LAPORAN UTAMA
LAPORAN KHUSUS
Dosen Kurang, Kompetensi Akademik Dipertaruhkan
Sejak didirikan 28 tahun lalu, LPM INSTITUT selalu konsisten mengembangkan perwajahan pada produk-produknya, semisal pada Tabloid INSTITUT, Majalah INSTITUT, dan beberapa tahun ini secara continue mempercantik portal lpminstitut.com.
Susur Diri Bersama Mada
Sudarnoto: Ini Bukan Plesiran
Hal. 3
Pasang Iklan
RESENSI
Hal. 5
Hal. 13
Edisi XXIX/ November 2013 - Diterbitkan Lembaga Pers Mahasiswa INSTITUT UIN Jakarta - www.lpminstitut.com
Space iklan menjadi salah satu yang terus dikembangkan LPM INSTITUT. Oleh sebab itu, yuk beriklan di ketiga produk kami. Kenapa? Ini alasannya:
Tabloid INSTITUT
Terbit 4000 eksemplar setiap bulan Pendistribusian Tabloid INSTITUT ke seluruh universitas besar se-Indonesia dan Instansi pemerintahan (Kemenpora, Kemenag dan Kemendikbud)
INSTITUT Online
Memiliki portal online dengan sajian berita seputar kampus dan nasional terbaru dengan kunjungan 800-1000 per hari
Majalah INSTITUT sajian berita bercorak investigatif dan terbit per-semester Hub: Aprilia Telp: 081297027691/ 089685857411 Twitter: @RempahRanum e-mail: aprilia_karsowijoyo@yahoo.com
Dosen Eksodus, Intelektual Pupus Ahmad Sayid Muarief
Dosen sebagai tenaga pendidik seharusnya bisa mentransformasikan, mengembangkan, dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan melalui pendidikan, penelitian dan pengabdian pada masyarakat. Hal tersebut tertera dalam UUD No 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen. Namun pada kenyataannya, peran dosen di perguruan tinggi bergeser, mereka lari ke dunia politik, bisnis, dan mengejar jabatan administratif di kampus. Perihal di atas diungkapkan sejarawan sekaligus dosen Pendidikan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gajah Mada (UGM) Agus Suwignyo. Ia menjelaskan, kampus-kampus di Indonesia belakangan ini kosong karena eksodus para dosen ketiga ranah tersebut.” Saya kira ada problem besar dunia kampus dalam menyikapi dinamika dan perubahan besar di sekelilingnya,” ungkapnya kepada INSTITUT, Jumat (22/11). Agus mengatakan, meskipun banyak akademisi yang nyambi sebagai politisi yang akhirnya berlabuh di penjara karena korupsi, namun hasrat hijrah ke pusaran tersebut terus meningkat. “Bahkan rekan saya sesama dosen yang baru menjadi doktor ingin menjadi politisi pada pemilu 2014,” ujarnya. Selain itu, kata Agus, sebagian dosen yang tetap di kampus umumnya tak lagi menggeluti tradisi intelek-
tual, melainkan mengejar jabatan struktural kampus. “Orientasi dosen-dosen tersebut bukan lagi pada karya penelitian, publikasi ilmiah, dan pelayanan bermutu kepada mahasiswa, melainkan posisi manajerial,” katanya. Tak hanya itu, mereka umumnya semakin tidak menunjukkan gereget kerja akademik yang menginspirasi. Bagi Agus, profil kecendekiawanan tereduksi menjadi sebatas terpenuhinya tuntutan administrasi karir, yang memang berdampak pada gaji dosen. “Dalam konteks ini, lenyapnya watak kecendekiawanan tecermin dalam pelanggaran etika akademik, misalnya plagiarisme. Hal itu merupakan akibat, bukan sebab, dari merosotnya mutu profesionalitas dosen sebagai akademisi,” tuturnya. Agus menuturkan, gelombang eksodus dosen me-
negaskan bahwa pendidikan tinggi Indosesia sedang menghadapi problem delegitimasi parah. Hal itu juga menunjukkan bahwa kampus-kampus di Indonesia kosong dari nilai-nilai dan standar moral. Bergesernya Nilai Asketisme Menurut Agus, kampus kosong karena adanya pergeseran nilai asketisme intelektual. Yaitu etos kerja akademik yang menuntut ketekunan dan kesetiaan dalam pencarian kebenaran ilmiah. “Pergeseran nilainilai tersebut ditandai migrasi akademisi dari elite fungsional menjadi elite politik,” paparnya.
Bersambung ke hal. 12 kol. 2
TABLOID INSTITUT Edisi XXIX November 2013
LAPORAN UTAMA
Salam Redaksi Assalamualaikum wr.wb Salam sejahtera untuk kita semua. Setiap bulan, tak lupa kami hadirkan tabloid ini ke tangan pembaca. Karena kami tak mau kehilangan kepercayaan pembaca. Meski kami tak tahu seberapa kepercayaan Anda kepada kami. Kami tetap berusaha menghadirkan tabloid ini agar selalu menyuarakan kebebasan, keadilan, dan kejujuran. Setiap bulan pula, reporter kami selalu bergumul dengan waktu tenggat. Tak masalah, pikir kami. Mengorbankan waktu dan kehidupan kami untuk pembaca adalah sesuatu yang mulia. Hal seperti ini sudah akrab bagi kami. Tapi sayang, tabloid ini merupakan edisi akhir untuk semester ini. Namun, tak serta merta kami mati. Kami tetap hadir dalam bentuk lain. Juga tetap menyajikan yang terbaik bagi pembaca yang lebih universal tentunya. Yang kami sajikan selama ini bukan sekadar pepesan kosong. Mana mungkin pepesan kosong dihasilkan dari proses dialektika selama berjam-jam? Dari sana, kami memverifikasi dengan fakta yang kami temukan di lapangan. Jika Anda berang dengan karya kami ini, coba lawan dengan tulisan juga. Kami menyediakan ruang bagi Anda untuk bersuara di terbitan kami. Kami punya peran sebagai wacth dog di kampus ini. Mestinya bukan cuma kami yang punya peran seperti itu. Setiap orang yang berpikir harusnya peka terhadap keadaan sekitarnya. Bukan malah tak acuh. Tak hanya itu, kami rasa karya kami tak membawa apa-apa bagi kampus ini. Kemudian muncul pertanyaan, untuk apa lagi kami bekerja jika tak ada perubahan? Tak ada gerakan massa, setelah karya kami terbit. Kami kecewa. Atau memang karya kami yang belum bisa memantik gerakan massa. Introspeksi buat kami. Mungkin bukan hanya kami yang merasakan ini. Pers mahasiswa di kampus lain barangkali sama. Kebijakan rektorat kian waktu kian mengerdilkan gerak mahasiswa. Jam malam misalnya. Tak ada gerakan yang menuntut agar kebijakan tersebut dihapus. Kebijakan tersebut jadi angin lalu saja. Tak ada yang peduli. Bahkan tak ada yang sadar. Semakin kerdil saja kita, kawan-kawan! Sebagian menanggapi, “Baiklah, kita memang kerdil,” kata mereka. Meminjam kata-kata Pramoedya Ananta Toer, “Semua yang terjadi di bawah kolong langit adalah urusan setiap orang yang berpikir,” katanya dalam Bumi Manusia. Apa yang kami lakukan hanya sekadar memantik agar pembaca sekalian berpikir dan sadar bahwa ketidakadilan sedang terjadi di sini. Kami ucapkan sampai berjumpa lagi di edisi semester depan. Mari berpikir. Baca, tulis, lawan!!!
Selamet Widodo
‘Ngamen’, Alternatif Dosen Penuhi Kesejahteraan
SENI BUDAYA
TABLOID INSTITUT Edisi XXIX November 2013
15
Si Jantuk Jadi Panutan
Fenomena dosen ‘ngamen’ atau mengajar di beberapa universitas saat ini banyak ditemui. Hal itu disebabkan karena para dosen tak bisa menutupi kebutuhan hidupnya jika hanya mengajar di satu universitas. Dampaknya, para dosen tidak fokus dengan kegiatan pengajarannya. Hal yang demikian dirasakan dan diungkapkan oleh salah satu dosen dari Fakultas Ilmu Sains dan Teknologi (FST), Yon Giri Mulyono. Dosen tetap Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta ini mengaku ‘ngamen’ di beberapa universitas guna menutup kebutuhan hidupnya. Selain di UIN Jakarta, ia juga mengajar di Universitas Tarumanegara, Universitas Indonesia, dan beberapa universitas lain. “Tidak cukup jika hanya mengandalkan gaji dari satu universitas saja,” katanya ketika ditemui di Ruang Sidang Lantai 2 FST, Kamis (21/11). Yon mengungkapkan, kurangnya kesejahteraan dikhawatirkan bisa berdampak negatif pada kualitas mahasiswa. Pasalnya, saat mengajar, para dosen tidak fokus mengajar lantaran sering kali terpikir bagaimana cara menutup kebutuhan hidup keluarga. “Padahal kualitas pemahaman mahasiswa tergantung bagaimana cara mengajar dosen,” tambahnya. “Sebenarnya banyak faktor yang mengakibatkan fenomena dosen ‘ngamen’ itu terjadi, seperti kurangnya kesejahteraan dan barangkali dosen yang ‘ngamen’ tersebut benar-benar kompeten dan dibutuhkan di beberapa universitas lain. Namun, tidak bisa dipungkiri, kebanyakan dosen ‘ngamen’ diakibatkan karena kurangnya jaminan kesejahteraan,” kata Iyon. Senada dengan Yon, Kepala Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI), Mahmudah Fitriyah membenarkan kesejahteraan dosen di Indonesia masih sangat rendah. Menurutnya, sebagai dosen atau pengajar, bayaran itu bukanlah hal yang utama. Meski demikian, para dosen seharusnya mendapat penghargaan dan jaminan kesejahteraan. “Saya juga mengajar di beberapa fakultas, tapi saya tidak mengejar uang, melainkan memang tugas saya sebagai pengajar. Saya di sini sebagai Kepala Jurusan (Kajur) dan tidak diperbolehkan mengajar lebih dari enam Satuan Kredit Semester (SKS). Saya tidak betah hanya duduk diam
KiilaS
(CIMSA) mengadakan pengobatan gratis untuk veteran di kawasan Arteri, Pondok Indah. Mereka menggelar acara bertajuk Heroes Day ini untuk memperingati Hari Pahlawan, Minggu (10/11). Di Arteri, puluhan mahasiswa PSPD dibagi menjadi tiga kelompok dan berkunjung ke rumah tiga orang veteran untuk memeriksa kesehatan para veteran. Veteran pertama bernama Teuku
Mahasiswa PSPD Gelar Pengobatan Gratis Para mahasiswa Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (FKIK) Program Studi Pendidikan Dokter (PSPD) yang tergabung dalam organisasi Center for Indonesian Medical Students Activites
Pemimpin din riani
Umum:
Redaktur
| |
Muhammad
Cetak:
Umar
Makhruzi
Iklan & Sirkulasi:
di sini, makanya saya juga mengajar di beberapa universitas,” katanya, Jumat (22/11). Mahmudah memaklumi jika ada beberapa dosen yang mengajar di banyak universitas, pasalnya jika mengandalkan mengajar di satu universitas dirasa kurang mencukupi kebutuhan sehari-hari. “Seperti teman-teman saya di sini (PBSI) sering mengeluh dompet kosong ketika akhir bulan, bagaimana ini?” Ungkapnya. “Saya sangat berharap, UIN Jakarta kembali seperti dulu lagi. Maksudnya kalau kita bekerja, maka bayarlah pekerjaan kita. Jangan dihitung cuma gaji pokok aja. Kembali seperti dulu, bimbingan skripsi, penguji skripsi, dan penasehat akademik ada honor tambahan. Tidak seperti sekarang yang dihilangkan semua. Agar para dosen sejahahtera,” tuturnya. Terkait dosen ‘ngamen’ tersebut, salah satu mahasiswa semester tiga Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP), Fakih Nur Sofyan berpendapat, sudah menjadi hal lumrah jika dosen itu ‘ngamen’ di beberapa universitas. Pasalnya, menurut Fakih, dosen adalah manusia dan manusia itu mempunyai kebutuhan untuk mempertahankan kehidupannya. “Tapi tidak bisa dibenarkan jika dosen itu mengabaikan tugasnya sebagai pengajar. Sesibuk apapun
Rahayu
|
Sekretaris:
Rahman
|
Oktaviani
Muji
Redaktur |
Hastuti
Online:
atau mempunyai kegiatan apapun, seharusnya dosen itu komitmen mengajar dalam rangka ikut serta mencerdaskan bangsa. Mungkin jaminan kesejahteraan untuk dosen lebih diperhatikan lagi, agar dosen benarbenar fokus dalam dunia kampus,” ungkap Fakih. Fakih seringkali mendapati dosennya absen mengajar dengan alasan sibuk. Ia mengaku kecewa karena jerih payahnya dalam bekerja untuk tetap bisa kuliah hanya dibayar dengan dosen yang sering absen. Menanggapi hal tersebut, Staf Ahli Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia (RI) Komisi X Bidang Pendidikan, Akhmad Danial mengatakan, negara sebenarnya sudah mengatur mengenai kesejahteraan dosen. Namun, menurut Danial, setiap dosen mempunyai kebutuhan yang berbeda-beda sehingga para dosen mencari alternatif lain guna menutup kekurangan untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Salah satunya ‘ngamen’ ke beberapa universitas. “Untuk masalah dosen ‘ngamen’, sebenarnya tidak ada aturan yang melarangnya, tapi dengan catatan selama mereka bisa benar-benar bertanggung jawab dan fokus dalam mengajar. Jika dosen tidak serius dalam mengajar, dampaknya mengena pada kualitas mahasiswa,” ungkapnya.
Muhammad Nawi (105 tahun), salah satu tentara yang berperang melawan Belanda untuk membebaskan Irian Jaya Barat. Veteran selanjutnya ialah istri dari Alm. Mohammad Natsir (82 tahun), tentara DI/TII Jawa Barat yang mengadakan pemberontakan tahun 1949, dan Mardi (90 tahun) yang tergabung dalam TNI Kodim Jakarta Pusat.
|
Bendahara
Jaffry
Marketing & Promosi:
Prabu Ema
Umum: |
Web
Fitriani
Trisna Master: |
Penampilan pemain Sanggar Ratna Sari dalam Teater Tutur Si Jantuk di Bentara Budaya Jakarta, Kamis (14/11). Foto: Azizah/INS
Gita Nawangsari
Di bawah cahaya temaram, sesosok lelaki bertopeng hitam dan berbalut pakaian serba hitam dengan kain sarung di pundaknya berceloteh dengan sang istri. “Jantuk mana?” Tanya lelaki itu yang berperan sebagai Bapak Jantuk kepada istrinya yang baru datang. Emak Jantuk masuk ke dalam rumah, kemudian menghampiri Bapak Jantuk dengan menggendong Si Jantuk. “Gendong nih anak lu! Enggak kangen apa sama anak?” Ujar Emak Jantuk. Perlahan Bapak Jantuk mengambil alih Si Jantuk dari gendongan Emak Jantuk. Diajaknya Si Jantuk bercanda. Bapak Jantuk menggendong Si Jantuk dengan posisi terbalik, kepala di bawah dan kaki di atas. “Ya ampun Pak Jantuk, anaknya jangan digituin,” papar Emak Jantuk dengan logat Betawi yang kental. Sembari bercanda, Emak Jantuk meminta Bapak Jantuk untuk memutar posisi gendongannya. Mereka berdua kembali mengajak Si Jantuk bermain di pekarangan rumah, mengayun-ayun Si Jantuk. Ketika mereka mulai lapar, Bapak Jantuk meminta diambilkan
Ketua CIMSA, Aditya Bagus Wicaksono mengatakan, acara pengobatan gratis ini tidak hanya berhenti sampai di sini. “Dari ketiga veteran ini, ada yang menderita darah tinggi dan penyakit lain yang memang perlu dikontrol. Kami akan memantau keseharan mereka hingga membaik,” tutur mahasiswa semester lima ini, Minggu (10/11). (Gita Juniarti)
Wulandari Rizqi
|
Jong
Pemimpin Litbang:
Pemimpin
Redaksi:
Pemimpin
|
Aditya
Putri
Rahmat
Perusahaan: | Riset:
Aam
KiilaS Ahmad Wahib dan Pluralisme
KamarudAprilia
Ha-
Maryamah
Koordinatur Liputan: Muawwan Daelami Reporter: Abdurrohim Al Ayubi, Adea Fitriana, Adi Nugroho, Ahmad Sayid Muarief, Anastasia Tovita, Azizah Nida Ilyas, Dewi Maryam, Gita Juniarti, Gita Nawangsari Estika Putri, Karlia Zainul, Nurlaela, Nur Azizah, Siti Ulfah Nurjanah, Selamet Widodo Fotografer & Editor: INSTITUTERS Desain Visual & Tata Letak: Ibil Ar-Rambany Karikaturis: Azizah Nida Ilyas Editor Bahasa Anastasia Tovita, Gita Nawangsari Alamat Redaksi: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Gedung Student Center Lt. III Ruang 307, Jln. Ir. H. Juanda No. 95 Ciputat Jakarta Selatan 15419. Telp: 0856-9214-5881 Web: www.lpminstitut.com Email: lpm.institut@yahoo.com. Setiap reporter INSTITUT dibekali tanda pengenal serta tidak dibenarkan memberikan insentif dalam bentuk apapun kepada wartawan INSTITUT yang sedang bertugas. ______
Aku bukan nasionalis, bukan Katolik, bukan sosialis. Aku bukan Buddha, bukan Protestan, bukan westernis. Aku bukan komunis. Aku bukan humanis. Aku adalah semuanya. Mudah-mudahan inilah yang disebut Muslim. Aku ingin orang menilai dan memandangku sebagai suatu kemutlakan (absolute entity) tanpa menghubung-hubungkan dari kelompok mana saya serta dari aliran apa
nasi dan lauk-pauk. Sebagai Istri, Emak Jantuk meladeninya dengan baik. Segala hidangan yang ada disajikan untuk Bapak Jantuk. “Mana lauk kesukaan gue?” tanya Bapak Jantuk dengan suara yang agak meninggi. Bapak Jantuk tidak jadi memakan sajian yang telah disiapkan oleh Emak Jantuk. Ia merasa istrinya tak mengerti apa yang ia inginkan. Adu mulut antarkeduanya mulai terjadi. Tanpa berpikir panjang, Emak Jantuk meminta sang suami untuk memulangkannya ke rumah orang tuanya. Bapak Jantuk memutuskan untuk memulangkan istrinya, dan tanpa ragu-ragu ia menjatuhi talak kepada Emak Jantuk. Dengan senyum tipis, Emak Jantuk menerisaya berangkat. Memahami manusia sebagai manusia. (Catatan Harian Ahmad Wahib 9 Oktober 1969) Itulah salah satu pemikiran Ahmad Wahib yang ingin diperkenalkan melalui sebuah workshop yang bertajuk “Mengenal Wahib, Menebar Toleransi.” Acara yang diadakan di Auditorium Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta merupakan acara dua tahunan Ahmad Wahib Award yang diselenggarakan oleh Forum Muda Paramadina. Di tahun pertama acara terdiri dari pelatihan dan sosialisasi, lalu di tahun beri-
ma keputusan yang telah diambil oleh suaminya. “Enggak kenapakenapa gue dijatuhi talak, masih banyak yang mau sama janda kayak gue,” kata Emak Jantuk. Merasa semakin tak ada yang mengurusi, Bapak Jantuk mulai menyesali perkataannya. Ia pun merasa kesepian ketika tak ada lagi anak dan istri di sampingnya. Bapak Jantuk berpikir bahwa ia masih membutuhkan anak dan istrinya. Hingga akhirnya Bapak Jantuk kembali ke rumah orang tua Emak Jantuk untuk kembali meminang Emak Jantuk. Melihat kesungguhan Bapak Jantuk, Emak Jantuk bersedia untuk dipinang kembali oleh Bapak Jantuk. “Namanya rumah tangga, pasti
ada ujiannya,” ujar Ayah si Emak Jantuk. Kembali mendapat restu dari sang ayah, mereka memulai kehidupan berumah tangga dari awal. Mereka kembali mengurus Si Jantuk bersama. Pertunjukkan Teater Tutur Si Jantuk dari Sanggar Ratna Sari yang dipentaskan di Bentara Budaya Jakarta (BBJ) mengamanahkan tentang kerukunan dalam berumah tangga. Kerukunan tersebut dapat dijaga dengan saling mengerti dan menjaga perasaan. Ketua Sanggar Ratna Sari, Entong Sukirman menjelaskan, Teater Tutur Si Jantuk menjadi tontonan yang juga jadi tuntunan. “Teater ini bercerita mengenai masalah rumah tangga dari yang sepele hingga terjadi masalah yang kompleks hingga menyebabkan perceraian,” ujarnya, Kamis (14/11). Teater Tutur Si Jantuk masuk ke dalam jenis seni budaya topeng Betawi. Pertunjukan teater ini diiringi alunan alat musik gambang
kutnya dilanjut kompetisi esai, blog, dan video dan malam puncak Ahmad Wahib Award. Sedangkan kompetisi Ahmad Wahib Award akan dibuka tahun 2014 mendatang. Irsyad Rafsadi, selaku koordinator workshop berharap, “Melalui acara ini, saya ingin anak muda dapat menghayati pemikiran dan semangat Ahmad Wahib,” katanya saat ditemui di sela-sela acara, Rabu (13/11).
(Azizah Nida Ilyas)
keromong yang terdiri dari gendang, kenong tiga, kenceng, kecrek, gong, rebab. Teater Tutur Si Jantuk dipentaskan dengan bertutur sambil bernyanyi untuk dapat mengungkapan perasaan para pemain. “Biasanya Teater Tutur Si Jantuk dipentaskan di hajatan, jadi teater ini dapat jadi contoh dalam kehidupan berumah tangga,” ujar Entong. Dalam lakon tersebut, Si Jantuk bukanlah anak-anak sungguhan. Peran Si Jantuk digantikan oleh boneka anak-anak. Lakon dalam Teater Tutur Si Jantuk hanyalah dua orang—Bapak Jantuk dan Emak Jantuk— yang diiringi oleh para pemain gambang keromong. Di atas pentas, kedua lakon dan pemain gambang keromong saling bersahutan. Mereka selalu menimpali percakapan dari Bapak dan Emak Jantuk.
Foto: Awang/INS
2
BERITA FOTO
Kontingen Universitas Gajah Mada (UGM) tengah menampilkan kategori pasangan senjata dalam Piala Presiden RI Kejuaraan Nasional Silat Perisai Diri antar Perguruan Tinggi XXIV yang digelar di Hall Student Center (SC) UIN Jakarta, Sabtu (23/11).
14 SASTRA
“Menyesal”
Cerpen
Dosen Kurang, Kompetensi Akademik Dipertaruhkan
Oleh: Faisal. M*
“Pranngggggggg…..” Terdengar suara pecahan kaca yang sepertinya dari arah kamar anakku. Tak salah lagi, ini pasti perbuatannya. Setiap hari ia seperti itu, sejak obrolan kami di sore itu. Ketika cuaca di luar sedang mendung, aku, istriku dan Hanif anakku berkumpul di ruang tengah rumahku yang kecil. Aku duduk berdampingan dengan istriku sedangkan Hanif duduk di depan kami berdua, layaknya tersangka yang sedang diintrogasi polisi. “Nif, ada yang mau Bapak dan Ibu bicarakan sama kamu,” kataku membuka pembicaraan. “Mengenai apa Pak? “Mengenai permintaan kamu tentang kuliah, dulu kan kamu pernah ngomong sama Bapak, kalau sudah lulus SMA ingin melanjutkan kuliah, dan waktu itu Bapak sepakat menuruti permintaanmu itu.” “Iya Pak, sekarang saya sudah lulus SMA dengan nilai terbaik pula, jadi saya bisa melanjutkan kuliah kan Pak?” Tanya Hanif dengan wajah sumringah. Aku dan istriku saling pandang, terlihat ada kegalauan dari wajah istriku, dan sepertinya ia pun melihat hal yang sama dari wajahku. Kami berdua tidak tega untuk mengatakan ini pada Hanif. “Begini Nak, Bapak ingin sekali
meneruskan sekolahmu sampai bangku kuliah, supaya bisa memperbaiki masa depanmu, dan tidak lagi seperti Bapak yang hanya kerja serabutan. Tapi,” aku menghentikan pembicaraan sambil menghela napas sejenak. “Tapi apa Pak?” sergap Hanif memotong pembicaraanku sebelum aku teruskan. “Bapak tidak bisa memasukkan aku kuliah?” Tambah Hanif dengan nada meninggi dan wajah yang tadinya sumringah berubah memerah, seakan yakin dengan yang ia katakan itu. “Bukan begitu Nak, untuk sekarang, Bapak memang belum bisa menguliahkanmu, tapi tahun depan kalau ada rezeki, pasti Bapak akan memasukkanmu kuliah,” jawabku dengan wibawa seorang ayah. “Satu tahun bukan waktu yang lama kok Nif,” tambahku lagi. “Tapi Pak,” “Benar sekali Nak apa kata bapakmu, dalam waktu satu tahun itu kamu bisa gunakan untuk belajar guna persiapan tes masuk kuliah, tes masuk kuliah itu kan tidak gampang, kalau sudah persiapan, kamu bisa dengan mudah masuk perguruan tinggi yang kamu inginkan,” tukas istriku menyergap perkataan Hanif yang belum selesai. “Tapi Bu, saya sudah bicarakan ini semua dengan teman-teman,
sejak masih di kelas satu dan kita sepakat ingin masuk kuliah bareng setelah lulus, tahun ini juga. Terus saya harus bicara apa sama temanteman, kalau aku tidak jadi kuliah tahun ini,” kata anakku meledakledak dan terlihat raut kekecewaan di wajahnya. “Maafkan Bapak ya Nak, sebenarnya Bapak tidak ingin memupuskan harapanmu untuk melanjutkan kuliah tahun ini, tapi memang Bapak belum punya rezeki untuk membiayaimu kuliah,” jawabku mencoba menenangkan situasi. Istriku sebenarnya merasa tidak sanggup untuk mengatakan hal tersebut, tapi apa boleh buat, ini harus dikatakan. Ketika itu, mendung berubah menjadi hujan dan diiringi dengan sahutan petir yang membuat kami harus berbicara dengan keras agar suaranya terdengar satu sama lain. Kendati hujan, tetapi situasi yang kami rasakan tetap memanas. “Pak tolonglah, saya ingin sekali kuliah tahun ini, saya tidak mau ketinggalan dari teman-teman yang masuk kuliah tahun ini,” kali ini Hanif memasang wajah memelas yang membuat kami semakin tidak tega melihat anaknya pupus harapan untuk kuliah tahun ini. “Bapak minta maaf sama kamu Nif, bukannya bapak tidak mau menguliahkan kamu tahun ini,
tapi apa boleh buat Nak, harus pakai apa Bapak membiayaimu kuliah,” kataku meyakinkannya. “Yang sabar saja ya Nak, nanti tahun depan kalau ada rezeki, pasti kita akan menguliahkanmu,” tambah istriku menghiburnya Hanif hanya terdiam, seakan tidak percaya dengan apa yang dialaminya hari itu. Dan kulihat ada genangan air yang tertambat di bola matanya, lagi-lagi semakin membuat kami berdua berat hati karena sudah mengatakan hal ini. Ia berdiri dari tempat duduknya. Dengan langkah cepat, ia bergegas menuju kamar tidurnya, dan dengan sekuat tenaga ia membanting pintu kamarnya yang sudah lapuk di makan usia hingga menimbulkan suara amat keras. Sesaat, semua terdiam, termasuk anak-anak kucing yang sedang bermain dengan ibunya di ruangan itu. Hanya guyuran air hujan yang menerpa langitlangit rumahku dan sahutan petir yang terus mengiringinya, seakan mengerti kondisi dalam keluarga kami saat itu. Melihat hal itu, aku bergegas melangkahkan kaki ke kamar anakku dan tak ketinggalan istriku mengekor di belakangku, ketika sampai di depan kamar, kucoba dengan pelan mengetuk pintu kamarnya dan memanggilnya. Tak
ada jawaban dari dalam. Beberapa kali kuketuk lagi dan kali itu kuiringi dengan permohonan maafku terhadapnya. Tetap tak ada suara dari kamar anakku. Sampai keesokan harinya aku mencoba hal yang sama, tetap tidak berhasil. Berhari-hari, ia tidak keluar dari kamarnya, sampai pada akhirnya terdengar celotehan yang tidak jelas dan diiringi tertawa hambar Hanif dari kamar mungilnya itu. Sesekali terdengar suara benturan benda yang beradu yang aku tidak tahu apa itu. Hal seperti itu terus terjadi di kamar Hanif sampai sekarang ini. Kini aku sangat terpukul dan amat menyesal atas kejadian ini. Anakku gila karena keinginan mulia yang tidak didapatkannya. Aku menjadi orang paling berdosa di dunia saat ini, karena memupuskan harapannya. *Untuk teman-teman masih ingin belajar.
yang
Ciputat, 19 Desember 2012. Foto: Azizah/INS
Penulis adalah mahasiswa Jurusan Sejarah Kebudayaan Islam (SKI) Fakultas Adab dan Humaniora (FAH) semester 1. .
Puisi
Tanah Pesakitan Oleh: Nusa Sandyakala*
Bumi menjamah dengan kasar Diam! Langit bergumam: nyinyir Atap langit, mulai roboh Alas bumi, mulai retak Tiang-tiang penyangga, mengeluh jatuh Abad-abad: Kulukis sketsa, buram! Kutulis sejarah, semu! Manusia titah alam, alam berbalik keram Semua telah berani menentang Suratan semakin menghitam Bumi dan langit tak henti seteru Hendak, memeluk siapa saja yang tak tunduk Terkutuk! Ciputat, 04 November 2013 *Mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI) semester 1.
Hutan belantara Oleh: Heri Widyatno*
Tempat perkelahian nasib Superior versus inferior Tak sebanding, tapi itulah pertaruhan Hanya ada naluri, bukan untuk nurani Kaya; selalu kaya Miskin; menjelma termiskinkan Hidup bak perjudian Memangsa atau malah dimangsa Hidup bak sebuah perjalanan Mencari makan, maka hidup lama Jika dimakan, maka hidup menyisahkan kenangan Hidup bak pelarian Pergi pagi, pulang larut malam Lari menyelamatkan diri Atau diam untuk mati
LAPORAN UTAMA
TABLOID INSTITUT Edisi XXIX November 2013
Lunglai
Oleh: Heri Widyatno* Layang-layang itu terbang Mencoba meraba langit “Tak pernah bisa,” ungkap kaum realis Ia tetap gembira Layang-layang miliki benang Jika kau tarik benang itu Di situlah ia kan menepi Hargamu teramat murah; semurah bumbu penyedap saset Kau sudah digenggaman Tapi kau miliki arti lebih Semahal jumlah simetris lingkaran Kau tak bisa menyapa Tak jua ucap seutas kata Tapi kau terus berkata-kata Saat dirimu tiba diangkasa Mengirim pesan Menegurku lewat seutas benang
*Mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris (BSI).
Coming Soon Majalah INSTITUT Edisi 41
Ruang dosen di Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI) Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK), Jumat (22/11).
Azizah Nida Ilyas
Kemegahan gedung dan banyaknya mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta ternyata tak sebanding dengan hadirnya tenaga pengajar atau dosen. Sekalipun ada, masih banyak dosen yang mengajar tak sesuai dengan bidang keilmuannya. Hal itu menjadi bukti bahwa UIN Jakarta mengalami krisis dosen. Seperti yang dialami oleh Frans Sayogi, Dosen Fakultas Adab dan Humaniora (FAH). Ia mengakui mata kuliah yang diajarnya saat ini tidak sesuai dengan bidang keilmuannya. “Saya ini lulusan Pendidikan Bahasa Inggris di Tarbiyah, tetapi tahun 2000 saya ditempatkan di jurusan Bahasa dan Sastra Inggris (BSI),” kata Frans yang juga Dosen Psikolinguistik. Frans menceritakan, ia terpaksa beradaptasi lagi dengan mata
Gita Juniarti
kuliah yang dituntut. Karena pada saat itu UIN Jakarta belum memiliki dosen yang bidangnya murni sastra atau lingustik. “Harusnya saya mengajar lebih bersifat aplikasi dari bidang keilmuan saya,” terangnya saat ditemui di Ruang Dosen FAH, Senin (18/11). Selain itu, lanjut Frans, rasio dosen dan mahasiswa terkadang juga membuat dosen harus mengajar mahasiswa yang jumlahnya melebihi batas ideal. Hal ini tentu berdampak pada kompetensi pe-
dagogik dosen. Berdasarkan data tarakhir dari Lembaga Penjaminan Mutu (LPJM) tahun 2012, rasio dosen dan mahasiswa jurusan BSI berkisar 1:48. Padahal, menurut Frans, rasio ideal di jurusan bahasa hanya sekitar 1:20 hingga 1:25. “Kompetensi pedagogik itu bisa dilihat saat situasi belajar mengajar. Kalau mahasiswanya kebanyakan suasana jadi tidak kondusif, dosen jadi sulit intuk mengetahui potensi mahasiswanya,” ujar Frans.
Dosen Masih Abaikan Kode Etik
Pada Juni 2012, Dosen Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (FKIK) di Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta menjadi tersangka tindak plagiat. Ia mengutip skripsi mahasiswanya tanpa mencantumkan catatan kaki. Maret 2013, kasus plagiat kembali terjadi di Fakultas Syariah dan Hukum (FSH). Seorang dosen melakukan plagiat sebanyak 21 halaman. Setelah melihat fenomena tersebut, apakah kode etik dosen masih perlu diterapkan mengingat pelanggaran masih sering terjadi? Kepala Sub Bidang Program dan Evaluasi Kementrian Pendidikan dan Budaya (Kemendikbud) Agus Susilohadi menjawab, kode etik sangat diperlukan untuk mengontrol perilaku para dosen. Tanpa adanya kode etik dosen, dosen akan bertindak semaunya sendiri. Selama setahun kemarin, Kemendikbud mengadili 100 dosen setingkat guru besar yang melakukan tindak plagiat. “Sesuai dengan Permendiknas No 17 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Plagiat di Pendidikan Tinggi, maka sanksi yang dijatuhkan pun beragam. Mulai dari penundaan pemberian hak dosen, penurunan pangkat, hingga pemberhentian pekerjaannya sebagai dosen secara hormat maupun tidak hor-
mat,” jelas Agus, Rabu (20/11). Alumni Universitas Sebelas Maret ini mengatakan, pelanggaran lain yang marak dilakukan dosen adalah pelanggaran moral. Contoh dari pelanggaran moral adalah tutur kata atau tindakan yang tidak pantas dilakukan oleh dosen. “Dosen akan diberi sanksi sesuai dengan kebijakan perguruan tinggi, bukan diberi sanksi oleh Kemendikbud,” tutur Agus di ruang kerjanya. Pelanggaran lain yang kerap terjadi di perguruan tinggi adalah tindak kekerasan. Agustus 2013, mahasiswa Fakultas Teknik (FT) Universitas Kristen Indonesia Paulus (UKIP) Makassar dipukul dosen karena melakukan aksi protes lantaran tidak diberi peran menjadi panitia Ospek. UIN Jakarta pun mengalami
hal serupa. Oktober silam, seorang mahasiswa Hubungan Internasional (HI) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) dipukul dosen ketika hendak mengambil foto di sudut ruang auditorium fakultas untuk pemutaran film. Menanggapi hal tersebut, aktivis pendidikan, Jimmy Ph Paat mengatakan tindakan kekerasan itu terjadi karena relasi antara dosen dan mahasiswa tidak berjalan dengan baik. Guna mencegah kekerasan terjadi lagi, Dosen Universitas Negeri Jakarta (UNJ) ini menyarankan agar mahasiswa sering mengadakan diskusi yang tidak terlalu formal bersama dosen. Menurut Jimmy, organisasi mahasiswa di kampus bisa menjadi mediator yang baik untuk
Padahal, jelasnya, dalam undang-undang dosen itu dituntut untuk memahami gaya belajar, mengerti serta memahami potensi peserta didiknya. Ia menambahkan, jika rasio terlalu besar, maka kompetensi tersebut sulit tercapai. Menurut Frans, UIN Jakarta harus segera menambah jumlah dosen. “Kalau tidak terpenuhi, saya kira target UIN Jakarta pada tahun 2020 untuk menjadi research university akan sulit dicapai,” ucapnya. Banyaknya dosen yang tidak sesuai bidangnya membuat mahasiswa kecewa. Salah satunya Thalita Sakaris, mahasiswa Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi (FIDIKOM). Menurutnya, latar keilmuan dosen yang tidak sesuai dengan mata kuliah yang diajarkannya akan mengurangi kompetensi akademik dosen. Namun bagi perempuan bertubuh mungil ini, bukan hanya dosen yang harus kompeten dibidangnya, mahasiswa juga dituntut untuk aktif menggali ilmu dari sumber manapun. “Walaupun dosen ngajarnya kurang pas, ngalor-ngidul, atau bikin ngantuk, saya tetap harus menghargainya,” terangnya, Kamis (21/11). Solusi Krisis Dosen Untuk mengatasi keterbatasan tenaga pengajar, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) mengusulkan dosen tetap berdasarkan Surat Keputusan (SK) rektor. “Namun, upaya tersebut sering terkendala karena dana yang tersedia terbatas,” ujar Dekan FITK, Nurlena Rifai. Ia menambahkan, FITK tidak bisa jika hanya menunggu dosen
menciptakan rasa saling menghormati dan menghargai antara mahasiswa dan dosen. “Komunikasi yang baik antara dosen dan mahasiswa menjadi solusi yang baik untuk mengurangi tindakan kekerasan,” papar Dosen Bahasa Perancis tersebut, Rabu (20/11). Kode Etik Dosen di UIN Jakarta Kode etik dosen di UIN Jakarta mengacu pada Peraturan Dirjen Pendidikan Islam (Diktis) Kementerian Agama (Kemenag) tahun 2010 tentang Kode Etik Pegawai di Lingkungan. Salah satu pejabat UIN Jakarta yang tidak ingin disebutkan namanya menuturkan, sejauh ini UIN Jakarta telah melakukan berbagai tindakan untuk mencegah pelanggaran kode etik dosen. Ia melanjutkan, pelanggaran kode etik dosen di UIN Jakarta ditangani oleh pihak yang berbeda. Dosen yang melakukan pelanggaran ringan, akan diberi peringatan lisan oleh dewan kehormatan di fakultas. Untuk pelanggaran yang lebih berat, pihak rektorat yang mengadili dosen tersebut dan pelanggaran paling berat akan dibawa ke Kemenag untuk diberi sanksi yang setimpal. Sanksi yang diberikan Kemenag pun tidak jauh berbeda dengan sanksi yang
3
yang dikirimkan dari Kementerian Agama (Kemenag) atau dari biro kepegawaian. “Karena sering kali dosen yang dikirim justru tidak sesuai dengan kebutuhan kita,” ucapnya saat ditemui di Ruang Dekan FITK, Senin (18/11). Terlebih lagi, menurut Nurlena, dalam mengangkat dosen honor atau kontrak sudah sangat sulit karena UIN Jakarta sudah memberlakukan Beban Kerja Dosen (BKD). Dalam aturan BKD, dosen hanya boleh mengajar 9-16 Sistem Kredit Semester (SKS) saja per semesternya, sehingga tidak memungkinkan adanya dosen honor. Apa yang dirasakan FITK ternyata dialami pula oleh Fakultas Psikologi. Menurut Fadhilah Suralaga, Wakil Dekan I (Wadek) Bidang Akademik, Fakultas Psikologi mengalami kekurangan dosen. “Terutama dosen Mata Kuliah Dasar Umum (MKDU), seperti Kewarganegaraan, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Statistik, dan lainnya,” tuturnya, Kamis (21/11). Fadhilah menambahkan, untuk meningkatkan kompetensi dosen fakultas banyak melakukan usaha baik usaha internal dan eksternal. Usaha internal yang dilakukan oleh fakultas di antaranya adalah mengadakan kajian untuk memperkaya kemampuan dosen dalam bidang Statistik Kuantitatif, Psikologi Islam, dan Tafsir Alquran. Selain itu, Fadhilah juga menambahkan, fakultas juga mendorong para dosen untuk aktif mengikuti pelatihan, workshop, short course, dan seminar hasil penelitian, baik yang berskala nasional maupun internasional.
ditetapkan Kemendikbud, antara lain penundaan pemberian hak dosen hingga pemecatan. Sementara itu, pejabat UIN Jakarta tersebut mengatakan, pelanggaran berupa pemukulan yang dilakukan dosen tidak dianggap sebagai pelanggaran kode etik dosen. “Pelanggaran yang dilakukan oleh dosen HI langsung ditindaklanjuti oleh polisi karena pelanggaran tersebut sudah termasuk tindak kriminal,” ucapnya di Gedung Rektorat. Menyikapi kode etik dosen di UIN Jakarta, Direktur Jenderal Pendidikan Islam (Dirjen Pendis), Nur Syam menuturkan, rektor UIN Jakarta sudah melakukan tindakan tepat dengan memecat dosen yang melakukan pelanggaran plagiarisme. “Hal ini bisa menjadi contoh bagi rektor lain untuk tidak segan-segan menindak dosen yang masih melakukan tindakan plagiat,” papar mantan rektor Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Surabaya, Jumat (22/11).
“Dosen akan diberi sanksi sesuai dengan kebijakan perguruan tinggi, bukan diberi sanksi oleh Kemendikbud”
LAPORAN UTAMA
Dewi Maryam
Pola Pengajaran di Era Kemajuan Teknologi
Muhammad Wahyu Syahputra mendapat tugas makalah dari dosennya. Saat dosen tidak menyarankan buku rujukan, tak jarang ia pun memilih jalan pintas dengan menyadur seluruh materi dari Blog alias copy paste. Alhasil, dalam dua jam, makalah bisa selesai. Perilaku mahasiswa yang doyan copy paste, diyakini Ketua Jurusan Teknik Elektro Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Wisnu Djatmiko sebagai dampak negatif dari perkembangan teknologi. “Mahasiswa lebih bergantung pada internet ketimbang buku. Hal ini dapat berujung kepada pembiasaan tindakan plagiat,” katanya saat ditemui di Ruang Kerjanya, Selasa (19/11). Budaya ini ternyata tidak hanya di kalangan mahasiswa Strata satu (S1), Wisnu berujar, mahasiswa setingkat S2 dan S3 pun berbuat demikian. Memandang paradoks yang merebak di dunia perkuliahan tersebut, Wisnu berpendapat bahwa para dosen harus memperbaiki pola pengajarannya. “Dosen semestinya memberi pengarahan kepada mahasiswa sebelum membuat karya ilmiah atau makalah. Mahasiswa diarahkan agar merujuk kepada penelitian yang sudah ada, sumber buku primer dan sekunder,” katanya. Wisnu pun menilai, dosen memberikan kebebasan mahasiswa untuk mengacu pada internet agar bisa melihat perkembangan ilmu yang dipelajari, karena dosen hanya memberikan dasar-dasarnya saja. Budaya diskusi pun perlu dibangun agar mahasiswa terasah
Foto: Azizah/INS
TABLOID INSTITUT Edisi XXIX November 2013
pola pikirnya. Pengamat Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Burhan Nurgiontoro mengatakan, pola pengajaran yang terpenting yaitu tidak ketinggalan zaman dan kontekstual. Artinya dosen maupun mahasiswa bisa memanfaatkan media teknologi yang sudah ada dan berkembang seperti sekarang. Bagi dosen, internet bisa digunakan untuk mengontrol karya ilmiah yang dibuat oleh mahasiswa. Misalnya seperti yang pernah dilakukan oleh Burhan. “Awalnya saya kagum dengan sebuah makalah salah seorang mahasiswa saya. Namun saya curiga. Akhirnya saya telusuri melalui mesin pencari di internet. Saya temukan bahwa makalah tersebut adalah karya seorang dosen. Hanya namanya saja yang diganti,” paparnya dengan nada kesal. Namun sayangnya, dosen malah kerap menyalahgunakan internet. Hal ini dilihat Wahyu Djatmiko dari fenomena dosen yang sering tidak masuk kelas dan hanya menugaskan mahasiswa membuat makalah yang kemudian dikirim melalui email. “Walaupun dosen menggunakan teknologi, seperti memanfaatkan email dan lain sebagainya. Kalau dosennya saja telat atau bah-
Mahasiswa berdemonstrasi karena kasus pemukulan dosen di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP), (23/10).
Kode Etik Tak Tegas Tindak Dosen Kriminal Adi Nugroho
Rabu 23 Oktober lalu, mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) berdemonstrasi di depan Lobi Gedung FISIP. Demonstrasi tersebut berlangsung karena kasus pemukulan Kepala Program Studi Hubungan Internasional (Kaprodi HI), Kiki Rizki kepada salah satu mahasiswa Prodi Ilmu Politik, Muhammad Sulthon.
“Dosen semestinya memberi pengarahan kepada mahasiswa sebelum membuat karya ilmiah atau makalah,”
kan tidak masuk kelas, bagaimana mereka mau memberi pengarahan kepada mahasiswa. Kalau dosennya sibuk dengan urusannya sendiri, kapan ada waktu untuk mengecek dengan teliti makalah yang diserahkan oleh mahasiswa. Jadi, pola pengajarannya itu yang penting,” jelasnya. Kalaupun dosen tak bisa bertatap muka dengan para mahasiswanya, Burhan menganjurkan
pihak dekanat. Dosen Salah, Patut Dihukum Mahmudah Fitriyah, Dosen sekaligus Kepala Program Studi (Kaprodi) Pendidkan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI), Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) menjelaskan, seharusnya dalam merumuskan kode etik, dosen bukan lagi pejabat kampus tetapi orang yang berada di luar sistem. “Kalau yang membahas kode etik dari pejabat kampus tentu tidak akan bersih. Masa dosen mengawasi dosen?” Ujarnya, Jumat (22/11). Selain itu, untuk menimbulkan efek jera kepada dosen, seharusnya masalah seperti plagiat dan pelanggaran kode etik lainnya diberitakan oleh media kampus. “Bukannya kita membuka aib orang, tetapi memberikan efek jera, agar dosen lain tidak melakukan hal yang sama,” tuturnya. Ia juga menyayangkan ketika kode etik dibuat, tapi tidak ada tindak lanjutnya mulai dari pengawasan, kontrol, dan evaluasinya. “Jadi percuma saja dibuat,” paparnya. Lebih jauh ia menilai sistem yang dibuat sudah baik. Namun, orangnyalah yang membuat sistem tersebut menjadi rusak. Ia mencontohkan, kasus dosen di salah satu fakultas yang ditutupi karena mempunyai kesamaan organisasi dengan petinggi UIN Jakarta dengan alasan mengotori organisasi. “Sebenarnya yang jelek itu bukan
Susur Diri Bersama Mada
Menurut kalian, apa sih yang disebut sedih itu? Sedih adalah nama untuk ketiadaan rasa gembira. Seperti halnya gelap, ia hanyalah nama untuk kosongnya ruang dari cahaya. pola pengajaran yang bersifat elearning. Dalam e-learning, dosen diwajibkan menyediakan website yang siap digunakan mahasiswa untuk acuan belajar yang dilengkapi dengan adanya buku dan karya ilmiah dosen yang bisa diunduh. Mahasiswa pun selain mendapat bahan ajar juga tetap mendapatkan arahan yang bersifat nonverbal atau tertulis dari dosen.
Septia Marisa, Dini Ismail, dan Siti Amaliyah sedang menyelesaikan tugas makalah di lorong Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK), Jumat (22/11).
Kepada INSTITUT, terkait kasus pemukulan dosen terhadap mahasiswa, salah satu pejabat rektorat mengatakan, pemukulan yang dilakukan oleh Kiki Rizki, Dosen FISIP, tidak bersinggungan dengan kode etik di Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta. Jika terbukti melakukan tindak kriminal berupa pemukulan terhadap mahasiswa, menurutnya, Kiki terjerat hukum pidana. Ia menjelaskan, etik bukan berada di ranah hukum, etik adalah semua perilaku di luar hukum yang menyangkut kepantasan, kepatutan publik berdasar kaidah norma agama. Kode etik mengatur tentang plagiat, tindak asusila, juga dosen yang mengajar dan memberikan penilaian yang tidak mempertimbangkan perkembangan mahasiswa. Jika ada dosen yang melakukan pelanggaran berat di kampus, Komite Etik UIN Jakarta akan memberikan berita acara kepada pihak Kementerian Agama (Kemenag) bahwa dosen yang bersangkutan melanggar akan terkena sanksi. Sanksi dapat berupa penurunan pangkat atau pemberhentian kerja. Setelah menerima berita acara, kata dia, Kemenag tidak langsung mengambil keputusan. Namun, dipelajari dan diverifikasi kembali. Berbeda halnya dengan pelanggaran ringan. Biasanya, pada tingkat fakultas, pelanggaran yang terjadi diselesaikan dengan memberikan surat peringatan atau teguran dari
RESENSI
TABLOID INSTITUT Edisi XXIX November 2013
Aditya Putri
Foto: Azizah/INS
4
organisasinya, tetapi orangnya,” tuturnya. Ketakutan Mahasiswa Sementara itu, salah satu mahasiswa, Muhammad Asep Saefullah, aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) cabang Ciputat sekaligus mahasiswa Fakultas Ushuluddin (FU) menyayangkan, saat proses pengajaran dosen masih membawa sentimen bendera organisasi dari luar kampus. Dirinya menilai, saat ini sedang terjadi krisis intelektual karena dosen melakukan plagiat. Banyak dosen yang tidak menerima tugas mahasiswanya ketika menjiplak dari internet, tetapi dosennya sendiri melakukan plagiat. Menurutnya, hukuman bagi yang melanggar kode etik juga harus tegas. “Dosen pun harus dikritik dan dinilai seperti dosen menilai mahasiswa,” ungkapnya, Jumat (22/11). Sementara, Lutfi Kamil Maulana, aktivis Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) cabang Ciputat menjelaskan, seorang dosen yang memang tidak mempunyai integritas, akhlak, dan etika seharusnya sudah diberhentikan menjadi dosen. “Jangan lagi dosen yang melanggar kode etik dilindungi,” tegasnya. Ia mengatakan, akibat mahasiswa berorientasi kepada nilai, dosen yang memanfaatkan hal itu bisa melakukan tindakan yang melanggar kode etik. Hal itu karena tidak ada kritik dari mahasiswa yang takut tidak diberikan nilai atau bahkan didrop out (DO).
Maka sakit, juga adalah nama. Sebutan manusia untuk melukiskan keadaan sepi, jauh dari rasa nikmat, tenteram, dan nyaman dari tubuhnya. Aku melanjutkan perjalanan menuju Desa Purnarasa, tempat sebuah taman bacaan berada. Di sana, aku ingin mencari buku Gunadarma. Gunadarma anak yang baik, ia tinggal bersama neneknya di sebuah gubuk, namun takdir sungguh membuatnya menjadi sebatang kara. Neneknya meninggal di hari terakhir Gunadarma mengantar sayuran ke pasar. Dalam kesendirian, Gunadarma berniat melakukan perjalanan panjang guna bertemu Mbah Linglung, gurunya. Mbah Linglung merupakan orang yang sakti mandraguna, yang bertemu Gunadarma di perjalanan menuju pasar. Gunadarma memberikan sebagian bekalnya kepada Mbah Linglung karena dirasa Si Mbah terlihat kehausan. Segala halangan ia lewati demi bertemu guru tercintanya, tak disadari, dalam setiap
perjalanan, ilmunya semakin bertambah. Ia berguru kepada alam. Aku mencari buku Gunadarma bersama enam orang sahabat yang sama-sama ingin tahu kelanjutan cerita si bocah pemberani, Gunadarma. Ibu guru Aminah keburu berhenti mengajar sebelum mengkhatamkan cerita itu kepada kami. Satu per satu temanku menghentikan perjalanan karena aral yang datang, kini bersisa hanya aku, Nia, dan Arya. Sesampainya di Desa Purnarasa, kami bertemu Ibu guru Aminah. Katanya, kamilah Gunadarma karena kami hidup dalam kesederhanaan, menghormati alam semesta, berbagi kepada sesama, bersemangat dalam belajar tak kenal usia, menghormati pendapat yang beda, menjalani hidup dengan cinta, dan berserah diri kepada-Nya. Ya, karena Gunadarma tak pernah ada
dalam buku. Beberapa waktu telah berlalu, aku kembali ke rumah, melanjutkan kehidupan dan terus mewarisi semangat Gunadarma. Karena aku adalah Mada, Yang memang hanya sebuah nama, Yang lahir dari gumpalan cerita jagat raya. Mada menjadi tokoh yang terjelma dari ide kreatif Abdullah Wong, novel setebal 243 halaman terbitan Makkatana (2013) ini menyuguhkan suatu yang berbeda dibandingkan novel bergenre petualangan lainnya. Plot maju yang dihadirkan membuat pembaca mudah memahami alur cerita. Begitu juga dengan penokohan, dengan menempatkan diri sebagai orang ketiga, penulis seperti ingin memberikan keleluasaan peran bagi para pembacanya dalam menyusuri tiap rangkaian cerita di dalam novel. Pembaca seakan dapat memilih akan mengikuti alur cerita dari sisi manapun yang disuka Novel Mada juga mampu mengobati kerinduan para pecinta karya sastra ‘tempo dulu’ yang sarat akan kata-kata indah nan berima, seperti gurindam. Belum lagi habis pada keunikan penyajian diksi, Mada juga disusupi berbagai cerita pendek yang hadir dari tokoh-tokoh lainnya, sehingga
CMS: Hubungkan Musik dengan Kehidupan
dengan membaca Mada, kau akan mendapatkan tak hanya satu melainkan banyak cerita bermakna. Dengan ringannya, Wong memberikan tambahan berupa pengetahuan ketuhanan, kesehatan, psikologi, kosmologi, biologi, antropologi, geografi, dan sosiologi tanpa membuat pembaca pusing dengan kata-kata yang berbelit. Hal itulah yang menjadikan Mada layak dibaca oleh berbagai kalangan dan lintas generasi. Namun, betapa bagusnya sebuah karya tentulah tetap memiliki kekurangan. Jika ditilik dari segi cerita, agaknya ada beberapa dialog Mada yang diceritakan tidak sesuai dengan umurnya, beberapa inkonsistensi penyebutan kata ganti, dan typo di sedikit diksi. Tetapi itu semua tidak begitu menggangu esensi dari cerita yang dihaturkan.
Judul Penulis Tebal Penerbit
: MADA, Sebuah Nama yang Terbalik : Abdullah Wong : 243 halaman : Makkatana
KOMUNITAS
KiilaS
Siti Ulfah Nurjanah
Aktivitas seni dan budaya di kampus Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta tidak lagi sehidup dulu. Di era pergantian tahun 90an dan 2000an, kampus meriah karena berbagai kegiatan seni dan budaya. Seperti adanya acara lesehan budaya selama sebulan penuh, acara program Music Award, dan lainnya. Hal itu diungkapkan oleh Rahmat Hidayatullah, mahasiswa yang mengecap dunia kampus di era tersebut. Karenanya, ia bersama Makyun Subuki, Risfana Faisal, Purwo Sasmito, Andikey Kristianto, dan seorang komposer Taufik Adam terinspirasi untuk mendirikan Ciputat Musik Space (CMS), pada Maret 2013. Rahmat atau yang akrab disapa Kemat bercerita, dalam kegiatan yang dilakukan, CMS menempatkan musik sebagai kebudayaan dalam konteks yang luas. Alhasil, kegiatan CMS tidak selalu soal keterampilan bermusik. “Musik hanya sebagai pintu gerbang saja,”
ujarnya, Jumat (15/11). CMS, tambahnya, selalu menghubungkan musik dengan berbagai aspek kehidupan. Misalnya, bagaimana hubungan musik dengan ekonomi, bagaimana hubungan musik dengan politik, dan lain sebagainya. Hal tersebut tergambar dari CMS Offline Series, yaitu kegiatan rutin CMS yang berlangsung sebulan sekali. Tepatnya, pada setiap Jumat minggu pertama. Kegiatan tersebut dibagi menjadi dua sesi. Pada sesi pertama, CMS menampilkan pemusik yang berasal dari Ciputat ataupun luar Ciputat. Kemudian, setelah mem-
Suasana acara CMS Offline Series. CMS biasa melaksanakan program rutin bulanan tersebut pada Jumat minggu pertama. Foto: Dok.CMS
b awa k a n dua lagu komposisi, para pemusik tersebut akan presentasi terkait dengan konsep karya mereka. Setelah itu, para penonton diperbolehkan memberikan masukan, saran, atau kritikan. “Pada sesi ini memang pure (tentang) musik,” jelas Kemat yang juga mantan Ketua Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Paduan Suara Mahasiswa (PSM). Sesi kedua yaitu diskusi tema. Pada sesi inilah CMS akan membincang musik yang dihubungkan dengan berbagai aspek. Misalnya saja, pada bulan April lalu, CMS mengusung tema diskusi Rock, Sound & Social Movement. Pada acara itu, selain Taufik Adam, CMS juga menghadirkan Arranger & Guitar Instructor of PETROF Music Education, Roy Haris Chandra. Diskusi tersebut membahas latar belakang dan konteks kelahiran musik rok di Barat. Harus dipahami, saat itu, musik rok bukan sekadar musik, tapi juga gerakan sosial. Kemat berharap, CMS bisa menjadi gerakan kebudayaan di UIN Jakarta. Sebuah gerakan yang mampu mengumpulkan bermacam steakholder yang mempunyai perhatian terhadap kebudayaan. Karena memang, menurut Kemat, salah satu tujuan CMS adalah untuk memfasilitasi komunitas-komunitas yang ada untuk mengartikulasi gagasan dan kemampuan
13
mereka. Menurut Kemal, CMS juga senantiasa memberi ruang bagi komunitas dan band sekitar kampus untuk tampil pada acara CMS. “Dan memang kita maunya nggak melulu soal musik. Tapi, karena brand-nya dari musik. Jadi, setiap acara, selalu ada pementasan musik” tambahnya. Kemat juga berharap, dengan adanya CMS, wawasan mahasiswa tentang musik bisa semakin bertambah, tidak hanya sekadar tahu cara bermain musik. Selain itu pula, diharapkan mahasiswa dapat sadar kalau tujuan ekonomi bukanlah hal utama dalam bermusik. Tujuan tersebut hanya konsekuensi dari kebudayaan dan aktivitas yang telah manusia bentuk. Karenanya, melalui CMS, Kemat ingin mahasiswa dapat menikmati musik sebagai hiburan tapi di saat yang sama juga menghayati musik sebagai pengetahuan dan keterampilan. Di samping itu, pencetus lain CMS, Makyun pun berharap, CMS dapat menggugah kesadaran seluruh sivitas akademika terhadap kebudayaan, terutama dosen. Karena sebenarnya, tuntutan atas kebudayaan tidak hanya milik mahasiswa, tetapi juga justru harus dimulai dari pendidik. “Jadi, nggak cuma ngajar, pulang, ngajar, pulang,” tegas Makyun yang juga Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK), Jumat (15/11).
Febi: Berkeyakinan Tidak Boleh Dipaksakan!
B
erapa banyak kekerasaan yang terjadi atas nama perbedaan keyakinan di Indonesia? Belum lama, terjadi kasus pengusiran pengikut ajaran Syiah dari tempat tinggalnya di Sampang, Jawa Timur. Selain itu, perusakan rumah ibadah jemaah Ahmadiyah oleh massa di Tasikmalaya, Jawa Barat. Kekerasan yang mengatasnamakan agama memang sering terjadi di Indonesia. Menurut Febi Yoneza, Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, kekerasan tersebut akibat penganut ajaran minoritas--Ahmadiyah dan Syiah--dicap sebagai penoda agama. “Mereka bukan menodai agama, mereka tetap percaya pada satu Tuhan,” papar Febi. Ia menegaskan, setiap orang berhak untuk berkeyakinan, berpendapat, dan berserikat. “Berkeyakinan tidak boleh dipaksakan,” tegasnya dalam Seminar Nasional Syiah dan Ahmadiyah dalam Perspektif HAM: Usaha Perlindungan Hak Minoritas di Indonesia, Kamis (14/11). (Gita Nawangsari)
WAWANCARA
Globalisasi Kikis Harkat Bahasa Indonesia Sebagai salah satu identitas bangsa, harkat bahasa Indonesia tentu perlu dilestarikan. Terlebih, di tengah gempuran globalisasi seperti saat ini. Disadari atau tidak, globalisasi cukup mereduksi kehormatan dan wibawa bahasa Indonesia sebagai bagian dari budaya bangsa. Berikut petikan wawancara Reporter INSTITUT, Muawwan Daelami dengan Peneliti Utama sekaligus Koordinator Peneliti Pusat Penelitian dan Pengembangan (Puslitbang) Kebudayaan dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), S. Dloyana Kusumah. Apakah Anda melihat bahasa asing membahayakan kelestarian bahasa Indonesia? Saya melihat, gempuran bahasa asing ini mengakibatkan terjadinya erosi kebanggaan terhadap bahasa Indonesia. Sehingga hal tersebut cukup membahayakan kelestarian bahasa Indonesia. Makanya anak-anak sekarang pakai bahasa Inggris enggak beres, bahasa Indonesia pun rancu. Di era globalisasi ini, apakah mempelajari bahasa asing menjadi keniscayaan atau justru ironi? Kalau saya sih seimbang saja. Pertama, kita harus eksis dan ikut percaturan global yang menuntut kita mempelajari bahasa asing. Kedua, kita juga harus punya ciri khas dan kebanggaan tersendiri terhadap bahasa Indonesia. Seperti yang tercantum dalam UUD 1945, bahasa negara itu bahasa Indonesia. Bagaimana Anda melihat penggunaan bahasa Indonesia di era globalisasi ini? Saya melihat, penggunaan bahasa Indonesia di era globalisasi
ini cukup membingungkan. Sebab, di satu sisi, saya bangga melihat anak muda sekarang berbahasa Indonesia. Namun, di sisi lain saya juga miris ketika pergaulan zaman sekarang cenderung mencampuradukkan bahasa Indonesia dengan bahasa asing. Meski begitu, hal itu masih wajar dan bisa ditolerir. Menurut Anda, apa faktor yang menyebabkan terjadinya percampuradukkan bahasa? Tentu, karena adanya gempuran nilai-nilai asing yang masuk ke Indonesia. Hal lain juga karena faktor lingkungan yang biasa mencampuradukkan bahasa karena ingin dipandang gaul, hebat, dan prestige. Tapi, saya lebih suka melihat orang yang konsisten dalam menggunakan bahasa. Tak hanya itu, saya juga berharap media lebih mengutamakan penggunaan istilah bahasa Indonesia di banding istilah asing. Apakah dampak yang ditimbulkan dari fenomena pencampuradukkan bahasa asing ini? Hal itu menunjukkan ketidak-
hormatan masyarakat Indonesia terhadap bahasanya sendiri. Kalau berbahasa Inggris, maka berbahasa Inggrislah pada tempatnya. Sebenarnya, fenomena seperti itu sudah biasa. Yah, namanya juga bahasa gaul. Tapi, ketika berbicara di forum formal gunakanlah bahasa Indonesia yang baik dan benar. Jadi, semua bahasa diperlakukan secara terhormat. Meski demikian, selama bahasa asing bisa memperkaya bahasa Indonesia, hal itu tidak jadi masalah. Tapi kalau menghancurkan, maka harus kita tahan. Lantas, apa upaya Kemendikbud untuk melestarikan bahasa Indonesia di tengah era globalisasi ini? Pertama, kita mengukuhkan ketahanan budaya kita. Kedua, Kemendikbud juga memiliki satu badan bahasa yang melakukan penelitian, inventarisasi, pengkajian, perlindungan, dan pemeliharaan terhadap bahasa daerah dan bahasa Indonesia. Tujuannya, agar bahasa-bahasa tersebut tidak hilang dan tereduksi oleh gejala-gejala
kekinian yang lebih mengutamakan pemahaman bahasa asing. Apakah upaya tersebut juga diterapkan dalam kurikulum? Seperti kita ketahui, Kurikulum 2013 memuat aspek seni budaya yang membincang masalah bahasa. Bahasa Indonesia adalah bahasa paling utama. Bahasa Indonesia juga masih memiliki peranan penting dalam kehidupan bangsa Indonesia. Bagi saya, lembaga pendidikan yang menerapkan kebijakan berbahasa asing itu bagus. Karena, kini, kita menghadapi era gobalisasi. Sebagai bahasa internasional, bahasa Inggris juga harus kita pahami jika ingin ikut percaturan global. Apakah, ke depan bahasa Indonesia punya potensi menjadi bahasa internasional di kawasan Asia? Sebenarnya, potensi itu ada. Tapi, untuk saat ini, saya menilai bahasa Indonesia belum cukup strategis menjadi bahasa internasional. Meski begitu, saya yakin bahasa Indonesia punya peluang karena di antara lima negara anggota ASEAN adalah berbahasa Melayu. Jadi, secara rumpun kebahasaan, kita punya kekuatan yang cukup besar. Mudah-mudahan, para pakar dan pemikir kebahasaan kita tetap mempertimbangkan baik-tidaknya bahasa Indonesia menjadi bahasa internasional di kawasan Asia.
Ia melanjutkan, hal demikian akan sangat membahayakan bagi perguruan tinggi, begitu pun bagi daya belajar mahasiswa. Seharusnya, kata Jimmy, ketika mereka memilih untuk menjadi dosen, mereka tahu apa yang akan mereka lakukan nanti. Jimmy menuturkan, mungkin alasan dosen yang terjun ke dunia politik adalah ingin melakukan perubahan. “Tapi, perlu diingat, hal itu akan menguras waktu dan tenaga, dan itu akan mengganggu fungsi dia sebagai dosen,” katanya. Sedangkan bagi dosen yang berlari ke dunia bisnis dengan alasan kesejahteraan, menurutnya, itu hanyalah omong kosong belaka. “Dosen itu banyak tunjangannya, apalagi yang Pegawai Negara Sipil (PNS),” ujar Dosen Bahasa Perancis ini.
Terkait dengan kendurnya orientasi intelektual para dosen, lanjutnya, pemerintah dan perguruan tinggi harus hati-hati dalam merekrut dosen. Pemerintah juga seharusnya mencari solusi agar dosen tidak lari dari profesi kedosenannya. Menurutnya, untuk melahirkan dosen yang loyal dan berintegritas tidak mudah dan butuh waktu. Meski demikian, Jimmy percaya masih ada dosen yang melakukan tugasnya dengan benar dan mengamalkan tridarma perguruan tinggi. Namun, Jimmy mempertanyakan konsistensi dosen tersebut. “Jika dia sudah mencapai titik jenuhnya dan beralih ke profesi lain, maka kita tidak bisa melakukan apa-apa,” katanya. Sistem Monoton Sementara itu, Staf Ahli Komi-
si X Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Akhmad Danial menuturkan, hal yang menyebabkan para dosen merambah dunia politik, administratif, dan bisnis adalah sistem yang monoton. Di semua perguruan tinggi, kata Danial, semua dosen hanya melakukan kegiatan itu-itu saja. “Sistem di negara kita tidak menyediakan waktu luang untuk dosen, kemungkinan hal itu yang menyebabkan para dosen merasa jenuh dan lari,” kata Danial. Ia menjelaskan, waktu luang sangat penting untuk dosen, waktu itu bisa digunakan membuat penelitian maupun hanya sekadar berkontemplasi. Menurutnya, ada tiga jenis dosen. Pertama, mereka yang terpaksa menjadi dosen karena tidak ada pekerjaan lain. Kedua, mereka yang sungguh-sungguh menjadi
Sudarnoto: Ini Bukan Plesiran Nur Azizah
Sekitar pukul 09.00 WIB, Wakil Rektor (Warek) III Bidang Kemahasiswaan, Sudarnoto Abdul Hakim beserta stafnya berangkat dari Bandara Soekarno-Hatta menuju Bandara Kuala Namu, Medan pada Kamis (7/11) lalu. Keberangkatan itu bertujuan untuk menjalin silaturahmi dan berdialog tentang lembaga kemahasiswaan dengan tiga universitas di Medan. Namun, dialog yang juga memboyong para ketua Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) itu menuai kontroversi. Foto: Dok.FLAT
Sambungan, Dosen Eksodus... Baginya, fenomena kampus kosong sebenarnya bukan hanya persoalan individual dosen tapi juga persoalan kolektif. Untuk menyelesaikan masalah ini, kata Agus, harus ada kebijakan yang mendorong kembalinya iklim dan ekosistem akademik yang lebih jernih dan diadakannya kegiatankegiatan yang meningkatkan kesadaran para akademisi tentang risiko dan bahaya dari kosongnya kampus. Sementara itu, Dosen Universitas Negeri Jakarta (UNJ) sekaligus aktivis pendidikan di Sekolah Tanpa Batas (STB) Jimmy Ph. Paat mengatakan, dosen yang lari ke dunia politik, administratif, dan bisnis akan memengaruhi fungsi mereka sebagai dosen. “Fungsi sebagai pengajar saja sulit mereka lakukan, apalagi melakukan penelitian,” ujarnya Rabu (20/11).
LAPORAN KHUSUS
dosen. Ketiga, mereka yang menjadikan profesi dosen hanya sebagai batu loncatan untuk mencapai profesi lain. Menanggapi masalah dosen yang nyambi menjadi politisi, Danial berkata, peraturan pemerintah sudah jelas, PNS tidak bisa menjadi politisi, sedangkan untuk dosen yang nonPNS sah-sah saja. Sementara untuk dosen yang menjadi birokrat, Danial menjelaskan, hal itu merupakan tugas tambahan bagi dosen karena dianggap mampu oleh perguruan tinggi. “Jika melihat peraturan pemerintah memang ada dua tipe, pertama tenaga pendidik, yaitu dosen yang mengajar. Kedua, tenaga kependidikan yaitu seseorang yang menjadi birokrat,” tuturnya saat ditemui INSTITUT di Gedung DPR Lantai 14, Kamis (21/11).
SELAMAT & SUKSES Atas Wisuda Aam Maryamah, S.Ip Divisi Dokumentasi 2012-2013 Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) INSTITUT UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Kunjungan ke Universitas Negeri Medan (Unimed), Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Medan dan Universitas Sumatra Utara (USU) itu dianggap sebagai ajang plesiran semata. Tak ayal, Ketua Komunitas Pecinta Alam (KPA) Arkadia, Fajar Ismail pun menolak untuk ikut dalam rombongan. Ia menilai kegiatan itu sekadar menghabiskan anggaran akhir tahun. Fajar menganggap tujuan dialog kemahasiswaan tidak jelas. Ia juga mempertanyakan soal akreditasi universitas yang hendak dikunjungi. Jika alasanya untuk berbagi informasi dan untuk komparasi, universitas yang paling tepat dikunjungi adalah Universitas Indonesia (UI) atau Universitas Gajah Mada (UGM). “Akreditasi UI jauh lebih baik dari Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta. Sudah World Class University pula. Ngapain jauh-jauh ke Medan?” Ujar Fajar, Kamis (7/11). Menanggapi tudingan yang tidak enak, Sudarnoto membantah soal plesiran. “Ini bukan plesiran. Ini dialog kemahasiswaan. Saya
tidak mau ambil pusing. Silakan mahasiswa mau bicara apa. Saya hanya ingin bekerja,” tegasnya, Senin (18/11). Ketika ditanya terkait pemilihan tempat kunjungan, Sudarnoto mengaku tak mempunyai alasan spesifik. Ia hanya mengatakan ingin melihat kampus-kampus yang selama ini tidak dipandang hebat. Awalnya, ia merencanakan ingin berkunjung ke Singapura atau Brunei Darussalam, namun anggaran yang disediakan tak mencukupi. Sudarnoto menjelaskan, selain untuk silaturahmi kepada sivitas akademika, tujuan dialog kemahasiswaan juga untuk bertukar informasi dan melakukan kerjasama. Pihak rektorat sengaja mengajak para ketua UKM, Senat Mahasiswa (SEMA), dan Dewan Eksekutif Mahasiswa (DEMA) agar mereka bisa menggali informasi tentang lembaga kemahasiswaan dari ketiga universitas tersebut. “Bermanfaat atau tidak, tergantung pada individu. Kami hanya memberi kesempatan dan sebagai fasilitator,” ujarnya.
Foto: INSTITUTERS
Tapi tujuan tersebut jauh dari harapan Ari Sumitro selaku Ketua Teater Syahid. Ia tak merasakan output yang bisa diambil dari dialog kemahasiswaan tersebut. Ia menyayangkan, keberangkatannya ke Medan tak mendapatkan apa-apa. “Saya kira di sana bakal ada kunjungan antar UKM satu ke UKM lainnya. Tapi nyatanya tidak ada,” ucapnya, Selasa (12/11). Sedikit berbeda dengan Ari, Ketua DEMA, Didin Sirojudin mengatakan, dialog kemahasiswaan sangat bermanfaat dan penting guna memperbaiki sistem organisasi kemahasiswaan di UIN Jakarta. Namun, ia menyayangkan waktu untuk berdialog hanya
Standar Akreditasi Jurnal Dinilai Berat Abdurrohim Al Ayubi
Penilaian akreditasi jurnal yang diberikan Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) kurang diapresiasi dan direspon oleh kemampuan dosen Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta. Pasalnya, kriteria penilaiannya tidak sama dengan dosen yang masih mengacu standardisasi lama yang dinilai tidak begitu ketat. Hal ini diungkapkan Dekan Fakultas Dirasat Islamiyah, Abudin Nata, Selasa (19/12). Abudin menambahkan, membuat enam edisi jurnal dalam tiga tahun yang ditulis 80 persen dari orang luar bukan hal yang mudah. Menurutnya, kesungguhan dan keseriusan dari dosen dalam menulis jurnal kurang. “Saya bukan melihat soal kemampuannya, melainkan kemampuan itu tidak secara sungguhsungguh. Saya katakan demikian buktinya kenapa Fakultas Syariah bisa? Berarti persoalannya pada kesungguhan, keseriusan, dan kemauan. Kemampuan sumber daya manusia Ushuluddin, Syariah, Dirasat itu kan sama,” ungkap Abudin. Menurut Abudin, jika aturan pembuatan jurnal masih mengacu pada peraturan lama, jurnal yang dimiliki oleh setiap fakultas sudah layak diakreditasi. Permasalahannya standar akreditasi yang ditetapkan Kemendiknas tidak stagnan. Akibatnya, jurnal yang diserahkan tidak terakreditasi. “Dengan analisis kriteria tadi rasanya cukup berat, di samping
sumber daya manusia kita yang mau menekuni juga terbatas kemampuannya. Belum lagi, tiga tahun ke depan ketika akan mengajukan akreditasi, maka jurnal yang mengacu pada aturan lama tidak masuk,” tambah Abudin. Senada dengan itu, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum (FSH), Amin Suma mengungkap kan, persyaratan jurnal untuk bisa diakreditasi begitu rumit penanganannya. Di sisi lain, anggaran yang dialokasikan universitas tidak banyak, sedangkan pembuatan jurnal membutuhkan dana tambahan 50 persen dari dana yang sudah dianggarkan. “Mengandalkan anggaran dari universitas saja dipastikan tidak cukup. Tapi itu bukan satu-satunya alasan bagi kita untuk tidak bergerak karena ini tantangan kita sebagai ilmuwan. Ada atau tidak ada kewajiban, ilmuwan itu harus menulis,” ungkap Amin. Menurut Amin, Dosen FSH tidak jauh berbeda dengan para dosen fakultas lainnya. Mereka
sebentar. Terdapat tiga UKM yang memutuskan tidak mengikuti kegiatan ini. Di antaranya UKM KPA Arkadia, Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) INSTITUT, dan Komunitas Mahasiswa Fotografi (KMF) Kalacitra. Transparansi Anggaran Dialog kemahasiwaan yang dihelat selama tiga hari itu mengahabiskan anggaran sebesar Rp79 juta. Hal tersebut disampaikan Bagian Administrasi Lembaga Kemahasiswaan, Faiziah. Namun, ketika dimintai laporan anggaran dialog kemahasiwaan, Faiziah enggan memberikan. “Kemarin saya sudah koordi-
nasi sama Pak Sudarnoto. Enggak boleh dikasih,” ujar Faiziah, Kamis (21/11). Faiziah hanya menyebutkan nominalnya saja. Tiket pesawat Lion Air menghabiskan Rp36,7 juta. Sedangkan penginapan harus mengeluarkan Rp12-13 juta dan Rp5 juta untuk uang saku Ketua SEMA, DEMA dan kedua belas Ketua UKM, masing-masing mendapat Rp300 ribu. Dalam sesi wawancara sebelumnya, Sudarnoto mengatakan, untuk laporan anggaran dialog kemahasiswaan silakan minta ke bagian yang bersangkutan. “Saya tidak tahu besaran dan sumber dananya. Coba tanyakan pada Pak Masruri atau bagian keuangan,” jelas Sudarnoto.
Sumber: fsh-uinjkt.net
12
TABLOID INSTITUT Edisi XXIX November 2013
“Harus bisa, karena jurnal merupakan simbol kemajuan universitas” (dosen) mempunyai kesibukan yang sama. Meski demikian, dibalik kesibukannya, mereka masih bisa membuat jurnal yang terakreditasi. “Itu saja patokannya, minimal dosen di UIN Jakarta sama dalam segala macamnya. Tetapi, masih bisa fokus dan jeli pada program yang sudah ada,” ujarnya. Amin menghimbau, agar fakultas diberi kebijakan otonomi seperti pada masa Azyumardi Azra menjabat rektor. Sehingga, fakultas bisa mandiri, “Mohon maaf mudah-mudahan saya masih bisa berbicara jujur. Di tengah era reformasi, di mana otonomi daerah begitu berkembang, kita justru sebaliknya,” tambah Amin. Amin
Jurnal Ahkam dari Fakultas Syariah dan Hukum yang sudah terakreditasi.
berharap, meski banyak jurnal yang belum terakreditasi, ke depannya jurnal di setiap fakultas UIN Jakarta bisa menjadi lebih baik. Sebab, menurutnya, jurnal merupakan tulisan yang paling mutakhir baik data maupun pikiran. Selain itu, keilmuan dunia akademik merupakan hal yang dibanggakan.
“Harus bisa, karena jurnal merupakan simbol kemajuan universitas. Mudah-mudahan dari sebelas fakultas yang ada, minimal separuh yang terakreditasi. Insya Allah FSH sudah mempersembahkan yang terbaik di balik kekurangan yang ada,” kata Amin.
5
6 KAMPUSIANA
Tak Perlu Mahal untuk Belajar Bahasa Asing
Adanya perdagangan bebas Asian Free Trade Areas (AFTA) membuat batasan antarnegara sudah tidak ada lagi. Persaingan akademis dan industri bukan lagi antardaerah, melainkan antarnegara. Kemampuan berbahasa asing pun menjadi suatu keharusan yang dimiliki oleh mahasiswa. Kini, belajar bahasa asing menjadi tren di kalangan mahasiswa.
Foto: Nabila/FAH
Suasana mahasiswa yang sedang belajar bahasa Turki di Fethullah Gulen Chair, Kamis (21/11).
hamdulillah, belajar semua bahasa itu enggak ada yang bayar, gratis, pengajarnya pun langsung native speaker,” ujar penerima beasiswa dari Turki ini, Selasa (19/11). Sejak 2012 lalu, Reza mengikuti kursus bahasa Turki yang diadakan Fethullah Gulen Chair. Menurutnya, bahasa Turki dapat menunjang dirinya untuk
berkesempatan studi pascasarjana (S2) ke Turki. Reza menuturkan, bahasa Arab diperolehnya dari pembinaan yang dilakukan di asrama Turki. Selain mengikuti kursus, Reza juga belajar secara otodidak. Ia banyak memanfaatkan teknologi internet untuk belajar bahasa asing, menurutnya, itu lebih praktis
Beasiswa Tak Jadi Halangan Berorganisasi Karlia Zainul
Karena senang menjadi relawan, di semester tiga Azis kembali mendaftarkan diri. Ia sudah mulai mengetahui ritme kegiatan Ma’had Ali. “Meskipun di asrama dikekang, tapi asalkan bisa ngatur waktu,” ujar pria asal Jombang, Jawa Timur ini. Sambil berorganisasi, mahasiswa jurusan Tafsir Hadist ini terus berupaya untuk mempertahankan Indeks Prestasi Kumulatif (IPK)-nya tetap stabil. Ia berusaha membagi waktu sebaik mungkin antara kewajiban di Ma’had Ali, organisasi, dan kuliah. “Saya ingin berorganisasi jadi harus tetap berusaha, soalnya nanti takut dicabut beasiswanya,” jelas Azis. Ia bisa kuliah di Jakarta karena beasiswa, oleh karenanya Azis berjuang untuk mempertahankannya. “Kalau saya enggak keterima di sini saya enggak bisa kuliah, soalnya beasiswa Bidik Misi itu kan buat orang-orang berprestasi tapi tidak mampu,” tuturnya. Momen paling berat baginya ketika baru menjadi angota muda KSR PMI. Selama satu bulan mengikuti ‘pengabdian’ ia banyak bolos kegiatan Ma’had Ali. Banyak kegiatan membuat Azis lebih sering izin. Akibatnya uang saku satu bulan tidak diberikan. Karena tidak mendapatkan
uang saku tersebut, Azis terpaksa harus menghutang. Kadang ia juga berpikir ingin bekerja dibanding berorganisasi. “Enggak punya uang, sedangkan ongkos hidup di sini dari beasiswa. Minta uang ke rumah enggak enak,” akunya. Perjuangan untuk mengikuti organisasi bukan hanya tidak menerima uang saku. Tapi juga kerap kali membuatnya harus melompati pagar Ma’had Ali jika pulang larut malam. Ia terpaksa kembali ke Ma’had Ali karena merasa tak enak hati tinggal di sekret. Meski harus membagi fokus ke banyak hal, ia sangat senang bisa berorganisasi karena mendapat banyak manfaat. Ia jadi bisa mengatur waktu. Selain itu berorganisasi mengajarkan cara berkomunikasi dan bersosialisasi. “Berorganisasi melatih kognitifnya dan langsung praktik,” kata Azis. Menurut Azis, ketika berorganisasi harus siap meluangkan waktu banyak. “Tapi berorganisasi memang harus mengorbankan waktu, Sabtu-Minggu harusnya istirahat kita harus aktif terus,” katanya. Sementara, penerima beasiswa Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Tutur Ahsanil Mustofa menuturkan selama ini bisa mengatur waktu antara organisasi, aka-
demik, dan kewajiban di asrama. Meski kegiatan organisasi dan pembinaan di Ma’had Ali seringkali bentrok, ia bisa mengatasinya, “Saya punya komitmen,” katanya. Meski begitu ia kerap harus bermain petak umpet jika terpaksa pulang larut malam. “Biasanya kalau lagi mempersiapkan acara,” jelas Tutur. Menurutnya, mahasiswa yang tinggal di asrama sekalipun bisa saja berorganisasi, asalkan dapat mengatur waktu.
Pembina asrama Ma’had Ali, Utob Tubroni mengatakan tidak membatasi mahasiswa berorganisasi, sepanjang tidak mengganggu program asrama. Jika terpaksa harus izin, mahasiswa bisa mengajukannya. “Maksimal izin seminggu mungkin masih kami tolerir,” ujarnya. Senada dengan Utob, Wakil Rektor (Warek) III Bidang Kemahasiswaaan, Sudarnoto Abdul Hakim mendukung mahasiswa mengikuti banyak kegiatan, termasuk berorganisasi. “Organisasi apapun silakan diikuti tapi harus bisa mengikuti aturan asrama sehingga bisa maksimal,” katanya. Menanggapi mahasiswa yang mengaku seringkali kesulitan dalam mendapat izin berorganisasi, Sudarnoto mengatakan,
Sang Putri yang Ingin Pensiun Dini
Ilmu Kebahasaan, melainkan juga mahasiswa jurusan lainnya. Seperti Alfian Novrizal, mahasiswa jurusan Pendidikan IPS yang sejak enam bulan lalu belajar bahasa Perancis di Le Cours De Francais A La Faculte Des Missionnarires De l’Islam Et Communication. Program tersebut diadakan oleh Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) Bimbingan Penyuluhan Islam (BPI). Untuk belajar bahasa Perancis, Alfian mengeluarkan kocek Rp100 ribu per bulan. Bahasa Perancis bukan hal yang baru baginya. Ia pernah belajar bahasa Perancis saat kelas tiga Sekolah Menengah Atas (SMA). Lulus SMA, tidak melunturkan keinginannya untuk menguasai bahasa Perancis, ia tetap belajar secara otodidak melalui internet dan buku. Kemampuan berbahasa Perancis menjadi modal dasar Alfian yang mempunyai cita-cita melanjutkan studi S2 di Perancis. Sekretaris Polyglot Indonesia (komunitas bahasa) Aryanie Amellina mengatakan, ada sekitar 7.015 bahasa di dunia. “Alangkah sayangnya kalau kita hanya bisa bahasa Indonesia saja. Padahal, jika kita bisa bahasa Inggris, sudah bisa berbicara dengan 50 persen masyarakat dunia,” ujarnya, Senin (18/11).
hal itu hanya karena mahasiswa kurang mengomunikasikannya. Menurutnya, jika mengajukan izin harus menggunakan surat resmi dari organisasi sebagai bukti. “Harus pakai cara yang baik,” paparnya. Ia juga menanggapi mahasiswa yang sering mangkir dari kegiatan Ma’had Ali, mahasiswa akan ditanya komitmennya. “Tidak siap menjalankan aturan tapi siap menerima beasiswa. Maunya begitu, enggak ada cerita mau uangnya tapi enggak siap mengikuti aturannya,” kata Sudarnoto. Mahasiswa harus memilih mengikuti aturan Ma’had Ali atau keluar. “Masih banyak temanmu yang berhak dan berkeinginan mendapatkan beasiswa itu,” tandas Sudarnoto.
Foto: Dok.Pribadi
Baru satu minggu mengikuti Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Korp Suka Rela (KSR) Palang Merah Indonesia (PMI) Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, Mahmudi Azis memutuskan untuk mengundurkan diri. Azis kewalahan sehingga memutuskan keluar. Ia tak bisa membagi waktu kewajiban di Ma’had Ali dengan organisasi.
dan efisien. Ia mengatakan, dirinya sedang memulai belajar bahasa Jepang lagi secara otodidak, setelah cukup lama vakum ketika ia lulus Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Sementara itu, Direktur IO Yeni Ratna Yuningsih mengatakan, program kursus bahasa Korea gratis merupakan kerjasama UIN Jakarta dengan Korea International Cooperation Agency (KOICA). KOICA mengirimkan guru dari Korea untuk mengajar bahasa Korea di UIN Jakarta. Program ini telah ada sejak 2011, dari sekitar 80 orang pendaftar hanya akan dipilih 14 orang untuk mengikuti kursus, salah satunya adalah Reza. Yeni menjelaskan, peserta yang terpilih akan dibina dan dijadikan bibit unggul. “Kami mencari mahasiswa yang bagus secara akademik dan yang mempunyai tujuan yang jelas ikut kursus, bukan hanya karena suka drama dan artis Korea. Penyeleksian pun dilakukan oleh guru Korea-nya langsung,” paparnya, Rabu (20/11). Menurutnya, mahasiswa UIN Jakarta jangan hanya jago kandang, tapi harus punya daya kompetitif yang tinggi, seperti di level regional atau internasional. Belajar bahasa asing bukan hanya kewajiban mahasiswa jurusan
Mahmudi Aziz sedang mengikuti kegiatan Korps Suka Rela (KSR) Palang Merah Indonesia (PMI) UIN Jakarta untuk mengajar Palang Merah Remaja (PMR) di SMP Subono Mantofani, Sabtu (18/5).
11
Kartika Berliana
Adea Fitriana
Sedari kecil, mojang Bandung bernama lengkap Kartika Berliana Tjakradidjaja ini tidak pernah menyangka dirinya bakal masuk 30 besar finalis Putri Indonesia 2013 dan dinobatkan menjadi Putri Indonesia DKI Jakarta II 2013. Di masa kanak-kanaknya, gadis yang kini menggemari dunia tari dan modelling tersebut dikenal sangat pemalu dan pendiam. Sebuah telepon panggilan audisi Putri Indonesia mengawali perkenalannya dengan ajang kontes kecantikan bergengsi tersebut. Saat itu, alih-alih merasa senang mendapat undangan audisi, Tika, sapaan akrabnya, malah kebingungan. Pasalnya, ia merasa tak pernah mengirimkan berkas pendaftaran apapun. Usut punya usut, tanpa sepengetahuan mahasiswi semester tujuh jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta ini, teman-temannya telah bekerja sama dengan sang bunda mengirim berkas yang dibutuhkan ke yayasan penyelenggara Putri Indonesia 2013. Setelah melalui seleksi berkas dan melewati tiga tahapan audisi yang menguji wawasan serta bakat yang dimiliki, Tika akhirnya berhasil menyingkirkan sekitar 800 perempuan lainnya se-DKI Jakarta dan masuk sebagai 30 Finalis Putri Indonesia 2013. Kini ia menyandang gelar Putri Indonesia DKI Jakarta II 2013. Meski tidak menjadi Putri Indonesia 2013, tidak ada gurat kecewa sedikit pun di wajahnya. Menurutnya, sejak masa audisi hingga sepuluh hari karantina bersama tiga puluh besar finalis Putri Indonesia banyak sekali pelajaran yang ia dapatkan. “Mereka (finalis Putri Indonesia 2013) pintar, berprestasi, dan banyak yang berkuliah di universitas ternama, namun tetap low profile, berpikiran terbuka, dan out of the
box,” ujar Tika, Selasa (12/11). Ingin Pensiun di Umur 30 Tahun Pada Oktober 2013 lalu, Tika juga didaulat sebagai Duta Small and Medium Enterprise Company (SMESCO) yang bergerak dalam bidang Usaha Kecil dan Menengah (UKM) di bawah naungan Kementeriaan Koperasi dan UKM Republik Indonesia. Namun, meski tugas Putri Indonesia dan juga tugas duta cukup memakan waktu, mahasiswa yang bercita-cita menjadi Chief Executive Officer (CEO) perusahaan swasta asal Jerman ini ternyata diam-diam tengah dalam proses merampungkan bab empat skripsinya. “Kalau model lain di backstage sibuk dandan, aku ngerjain skripsi. Aku ingin cepat menyelesaikan studi dan pensiun di umur 30 tahun. Karena itulah saat ini, aku kerja keras agar ketika pensiun dini sudah punya segalanya untuk masa depan keturunanku,” papar Tika. Robert Kiyosaki merupakan jutawan dunia yang menjadi sumber inspirasi terbesar Tika. Pengusaha yang pensiun di sekitar usia 20 tahun itu mengilhami Tika untuk mapan di usia muda. Baginya, kemapanan ekonomi tidak dapat dipungkiri menghantarkan seseorang dekat dengan keluarga dan juga dengan Tuhan. “Pekerjaan apapun pasti melelahkan. Namun bila menjalani dengan passion, kita akan tetap menikmati. Seperti saya yang tetap
Mucle, Mengemas Hiburan Menjadi Tanggung Jawab Nurlaela
Sejak kecil, dunia panggung bagi Mukhlas atau yang biasa dikenal Mucle bukanlah hal yang aneh. Kebiasaannya yang selalu tampil berani dan percaya diri di hadapan banyak orang membawa mahasiswa jebolan Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, Fakultas Syariah dan Hukum (FSH) ini menjadi seorang aktor, komedian, presenter, dan bintang iklan yang selalu wara-wiri di televisi. Bagi Mucle, kebiasaan tersebut muncul begitu saja ketika dirinya tengah mengenyam dunia pendidikan selama enam tahun di Pondok Pesantren Darunnajah, Jakarta Selatan. “Biasanya kan kalau di Pondok Pesantren kita (santri) dibina untuk berani, percaya diri berbicara di depan umum, seperti latihan pidato,” ujarnya. Tak hanya itu, Mucle bercerita, kecintaannya terhadap musik juga yang membawa dirinya sering tampil di depan umum. Memasuki dunia kampus, saat semester tiga, Mucle bertemu dengan teman-teman yang memiliki hobi sama. Ia pun kembali meneruskan kegemarannya di dunia musik. Dari situlah ia memulai kembali bermain musik dari satu panggung ke panggung lainnya. Hingga akhirnya, dari kegemaran tersebut membawa Mucle menuju dunia teater. Saat menjadi mahasiswa, Mu-
cle pun sempat bergabung di Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Teater Syahid. “Awalnya saya hanya menggarap musik saja, lama kelamaan akhirnya saya dapat peran juga,” tuturnya sambil menyimpulkan senyum, Jumat (15/11). Tak hanya mengembangkan bakatnya di dunia teater, ia juga tergabung di UKM Himpunan Qori dan qoriah Mahasiswa (Hiqma) untuk mengembangkan bakat qiraah dan tilawaahnya. Dengan berbagai talenta yang dimiliki Mucle, akhirnya setelah menamatkan pendidikannya di UIN Jakarta pada tahun 1997. Kemudian, ia diajak oleh temannya untuk menjadi seorang penyiar di radio Suara Kejayaan. “Radio itulah yang telah melahirkan beberapa komedian seperti Patrio, Bagito, Komeng dan lainlain. Kebetulan sayalah yang jadi generasi terakhir radio tersebut
menekuni passion di dunia tari dan modelling selama bertahun-tahun, namun juga tetap fokus pada kewajiban,” ujar remaja yang mengaku kerap tidur hanya dua atau tiga jam dalam sehari ini. Tanggapi Komentar Miring Tika tak menampik banyaknya pandangan negatif dari sejumlah pihak di UIN Jakarta terkait terpilihnya ia sebagai 30 besar finalis Putri Indonesia. Komentar bernada miring pun ia akui acap kali mampir di telinganya. Kondisi ini terus berlangsung, terlebih sejak ia pada akhir September lalu terpilih sebagai Miss Indonesia International Motor Show (IIMS) 2013. Pemberitaan sejumlah situs berita online yang memberinya predikat Miss Sales Promotion Girl (SPG) pada acara yang dihelat di Kemayoran itu memperparah keadaan. “Bila ada komentar negatif, yaa let it flow aja. Urusan aku di dunia ini hanya bagaimana membahagiakan orang tua, bertanggung jawab sebagai anak, dan memenuhi kewajiban sebagai hamba Allah. Di luar itu, biarkan saja, yang penting aku tetap bersikap baik,” tutur Tika santai. Tika juga menyayangkan komentar miring beberapa pihak terkait kerudung yang tidak dikenakannya saat mengikuti berbagai ajang tersebut. “Aku tetap menjalankan ibadah dan berusaha untuk tidak menyakiti orang lain. Banyak kan orang yang gembargembor muslim, namun nikah lagi dan korupsi,” tandasnya. sebelum akhirnya bubar,” ungkapnya saat di temui INSTITUT di Gedung TVRI. Awalnya, Mucle mengaku, dirinya belum tertarik untuk terjun di dunia televisi. Namun, akhirnya pria kelahiran Agustus 1969 ini bertekad untuk mengembangkan bakat lain yang dimilikinya. “Yang penting saya enggak mau jadi pegawai negeri,” candanya. Hingga, pada tahun 1997, ia pun sudah mulai menghiasi layar televisi. Beberapa film layar lebar yang pernah ia bintangi, yaitu Masih Bukan Cinta Biasa (2011), Kejarlah Jodoh Kau Kutangkap (2012), Bukan Pocong Biasa (2012), Udin Cari Alamat Palsu (2012), dan Masih Cinta Biasa. Menurut Mucle, dari keseluruhan film yang ia bintangi, semua pasti punya sisi keunikan. Misalnya, seperti di film Bukan Cinta Biasa ia berperan sebagai seorang ustaz, dan dalam film Kejarlah Jodoh Kau Kutangkap ia berperan sebagai marbut masjid yang memiliki wawasan luas tentang teknologi. Tak hanya membintangi beberapa film layar lebar, ia pun mengembangkan bakat lainnya seperti menjadi seorang presenter acara di tahun 2012. Hingga kini, ia masih menjadi presenter acara Dewan Pers di TVRI. Tanggung Jawab Menurut ayah tiga anak ini,
Foto: Dok.Pribadi
Nama : Kartika Berliana Tjakradidjaja Lahir : 1 Juni 1992 Pendidikan Kini : Mahasiswi Semester 7 Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) UIN Jakarta Prestasi : - Putri Indonesia DKI Jakarta II 2013 - Duta SMESCO 2013 - Miss IIMS 2013
profesi sebagai seorang entertainer adalah sebuah pekerjaan dan tanggung jawab. “Biar saja orang memanggil saya komedian, artis, presenter, itu sebutan buat mereka saja,” tandasnya. Yang terpenting, lanjut Mucle, adalah bertanggung jawab dalam setiap melakukan pekerjaan. Ia mengaku tengah bertanggung jawab membenahi komedi yang sudah kelewatan belakangan ini. Ia menambahkan, komedian sekarang sudah mulai mengarah
penting, jadi, meskipun dalam dunia hiburan menjadi landasan yang utama tapi, tetap tidak melupakan pesan dan nilai. “Jadi, akan lebih bagus lagi kalau setiap pelawak punya pemikiran yang sama seperti saya. Dia tidak mau sembarangan terima pekerjaan yang tampartamparan. Saya udah enggak mau kayak gitu, karena kita (komedian) punya tanggung jawab moral,” tegas Mucle. Selain itu, Mucle menegaskan
Foto: Dok.Pribadi
Anastasia Tovita
Tak cukup hanya menguasai bahasa Inggris, kini, banyak mahasiswa mulai mempelajari bahasa asing lainnya. Di Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta sendiri ada lembaga yang membuka program kursus bahasa asing gratis seperti International Office (IO) dan Fethullah Gulen Chair, atau pelatihan bahasa asing yang diadakan oleh beberapa Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM). Contohnya saja, mahasiswa jurusan Bahasa dan Sastra Inggris (BSI) Reza Abdul Aziz yang kini tengah mempelajari lima bahasa asing, yaitu Arab, Turki, Korea, Jepang, dan Inggris. Sebagai mahasiswa linguistik, Reza merasa perlu untuk mempelajari bahasa asing. Hal tersebut, lantaran mendukung cita-citanya untuk bisa meneliti bahasa di Asia. Ketertarikannya dengan dunia bahasa dimulai sejak kelas empat Sekolah Dasar (SD), saat Reza kecil sering menonton film kartun berbahasa Inggris. Baginya, kemampuan ini memperbesar peluang agar karya, gagasan, dan bakat mahasiswa Indonesia dapat dilihat oleh masyarakat dunia. “Al-
SOSOK
TABLOID INSTITUT Edisi XXIX November2013
Nama TTL Almamater Pekerjaan
: Mukhlas alias Mucle : Jakarta, 26 Agustus 1969 : Jurusan Muamalah Jinayah, Fakultas Syariah dan Hukum (FSH), Universitas Islam Negeri (UIN). : Aktor, Komedian, Presenter
ke kekerasan fisik. “Misalnya, pelecehan terhadap orang lain dengan melempar tepung,” kata mantan Ketua Hiqma ini. Ia menyayangkan, kini dunia komedi justru diwarnai hal-hal seperti itu, jauh dari nilai dan pesan yang mendidik. Mucle menyarankan, pendidikan itu
bahwa profesi seorang komedian itu tidaklah ‘sempit’. Hal itu dikarenakan, untuk menjadi seorang komedian haruslah cerdas. “Seorang komedian, harus tanggap menangkap kata-kata yang bisa diubah menjadi lucu, serta tidak menyakiti perasaan orang lain,” pungkasnya.
10 TUSTEL
TABLOID INSTITUT Edisi XXIX November 2013
Antusiasme Mahasiswa Terhadap Seminar
Suntikan Semangat di Hari Anak Sedunia Foto dan teks oleh Muawwan Daelami
Selain mengikuti kegiatan perkuliahan, mahasiswa juga disuguhkan dengan berbagai seminar. Antusiasme mahasiswa untuk mengikuti seminar pun cukup besar, hal itu bisa dibuktikan hampir setiap hari acara seminar dengan berbagai tema terselenggara di Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta. Manfaatnya tak lain untuk memperoleh ilmu pengetahuan, motivasi, inspirasi, dan jaringan.
Potret Keceriaan
Terapi
Bermain Tali
Dalam Kurungan
Belajar Membaca
SURVEI 7
TABLOID INSTITUT Edisi XXIX November 2013
Dunia anak selalu identik dengan dunia bermain. Hampir setiap hari, anak-anak selalu menghabiskan waktu mereka untuk bermain. Bahkan, seusai sekolah, mereka langsung bergegas menuju tempat di mana sebuah permainan digelar. Tak peduli perut keroncongan, yang terpenting dahaga bermain terpenuhi. Yah, dunia bermain memang tak pernah lepas dari dunia anak-anak. Pemandangan berbeda terlihat di Yayasan Sayap Ibu. Yayasan yang berlokasi di kawasan Bintaro ini menyantuni dan merehabilitasi anak-anak cacat telantar. Anak-anak di sini, mungkin tak bisa bermain layaknya anak pada umumnya. Jika Anda berkunjung ke sana, mungkin, perasaan pilu akan seketika menyusup ke relung hati. Karena di yayasan tersebut, Anda akan melihat anak-anak terlahir dalam kondisi yang bisa dikatakan kurang beruntung. Mulai dari cacat fisik hingga mental. Terkadang, kecacatan tersebut menjadi faktor utama kenapa anak-anak cacat kerap ditelantarkan. Mungkin, bagi sebagian orang tua, memiliki anak cacat hanya akan menjadi aib keluarga atau juga karena orang tua tak kuat mendengar cemoohan orang lain. Tapi, rasanya, kita juga perlu bersikap arif. Karena jika boleh memilih anak-anak cacat ini juga tak ingin terlahir dalam kondisi demikian. Anak merupakan titipan Tuhan. Sejatinya, kita yang dititipi bisa menjaga amanah tersebut. Kita memang tak pernah tahu akan dianugerahi anak seperti apa. Namun, jika boleh memilih, anak-anak cacat ini tentu ingin terlahir sempurna. Meski, memiliki kelainan, anakanak cacat ini tetap bersemangat untuk pulih agar bisa bermain seperti anak seusianya. Proses penyembuhan pun gencar dilakukan pihak yayasan melalui proses terapi sampai operasi. Semoga, momentum Hari Anak Sedunia, Rabu (20/11) lalu, dapat memberikan suntikan semangat bagi anakanak cacat ini untuk tetap bermain dan menikmati hidup.
Pada pertengahan November 2013, INSTITUT menyebarkan survei kepada 100 mahasiswa dari seluruh fakultas di UIN Jakarta guna mencari tahu tema yang paling menarik dan diminati mahasiswa untuk hadir dalam acara seminar. Selain itu survei tersebut juga mencari tahu tujuan mahasiswa hadir dalam seminar, serta waktu yang paling diminati di tengah-tengah kesibukan sebagai mahasiswa. Survei ini diharapkan dapat bermanfaat dan menjadi tolak ukur bagi lembaga dan organisasi yang sering mengadakan seminar di UIN Jakarta. Baliho menjadi salah satu media yang paling banyak digunakan mahasiswa untuk mendapatkan informasi tentang seminar. Selain itu, isu nasional atau kampus juga menjadi materi yang digemari oleh mahasiswa. Materi seminar yang menarik menjadi salah satu alasan mengapa mahasiswa sering mengikuti seminar.
?
13%
Survei ini dilakukan oleh Lembaga Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) INSTITUT UIN Jakarta
8 OPINI
TABLOID INSTITUT Edisi XXIX November 2013
Peran Agama dalam Kemajemukan dan Ke-Bhineka Tunggal Ika-an Oleh: Nurhidayat*
Indonesia terbangun di atas struktur masyarakat yang beragam, baik secara ras, suku, etnis, adat istiadat, dan bahasa. Keragaman inilah yang kemudian menjadikan Indonesia memiliki kemajemukan tertinggi di dunia sehingga disemboyankan menjadi Bhineka Tunggal Ika. Secara sosio-kultural, Indonesia memang beragam, namun kemudian tidak menjadikan Indonesia menjadi terpecah belah. Kondisi ini meniscayakan kehidupan berbangsa dan bernegara yang jauh dari dominasi identitas tertentu, yang pada gilirannya akan meleburkan kemajemukan. Gagasan Bhineka Tunggal Ika ini kemudian dikemas dalam satu wadah yang bernama Pancasila. Isi dari Pancasila adalah bentuk representasi dari kepentingan dan kebutuhan masyarakat nasional sebagai warga negara yang juga salah satu komponen penting dalam sebuah negara. Jika mengintip dalam sebuah gerakan, Pancasila adalah sama, dengan
apa yang disebut sebagai nilai dasar pergerakan atau perjuangan. Terlepas dari semua itu, dalam perjalanan panjang sejarahnya, Indonesia tidak kemudian mengalami deviasi, kemajemukan negara masih terkungkung dalam satu kalimat Bhineka Tunggal Ika. Namun, kemudian muncul wacana baru mengenai masyarakat majemuk (plural society) seperti yang dijelaskan Furnivall (1940). Adalah kehidupan masyarakat yang berkelompok-kelompok dan berdampingan secara fisik, tetapi terpisah karena perbedaan sosial yang tidak tergabung di satu unit yang integral. Kita dapat mencermati betapa urbanisasi dan industrialisasi yang berjalan dengan sendirinya mengikis unsur-unsur kemajemukan. Namun, di lain sisi menguatkan aspek-aspek primordialisme terutama di daerah perkotaan seperti Jakarta, Medan, Batam, dan kota besar lainnya. Ironisnya, kemajemukan primordialisme ini melaju bersamaan dengan kemajemukan sosial
* Beberapa hari yang lalu, saya ngobrol dengan salah satu mahasiswa yang aktif berorganisasi di Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta. Dalam obrolannya, saya sempat melontarkan pertanyaan tentang kegiatan rektorat dan beberapa perwakilan dari lembaga kemahasiswaan yang melakukan studi banding ke Medan. Namun, saya sedikit kecewa dengan respon dari mahasiswa tersebut yang mengatakan, “Kalau memang melakukan studi banding, lantas permasalahannya apa?” Hingga akhirnya muncul pertanyaan di benak saya, apakah mahasiswa tersebut tidak mau mengetahui lebih dalam tentang maksud dan tujuan pelaksanaan studi banding? Atau mungkin mahasiswa itu beranggapan bahwa kegiatan tersebut dianggap biasa dan lumrah. Berangkat dari situlah saya mulai mencari tahu maksud dan tujuan rektorat melakukan studi banding. Layaknya anggota dewan, rektorat pun punya cerita sendiri soal studi banding. Kesimpulannya, studi banding yang dilakukan oleh sembilan perwakilan rektorat dan 19 perwakilan lembaga kemahasiswaan selama tiga hari ‘kurang bermanfaat’. Bahkan ada anggapan
ekonomi dari masyarakat kota itu sendiri. Sebagai akibatnya, transformasi masyarakat agraris ke dalam masyarakat industri melahirkan masyarakat majemuk berwajah ganda yang berpotensi menimbulkan konflik. Secara garis besar, sumber potensi konflik bisa dibagi menjadi tiga bagian: pertama perebutan sumber daya alat-alat produksi, dan kesempatan ekonomi (access to economic resources and meand of production). Kedua, perluasan batasbatas kelompok sosial budaya (social and cultural borderline expansions). Ketiga, benturan politik, ideologi, dan agama (conflict of politic, ideology, and religious interest). Dari ketiga potensi ini nampaknya secara serempak menggiring konflik di berbagai daerah yang berlangsung hingga saat ini. Peristiwa Sampang, tawuran antarpelajar, dan baru-baru ini tragedi nahas di Sukabumi. Hal ini adalah bukti nyata historis yang sesungguhnya mencerminkan ketidakmampuan masyarakat dalam mengelola kon-
flik dalam struktur masyarakat yang semakin plural. Akibatnya, makna Bhineka Tunggal Ika kian terkikis. Peperangan antarkelompok, suku, dan agama menjadi sarapan keseharian yang selalu menghiasi layar kaca. Agama yang mestinya mampu meredam keadaan ini dan juga menjadi norma serta nilai dalam membentengi umat manusia justru dialihfungsikan menjadi politisasi agama. Bagaimana agama dipaksakan menjadi sebuah negara yang dianggapnya mampu menjawab keadaan masyarakat yang kian tidak mencerminkan semboyan Bhineka Tunggal Ika. Dari hal itu justru membawa dampak konflik pula di dalam identitas agama itu sendiri. Agama disadari sebagai salah satu faktor yang cukup memengaruhi konflik horizontal. Namun, harus digarisbawahi bahwa agama memiliki nilai-nilai luhur yang mampu mengatasi konflik. Keberhasilan ini dilatarbelakangi oleh elastisitas agama
dalam mengakomodasi dan dialektika terhadap kultur kehidupan masyarakat yang majemuk, baik dari segi etnis, budaya, dan agama. Ketidakmampuan agama dalam mengapresiasi nilai-nilai kultural yang mengakar pada tradisi masyarakat, akan mengakibatkan hilangnya elan vital agama yang bersifat holistik dan universal. Peran baru agama ini tentu saja membutuhkan kesadaran dan kerja keras berbagai kelompok penjaga akal sehat. Dari hal itu akan terjadi proses transformasi nilai-nilai dan ajaran agama. Di mana akan menjadi pendorong perubahan masyarakat yang mandiri dalam proses demokratisasi di Indonsia juga mengembalikan seboyan Bhineka Tunggal Ika sebagaimana tepatnya.
*Penulis adalah Pegiat Forum Kajian Piramida Circle Jakarta
OPINI 9
TABLOID INSTITUT Edisi XXIX November 2013
Ketuhanan Sebagai seorang warga Indonesia yang tengah mengeja sejarah bangsanya, saya terenyuh menyeksamai sejarah para founding fathers bangsa ini. Saya salut dengan kebesaran hati para bapak pendiri yang telah duduk bersama merumuskan pilar dan mendirikan negara kesatuan republik Indonesia. Tak mudah tentunya. Hemat saya, hanya mereka, para bapak pendiri, yang berani menyembelih rasa egois, melepaskan identitas primordial suku, etnis, agama, dan ideologi, sanggup bekerjasama membangun negara ini. Sejarah mencatat perdebatan sengit antara pihak nasionalissekuler dan nasionalis-muslim pada sidang BPUPKI, terutama mengenai hubungan negara dan agama (Fajar Ismail, 1999). Perdebatan tersebut akhirnya usai, dan jadilah kita negara kesatuan republik Indonesia. Kita adalah bangsa yang bertuhan. Dalam skala prioritas, hal terpenting tentulah didahulukan. Itulah kenapa sila pertama dalam Pancasila berbunyi “Ketuhanan yang Maha Esa”. Perdebatan sengit relasi antara agama dan negara terjawablah sudah. Namun, seiring berjalannya waktu, spirit
keberketuhanan yang menjadi asas negara Indonesia sebagai bangsa yang bertuhan, mengalami ekses, yakni dalam perilaku destruktif dan diskriminatif. Ajaran Tuhan menjadi kuda tunggangan meraih kepentingan. Kita terenyak menyaksikan umat beragama satu sama lain menghujat dan mencaci dengan mengatasnamakan Tuhan. Lagi, atas nama Tuhan, status negara republik Indonesia digugat. Kedengkian pun mendapatkan legalitasnya, “Inilah perintah Tuhan!”. Di Indonesia, kita punya jawaban legalformal atas pertanyaan, “Bagaimana cara bertuhan?”, yakni “Dengan mendaftarkan diri Anda ke dalam salah satu agama resmi dan diakui negara, yakni Islam, Katolik, Protestan, Budha, Hindu, dan--belakangan, setelah proses panjang-- Konghucu.” Dia, Sang Maha Besar, terperangkap ke dalam kotak sempit sistem dan pasal-pasal manusiawi. Mereka yang bertuhan namun memilih tak mendaftar agama resmi di atas, seperti agama ataupun aliran kepercayaan di Nusantara: Ngesti Tunggal, Sumarah, Susila Budhi Dharma, Sunda Wiwitan, Buhun, Kaharingan, Tolottang, dan Bratasekawa, dimasukkan ke dalam
Bang Peka...
Oleh Rizqi Jong*
kan. Anehnya, perwakilan lembaga kemahasiswaan yang ikut hanya seolah-olah sebagai pengekor saja. Bahkan, di antara mereka merasa kebingungan, karena tak ada penjelasan secara detail tentang konsep dan persiapan apa saja yang harus dilakukan. Intinya, mahasiswa tinggal ikut saja. Kegiatan studi banding ini juga menunjukkan bahwa rektorat bersifat egois. Jika memang studi banding merupakan kegiatan bersama antara rektorat dan mahasiswa, kenapa dalam penentuan tempat dan konsep sama sekali tidak melibatkan mahasiswa. Jika rektorat punya itikad baik buat mahasiswa, alangkah lebih etisnya rektorat membuka ruang diskusi terlebih dahulu dengan mahasiswa sebelum menetapkan konsep dan tujuan studi banding. Selanjutnya, saya menganggap kegiatan studi banding ini membuang-buang anggaran. Bisa kalian cek ke bagian kemahasiswaan, untuk melaksanakan studi banding saja rektorat menganggarkan Rp79 juta yang diambil dari dana Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Negeri (BOPTN). Sebagaimana diketahui, BOPTN merupakan bantuan biaya dari pemerintah yang ditujukan kepada
REDAKSI LPM INSTITUT Menerima: Tulisan berupa opini, puisi, dan cerpen. Opini dan cerpen: 3000 karakter. Puisi 2000 karakter. Kami berhak mengedit tulisan yang dimuat tanpa mengurangi maksudnya. Bagi pengirim tulisan akan mendapat bingkisan menarik dari LPM INSTITUT. Tulisan dikirim melalui email: lpm.institut@yahoo.com
Kirimkan keluhan Anda terkait Kampus UIN Jakarta ke nomor 085242878868. Pesan singkat Anda akan dimuat dalam Surat Pembaca Tabloid INSTITUT berikutnya.
perguruan tinggi negeri untuk membiayai keberlangsungan dana operasionalnya PTN. Anggaran tersebut dialokasikan untuk membantu biaya operasional PTN seperti gaji honorer dan listrik. Bahkan di dalam dana BOPTN ada alokasi untuk membiayai penelitian. Bukankah sebelumnya penelitian di UIN Jakarta selalu terganjal karena minimnya anggaran? Keputusan rektorat melakukan studi banding dirasa kurang tepat, sebenarnya ada hal yang lebih penting ketimbang studi banding. Andai rektorat mau melihat secara detail kondisi sekretariat Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM), Dewan Eksekutif Mahasiswa (DEMA) ataupun Senat Mahasiswa (SEMA) maka terlihat jelas ada kebutuhan yang lebih urgen ketimbang studi banding. Patut digarisbawahi bahwa pelaksanaan studi banding kali ini mendekati akhir tahun dan tutup buku anggaran. Tidak menutup kemungkinan salah satu alasan rektorat melakukan studi banding ini agar tidak menyia-nyiakan anggaran, karena kalau tidak digunakan akan dikembalikan ke negara. Yang lebih parahnya lagi, ada anggapan bahwa studi banding ini
dijadikan proyek akhir tahun dan ajang plesiran. Sebagaimana tercantum dalam agendanya yang menyebutkan kunjungan ke salah satu tempat wisata untuk membeli oleh-oleh. Dan pejabat rektorat yang ikut pun dibekali uang sekitar Rp300 ribu lebih per hari. Ulah para pejabat kampus ini sudah meniru gaya anggota dewan yang melakukaan plesiran berbalut studi banding. Bisa jadi, kepentingan (untuk plesir) menjadi lebih dominan ketimbang mengambil manfaat atau pengetahuan yang bisa dialih-terapkan. Sebagai lembaga pendidikan, UIN Jakarta seharusnya memberi contoh yang baik buat mahasiswa. Karena bagaimanapun lembaga pendidikan akan melahirkan pemimpin untuk kemajuan bangsa. Jangan sampai mereka dikotori dengan mental-mental yang tidak selayaknya dilakukan. Studi banding memang bermanfaat selama tujuan dan maksudnya jelas. Namun, jika studi bandingnya tidak tepat dan disusupi dengan hal-hal yang kurang etis, patut dihentikan. *Penulis adalah mahasiswa UIN Jakarta.
RALAT Tabloid Edisi XXVIII pada Rubrik Sosok, paragraf lima hal.11 kolom 2. Tertulis “Hodary mendirikan Komunitas Galeri asap pada 2012 dan Komunitas Tonggak pada 2013 sebagai wadah untuk para pelukis.” Sebenarnya, di Komunitas Tonggak, Hodary bukan sebagai pendiri melainkan anggota.
Parpol Masuk Kampus
Oleh: Rahmat Kamaruddin*
Plesiran Berbalut Studi Banding studi banding ini merupakan ajang ‘plesiran’. Alasannya simpel. Pertama, tempat yang dijadikan tujuan studi banding tidak tepat. Kedua, studi banding ini bersifat dadakan. Ketiga, membuang-buang anggaran. Mari kita kupas satu persatu, kenapa tempat yang dijadikan tujuan studi banding dinilai tidak tepat? Perlu diketahui bahwa tempat tujuan dari studi banding seperti Unversitas Negeri Medan (Unimed), Universitas Sumatera Utara (USU), dan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sumatera Utara merupakan kampus-kampus yang akreditasinya di bawah UIN Jakarta. Bagaimana mungkin UIN Jakarta melakukan studi banding ke kampus yang kualitasnya lebih rendah? Kenapa tidak ke Universita Indonesia (UI), Institut Teknologi Bandung (ITB) ataupun Universitas Gajah Mada (UGM) yang jelas-jelas sudah menyandang gelar World Class University? Kemudian, studi banding ini juga bersifat dadakan. Menurut penjelasan yang disampaikan salah satu mahasiswa yang ikut studi banding, pihak rektorat baru menyampaikan surat edaran seminggu sebelum pemberangkatan. Hal ini menjadi bukti bahwa persiapan studi banding masih kurang dan cenderung dada-
EDITORIAL
Quote :
kategori aliran kepercayaan di bawah naungan Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata (tahun 2003). Perbedaan tafsir terhadap ajaran agama rupanya banyak menyisakan luka dan permasalahan kemanusiaan yang tak kunjung rampung. Mulai dari pembangunan rumah ibadah, hingga urusan pernikahan. Seorang kawan yang sempat menghadapi kendala administrasi negara saat ingin menikah dengan pujaan hatinya yang berbeda agama berujar, “Kami punya keyakinan sama tentang Tuhan, kebetulan KTP kami saja yang berbeda.” Mengutip Karlina Supelli dalam pidato kebudayaannya di Teater Jakarta, Taman Ismail Marzuki, beberapa waktu lalu, “Barangkali kita perlu mengingat lagi kata-kata George Orwell, ‘Hal terburuk yang dapat dilakukan oleh kata-kata terjadi ketika kita membiarkan diri kita takluk kepada kata-kata’.” Jika agama hanya mendidik manusia membenci satu sama lain, masih pantaskah Ia ada? Benarkah semua kekisruhan itu atas perintah Tuhan? *Penulis adalah mahasiswa Jurusan Akidah Filsafat, Fakultas Ushuluddin.
Dalam kunjungannya sebagai Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan, bukan sebagai Menteri Agama, di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UIN Jakarta, beberapa waktu lalu, Suryadharma Ali mempromosikan diri dan partainya di depan ratusan mahasiswa. Ia juga mengarahkan mahasiswa menjadi bagian pemenangan PPP pada Pemilihan Umum 2014. Ia mengungkit-ungkit bahwa dirinya telah banyak memberikan bantuan kepada UIN Jakarta melalui Kementerian Agama. “Enggak banyak, cuma kurang lebih akan disiapkan Rp210 miliar. Setelah saya bicarakan, bisalah, mudah itu,” katanya. Uang yang akan disiapkan dari kas Kemenag itu untuk keperluan pembelian tanah lapang dan penyediaan fasilitas lainnya. Hal tersebut karena UIN Jakarta dalam kapasitas tanggung Kemenag. “Saya enggak mau bawa UIN Jakarta dalam pemenangan PPP. Tidak perlu pilih PPP, tidak perlu. Sekali lagi, tidak perlu. Tapi kalau tidak, itu namanya keterlaluan,” katanya sembari disambut riuh bahak para hadirin. Jika rektor menghimbau bahwa kampus bukan tempat politik, lantas kutipan peristiwa di atas yang dilansir oleh Kompas tersebut maksudnya apa? Sudahlah. Kita tak perlu terlalu pintar untuk mengetahui betapa absurd perilaku para pejabat kampus kita. Tahun 2014, tahun politik, sebentar lagi tiba. Beberapa partai dan calon presiden banyak yang menilik pemilih muda. Pasalnya, suara pemilih muda pada pemilihan presiden periode 2014-2019 nanti, berkisar 40 persen dari jumlah seluruh penduduk Indonesia. Kampus sebagai sebagai pilar intelektual bangsa yang diharapkan independen, seharusnya tidak menjadi corong partai tertentu sebagai wadah berkampanye ria. Kondisi negara kita memang tengah memprihatinkan. Namun, sebagai sivitas akademika kita seyogyanya harus tetap optimis akan hadirnya perubahan yang lebih baik dengan terus mengoptimalkan kegiatan intelektual kita di kampus. Namun, kita patut menyayangkan kurang optimalnya pengajaran dosen karena eksodus ke dunia luar. Ada yang ‘ngamen’, berbisnis, dan sebagai aktivis partai politik. Tentu saja tidak semua dosen begitu. Hanya saja, bagi dosen yang aktif di partai politik, maupun mereka yang berafiliasi dan punya ikatan emosional dengan partai politik tertentu harus menjaga ‘kesucian’ selama berada di wilayah kampus. Kita juga tentu sangsi jika tak satupun dari para guru besar, dosen, dan tenaga pengajar lainnya yang tak memahami kondisi kampus sedemikian rupa, yang membutuhkan perbaikan sana-sini, namun diam saja.
Surat Pembaca Dari : 085694707xxx Bagi anak-anak UKM, malam merupakan waktu potensial untuk berorganisasi di tengah kesibukan kuliah di pagi hari. Namun, belakangan ini, saya merasa kecewa dengan listrik di Student Center (SC) yang sering mati. Apakah ini ada unsur kesengajaan? Saya harap, daya hidup listrik di SC tetap stabil. Mengingat, jika listrik mati, banyak kegiatan anak UKM yang terbengkalai. Semoga, pihak kemahasiswaan dapat bertindak arif atas permasalahan tersebut.