaan antara kalangan atas maupun menengah ke bawah. Bukankah tak asing ketika Anda melihat adegan di televisi atau film yang menggambarkan orang-orang kaya berpakaian batik atau kebaya bersiap menghadiri suatu undangan dan mereka sendiri menyebutnya sebagai kondangan? Namun selain definisi di atas, kondangan juga memiliki pengertian yang lain—jika tak bisa disebut berbeda. Jika Anda bersedia datang ke kampung halaman saya di Lamongan, Jawa Timur, setiap menjelang Ramadan dan dua Hari Besar Islam, Anda akan menemukan sisi lain dari pengertian kondangan yang saya maksud. Jika beruntung, pada

M

malam hari di awal dan akhir bulan Ramadan serta pada malam takbiran Idul Adha, Anda akan melihat para lelaki singgah dari satu rumah ke rumah yang lain, sambil menenteng bungkusan plastik yang berisi nasi dan aneka jajanan. Khusus untuk awal Ramadan sendiri, masyarakat sering menyebut dan menyandingkan istilah kondangan dengan megengan. Megengan adalah tradisi yang kerap dilakukan oleh masyarakat Jawa—khususnya Jawa Timur— dalam menyambut bulan Ramadan. Kata megeng sendiri berarti menahan dalam Bahasa Jawa. Dibutuhkan keberuntungan tersendiri untuk bisa melihat tradisi kondangan ini. Ketika pulang kampung di akhir Ramadan pada Juli 2013 lalu, saya berharap juga akan menjadi bagian dari tradisi ini. Namun siapa sangka, ketika malam takbiran Idul Fitri tradisi itu tiba-tiba tidak diadakan. Menurut ibu saya, kondangan telah dilakukan di awal Ramadan yang lalu. Malam itu ibu saya memang membuat nasi uduk, lengkap dengan urap-urap, sambal goreng, dan aneka lauk. Namun, tidak ada

edisi 50 | majalah dimensi

55


tamu yang diundang ke rumah. Bapak saya pun tidak pergi kemana-mana selain ke masjid untuk takbiran. Kondangan ditiadakan. Alasannya? Ada satu kepala keluarga yang sedang sakit dan dia tidak mempunyai lelaki lain untuk mewakilinya berkunjung dari rumah ke rumah. Akhirnya jajanan kondangan hanya diantarkan dari rumah ke rumah. Saya juga mendapat tugas untuk itu.

yang dimasukkan dalam besek plastik dibagikan—di kampung saya, jajanan ini disebut berkat—para lelaki mengobrol ngalor-ngidul tentang banyak hal, mulai dari bola hingga urusan anak-anaknya. Namun yang menempati puncak trending topic tetap obrolan mengenai urusan pertanian. Khusus untuk saya, karena mereka mengetahui bahwa saya kuliah di luar kota, pertanyaan untuk saya tak jauh dari urusan kuliah.

Memang begitulah tradisi. Dan seperti tradisi-tradisi lain yang terancam hilang, hal yang sama juga mengancam tradisi kondangan di kampung saya. Namun kadang, bukan pengaruh modernisasi ataupun kepribadian setiap individu yang cenderung egois, melainkan keunikan-keunikan tradisi itu sendiri yang berusaha untuk dipertahankan. Penyebab batalnya kondangan di malam takbiran itu adalah salah satu contohnya. Ketika saya bertanya pada Bapak saya, mengapa tidak menyuruh si istri untuk mewakilinya, beliau malah balik bertanya, “Kondangan itu acara senang-senang, apa menurutmu etis kalau seorang istri bersenang-senang sementara suaminya sedang sakit?”, tanya beliau. Saya diam, lalu melihat seorang perempuan yang sedang menata nasi dan jajanan dalam besek plastik. Ibu saya itu pasti juga punya pandangan yang sama.

Setiap sesi kondangan berlangsung kira-kira antara 15-20 menit. Dan setiap pulang dari rumah tetangga, saya selalu menyempatkan pulang untuk menaruh berkat. Ketika kondangan itu berakhir, keluarga saya mendapatkan 13 berkat dari 13 rumah yang berbeda. Isinya beragam. Ada yang memilih memasak nasi kuning atau ketan, dibandingkan nasi uduk. Selain itu ada juga yang sempat membuat kue cucur dan apem, seperti yang sempat saya dapati di beberapa besek.

Karena tidak ada kondangan menjelang Idhul Fitri, maka saya putuskan untuk kembali pulang saat menjelang Idhul Adha. Kali ini saya sangat berharap tradisi kondangan kembali digelar. Malam itu ketika takbiran Idul Adha, saya tidak ikut bertakbiran ke alun-alun kota seperti tahun-tahun sebelumnya. Bapak saya sudah mengizinkan, saya akan mewakili beliau untuk menghadiri kondangan malam itu. Saya duduk di teras, alih-alih mengundang tetangga sekitar untuk datang. Alasannya sudah saya ketahui jauh sebelumnya: di lingkungan kampung, Bapak saya termasuk yang sudah tua, sementara cukup banyak tetangga yang umurnya di bawah beliau. Undangan dari rumah pertama, berasal dari rumah paling timur dari lingkungan RT saya. Meski tujuan dari tradisi ini sebenarnya adalah menyambung tali silaturahim, namun undangan yang diberikan biasanya hanya mencakup satu RT saja. Di kampung saya contohnya, ada dua puluhan RT, berarti ada dua puluh kegiatan serupa pada malam yang sama. Setiap kunjungan, umumnya berisi senda gurauan dan cengkerama satu sama lain. Sebelum jajanan

56

majalah dimensi | edisi 50

Tradisi kondangan sendiri, barangkali lebih seperti kenduri sebenarnya. Tuan rumah memanggil tetangga untuk menghadiri perayaan tertentu. Namun, kondangan yang saya ikuti ini telah meluaskan definisi dari kondangan itu sendiri. Pendapat itu diamini oleh Bakri, Ketua RT setempat yang berusia sekitar lima puluh tahunan—seperti Bapak saya dan lazimnya warga kampung, Bakri juga tak pernah tahu tanggal lahir dan umurnya. “Kondangan ya kenduri itu,” katanya. “Kalau ada orang kawin, namanya kondangan. Kalau ada megeng dan riyoyo (Hari Raya Idul Fitri atau Idul Adha) namanya juga kondangan. Tak ada bedanya. Intinya kan tetep silaturahim”, lanjutnya. Seperti tertarik dengan pernyataan saya bahwa kondangan sama dengan kenduri, ketika kondangan beralih ke rumahnya, dia lebih sering berbincang mengenai kondangan. “Tak ada yang tahu sejak kapan dimulai,” ujar Bakri ketika saya bertanya mengenai kapan dimulainya tradisi kondangan, “dan itu tak jadi masalah. Ora penting. Yang penting itu, masyarakat guyub (rukun) dan bisa saling memberi. Ini kan juga buat menyambut riyoyoan (berlebaran)” Saya sependapat dengannya. Kondangan memang suatu tradisi yang baik dan sarat nilai sosial. Ada ajaran saling berbagi yang tersurat dan seperti yang dikatakan oleh Bakri: silaturahmi. []


incognito

Unidentified. Unknown. Acak. Film. Buku. Resensi. Bingkai. Foto. Badut. Lucu. Papua. Surga. Sket. Bebas. Opini. Sastra. Dongeng. Cinta. Dims. Kang Prof. Special. Whatever. Incognito.

edisi 50 | majalah dimensi

57


58

majalah dimensi | edisi 50


RESENSI BUKU

Dijual cepat: S U R G A! Oleh : Tri Mayasari Putri Design : Herlambang Setoaji

Jud Pintu H ul armon ika P e n ulis Clara Ng & I cha Pener Rahmanti bit PlotPo int Pub lis Tebal hing 307 h alam Cetak an an Pertam a, Jan uari 20 13

Punyakah kamu surga di Bumi? Tempatmu merasa bebas, terlindungi dan begitu bahagia hanya dengan berada di situ?

R

izal, Juni, dan David memiliki beberapa kesamaan. Mereka bertiga sama-sama tinggal di ruko yang berdekatan. Tak terduga, mereka sama-sama menemukan sebuah tempat yang membuat mereka merasa nyaman dan mereka menyebut tempat itu sebagai surga. Buka pintu harmonika, berjalan mengikuti sinar matahari, dan temukan surga. Surga yang tersembunyi di belakang ruko tempat tinggal mereka adalah sebuah tanah kosong yang tenang, tapi mampu menyimpan banyak kenangan. Masalah muncul ketika plang bertuliskan “Dijualâ€? ditemukan di atas tanah tersebut. Merasa tak rela surganya direnggut, Juni dan Rizal merencanakan sebuah misi untuk menyelamatkan surganya. Rencana pertama gagal. Dan rencana kedua membuat mereka dicurigai oleh satpam kompleks. Selain masalah surga, mereka juga dihadapkan dengan masalah pribadi masing-masing yang berbedabeda. Rizal dengan terbongkarnya pencitraan palsu yang ia buat di blognya, Juni yang diskors gara-gara suka membully adik kelasnya, dan David yang merasakan perubahan sikap mamanya serta adanya beberapa temuan-temuan aneh di sekitar rumahnya. Cerita dalam buku ini disampaikan melalui tiga sudut pandang. Semuanya ditulis dalam bentuk catatan harian. Yang pertama yaitu Jur­nal (Bukan Diary) milik Rizal Zaigham Harahap, seorang siswa

edisi 50 | majalah dimensi

59


P I N T U H A R M O N I K A

SMA yang populer di kalangan para cewek. Ia juga blogger yang cukup terkenal dan mempunyai sekelompok fans yang bernama Rizal's Angels. Melalui blognya, Rizal menceritakan dirinya sebagai seorang anak orang kaya yang sering jalan-jalan ke luar negeri, ganteng dan bertubuh bagus. Padahal ia hanya anak pemilik toko kelontong galon air minum dan tabung gas. Masalah muncul saat Cynthia, teman yang ditaksirnya mengetahui keadaan Rizal yang sebenarnya. Yang kedua yaitu Catatan Harian Seorang Tahanan Rumah milik Juni Shahnaz. Juni adalah gadis SMP yang tomboi dan cerdas. Juga suka membaca buku detektif. Namun dia dulu adalah seorang korban bully di sekolahnya. Sayangnya, sekarang dia pun menjadi pelaku bully sehingga membuatnya harus di-skors dari sekolahnya. Lebih parah lagi, ternyata perbuatan Juni tersebut juga mempengaruhi keberlangsungan usaha sablon yang dimiliki ayahnya. Dan yang terakhir yaitu Catatan milik David Christian Hadijaya. David, anggota termuda penghuni surga. Seorang murid SD yang terobsesi menjadi detektif setelah membaca buku-buku detektif milik Juni. Dia tergila-gila pada Detektif Conan sehingga lebih suka menyebut dirinya sebagai David Edogawa. David tinggal bersama ibunya yang memiliki usaha toko kue. Angels's cookies buatan ibu David adalah kue yang paling terkenal. Namun akhir-akhir ini sikap ibunya berubah. Sering melamun, semakin kurus dan tidak bersemangat. Ia bertekad akan mengungkap masalah ibunya sekaligus memecahkan misteri aneh yang sering terjadi di rukonya. Dalam novel ini, konflik yang muncul sangat cocok dengan latar belakang kehidupan masing-masing tokohnya. Selain konflik tentang hubungan orang tua dan anak, terdapat juga konflik lain yang biasa terjadi pada kehidupan remaja. Selain itu kita juga diajak untuk memahami cerita dari tiga sudut pandang. Setiap sudut pandang memiliki ciri masing-masing yang sangat kentara perbedaannya. Jurnal dari satu karakter akan menjadi pelengkap informasi dari jurnal karakter lainnya. Banyak nilai yang bisa didapat dari novel ini. Bahwa pencitraan bukanlah jalan yang tepat untuk membuat orang-orang menyukai kita. Bahwa kita tidak boleh egois, dan harus belajar melihat suatu masalah dari banyak sudut pandang. Pun tentang bagaimana cara para tokoh membangun hubungan dengan orang tuanya, menjadi nilai tersendiri yang dapat diambil dari novel ini. Apalagi sampul novel ini sangat menarik, benar-benar menggambarkan cerita di dalamnya. Jadi, tunggu apa lagi? Selamat membaca. []

"life is like a piano. The white keys represent happiness and the black keys show sadness. But as we go through life, remember that the black keys make beautiful music too." – (david, hlm. 283)

60

majalah dimensi | edisi 50


RESENSI FILM

“Di Timur Matahari�, Potret Pilu Tanah Papua Oleh: Dewi Ristiana Palupi | Design : Herlambang Setoaji

Sutradara : Ari Sihasale | Produser : Ari Sihasale | Pemeran : Laura Basuki, Lukman Sardi, Ririn Ekawati, Ringgo Agus Rahman, Michael Jakarimilena, Putri Nere, Lucky Martin, Simson Sikoway, Abetnego Yogibalom “Tak cukup hanya melihat ayahnya dipanah hingga tewas, Mazmur juga harus menyaksikan sendiri ketika sang ibu memotong salah satu jarinya sebagai lambang duka cita yang sangat mendalam.�

D

iawali dengan adegan seorang anak SD berkulit hitam yang berdiri di lapangan rumput sambil mendongak ke atas, penonton film ini berhasil dibuat bertanyatanya. Apakah yang dilihatnya? Siapa yang menyangka anak ini tengah menunggu seorang guru yang akan mengajari ia beserta teman-temannya. Anak tersebut adalah Mazmur, tokoh utama dalam film garapan Ari Sihasale yang diperankan oleh Simson Sikoway. Di Timur Matahari adalah sebuah film bergenre drama yang menceritakan sekelumit kehidupan Papua. Mazmur beserta teman-temannya yang lain seperti Thomas, Yokim, Agnes, dan Suryani ialah anak-anak SD biasa yang telah lama menantikan guru pengganti karena guru mereka yang sebelumnya pergi untuk waktu yang cukup lama. Namun guru pengganti tersebut tak kunjung datang sehingga mereka menghabiskan waktu di sekolah untuk bermain dan bernyanyi. Sangat disayangkan, keceriaan dari anak-anak yang polos tersebut harus terenggut oleh

konflik antar suku yang melibatkan orang tua mereka. Blasius, ayah dari Mazmur memukul seseorang dari desa tetangga karena merasa dicurangi ketika berdagang. Setelah itu, tanpa disangka ketika berjalan pulang dengan Mazmur, Blasius dihadang orang-orang tidak dikenal. Di depan mata Mazmur, mereka memanah ayahnya sampai meninggal. Atas dasar dendam, Alex yang merupakan paman Mazmur berniat mengibarkan bendera perang dan membalas orangorang yang telah membunuh Blasius. Alhasil, perang antar suku pun tidak dapat terhindarkan. Korban perang suku berjatuhan. Setelah Blasius, ayah Agnes yang bernama Joseph juga meninggal. Puncaknya, Alex yang juga merupakan ayah Thomas, turut menjadi korban. Ketika keadaan semakin buruk, tokoh-tokoh seperti Michael (Indonesian Idol), adik Blasius yang lain dan juga istrinya Vina (Laura Basuki) berusaha menyampaikan bahwa untuk menyelesaikan masalah tidak harus dengan kekerasan. Selain itu juga ada pendeta Samuel yang diperankan secara apik oleh Lukman Sardi serta dokter desa bernama Fatimah yang diperankan oleh Ririn Ekawati. Selain konflik antar suku yang secara gamblang diceritakan, Di Timur Matahari juga memberikan gambaran mengenai kehidupan adat Papua yang masih sangat fanatik. Tak cukup hanya melihat ayahnya dipanah hingga tewas, Mazmur juga harus menyaksikan sendiri ketika sang ibu memotong salah satu jarinya sebagai lambang duka cita yang sangat mendalam. Film berdurasi 110 menit ini hanyalah satu contoh kecil perilaku orang dewasa dalam berkonflik yang terkadang kurang mempedulikan anak-anak. Keindahan alam Papua kontras dengan kisah pilu yang dihadirkan. Di Timur Matahari mengingatkan kita untuk peduli atau setidaknya empati terhadap nasib masyarakat Papua pedalaman yang sekarang ini memang masih hidup dalam keadaan yang memprihatinkan. Karenanya, film yang membawa pesan perdamaian ini layak untuk dinikmati semua golongan usia. Terutama para orang tua dan anak-anak.

edisi 50 | majalah dimensi

61


GALERY FOTO

M

Gamelan Jawa; Cerminan Masyarakat Jawa

asyarakat Jawa pada umumnya merupakan masyarakat yang lembut serta selaras dalam kehidupan. Hal ini tercermin dalam salah satu budayanya, Gamelan. Gamelan Jawa ialah musik yang tercipta dari paduan bunyi kendang, bonang, bonang penerus, demung, saron, peking, kenong, kethuk, slenthem, gender, gong, gambang, rebab, siter dan kempul. Berawal dari tembaga seorang pembuat gamelan memantiknya menjadi instrumen yang dapat menghasilkan paduan melodi indah. Panasnya bara api dan cucuran keringat menghiasi setiap langkah mereka demi terciptanya karya istimewa, kekayaan bangsa Indonesia.

doc.Dimensi/Oka

62

majalah | edisi 50 Bentuk awaldimensi beberapa instrumen gamelan

Memanggang perunggu menjadi bonang

doc.Dimensi/Upik

doc.Dimensi/Oka


doc.Dimensi/Upik Lenggokan percikan api menjadi teman setia para pemantik gamelan

Mengamplas bonang agar halus

Memoles Bonang agar mengkilat

doc.Dimensi/Upik

mengikat, agar dapat menghasilkan suara yang merdu

doc.Dimensi/Yanuar

doc.Dimensi/Haqqi

Hasil akhir bonang

doc.Dimensi/Oka

edisi 50 | majalah dimensi

63


SASTRA

Ying dan Yang dalam Ru

“Sama seperti aku memandang lingkaran yang disebut bulan itu. Aku hanya terpana melihatnya tanpa bisa menyentuh atau sekedar menyapanya. Ya aku malu.� Grafis & Design : Ahmad Prabawanto

T

ernyata lingkaran indah itu merupakan bulan. Aku hanya bisa terpaku menatapnya. Gelap malam di pelabuhan tua ini, sepi seperti sedia kala. Hanya aku dan catatan usangku berada di tepian, menanti. Aku lapar, dan lingkaran putih yang memantulkan cahaya itu terlihat menggiurkan untuk batin yang merengek kesepian. Tangguk demi tangguk malam aku habiskan. Masih tetap di pinggir pelabuhan tua aku menanti, menanti perempuan itu. Hasil manifestasi adalah obsesi. Mungkin semesta yang terlalu kejam untuk membuatku seperti ini, selalu seperti ini. Atau mungkin

64

majalah dimensi | edisi 50

penguasa ruang dan waktu hanya mempermainkanku. Membuatkan jalan hidup yang aku lalui terlalu bergelombang, sehinggak tak ada sedetik pun aku bisa menikmati pemandangan sekitar jalan ini. Nafas berhembus mantap. Diam-diam sebuah hati tersayat kemenyerahan. Tak percaya takdir, katanya. Dalam catatan usang, kutuliskan coretan isengku tentang kehidupan ini.

“Bagiku tujuan hidup hanyalah cakap-cakap manusia yang takut kehilangan nyawanya. Dan ketika kebenaran konsepsi tujuan itu memang nonsens, mereka yang percaya pelak kehilangan nurani.�

Malam ini sama seperti malammalam sebelumnya, dengan catatan usang, laut surut, sepi, dan tetap di pinggir pelabuhan tua serta tetap menanti. Namun sayang lingkaran itu tidak lagi bulat se-perti sedia kala, ia malu mungkin. Lalu perempuan itu datang (lagi), dan tetap saja aku hanya bisa memandang indahnya dari jauh. Sama seperti aku memandang lingkaran yang disebut bulan itu. Aku hanya terpana melihatnya tanpa bisa menyentuh atau sekedar menyapanya. Ya aku malu. Dalam catatan ku tulis (lagi) sebuah coretan yang ku sebut puisi, ya aku hanya bisa menulis, menulis untuk perempuan itu.


uang Berbeda “Puan tak kah kau lihat anekdotanekdot yang berubah menjadi simbol simbol harapan ini, betapa inginnya aku sekedar menyapamu” “Aku tak pantas mencinta”, jeritku dalam hati. Lihat aku! Tubuh bersisik, wajah menyerupai ikan. Semua orang takut padaku, atau mungkin merasa jijik. Tak ada yang bisa kulakukan, hidup tak dapat diputar. Semua penyesalan tak bisa diubah, hanya berbekas dan tak dapat dihapus. Masa lalu tetaplah masa lalu. *** “Ying, Aying Sudebyo Pratama! Jangan kau pergi, di laut sedang bergelombang. Mama tak mau kau tenggelam seperti papamu!” teriak seorang wanita tua kepada anak-nya. “Saya lelah dikurung oleh Mama terus. Saya rindu papa, rindu melaut dengan papa. Saya mau bebas Ma, mau seperti ikan yang bebas berenang dilaut!” ucap anak lelaki itu seraya menjinjing dayung dan berjalan menapaki papan yang berdecit, di pelabuhan tua menuju sampannya. “Jangan kau berucap seperti itu, ucapanmu adalah doa Ying!!” suara wanita itu melemah, menahan air mata tampaknya. “Biar Mah, biar aku jadi ikan. Aku mau menjemput papa di laut sana!” ucapnya sambil tetap berjalan tanpa menoleh ke belakang. Tak lama petir menggelegar kencang, menghempaskan sampan milik sang anak. Belum sempat ia menapakkan kakinya ke sampan, ia terjerembap ke laut. Teriakan ibunya memecahkan heningnya senja. Beberapa orang melompat mencoba menyelamatkan sang anak yang tenggelam di laut. Dengan dibopong, Aying tetap

Oleh: Dwiki Ilham Ramadan

memejamkan matanya. Ia tak sadarkan diri. Sesampainya di rumah, ia yang basah kuyup dan sekujur tubuhnya di kelilingi rumput laut, tetap tidak sadarkan diri. Seda-ngkan ibunya hanya bisa menangis serta memohon pada orang-orang untuk menolong anaknya. Ia gemetar, air mata tak henti mengucur. Kenangan kembali terngiang dibenaknya, tepat setahun yang lalu saat suaminya nekat melaut untuk mencari ikan di saat laut bergelombang. Ya, suaminya adalah seorang nelayan. Nelayan yang disegani oleh masyarakat sekitar karena selalu berani menantang ganasnya laut. Namun sekarang tinggallah nama. Ia meninggalkan istri dan kedua anaknya di pesisir. Dan jadilah laut seperti bayangan kelam, yang selalu ibu itu jauhi beserta kedua anaknya yang dikurung tak boleh menapakkan kaki ke dalamnya. Tubuh anak lelaki itu pun bersih dari rumput laut yang menutupi tubuhnya, air laut pun keluar dari mulutnya. Namun hal yang mengejutkan terjadi. Tubuh anak itu kasar, bersisik nampaknya. Lehernya bolong nampak seperti insang pada ikan, hidungnya pun mengecil dan lingkaran hitam di matanya membesar. Jadilah anak itu seperti ikan pari. Kutukan nampaknya. *** Berjuta pertanyaan dan ketakutan menyergapku. Seakan ingin menelanku bulat-bulat tanpa jejak. Aku kini bangun dari tempat tidurku. Butiran peluh kini menggenangi dahiku. Pertanda ketakutan itu semakin membunuhku. Kini umurku 21 tahun, tepat 10 tahun setelah kejadian itu. Kejadian yang membuatku nampak seperti ini, dan merenggut nyawa ibuku. Saat kejadian itu Ibuku meninggal akibat serangan jantungnya.

Tinggallah kakakku yang merawatku selama 10 tahun, merawat jasmaniku dan juga batinku yang terus mencoba mendobrak tembok-tembok yang memagariku. Yang membuat pikiranku semakin sempit. Menjagaku dari hinaan para tetangga dan orang-orang yang aku temui, serta menuntunku tetap pada jalanku dan tidak menoleh ke belakang. Sampai suatu malam di pelabuhan tua aku bertemu dengan sesosok perempuan dengan cahaya bulan di matanya. Indah, gumamku. Ya. Ia bagai karya indah dari surga, yang menghempaskan sepiku. 4 tahun sudah aku selau memperhatikannya. Selalu tiap malam dan di pelabuhan tua itu. Namun tak ada satu kata pun keluar dari mulutku untuk sekedar menyapanya. Aku hanya berani melihatnya dari jauh, saat ia sendiri, atau sedang bersama dengan teman-temannya. Ia selalu tersenyum bahagia, selalu nampak bahagia. Cahaya bulan selalu memantulkan cahaya ke wajahnya. “Cinta-pada-pandangan-pertama”, boleh terdengar seperti frasa pada buku panduan cara menghindari patah hati bagi lelaki yang tengah akil balig. Makanlah aib. Gravitasi takluk pada wajahnya. Tatapannya lebih bening dari air danau dari kayangan manapun. Dan senyumnya telah melelehkan jiwa-jiwa malang. Toh tetap disebut hiperbola. Nafsu memang menjadi komoditi utama. Menjadi barang komplementer pun cinta tak sanggup. Harga diri lelaki bahkan tak rela kalah dari kata picisan. Apakah benar ada sesuatu semunafik cinta? Dan bukan nafsu pada pandangan pertama? Hanya dengan catatan usangku, aku berinteraksi dengannya, de-

edisi 50 | majalah dimensi

65


ngan coretan-coretan tentangnya. Ya selalu indah coretan itu, seperti wajahnya dibawah sinar bulan. Ah, memangnya siapa aku untuk berharap keberpihakan semesta. Ia bisa saja meninggalkan pelabuhan ini sewaktu-waktu, menggulung lara yang setia di daur ulang. Aku bahkan tidak tahu nama, umur, dan asal perempuan itu. Mungkin tak berharap akan bertukar kata dengan perempuan itu sekalipun. Mungkin instinglah yang membawaku ke pelabuhan ini. Batinku. Mungkin. Semoga. *** Malam ini kucoba mengumpulkan keberanianku, merangkai picisanpicisan tekad yang tercecer. “Hai”. Kata itu yang akan kucoba keluarkan di hadapannya. Dan kan kuse-rahkan catatan usangku padanya. Rangkaian interaksi satu arahku dengannya. Sesampaiku di pelabuhan tua, tepat setelah senja tenggelam dan bulan mengintip di ufuk laut yang nampak jingga terpantul dari la-ngit. Hening saat itu. Aku hanya dapat mendengar degup jantungku, berdegup terlalu kencang, bahkan mungkin dapat mengguncang pelabuhan tua ini. Aku gugup, aku takut. “Tolong tolong !”, terdengar suara lelaki setengah baya berlari terengah-engah seraya mencari bantuan. Entah apa yang terjadi pada lelaki tua itu, langkahku cepat mencoba berlari dan menghampirinya. Lalu 3 orang lelaki lainnya dengan perawakan besar dan bertato berlari dibelakangnya. Mencoba mengejar nampaknya. Lelaki setengah baya itu bersembunyi di belakangku. Aku tak tau apa yang terjadi. Yang ku tau ialah aku hanya mencoba menyelamatkan lelaki setengah baya itu. “Hai pemuda, minggir kau! Jangan kau coba menghalangi kami! Jangan ikut campur masalah kami!” teriak salah seorang lelaki berperawakan besar itu seraya

66

majalah dimensi | edisi 50

menyodorkan senjata api ke hadapanku. Tak tega melihat lelaki setengah baya yang bersembunyi di belakangku itu, aku mencoba berdiri tegap di hadapan lelaki berperawakan besar itu dengan senjata apinya, kucoba memberanikan diriku. Tak lama, “Dor!!” itu kata terakhir yang kudengar. *** Seorang lelaki tertegun bisu di pelabuhan tua itu. Bertanyatanya, kemanakah jiwa mereka semua pergi. Apakah ada kehidupan selanjutnya? Apakah cinta dapat mengalahkan maut? Semua orang yang ia cintai telah tiada. Sebatang kara adalah konsepsi paling pilu dan dingin di semesta. Hidup tanpa rasa hangat yang membuncah di dada. Toh cinta tidak terbatas pada dimensi eros pada sepasang sejoli. Mereka-mereka yang engkau doakan tiap malam, yang membuatmu terpukul ketika mereka tidak dapat hadir di saat engkau hendak hancur. Bukankah mereka orang yang engkau cintai? Lingkaran bulat berwarna putih dan memantulkan cahaya itu menampakkan dirinya, tak malu ia kini. Si lelaki melihat perempuan dari jarak jauh, lalu ia mulai menghampirinya. Dekat dan lebih dekat daripada sebelumnya. Dan mata kayangan itu ternyata jauh lebih bening. Seakan di dalamnya ada sebuah telaga dari air mata bidadari. Sungguh jernih. Malam di Pelabuhan tua itu tidak pernah lebih menawan dari semburat bola jingga itu pada adegan ini. Seperti sebuah lantunan pantun yang asing bagi retorika. Layaknya kunang-kunang yang menjadi manifestasi jiwa-jiwa kesepian dan akhirnya meraup asa. Lelaki itu merupakan kakakku, sambil membawa guci dan catatan usang disaku celananya seraya ia

menghampiri perempuan itu. Entah apa yang ia katakan, mungkin aku tak ingin mendengarnya. Perempuan itu pun memperhatikan dengan seksama, wajahya merona, matanya berkaca setelah kakak memberikan catatan usang itu. Ya, itu catatan usangku, hasil interaksi satu arah dan obsesiku. Kakak menjulurkan tangannya, dan perempuan itupun membalasnya seraya mengucapkan satu nama “Yang”. Nama yang paling indah menurutku, satu kata yang sudah 4 tahun lebih ingin aku ketahui. Lalu mereka berdua menuju tepian pelabuhan tua itu, seraya menuangkan butiran debu di dalam guci yang dibawa kakakku. Perempuan itu tersenyum, aku lihat senyumnya dan aku pun melihat mata indahnya. Tak disangkal lagi, ia menatapku dan tersenyum. Namun ada yang aneh. Matanya bergelimang air, mungkin ingin tumpah. Namun aku tetap bahagia. Aku bahagia dapat melihatnya tersenyum dan mengetahui namanya. Kini aku dapat berenang bebas di laut dan aku pun dapat menjemput papa di laut sana. “Yang, aku berharap kita dipertemukan kembali. Walau bukan dalam ruang yang sama lagi. Atau bahkan mungkin bukan dalam wujud yang sama seperti sedia kala”, gumamku. []

“Toh cinta tidak terbatas pada dimensi eros pada sepasang sejoli. Merekamereka yang engkau doakan tiap malam, yang membuatmu terpukul ketika mereka tidak dapat hadir di saat engkau hendak hancur. Bukankah mereka orang yang engkau cintai?”


KELAKAR

g n a t n Te

s a t i l & a u s k a t i t n a ku

| Desig barwati m A m Aru Oleh :

K

etika itu aku pergi ke percetakan bersama beberapa rekan seperjuangan. Tujuan kami adalah mencari percetakan untuk mencetak buletin terbitan pertama kami. Ini adalah edisi lanjutan dari buletin-buletin yang telah terbit pada periode sebelumnya. Setelah menempuh beberapa menit perjalanan dengan sepeda motor, kami pun sampai di percetakan yang pertama. Percetakan ini adalah percetakan langganan kami sejak dahulu. Sampai di sana, ternyata orang yang dituju tak berada di rumah.

Kami hanya bertemu sang istri. Akhirnya kami undur diri dan diharapkan kembali pada lain waktu. Kemudian kami bergerak ke percetakan yang kedua. Percetakan itu milik seseorang yang memang telah berkecimpung dalam dunia media dan percetakan sejak masih berstatus sebagai mahasiswa. Di sana kami berbincang sekaligus belajar seputar percetakan produk persma. Perbincangan kami buka dengan mengungkapan tujuan utama

al Fajar n : Afriz

kami, yaitu untuk mencetak buletin bulanan. Betapa kagetnya kami mengetahui perhitungannya terhadap produk yang kami inginkan. Harga yang ia patok ternyata cukup mahal. Sedangkan budget kami sangat terbatas. Di sela-sela obrolan ia mengatakan bahwa sebuah Pers Mahasiswa (Persma) selalu menghadapi permasalahan yang sama sejak dahulu. “Kalian selalu bermasalah dengan usaha dan produksi. Oleh karena itu sebenarnya kalian belum layak disebut media jurnalistik.

edisi 50 | majalah dimensi

67


Sebuah media jurnalistik selalu bisa mengatasi kedua hal tersebut�, tuturnya. Pada awalnya kata-kata itu seperti angin lalu saja bagiku. Namun kemudian, pada suatu keheningan malam, aku tibatiba terbangun dan kembali terngiang kata-kata tersebut. Usaha dan produksi. Aku menjadi sadar bahwa sebenarnya ekistensi kami -sebuah LPM- dan juga LPM-LPM lainnya tergantung pada dua hal tersebut. Tak peduli betapa menarik grafis yang kita ciptakan, betapa dalam dan akurat laporan yang kita sajikan, akan percuma jika hanya berakhir di sebuah file pdf, tanpa pernah sampai di tangan pembaca. Mengapa? Karena kita tak mampu memproduksinya. Mengapa tak mampu? Karena usaha kita tak dapat mencukupi kebutuhan dana yang ada. Tentunya ini menjadi suatu PR besar. Suatu hal yang sangat perlu direnungkan dan dipikirkan. Ada beberapa orang yang selalu mementingkan kualitas isi dari medianya. Tanpa berfikir apakah konten-konten itu mampu kita salurkan hingga tangan pembaca. Ketika mereka hanya sibuk membenahi kualitas, dan sedikit melupakan kuantitas.

68

majalah dimensi | edisi 50

Ah, lagi-lagi tentang kualitas dan kuantitas. Sebelumnya aku termasuk orang yang mengagungkan kualitas saja. Dalam benakku, kuantitas tanpa adanya kualitas adalah nol besar. Hal itu hanya akan menghasilkan suatu harapan palsu saja. Sia-sia. Namun kini aku sadar, tak selamanya teoriku itu benar. Aku tak mengatakan teori itu salah. Hal itu tetap benar, namun tak selalu benar. Misalnya saja tentang percetakan produk ini. Kualitas kami mungkin sudah tak dapat ditanyakan lagi. Namun ketika kita tak dapat mengimbanginya dengan kuantitas yang pantas, semua juga akan sia-sia. Tak pernah sampai ke tangan pembaca. Bukankah tujuan produksi kita adalah pembaca? Bukankah keempat fungsi pers yang kita jalankan adalah untuk pembaca? Lantas? Nol besar. Sia-sia. Tragis. Menyedihkan. Mari kita renungkan. Usaha dan produksi merupakan mata rantai yang tak dapat diputuskan. Usaha yang baik akan menghasilkan dana untuk kegiatan produksi kita. Produksi tersebut akan bermuara pada kontinyuitas. Kontinyuitas akan menghasilkan eksistensi. Dan eksisitensi akan membawa sebuah persma pada tujuannya. Menginformasikan,

mendidik, menghibur, dan mengontrol masyarakat (baca: para pembaca). Maka jelaslah sudah. Semua elemen itu adalah hal yang tak dapat dihindarkan untuk mencapai sebuah tujuan awal. Disinilah saatnya kita menguji kemampuan manajemen kita untuk mengaturnya. Persoalan selanjutnya adalah idealisme para sumber dayanya. Apakah mereka juga bisa menerima jalan pikir tersebut? Apakah mereka setuju bahwa produktivitas, kontinyuitas, dan eksistensi produk akan menentukan tercapai atau tidaknya tujuan produksi kita? Apakah mereka setuju bahwa kualitas tanpa diiringi kuantitas tak akan membawa kita pada tujuan awal kita? Pun apakah jika kita terlalu berkutat dengan kuantitas tanpa kualitas akan menghasilkan suatu nol besar? Apakah mereka setuju bahwa kualitas dan kuantitas adalah dua hal yang saling mendukung dan semestinya berjalan beriringan? Karena sesungguhnya masingmasing orang memiliki pola pikir yang tak sama. Mungkinkah ini saatnya kita membuktikan bahwa “Biarkan Perbedaa Warna Menjadi Potensi Besar Berkembangnya Pola Pikir�? Silakan renungkan. []


ILUSTRASI : SAPTO NUGROHO

KANG PROV

edisi 50 | majalah dimensi

69


NGEDIMS

Dana KKL per jurusan naik. BBM aja naik, masa Dana KKL ngga boleh naik?

Seragam Jurusan Administrasi Niaga berubah dari rok kain menjadi celana kain. Rok mini hilang, semoga tidak ada celana mini.

Posisi BEM tak jadi setara BPM Tidak bisa setara, tak bisa semena-mena kan ya ?

Setelah Direktur, tahun ini dipilih para Wakil Direktur yang baru. Semoga tak ada janji-janji ‘palsu’ yang baru. Radio Kampus tak terdengar suaranya. Hubungan antara radio dan pemancar lagi putus nyambung sih.

Pemilu 2014 dilaksanakan sebentar lagi. Gunakan hak pilih sesuai hati nurani, bukan sesuai dengan ‘uang’ yang diberi.

70

majalah dimensi | edisi 50


edisi 50 | majalah dimensi

71


72

majalah dimensi | edisi 50


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.