Tabloid LPM Institut 49

Page 1

B

Edisi XLIX / MEI 2017

Terbit 16 Halaman

LAPORAN UTAMA Koleksi Perpustakaan UIN Tak Lengkap

Email: redaksi.institut@gmail.com

LAPORAN KHUSUS Mahasiswa Keluhkan Kompetensi Dosen

Hal. 2

LPM INSTITUT - UIN JAKARTA

www.lpminstitut.com

Atik Zuliati atikzuliati@gmail.com

Hal. 4

@lpminstitut

Telepon Redaksi: 0858 9116 2072

WAWANCARA

Keterbukaan Informasi Dijamin Konstitusi Hal. 11

@Xbr4277p

@lpminstitut

Denda Buku Perpustakaan Melenceng?

Pengunjung Pusat Perpustakaan (PP) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta dikenakan pelbagai tarif pembayaran. Namun pengelolaan keuangan PP dinilai tidak transparan. Raut wajah Sri Handayanti berubah seketika tatkala menatap layar komputer perpustakaan yang terpampang di depannya, Maret 2016 silam. Dengan wajah masam, pupus nian niatnya untuk meminjam buku. Dengan langkah berat Ia pun meninggalkan loket tempat peminjaman buku Perpustakaan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) UIN Jakarta. Musababnya, menurut pustakawan, Sri tercatat meminjam dua buah buku empat bulan silam dan belum dikembalikan. Alhasil, Ia berkewajiban mengganti dua buku setebal 400 halaman yang hilang tersebut. Pelbagai langkah ditempuh demi memenuhi kewajiban itu. Ia pun menapaki beberapa toko buku di sekitar Jakarta. Tujuannya pasti, mencari buku karya Neil Campbell dan Giancolli yang raib. Pencarian Sri menuai hasil pada Maret 2016 silam. Mahasiswa Jurusan Pendidikan Biologi tersebut pun rela menghabiskan uang hingga ratusan ribu untuk membeli dua buku itu. Tatkala buku yang dicari bersua, Sri bergegas ke Perpustakaan FITK untuk menyerahkan buku pengganti. Bak jatuh tertimpa tangga pula, kekecewaan Sri kian bertambah. Pihak perpustakaan yang bertugas mengatakan Ia juga harus membayar denda Rp80 ribu. Pasalnya kedua buku tersebut telat dikembalikan. “Saya kira tidak bayar denda lagi karena sudah ganti buku,” keluhnya, Jumat (19,5). Kondisi serupa juga menimpa Asmawati Mulya, September 2016 lalu. Asma—biasa Ia disapa—menapaki satu persatu anak tangga gedung PP UIN Jakarta. Terlihat Ia menjinjing dua buah buku di tangannya. Sesampai di lantai empat Ia menghampiri loket tempat pengembalian buku perpustakaan. “Dendanya

Rp700 ribu mbak,” tutur pustakawan PP UIN Jakarta. Sontak, raut wajah Asma pun berubah. Pasalnya Ia, harus membayar denda keterlambatan buku yang Ia pinjam. Berdasarkan data komputer PP UIN Jakarta Asma terhitung meminjam dua buku pada November 2013 silam. Kala itu buku berjudul Fisiologi dan buku Latihan Anatomi Fisiologi yang Ia pinjam di gedung Perpustakaan lama. Menurut Asma buku tersebut untuk menyelesaikan tugas kuliah. Waktu berselang lama, Ia lupa untuk mengembalikan buku tersebut. Dengan berat hati Asma pun merelakan uang tabungannya untuk membayar tarif denda. Ditemui di ruangan kerjanya Kepala PP UIN Jakarta, Amrullah Hasbana menjelaskan terdapat pelbagai tarif bayaran yang dikenakan oleh PP terhadap pengunjung. Pertama, denda keterlambatan pengembalian buku. Tarif Rp500 dibandrol bagi pengunjung yang melanggar. Langkah ini ditempuh agar mahasiswa disiplin mengembalikan buku yang dipinjam. Lebih lanjut, Menurut Amrullah sebenarnya PP UIN Jakarta menerapkan denda maksimal. Besarannya Rp200 ribu. Namun, Amrullah enggan mensosialisasikan d e n d a maksimal terhadap mahasiswa. Pasalnya, Ia khawatir para peminjam buku menganggap enteng peminjaman buku. Selanjutnya, bayaran be-

bas pustaka. Tarif ini dikenakan bagi mahasiswa yang hendak wisuda. Tarif Rp5 ribu terpaksa dikerok dari kocek calon wisudawan. Bayaran ini berlaku bagi semua mahasiswa UIN Jakarta, tak terbatas pada pengunjung PP UIN Jakarta. PP UIN Jakarta juga menarik bayaran bagi pengunjung non-UIN Jakarta—masyarakat umum—sebesar Rp3 ribu. Menurut Amrullah semua hasil denda dan pungutan oleh PP UIN Jakarta nantinya akan masuk ke dalam Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) UIN Jakarta. “Nantinya diolah untuk beasiswa dan lain sebagainya,” ungkap Amrullah, Rabu (10/5). Terkait dana pendapatan PP UIN Jakarta, tercantum dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 116 tahun 2013 tentang Tarif Layanan Umum UIN

Jakarta. Di PMK tersebut dijelaskan bahwa tarif denda telat mengembalikan buku sebanyak Rp500. Sedangkan tarif bebas pustaka Rp5 ribu. Namun bayaran masuk nonUIN Jakarta yang dikenakan Rp3 ribu tak termaktub di PMK. Pada Rabu (20/5) lalu Institut mewawancarai Amrullah di lantai tiga gedung PP UIN Jakarta terkait hasil

uang denda yang terkumpul selama 2015 dan 2016. Ia mengungkap denda yang terkumpul selama setahun berkisar Rp30–Rp40 juta. Namun sayang, saat dimintai data tertulis terkait laporan dana denda, Ia berdalih tak memegang data tersebut. Lebih lanjut, Amrullah pun mengalihkan Institut untuk menghubungi Koordinator Layanan Teknis PP UIN Jakarta

Bersambung ke halaman 15 kolom dua...


Laporan Utama Tak terasa satu bulan telah usai. Tabloid edisi April pun telah berlalu. Kini, kami kembali bergelut dalam dunia pers kampus. Kesibukan Ujian Tengah Semester kami lalui dengan lihai. Pendidikan Bakal Calon Anggota LPM Institut 2017 terus berlanjut. Setiap Sabtu mereka bergelut dengan dokumen— belajar analisis—. Sembari itu, kami menyadari terdapat kendala di segala arah. Tanggung jawab sebagai insan pers tak membuat kami mengabaikan kewajiban. Sejak Jumat dua pekan silam dapur Redaksi LPM Institut telah sibuk meraba-raba berita seksi. Pelbagai dokumen sebagai data kami persiapkan. Analisis data komprehensif menjadi andalan kami. Tak berpuas diri, analisi data hingga “ke akar” masalah menjadi senjata kami. Kami meyakini tanpa data yang lengkap berita kami hambar. Sentimen jurnalisme londongan kami hindari. Pembaca tercinta, dua pekan kami menyelami data. Bolak-balik menemui narasumber kompeten. Surat demi surat kami layangkan demi meminta wawancara dan data. Edisi Mei ini kami pun rutin ke Badan Pengawas Keuangan Republik Indonesia guna mendapatkan data valid. Hasil audit menjadi landasan kami. Akhirnya setelah di rasa data kuat, Tabloid edisi Mei pun tersuguh di hadapan anda. Pembaca budiman. Tabloid edisi Mei ini kami mengupas terkait denda perpustakaan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Dana denda nan dibayarkan mahasiswa tak tahu kemana rimbanya. Rp500 per buku seolah raib tanpa ada data. Pelbagai narasumber pun berkilah. Menyuarakan seribu alasan. Seharusnya uang denda masuk ke Penerimaan Negara Bukan Pajak UIN Jakarta. Namun, berdasarkan keterangan pihak keuangan uang denda tak mereka terima. Lembaga Satuan Pemeriksa Intern pun turun tangan pada tahun 2015 silam. Teguran telah dilayangkan, karena ada temuan. Selain itu, koleksi dibeberapa fakultas pun mandat. Pengajuan dari fakultas ke Pusat Perpustakaan pun tak ditanggapi. Akhirnya perpustakaan fakultas terbengkalai tanpa pembaharuan koleksi. Padahal peraturan nomor 23 tahun 2007 tentang perpustakaan mengatakan setiap tahun minimal ada penambahan 2 persen. Sumber daya manusia perpustakaan pun kian meruwat permasalahan. Tak sedikit pustakawan UIN Jakarta yang belum tersertifikasi. Selamat membaca !

|2

Koleksi Perpustakaan UIN Tak Lengkap Alfarisi Maulana alfarisimaulana@outlook.com Pengadaan koleksi perpustakaan tersangkut pemangkasan anggaran. Koleksi Perpustakaan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta kian terbatas.

Pusat Perpustakaan (PP) dan seluruh perpustakaan fakultas di UIN Jakarta tak lagi memiliki koleksi baru. Padahal, dalam rancangan anggaran 2016 pengadaan koleksi perpustakaan mencapai Rp1 miliar. Sedangkan pengadaan koleksi harus dilakukan secara rutin untuk memenuhi kebutuhan dan perkembangan pengetahuan bagi mahasiswa. Awal Mei lalu, Muhammad Ferizco Khusyufi mencari buku tentang tokoh Ibnu Hisyam dan buku tafsir hermeneutika. Ia pun memeriksa katalog dalam jaringan (daring) melalui komputer yang tersedia di Perpustakaan Fakultas Adab dan Humaniora (FAH). Tak berselang lama, buku yang ia cari tersedia di daftar katalog, mahasiswa semester 6 Jurusan Bahasa dan Sastra Arab ini pun bergegas untuk menemukannya. Namun begitu sampai di rak buku yang terdaftar, Ferizco tak melihatnya sama sekali, “Kok engga ada,” terangnya, Jumat (19/5). Hal yang sama dirasakan Khoriyah. Kala itu, Mahasiswi Jurusan Aqidah dan Filsafat Islam ini mengalami kesulitan dalam mencari beberapa referensi untuk mata kuliah Filsafat Islam Pasca Ibn Rusyd. Pasalnya, ia tak menemukan satu pun referensi di Perpustakaan Fakultas Ushuluddin (FU). Tak kunjung menuai hasil, Ria sapaan akrabnya mencari referensi ke perpustakaan fakultas lain yakni FAH. Referensi filsafat tentang tokoh Jalaluddin ad-Dawwani ini tak kunjung ditemukan. Hingga PP menjadi pilihan terakhirnya. Kemudian, Ria pun segera memeriksa katalog daring PP dan ternyata tak membuahkan hasil. Akhirnya, ia menemukan referensi ini di Perpustakaan Sekolah Tinggi Filsafat Islam Mulia Sadra daerah Cilandak, Jakarta Selatan. “Perpus UIN harusnya lengkap, kalau begini kan sulit,” ungkap mahasiswi semester 6, Jumat (12/5). Selain kekurangan koleksi, tak semua perpustakaan di UIN Jakarta memberikan hak

Terlihat dua mahasiswi mencari judul buku dalam katalog dalam jaringan (daring) di Pusat Perpustakaan, Selasa (23/5). Tak lengkapnya koleksi perpustakaan membuat mahasiswa UIN Jakarta kesulitan mencari referensi perkuliahan.

pinjam kepada mahasiswa. Salah satunya koleksi dari Perpustakaan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP). “Memang tak ada peminjaman di sini,” tegas Pustakawan FISIP Winda Istati, Jumat (19/5). Perihal larangan peminjaman koleksi merupakan arahan langsung dari pihak Dekanat FISIP. Selain itu, alasan lain demi meningkatkan kualitas pelayanan yaitu peralihan database katalog dari manual ke daring. “Masih dalam proses upgrade, jadi koleksi memang tidak bisa dipinjam,” tambahnya. Winda tak menampik, alasan lain tidak ada peminjaman karena anggaran pengadaan koleksi sudah tidak diberikan PP. Sehingga perpustakaan FISIP hanya memelihara koleksi yang ada berjumlah tak lebih dari 2500 judul. “Seharusnya ada anggaran untuk tahun ini, 2016 terakhir kali menerima anggaran,” pungkasnya. Senada dengan Winda, Kepala Perpustakaan FAH, Muhammad Azwar menyayangkan anggaran yang tak kunjung diterima oleh perpustakaan FAH. Azwar turut menjelaskan, perpustakaan FAH sempat mengajukan proposal pengadaan koleksi ke PP tapi belum ada tindak lanjutnya. “Proposal sudah masuk, tapi belum ada respons dari PP,” ucapnya, Selasa (16/5). Menanggapi hal tersebut, Kepala PP UIN Jakarta, Amrullah Hasbana berdalih jika proposal pengadaan koleksi yang dilayangkan ke PP tidak bisa diterima. Pasalnya, UIN Jakarta sudah memiliki anggaran sendiri tentang pengadaan koleksi. “Anggaran pengadaan koleksi 2016 sebesar Rp1 miliar,” ujarnya, Rabu (17/5). Lebih lanjut, Amrullah menjelaskan, sebelumnya pada 2013 besaran anggaran pengadaan koleksi sebesar Rp1 miliar untuk seluruh fakultas. Kemudian pada 2014, anggaran bertambah menjadi Rp2 miliar. Lalu pada 2016, UIN menganggarkan Rp3 miliar akan tetapi pencairan hanya sampai

Rp1 miliar, imbas dari pemangkasan anggaran. Amrullah menambahkan, PP hanya sekadar koordinator dari seluruh perpustakaan fakultas di UIN Jakarta. Anggaran pengadaan koleksi dari PP menjadi kebijakan baru yang akan diterapkan di tahun 2017. Pengadaan koleksi secara masif akan dilakukan guna melengkapi dan memperbanyak koleksi perpustakaan.

Ideal Perpustakaan Kepala Pengembangan Perpustakaan Sekolah dan Perguruan Tinggi Perpustakaan Nasional (Perpusnas), Nurcahyono mengatakan seharusnya pengadaan koleksi rutin dilakukan. Guna mengikuti kebutuhan dan perkembangan publik yang terus dinamis, “Perpustakaan dituntut untuk mencukupi kebutuhan pemustaka,” ujarnya saat ditemui di ruang kerjanya, Gedung Perpusnas lantai 6, Kamis (18/5). Tak hanya itu, Cahyono menegaskan akses informasi melalui database katalog daring harus sesuai dengan buku yang tersusun di rak. Hal ini penting dilakukan terkait dengan integrasi data dan pelayanan perpustakaan. ”Nantinya menentukan hasil evaluasi dan akreditasi perpustakaan,” jelasnya. Dalam Pedoman Penyelenggaraan Perpustakaan Perguruan Tinggi, koleksi merupakan salah satu unsur perpustakaan yang utama. Selain itu, Undang-undang (UU) Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan menyebutkan, koleksi perpustakaan adalah semua informasi dalam bentuk karya tulis, karya cetak dan karya rekam dalam berbagai media yang mempunyai nilai pendidikan. UU ini pun menerangkan bahwa penambahan koleksi perpustakaan per tahun minimal 2% dari total koleksi yang sudah ada.

Pemimpin Umum: Dicky Prastya | Sekretaris & Bendahara Umum: Aisyah Nursyamsi | Pemimpin Redaksi: Zainuddin Lubis | Redaktur Online & Web Master: Yayang Zulkarnaen | Pemimpin Litbang: Eli Murtiana | Pendidikan: Lia Esdwi Yani Syam Arif | Riset dan Dokumentasi: Jannah Arijah | Pemimpin Perusahaan: Eko Ramdani Anggota: Alfarisi Maulana, Atik Zuliati, Dewi Sholeha Maisaroh, dan Muhamad Ubaidillah Koordinator Liputan: Muhamad Ubaidillah | Reporter: Aisyah Nursyamsi, Dicky Prastya, Eko Ramdani, Eli Murtiana, Jannah Arijah, Lia Esdwi Yani Syam Arif, Yayang Zulkarnaen, Zainuddin Lubis, Alfarisi Maulana, Atik Zuliati, Dewi Sholeha Maisaroh, dan Muhamad Ubaidillah Editor: Aisyah Nursyamsi, Dicky Prastya, Eko Ramdani, Eli Murtiana, Jannah Arijah, Lia Esdwi Yani Syam Arif, Yayang Zulkarnaen, dan Zainuddin Lubis | Fotografer: Instituters Desain Visual & Tata Letak: Dicky Prastya dan Muhamad Ubaidillah| Ilustrator: Alfarisi Maulana | Karikaturis: Aisyah Nursyamsi | Editor Bahasa: Atik Zuliati Alamat Redaksi: Gedung Student Center Lantai 3 Ruang 307 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jl. Ir. H. Djuanda No. 95 Ciputat, Tangerang Selatan 15412 Telepon: 085891162072/089627411429 | Email: redaksi.institut@gmail.com | Website: www.lpminstitut.com ~~~Setiap reporter INSTITUT dibekali tanda pengenal serta tidak dibenarkan memberikan insentif dalam bentuk apapun kepada reporter INSTITUT yang sedang bertugas~~~

Foto: Alfarisi/INS

Salam Redaksi

Tabloid INSTITUT Edisi XLIX | MEI 2017


Laporan Utama

Tabloid INSTITUT Edisi XLIX / MEI 2017

|3

SDM Minim, Operasional Perpustakaan Terhambat Alfarisi Maulana & Dewi Sholeha Maisaroh alfarisimaulana@outlook.com dewisholehamaisaroh@gmail.com

Satu persatu buku mulai dijamah Afidatul Amanah. Bukannya membaca, Ia malah memastikan kertas identitas katalog tertempel di buku sesuai jenisnya. Terkadang, Ia berhenti sejenak. Beberapa terlihat pemustaka menghadap meja resepsionis, meminjam dan memulangkan buku. Afidatul hanyalah salah seorang mahasiswa Jurusan Ilmu Perpustakaan (IP) di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta yang menjadi relawan guna membantu operasional Perpustakaan Adab dan Humaniora. “Banyak kok relawan di sini, kami bantu-bantu perpustakaan,” ucapnya, Senin (15/5). Kurangnya sumber daya manusia (SDM) perpustakaan UIN Jakarta membuat pihak perpustakaan membutuhkan bantuan mahasiswa. Padahal, dalam Peraturan Presiden No. 24 Tahun 2014 pasal 31 Standar Tenaga Perpustakaan, perpustakaan harus memiliki kriteria SDM minimal memiliki kualifikasi akademik, kompetensi dan sertifikasi tentang perpustakaan. Berangkat dari perkara ini, Institut pun menyambangi Fakultas Adab dan Humaniara (FAH) untuk menemui Kepala Perpusatakaan FAH, Muhammad Azwar. Ketika ditanya perihal mahasiswa relawan, Azwar mengamini jika kebijakan itu dibuat untuk menyiasati kekurangan SDM Perpustakaan FAH. “SDM FAH masih kurang,” ujarnya. Azwar pun menjelaskan, di Perpustakaan FAH Ia bersama satu stafnya mengelola secara keseluruhan operasional perpustakaan. Tak jarang, Azwar turun tangan mengelola hal teknis seperti sirkulasi dan peletakkan buku di rak. “Idealnya tambah 2 SDM lagilah,” terangnya. Tak lama setelah wawancara usai, tampak seorang mahasiswi

tengah menunggu Azwar untuk konsultasi skripsi. Sebagai seorang dosen, Ia pun melanjutkan untuk membimbing mahasiswa itu. “Ini kewajiban saya juga,” tandasnya. Meski Azwar adalah Kepala Perpustakaan FAH, Ia tetap harus menjalankan tugasnya sebagai dosen mata kuliah Perpustakaan Digital harus tetap menjalankan tugasnya. Dalam Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2017, sebagaimana tugas dosen, Ia harus melaksanakan pendidikan dan proses pembelajaran, termasuk membimbing mahasiswa. “Selain di perpustakaan, saya juga harus mengatur waktu untuk mengajar,” ujarnya. Tak jarang, Azwar pun merasa kesulitan untuk menjalani itu semua. Azwar tak sendiri, serupa dengannya adalah Kepala Perpustakaan Fakultas Dirasat Islamiyah (FDI), Nuryudi. Seringkali harus menyiasati waktu mengatur kesibukannya yang juga sebagai dosen mata kuliah Preservasi Koleksi di FAH. “Mau bagaimana lagi, kita optimalkan yang ada saja,” ujarnya di Perpustakaan FDI, Kamis (19/5). Dalam menjalani operasional perpustakaan, Nuryudi melanjutkan, tugas itu hanya dibantu oleh dua stafnya yang sudah mendekati masa pensiun. “Staf saya yang satu, Ibu Ros mau pensiun dua tahun lagi,” tambahnya. Hal yang tak jauh beda pun dirasakan Kepala Perpustakaan Fakultas Psikologi (FPsi), Andi Burhanuddin. Ia murni mengelola perpustakaan tanpa adanya tambahan beban tugas lain. Pria

Foto: Alfarisi/INS

Sumber daya manusia (SDM) yang berkompeten akan menghasilkan pelayanan perpustakaan yang maksimal. Untuk itu, ketersediaan SDM berkompeten perlu ditingkatkan.

Tampak seorang mahasiswa meminjam buku kepada salah seorang tenaga sirkulasi di Pusat Perpustakaan UIN Jakarta, Jumat (19/5). Kekurangan SDM menyebabkan pelayanan tak optimal.

yang berpangkat Pustakawan Muda itu mengatakan, selaiknya pustakawan itu memang fokus dalam pekerjaannya. Lagi-lagi, SDM perpustakaan harus sesuai kompetensinya, ”SDM itu indikator dalam pelayanan, baik atau tidaknya,” kata Andi di ruang kerjanya, lantai 3 Perpustakaan FPsi. Menyoal SDM perpustakaan yang tak berkompetensi, Andi tak menampik jika stafnya masih ada yang berstatus lulusan Sekolah Menengah Atas. Hal ini membuat SDM perpustakaan FPsi jauh dari kualifikasi sebagai pustakawan. “Bagaimana pun Pak Rahmad kan sudah lama di sini, lagian dia juga mau pensiun” pungkasnya, Kamis (19/5). Padahal menurut Undang-undang (UU) No. 43 Tahun 2007 tentang Tenaga Perpustakaan. Perpustakaan harus memiliki SDM yang terdiri dari pustakawan dan tenaga teknis perpustakaan. Pustakawan harus memenuhi kualifikasi sesuai dengan Standar Nasional Perpustakaan. Menanggapi hal tersebut, Kepala Pusat Perpustakaan Amrullah Hasbana mengamini bahwa perpustakaan UIN Jakarta minim SDM. Menurutnya, operasional perpustakaan tak akan berjalan lancar bila SDM tak ideal. “Lagi-lagi kita masih kekurangan

SDM,” terangnya, Rabu (17/5). Lebih lanjut, Amrullah mengatakan, banyak tenaga pustaka yang bukan pustakawan. Kendati pun, pangkat pustakawan memberikan status pengakuan. “Jadi pustakawan sebenernya enggak mudah,” jelas Amrullah. Sebagai jalan alternatif, lanjutnya, jika ada yang ingin jadi pustakawan harus mendapat sertifikasi. Secara terpisah, Kepala Pengembangan Sumber Daya Perpustakaan Nasional (Perpusnas) RI Opong Sumiati mengatakan, dalam operasional perpustakaan, seharusnya memiliki pustakawan dan tenaga ahli perpustakaan. “Jadi masing-masing kerjanya bisa proporsional dan juga biar optimal,” jelas Opong, di ruang kerjanya, Gedung Perpusnas lantai 5, Kamis (18/5).

Belum Sertifikasi Menurut UU No. 43 Tahun 2007, pustakawan adalah seseorang yang memiliki kompetensi yang diperoleh melalui pendidikan atau pelatihan kepustakawanan serta mempunyai tugas dan tanggung jawab untuk melaksanakan pengelolaan dan pelayanan perpustakaan. Selain itu, dalam Peraturan Presiden No. 24 Tahun 2014, pasal 35 disebutkan, pustakawan

harus dinyatakan lulus dalam seritifkasi kompetensi.  Sertifikat kompetensi menjadi dasar pertimbangan kompetensi dan peningkatan karier pustakawan. Namun, berdasarkan data Pusat Pengembangan Perpustakaan menyebutkan, Pustakawan UIN Jakarta baru 26 orang yang terverifikasi. Dari total data tersebut, sebanyak 15 orang saja yang memang memiliki latar pendidikan perpustakaan. Menanggapi hal ini, Amrullah menyatakan, sertifikasi dinilai tak begitu penting. “Sertifikasi hanya untuk yang mau naik pangkat saja,” tegas Amrulllah. Hal berbeda pun disampaikan Opong, menurutnya, sertifikasi amat penting karena mempengaruhi penilaian terkait profesionalitas dan kompetensi seorang pustakawan. Sertifikasi kompetensi menjadi bukti hitam di atas putih bahwa pustakawan sudah berkompeten dalam hal pengetahuan, keahlian dan sikap kerja. Terlebih, sertifikasi dapat melindungi pustakawan dari invasi tenaga kerja asing., “Sertifikasi penting bagi pustakawan, sesuai ketentuan dalam UU No. 43 Tahun 2007,” jelasnya.


Laporan Khusus

Tabloid INSTITUT Edisi XLIX / MEI 2017

|4

Dua Tahun Dede, Tiga Kali Mutasi

Rabu lalu, 3 Mei 2017 Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Dede Rosyada melantik pegawai mutasi atau pindah unit dengan jabatan sama dan promosi atau kenaikan pangkat. Acara pelantikan berlangsung secara khidmat di Gedung Aula Student Center UIN Jakarta. Pelantikan tersebut bertujuan merotasi dan naik jabatan pimpinan pada sejumlah posisi di beberapa unit UIN Jakarta. Akan tetapi, adanya mutasi disesalkan oleh Kepala Pusat Perpustakaan Amrullah Hasbana. Kini Perpustakaan Pusat (PP) tak memiliki Kepala Sub Bagian (Kasubag) Perpustakaan. Awalnya bagian tersebut diisi oleh Raden Trisno Muhamad Riyadhi yang kini dipromosikan menjadi Kasubag Bina Bakat dan Minat, Bagian Akademik. “Saya agak ribet, karena lagi-lagi kita kekurangan ahli pustaka,” keluhnya, Rabu (17/5). Trisno pun membenarkan pernyataan Amrullah bahwa PP kini tak memiliki Kasubag. Akan tetapi, ia tidak mengetahui siapa yang akan menggantikan posisinya di PP. Pasalnya, hingga saat ini belum

ada pemberitahuan dari pihak yang berwenang mengurus mutasi. “Untuk hal ini tanyakan langsung ke bagian kepegawaian,” kilahnya, Kamis (18/5). Menanggapi perkara kekosongan jabatan, Kepala Bagian (Kabag) Organisasi, Kepegawaian, dan Peraturan Perundang-Undangan, Suhendro Tri Anggono mengatakan, Kasubag Perpustakaan termasuk bagian non struktural. Tak hanya Kasubag Perpustakaan, di Pascasarjana dan bagian non struktural di Rektorat juga akan ditiadakan. Sebab, sesuai temuan dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) UIN Jakarta tidak diperbolehkan menggunakan bagian non-struktural. Bagian non-struktural, Suhendro menjelaskan, bagian yang tidak tercantum dalam Organisasi Tata Kerja UIN. Pengadaan bagian non-struktural karena kebutuhan penambahan sumber daya manusia. “Kebijakan tersebut sudah ada sebelum Dede Rosyada memimpin, dan kini harus ditiadakan,” ujarnya, Kamis (18/5). Selain itu, eks Kabag Umum ini juga menerangkan adanya rotasi dan

promosi disebabkan karena adanya beberapa bagian atau biro yang kosong. Pasalnya, beberapa Kabag dan Kasubag memasuki masa pensiun dan membutuhkan pengganti. Tak hanya itu, alasan mutasi yakni melihat kinerja dan kemampuan pegawai sesuai dengan bidangnya. Terkait mutasi pegawai, Suhendro menambahkan, idealnya setiap dua tahun sekali. Namun, mutasi juga bisa diadakan sewaktu-waktu sesuai dengan kebutuhan. “Dilakukan untuk penyegaran agar pekerjaan lebih maksimal,” tambahnya. Selain bulan Mei, mutasi dan promosi telah dilakukan sebanyak tiga kali selama dua tahun kepemimpinan Dede, yakni di Bulan Januari 2016, Januari 2017 dan terbaru Mei 2017. Suhendro pun termasuk pegawai yang di rotasi dari Kepala Bagian Umum yang dilantik pada 16 Januari 2017. Ia dimutasi menggantikan Kuswara yang kini menjabat sebagai Kabag Perencanaan, Biro Perencanaan dan Keuangan. Pengamat Kebijakan Publik Erna Hernawati menjelaskan secara

Mahasiswa Keluhkan Kompetensi Dosen

Rektor UIN Jakarta Dede Rosyada melantik pegawai mutasi di Auditorium Harun Nasution, Senin (16/1). Mutasi dilakukan pada sejumlah jabatan struktural fakultas dan rektorat.

umum terkait mutasi yang kerap terjadi di kalangan kepegawaian negara. Terkadang, fungsi rotasi yang sebenarnya untuk penyegaran dan peningkatan kualitas kerja sering dijadikan ladang bisnis politik. Mutasi kadang tidak sesuai dengan evaluasi terhadap persoalan kebutuhan kinerja pegawai. Sehingga sering menimbulkan berbagai persoalan ataupun masalah. Berbeda dengan Erna, Wakil Rektor II Bidang Administrasi Umum dan Keuangan UIN Jakarta Abdul Hamid mengatakan, adanya mutasi dengan selang waktu empat bulan dikarenakan adanya beberapa kepala bagian yang pensiun. Semisal Sulamah Susilawati eks Kabag Tata Usaha (TU) Fakultas Ilmu Tarbiyah

dan Keguruan yang kini digantikan oleh Imam Thobroni. Imam dipromosikan dari jabatan semula Kasubag Administrasi Umum, TU Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan. Hamid juga menjelaskan adanya mutasi dilakukan oleh Bagian Organisasi, Kepegawaian, dan Peraturan Perundang-Undangan, Biro AUK yang diajukan kepada Warek II dan disetujui oleh Rektor. Menentukan posisi sesuai dengan prosedur proses penilaian dan melihat rapor dari pegawai. Rapor tersebut dilihat dari latar belakang akademis, pengalaman, laporan kinerja pegawai, dan absensi kehadiran. “Semua itu demi kecocokan bidang pegawai,” ungkapnya, Senin (15/5).

Muhamad Ubaidillah muhamad.ubaidillah14@mhs.uinjkt.ac.id

Kompetensi beberapa dosen dalam menyampaikan perkuliahan dinilai kurang. Mahasiswa pun terkena imbasnya. Saat memandangi layar laptopnya Akhir April lalu, raut wajah Ami Lutfiah nampak kebingungan. Mahasiswa Jurusan Manajamen Dakwah semester enam ini merasa kesulitan saat mengerjakan tugas edit video mata kuliah Manajemen Produksi dan Siaran Dakwah. Padahal perkuliahan mata kuliah tersebut sudah memasuki minggu ke-10. Merasa tak sanggup mengerjakan seorang diri, Ami akhirnya mencari bantuan teman untuk mengerjakan tugasnya. Setelah bertemu teman yang paham mengenai video, maka Ami mulai mengerjakan tugas mata kuliahnya seraya menceritakan keluhan mengenai kurang kompeten dosen pengampu dalam mata kuliah tersebut. “Mata kuliahnya Manajemen Produksi Siaran, tapi ngejelasinnya travel, suka enggak masuk juga,” keluhnya, Kamis (19/5). Senada dengan keluhan Ami, salah seorang mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Arab Lutfi Arif Sarifudin pun memaparkan kin-

erja dosen mata kuliah Kodikologi yang dinilainya kurang fokus dalam memyampaikan materi perkuliahan. Hal itu mengakibatkan kebingungan terhadap mata kuliah Kodikologi tersebut. “Saya iri sama teman kelas lain yang beda dosen, mereka pada mengerti dengan mata kuliah itu,” ungkap Lutfi saat dihubungi Sabtu (20/5). Terkait keluhan mahasiswa, Dosen mata kuliah Kodikologi Adib Misbachul Islam mengamini materi perkuliahannya tak dimengerti secara merata oleh mahasiswa. Ia beralasan mahasiswa yang tak berasal dari pesantren cukup sulit untuk memahami mata kuliah yang diampunya. Lebih lanjut Adib mengatakan, selama ini Ia tidak pernah mendapat kritikan atau keluhan dari mahasiswa. Akan tetapi, Ia menerima jika ada mahasiswa yang mengkritik atau memberinya masukan terkait proses pembelajarannya. “Saya terbuka menerima kritik dari mahasiswa,” tegas Adib via WhatsApp, Minggu (21/5).

Menanggapi keluhan tersebut, Wakil Rektor I Bidang Akademik Fadhilah Suralaga tak menampik keberadaan dosen yang kurang kompeten dalam pedagogik. Hal tersebut tak terlepas dari latar belakang dosen. Menurutnya dosen tak seperti guru yang memang khusus dipersiapkan untuk memberikan pengajaran. Dosen tak mesti berasal dari Fakultas Keguruan, tetapi bisa berasal dari berbagai jurusan. Lebih lanjut Fadhilah mengatakan secara umum untuk menjadi dosen seseorang harus memiliki empat kompetensi dasar seperti pedagogik, profesional, sosial, dan kepribadian. “Memang masih ada dosen yang belum menguasai pedagogik, tapi secara profesional mumpuni, begitu sebaliknya” terangnya saat ditemui di ruang kerjanya, Kamis (19/5). Selain itu, guru besar Fakultas Psikologi ini juga menyarankan mahasiswa yang memiliki unek-unek terkait kinerja dosen agar melaporkannya ke ketua program

Sebagaimana diatur dalam UU No.14 Tahun 2005, dosen wajib memiliki kompetensi, kualifikasi serta sehat jasmani dan rohani. Namun, beberapa mahasiswa UIN Jakarta mengeluhkan kompetensi dosen dalam menyampaikan pembelajaran.

studi masing-masing. Hal tersebut dilakukan untuk bahan evaluasi universitas. Berbeda dengan Fadhilah, Wakil Dekan I Fakultas Syariah dan Hukum Euis Amalia beranggapan mutu dosen UIN Jakarta saat ini menurun. Ia beralasan dosen saat ini cenderung pragmatis lantaran lebih peduli dengan suatu hal yang cash sehingga kurang berkomitmen dengan kegiatan di kampus. Bahkan Euis menyayangkan dosen yang kurang peduli dengan Rencana Pembelajaran Semester (RPS). Padahal Sesuai Permenristek Dikti No. 44 Tahun 2015 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi Pasal 13 Setiap proses pembelajaran mata kuliah dilaksanakan sesuai dengan RPS. “Dosen ketika dimintai RPS susah, padahal wajib,” keluhnya, Kamis (18/5). Padahal berdasarkan Pasal 45 Undang-Undang (UU) No. 14 Ta-

hun 2005 tentang Guru dan Dosen menjelaskan bahwa dosen wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani. Tak hanya itu, dosen juga harus memenuhi kualifikasi lain yang dipersyaratkan satuan pendidikan tinggi tempat bertugas, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Sementara itu, untuk memperbaiki kompetensi dosen Fadhilah mengatakan, UIN Jakarta telah menyelenggarakan workshop pengembangan kompetensi dosen. Tetapi akibat kekurangan dana, workshop baru bisa diikuti oleh sebagian dosen. Padahal, menurut survei Supriyadi Ahmad di tahun 2015 lebih dari 50% dosen mengharapkan agar UIN Jakarta sering mengadakan peningkatan pelatihan dosen. “Dana minim, jadi Workshop baru bisa diikuti oleh dosen muda,” tutup Fadhilah.

Foto: Dokumen Pribadi

Selama dua tahun kepemimpinan Dede Rosyada, sudah tiga kali mutasi diadakan. Idealnya, mutasi dilakukan dua tahun sekali.

Foto: Berita UIN

Dewi Sholeha Maisaroh dewisholehamaisaroh@gmail.com


Kampusiana

Tabloid INSTITUT Edisi XLIX / MEI 2017

|5

Latih Kreativitas lewat Video

Aisyah Nursyamsi aisyahnursyamsi@gmail.com

Tatkala mengetik Tika Bravani-Hidup Aman Vs Hidup Zeru#EQVLOG di Youtube, seketika dari balik video akan muncul dua orang dengan mengenakan pakaian berwarna putih. Dalam video berdurasi 10 menit itu berisikan tentang berbagi inspirasi kehidupan. “Sejak kapan mbak Tika menyukai dunia seni peran?,” tanya sang lelaki. Sembari tersenyum, Tika menatap kamera dan bertutur bahwa sejak dibangku sekolah tingkat lanjut Ia telah menyukai dunia peran. Demi mengasah bakatnya dalam berakting, Ia pun mengikuti kegiatan ekstra . Dalam proses perekaman video yang berkisar 10 menit itu tampaknya dilakukan di salah satu taman ibu kota, Jakarta. Itu terlihat dari suasana taman nan asri dan ramai. Pasalnya terlihat beberapa anak-anak dan orang dewasa lalu lalang di belakang mereka. Diakhir video Tika berpesan untuk tetap percaya pada kemampuan masing-masing. Tak perlu mendengarkan umpatan orang lain, cukup ikuti kata hati. Tahap selanjutnya menumbuhkan rasa berani dari

dalam diri. Begitulah sebagian cuplikan video yang diproduksi oleh Muhammad Faza Firdaus. Pekerjaan sebagai kreator video telah ia lakukan selama enam bulan terakhir. Faza bercerita setiap pekan ia berusaha untuk tetap konsisten memproduksi video. Ia pun memberikan kiat membuat video. Langkah pertama yakni menentukan tema cerita video. Kemudian berlanjut dengan menentukan narasumber. “Narasumber saya usahakan publik figur. Walaupun agak ribet” katanya, Kamis (11/5). Menurt Faza setelah proses perekaman, video tak langsung dipublikasi begitu saja. Hasil rekaman harus diedit terlebih dahulu menggunakan aplikasi tertentu hingga diangap layak di lepas ke media sosial. Dalam konten video bertajuk Hidup Zeru, Faza mengaku telah menghasilkan 30 video. Di dalam rangkaian video tersebut Ia menyuguhkan para publik figur yang sukses dibidang masing-masing. Lebih lanjut, para narasumber pun memberikan inspirasi dan motivasi kepada penonton. Berbeda dengan Faza yang

Foto: Rizaluddin

Perkembangan media sosial memunculkan pelbagai kebiasaan dan hobi baru bagi sebagian mahasiswa. Menjadi kreator video pun menjadi salah satu trend baru. berbagi inspirasi lewat video, Zaky Fadli justru menggunakan media sosial sebagai wadah untuk berbagi informasi game. Ide itu berawal dari hobinya bermain game yang bertajuk Seal Ounline Blades of Destiny. Ia kemudian mulai berkeinginan berbagi trik dan pengalamannya pada orang lain sesama pecinta game. “Setahu gue juga di Youtube belum ada video yang menayangkan walktrough. Apa salahnya mencoba menjadi yang pertama,”ujarnya ketika ditanyai di media WhatsApp, Jumat (12/17). Pada awalnya dalam pembuatan video ia mengaku banyak menghadapi kendala. Salah satunya adalah ketika proses mengedit video. Meski kesulitan, mahasiswa Jurusan Konsentrasi Jurnalistik di UIN Jakarta ini mengaku senang dengan kegiatan yang Ia lakukan. Terutama tatkala mendapatkan respon positif dari penonton. Kini, setelah terbiasa, Zaky tak lagi memikirkan kesulitan yang Ia hadapi dan semakin giat untuk memproduksi video. “Beberapa orang bahkan ada yang bilang gue membocorkan trik rahasia game, tapi cuek

Beberapa orang melakukan pembuatan film Toba Dreams, Jumat (17/4) 2015. Pembuatan video pendek menjadi hobi mahasiswa masa kini..

saja,” ujarnya. Lain Faza dan Zaky, lain pula dengan Willa Afriyelni, Ia memanfaatkan video untuk menjajakan usaha dagangan online miliknya. Menurut Willa di era internet sekarang, video dinilai ampuh menarik pembeli. Tak hanya digunakan berdagang, sesekali Ia juga menayangkan video tutorial kecantikan. “Dari masker sampai mengenakan jilbab,” katanya Senin (15/05). Namun sejauh ini Willa mengaku belum memproduksi video secara rutin. Menurut Willa Ia merasa kekeruangan ide kreatif dalam pembuatan video. Selain itu, kesibukan kuliah dan mengurus dagang online menjadi kendala utama. “Kekurangan tenaga untuk merekam dan mengedit video yang masih mentah,” tutur mahasiswa Jurusan Ilmu Perpustakaan Fakultas Adab dan Humaniora di UIN Jakarta ini. Menanggapi fenomena mahasiswa yang aktif memproduk-

si video pendek, salah seorang produser film tanah air yang juga dosen Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Jakarta, Rijaluddin memberikan apresiasi terhadap kreatifitas mahasiswa yang memamfaatkan perkembangan media sosial dengan menjadi kreator video. Mengikuti tren bukanlah hal yang jelek. Selagi mahasiswa tidak melakukan hal yang merugikan, mengembangkan potensi menurutnya sangat disarankan. Tak hanya itu, mahasiswa bisa mengembangkannya sampai ke tahap finansial. Menurut Rijal potensi bisnis perfilman cukup menjanjikan. Dengan terjun ke dunia film tak sedikit keuntungan materi yang bisa diraup. Meski begitu Ia berharap mahasiswa tak sekadar terpaku dengan apa yang telah dicapai sekarang.”Menggali lebih dalam pelbagai ide kreatif dalam pengambilan gambar,” pungkasnya.

SEGENAP KELUARGA BESAR LPM INSTITUT MENGUCAPKAN Selamat Wisuda!

B AC A, T U L I S , L AWA N!!!


Survei

|6

Tabloid INSTITUT Edisi XLIX / MEI 2017

Pengelolaan Dana Denda Perpustakaan UIN Jakarta

Perpustakaan Pusat (PP) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta menerapkan berbagai tarif denda terhadap pengunjung. Selain itu, PP juga memberlakukan bayaran masuk bagi non-UIN. Tak hanya itu, PP pun menerapkan bayaran bebas pustaka dengan tarif Rp5 ribu bagi mahasiswa yang ingin wisuda. Bayaran tersebut diwajibkan bagi semua mahasiswa UIN Jakarta. Sedangkan, terkait dana

pendapatan PP UIN Jakarta, tercantum dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 116 tahun 2013 tentang Tarif Layanan Umum UIN Jakarta. Di PMK tersebut dijelaskan bahwa tarif denda telat mengembalikan buku sebanyak Rp500. Sedangkan tarif besar pustaka Rp5 ribu. Namun bayaran masuk non-UIN Jakarta yang dikenakan Rp3 ribu tak termaktub di PMK. Sebenarnya PP menerap-

Pernahkah anda membayar denda di Perpustakaan UIN Jakarta TIDAK 35%

kan denda maksimal per buku yang telat dikembalikan di bandrol dengan harga Rp200 ribu. Kepala PP UIN Jakarta, Amrullah Hasbana mengakui denda maksimal 200 ribu ini tak disosialisasikan. Sebab, dikhawatirkan para peminjam buku menganggap enteng peminjaman buku. Amrullah menambahkan, semua hasil denda dan pungutan oleh PP UIN Jakarta nantinya akan masuk ke dalam Pendapatan Negara Bukan

Pajak (PNBP) UIN Jakarta. Alhasil, akan diolah untuk beasiswa dan perlengkapan perpustakaan lainnya. Berdasarkan hasil survei divisi Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Institut, mahasiswa UIN Jakarta banyak yang tidak mengetahui adanya denda maksimal PP. Tak hanya itu, mahasiswa juga banyak tak merasakan transparansi dana denda PP dan

Tahukah Anda denda maksimal Perpustakaan UIN Jakarta?

kepuasan atas koleksi buku PP.

*Survei ini dilakukan oleh Litbang Institut dari 4-7 Mei 2017 kepada 200 responden dari seluruh fakultas di UIN Jakarta. Metode pengambilan sampel yang digunakan adalah Propotionated Stratified Random Sampling. Hasil survei ini tidak dimaksudkan untuk mengevaluasi Pusat Perpustakaan, namun hanya sebagai gambaran.

Apakah pengelolaan dana denda sudah transparan? YA 17%

YA 20%

TIDAK 83% YA 65%

TIDAK 80%

Pernahkah Anda mendapat tagihan denda lebih dari denda maksimal (Rp200 ribu)? YA 11%

Apakah Anda merasa puas dengan koleksi buku Perpustakaan UIN Jakarta?

Apakah Anda merasa keberatan dengan adanya denda Perpustakaan UIN Jakarta?

YA 30%

YA 37%

TIDAK 70%

TIDAK 89%

TIDAK 73%

“Ilmu itu bagaikan hasil panen/buruan di dalam karung, menulis adalah ikatannya� (Imam Syafi’i)

berbagi opini, cerpen, puisi, atau hasil liputan kalian dengan yang lain. kirim ke email: redaksi.institut@gmail.com minimal 3000 karakter.maksimal 3500 karakter cantumkan juga identitas kalian, seperti nama, jurusan, dan fakultas atau organisasi kalian. kirim juga keluhan kalian tentang kampus ke 0858 9116 2072


Perjalanan

Tabloid INSTITUT Edisi XLIX / MEI 2017

Sirami Rohani dengan Wisata Religi

|

7

Dewi Sholeha Maisaroh dewisholehamaisaroh@gmail.com

Foto: Internet

peziarah harus melewati jalanan berlumut yang sangat licin untuk menuju tiga bambu tersebut. Setelah puas di atas gunung, peziarah dapat menempuh jalur keluar yang menembus ke bangunan masjid bersejarah. Konon masjid tersebut adalah masjid megah yang telah dibakar oleh Sunan Muria dan didirikan kembali olehnya dengan bentuk yang lebih sederhana. Peziarah dapat singgah terlebih dahulu untuk menunaikan ibadah dan beristirahat. Seusai mengunjungi makam sunan Muria, tak lengkap rasanya jika tidak mengunjungi air terjun Monthel yang konon menjadi tempat mandi wali semasa hidup. Untuk masuk ke area Monthel peziarah harus membayar Rp15 ribu dengan melewati jalanan licin. Salah satu peziarah Nining Suheni merasa mendapatkan keberkahan dari wisata ziarah makam sunan Muria. “Ziarah ke wali dan mengunjungi tempat bersejarah akan mengenalkan lebih dekat sosok Sunan Muria,” katanya saat dimintai tanggapan melalui pesan singkat, Kamis (11/5).

Foto: Internet

bersedia menahan lelah karena jalur yang dilalui cukup terjal. Meskipun demikian, jalur ini lebih memintas dan dekat dengan puncak Muria. Tak hanya itu, di sepanjang perjalanan peziarah akan dimanjakan dengan jejeran pedagang yang menjajakan cinderamata, makanan, dan minuman khas dari warga setempat. Selain berjalan kaki, peziarah dapat menggunakan jasa ojek. Namun, jalanan sempit yang menanjak dan berkelok di tepian jurang cukup menguji adrenalin. Akan tetapi, pengunjung tak perlu khawatir, karena ojek di area ini telah terorganisir dan berpengalaman. Setelah sampai di area pemakaman, peziarah akan menjumpai bangunan rumah joglo dengan atap tumpang. Lalu, peziarah akan memasuki lorong menuju titik pemakaman utama melalui sebuah pintu. Untuk melewati lorong, peziarah harus berjalan pelan agar tidak menimbulkan kegaduhan, lalu memasuki beberapa belokan dan anak tangga yang membentuk sebuah lingkaran tertutup dan berujung di ruang Makam Sunan Muria. Sesampainya di ruangan Makam Sunan Muria, peziarah akan menjumpai Makam ditutupi dengan kelambu korden warna putih dan ditumpangi rendarenda putih bersih. Di sekeliling tutupan kelambu putih nampak berjejer dengan rapi batu nisan makam para kerabat dan santri Sunan Muria. Di sela-sela nisan inilah para peziarah duduk untuk memanjatkan doa kepada Allah. Para peziarah umumnya membacakan Surat Yasin, hingga bacaan tahlil dan ditutup dengan doa permohonan keberkahan. Selesai berdoa, peziarah keluar melalui sisi lorong lain dan menuruni beberapa anak tangga. Di ujung turunan inilah terdapat gentong besar berisikan air. Ngadimin juga menceritakan, air di dalam gentong tersebut konon mata air suci peninggalan Sunan Muria. ”Air itu dipercaya bisa menyembuhkan beberapa penyakit,” ujarnya (19/4). Pada jarak dua kilometer dari pemakaman Sunan Muria terdapat tiga bambu yang bersebelahan. Dari tiga bambu tersebut keluar air dengan rasa yang berbeda, yakni pahit, manis, dan asin. Alkisah, air tersebut tidak pernah habis walaupun musim paceklik sekalipun. Tetapi

Foto: Internet

Ziarah makam wali sembilan atau wali songo menjadi wisata rohani yang sangat diminati oleh umat muslim. Salah satunya ziarah makam sunan Muria. Terbukti suasana makamnya selalu ramai didatangi peziarah, terlebih ketika menjelang Ramadhan dan bulan Sura atau bulan kelahiran Nabi Muhammad. Sebab, wali songo adalah manusia yang semasa hidupnya dihabiskan untuk berdakwah menyebarkan agama Islam. Oleh karenanya setelah wali songo tiada, umat muslim merasa kehilangan dan kerap melakukan ziarah ke pemakamannya. Sunan Muria merupakan sunan termuda dalam silsilah perwalian di Indonesia. Dalam sejarah, sunan yang memiliki nama asli Raden Umar Said melakukan penyebaran agama Islam di Gunung Muria, karenanya Ia dikenal dengan Sunan Muria. Ngadimin penjaga makam bercerita, Sunan Muria meninggal di atas Gunung Muria. Sehingga, di puncak gunung inilah Sunan Muria dimakamkan. Suasana makam yang berada di atas gunung, membuat peziarah harus berhati-hati dalam menempuh perjalanan. Karena, meski kondisi jalannya sudah beraspal, rute yang dilewati cukup sempit dan berkelok, serta sisi tepi jurang yang terjal. Peziarah dapat berkunjung menggunakan kendaraan pribadi ataupun kendaraan umum. Bagi yang menaiki kendaraan umum, peziarah dapat menaiki angkot jurusan Kudus – Colo dari terminal Kudus dengan tarif Rp25 ribu. Mendekati puncak Gunung Muria, peziarah terlebih dahulu memasuki gerbang masuk dengan retribusi Rp8 ribu per mobil, dan Rp5 ribu per motor. Sedangkan untuk rombongan ziarah yang menggunakan bus dihitung Rp2 ribu per kepala. Pembayaran tersebut belum termasuk biaya masuk ke area pemakaman dan wahana lainnya. Ketika ingin masuk ke area pemakaman, peziarah harus melanjutkan perjalanan lagi sejauh tiga kilometer. Ada dua pilihan untuk mencapai Makam Sunan Muria. Pertama, peziarah bisa berjalan kaki dengan menaiki 1000 anak tangga. Sedangkan pilihan kedua menggunakan jasa ojek dengan membayar tarif Rp8 ribu. Jika berjalan menaiki 1000 anak tangga, peziarah harus

Foto: Internet

Sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui. Di samping wisata religi ke makam Sunan Muria, pengunjung pun dapat menikmati indahnya panorama alam.


Opini

Tabloid INSTITUT Edisi XLIX / MEI 2017

|8

Modernisasi Partai Politik Setelah 19 tahun reformasi, partai politik belum mampu memberikan perubahan subtansial kepada rakyat. Fungsi strategis parpol dalam negara demokrasi untuk membawa perubahan justru malah berkutat dalam urusan pertarungan kekuasaan dan jabatan demi keuntungan elit tertentu. Sebagai pilar penting dalam negara demokrasi, parpol telah gagal menjalankan fungsi nya sebagaimana mestinya. Parpol bukan lagi organisasi orang-orang yang memiliki ideologi yang jelas untuk memajukan bangsa Indonesia. Tetapi, menjadi perkumpulan orang-orang dengan ideologi politik pragmatis yang solider satu sama lain untuk saling melindungi demi keuntungan pribadi dan golongan. Setiap orang bisa gonta-ganti parpol dengan bebas yang penting mempunyai akses dan berkantong tebal. Ironi memang, apa boleh buat, inilah wajah kita. Para elit politik gagal membawa partai yang ditungganginya membangun dan memperkuat kelembagaannya. Institusionalisasi politik jalan di tempat, akibatnya yang lahir adalah kader-kader baru tanpa ideologi. Wajah politik kita jauh dari organ-

Bulan Mei 1968 toa-toa berdengung kencang menyuarakan revolusi di Prancis. Toa-toa yang digenggam gerakan mahasiswa dan buruh radikal hampir saja menumbangkan rezim Jendral De Gaulle yang saat itu disegani di Eropa. Meskipun tergolong revolusi yang gagal, tapi itu menjadikan gerakan mahasiswa (Germa) pertama yang berhasil menebarkan wacana kebebasan dan demokratisasi. Ciri wacana idealistik revolusioner dengan radikalisme gerakan yang mengambil bentuk verbal ekstrim berupa demonstrasi radikal. Yang ini berhasil diperankan oleh mahasiswa dan kaum buruh Perancis. Secara ideologis, sangat dekat dengan sosialis-anarkis Prancis Proudhon dan filsafat revolusioner Jerman Marx. Hal ini dapat dilihat dari demonstrasi yang dilakukan oleh buruh-mahasiswa Perancis yang tampak seperti praktik komunis dengan hasrat revolusinya. Di Indonesia sendiri, lakon gerakan mahasiswa sudah dimulai sejak 1905. Lalu berestafet menjadi lima angkatan yang dianggap fenomenal bagi Germa sekarang. Yakni angkatan 1908, 1928, 1945, 1966 dan 1998. Lima angkatan tersebut mempunyai pola gerak dan karakteristik yang berbeda-beda. Angkatan 1908, sebagai jejak awal yang mewarisi titik landas dalam mengawali empat angkatan selanjutnya, cenderung memiliki corak intelektual impor. Sebagaimana di-

isasi politik modern yang memiliki disiplin kesisteman yang baik. Sebaliknya, dinamika politik kita digerakkan oleh segelintir elit yang berkuasa. Tradisionalitas politik dengan meminggirkan logika kemoderenan tampak dominan saat ini. Penguatan lembaga kesisteman partai tak sepenuhnya dijalankan partai politik di era re fo r m a s i ini. Sikap disiplin ke l e m bagaan tergeser oleh arus kekuasaan dan jabatan perilaku elit oligarki partai politik. Peran kepemimpinan politik bergeser sebagai ajang mempertahankan kekuasaan faksional yang bersifat sementara. Para elit partai politik seharusnya belajar dari para pelopor organisasi terdahulu. Para elit pergerekan yang membangun bangsa dengan arus pergerakan

Oleh Dede Rizal*

modern. Salah satu, organisasi terdahulu yang menunjukkan sikap moderna adalah boedi Oetoma dan Serikat Islam yang dipakai sebagai pijakan awal perubahan strategi perjuangan. Perubahan strategi yang sebelumnya merujuk pendekatan tradisional bertranformasi kepada arah visi yang lebih modern.

Sistem modernitas organisasi menjadi arus baru pergerakan demi mewujudkan kemerdekaan. Visi dan misi yang jelas merupakan ideologi harga mati para elit dan kader organisasi. Sikap patuh dan militan ditunjukkan oleh anggota organisasi sehingga tak masalah mereka diawasi pemerintahan kolonial Belanda saat

itu. Konsistensi organisasi dengan arah modern tampak ditunjukkan dengan kerapian susunan pengurus, mulai dari ketua sampai staf-stafnya ke bawah. Tak mengherankan peran nyata yang ditunjukkan organisassi politik ketika itu sangat dirasakan kehadirannya oleh rakyat. Para elit politik bermunculan keperm u kaan deng a n tipikal leadership sempurna. Tingk a t pengkadera n sangat diperhatikan, karena elit pemimpinnya ketika itu menyadari betapa pentinggnya regenerasi ke depan. Maka, tak heran organisasi ketika itu berbasis kader. Organisasi berbasis kader bertujuan memberikan pendidikan politik kepada anggotanya. Tak dapat dipungkiri saat itu pen-

didikan sangat minim. Politik bukan hanya bertujuan memerdekakan Indonesia, tapi lebih dari itu, politik untuk mencerdaskan anak bangsa dan mewujudkan kesejahteraan rakyat. Para elit politik tampil sebagai sosok pemimpin dengan visi dan misi yang jelas. Ideologi politik bersih dan berkarakter merupakan harga mati yang tak bisa ditawar dengan apa pun. Sehingga modernitas organisasi yang didukung oleh kepemimpinan elit yang jelas mendapatkan dukungan penuh dari rakyat. Sebagai rakyat kita merindukan organisasi politik yang mempunyai sistem dan visi yang jelas. Partai politik dengan sistem yang modern yang akan melahirkan pemimpin dan kader yang berjuang mewujudkan kesejahteraan rakyat. Tugas besar parpol untuk menghilangkan stigma negatif dari rakyat bahwa partai politik sarangnya koruptor dan pemimpin pencitraan tanpa visi jelas. Akankah partai politik mampu menjawab tantangan ini. Kita tunggu saja.

*Penulis adalah mahasiswa yang jarang mandi

Lakon Gerakan Hiruk Pikuk Oleh: Agus Teriyana*

ungkapkan pada tulisan Soewarsono dalam buku Penakluk Rezim Orde Baru, bahwa: “Para penggerak angkatan 1908 adalah para mahasiswa yang mendapat beasiswa dari pemerintah kolonial dan bersama para ekstemiran Indische Partij, di negeri Belanda sana telah menemukan tanah air dan bangsanya dan mereka namai Indonesia- sebuah nama yang dipilih untuk menghindari dominasi Jawa, meskipun sebagai akibat bersifat anti historis.� Selanjutnya diteruskan oleh angkatan 1928, di mana populer dengan peninggalannya Sumpah Pemuda. Lima tahun setelah Indonesia mengumandangkan kemerdekaannya, di bawah kepresidenan Soekarno, kuantitas pemuda Indonesia yang memilih untuk mendidik diri di lembaga pendidikan perguruan tinggi

mengalami kenaikan yang pesat. Sehingga mulai tahun 1950-1965 perguruan tinggi di Indonesia mengalami peledakan jumlah mahasiswa. Dari buku Penakluk Rezim Baru disebutkan, tahun 1945-1946 terdaftar 387 mahasiswa, sedangkan di tahun 1965 ada sekitar 280 ribu mahasiswa. Kuantitas mahasiswa yang kian meningkat tersebut membawa kabar baru bagi pergerakan masyarakat Indonesia, untuk menciptakan wadahnya dalam identitas mahasiswa. Sehingga muncullah organisasi-organisasi mahasiswa. Diawali dengan berdirinya Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) pada tanggal 5 Februari 1947. Tiga bulan kemudian, Perhimpunan Mahasiswa Kristen Mahasiswa (PMKI) mendeklarasikan dirinya pada tanggal 25 Mei 1947. Bak jamur di musim hujan, ban-

alektika gerakan pun mulai berkembang pesat akibat reprsifitas Orde Baru Soeharto.

yak mahasiswa yang tergerak menghidupkan organisasi mahasiswa, yang kemudian juga mendeklarasiakan diri, seperti Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) dan Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI). Mengingat warisan angkatan 1966, yang mana kuantitas organisasi masa mahasiswa semakin banyak, serta jejak peninggalannya di panggung sejarah yang berhasil menurunkan Soekarno dari kursi pemerintahan. Berkat bantuan per gerakan mahasiswa dalam menurunkan Presiden Soekarno, tahun 1967 peta politik Indonesia berubah di bawah kepemimpinan Soeharto. Pada masa awal-awal pemerintahannya, Soeharto hadir sebagai pendekar yang memilih peran menyikat habis Partai Komunis Indonesia (PKI) yang diklaim berbahaya bagi NKRI. Di-

Gerakan hari ini Gerakan tak lagi gerakan, tapi gerak-gerik. Gerakan hanya sekedar penggembira. Germa hari ini tidak memiliki arah mewarnai kampus untuk mengubah. Gerakan terjebak pada ikhwal politis atau sekedar jadi Event Organizer (EO) belaka. Gerakan sekarang mengambang, tak punya massa jenis yang cukup besar untuk sekedar membuat orang tenggelam (apalagi tercerahkan). Ramainya masih, seperti ketika ada acara lintas gerakan masih banyak, meskipun lintas ideologis fakultas atau kampus, tapi sangat jarang lintas gerakan yang beda ideologis. Kalaupun ada, mereka tak senang berlama-lama. Enggan mempelopori kerja gerakan, padahal penggerak sedikit, tapi yang manja untuk digerakkan banyak. Malamnya, menyemut di warung kopi, terjebak dalam kultur ngopa-ngopi yang tak jelas orientasinya. Apakah sebuah kemustahilan di era stylih ini, Germa menyuarakan toa-toa revolusionernya kembali? Bukankah makin banyaknya bendera gerakan, akan lebih banyak juga perspektif advokasinya, dan tentunya akan lebih mudah untuk menghentikan kebijakan yang sewenang-wenang? *Penulis adalah fans mutlak Raisa daripada Isyana


Kolom Editorial

Apa Kabar Perpustakaan UIN Jakarta? Keberadaan Perpustakaan bagaikan jantung di setiap universitas, tak terkecuali di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Perpustakaan yang tiap harinya tak pernah sepi dari pengunjung seharusnya bisa memberikan fasilitas memadai baik dari segi pelayananya ataupun dari segi koleksi yang ada di dalam perpustakaan itu sendiri. Tak sejalan dengan keinginan, fasilitas dan pelayanan Perpustakaan UIN Jakarta masih sangat jauh dari kata sempurna. Lihat saja dari sistem pengelolahan biaya denda keterlambatan peminjaman buku yang belum transparan. Walau sudah tercantum dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 116 tahun 2013 tentang Tarif Layanan Umum UIN Jakarta. Di PMK tersebut dijelaskan bahwa tarif denda telat mengembalikan buku sebanyak Rp500. Sedangkan tarif besar pustaka Rp5000. Namun bayaran masuk non-UIN Jakarta yang dikenakan Rp3000 tak termaktub di PMK. Belum lagi dari koleksi buku seluruh Perpustakaan Fakultas (PF) sejak 2016 lampau belum menerima buku-buku baru karena tersendat dana. Untuk sementara waktu hanya Perpustakaan Utama (PU) saja yang menerima koleksi baru itu pun hasil hibah dari Perpustakaan Nasional. Padahal sudah tertulis secara jelas dalam Pedoman Penyelenggaraan Perpustakaan Perguruan Tinggi, koleksi merupakan salah satu unsur perpustakaan yang utama. Selain itu, Undang-undang (UU) Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan menyebutkan, koleksi perpustakaan adalah semua informasi dalam bentuk karya tulis, karya cetak dan karya rekam dalam berbagai media yang mempunyai nilai pendidikan. UU ini pun menerangkan bahwa penambahan koleksi perpustakaan per tahun minimal 2% dari total koleksi yang sudah ada. Permasalahan semacam uang denda dan koleksi yang tak kunjung bertambah pun menjadi sorotan. Selain itu, PP dan PF masih amat kurang pustakawan yang mengurusi lapaknya. Masih banyak pegawai perpustakaan UIN Jakarta yang bukan lulusan ilmu perpustakaan. Padahal, idealnya seorang pustakawan memilki pendidikan paling rendah Diploma II. Dan teruntuk pihak kampus seharusnya lebih memperhatikan dan peduli dengan seluruh perpustakaan yang ada di UIN Jakarta. Bagaimana pun peran perpustakaan haruslah ideal. Sebab, perpustakaan di sebuah universitas adalah referensi utama mahasiswa dalam mencari buku yang bersangkutan dengan mata kuliah.

Tabloid INSTITUT Edisi XLIX / MEI 2017

|9

Demokrasi Sebatas Festival, Suara Rakyat (Lagi-lagi) Dibungkam

N. Naharin* Anggota Aktif LPM Dimensi IAIN Tulungagung Tahun 1998 menyisakan kengerian mendalam baik bagi aktivis dan pergerakan mahasiswa. Tahun-tahun sebelum rezim orde baru tumbang merupakan tahun yang berat bagi sejarah pergerakan kita. Sebuah reformasi yang membutuhkan tumbal ratusan nyawa, begitulah ingatan itu muncul dalam benak kita. Tidak hanya warga sipil, namun mahasiswa juga ikut menjadi tumbal mewujudkan reformasi. Selepas Indonesia mengalami reformasi, pergerakan mahasiswa seakan tertidur panjang. Runtuhnya orde baru dianggap kemenangan mutlak telah berada di tangan rakyat. Pemerintahan dianggap telah dijalankan sesuai dengan undang-undang. Sehingga tidak ada pantauan khusus pergerakan mahasiswa terhadap pemerintah. Hal ini berlangsung lama dan terus menerus sampai sekarang yang mengakibatkan kekuatan pergerakan mahasiswa pun melemah. Pergerakan sudah tidak punya taring menentang penguasa, bahkan malah menjadi robot-robot terdidik. Namun tahun-tahun ini pergerakan mahasiswa mulai bangun dari tidur panjangnya. Tentu kita masih ingat bagaimana kebebasan akademik mahasiswa dibatasi di lingkungan kampus. Hal ini terjadi dalam kurun waktu beberapa tahun belakangan. Pembatasan ini berupa pembubaran kegiatan akademik, seminar, maupun diskusi yang bertema sensitif. Bahkan pembubaran ini tidak hanya dilakukan oleh aparatur negara namun juga ormas yang sentimen dengan tema sensitif. Padahal sudah ada undang-undang yang mengatur tentang kebebasan akademik, dimana sivitas akademika berhak melakukan kajian-kajian sekalipun kajian itu sangat sensitif. Pelanggaran undang-undang tentang kebebasan akademik inipun memicu matinya kebebasan berorganisasi dan berkegiatan khususnya mahasiswa. Setelah kebebaan akademik, kemarin terjadi lagi pengingkaran kebebasan berekspresi terhadap pers mahasiswa yang sedang melakukan peliputan aksi. Kawan-kawan Lembaga Pers Mahasiswa Bursa Obrolan Mahasiswa (LPM BOM) awalnya meliput aksi dalam rangka Hari Pendidikan Nasional. dianggap telah melakukan pemukulan saat terjadi demonstrasi. Mulanya demonstrasi sudah selesai dan para demonstran sudah banyak yang akan membubarkan diri. Namun secara tiba-tiba terjadi kericuhan (lagi) antara mahasiswa yang demonstrasi dan aparat keamanan. Itulah awal mula terjadinya kericuhan pascademonstrasi dan mengakibatkan kawan-kawan LPM BOM ditangkap. Kabar penangkapan ini semakin menjadi viral dan menimbulkan empati dari kalangan pers mahasiswa dari berbagai daerah. Hal ini disebabkan tidak adanya iktikad baik dari aparatur negara untuk melakukan dialog. Sehingga hal ini semakin memicu panasnya pers mahasiswa untuk turut melakukan

aksi dengan pernyataan sikap. Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) sebagai salah satu organisasi yang mewadahi pers mahasiswa pun mendorong kawan-kawan LPM diseluruh Indonesia untuk galang aksi dengan pernyataan sikap. Pernyataan sikap ini merupakan bukti bahwa sebagai pers mahasiswa maupun pergerakan mahasiswa mereka mempunyai kode etik dan tidak berlaku anarkis. Sebagai petugas yang seharusnya mengamankan kondisi, memberikan kenyamanan mereka malah mencitrakan sebaliknya. Mereka memasuki kampus dengan persenjataan lengkap dan meneror mahasiswa. Tidak segan-segan bahkan juga terjadi pemukulan terhadap kawan-kawan pers mahasiswa ini, terbukti dengan luka-luka di tubuh mereka. Jika kita pikirkan lagi, mana yang lebih menakutkan dan anarkis? Pers mahasiswa sebagai representasi rakyat atau aparatur negara yang represif terhadap bentuk demonstrasi. Seolah kembali kepada rezim orde baru, kebenaran sengaja ditutupi dan geliat sebagai manusia hukum yang baik pun diingkari. Padahal sebelum jatuh putusan dari hakim seharusnya diterapkan asas-asas peradilan, yaitu asas praduga tak bersalah, asas legalitas, melindungi hak asasi manusia, juga equality before law. Atmosfir ini semakin membuat pergerakan mahasiswa memanas dan tumbuh besar.

Demokrasi Sebatas Festival Negara Indonesia menganut sistem demokrasi Pancasila, dimana demokrasi dilaksanakan mengacu pada Pancasila. Sedangkan saat ini kekecewaan mendalam tentunya sudah lahir sebagi akibat pelaksaan demokrasi yang dianggap menyimpang. Seringkali orang yang melakukan demonstrasi dianggap barbar dan anarkis. Pancasila selalu dimanfaatkan sebagai dalang legalitasasi dari semua tindakan represif aparatur negara. Inilah kebobrokan oknum-oknum yang tidak mau membuka diri terhadap tafsiran tindakan demonstrasi rakyat untuk demokrasi. Sehingga timbul anggapan bahwa menyuarakan keluh kesah dianggap menyalahi aturan dan dianggap pengganggu. Kemudian pantaslah jika aparatur negara menindak tegas, seperti menangkap aktivis bahkan melakukan tindakan represif berupa pemukulan. Demonstrasi sejatinya merupakan ben-

tuk ekspresi rakyat untuk menyuarakan kegelisahan, pendapat kepada penguasa. Kita dapat melihat bagaimana demonstrasi pulalah yang menumbangkan rezim orde baru. Kita tidak bisa memungkiri meskipun demonstrasi saat itu memang berani dan terkadang anarkis. Namun, hal itu terjadi karena tekanan demi tekanan rezim yang menyebabkan rakyat jenuh. Perlu kita lihat lagi bahwa zaman telah berubah begitu pula pola pikir rakyat yang mulai mengubah arti demonstrasi kedalam bentuk yang lebih baik. Perbedaan demonstrasi saat itu dan sekarang, dimana demonstrasi saat ini cenderung lebih kalem dan lembut. Demonstrasi yang dilakukan paling banter hanya long march dan aksi dengan catatan sudah mengantongi izin. Bahkan jika demonstrasi yang dilakukan tidak membuahkan hasil sekalipun mereka tidak akan terus ngeyel dengan melakukan anarkisme. Tentunya tidak ada iktikad untuk membuat kerusuhan dalam diri demonstran dimana demokrasi yang baik merupakan dialog mufakat. Pada kenyataannya pergeseran nilai memang benar-benar terjadi dalam terminologi demonstrasi. Demonstrasi yang dulunya dijadikan aksi untuk mencapai demokrasi dianggap berubah orientasi menjadi sekedar aksi brutal. Tentu ini sangat ironis sebab demokrasi telah menjadi hantu dalam masyarakat terutama dalam pandangan aparatur negara. Demokrasi telah mati dan tertimbun dalam liang lahat oleh aparatur negara. Tidak adanya dialog dan tindakan sewenang-wenang aparatur negara merupakan bukti kematian demokrasi. Demokrasi sudah dicengkeram dan tidak mendapatkan napas kehidupannya lagi. Kemudian bayangkan saja kita hidup dalam negara yang menganut demokrasi, namun demokrasi hanya sekedar festival. Festival demokrasi hanya akan menjadi kegiatan menangkap para aktivis yang dianggap mengganggu. Tidak lama lagi akan menjadi tren yang menuntun pola pikir masyarakat untuk diam meskipun tertindas. Kenyataannya demokrasi hanya menuntun tangan besi aparatur negara untuk membungkam aktivis dan membungkam rakyat.

Bang Peka


Iklan

Tabloid INSTITUT Edisi XLIX / MEI 2017

| 10

Quote of the month

Mahatma Gandhi

Jarang orang menjadi baik hanya demi kebajikan, mereka menjadi baik karena keadaan mengharuskan.


Wawancara

Tabloid INSTITUT Edisi XLIX / MEI 2017

| 11

Keterbukaan Informasi Dijamin Konstitusi Setiap badan publik wajib menyediakan informasi yang diminta masyarakat termasuk pe- ngelolaan keuangan. Dalam penjelasan Undang-Undang (UU) No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, salah satu elemen penting dalam mewujudkan penyelenggaraan negara yang terbuka adalah hak publik untuk memperoleh informasi sesuai perundang-undangan. Hak setiap orang untuk memperoleh informasi juga relevan demi meningkatkan kualitas dalam pengambilan keputusan publik. Badan publik sendiri terdiri dari semua lembaga legislatif, eksekutif, yudikatif, dan badan lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara. Biaya operasional badan publik berasal dari Anggaran dan Pendapatan Negara (APBN) maupun dari sumbangan masyarakat. Di bidang pendidikan khususnya perguruan tinggi (PT), Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah sendiri dapat dikategorikan sebagai badan publik. Namun nyatanya, masih banyak PT yang belum mampu mengamalkan UU tersebut. Bagaimana cara PT mengelola keuangan yang tersedia? Apakah ketersediaan informasi pengelolaan keuangannya sudah sesuai aturan? Berikut hasil wawancara reporter Institut Muhamad

Ubaidillah dengan Direktur Eksekutif Pusat Kajian Keuangan Negara Prasetyo, Sabtu (13/5). Apa maksud dari transparansi keuangan? Transparansi memiliki arti keterbukaan, tidak abu-abu, atau jelas. Dalam UU itu, rakyat memiliki hak untuk mendapat informasi dari pejabat publik tentang pengelolaan keuangan negara, termasuk anggaran. Jadi, badan publik wajib memberikan informasi jika ada permintaan dari masyarakat. Seberapa penting transparansi keuangan? Sangat penting. Sesuai tujuan UU No. 14 Tahun 2008, transparansi keuangan bisa memicu antara pemerintah dan masyarakat dalam membentuk open government. Jika masyarakat ikut mengawasi, pemerintah diharapkan mampu untuk mengelola keuangan negara secara tepat sasaran dan bisa dipertanggungjawabkan. Apakah hasil Audit dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) berhak diakses masyarakat ? Dalam amanat UU No 14 tahun 2008, informasi publik bersifat terbuka dan berhak diakses oleh publik. BPK sendiri memiliki kewajiban untuk mengaudit lembaga-lembaga negara dan mempublikasikan hasil auditnya

Ralat

ke masyarakat. Tetapi, sebelum masyarakat bisa mengakses hasil audit, BPK terlebih dulu melaporkan hasil tersebut kepada Presiden, DPR, DPD serta DPRD. Akan tetapi ada informasi yang dikecualikan dan bersifat rahasia, seperti informasi yang dapat menghambat proses penegakan hukum, membahayakan keamanan dan ketahanan negara, dan yang mengganggu kepentingan perlindungan hak kekayaan atas intelektual. Selain itu, informasi seperti kekayaan alam indonesia, ketahanan ekonomi nasional, dan kepentingan hubungan luar negeri juga menjadi informasi yang tak boleh dipublikasi secara umum. Tak hanya itu, Pasal 17 UU No. 14 Tahun 2008 menyebut bahwa informasi berupa wasiat seseorang atau akta otentik yang bersifat pribadi dan data rahasia yang sifatnya pribadi juga menjadi poin yang dikecualikan. Poin-poin di atas tak boleh dipublikasi secara luas, kecuali atas putusan Komisi Informasi atau pengadilan. Apakah BPK mengaudit lembaga pendidikan seperti UIN Jakarta? BPK memiliki tugas mengaudit semua lembaga negara baik eksekutif, yudikatif, legislatif, Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah, termasuk lembaga pendidikan.

Pada Tabloid INSTITUT edisi XLVIII hal. 1 kolom dua tertulis, “Lembaga Penjamin Mutu,” Seharusnya ditulis, “Lembaga Penjaminan Mutu”

Pada Tabloid INSTITUT edisi XLVIII hal. 2 kolom satu tertulis, “Ruang Diorama” Seharusnya ditulis, “Auditorium Harun Nasution” Pada Tabloid INSTITUT edisi XLVIII hal. 4 pada berita Kemelut Transisi Kurikulum Baru kolom satu tertulis, “Nurul Aaeni” seharusnya “Nurul Aeni”

Pada Tabloid INSTITUT edisi XLVIII hal. 6 rubrik Survei, kolom lima tertulis “2016’ seharusnya ditulis “2017” Pada Tabloid INSTITUT edisi XLVII hal. 13 rubrik Komunitas kolom 3,4, dan 5 tertulis “KOBRI” seharsunya ditulis “KORBI”

SEGENAP

Foto: April/Ins

Untuk menciptakan pemerintahan yang terbuka, pengelolaan negara harus transparan. Semua informasi yang tak dikecualikan tak harus dirahasiakan.

UIN Jakarta sendiri termasuk diaudit karena status kampusnya berada di bawah Kementerian Agama sekaligus berbentuk Badan Layanan Umum (BLU). Bagaimana pandangan anda terkait pengelolaan keuangan di PT saat ini? Tata kelola keuangan di kampus-kampus negeri sejauh ini baik, terutama dari segi laporan keuangan yang rutin dilaksanakan. Tetapi, akuntabilitas dalam segi output tata kelola keuangan harus diperbaiki. Contohnya yakni apabila kampus mempunyai dana 600 milyar, maka jumlah uang itu harus dikelola dengan baik dan transparan. Jika tidak, maka kampus itu sama saja dengan agen-agen perusahaan yang perannya seperti mencari untung bagi pihak-pihak yang bekerjasama.

Dalam mengaudit keuangan, di manakah temuan biasanya terjadi? Temuan biasanya terjadi saat lembaga tengah melaku-

kan perencanaan untuk belanja modal, seperti pembangunan gedung ataupun penyediaan alat penunjang berupa tanah dan mobil. Selain belanja modal, juga terjadi di belanja rutin seperti membeli tambahan-tambahan kekurangan barang operasional seperti membeli peralatan alat tulis kantor. Lalu, rawan terjadi temuan juga di kegiatan perjalanan dinas yang dilakukan oleh pihak internal suatu lembaga.

Bagaimana tanggapan Anda ketika ada lembaga yang enggan memberikan hasil audit dengan alasan rahasia ? Saat BPK menemukan kejanggalan dalam mengaudit suatu lembaga, biasanya ketakutan lembaga yang bersangkutan akan muncul. Mereka pun mencari celah agar publik tak bisa mengakses data itu dengan alasan rahasia. Namun, hak masyarakat sendiri sudah terjamin konstitusi yang berlaku. Sesuai dengan UU Keterbukaan Informasi Publik, apabila hasil itu sudah dilaporkan kepada wakil rakyat, maka masyarakat umum bisa mengakses hasil audit tersebut.

Surat Pembaca

Saya mahasiswa KPI, FDIK, mengeluhkan tempat parkir sepeda yang sudah dalam kondisi rusak. . 085221984xxx Saya mahasiswa FITK, semoga aspirasi saya didengar oleh petinggi UIN Jakarta. Proses peminjaman tempat di UIN ribet dan birokrasinya kepanjangan. 089808777XXX Saya mahasiswa FISIP, menyayangkan pembayaran UKT yang tidak transparan sistemnya, kasihan adik saya. 087808445xxx

KELUARGA BESAR LPM INSTITUT MENGUCAPKAN SELAMAT MENUNAIKAN IBADAH PUASA 1438 H /2017 M


Resensi

Tabloid INSTITUT Edisi XLIX / MEI 2017

| 12

Tapak Tilas Korupsi Indonesia Eko Ramdani ramdanieko14@gmail.com

Fenomena korupsi menjadi catatan hitam dalam sejarah Indonesia. Sebuah pekerjaan besar bagi bangsa Indonesia untuk memberantasnya.

Sumber: conversationsabouther.net

Dua ratus tahun lalu sebelum Perang Jawa dimulai, tepatnya tahun 1825 hingga 1830, Pangeran Diponegoro di depan para kerabat Keraton Yogyakarta menampar Danurejo IV dengan selopnya. Sebab, Danurejo IV menyewakan lahan milik keraton pada bangsa Eropa. Keuntungan yang didapat Danurejo IV untuk memperkaya diri sendiri. Danurejo IV merupakan Patih Yogyakarta dengan masa jabat 1813 hingga 1847. Selama menjabat sebagai patih, Danurejo banyak melakukan kegiatan korup. Melalui pengadilan, Danurejo IV berwenang membebaskan terdakwa apabila mereka memberikan sejumlah uang atau perempuan kepadanya. Istilah “wani piro� sendiri berasal dari perkara korupsi sudah dikenal sejak 200 tahun silam. Bupati Karanganyar (18321864) Raden Adipati Joyodiningrat menuliskan naskah pertama tentang korupsi di Jawa. Dalam tulisannya, Joyodiningrat menceritakan kasus korup yang

Eli Murtiana eli.murtiana@gmail.com

Kesulitan mampu menggoncangkan jiwa. Kecukupan kadang menyesatkan hingga mampu melupakan asal diri. Kehidupan Saroo Brierley (Sunny Pawar) sejak kecil mengalami konflik yang bertubi-tubi. Bermula ketika Ia terpisah dari kakaknya, Guddu (Abhishek Bharate) memaksa Ia harus bertahan hidup di daerah baru seorang diri. Sampai Ia harus diadopsi dan memberikan kehidupan baru yang membahagiakan. Hingga bayangan kehidupan yang terlupakan dari India memaksanya untuk kembali pulang.

dilakukan Danurejo IV dalam sebuah persidangan. “Agar perkara selesai, segala tergantung kehendak Danurejo IV. Barang siapa yang menyerahkan uang atau barang atau khususnya perempuan cantik dialah pemenang perkara,� itulah sedikit penggalan dari Joyodiningrat. Dalam pengadilan di era Danurejo IV, pihak yang tak terima vonis hakim akan dijatuhkan hukuman lebih berat. Bermacam fitnah diutarakan demi memenangkan orang yang telah memberikan suap pada Danurejo IV. Tak hanya itu, pihak oposisi dianggap Danurejo IV telah memelihara rampok dan saksi-saksi mahir dalam merekayasa bukti. Pada akhirnya, Danurejo berhasil memenangkan sidang dan membuat lawannya dihukum ataupun didenda. Perjalanan korupsi di Indonesia juga tak lepas dari usaha pemberantasannya. Dalam catatan sejarah, Herman Willem Daendels merupakan salah satu orang yang berusaha menghilangkan prak-

tik korup di Hindia Belanda. Ia datang ke Indonesia atas perintah Raja Louis Napoleon dari Prancis yang tergabung dalam pasukan Belanda. Daendels sendiri bertugas memberantas warisan korupsi dari Perusahaan Belanda Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) yang bangkrut karena korupsi pula. Di Indonesia, Daendels menjabat sebagai Gubernur Jendral Jawa selama tiga tahun (18081811). Walau terhitung singkat, Ia berhasil membuat perubahan, salah satunya di bidang infrastruktur. Peninggalan Deandels yang terkenal sampai saat ini adalah Jalan Raya Pos yang menghubungkan ujung barat (Anyer) hingga timur Jawa (Panarukan). Dengan sistem kerja paksa (rodi), jalan raya ini memakan korban tewas hingga lima belas ribu orang. Tak hanya infrastruktur, Daendels juga membangun sistem pemerintahan yang tujuannya mengurangi praktik korup. Ia menjadikan Batavia sebagai pusat pemerintahan di Jawa. Dari sini, gubernur daerah terpaksa mengurangi kekuasaannya dan mengalihkan keputusan lewat pe-

merintah pusat. Petikan sejarah di atas merupakan salah satu bagian dalam buku Korupsi Dalam Silang Sejarah Indonesia. Buku ini bercerita tentang sejarah korupsi di Indonesia dari zaman kerajaan hingga era reformasi 1998. Ditulis oleh Peter Carey dibantu oleh wartawan senior Kompas Suhardiyoto Haryadi, buku berbentuk persegi ini ingin memberikan semangat memberantas korupsi bagi bangsa Indonesia. Tampilan muka buku berupa lukisan Pangeran Diponegoro yang sedang menampar Danurejo IV yang korup. Gambar itu diam-

bil dari Perpusatakaan Universitas Leiden, Belanda. Sedangkan sampul belakang berisi lukisan Raden Saleh yang menggambarkan korban banjir bandang akibat hujan besar di Banyumas pada 21 dan 22 Februari 1861. Berisi empat bab, buku ini menceritakan perjalanan korupsi dari waktu ke waktu. Sumber buku juga disertakan secara detail, catatan belakang, dan daftar pustaka menjadi akhir masing-masing bab. Kelengkapan data yang disajikan membuat tulisan yang dirangkai terasa detail tanpa menyisakan tanya bagi pembacanya.

Kala itu, kemiskinan membuat Kamla (Priyanka Bose) ibu dari Saroo, Guddu dan kedua anaknya harus bertahan hidup sebagai kuli angkut batu. Bahkan untuk membeli dua gelas susu, Saroo dan Guddu harus mencuri batu bara dari kereta api. Tidak tahan melihat kondisi keluarganya, Guddu pun bekerja untuk memenuhi kebutuhan ketiga adiknya yang masih kecil. Saroo kecil berinisiatif membantu kakaknya untuk bekerja sebagai kuli angkut jerami. Namun, Guddu menolaknya lantaran pekerjaannya terbilang berat dan dilakukan saat malam hari ketika kebanyakan anak kecil terlelap dalam tidurnya. Saroo berusaha meyakinkan sang kakak dan akhirnya mereka pun pergi untuk bekerja. Dari tempat tinggalnya, Ganesh Talai mereka berangkat menggunakan kereta sejak pagi hari. Menjelang malam, ketika sampai di stasiun, Saroo kecil tertidur lelap dalam dekapan Guddu. Ia pun meninggalkan Saroo di kursi peron stasiun, sambil membangunkannya untuk tidak mening-

galkan tempat itu. Ketika terbangun, kesendiriannya membuat Saroo berjalan memasuki kereta yang sedang berhenti. Alhasil, ia pun duduk dan tak lama tertidur di dalam gerbong kereta. Saat terbangun di pagi hari, Saroo panik mendapati dirinya tidak menemukan keberadaan Guddu. Apalagi kereta yang ia tumpangi sedang melaju meninggalkan stasiun tempat Guddu berada. Saroo kecil berlari kesana kemari mencari pertolongan, akan tetapi kereta tetap melaju tanpa ada tanda-tanda akan berhenti. Akhirnya kereta pun berhenti di Stasiun Howarah, Kolkata yang berjarak 1.600 km dari Ganesh Talai setelah dua hari Saroo terjebak didalamnya. Ketika keluar dari kereta, Saroo terus berteriak memanggil sang kakak, Guddu dan daerah asalnya, Ganesh Talai. Akan tetapi, tak satupun memahami bahasa Hindi yang ia ucapkan karena Kolkata, menggunakan bahasa lain yaitu bahasa Bengali. Kesulitan berlanjut ketika Saroo harus tidur di lorong stasiun hingga ia harus lari dari kejaran orang yang ingin menculiknya. Sempat mendapat harapan dari orang yang menawarkan pertolongan dari suami istri bernama Noor (Tannishtha Chatterjee) dan Rama (Nawazuddin Siddiqui). Mereka berjanji akan mengantarnya pulang, namun setelah mencuri dengar obrolan Noor dan

Rama, ia akhirnya tahu bahwa ia akan dijual. Hal tersebut membuat Saroo lari menyelamatkan diri hingga suatu hari ia bertemu dengan pria berbahasa Hindi dan mengantarnya ke kantor polisi. Saroo akhirnya dibawa ke tempat penampungan anak-anak terlantar. Di penampungan itu, ia mendapat tempat tinggal, makanan serta pendidikan bersama anak-anak lainnya. Namun tempat penampungan ini hanyalah sementara hingga nantinya ia diadopsi oleh keluarga baru. Tak lama, pasangan suami istri dari Australia yaitu John Brierley (David Webham) dan Sue Brierley (Nicole Kidman) mengadopsi Saroo. Kehidupan baru Saroo dimulai, dengan penuh kasih sayang John dan Sue merawat dan membesarkannya. Setahun berlalu, John dan Sue pun mengadopsi lagi seorang anak lelaki dari India yang bernama Mantosh. Setelah 20 tahun berlalu, Saroo (Dev Patel) tumbuh menjadi pria dewasa harapan John dan Sue. Hingga Saroo dewasa mengambil kuliah pada Jurusan Manajemen Perhotelan. Selama kuliah, ia banyak bertemu dengan mahasiswa lain yang berasal dari India dan sering mengadakan perkumpulan. Dari sanalah, ia kembali teringat akan tanah kelahirannya India, terutama Guddu, ibu dan adik-adiknya.

Putus asa Saroo mengingat daerah asalnya, saat itu ia masih kecil dan belum mengetahui persis di mana letak rumahnya. Dengan bantuan teman dan teknologi internet bernama Google Earth, Saroo terus mencari tempat tinggalnya dahulu di India. Bahkan, ia sempat mengasingkan diri dari keluarga angkatnya agar tidak menyakiti perasaan keluarga angkatnya. Hingga akhirnya ia berhasil menemukan ibunya, Kamla dan adiknya. Kekecewaan muncul ketika Saroo mengetahui bahwa Guddu telah tiada. Ia menyadari bahwa selama ini ia sempat menyerah dan melupakan perasaan keluarga kandungnya. Di akhir cerita, ia mengetahui bahwa ternyata selama ini telah salah dalam pengucapan namanya. Bahwa Saroo harusnya dieja Sheru yang berarti Lion. Menyadarkan bahwa semangat hidupnya umpama singa si raja hutan, yang terus bertahan hidup dalam lingkungan mana pun. Mengambil alur cerita di dua negara yaitu India dan Australia, film berjudul Lion garapan sutradara Garth Davis menampilkan permasalahan lazim di India. Memberikan gambaran perjuangan seorang anak untuk bertahan hidup di lingkungan baru. Film yang diadaptasi dari buku yang berjudul a long way home merupakan kisah nyata dari sang penulis yaitu Saroo Brierley.

Lepas Ingatan Keluarga


Sosok

Tabloid INSTITUT Edisi XLIX / MEI 2017

| 13

Mustolih Siradj

Bela Masyarakat lewat Gugat Dicky Prastya dickyprastya234@gmail.com

Foto: Dokumen Pribadi

Sempat dijuluki anti sumbangan, Mustolih Siraj tetap teguh melawan para pihak komersial. Gugat menggugat pun dilakukan demi membela kepentingan masyarakat.

Ditemui di Klinik Bantuan Hukum, Mustolih Siradj tengah duduk sembari memegang handphone. Pria yang juga Koordinator Klinik Bantuan Hukum Fakultas Syariah dan Hukum (FSH) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta ini langsung bergegas meletakkan handpone di meja kerjanya. Perbincangan kemudian dimulai ketika mempertanyakan kasus tuntutan yang pernah Ia layangkan pada Alfamart. Sebelumnya, tak pernah terpikirkan oleh seorang Mustholih jika permintaannya akan dibalas Alfamart lewat meja hijau. Perlawanannya mendapatkan transparansi donasi konsumen Alfamart menjadi pengalaman yang membanggakan Mustolih. Terlebih, ia berhadapan sendiri melawan 14 pengacara yang salah satunya tokoh kondang Yusril Ihza

Mahendra. Tuntutan dimulai ketika rasa penasaran Mustolih dari kebiasaannya berbelanja kebutuhan sehari-hari. Saat tengah melakukan pembayaran, Ia menaruh curiga karena uang sisa kembalian dijadikan sumbangan oleh pihak Alfamart. Terlebih, jumlah uangnya sebesar Rp100 hingga Rp400 tak ditulis dalam struk belanja. “Saat saya mencoba bertanya, kasir Alfamart malah menanyakan apa tujuan saya. Padahal kan itu hak konsumen,” kenangnya, Selasa (9/5). Dari pengalaman itu, pada 4 November 2015 lalu, Mustolih melayangkan surat permohonan data donasi konsumen Alfamart kepada PT. Sumber Alfaria Trijaya Tbk. Namun pihak bersangkutan malah menolak untuk memberikan tanggapan yang diajukan Mustolih. Ia pun kembali melayangkan permohanan sengketa ini kepada Komisi Informasi Pusat (KIP). KIP mengabulkan permintaan Mustolih dan mewajibkan Alfamart untuk membuka transpar-

ansi donasi konsumen. Bukannya memberi data, Alfamart malah menuntut Mustolih dengan alasan dana ini adalah milik Alfamart. Mereka pun membawa 14 pengacara demi menyelesaikan permasalahan tersebut. Sidang keterbukaan informasi ini dilalui Mustolih selama lima kali terhitung dari 2016 hingga sekarang. Walau menuntut secara individu, Mustolih tak sendiri dalam menghadapi pihak Alfamart. Ia dibantu dengan beberapa kerabatnya yang sama-sama berlatar hukum. Dukungan terus berdatangan saat Ia menceritakan gugatannya lewat status Facebook. Pihak Pengurus Besar Nahdatul Ulama melalui Ketua Umum Said Aqil Siradj pun turut mengajak masyarakat untuk berada di pihak Mustolih. Sebelumnya, Mustolih juga pernah menggugat lima pengelola amil zakat pada 2015 silam, yaitu Badan Amal Zakat Nasional (BAZNAS), Al-Azhar Peduli Ummat, Aksi Cepat Tanggap, Portal Infaq, dan PPPA Darul Quran. Kasusnya hampir sama seperti Alfamart, lembaga ini tak

memiliki transparansi soal kejelasan dana zakat. Terlebih, empat lembaga amil zakat selain BAZNAS tak mempunyai izin untuk mengadakan program sumbangan dana dari Kementerian Agama Republik Indonesia. Selama kurang lebih delapan jam, Mustolih menghadapi lima lembaga itu di persidangan KIP secara bergiliran. Namun, tuntutan Mustolih berhasil diterima KIP dan akhirnya mereka membuka data mengenai sumbangan zakat dari masyarakat. Tak hanya itu, pihak zakat ini juga mulai mengurus izin akibat gugatan Mustolih. Tak hanya sengketa informasi publik, Mustolih juga pernah menggugat Kompas di 2015 lalu. Saat itu, ia tengah membeli koran Kompas berjumlah tujuh eksemplar dengan harga Rp28 ribu. Ketika membaca, Ia merasa ada yang kurang nyaman karena adanya iklan yang menutupi halaman pertama koran. Berita yang harusnya didapat Mustolih malah terletak di halaman kedua setelah iklan. Dosen yang mengajar di FSH UIN Jakarta ini pun mengadukan keluhannya ke Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) DKI Jakarta. Ia berdalih, iklan di koran itu mengganggu haknya sebagai kenyamanan konsumen. BPSK pun

menerima tuntutan Mustolih dan menyuruh Kompas untuk membayar ganti rugi sebesar Rp28 ribu. Gugatan yang dilakukan pria asal Brebes ini bukan tanpa alasan. Mustolih berdalih bahwa hal itu bertujuan untuk mendidik kepedulian masyarakat sebagai konsumen. Menurutnya, masyarakat sekarang tak tahu menahu haknya sebagai pembeli. Darinya, masyarakat mulai kritis terhadap peran para produsen. Ia membuktikan ini lewat riset dari hasil perbincangan teman-temannya. Selama Mustolih menggugat, Ia kerap kali mempertanyakan manfaat kegiatan yang Ia lakukan. Teman-temannya seringkali memperingati Mustolih agar tak terlalu ngotot melakukan gugat-menggugat. “Buat apa sih melakukan itu, kaya enggak ada kerjaan saja,” ucapnya sembari menirukan gaya bicara teman-temannya. Akibat terlalu sering menggugat, Mustolih sempat dijuluki anti sumbangan. Ia berdalih, gugatan itu dilakukannya agar para lembaga ritel memiliki kejelasan atas apa yang mereka lakukan. “Jika mereka tidak ada masalah, ya teruskan saja gerakan donasi itu. Kalau takut, itu justru malah menimbulkan kecurigaan di pihak konsumen,” imbuhnya.

seperti rumah sakit yang menyembuhkan penderita, namun untuk mewadahi orang yang peduli terhadap penanganan bipolar. Bipolar merupakan salah satu gangguan jiwa, jelas Vindy, yang ditandai dengan perubahan suasana hati (mood) yang ekstrem. Seorang bipolar dapat mengalami manik dan depresi yang tidak terkendali. Perasaan senang berlebih dan depresi ini memiliki pola yang sama dalam peningkatan atau penurunannya. Selain itu, durasi saat kambuh pun berbeda antara penderitanya. Faktor penyebab bipolar bisa dari keadaan biologis, genetik, psikologis, dan lingkungan seseorang. Diagnosis penderita bipolar hanya bisa dilakukan oleh psikiater. Terapi idealnya dilakukan dengan menggunakan kombinasi dari obat-obatan, psikoterapi, spiritual serta dukungan dari lingkungan sekitar seperti keluarga, teman, dan pasangan. Sebagai wadah un-

tuk bipolar, Komunitas BCI berperan mendukung proses penyembuhan bipolar ini. Bentuk dukungan yang diberikan pun beragam, mulai dari memberikan informasi seputar bipolar, tips-tips mengatasi bipolar, serta kegiatan yang menunjang kepulihan. Salah satu kegiatan pendukung ini adalah Art Therapy yang menyediakan sarana pentas seni teater, seni lukis, serta menulis. Anggota komunitas pun sering berkumpul dengan anggota komunitas lainnya yang digunakan untuk saling berbagi informasi mengenai bipolar. Komunitas BCI ini tidak hanya dikhususkan untuk penderita bipolar saja, sebagian besar masyarakat umum yang peduli terhadap penderita bipolar pun dapat berperan aktif. “Yang ingin bergabung dengan BCI bisa bergabung di grup facebook “Bipolar Care Indonesia” atau follow Instagram “bipolarcare. indonesia” atau bergabung dalam grup whatsapp,” ucap Vindy. Dalam perjalanannya, komunitas BCI mengalami banyak perkembangan. Menurut Vindy banyak masyarakat yang memiliki kepedulian terhadap bipolar. Tapi tidak sedikit juga yang tidak mendukung dan bersikap masa bodo dengan keberadaan komunitas ini. Kebanyakan yang peduli ada-

lah yang memiliki sanak saudara yang memiliki gangguan bipolar juga. “Sedangkan yang lain kalau ada acara mereka asal lewat saja,” keluh Vindy. Tak putus asa, Vindy serta rekan komunitas yang lain pun banyak menjalin kerjasama untuk berlangsungnya kegiatan-kegiatan komunitas BCI. Misalnya, kegiatan psikoterapi kelompok yang didukung oleh Ikatan Psikolog Klinis Indonesia. Selain itu psikoedukasi yang bekerjasama dengan RS Marzuki Mahdi Bogor. Sebagai salah satu anggota komunitas BCI Bandung yang akrab disapa Ica mengungkapkan mengalami kesulitan dalam hal pergaulan. Tidak sedikit orang yang memahami kondisinya sebagai penderita bipolar. “Melalui komunitas ini saya merasa ada teman, hingga jika punya masalah bisa mencari solusi bareng,” ungkapnya, Jumat (12/5). Selain itu, wanita asal Bandung ini merasa ada teman senasib dan sepenanggungan setelah mengikuti komunitas BCI. Dengan bergabung dalam komunitas Ia mendapat tempat untuk membantu sesama penderita bipolar agar bisa mengontrol emosi serta stabilnya jiwa. “Bisa membuat mereka yang tadinya badmood jadi kembali senang,” pungkasnya.

Foto: Dokumen Pribadi

Pentingnya Memelihara Kesehatan Jiwa

Yayang Zulkarnaen yayang.zulkarnaen01@gmail.com

Penderita gangguan bipolar sering bermasalah dalam hal pergaulan. Naik turunnya suasana hati yang cukup drastis menjadi masalah utama bagi si penderita. Banyaknya penderita bipolar di tengah masyarakat menjadi alasan berdirinya komunitas Bipolar Care Indonesia (BCI). Salah satu masalah kejiwaan ini cenderung mengalami penolakan karena perubahan emosi yang drastis ini sukar ditebak gejalanya. Tak sedikit penderita justru menyendiri dan men-

gurung diri dari lingkungan sekitar. Komunitas BCI ini bertujuan untuk mewadahi orang dengan bipolar (ODB) dan siapa saja yang peduli dengan bipolar. “Bukan untuk menjadi crisis center yang menangani penderita bipolar,” tutur Wakil Ketua BCI Vindy Ariella, Kamis (11/5). Komunitas ini bukan

Komunitas


Sastra Cerpen

Tabloid INSTITUT Edisi XLIX / MEI 2017

Demokrasi di Mata Penjual Nasi

| 14

Oleh Nur Fitriani*

Pagi yang kejam untuk hari ini. Tak ada pembeli, tak ada yang perutnya tertarik makan nasi. Semua orang memilih membeli pitza, roti, dan makanan asing yang seumur hidupku hanya kulihat di layar kaca televisi Bu Ratmi. Bagaimana bisa aku memberi uang jajan anakku jika begini terus setiap hari. Buku mereka saja harus kucarikan di pasar loak yang disela-selanya banyak kecoak. Tak apalah, yang penting anakku rajin membaca tidak seperti anak mereka para orang kaya yang pandainya main Hp keren saja. Yang isinya saja anakku tak pernah bisa melihatnya. Aku tak ingin nasib mereka kelak sama sepertiku. Mereka harus bisa sekolah tinggi biar kelak bisa memperbaiki negeri ini. Jangan seperti masa mudaku dulu, yang terpaksa berhenti kuliah karena dipaksa untuk menikah. Ujung-ujungnya aku yang susah, suamiku tak tahu kemana hilang arah. Kalau bukan aku yang menyempatkan waktuku untuk sekedar menjual nasi di dekat gedung DPR ini, mau makan apa mereka? Sudah cukup kemarin lusa aku mengajak mereka berpuasa. Jika tidak, mungkin mereka akan kelaparan minta makan. Setiap hari aku harus melihat orang berlalu-lalang melewati daganganku dengan penampilan mereka yang menyilaukan. Dari ujung atas akan nampak rambut mereka yang berkilau seperti iklan sampo. Jika anakku minta rambutnya seperti mereka mungkin akan kuberi lem kayu biar mereka tak banyak maunya. Merembet ke bawah lihatlah pakaiannya, kemeja yang dimasukkan ke celana rapi yang baunya wangi berganti-ganti setiap hari. Ditambah lagi dengan jas dan dasi yang sepertinya sebutir kancing jasnya pun aku tak mampu beli. Yang tak mau kalah menyolok mata adalah sepatunya yang mengkilat. Sudah pasti setiap hari pembantunya rajin menyikat. Mereka tak akan mungkin mau membeli daganganku. Apalah artinya makanan murahan seperti yang kujual bagi perut mereka. Tak higinis, tak mengandung gizi tinggi. Sumber dari segala penyakit yang ada. Jangankan mau melirik makananku, mau mencium aromanya saja mereka tak akan bersedia. Cukup aku hanya bisa diam menunggu para pembeli rendah hati yang doyan kemari. Sembari menanti mereka, aku bersyukur sekali diberi kesempatan oleh-Nya dapat berjualan disamping penjual koran. Sang penjual akan memberikan koran bekasnya padaku dan kubalas kebaikannya dengan memberinya sebungkus nasi secara cuma-cuma. Merugi? Tidak sama sekali! Koran bekas itu dapat kumanfaatkan untuk bungkus nasi dan bonusnya dapat kugunakan untuk mencari informasi. Aku belajar dari koran bekas ini. Dari koran-koran bekas itu pula

aku tahu banyak hal tentang apa saja yang ada dibalik gedung DPR ini, meski tak semuanya kuketahui. Jika dibandingkan mereka, aku lebih memilih berdagang nasi seperti ini. Apalah gunanya punya kedudukan tinggi tapi makan uang haram hasil korupsi. Janjinya bisa mewakili aspirasi penduduk negeri, tapi nyatanya sering ingkar janji. Hobinya tidur dikala rapat berlangsung, berkoar-koar saat meminta kenaikan gaji. Gedungnya diperbaiki sampai mewah tak karuan indahnya, sementara itu di berbagai pelosok gedung sekolah sudah reyot memprihatinkan parahnya. Jika adu pendapat sukanya ngotot sampai mata melotot mirip seperti suster ngesot. Ah,aku lebih memilih berdagang nasi dari pada menjadi mereka yang doyan korupsi. Hari ini gedung DPR ramai didatangi para mahasiswa. Mereka berdemo-demo ria menikmati masa mudanya. Menyuarakan hak-hak rakyat yang sering tertindas harga dirinya. Jujur awalnya aku takut jika daganganku justru terkena lemparan massa. Namun hari ini aku beruntung karena keberadaan mereka. Mereka kelaparan setelah berpanas-panasan dan menyuarakan aspirasinya. Untuk pertama kalinya daganganku habis tak tersisa meski cuma tempe selapis. Aku turut senang melihat semangat mereka. Andai aku masih muda, aku ingin menyusup bersama mereka. Namun aku masih ingat usia. Masih ingat anak-anakku yang banyak jumlahnya. Semenjak kejadian itu aku selalu merindukan mereka mendemo gedung ini lagi. Aku bosan dengan kisah korupsi mereka dalam koran bekas yang selalu kubaca setiap pagi. Aku bosan melihat kesenjangan ekonomi yang semakin jelas dan menyerang keluarga kami. Yang kaya makin kaya, yang miskin makin merana. Dimana letak keadilan itu berada? Mungkin ia sedang disembunyikan oleh-Nya, dan akan dimunculkan kelak di hari pembalasan. Namun jika harus berlama-lama seperti ini, aku khawatir pada masa depan anakku nanti. Anak-anak yang kuharapkan kelak dapat merubah masa depan kami, masa depan negeri ini. Jika untuk biaya sekolah mereka saja aku harus hutang kemana-mana. Katanya sekolah gratis, tapi nyatanya banyak yang merasa keberatan dengan biayanya sampai nangisnangis. Katanya pendidikan itu hak bagi siapa saja, nyatanya banyak anak miskin yang putus di tengah jalan dan memilih untuk ngamen di jalanan. Parahnya lagi ada yang sampai disuruh menjadi pengemis. Meski mungkin perjuanganku untuk anak-anakku sangatlah berat, setidaknya aku masih bisa menikmati hari-hari melihat mereka sekolah dengan bersemangat. Sebentar lagi pesta demokrasi akan tiba. Pasti akan ada banyak

uang disana. Sudah lama anak keempatku ingin makan gulali. Aku menjanjikan padanya untuk membeli gulali jika hari pemilu tiba. Aku yakin pada hari itu pasti banyak pembeli merampok daganganku, ditambah lagi para pejabat pasti akan berebut memberikan amplop padaku. Mereka akan bersusah payah memintaku untuk memilih mereka. Mudah saja kita mendapatkan uang pada hari itu. Aku sangat senang sekali menanti hari itu tiba. Setiap hari aku tersenyum ria seperti orang yang sedang jatuh cinta. Tidak, ini bukan perkara aku mau menikah lagi. Tapi ini tentang kesenangan tersendiri bagi masyarakat miskin seperti kami. Kami akan kebanjiran rezeki dan bisa makan enak meski cuma sehari. Dan yang paling penting adalah, anakku bisa makan gulali. Satu minggu lagi hari itu akan tiba. Aku dan anak-anakku senang sekali menantinya. Setiap kali kami makan sesuatu yang rasanya tak begitu enak, mereka akan berkata, “Sabar Dik, seminggu lagi kita akan makan enak tidak seperti ini”. Adik-adiknya pun makan dengan lahapnya setelah mendengar kata-kata dari sang kakak. Mereka sangat berharap. Jangan sampai harapan mereka kandas, bisa-bisa kami akan nangis memelas. Tiba-tiba saja aku menjadi begitu takut. Takut jika hari bahagia itu tak pernah tiba. Takut jika para pejabat itu kelupaan membagikan amplopnya. Takut jika anakku yang telah banyak berharap kecewa. Apa yang akan kukatakan pada mereka? Apa aku harus mencari uang pinjaman agar mereka tetap menganggap bahwa hari itu masih ada? Nyatanya aku sudah terlalu sering meminjam, belum tentu diperbolehkan. Aku hanya berusaha berbaik sangka pada mereka. Aku harap meskipun mereka tidak pernah membeli nasiku, namun mereka bersimpati padaku. Setidaknya jika mereka malas menemui-

ku secara langsung, mereka akan menitipkan amplopnya pada orang lain. Jika memang itu tidak terjadi, aku hanya bisa pasrah. Mungkin suaraku tak begitu penting untuk mereka yang memandangku sebagai orang susah. Mungkin aku akan berusaha menjualkan nasiku di TPU yang dekat dengan gedung megah ini. Aku harap mereka akan lapar dan membeli nasiku. Aku masih diam. Masih saja terdiam bersama hembusan angin malam. Aku masih ingin bertanya apakah esok masih ada sang fajar. Jika memang masih, aku ingin bertanya padanya, “Sampai kapan kau masih tetap bersinar? Apakah kau masih sabar untuk tetap bersinar hingga besok? Minimal setelah aku menemukan jawaban...”. Terkadang aku ingin titip pula pertanyaan pada sang matahari untuk awan yang sering mengiringinya mengisi langit. “Apakah awan masih betah untuk mondar-mandir di atas kepala manusia, yang masih saja ingin bertanya ini?”, jika awan tak mampu menjawab, mungkin aku hanya ingin dijawab oleh angin malam. Hanya dia yang bisa menyatu denganku, setiap aku jenuh dengan dunia ini. Yang mengirimkan cerita sendu dari sang fajar, atau bahkan awan yang kelam. Benarkah memang hanya aku yang masih saja tetap bertanya pada benda-benda mati ini? Atau mungkin memang nalarku yang sudah semakin gila dibuatnya. Menggerogoti setiap relung dan jiwa, menghancurkan setiap sisinya. Tak semua yang dipertanyakan memerlukan jawaban. Namun jika iya, untuk apa adanya pertanyaan? Apa hanya untuk mereka yang duduk mendengarkan sebuah diskusi resmi, demi mengisi acara dan mendapatkan nilai A? Sedangkan untuk orang yang tak berpendidikan macam aku ini, yang sehari-harinya jualan nasi, apa tak ada tempat untuk itu? Orang semacam aku yang sejak

tadi pagi menunggu uang dari para pejabat yang hendak berebut kursi pemerintahan. Berharap mereka datang memberiku uang dan memintaku untuk mencoblos gambarnya yang penuh dengan sikap pura-pura sok bijaksana. Paling tidak aku bisa kembali menjajakan nasi di TPS terdekat dari rumahku dengan uang itu. Atau mungkin aku dapat membelikan anak keempatku gulali. Tapi kenyataannya mereka tidak datang, tak tercium amplop yang kunantikan, tak kuhirup aroma licik itu datang. Aku tak ingin datang memberikan suaraku, jika memang aku tak bisa membelikan gulali anakku. Aku tak mau datang jika harus disuruh memilih mereka yang tak ku kenali sama sekali. Mereka yang tak bisa menaikkan kesejahteraan keluargaku. Atau bahkan mereka yang hanya bisa mengambil jatahku lewat uang korupsi. Lalu menghambur-hamburkannya untuk bersenang-senang. Bermain-main dengan para wanita cantik, membelikan mereka barang-barang mewah yang tak lebih seperti barang curian di pasar gelap. Jika hanya untuk itu untuk apa aku datang ke tempat pemilihan. Takkan ada yang peduli, akupun tak peduli. Aku hanyalah seorang penjual nasi yang tak begitu paham arti demokrasi. Jika mereka bertanya padaku apa itu arti demokrasi, mungkin aku hanya bisa menjawab pada mereka. “Demokrasi itu seperti nasi. Tapi nasi yang sudah basi. Ribuan orang berkoar-koar tentang teori demokrasi, namun masih saja yang dipikirkan hanyalah perut sendiri. Sama seperti nasi, yang sebenarnya dibutuhkan setiap orang. Namun ketika nasi itu menjadi basi, siapa yang mau memakannya lagi? Hanya orang gila yang doyan makan nasi basi!”. *Mahasiswi Universitas Jember dan Pimred UKPM Tegalboto

Puisi

Membaca Tubuhku Dalam Salat

Membaca Tubuhku Dalam Aku

aku ingin sujud dan ruku’ dalam sebidang hening yang diterakan isi kepalamu dan kau, tak kalah liarnya menakwil makna salat yang dituliskan kaum penalar waktu beralas sajadah biru marun yang sealur dengan motif luka dedaun seturun merunduk dengan khusu’ dan tadharru’ setunduk matahari jelang senja di labuhan makna berpindah antara intiqalku menuju intiqal-Ku mengambil arah kiblat dari selasar bilik pusara yang kaurawat sedemikian sunyi kau, tiga langkah tepat di belakangku mengambil alih lagu perapian dunia yang singkat untuk mempersiapkan kelana kita persinggahan kita: akhirat aku mencintaimu dengan bahasa yang hanya dapat dicecap dengan arif dan sebegitu khidmat.

Rindu kecil itu pecah mengandung-Nya, bukan mengundangmu Memeranakkannya, bukan menyorakmu. Kau ada dalam aku yang ia sebut Aku. Antara Aku dan aku yang bersitatap. Antara Kau dan kau yang berpapasan. Ia membahasakannya sebegitu apik dengan bahasa tajalli. Ia menuturkannya dengan fasih sefasih bahasa ibu yang mengandung aku di dalam Aku Sedianya aku takut pada ke-”akuan”. Semulanya aku kembali pada Aku si pemilik segala.

Imam Budiman *Pegiat Komunitas Sastra Rusabesi UIN Jakarta


Seni Budaya

Tabloid INSTITUT Edisi XLIX / MEI 2017

| 15

Tilik Seni Dinding Gua Lia Esdwi Yani Syam Arif

lyasyaarif.djamil00114@mhs.uinjkt.ac.id Selain memberi nilai keindahan, bebatuan pada zaman dahulu banyak menyimpan cerita sejarah. Mulai dari tempat berlindung hingga media gambar yang ada di alam sekitar.

lakang gedung pameran, cahaya dipadamkan membuat seluruh ruang gelap. Terdapat dua bangku yang masing-masing dapat memuat tiga orang. Di depan bangku, terdapat video yang menampilkan proses pengumpulan data pameran. Ekspedisi melewati hutan, gunung dan masuk gua di pedalaman Indonesia dilakukan demi mendapatkan gambar cadas yang ditampilkan dalam Pameran Wimba Kala. Pameran Wimba Kala merupakan kerjasama antar lembaga di bidang pelestarian cagar budaya, seperti Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman di bawah Kementerian Pedidikan dan Kebudayaan. Pameran ini menampilkan gambar cadas yang merupakan hasil lukisan tangan manusia prasejarah. Manusia ini hidup di dalam gua yang banyak

tersebar di Indonesia. Gambar cadas adalah gambar manusia prasejarah yang digoreskan di dinding-dinding gua. Tersebar di Sumatera, Kalimantan, Maluku, Sulawesi dan Papua objek digambar oleh manusia ras Mongoloid. Cadas paling tua ditemukan berumur sekitar 4.000 tahun. Menurut salah satu Kurator Pindi Setiawan, gambar cadas merupakan ekspresi dari pengembangan pemikiran manusia prasejarah. Maka dari itu, ditemukan figur manusia yang berupa bentuk bulat dan batang untuk tubuhnya (tanpa mata dan mulut). Namun pada perkembangannya ditemukan gambar dengan mata dan ekspresi wajah. “Paling muda ditemukan sekitar 1000 tahun,” katanya sambil memandu keliling pameran, Sabtu

(13/5). Gambar cadas merupakan seni yang dapat ditemukan di dinding gua, permukaan batu yang keras hingga tebing pantai. Lokasi yang sulit dijangkau membuat karya seni tua dari manusia prasejarah ini terancam kelestariannya. Terlebih di beberapa tempat seperti Sulawesi terdapat pabrik semen yang berada di sekitar pegunungan karst yang terdapat gambar cadas. Pameran Wimba Kala ini berlangsung sejak 28 April dan berakhir 15 Mei kemarin. Dikuratori oleh Rizki A Zaelani, R Cecep Eka Permana dan Pindi Setiawan pameran ini juga di ramaikan oleh perupa seperti Andang Iskandar, Irman A. Rahman, dkk. Tak hanya menampilkan karya lukis bermedia baru, tapi juga replika tulang manusia prasejarah beserta tempat kuburnya di tanah.

Sambungan dari halaman 1...

dijadikan bahan makanan. Tak lupa di sekeliling lukisan terdapat cap tangan yang pada umumnya dapat ditemukan di setiap gua di Indonesia yang dihuni manusia prasejarah. Manusia prasejarah adalah orang-orang yang hidup sekitar 4.000 tahun yang lalu. Mereka belum mengenal baca dan tulis. Manusia ini lah yang menempati gua sebagai tempat tinggal dan di dalamnya membuat gambar objek-objek yang sering mereka lihat, seperti hewan, figur manusia, tumbuhan, dan perahu. Di dalam pameran, tak hanya gambar bermedia batu dan lukisan di tembok gedung saja. Tapi banyak gambar manusia prasejarah yang ditemukan di dalam guagua di Indonesia ditampilkan dalam bentuk video atau slide. Cara pandang objek di layar dan sorotan proyektor pun bermacam-macam, ada yang berdiri, jongkok hingga posisi tidur. Tujuannya agar pengunjung dapat melihat objek yang digambar. Masuk ke ruang paling be-

Maryam untuk meminta data tersebut. Keesokan hari-nya, Kamis (11/5) berbekal surat permohonan data, Institut pun mendatangi ruangan Maryam yang berada tepat di sebelah ruangan Amrullah. Kala itu, Ia tengah sibuk di depan layar komputer. Tak lama berselang, Institut pun dipersilahkan masuk ke ruangannya. Surat permohonan data riil hasil denda pun disodorkan kepada Maryam. Sayang, hasilnya nihil. Ia berkilah terkait data denda mengaku tidak tahu-menahu. “Saya tidak menangani terkait dana denda,” elaknya, Jumat (12/5). Tak memperoleh data tersebut, Institut pun melayangkan pesan via WhatsApp kepada Amrullah untuk meminta konfirmasi data. “Coba ke pak Trisno ya,” begitu balasannya. Tak berselang lama, Institut pun mengirimkan pesan permohonan wawancara kepada nama yang disebut Amrullah. “Iya, Senin boleh, jam 8 ya di Perpustakaan,” begitu isi pesan dari mantan Kepala Sub Bagian Tata Usaha PP UIN Jakarta Raden Trisno Muhammad Riyadhi. Pada Senin (15/5) pagi pukul 08.00 WIB, Institut pun mendatangi PP lantai tiga menemui Trisno. Selama 15 menit Institut menunggu, namun Trisno tak kunjung datang.

Pesan via WhatsApp pun kembali dilayangkan. “Saya sedang di Auditorium dengan rektor,” kilahnya. Merasa data yang dibutuhkan tak menuai hasil, Institut pun kukuh meminta wawancara. Hingga akhirnya, pertemuan itu digelar pukul 12.30 WIB di gedung Kemahasiswaan— ruangan baru Trisno setelah mutasi pada 3 Mei lalu—. “Temui saya sekarang,” ujarnya, Senin (15/5). Sekitar 15 menit pertemuan itu berlangsung. Hasil wawancara pun tak jauh beda seperti halnya yang diungkapkan Amrullah, dana denda yang terkumpul pada 2016 sebesar Rp35 juta. “Uang tersebut masuk ke PNBP UIN Jakarta,” ungkapnya. Saat dimintai data terkait laporan penyerahan dana ke PNBP, Ia berdalih lagi tak memegang data. Lebih lanjut, Ia berjanji akan memberikan data ketika berada di perpustakaan. Sayang, hingga berita ini diturunkan data tersebut tak jua diberikan. Pesan singkat dan mendatangi ruangan Trisno ditempuh. Namun, tak menuai hasil. Tak mendapatkan data laporan hasil pendapatan PP tahun 2015 dan 2016 dari petinggi PP UIN Jakarta, Institut pun mendatangi pihak keuangan UIN Jakarta. Pertemuan berlangsung dengan Kepala Bagian Keuangan UIN Jakarta Siti Sugiarti di

lantai tiga gedung Akademik. Terkait denda perpustakaan, Ia menjelaskan bahwa pihak keuangan tidak mempunyai data laporan penerimaan dana denda perpustakaan. “Data lengkap ada di PP UIN Jakarta,” ungkapnya, Kamis (11/5). Menanggapi sulitnya mengakses data keuangan UIN Jakarta, Direktur Eksekutif Pusat Kajian Keuangan Negara Prasetyo mengungkapkan setiap warga negara berhak mendapatkan transparansi keuangan negara. Pasalnya kebijakan itu telah tercantum dalam Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik. “Ketakutan pihak UIN Jakarta untuk transparansi akibat terdapat temuan di dalamnya,” pungkasnya, Sabtu (13/5). Ditempat terpisah, sebagai badan auditor, Satuan Pemeriksa Intern (SPI) UIN Jakarta pada 2015 mengaudit PP UIN Jakarta. Dari keterangan Sekretaris SPI, Adi Cahyadi mengatakan audit dilakukan sebab ada dugaan uang denda dari perpustakaan tidak disetorkan ke pihak UIN Jakarta. Hal itu diperkuat bahwa pihak perpustakaan tidak dapat memberikan bukti penyetoran dana denda saat dimintai oleh SPI kala itu. “Kita menduga dana tersebut tidak disetorkan,” ungkap Adi, Selasa (16/5).

Tak hanya di PP UIN Jakarta, pengenaan tarif denda keterlambatan pengembalian buku juga berlaku di pelbagai fakultas. Misalnya Fakultas Adab dan Humaniora. Kepala Perpustakaan FAH Muhammad Azwar membenarkan perpustakaan FAH menerapkan denda sebanyak Rp500. Terkait hasil denda Azwar menjelaskan uang denda tersebut diberikan kepada relawan perpustakaan fakultas. “Denda tersebut untuk membayar relawan perpustakaan” ungkapnya. Perpustakaan FITK pun turut menerapkan denda. Menurut keterangan Kepala Perpustakaan FITK, Loytasari mengungkapkan, kurun waktu setahun jumlah dana denda yang terkumpul mencapai kisaran Rp1 juta. Ia berkilah bahwa dana tersebut digunakan untuk perbaikan buku-buku perpustakaan yang rusak. “Jadi kita kelola sendiri untuk dana dendanya,” ungkapnya, Jumat (19/5). Hal serupa juga ditemukan di Perpustakaan Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB). Menurut Kepala Perpustakaan FEB Lilik Istiqoriah dana denda yang terkumpul berkisar Rp700 ribu sampai Rp1 juta pertahun. Tak hanya itu Ia juga mengungkapkan dana denda tersebut digunakan untuk pembe-

lian alat-alat tulis perpustakaan. “Tapi kita juga laporan ke fakultas,” ujar Lilik, Jumat (19/5). Menanggapi hal tersebut Adi menyayangkan adanya penggunaan dana secara langsung. Menurutnya hal tersebut dapat merusak tatanan pengelolaan keuangan. Adi juga mengungkapkan, seharusnya perpustakaan yang melakukan pungutan kepada mahasiswa wajib disetorkan ke pihak UIN Jakarta. “Kalau PP bisa langsung setor ke UIN, tapi kalau perpustakaan fakultas melakukan penyetoran dulu ke fakultas,” jelasnya, Selasa (16/5).

Foto: Eko/Ins

Bongkahan batu berdiameter tidak kurang dari 100 cm berwarna cokelat menyambut pengunjung di Gedung A Pameran Galeri Nasional, Jakarta, Sabtu (13/5). Terletak di seberang meja registrasi, batu itu menjadi media gambar Anoa. Di sekeliling gambar terdapat telapak tangan (cap tangan) yang seolah mengejar hewan khas Sulawesi ini. Batu dengan Anoa dan cap tangan ini merupakan replika dari lukisan yang ditemukan di Gua Uhallie, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan. Terletak di tengah hutan, gua ini berada di perbukitan karst (batuan kapur). Lubang gua ini pertama kali ditemukan oleh seorang warga Desa Langi pada tahun 2009 dan di dalamnya ditemukan banyak gambar babi dan cap tangan di dindingnya. Lebih masuk ke dalam ruang pameran, pengunjung akan disuguhkan oleh lukisan di tembok. Menggambarkan sosok manusia dengan memegang tombak runcing di ujungnya. Mereka hendak memburu babi dan Anoa untuk

Lukisan babi dengan manusia adalah salah satu gambar cadas. Lukisan ini dipamerkan di Galeri Nasional dengan tema Wimba Kala, Sabtu (13/5).

Menilik Alokasi Dana Perpustakaan Berdasarkan data rincian pembagian pagu Badan Layanan Umum (BLU) UIN Jakarta pada 2016, PP UIN Jakarta mendapatkan pagu anggaran sebesar Rp1.464.787.000. Sedangkan berdasarkan rincian belanja BLU rektorat 2016 dana PP sebesar Rp2,369,544,000,00. Tak hanya itu, berdasarkan rincian belanja rektorat Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Negeri (BOPTN) UIN Jakarta pada 2016 dana PP UIN Jakarta sebesar Rp1,750,000,000,00. Dana tersebut digunakan untuk pengadaan koleksi buku perpustakaan sebesar Rp1 miliar dan electronic book sebesar Rp750 juta.



Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.