Tabloid Institut 59

Page 1

EDISI LIX/ MARET 2019

Terbit 16 Halaman

LAPORAN UTAMA Menanti Kiprah Rektor Terpilih

Email: redaksi.institut@gmail.com

LAPORAN KHUSUS MP Menolak Pindah

LPM INSTITUT - UIN JAKARTA

WAWANCARA Menyikapi Sistem Pemilihan Hal. 3

Hal. 2

www.lpminstitut.com

Telepon Redaksi: 085817296629

@lpminstitut

Hal. 11

@lpminstitut

@Xbr4277p

Ika Titi Hidayati ikatitihidayati999@gmail.com

Sejatinya Pemira terlaksana di akhir tahun 2018, namun jadwal pelaksanaan terus berganti. Hal tersebut mewariskan banyak persoalan.

Kekalutan mengiringi pelaksanaan Pemilihan Umum Raya (Pemira) di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Pemira sejatinya sebagai ajang pemilihan pimpinan kepengurusan Dewan Eksekutif Mahasiswa (Dema), Senat Mahasiswa (Sema) tingkat universitas dan fakultas, juga Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) dan Himpunan Mahasiswa Program Studi (HMPS) menuai banyak persoalan. Dari jadwal pelaksanaan tak menentu dan berubah-ubah, hingga kerusuhan memperkeruh Pemira kali ini. Awalnya, Komisi Pemilihan Umum (KPU) UIN Jakarta resmi menetapkan jadwal pelaksanaan Pemira pada 17 Desember 2018. Namun, hingga pertengahan Desember ajang tahunan ini belum terlaksana. Pelaksanaan Pemira pun ditunda hingga 7 Januari 2019, hal tersebut menuai protes keras dari berbagai pihak. Dalih tak puas dengan ketidak jelasan pelaksanaan Pemira, mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Peduli Pemira (Ampera) menghelat aksi tuntutan depan Sekretariat Sema Universitas (Sema-U) pada Jumat (21/12). Tak puas dengan ket-

Kalut-Marut Pemira erangan pihak KPU, aksi Ampera berujung bentrok antar mahasiswa. Kericuhan terjadi ketika ruang sekretariat Sema-U sedang digunakan KPU untuk mengumpulkan berkas pendaftaran. Bentrok aksi Ampera berujung petaka, dua mahasiswa terluka. Seorang mahasiswa mengalami cedera di bagian mata dan lainnya mengalami luka di bagian belakang kepala terkena lemparan batu. Korban diketahui bernama Dzulhikam Masyfuqil Ibad dari Fakultas Dirasat Islamiyah dan Maulana Subekti dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis. Aksi baru berakhir setelah satuan pengaman melerai massa, bahkan mereka pun menjaga tempat perka-

ra hingga massa meninggalkan lokasi. Menanggapi pelbagai persoalan Pemira, Wakil Rektor (Warek) Bidang Kemahasiswaan masa bakti 2015-2019 Yusran Razak turut angkat bicara. Menurutnya, kendala utama pelaksanaan Pemira dikarenakan pihak Sema-U tidak memaparkan aturan secara rinci mengenai peleraian konflik, sanksi dan pelanggaran-pelanggaran. “Sema-U tidak memuat secara jelas tentang pelaksanaan Pemira,” tegasnya saat ditemui di Gedung Rektorat, Jumat, (14/12/18). Senin (7/1), Rektor UIN Jakarta masa bakti 2015-2019 Dede Rosyada resmi meletakan tahta

kepemimpinan digantikan Amany Burhanuddin Umar Lubis. Namun, hingga pergantian Rektor UIN Jakarta masa bakti 20192023 Pemira belum terlaksana. Hal tersebut menjadi warisan pekerjaan rumah bagi rektor terpilih. Tak lama pasca pelantikan rektor, Rapat Pimpinan (Rapim) dengan pembahasan agenda khusus Pemira dilaksanakan, Senin (21/1). Dipimpin langsung Rektor UIN Jakarta Amany Burhanuddin Umar Lubis, Rapim memutuskan dua perkara penting. Sistem Pemira berbasis pemungutan suara elektronik dan ke depannya UIN Jakarta meniadakan Pemira dengan pergantian sistem perwakilan. “Ini sesuai dengan Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Islam (Dirjen Pendis) Nomor 4961 Tahun 2016,” tegas Amany, Senin (21/1). KPU UIN Jakarta akhirnya resmi menerbitkan jadwal Pemira yang dijadwalkan terlaksana pada 19 Maret 2019. Bersamaan dengan hal tersebut, Rektor UIN Jakarta Amany Burhanuddin Umar Lubis bersama Warek Bidang

>> Bersambung ke halaman 15.....


2

LAPORAN UTAMA

EDISI LIX/ MARET 2019

Salam Redaksi Salam mahasiswa! Pembaca yang Budiman, Tabloid INSTITUT hadir kembali di awal semester genap. Di permulaan tahun ini, kami kembali menyapa para pembaca melalui beragam isu dan persoalan terkini dan ter-update dari dunia kampus. Selain menggarap tabloid terbaru, kami juga sedang melaksanakan rekrutmen anggota bagi para mahasiswa semester 2 dan 4 Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam edisi LIX kali ini, kami mengulik dari kemelut Pemilihan Umum Raya (Pemira) hingga alternatif sistem demokrasi dalam kampus. Dalam headline kali ini, terdapat Kelut Melut Pemira. Mengulas seputar pemilihan ketua Dema, Sema, HMJ, serta HM-PS. Banyak persoalan yang ada dalam pemilihan kali ini, mulai jadwal pekalsanaan yang tak menentu dan berubah-ubah, hingga adanya kerusuhan yang memperkeruh pelaksaan Pemira kali ini. Tak ketinggalan pula pada rubrik Liputan Utama, membahas tentang pelantikan rektor baru UIN Jakarta. Menjadi rektor perempuan pertama UIN di Indonesia, Amany Burhanuddin Umar Lubis dilantik oleh Kementerian Agama pada Senin, 7 Januari silam. Pelantikan oleh Kemenag ini berdasarkan Peraturan Menteri Agama nomor 68 tahun 2015. Selanjutnya pada rubrik laporan khusus, terdapat pemberitaan kasus Manajemen Pendidikan (MP) yang menolak dipindahkan ke gedung baru di Sawangan, Bojongsari, Depok. Mahasiwa MP juga melakukan aksi untuk menolak pemindahan tersebut, nahasnya mereka tak mendapatkan respon oleh pihak dekanat Fakultas Ilmu Tarbiah dan Keguruan. Juga, pada Laporan Khusus berikutnya terdapat alternatif sistem demokrasi di kampus. Di mana Dirjen Pendis pada 2016 silam mengeluarkan SK terbaru mengenai pemilihan ketua Dema dan Sema melalui sistem perwakilan, namun tak serta merta mahasiswa UIN setuju akan hal tersebut. Hasil survei akan pemilihan menggunakan sistem perwakilan ini juga tersaji dalam rubrik jajak pendapat. Seluruh berita ini kami sajikan agar civitas academica peka terhadap isu kampus yang sedang berkembang di kampus UIN tercinta. Selamat membaca!

Menanti Kiprah Rektor Terpilih Muhammad Silvansyah S. M. syahdi.muharam@gmail.com

Maju sebagai satu-satunya calon rektor perempuan tak membuat Amany Burhanuddin Umar Lubis hilang kepercayaan diri. Melalui sistem seleksi, ia kemudian dipilih oleh Menteri Agama sebagai Rektor UIN Jakarta. Pada Senin (7/1) silam, Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Amany Burhanuddin Umar Lubis (2019— 2023) dilantik oleh Menteri Agama (Menag) Lukman Hakim Saifuddin di Kantor Kementerian Agama (Kemenag). Menggantikan Dede Rosyada (2014—2018), ia menjadi Rektor UIN perempuan pertama yang dipilih langsung oleh Menag berdasarkan Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 68 Tahun 2015. Proses pemilihan rektor dimulai dengan penjaringan bakal Calon Rektor (Carek). Tahap selanjutnya adalah Senat Universitas memberikan penilaian kualitatif pada para Carek. Terakhir, Komisi Seleksi (Komsel) melaksanakan uji kepatutan dan kelayakan. Salah seorang anggota Komsel Atho Mudzhar segan untuk memberikan informasi ketik ditanya mengenai terpilihnya Amany. Ia mengatakan, tugas Komsel hanyalah memberi pertimbangan terkait Carek kepada Menag. “Silakan tanya Dirjen, kami hanya memberi masukan pada Menag,” ungkap Atho via telepon, Sabtu (16/3). Menurut Ketua Senat UIN Jakarta Abuddin Nata, Komsel dan Kemenag tidak mengumumkan hasil penjaringan dan nilai uji kepatutan serta kelayakan secara terbuka. Sebab, akan berakibat munculnya desas-desus mengenai rektor terpilih. “Suka tidak suka, senang tidak senang, Amany tetap harus dilantik,” tegasnya ketika ditemui di Ruang Senat Universitas, Senin (4/3). Di sisi lain, Amany mengatakan bahwa Komsel menetapkan empat Carek dengan nilai tertinggi dari uji kepatutan dan kelayakan. “Saya berada di posisi kedua,” ungkapnya saat ditemui di Gedung Rektorat Lantai 2, Rabu (13/3). Menjadi satu-satunya Carek perempuan adalah tantangan tersendiri bagi Amany. Ia harus berusaha menumbuhkan tekad dan kualifikasi lebih untuk memimpin. “Selama dua bulan memimpin, saya mendapat dukungan dari berbagai pihak,” lanjut Amany.

Dalam proses pengangkatan rektor tersebut, Amany sendiri tidak menyangka yang akan dipilih oleh Menag. Bahkan, ia mempertanyakan kepercayaan Menag kepada dirinya untuk memimpin UIN Jakarta. Akan tetapi, Amany merasa punya kesempatan yang besar untuk dapat mengembangkan UIN Jakarta di kancah nasional maupun internasional. Menjabat sebagai Rektor UIN Jakarta selama empat tahun kedepan, Amany memprioritaskan pada mutu lulusan UIN Jakarta. Ia mengatakan hal yang pertama dilakukan dengan meningkatkan prestasi akademik dan non akademik mahasiswa melalui Indeks Prestasi Kumulatif maupun keikutsertaan lomba internasional. Namun baru tepat satu bulan lebih satu minggu menjabat, Amany mengeluarkan Surat Edaran Nomor B-310/R/ HK.007/02/2019 tentang Batas Akhir Kegiatan Malam Mahasiswa. Sejumlah mahasiswa pun menyatakan kontra karena khawatir tidak bisa melakukan aktivitas organisasinya. Ketua Umum Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Teater Syahid Rusydi Jamil Fiqri mengatakan, kebijakan yang dibuat seharusnya memikirkan tentang kegiatan para mahasiswa terutama dari UKM. Menanggapi kontra yang muncul dari para mahasiswa, Amany membantah bahwa dirinya melarang mahasiswa untuk berkegiatan pada malam hari. Ia berkata, kampus tetap terbuka bagi yang berkeperluan untuk menggunakannya lewat dari batas jam yang ditentukan—asal dengan izin. Inti dari edaran tersebut adalah untuk keamanan dan ketertiban segala kegiatan yang berlangsung di dalam kampus. Amany menambahkan, salah kalau kebanyakan mahasiswa mengartikan bahwa

peraturan ini akan menghambat kegiatan mahasiswa. “Mahasiswa harus percaya juga kepada saya terkait keamanan dan ketertiban kampus,” ucap Amany. Program kerja lainnya adalah seperti penguasaan berbahasa asing bagi mahasiswa agar dapat bersaing di kancah internasional. Kemampuan meneliti mahasiswa juga turut ditingkatkan untuk memperbanyak penerbitan jurnal mahasiswa. Lebih lanjut Amany mengatakan akan melaksanakan program kerja bakti untuk mengembangkan program Green Campus serta memajukan kegiatan keagamaan untuk penciptaan suasana lingkungan kampus yang islami.

Demokrasi Kampus Pesta demokrasi yang biasa dilakukan menjelang akhir tahun tidak terlaksana di tahun 2018 karena berbagai permasalahan. Menanggapi hal tersebut, Amany sangat menyayangkan adanya penundaan salah satu program yang penting bagi mahasiswa. Ia kemudian mengusulkan untuk mengubah Pemilu Umum Raya Pemira menjadi Elektronik Musyawarah Mahasiswa dengan sistem E-Voting. Menurutnya, pemungutan suara secara elektronik ini terkesan lebih elegan bagi mahasiswa yang berjiwa milenial. Ia menambahkan,tahun berikutnya akan dilaksanakan pemilihan dengan sistem perwakilan sesuai dengan Surat Keputusan Dirjen Pendis Nomor 4961 Tahun 2016 mengenai Pedoman Umum Organisasi Kemahasiswaan pada Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Poin I tentang Syarat dan Tata Cara Pemilihan. “Aturan yang ada akan saya laksanakan dengan baik,” tegas Amany.

Pemimpin Umum: Hidayat Salam | Sekretaris Umum: Moch. Sukri Bendahara Umum: Siti Heni Rohamna | Pemimpin Redaksi: M. Rifqi Ibnu Masy | Redaksi Online: Nuraini Pemimpin Penelitian dan Pengembangan: Ayu Naina Fatikha | Pendidikan: Nurfadillah | Pemimpin Perusahaan: Nurlely Dhamayanti Anggota: Herlin Agustini, Ika Titi Hidayati, Muhammad Silvansyah Syahdi M., Nurul Dwiana, Rizki Dewi Ayu, Sefi Rafiani Koordinator Liputan: Nurul Dwiana | Reporter: Herlin Agustini, Ika Titi Hidayati, Muhammad Silvansyah Syahdi M., Nurul Dwiana, Rizki Dewi Ayu, Sefi Rafiani Penyunting : Ayu Naina Fatikha, Hidayat Salam, M.Rifqi Ibnu Masy, Moch. Sukri, Nuraini, Nurfadillah, Nurlely Dhamayanti, Siti Heni Rohamna | Fotografer: Instituters Desain Visual & Tata Letak: Nurul Dwiana dan Rizki Dewi Ayu | Desain Sampul: Muhammad Silvansyah Syahdi M. & Hidayat Salam | Info Grafis: Muhamad Silvansyah Syahdi M. Penyelaras Bahasa: Herlin Agustini, Ika Titi Hidayati, Sefi Rafiani Alamat Redaksi: Gedung Student Center Lantai 3 Ruang 307 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jl. Ir. H. Djuanda No. 95 Ciputat, Tangerang Selatan 15412 Telepon: 089618151847/085817296629 | Email: redaksi.institut@gmail.com | Website: www.lpminstitut.com ~~~Setiap reporter INSTITUT dibekali tanda pengenal serta tidak dibenarkan memberikan insentif dalam bentuk apapun kepada reporter INSTITUT yang sedang bertugas~~~


LAPORAN KHUSUS

EDISI LIX/ MARET 2019

3

MP Menolak Pindah Sefi Rafiani & Nurul Dwiana serafiani99@gmail.com & nurull.dwiana@gmail.com

Sejak 1 Maret lalu, empat jurusan di Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) dipindahkan ke Gedung Pendidikan Profesi Guru (PPG) yang berlokasi di Sawangan, Bojongsari, Depok. Jurusan yang dipindahkan ialah Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS), Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah (PGMI), Pendidikan Islam Anak Usia Dini (PIAUD) dan Manajemen Pendidikan (MP). Migrasi empat jurusan tersebut atas kebijakan Dekan FITK Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Periode Ahmad Thib Raya. Tak setuju atas kebijakan itu, Mahasiswa MP menolak pindah dari kampus satu UIN Syarif Hidayatullah—yang berlokasi di Ciputat—ke Gedung PPG Sawangan, Depok. Upaya demi upaya mereka lakukan. Aksi penolakan dan pengumpulan petisi Mahasiswa MP pun dilancarkan pada Jumat (1/3). Nahas, aksi tersebut tak mendapat respon dari pihak Dekanat FITK. Tak menyerah, segerombolan massa aksi pun melanjutkan langkahnya ke depan Gedung Rektorat UIN Jakarta pada Senin (4/3). Namun, kabar baik akan pengembalian MP ke kampus

Herlin Agustini herlinagustini97@gmail.com

satu belum juga terdengar. Hal demikian membuat seluruh elemen Mahasiswa MP mengajukan surat terbuka untuk Dekan FITK. Surat yang dilayangkan itu berisi pemberontakan Mahasiswa MP lantaran tidak ada kejelasan terkait alasan perpindahan MP ke Gedung PPG. “Kami belum mendapatkan kejelasan mengapa harus MP yang dipindahkan. Padahal MP tak berkaitan dengan Program PPG,” ujar Ketua Aliansi Penolakan Ahmad Fahri, Jumat (1/3). Ditemui Reporter Institut di Lobi Timur FITK, Ketua Himpunan Mahasiswa Jurusan MP Irfan Anshori mengatakan, MP berbeda dengan jurusan-jurusan lain di FITK—yang memang lebih fokus menjadi seorang guru. MP tampak sama sekali berbeda, mereka membutuhkan organisasi serta Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) yang bisa mewadahi proses belajarnya. “Jurusan MP berfokus untuk menjadi seorang manajer, pengelola dan itu semua membutuhkan pengalaman organisasi,” jelasnya

Foto: INSTITITUT

Keputusan sepihak Dekan FITK memaksa MP untuk pindah ke Gedung PPG. Berbagai penolakan telah dilakukan. Nahas, permohonan mereka tetap tak diindahkan.

Mahasiswa MP melakukan aksi menolak pindah ke PPG Sawangan, Senin (4/3). Aksi ini dilakukan di depan FITK hingga Gedung Rektorat.

usai aksi pengumpulan petisi, Jumat (1/3). Jika Mahasiswa MP menginginkan pengalaman organisasi kampus, Irfan mengakui, finansial anak MP masih belum memadai. Sebagai Ketua HMJ, ia mengetahui lebih jauh latar belakang ekonomi para Mahasiswa MP. “Mayoritas Mahasiswa MP berasal dari golongan menengah kebawah. Berat jika harus buang ongkos untuk bolak-balik kampus satu,” lirihnya. Senada dengan hal itu, Kepala Jurusan (Kajur) MP Hasyim Asy’ari mengungkapkan, tidak ada persetujuan antara Dekan FITK dengan pihak Kajur terkait pemindahan MP ke Gedung PPG. Keputusan tersebut diambil secara sepihak, tidak ada pembahasan dengan pihak jurusan. “Tidak pernah dikaji bersama, musyawarah juga tidak

jelas. Tiba-tiba muncul surat bahwa MP akan dipindah,” ungkap Hasyim saat ditemui di Ruang Lantai 5 FITK, Jumat (1/3). Demi mengatasi permasalahan tersebut, Hasyim membuat surat pernyataan yang ditujukan pada Dekan FITK, surat itu berisi usulan-usulan dari Kajur MP. Seharusnya jurusan yang berkaitan dengan PPG seperti Jurusan PAI, PBA lebih layak untuk dipindahkan dibandingkan MP. Selain itu, MP juga mengusulkan relokasi Pendidikan Bahasa Inggris, Pendidikan Matematika untuk menggantikan relokasi pada Jurusan MP. Hasyim memandang, kemungkinan ke depan kedua jurusan tersebut dapat terlibat aktif dalam penyelenggaran PPG. Lebih lanjut, menurut pengakuan Hasyim, usulan solusi yang sudah dibuat olehnya tidak digubris sama

sekali oleh Dekan FITK Periode Ahmad Thib Raya. Saat ditemui Reporter Institut, Thib Raya mengatakan, tidak ada yang harus diklarifikasi dari pemindahan MP. “Tidak ada penolakan, MP harus pindah,” ungkapnya dengan langkah tergesa, Jumat (8/3). Memandang permasalahan itu, Rektor baru UIN Jakarta Amany Burhanuddin Umar Lubis angkat bicara. Menurutnya, dimanapun mahasiswa diutus untuk belajar, mahasiswa harus bisa beradaptasi dengan baik dengan situasi yang ada. Ia juga menambahkan, semua prosedur pemindahan sudah dilakukan. “Ada yang tidak setuju itu biasa, kita lihat bagaimana kedepannya dengan baik saja,” tutur Amany saat ditemui di Gedung Rektorat, Kamis (14/3).

nyataan yang sama bahwa Ia lebih setuju dengan sistem Pemira dibandingkan sistem perwakilan. “Saya pribadi lebih setuju sistem Pemira, karena Pemira merupakan pembelajaran politik bagi mahasiswa yang menjadikan UIN ini sebagai miniatur negara,” ungkapnya, Rabu (9/3). Sementara itu Kasi Kemahasiswaan Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam, Ruchman Basori menjelaskan latar belakang dikeluarkannya SK terkait sistem perwakilan dengan beberapa alasan, pertama tentang status mahasiswa yang lebih kental nuansa politiknnya dibandingkan sosok intelektualnya. Kedua, teknis yang tidak menjamin bisa melibatkan semua mahasiswa dalam Pemira. Tak hanya itu saja, alasan lain dengan adanya sistem seperti ini diharapkan lebih profesional, lebih melayani, menjadi aspirasi bagi mahasiswa, dan waktu mereka tidak dihabiskan oleh hal yang menyebabkan konflik. “Kenapa harus berubah? Supaya konsen mahasiswa tidak menjadi orientasi politik, tapi menjadi masyarakat intelektual dan masyarakat penggerak

sosial,” ujarnya, Senin (11/3). Berbeda hal dengan Warek bidang kemahasiswaan, Masri Mansoer memberikan pernyataannya bahwa demokrasi yang sebenarnya adalah sistem perwakilan, “Dalam Pancasila sila ke-4 sudah mencerminkan demokrasi dengan sistem perwakilan,” tuturnya, Jumat (8/3). Masri mengatakan dengan adanya sistem perwakilan bisa mengurangi perkumpulan mahasiswa yang menyebabkan sebuah konflik antar mahasiswa.

Ruchman menambahkan, adanya perubahan sistem ini adalah soal komitmen, Pendis sendiri tidak memberikan sanksi yang spesifik bagi PTKIN yang tak menerapkan sistem perwakilan tersebut. Namun Ruchman menegaskan bahwa PTKIN yang menerapkan sistem tersebut akan mendapat nilai tambah, “Bagi yang tidak patuh jangan harap mendapatkan perlakuan sama dengan PTKIN yang patuh,” tutupnya.

Alternatif Demokrasi Kampus

Sebagai sistem demokrasi mahasiswa, UIN Jakarta menerapkan Pemilihan Umum Raya (Pemira). Namun pada 2016 silam, Dirjen Pendis telah merilis SK No. 4961 tentang sistem perwakilan. Pada 2016 silam, Direktorat Jenderal Pendidikan Islam (Dirjen Pendis) mengeluarkan SK Nomor 4961 Tentang Pedoman Umum Organisasi Kemahasiswaan pada Perguruan Tinggi Keagamaan Islam yang berlaku untuk semua Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN) di Indonesia. SK tersebut berisi tentang pemilihan dengan sistem perwakilan, tanpa melibatkan seluruh mahasiswa. Jika dulu para calon dipilih langsung oleh semua mahasiswa, namun dalam sistem perwakilan ini, pemilihan ketua Senat Mahasiswa (Sema) dipilih dari dan oleh anggota Sema berdasarkan musyawarah mufakat dan pengurus SEMA ditetapkan oleh Rektor/Ketua/Dekan. Sedangkan untuk pemilihan Dewan Eksekutif Mahasiswa (DEMA’) dipilih dari setiap perwakilan masing-masing jurusan HMJ dan Prodi HM-PS. Salah satu contoh kampus yang sudah menerapkan sistem perwakilan ialah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Zawiyah Cot Kala Langsa, Aceh. Mereka sudah menerapkan sistem perwakilan sejak dua tahun lalu, akan tetapi banyak yang tidak setuju dengan diterapkannya sistem perwakilan, seperti yang diung-

kapkan salah satu mahasiswa Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah (PGMI) Fitri Yana, “Sistem perwakilan tidak efisien, karena hanya ketua HMJ saja yang memiliki hak suara, mahasiswa yang lain tidak memiliki hak suara,” ujarnya via telepon, Sabtu (9/3). Di UIN sendiri, dalam pemilihan Sema dan Dema masih menggunakan sistem Pemilihan Umum Raya (Pemira). Hal ini tentu saja bersinggungan dengan SK yang dikeluarkan oleh Dirjen Pendis nomor 4961 tersebut. Mengenai hal ini, Ketua DEMA UIN Jakarta Ahmad Nabil Bintang memberikan pernyataan terkait kampus yang belum menggunakan sistem perwakilan, “Masih banyak mahasiswa yang menolak untuk melaksanakan sistem perwakilan,” tuturnya, Selasa (5/3). Nabil menegaskan bahwa adanya perwakilan itu merupakan sebuah kemunduran sistem demokrasi di kampus dalam berorganisasi. Sama halnya dengan Nabil, Ahmad Murhadi selaku Ketua SEMA UIN Jakarta memberikan per-


4 Rizki Dewi Ayu rizkikidew@gmail.com

KAMPUSIANA

EDISI LIX/ MARET 2019

Rezeki di Pesta Demokrasi

Demi memenuhi kebutuhan perkuliahan, pelbagai upaya ditempuh mahasiswa. Salah satunya, bekerja sebagai tim survei Pemilu di pelbagai lembaga. Tinggal hitungan minggu Indonesia akan menghelat pesta demokrasi, tepatnya pada 17 April 2019. Masyarakat pun dengan gegap gembira menyambut pesta lima tahunan tersebut. Bagi sebagian mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, ajang Pemilihan Presiden (Pilpres) dan Pemilihan Legislatif (Pileg) tak ubahnya lahan rezeki. Berbagai lembaga survei seperti Polmark, Saiful Mujani Research & Consulting (SMRC) dan Indikator turut memeriahkan Pemilihan Umum (Pemilu) 2019 kali ini. Mereka berlomba-lomba menyajikan data Pemilu dari hasil survei. Mahasiswa pun ikut berpartisipasi bekerja sebagai tim survei. Sebagaimana dialami Mahasiswa Fakultas Sains dan Teknologi (FST) Jurusan Kimia Rifki Wahyu Hidayat. Untuk mengisi waktu luang liburan, dirinya turut andil bekerja sebagai tim survei di beberapa lembaga. Bermula dari

ajakan teman, kurang lebih dua minggu ia menggeluti pekerjaan tersebut. Tak mudah bekerja sebagai tim survei, berbagai penolakan dialami Rifki. Misalnya, ia pernah ditolak ketika mengurus perizinan tugas di Kecamatan Kebagusan, Jakarta Selatan. Alhasil ia pun terpaksa mencari lokasi lain. “Tidak mudah menyebarkan kuesioner begitu saja,” tegas Rifki, Rabu (6/3). Bagi Rifki, tujuan utama bekerja sebagai tim survei tak lebih untuk membayar biaya kuliah. Walaupun selebihnya dapat ia gunakan untuk jajan dan keperluan lainnya. Upah yang ia terima lumayan besar, sekitar 750 ribu per lembaga survei. Jika ditotalkan, pendapatan yang ia terima selama dua minggu bekerja di tiga lembaga survei mencapai 2 juta . “Enak sih sebener nya kalo udah dijalanin. Capek tapi senang,” ungkapnya, Rabu (6/3). Hal serupa dirasakan oleh ma-

hasiswa Fakultas Ushuluddin Jurusan Ilmu Tasawuf Bunga (Nama samaran). Karena kebutuhan di kampus, ia mau bekerja sebagai tim survei. Sebagai mahasiswa, ia pun punya keinginan memperoleh uang dari hasil jerih payah sendiri. Selain rasa penasaran yang ia alami tentang mekanisme kerja sebagai tim survei. Ada banyak keuntungan yang didapat Bunga sebagai tim survei. Diantaranya menambah rasa kepercayaan diri, melatih etika berbicara, dan tentunya dapat menjelajahi tempat baru. Salah satu tugas tim survei adalah mewawancarai warga, hal tersebutlah yang membuat tingkat kepercayaan diri Bunga bertambah. Bukan hanya keuntungan, kendala pun harus Bunga dihadapi. Misalnya, saat ia ditempatkan di daerah perkotaan, banyak warga berprasangka negatif. Tapi ia memakluminya, sebab maraknya kasus penipuan menjadikan warga waspada. Bahkan teman-

nya sebagai tim survei pernah disangka penipu. “Teman saya harus menunjukkan Kartu Tanda Penduduk (KTP) sebelum wawancara,” ujarnya, Rabu (6/3). Menjadi tim survei bukan pengalaman pertama bagi Bunga, sebelumnya ia pernah ditempatkan di pelosok Kabupaten Cianjur. Jarak tempuh yang jauh, mengharuskan Bunga berangkat dari Ciputat pagi buta untuk mengejar waktu. Untungnya, uang transportasi yang ia dapatkan tidak sedikit. “Waktu itu saya mendapat ongkos Rp 700ribu,” tuturnya. Bekerja sebagai tim survei karena faktor kebutuhan hidup, tak hanya dialami Bunga. Mahasiswa Fakultas Ushuluddin Jurusan Ilmu Tasawuf Muhammad Supriyadi turut merasakannya. Ia menganggap manfaat yang diperoleh sebagai tim survei cukup banyak, salah satunya dapat bersosialiasi dengan masyarakat. Supriyadi penah mengalami peristiwa menyedihkan ketika di-

tugaskan di perkotaan. Sifat warga kota yang acuh membuat dirinya kesulitan mewawancarainya. Tak hanya itu, bahkan banyak juga warga yang meremehkannya. “Ada yang menanggap kita sebagai pengemis,” ungkapnya, Sabtu (9/3). Menanggapi banyaknya mahasiswa UIN Jakarta yang bekerja menjadi tim survei, Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan Masri Mansoer menyambut positif kegiatan tersebut. Menurutnya andil menjadi tim survei, mahasiswa bisa menambah pengalaman dan melatih diri untuk membaca berbagai karakter masyarakat. Masri berpesan, agar mahasiswa yang bekerja sebagai tim survei dapat bertugas dengan baik dan benar. Sebagai kaum terpelajar, mahasiswa harus bekerja sejujur mungkin dan tidak melakukan kecurangan. “Jangan pernah memanipulasi data,” tegas Masri saat ditemui di ruangannya, pada Jumat (8/3).

Muhammad Silvansyah Syahdi M. syahdi.muharam@gmail.com


JAJAK PENDAPAT

EDISI LIX/ MARET 2019

5

Meninjau Sistem Perwakilan Direktur Jenderal (Dirjen) Pendidikan Islam (Pendis) mengeluarkan Surat Keputusan (SK) No. 4961 Tahun 2016 Tentang Pedoman Umum Organisasi Kemahasiswaan. SK tersebut mengatur sistem pemilihan umum Dewan Eksekutif Mahasiswa dan Senat Mahasiswa di Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI). Menurut SK tersebut, sistem pemilihan umum di seluruh PTKI berubah menjadi sistem perwakilan. Kendati, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta di tahun

“

2019 masih menerapkan sistem Pemilihan Umum Raya (Pemira). Terkait dengan keputusan Dirjen Pendis, UIN Jakarta akan menerapkan sistem perwakilan di akhir periode 2019. Akan tetapi, kebijakan tersebut mengalami penolakan dari sebagian besar mahasiswa. Sebab, sistem perwakilan dianggap telah mencederai demokrasi karena tidak melibatkan seluruh mahasiswa. Di sisi lain, sistem perwakilan harus segera diterapkan karena sudah menjadi regulasi.

Berdasarkan hasil survei Litbang Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) INSTITUT kepada mahasiswa UIN Jakarta. Sebanyak 89,9% responden tidak mengetahui keputusan Dirjen Pendis Nomor 4961 Tahun 2016 tentang sistem perwakilan. Namun, 10,1% responden telah mengetahui keputusan tersebut. Selain itu, 17,2% responden sebelumnya sudah mengetahui sistem perwakilan dan sisanya 82,8% responden belum mengetahuinya. Sebanyak 89,6% re-

sponden lebih memilih sistem Pemira untuk diterapkan di UIN Jakarta. Kemudian, sebanyak 10,4% responden lebih memilih sistem perwakilan untuk diterapkan. Terkait dengan perarturan ini, sejumlah 89,9% responden tidak menyetujui sistem Pemira digantikan dengan sistem Perwakilan. Sejumlah, 10,1% responden menyetujui sistem pemira diganti dengan sistem perwakilan.

QUOTE OF THE MONTH

So many books, so littl time (Frank Zappa)

�

*Survei ini dilakukan oleh Litbang LPM INSTITUT pada 12—14 Maret 2019 kepada 268 responden dari semua fakultas yang ada di UIN Jakarta. Metode pengambilan sampel yang digunakan adalah simple random sampling dengan derajat kepercayaan 92%. Hasil survei ini untuk menghitung jumlah transparansi pemahaman sistem perwakilan dengan sistem Pemira mahasiswa UIN Jakarta.


6

INFO GRAFIS

EDISI LIX/ MARET 2019

Sumber: Berita “Kelut-Melut Pemira�

Ayo Menulis!

Kirim cerpen, opini, ataupun resensi film dan buku ke redaksi.institut@gmail.com nfo lebih lanjut hubungi telepon redaksi: 085817296629 Baca, Tulis, Lawan! kunjungi lpminstitut.com


PERJALANAN

EDISI LIX/ MARET 2019

7

Foto : Internet

Foto :IINSTITUT

Foto : Internet

Masjid Cheng Ho, Wujud Toleransi Beragama

M. Rifqi Ibnu Masy ibnumasy15@mhs.uinjkt.ac.id

Wisata religi mempunyai nilai tersendiri, terutama mengunjungi tempat peribadatan. Masjid Muhammad Cheng Ho Surabaya menjadi simbol toleransi beragama dan kerukunan masyarakatnya. Wisata religi mempunyai nilai tersendiri, terutama mengunjungi tempat peribadatan. Masjid Muhammad Cheng Ho Surabaya menjadi simbol toleransi beragama dan kerukunan masyarakatnya. Apa yang terngiang di benak anda mengenai Surabaya? Mungkin sebagian orang hanya mengenal Surabaya dengan Jembatan Suramadu nan megah, monumen Tugu Pahlawan, atau patung sura dan buaya. Padahal, di kota pahlawan ini anda dapat berwisata sembari mempelajari nilai-nilai toleransi dan keragaman yang tertanam kuat pada masyarakatnya. Kota toleransi, mungkin tak berlebihan kiranya dinisbatkan pada kota yang menjadi saksi bisu Hari Pahlawan ini. Nilai toleransi tersebut terpancar jelas jika anda mengunjungi Masjid Muhammad Cheng Ho di Jalan Gading, Ketabang, Genteng, Surabaya. Sekilas, bangunan yang didominasi warna merah tersebut tak ubahnya kelenteng tempat peribadatan

umat Kong Hu Cu. Namun siapa sangka, bangunan yang persis seperti kelenteng tersebut digunakan umat Muslim untuk melaksanakan salat dan kegiatan peribadatan lainnya. Jika meruntut sejarah, Masjid Muhammad Cheng Ho dibangun sebagai bentuk penghormatan pada sosok Cheng Ho, seorang laksamana asal Tiongkok yang beragama Islam. Cheng Ho datang ke Majapahit kala itu sebagai utusan Kaisar Dinasti Ming, namun ia juga turut menyebarkan agama islam terutama di pulau Jawa. Jika dilihat dari segi arsitektur, bangunan Masjid Muhammad Cheng Ho sangat kental dengan gaya perpaduan Tiongkok dan Arab. Arsitektur masjid ini terinspirasi dari Masjid Niu Jie di Beijing, sehingga jika diperhatikan ada banyak kesamaan. Hal ini dapat dilihat pada bagian puncak atap utama dan mahkota masjid bergaya Niu Jie.

Ada pun Masjid Muhammad Cheng Ho didirikan atas prakarsa para sesepuh dan pengurus Yayasan haji Muhammad Cheng Ho Indonesia, serta masyarakat Tionghoa di Surabaya. Dibangun tahun 2002, masjid ini sebagai simbol kerukunan antar umat beragama terutama kaum Muslim dan Tionghoa di Surabaya. Di sebelah kiri bangunan masjid, terdapat banyak prasasti dalam berbagai bahasa dan latar belakang agama berisikan komitmen hidup rukun bersama. Bagi wisatawan yang ingin mengunjungi Masjid Muhammad Cheng Ho, dari Stasiun Pasar Turi dapat menggunakan transportasi umum angkot bemo dengan estimasi lama perjalanan satu jam. Namun jika wisatawan berangkat dari Bandara Internasional Djuanda, maka untuk menuju lokasi dapat menggunakan transportasi umum bus Damri dan dilan-

jutkan menggunakan becak maupun ojek. Salah satu pengunjung Siti Maghfirah mengungkapkan kekagumannya pada Masjid Muhammad Cheng Ho. Menurutnya, masjid ini sebagai lambang kerukunan umat beragama di Indonesia. Terlebih, di Indonesia banyak kalangan mempermasalahkan keberadaan etnis Tionghoa dianggap berlawanan dengan budaya Indonesia. Namun dengan adanya masjid ini dapat menjadi bukti bahwasanya umat Muslim dan Tionghoa dapat bersatu dan bersaudara. Yang menarik bagi Siti, Masjid Muhammad Cheng Ho memiliki bangunan gaya kelenteng namun digunakan umat Muslim untuk beribadah. Tentu bagi Siti hal tersebut unik, terlebih di dalamnya ukiranukiran seni khas Tiongkok memperindah suasana. “Sumpah itu masjid keren banget,� ucap Siti, Senin (14/2).


8

OPINI

EDISI LIX/ MARET 2019

Ampera: Atas Nama Mahasiswa Peduli Pemira atau Atas Nama Mahasiswa Perusak Pemira? Oleh: Muhammad Teguh Saputro* Pemilu Mahasiswa atau yang lazim dikenal dengan istilah Pemira di UIN Jakarta sudah sejak lama ditunggu kedatangannya. Sebuah momen tahunan, pesta demokrasi pergantian kepengurusan organisasi intra mahasiswa dari segala tingkatan, Dema-U, Sema-U, Dema-F, Sema-F, dan HMJ/HMPS. Namun, pesta demokrasi yang diharapkan seluruh elemen mahasiswa mengalami hambatan dengan perjalanannya. KPU belum mendapatkan restunya sehingga jadwal terus berubah, mundur tidak sesuai rencana. Bahkan munculnya timeline tandingan dari pihak Kemahasiswaan yang ditanda tangani Wakil Rektor 3 Bagian Kemahasiswaan semakin memperkeruh suasana. Kegaduhan Pemira yang semakin hari berjalan dengan kaki pincang, karena tidak mendapat dukungan secara penuh dari pihak Rektorat, melahirkan sebuah gerakan moral – katanya – memperjuangkan kebenaran Pemira atas nama demokrasi yang

dipermainkan dengan sebutan Atas Nama Mahasiswa Peduli Pemira atau yang lebih dikenal dengan sebutan Ampera. Kemunculan Ampera sebagai gerakan pembela demokrasi awalnya sangatlah diharapkan kebanyakan mahasiswa untuk mengawal penuh Pemira agar berjalan bersih dan adil tanpa campur tangan oknum yang ingin mengeruk kepentingan dari Pemira. Namun jauh dari realita yang ada, pergerakan Ampera seolah berjalan atas nama kepentingan golongan yang semakin membuat kusut lembaran jalannya Pemira. Ampera hadir sebagai garda terdepan menuntut Senat Mahasiswa Universitas membentuk KPU dan Banwaslu yang baru. Tuntutan tersebut seolah menolak segala rencana yang disusun KPU sebagai lembaga resmi penyelenggara Pemira, lebih jelas Ampera menolak Pemira diselenggarakan bulan Januari. Tuntutan yang bertolak belakang dengan nama yang

disemat sebagai gerakan yang peduli. Akhir ini pergerakan Ampera semakin massif mengeruhkan Pemira. Jalannya Ampera semakin menghambat kesuksesan Pemira. Aksi yang dilakukan Ampera menyegel kantor Senat Mahasiswa Universitas yang digunakan sebagai ruang kerja KPU dengan alasan mendukung penuh intruksi Wakil Rektor 3 Bagian Kemahasiswaan yang berinisiatif mengundur Pemira sampai bulan Februari ditengah liburan semester yang bergulir – sangatlah tidak logis – meski Ampera sendiri paham betul yang berwenang menyelenggarakan Pemira adalah KPU yang dibentuk Sema-U bukan Rektorat Bidang Kemahasiswaan, seperti yang tertera pada Ketetapan Senat Mahasiswa Universitas No. 3/ TAP/SEMA-U/X/2018 Pasal 5 Ayat 1 yang dengan jelas mengatakan “Pemira diselenggarakan oleh KPU yang dibentuk SEMA-U”. Sebuah indikasi jelas bahwa gerakan berdiri di atas kepentingan.

Aksi terbaru yang dilakukan Ampera (21/12) menggeruduk kantor Sema-U berjalanan panas dan tegang. Teriakan provokasi yang menyudutkan KPU dan Sema-U memancing massa aksi dari pihak mahasiswa yang bersimpati pada KPU untuk balik mempertahankan kantor sekretariat yang semakin didesak massa Ampera yang berniat untuk menyegelnya. Saling dorong mendorong, pukul memukul, lempar melempar benda di sekitaran lokasi kericuhan; botol, kursi, batu, tak bisa terelakkan, bahkan sampai tercatat adanya korban lemparan batu di bagian kepala; Dzulhilmi Masyuqil Ibad (Mahasiswa Fakultas Dirasat Islamiyah) dan Maulana Subekti ( Mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis). Diperparah beredar luasnya rekaman amatir terkait kericuhan menunjukkan jelas bahwa massa atau simpatisan Ampera adalah pelaku dari pelemparan batu tersebut, dibuktikan dengan posisi

berada di kerumunan massa aksi Ampera yang berusaha mendekati kantor Sema-U. Jelas sudah bahwa gerakan Ampera bukanlah sebuah gerakan moral melawan indikasi kecurangan Pemira. Ampera dikendalikan kepentingan, bergerak atas intruksi dari sebuah golongan. Melacuri nilai demokrasi, melegitimasi kekerasan atas nama demokrasi di segala aksi, Ampera masihkah pantas disebut sebagai wakil-wakil hati nurani mahasiswa? Membela kebenaran? Patutlah muncul sebuah pertanyaan, Siapa Ampera? Atas Nama Mahasiswa Peduli Pemira atau Atas Nama Mahasiswa Perusak Pemira?

perhatian khusus di tim pemenangan Prabowo-Sandi maupun lawannya Jokowi-Ma’ruf. Barisan emak-emak memiliki kekuatan dan peluang setelah eksistensi mereka ada. Barisan ini jika diorganisir dengan baik maka akan menjadi sebuah gerakan strategis, mengingat jumlah emak-emak yang tidak sedikit. Dengan pengaruh media sosial saat ini pun sangat memungkinkan bagi barisan ini untuk berkembang hingga ke daerah pedalaman sekalipun. Bagi sebagian kalangan yang menjadi kelemahan demokrasi adalah suara seorang ilmuan akan sama-sama dihitung satu suara dengan suara seorang preman jalanan ketika mencoblos. Suara emak-emak di desa akan sama dihitung satu suara juga dengan bapak-bapak di kota. Sedangkan hari ini data menunjukkan bahwa perbandingan antara jumlah penduduk laki-laki dengan perempuan hampir

seimbang. Ini semakin menunjukkan bahwa suara dari emak-emak di pilpres 2019 nanti akan sangat diperhitungkan. Dengan adanya sebuah barisan yang mengatasnamakan kaum perempuan inipun menjadi peluang dan kesempatan bagi semua perempuan Indonesia agar menyuarakan harapan untuk disampaikan kepada kedua pasangan capres-cawapres agar dalam program yang mereka tawarkan tidak mengesampingkan perempuan. Bahwa setelah ini emak-emak Indonesia memang harus diemansipasikan.

*Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Jakarta

“Emak-emak” Menjelang Pilpres 2019 Oleh: Rizki Ulfahadi*

Eksistensi (existence) atau “keberadaan” merupakan sebuah asa yang selalu diinginkan oleh setiap manusia walaupun secara tidak sadar. Eksistensi akan dirinya adalah perjuangan yang kadang menimbulkan ego di kalangan manusia. Mungkin ada yang menolak popular, tapi tak ada yang menolak eksis. Sebagian orang bahkan tidak mau untuk popular karena khawatir tidak mampu mengontrol diri dan kemungkinan buruk lainnya, tapi sulit ada orang yang tidak mau untuk eksis. Menjadi masalah baginya jika eksistensinya tidak ada. Setelah deklarasi capres-cawapres untuk pilpres 2019, ada yang menarik dan menjadi sorotan ketika Sandiaga Uno resmi menjadi cawapresnya Prabowo Subianto, yaitu “bahagia”-nya barisan emak-emak. Yang indah di mata memang sering mempesona, yang mempesona acapkali menarik, yang menarik intens memikat, yang memikat mudah membuat memilih,

yang dipilih menjadi harapan untuk bahagia. Sandiaga Uno yang begitu “ganteng” bagi kalangan hawa menjadi daya tarik dan nilai jual tersendiri bagi pasangan Prabowo-Sandi. Tepat di tanggal 1 September 2018 kemarin, penulis menghadiri seminar sekaligus bedah buku berjudul “Paradoks Indonesia” yang merupakan pemikiran strategis Prabowo Subianto untuk Indonesia. Keynote Speech acara itu adalah pengarang buku itu sendiri yaitu Prabowo Subianto. Pagi itu sedikit berbeda, ketika memasuki ruangan jelas terlihat membludaknya emak-emak yang mendominasi diantara 2000 peserta seminar di Ballroom Grand Sahid Jakarta tersebut. Di undangan acara tertulis bahwa Sandiaga Uno akan menjadi salah satu pembicaranya, tapi ternyata berhalangan hadir. Pesona Sandiaga Uno sepertinya terlanjur hadir di ruangan itu, emakemak tetap bahagia, tidak kecewa.

Pesona itu sepertinya tidak hanya di Sandiaga Uno, tapi sudah melebur juga bersama pasangannya. Ketika Prabowo Subianto datang memasuki ruangan pun suara emak-emak menggemuruh memenuhi ruangan meneriakkan Prabowo, tak ada sedikitpun dominasi bapak-bapak. Kata “emak-emak” pun menjadi bahan ice breaking di tengah-tengah seminar, Prabowo sendiri pun beberapa kali menggunakan kata “emakemak” dan selalu mendapat respon meriah dari seluruh peserta, bahkan seminar itu pun menjadi sedikit “ricuh” karena barisan emak-emak yang terus berusaha menunjukkan eksistensinya. Menjelang pilpres 2019 mendatang, barisan emak-emak ini sepertinya akan terus eksis dan meningkat. Barisan yang sudah terlanjur ada ini akan semakin menjamur di berbagai pelosok daerah pemilihan di Indonesia. Hal ini pun pasti akan menjadi

Mari sukseskan Pemilu 2019! Gunakan Hak Pilihmu

*Penulis merupakan Mahasiswa Prodi Ilmu Alqur’an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin UIN Jakarta


KOLOM

EDISI LIX/ MARET 2019

Editorial

Pemira dan Ujung Sebuah Drama Hari ini, 19 Maret 2019 Pemira UIN Jakarta akan dilangsungkan. Lepas perjuangan panjang yang melelahkan, layakkah Pemira kali ini disebut sebagai perhelatan akbar kontestasi demokrasi? Mewakili kekecewaan para mahasiswa serta segenap civitas akademika. Satu kata untuk Pemira kali ini. Kacau. Bagaiman tidak? Masalah demi masalah menghantui, mulai dari keterlambatan jadwal, ketidaktegasan Ketua Sema-U, hingga berbagai aksi brutal yang melukai beberapa mahasiswa. Mahasiswa Fakultas Dirasat Islamiyah Dzulhikam Masyfuqil Ibad menjadi salah satu korban dari aksi biadab tersebut, berkat aksinya yang dilancarkan di depan Sekretariat Sema-U, ia mengalami cedera di leher setelah terkena lemparan batu oleh simpatisan yang tak bertanggungjawab. Sebagai insan akademisi, kisah semacam ini selayaknya tak pantas terjadi. Apalagi sampai menjadi konsumsi publik. Ragam kisah ini sungguh disajikan secara tragis. Pemira kali tak sesuai harapan. Mahasiswa harus semakin kritis menanggapi sistem demokrasi kampsu. Pemira yang awalnya dijadwalkan 17 Desember 2018, harus mundur hingga Maret 2019. Tentu saja kebijakan ini merugikan banyak pihak. Termasuk Rektor Baru UIN Jakarta Amany Burhanuddin Umar Lubis yang beberapa bulan ini menduduki jabatannya. Hal tersebut berdampak pada beberapa regulasi. Anggaran yang seharusnya masuk dalam pagu anggaran 2018 pun batal. SPJ kemahasiswaan juga tak luput dari bermasalah. Masa kepengurusan Dema U Periode Ahmad Nabil Bintang mau tak mau ikut bertambah. Tak hanya itu, dilantiknya rektor baru,juga membawa kebijakan yang baru pula. Pemira tahun ini dilakukan dengan sistem elektronik. Sebagai mahasiswa, apa kalian sama sekali tidak merasa riskan dengan sistem ini? Bisa saja suara yang didapat tidak akurat. Di era teknologi yang sangat canggih ini, diimbangi dengan hubungan persahabatan yang dibalut dengan nilai perkongsian yang kental, bukan tidak mungkin suara yang dihasilkan merepresentasikan kepentingan kelompok tertentu. Segala kemungkinan bisa terjadi. Bisa saja beberapa mahasiswa dengan sukarela memberikan ID dan passwordnya demi menyukseskan pasangan calon. Dalam konteks politik, sistem pemenangan bukan lagi hal baru. Bagi hasil jabatan sebagai kunci teraman. “Dukung saya, maka kamu juga akan mencicipi hasil kemenangannya” Selamat membaca bagi para mahasiswa yang budiman.

9

Keripik Renyah untuk Debat Kandidat Oleh: Saba Revolusi* Perguliran tumpu kepemimpinan adalah salah satu indikator penting akan sehatnya demokrasi bangsa. Demokrasi yang sehat selalu memberikan ruang dan kesempatan yang luas kepada putra-putri tanah air untuk berkontestasi mengabdi dan mengerahkan segenap kemampuannya dalam memimpin dan membangun bangsa. Seperti itulah pemahaman sederhana saya akan pesan dan tujuan dari dilaksanakannya Pesta Demokrasi yang telah menjadi ritus politik di negara kita ini. Dalam rangka merawat demokrasi bangsa, tahun 2019 ini adalah momentum politik yang cukup hangat bagi seluruh elemen masyarakat untuk melibatkan diri pada Pesta Demokrasi. Disamping Pilpres dan Pileg, khususnya bagi saya dan seluruh mahasiswa UIN Jakarta, tahun inipun adalah momentum politik yang sangat menarik dalam menghadapi Hajat Besar Pemilihan Umum Mahasiswa Raya (Pemira) UIN Jakarta 19 Maret mendatang. Serangkaian persiapan terus digencarkan oleh Komisi Pemilihan Umum UIN Jakarta dalam menyambut hajat besar tersebut. Dari sejak tahap pemberkasan dan verifikasi perangkat administrasi pencalonan, sampai kepada ritual kampanye dan debat para calon kandidat. Kendatipun dalam perjalanannya mengalami kericuhan dan gesekan-gesekan panas, namun pada akhirnya semua pihak menemukan titik legowo. Selaku mahasiswa UIN Jakarta, saya ingin mencoba ikut berpartisipasi menyambut Pesta Demokrasi ini. Saya cukup tertarik dengan digelarnya Debat Kandidat Calon Ketua dan Wakil Ketua DEMA UIN Jakarta tertanggal 15 Maret di Hall Student Center kemarin. Saya coba ikuti dan pelajari dari awal sampai acara tersebut berakhir, meskipun memang tidak semua hal dapat saya tangkap dengan baik akibat keriuhan yang terjadi. Sebagai mahasiswa yang selalu belajar menjadi demokratis, ada beberapa catatan kecil yang ingin saya sampaikan sebagai bentuk suara aspirasi. Dalam sesi pemaparan Visi-Misi pada acara debat kemarin, pasangan Hudori-Hamdi (Kubu 01) menawarkan visi “Menjadikan Dema Universitas Media Aspirasi, Inspirasi, dan Berkarya Mahasiswa UIN Jakarta” . Hal ini sangat menarik perhatian saya, pasalnya Kubu 01 menyampaikan Visinya berangkat dari permasalahan yang analitis. Namun bagi saya, titik permasalahan yang dijadikan landasan pembangunan Visi mereka adalah titik permasalahan yang terbilang klasik. Seperti tersendatnya birokrasi dan ekslusifitas peran DEMA-U yang melatarbelakangi mereka menyelipkan terma Aspirasi dalam Visinya, sepanjang keikutsertaan saya dalam debat kandidat di kampus ini, masalah tersebut terus saja hadir dalam gagasan para paslon kandidat. Adapula dengan terma Inspirasi dan berkarya yang tercantum, terma ini ada-

lah diksi yang menurut saya bernilai pasif, sebab Visi tersebut dibangun dengan kalimat Menjadikan Dema-U (sebagai) Media, bukan sebagai Pelopor. Kendatipun saya juga cukup tertarik ketika mendengar kalimat Digitalisasi Kampus dan kaitannya dengan Revolusi Industri 4.0 muncul, namun setelah saya pelajari penjelasan Kubu 01 lebih jauh, saya berasumsi bahwa Kubu 01 tidak menganggap Revolusi Industri 4.0 ini sebagai permasalahan kompleks yang perlu dikaji secara masif dan lalu diejawantahkan ke dalam setiap perangkat pembangunan SDM mahasiswa dan kampus. Tetapi dari penjelasannya, Kubu 01 lebih hanya menangkap semangat digitalnya saja, yang kemudian coba digunakan sebagai sarana implementasi program. Hal ini saya asumsikan sebab Kubu 01 tidak mencantumkan wacana besar tersebut dalam Visinya. Kemudian juga, saya mencatat munculnya gagasan Kubu 01 untuk membawa mahasiswa UIN Jakarta menjadi agen penangkal hoax. Hal ini memang korelatif dengan Digitalisasi Kampus yang menjadi salah satu program yang disebutkan. Namun bagi saya. dalam mengentas permasalahan hoax semestinya Kubu 01 mencoba membawa mahasiswa ke arah yang lebih substansial dan sesuai dengan peranan mahasiswa, seperti pencerdasan literasi, bukan kepada praktis penangkalan yang sebetulnya sudah menjadi tugas salah satu institusi negara. Karena sejatinya, konsumen Hoax adalah mereka yang kurang mempelajari dan memahami dunia literasi, khususnya literasi digital di era baru ini. Beralih ke pasangan Sultan-Ari (Kubu 02) yang menawarkan Visi “Terwujudnya DEMA UIN sebagai Organisasi yang Berdemokrasi, Intelek, dan Berkarakter Islami” Visi dari Kubu 02 inipun cukup menarik untuk di kupas. Pertama dari segi bahasa, Visi tersebut menempatkan DEMA-U sebagai objek sasaran pembangunan, bukan sebagai subjek. Memang di dalam terma Berdemokrasi seluruh mahasiswa dapat terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung, namun tidak sama halnya dalam diksi Intelek dan Berkarakter Islami. Mengapa demikian, sebab kalimat yang digunakan dalam Visi tersebut ialah “Terwujudnya DEMA UIN” bukan ”Terwujudnya Mahasiswa UIN”. Terlepas dari siapa atau apa yang keliru, saya yakin objek sasaran yang dimaksud dari Visi tersebut adalah Mahasiswa UIN Jakarta secara umum. Kemudian yang kedua dari segi substansi, terma Berdemokrasi memang secara baik dijelaskan dengan pemaparan masalah yang cukup kongkrit, tetapi pada terma Intelek dan Berkarakter, saya tidak mendapat penjelasan yang mendalam. Padahal justru, saya sangat- menunggu-nunggu penjelasan tentang latar belakang masalah dari munculnya dua terma tersebut. Bahkan saya selaku mahasiswa akan sangat tercengang manakala dihadirkan juga data yang kongkrit

perihal permasalahan intelektual Mahasiswa UIN Jakarta, sampai-sampai perlu di jadikan Visi. Sebab hal ini akan membukakan mata kita semua selaku mahasiswa yang semestinya jauh dari degradasi Intelektual. Terlepas dari catatan kecil saya ini, banyak sekali hal yang harus saya apresiasi dan saya harapkan dapat terimplementasi dari Visi-Misi kedua kandidat pasangan calon. Baik Kubu 01 maupun Kubu 02, secara mesra membawa gagasan yang cukup senada, seperti advokasi dan pengentasan masalah-masalah sosial-ekonomi mahasiswa yang mengalami ketersendatan dalam proses kuliahnya, mendobrak wajah dan wijhah DEMA-U yang eksklusif dan menjadikannya wadah yang inklusif, pengintegrasian forum-forum kajian kecil di setiap lokal Fakultas maupun Jurusan menjadi forum besar sekup Universitas, dan lain sebagainya. Tetapi dari itu semua, secara umum saya melihat bahwa Visi-Misi yang ditawarkan oleh kedua paslon kandidat, mayor ke arah pembenahan dan minor ke arah pembangunan. Ada juga yang masih janggal dalam benak saya, yang memang mesti diberikan penjelasan lebih lanjut, yakni pencantuman terma Islami. Pada Kubu 01 terdapat terma Islami dalam salah satu Misinya yaitu UIN Islami, begitupun pada Kubu 02 diksi tersebut bahkan terdapat dalam Visinya yaitu Berkarakter Islami. Hal ini membuat saya heran, sebagai mahasiswa muslim dan kuliah di kampus Islam, mengapa masih saja ada label Islami yang mesti dibangun dalam Visi-Misi masing-masing paslon kandidat. Seberapun saya sadari, pengamalan nilai-nilai ke-Islaman masih cukup bias di kalangan mahasiswa UIN Jakarta, tapi alangkah hebatnya manakalah kedua paslon kandidat mampu menawarkan dan memaparkan gagasan Islami-nya dengan hasil kajian, analisa masalah, dan data yang kongkrit, sehingga menjadi apriori untuk dicantumkan dalam Visi-Misi dan mampu menumbuhkan kesadaran keberislaman seluruh elemen yang bernaung di UIN Jakarta. Tidak hanya kepada paslon kandidat, saya pun punya catatan kecil untuk KPU UIN Jakarta, khususnya dalam penyelenggaraan debat kandidat kemarin. Pertama terkait dengan waktu, kita memang sama-sama telah menyadari bahwa bangsa kita memiliki permasalahan dalam manajerial waktu. Beberapa hari sebelum dan sampai pada hari pelaksanaan debat kandidat berlangsung, akun resmi Instagram KPU UIN Jakarta telah memposting pengumuman debat kandidat sebanyak empat postingan. Disana tertulis dan diingatkan bahwa acara akan berlangsung pukul 14.00 WIB. Wamaa Yadzakkru Illaa Uulul Albaab

kunjungi lpminstitut.com Update terus berita kampus

*Mahasiswa Perbandingan Madzhab UIN Jakarta


10

EDISI LIX/ MARET 2019

GEMERLAP JPO GBK Foto oleh Ikhwan Fajar Ramadhan (KMF Kalacitra) Teks oleh Muhammad Silvansyah Syahdi M. (LPM Institut)

Ketika cahaya merah mulai terbentang di ufuk barat, orang-orang terlihat berlalu-lalang untuk menuju kembali ke rumah setelah melewati berbagai aktivitas mereka. Terlihat pemandangan baru di Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta pusat. Nampak Jembatan Penyeberangan Orang (JPO) mulai memancarkan sinarnya yang gemerlap. JPO Gelora Bung Karno (GBK) tersebut diresmikan oleh Gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta Anies Baswedan pada Kamis (28/2). JPO dengan proses pembuatan yang artistik ini didesain sangat berbeda. Jika jembatan penyeberangan biasanya hanya memperhatikan nilai fungsi yang menjadi hal primer, JPO GBK ini juga memiliki nilai seni yang menunjang. Selain digunakan sebagai jembatan penyeberangan, JPO GBK ini juga digunakan muda-mudi untuk saling memotret diri maupun berswafoto. Konsep desain kekinian menghasilkan spot-spot Instagramable yang menjadi pilihan para kaum milenial untuk mempercantik feeds akun mereka. Dengan begitu—dilansir dari validnews.id—jembatan yang beranggaran hingga Rp18,5 miliar ini diharapkan oleh Anies agar dapat membawa pengalaman unik dan berbeda bagi penggunanya.

TUSTEL


WAWANCARA

EDISI LIX/ MARET 2019

Rizki Dewi Ayu rizkikidew@gmail.com

11

Menyikapi Sistem Pemilihan Umum Sistem perwakilan sudah memenuhi tuntutan Demokrasi Pancasila seperti yang tertulis pada sila keempat Pancasila, “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan”. Walaupun, masih banyak mahasiswa yang belum mau menggunakan sistem perwakilan dikarenakan mencederai demokrasi.

Wacana perubahan sistem pemilihan Ketua Dewan Eksekutif Mahasiswa dan Senat Mahasiswa dari sistem Pemilihan Umum Raya menjadi sistem perwakilan. Sistem perwakilan yang diatur dalam SK Dirjen No.4961 Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta setiap tahun sudah melakukan sistem Pemilihan Umum Raya (Pemira). Pemira tersebut, menggerakan seluruh mahasiswa dalam memilih Ketua Dewan Eksekutif Mahasiswa (Dema) dan Senat Mahasiswa (Sema). Namun sebaliknya, dangan adanya pemira ini akan memicu kepada konflik, menyebabkan kerusuhan, dan merusak fasilitas. Sehingga, UIN Jakarta pun telah memutuskan untuk mengikuti Surat Keputusan (SK) Direktur Jendral Pendidikan Islam Kementerian Agama Republik Indonesia. Berdasarkan Surat Keputusan (SK) Direktur Jenderal Pendidikan Islam No. 4961 Tahun 2016 tentang Pedoman Umum Organisasi Kemahasiswaan pada Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI). SK tersebut memuat aturan baru sistem pemilihan Ketua Dema dan Sema. Dalam SK Dirjen Pendis bertuliskan bahwa sistem pemilihan organisasi mahasiswa yaitu DEMA dan SEMA di Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI) menggunakan sistem perwakilan. tak lain, melibatkan perwakilan dari Jurusan/Program studi “Untuk Ketua DEMA” dan anggota SEMA “Untuk Ketua SEMA”. Sistem Perwakilan dianggap telah mencederai demokrasi kampus karena tidak melibatkan mahasiswa di dalamnya. Lalu apa sebenarnya sistem perwakilan itu? Bagaimana prosedur sistem perwakilan? berikut ini hasil wawancara reporter INSTITUT Rizki Dewi Ayu dengan Kepala Seksi Kemahasiswaan Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam Rucman Basori di Kementerian Agama, pada Senin (11/3). Apa sebab UIN Jakarta berwacana menerapkan sistem perwakilan ?

Bagaimana sistem perwakilan yang telah berjalan di PTKIN?

Sejauh ini relatif lancar, sudah ada 36 Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN) yang telah menggunakan sistem perwakilan. Walau begitu, masih ada juga yang sistemnya berubah kembali menjadi sistem Pemira, seperti halnya Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Samarinda. Meskipun ada yang berubah dalam sistem ini, maka kampus IAIN Samarinda akan tetap berkomitmen dalam pemilihan Dema dan Sema. Akan tetapi, IAIN akan mendapatkan konsekuensi dari Kemenag. Sehingga IAIN tidak akan mendapatkan bantuan dari lembaga kemahasiswaan. Hal ini pun adalah bentuk sanksi dari Kemenag. Harapan penerapan sistem perwakilan? dalam meningkatkan keterwakilannya. Karena, jumlah pemilih hanya di bawah 50 persen sampai 10 persen total mahasiswa. Sama halnya dengan UIN Jakarta, jumlah pemilih dalam Pemira kurang dari 5 ribu mahasiswa dari total 29.604 orang. Selain itu, dibeberapa tempat sering terjadi kericuhan saat Pemira berlangsung, sampai merusak fasilitas, konflik fisik bahkan mosi saling tidak percaya. Dema pun terjebak dalam rutinitas kericuhan penyelenggaraan, sehingga menimbulkan sebuah persaingan yang kontradiksi. Oleh sebab itu, mahasiswa seharusnya menjadi sosok intelektual dan penggerak masyarakat di bidang sosial. Sehingga, pihak Kementerian Agama (Kemenag) bisa antusias mengembalikan sebuah peran mahasiswa sebagai civitas academica dan bukan mahasiswa yang berorientasi politik. Apa kekurangan dan kelebihan sistem perwakilan?

Dengan sistem perwakilan yang dimuat dalam SK Dirjen Nomor 4961 tahun 2016, konflik bisa dikurangi dari sebuah kelompok massa. Berdasarkan hasil data sistem Pemira di UniAtas realitas itu, maka sistem perwakilan menjadi kebutuhan yang utaversitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang, ma. Pemira tersebut tidak bisa menggerakan mahasiswa

Kilas

Kilas

Penerimaan Beasiswa Jenjang S1 Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta kembali membuka beasiswa di tahun 2019. Ada tiga macam beasiswa yang ditawarkan, diantaranya Beasiswa Peningkatan Prestasi Akademik (PPA), beasiswa Tahfidz Al-quran, dan Beasiswa Kajian Keislaman. Pendaftaran telah dibuka sejak Senin, (18/2). Beasiswa tersebut diperuntukkan bagi mahasiswa yang berprestasi, khususnya di bidang akademik, Hafalan Al-Quran, serta karya tulis. Namun tak hanya itu, beasiswa juga diperuntukkan bagi para aktivis pengurus organisasi. Dilansir dari www.kemahasiswaan.ac.id, pendaftaran beasiswa PPA akan berakhir pada 21 Maret 2019. Sedangkan, beasiswa tahfidz dan kajian keislaman berakhir pada 29 Maret 2019. Hal ini, tahap dalam pemberkasan dilaksanakan pada bulan Maret dan April. Kepala Sub Bagian Kemahasiswaan Alumni dan Kerjasama Raden Trisno Riyadi mengatakan, beasiswa tersebut adalah suatu bentuk penghargaan bagi mahasiswa serta pengurus organisasi yang berprestasi. Ia pun berharap agar mahasiswa bisa terus termotivasi untuk meningkatkan prestasinya. “Tingkatkan prestasi dan berorganisasi tetapi IPKnya juga bagus,” ungkapnya pada Sabtu (9/3). (Rizki Dewi Ayu)

(Rizki Dewi Ayu)

Kilas

Hasil konsensus antar kampus, maka harus diikuti regulasinya. apabila ada kekurangan mengenai sistem perwakilan, silakan sampaikan ke Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan atau ke Kemenag. Nantinya akan didengarkan dan dievaluasi. Selain itu, untuk mahasiswa harus menjadi aktivis yang memikirkan persoalan bangsa yang substansial. Tidak perlu memikirkan hal yang kurang efektif dalam konteks pergerakan mahasiswa, “Cara bagaimana sistem Pemira itu tidak penting”. Yang terpenting adalah tujuannya. Dengan adanya sistem perwakilan, diharapkan agar mahasiswa lebih professional, cerdas intelektual, dan mempunyai kepekaan nurani. Sehingga nanti akan mnjadi tokoh penting dalam masyarakat.

Kilas

FLAT Meraih Prestasi Tingkat Asia Salah satu anggota Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) bahasa Foreign Language Asociation (FLAT) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Joni Rollis Mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis Jurusan Akutansi telah memperoleh Juara pertama dalam kejuaraan Asian English Olympics (AEO) Scrabble Tournament tingkat Asia di Kampus Bina Nusantara Jakarta, Jumat (15/2). Di kejuaraan AEO 2019, Joni berhasil menyisihkan 60 peserta dari berbagai kampus di tingkat asia seperti Malaysia, Korea Selatan, Bangladesh, dan Filipina. Serta meraih kemenenangan peringkat 1. Sebelumnya pada tahun 2017, Jo=ni berhasil meraih peringkat 6. Kemudian di tahun 2018 meraih peringkat 3. Kemenangan yang diraihnya tidak datang begitu saja. Joni harus mempersiapkan diri secara matang agar dapat hasil yang maksimal. Tak luput dari itu, ia harus menghafal ratusan bahkan ribuan kosa kata dalam bahasa Inggris tiap harinya. Oleh Sebabnya, dirinya akan terus mengikuti kompetisi untuk mengembangkan kemampuan permainan scrabble-nya. Joni berpesan kepada mahasiswa yang antusias dalam mengembangkan permainan scrabble bisa bergabung ke komunitas scrabble, salah satunya FLAT UIN Jakarta. “Kita bisa sharing apa yang harus dipelajari tentang scrabble,” ujarnya pada Sabtu, (9/3). (Rizki Dewi Ayu)


12

RESENSI

EDISI LIX/ MARET 2019

Pengorbanan Sang Sultan Agung Bertempurnya rakyat Mataram melawan penjajah. Demi membela hak-haknya sebagai rakyat Mataram. Pada masa Padepokan Mataram, seorang raja kedua Mataram Mas Jolang dengan gelar Panembahan Hanyokrowati memiliki seorang anak yang bernama Sultan Agung Hanyakrakusuma (Ario Bayu). Anak dari ibu Ratu Dyah Banowati (Christine Hakim), istri kedua dari raja Panembahan Hanyokrowati. Saat berumur 10 tahun, Sultan Agung dititipkan dan diajarkan kepada Ki Jejer (Deddy Sutomo) seorang ulama di Padepokan tanah Mataram untuk hidup sederhana. Saat itu, Sultan Agung alias Raden Mas Rangsang telah lama menuntut ilmu di Padepokan Mataram di bawah bimbingan Ki jejer. Akan tetapi, Mas Rangsang secara tidak langsung bertemu dengan seorang perempuan bernama Lembayung (Putri Marino), saat sedang menjalani pendidikan di padepokan. Mas Rangsang dan Lembayung pun saling jatuh cinta. Suatu hari, Raden Mas Rangsang dikejutkan oleh kedatangan seorang utusan dari Mataram yang memerintahkan untuk mendatangi kerajaan. Tanpa mengelak, Raden Mas Rangsang pun menuruti perintah kerajaannya. Raden Mas Rangsang pun memasuki kediaman ibunya. Setibanya,

Raden Mas Rangsang dikejutkan dengan cerita Ratu Dyah Banowati yang melontarkan kondisi Kerajaan Mataram semakin kisruh. Ratu Dyah Banowati menyampaikan bahwa Raden Mas Rangsang harus menjadi penerus Kerajaan Mataram. Akan tetapi, Raden Mas Rangsang menolaknya, ia berkeinginan untuk menjadi seorang ulama. Sebab, Raden Mas Rangsang tidak memiliki kesiapan atas tahta kerajaan ini. Ratu Dyah Banowati tetap bersih keras menasihatinya, Raden Mas Rangsang yang merupakan anak keturunan Senopati yang tentunya akan menduduki jabatan dalam kerajaan. Suatu ketika, utusan Kerajaan Mataram mendatangi Mas Rangsang untuk mengabarkan kematian ayahnya. Seketika mendengar kabar kematian ayahnya, Raden Mas Rangsang pun berlari menuju kerajaan. Raden Mas Rangsang pun duduk lemah tak berdaya disertai linangan air mata. Panembahan Hanyokrowati terbujur kaku tak bernyawa. Utusan kerajaan pun memberikan perintah untuk mendatangi sebuah tempat ketika terjadinya polemik. Setelah diketahui oleh Raden

Refleksi Media Anti Kritik

Mas Rangsang terkait permasalahan di Kerajan Mataram, Para jajaran kerajaan pun meyakinkan Raden Mas Rangsang untuk bersedia menjadi raja. Para jajaran yang ada dikerajaan mendukung penuh dan siap membantu di bawah kepemimpinan Raden Mas Rangsang dan diberi gelar Sultan Agung Hanyakrakusuma. Awal mula kepimpinannya, Sultan Agung dalam mengatur strategi dan menjaga kerajaan mataram berjalan lancar. Hampir seluruh kerajaan di Jawa dikuasai oleh Mataram. Hanya saja, Banten yang terletak di sebelah barat, luput dari kekuasaan Mataram. Saat itu, kemu-

Seperti investigasi kasus pizza yang dilakukan oleh Tempo. Kasus dengan judul “Pizza� yang ditulis oleh Cak Rusdi mengungkapkan bahwasanya tidak semua media yang anti kritik. Tempo bahkan mengaHidayat Salam dakan diskusi di setiap berita hidayatsalam2016@gmail.com mereka yang menuai kontroversi. Menurut Cak Rusdi, apa Media massa sering kali melontarkan kritik dalam setiap pem- yang dilakukan oleh Tempo beritaannya. Sebaliknya, kritik adalah hal yang tabu diterima cukup adil walaupun banyak tudingan yang menganggap dimedia massa. skusi tersebut sengaja dilakuPeran media di era tidak disertai dengan sikap ke- kan untuk menaikkan pamor. Selain itu, Cak Rusdi juga demokrasi dikenal sebagai terbukaan kritik terhadap meanjing penjaga, yang mamili- dia itu sendiri. Ditambah lagi mengeluh tentang temanki arti bahwa media memiliki kritik yang dilontarkan kepa- teman wartawannya saat pemikebebasan untuk memberikan da media di Indonesia sangat lu 2014 silam. Di mana banyak kritik kepada penguasa. Na- jarang ditemui. Bahkan dapat sikap partisipan para wartawan mun kepemilikan modal terh- dikatakan tolak ukur dalam dalam pemilu yang justru dapat adap media sering kali mem- perkembangan pers di Indone- menjadi bom waktu. Karena pengaruhi dapur redaksi yang sia dengan adanya kritik yang itu dapat membuat esensi jurnalisme yang pelan-pelan akan mengakibatkan timbul gejala diberikan kepada media. ketidakpercayaan publik terhBuku Karena Jurnalisme kehilangan kepercayaan publik. Dalam tulisan Cak Rusadap media tersebut. Bukan Monopoli Wartawan ini Terutama dengan terus merupakan kumpulan tulisan di yang lain juga menyoroti berkembang pesat teknologi dari Rusdi Mathari (Cak Rus- sikap para wartawan yang tidigital saat ini, menjadi sulit di). Artikel-artikel yang ditu- dak memiliki keberanian damengontrol arus segala in- lis oleh Cak Rusdi merupakan lam memperjuangkan haknya formasi yang diterima mas- ulasan tentang kritikannya sendiri. Dalam tulisan Mogok yarakat, tak terkecuali marak- terhadap media khususnya di Wartawan The Times dan Koran Jakarta, ia menuangkan nya berita hoaks. Hal tersebut Indonesia. turut menambah kesan negatif Menurut Cak Rusdi kritik pengalamannya ketika melakuterhadap perkembangan me- terhadap media sering kali di- kan suatu bentuk solidaritas dia itu sendiri. pandang tabu oleh khayalak terhadap sesama wartawan. Media di Indonesia, teruta- umum bahkan oleh wartawan Namun nahas, ia mengalami ma saat melakukan perannya itu sendiri. Namun bukan be- pemecatan terhadap dirinya sebagai pengkritik, ternyata rarti semua media anti kritik. sebagai wartawan. Ironisnya,

nculan Perusahaan Hindia Timur Belanda atau Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC). Sultan Agung memandang VOC bukanlah sebagai musuh, melainkan pedagang semata. Sultan Agung tidak menganggap VOC akan mencari kekuasaan, kejayaan dan mengambil tanah miliknya. Bermula ketika Belanda ingin bekerja sama dengan Sultan Agung atas wilayah perdagangan VOC. Sultan Agung menyetujuinya. Sultan Agung pun mengadakan perjanjian dengan VOC untuk berdagang di wilayah kekuasaan dengan mendirikan perwakilan di Jepara, serta memberi syarat kepada VOC untuk membayar pajak sebesar 60 % dari setiap penjualannya. Namun, perjanjian tidaklah lama, VOC telah mengkhianati Sultan Agung lantaran VOC mementingkan dirinya menguasai pundi pundi di Mataram. Kerajaan Mataram dan VOC pun saling menyerang. Sultan Agung mencoba untuk menggagalkan Belanda dalam menguasai kerajaan Mataram. Akan tetapi, banyak prajurit menjadi korban dalam peperangan itu, hingga Sultan Agung menan-

wartawan yang sering kali memberitakan sesuatu sebagai pembela hak asasi di era demokrasi, justru rentan terhadap kesewenangan oleh perusahaan media itu sendiri. Selain itu, Cak Rusdi mengkritik perilaku wartawan yang kerap kali tidak pandai berkaca terhadap kesalahan yang mereka buat. Dalam Hoax, Para Monyet dan Wartawan, para wartawan kerap mencibir perilaku orang yang menyebarkan informasi yang tidak

gani permasalahan dan menjauhi daerah Mataram menuju Batavia. Pasukan Belanda pun berhasil menemukan tempat penyimpanan persediaan pangan pasukan Mataram. Belanda juga berhasil membakar lumbung-lumbung makanan tentara Mataram di sepanjang pesisir utara. Sultan Agung tidak tinggal diam, ia menyusun strategi untuk melawan VOC dengan mengepung benteng pertahanannya. Hingga akhirnya, pasukan Mataram pun dapat mengalahkan VOC lantaran Jenderal VOC Jan Pieterzoon Coen (Hans de Kraker) meninggal dunia. Film berjudul Sultan Agung ini sangat menarik alur ceritanya karena menayangkan adegan yang penuh dramatis. Film “Sultan Agung� berkaitan erat dengan sejarah kerajaan di Indonesia. Film ini sangat cocok untuk ditonton semua kalangan. Mengingat film ini mengandung nilai-nilai pendidikan di dalamnya. Kisah film yang menggambarkan keteguhan dan tekad kuat dari Sultan Agung, seorang Raja Mataram dalam melawan para penjajah dari Eropa yang menjarah secara kejam rempah-rempah dan sumber makanan rakyat.

Judul: Sultan Agung Genre: Drama, Fiksi Sejarah Durasi: 148 Menit Tahun: 2018

e a Jurnalism Judul: Karen i Wartawan ol op Bukan Mon i sdhi Mathar Penulis: Ru an am al 58 H Halaman: 2 OJOK M : it b er Pen 8 1 Tahun: 20

jelas sumbernya. Di sisi lain, wartawan sendiri gemar mengambil informasi yang tidak jelas dan menjadikannya sumber berita tanpa melakukan verifikasi sumber. Padahal dalam kode etik jurnalistik terdapat verifikasi terhadap sebuah pemberitaan yang mereka peroleh. Memuat pengalaman Cak Rusdi yang bekerja sebagai wartawan selama 25 tahun, membuat buku ini menjadi lebih menarik untuk dibaca. Mengenal seluk-beluk profesi wartawan, membuat tulisannya tentang kritik-kritik yang ia ajukan sangat layak dibaca. Kritik terhadap media sendiri sangat jarang terjadi di Indonesia. Juga, buku ini dapat berfungsi sebagai cermin bagi para jurnalis di Indonesia.

Foto : Internet

ikatitihidayati999@gmail.com

Foto : Internet

Ika Titi Hidayati


SOSOK

EDISI LIX/ MARET 2019

Kontribusi Pemuda Untuk Desa

13

Sefi Rafiani serafiani99@gmail.com

Daerah Kabupaten Asahan, Sumatera Utara masih lumrah terjadi pernikahan usia dini dan memberi keterbatasan bagi anak-anak perempuannya, hal ini membuat Budi Santoso tergerak untuk membentuk Forum Anak di Kabupaten Asahan. Forum Anak yang ia bentuk bersama Pemerintah dan pemuda di daerahnya berhasil menyadarkan 500 anak se-Kabupaten Asahan terkait isu perkawinan usia anak yang masih sering terjadi di tempat tinggalnya. Semangatnya untuk terus menjadi penggerak perubahan, membuat forum anak yang ia bentuk meraih penghargaan dari Forum Anak Nasional sebagai forum anak terinovatif se-Indonesia. Kekuatan tekad dalam setiap proses yang dilalui mengantarkan Budi menjadi sekretaris menteri pemberdayaan perempuan dan anak dalam event ‘sehari jadi menteri’ pada tahun 2016. Dalam event tersebut Budi dan rekan-rekannya yang terpilih sudah mendiskusikan banyak program salah satunya adalah Rancangan Undang-Undang penghapusan

perkawinan usia anak. Tidak puas dengan pengalamannya mengikuti event sehari jadi menteri, mahasiswa kelahiran 3 Mei 1999 ini lebih aktif lagi dalam menyuarakan semangat anak-anak muda yang ada di daerahnya untuk berkontribusi dalam kebaikan. Terbukti di tahun 2018 ia kembali menjadi finalis dalam event International Future Leader Conference yang diselenggarakan di Kota Makassar. Dan ia pun berkesempatan memenangkan SDGs Pemuda Indonesia Penggerak Perubahan serta terpilih menjadi 5 inovator terbaik dari 138 inovator yang mendaftar. Bermodalkan pengalamannya mengikuti berbagai event nasional membuat mahasiswa jurnalistik tersebut berani membangun rumah cari perhatian (Rumah Caper) di desanya. Rumah Caper yang ia bentuk adalah representasi dari forum anak yang sebelumnya dibentuk saat ia masih duduk di bangku sekolah menengah atas “rumah caper menjadi wadah bagi pemuda desa melakukan perubahan,” ujarn-

Sumber Foto: Dokumentasi Pribadi

Negeri ini bukan hanya butuh pemuda pencari solusi, tetapi butuh pemuda yang berani membawa perubahan.

ya, Senin (05/03). Di rumah caper, ia membentuk pula staff dan relawan yang siap membimbing anak-anak desa dalam program yang ia jalankan salah satunya adalah program teras belajar. Ada sekitar empat puluh lima anak-anak desa yang bergabung di program teras belajar, di program tersebut mereka diajarkan bahasa inggris secara gratis serta dibimbing bagaimana berbicara di depan umum dengan baik dan diajarkan hal-hal yang belum mereka pelajari di bangku sekolah. Kemudian adapula program pemberdayaan pemuda, dimana sekitar empat puluh pemuda desa

dibimbing untuk menjadi penggerak perubahan dalam berbagai permasalahan yang kerap terjadi di desa. Baik itu permasalahan sosial, ekonomi, lingkungan, dan norma-norma lainnya. Selain itu ia juga memiliki program Girls Economic Environment. Program ini merupakan wadah bagi anak-anak perempuan yang sudah putus sekolah untuk melakukan galang dana dengan menjual alat tulis sekolah. Perjalanannya dalam membentuk rumah caper tak selalu mulus, berbagai kendala yang datang tak menghalangi langkahnya untuk terus memajukan rumah caper. Beberapa hambatannya yaitu masalah

pendanaan program yang masih terbatas dan minim, selain itu jarak juga menjadi kendala baginya untuk membimbing secara langsung rumah caper walalupun sudah ada dua belas staff yang membantunya di Kabupaten Asahan. Budi berharap pergerakan sosial yang ia bentuk menjadi wadah yang berkelajutan dan dapat berkontribusi untuk desanya. Selain itu ia juga berharap para pemuda dapat berkontribusi pula untuk lingkungan tempat tinggalnya. “saya ingin bisa bermanfaat bagi banyak orang, karena sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain,” ujarnya, Senin (05/03).

KOMUNITAS

Galang Donasi Lewat Profesi Foto: Aku Badut Indonesia

Nurul Dwiana nurull.dwiana@gmail.com

Badut menghibur untuk sebuah profesi. Namun berbeda halnya dengan ABI, yang menjadikan badut sebagai bentuk aksi sosial. Badut sangat identik dengan kebahagiaan, perilaku konyol, dan berbagai pernak-pernik perlengkapan sukses membuat siapa pun tertawa saat melihatnya. Polesan cat warna merah di hidungnya serta sepatu besar, tak pelak menambah kesan menghibur dari mimik wajahnya. Banyaknya perlengkapan pementasan yang dikenakan badut, kerap kali menimbulkan stereotip akan profesi yang remeh. Karena selain terkesan enteng, profesi ini dapat dilakukan oleh siapa saja tanpa keahlian khusus. Namun, ditangan Dedy Delon dan kawan-kawan stereotip itu diubah. Badut tidak lagi sebatas profesi yang identik semata-mata untuk hiburan saja, justru dijadikan profesi yang kaya akan nilai sosial. Dengan membentuk Komunitas Aku Badut Indonesia

(ABI), Dedy bersama teman seprofesinya mulai melakukan penggalangan dana dengan melakukan pertunjukan badut dengan tarif sukarela. Hasil dari pertunjukan didonasikan untuk membantu anakanak penderita kanker, yatim piatu dan bencana alam. Donasi tersebut kemudian disalurkan kepada beberapa yayasan yang dirasa tepat, seperti Yayasan Amarilis, Yayasan Kasih Anak Kanker Indonesia hingga Yayasan Pita Kuning Anak Indonesia. Upaya penggalangan dana tidak berhenti sampai di situ, ABI juga menjual merchandise berupa pin dan kalender di Car Free Day kawasan Bundaran Hotel Indonesia. Kalender dan pin hasil produksi sendiri ini dijual seharga 10 ribu, dengan modal yang berasal dari para donatur untuk selanjut-

Komunitas Aku Badut Indonesia (ABI) sedang melakukan pertunjukan dengan piringan bersama seorang pengunjung di Car Free Day Bundaran Hotel Indonesia, Minggu (3/2). Pertunjukan ini guna untuk menggalang donasi di hari kanker sedunia bersama YKAKI Berani Gundul 2019.

nya dijual kembali. Selain itu, ABI juga menjual dan memproduksi atribut badut, seperti sepatu dan wig badut. Hasil keuntungan nantinya disatukan dengan agenda penggalangan dana lain. “Bisa dibilang kita sedekah profesi,” ucap Dedy, Minggu (3/3). Komunitas yang terbentuk sejak 28 Januari 2018 kini telah beranggotakan 12 badut tetap. Salah satunya Irwan Riswara atau yang akrab dipanggil Asep. Berawal dari partisipasi dalam pertunjukkan galang dana, kini ia bergabung dengan ABI. “Berawal dari ajakan, akhirnya masuk komuni-

tas,” terang Asep, Kamis (7/3). Perjalanan awal menjadi seorang badut adalah hal yang tidak mudah bagi Asep. Karakter Asep yang tidak acuh mulai berubah seiring dengan keikutsertaannya bersama ABI. Akan tetapi, seiring dengan pelatihan profesi badut yang diajarkan ABI, alhasil sedikit demi sedikit jiwa sosialnya mulai tumbuh. Asep akhirnya bergabung dengan ABI pada Januari 2019. “Banyak belajar nilai-nilai sosial dari komunitas ini,” jelasnya, Kamis (7/3). Perjalanan ABI hingga satu tahun ini tak semua berjalan mulus. Keterbatasan dana transportasi

untuk ke daerah-daerah merupakan suatu kendala terbesar yang harus dihadapi. “Setidaknya ada media yang memberikan sponsor,” ungkap Dedy, Minggu (3/3). Kedepannya, ABI berkeinginan untuk melatih anak-anak gelandangan dan kolong jembatan agar memiliki keahlian sulap maupun pantomim. Tidak tertinggal pertunjukan akrobatik yang diberikan secara cuma-cuma di 2019 ini. “Tetapi belum mendapat sokongan dan berharap dilirik pemerintah,” ucap Asep, Minggu (3/3).


14

SASTRA

EDISI LIX/ MARET 2019

PUISI

CERPEN Pesta Kebodohan Di Jantung Hutan Oleh: Ragita Salma Wardhany*

Puisi

Oleh: Awalia Ramadhani*

“Anakku! Anakku!” terdengar jeritan disertai isak tangis yang menggelegar. Sontak saja suara tersebut membuat penghuni hutan yang lain heboh. Tura, seekor tapir yang sedang memakan barisan semut hitam bak pasukan perang yang gurih langsung menuju sumber suara. Begitu pula dengan Kono, seekor kungkang yang sedang tertidur di sebuah batang pohon hampir terjatuh akibat jeritan yang mengguncang jiwanya. Tak lama, tempat sumber suara itu dikerumuni oleh beragam hewan yang penasaran. Ternyata Rebe, ibu rubah yang membuat kehebohan tersebut. Ia terus menjilati anaknya yang masih berusia tiga bulan yang kini sudah tergeletak berlumuran darah segar. Para hewan yang berkerumun saling berbisik apa yang sebenarnya telah terjadi. Sampai ada seekor kera ekor panjang yang masuk ke tengah-tengah kerumunan dan mendekati mayat si rubah kecil. Dengan seizin Rebe, kera yang bernama Kliba mengecek tubuh si rubah kecil guna mengetahui penyebab kematiannya. Kaki serta tangan Klibapun berubah merah terkena darah. Diperhatikannya makhluk berbulu keemasan itu dengan saksama sampai pada akhirnya ia mencabut sebuah logam berukuran kecil dengan ujungnya yang melengkung dari dalam hati si rubah. “Ini peluru!” Kliba mengacungkan benda keras tersebut ke udara dengan kedua tangannya. Seluruh hewan yang melihatnya kaget. Ada yang disertai dengan ketakutan dan ada pula yang disertai gejolak amarah. “Pasti ulah makhluk sombong itu lagi!” ujar seekor merpati putih. “Benar. Dalam lima hari ini kita sudah kehilangan delapan kerabat. Trenggiling, kijang, maleo, orangutan, beruang madu, gajah, tukan, dan kini rubah. Tentu saja hal buruk seperti ini tidak bisa terus dibiarkan. Entah apa salah mereka hingga dijadikan mangsa oleh para makhluk sialan itu. Bukan hanya kita yang satu per satu mati, hutan ini juga. Hutan yang diwariskan oleh para leluhur untuk dijadikan sebagai rumah bersama akan musnah cepat atau lambat. Kita harus melakukan sesuatu, jika tidak maka habislah kita.” Semburat mata Kliba seakan menombak tepat di jantung para hewan di sana. Begitu tajam dan penuh makna. Salah satu di antara lima tupai yang hadir meragukan apa yang dikatakan oleh Kliba. Ia tidak yakin jika para hewan dapat mengatasi makhluk yang telah membuat keresahan ini membanjiri seluruh kawasan hutan, “Tapi kita terlampau bodoh jika dibandingkan dengan mereka yang memiliki kecerdasan super.” “Tidak ada yang benar-benar cerdas di dunia ini. Semuanya memiliki ranah kebodohan masing-masing. Aku, seekor kera ekor panjang, bodoh dalam hal menyelam, tapi kemampuanku dalam memanjat tidak perlu diragukan lagi. Laba-laba yang tidak mampu berlari layaknya serigala, dengan kehebatannya merajut sarang yang indah dapat membuat tempat tinggal sekaligus perangkap bagi mangsanya sehingga tidak perlu repot-repot berjalan. Dan mereka makhluk yang selalu merasa dirin-

ya cerdas dalam segala hal...” Kliba meningkatkan intonasi suara dari sebelumnya disertai dengan telunjuknya yang mengarah ke timur – di mana terdapat pemukiman manusia terdekat, “...tidak akan pernah mampu memahami lolongan, decitan, siulan, pekikan, auman, erangan, ringkikkan kita, bahkan mereka tidak akan pernah mampu memahami tarian dedaunan serta nyanyian aliran sungai.” Seseorang bertubuh gempal dengan sepotong kutang putih di badannya keluar menuju beranda rumah semi permanen miliknya.“Pak Bos”, begitulah ia biasa dipanggil, duduk di atas kursi jati sembari mengeluarkan sebatang rokok dari bungkusnya yang sudah tersedia di atas meja beserta korek dan secangkir jamu kuat. Bibirnya yang hitam mengapit tembakau gulung yang terbakar itu dan sesekali menyembulkan asapnya dengan mengangkat bibir bawahnya. Apa yang terdapat di depannya jelas permadani hijau jika dilihat dari atas dan payung hijau yang besar jika dilihat dari bawah. Pepohonan menjulang tinggi bagaikan pasak-pasak raksasa yang ditancapkan ke dalam bumi. Namun kini, yang tersisa tinggal sedikit. Bisa jadi, robekan pada permadani ataupun payung tersebut akan merembet ke bagian yang lain. Setelah sebatang rokok dan jamu kuat ia habiskan, datang sebuah motor yang mengangkut potongan-potongan kayu. Seorang pria yang lebih muda dari Pak Bos turun tergesa-gesa dari motor dan langsung menghampirinya. “Anu Pak Bos...” pria dengan setelan baju rombeng tersebut berbicara dengan napas yang tersengal-sengal. “Anu apa? Ngomong yang jelas!” “Anu, si Jatir, mati di dalem hutan,” “Kok bisa?!” “Kayaknya diterkam harimau atau macan kumbang, Pak Bos.” Pak Bos nampak geram mendegar berita tersebut. Ia mencak-mencak dengan mulut yang komat-kamit seperti baca mantra. Tanpa berbasa-basi ia masuk ke dalam rumah; mengganti pakaian dan mengambil senjata laras panjang kesayangannya. “Kemarin malam, ketika baru saja aku ingin pergi tidur, terdengar suara grasak-grusuk dari balik semak-semak. Aku merasa ada yang sengaja mengintaiku. Oleh karena itu, aku berusaha untuk tidak bergerak sedikitpun. Selang beberapa menit, aku melihat ada sesuatu yang muncul di tengah semak. Ketika sadar benda apa itu, aku segera bangkit tapi tetap tenang. Benda itu muncul-menghilang-muncul-menghilang-muncul-menghilang. Karena aku terlalu gelisah, maka aku putuskan untuk kabur ketika benda itu menghilang. Berjalan setenang mungkin sampai aku ada di belakangnya. Langsung saja aku terkam orang tersebut selagi ia masih sibuk memaju-mundurkan benda mematikan itu.” Hugar, seekor harimau belang bercerita apa yang dilaluinya kemarin. Kawanan hewan yang lain begitu lega karena ia tidak jadi ditembak oleh pemburu. Semuanya tertawa mendengar bagaimana Hugar menerkam, mencakar lalu mencabik. Tapi tidak

dengan Kliba. Ia termenung di atas dahan dengan ekornya yang menjuntai ke bawah. Ancaman belum selesai, pikirnya. Akan terus ada ancaman-ancaman yang lebih berbahaya ke depan. Akhirnya, Kliba turun dari atas dahan dan menyatu bersama seluruh kawanan hewan yang ada. Ia mengingatkan jika tidak lama lagi makhluk-makhluk dari luar hutan akan memburu Hugar dan besar kemungkinan yang lainnya. “Mereka tidak akan tinggal diam. Mereka akan memburu lalu membunuh Hugar atau beberapa di antara kita bukan atas dasar setia kawan, melainkan mereka takut jika kita merecoki kegiatan busuk mereka. Kegiatan yang mengusik kehidupan kita, namun tidak dengan mereka. Pasanglah mata dan telinga baik-baik di manapun dan kapanpun.” *** Pak Bos beserta beberapa anak buahnya menyusuri hutan untuk mencari harimau yang telah menerkam Jatir. Mereka membawa persenjataan yang lengkap dan dua kotak peluru untuk jaga-jaga. Sepatusepatu bot melangkah dengan berani. Tanah lembap serta berlumpur tak jadi soal, yang penting mereka bisa membawa pulang kepala harimau itu untuk dijadikan pajangan dinding dan kulitnya untuk alas rebah. Tidak ada tanda-tanda yang muncul sore itu. Hanya terdengar desisan ular dan kepakan sayap burung. Belum ada kata menyerah yang hinggap di benak mereka. Pak Bos terus berjalan di depan diiringi yang lainnya. Tak terasa matahari menarik cahaya keemasannya menuju perut bumi. Hutan menggelap seketika. Jangkrik-jangkrik mulai bersenandung menyambut malam. M e r e k a mulai kelelahan. Akhirnya, mereka memutuskan untuk beristirahat di area yang kering dan agak lapang. Kayu-kayu yang berserakan ditumpuk dan dibakar menjadi api unggun. Salah seorang anak buah menggorok leher seekor kelinci jantan berukuran besar dan seorang lagi sedang menguliti kelinci lainnya yang lebih kecil. Dua ekor kelinci bakar menjadi santapan empat manusia malam itu. “Jangan ada yang tidur selain aku. Dua puluh menit. Waspada terhadap gerakan sehalus apapun.” Setelah dirasa perutnya sudah mengeras, Pak Bos terbaring di atas tanah dengan tangan penuh daging sebagai bantalan kepalanya. Ia mendengkur cukup keras mirip seperti babi. Para anak buahnya mengamati keadaan sekitar. Sesekali mengitari area peristirahatan. Sesekali menengok ke balik semak-semak belukar. “Percuma saja kita seperti ini. Batang hidungnya tidak tampak sama sekali.” “Seharusnya kita bisa berleha-leha di rumah karena hari ini jatah libur kita.” “Benar. Muak aku berurusan dengan hutan melulu. Kalau tidak tebang ya tambang. Kalau tidak tambang ya tembak. Kalau tidak tembak ya tebang. Begitu aja terus.” Dua puluh menit berlalu. Pak Bos tidak terbangun dari tidurnya. Ketiganyapun memutuskan untuk tidur bergantian. “Mereka ada tepat di Jan-

tung Hutan!” Tura menyampaikan informasi yang ia temukan. Sebelumnya, para hewan telah mengintai manusia semenjak mereka menapakkan kakinya di hutan siang itu. Hugar sengaja tidak berkeliaran. Ia dan hewan lainnya berkumpul merancang rencana untuk melawan para manusia biadab itu. Sebelum memberi arahan lebih lanjut, dalam kegelapan hutan yang pekat, Kliba berbicara di hadapan seluruh hewan yang ada dengan tenang juga tegas, “Bodoh atau pintar itu hanya sebuah persepsi. Jika mereka menganggap kita semua hanya sebatas makhluk bodoh dan tak berguna, toh sebetulnya tidak ada masalah. Diri kita sendirilah yang mengetahui siapa kita sebenarnya. Aku akan memilih untuk menampakkan sisi kebodohanku di hadapan mereka dan merahasiakan kecerdasan yang tak pernah mereka sangka rapat-rapat. Hidup kebodohan!” “Hidup kebodohan!” Semuanya berjalan beriringan menembus dinginnya udara malam. Monyet-monyet bergelantungan dari satu pohon ke yang lainnya. Burung-burung beterbangan membentuk formasi. Harimau, macan, rubah, serigala berlari secepat kilat. Hewan yang lain mengikuti di belakang. Keempat manusia masih di jantung hutan. Keempatnya terbaring di atas tanah, namun salah seorang sedang mencoba menghitung bintang yang gemerlapan agar tidak mengantuk. Api unggun yang berkobar kini mengecil dengan asap yang bergoyang ke langit. Tanpa para manusia itu sadari, kawanan hewan telah mengepung area istirahat mereka–Jantung Hutan. Segerombolan burung yang beterbangan menjatuhkan kalajengking-kalajengking beracun dari cengkeraman cakar mereka ke badan makhluk yang sedang tertidur pulas . Para manusia menjerit dengan lengkingan yang menyayat telinga. Berguling-guling ke sana dan ke sini seperti babi di kobangan lumpur. Tak berapa lama para hewan masuk ke Jantung Hutan dan... Slap, Tos, Jedug, Roaaaar, Sreeeet, Aaaaaaa, Krek, Kretek kretek, Dar dor dar dor, Gradak gruduk, Bum, Wusssh, UU AA, Pssshhh, Tak tuk tak tuk, Bodoh! Menyingkir! Slap, Zip, Zap, Bangsat! Auuuuum, Grok, Laknat! Jedarrr, Kepala! Kraok kraok, Preeet, Tebas! Gigit! Nyam nyam... “Siapa yang bodoh?” “Kita!” “Siapa yang pintar?” “Mereka!” “Siapa yang bodoh tapi pintar?” “Kita!” “Siapa yang pintar tapi bodoh?” “Mereka!” “Mari kita berpesta malam ini, kawan. Dan ciptakan pesta-pesta yang lainnya di kemudian hari. Hidup kebodohan!” “Hidup kebodohan!” *Mahasiswi Sastra Inggris, Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

1 Puisi lahir dari rahim katakata waktu kecil ia berlarian di kaki ibunya lalu dewasa dan menikah dengan gatra ia beranak dinamainya sublim, sublim tumbuh dan menua dalam gugus terma-terma 2 Lalu ia mempertemukan engkau ruang bernama kata juga rasa pada tubuhmulah kau telanjangi sendiri maknamakna tiada habisnya. Banyumas, 2018 *Mahasiswi UIN Jakarta

Cinta Pertamaku Oleh: Aprilia*

Mengenal kata cinta sudah tidak asing Kata cinta ditambahkan morfem me-i menjadi mencintai Dan mengalami penambahan fonem n Kata cinta ditambahkan morfem ber menjadi bercinta Seperti cinta pertamaku Yang awalnya hanya saling mencintai Kemudian hari menjadi bercinta Kau memang membuatku candu dalam semesta ini Hingga aku masuk dalam rayuanmu Pada akhirnya kau tetap cinta pertama ku Ciputat, 16 Desember 2018

*Mahasiswi UIN Jakarta


SENI BUDAYA

EDISI LIX/ MARET 2019 Herlin Agustini herlinagustini97@gmail.com

Pameran Seni Lukis Pensil Monokrom karya Toni Hariyanto menjadi salah satu pameran tunggal yang diselenggarakan di Bentara Budaya Jakarta (BBJ). Selain karyanya yang mendapat banyak penghargaan, Ia juga dikenal dengan Dewa Pensil.

15

Seni Bergaya Realis

trotoar dan zebra cross yang sangat jelas membuat pengunjung terbius dan tak sadar bahwa itu benar-benar karya tangan. Seperti yang diungkapkan Mahasiswa Al-Azhar Melvia Assyfa, “Karya Toni Haryanto berbeda dari karya-karya pada umumnya,” ujarnya, Sabtu (9/3). Bergeser ke sebelah kiri, pengunjung akan melihat lukisan-lukisan binatang, mulai dari lukisan kucing yang ada di atas pohon, Hyena, tupai, bahkan lukisan yang menggambarkan seekor tikus yang sedang berbagi makanan bersama empat ekor burung. Bergeser lagi ke sebelah kiri pengunjung akan melihat lukisan hewan buas, seperti macan dan singa. Lanjut ke sebelah kiri menuju pintu keluar, tampak lukisan Moto GP. Selain itu terdapat lukisan Valentino Rossi, di bawahnya lukisan Marc Marquez, dua gambar di samping kirinya ada lukisan Jorge Lorenzo, dan Maverick Vinales. Tak diragukan lagi keahlian Toni Hariyanto dalam melukis menggunakan pensil terlihat jelas, seperti yang terlihat

dari keempat lukisan tersebut. Gambar terkecil pun yang ada di motor digambarnya dengan sangat jelas dan detail, begitu juga keadaan sirkuit balapan. Menurut Seniman Toni Hariyanto, menggambar realis itu adalah hal yang paling mendasar dan mudah. “Menggambar sama dengan melihat, harus detail dan sesuai fakta,” tegasnya, Sabtu (9/3). Pameran Tunggal Lukisan Pensil yang bertajuk “Monokrom” ini diselenggarakan mulai tanggal 01Maret—11 Maret 2019 di BBJ. Tak hanya pameran yang diadakan pada 09 Maret, Toni juga mengadakan workshop melu-

kis anatomi yang dipimpin langsung olehnya. Alasan BBJ memilih karya Toni Hariyanto bukan tanpa alasan, setelah melalui seleksi oleh para kurator BBJ, karya beliau salah satunya yang terpilih. Seperti yang disampaikan oleh Program Officer BBJ Ni Made Purnama Sari saat ditemui “Karena Kami melihat karya-karya pak Toni menampilkan gambar yang detail dan penggunaan teknik yang mempuni,” ujarnya Sabtu (9/3). Pameran merupakan salah satu agenda rutin yang diseleggarakan BBJ sebulan sekali atau dua minggu sekali.

Pamerannya beragam tidak hanya pameran lukisan, tapi ada juga kriya, tiga dimensi, foto, dan pameran seni gambar pensil seperti karya Toni Hariyanto. Karyanya terpilih sebagai pameran tunggal di BBJ. Ia merupakan seniman lukis pensil kelahiran madiun 1957, dia juga seorang dosen di beberapa perguruan tinggi di Jakarta, antara lain, Perguruan Negeri Jakarta, Politeknik Negeri Media Kreatif Jakarta, SSR Jakarta, dan Toniart Drawing Academy. Sebagai seorang seniman, Toni Hariyanto termasuk seniman bergaya realis.

Kemahasiswaan Masri Mansoer, Kepala Bagian Kemahasiswaan, dan perwakilan mahasiswa resmi mengubah nama Pemira menjadi Musyawarah Mahasiswa (Musyma). “Perubahan nama Pemira ke Musyma berdasarkan hasil rembuk,” ujarnya pada Rabu (13/3). Imbas Dana Pemira Penundaan pelaksanaan Pemira 2018 berdampak pada pencairan anggaran dana KPU, pagu anggaran 2018 yang sebelumnya dialokasikan untuk Pemira pun tak dapat dicairkan. Hal ini dikarenakan terkendala oleh Surat Pertanggung Jawaban (SPJ). SPJ seharusnya sudah selesai di akhir tahun 2018, namun karena Pemira 2018 tertunda berdampak pada penyelesaian SPJ. Alhasil, pelaksanaan Pemira kali ini harus menggunakan anggaran dana tahun 2019. Adapun pihak KPU memberikan keterangan bahwasanya SPJ untuk sekarang sudah diserahkan. “SPJ masih dalam proses. SPJ sudah kita selesaikan dan sudah diberikan,” ucap Bendahara KPU Abdul Rahim Jumat (8/3). Karena persoalan dana, Rahim menambahkan pernyataan bahwa anggota KPU harus merogoh uang pribadi untuk memenuhi kebutuhan persiapan Pemira. Walapun sempat ada ketidakjelasan terkait pengembalian uang pribadi yang terpakai untuk keperluan Pemira. Namun, ia meyakini uang pribadi anggota KPU yang dikeluar-

kan akan diganti pihak kampus. “Walaupun terkendala oleh dana, Pemira harus tetap berjalan,” ujar Rahim, Jumat (8/3). Menanggapi persoalan dana, Rektor UIN Jakarta Amany Burhanuddin Umar Lubis menegaskan bahwasanya uang pribadi anggota KPU yang telah terpakai untuk keperluan Pemira harus diganti. Namun, penggantian uang pribadi yang terpakai untuk keperluan Pemira tentu memiliki prosedur. Mahasiswa harus menyerahkan SPJ terlebih dahulu sebagai syarat, ia menyayangkan hingga menjelang pertengahan Maret 2019 SPJ belum diserahkan. “Sampai sekarang hampir di pertengahan Maret SPJ belum diserahkan” tuturnya Rabu (13/3). Saat Institut mencoba menanyakan kembali kepada Rektor UIN Jakarta Amany Burhanuddin Umar Lubis terkait penerimaan SPJ dari pihak KPU. Ia membantah telah menerimanya, laporan yang ia dapatkan dari Warek Bidang Kemahasiswaan pihaknya baru menerima rencana penggunaan dana. “Baru ada rencana penggunaan dana untuk Musyma (Red; Pemira) yang sudah dianggarkan, terkait SPJ belum ada,” bantah Amany, Rabu (13/3). Masa Kepengurusan Bertambah Dalam surat edaran Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Islam (Dirjen Pendis) Nomor 4961 Tahun 2016 tentang Pedoman

Umum Organisasi Kemahasiswaan Pada Perguruan Tinggi Keagamaan Islam, tertera masa bakti pengurus organisasi kemahasiswaan adalah satu tahun. Sedangkan khusus ketua umum organisasi tidak dapat dipilih kembali pada periode berikutnya di jenjang yang sama. Namun imbas dari mundurnya jadwal Pemira di UIN Jakarta mengakibatkan kepengurusan organisasi intra kampus melebihi waktu yang ditentukan. Ketua Dema-U Ahmad Nabil Bintang menyatakan adanya masa perpanjangan kepengurusan Sema-U dan Dema-U. Ia menjelaskan adanya Surat Keterangan (SK) yang ditanda tangani oleh Warek Bidang Kemahasiswaan masa bakti 2015-2019 Yusran Razak untuk perpanjangan masa kepengurusan Sema-U dan Dema-U hingga Maret 2019. “Ada perpanjangan kepengurusan untuk Dema dan Sema di UIN Jakarta,” ujarnya, Selasa (5/3). Senada dengan Nabil, Ketua Sema-U Ahmad Murhadi memberikan keterangan yang sama. Permasalahan pelaksanaan Pemira menjadi sebab utama dikeluarkannya SK perpanjangan masa kepengurusan. “Karena ada permasalahan dalam Pemira ini, dikeluarkan SK perpanjangan Sema dan Dema sampai Maret,” ungkapnya Selasa (12/3). Pemungutan Suara Elektronik Ada yang berbeda pelaksanaan Pemira kali ini. Pemira akan dilak-

sanakan dengan sistem pemungutan suara elektronik sesuai dengan instruksi Rektor UIN Jakarta. Ada pun pemungutan suara elektronik itu sendiri dilakukan secara online melalui web. Dalam wacana pelaksanaannya pemungutan suara elektronik menuai pro dan kontra dari berbagai kalangan. Salah satunya mahasiswi Kimia Semester 6 Prima Soheti yang tidak sepakat akan penerapan pemungutan suara elektronik. Menurutnya, pemungutan suara elektronik tidak sesuai dengan asas Pemilihan Umum yaitu langsung, umum, bebas, jujur dan adil. Pemungutan suara elektronik lebih ranah privat dan bisa diretas keamanannya. “Walaupun secanggih apapun zaman tapi kan siapa tau itu bisa diretas,” tuturnya Kamis (14/3). Selain itu, mahasiswa Jurusan Manajemen Dakwah semester empat Rifki Setiyaji tidak setuju akan sistem pemungutan suara elektronik. Menurutnya pihak kampus terlalu berani menerapkan pemungutan suara elektronik padahal ia menganggap belum siap. “Menurut saya itu masih terlalu berani karena kita melihat sendiri sistem itu tidak semudah seperti kelihatannya,” katanya Kamis (14/3). Menjawab banyaknya kekhawatiran dari sistem pemungutan suara elektronik, Tim Pusat

Teknologi Informasi dan Pangkalan Data (Pustipanda) UIN Jakarta sudah merancang sistem sesuai ketentuan KPU dan pihak Kemahasiswaan. Pelaksanaan pemungutan suara elektronik dimulai pukul 00.01-16.00 WIB pada 19 Maret 2019. Terkait keamanan, Pihak Pustipanda dan KPU sudah melakukan sosialisasi kepada mahasiswa untuk menjaga kerahasiaan kata sandi AIS. Ada pun Data Pemilih Tetap (DPT) yang dapat mengakses laman elmusyma.uinjkt.ac.id untuk memberikan suara merupakan mahasiswa UIN angkatan 2015-2018 yang sudah tervalidasi. Adapun pihak KPU, kemahasiswaan dan Pustipanda tidak dapat mengakses laman tersebut. Setelah pukul 16.01 WIB, KPU melakukan rekapitulasi data. Tim Pustipanda dan KPU siap siaga di Posko Musyma (Red; Pemira) di Aula Madya untuk menerima laporan permasalahan sistem. Terkait prosedur pemungutan suara elektronik, pertama pemilih membuka laman elmusyma.uinjkt. ac.id kemudian melakukan cek DPT untuk mengetahui apakah ia terdaftar sebagai pemilih atau tidak. Pemilih yang terverifikasi dapat mengakses laman tersebut menggunakan Nomor Induk Mahasiswa dan password sesuai AIS. Selanjutnya melakukan pemilihan Sema-U, Dema-U, Sema-F, Dema-F, juga HMJ/ HMPS. Setiap memilih pasangan calon, klik tombol vote untuk memberikan suara.

Sambungan dari halaman 1...

Foto: INSTITUT

Ruangan yang sederhana memberi kesan tersendiri bagi para pengunjung. Pertama kali memasuki ruangan, pengunjung disuguhkan dengan uraian pameran yang ditulis oleh Kepala Pengelola Bentara Budaya Jakarta (BBJ) Ika W. Burhan. Kemudian, di sebelah kanan dari pintu masuk ada lukisan VW kodok, Vespa, Bajaj, Kereta Api, VW Goil, dan lukisan dengan judul Give Me Please yang pernah mendapat penghargaan Daily Deviation Award untuk kategori tradisional art. Ada salah satu lukisan yang menarik perhatian pengunjung dan paling banyak mendapatkan penghargaan internasional yaitu Give Me Please. Give Me Please merupakan potret gambar seorang pengemis yang lumpuh sedang meminta uang kepada pengendara mobil. Gambar ini sangat detail, fisik pengemis yang berjalan menggunakan tongkat dan satu kakinya sedang menerima uang yang diberikan sang pengendara mobil. Tak hanya itu, gambar

Salah seorang pengunjung sedang melihat lukisan-lukisan yang ada di dinding. Pameran seni lukis pensil yang bertajuk “Monokrom” ini diselenggarakan di Bentara Budaya Jakarta mulai tanggal 01 Maret – 11 Maret 2019.


Pasang Iklan Sejak didirikan 34 tahun silam, LPM INSTITUT selalu konsisten mengembangkan perwajahan pada produk-produknya, semisal Tabloid INSITUT Majalah INSTITUT, dan beberapa tahun ini secara berkelanjutan mempercantik portal www.lpminstitut.com. Space iklan menjadi salah satu yang terus dikembangkan LPM Institut. Oleh sebab itu, yuk beriklan di ketiga produk kami! Kenapa? Ini alasannya: Tabloid INSTITUT Terbit 4000 eksemplar setiap bulan! Pendistribusian Tabloid INSTITUT ke seluruh universitas besar se-Indonesia dan instansi pemerintahan (Kemenpora, Kemenag dan Kemendikbud)! Portal Web INSTITUT Memiliki portal online dengan sajian berita seputar kampus dan nasional terbaru dengan kunjungan 800-1000 per hari! Majalah INSTITUT Sajian berita bercorak investigatif dan terbit per semester. Hubungi: Muhammad Silvansyah 089630943041 Rizki Dewi Ayu 083815419607


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.