5 minute read

SOSOK

Next Article
TREN

TREN

Gambar: Dokumentasi Narasumber

Butet Manurung: Pendidikan untuk Siapa?

Advertisement

Oleh: Rizky Nur Fadilah

Sekolah yang hebat tidak tergantung pada gedung yang megah dan sistem berteknologi tinggi. Roh dari pendidikan terletak pada setiap gurunya. Gurulah yang berdiri di depan kelas –untuk mendidik dan menginspirasi anak-anak serta menjadi teladan bagi anak didik mereka. Butet menyinarkan cahayanya di kedalaman rimba raya Indonesia. –Anies Baswedan–

Saur Marlina Manurung, lebih dikenal de- ngan panggilan Butet Manurung, adalah seorang pahlawan pendidikan yang lahir di Jakarta pada tanggal 21 Februari 1972. Kepedulian beliau dalam hal pendidikan bagi masyarakat rimba bermula dari kegemar- annya menonton film petualangan seperti “Indiana Jones”. Pengalaman menapaki pedalaman di Bukit Duabelas membawanya pada suatu fase keprihatinan terhadap masyarakat rimba yang menetap di sana. Kehidupan me- reka mulai terusik oleh pihak-pihak yang ingin menguasai hutan sebagai lahan bisnis korporasi. Dari sinilah Butet Manurung bersama kawan- nya merasa bahwa masyarakat rimba perlu mendapatkan pendidikan layaknya orang luar (kota) sebagai upaya melindungi diri dari pe- nindasan. Perjalanan beliau menjadi relawan WARSI, LSM yang bergerak pada isu konservasi, menunjukkan bahwa masyarakat rimba sangat membutuhkan seorang pendidik, seorang fasili- tator pendidikan, sehingga mereka tidak bisa didampingi oleh orang sembarangan. Mema- hami kehidupan masyarakat rimba dan mendapatkan kepercayaan orang-orang

Gambar: Dokumentasi Narasumber

pedalaman adalah tantangan terbesar dalam hidupnya. Butuh waktu yang tidak sebentar baginya untuk memahami bahwa masyarakat rimba tidak seperti yang diimajinasikan orang luar. Menurutnya, masyarakat rimba paham tentang cara mengobati gigitan ular kobra karena memang di sana banyak ular dan mereka belajar tentang itu semua. Sama halnya dengan orang kota yang dapat menggunakan aplikasi Google Maps saat sedang tersesat di suatu tempat. Di antara keduanya tidak ada yang pintar, semua sedang dalam proses belajar. Suku anak dalam termasuk suku yang tertutup dari dunia luar. Mereka menolak pendidikan karena dianggap bukan budayanya. Butet Manurung berusaha menjadi “Ibu Guru” yang dapat diterima di sana, tidak memberikan konsep sekolah sebagaimana orang memahami sekolah itu sendiri. Di sinilah peran Butet, memberikan pengajaran tanpa mengajar, berbaur dengan kehidupan mereka selama berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun. Baginya, belajar tidak harus dalam suatu ruangan, ada meja, papan tulis, dan guru yang mengajar di depan mereka. Roh dari pendidikan yang diberikan oleh Butet terletak pada ilmu yang disampaikan kepada mereka. Butet dituntut kreatif dan inovatif dalam menggunakan segala cara untuk menarik minat mereka. Misalnya, mengajari mereka bersepeda, mengusahakan pengobatan hingga memberikan pelajaran membaca, menulis, dan berhitung secara sembunyi-sembunyi. Butuh usaha-usaha yang bahkan di luar nalar agar mereka mau diberikan sedikit pemahaman baru. “Kak Butet adalah orang yang berkemauan keras. Jika sudah punya kemauan, ia akan memperjuangkan kemauannya itu sampai titik darah penghabisan. Namun dibalik itu semua ia juga merupakan orang yang penuh empati, sangat peduli khususnya kepada orang-orang terdekatnya dan tidak segan memberikan bantuan,” kata Indit, salah satu CEO Sokola Rimba. Butet mendirikan sarana sekolah sederhana yang dibangun dari batang kayu dan dedaunan. Sekolah yang dibangunnya tidak permanen karena disesuaikan dengan kehidupan orang rimba yang sifatnya nomaden. Butet tidak hanya mengajarkan orang rimba mengenai membaca, menulis, dan berhitung, tetapi juga life skill, pengetahuan dunia luar dan juga pengenalan organisasi. Orang rimba hidup di alam secara bebas. Mereka memanfaatkan seluruh potensi alam untuk menyokong kebutuhan hidupnya. Ketidakmampuan orang rimba untuk membaca dan menulis dapat sangat mengancam keberadaannya. Guru tidak hanya sebatas guru, tetapi antara guru dan murid harus menjadi satu kesatuan yang saling melengkapi. Sokola Rimba yang didirikan oleh Butet dan beberapa temannya semasa di WARSI, saat itu merupakan satu-satunya sekolah yang mencitrakan pendidikan ala orang rimba. Tidak hanya sebatas pada transfer ilmu pengetahuan, tetapi mencoba untuk masuk lebih dalam, yaitu menyadarkan orang rimba akan potensi dan eksistensi mereka sebagai orang rimba yang menjaga hutan. Ia menyadarkan kita akan pen- tingnya pendidikan bagi masa depan seseorang.

Gambar: Dokumentasi Narasumber

Banyak orang rimba yang belum mendapat akses pendidikan layak, sampai-sampai mereka menganggap pendidikan adalah hal yang dapat membawa bencana. Sokola Rimba berupaya memberikan kesempatan belajar bagi komunitas adat dan kelompok marginal lain di wilayah terpencil Indonesia yang tidak terjangkau oleh sekolah formal. Visinya adalah “Sekolah untuk Kehidupan,” sedangkan misinya adalah untuk mempersiapkan masyarakat dalam menghadapi tantangan dari dunia modern yang selalu mendesak. Pendekatan yang digunakan oleh Sokola adalah pendekatan etnografi. Pendekat- an ini banyak digunakan oleh antropolog dan sangat cocok untuk masyarakat adat dengan mengonstruksikan pemahaman mengenai adat rimba. Misalnya, kebahagiaan masyarakat rimba adalah dengan terjaganya hutan, cantik bagi mereka adalah yang bertubuh pendek dan panjang rambutnya, dan hebat bagi mereka adalah yang dapat memanjat pohon madu, pintar berburu serta pintar berdiplomasi dengan ma- syarakat luar. Di pedalaman Bukit Duabelas inilah Butet menemukan cita-cita dalam hidupnya, yaitu memberikan pengajaran baca, tulis, dan menghitung kepada orang rimba. Butet te- rus berusaha agar makin banyak yang tertarik dengan pengajarannya. Hal ini tentunya agar mereka terlepas dari buta aksara yang akan terus-menerus dimanfaatkan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Selain itu, tentu juga untuk menegaskan bahwa setiap manusia berhak memperoleh keadilan dan akses yang sama dalam memperoleh pendidikan. Di luar sana banyak orang pintar, tetapi tidak berakal. Jika dibandingkan dengan pendidikan formal yang acuannya adalah persaingan glo- bal, maka menurutnya pendidikan adalah monopoli, siapa yang paling sering dan paling lama dalam bermain ia akan menang. “Kalau melihat pendidikan di masyarakat adat, tentu paradigmanya berbeda. Pendidikan yang dibe- rikan bagi mereka adalah bekal pengetahuan dan keterampilan yang digunakan untuk menjalani hidup, bukan untuk kompetisi global,” tegasnya. Pendidikan yang baik adalah pendidikan yang berguna bagi sekitarnya. Beliau juga menyebutkan, apa artinya banyak sekolah unggul di suatu wilayah, tetapi sungai di sekitarnya penuh dengan sampah. Mirisnya, masyarakat sama sekali tidak peduli, padahal sejatinya sekolah adalah ekosistem yang harus terintegrasi dengan sekitarnya. “Jadi, ketika ditanya pendidikan untuk siapa, kalau dalam konteksnya adalah pendidikan formal, maka pendidikan itu untuk mengatasi tantangan global yang lebih kepada alat untuk memberdayakan diri. Pendidikan seharusnya untuk siapa pun yang bisa saling bertukar pikiran,” jelasnya. Di akhir, beliau juga menambahkan bahwa pendidikan yang baik seharusnya membantu setiap orang mengenal dirinya lebih baik, membantu diri sendiri dalam mengatasi permasalahan yang ada di sekitar. Dengan kata lain, pendidikan menjadi alat pemberdayaan diri bukan untuk memperdaya orang lain.

This article is from: