Majalah DIMENSI Edisi 61

Page 1

EDISI 61 / SEPTEMBER 2019

DIMENSI

ISSN 0853-9731

MAJALAH KAMPUS POLITEKNIK NEGERI SEMARANG


IKLAN


LEMBAGA PERS MAHASISWA

DIMENSI

COVER

Pelindung Ir. Supriyadi, M.T. Penasehat Adhy Purnomo, S.T., M.T. Pembina Junaidi, S.T., M.T. Pemimpin Umum M. Gunawan Angga Kusuma Sekretaris Umum Puji Nofita Sari Bendahara Umum Dwi Aprilia P. Pemimpin Redaksi Wahyu Sari Redaktur Majalah Irma Aprilyani, Joti Dina K. Redaktur Buletin Nur Nadia A. R. Redaktur Cyber Febi Nur C. Redaktur Artistik Erica Aditya N., Ilham Fatkhu A. Redaktur Foto Damar Satria A. Reporter Hani Cahya K., Hanifah N. I., Lisa Chilly S., Nisrina Nibras L. F., Umi Farida, Saputri Rizki R. Artistik Silfi Sabrina, Yekti Zulia P. Fotografer Ahmad Arizal S., Firda Yustika R. Plt. Pemimpin Litbang Andi Saputra Plt. Kepala Divisi PSDM Sandra Gusti A. Kepala Divisi Riset Iklimadani Sheviana A. Kepala Divisi Humas Aji Syamsul A. Staf Riset Asyifa Aprylyanti Staf Humas Alifian Imam A. Pemimpin Perusahaan Alfandy Ilham S. Bendahara Perusahaan Nabila Listya D. Kepala Divisi Periklanan dan Non Produk Ainul Maghfuroh Kepala Divisi Logistik Dhea Ernanda S. Staf Perusahaan Sania Vina R.

Ilustrasi Yekti Zulia Prastyani

SALURKAN IDEMU ! Redaksi menerima tulisan, karikatur, ilustrasi, atau foto. Hasil karya merupakan karya asli, ­bukan terjemahan/saduran atau hasil kopi. ­ ­ Redaksi ­berhak memilih karya yang masuk dan me­nyunting tulisan yang akan dimuat tanpa mengubah ­esensi. Karya dapat langsung dikirim melalui e-mail redaksidimensi23@gmail.com atau dikirm langsung ke alamat kantor redaksi di: Gedung Pusat Kegiatan Mahasiswa Baru Lantai 2 No. 4-5, Kampus Politeknik Negeri Semarang Jalan Prof. Soedharto Tembalang, PO Box 6199 Semarang 50061 Selamat berkarya!


Dari Dapur Hidup bak sebuah bandara yang teramat sangat luas, di sana terdapat jalur keberangkatan dan kedatangan. Setiap jam, menit, bahkan detik bandara harus siap mene­ rima orang yang baru datang dan merelakan orang yang hendak pergi. Begitupun LPM Dimensi, yang notabene sebagai wadah bagi mahasiswa Polines yang tertarik di bidang jurnalistik. Orang-orang di Dimensi terus bergerak dan berganti dari tiap masa ke masa. ­Namun tetap saja, kami meyakini bahwa kobaran api Dimensi sebagai pers mahasiswa tak akan pernah padam. Walau berganti orang, idealis sebagai pers mahasiswa akan ­terus terjaga. Kini majalah edisi 61 hadir dengan sajian yang kami harap dapat memberi manfaat bagi pembaca. Angka 61 bukanlah angka yang kecil, namun angka yang selalu menjadi pengingat kami bahwa Dimensi dapat terus menge­pakkan sayap penanya. Bukan hanya itu, angka 61 menjadi pengingat kami bahwa Dimensi masih bertahan hingga sekarang ini tak terlepas dari dukungan para pembaca. Pada edisi kali ini kami mengangkat laporan utama mengenai problema bahasa asing di kalangan pelajar, khususnya mahasiswa. Pemilihan isu tersebut didasarkan karena masih rendahnya antusias mahasiswa untuk mendalami bahasa asing. Padahal di era yang kian maju bahasa asing bukan lagi sekedar penting, namun sudah menjadi kebutuhan. Sedangkan untuk laporan khusus kami membahas mengenai rendahnya pemahaman budaya literasi. Hal ini kami rasa perlu untuk dibahas karena masih sedikit orang yang paham dan mau mempraktikkan budaya literasi. Sejatinya budaya literasi itu sa­ ngat penting dan seharusnya dekat dengan mahasiswa, namun justru fakta menunjukkan sebaliknya. Oleh sebab itu, kami berharap dengan diangatnya isu ini dapat menyadarkan pentingnya budaya literasi, terkhusus di kalangan mahasiswa Polines. Selain itu kami juga menyajikan berbagai konten informatif dan menarik lainnya dalam rubrik kampusiana, semarangan, travelogue dan incognito. Semua konten kami sajikan semenarik dan seringan mungkin agar pembaca dapat mudah memahami serta menikmati. Kami juga berharap semoga sajian kami kali ini dapat membawa manfaat bagi para pembaca. Sampai jumpa di edisi selanjutnya. Selamat membaca.

Hidup Pers Mahasiswa!

REDAKSI

P


Perlunya PerlunyaPeningkatan Peningkatan Fasilitas Parkir Parkir Fasilitas di Lapangan Hitam

Oleh: Regina El-shadday Putri, Jurusan Akuntansi

F

asilitas yang memadai pada perguruan tinggi merupakan hal yang sangat penting. Kegiatan perkuliahan akan semakin baik bila mahasiswa mendapatkan fasilitas yang baik dari kampus, salah satunya adalah fasilitas lahan parkir. Saat ini fasilitas parkir yang ada di Polines sudah cukup memadai, baik di Jurusan Elektro, Sipil, maupun Tata Niaga (TN). Tetapi ada satu lahan parkir di Polines yang menurut saya kurang mendapat perhatian lebih, yaitu area Lapangan Hitam. Lapangan Hitam biasanya digunakan oleh mahasiswa Jurusan Teknik Mesin. Tetapi pada saat-saat tertentu Lapangan Hitam digunakan sebagai tempat event. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dari parkiran ini, yaitu tidak adanya atap di lahan parkiran. Berbeda dengan parkiran Elektro, TN, dan Sipil yang beratap dan dijaga ketat oleh sekuriti. Parkiran Lapangan Hitam sangat terbuka dan tidak beratap, sehingga mengurangi kenyamanan mahasiswa ketika kondisi panas dan hujan. Ada banyak akibat yang terjadi jika kendaraan di parkir pada tempat yang panas dengan jangka waktu yang lama. Seperti kita tahu, Polines menggunakan sistem paket dalam perkuliahan, sehingga mahasiswa berada di kampus kurang lebih 8 x 45 menit setiap harinya ditambah de­ngan jam istirahat. Kendaraan yang diparkirkan selama jam tersebut dalam kondisi panas dapat mengakibatkan warna motor kusam dan pudar, karena sinar matahari secara langsung dapat merusak cat warna pada

kendaraan. Tidak hanya saat panas, pada saat musim hujan pun dapat menjadi kendala besar. Lapangan hitam tidak memiliki atap, sehingga mahasiswa dapat kehujanan pada saat berangkat ataupun pulang kuliah. Hal tersebut dapat menghambat kegiatan perkuliahan karena fasilitas kampus yang kurang baik dan nyaman. Sebaiknya lahan parkir di Lapangan Hitam ditata lebih baik lagi seperti lahan parkir Elektro dan TN. Selain itu, alangkah lebih baik lagi apabila diberi atap supaya mahasiswa Jurusan Teknik, khususnya Teknik Mesin memiliki fasilitas yang sama dengan mahasiswa jurusan lain. Pertambahan sekuriti juga sangat diperlukan di parkiran ini, agar kendaraan mahasiswa aman berserta dengan barang bawaan seperti jaket dan helm yang dibiasanya di­tinggalkan di kendaraan. Semoga kritik dan saran saya bisa menjadi masukan dan menjadikan Polines kampus yang lebih nyaman.


CONTENTS CONTENTS Semarangan

Laporan Utama 08

Bukan Lagi Penting! Belajar Bahasa Asing ­Merupakan Kebutuhan!

34

Perpustakaan Pesisir, Hadirkan Ruang Terbuka Bagi Masyarakat Pesisir

11

Benarkah Bahasa Mampu Mengubah Pola Pikir?

36

14

Sosok: Memiliki Passion Besar di Bahasa, Sigit Berhasil Kuasai 14 Bahasa

Mengingat Saksi Bisu Bernilai Sejarah Di Ambarawa

38

16

Riset: Peran dan Penerapan Bahasa Asing ­Dikalangan Mahasiswa

Galeri Foto: Proses Pembuatan Serabi Mini Khas Desa Ngampin Ambarawa

Travelogue Laporan Khusus 20

Dampak dan Manfaat Literasi Terhadap Budaya Diskusi

22

Pengaruh Era Globalisasi Terhadap Turunnya Kualitas Literasi Publik

24

Opini: Literasi: Belajar Bersama, Sama-sama Belajar

42

Plesir: Mencicipi Indahnya Panorama Gumuk Reco Sepakung

45

Kuliner: Rahasia Rasa Dibalik Uniknya Nama Nasi Gandul Pak Memet

Incognito Kampusiana 28

Polines Sebagai Pusat Inovasi Yang Terintegrasi

30

Rencana Pembangunan Gedung Kuliah Bersama

48

Cerpen: Masih (Belum) Diputuskan

52

Kritik Sastra: Novel Menjamu Tuhan Dengan Kopi

54

Resensi Buku: Hujan

56

Resensi Film: Dua Garis Biru

58

Kelakar: Ingat, Kita Mahasiswa

61

Kangprof

62

Ngedims


PEMBATAS LAPUT

Bahasa Asing / Bahasa Ibu / Bahasa Daerah / Indonesia / Penting / Kebutuhan / Beragam / Poliglot / Bilingual / Era Global / Passion


/LAPORAN UTAMA/

BUKAN LAGI

PENTING!

Belajar Bahasa Asing

Merupakan Kebutuhan! Oleh: Joti Dina Kartikasari | Ilustrasi: M. Syauqi | Desain: Ilham Fatkhu A.

LAPUT 1

UQ

Kata penting untuk belajar bahasa asing itu untuk tahun 50-an, sekarang ­levelnya sudah naik, bukan lagi penting, tapi suatu keharusan dan kebutuhan,

08

DIMENSI EDISI 61

ungkap Nyoman, salah satu dosen bahasa di Politeknik Negeri Semarang.


/LAPORAN UTAMA/

Pesatnya perkembangan zaman, sangat terasa manfaatnya di banyak aspek ke­ hidupan. Namun tetap saja, beberapa detail kecil kehidupan rasanya luput ter­ sentuh oleh manfaat itu, salah satunya yaitu pe­ ningkatan kesadaran belajar berbahasa asing. Kecanggihan gawai yang seyogianya dimanfaatkan untuk memahami serta mem­ pelajari banyak hal, nyatanya justru tak bisa maksimal dimanfaatkan. Semestinya be­lajar berbahasa bukan lagi hal yang mustahil ­untuk dilakukan, sekali “klik” saja, r­ atusan bahasa bisa kita akses dalam sekejap mata. Tapi lagi-lagi, permasalahannya kembali pada satu pokok utama, yaitu kesadaran untuk memulai, mempelajari, dan keingian untuk belajar yang mudah memudar.

Dilansir dari Time, peluang orang-orang ­bilingual (istilah untuk orang yang dapat menguasai dua bahasa) mengalami ­demensia (sindrom yang berkaitan d ­ engan penurunan kemampuan fungsi otak) ­akibat usia, lebih lambat 4,1 tahun daripada kelompok orang yang hanya berbahasa ­ ibu. Selain itu, orang-orang bilingual juga di­ percaya memiliki pemunduran peluang mengalami alzheimer (penyakit yang ber­ hubungan dengan penurunan daya ingat) yaitu 5,1 tahun lebih lambat daripada me­ reka yang hanya berbicara satu bahasa saja.

LAPUT 1

Minat dan Realita Belajar Bahasa Asing Parameter waktu dalam mempelajari suatu bahasa untuk setiap individu pastilah ber­ beda. Sebagian orang dalam waktu 2-3 bulan dapat menguasai bahasa baru, tapi se­ bagian lainnya mungkin membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk dapat me­ nguasainya. Hal tersebut seringkali mem­ buat semangat belajar bahasa asing men­ jadi luntur. Keinginan akan sesuatu yang “instan” membuat orang enggan untuk ­ belajar bahasa dalam jangka waktu yang lama. Seringkali se­ seorang memutuskan untuk berhenti ditengah jalan sebelum ber­ hasil menguasai bahasa yang dipelajarinya. Padahal, mempelajari suatu bahasa baru memiliki manfaat yang menjanjikan.

Namun demikian, fakta bahwa memiliki ­lebih dari satu kemampuan berbahasa sa­ ngat bermanfaat, tidak menjadikan ak­ tivitas belajar berbahasa digemari oleh khalayak ramai. “Jika kita tanya pada 100 orang tentang keinginan untuk menguasai bahasa asing, saya yakin mereka semua ­ pasti i­ngin, tapi saya yakin juga, tidak ­lebih dari 10 orang yang benar-benar mau mem­ pelajarinya d ­ engan sungguh-sungguh. ­Bahasa merupakan keterampilan yang perlu dilatih, tidak bisa instan,” ungkap Nyoman. Mempelajari Bahasa Asing Bukan B ­ erarti Tak Cinta Bahasa Indonesia Maupun ­Bahasa Daerah! Hari ini, 91 tahun sudah sejak dikumandang­ kan Sumpah Pemuda, dengan rumusan poin ketiganya yaitu, “Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, ­ bahasa Indonesia”. Kalimat tersebut me­ rupakan seruan pemuda Indonesia zaman

DIMENSI EDISI 61

09


/LAPORAN UTAMA/

dahulu, yang mana bila kita sangkut paut­ kan dengan realitas masa sekarang rasanya tak bisa ditafsirkan dengan pemahaman “mentah” begitu saja. Menjunjung bahasa Indonesia bukan berarti tak diperbolehkan mempelajari bahasa asing. Justru sebagai pemuda Indonesia sudah selayaknya ke­ sadaran akan mempelajari bahasa asing perlu dipupuk untuk menghadapi per­ kembangan industri yang kian pesat.

oleh per­ ubahan. Diva yang ­ notabene sebagai Mahasiswa bahasa Inggris juga ­ me­ nyampaikan, meskipun Ia mempelajari ­bahasa asing, ia tak serta merta melupa­ kan dan meninggalkan bahasa Indonesia maupun bahasa ­daerah. Justru menurutnya, berbahasa asing membantunya untuk dapat memperkenalkan bahasanya kepada orangorang asing.

LAPUT 1

Paradigma yang salah seringkali berkem­ bang dalam masyarakat, termasuk di dalam­ nya yaitu mengenai aktivitas mempelajari bahasa asing. Tak jarang, satu dua orang dari kita mendengar celetukan negatif di tengah-­ tengah masyarakat dengan nada mencibir seseorang yang belajar bahasa ­asing.

“Sok inggris” “Kita kan orang Indonesia, ya pakai bahasa Indonesia” Mungkin masih banyak lagi varian celetuk­ an yang sering kita temui, dan hal t­ ersebut merupakan sinyal bahwa lingkungan yang kita tempati kurang ramah untuk ­belajar berbahasa. Diva sabrina salah satu mahasiswa Universitas Muhammadiyah ­ Surakarta Fakultas Pendidikan Bahasa ­ Inggris, me­ ­ nyatakan bahwa dirinya tidak setuju jika ada statement yang mengatakan bahwa dengan belajar bahasa asing berarti kita tidak cinta pada bahasa Indonesia mau­ pun bahasa daerah. Menurutnya dunia kini telah ber­ubah, dan perubahan telah masuk ke segala lini kehidupan. Jika setiap orang tidak mau meng-upgrade dirinya ke level yang lebih tinggi, maka dia akan ­tertinggal

10

DIMENSI EDISI 61

Bahkan Badan Pengembangan ­ Bahasa dan Perbukuan, Kementerian Pendidikan dan ­ Kebudayaan mengeluarkan slogan “Utamakan bahasa Indonesia, l­estarikan ­ bahasa ­ daerah, dan kuasai bahasa asing”. Melalui ­ ­ slogan tersebut, Badan Pengembang­ an ­ Bahasa dan Perbukuan ingin menyuarakan me­ ­ ngenai kampanye untuk mencintai bahasa ­ ­ Indonesia dan bahasa daerah, namun t­et­ ­ ap harus me­ nguasai ­bahasa asing. Bahasa merupakan pintu untuk ilmu pengetahuan, karena pada dasarnya ilmu pengetahuan tak h ­ anya ada di Indonesia, jika pernah mendengar “Tuntut­lah ilmu sampai ke Negeri China” semestinya kita paham, bahwa ilmu ter­ sebar dimana-mana, tak hanya ter­batas di Indonesia, dan salah satu cara untuk dapat mempelajarinya adalah dengan me­ ngusai bahasa ilmu tersebut. Menjadi nasionalis bukan berarti berpikir sempit kemudian menutup diri dari ­bahasa asing. Sebagai masyarakat, khususnya se­ bagai mahasiswa sudah semestinya ­ bijak serta paham dalam memposisikan diri ­dalam penggunaan bahasa. Suatu bahasa tentunya akan tepat bila ditempatkan pada porsi yang tepat pula.


/LAPORAN UTAMA/

Benarkah

Bahasa Mampu Mengubah

Pola Pikir ? Oleh: Irma Aprilyani & Lisa Chilly S. | Ilustrasi: Silfi Sabrina | Desain: Dwi Aprilia P.

DIMENSI EDISI 61

11


/LAPORAN UTAMA/

A

da sekitar 7.000 bahasa yang digunakan di seluruh dunia dengan suara, kosa kata, dan struktur kalimat yang berbeda. Lantas, apakah perbedaan tersebut membentuk pola pikir yang berbeda bagi setiap penutur asli? Ataukah mempelajari bahasa asing mampu mengubah pola pikir dan cara memandang dunia? Lera Boroditsky seorang asisten profesor psikologi, ilmu saraf, dan sistem simbolik di Universitas Stanford, telah melakukan pe­ nelitian untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas. Berdasarkan penelitiannya yang berjudul "How Does Our Languag Shape The Way We Think" pada penduduk Kuuk Thaayorre (sebuah ­komunitas Aborigin kecil di tepi barat Cape York, di Australia utara), mereka menggunakan arah mata angin seperti utara, selatan, timur, dan barat untuk mendefinisikan ruang karena penduduk Kuuk Thaayorre tidak memiliki kata seperti “kanan”, “kiri”, “maju”, dan “kembali”. Artinya mereka akan mengatakan sesuatu seperti, “pindahkan meja ke timur laut sedikit” atau “ada serangga di sisi tenggara kakimu”. Bila dibandingkan dengan para penutur bahasa yang memiliki ­istilah untuk kanan, kiri, maju dan kembali seperti penutur bahasa I­nggris dan Indonesia, penduduk Kuuk Thaayorre memiliki kemampuan ­navigasi yang luar biasa handal karena mereka terbiasa menggunakan arah mata angin dan mampu melacak di mana me­ reka b ­ erada, bahkan di lanskap asing ataupun bangunan yang tidak dikenal.

LAPUT 2 http://lera.ucsd.edu/papers/hebrew-time.pdf

Dalam sebuah tes yang dilakukan Boroditsky dan collaborator ­Alice Gaby untuk menguji apakah Kuuk Thaayorre juga berpikir berbeda tentang waktu, mereka memberi set kartu bergambar apel untuk di­ atur oleh Kuuk Thaayorre berdasar urutan waktu yang benar. Jika ­tugas mengurutkan kartu dilakukan oleh penutur bahasa Inggris dan ­Indonesia, mereka akan menyusun kartu sehingga waktu berlangsung dari kiri ke kanan sedangkan bila penutur bahasa Arab dan Ibrani yang melakukannya mereka cenderung menyusun kartu dari kanan ke kiri karena hal tersebut dipengaruhi arah mereka menulis.

12

DIMENSI EDISI 61


/LAPORAN UTAMA/

Penduduk Kuuk Thaayorre alih-alih mengatur waktu dari kiri ke kanan, mereka mengaturnya dari timur ke barat. Artinya, ketika me­ reka duduk menghadap ke selatan, kartu-kartu itu disusun dari kiri ke kanan. Ketika mereka menghadap ke utara, kartunya bergerak dari kanan ke kiri. Ketika mereka menghadap ke timur, kartu-kartu itu datang ke arah tubuh dan seterusnya. Bagi bahasa yang mengkategorikan benda dengan gender “feminine” dan “masculine”, penutur dari bahasa tersebut memiliki kualitas memandang yang berbeda tentang suatu benda bila dibandingkan dengan penutur bahasa yang tidak men-gender¬kan benda. Misalkan dalam bahasa Jerman, “jembatan” dikategorikan sebagai feminine sedangkan bahasa Spanyol mengkategorikannya sebagai masculine. Apabila orang Jerman dan Spanyol diminta mendeskripsikan jembatan maka orang Jerman akan berkata, “Jembatan yang indah, elegan” dan ungkapan-ungkapan yang menunjukkan feminisme, sedangkan orang Spanyol akan mendeskripsikan seperti “jembatan yang kuat, kokoh, dan panjang” ungkapan khas masculine. Bagi penutur bahasa non-gendered, mereka cenderung mendeskripsikan jembatan secara random, bisa dipandang secara feminine atau masculine.

LAPUT 2

Maka dari itu, benar bahwa bahasa mampu membentuk pola pikir, mengubah pola pikir dan cara memandang dunia karena untuk me­ nguasai bahasa asing, setiap individu perlu mengikuti pola pikir pe­ nutur bahasa tersebut. Lantas bagaimana cara menguasai bahasa asing? Simak metode belajar bahasa asing seorang poliglot berikut: Dalam tayangan di kanal Youtube Ted berjudul “The secrets of learning a new language”, Lydia Machova, seorang poliglot yang me­ nguasai 8 bahasa ber­cerita mengenai cara temannya yang bernama Lucas belajar bahasa Rusia melalui ­aplikasi Skype. Lucas menambah ratusan teman penutur bahasa Rusia di Skype. Lalu me­mulai percakapan dengan salah satu dari mereka dengan menulis “Hai” dalam ­bahasa Rusia. Temannya menjawab “Hai, apa kabar?” kemudian Lucas me­nyalin balasan teman pertamanya untuk di kirim ulang kepada teman Rusia Lucas lainnya. Sehingga, ia hanya menjadi perantara bagi dua orang yang secara tidak langsung berkirim pesan satu sama lain. Namun dengan cara tersebut ia memahami bagaimana orang Rusia memulai percakapan.

DIMENSI EDISI 61

13


Dok. Pribadi

Sigit Berhasil Kuasai 7 Bahasa

Miliki Passion Besar di Bahasa,

/SOSOK/

Sigit Untoro, seorang mahasiswa Jurusan Bahasa Inggris Universitas Stikubank Semarang

Ialah Sigit Untoro, seorang poliglot kelahiran Grobogan, 23 September 1993 ini berhasil kuasai 7 bahasa. Bahasa yang berhasil ia kuasai antara lain bahasa Indonesia, bahasa Jawa, bahasa Inggris, bahasa S ­ panyol, bahasa Turki, bahasa Mandarin, dan bahasa Portugis. Beberapa bahasa lainnya telah ia pelajari, namun belum sampai menguasai. “Aku juga bisa bahasa Jerman, bahasa Italia, bahasa Perancis, bahasa Rusia, dan bahasa India. Sekarang lagi belajar bahasa Yunani dan bahasa Isyarat Indonesia,” paparnya. Ketertarikan Sigit pada bahasa asing dimulai saat masih mengenyam pendidikan Madrasah Tsanawiyah (MTs). Ia mulai ­tertarik mempelajari bahasa Inggris karena metode pengajarannya ­asyik. Ketertarikannya terhadap bahasa asing tidak ber­henti di situ. Ia mengambil kursus bahasa Jepang. Seolah situasi ber­pihak padanya, guru kursusnya memberikan referensi yang

14

DIMENSI EDISI 61

Oleh: Hanifah Nurulinayah Desain: Ilham Fatkhu A.


/SOSOK/

­ibutuhkan bagi Sigit. Dengan autodidak, d Sigit merasa ketertarikannya dalam men­ dalami bahasa asing bertambah. Proses tetaplah ada pasang surutnya, salah satunya dikarenakan keadaan. Kala itu ­Sigit tidak bisa melanjutkan belajar bahasa ­asingnya selepas lulus SMP. Ia harus bekerja dan kemudian mengambil paket C. Sehingga saat itu ia tidak sempat meluangkan waktu­ nya untuk belajar bahasa asing dan akhirnya proses belajar bahasa terhenti. Namun pada tahun 2012, ketertarikan S ­ igit pada bahasa asing muncul kembali secara tidak sengaja. Ia berkeinginan memiliki ­ teman bule. “Di facebook saya mulai cari orang asing. Awalnya ketemu pertama kali itu temen dari Iran. Dulu karena saya belum punya smartphone, jadi saya pakai pulsa buat nelpon ke Iran. Mahal banget ya, demi prak­ tik bahasa Persia,” tuturnya. Ditahun itu pula, ia mulai belajar bahasa Spanyol dan Mandarin. Ia merasa belajar bahasa asing seolah membuatnya ketagi­ han, sehingga ia selalu ingin mencoba mem­ pelajari bahasa lainnya. Kemudian di laman facebook, ia menemukan publikasi komu­ nitas Polyglot Indonesia. “Waktu bulan Juni 2013, Polygot Indonesia itu buka chapter di Semarang aku langsung ikut, ternyata aku suka dan itu seru, bahasa memang pas­ sion-ku. Jadi aku terusin sampai sekarang,” cerita Sigit. Ia mengatakan butuh waktu sekitar se­tengah tahun untuk mempelajari bahasa untuk ­komunikasi percakapan sehari-hari. “Berapa lama itu tergantung motivasi, sama seberapa sering dipakai. Kalau semakin sering dipakai, menurutku nggak sampai hitungan tahunan sih. Sekitar empat bulan sudah bisa,” ujarnya Sigit. Meski belum pernah pergi ke luar negeri, ­seolah itu bukan jadi kendala baginya untuk mempraktikkan bahasa asing. Pada tahun 2016, kemampuan Sigit dalam berbahasa ­asing tak perlu diragukan lagi. Ia memberani­ kan diri bergabung dengan tour agent, men­ jadi penerjemah bahasa Spanyol atau guide

bagi turis luar negeri. Pekerjaan itu masih ditekuninya hingga kini, meskipun ia masih mengenyam bangku kuliah. Selain itu, ia juga pernah mengajar kursus bahasa Mandarin dan bahasa Turki. Mempelajari sesuatu pastilah ada ­ kendala walaupun hanya sedikit. Sigit mengaku m ­ asih mengalami kesulitan saat belajar suatu ­bahasa. Karena suatu bahasa m ­ emiliki tata bahasa yang berbeda-beda, banyak ­kosakata yang perlu dihafal, dan m ­ empelajari suatu budaya dari negara tersebut. Ia memberi contoh kesulitannya dalam mempelajari ­ ­bahasa asing. “Bahasa mandarin itu di­tulis dengan huruf yang beda dengan huruf ­(abjad Indonesia) itu kan kerumitannya makin ­double, mau mulainya aja belajar hurufnya, pelafalan nadanya, beda nada beda arti,” kata Sigit. Saat mempelajari bahasa, maka kita juga ­harus membiasakan diri dengan bahasa a ­ sing tersebut. Metode yang diterapkan Sigit untuk membiasakan diri adalah dengan menonton film atau series dari suatu negara tersebut. Selain itu, media sosial dan smartphone dapat menjadi media untuk mem­pertahankan bahasa asing. “Aku atur bahasa teleponku itu bahasa Jerman, lalu aku buka facebook udah pake bahasa Spanyol, dan buka Instagram udah ketemu bahasa ­Perancis,” jelasnya. Sebagai penutup, Sigit memberikan pandangan­ nya tentang potensi. ­ Potensi orang Indonesia dalam berbahasa itu b ­ esar. Rata-rata kita menguasai dua b ­ ahasa, b ­ ahasa Indonesia dan bahasa daerah. ­“Ketika ­belajar bahasa asing itu kalau bisa satu b ­ahasa, untuk belajar bahasa kedua dan ­ ­ ketiga itu akan lebih mudah.” Sigit menambah­ kan ­ bahwa belajar bahasa itu tergantung ­pandangan kita. “Sebenernya bahasa asing itu tidak susah. Apapun itu tidak akan susah kalau kita suka. Jadi menurutku, kalau orang lain bisa kenapa kita tidak?” tandasnya. Jadi, Sahabat Dims, tunggu apa lagi untuk belajar bahasa asing?

DIMENSI EDISI 61

15


/RISET/

Peran dan Penerapan Bahasa Asing

di Kalangan Mahasiswa Oleh: Tim Riset | Desain: Sri Haryuti

Manusia tidak dapat lepas dari bahasa. Terbukti dari penggunaannya untuk percakapan sehari-hari, bahasa sangat berperan dalam menyampaikan maksud dan tujuan dari seorang komunikator kepada komunikan. Penyampaiannya tak hanya dalam bentuk lisan, tentu saja bahasa juga digunakan dalam bentuk tulisan. Sangat banyak ragam bahasa di seluruh dunia yang berbeda antara satu negara dengan negara lainnya. Bahkan, terdapat satu negara yang memiliki bahasa berbeda di dalamnya. Di antara perbedaan tersebut kita dituntut untuk menguasai sebuah bahasa untuk mengerti maksud yang disampaikan di dalamnya. Apalagi pada era globalisasi ini, dunia semakin kehilangan batas antara satu sama lain. Semua orang bebas berinteraksi dengan didukung oleh semakin majunya teknologi komunikasi, di mana jarak tidak menjadi halangan. Oleh karena itu, kurang rasanya jika kita mejalani kehidupan sekarang ini tanpa bekal kemampuan berbahasa asing. Dengan menguasai setidaknya satu bahasa asing, seseorang dapat berkomunikasi lebih jauh, “Ibarat dapat merobohkan tembok dengan orang-orang di belahan dunia yang lain�. Selain itu, kemampuan berbahasa asing juga merupakan modal besar untuk kita mencari pekerjaan. Saat ini banyak perusahaan yang mencantumkan kemampuan berbahsa asing sebagai kualifikasi dalam mencari pekerja. Bahkan tak jarang pekerja diberikan tunjangan untuk keahliannya tersebut. Dikarenakan penguasaan bahasa asing sangat penting, maka pada majalah Dimensi edisi 61 ini, kami Tim Riset LPM Dimensi mengangkat survei tentang pentingnya penguasaan bahasa asing khususnya bagi mahasiswa. Hal ini agar pembaca dapat mengetahui bagaimanakah perkembangan penggunaan bahasa asing di Indonesia.

1. Jumlah bahasa asing yang anda kuasai. Sebanyak 53,1% responden menguasai bahasa asing. Responden yang menguasai 2- 3 bahasa sebanyak 36,6 %, 4-5 bahasa sebanyak 3,3% dan hanya 0,5 % saja yang menguasai lebih dari 5. Sisanya sebanyak 6,6 % tidak menguasai bahasa asing apapun dari total 213 responden.

53,1% 36,6 % 6,6 % 3,3% 0,5%

16

DIMENSI EDISI 61


/RISET/

2. Sumber dalam mempelajari bahasa asing. Dari 213 responden sebanyak 20 orang atau 56,3% ­belajar secara otodidak, belajar di kampus sebanyak 29,6% , dan sisanya sebanyak 14% malalui les privat. Alasan belajar bahasa asing yang diungkapkan responden kebanyakan untuk berhubungan dengan ­ ­dunia luar agar dapat menambah wawasan dan meng­ ikuti perkembangan zaman. Tidak sedikit responden yang mengungkapkan alasannya agar bisa bersaing di dunia kerja.

29,6% 56,3%

3. Frekuensi penggunaan bahasa asing dalam kehidupan sehari-hari. Intensitas mahasiswa dalam menerapkan keahlian berbahasa asing dalam kehidupan sehari-hari cukup berbeda. Sebanyak 66,7% mengaku jarang mengaplikasikannya untuk komunikasi sehari-hari, sedangkan 30% lainnya sudah menerapkan dan sisanya yaitu 3,3% mengaku tidak pernah.

4. Pengaruh lingkungan terhadap peningkatan kemampuan berbahasa asing mahasiswa. Sebanyak 83,1% dari seluruh responden berpendapat bahwa lingkungan sekitar berpengaruh dalam meningkatkan kemampuan mereka berbahasa asing. Sedangkan sisanya sebesar 16,9% mengaku tidak ada pengaruh.

14 %

30% 66,7% 3,3%

16,9% 83,1%

5. Hal yang mendorong mahasiswa untuk menggunakan bahasa asing dalam sehari-hari. Banyak sekali faktor yang mendorong mahasiswa ­untuk menggunakan bahasa asing dalam komunikasi­ nya s­ehari-hari. Beberapa diantaranya karena sebuah ­tuntutan, yang lainnya dimotivasi oleh keinginan diri sendiri untuk fasih berbahasa asing dan agar terlihat keren.

DIMENSI EDISI 61

17


/RISET/

6. Tanggapan orang sekitar terhadap penggunaan bahasa asing dalam sehari-hari. Ditanya tentang respon orang sekitar, responden mengaku sudah banyak yang menanggapi secara positif bahkan termotivasi untuk menggunakannya juga. Namun, tak sedikit pula yang menganggap penggunaan bahasa asing dalam sehari-hari sangat berlebihan. Sisanya cenderung biasa saja. 7. Hambatan yang dihadapi dalam mempelajari bahasa asing. Mayoritas responden mengaku beberapa faktor yang menghambat mereka untuk belajar bahasa asing antara lain kurangnya rasa percaya diri, takut salah, malas, tidak ada partner untuk mengasah kemampuan, serta respon lingkungan yang membuat minder. 8. Kampus mewajibkan menguasaisuatu bahasa asing. Jika iya, apakah sarana dan prasarana kampus mendukung proses belajar bahasa asing Anda? Dari 147 reponden yang menjawab kampus mewajibkan meguasai suatu bahasa asing, 59% reponden diantaranya menyatakan bahwa pihak kampus telah menyediakan fasilitas yang baik untuk mendukung proses belajar bahasa asing. Sedangkan 41% lainnya mengaku kampus belum menyediakan fasilitas yang baik untuk proses belajar bahasa asing. 9. Kepemilian bukti atas kemampuan berbahasa asin dari suatu kelembagaan bahasa. Dari 213 responden, 54% di antaranya mengaku tidak mempunyai bukti atas kemampuannya berbahasa asing, dan sisanya mempunyai.

59% 41%

54% 46%

Kesimpulan : Dari riset yang telah dilakukan di kalangan mahasiswa, diperoleh hasil bahwa sudah ba­ nyak mahasiswa yang menguasai setidaknya satu bahasa asing, namun ada juga yang me­ nguasai lebih dari satu bahkan sampai lima bahasa. Motivasi yang dimiliki mahasiswa juga sangat beragam, baik untuk menunjang cita-cita, mencari pekerjaan, atau sekedar life style. Akan tetapi dalam penerapannya untuk komunikasi sehari-hari masih jarang digunakan. Hal ini dimungkinkan karena faktor lingkungan sekitar yang kurang menanggapi dengan baik jika seseorang mencoba mempraktikkannya.

18

DIMENSI EDISI 61


PEMBATAS LAPSUS

Budaya Literasi / Membaca / Menulis / Diskusi / Public Speaking / Open Minded / Percaya Diri / Wawasan / Generasi Muda / Problem Solving


Dok. Pribadi

/LAPORAN KHUSUS/

LAPSUS 1 Dampak dan Manfaat Literasi Oleh: Saputri Rizki R. | Desain: Ilham Fatkhu A.

K

Terhadap Budaya Diskusi

ecanggihan teknologi di era sekarang turut mempengaruhi budaya literasi di k ­ alangan generasi muda, di mana aktivitas membaca maupun menulis buku se­makin kurang di­ minati. Padahal gerakan literasi ini sangat penting bagi generasi muda, karena dengan gerakan literasi akan memunculkan gagasan atau ide baru. Generasi muda yang nanti­nya akan menjadi penerus bangsa seharusnya terus mengasah keterampil­an berbicaranya di tempat umum melalui gerakan literasi. Karena generasi muda berperan penting dalam menyumbang aspirasi maupun ide brilian untuk memajukan bangsa. Maka keterampilan berbicara ini harus dilatih yaitu salah satunya dengan cara berdiskusi. Berdiskusi menjadi bagian penting dalam mencapai sebuah keputusan dan kesepakat­ an. Apalagi berdiskusi adalah aktivitas yang menjadi rutinitas dikalangan mahasiswa ­dalam berorganisasi. Akan tetapi diskusi yang sehat perlu dilakukan pembekalan materi dan wawasan yang luas, salah satunya adalah dengan membaca. Kegiatan berdiskusi ini mengharuskan seseorang untuk membaca. Sebab hanya dengan itu, diperoleh bahan untuk dibahas dan diperoleh solusi atas masalah yang terjadi di masyarakat agar dapat terpecah­ kan. Maka biasanya diskusi dilakukan d ­ engan membaca buku terlebih dahulu kemudian dibahas, dan dikaji secara bersama-sama.

20

DIMENSI EDISI 61


/LAPORAN KHUSUS/

Kami Kru Dimensi menemukan suatu ­ adah di Semarang di mana ada kegiatan w yang berkaitan dengan gerakan literasi s­ erta dis­kusi, wadah tersebut bernama ­Kelas Mem­ baca Kedai Kopi Kang Putu. Tempat K ­ edai Kopi Kang Putu ini terletak di Kampung Gebyok, Patemon, Gunungpati, Semarang. Gunawan Budi Susanto atau akrab dikenal dengan Kang Putu, seorang sastrawan asal Semarang, bersama dengan tiga temannya yaitu Sholekhan, Babay, dan Akhiar adalah pendiri kelas membaca dan menulis ter­ sebut. Mereka membuat suatu wadah bagi para a ­ktivis literasi agar tetap lestari di ­kalangan muda. “Aktivitas literasi itu tidak hanya sebatas membaca buku dan mendiskusikannya saja, tapi setelah membaca kemudian kita ter­tarik untuk menulis. Maka setelah adanya tulisan akan terciptalah aktivitas diskusi, dan itu semua tidak dapat terpisahkan,” ungkap Kang Putu. Dalam praktiknya aktivitas diskusi yang dilakukan oleh kebanyakan mahasiswa tetap saja membutuhkan referensi yakni dengan membaca buku. Artinya gerakan literasi membawa peranan penting dalam ­berdiskusi. Berdiskusi dengan bahan literasi ini juga dapat mengasah pemikiran seseorang. Saat menyampaikan pendapat, akan ditemukan pendapat yang berbeda dari ­bahan bacaan yang dibaca, sehingga se­seorang akan ber­ tukar pikiran dengan orang lain dari ­wawasan yang sudah diperoleh. Hal itu yang nantinya akan melatih seseorang menjadi orang yang terbuka atau open minded. Dengan membaca bersama akan di­peroleh pandangan, perspektif dan pemahaman yang beragam. Beda hal jika kita membaca buku sendiri, maka hanya akan memperoleh satu perspektif saja. “Perbedaan pandang­ an yang berbeda-beda bisa memperkaya pengetahuan. Maka disadari semakin hari ­ akan merasa mudah berbicara, menyampai­

kan pendapat, dan kegemaran membaca pun juga meningkat,” jelas Kang Putu. Di kelas membaca dan menulis Kedai Putu ini, gerakan literasi dan diskusi dilakukan dengan cara yang menarik. Kelas membaca dan menulis diadakan setiap Minggu ­sampai Rabu malam dengan diskusi berkelompok yang terdiri dari 10-15 orang, kemudian memilih satu buku untuk didiskusikan secara bersama-sama. Di hari Minggu khusus untuk buku karya Pramoedya Ananta Toer. Kemu­ dian di hari Senin dan Selasa untuk kelas menulis cerpen, dan di hari Rabu membahas buku sejarah dan ekologi politik. Kelas ini pun gratis bagi siapa saja, hanya butuh niat dan kesungguhan hati untuk mengikutinya. Kelas membaca diadakan dengan p ­ osisi duduk melingkar sehingga dapat me­ lihat satu sama lain saat membaca buku. ­Kemudian setelah membaca, peserta kelas akan mengungkapkan pendapatnya tentang maksud dari buku yang telah dibacanya. Hal itu tentunya membantu dalam mengasah keterampilan berbicara di depan umum. Seseorang yang sudah terbiasa menyalur­ kan pendapat di depan umum akan ­semakin percaya diri. Berdiskusi memberikan pem­ belajaran tentang aspek-aspek yang di­ butuhkan saat berbicara di depan publik. Dengan membaca serta menulis, kita bisa berlatih artikulasi, pelafalan kata dan mem­ punyai banyak kosa kata yang diperoleh. Maka saat akan berbicara di depan publik kita tidak akan kehilangan kata-kata karena sudah menguasainya. Kita sadari bahwa minat literasi di kalang­ an muda semakin menurun, namun itu tidak akan berarti apa-apa jika kita hanya tetap diam padahal sudah jelas tahu manfaatnya. “Jadi kita hanya bisa bilang bahwa minat baca kita rendah, tapi kita tidak melakukan tindakan nyata untuk meningkatkan minat baca di kalangan kaum muda itu sama saja tidak berguna,” tandas Kang Putu.

LAPSUS 1

DIMENSI EDISI 61

21


Pengaruh Era Globalisasi

Terhadap Turunnya Kualitas Literasi Publik

/LAPORAN KHUSUS/

22

DIMENSI EDISI 61

Dok. Damar

Oleh: M. Gunawan Angga | Desain: Rinda Wahyuni

P

erkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi atau yang disebut IPTEK telah membawa masyarakat abad ke-21 ini pada gaya hidup yang serba instan. Kini, hampir di seluruh dunia, tidak hanya orang dewasa saja yang menggunakan perangkat-perangkat digital seperti ­handphone dan komputer, anak-anak dan remaja pun banyak yang difasilitasi oleh orang tua mereka untuk menggunakan gadget, baik itu sebagai penunjang kebutuhan belajar maupun sebagai hibur­an semata. Generasi Z memang sangat dekat dengan t­eknologi. Oleh karena itu, penggunaan teknologi secara bijak sangat diperlukan. Jangan sampai kemajuan teknologi justru menjadi sarana untuk saling menghujat dan menjatuhkan satu sama lain, bahkan digunakan untuk menyebarkan informasi hoaks yang menimbulkan perpecahan. Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) mengatakan, bahwa berita hoaks bukan hanya isu nasional, namun juga isu global. Berita hoaks ini banyak diproduksi dan disebarkan lewat media sosial dibandingkan media mainstream.


/LAPORAN KHUSUS/

Maraknya berita hoaks dapat diminima­ lisir dengan adanya literasi. Menurut Nikmatuniayah, pengajar di Jurusan Akuntansi Politeknik Negeri Semarang, bahwasanya li­terasi membaca dari sumber yang akurat sangatlah penting. Apalagi minat baca generasi Z ­ saat ini sangat rendah. Berdasarkan ­penelitian yang dilakukan oleh United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) di tahun 2018, minat baca di Indonesia berada di peringkat 60 dari total 61 negara. Hal ini tentu menjadi ke­ prihatinan bersama. Padahal dengan mem­ baca buku, wawasan yang diperoleh menjadi lebih luas dan hal tersebut akan merangsang kemampuan untuk berpikir secara kreatif. Tidak dapat dipungkiri bahwa seiring berkembangnya zaman, orang lebih suka melihat gambar bergerak daripada tulisan. Dulu ketika awal internet ada, generasi Z ramai menulis di dalam blog, namun setelah muncul beberapa sosial media seperti friendster, myspace, kaskus, twitter, whatsapp, facebook dan instagram membuat orang lebih tertarik ke vlog atau gambar bergerak di mana mereka dapat mencerita­kan kegiatan sehari-hari lewat vlog. Hal tersebut tidak bisa jadikan acuan bahwa literasi generasi Z kurang, karena sekarang banyak konten di sosial media baik instagram atau youtube yang mem­ berikan edukasi misal sejarah, politik, bahkan sastra. Ragil, Menteri Sosial Politik Badan Eksekutif Mahasiswa Kabinet Gelora Reformasi menegaskan bahwa dirinya tidak terlalu sepakat bahwa literasi generasi Z dinilai kurang, hanya karena medianya yang berubah dan caranya pun juga berubah. Menurutnya, literasi terbagi menjadi dua, yaitu sebagai media hiburan dan ilmu pe­ngetahuan. Ilmu pengetahuan dibuat semenarik mungkin sebagai media hiburan, semisal karya sastra novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer yang membahas tentang pergerakan era postkolonial yang kental akan background sastranya, tetapi Pramaoedya Ananta Toer mengemas novel tersebut dari sisi romance. Sayang­ nya kebanyakan orang hanya memahami

dari sisi romance-nya saja dan kurang begitu me­ mahami sisi sejarahnya. Novel ini sudah diangkat di layar lebar oleh Hanung Bramantyo. Dia mengatakan bahwa yang diangkat hanya berfokus soal cinta Minke dan Annelies. Kemudian untuk persoalan pergerakan tidak menjadi fokus utama. Di sisi lain, tak bisa dipaksakan bahwa kebanyakan orang ­hanya menikmati sebagai hiburan, bukan mencari literasi untuk membuat pola pikirnya berkembang. Baik Nikmat maupun Ragil, keduanya sepakat bahwa di era globalisasi ini semua informasi terbuka lebar di internet, sosial media, media mainstream ataupun cetak . Semua tergantung manusianya, apakah mau atau tidak untuk mencarinya. Selain itu, perlu diterapkan pula budaya saring sebelum ­sharing. Pemerintah juga saat ini terus meng­ galakkan sosialisasi pentingnya literasi yang diatur di Permendikbud Nomor 23 t­ahun­­ 2015 tentang Pendidikan Budi Pekerti. Peraturan ini mewajibkan siswa membaca 15 menit sebelum kegiatan belajar mengajar, namun selama ini gerakan literasi masih berfokus pada sosialisasi integrasi literasi dalam pembelajaran semua mata ­pelajar­an, penggalangan dukungan dan pelibatan pegiat literasi, dan promosi melalui media massa. Sebab secara konseptual, pengertian literasi yang diadopsi dan disosialisasi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan ­ (Kemendikbud) bukanlah sekedar membaca dan menulis. Lebih dari itu, literasi merupakan­kemampuan mengakses, mencerna, dan memanfaatkan informasi secara cerdas. Gerakan literasi nasional terus digalak­ kan untuk meningkatkan minat baca, pemerintah membuat Taman Baca Sekolah (TBS), Taman Baca Masyarakat (TBM), T­ aman Baca Keliling (TBK), dan Taman Baca Digital (TBD). Pendirian taman bacaan tersebut diharapkan mampu mendorong minat baca anak dan masyarakat.

DIMENSI EDISI 61

23


/OPINI/

Literasi: Belajar Bersama, Sama-sama Belajar Penyunting: Umi Farida Desain: Ilham Fatkhu A.

OPINI Dok. Pribadi

Opini: Muhammad Sholekan, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang, dan penggiat di Lingkar Studi Kebudayaan Indonesia (LSKI).

Dunia baca dan tulis, bagi saya, tidak hanya aktivitas fisik atau nonfisik. Dibalik baca dan tulis, saya melihat ada semangat muda berapi-api. Membaca dan menulis adalah aktivitas yang menggelora untuk mendapatkan sesuatu: pengalaman, pengetahuan, rasa ingin tahu, dan sebagainya. Oleh karena itu, kita bisa mengajukan pertanyaan sederhana, kenapa orang membaca? Pertanyaan itu juga berlaku terhadap aktivitas menulis. Kenapa orang menulis? ­Jawaban setiap orang atas pertanyaan itu bisa berbeda-beda, namun bisa juga sama. Hal ini ter­ gantung ekspektasi atau tujuan orang yang melakukan kedua aktivitas itu. Mungkin dengan mengajukan pertanyaan tersebut, terkesan aktivitas membaca dan me­ nulis hanya merupakan aktivitas individual. Padahal, kedua aktivitas itu bisa di­organisasikan dengan sangat baik secara bersama-sama. Jika kita menyepakati kedua a ­ktivitas itu ­merupakan aktivitas belajar, pembelajaran secara bersama (diorganisasikan) akan mendapat­ kan sesuatu yang lebih banyak, dan lebih memperkaya.

24

DIMENSI EDISI 61


/OPINI/

Saya tidak tahu persis sebutan apa yang tepat terhadap dua aktivitas itu. Bagi saya, aktivitas itu mungkin tepat jika disebut sebagai “literasi”. Jika kita tengok Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), literasi memiliki beberapa arti. Literasi dimaknai sebagai kemampuan menulis dan mem­ baca; p ­ engetahuan atau keterampilan dalam bidang atau aktivitas tertentu; serta kemampuan individu dalam mengolah informasi dan pengetahuan untuk kecakapan hidup. Namun, bagi saya, aktivitas baca dan ­tulis bukan hanya soal kemampuan. Harus ada kesediaan atau lebih dalam lagi, seperti ke­resahan atas suatu hal. Jadi jika makna literasi dalam KBBI hendak kita kembangkan, mungkin akan berbunyi demikian, ­“Ke­mampuan dan kesediaan orang membaca dan me­nulis. Sehingga mendapatkan pengetahuan atau keterampilan untuk memperoleh ke­ mampuan individu dan kelompok d ­alam me­ ngelola informasi dan pengetahuan sebagai kecakapan hidup”. Maka, dunia literasi seharusnya dimaknai sebagai kegiatan belajar dan mengembangkan kemampuan diri secara bersama-­sama. Kebersamaan dalam dunia literasi juga me­ rupakan kemampuan mengorganisasikan skill setiap pribadi untuk mencapai sesuatu, ­entah itu bersifat intelektual atau politis. Makna sederhana dari dunia literasi dalam konteks intelektual, yakni sesuatu ­ yang berhubungan dengan pengembangan diri yang terkait dengan kecerdasan. Lalu ­secara ­politis, gerakan literasi secara ber­ sama-sama bisa kita gunakan sebagai ­agenda­ – yang tentu – bersifat politis pula. Misalnya, kenapa orang-orang membuat k ­ elas ­belajar (informal) di warung kopi? ­ ­ Selain untuk belajar bersama, tujuan politisnya a ­ ­dalah sebagai kontra pembelajaran terhadap ­ sistem pembelajaran yang kaku di institusi bernama sekolah atau perguruan tinggi.

Simpul Semarang (RBSS). Perpustakaan yang digawangi Edi Subkhan itu dibentuk atas dasar, “Diskusi dan membaca buku di wilayah Semarang atas (Gunungpati), ­masih kurang atau sangat jarang”. Di dalam ­perpustakaan mungil itu ada berbagai jenis buku. Selain meminjamkan buku, RBSS juga menjual buku. Hampir setiap malam juga ada diskusi rutin. Hari Senin, misalnya, ada kelas Pedagogi Kritis yang diampu Edi Subkhan, hari Rabu ada kelas menulis yang diampu Gunawan Budi Susanto atau akrab dipanggil Kang Putu, lalu Kamis Sekolah Tan Malaka yang kepala sekolahnya adalah Muhtar Said, dan Jumat Pemikiran Ekonomi yang diampu Andi Tri Haryono. Sesudah berjalan sekitar tiga tahun, yang turut mewarnai iklim intelektual di ­Semarang, pada 2017 RBSS berakhir atau bubar karena persoalan internal. Namun, setelah pembubaran RBSS, dunia ­ literasi di wilayah Semarang atas tidak bisa di­ katakan me­redup. Justru muncul ­beberapa kelompok diskusi kecil. Setahun sebelum ­ RBBS bubar, sebagian mahasiswa Program Studi Ilmu ­ Sejarah, Universitas Negeri Semarang (Unnes) angkatan 2014, mem­ bentuk ­komunitas literasi yang diberi nama “Komunitas Kalamkopi”. Para anak muda ­ itu me­ ngontrak rumah bersama sekaligus menjadi perpustakaan dan tempat dis­kusi. Diskusi ­ bulanan dan insidental mereka selenggara­ kan. ­ Mereka juga pernah men­ diskusikan satu buku dengan membagi per bab setiap ­minggu. Salah satu buku yang ­pernah ­mereka diskusikan adalah "­Analisis Gender dan T­ransformasi Sosial" karya ­Mansour Faqih. Dengan kemeluasan budaya l­iterasi itu, saya kira, merupakan jawaban atas p ­ enelitian The World’s Most Literate Nations, ­Central Connecticut University pada 2016 yang memperlihatkan hasil: Indonesia ­ berada pada peringkat 60 dari 61 negara yang diteliti. Bagi saya, metodologi penelitian itu patut dipertanyakan. Sebab, kenyataannya banyak anak muda menginisiasi kegiatan literasi, antara lain di Semarang.

OPINI

Perpustakaan Anak Muda Di Semarang misalnya, pada 2014 sejumlah anak muda mendirikan sebuah ­perpustakaan mini di Gang Kantil Nomor 41 Banaran, Kelurahan Sekaran, Kecamatan Gunungpati, dengan nama Rumah Buku

DIMENSI EDISI 61

25


Rusak Kemasan Botol Plastik Setelah Terpakai !

Bahaya Bagi Lingkungan, Bahaya Bagi Kesehatan.


/KAMPUSIANA/

PEMBATAS KAMPUSIANA

Seputar Kampus / Vokasi / Tembalang / Integrasi / Pusat Inovasi / Iptek / Produktivitas / Kompetitif / Teaching Industry, /Sarana dan Prasarana / Mahasiswa

DIMENSI EDISI 60

29


/KAMPUSIANA/

Polines Sebagai

Pusat Inovasi

yang Terintegrasi Oleh: Febi Nur Chusnaeni Ilustrasi: Yekti Zulia P. Desain: Dwi Aprilia P.

S

ebagai seorang mahasiswa yang mengikuti salah satu Organisasi Mahasiswa (Ormawa) di kampus, sudah sewajarnya jika saya kerap berseliweran di Gedung Direktorat. Apalagi ketika hendak mencari tanda tangan dari Wakil Direktur bidang Kemahasiswaan untuk keperluan administrasi. Pada saat menaiki tangga menuju ruang Direktur atau Wakil Direktur, di sana terdapat sebuah kaca besar yang di dalamnya berisi gambaran berbentuk rumah dan SmartArt yang berju­ dul ‘Framework Pengembangan Polines’. Saya kebingungan. Bahkan selama dua tahun mengemban pendidikan di sini, saya tidak tahu kemana arah tujuan kampus yang saya tempati ini. Pun dengan mahasiswa yang lainnya, saya yakin sama.

28

DIMENSI EDISI 61


/KAMPUSIANA/

Kemudian pada thari itu saya bera­nikan diri untuk menemui Bapak Supriyadi selaku Direktur Polines. Saya mempertanyakan maksud dari gambaran yang ada di tangga tersebut. Direktur menjelaskan bahwa diri­ nya menginterpretasikan tujuan Polines sebagai ‘Pusat Inovasi Teknologi dan Bisnis yang Terintegrasi’ dalam bentuk rumah. Menurutnya, rumah merupakan bentuk yang cocok untuk menggambarkan bagai­ mana tahapan yang digunakan untuk me­­rea­li­sasikan tujuan tersebut. Layaknya sebuah rumah, tahapan ini me­ miliki beberapa bagian seperti pondasi, tiang, pengikat, dan atap. Untuk menjadi perguruan tinggi yang baik, Polines membutuhkan bekal pondasi yang kuat berupa Sumber Daya Manusia (SDM) serta sarana dan pra­ sarana yang memadai. Lalu untuk menopang atap, dibutuhkan tiang yang terdiri dari 4 ­pilar yang menjadi satu kesatuan utuh. Pilar pertama berupa mandat penyelenggara­ an pendidikan vokasi yang menerapkan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) ber­ basis nilai kreatif dan inovatif. Yang kedua ­yaitu kaizen, yang dalam Bahasa Jepang ber­arti perbaikan mutu. Kemudian pilar ke­ tiga, tata kelola yang baik di mana institusi harus bersifat akuntabel dan dapat diper­ ­ tang­gungjawabkan secara transparan. Serta selain kompetensi, kita juga dituntut u ­ ntuk memiliki karakter yang tertib, baik dari segi waktu, aturan, maupun ukuran, yang selanjut­nya menjadi pilar keempat, yaitu jati diri. Keempat pilar di atas harus diikat menjadi sebuah visi lembaga yang berbunyi, “Perguru­ an tinggi vokasi yang diakui (nasional dan internasional), mampu bersaing, akuntabel, ber­karakter dalam penerapan ilmu pengetahuan, teknologi, dan bisnis”. Selanjutnya, bagian atap merupakan penggambaran dari Framework Tema Pengembangan Polines. Framework tersebut di­ klasifikasikan dalam jangka waktu lima

tahunan dan terbagi menjadi 3 bagian, y­ aitu mengenai terapan kreatif-inovatif tepat guna, berbasis industri dan keunggulan kompetitif yang berkelanjutan.

Framework tahun 2015-2019 berisi pe­ nguatan nilai manfaat terapan berbasis ­produktivitas dan kreatif-inovatif tepat guna. Pada pengembangan ini, produk-produk yang dihasilkan berorientasi pada ke­ pen­ tingan masyarakat. Sedangkan pada tahun 20202024, tema pengembangan meluas pada keunggulan inovasi terapan dan t­ek­ nologi berbasis industri. Kemudian untuk keunggul­ an kompetitif yang berkelanjutan dicanangkan akan dilaksanakan pada tahun 20252029. Menuju tahun 2020, Direktur menjelaskan bahwa framework pengembangan nantinya akan bergeser. Karya inovatif yang semula berkutat kepada teknologi tepat guna untuk kepentingan masyarakat, kini harus melebarkan sayap pada kebutuhan industri yang lebih besar. Semua pembelajaran pun kini berorientasi pada kurikulum industri. Untuk memperkuat pondasi, Direktur ber­ upaya untuk meningkatkan kualitas SDM dengan menerima tenaga pengajar yang berasal dari alumni Polines. Hal ini di­maksudkan agar karakter dan visi yang dimiliki sesuai dengan keadaan di Polines. Selain itu, SDM yang ada juga harus bisa merespon per­ masalahan, mampu beradaptasi, berinovasi, menganalisis, dan menemukan solusi. Kemudian terkait sarana dan ­ prasarana, beliau menambahkan bahwa nantinya ­ akan dibangun Gedung Kuliah Bersama di wilayah Tata Niaga. Gedung ini digunakan untuk pembelajaran teori di semua jurusan, ­sedangkan wilayah teknik akan digunakan untuk ­ tea­ching industry, di mana ­ proses pem­ belajarannya sama seperti praktik langsung di industri. Gedung yang rencana­ nya di­ bangun setinggi 8 lantai ini, akan dibangun 3 lantai terlebih dahulu agar bisa segera digunakan. DIMENSI EDISI 61

29


/SPEAK UP/

RENCANA PEMBANGUNAN

Gedung Kuliah Bersama Oleh: Hani Cahya Kamila | Desain: Rinda Wahyuni

P

oliteknik Negeri Semarang (Polines) terus berbenah demi meningkatkan kualitas sarana dan prasarana dalam kegiatan belajar mengajar. Upaya tersebut terlihat dari adanya rencana pembangunan Gedung Kuliah Bersama di area Tata Niaga. Rencananya kegiatan perkuliahan teori dari semua jurusan nantinya akan dipusatkan di Gedung Kuliah Bersama. Kabarnya rencana pembangunan Gedung Kuliah Bersama didanai dari Sumbang足 an Pengembangan Institusi (SPI), yang dikenakan kepada mahasiswa baru dari jalur Ujian Mandiri (UM). Nah, bagaimana pendapat mahasiswa tentang rencana pembangunan Gedung Kuliah Bersama? Lalu bagaimana tanggapan mahasiswa tentang pemindahan beberapa ruang足an di sekitar Tata Niaga, dan juga mengenai SPI? Evans Azrial Gibran (Jurusan Teknik Mesin) Kalau fasilitasnya lebih memadai dari yang sekarang kenapa tidak, soalnya kalau dilihat fasilitasnya yang sekarang terutama di Jurusan Teknik Mesin bisa dibilang alakadar足nya. Menurut saya rencana pembangunan Gedung Kuliah Bersama itu bagus tapi harus disertai transparansi dana. Jadi tidak terkesan ada yang ditutupi.

Raka Adi Pratama (Jurusan Akuntansi) Bagus, saya sudah melihat rancangan pembangunannya se足 perti apa. Saya setuju, asalkan institusi mempertimbangkan gedung-gedung yang sudah ada seperti ruang dosen, Ruang Serba Guna (RSG), Griya Himpunan Mahasiswa (HIMA) akan di pindah ke mana. Mengingat di Griya HIMA terdapat perpustakaan jurusan mungkin nantinya akan disosialisasikan kemudian. Kemarin sempat bilang ke jurusan masalah pemindahan, katanya pasti ada tempat tapi belum tahu tempatnya di mana. Kami berharap tempatnya layak dan memadai agar tidak merugikan mahasiswa di Jurusan Akuntansi. Terkait masalah dana SPI yang digunakan untuk pembangunan, dari BEM melihat ada kejanggalan karena belum ada Surat Keputusan (SK) tapi sudah ada di Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB).

30

DIMENSI EDISI 61


/SPEAK UP/

Randy Adidaya (Jurusan Teknik Sipil) Secara konkritnya, di Polines kurang ruang kelas. Di Teknik ­Sipil hal ini bisa dilihat adanya pembagian shift pagi dan siang dalam satu kelas. Jadi menurutku Polines itu butuh gedung dan ­ruang kelas baru. Tapi kan kemarin saya dengar tentang isu dana ­pembangunan diambil dari SPI, saya kurang setuju dengan nominalnya yang bisa dibilang tinggi. Melihat butuhnya pembangunan gedung dan penambahan ruang kelas mungkin SPI itu bisa mempercepat pembangunan gedung, tetapi dengan adanya Uang Kuliah Tunggal (UKT) seharusnya cukup untuk pengadaan peralatan dan pembangunan gedung. Raufinda Cahyaning Pravita (Jurusan Akuntansi) Saya tidak tahu informasi tentang pembangunan Gedung Kuliah Bersama. Bagus, asal tidak menganggu pembelajaran. Tapi, kalau perkuliahan hanya dipusatkan di area Tata Niaga hal itu kurang strategis. Perihal kurangnya sarana dan prasarana di Jurusan Teknik, kembali ke jurusannya masing-masing. Kalau di Tata Niaga kenapa pembenahan terus dilakukan, itu karena jurusan dan civitas di akuntansi selalu mengusahakan sarana-sarana diperbarui, harusnya di Teknik juga bisa seperti itu. Rama Katon Cahyono (Jurusan Administrasi Bisnis) Ada beberapa hal penting yang harus dipertimbangkan, karena pembangunan dilaksanakan di area pusat kegiatan mahasiswa. Rumornya kalau Sekre HMAB itu dipindah ke gedung Administrasi Bisnis (AB) baru, padahal di situ tempatnya sudah penuh dengan ruang kelas. Gedung di Jurusan Administrasi Bisnis sudah cukup untuk memfasilitasi kelas teori maupun praktik. Secara garis besar sebenarnya positif, karena dari Jurusan Teknik pun kemungkinan jam kuliahnya bisa efektif. Perihal SPI di Polines masih dipertanyakan transparansinya, semoga dana tersebut benar-benar tepat sasaran dan efektif penggunaannya. Wahyu Bintang (Jurusan Teknik Elektro) Ini adalah rencana yang bagus dari Polines, tapi kembali lagi ada sektor-sektor di jurusan yang harus diperbaiki sebelumnya. Ini merupakan langkah besar yang ditempuh Polines, tetapi ada kepentingan-kepentingan jurusan yang dilupakan. Sebaiknya pembangunan masing-masing jurusan disamaratakan terlebih dahulu, peningkatan kualitas, akreditasi dan sebagainya. Bengkel di Jurusan Teknik perlu perhatian dan perbaikan kelayakan. Terkait SPI kurang baik, walaupun diperbolehkan negara. Nominalnya terlalu besar, saya agak ragu SPI seluruh dananya untuk pembangunan. Karena teknisnya uang SPI disetorkan ke negara dan Polines cuma dapat beberapa dari pemerintah. DIMENSI EDISI 61

31


VISIT Our Website

www.lpmdimensi.com http://www.


PEMBATAS SEMARANGAN

Semarang / Jawa Tengah / Ibu Kota Provinsi / Keunikan / Perpustakaan Pesisir / Budaya Membaca / Gerakan Pemuda / Warisan / Budaya Daerah / Kekayaan Indonesia / Pengamen


/SEMARANGAN/

Perpustakaan Pesisir,

Hadirkan

Ruang Terbuka Bagi Masyarakat Pesisir Oleh: Nisrina Nibras

B

34

Desain: Sri Haryuti

erawal dari keinginan pemuda desa setempat untuk mendirikan ruang publik bagi masyarakat, dari ­ situlah berdiri Perpusataakaan Pesisir. Perpus­ takaan ini berada di pesisir pantai Semarang, tepatnya di Desa Tambaklorok, Kota Semarang. Perpustakaan Pesisir ­res­mi berdiri pada tanggal 7 Desember 2017. Pada mulanya, Perpustakaan Pesisir me­miliki nama Taman Baca Teratai 414. Pemilih­ an angka 414 sendiri dikarenakan letak perpustakaan yang berada di RT 4 RW 14.

Manusia (ESDM) masyarakat setempat. Yang mana tidak hanya dijadikan sebagai tempat membaca dan belajar mengajar, tetapi juga dapat digunakan sebagai ­tempat perkumpul­ an para pemuda setempat.

Berdirinya Perpustakaan Pesisir tidak lepas dari diambilnya kesempatan program peme­ rintah Kota Semarang, yaitu ­Pembangun­an Kampung Bahari Tambak Lorok. Sejak saat itu, pemuda desa setempat memiliki ide ­untuk mendirikan taman baca yang ber­guna untuk menunjang Ekonomi Sumber Daya

Perpustakaan Pesisir sendiri bentuknya se­ ­ perti taman baca terbuka, di dalamnya terdapat rak–rak buku seperti perpustakaan pada umumnya. Namun perpustakaan ini juga dapat digunakan oleh masyarakat setempat untuk berdiskusi atau sekedar berkumpul. Untuk menarik minat pengunjung,

DIMENSI EDISI 61

Selain itu, berdirinya Perpustakaan Pe­sisir tidak terlepas pula dari dukungan KNTI (­Komunitas Nelayan Tradisional Indonesia) yang ikut membantu dalam pencarian dana. Se­hingga perkembangan demi perkemba­ng­ an dari Perpustakaan Pesisir mulai terlihat.


/SEMARANGAN/

Dok. Arizal

Perpustakaan Pesisir dilengkapi dengan fasilitas Wi-Fi gratis bagi pengunjungnya. Bukan hanya itu, Perpustakaan Pesisir buka hingga 24 jam setiap harinya serta terbuka untuk siapapun, baik usia tua, remaja, maupun anak-anak. Dalam perkembangannya, Perpustakaan ­Pesisir membuka kesempatan kepada semua elemen masyarakat untuk turut andil me­ ngelola perpustakaan, yakni dengan menjadi volunteer. Saat ini Perpustakaan Pesisir memiliki volunteer sebanyak 113 orang yang terdata. Volunteer bertugas membantu me­ rawat dan mengagendakan setiap kegiatan di dalam perpustakaan. Sistem perekrutan volunteer dilakukan dengan cara me­nyebar pamflet. Setelah itu, barulah para calon ­volunteer dikumpulkan untuk diberikan pe­ ngarahan sebelum akhirnya benar-­ benar

menjadi volunteer Perpustakaan Pesisir. Untuk mendukung perkembangan Perpustakaan Pesisir, maka pengelola perpustakaan menerima donasi segala jenis buku-buku bacaan yang bermanfaat untuk menambah pengetahuan, khususnya buku-buku yang berhubungan dengan kelautan. Selain itu, Perpustakaan Pesisir juga menerima ­donasi berupa uang guna membiayai kebutuhan yang berkelanjutan.

Keberadaan Perpustakaan Pesisir dirasa menjadi udara segar bagi masyarakat pesisir. Selain dapat dijadikan sebagai ruang terbuka untuk berdiskusi, hadirnya perpustakaan ini tentu dapat menjadi sarana tempat belajar yang ramah dan menyenangkan untuk anakanak.

DIMENSI EDISI 61

35


/SEMARANGAN/

Mengingat Saksi Bisu Bernilai Sejarah di Ambarawa

S

Oleh: Wahyu Sari Desain: Rinda Wahyuni

emarang merupakan ibu kota Provinsi Jawa Tengah yang kaya dengan potensi objek wisata cagar budayanya. Selain ­Lawang Sewu yang paling lekat dengan Kota ­Semarang, ada pula Benteng Fort William I atau lebih di­kenal dengan nama Benteng Pendem ­Ambarawa. Bangunan bersejarah ini merupakan peninggalan Belanda. Dibangun pada tahun 1834 atau pada abad ke-19 saat VOC berkuasa di Jawa. Pada masa itu kekuasaan dipegang oleh Kolonel Hoorn.

dok. Arizal

Disebabkan karena bangunan benteng yang terselimuti oleh tanaman sehingga tidak terlihat, maka masyarakat ­ menyebutnya sebagai Benteng Pendem Amba­ rawa. Hingga kini sebutan ­Benteng­ Pendem Ambarawa itu­ lah yang terlekat diingatan ­masyarakat, yang mana pendem dalam bahasa Jawa berarti terkubur.

Kala itu (14/4/2019) saya bersama dengan keempat awak kru Dimensi menemui Mahmudi, Ketua RT 07 RW 03 di Asrama Benteng Pendem Ambarawa, Kelurahan Lendoyong. Mahmudi me­ ngatakan bahwa pada mulanya Benteng Pendem Ambarawa digunakan sebagai benteng pertahan­ an sekaligus tempat penimbunan logistik oleh militer Belanda. “Maka dari itu di sini juga ada stasiun, yang mana ini juga masih ada kaitannya dengan Lawang Sewu.”

dok. Arizal

36

DIMENSI EDISI 61

Selain terdapat bangunan berupa benteng, di ­lokasi Benteng Pendem Ambarawa juga terdapat Lembaga Pemasyarakatan (Lapas). Menurut ­ keterangan Mahmudi yang juga bekerja di Lapas, Lapas tersebut sudah ada sejak tahun 1850. “Kalau dulu istilahnya bui. Lapas ini merupakan Lapas umum, sekarang ada sekitar 460-an penghuni Lapas.” Kini Benteng Pendem Ambarawa sudah lebih di­ kenal di masyarakat luas berkat majunya ­media sosial. Bangunan bersejarah tersebut telah ­ menjadi sorotan tersendiri bagi para wisatawan


/SEMARANGAN/

­taupun penduduk asli Semarang untuk a dikunjungi. Bahkan menurut cerita dari Mahmudi, animo masyarakat yang ingin berkunjung lumayan banyak. “Dari Jakarta, Surabaya, Malang k ­ alau pas hari libur juga ada yang berkunjung di sini. Waktu saya ­tanya ternyata mereka tahu dari internet.” Benteng Pendem Ambarawa juga pernah digunakan sebagai lokasi pembuatan film berskala nasional. Selain itu, benteng ini juga dikenal dengan beberapa kisah mistis­ nya. Bahkan bangunan bersejarah ini pun pernah dijadikan sebagai lokasi acara uji ­nyali yang ditanyangkan di salah satu s­ tasiun televisi swasta. Oleh sebab itu, Mahmudi memperingat­ kan agar setiap pengunjung yang datang untuk selalu berhati-hati. Perhatian dari Pemerintah Terlepas dari kisah mistis tersebut, kita ­ketahui bahwa Benteng Pendem A ­ mbarawa merupakan objek wisata cagar budaya. Bangun­an ini pun diusahakan untuk tetap dirawat dan dilestarikan. Dalam waktu terdekat pembangunan yang akan dilaksanakan adalah memperbaiki akses menuju lokasi Benteng Pendem Ambarawa, yang mana ­pemerintah kabupaten telah menyetujui pendanaannya. “Alhamdulillah ada ­ perhatian juga, rencanya bulan Agustus nanti di­reali­ sasi.”

dok. Arizal

Benteng Pendem.

Namun yang disayangkan justru ­pemerintah tidak menganggarkan dana untuk me­renovasi bangunan. Sebab itulah akhir­ nya investor swasta yang mendanai r­ enovasi perbaikan dan pembersihan bangunan demi ke­ nyamanan para wisatawan. Mahmudi menutur­kan ­bahwa rencananya Benteng Pendem ­ Ambarawa akan dijadikan dan di­ kelola sebagai objek wisata yang sebenar­ ­ nya. ­ Rencana tersebut di­targetkan akan ­selesai ­dalam dua ­hingga tiga tahun mendatang. “Saya juga heran, dari ­ pemerintah setempat sendiri sering mengecek bangunannya tapi dari pihak sana tidak ada anggaran untuk merenovasi. Ada wacanan mau direvitalisasi tapi ya butuh dana yang besar. Dari swasta nanti rencananya ­gedungnya dibersihkan, dikembalikan seperti aslinya saja.” Dengan adanya rencana untuk menjadi­ kan Benteng Pendem Ambarawa sebagai ­ objek wisata, diharapkan turut dapat meningkatkan pendapatan masyarakat sekitar. Selain itu, Mahmudi berharap agar pengunjung yang datang bukan hanya sekadar berfoto-­foto saja. Namun perlu diingat kembali ­bahwa Benteng Pendem Ambarawa merupakan bangunan bersejarah yang menjadi saksi bisu perjuang­ an nenek moyang terdahulu. Walaupun hanya sebuah bangunan saksi bisu diharapkan kita pun dapat merasakan atmosfer perjuangan dan mengambil nilai-nilai sejarahnya.

dok. Arizal Mahmudi, Ketua RT 07 RW 03 di Asrama Benteng Pendem Ambarawa, Kelurahan Lendoyong.

DIMENSI EDISI 61

37


/GALERI FOTO/

Oleh : Tim Fotografer

Desain: Dwi Aprilia

Proses Pembuatan Serabi Mini Khas Desa Ngampin Ambarawa

S

erabi Ngampin merupakan makanan khas Ambarawa. Serabi ini biasanya dapat kita jumpai di kiri kanan jalan sepanjang Desa Ngampin, Ambarawa. Makanan tradisio­ nal yang berbahan dasar tepung beras, santan, garam dan gula ini masih mempertahankan keklasikan dalam proses memasaknya. Proses memasaknya yaitu dengan tungku dari tanah liat, yang kemudian dibakar dengan kayu. Ukuran mungil dan tipis menjadi ciri khas tersendiri dari Serabi Ngampin jika dibandingkan dengan serabi-serabi lain­ nya. Tampilan dari serabi ini menjadi semakin manis dan menggoda karena mempunyai tiga macam warna, yang mana setiap warna mewakili rasa dari serabi tersebut. Warna putih rasa original, hijau rasa pandan, dan cokelat rasa gula merah. Proses dari pembuatan serabi ini dapat dilihat dalam galeri foto di bawah ini.

38

DIMENSI EDISI 61


/GALERI FOTO/

1 Proses pencampuran bahan dalam membuat Serabi Ngampin.

2 Penambahan santan setelah adonan merata guna menambah cita rasa.

3 Pengadukan santan dan adonan agar tercampur.

4 Tungku yang akan digunakan harus dibersihkan terlebih dahulu.

DIMENSI EDISI 61

39


/GALERI FOTO/

5 Menuang adonan serabi di atas tungku yang telah sedikit panas.

6 Mengangkat serabi yang sudah matang dari tungku.

7 Serabi yang telah matang dihidangkan pada wadah mika.

8 Penyajian serabi dengan kuah yang terbuat dari gula merah.

40

DIMENSI EDISI 61


/GALERI FOTO/

PEMBATAS TRAVELOGUE

Catatan Perjalanan / Cerita Outdoor / Liburan / Refreshing / Perbukitan / Ekstrim / Kulineran / Khas Semarang / Pati / Legendaris

DIMENSI EDISI 60

43


/PLESIR/

Mencicipi Indahnya Panorama Gumuk Reco Sepakung

K

ota Semarang ­ bukan hanya mempunyai gelar ­ sebagai Ibu Kota Jawa Tengah, tapi juga m ­emiliki gelar atau ­ semboyan sebagai kota asri. Semarang menjadi salah satu kota yang ­memiliki destinasi wisata yang ­be­ragam, mulai dari ­ wisata buatannya hingga wisata alamnya. Saat ini ba­nyak s­ ekali destinasi wisata alam yang baru dikembang­kan dan dapat menjadi rekomendasi wisata liburan, salah satunya adalah objek wisata Gumuk Reco yang terletak di Desa Sepakung, Kecamatan Banyu­ biru, Kabupa­ten Semarang.

Oleh: M. Gunawan Angga Desain: Rinda Wahyuni

yang awalnya kami pikir akan membosankan justru sama sekali tidak terasa. Sepanjang perjalanan, kami di­suguhi dengan indahnya pemandangan di kanan kiri jalan berupa ladang sawah, dan indahnya pegunungan. Jika k ­ alian beruntung kalian akan mendapati pengamen yang menari meng­gunakan pakaian tradisional mirip dengan kesenian ­jathilan di dekat lampu merah lingkar Ambarawa. Setelah berkutat de­ngan­lalu lalang kendaraan serta hamparan sawah yang membentang, akhir­nya kami sampai di daerah­­Ambarawa. Untuk ­menuju­ke wisata Gumuk Reco tidaklah sulit. Kalian bisa bertanya pada penduduk se­kitar Ambarawa, karena rata-rata masyarakat sekitar s­udah ­hafal dengan jalan menuju wisata G ­ umuk Reco. Kalian yang takut salah jalan karena baru pertama kali, tidaklah ­perlu khawatir. Ketika kalian ­sudah melewati Pasar Legi arti­nya kalian sudah dekat dengan tempat wisata.

Perjalanan yang Mengasikkan­ Jam menunjukkan pukul delapan pagi, waktu itu (14/4/2019) kami sedang bersiap ­ untuk berangkat menuju Sepakung. Ini adalah ­ pertama kalinya kami melakukan perjalanan ke sana. Sesuai informasi yang kami terima dari berbagai pihak, lama perjalanan yang akan kami ­tempuh dari Tembalang me­nuju lokasi wisata, kurang ­ lebih sekitar satu setengah jam. Perjalanan

42

DIMENSI EDISI 61

Dok. Arizal Petugas mendokumentasikan momen pengunjung yang menaiki wahana ayunan langit


/PLESIR/

Di tengah-tengah perjalanan menuju lokasi wisata, kami cukup terkejut dengan medan jalan yang ekstrem. Gumuk Reco yang ber­ ada di ­lereng gunung, membuat kami harus mengeluarkan tenaga lebih untuk bisa sampai ke sana. Jalan­an aspal yang berkelok-kelok dan menanjak, serta di samping-­ samping jalan terdapat jurang, membuat kami harus benar­-benar berjuang agar bisa sampai di atas. Jalan­an ini hanya cukup untuk dilewati dua mobil kecil yang saling berpapasan. Untuk kalian yang ingin berwisata ke sana maka kami anjurkan untuk membawa motor, dan kalau bisa jangan motor matic agar ­lebih aman. Untuk memasuki tempat wisata Gumuk Reco, kami diharuskan membayar tiket sebesar Rp 5.000 per orang. Tiket masuk ini tergolong murah, karena dengan ­ merogoh kocek se­besar itu, selain bisa memasuki tempat wisata­nya kita juga mendapat akses wifi ­selama dua jam di sana. Lokasi wisata yang berada di ketinggi­ an menyebabkan sinyal ­internet buruk, untuk itu pengelola menyediakan akses wifi yang sudah termasuk dengan tiket masuk ini akan sangat membantu wisata­wan yang berkunjung. K ­ etika ke sana kita juga akan dikenakan biaya retribusi untuk parkir sebesar Rp 2.000 per kendaraan.

Dok. Arizal Batu yang disebut “Gumuk Reco” dan nama tersebut di­ abadikan menjadi nama obyek wisata di daerah tersebut

Dok. Arizal Pengunjung mengabadikan diri di salah satu spot foto yang berbentuk seperti sarang burung

Sejarah Gumuk Reco Sepakung Nama Sepakung berasal dari kata ‘sepa’ dan ‘kung’ yang berarti orang tua laki-laki. Sedangkan Gumuk Reco, berasal dari kata ­ ‘gumuk’ yang berarti tanah yang menggunduk dan di atasnya ada batu yang namanya ‘reco’. Penamaan ini dikarenakan di lereng gunung tersebut terdapat batu yang tidak pernah berpindah tempat, namun untuk mengamankan batu tersebut pihak pengelola wisata me­ masang pembatas agar pengunjung tidak memanjatnya.

Dok. Arizal

Petugas obyek wisata sepakung memperlihatkan aksinya saat menaiki wahana ayunan langit

Desa Sepakung adalah daerah yang ditunjuk oleh pemerintah Kabupaten Semarang pada tahun 2015 untuk menjadi Desa Wisata. Pihak Kementrian Pariwisata mensosialisasi keppaDIMENSI EDISI 61

43


/PLESIR/

Dok. Arizal Wahana "ondo langit" yang menjadi favorit pe­ ngunjung yang hadir

da masyarakat agar dapat me­ngerti apa itu Desa Wisata. Yang kemudian di tahun 2016 sosialisasi diadakan untuk mengembangkan potensi yang ada. Potensi di Sepakung adalah panorama alam, kesenian lokal, dan budaya. Saat itu yang dikembangkan pertama kali adalah panorama alamnya. Pada destinasi wisata Gumuk Reco, terdapat batu yang dulunya dibentuk menjadi sebuah arca yang belum ­selesai dipahat, yang merupakan peninggalan dari kerajaan Majapahit. Luas wilayah tempat wisata ini sekitar dua ­ ­hektar yang merupakan milik dari Perum Perhutani. Selain sebagai tempat wisata, Gumuk Reco juga bisa dijadikan ­sebagai tempat untuk camping ground. Nirwananya Spot Foto Sebagai destinasi wisata alam, Gumuk Reco tentunya me­ nawarkan segudang pemandangan alam yang indah. Ibu Ria, yang merupakan salah satu pengunjung wisata me­ ngatakan bahwa Gumuk Reco ini adalah tempat wisata yang recommended. “Hanya dengan membayar tiket yang murah harganya, saya sudah bisa menikmati pemandangan yang eksotis. Di mana terdapat hamparan sawah nan hijau, tebing-tebing yang berimpit, semilir angin yang menerpa dan juga cocok digunakan untuk foto dengan spot yang ­indah,” ujar Ria. Ada beberapa spot foto yang dapat dimanfaatkan, ­beberapa di antaranya seperti flying fox, ayunan langit, jembatan k ­epompong, ondo langit, dan sangkar burung yang m ­ en­jadi primadona untuk foto yang ­instagramable.

44

DIMENSI EDISI 61

Selain ­sebagai spot foto, beberapa ­ wahana wisata tersebut juga ada yang dapat digunakan ­ sebagai penan­ tang a ­drenaline bagi para wisatawan yang ­ menyukai ­tantangan, di­antaranya seperti ayunan langit dengan ketinggian 800 meter. Pengunjung tak perlu khawatir dengan ke­amanannya, karena pihak pengelola sudah menyediakan sabuk pengaman bagi pe­ ngunjung. Selain itu juga ada ondo ­la­ngit, yang merupakan jembatan panjang di pinggir tebing serta flying fox yang tak kalah menantang. Harga yang Dipatok dan Fasilitas yang Ditawarkan Selain tiket masuk dan biaya ­retribusi parkir, jika pengunjung ingin menikmati w ­ ahana spot foto yang disediakan, pe­ngunjung hanya perlu me­ rogoh kocek lagi ­sebesar ­­­Rp 10.000 untuk m ­ asing-masing wahana. ­Ke­cuali untuk spot foto di ondo langit, di mana pe­ ngunjung perlu me­­nge­luarkan uang lebih banyak yakni se­ besar Rp 25.000 ­serta wahana flying fox yang di­tarik harga sebesar Rp 15.000. Sedangkan untuk fasilitas umum, G ­ umuk Reco menyedia­ kan kamar mandi bersih serta ­ mu­ shola yang dilengkapi ­de­ngan spot charger. Bagaimana, tertarik untuk berwisata ke ­ Gumuk Reco? ­Jangan lupa masukkan G ­ umuk Reco dalam list liburan kalian ya!


/KULINER/

Dok. Sania

Rahasia Rasa Dibalik Uniknya

Nama Nasi Gandul Pak Memet Oleh: Sania Vina R.

Desain: Ilham Fatkhu A.

K

alian pernah mendengar nasi gandul? Kuliner yang satu ini merupakan makanan khas Kota Pati yang sudah terkenal akan kelezatannya. Nasi gandul merupakan nasi yang ­disiram kuah merah kecoklatan dengan irisan daging dan jeroan sapi yang telah dibumbui, dan d ­ isajikan dengan piring yang dialasi dengan daun pisang.

DIMENSI EDISI 61

45


/KULINER/

Mengapa diberi nama nasi gandul? Karena konon katanya dulu para penjual nasi gandul berjualan menggunakan dunak atau bakul besar berasal dari anyaman bambu, ­mereka berkeliling desa menawarkan makanan­nya. Nah, waktu memikul tersebut nasi serta kuahnya bergoyang-goyang atau orang Jawa biasa menyebutnya gondal-gandul. Sampai­ lah pada saat itu salah satu masyarakat Kota Pati menyebut nasi beserta kuah yang bergoyang itu dengan sebutan nasi gandul atau sego gandul.

­ enjadi salah satu menu berbuka puasa yang m tidak pernah dilewatkan oleh pecinta nasi gandul, dan khusus di bulan Ramadan Pak Memet bahkan menyediakan satu mangkuk kurma bagi pembeli yang berbuka puasa di sana.

Menurut kebanyakan orang, nasi gandul mirip dengan nasi rawon, pindang maupun nasi gulai. Namun sebenarnya ada ciri khas tersendiri yang membedakan nasi gandul dari yang lain. “Nasi gandul itu nasi yang disiram pakai kuah. Kuahnya sendiri dari perKalau warga Kota Semarang penasaran ­ingin paduan bumbu rawon, pindang sama g ­ ulai. mencicipi kelezatan nasi gandul, ­sekarang Cuma yang membedakan adalah ­kalau rawon tidak harus jauh-jauh menuju Kota Pati sama pindang kan pakai kluwuk dan daun ­ ­untuk mencicipinya, karena nasi gandul kini ­melinjo, kalau gulai pakai sereh ­sedangkan sudah banyak dijual terutama di daerah-­ di g ­ andul ini tidak pakai sama sekali. Isian daerah p ­antai utara Jawa, salah ­ satunya dari nasi gandul juga beragam mulai dari Kota ­Semarang ini. Di Kota Semarang ada daging s­ ampai jeroan sapi ada semua,” jelas beberapa penjual yang menyajikan nasi Pak ­Memet disela-sela meracik nasi gandul ­ ­gandul, seperti nasi gandul Pak Memet yang ­untuk pembeli. terletak di Jalan Dr. Cipto. Setelah mencicipi nasi gandul Pak Memet, Warung tenda yang berada di Jalan Dr. ­Cipto, akan terasa di lidah adanya rasa yang kaya Kota Semarang ini telah menjadi salah akan rempah dan empuknya daging. ­Nilai 8 satu tempat makan favorit bagi pembeli dari 10 untuk nasi gandul Pak Memet dan jika nasi ­gandul yang berada di Kota ­Semarang. kalian sedang berkunjung ke Kota Semarang Warung nasi gandul Pak Memet ini sudah jangan lupa untuk mampir dan mencicipi berdiri sejak tahun 1990-an. Selama 29 nasi gandul Pak Memet ini. tahun pula warung tersebut tidak p ­ ­ernah ber­ pindah tempat, dan tidak ­ mendirikan cabang ­ di manapun. Harga yang dipatok oleh Pak ­Memet cukup murah dibandingkan warung nasi gandul yang lain, yakni ­dengan meratakan harga semua daging sampai jeroan­nya seharga Rp 9.000 saja. Di warung tersebut juga menyediakan lauk pendamping nasi gandul seperti tempe, perkedel, kerupuk dan telur. Warung nasi gandul Pak Memet buka mulai pukul 16.00 WIB. Jika melihat dari banyak­ nya mobil dan motor yang terpakir rapi ­ketika kami datang ke sana, nampaknya warung tersebut tidak pernah sepi pembeli. Di ­bulan Ramadan nasi gandul Pak Memet juga

46

DIMENSI EDISI 61


/KULINER/

PEMBATAS INCOGNITO

Bebas / Hujan / Pertentangan / Perspektif / Pro Kontra / Sastra / Lestari / Beragam / Selingan / Unik / Kritik / Nge Dims / Buku / Film

DIMENSI EDISI 60

49


/CERPEN/

Ilustrasi: Erica A. N.

Desain: Riris Meta K.

Masih (belum) Diputuskan Oleh: Danganan Galuh

48

DIMENSI EDISI 61


/CERPEN/

Malam itu di sela-sela pasir yang berdesir tanpa peredam kami duduk menekuk lutut. Meraba tiap peluh yang berceceran di tapak bumi pesisir. ­Melepas ­penat setelah seharian bermain peran liburan dari aktivitas sehari-hari di kota. ­Aktivitas yang sering kami kutuk sangat membosankan. Betapa tidak? Tiap ­putaran jarum jam hanya bergerak sesuai jadwal. Parahnya, orang lain yang menentukan jadwal itu. Meskipun dengan sedikit kompensasi kami bisa mengisi sepersekian menit dengan agenda kami sendiri. Seperti melamun ditemani kopi dan kretek. “Itu kan kamu kak!” bentaknya tiba-tiba. “Apanya?” “Melamun ditemani kopi dan kretek, aku tidak merokok tahu!” jawabnya dengan tampang cemberut. Ah sial! Lagi-lagi usahaku menaklukan gadis ini gagal. Setidaknya dalam ­tulisanku sendiri, tetap gagal. Tapi bukankah sudah menjadi naluri semua ­laki-laki untuk tertantang dengan sesuatu yang susah ia taklukan? Bukankah sesuatu yang susah didapat itu akan dijaga dengan sebenar-benarnya? “Kamu pikir aku barang?” sergahnya lagi. Aku terkaget mendengar pertanyaannya barusan. Tapi segera ku usir kekagetan­ ku dengan tertawa girang tanpa sebab selain mencairkan suasana. Suasana yang selalu aku benci setiap bersamanya tapi akan selalu menggumpal men­ jadi rindu saat berjauhan. Mungkin memang itulah daya tarik darinya, mungkin. Atau setidaknya itulah yang kupikirkan untuk memberi alasan kepada setiap orang yang bertanya padaku, kenapa dia? Meskipun aku cenderung tidak ter­ lalu peduli dengan sekitar tapi nyatanya keadaan sekitarku diam-diam menuntut perhatian di setiap lamunanku. “Ah, jadi cuma ini yang mau kamu ceritakan di penghujung liburan kita?” tanya­ nya. “Memang aku berjanji padamu untuk bercerita?” tanyaku balik. “Secara omongan maupun ajakan tertulis untuk berlibur sih tidak. Tapi kan ­sudah lama kita tidak bertemu, dan aku tahu kamu selalu ingin bercerita. Masa iya sekarang tak mau bercerita? Aneh, jangan-jangan kamu sudah berubah yaa.” “Berubah jadi angin yang meniup dedaunan kering tanpa sempat mengucap pamit padanya.” “Preeet! Sejak kapan kamu belajar puitis untuk menjawab pertanyaan seorang perempuan?” Aku tersenyum simpul mendengarnya, kemudian tertawa lepas. Sebuah hal yang sangat ku rindukan dari dulu, tertawa lepas. Bukan tertawa semu yang ­biasa dilihat orang-orang di sekitarku, bukan. Itu hanyalah sebuah topeng penawar letih yang diberikan untuk tetap waras. Topeng itu hanya berguna saat sebuah pertanyaan tak terjawab dengan pasti. Saat keadaan tak berjalan sesuai harapan. Bahkan saat kesadaran akan kesepian merenggut lamunanmu. Ya, melamun adalah hal paling nikmat. Dengan atau tanpa kopi dan kretek. “Jadi kamu yakin tidak bercerita?” ucapnya berbisik sambil merapatkan duduk­ nya. Aku masih menikmati pandanganku yang berfokus pada matanya. Dengan DIMENSI EDISI 61

49


/CERPEN/

­ ihiasi alam sekitar yang menari perlahan mengikuti gestur tubuhnya yang d merapat padaku. Tangannya yang mulai tergenggam membuatku sadar bahwa hadirnya nyata. Bukan lamunan seseorang yang diam-diam mencintainya dalam sastra. Dalam tulisan yang dia sendiri terkadang tidak bisa membedakan mana yang benar-benar terjadi dan mana yang sebatas khayalan. Perempuan itu menghembuskan nafasnya. Melepas sekat-sekat diantara ombak dan karang yang tetap berbenturan. Lantas dia terdiam dengan tatapan kosong seakan berharap menemuiku dalam lamunan. Berbagi cerita di sana atau ­mungkin menarik perhatianku bahkan memaksaku –jika perlu- untuk kembali pada kenyataan. “Kak, aku mau bercerita,” ucapku setelah melarikan diri dari lamunanku. “Jangan terpaksa,” katanya dengan tetap asyik menatap cakrawala. Aku melepas genggaman tangannya. Mencoba berontak meminta perhatian­ nya dengan menggoyang-goyangkan badannya. Tapi gagal! Perempuan itu tetap menikmati lamunannya. Tanpa kopi dan kretek! Sadar karena cemburu me­rasuk manja ingin ikut melamun, reflek tanganku bergerak di sela-sela jaket hitam kumalku. Tangan yang telah menulis lamunan tentang perempuan itu kini bergerilya mencari kotak kretek. Lantas berusaha membakarnya dengan api cemburu akibat paduan langit malam dan gulungan ombak yang memenangkan perhatiannya. Kepulan asap membumbung menari-nari bersama angin laut. Dengan genit­ nya ingin mengusik lamunan perempuan itu. Dan berhasil! Matanya berkedip, ­mungkin karena panas atau karena sebal dengan kegiatanku. Entahlah, yang jelas dia telah kembali. Tapi yang mengherankan adalah dia menatapku tenang dan tertawa lepas. “Kamu cemburu aku melamunkan cakrawala?” tanyanya. “Darimana kamu tahu?” “Ra ha si a hahaa,” ucapnya menyebalkan. “Sudah jangan cemberut, sekarang kamu mau cerita apa?” lanjutnya sambil ­menatapku. Aku mengambil jeda menikmati pertanyaannya. Mencari cerita yang memang ingin dia dengar dengan melihat setiap sudut bola matanya. Sejenak merangkai maksud dari benaknya, dengan hanya mengandalkan sebuah insting menebak tentunya. Meskipun belum tentu benar tapi itulah gunanya akal manusia bukan? Lagipula aku hanya manusia biasa yang tidak bisa mengetahui isi hati. “Hayoo malah diam. Kalau memang aku tak boleh mendengarmu sambil ­menatapmu, aku melihat cakrawala lagi ya. Sambil tiduran di pundakmu hehe,” ucapnya manja. “Jadi suka melihat cakrawala ya?” tanyaku. “Ketularan kamu kak.” “Ternyata cakrawala bikinan Tuhan menular ya.” “Iya, ternyata nagih ya melihat-Nya.” “Sejak kapan kamu tidak terganggu aku membahas Tuhan?” “Sejak kamu sendiri tahu bahwa memahami orang lain itu menyenangkan. Kan

50

DIMENSI EDISI 61


/CERPEN/

itu katamu, jadi aku sedang mencoba memahamimu dengan memakai kacamata­ mu. Ternyata memang menyenangkan. Apalagi kacamatamu itu unik, susah menyamankan diri untuk menggunakannya. Aku jadi kepikiran untuk mencintai sastra sepertimu.” “Aku tidak mencintai sastra.” “Jadi kamu hanya tinggal hewan yang pandai dong haha. Kan katamu dulu, ­‘kalian boleh maju dalam pelajaran, mungkin mencapai deretan gelar kesarjana­an apa saja. Tapi tanpa mencintai sastra, kalian tinggal hanya hewan yang ­pandai’. Itu kamu kutip dari siapa ya? Pram bukan? Lupa hehe” “Juffrow Magda Peters.” “Eh, Pram tahu. Aku pernah melihat postingan temanku yang mengutip quote itu juga” “Oh mencintai quote ternyata.” “Eh hehe bertahap tahu kak, seperti katamu yang ingin mengurangi kopi dan kretek juga bertahap kan. Sekarang cerita gih tentang Juffrow Magda Peters hehe.” “Hmm aku sedang ingin bercerita tentang cakrawala. Yang barusan memelukmu mesra tanpa pernah berpikir tentang perbedaan kalian.” “Hih perbedaan apa? Lagian sekarang aku yang memelukmu.” “Perbedaan yang sekarang dijadikan alasan semua orang yang bertikai. Baik itu perbedaan fisik maupun pandangan.” “Jadi ternyata kamu memang cemburu dengan cakrawala barusan? Toh kamu juga sering dipeluk lamunanmu, dengan kopi dan kretek.” “Mereka berbeda.” “Coba apa bedanya?” “Aku melihat pelukan mereka sebagai kamu kak.” Dia terdiam menatapku. Meraba apapun yang bisa ia lihat dariku. Mencoba me­ rangkai hal yang aku yakin baru untuknya. Wajahnya perlahan merona merah tersipu malu menunggu penjelasan kata-kataku. “Jadi?” “Jadi apa?” tanyaku balik. Dia menghela nafas panjang. Sambil kembali melihat cakrawala. “Kamu akan cerita apa? Ada apa dengan cakrawala itu?” “Entah kak, aku lupa merangkai kata-kata.” “Tak rangkai bersama saja? Aku juga sedang menikmatinya.” “Menikmati pelukan cakrawala?” “Menikmati pelukanMu kak,” jawabnya. Aku tertawa lepas lagi. Menikmati pelukan-Nya di malam ini bersama-Nya. “Kita bisa semalaman di sini. Lagian aku belum memutuskan untuk merangkai­ nya lalu menceritakannya.” “Sudah kak. Kita telah merangkainya, bahkan telah bercerita banyak. Kelak ­jangan kau bumbui dendam terlalu banyak, apalagi di akhir cerita,” serunya menenangkanku. DIMENSI EDISI 61

51


/KRITIK SASTRA/

KRITIK SASTRA NOVEL MENJAMU TUHAN DENGAN KOPI Oleh: M. Gunawan Desain: Riris Meta K.

Judul Ukuran Buku Pengarang Penerbit Tahun Terbit Jml Halaman Harga Novel

: Menjamu Tuhan Dengan Kopi : A5 : Danganan Galuh : Kandang Macan : 2019 : 160 : Rp 57.000

Sinopsis Aku adalah seorang (calon) penulis. Atau bisa kau sebut pengarang. Tapi suatu ketika ada kabar dari mantan untuk bertemu. H ­ anya ­untuk berbagi kenangan dan unda­ngan pernikahan. Apa kau tahu perasaanku? Ia bukan­ lah m ­ antan kesekian yang mudah berlalu dalam ruang ingatan. Tapi ia adalah mantan yang menjadi perenungan. Hingga kini. Di sini kau bebas “memilih petua­ langanmu sendiri” dalam kondisi canggung bertemu ­mantan. Kau pun bebas menyelesaikan satu

52

DIMENSI EDISI 61

alur p ­ilihanmu lalu mengulanginya dari awal. ­Sebab ­hidup memang me­miliki banyak pilih­ an. Sama s­eperti pilihanmu mem­ baca buku ini. Tapi ku harap kau sudah mem­ belinya ­untuk mem­bacanya. Jangan ­mencuri! Hargai usaha­ ku dong haha. Di ­ beberapa “­petualangan” perasaan ini mungkin kamu akan menemukan berbagai pertanyaan. Se­ ­ perti mengapa poin ini tidak tersirat ­dalam sinopsis? Haha ­itulah asyik­nya sebuah ­petua­lang­an. Ku harap ­kalian me­nikmatinya.


/KRITIK SASTRA/

Tapi akan ku beri sedikit bocoran, tenang saja. Di dalamnya kamu akan menemukan kisah cinta sederhana, kisah cinta rumit dan sedikit kisah tentang kehidupan. Jadi selamat menikmati petualangan(mu) ini. Danganan Galuh. Siapa yang tidak me­ngenal sosok lelaki ini? Dia alumni Polines jurusan Teknik Sipil yang aktif bergelut di dunia seni dan seorang cerpenis, ia juga sekarang sudah menerbitkan sebuah novel berjudul Menjamu Tuhan Dengan Kopi. Karya-karya Galuh yang lebih pada cerpen sering kali bernuansa ironi, sinisme, bahkan sarkasme. Dengan bahasa yang kasar namun tetap elegan –bagi saya tentunya– yang membuat karya-karyanya layak diperhitungkan dalam dunia kesusatraan Indonesia. Salah satu karya yang dibahas di sini adalah kumpulan cerpennya yang berjudul Menjamu Tuhan Dengan Kopi yang sedikit me­ nuai kontroversi. Beberapa kelompok, ter­ utama ­perempuan yang agamis, yang kurang ­begitu suka terhadap kosa kata yang diambil ­dalam karyanya Galuh. Seperti dalam kutipan ­cerpen Nona Mei ini misalnya ”Apa nona baik-baik saja?” “Maaf jika me­ repotkan, tapi saya baik-baik saja” “Biarlah saya antar nona sampai ke kamar” “Te­rima kasih. Saya baik-baik saja” Dia lantas duduk di kursi bar. “Apa saya boleh mendapat se­ gelas anggur untuk beristirahat di kapal ini?” “Boleh nona” Kosa kata “minum anggur” semacam ini akan banyak Anda temukan dalam karya Danganan Ghaluh. Pemakaiankosa kata tersebut dinilai dapat mewakili emosi dan kegelisahan hati. Mereka bilang karya Danganan Ghaluh tanpa tendeng aling-aling untuk membicarakan hal yang tabu dalam karyanya. Namun biarlah kita lebih bijaksana dalam menilai sesuatu, tentunya kita akan menilai sebuah karya dari berbagai sudut pandang, tidak melihat dari satu sisi saja. Bukankah hi­dup manusia itu terdiri atas berbagai macam frame? Begitu pun karya sastra, yang tidak bisa dinilai dari satu sisi saja. Jika bahasa ­Ghaluh itu dinilai tabu, maka bagi saya itu hanya gaya

seorang penulis saja dalam menyampaikan gagasannya. Dalam kumpulan cerpen Menjamu Tuhan Dengan Kopi, Galuh menggambarkan orang yang sakit dan terluka karena mendapatkan undangan pernikahan dari mantan terindah. Dalam kumpulan cerpen ini kita dapat me­ nyimpulkan bahwa di dunia yang jahat ini ­tidak ada pijakan yang kokoh untuk dijadikan pegangan hidup. “Ya ini, terserah kamu mau menganggap ini apa. Karena aku tahu kamu akan selalu mengelak dari apa yang kusebut. Sejak dulu aku selalu khawatir dengan segala kebendaan di sekitarmu, mulai dari alkohol, puisi, rokok, wanita, hujan hingga kopi ini. Bahkan yang tidak berwujud saja selalu kamu bantah. Ya, semuanya! Sepi, pencapai­ an, penindasan, keyakinan, juga Tuhan. Apa kamu tidak lelah seperti ini terus?” Tokoh-tokoh yang dihadirkan seolah datang dari sisi gelap dunia, jahat, sinis, dan jauh dari kesan hero. Mereka yang hadir dalam kumpulan cerpen ini penuh paradoks. Orangorang yang merindukan kebebasan dengan cara apa pun. Mereka adalah orang-orang yang ingin mencari kebahagian di te­ ngah dunia yang menyakitinya. Format “pilih sendiri petualangan” itulah yang membedakan “Menjamu Tuhan Dengan Kopi” dengan novel lain. Saat membaca karya ini pembaca diajak ikut brpetualang, membuat pilihan-pilihan dengan konsekuensi dan akhir cerita yang berbeda-beda, di akhir setiap bab penulis menyediakan beberapa opsi plot yang membuatnya sangat susah untuk ditebak, karena pengambilan opsi bisa saja membuat kita membaca sebuah cerita yang tiba-tiba tamat dan akan mengulanginya ­seperti loop, jadi membuat novel ini menarik untuk dibaca. Pesan yang bisa diambil dari kumpulan ­cerpen Danganan Galuh adalah berbanggalah menjadi diri sendiri dan bersyukurlah terhadap apa yang telah kita dapati. Tetap hidup dan meneruskan perjuangan meski apa pun yang terjadi. DIMENSI EDISI 61

53


/RESENSI BUKU/

Hujan

Oleh: Andi Saputra Desain: Ilham Fatkhu A.

Judul

Penulis

54

DIMENSI EDISI 61

: Hujan

: Tere Liye

Penerbit Tanggal Terbit

: Gramedia Pustaka Utama

ISBN

: 9786020324784

Jumlah Halaman

: 320 Halaman

Berat Buku

: 500 gr

: Januari 2016

Jenis Cover

: Soft Cover

Kategori

: Drama, Sci-Fi,


/RESENSI BUKU/

C

erita bermula ketika seorang gadis bernama Lail melakukan terapi untuk ­ menghilangkan ingatan. Elijah, sang ­terapis bertanya pada Lail tentang ingatan apa yang ingin dia ­hapus. Lail menjawab bahwa ia i­ ngin melupakan ­Hujan - yang akan me­mulai kisah ­panjang tentang Lail dan apa yang dialami­ nya kala hujan. 21 Mei 2042, bayi ke 10 miliar lahir ke d ­ unia dan membawa sebuah pertanda kurang baik: jumlah manusia sudah terlalu banyak dan pertambahan penduduk tidak bisa di­ bendung. Kalau kita mengingat tentang ­letusan gunung purba Toba, yang nyaris saja memutuskan nyawa seluruh umat m ­ anusia di bumi, maka di tahun 2042 itu pula ­terjadi ­letusan yang sama dahsyatnya. Umat m ­ anusia hampir punah hanya dalam h ­ itungan menit. Lail (13 tahun) yang masih sangat belia harus kehilangan ibunya dengan cara yang ­tragis di depan matanya sendiri. Ayahnya? Jauh ­lebih menyedihkan karena ayahnya bekerja di dekat pusat letusan. Hujan pertama turun, hujan yang membawa Lail pada kesedihan. Dibalik bencana ini, Lail bertemu dengan orang-orang baru. Ia bertemu dengan Esok, yang ketika itu berusia 15 tahun. Tentang Esok, ibunya mengalami luka yang cukup parah akibat gempa vulkanik karena letusan gunung, sehingga kakinya harus diamputasi. Ayah Esok sudah tiada sejak lama. Selain itu, Esok juga kehilangan keempat kakaknya. Semenjak kejadian itu, Esok berteman baik dengan Lail. Esok pun kini menjadi sosok yang sangat berharga untuk Lail. Mereka sangat dekat hingga ternyata - Lail punya perasaan. Hingga sebuah kabar memisahkan Esok dan Lail. Kabarnya, Esok akan diadopsi oleh orang kaya sementara Lail akan masuk ke panti sosial. Nasib memisahkan mereka berdua. Mereka memang terpisah tapi masih saling menghubungi. Di panti sosial, Lail menemukan sahabat baru bernama Maryam. Ternyata Maryam tahu bahwa Lail punya perasaan untuk Esok. Maryam sering menggoda Lail tentang kedekatannya bersama Esok.

Lail juga terlihat cemburu ketika Maryam ­menyebut-nyebut nama Claudia - adik a ­ ngkat Esok. Semakin hari, Esok semakin sulit dihubungi karena kesibukannya berkuliah dan mem­ persiapkan kelulusan. Suatu hari Esok ­memberitahu Lail bahwa dia sedang dalam proyek pembuatan kapal yang bertujuan untuk membawa manusia keluar dari bumi karena semenjak letusan gunung purba itu, keadaan bumi semakin parah. Esok juga membocorkan rahasia bahwa ­tidak semua orang boleh naik ke kapal itu. Esok memberitahu Lail bahwa dia punya satu tiket karena Esok adalah teknisi yang punya ­peranan penting dalam pembuatan kapal itu. Sisa tiketnya dipilih secara acak oleh mesin. Hanya mereka yang punya gen terbaik yang boleh ikut. Selebihnya mau tak mau harus tetap tinggal di bumi. Satu tiket itu akhirnya Esok berikan untuk Claudia. Lail pun mengambil kesimpulan­ nya bahwa sebenarnya Esok lebih men­ cintai Claudia daripada dirinya. Inilah yang membuat Lail pergi untuk terapi. Ia ingin meng­ hilangkan ingatannya tentang hujan - ­tentang Esok. Lalu, apa alasan sebenar­nya Esok memberikan tiket itu kepada C ­ laudia? Apakah Lail telah melupakan Esok? Dan ­apakah yang akan terjadi selanjutnya? Novel ini sangat menarik dengan plot-twist yang di luar dugaan! Saya sangat menyukai novel ini. Saya sudah menebak-nebak apa yang terjadi, dan beberapa tebakan saya salah sehingga membuat membaca novel ini menjadi begitu menyenangkan. Namun beberapa bagian terkesan s­eperti ‘dipaksakan’. Misalnya, setelah bencana ­ yang demikian besar, ternyata masih ada fasilitas yang tidak rusak. Menurut saya itu kurang pas dan kurang enak dibaca. Bila memang bencananya sedemikian ­ besar hingga me­ ­ musnahkan banyak manusia, seharusnya bumi memang harus hancur ­ lebur. Tapi fakta­nya ada beberapa fasilitas yang berfungsi. Untuk selebihnya, saya tetap merekomendasi­kan novel ini untuk dibaca. DIMENSI EDISI 61

55


/RESENSI FILM/

Dua Dua Garis Garis Biru Biru

Oleh: Dhea Ernanda S. Desain: Ilham Fatkhu A.

Sutradara

: Gina S. Noer

Produser

: Reza Servia (eksekutif)

Penulis

: Gina S. Noer

Pemeran

: Angga Aldi Yunanda

Adhisty Zara

Lulu Tobing

Cut Mini Theo

Dwi Sasono

Perusahaan : Starvision Plus produksi Wahana Kreator Nusantara Distributor : Starvision Plus Tanggal rilis : 27 Juni 2019 (penayangan khusus) 11 Juli 2019

56

DIMENSI EDISI 61


/RESENSI FILM/

D

ua Garis Biru adalah sebuah film ­drama remaja Indonesia tahun 2019 yang di­ sutradarai sekaligus ditulis oleh Gina S. Noer. Kontroversi bermunculan ketika awal di­keluarkannya trailer film ini, muncul sebuah petisi yang melarang film tersebut untuk ditayangkan, karena dianggap tabu dan akan menjerumuskan remaja pada seks bebas seperti yang dilakukan oleh pem­ eran utama film ini. Beruntungnya, sang pro­ duser Chand Parwez Servia mengklarifikasi serta mencabut petisi tersebut. Menurutnya, materi dari film ini cukup positif dan memili­ ki pesan yang bisa direnungkan bagi remaja juga para orang tua di era sekarang, hingga kemudian akhirnya film ini dapat tayang dila­ yar kaca. Film ini menampilkan Dara dan Bima ­sebagai tokoh utama, mereka merupakan sepasang kekasih yang masih menjalani pendidikan di tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA). Meskipun jauh dari kata sempurna, mereka saling melengkapi dan mengisi satu sama lain. Sosok Dara diperankan oleh Adhisty Zara JKT48 dan sosok Bima sendiri diperan­ kan oleh Angga Aldi Yunanda. Dara di­ gambarkan sebagai remaja perempuan yang pintar dan memiliki semangat besar untuk menggapai cita-citanya, sedangkan Bima, digambarkan sebagai siswa SMA yang baik dan sopan namun kurang pandai dalam ­pendidikan sekolah. Hubungan asmara antara Dara dan Bima mendapat dukungan positif dari keluarga dan teman-teman mereka. Namun sayang­ nya, k ­ epercayaan orang-orang sekitar s­ erta gejolak asmara yang sedang memuncak, ­sepertinya membuat mereka berpikir pendek. Mereka melanggar batas pacaran yang menyebabkan Dara hamil.

Sejak saat itulah keduanya dihadapkan oleh dua pilihan yang sulit, memilih untuk me­ mikirkan masa depan mereka masing-masing atau bertanggung jawab mendidik calon anak yang dikandung Dara. Hal tersebut membuat orang tua Dara dan Bima memiliki pandang­ an berbeda tentang masa depan keduanya. Orang tua Dara sempat berpikir untuk mem­ berikan anak Dara dan Bima kepada saudara mereka yang memang sedang mengharapkan kehadiran seorang anak. Namun hal tersebut ditentang oleh keluarga Bima, karena orang tua Bima beranggapan bahwa anak harus tetap diasuh oleh orang tuanya. Perbedaan pandangan ini membuat penonton bisa ikut untuk memberikan pilihan dan pandang­ an mereka jika berada diposisi yang sama ­seperti Dara dan Bima. Kelemahan film ini terletak pada peng­ gambaran salah satu tokoh yang terkesan agak sedikit berlebihan, yang akhirnya mengganggu pengalaman saat menonton dan ­terkesan rasis. Contohnya pada per­beda­ an warna kulit yang digambarkan malah cenderung mem­ ­ bedakan strata. Namun ­secara k ­ eseluruhan film ini sangat menarik, meskipun ber­ temakan kenakalan remaja, tetapi film ini dikemas dengan sangat baik dan sarat akan makna. Film ini mengambil banyak sudut pandang, tidak hanya dari sisi Dara dan Bima namun diambil pula sudut pandang dari orang tua serta masyarakat sekitar. Walaupun diselipkan beberapa unsur ­komedi, hal tersebut tidak mengubah pesan moral yang akan diberikan kepada penonton. Sehingga film ini sangat direkomendasikan untuk semua kalangan karena merupakan salah satu bentuk upaya pencegahan ter­ hadap seks bebas yang lebih ekstensif.

DIMENSI EDISI 61

57


/KELAKAR/

KELA Ilustrasi : Aziz

Ingat,

Kita Mahasiswa!

Oleh: M. Gunawan Angga Kusuma Desain: Rinda Wahyuni

58

DIMENSI EDISI 61

B

anyak orang beranggapan bahwa masuk perguruan tinggi hanya bertujuan untuk mencari pekerjaan. Tidak hanya itu, hampir semua pelaksanaan proses evaluasi pembelajaran, seperti kuis, tes tengah semester, atapun final semester menuntut agar mahasiswa memperoleh nilai terbaik. Di kelas mahasiswa tidak diajarkan bagaimana memahami ilmu pengetahuan dan betapa indahnya kolaborasi, yang ada hanya kompetisi untuk mendapatkan nilai terbaik.


/KELAKAR/

Kebanyakan dari sistem pembelajaran, seperti tidak mengakomodir mahasiswa untuk dapat saling bekerjasama dalam hal menyelesaikan permasalahan. Hal ini tentu dapat menumbuhkan rasa egois, hanya mau dikatakan benar sendiri, ingin dianggap lebih pintar dan ingin dianggap lebih tahu. Ketika kita hadir di kelas untuk mengikut­­i perkuliahan, apakah kita pernah berpikir bahwa kita akan belajar sesuatu hal yang baru? Saya yakin hampir semua akan menjawab “tidak”. Yang ada dalam pikiran kebanyakan mahasiswa hanyalah kompetisi, berlomba-lomba untuk meraih peringkat terbaik. Sedangkan aplikator dari sistem perkuliah, yaitu dosen kebanyakan memiliki jam mengajar dengan jumlah kelas lebih dari 16 SKS tiap minggunya, diibaratkan seperti sopir angkot yang hanya mengejar setoran. Sehingga waktu habis digunakan untuk me­ ngajar, entah itu melalui pelatihan, peneliti­ an, menulis jurnal, dan pengabdian pada masyarakat. Hal ini menyebabkan kualitas dosen belum memadai dalam menghadapi cepatnya perubahan zaman. Oleh karena itu, perlu perubahan yang mendasar bagi perguruan tinggi agar tidak menghasilkan lulusan yang hanya mengejar nilai tinggi. Yang mana setelah lulus kemudian menjadi pekerja, dan tidak berupaya menghasilkan lapangan pekerjaan sendiri. Tentu hal ini meyebabkan lulusan perguruan tinggi akan sibuk dengan dirinya sendiri, cuek dengan keadaan masyarakat sekitar yang sangat membutuhkan figure pembaharu. Seorang mahasiswa adalah orang yang berguna bagi orang di sekitarnya, bukan seseorang yang berpikir untuk dirinya sendiri. Karena jika seorang mahasiswa hanya memikirkan dirinya sendiri, tentu akan menimbulkan sikap egois yang berujung pada anggapan bahwa diri sendirilah yang paling benar. Bukankah setinggi apapun ilmu yang kita miliki, rasanya akan sangat percuma apabila tidak digunakan untuk kepentingan masyarakat.

AKAR

Lulus cepat dengan nilai yang sempurna adalah impian setiap mahasiswa. Namun pertanyaannya adalah bagaimana cara menempuhnya? Akankah kita mengabaikan orang lain? Apakah hanya untuk mendapat pekerjaan yang diinginkan setelah lulus nanti? Di sinilah kita mencari jawaban. Banyak hal yang ada di kampus dapat menjadikan kita sebagai seorang mahasiswa yang sebenarnya. Alangkah baiknya jika apa yang kita dapatkan di bangku kuliah, coba kita amalkan untuk hal-hal yang ada di sekitar. Kuliah bukan hanya untuk berkompetisi dan belajar ilmu pengetahuan, tetapi juga belajar saling mengahargai. Mari bersama-sama berpikir bahwa kita bukanlah makhluk sosial yang berpikir individual, tetapi kita makhluk sosial yang berpikir sosial. Sikap acuh tak acuh, serta tidak peduli dengan lingkungan sudah banyak terlihat pada diri mahasiswa zaman sekarang. Di mana mereka tak peduli dengan apa yang ada di sekitar. Memiliki egoisme yang tinggi bukanlah hal yang buruk. Pola pikir, lingkungan, tujuan, tempat bergaul dan cara pandang yang menentukan keegoisan menuju ranah baik atau justru menjadikan orang berfikir individualistik. Jadilah mahasiswa yang berpikir, “Setelah lulus menjadi orang yang berguna, bukan hanya berpenghasilan besar”. Jangan sampai terjebak pada masa kehancuran di mana para pemuda khususnya mahasiswa terhanyut akan ilusi reformasi. Negeri ini sebenarnya belum sepenuh­ nya merdeka. Banyak hal yang dapat dilakukan oleh para pemuda, bukan hanya berdemo di jalanan tetapi bukti nyata dari apa yang didapatkan di bangku kuliah. Jangan sampai pula mahasiswa menjadi anti sosial terhadap lingkungan rumahnya. Sering di kampus tetapi tidak pernah bergaul dengan masyarakat sekitarnya, dan tidak mengenal tetangga­ nya. Berbanggalah jika kamu termasuk orang yang sibuk akan urusan kampus dan urusan masyarakat di kampung halaman. Berbangga­lah jika kamu adalah orang yang penting dan dicari banyak orang. DIMENSI EDISI 60

59


MARI BERIKLAN DI MAJALAH KAMI

Hubungi : Sania 0857 9422 1487


Oleh: Dini Karunia A.

61

DIMENSI EDISI 61


NGE DIMS

Desain: Dwi Aprilia P.

Aksi Tolak Uang Pangkal terus didengungkan. Berharap semoga kebijakan terbaiklah yang dihasilkan.

Polines rencanakan bangun Gedung Kuliah Bersama. Persiapan yang matang perlu diterapkan dan berbagai hal perlu dipertimbangkan.

Wisuda pusat Polines tahun 2019 mundur. Kabar baik atau kabar kurang baik nih?

Menurut penelitian Program for International Student Assessment (PISA) pada 2015, minat baca anak Indonesia 62 terendah dari 72 negara.

62

DIMENSI EDISI 61

Apakah kita akan hanya diam menerima atau mendobrak menjadikan statement itu mitos belaka.



COVER BELAKANG

LPM DIMENSI


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.