Edisi LX / APRIL 2019
Terbit 16 Halaman
LAPORAN UTAMA
Bungkam Hak Berpendapat, Rektor Laporkan Ke Mahkamah Etik
Telepon Redaksi: 085817296629
LAPORAN KHUSUS
WAWANCARA
Persma Disuspensi, Kebebasan Berekspresi Mati
Ketika Rektor Takut Cerpen Hal. 11
Hal. 3
Hal. 2
www.lpminstitut.com
Email: redaksi.institut@gmail.com
LPM INSTITUT - UIN JAKARTA
@lpminstitut
@lpminstitut
@Xbr4277p
PERKARA KELOLA KEMAHASISWAAN
Muhammad Silvansyah S. M. syahdi.muharam@gmail.com Bidang Kemahasiswaan menjadi salah satu bahasan pada Rakerpim setiap tahunnya. Pada 2019 ini, beberapa persoalan kembali muncul bergesekan langsung dengan mahasiswa. Rapat Kerja Pimpinan (Rakerpim) 2019 Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta telah digelar pada Jumat–Minggu (29–31/3) lalu di Bandung, Jawa Barat. Rakerpim dihadiri oleh rektor, wakil rektor, dekan, kepala biro, dan segenap civitas academica lainnya. Kegiatan ini bertujuan untuk membahas rencana program kerja UIN Jakarta satu tahun ke depan. Beragam aspek menjadi fokus dalam Rakerpim yang dipimpin oleh Ketua Biro Perencanaan dan Keuangan UIN Jakarta Khairunnas. Rektor UIN Jakarta Amany Burhanuddin Umar Lubis membuka Rakerpim dengan menyampaikan arah dan kebijakan program kerjanya satu tahun ke depan, 2019–2020. Para wakil rektor yang menghadiri Rakerpim dibagi menjadi empat komisi, termasuk Komisi Bidang Kemahasiswaan.
Pemangkasan Dana Delegasi Topik pembahasan Rakerpim 2019 tidak terlepas dari tata kelola dana delegasi mahasiswa yang kian mengalami pemangkasan. Dikutip dari Tabloid Institut Edisi LVII/Oktober 2018, anggaran dana delegasi sebelumnya tercatat mencapai Rp 1 miliar pada 2017. Kemudian, mengalami penurunan hingga Rp 600 juta di tahun berikutnya. Tidak sampai di situ, kini di 2019 dana delegasi mencapai titik yang
lebih rendah lagi yakni Rp 225 juta. Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan UIN Jakarta Masri Mansoer mengatakan, kemerosotan dana delegasi diakibatkan oleh adanya pemangkasan dana Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI) oleh Kementerian Agama (Kemenag). Kebijakan ini berdampak kepada PTKI yang dapat dikatakan lebih berkembang, salah satunya UIN Jakarta. Dalam hal ini, Kemenag mengalihkan dana tersebut kepada PTKI yang
Bersambung ke halaman 15...
2
LAPORAN UTAMA
Edisi Lx / APRIL 2019
Salam Redaksi Pembaca budiman,
Berbarengan dengan riuh kontestasi akbar pesta demokrasi Pemilihan Umum (Pemilu) Serentak 2019, kami tetap konsisten merekam ragam peristiwa di kampus tercinta. Berangkat dari analisa perkara, kami kaji data dengan disiplin kaidah jusnalistik yang ada. Hingga kini, pembaca budiman dapat menikmati sajian warta menarik dalam Tabloid Institut edisi LX / April 2019. Pelbagai info yang tersaji dalam Tabloid Institut kali ini tak semerta ada, proses pajang nan runyam mengiringi proses redaksi. Diawali dengan rapat redaksi, pelbagai isu kami kupas hingga menghadirkan data yang tuntas. Tak berhenti di situ, ada proses peliputan panjang yang terkadang tak semulus ekspektasi. Namun, semua itu tak mengerutkan niat kami untuk terus hanya menyajikan karya terbaik untuk pembaca. Rapat Kerja Pimpinan (Rakerpim) 2019 menjadi headline pada Tabloid Institut kali ini, memfokuskan pembahasan pada bidang kemahasiswaan. Pelbagai persoalan dalam bidang kemahasiswaan dikupas mendalam, dengan menyajikan data pendukung dari sumber-sumber terpercaya. Rakerpim 2019 menjadi titik awal masa depan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta di bawah pimpinan Amany Burhanuddin Lubis. Tak luput, serpihan sisa prahara Elektronik Musyawarah Mahasiswa (Elmusyma) Maret 2019 lalu dibahas dalam Laporan Utama. Aksi massa bertajuk “Tolak Hasil E-Voting” berujung pelaporan. Dengan dalih pencemaran nama baik, Rektor UIN Jakarta Amany melaporkan pendemo kepada Senat Universitas. Selain itu, Tabloid Institut kali ini juga menghadirkan Laporan Khusus dengan tajuk pembahasan “Minim Prestasi Di balik Singgasana Dema.” Dewan Eksekutif Mahasiswa (Dema) dianggap sebagai organisasi kemahasiswaan yang minim akan prestasi. Kendati, kursi pimpinan Dema diperebutkan alot setiap tahunya. Bukan hanya itu, polemik cerita pendek yang menimpa Lembaga Pers Mahasiswa Suara Universitas Sumatra Utara dengan pihak rektor tak luput dari pembahasan Tabloid Institut kali ini. Selamat membaca!
Bungkam Hak Berpendapat, Rektor Laporkan Ke Mahkamah Etik Nurul Dwiana & Rizki Dewi Ayu nurull.dwiana@gmail.com & rizkikidew@gmail.com Unjuk rasa menolak hasil e-voting dianggap melanggar kode etik dan pencemaran nama baik Rektor UIN Jakarta. Alhasil, aksi tersebut berimbas pada dilaporkannya para pengunjuk rasa kepada Senat Universitas UIN Jakarta. Maret 2019 silam, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta telah usai melaksanakan Pemilihan Umum Raya (Pemira). Pemira tahun ini berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Sebab telah menerapkan sistem e-voting hasil dari kebijakan Rektor UIN Jakarta Amany Burhanuddin Umar Lubis. Pemira yang dilaksanakan pada Selasa (19/3) lalu, mulanya berjalan dengan kondusif dan tenang, tetapi seusai perhitungan suara situasi mulai berubah. Pada pukul 20.00 WIB, Ruang Aula Madya lantai 1 sebagai tempat perhitungan total suara mulai ramai dikerumuni sekelompok mahasiswa. Situasi kampus kian memanas kala sekelompok mahasiswa beralih menuju parkiran Student Center untuk melakukan aksi, lantaran adanya indikasi kecurangan hasil perhitungan e-voting. Aksi tersebut diwarnai kericuhan antar mahasiswa, namun berhasil dibubarkan oleh petugas keamanan kampus. Tak hanya sampai disitu, massa kemudian bergerak ke depan Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan (FITK) untuk melanjutkan aksinya, tetapi kali ini dengan disertai atribut spanduk yang bertuliskan “Tolak E-Voting” hingga pukul 24.00 WIB. Perihal aksi ini, Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan Masri Mansoer menemui para demonstran untuk membahas perihal hasil e-voting. Massa pun membubarkan diri seusai mendapatkan izin berdemo pada besok hari. Keesokan harinya Rabu (20/3) pukul 13.00 WIB, sekelompok mahasiswa melanjutkan unjuk rasa dengan mendatangi gedung rektorat menolak hasil e-voting pemira. Melihat massa yang kian berkumpul, Rektor UIN Jakarta Amany Burhanuddin Umar Lubis bertemu dengan para demonstran. Di hadapan mahasiswa, Amany menyampaikan perihal masalah hasil e-voting. Menurut Amany, bila ada kekurangan dengan hasil e-voting, maka akan menindaklanjuti akar sumber masalahnya. Di sisi lain, unjuk rasa mahasiswa tersebut membuat Amany geram sebab para demonstran dinilai tidak santun dalam melaksanakan aksi unjuk rasa.
Hal ini kemudian berujung pada keluarnya surat pelaporan rektor kepada Senat Universitas UIN Jakarta pada 22 Maret 2019 dengan Nomor B-627/R/HM 01 3/02/2019 perihal pencemaran nama baik. Isi surat tersebut berisikan pengaduan Amany terhadap aksi para mahasiswa yang menolak hasil e-voting dengan disertai kata-kata kasar. Rektor kemudian mengajukan permohonan kepada Senat Universitas untuk menindaklanjuti laporannya ke Mahkamah Etik agar para pelaku dapat diproses sesuai dengan aturan yang berlaku. Karena hal tersebut telah berimbas pada pencemaran nama baik dan melanggar kode etik mahasiswa saat berdemonstrasi. Amany beranggapan, yang ia lakukan adalah upaya untuk menegakan kode etik mahasiswa saat berada di lingkungan kampus. Sebagai bukti laporan, rektor melampirkan gambar-gambar demonstrasi yang beredar. Tak hanya gambar, ia pun juga memiliki bukti lain berupa video yang bisa dilihat di youtube. “Intinya untuk menegakan kode etik,” tegasnya, Senin (8/4). Berdasarkan dari Surat Keputusan Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta No. 469 Tahun 2016 Tentang Kode Etik Mahasiswa Pasal 5 tertulis mahasiswa dinilai melakukan pelanggaran apabila mengucapkan kata-kata kotor dan tidak sopan serta mencemarkan nama baik seseorang atau lembaga. Jika mahasiswa melanggar, maka akan dikenakan sanksi ringan, sedang, berat bahkan sanksi pidana. Menanggapi perihal surat laporan rektor, Reporter Institut kemudian menemui Ke-tua Senat Universitas UIN Jakarta Abuddin Nata untuk menanyakan tindak lanjut surat tersebut. Menurut Abuddin Senat Universitas telah menindaklanjuti laporan rektor dengan mengadakan rapat senat di
ruang sidang Senat Universitas padaKamis (11/4) lalu. Alhasil dari putusan rapat, Senat Universitas telah menyarankan agar rektor melakukan pendekatan persuasif terlebih dahulu. Tak hanya itu, Abuddin juga beranggapan jika kasus ini bukan ranahnya mereka dalam bertugas. Karena tugas senat tidak mengurusi mahasiswa secara langsung. Senat Universitas bertugas dalam mengatur kebijakan-kebijakan yang sifatnya akademik. Selain itu, menyoal unjuk rasa yang disertai kata-kata kasar. Abuddin Nata bahkan mempertanyakan siapa yang akan dikenakan sanksi nantinya karena yang melakukan unjuk rasa dengan jumlah massa yang tidak sedikit. Dikhawatirkan akan ada hal yang tidak diinginkan seperti salah tangkap. “Dalam jumlah massa yang banyak, akan sulit menemukan mahasiswa yang dicurigai,” tutur Abudin. Abuddin menambahkan jika mahasiswa yang berdemonstrasi itu secara psikologis memang sedang emosi. Jadi, apa yang mahasiswa lakukan disebabkan karena tersulut oleh amarah. Menurut Ketua Dewan Eksekutif Mahasiswa UIN Jakarta 2019 terpilih Sultan Rivandi mengatakan harus ada cara lain dalam menyelesaikan perkara ini. Tak melulu masalah diselesaikan dengan gugatan. “Saya rasa perlu duduk bersama dan klarifikasi maksudnya seperti apa, karena demo itu hal lazim,” ucapnya, Senin (8/4). Senada dengan Sultan, menurut Mahasiswa Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi Helmi Huwaidah perlu adanya mediasi dan harus didiskusikan kembali dalam mengambil jalan keluar. Menurutnya, seorang pemimpin harus terbuka untuk menerima aspirasi mahasiswa.
Pemimpin Umum: Hidayat Salam | Sekretaris Umum: Moch. Sukri Bendahara Umum: Siti Heni Rohamna | Pemimpin Redaksi: M. Rifqi Ibnu Masy | Redaksi Online: Nuraini Pemimpin Penelitian dan Pengembangan: Ayu Naina Fatikha | Pendidikan: Nurfadillah | Pemimpin Perusahaan: Nurlely Dhamayanti Anggota: Herlin Agustini, Ika Titi Hidayati, Muhammad Silvansyah Syahdi M., Nurul Dwiana, Rizki Dewi Ayu, Sefi Rafiani Koordinator Liputan: Rizki Dewi Ayu| Reporter: Herlin Agustini, Ika Titi Hidayati, Muhammad Silvansyah Syahdi M., Nurul Dwiana, Rizki Dewi Ayu, Sefi Rafiani Penyunting : Ayu Naina Fatikha, Hidayat Salam, M.Rifqi Ibnu Masy, Moch. Sukri, Nuraini, Nurfadillah, Nurlely Dhamayanti, Siti Heni Rohamna | Fotografer: Instituters Desain Visual & Tata Letak: Muhammad Silvansyah S. M. dan Rizki Dewi Ayu | Desain Sampul: Muhammad Silvansyah S. M. | Info Grafis: Muhamad Silvansyah S. M. Penyelaras Bahasa: Herlin Agustini, Ika Titi Hidayati, Nurul Dwiana, Sefi Rafiani Alamat Redaksi: Gedung Student Center Lantai 3 Ruang 307 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jl. Ir. H. Djuanda No. 95 Ciputat, Tangerang Selatan 15412 Telepon: 089618151847/085817296629 | Email: redaksi.institut@gmail.com | Website: www.lpminstitut.com ~~~Setiap reporter INSTITUT dibekali tanda pengenal serta tidak dibenarkan memberikan insentif dalam bentuk apapun kepada reporter INSTITUT yang sedang bertugas~~~
LAPORAN KHUSUS
Edisi Lx / APRIL 2019
3
Herlin Agustini & Sefi Rafiani herlinagustini97@gmail.com & serafiani99@gmail.com Bermula dari karya sastra, cerpen yang dimuat di laman LPM Suara USU menuai prahara. Nahas persoalan tersebut berujung pada pencabutan izin Keanggotaan LPM Suara USU secara sepihak oleh rektor. Kampus seharusnya menjadi representasi penerapan nilai demokrasi yang ideal. Nilai-nilai demokrasi, seperti halnya mengedepankan musyawarah dalam penyelesaian masalah menjadi pondasi utama kehidupan kampus. Dalam artian, untuk memecahkan suatu persoalan tidak hanya dari satu pihak, melainkan melibatkan semua komponen yang bersangkutan. Namun fakta di lapangan jauh berbeda, hal ini tercermin dalam penyelesaian masalah yang menimpa Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) dengan pihak rektor di Universitas Sumatra Utara (USU). Tanpa adanya mediasi kedua belah pihak, Rektor USU Rutung Sitepu memutuskan perkara sepihak. Bermula dari Cerita Pendek (cerpen) berjudul “Ketika Semua Menolak Kehadiranku” yang diunggah di laman suarausu.com pada 12 Maret 2019. Kemudian pada 18 Maret 2019 diunggah pula di Sosial Media (Sosmed) Instagram, tak lama hal ini sontak menyita perhatian publik, terutama Rektor USU. Rektor USU
menganggap cerpen tersebut mengandung unsur Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT). Selepas itu, pada 19 Maret 2019 Pengurus Suara USU dipanggil pihak Rektorat dan dimintai klarifikasi terkait muatan konten cerpen. Secara sepihak, rektor meminta agar cerpen tersebut ditarik dari laman Web Suara USU. Akan tetapi pihak Suara USU enggan mencabut cerpen yang sudah diterbitkannya, karena mereka menganggap tidak ada yang salah dengan cerpen tersebut. Atas penolakan pencabutan cerpen tersebut, pihak rektor mengancam akan mencabut status Keanggotaan Suara USU. Namun pihak Suara USU tetap kekeh dengan keputusan awalnya, untuk mempertahankan cerpen yang telah dimuat. Terkait persoalan yang menimpa LPM Suara USU, Pimpinan Umum (PU) Yael Stefany Sinaga memberikan
keterangan kepada LPM Institut via Sosmed Whatssapp, Kamis (11/4). Ia meminta jika ada yang salah dari terbitan Suara USU, pihak rektor seharusnya mengadakan dialog dan mengundang pakar yang kompeten untuk menilai. Tetapi pihak rektor tidak menaggapi hal tersebut. “Bahkan pada tanggal 26 Maret 2019 kami pernah mengadakan diskusi, tapi pihak rektorat berusaha membubarkan,” tegasnya. Kementerian Riset dan Teknologi (Kemenristekdikti) bagian Pembelajaran dan Kemahasiswaan (Belmawa) Neni Herlina turut menanggapi perkara yang menimpa LPM Suara USU. Ia menjelaskan bahwa masing-masing perguruan tinggi memiliki wewenangnya sendiri sehingga pihak Kemenristekdikti tidak bisa menyalahkan secara langsung pihak Rektorat USU. “USU adalah Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum, mereka punya wewenang sendiri,” ungkap Neni saat ditemui di Kantor Kemenristekdikti, Senin (15/4). Akan tetapi, Jejen juga menyayangkan, terkadang sebuah instansi mempunyai kelemahan dalam managemen pengelolaannya. Jadi sebuah lembaga harus mempunyai standar prosedur operasionalnya. “Kampus kan lembaga terdidik, harus memberikan contoh yang baik kepada masyarakat den-
Minim Prestasi Di Balik Singgasana Dema
Foto: Internet
Persma Disuspensi, Kebebasan Berekspresi Mati
gan nuansa akademis,” tegas Neni. Pakar Pendidikan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidaya- tullah Jakarta Jejen Musfah pun angkat bicara mengenai kasus yang menimpa LPM Suara USU. Ia menyarankan agar pihak Rektor USU meninjau ulang terkait polemik cerpen yang dimuat LPM Suara USU. Lebih jauh, ia menganjurkan adanya dialog terlebih dahulu antara pihak rektorat dan LPM Suara USU. Namun, Jejen juga menyayangkan sikap LPM Suara USU yang tidak mengindahkan teguran dari pihak rektor. Ia berdalih, Suara USU merupakan bagian dari universitas. “Kecuali kalau kita independen, tidak bergantung dengan pihak universitas,” ujarnya, Jumat (11/4).
Lain halnya dengan Belmawa dan Pakar Pendidikan, hal serupa juga diungkapkan Ketua Bidang Advokasi Aliansi Jurnalis Indepen (AJI) Sasmito Madrin. AJI sendiri menilai cerpen itu sebagai sebuah kebebasan berekspresi dari mahasiswa dalam menulis dan menyampaikan gagasannya. Sasmito menyarankan agar LPM Suara USU dan pihak rektorat bisa lebih berkolaborasi. “Dosen yang diberi tanggung jawab sebagai pembina lebih berperan aktif dalam dialog-dialog ini,” jelasnya, Senin (8/4).
Ika Titi Hidayati ikatitihidayati999@gmail.com
Sebagai salah satu organisasi kemahasiswaan, Dewan Eksekutif Mahasiswa (Dema) mencerminkan kepemimpinan mahasiswa. Namun, buruknya reputasi Dema menjadi persoalan lama. Menurut pemaparan Kasi Kemahasiswaan Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam Ruchman Basori, Dema dianggap sebagai organisasi yang susah diatur dan minim prestasi. Berkenaan dengan hal itu, Ruchman juga mengungkapkan keprihatinannya dengan kondisi Dema sekarang. Menurutnya, di beberapa kampus Dema kurang mendapatkan perhatian dari pihak kampus. Dalam akreditasi misalnya, mahasiswa hanya dinilai dari piagam, sertifikat dan medali. Sedangkan, faktor kepemimpinan tidak masuk dalam penilaian. Oleh karena itu, agar posisi Dema di kampus menjadi kuat, perlu adanya revitalisasi Dema. “Kita perlu merevi- talisasi Dema,” tutur Ruchman Basori pada Senin, (11/3). Berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Pendidikan Islam (Dirjen Pendis) Nomor 4961 Tahun 2016 Tentang Pedoman Umum Organisasi Kemahasiswaan Pada Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI), Dema adalah organisasi yang berkewajiban untuk melaksanakan ketetapan Senat Mahasiswa (Sema).
Dalam artian, Dema sebagai organisasi eksekutif mahasiswa di tingkat PTKI. Dilihat dari fungsinya, Dema menjadi pelaksana program organisasi kemahasiswaan. Selain itu, Dema menjadi lembaga yang mengkordinasikan dan menginstruksikan pelaksanaan kegiatan kemahasiswaan di tingkat PTKI. Serta memberikan instruksi kepada Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) dan Unit Kegiatan Khusus dalam rangka pelaksanaan kegiatan-kegiatan kemahasiswaan di tingkat PTKI. Sedangkan tugas dari Dema sesuai dengan Peraturan Direktur Jenderal Pendidikan Islam di antaranya menjabarkan dan melaksanakan program organisasi dan ketetapan Sema lainnya dalam bentuk program kerja. Selain itu, mengomunikasikan dan menginformasikan kegiatan kemahasiswaan di tingkat PTKI. Terakhir, fungsi Dema adalah melaksanakan koordinasi dan sinkronisasi kegiatan kemahasiswaan. Melalui sistem baru Elektronik Musyawarah Mahasiswa (el-Musyma) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta resmi menghelat
pemilihan Pimpinan Dema Universitas (Dema-U), Selasa (19/3). Dari sistem el-Musyma tersebut, Sultan Rivandi serta Riski Ari Wibowo terpilih sebagai Ketua dan Wakil Dema-U 2019. Segudang persoalan menanti kepemimpinan baru Dema-U UIN Jakarta, stigma negatif Dema sebagai organisasi kemahasiswaan yang mi-nim prestasi perlu segera dibenahi. Kaitannya dengan hal tersebut, Sultan selaku Ketua Dema-U terpilih me- nawarkan tiga visi solusi. Demokratis, intelektual, dan berkarakter Islami menjadi landasan visi utama Dema-U kali ini. Demi mewujudkan ketiga visi tersebut, Dema-U membuka ruang bagi mahasiswa untuk berkoordinasi, terlibat, dan berkontribusi langsung dalam pelbagai kegiatan. Selain itu, Dema-U berperan dalam memperjuangkan hak-hak mahasiswa, serta membentuk corak keilmuwan yang berkarakter bagi mahasiswa melalui pelbagai forum diskusi. Di bawah kepemimpinan Sultan, Dema-U juga ingin menerapkan ajaran Islam yang bersifat lebih substansial, seperti ajaran agama tentang hidup bersih dan sehat. Dema-U kedepannya akan
Foto: Dokumentasi Pribadi
Stigma negatif Dema sebagai organisasi kemahasiswaan yang minim prestasi perlu dibenahi. Dema-U UIN Jakarta pun berjanji akan berbenah dan melakukan perubahan.
Ketua dan Wakil Ketua Dema-U 2019 terpilih, Sultan Rivandi dan Riski Ari Wibowo
mengkampanyekan untuk tetap menjaga kebersihan dan mengurangi sampah seperti sampah plastik, sterofoam dan lain-lain. “Karakter Islami itu yang akan kita terapkan ke arah yang sifatnya substansial,” ujar Sultan, Pada Senin (8/4). Mahasiswa Pendidikan Bahasa Arab, Sibghoturrahman Saifullah turut angkat bicara mengenai tugas dan ki- nerja Dema-U. Saifullah menyatakan peran Dema-U sebagai organisasi mahasiswa yang menjalankan pe-ran eksekutif di kampus. Ada pun program Dema-U priode 2018 yang pernah ia ikuti berupa seminar dan diskusi. “Program Dema masih ada yang kurang dari segi memberi wawasan keilmuwan bagi mahasiswa” ucapnya pada Senin (13/4). Mahasiswa lain, Hero Ryaldy N. Langlang Buana dari Jurusan Hukum Ekonomi Syariah mengutarakan pendapatnya tentang Dema-U. Menurutnya, tugas De-
ma-U sebagai penampung aspirasi mahasiswa. Hero berharap untuk Dema-U periode 2019 agar dapat merea-lisasikan program-program yang sudah direncanakan serta merangkul mahasiswa yang berpotensi. “Bagi mahasiwa yang berpotensi disi- nergikan dan diajak kerjasama untuk membangun UIN,” katanya pada Senin (13/4). Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan, Masri Mansoer berpesan agar pimpinan Dema-U menampung aspirasi dan kebutuhan mahasiswa dalam bentuk kegiatan-kegiatan yang bermanfaat. Masri juga berharap agar Pimpinan Dema-U segera menyusun struktur kepengurusan dan melaksanakan rapat kerja (Raker). “Segera disusun kepengurusannya dan harus cepat melaksanakan Raker serta melaksanakan kegiatan yang bermanfaat bagi mahasiswa,” pungkasnya, pada senin (15/4).
4 Sefi Rafiani serafiani99@gmail.com
KAMPUSIANA
Edisi Lx / APRIL 2019
Potret Kartini Masa Kini
Api semangat Kartini terus menyala hingga kini. Hal ini terbukti melalui semangat perjuangan perempuan-perempuan ini. Dua puluh satu April menjadi hari yang sakral dalam sejarah bangsa Indonesia. Emansipasi yang digagas Raden Ajeng Kartini berhasil membuka perspektif baru. Perempuan—yang dianggap sebagai insan yang lemah— kini memiliki kesempatan yang sama dalam mengenyam pendidikan. Bahkan tidak hanya itu, perempuan yang dulu hanya berperan sebagai konco wingking kini juga diperbolehkan berkarier dan menggapai cita-citanya yang setinggi langit. Berbicara soal semangat Kartini, Universitas Islam N e g e r i (UIN) S y a r i f H i d a y a t u l l a h Jakarta memil i k i sosok perempuan-perempuan hebat dan menginspirasi. Para Kartini masa kini ini terus mengembangkan kualitas diri demi menjadi perempuan yang mampu merubah stigma lingkungan sekitar. Mereka terdiri dari mahasiswi dan dosen yang saat ini masih berjuang keras. Baik itu di dalam kampus
maupun di luar kampus. Seperti halnya yang dilakukan oleh Mahasiswi Fakultas Imu Tarbiyah dan Keguruan Safti Nur Safitri. Tekadnya ingin menjadi salah satu tokoh yang dapat berkontribusi di dunia pendidikan mengantarkan Mahasiswi Jurusan Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah ini dinobatkan sebagai Putri Pendidikan Indonesia Provinsi B a n t e n 2 0 1 9 . Pemilihan Putra-Putri Indonesia Pendidikan Banten merupakan kontes pemuda-pemudi cerdas, memotivasi, inspiratif, dan nasionalis yang diselenggarakan Ikatan Pemuda Prestasi Indonesia. Menurut Safti, sosok Kartini di zaman sekarang adalah p e re m p u a n yang mampu menunjukkan kualitas dan kemampuan dirinya tanpa raguragu. Bahkan dapat dilihat bahwa perempuan saat ini mampu menjadi seorang pemimpin atau motivator yang menginspi-
rasi banyak orang. “Jangan pernah ragu dengan apa kamu miliki, raih mimpi besarmu,” begitu pesan mahasiswi semester dua ini, Sabtu (13/4). Berbeda dengan Safti, Mahasiswi Kedokteran semester 4 Fathiya Shafiatur Rahmah meneruskan perjuangan Kartini lewat dunia kedokteran. Perempuan yang akrab disapa Tya ini sudah didiagnosis mengidap Kanker Intra Apdomen sejak 2016 lalu. Ia telah mengeluarkan banyak cairan dalam perut bertahun-tahun lamanya. Meski dokter sudah menyatakan demikian, Fathiya tetap semangat untuk bisa terus belajar dan menggapai cita-citanya. Terbukti, Fathiya berhasil masuk Fakultas Kedokteran UIN Syarif Hidayatullah Jakarta melalui jalur Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Nasional. Saat Fathiya berada di jenjang Sekolah Menengah Atas, ia hanya menghabiskan waktunya di sekolah, tempat les
dan rumah sakit. Fathiya bahkan pernah memanggil guru privat untuk belajar di rumah sakit saat sedang menjalankan kemoterapi. Selain ingin menjadi dokter, Fathiya juga memiliki keinginan menjadi seorang penulis. Pengalamannya saat melihat berbagai macam kondisi para pasien kanker membuat hatinya terenyuh dan ingin menuliskan kisah-kisah mereka dalam bentuk sajak. Tahun ini, ia bekerjasama dengan badan wakaf akan menerbitkan tulisan-tulisannya yang terangkum dalam sebuah buku berjudul Surat Cinta. Menurut Fathiya, sosok Kartini zaman ini yang bisa diteladani ialah sosok yang peduli dan tidak apatis terhadap kondisi di sekitarnya. Contoh kecilnya ketika ada suatu permasalahan yang terjadi di kampus. Kartini masa kini harus ikut andil dalam menyelesaikan permasalahan tersebut. Selain peduli, Kartini masa kini juga harus
memiliki jiwa sosial yang tinggi seperti RA. Kartini yang sering membantu semua kalangan tanpa pandang bulu. “Kita harus mengesampingkan gengsi. Jangan lupa untuk terus berjejaring dan berteman dengan siapa saja,” ungkap Fathiya, Senin (8/4). Tak ketinggalan, perempuan pertama yang meraih Doktor Bidang Pemikiran Politik Islam UIN Jakarta Musdah Mulia pun turut angkat bicara. Menurut Musdah, Kartini masa kini ialah perempuan yang bisa meningkatkan kualitas hidupnya. Perempuan harus bersaing dengan orang-orang sukses di sekelilingnya. “Kartini punya banyak kesempatan meningkatkan kualitas hidupnya meski tidak melalui pendidikan formal,” ujar Musdah saat ditemui di Sekretariat Indonesian Conference On Religion and Peace, Cikini, Jakarta Pusat, Minggu (14/4).
JAJAK PENDAPAT
Edisi Lx / APRIL 2019
5
Dema-U di Mata Mahasiswa Telah tercantum dalam Surat Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Islam Nomor 4961, tentang Pedoman Umum Organisasi Kemahasiswaan. Sesuai fungsinya, Dewan Eksekutif Mahasiswa Universitas (Dema-U) memiliki kedudukan, kewajiban, dan tanggung jawab dalam melaksanakan ketetapan Senat Mahasiswa dalam bentuk program kerja. Tak hanya itu, Dema-U juga harus mengkomunikasikan dan menginformasikan kegiatan kemahasiswaan di tingkat Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI), juga melaksanakan koordinasi dan sinkronisasi kegiatan kemahasiswaan.
Fungsi dan tugas umum Dema-U tersebut seharusnya juga diketahui oleh seluruh mahasiswa. Karena segala aspirasi mahasiswa ditingkat PTKI, Dema-U lah yang mengkoordinasi, menginstruksi, dan melaksanakannya. Untuk mengetahui sejauh mana mahasiswa mengetahui fungsi dan tugas umum Dema-U, dalam jajak pendapat kali ini Institut menggali seberapa tahu mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta tentang fungsi dan tugas umum Dema-U tersebut. Nyatanya, tak semua mahasiswa tahu fungsi dan tugas umum dari Dema-U, karena
“
45,9% mahasiwa memilih tidak tahu, 38,1% memilih kurang tahu, 45,9% memilih tahu, sementara hanya 3,9% yang memilih sangat tahu. Institut juga menanyakan kepuasan mahasiswa dengan kinerja Dema-U periode 2018 lalu. Hasilnya sebanyak 8,9% mahasiswa merasa puas, 47,7% merasa cukup puas, 32,7% merasa kurang puas dan sebanyak 10,7% merasa tidak puas dengan kinerja Dema periode 2018. Karena banyaknya persentase mahasiswa yang kurang puas maupun tidak puas dengan kinerja Dema-U periode 2018 lalu, dipertanyaan selan-
jutnya, Institut menanyakan program dalam bidang apa yang harus ditingkatkan dalam kinerja Dema-U 2019. Hasilnya sebanyak 39,1% memilih Bidang Advokasi dan Kebijakan Umum, 35,2% memilih Bidang Kemahasiswaan, 17,1% memilih Bidang Keagamaan, juga 8,6% memilih pilihan lainnya. Pada 19 Maret lalu, Sultan Rivandi dan Riski Ari Wibowo terpilih menjadi Dema-U dan Wakil Dema-U periode 2019. Sebagai penutup, Institut menanyakan apakah mahasiswa optimis dengan kinerja Dema-U 2019? Jawabannya, sebanyak 52,7% memilih iya,
8,5% memilih tidak, serta 38,8% memilih ragu-ragu.
*Jajak pendapat ini dilaksanakan sejak 3 hingga 15 April 2019, dengan jumlah responden sebanyak 281 mahasiswa dari pelbagai fakultas di UIN Jakarta. Metode pengambilan dalam jajak pendapat ini adalah propotionated stratified random sampling. Juga hasil ini tidak bermaksud menyudutkan suatu lembaga atau pihak manapun di UIN Jakarta.
QUOTE OF THE MONTH BUKANLAH LAKI-LAKI YANG HENDAK KAMI LAWAN,
�
MELAINKAN PENDAPAT KOLOT DAN ADAT YANG USANG. Surat Kepada Ny. Cvink Soer (1900)
6
INFO GRAFIS
Edisi Lx / APRIL 2019
Sumber: Berita “Perkara Kelola Kemahasiswaan” Tabloid Institut LX dan “Dana Delegasi Susah” Tabloid Institut LVII
Ayo kirim opini, cerpen, dan puisi kalian ke redaksi.institut@gmail.com 3000 sampai 3500 karakter disertakan nama, jurusan, semester, ataupun organisasi kalian Keluhan mengenai kampus dapat dikirim ke 085817296629
Baca, Tulis, Lawan! LPMINSTITUT.COM
PERJALANAN
Edisi LX / APRIL 2019
7
Foto :IINSTITUT
Jelajah Sudut Ibu Kota
Nurul Dwiana nurull.dwiana@gmail.com Di tengah hiruk pikuk kota, Rumah Si Pitung bisa menjadi salah satu destinasi tujuan yang jauh dari keramaian. Namun, posisi yang terpencil membuat situs budaya satu ini jarang diketahui massa. Rumah Si Pitung, salah satu cagar budaya dari daerah Jakarta yang masih berdiri kokoh di kawasan Marunda, Jakarta Utara. Rumah Si Pitung yang hampir dekat dengan pesisir pantai tampaknya jauh dari hiruk pikuk ibu kota. Rumah yang menjadi ciri khas warga Jakarta ini hampir sama dengan rumah panggung dari Bugis. Untuk memulai perjalanan ke Rumah Si Pitung dengan menggunakan TransJakarta mengambil rute ke arah Rusun Marunda. Setibanya di sana akan terlihat gapura bertuliskan “Rumah Si Pitung 12 Destinasi Wisata Pesisir�. Perjalanan tak sampai di situ saja, wisatawan harus menempuh jarak sekitar 1 kilometer untuk tiba di tempat tujuan. Selama perjalanan, wisatawan bisa melihat kanan dan kiri tambak ikan serta tumbuhan
bakau di sepanjang jalan. Sayang, Rumah Si Pitung tak begitu banyak pengunjung. Saat tiba di depan pintu masuk Rumah Si Pitung dihadapkan pagar berpelitur hitam. Dengan hanya mengocek harga Rp 5 ribu untuk orang dewasa dan Rp 3 ribu bagi mahasiswa. Di buka dari hari Selasa-Minggu dari pukul 08.00 WIB hingga 16.00 WIB. Dari pintu masuk terlihat tiga bangunan adat Betawi dengan corak rumah panggung ala Bugis dan didominasi dengan warna merah kecoklatan. Ketiga bangunan ini memiliki fungsi yang berbeda. Ada Rumah Si Pitung, aula dan musala berserta kamar mandi. Bangunan utama Rumah Si Pitung terletak sebelah kiri dari pintu masuk. Ketika
akan masuk ke dalam Rumah Si Pitung, pengunjung diminta untuk melepas alas kaki agar menjaga kebersihan dan kenyamanan. Ketika memasuki Rumah Si Pitung terdapat beberapa ruang di dalamnya. Saat menaiki rumah panggung ada beranda depan yang terdapat meja dan kursi yang terbuat dari rotan. Selanjutnya, terdapat kamar tidur dan ruang makan dengan peralatan tradisonal seperti cobek yang terbuat dari tanah liat. Di ruang belakang juga terdapat beranda dengan ciri khas bale yang menjadi tempat bersantai pemilik rumah. Tak hanya itu, rumah ini dibangun berdasarkan sejarah Si Pitung saat polisi Belanda menggebrak Ru-
mah Si Pitung di Rawa Belong, Jakarta Barat pada tahun 1984. Sayangnya, Rumah Si Pitung yang menjadi situs budaya ini jarang dikunjungin wisatawan dan tidak ada pemandu wisata pada saat itu. Begitu pula akses yang jauh dari ibu kota membuat para wisatawan kurang melirik cagar budaya ini. Hal ini dirasakan pengunjung Rumah Si Pitung, Nabila Maulidya Rahma mengatakan akses menuju Rumah Si Pitung itu susah. Tak hanya itu, menurut Nabila cagar budaya hanya sekadar Rumah Si Pitung dan tidak ada destinasi lain. “Bagus tetapi kurangnya kantin dalam kompleks Rumah Si Pitung,� tuturnya, Jumat (5/4).
8
OPINI
Edisi Lx / APRIL 2019
Hati Dan Pembangunan Sosial Oleh: Maulana Siddik Sinaga* Sebuah lagu berjudul jagalah hati karya Snada, grup nasyid Indonesia mengisahkan peran hati yang amat berpengaruh bagi seseorang. Bait-bait di dalam lagunya menjelaskan kedudukan hati, yang dengannya pandangan hidup seseorang diarahkan, dalam artian nasehat berbalut irama di lagu tersebut mengajak pendengarnya agar senantiasa merawat hati, sebab dengan hati, perasaan manusia diputuskan, yang pada gilirannya menentukan sikap. Lagu ini kemudian dipopulerkan muballigh Aa Gym, yang sering membawakan tema hati di ceramahnya. Mengenai hati, Nabi Muhammad SAW menyebutnya bagai segumpal daging yang memimpin seluruh kehendak gerak tubuh manusia. Di dalam hadist riwayat Bukhari dan Muslim itu, disabdakan, hati ialah pembina, pengatur, yang imperatif, yang dengannya seseorang bertingkah laku, berucap, hingga berpikir. Hati juga ibaratkan raja dan anggota badan adalah rakyatnya. Apabila hati menangkap sesuatu yang baik, maka anggota badan pun mengikutinya. Pun sebaliknya, hati yang menyer-
ap hal buruk, maka anggota badan juga mengonsumsinya. Ibn Athaillah berujar dalam Tajul Arus, hati itu laksana pohon kering yang membutuhkan asupan air. Buah yang akan ia hasilkan sangat bergantung bagaimana pohon itu dirawat. Jelaslah bahwa hati merupakan pengendali tingkah laku manusia. Hubungan hati dan pembangunan sosial, bisa dijembatani dengan teori sains modern, yakni pandangan sosiolog Peter L. Berger. Ia mengatakan terdapat tiga tahapan manusia dalam memahami realitas, yakni obyektifikasi, internalisasi, dan eksternalisasi. Obyektifikasi mengawali dengan melihat kenyataan kemudian mempersepsikannya. Mata dan akal kita mencoba mengenali kenyataan itu. Kemudian, internalisasi melanjutkannya dengan mencoba mengonseptualisasikannya melalui dugaan, prasangka, tebakan, perkiraan dan semacamnya berdasarkan pengalaman atau pengetahuan sebelumnya yang berkaitan dengan kenyataan tersebut. Hingga eksternalisasi menutupnya dengan mengucapkan pernyaataan-per-
nyataan. Kita bisa telisik, pada tahap obyektifikasi dan internalisasi, ketika seseorang mulai menduga-duga penafsiran akan sesuatu, dia mencoba menghubungkannnya dengan pengalaman yang relevan. Apa yang telah ia dapatkan, akan ia jadikan panduan dalam memberikan penafsiran. Bagaimana jika hati, yang memiliki peran siginifikan di proses berfikir manusia, telah dipenuhi perasaan dendam, benci, kedengkian, amarah dan sebagainya, yang kemudian berlandaskan perasaan itu mengartikan suatu kenyataan? Hasilnya mudah ditebak. Bahwa pemaknaan yang tercipta adalah yang sesuai selera, yang sejalan dengan nilai, yang seirama. Tidak jarang, kebenaran di dalamnya tertutupi oleh keegoisan tadi. Itu semua kembali kepada hati. Bagaimana hati bisa sangat mengendalikan pemaknaan-pemaknaan kita akan sesuatu. Hati sangat menguasai, memengaruhi pikiran dan tindakan manusia, sebagaimana di awal, hati adalah raja juga pemimpin dan anggota badan adalah pengikutnya. Hati yang mempersepsikan segalanya dengan baik, ber-
tumpu kelembutan dan empati akan membuahkan yang baik pula. Pun sebalinya, hati yang menampung dugaan dugaan negatif, akan membuahkan sikap negatif pula. Rahasia umum kita, sebagai bagian dari masyarakat, mengakui bahwa ukuran keberhasilan seseorang di pentas kehidupan adalah materialis. Raga dipandang lebih utama daripada jiwa, lahir dianggap lebih bernilai ketimbang batin. Budaya kita mengonfirmasikan hal itu. Rasa takjub, hormat, lebih sering kita haturkan kepada mereka yang unggul di aspek fisik. Akibatnya, perburuan materialis, dengan beragam upaya, yang terkadang harus mengorbankan etika, moral, bahkan idealisme, kerap menjadi pandangan kita sehari-hari. Kita terjebak dalam lingkaran pertengkaran dambaan itu; saling sikut, dengki, benci, dendam, adu domba, sumpah serapah hingga mengkritstal, berujung konflik horizontal. Variasi keinginan, kebutuhan, dan kepentingan mewujud dalam penyematan istilah antarkelompok yang bersebrangan. Ketegangan ini bermula dari sikap pendewaan materi-
alis, yang didukung perasaan angkuh dan egois. Padahal manusia terdiri dari jiwa dan raga yang menyatu. Jiwa yang merupakan duplikasi hati harus terus dipelihara agar seimbang dengan raga, Dari sinilah sebetulnya, pembangunan sosial diciptakan. Masyarakat yang rukun, harmonis, dan kompak berawal dari individu yang memposisikan hati, sebagai penangkap sinyal realitas, berada di jalur-jalur kebaikan. Hati yang memandang tetangga, rekan kerja, teman sekelas, dengan perhatian, hati yang menilai orang lain dengan kepedulian, hati yang menafsirkan segala kenyataan dengan penuh kebijaksanaan. Sehingga tindakan yang dimunculkan adalah tindakan keteladanan dan keluhuran. Pada akhirnya, sebuah bangsa akan saling mendukung keberhasilan antarsesama, menuju cita-cita baldhathun thayyiba wa rabbun ghafur, negeri yang dilimpahi karunia dan ampunan Allah SWT. *Penulis merupakan mahasiswa Program Studi Komunikasi Dan Penyiaran Islam Semester 6.
SURAT PERNYATAAN SIKAP
Nomor: 062/LPM-INSTITUT/IV/2019
Dunia akademisi sepatutnya mengedepankan diskusi, bukan main suspensi dengan dalih perkara. Berawal dari cerita pendek (cerpen) bertajuk “Ketika Semua Menolak Kehadiranku,� Rektor Universitas Sumatra Utara (USU) Rutung Sitepu gusar. Tanpa dilibatkan dalam perundingan, dengan sewenang rektor mengeluarkan Surat Keputusan (SK) terkait pemberhentian kepengurusan Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Suara USU. Menanggapi kasus yang menimpa LPM Suara USU, kami atas nama LPM Institut Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta menyatakan sikap kami sebagai berikut: 1. Kami menolak dan mengecam kesewenangan Rektor USU Rutung Sitepu terkait pemecatan pengurus LPM Suara USU 2019. 2. Berlandaskan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi Pasal 6, pendidikan tinggi diselenggarakan dengan prinsip demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif. 3. Menuntut pihak Rektor USU Rutung Sitepu menyelesaikan perkara dengan jalur perundingan dengan melibatkan kedua belah pihak. Ditetapkan di Tanggal
: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta : 19 April 2019
Hidayat Salam
Pemimpin Umum LPM Institut
Mengetahui,
Moch. Sukri
Sekretaris Umum LPM Institut
KOLOM
Edisi Lx / APRIL 2019
Editorial
9
Kebangkitan Perempuan di Tahun Politik Oleh: Nur Fitriani*
Ironi Dana Delegasi Dalam rangka mengembangkan potensi diri saat mengikuti pelbagai perlombaan, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta menyediakan dana delegasi bagi mahasiswa. Selain itu, UIN Jakarta juga akan memberikan penghargaan bagi mahasiswa yang memperoleh prestasi dan penghargaan. Namun patut disayangkan, kampus tercinta ini agaknya berat hati menggelontorkan dana delegasi ini. Tak dipungkiri, untuk mengikuti suatu perlombaan dibutuhkan dana yang tidak sedikit. Terlebih perlombaan tersebut diadakan di luar kota, atau bahkan luar negeri. Berkenaan dengan dana delegasi, tahun ini UIN Jakarta akan mengikuti Pekan Ilmiah, Olahraga, Seni, dan Riset (Pioner) di Malang. Tanpa penanganan yang serius, permasalahan klasik dana delegasi dapat berimbas pada prestasi UIN Jakarta di Pionir kali ini. Pada Rapat Kerja Pimpinan (Rakerpim) di Bandung, Maret 2019 lalu, bidang kemahasiswaan tak luput dalam pembahasan. Rakerpim yang sejatinya sebagai cerminan kenerja UIN Jakarta di bawah kepemimpinan Amany Burhanuddin Umar Lubis ke depan ini patut disayangkan. Pasalnya anggaran dana delegasi UIN Jakarta tahun ini justru mengalami penurunan. Jika melihat data, dana delegasi UIN Jakarta tahun 2017 tercatat mencapai Rp 1 miliar, 2018 mengalami penurunan di angka Rp 600 juta, dan 2019 hanya menyentuh angka Rp 225 juta. Tentu dari data tersebut dapat disimpulkan dana delegasi UIN Jakarta terus mengalami penurunan. Jika anggaran dibawah Rp 225 juta serta fasilitas cukup, apakah kampus bisa menangani? Lalu bagaimana mengatasi dana delegasi yang semakin merosot? Akan tetapi kenapa fasilitas tidak memadai?. Lantas bagaimana dengan penanganan dana delegasi yang lemah di UIN Jakarta. Apakah itu salah satu penghambat peningkatan prestasi mahasiswa. Logikanya, jika anggaran Rp 600 ribu saja sudah kelimpungan. Lalu bagaimana jika anggarannya dipangkas. Apakah itu salah satu alasan sulitnya mendapat dana delegasi dan fasilitas yang layak.
Daya juang perempuan selama ini untuk setara dengan laki-laki semakin terpenuhi. Ini dapat kita lihat di dunia politik saat ini, banyak perempuan yang terjun ke dalam Partai Politik (Parpol). Kesempatan ini seharusnya dapat menjadi jalan peluang untuk semakin membawa isu perempuan agar pemerintah semakin tegas dalam melindungi dan memberdayakan perempuan. Namun, sepertinya fikiran itu jauh dari harapan jika melihat Pilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak 2018. Sebagaimana dilansir tirto.id, ada 101 kandidat perempuan dari 1.140 calon kepala dan wakil kepala daerah di Pilkada 2018. Dari 101 kandidat itu, hanya 37 orang yang mengangkat isu perempuan serta anak dalam visi, misi, serta program kerjanya. Kita tidak tahu memang benar-benar dijalankan atau hanya sebagai sebuah bungkusan kata-kata untuk mendapatkan simpati rakyat. Rakyat pun sudah terlalu sering dan kenyang akan janji-janji para calon wakil rakyat. Ditambah pula dengan mirisnya dari sekian banyaknya kandidat perempuan yang mencalonkan diri ke dalam parpol, kenapa hanya sedikit yang membawa misi isu perempuan. Jika kita melihat kedalam lebih jauh, berdasarkan catatan tahunan Komisi Nasional (Komnas) Perempuan tercatat ada 348.446 kasus kekerasan terhadap perempuan yang ditangani selama 2017. Sebagai perbandingan, pada 2016, tercatat ada 259.150 kasus kekerasan. Pertanyaannya bagaimana di tahun 2018 para politisi yang memegang kekuasaan mampu mengurangi angka atau bahkan mampu mempertegas kebijakannya dalam melindungi dan memenuhi hak-hak perempuan? Ketika zaman mulai beralih memposisikan perempuan menjadi sejajar dengan kaum laki-laki, justru isu tersebut menjadi terlupakan. Mungkin bukan terlupakan, sempat diucapkan namun tidak secara eksplisit benar-benar mencantumkan kata perempuan, wanita, atau ibu. Faktanya, tidak ada separuh dari kandidat perempuan yang membawa nama isu perempuan dan anak dalam program kerjanya. Perkumpulan Pemilu Untuk Demokra-
si (Perludem) mengungkap, ada 26 calon kepala daerah perempuan yang memiliki program kerja perempuan serta anakanak. Namun, program-program itu tak banyak dirinci oleh para kandidat. Seolah-olah asal disematkan tanpa berfikir dan intropeksi ulang bagaimana persoalan perempuan dan anak terdahulu bisa terselesaikan sekarang. Mengucapkan lebih mudah ketimbang melakukan, jika para politisi tidak sungguh-sungguh mampu menyelesaikannya jangan ini dianggap sebagai bahan guyonan. Melihat semakin berkembangnya peradaban posisi perempuan mulai dan bahkan sudah hampir setara dengan laki-laki. Jangan ini dilupakan, justru sebaliknya harus lebih ditingkatkan. Visi, misi, dan program kerja seolah tak serius mengusung kepentingan perempuan dan anak. Apakah hanya dilihat dari keturunan atau darimana dia berasal menjadi sebuah ukuran dalam memilih para kader calon partai. Jika itu sebagai ukuran bagaimana negeri ini akan menjadi sejahtera. Apa haruskah kita kembali pada masa Orde baru yang begitu menyengsarakan dan mebekas dalam ingatan rakyat? Jika hanya popularitas dan eksabilitas yang menjadi target pencapaian apa bedanya dengan seorang tokoh hiburan. Sejatinya, mereka lebih tahu dibandingkan rakyat biasa yang tidak memiliki jabatan. Pilkada yang seharusnya menjadi jalan peluang membawa perempuan untuk lebih maju, seolah hilang setelah muncul kepentingan pribadi atau kelompok. Jika kita berfikir memang ada laki-laki yang memikirkan masalah perempuan, tapi perempuan akan jauh lebih memahami masalahnya sendiri. Tidakkah para politisi perempuan yang saat ini sudah mengalami peningkatan namun berbanding terbalik terhadap kepedulian isu perempuan. Memang kita belum tahu bagaimana politik ini akan berjalan sepanjang tahun 2018. Namun, sekiranya jika tidak membawa isu perempuan dan anak mampu memberdayakan perempuan dan anak terutama daerah pelosok. Bangkitnya Kaum Perempuan Seiring tahun berjalan, peningkatan perempuan untuk maju dalam dunia politik meningkat drastis. Sebagaimana penulis terangkan diatas, perempuan unjuk diri menjadi calon kepala dan wakil kepala daerah. Kabar gembira bagi perempuan yang selama ini memperjuangkan hak kesetaraannya. Dalam Undang-Undang Nomor 2 tahun 2011 perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 tahun 20 tentang partai politik banyak dipakai dalam mendorong perempuan untuk menjadi legislator. Memang, belum semua partai mengeluarkan perempuan untuk menjadi calon legislatif.
Namun, setidaknya dengan adanya sedikit dorongan dari kesadaran pimpinan partai politik untuk menunjuk perempuan maju dalam Pemilu harus disambut dengan tangan terbuka. Jalan terjal kebebasan dan kesetaraan yang dibawa oleh perempuan selama ini, menuai hasil yang gemilang. Apa yang diimpikan selama ini untuk unjuk diri pada dunia bahwa perempuan juga mampu terbuka lebar. Pintu peluang yang kini terbuka lebar harusnya mampu menjadikan perempuan kini lebih semangat membawa isu perempuan dalam program kerjanya. Menurut pandangan penulis, di tahun politik ini peningkatan perempuan dalam dunia politik akan semakin pesat, salah satunya terpilihnya Khofifah Indar Parawansa sebagai Gubernur Jawa Timur. Menjadi perbincangan hangat di Pilkada Serentak 2018. Menjadi gambaran bahwa perempuan layak menjadi pemimpin. Terlepas dari kodrat dan dunianya, perempuan layak maju sejajar dengan kaum laki-laki. Menjelajah dunia layaknya Ibnu Batutah. Oleh karena itu, perempuan harus semakin giat untuk unjuk diri di mata dunia dan bermanfaat untuk orang lain.
Perempuan dalam Pandangan Islam Al-Qur’an dan Islam dalam memandang dan memperlakukan kaum perempuan? Al-Qur’an menjawabnya dalam Surat Al-Hujurat: “Wahai seluruh manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kaum laki-laki dan perempuan, dan Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu adalah yang paling bertaqwa�. (QS. Al-Hujurat: 13). Ayat ini dengan jelas mengatakan bahwa manusia tanpa terkecuali, entah itu laki-laki atau perempuan, berkulit hitam atau putih, kaya atau miskin adalah sama derajatnya di sisi Allah kecuali ketaqwaannya. Maka tidak boleh kita memandang perempuan adalah lebih rendah derajatnya dibanding laki-laki, sehingga kita berlaku tidak adil terhadapnya, mengebiri hak-haknya, karena yang demikian itu sama sekali tidak dibenarkan dalam Islam. Bahkan Islam justru sangat meninggikan derajat perempuan. Saat inilah saatnya kita sadar dan memahami bahwa perempuan layak untuk maju. Pantang bagi seorang perempuan jika masih malu, tidak mampu, dan tidak punya skiil. Jika didalam diri kita tidak ada rasa keinginan untuk maju, sejarahlah yang akan menghilangkan nama pada dunia. Namun, jika perempuan sadar bahwa hidup dengan berkarya menjadikan orang mengenang kita dengan karya. *Penulis merupakan Divisi Jaringan Kerja LPM Dimensi IAIN Tulungagung.
kunjungi lpminstitut.com Update terus berita kampus
10
TUSTEL
Edisi LX / maret 2019
Antusiasme Masyarakat Badui Dalam Pemilu Foto oleh Atikah Fadhillah N. R. (KMF Kalacitra) Teks oleh Ika Titi Hidayati & Sefi Rafiani (LPM Institut)
Indonesia kembali menghelat kegiatan Pemilihan Umum (Pemilu) secara serentak. Masyarakat yang ada di seluruh wilayah Indonesia berhak memilih dan datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) untuk memilih pemimpin negara. Semangat dalam mengikuti prosedur Pemilu sebagai bentuk antusiasme warga negara terhadap negaranya. Tak terkecuali dengan Suku Badui yang ada di daerah pelosok. Masyarakat Badui yang tinggal di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Lebak, Banten turut andil dalam Pemilu yang diselenggarakan pada Rabu (17/4). Walau tinggal di daerah pelosok, tidak menghalangi semangat mereka untuk mendatangi TPS. Hal tersebut dilakukan demi menyukseskan Pemilu 2019. Tampak masyarakat Badui yang terdiri dari beberapa lakilaki dan perempuan datang ke TPS. Masyarakat Badui tersebut mengenakan baju atasan hitam yang menjadi ciri khas Suku Badui. Alhasil, setelah mencoblos surat suara, mereka pun memasukan surat suara ke dalam kotak suara.
WAWANCARA
Edisi Lx / APRIL 2019
11
Ketika Rektor Takut Cerpen Herlin Agustini herlinagustini97@gmail.com Keputusan sepihak yang dilakukan Rektor USU berimbas pada penghapusan keanggotaan Suara USU. Hal tersebut timbul lantaran cerpen “Ketika Semua Menolak Kehadiranku” diduga mengandung unsur LGBT. Beberapa bulan lalu, sempat merebak isu penghapusan izin keanggotaan Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Suara USU. Pemberitaan ini tidak hanya menjamur di kalangan pers mahasiswa saja. Namun, sudah beranjak menjadi isu nasional yang santer digarap berbagai media. Tagar #RektorTakutCerpen pun viral. Kejadian ini bermula saat salah seorang tim redaksi Suara USU menerbitkan cerpen di portal suarausu.com dengan judul Ketika Semua Menolak Kehadiranku. Cerpen ini, menurut pandangan Rektor USU dianggap mengandung unsur Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender (LGBT) yang dapat menciderai citra USU. Mandat diturunkan. Rektor meminta cerpen tersebut segera dihapus dari portal Suara USU. Namun, pihak Suara USU tak mengindahkan. Mereka menganggap, tak ada yang salah dari cerpen tersebut. Cerpen yang diterbitkan hanyalah wujud dari kebebasan berpikir dan dituangkan dalam bentuk sastra. Menanggapi permasalahan ini, Reporter LPM Institut Herlin
Agustini mewawancarai Ke-tua Bagian Advokasi Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Sasmito Madrin terkait kebebasan berekspresi dalam dunia jurnalistik.
Adakah batasan menyuarakan pikiran dalam jurnalistik? Terkait cerpen, sebenar- nya bukan produk jurnalistik namun lebih dikenal sebagai karya sastra. Dari AJI sendiri, cerpen dinilai sebagai wujud kebebasan berekspresi dari mahasiswa dalam menyampaikan gagasannya. Jadi, perlakuan Rektor USU — jika ditinjau dari penghapusan keanggotaan Suara USU—hingga pengurusnya di paksa mundur itu dianggap sebagai sesuatu yang reaksional dan berlebihan. Seharusnya, permasalahan tersebut bisa dibicarakan baikbaik dengan para aktivis pers mahasiswa sebelum melakukan pembredelan dan pembubaran pengurus. Bagaimana pandangan Bapak tentang etikajurnalistik?
Ralat
Ralat
Setiap lem- baga pers pasti mempunyai kode etik tersendiri. Sebut saja AJI yang menggunakan kode etik AJI. Berbeda dengan Dewan Pers yang menaungi seluruh lembaga pers. Kode etik Dewan Pers berlaku untuk ranah nasional, di sa mping kode etik lembaga pers yang harus ditaati setiap anggotanya. Dalam kode etik, ada perbedaan mendasar antara produk jurnalistik dan produk non-jurnalistik. Saya pikir, cerpen ini sebuah karya sastra yang sebenarnya tidak berkaitan dengan jurnalistik. Kita mencatat ini bukan sebuah kekerasan terhadap jurnalis. Tapi,hal ini diwujudkan se-
RALAT TABLOID INSTITUT LIX Pada Laporan Utama “Menanti Kiprah Rektor Baru” Halaman 2 Paragraf 1 Tertulis “Menggantikan Dede Rosyada (2014—2018)...” Seharusnya tertulis “Menggantikan Dede Rosyada (2015 —2019)...” Pada Ilustrasi Laporan Utama “Menanti Kiprah Rektor Baru” Halaman 2 Tertulis “2011—2003: Deputi Direktur SPs...” Seharusnya tertulis “2011—2013: Deputi Direktur SPs...”
bagai pembatasan kebebasan berekspresi. Selayaknya, kebebasan berekspresi para mahasiswa juga perlu dilindungi oleh Rektor USU. Selain kebebasan berekspresi, ada juga kebebasan akademik yang harus dilin- dungi oleh para pemimpin universitas.
lebih baik, jika peran dosen pembimbing di setiap lembaga pers mahasiswa lebih dimaksimalkan. Jika terjadi permasalahan, maka dosen pembimbing dan rektor bisa berdialog lebih dalam dan mengambil jalan tengah yang tepat.
Kilas
Kilas
Bagaimana solusi untuk mengatasi permasalahan tersebut? Sejauh ini, saat saya membaca cerpennya, tidak ada yang salah dari cerpen yang diterbitkan Suara USU. Namun, jika dikomparasikan, beberapa kampus di Indonesia, biasanya ada dosen pembimbing yang bertanggungjawab atas penerbitan pers mahasiswa. Seba- iknya seperti itu, tapi perannya memang belum maksimal. Di lembaga pers professional, sistem penerbitan jauh lebih ketat lagi. Verifikasi bukan hanya dari satu pihak. Ada reporter, editor, dan pimpinan redaksi. Jadi pengecekan dari artikel yang akan diterbitkan memang sangat ketat dan diindikasi mampu meminimalisir permasalahan. Bukan berarti mengatakan cerpen yang telah diterbitkan salah. Alangkah
Adakah pesan Bapak untuk seluruh pers mahasiswa di Indonesia? Tak dipungkiri memang pers mahasiswa zaman ini banyak mengalami kasus kriminalisasi. Selain itu, Dewan Pers sebagai lembaga independen juga tidak menaungi pers mahasiswa. Jika ada masalah dengan pers mahasiswa, entah itu di penjara atau mengalami diskriminasi. Payung hukum pers mahasiswa memang masih menjadi perdebatan hingga saat ini. Kendati demikian, pers mahasiswa memiliki peran penting sebagai media persiapan untuk menjadi jurnalis sesungguhnya. Anak pers mahasiswa harus meningkatkan kompetensi dalam bidang jurnalistik. Seperti jurnalis professional, pers mahasiswa juga tetap terikat dengan kode etik jurnalistik. Solusi yang bisa dimunculkan, anak pers mahasiswa harus lebih kuat membangun sinergi antar pers mahasiswa. Sehingga, jika ada permasalahan hukum bisa diselesaikan dengan koordinasi yang baik. Dengan langkah ini, advokasi terhadap kekerasan yang dialami pers mahasiswa juga akan meningkat.
LPM INSTITUT GELAR PELATIHAN JURNALISTIK Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Institut Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta menggelar Training Pers Institut (TPI) gelombang 1. Kegiatan dilaksanakan selama dua minggu dari 02-13 April 2019. Pada hari pertama, pelaksaanan TPI yang jatuh pada Jumat (31/3) dihadiri sebanyak 68 peserta yang berasal dari berbagai fakultas di UIN Jakarta. TPI sendiri merupakan agenda pendidikan bagi para bakal calon anggota yang ingin masuk ke Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) LPM Institut. Adanya TPI diharapkan agar mahasiswa memiliki pengetahuan tentang jurnalistik, videografi, dan desain. Selain itu, TPI bertujuan agar mahasiswa memiliki bekal untuk menjadi insan pers yang memiliki intelektual dan kritis terhadap permasalahan kampus, Sebagaimana mestinya seorang jurnalis. Dengan mengusung tema Bina Insan Pers di Era Digital, TPI kali ini menghadirkan pemateri yang berasal dari berbagai media. Diantaranya jurnalis Tempo yang bernama Hermawan dan anggota Aliansi Jurnalis Independen (AJI) bernama Ikhwan dan Nufus. Tak hanya itu, materi yang disampaikan pun beragam seperti straight news, feature, bahasa jurnalistik, video narasi, nilai berita, teknik liputan, desain, dan foto jurnalistik. Ketua Penyelenggara TPI Ika Titi Hidayati menyampaikan bahwa saat ini orientasi mahasiswa lebih ke dunia digital. Sehingga hal tersebut menjadi tantangan bagi insan pers, terutama yang masih menghasilkan produk cetak. Ia pun berharap dengan adanya TPI, mahasiswa yang ingin berkecimpung di dunia pers mahasiswa bisa lebih kreatif. “Semoga pers mahasiswa lebih inovatif dalam menghasilkan produk jurnalistik,” ungkap Ika pada Senin, (8/4). (Rizki Dewi Ayu | rizkikidew@gmail.com)
12
RESENSI
Edisi Lx / APRIL 2019
Membangun Digoel Lewat Cita-Cita
John Manangsang (Joshua Matulessy) adalah seorang pemuda asli Papua, Sentani, Irian Jaya. Sebagai pemuda desa, kesehariannya dihabiskan untuk berkebun. Sebagai anak tertua dari ibu tunggal, John mempunyai tanggung jawab besar yaitu mencukupi kebutuhan keluarga dan menyekolahkan adik-adiknya. Terlahir di desa yang sangat jauh dari hiruk-piruk perkotaan tak membuatnya minder. John tetap yakin suatu saat akan menjadi seorang pilot sesuai dengan impiannya sedari kecil. Profesi pilot terbesit karena keinginannya mengelilingi dunia. Akan tetapi, mewujudkan impiannya bukanlah hal mudah. Meskipun berusaha dengan keras John tetap harus menerima kenyataan pahit. Ternyata tinggi badannya tidak sesuai kriteria yang disyaratkan sekolah pilot milik pemerintah di wilayahnya. Untuk mengobati kegagalannya John pun berinisiatif mendaftar di perusahaan penerbangan dan diterima dibagian air traffic control (yang berkomunikasi dengan pilot). Namun, obsesinya menjadi pilot masih terus diperjuangkan. . Hingga John memutus-
kan melakukan berlayar selama 10 hari ke Jakarta untuk mencari dokter yang bisa menaikan tinggi badan. Setelah terluntang-lantung selama berhari-hari di Jakarta. John tiba-tiba teringat dengan kejadian yang pernah ia saksikan pada saat bekerja di bandara. Beberapa warga di daerahnya meninggal akibat terlambatnya penanganan medis. Ia merasa prihatin dikarenakan pasien tersebut meninggal karena tak ada dokter di daerahnya, sehingga banyak dari pasien yang terlambat diselamatkan. Hal ini membuat John terganggu, rasa gelisah bayang-bayang kematian pasien dari pedalaman. Situasi ini mengubah pendirian John untuk menjadi dokter sebagai pekerjaan mulia dan menolong orang yang membutuhkan. Kabar tersebut disambut baik oleh mama Jhon. Sebagai orang tua, Mama John tetap membiarkan anaknya mengambil keputusan. Sementara itu, keinginan menjadi dokter mendapat respons pro dan kontra dari kampung halamannya. Para tetangga meremehkan Jhon dikarenakan bukan rahasia umum lagi masuk sekolah
kedokteran sulit dan mahal sementara ekonomi keluaraganya pun sendiri susah. Mama John sama sekali tak menghiraukan gunjingan warga dan tetap memberi dukungan pada anaknya. Berkat doa orang tua, John diterima di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (UI). Setelah lulus dari UI, John yang telah berkeluarga kembali ke Distrik Boven Digoel (Tanah Merah), Merauke mewujudkan impian lama. Impian untuk menjadi dokter agar tidak ada nyawa melayang dalam perjalanan dari pedalaman ke pusat kota karena jarak ditempuh sangat jauh. Kontribusi John melalui profesinya dimulai di Tanah Merah dan sekitarnya. Pengabdian John bersama para suster dari Tanah Merah dimulai dari Kampung Mariam dan disambut dengan baik. Perihal pemeriksaan ini terdengar luas hingga ada lelaki paruh baya menghampiri John untuk melakukan pengecekan kondisi anaknya yang bernama Bretha. Ternyata Bretha kekurangan gizi yang membuat tidak bisa berjalan dan harus diberikan perawatan secara intensif. Dikarenakan klinik Digoel tidak memiliki ruang inap Bretha dirawat di kediaman John. Di sisi lain, profesinya sebagai dokter menjadi tantang bagi John dan para suster. Tak di setiap kampung yang dikunjunginya disambut
dengah hangat. Seperti halnya di Kampung Mouh, masyarakatnya tak peduli dengan dokter yang akan melakukan layanan kesehatan. Mereka masih percaya dengan dukun serta dengan cara pengobatannya. Di sisi lain, profesinya sebagai dokter menjadi tantang bagi John dan para suster. Tak di setiap kampung yang dikunjunginya disambut dengah hangat. Seperti halnya di Kampung Mouh, masyarakatnya tak peduli dengan dokter yang akan melakukan layanan kesehatan. Mereka masih percaya dengan dukun serta dengan cara pengobatannya. Kepercayaan masih dianut hingga proses persalinan menggunakan dukun serta dibawa ke hutan. Pasalnya, bukan hanya polemik itu saja yang terjadi. Lantaran di bagian wilayah pedalaman dan terpencil alat medis menjadi persoalan utama harus ditangani. Saat persalinan seorang wanita bernama Agustina harus melakukan operasi sesar. Sementara itu, alat untuk melalukan operasi tidak memadai. Sebagai seorang dokter yang ingin menyelamatkan nyawa pasien, John dalam terpaksa mengambil keputusan operasi dilakukan menggunakan silet dikarenakan alat operasi menjadi kendala. Dengan sumber daya alam
Santri Pencari Jati Diri Herlin Agustini herlinagustini97@gmail.com Perjalanan tak biasa dilakukan tujuh santri yang berasal dari Gu- yangan Pati Jawa Tengah. Dengan bermodalkan barang seadanya, mereka nekat menempuh perjalanan dari Pati Jawa Tengah sampai Madura dengan berjalan kaki. Spiritualitas identik dengan perjalanan seseorang menuju Tuhan. Perjalanan yang dilakukan ketujuh santri ini merupakan sesuatu hal yang baru bagi mereka. Persiapan dan perlengkapan yang ala kadarnya membuat mereka nekat melakukan perjalanan spiritual. Berbagai kesulitan pun sempat mereka alami, namun itu semua tidak membuat perjalanan spiritual mereka terganggu. Buku karya Ibil Ar Rambany yang berjudul Wali Bonek ini bercerita tentang rekam jejak perjalanan spiritual tujuh orang santri. Tujuh santri yang tanpa bekal nekat mengunjungi makam-makan wali yang berada di Jawa Timur. Santri itu dikenal dengan Bondo Nekat (Bonek). Mereka merupakan tujuh santri asal Guyangan Pati Jawa Tengah. Ketujuh santri tersebut melakukan perjalanan spiritual kelimaWali yang
ada di Jawa Timur dan makam Syekh Kholil Bangkalan. Santri yang bernama Ibil, Fuadi, Edi, Rasyid, Aji, Masluchi, dan Firdaus. Mereka menyebut dengan nama kelompoknya Ashabul Ghuroba. Seusai melaksanakan ujian akhir, mereka berencana melakukan perjalanan spiritual untuk menguji seberapa kuat mereka melakukan perjalanan spiritualnya. Perjalanan dari Pati sampai Madura nekat mereka lakukan dengan persiapan yang cukup sederhana, dari bermodalkan uang 50 ribu hingga barang-barang yang dibawa ala kadarnya. Alhasil beragam kendala mereka temui dari berjalan kaki, menumpangi truk hingga menumpang ke salah seorang beragama Kristen. Selain itu, Masjid juga menjadi tempat peristirahatan kala melepas lelah selama perjalanan. Tempat yang pertama mereka tuju makam Syekh Kholil Bang-
kalan, namun tidak sesuai dengan yang direncanakan. Mereka menumpangi truk pengangkut semen dan tidak sengaja tertidur, tanpa di sadari mereka berada di pabrik semen yang jalurnya bukan ke arah Madura. Karena sudah terlanjur salah jalur, akhirnya mereka memutuskan untuk mengunjungi Sunan Bonang dan kemudian melanjutkan perjalanannya ke Madura. Dari situ, Aji mulai kehilangan semangat untuk melanjutkan perjalanan spiritualnya. Ia merasa tidak sanggup lagi dan bilang bahwa ia ingin kembali ke Pati. Aji mengatakan kepada teman-temannya kalau dia ingin kembali ke Pati. Hal tersebut membuat kaget dan tidak percaya dengan ucapan Aji. Karena dari awal, mereka berkomitmen bersama untuk melakukan perjalanan spiritual tersebut. Tak kalah mengecewakannya, Aji juga bilang telah menyembunyikan uang 50 ribu untuk ongkos pulang. Sontak hal itu membuat yang lain pada kaget dan tak percaya. Teman-teman Aji mencoba untuk membujuk supaya Aji tidak kembali ke Pati, namun Aji tetap ingin kembali ke Pati. Mendengar pernyataan Aji,
Masluchi member pilihan bahwa dia bisa kembali ke Pati setelah mengunjungi makam Syekh Kholil Bangkalan. Aji menerima tawaran dari temannya itu, namun setelah berkunjung ke makam Syekh Kholil Bangkalan Aji tetap dengan keputusannya kembali ke Pati. Hanya tinggal berenam, namun mereka tetap melanjutkan perjalanan. Tujuan selanjutnya adalah Sunan Ampel Surabaya, Sunan Giri, Sunan Gresik dan Sunan Drajat adalah tujuan terakhir mereka. Namun sayang, mereka tidak sempat menyelesaikan perjalanannya sampai akhir karena salah satu dari mereka kakinya terluka. Dari situlah kemudian terjadi silang pendapat anatara kembali atau melanjutkan perjalanan. Malsuchi mencoba menengahi. “Karena kita berangkat bersama begitu juga kembali,� tuturnya. Mendengar penjelasan Malsuchi, semua sepakat untuk kembali ke Pati, Firdaus dan Fuadi yang awalnya kekeh melanjutkan perjalanan juga menyetujuinya. Berbagai lika-liku mereka hadapi, seperti bentrok sama preman saat mereka ngamen di
yang melimpah Digoel (Tanah Merah) masih mempunyai kekurangan dalam sumber daya manusianya. Dalam Film berjudul Boven Digoel menunjukkan bahwa wilayah pedalaman dan terpencil membutuhkan uluran tangan pemerintah untuk layanan kesehatan juga mensejahterakan rakyatnya. Film ini juga sebagai cerminan bahwa pemerintah masih belum menjangkau daerah-daerah pelosok.
Foto : Internet
Nurul Dwiana nurull.dwiana@gmail.com John merupakan seorang dokter yang mengabdikan dirinya di daerah pelosok. Dalam perjalanannya John dihadapkan dengan berbagai macam persoalan terkait dengan layanan kesehatan di sana.
Judul: Boven Digoel Genre: Biografi, Drama, Dokumenter Durasi: 93 Menit Tahun: 2017
Judul: Wali Bonek Penulis: Ibil Ar Rambany Halaman: 121 Penerbit: Indie Book Corner Tahun: 2018
jalan untuk bisa makan karena sudah tidak punya uang sepeser pun. Buku ini tak hanya menceritakan kisah perjalanan spiritual santri Bonek, melainkan buku ini juga menceritakan sejarah-sejarah para wali yang sudah mereka kunjungi. Bahasa yang digunakan dalam buku ini lebih menonjolkan bahasa sastra, tapi ada juga bahasa lain seperti bahasa Jawa.
SOSOK
Edisi Lx / APRIL 2019
13
Keterbatasan Fisik Tak Menghalangi Prestasi
Ika Titi Hidayati ikatitihidayati99@gmail.com
Keterbatasan fisik tidak menjadi hambatan bagi Taufiq Effendi. Peraih delapan beasiswa luar negeri ini menjadi bukti bahwa kekurangan yang ada tidak menjadi penghalang untuk berprestasi. Diskriminasi sosial seringkali dihadapi oleh para penyandang disabilitas, salah satunya tunanetra. Karena keterbatasan penglihatan, seringkali masyarakat meremehkan kemampuan para penyandang tunanetra. Akan tetapi, keterbatasan bukanlah penghalang untuk bisa berprestasi. Dengan tekad dan sikap pantang menyerah, keterbatasan fisik yang ada mampu ditepis. Salah satunya oleh Taufiq Effendi, Dosen Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta ini tidak pernah tanggung-tanggung dalam menuntut pendidikan. Di balik keterbatasan fisik pada matanya, ia berhasil mengenyam pendidikan di berbagai negara melalui jalur beasiswa. Terbukti, delapan program beasiswa berhasil diraihnya dalam
kurun waktu 2006-2015. Kekurangan yang dialami Effendi bukanlah bawaan sejak lahir. Kecelakaan yang pernah dideritanya pada usia enam tahun, secara perlahan menyebabkan kebutaan total saat menginjak umur 15 tahun. Berbagai operasi serta pengobatan yang telah ditempuh pun tidak ada satupun yang membuahkan hasil. Tidak merasa terpuruk, Effendi justru semakin memiliki semangat hidup yang tinggi dan berusaha keras untuk meraih impian. Dalam urusan pendidikan, Effendi kian gigih dalam menuntut mencari beasiswa. Keinginannya untuk dapat berkeliling dunia memupuknya untuk terus berusaha keras menda- patkan beasiswa di luar negeri. Dalam belajar, Effendi menggunakan rekaman suara dari hasil bacaan buku temannya, sedangkan braille dipelajarinya sejak Sekolah Menengah Atas. Ketika duduk di bangku kuliah, ia belajar menggunakan rekaman suara dosen yang selalu ia putar saat belajar. Metode lain, dengan menggunakan aplikasi untuk program membaca. Effendi memindai buku bacaan yang kemudian disimpan dan dibaca menggunakan aplikasi
program pembaca. Tepat pada 2006, kerja keras Effendi akhirnya membuahkan hasil. Beasiswa senilai 20 juta dalam program 4th Asia TEFL International Conference berhasil mengantarkannya ke Jepang. Makalah yang dibuat Effendi berhasil menyisihkan 449 pemakalah profesional dengan jenjang pendidikan yang berbeda dengan Effendi yang satu-satunya mengenyam pendidikan tingkat strata satu. Tidak berhenti sampai di situ, tahun-tahun berikutnya Effendi kembali menorehkan catatan baru untuk perjalanan beasiswanya. Salah satu di antaranya ialah Korean Exchange Bank yang mendanai penelitian skripsi Effendi pada 2007. Diakhir masa studi strata satunya, Effendi lulus dengan menyandang predikat cum laude serta menjadi wisudawan terbaik dengan kriteria akademik dan non akademik. Tak merasa puas, pada 2009 dengan beasiswa Information and Communication Technology Training dari Japan Braille Library, Effendi mengikuti pelatihan di Malaysia. Sebelumnya, pada 2008 Ia melanjutkan studi magisternya di Inggris tepatnya Aga Khan University. Beberapa beasiswa dari
Merajut Angan Anak Pesisir Menjadi relawan pendidikan tak sekadar berbagi ilmu. Memperhatikan lingkungan dan membina masyarakat juga menjadi prioritas utama. Tidak semua anak di Indonesia memperoleh pendidikan yang layak. Terutama anak-anak yang tinggal di wilayah pesisir. Akses transportasi yang tidak memadai membuat mereka minim edukasi. Sebab, tak banyak pula guru yang ditempatkan di pulau-pulau kecil. Tak heran, masih banyak anak pesisir yang belum paham ilmu pengetahuan. Berawal dari permasalahan kala mengunjungi daerah pesisir pulau, Hendriadi Bahtiar Daeng Sila seorang pemuda asal Sulawesi Selatan membentuk komunitas bernama Sahabat Pulau. Ia tergerak untuk membentuk Sahabat Pulau karena saat berada di daerah pesisir, ia merasa bahwa tingkat edukasi anak-anak di sana masih sangat rendah. Sejak itu, Hendri bersama pemuda lainnya untuk menjadi relawan bagi anak-anak pesisir. Komunitas yang berdiri sejak
25 Maret 2012 ini telah memiliki puluhan cabang di berbagai kota seperti Lampung, Palu, Gorontalo dan lain-lain. Sehingga, setiap cabang Komunitas Sahabat Pulau memiliki ratusan relawan. Sahabat Pulau memiliki program kakak dan adik Panda. Panda sendiri artinya Harapan Anak Indonesia. Para kakak Panda bertugas untuk kontributif sebagai mentor, donatur, motivator, dan inspirator untuk adik Panda. Tak sampai di situ, program ini juga menghidupkan kembali budaya menulis dengan berkomunikasi secara surat-menyurat antar kakak dan adik Panda. Komunitas yang berbasis pendidikan ini juga tak semata menawarkan program pendidikan bagi anak-anak. Program lainnya ialah Deliver Education Social and ArtPreneur atau Desa Preneur. Di sini, masyarakat diberi pelatihan tentang wirausaha dan
KOMUNITAS
Foto: Instagram Sahabat Pulau
Rizki Dewi Ayu rizkikidew@gmail.com
pemerintah Amerika Serikat yakni Teacher Training and Workshop di INTO Oregon State University, Corvallis dan Pengajaran Bahasa Inggris di University of Oregon, Eugene. Perjalanannya menempuh beasiswa di berbagai negara, menghantarkannya menjadi dosen di UIN Jakarta. Dalam mengajar, Effendi menerapkan metode critical pedagogy dalam kegiatan belajar mengajar di kampus. Sebuah metode pendidikan yang menerapkan konsep dari teori kritis dan tradisi yang terkait dengan bidang pendidikan dan studi budaya. Dengan begitu, pengajaran Effendi di kelas menjadi interaktif dan menuai respon positif dari kalangan mahasiswanya. Taufiq berpesan kepada semua mahasiswa, bahwa jangan pernah takut untuk bermimpi. Dirinya berpesan untuk terus berjuang dalam meraih mimpi dan masa depan, “Kita di masa depan tergantung dari mimpi dan perjuangan kita saat ini yang membedakan adalah kerja keras,” ujar Effendi, Kamis (4/4).
Seorang relawan tengah menyampaikan materi ke anak-anak pulau pada Jumat, (15/1). Menyampaikan materi merupakan salah satu upaya untuk menanamkan edukasi bagi anak pulau.
juga menghasilkan produk. “Di Bone, kita ada tanah pusaka farm sebagai wujud social enterprise dari program Desa Preneur,” ujar Anisa Nur Ropika Sekretaris Jenderal Sahabat Pulau pada Selasa, (16/4). Sahabat Pulau memiliki program lain bernama Rumah Baca Harapan atau Rubah. Rubah menjadi tempat para relawan daerah untuk memaksimalkan kegiatan kreativitas. Kegiatan lainnya adalah konservasi mangrove. Walaupun bukan program inti, tetapi sahabat pulau telah beberapa kali melakukannya di beberapa titik lokasi. Salah satu relawan, Fajar Kurniasih mengatakan bahwa ia bergabung di Sahabat Pulau Lampung pada tahun 2014 lalu dikarenakan ajakan oleh teman-
nya. Perempuan yang kini sudah bekerja itu sekarang menempati posisi divisi program Adik Panda untuk Chapter Lampung. Selama menjadi relawan, tentu ada kendala yang harus ia hadapi. Salah satu kendala utama baginya adalah transportasi yang sulit. Pernah ia menempuh dua jam perjalanan darat dan laut untuk menuju Pulau Pahawang. Walaupun kendala yang dihadapi cukup menyulitkan, Fajar tetap menikmati perjalannya menjadi relawan Sahabat Pulau. Sebab para pemuda harus lebih antusias untuk mengikuti jejaknya. “Harapannya agar banyak pemuda yang bergabung di organisasi sosial, terutama bidang pendidikan dan lingkungan,” tuturnya, Senin (8/4). Berbeda dengan Fajar, Maha-
siswa IAIN Metro Lampung Siti Zainatul Mar’ah mengaku tertarik menjadi relawan Sahabat Pulau karena acara televisi. Menurutnya keuntungan yang didapat kala menjadi relawan ada banyak. Yaitu menambah keluarga baru serta bisa berkumpul dengan orangorang yang hebat. “Saya terkadang tidak percaya kalau orang-orang hebat itu kenal baik dengan saya,” Ujarnya, Kamis (11/4). Zain juga berharap kepada pemuda-pemudi Indonesia untuk melakukan pergerakan di bidang pendidikan. Menurutnya, janganlah takut untuk bergerak demi keadilan pendidikan yang merata untuk anak-anak Indonesia. “Jangan takut menjadi lebih baik, jangan takut menjadi relawan,” pungkasnya.
14
Edisi Lx / APRIL 2019
Rindu Riau
CERPEN
Oleh: Kartini*
“Rhena! Kamu sudah tahu berita tentang hari ini di televisi?” Rhena menganggukkan kepalanya menjawab pertanyaan Dwi. Kabut menyelimuti kota yang terkenal dengan Tari Makan Sirih, ya Riau. Bukan kabut di pagi hari yang sejuk dan menyisakan embun di atas dedaunan, menemani kedatangan fajar. Warga kampungku punya kebiasaan baru, bukan hanya kebiasaan di pagi hari tapi satu hari menghirup asap dari hutan. Entah dari mana sumber apai itu? alam kah pelakunya atau manusia yang melakukannya? “Lalu lebaran besok kamu tidak pulang kampung?” Dwi bertanya sambil memegang pundak Rhena yang gempal dan menepuk-nepuknya. Tubuh Rhena yang tinggi dan bertulang besar membuat Dwi agak sedikit mengangkat wajahnya ketika mengobrol dengan Rhena. “Orang tuaku bilang tidak usah pulang. Bahaya untuk orang yang punya penyakit asma.” Kabut asap di sana seperti langit mendung yang ingin menurunkan beribu tetesan air hujan. Sambil berjalan menuju kelas yang sudah sejak setengah jam lalu mulai. Hari ini mata kuliah Pancasila. Rhena membuka pintu dan pasrah mendapatkan kursi yang paling depan. Mata kuliah wajib semua fakultas. Apalagi Rhena fakultas hukum, bukan hanya Undang-Undang Dasar dan sederet pasal-pasal yang harus dipahami, Pancasila juga wajib dipahami sebagai falsafah negara. Dosennya unik. Mahasiswa di mata kuliah ini tidak ada yang mendapatkan nilai A. Dapat nilai B saja sudah bagus. Baginya yang mendapatkan nilai A hanya Tuhan sang pencipta semua yang ada di dunia. Profesor Rasyid yang mengajarkan mata kuliah Pancasila. Rambutnya yang dipenuhi uban dan wajahnya yang keriput membuat mahasiswa malas mendengarkan kuliahnya. Bahkan mahasiswa harus menulis di sehelai kertas jika ingin mengajukan pertanyaan. Maklum Profesor yang satu ini tidak menggunakan alat bantu dengar tapi kalau mahasiswa di kelas membuat gaduh beliau bisa dengar. Aneh bin ajaib. “Pancasila itu isinya persatuan, toleransi, peradaban bangsa Indonesia. Bangsa yang luhur, mencintai perdamaian. Coba kalian lihat sekarang bangsa Indonesia bercerai berai. Sesama agama bisa terpecah.” Sering Dosen yang sudah sepuh ini bicara begitu. Selain mengajar matakuliah Pancasila dan filsafat Islam, beliau itu salah satu pemilik Yayasan Universitas Adidaya yang berada di daerah Jakarta Timur. Kalau diperhatikan secara cermat sepertinya Dosen yang satu ini cukup mendalam memaknai Pancasila. Mungkin pembawaannya yang
kolot, kurang dinamis sangat tidak cocok dibawakan untuk mahasiswa masa kini. Apalagi kalau mahasiswanya yang alay, bahasa anak sekarang. Saudaraku berhamburan, takut dengan sesama saudaranya. Begitu kejam fitnah hingga membuat saudara-saudaraku kehilangan rumah dan harus mengungsi. Bukan karena luapan air hujan ataupun kemarahan si jago merah. Tapi karena sebuah fitnah, fitnah orang yang ingin bangsaku hancur. Bukan hanya nyawa tapi juga rumah mereka hancur, sekolah terlantar. Kepolosan mereka membuat mereka marah kecerdasan orang yang membuat fitnah membuat mereka tidak punya rumah. Sungguh kejam fitnah itu, benar fitnah itu lebih kejam dari pembunuhan. Entah mengapa setelah reformasi bangsaku berubah menjadi bangsa yang pemarah. Padahal dulu bangsa yang ramah, atau jangan jangan pura-pura ramah. Karena zaman pembungkaman, kepalsuan, semua serba diatur, semua memakai topeng. Bel pun berbunyi, seperti sedang mendengar bedug di waktu magrib. Mengejutkan Rhena yang sedang berpikir jauh ke belakang. Merenungkan apa yang telah dosennya ceritakan. Kaki Rhena menuju ruangan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM). Rhena aktif di Staf Kaderisasi BEM Jurusan Ilmu Hukum. “Loh Farid, Nita, Oka?” mata Rhena melotot. “Hari ini ada agenda rapat ya?” Alis Rhena hampir menyatu “Tidak Rhen. Tidak ada agenda apapun kok hari ini”. Sambil duduk meluruskan kakinya Farid menjawab Rhena. “Kok kalian tidak masuk kelas kenapa?” Rhena tambah bingung “Kita malas Rhen, Prof. Rasyid bikin ngantuk kalau ngajar” Nita mengeluh “Santai saja Rhen kamu masih semester empat, jadi fobia, hehehe.” Oka meneruskan jawaban Nita. Farid, Nita dan Oka semester enam. Mereka lebih dahulu berada dalam struktur organisasi yang katanya sebagai agen perubahan. Payah juga kalau mahasiswa seperti ini. Setidaknya mereka merugikan dirinya sendiri, terlebih orang tua yang sudah mengeluarkan uang untuk biaya kuliah. Ketidakjujuran yang tidak patut dicontoh untuk mahasiswa lainnya. Apalagi untuk orangorang yang berada di organisasi Mahasiswa sebagai generasi intelektual. *** Terik matahari mengantarkan langkah Rhena beberapa saat ke luar dari ruangan BEM menuju gerbang kampus yang kokoh dan lebar. Langkah kaki Rhena menuju lima ratus meter ke arah kos-kosan yang ditempatinya sejak semester satu. Selama
empat semester Rhena selalu mengulang jalan yang sama. Jika Rhena menengok ke sebelah kiri bahunya, sederet ruko berbaris diselingi rumah makan ala kafe sederhana, cukup bergengsi untuk mengajak pacar makan di sana. Agak maju beberapa langkah barisan pedagang kaki lima yang berlomba siap melayani perut mahasiswa. Tinggal memilih saja, ada soto, pecel lele, nasi goreng dan harganya pun tidak terlalu mahal. Langkah Rhena tidak terlalu cepat, tapi kilauan cahaya matahari membuat tubuh Rhena seperti terguyur air keringat. Sambil mengangkat wajahnya, tangan Rhena hormat tapi di depan dahinya. Dengan cepat Rhena menundukkan wajahnya. Rhena tak sanggup memandang sang penguasa siang itu terlalu lama. Sampai akhirnya langkah Rhena tepat pada tujuan. Kosan. *** Rhena menghempaskan tubuhya di bangku yang lumayan empuk. Sambil menekuk lehernya ke belakang, cukup membuat tubuh Rhena rileks. Kilauan matahari di luar membuat Rhena teringat Riau. Riau yang memiliki banyak laut akrab dengan matahari. Kilauan cahaya matahari membuat hamparan langit yag luas memayungi laut Riau menundukkan pantulannya ke laut. Laut pun menjadi hijau, memancarkan hijau yang teduh. Membuat orang betah diam berlama-lama. Hijaunya mengkilap, agak transparan dan tidak pekat. Seolah membiarkan orang agar bisa melihat persahabatan ikan dan terumbu karang yang ada di dalam laut. Takjub, membuat orang tertunduk dengan keindahan pesona dalam laut di Pulau Jemur. Sungguh mengagumkan. Pesonanya membuat tetangga sebelah ingin mengakuinya. Entahlah tetangga yang satu ini selalu mengakui apa yang dimiliki bumu pertiwiku. Riau selalu ramai. Sejak dahulu menjadi tempat persinggahan yang mendadak menjadi sebuah pasar. Pasar antar pulau hingga antar negara. Hutannya pun tak kalah. Sayang, ada oknum yang memprovokasi api menjadi besar. Siapa oknumnya? Entahlah. Tangan Rhena menekan tombol TV yang ada di depan bangku yang Rhena duduki. “Apa? bayi meninggal karena kabut asap!” *** Terik matahari di luar kosan mulai lelah dan meminta senja untuk datang menggantikannya. Senja pun bergeser mulai datang. Perlahan jam demi jam, menit dan detik mengubah langit menjadi gelap, mengajak bintang keluar dari persembunyian berhamburan mengedipkan cahayanya menerangi kehidupan malam. Rhena pun terlelap hingga bunyi pesan singkat membangunkannya. Matanya mulai terbuka. Tangannya meraba
meja yang berada di samping kepalanya. Tepat tangannya menemukan handphone dan menggenggamnya. Matanya terkadang masih bergerak untuk terpejam. Beberapa saat jiwa dan ruhnya menyatu, tersadar untuk membaca pesan singkat yang ada di handphone. “Oh Kak Farid...” “Hari ini Kamis, 29 Oktober 2015 ada pembekalan untuk aksi. Jadi mohon hadir tepat jam sembilan pagi!” “Aksi apa ya?” hati Rhena berbisik. Tubuh Rhena bergegas meninggalkan kasur empuk menuju kamar mandi dan menunaikan kewajibannya sebagai Muslim. Jarum panjang jam di dinding menuju ke angka dua. Jarum pendeknya ke angka lima. *** Detak jarum jam pun memacu gerak Rhena yang sedang mencocokkan baju dengan jilbabnya. Kemeja kotak-kotak putih dan pink dengan jilbab warna pink juga. Celana Jeans putih kecoklatan model celana untuk naik gunung. Bergegas menuju ke kampus. Rhena pun mengunci pintu kamar menuju ke pintu depan kosan. Rhena berjalan agak santai masih ada setengah jam lagi untuk sampai ke kampus. Sambil mulutnya bersenandung lagu kesukaannya. “One Last Breath” yang dipopulerkan grup band Creed. Lagu itu mengingatkannya dengan Reza sahabatnya di SMA sewaktu Rhena masih di Riau. Tak terasa langkah Rhena pun sampai tujuan. Kampus. Kuliah pun dimulai. Mata kuliah bahasasa Inggris. “Oh iya... Kak Farid tadi SMS.” Rhena mencoba mengingat. Jam di tangan Rhena menunjukkan kuliah sudah selesai, tepat jam sepuluh. Langkah Rhena menuju ruangan BEM. “Assalamu’alaikum!“ Rhena membuka pintu ruangan BEM. “Walaikumsalam, Kok telat Rhen?” “Ada kuliah ya?” Nita memutar kepalanya berlawanan dengan tubuhnya ke arah Rhena datang. Senyum dan pun menambah manis wajah Nita yang berwarna kulit sawo matang. “Iya kak.” “Rapat apa?” Rhena menjawab sambil menghampiri Nita dan duduk di sampingnya. “Iya, agenda kita hari ini membicarakan tentang kebakaran hutan.” “Kita harus menuntut pemerintah, ini sudah keterlaluan.” “Sudah dua bulan lebih, bayangkan.” Farid menjawab sambil berdiri di depan ruangan menghadap bangku yang di duduki teman-teman. Menjawab pertanyaan Rhena yang terdengar Farid. “Menuntut?”
“Ada kuliah bolos kok mau menuntut?” “Orang tua kita wajib menuntut kita kalau kita tidak amanah.” “Lalu kita mau menuntut pemerintah, toh kita tahu dan sangat tahu apa yang terjadi di sana.” Rhena menjawab tanpa henti. “Kita anak hukum, kita tahu Undang-Undang itu jadi kita harus menuntut pemerintah Rhen.” “Kalau kamu tidak sepakat dengan aksi yang kita akan adakan besok berarti kamu kontra Revolusi Rhen!” Farid pun membalas Rhena. Tubuhnya yang tinggi tegap, membuat suaranya bergema dalam ruangan itu. Oka cukup serius mengikuti perdebatan Farid dan Rhena. Oka tidak punya kekuatan apapun untuk menjawab keduanya yang sedang berdebat. Tubuhnya yang agak gemuk dan pipinya yang berisi pun tak mampu melawan perdebatan itu. Apalagi Oka berasal dari Malang. Kampungnya tidak terkena imbas asap. Begitu pun dengan Nita, yang selalu merasakan kehidupan metropolitan. Sementara Farid yang berasal dari Pontianak cukup merasakan apa yang dirasakan keluarganya di kampung. Begitu pula dengan Rhena. “Kamu tuh masih semester bawah, jadi kurang memahami arti Revolusi.” Farid membalas Rhena, suaranya semakin tinggi. “Oh... are you sure?” “Justru karena kita tahu Undang-Undang!” Rhena mengangkat suaranya. “Salah satu lahirnya gagasan Pancasila itu Revolusi, sementara kalian ketika ada jam mata kuliah itu malah bolos. Duduk santai!” “Kalian menghianati Revolusi.” “Kalian itu tidak memahami makna Pancasila.” “Bukalah topeng idealisme itu”. Rhena meneruskan debatnya. Cukup mematahkan Farid dan membuat mata teman-teman satu ruangan itu tak berkedip melihat Rhena. “Sudah-sudah!” Akmal sebagai Ketua pun datang menengahkan. “Apa yang dikatakan Rhena itu benar.” “Itu kritik untuk kita semua, jangan Cuma bisa menuntut.” “Ada kewajiban kita yang lebih penting seharusnya kita membantu mencari solusi untuk bangsa ini.” “Itu justru yang menjadi agenda besar.” Akmal bicara dengan bijaksana membuat semua tenang. “Tapi aksi tetap kita jalankan besok.” Akmal merangkul bahu Farid sambil menganggukkan kepalanya dan memberikan wajah ditambah senyuman. Semua ikut tersenyum. *Alumni UIN Jakarta
SENI BUDAYA
Edisi Lx / APRIL 2019
Lupa akan kebaikan Karina, Lauren lantas berusaha merebut posisinya. Namun, kesadaran Karina membuat Lauren hilang eksistensi. Cahaya kuning lampu sorot perlahan menyinari panggung pertunjukan, menjadi satu-satunya penerangan yang ada. Penonton pada kursi tingkat paling atas pun dapat melihat objek dengan jelas. Tampak sepasang ranjang yang disusun dengan jarak yang cukup jauh. Kosen jendela ditata di antara keduanya, tanpa kaca dan tertutup gorden. Beberapa patung kayu sebesar lengan juga turut menjadi properti di atas bufet yang menempel dengan jendela. Suara musik klasik melantun lembut, disusul guruh yang perlahan m e n g g e l e g a r. Lauren—diperankan oleh Nosen Karol Handayani— dan Karina— diperankan oleh Tilona Saragih— memasuki panggung melewati sebuah set pintu yang menempel dengan besi penyangga. Dinginnya udara membuat keduanya menggosok masing-masing tangan mereka. Lauren mulai mengoceh tentang kejadian yang baru menimpanya. Ia adalah seorang gelandangan yang tengah diganggu oleh segerombol orang sebelum Karina datang menolongnya. Karina tidak mengindahkan ocehan Lauren, ia malah sibuk mengampelas patung miliknya. Gangguan jiwa
yang diidap Karina membuat respon yang keluar d a r i m u l u t nya t a k selaras dengan ocehan Lauren. Esok harinya, Judith— diperankan oleh Novinta Dhini Soetopo—melihat kehadiran Lauren di rumah, dan ia tak menyukainya. Peran kakak Karina yang mendominasi tersebut membuat pertunjukan tegang. “Kau gelandangan busuk!” Suara altonya menggema ke seluruh ruangan saat sedang melempar cacian pada Lauren. Emosi Judith yang naik turun menimbulkan praduga atas status kejiwaannya. Lain halnya dengan Judith, Karina justru ingin Lauren menemaninya sebagai ‘penjaga rumah’. Akan tetapi, bak peribahasa kuberi hati, kau minta jantung, Lauren malah bertujuan menyingkirkan Karina. Ia merasa dirinya lebih baik dibanding Karina yang mengidap gangguan mental. Lauren berharap a g a r K a r i n a k e m b a l i diasingkan seperti dulu, ketika ibunya tahu bahwa ia memiliki masalah kejiwaan. Namun sayangnya, Judith lebih awal mencium gelagat bualan dan jilatan Lauren. Tak sabar dengan segala gelagat Karina, pada akhirnya Lauren mengeluarkan cercaan
Upaya Rebut Eksistensi
Foto: Institut
Muhammad Silvansyah Syahdi M. syahdi.muharam@gmail.com
15
Ketiga tokoh teater Penjaga Rumah berada dalam satu adegan terakhir di acara geladi bersih, Senin (8/4). Teater Pintu akan menggelar pertunjukan pada 9—10 April 2019 di Komunitas Salihara.
pada Karina dengan mengatainya gila. Karena itu pula, Karina hilang percaya pada Lauren. Judith pun menggunakan kesempatan tersebut untuk menggunakan Karina sebagai perantaranya mengusir Lauren. Gelandangan tersebut pasrah dan mengakhiri eksistensinya. Lauren keluar dari panggung perlahan, dengan kata-kata bujukan yang kian lama kian tak terdengar. Pertunjukan berjudul Penjaga Rumah ini merupakan adaptasi dari The Caretaker karya Harold Pinter. A k a n t e t a p i , t e rd a p a t beberapa perbedaan yang sengaja dibuat. Selain menggunakan latar Jakarta pada ceritanya, ketiga tokoh
yang aslinya merupakan laki-laki diganti menjadi perempuan. Tak hanya itu, terdapat pula beberapa alur yang berbeda. “Tanpa mengubah esensi cerita,” tegas Penyadur Naskah Penjaga Rumah Novinta Dhini Soetopo di Komunitas Salihara, Senin (8/4). Walaupun hanya Karina yang mendapat ‘cap’ gila pada cerita ini, Lauren dan Judith pun sebenarnya mengalami hal serupa. Jika penonton jeli, dapat terlihat jika Lauren cenderung narsistik dan Judith labil emosi di balik inteligensinya yang tinggi. Menurut Novinta sebagai seorang penggemar genre psychology-mystery, mereka yang mengalami
mental illness tetap bisa terlihat normal, tetapi punya satu sisi pembeda dengan orang lain. Pertunjukan Penjaga Rumah dihelat pada 9—10 April 2019 di Ruang Teater Salihara, Pasar Minggu. Penampilan ini dipersembahkan oleh Teater Pintu—kelompok teater al u m n i I n s t i t u t K e s e n i a n Jakarta. Pimpinan Produksi Penjaga Rumah, Lintang Permata Sari Devina beranggapan bahwa pertunjukan memuaskan sampai geladi bersih. Dari situ, ia berharap agar Teater Pintu dapat terus berkarya menghasilkan produk seni lainnya. “Memberikan yang terbaik untuk para penikmat seni,” pungkas Lintang seusai geladi bersih, Senin (8/4).
kegiatan Maltepe University International Student Congress. Ia mengajukan permohonan dana sebesar Rp 18 juta untuk visa dan tiket pesawat. Nahas, Ardelia hanya mendapat persetujuan dana sebesar Rp 2 juta yang masih belum cair hingga saat ini. Dukungan dari pihak kampus tidak ia rasakan. Menurutnya, hal tersebut menjadi hambatan bagi mahasiswa untuk mengembangkan soft skills mereka. “Bagaimana mau meningkatkan status UIN Jakarta di kancah Internasional jika masalah seperti ini tidak di-support,” ungkap Ardelia via Instagram, Kamis (18/4). Menanggapi hal itu, Amany mengaku akan berupaya semaksimal mungkin untuk mendukung berjalannya Pionir IX kali ini maupun kegiatan-kegiatan nonakademik mahasiswa lainnya. “Sudah menjadi tanggung jawab saya untuk memberi dorongan dalam bentuk kebutuhan apa pun,” ujar Amany saat ditemui di Gedung Rektorat Lantai 2, Senin (8/4).
pada tahun ini. Dalam kesempatan wawancara dengan Institut pada Rabu (13/3), Amany mengatakan, ia hanya akan memberikan kesempatan kepada mahasiswa semester lima untuk dapat menjadi calon ketua Ormawa. Himbauan ketetapan tersebut akan disosialisasikan kepada pengurus Ormawa periode 2019 setelah seluruh rangkaian musyawarah mahasiswa usai. Rencana ketetapan terkait tata kelola Ormawa ini dilatarbelakangi oleh banyaknya mahasiswa UIN Jakarta yang lulus ketika menginjak semester sebelas. Menurutnya, molornya masa studi mahasiswa disebabkan oleh masa kepemimpinan pada organisasi. Karena itu, dengan diubahnya peraturan semester untuk calon ketua Ormawa, Amany mengharapkan mahasiswa dapat menyelesaikan masa studinya dengan tepat waktu. Meskipun begitu, ketetapan pembatasan semester untuk calon ketua Ormawa yang dicanangkan Amany berbeda dengan Surat Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Islam Nomor 4961 Tahun 2016 Tentang Pedoman Umum Organisasi Kemahasiswaan. Pada
Poin I mengenai Syarat dan Tata Cara Pemilihan, tertulis bahwa mahasiswa semester lima dan tujuh berhak untuk menjadi calon ketua Ormawa. Wacana ini pun menuai tanggapan dari Ketua Dewan Eksekutif Mahasiswa UIN Jakarta Sultan Rivandi. Sultan mengaku sempat mendengar rencana kebijakan pembatasan semester untuk calon ketua Ormawa. Menurutnya, kampus sebagai ruang demokrasi mahasiswa seharusnya terbuka bagi kepemimpinan baik mahasiswa semester lima maupun tujuh. Sebab, kepemimpinan merupakan pengalaman yang tidak didapatkan mahasiswa di dalam kelas perkuliahan. Maka dari itu, ia mewanti-wanti pihak kampus agar dapat memberikan alasan dan rasionalisasi yang tepat atas kebijakan yang dibuat. “Agar tidak menuai kontra dan ketidakadilan di kalangan mahasiswa terutama semester tujuh,” ungkap Sultan, Senin (8/4).
Sambungan dari halaman 1...
berada pada masa pengembangan dan masih perlu dibina. Penyusutan dana dari Kemenag bukanlah satu-satunya alasan. Keikutsertaan UIN Jakarta dalam Pekan Ilmiah, Olahraga, Seni, dan Riset (Pionir) IX se-PTKI pun turut mempengaruhi pemangkasan dana delegasi. Menurut Masri, Pionir yang dijadwalkan akan terlaksana pada Juli 2019 di Malang, Jawa Timur menguras dana yang cukup banyak. “Sekitar setengah miliar,” ujarnya, Senin (15/4). Namun pada empat periode Pionir terakhir, sejatinya UIN Jakarta tidak pernah menjadi juara umum dalam ajang unjuk bakat mahasiswa dua tahunan ini. Menelisik Pionir VIII pada 2017, Futsal Putra yang diwakili oleh Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Federasi Olahraga Mahasiswa (Forsa) harus tersisih di babak 16 besar. Menurut Ketua Divisi Futsal Forsa Rizal Asy’ari, hal tersebut terjadi karena jadwal pertandingan yang begitu padat. “Juga perbedaan ukuran lapangan, berpengaruh pada teknis permainan,” ujarnya, Senin (15/4). Sama halnya dengan bidang olahraga, kurangnya persiapan berujung pada kekalahan di bidang seni. Perlombaan Tilawa-
til Quran, Syarhil Quran, dan Kaligrafi yang didelegasikan oleh UKM Himpunan Qori dan Qoriah Mahasiswa (Hiqma) belum dapat membuahkan hasil karena latihan yang kurang matang. “Baru diumumkan satu bulan sebelumnya, sedangkan harus melakukan seleksi peserta,” ujar Ketua Hiqma Ahmad Rifai, Rabu (13/4). Padahal, Pionir bukanlah satu-satunya alternatif mahasiswa untuk berprestasi di bidang nonakademik. Dengan semakin dipangkasnya anggaran dana delegasi tahun ini, kesempatan untuk mendapat kucuran dana bagi mahasiswa yang mengikuti kegiatan di luar Pionir pun semakin terkikis. Seperti yang tercantum dalam Tabloid Institut Edisi LVII/Oktober 2018, dengan total dana delegasi sebesar Rp 600 juta, Mahasiswa Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Andi Febriansyah hanya mendapatkan Rp 4 juta dari keperluan Rp 10 juta untuk konferensi tingkat nasional dan internasional. Kejadian serupa kembali terjadi pada Maret lalu. Mahasiswa Hubungan Internasional Ardelia Bayu Merdekawati Setiardi tak mendapat banyak kucuran dana dari kemahasiswaan untuk
Batas Semester Calon Ketua Ormawa Pengelolaan Organisasi Mahasiswa (Ormawa) pun menjadi aspek yang akan dirumuskan
Pasang Iklan Sejak didirikan 34 tahun silam, LPM Institut selalu konsisten mengembangkan perwajahan pada produk-produknya, semisal Tabloid Institut Majalah Institut, dan beberapa tahun ini secara berkelanjutan mempercantik portal www.lpminstitut.com. Space iklan menjadi salah satu yang terus dikembangkan LPM Institut. Oleh sebab itu, yuk beriklan di ketiga produk kami! Kenapa? Ini alasannya: Tabloid Institut Terbit 4000 eksemplar setiap bulan! Pendistribusian Tabloid Institut ke seluruh universitas besar se-Indonesia dan instansi pemerintahan (Kemenpora, Kemenag, dan Kemendikbud)! Portal Web Institut Memiliki portal online dengan sajian berita seputar kampus dan nasional terbaru dengan kunjungan 800-1000 per hari! Majalah Institut Sajian berita bercorak investigatif dan terbit per semester. Hubungi: Muhammad Silvansyah 089630943041 Rizki Dewi Ayu 083815419607