Buletin Mahasiswa FTSP
Pekta, Sejarah dan Perjuangan Mempertahankan PMBF dan Drama Perubahannya
Mengenal FTSP Lebih Dekat
Lagi-lagi Pekta
Foto : Baiq Raudatul J
Forum Aspirasi Mahasiswa FTSP
DAFTAR ISI DAFTAR
Laporan Utama 1 PEKTA, SEJARAH DAN USAHA MEMPERTAHANKANNYA
4
LANDSCAPE
Sebelum berujung perubahan Pekta menjadi PMBF, Sandy menjelaskan, pihak dekanat dan lembaga sudah mengadakan audiensi sebanyak 4 atau 5 kali. “Itu pun selalu, apa yang kami sampaikan tidak pernah didengar. Selalu dipotong, selalu dianggap tidak rasional, selalu dianggap pembodohan,” ungkap mahasiswa Teknik Lingkungan angkatan 2013 ini.
Laporan Utama 2 JPMBF dan Drama Perubahannya
foto / ilustrasi 2 3 7
DAFTAR ISI SAPAAN REDAKSI EDITORIAL Surat Pembaca SELING Pekta
foto / ilustrasi 8
Adapun permasalahan yang terjadi pada acara PMBF ini adalah terkait isu keterlibatannya Lembaga Mahasiswa FTSP UII pada ranah acara. Pada PMBF kali ini, acara penyambutannya dilaksanakan oleh dosen dan karyawan FTSP UII tanpa melibatkan Lembaga Mahasiswa FTSP UII.
12 16 18
LAPSUS Warna-Warni Pengolahan Maket
19
INFOGRAFIS
PMBF MENYAMBUT; MAHASISWA BARU?
OPINI Lagi-Lagi Pekta RESENSI
Kisah Menegangkan Jurnalis Disandera
SAPAAN Alhamdulillah, buletin edisi khusus 50 tahun SOLID ini bisa terbit tepat waktu. Semoga di edisi spesial ini, terlepas dari jumlah halaman dan tulisan yang juga spesial, semoga tetap memberikan manfaat kepada pembaca, kini hingga nanti. Terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu kami, baik secara langsung maupun tidak. Semoga buletin ini mampu menjadi bacaan yang mencerahkan, menginspirasi, dan mengungkapkan kebenaran. Salam persma! Alamat Redaksi : 2
Jalan Kaliurang Km 14,5 kampus Terpadu FTSP UII Basement. Yogyakarta 55581
085786959585 fax 895330 @solidftspuii
lpmsolidftspuii@gmail.com @solidftspuii
PEKTA 2017
www.solidpress.co
PEMIMPIN UMUM Alfin Fadhilah PEMIMPIN BIRO UMUM Baiq Raudatu J PEMIMPIN REDAKSI Sofiati Mukrimah PEMIMPIN P3 Hafian Akbar STAFF BIRO UMUM Arifin Agus S STAFF REDAKSI Andi Mufli M.M STAFF P3 Iqbal Ramadhan, Helmy Badar N
EDITORIAL LANDSCAPE
EDITORIAL
PEKTA 2017
3
Entah sudah berapa tahun lamanya, lembaga kemahasiswaan FTSP bersitegang dengan pihak dekanat terkait pelaksanaan penyambutan mahasiswa baru. erdasarkan arsip buletin Landscape, konflik yang berkaitan dengan Pekta sudah mulai memanas sejak 2013. Kala itu, dekanat serta prodi-prodi bersikap tegas menolak adanya Satuan Penertib Lapangan (SPL) di acara Pekta. Setahun kemudian, di tahun 2014, terbit Keputusan Dirjen Dikti Nomor 25 Tahun 2014 tentang Panduan Umum Pengenalan Kehidupan Kampus bagi Mahasiswa Baru yang menatur hal-hal apa saja yang tidak diperbolehkan dalam acara penyambutan mahasiswa baru. Pada audiensi saat itu, tidak diperbolehkan adanya kekerasan fisik, kekerasan mental, serta kekerasan verbal. Karena itulah, dekanat membentuk tim pengawas yang bertugas untuk mengawasi jalannya acara Pekta 2014 di lapangan.Di tahun 2015, konflik serupa kembali terjadi. Prodi Arsitektur melalui ketuanya, Nurcholis Idham mengambil keputusan untuk ‘menarik diri’ dari Pekta 2015 bila panitia tetap bersikeras dengan konsep yang sama seperti tahun lalu. Setelah panitia tidak mau mengubah konsep, Nurcholis kemudian menyarankan mahasiswa baru Prodi Arsitektur untuk tidak mengikuti Pekta 2015 melalui SMS. Tahun lalu, Pekta 2016 berjalan dengan adanya DPL setelah ada kesepakatan antara panitia, LEM, dan dekanat. Tim pengawas bertugas selama acara Pekta berlangsung. Tak dinyana, tahun ini Pekta ditiadakan. Sebagai gantinya, Penyambutan Mahasiswa Baru Fakultas (PMBF) dikelola langsung oleh dekanat, dosen, serta karyawan. Tanpa keterlibatan lembaga mahasiswa sama sekali.
LAPORAN UTAMA LAPUT LANDSCAPE
Pekta, Sejarah dan Perjuangan Mempertahankan Tetapi FTSP sudah berketetapan bahwa penyambutan mahasiswa itu harus islami, harus mencerminkan nilai-nilai keprofesian, semangat humanis
Oleh Reporter Baiq R Foto
R
: Sofiati Mukrimah : Hafian A, Alfin F, : Baiq R, Alfin F
4 PEKTA 2017
abu, 24 Agustus 2017, hari pertama acara Penerimaan Mahasiswa Baru Fakultas (PMBF) Pilar Bangsa diwarnai aksi damai dari beberapa lembaga mahasiswa Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan (FTSP). Sandy Trisatya, Ketua Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) FTSP menjelaskan, aksi ini merupakan buntut dari konsolidasi antar lembaga FTSP. Aksi damai tersebut menjadi cara KM FTSP mengekspresikan kekecewaan setelah merasa diambil alih hak-haknya, terutama perihal pengelolaan acara penyambutan mahasis-
wa baru. “Diambil alih ini yang kami rasa puncaknya, karena biasanya mereka hanya membatasi, membatasi, membatasi,” kata Sandy yang ditemui di kantin FTSP (25/8). Adapun tuntutan yang disampaikan saat aksi damai adalah sebagai berikut: 1. KM FTSP UII mengecam keras intervensi terhadap lembaga kemahasiswaan di lingkungan FTSP UII 2. Menuntut profesionalitas birokrat yang ada di FTSP UII 3. Menuntut hak mahasiswa untuk menyampaikan pendapat 4. Menuntut hak mahasiswa untuk berkegiatan di lingkungan FTSP UII 5. Menolak untuk dihilangkannya peran dan fungsi lembaga kemahasiswaan FTSP UII
Menanggapi aksi damai ini, Luqman Hakim, dosen program studi (prodi) Teknik Lingkungan yang juga merupakan Ketua Panitia PMBF mengaku tidak keberatan dan menganggap hal tersebut adalah hal yang lumrah di perguruan tinggi. Bahkan, menurutnya, aksi seperti ini adalah hal yang patut dilindungi karena menunjukkan kebebasan berekspresi. “Yang paling penting, apapun yang disampaikan adalah sesuatu yang berdasarkan justifikasi nilai-nilai norma akademik yang berlaku. Saya kira ini sesuatu yang baik. Bagi saya nggak ada masalah,” ungkap Luqman. Setali tiga uang, Kasam, dosen Teknik Lingkungan juga tidak mempermasalahkan aksi damai di tengah acara PMBF. “Terkait dengan aksi nanti, saya sangat-sangat terbuka
LAPUT LANDSCAPE
Awalnya, Sandy menjelaskan, sejak peristiwa Mapala awal tahun ini, lembaga kemahasiswaan FTSP sudah berinisiatif mengajak audiensi kepada Kasam yang mewakili bidang kemahasiswaan FTSP. Namun berdasarkan keterangan Sandy, belum ada kejelasan pada bulan Maret lalu itu. “Dari Maret kita ngajuin audiensi Pekta, minta konsep seperti apa. Tapi kenapa baru beberapa minggu ini mereka kayak gitu. Itu yang kami sayangkan,” selorohnya. Luqman menjelaskan beberapa hal yang menjadi pertimbangan dekanat untuk membuat konsep acara penyambutan mahasiswa baru yang berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Menurut Luqman, FTSP merupakan satu-satunya fakultas yang sedang bertransformasi secara internasional, sehingga salah satu konsekuensi turunannya adalah acara penyambutan mahasiswa baru yang harus berubah. Selain itu, secara regulasi, Surat Edaran Nomor 253 Tahun 2016 dari Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristek Dikti) tentang Pengenalan Kehidupan Kampus Bagi Mahasiswa Baru (PKKMB) dan Surat Edaran Rektor Nomor 182 Tahun 2017 menjadi landasannya. Dalam surat edaran dari Kemeristek Dikti poin nomor 2 disebutkan, program PKKMB merupakan program institusi, bukan program mahasiswa, karena itu PKKMB menjadi tanggung jawab pimpinan perguruan tinggi dengan kepanitiaan melibatkan unsur pimpinan perguruan tinggi, dosen, tenaga kependidikan, dan mahasiswa. Sedangkan dalam surat edaran rektor dalam poin nomor dua disebutkan kepanitiaan dan perencanaan kegiatan wajib melibatkan unsur dosen yaitu pimpinan dan bidang kemahasiswaan di tingkat universitas atau fakultas. Terkait regulasi tersebut, Sandy mengakui tanggung jawab memang ada di tangan institusi, akan tetapi seharusnya mahasiswa tetap dilibatkan karena merupakan bagian dari panitia seperti yang disebutkan dalam surat edaran rektor. “Yang bertanggungjawab tetap institusi, toh mereka kan nggak mungkin lepas ta-
5
SPL sebagai upaya rebranding yang diharapkan dapat mengubah image SPL. Bahkan, saat itu sempat muncul ancaman tidak diberinya dana dari dekanat maupun dari prodi. Setahun kemudian, di tahun 2014, terbit Keputusan Dirjen Dikti Nomor 25 Tahun 2014 tentang Panduan Umum Pengenalan Kehidupan Kampus bagi Mahasiswa Baru yang menatur hal-hal apa saja yang tidak diperbolehkan dalam acara penyambutan mahasiswa baru. Pada audiensi saat itu, tidak diperbolehkan adanya kekerasan fisik, kekerasan mental, serta kekerasan verbal. Karena itulah, dekanat membentuk tim pengawas yang bertugas untuk mengawasi jalannya acara Pekta 2014 di lapangan. Di tahun 2015, konflik serupa kembali terjadi. Prodi Arsitektur melalui ketuanya, Nurcholis Idham mengambil keputusan untuk ‘menarik diri’ dari Pekta 2015 bila panitia tetap bersikeras dengan konsep yang sama seperti tahun lalu. Setelah panitia tidak mau mengubah konsep, Nurcholis kemudian menyarankan mahasiswa baru Prodi Arsitektur untuk tidak mengikuti Pekta 2015 melalui SMS. “Saya nyatakan bahwa bahwa kami tidak menyarankan karena apa yang kami minta tidak diberikan,” tegasnya saat diwawancara 2015 lalu. Tahun lalu, Pekta 2016 berjalan dengan adanya DPL setelah ada kesepakatan antara panitia, LEM, dan dekanat. Tim pengawas bertugas selama acara Pekta berlangsung. Dekan FTSP, Widodo Brontowiyono sempat menyatakan keinginannya untuk menggandeng lembaga kemahasiswaan FTSP dalam kegiatan pembinaan karakter. Latar belakang perubahan Pekta menjadi PMBF Sebelum berujung perubahan Pekta menjadi PMBF, Sandy menjelaskan, pihak dekanat dan lembaga sudah mengadakan audiensi sebanyak 4 atau 5 kali. “Itu pun selalu, apa yang kami sampaikan tidak pernah didengar. Selalu dipotong, selalu dianggap tidak rasional, selalu dianggap pembodohan,” ungkap mahasiswa Teknik Lingkungan angkatan 2013 ini.
PEKTA 2017
dan mempersilahkan. Malah ya perlu lah, nggak apa-apa,” tutur pria yang juga merupakan panitia PMBF ini. Lalu apa itu Pekta? Pekta merupakan singkatan dari Pekan Ta’aruf, agenda tahunan di FTSP dalam rangka menyambut mahasiswa/mahasiswi baru FTSP. Dalam sejarahnya, tidak diketahui secara pasti kapan acara penyambutan mahasiswa baru di FTSP dimulai. Namun dalam buletin Landscape edisi khusus Pekta 2016, Bachnas yang merupakan dosen prodi Teknik Sipil menjelaskan, pada sekitar tahun 1973, agenda penyambutan mahasiswa baru bernama ‘Perpeloncoan’. “Ya namanya memang Perpeloncoan, sekarang Pekta, dulu memang Perpeloncoan namanya,” tegas dosen yang juga merupakan mantan Wakil Rektor 3 bidang Kemahasiswaan ini. Beberapa tahun kemudian, sekitar tahun 1980/1981, nama Perpeloncoan telah diubah menjadi Pekan Orientasi Studi Mahasiswa (Posma). Hal itu dijelaskan oleh Helmi Akbar Bale, dosen Teknik Sipil UII yang juga merupakan alumni UII. Kemudian sekitar tahun 1985, Posma berubah nama menjadi Orientasi Studi dan Pengenalan Kampus (Ospek) sesuai dengan penjelasan dari Supriyatno, alumni Teknik Sipil UII angkatan 1984 yang juga merupakan alumni SOLID. Setelahnya, sekitar tahun 2000, nama Ospek berubah menjadi Pekta hingga tahun 2016 lalu. Konflik berkaitan Pekta sudah terjadi sejak beberapa tahun ini. Berdasarkan arsip buletin Landscape, konflik yang berkaitan dengan Pekta sudah mulai memanas sejak 2013. Kala itu, dekanat serta prodi-prodi bersikap tegas menolak adanya Satuan Penertib Lapangan (SPL) di acara Pekta. Menurut Luqman yang saat itu menjabat sebagai Ketua Prodi Teknik Lingkungan, cara-cara yang dipakai oleh SPL sudah tidak relevan dan masuk ke dalam kategori kekerasan verbal. Pada tanggal 28 Agustus 2013 bertempat di Auditorium FTSP, terjadi tawar-menawar antara dekanat dengan panitia serta Lembaga Eksekutif Mahasiswa (LEM) FTSP. Dekanat mengusulkan untuk mengubah nama
LAPUT LANDSCAPE
Foto oleh Alfin F.
6 PEKTA 2017
ngan saat kita bikin Pekta,” ujarnya. Mengenai siapa sebenarnya ‘panitia’ yang disebutkan dalam surat edaran rektor, Direktur Pengembangan Bakat/Minat dan Kesejahteraan Mahasiswa (DPBMKM), Beni Suranto menjelaskan, yang dimaksud adalah semua unsur kepanitiaan, yaitu dosen, mahasiswa, dan karyawan. “Bukan sekedar merujuk ke mahasiswa, karena memang panitia diharapkan melibatkan semua unsur (dosen, mahasiswa, karyawan),” katanya dalam pesan singkat. Selain permasalahan regulasi, Luqman juga menjelaskan ada faktor lain yang mendorong dekanat untuk mengonsepkan acara penyambutan mahasiswa baru. Kedua faktor lainnya adalah adanya komplain dari orangtua dan masyarakat. Bukan hanya orangtua mahasiswa baru, menurut Luqman, fakultas juga menerima komplain dari orangtua panitia Pekta karena rapat di luar batas kewajaran. Sedangkan komplain masyarakat karena kos yang dipakai untuk rapat. “Jadi ini bukan permasalahan fakultas mengekang, tidak. Kami mempersilakan, tapi koridornya ini. Kalau anda mau koridornya ini, ayo kita semua jalan. Itu yang harus dipahami.” Meskipun begitu, Sandy tetap mempermasalahkan cara dekanat dan tim pelaksana yang mengambil keputusan tanpa adanya keterlibatan dari lembaga mahasiswa. Menurutnya, perubahan dalam konsep bukanlah masalah selama prosesnya masih melibatkan lembaga mahasiswa. “Kami tidak sukanya karena sepihak ini. Maksudnya tuh perancangannya tanpa melibatkan kami sama sekali. Ketua LEM kasih ke tim (pelaksana – red) manual buat jadi pertimbangan mereka. ‘Ini manual kami sudah berubah, sudah sesuai dengan yang kalian mau.’ Tapi kenapa masih nggak dipake?”
Ketika ditanya soal nasib Pekta ke depannya, Luqman tidak bisa memastikannya karena peraturan masih bisa berubah-ubah. “Tetapi FTSP sudah berketetapan bahwa penyambutan mahasiswa itu harus islami, harus mencerminkan nilai-nilai keprofesian, semangat humanis. Itu yang harus dipahami,” pungkasnya. Meskipun masih belum menerima sikap dekanat, Sandy mengakui banyak kelebihan pada PMBF. “Jujur kalau dari mahasiswa nggak bisa mengundang pemateri yang se-wah seperti ini. Tapi terkait teknis ya mungkin karena mahasiswa lebih biasa kalau kita lebih tahu gimana enaknya jadi mahasiswa, gimana enaknya biar enggak bosen,” aku Sandy. Selain kelebihan, Sandy juga menyayangkan acara PMBF yang memisahkan mahasiswa/mahasiswa baru per prodi. “Jadi kan kaya bukan ospek fakultas. Malah ospek jurusan jadinya.” Sandy menyampaikan kritiknya. Terkait dengan tuntutan yang disampaikan saat aksi damai, Sandy mengatakan saat ini masih menunggu keputusan kapan akan diadakan mediasi antara lembaga kemahasiswaan FTSP dan dekanat yang dimediatori oleh rektorat. Untuk ke depannya, Sandy berharap lembaga kemahasiswaan benar-benar diajak berkolaborasi karena sebenarnya lembaga kemahasiswaan tidak keberatan. “Ya kalau dituntut untuk berkolaborasi ya berkolaborasi. Tapi ranah kolaborasinya itu yang mungkin bisa diperjelas,” tutupnya. Menyoal kolaborasi, Kasam mengaku sungguh berharap bisa mengadakan acara ini bersama dengan mahasiswa. “Kita, saya apalagi, sedih sekali tidak ada keterlibatan dari teman-teman mahasiswa.”
LANDSCAPE
Empat Tahun dalam Kecelakaan
SELING
SELING
Oleh: Sofiati Mukrimah
lain, dan saya harus mampu memberikan koreksi dan saran bagi yang lain. Tapi di atas semuanya, saya harus mempertanggungjawabkan apapun tulisan yang keluar atas nama SOLID. Bahkan hingga periode berikutnya, di mana saya kemudian diangkat menjadi pemimpin redaksi lagi, saya masih merasa ini semua adalah kecelakaan. Tapi kecelakaan itu membawa saya menjadi orang yang mampu mempelajari banyak hal. Saya mengenal banyak orang, saya dipercaya banyak orang, saya harus bisa menjadi panutan, dan saya mendapat banyak kesempatan yang tidak orang lain dapatkan. Saya bahagia ketika foto hasil jepretan saya lolos kurasi hingga layak cetak. Saya bahagia ketika nama saya tertulis sebagai penulis, reporter, atau pemimpin redaksi. Saya bahagia ketika saya mengenal banyak teman-teman dari Persma lain. Dan sekarang pun, saya bahagia bisa tetap konsisten menulis di setiap acara penyambutan mahasiswa baru. Bagi saya, SOLID bukan hanya sebuah organisasi. Dia adalah tempat yang memberikan banyak pelajaran, keahlian, dan keluarga.
7
pengurus adalah, tanggung jawab saya yang kini benar-benar ada di pundak saya. Sebelumnya, saat magang, semua tulisan kami tetaplah tanggung jawab pengurus, dalam hal ini, pemimpin redaksi. Saat menjadi pengurus, saya diangkat menjadi staf redaksi, bidang yang memang saya inginkan. Tugas saya adalah membantu pemimpin redaksi dalam menjalankan tugasnya. Saya menikmati masa-masa menulis atau mengedit tulisan (baik tulisan saya ataupun tulisan teman-teman lain) meskipun sebenarnya, jurnalistik bukanlah bidang saya. Tapi sekali lagi, saya merasa, selagi saya masih muda, tidak ada yang salah dengan belajar banyak hal yang bukan merupakan bakat atau minat kita. Di periode selanjutnya, saya kemudian diangkat menjadi pemimpin redaksi, di mana itu merupakan tanggung jawab yang sangat besar. Walaupun merasa belum memiliki cukup pengalaman maupun ilmu, saya tetap menerima amanah tersebut dengan segala risikonya. Sampai saat itu, saya tetap merasa bahwa ini adalah kecelakaan. Tapi nyatanya, saya tidak pernah benar-benar merasa ingin mundur. Saya dipaksa mempelajari fotografi, saya dipaksa mempelajari penelitian, saya dipaksa mempelajari marketing, saya terpaksa mempelajari CorelDraw dan bahkan Adobe InDesign. Saya harus mempelajari lagi EYD, saya harus membaca buku lebih dari yang lain, saya harus menulis lebih dari yang
PEKTA 2017
O
ktober 2013, sepulangnya saya dari Lintas Lingkungan (LILIN) 2013, saya mendapati pengumuman terpampang di mading Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) SOLID. Pengumuman itu berkaitan dengan nama-nama mahasiswa/mahasiswi baru yang diterima sebagai anggota magang LPM SOLID 2013. Nama saya ada di situ. Itulah awal dari ‘kecelakaan’ yang saya rasakan selama empat tahun ini. Saya tidak mengerti seluk beluk jurnalistik, apalagi pers mahasiswa (persma). Saya hanya suka menulis fiksi, saya hanya iseng mendaftar ke LPM, dan saat saya pertama kali memasuki ruang lembaga SOLID pun, saya masih merasa sangat asing. Awal-awal kegiatan di SOLID diisi dengan hunting foto, latihan menulis, latihan, latihan, latihan, dan latihan. Saya belajar bagaimana menulis, bukan hanya dengan baik dan benar, tapi juga dengan waktu seminimal mungkin. Saya diajarkan bagaimana mewawancarai orang-orang penting, saya dilatih bagaimana presentasi di depan orang banyak, saya dilatih, dilatih, dan dilatih lagi nyaris tanpa henti. Saat itu, perlahan satu per satu anggota magang ‘rontok’ dengan sendirinya. Tapi saya masih bertahan, dengan alasan tidak mempunyai alasan untuk berhenti. Setelah menjalani masa magang selama satu periode (saat itu, satu periode sama dengan 13 bulan), akhirnya saya diangkat menjadi pengurus. Perbedaan magang dan
LAPORAN UTAMA LAPUT LANDSCAPE
PMBF dan Drama Perubahannya Ide dasarnya (PMBF –red) kan rebranding, mengubah stereotype lah, tujuannya begitu
Oleh : Hafian Akbar Reporter: Sofiati M, Alfin F, Helmy B Foto : Baiq R
O
8 PEKTA 2017
rientasi Studi dan Pengenalan Kampus (Ospek) adalah langkah awal yang umumnya dilaksanakan berbagai kampus dalam menerima mahasiswa barunya, terlepas dari istilah penyebutan apa yang dipakai setiap kampus dalam penyelenggaraannya. Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan (FTSP) Universitas Islam Indonesia (UII) telah mengganti nama program penyambutan yang sebelumnya bernama Pekan Ta’aruf (Pekta) menjadi Penyambutan Mahasiswa Baru Fakultas (PMBF). PMBF dibuat untuk memperbaiki citra penyambutan di FTSP yang selama ini identik dengan kekerasan. Hal tersebut disampaikan oleh Luqman selaku Ketua PMBF tahun ini. Beliau mengatakan, “Ide dasarnya (PMBF –red) kan rebranding, mengubah stereotype lah, tujuannya begitu”, ujarnya. Adapun perbedaan secara mendasar antara Pekta dan PMBF terdapat pada manajemen pengelolaannya. Jika dulu kepanitiaan dikelola total oleh mahasiswa, maka PMBF dikelola penuh oleh dekanat dan panitia dari dosen serta karyawan. Dari segi konten juga terdapat perubahan.
Acara PMBF diklaim mengadakan penyambutan yang bersifat enjoy dan fun, tidak ada lagi unsur -menurut istilah dekanat- kekerasan. “Mungkin dari pihak teman-teman mahasiswa mendapati hal ini dalam rangka ketegasan dan kedisiplinan. Tapi bagi sebagian orang menganggap dan mempercayai itu sesuatu yang dalam tanda petik, sudah kurang jamannya lagi,” jelas Kasam. Menyikapi masalah manajemen pengelolaan acara, menurut Sandy Trisatya ada beberapa kekurangan terkait hal ini. Di antaranya adalah bagaimana teknis acaranya tidak seperti yang biasa dilakukan oleh Pekta-Pekta sebelumnya. Jika biasanya acara dilakukan dengan mengelompokkan ketiga jurusan menjadi satu, maka pada acara kali ini ketiga jurusan terpisah, tidak menjadi satu. Seakan-akan acara yang seharusnya menjadi ospek fakultas menjadi lebih seperti ospek jurusan. Walau memang harus dia akui bahwa terdapat kelebihan-kelebihan yang dimiliki dari acara PMBF. Salah satunya ada pada segi kualitas-kualitas pemateri disetiap acara. “Jujur kalau dari mahasiswa nggak bisa mengundang pemateri yang sewah seperti ini,” ungkapnya. Namun terkait teknis pelaksanaan, Sandy tetap merasa mahasiswa bisa lebih unggul karena
lebih mengerti acara-acara apa yang sekiranya tidak membuat bosan. Menurut Hakim, seorang maba prodi Arsitektur, acaranya memang menyenangkan dan tertata rapi. "DOsen-dosennya juga yang ngisi materinya bagus," akunya. Adapun permasalahan yang terjadi pada acara PMBF ini adalah terkait isu ketidakterlibatannya Lembaga Mahasiswa FTSP UII pada ranah acara. Pada PMBF ini, acara penyambutannya dilaksanakan oleh dosen dan karyawan FTSP UII tanpa melibatkan Lembaga Mahasiswa FTSP UII. Tentunya hal inipun juga telah melewati berbagai macam audiensi maupun negoisasi dari kedua belah pihak, antara pihak Dekanat FTSP dengan Lembaga Mahasiswa FTSP UII. Dari Dekanat FTSP sendiri dalam mengambil keputusannya merujuk pada surat Edaran Direktorat Kemahasiswaan Kemenristek Dikti No. 253/B/SE/VII/2016 Tentang Pengenalan Kehidupan Kampus Bagi Mahasiswa Baru pada poin dua. Yang mana disebutkan di dalamnya bahwa program PKKMB merupakan program instansi bukan program mahasiswa. Sedangkan Lembaga Mahasiswa FTSP UII merujuk pada Surat Edaran Rektor No. 1820/Rek/90/DPBMKM/VII/2017 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Orientasi Mahasiswa Baru
LAPUT LANDSCAPE
Beda halnya dengan Sandy. Menurutnya, pengkondisian yang dia maksud dengan yang pihak dosen maksud itu sangat jauh berbeda. Pada pihaknya, pengkodisian itu lebih mengacu pada mobilisasi maupun jeda waktu. Namun ketika panitia mahasiswa mencoba menjelaskan tentang pengkondisian yang mereka maksud, pihak dosen seperti tutup telinga. Kondisi yang seperti inilah yang membuat mediasi maupun audiensi tidak membuahkan hasil yang maksimal. Dari Luqman sendiri, menurutnya kondisi rapat audiensi masih terbilang kondusif. Diapun membenarkan adanya 'pemotongan' yang diberikan kepada mahasiswa yang ia anggap adalah hal yang biasa ditemui ketika rapat. Pressure yang diberikan pun dianggap sebagai hal yang masih batas wajar. Diapun juga berkata, bahwa pressure yang diberikan ini terjadi karena ketidaksanggupan pihak panitia mahasiswa dalam menjelaskan konsep acara mereka. “Seperti pengkondisian selama 40 menit, mereka tidak mampu mereka menjelaskan,” jelasnya. Jadi bagaimanakah sekiranya nasib PMBF ke depannya? Dari Sandy, pihaknya akan terus menunggu keputusan mediasi dan berharap akan di terimanya tuntutan yang dia berikan. Dia pun berkata, Lembaga Mahasiswa FTSP UII sama sekali tidak keberatan jika kedepannya ada kolaborasi dan mengatakan dengan terus terang bahwa pihaknya akan menuruti peraturan yang diberikan. Sedangkan Luqman sendiri ketika ditanyai hal ini dia masih tidak mampu mengira-ngira apa yang akan terjadi ke depannya. Pasalnya karena kedepannya pun peraturan-peraturan masih dapat berubah-ubah. Tetapi dia menghimbau untuk kedepannya ada regenerasi agar mampu menjadi lebih baik lagi. Terkait acaranya, Naufal, maba prodi Teknik Lingkungan berpendapat materinya terlalu banyak duduk. Ia berharap pembawa acara ini ke depannya bisa mengarahkan maba untuk tidak terus duduk karena melelahkan.
9
-betul tidak murni mengerjakan itu dan sedikit meleset, resikonya luar biasa. Kan kita ga mau itu,” tegasnya. Adapun komentarnya tentang alasan mengapa FTSP seratus persen mengikuti aturan ini adalah melalui berbagai pertimbangan-pertimbangan yang ada. Salah satu pertimbangan yang patut diperhitungkan merupakan akreditasi Internasional yang telah dimiliki oleh masing-masing jurusan di FTSP. “Kalau keterkaitan langsung ya tidak, tapi orang internasional kan juga sangat jeli melihat itu. Bukan ketakutan, dalam hal ini kita lebih kepada kehati-hatian,” jelasnya. Dirinya pun tidak terlalu paham tentang kebijakan-kebijakan dari fakultas lain. Mungkin menurutnya, masih adanya perbedaan mendasar namun tidak terlalu drastis seperti FTSP. “Padahal kita tahu, UII mau siap-siap re-akreditasi. Bayangkan kalau saja ini kejadian yang tadi, ohh ternyata pengelolaannya itu totally diserahkan ke mahasiswa lho. wah itu menjadi sangat-sangat bahaya. Kita ga mau kan akreditasi kita turun,” katanya menambahkan terkait persoalan ini. Dalam persoalan akreditasi ini, Luqman selaku ketua panitia pelaksana acara PMBF mengatakan hal yang senada. Menurut beliau, FTSP ini memang sedang bertransformasi dalam skala internasional. Perubahan dalam skala yang besar inipun memiliki beragam konsekuensi-konsekuensi turunannya, yang mana salah satunya adalah perbaikan dalam sistem akademik. Dalam hal ini perlu di garis bawahi tentang bagaimana penyambutan mahasiswa baru itu berlangsung. Maka dari itu, pihaknya sangat sensitif sekali dengan beberapa hal yang pernah diadakan oleh Pekta pada tahun sebelumnya. Terutama ada pada salah satu bentuk kegiatan pengkodisian yang dinilai tidak hanya memberikan dampak negatif karena senada dengan bentuk pressuring maupun kekerasan, “Ini bahaya sekali. Kalau model-model kekerasan baik itu fisik ataupun verbal, ini harus segera dihentikan. Karena itu jauh sekali dari nilai-nilai akademik,” tuturnya dalam hal menyikapi persoalan ini.
PEKTA 2017
UII 2017/2018, yang memiliki bunyi bahwa kepanitiaan dan perencanaan kegiatan wajib melibatkan unsur dosen dan bidang kemahasiswaan. Pernyataan surat edaran rektor inipun sudah dikonfirmasi oleh pihaknya akan persoalan siapa yang akan memegang acara ini. “Porsinya buat mahasiswa,” begitu ungkap Sandy, mengungkapkan kembali hasil diskusinya dengan warek 3. Tambahnya lagi soal siapa yang bertanggung jawab dalam acara ini memang institusi, namun porsi penanganan acaranya tetap kepada mahasiswa. “Intinya seperti tahun-tahun biasa. Mereka ada pengawas. Mereka punya konsep, kita punya konsep. Apa yang tidak diinginkan mereka kita ikutin, ya seperti tahun-tahun sebelumnya,” tambahnya lagi. Pada proses audiensi yang selama ini terjadipun, pihaknya selalu tidak didengarkan. Lembaga merasa konsep-konsep yang mereka berikan selalu dibatasi dan dipotong. Bahkan apapun yang mereka sampaikan selalu dicap tidak rasional dan dianggap sebagai pembodohan. “Ya intinya mereka tutup telinga terhadap apa yang kami buat. Padahal kami juga menerima saran,” tukasnya. Diapun amat menyayangkan bahwa hanya pihak FTSP-lah yang terlalu mengambil alih proses hal ini. Menanggapi pernyataan ini, Kasam berkata bahwasanya fakultas pun sebenarnya juga tidak ingin mengelola acara ini sendiri, namun karena sebuah kondisi lah yang menyebabkan keadaan seperti ini terjadi. “Tidak ditemukannya titik temu,” ungkapnya ketika ditanya mengapa. Menurutnya lagi, penyebab hal ini terjadi karena konsepsi-konsepsi yang dipaparkan oleh pihak mahasiswa masih selalu bersifat pressure padahal pihaknya sama sekali tidak menginginkan hal itu. Menurutnya lagi, mahasiswa baru, datang menghadiri acara fakultas ini dengan perasaan enjoy dan fun. Tidak sepatutnya acara yang nantinya diadakan untuk menyambut mereka diisi dengan bentakan maupun suasana yang kaku. “Kita sangat sedang disorot, jadi ketika kita betul-
GALERI
Kelas Dialog Inspirasi Alumni Teknik Lingkungan (Foto : Alfin F)
DINAMIK PERTAMA P Registrasi Mahasiswa di Pintu Masuk Oleh Panitia (Foto : Baiq R)
Senyum Pagi Setelah Setelah Sarapan (Foto : Baiq R)
Slogan AksiUII Besar Karena Mahasiswa (Foto : Sofiati M)
Penyambutan Mahasiswa Baru (Foto : Baiq R)
Harsoyo dan Kasam, Perwakilan Dosen yang Menemui Masa Aksi Damai (Foto : Baiq R)
KA HARI PMB FTSP Registrasi Mahasiswa di Pintu Masuk Oleh Panitia (Foto : Baiq R)
Senyum Pagi Setelah Setelah Sarapan (Foto : Baiq R)
LAPORAN KHUSUS LAPSUS LANDSCAPE
MENGENAL FTSP LEBIH DEKAT Oleh : Baiq Raudatul J Reporter : Hafian A, Sofiati M, Alfin F Foto : Baiq Raudatul J
F
12 PEKTA 2017
akultas Teknik Sipil dan Perencanaan Univesitas Islam Indonesia (FTSP UII) beberapa waktu terakhir ini merayakan keberhasilan dari 3 program studi sarjana strata satunya dalam meraih akreditasi international. Akreditasi intenasional yang pertama diraih oleh Program Studi Teknik Sipil pada bulan Maret 2016 dari Japan Accreditation Board for Engineering Education (JABEE), selanjutnya program studi Arsitektur pada tanggal 31 Januari 2017 lalu dari Korea Architecture Accrediting Board (KAAB) lalu yang terakhir Program Studi Teknik Lingkungan yang secara resmi mendapatkan akreditasi internasionalnya pada tanggal 14 Agustus 2017 dari Accreditation Board for Engineering and Technology (ABET). Langkah FTSP Sebagai salah satu fakultas dengan mutu dan
kualitas international berawal dari berdirinya Fakultas Teknik Sipil pada tanggal 12 Oktober 1964 dengan satu Program Studi Teknik Sipil. Fakultas yang awalnya tidak memiliki gedung ini bertumpu pada pengajaran dari dosen-dosen UGM dan menumpang gedung kuliah di berbagai tempat. Fakultas ini merupakan fakultas ke-5 yang dibuat oleh yayasan badan wakaf UII setelah Fakultas Agama, Fakultas Hukum, Fakultas Pendidikan dan Fakultas Ekonomi yang sempat tutup pada tahun 1948 karena adanya perang. Pada tahun 1985 Fakultas Tenik Sipil ini berubah menjadi Fakultas Teknik dengan bergabungnya Fakultas Teknologi Industri dan Teknologi Tekstil, namun dengan dibukanya Program Studi Arsitektur pada tahun 1987, pada tahun 1993 Fakultas Teknik terpecah menjadi Fakultas Teknologi Industri (FTI) yang memiliki Program Studi Teknologi Industri dan Program Studi Tekstil, sementara itu Program Studi Teknik Sipil dan Arsitektur tetap berada di Fakultas Teknik
yang berubah nama menjadi Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan (FTSP) dengan didirikannya Program Studi Teknik Lingkungan pada tahun 1999, terbentuklah FTSP yang sekarang kita kenal. Tahun 2017, FTSP telah melalui berbagai dinamika, perubahan mahasiswa dan pergantian kepemimpinan mengikuti perkembangan Universitas Islam Indonesia (UII) dan Indonesia. Saat ini Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Memiliki 3 Jurusan S1 terakreditasi Internasioanl, 1 Program Studi Master Teknik Sipil dan Profesi Arsitektur dan 1 Progran Doktoral Teknik Sipil. 1. TEKNIK LINGKUNGAN Didirikan pada tahun 1999, bungsu dari tiga bersaudara di Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan (FTSP), Teknik Lingkungan (TL), berhasil memperoleh akreditasi internasional dari Accreditation Board for Engineering and Technology (ABET). Perjalanan TL berawal dari inisiasi beberapa dosen Teknik Sipil FTSP UII,
ma saat akhirnya TL berhasil mendapatkan akreditasi A dari BAN-PT pada tahun 2011 setelah sebelumnya memperoleh akreditasi untuk laboratorium dari Komite Akreditasi Nasional pada tahun 2010. Dengan kondisi ini, jumlah peminat prodi TL meningkat. Oleh karena itu, dosen-dosen di prodi TL mulai memasang target ke depan. Awalnya, target untuk mendapatkan akreditasi internasional adalah 30 tahun setelah prodi berdiri. Ternyata, target tersebut berhasil dipercepat. “Mimpi kita itu kan menjadi prodi yang terkenal di ASEAN sebenarnya, nanti sekitar 30 tahun setelah berdiri,” ungkap Hudori. Demi meraih mimpi akreditasi internasional itu, TL mulai bersiap diri sejak tahun 2015. Dimulai dari mempersiapkan faktor akademik seperti kurikulum dan faktor administrasi, akhirnya pada akhir tahun 2015 TL mengajukan submisi akreditasi pada ABET. Dengan diperolehnya akreditasi internasional ini, TL UII menjadi yang pertama di antara perguruan tinggi swasta, serta menjadi yang kedua setelah TL Institut Teknologi Bandung (ITB). Perubahan Kurikulum Salah satu syarat untuk meraih akreditasi internasional adalah kurikulum yang juga harus berstandar internasional. Hudori menjelaskan, proses perubahan kurikulum dilakukan secara perlahan, karena bukan
LAPSUS LANDSCAPE 13
di antaranya Dr.-Ing. Ir. Widodo Brontowiyono, M.Sc., Dr. Ir. Kasam, M.T., dan Ir. Dradjad Suhardjo, SU. Awalnya, mereka berencana untuk mendirikan jurusan baru di FTSP. Saat itu pilihannya adalah Teknik Lingkungan dan Teknik Geodesi. Namun dengan mempertimbangkan kesiapan, kebutuhan serta minat saat itu, akhrinya Teknik Lingkungan-lah yang didirikan. Begitulah penjelasan Ketua Program Studi (Prodi) TL, Hudori, S.T., M.T. Saat akhirnya TL berhasil didirikan, recruitment dosen pun dilakukan. Prodi TL mulai memiliki dosen tetap meskipun jumlahnya masih sedikit. Mahasiswanya sendiri pun, jumlahnya baru sekitar 30 orang di angkatan-angkatan awal. TL kemudian memulai proses akreditasi ke Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT) pada tahun 2002. Saat itu, TL UII baru memperoleh akreditasi C dikarenakan belum adanya lulusan. Empat tahun kemudian, TL UII berhasil meningkatkan nilai akreditasi menjadi B. Meski sudah mendapatkan akreditasi B, aktivitas dan dana yang dimiliki masih sangat terbatas. Oleh karena itu, dosen berinisiatif untuk mencari dana hibah. “Untuk melengkapi peralatan lab, menambah buku-buku dan fasilitas-fasilitas lainnya,” jelas Hudori. Kondisi ini akhirnya membaik seiring berjalannya waktu, teruta-
PEKTA 2017
Hudori di ruang kerjanya (Foto : Iqbal R)
hanya mahasiswa, akan tetapi dosen pun harus beradaptasi. “Karena sekarang kan memang sistem di perguruan tinggi diarahkan yang tadinya subject center learning, jadi mahasiswa dikasih apa aja. Sekarang targetnya outcome based learning.” Hudori menjelaskan. Hudori menekankan, outcome based learning bertujuan untuk menghasilkan mahasiswa yang tidak hanya cakap hard skill, tapi juga soft skill. “Keterampilan dalam belajar, dalam berkomunikasi, bekerjasama, presentasi, kemauan untuk belajar sendiri. Itu kan hal-hal yang sangat dibutuhkan ketika mereka bekerja, kan gitu,” ujarnya. Diakui oleh Hudori, kurikulum yang saat ini berjalan masih belum sepenuhnya mengadopsi konsep outcome based learning. Setelah mendapatkan akreditasi internasional, Hudori meyakinkan nantinya pada tahun 2018 kurikulum akan berubah total. “Targetnya 2018 kurikulum kita berubah total. Soalnya nanti penerapannya jadi all out. Model evaluasinya juga kemungkinan berubah. Selama ini kan kita hanya ujian, sedangkan kalau OB (Outcome Based –red), mahasiswa ditargetkan sampai level ini, nanti waktu evaluasi dilihat dia sudah sampai mana.” Selain berkaitan dengan evaluasi, Hudori juga mengatakan nantinya mata kuliah yang masih mirip akan disatukan. “Mata kuliah kita bisa lebih sederhana. Selama ini, beberapa (mata kuliah –red) masih overlay,” katanya. Program Sertifikasi K3 Lebih lanjut Hudori bercerita, UII diberikan hak untuk memberikan sertifikat keprofesian bagi mahasiswanya yang telah lulus, atau masyarakat umum yang mengikuti sertifikasi di UII. “Contohnya Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3). Nanti saat mereka selesai mengikuti mata kuliah bisa ikut ujian kompetensi, lulus, bisa dapet sertifikat keahlian K3,” jelasnya. Azham Umar Abidin, SKM, MPH, selaku Ketua Pusat Studi Kesehatan Keselamatan Kerja dan Lingkungan (PS3L) menjelaskan, kon-
LAPSUS LANDSCAPE
sep sertifikasi K3 nantinya adalah mahasiswa yang sudah mengambil mata kuliah K3 bisa mengikuti evaluasi yang disesuaikan dengan Standar Kompetensi Nasional Indonesia (SKNI). Setelah lulus, mahasiswa bisa mengikuti uji kompetensi dari Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) UII yang bernaung di bawah Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP). Namun bila dirasa mahasiswa masih belum cukup kompeten, nantinya akan diadakan pelatihan berkaitan dengan unit-unit K3. “Nantinya, setelah lulus mendapatkan ijazah, mendapatkan juga sertifikat, sudah tersertifikasi ahli di bidang K3,” jelasnya. Konsep lain yang masih dipertimbangkan adalah kerjasama dengan Kementrian Ketenagakerjaan (Kemenaker). Perbedaannya dengan BNSP adalah, BNSP memiliki sistem level pada uji kompetensinya, yaitu muda, madya, dan utama, sedangkan Kemenaker tidak ada sistem tersebut. Sampai saat ini, konsep tersebut sampai di tahap proses pengajuan skema yang masih berlangsung di LSP UII. “Kemungkinan baru bisa diterapkan mulai tahun depan,” ujar Azham. Menurut Azham, adanya sertifikasi K3 ini bisa menjadi keunggulan TL UII. “Sepengetahuan saya, belum ada yang seperti itu.” Lebih lanjut lagi, mengenai biaya, Azham meyakinkan biayanya akan jauh lebih murah daripada mengikuti sertifikasi K3 di luar kampus. Selain program sertifikasi K3, TL UII juga sudah memiliki wadah penelitian khusus di bidang K3, yaitu PS3L. Azham berharap nantinya PSK3L bisa dimanfaatkan secara maksimal, termasuk untuk pengadaan pelatihan K3.
14 PEKTA 2017
2. ARSITEKTUR Arsitektur UII lahir pada 9 November 1987 berdasarkan keputusan oleh koordinator KOPERTIS V. Sama seperti Jurusan Teknik Sipil, kelas pertama Jurusan Arsitektur diadakan di kampus di Jalan Demangan Baru dalam naungan Fakultas Teknik dengan jumlah mahasiswa angkatan pertama berjumlah 60 orang maha-
siswa. Adanya Arsitektur di UII berdasarkan oleh inisiasi dari Munichy B. Edress, IAI. AA. Ir., M.Arch. yang sering disebut sebagai Founding Father Asitektur UII, Munichy sendiri merupakan salah satu staff pengajar Program Studi Teknik Sipil, “Waktu berdirinya itu, saya ketua ketua jurusan, sekertaris jurusan itu Pak Sarwidi. Kemudian, dosennya itu 3, pak Wiryono Raharjo, Pak Suparwoko dan Ibu Rini Darmawati, masih izin operasional,” ungkap Munichy tentang awal berdirinya Arsitektur UII. Sama seperti Program Studi Teknik Sipil, Arsitektur UII baru terdaftar pada 10 February 1989 berdasarkan keputusan Kementrian Pendidikan No. 088/0/1989, kemudian diakui pada 9 juli 1994 berdasarkan keputusan Direktorat Pendidikan Tinggi No. 193/Dikti/Kep/1994, tahun ini bertepatan dengan pindahnya perkuliahan Arsitektur dari kampus Demangan Baru ke Kampus Terpadu UII. Pengguguran kewajiban mengikuti ujian negara untuk menjadi Arsitek terjadi pada 30 Desember 1995 setelah Program Studi Arsitektur UII statusnya disamakan berdasarkan Keputusan Direktorat General Pendidikan Tinggi Np. 504/Dikti/Kep/1995, penyamaan status seperti Perguruan Tinggi Negeri ini memberikan wewenang bagi Arsitektur UII untuk melakukan ujian sendiri bagi mahasiswanya. Proses Akreditasi Pada awal penerapan sistem akreditasi di Indonesia pada tahun
Munichy B Edrees (Foto : Baiq Raudatul J)
1996, Program Studi Arsitektur UII merupakan salah satu program studi pertama yang mengajukan diri untuk penilaian dan mendapatkan hasil Akreditasi B dari Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT). Proses penilain BAN-PT selanjutnya pada tahun 2003 memberikan Akreditasi A pada Arsitektur UII dengan nilai yang sangat baik (372,26 poin dari 400 poin). Selama tahun 2008, 2009, dan 2010 Departemen Arsitektur mendapatkan berbagai penghargaan National Competitive Grant “A3” dari Direktorat Pendidikan Tinggi. Setelah mendapatkan berbagai pencapapaian Nasional, tahun 2011 Departemen Arsitektur UII mulai melakukan misi Internasionalisasi pada program studi mulai dengan menjalin kerjasama dengan Saxion University of Applied Science Belanda untuk program double degree serta rencana pendirian Program Profesi Arsitektur yang akhirnya resmi diberikan izin oleh Kementrian Pendidikan pada tahun 2016. Akreditasi ulang nasional pada tahun 2013 oleh BAN PT menunjukan Arsitektur UII sebagai salah satu Program Studi Arsitektur terbaik di Indonesia dengan perolehan nilai 379 dari 400. Proses persiapan setelah undangan Akreditasi Internasional untuk Arsitektur dimulai sejak Januari 2016 dari Korea Architecture Accrediting Board (KAAB) sampai resmi menjadi program studi dengan akreditasi Internasional pada tanggal 31 Januari
3. TEKNIK SIPIL Sejarah Teknik Sipil UII sangat erat terkait dengan sejarah keberadaan FTSP. Teknik Sipil berdiri pada 12 Oktober 1964 dengan 82 orang mahasiswa dan 9 mahasiswi baru pada angkatan pertama. Ir Soebono merupakan dekan pertama pada FTSP yang waktu itu sekaligus menjabat sebagai dekan di UGM. Perkuliahan pada masa awal berdiri sangat bergantung pada perkuliahan dari UGM. “Dulu kuliahnya pindah-pindah, kuliahnya kita tergantung sama UGM karena dosen-dosennya bergantung sama UGM,” ungkap Ir. Endang Tantrawati M.T, dosen sekaligus salah satu mahasiswa pertama di Program Studi Teknik Sipil UII. Selain itu gedung perkuliahan pun hingga tahun angkatan 1973 masih menyewa gedung kuliah dan menumpang lab di Insinyur Pekerjaan Umum. Pembangunan gedung baru, mulai dilakukan sejak tahun 1974 di daerah Demangan Baru. Karena belum adanya sistem akreditasi saat itu, berdasarkan peraturan yang berlaku, Perguruan Tinggi Swasta (PTS) Bachnas (Foto : Baiq Raidatul J) diharuskan untuk
LAPSUS LANDSCAPE 15
2017 yang berlaku hingga 30 Januari 2020. Sejarah Kurikulum Kurikulum pertama Arsitektur UII mengikuti model kurikulum di Universitas Gajah Mada (UGM) dengan penambahan nilai-nilai Islam di dalamnya. Tahun 1995 kurikulum disesuaikan dengan orientasi Comprehensive Profesional dengan menambahkan 4 pelajaran studio pada semester 7, perubahan kurikulum yang didasarkan pada kurikulum nasional berdasarkan BAN-PT dimulai pada tahun 2002 dan dikembangkan lagi pada tahun 2008 memberikan rasio kredit ke mata kuliah berdasar studio lebih dari 45% dari total kredit kuliah. Setelah pertimbangan akan adanya akreditasi dari KAAB, Arsitektur UII mulai menyesuaikan Kurikulum dan persyaratan lain untuk menyesuakan standard dan syarat akreditasi dari KAAB. Perkembangan Profesi Arsitek di Indonesia Awal tahun 2017, muncul sebuah Rancangan Undang-Undang (RUU) Arsitek yang dicetuskan oleh Munichy, RUU ini kemudian disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada 17 Maret 2016 dengan harapan dapat menunjang peningkatan kompetensi arsitek dan memberikan penguat sumber daya arsitek. “Undang-undang profesi itu harus ada, malprakteknya arsitek dengan mal prakteknya dokter lebih berbahaya mal prakteknya arsitek. Mal prak-
terdaftar (Registered) di Kementrian Pendidikan Tinggi saat itu untuk menjalankan suatu program pendidikan dan untuk mengikuti ujian negara sebagai syarat kelulusan sarjana bagi insinyur pada tahun itu program studi harus diakui (Acknowledged) oleh negara. Terakhir adalah tahap diakui (Euivalent), dimana lulusan dari program tersebut disamakan statusnya dengan program studi dari Perguruan Tinggi Negeri (PTN) sehingga mahasiswa Teknik Sipil UII tidak perlu mengikuti ujian negara lagi. “Ada namanya terdaftar, disamakan dan diakui, jadi yang namanya terdaftar wajib mengikuti ujian negara, dua kali jadi sarjananya, jadi harus lulus sarjana UII baru boleh ikut sarjana negara,” cerita Bachnas, Ir., M.Sc. Sistem pembelajaran hingga sebelum penerapan dari BAN-PT menggunakan sistem naik tingkat, dimana semua mata pelajaran pada satu semester harus dikuasai secara keseluruhan, “Saat satu pelajaran tidak lulus, harus mengulang seluruh semester,” ungkap Endang. Kurikulum di Teknik Sipil disesuaikan dengan kriteria dari berbagai tahap sejarah, BAN-PT hingga kurikulum Japan Accreditation Board for Engineering Education (JABEE), akreditasi internasional yang didapatkan pada bulan Maret 2016.
PEKTA 2017
Endang Tantrawati (foto : Baiq R)
teknya dokter salah injeksi mati, salah obat mati, salah operasi mati, hanya satu orang. Tapi mal prakteknya arsitek membunuh orang 500 dalam waktu yang bersamaan,” jelas Munichy tentang perlunya RUU yang sudah disahkan ini. UU Arsitek mengatur berbagai hal terkait keprofesian arsitek, hubungan arsitek dengan masyarakat, apa dan siapa seorang arsitek, kewajiban, hak, kewenangan dan tanggung jawab seorang arsitek dan standar praktik arsitek.
OPINI OPINI LANDSCAPE
Lagi-lagi Pekta Oleh :Iqbal Ramadhan
O
16 PEKTA 2017
spek FTSP UII atau yang lebih dikenal dengan Pekan Ta’aruf (Pekta) kembali menjadi “ring tinju” bagi Dekanat FTSP UII dan Lembaga Mahasiswa (DPM dan LEM) FTSP UII . Hal ini memang bukan kali pertama, buletin “Landscape” –dari Lembaga Pers Mahasiswa SOLID FTSP UII (edisi khusus Pekta 2013, 2014, 2015, dan 2016) telah merekam perdebatan perihal Pekta ini dari tahun ke tahun. Kala itu Divisi Penertib Lapangan (DPL), atribut yang dianggap memberatkan mahasiswa baru, dan pelaksanaan beberapa acara yang berpanas-panasan ria di innercourt menjadi muatan protes yang dilayangkan oleh Dekanat FTSP UII kepada Lembaga Mahasiswa FTSP UII. DPL dianggap melakukan kekerasan verbal, atribut dan teknis acara dianggap bermuatan pembodohan. Terlepas dari segala perdebatan, negosiasi, dan audiensi yang dilalui, toh Pekta beberapa tahun lalu
tetap dilaksanakan oleh Lembaga Mahasiswa FTSP UII dengan didampingi tim pengawas dari Dekanat FTSP UII. Akan tetapi perdebatan tersebut terus bersambung, yang mungkin saja kini telah mencapai puncaknya dengan tidak adanya Pekta dan berganti menjadi Penyambutan Mahasiswa Baru Fakultas (PMBF) yang dilaksanakan oleh dosen dan karyawan FTSP UII tanpa melibatkan Lembaga Mahasiswa FTSP UII. Dekanat FTSP UII menganggap bahwa Ospek Fakultas merupakan tanggung jawab instansi (dalam hal ini Dekanat FTSP UII). Hal ini merujuk pada Surat Edaran Direktorat Kemahasiswaan Kemenristek Dikti No. 253/B/SE/VII/2016 Tentang Pengenalan Kehidupan Kampus Bagi Mahasiswa Baru poin ke-dua yang berbunyi “Program PKKMB merupakan program institusi bukan program mahasiswa, karena itu PKKMB menjadi tanggung jawab pimpinan pergu-
ruan tinggi dengan kepanitiaan melibatkan unsur pimpinan perguruan tinggi, dosen, tenaga kependidikan, dan mahasiswa.” Kutipan tersebutlah yang kerap dijadikan landasan berpendapat baik dekanat maupun dosen-dosen di FTSP. Tentu ini dapat dipahami, yang menjadi keberatan Lembaga Mahasiswa FTSP UII adalah bahwa mereka hanya diminta melaksanakan konsep yang telah dirancang Dekanat FTSP UII. Sedangkan Lembaga Mahasiswa FTSP UII menganggap bahwa lembaga mahasiswa harus tetap berperan dalam ospek fakultas. Dalam hal ini Lembaga Mahasiswa FTSP UII merujuk pada Surat Edaran Rektor No. 1820/Rek/90/DPBMKM/VIII/2017 tentang Pelaksanaan Kegiatan Orientasi Mahasiswa Baru UII 2017/2018. Poin kedua pada Surat Edaran Rektor tersebut berbunyi “Kepanitian dan perencanaan kegiatan wajib melibatkan unsur dosen yaitu Pimpinan dan
SOLID MENERIMA HAK JAWAB, KRITIK MAUPUN SARAN ATAS SEGALA TULISAN YANG DIMUAT DI BULETIN INI
OPINI LANDSCAPE 17
dosen dengan melibatkan mahasiswa, tenaga kependidikan, serta disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi perguruan tinggi. Panitia berada di bawah koordinasi Pimpinan Perguruan Tinggi bidang kemahasiswaan dan bertanggung jawab kepada pimpinan perguruan tinggi.” Termaktub juga pada poin III perihal Asas Pelaksanakan, bahwa ada tiga asa dalam pelaksankan: asas keterbukaan, asas demokratis, asas humanis. “Asas demokratis, yaitu semua kegiatan dilakukan dengan berdasarkan kesetaraan semua pihak, dengan menghormati hak dan kewajiban masing-masing pihak yang terlibat dalam kegiatan penerimaan mahasiswa baru tersebut.” Artinya jelas bahwa semua unsur yang terlibat pada kegiatan penerimaan baru memiliki kedudukan yang sama. Otokritik juga harus dilakukan oleh Lembaga Mahasiwwa FTSP UII, kenapa Pekta dari tahun ke tahun terus menuai polemik. Artinya bahwa memang sudah ada yang tidak sesuai dan Pekta harus menyesuaikan zaman. Jika lembaga mahasiswa masih berperisai Student Government dan menganggap segala sesuatu bisa berjalan sekehendak mahasiswa maka akan terbentuk mahasiswa maupun Lembaga Mahasiswa yang anti kritik. Padahal yang perlu dipahami pertama tentang Student Government adalah bahwa kita harus siap menerima kritik. Ketika Student Government memposisikan lembaga kemahasiswaan sejajar dengan birokrat kampus dan kita berhak melakukan kritik terhadap birokrasi seharusnya ini berlaku dua arah, bahwa mahasiswa harus siap menerima kritik. Namun yang tak dapat dilupakan adalah bahwa Lembaga Kemahasiswaaan di FTSP (ataupun KM UII) harus terus meramu bagaimana Student Government seharusnya bisa memposisikan diri. Sehingga mahasiswa ataupun Lembaga Kemahasiswaan bisa menjadi subjek di UII, bukan sekedar objek kebijakan, terutama pada lini-lini yang berdampak langsung pada mahasiswa.
PEKTA 2017
Bidang Kemahasiswaan di tingkat Universitas atau Fakultas.” Kata “kepanitian” di poin kedua tersebut bermakna mengandung unsur mahasiswa dan dosen. Ketika hal ini dikonfirmasikan kepada Direktur Direktorat Pengembangan Bakat/Minat dan Kesejahteraan Mahasiswa UII Beni Suranto melalui pesan singkat beliau berpendapat kurang lebih seperti tertulis di atas. Kedua alasan tersebut dapat dibenarkan, karena apa yang tercantum di Surat Edaran Rektor No. 1820/Rek/90/ DPBMKM/VIII/2017 tidak bertentangan dengan Surat Edaran Kemahasiswaan Kemenristekdikti No. 253/B/SE/ VII/2016. Masih pada poin kedua Surat Edaran Direktorat Kemahasiswaan Kemenristek Dikti No. 253/B/SE/VII/2016 yang merupakan lanjutan kutipan sebelumnya berbunyi “Perguruan tinggi dapat menerbitkan peraturan tentang tata perilaku mahasiswa yang berisi tata tertib dan sanksi untuk menghindari pelanggaran atas norma, etika, dan hukum.” Artinya Surat Edaran Rektor No. 1820/Rek/90/DPBMKM/VIII/2017 merupakan perwujudan dari poin kedua kalimat kedua, dalam hal bahwa perguruan tinggi dapat menerbitkan peraturan perihal ospek. Hal ini yang mungkin kurang dipahami Dekanat FTSP maupun tim penyelenggara PMBF sehingga ada kesan kurang mengindahkan Surat Edaran Rektor No. 1820/Rek/90/DPBMKM/VIII/2017. Karena tercantum bahwa pelibatan mahasiswa merupakan keharusan, mahasiswa di sini tentu diwakili oleh mereka yang menjadi pengurus Keluarga Mahasiswa UII. Jika memang dekanat masih menganggap adanya Keluarga Mahasiswa UII tentunya, dan tentu saja masih. Hal ini juga tercantum pada Keputusan Direktur Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi No. 116/B1/SK/2016 yang merupakan acuan dari Surat Edaran Direktorat Kemahasiswaan Kemenristekdikti No. 253/B/SE/VII/2016. Termaktub pada poin VI perihal Pelaksanaan poin C perihal Organisasi Kepanitian yang berbunyi “Kegiatan ini melibatkan para
BUKU LANDSCAPE
Kisah Menegangkan Jurnalis Disandera di Irak
Foto : Baiq Raudatul J
RESENSI
Oleh : Sofiati Mukrimah Judul : 168 Jam dalam Sandera, Memoar Jurnalis Indonesia yang Disandera di Irak Penulis : Meutya Hafid Penerbit : Hikmah Tahun : 2007
T
18 PEKTA 2017
ahun 2005 silam, Indonesia dihebohkan dengan kabar disanderanya dua jurnalis asal Indonesia, Meutya dan Budiyanto dari Metro TV. Kejadian tersebut terjadi pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Awalnya, Meutya dan Budi ditugaskan oleh Metro TV ke Irak untuk meliput pemilu di sana. Namun, karena perhitungan suara di Irak dilakukan secara tertutup, mereka tidak bisa melakukan peliputan lagi selain menanti waktu hasil pemilu diumumkan. Sembari menunggu, mereka dituaskan untuk meliput peringatan Asyura, yaitu peristiwa meninggalnya cucu Nabi Muhammad SAW, Husein bin Ali, yang diperingati oleh kaum Syiah di Kota Karbala. Karena dirayakan oleh kaum Syiah, Meutya dan Budi juga mengalami kesulitan untuk mencapai kota tersebut
karena harus memiliki koneksi kaum Syiah. Selain permasalahan koneksi, Meutya dan Budi juga kebingungan memilih jalur untuk mencapai Kota Karbala. Kota Karbala dapat ditempuh dalam waktu dua jam dari Kota Baghdad. Jalur darat dinilai Meutya dan Budi lebih aman, karena pesawat terbang seringkali ditembak hingga jatuh. Namun keputusan mereka memilih jalur darat ternyata salah. Dari sanalah awal mula kehidupan mencekam mereka dimulai. Berawal dari disandera saat sedang mengisi bensin, Meutya dan Budi kemudian dibawa ke sebuah gua sebagai tempat penyanderaan mereka. Meski diperlakukan dengan baik, namun penyanderaan tersebut tetaplah sebuah peristiwa besar, bukan hanya bagi Meutya dan Budi, tapi juga bagi bangsa Indonesia. Saat itu, bahkan Presiden SBY harus membuat pernyataan resmi untuk membebaskan Meutya dan Budi. Meutya memakai sudut pandang orang pertama di buku ini. Hal ini membuat pembaca semakin mudah memahami situasi
yang dirasakan oleh Meutya dan Budi. Bagaimanapun, Meutya-lah yang paling paham bagaimana cara mendeskripsikan situasi, perasaan, dan responnya kala itu. Pemilihan katanya pun baik dan tidak terkesan bertele-tele, cocok dengan profesi Meutya. Pilihannya untuk menuliskan buku ini sendiri terasa sangat tepat. Akan tetapi, meskipun enak dibaca, sudut pandang pertama memiliki kekurangan, yakni penulis tidak mampu mendeskripsikan kejadian di luar yang dialaminya. Namun, Meutya ‘memaksakan’ hal itu dengan tetap menceritakan kejadian di luar yang ia alami sendiri, contohnya adalah yang terjadi di kantor Metro TV saat dia dan Budi disandera. Hal itu terasa aneh saat dibaca meskipun Meutya tetap mampu mendeskripsikan situasi di kantor Metro TV dengan baik. Secara keseluruhan, buku ini layak dibaca, khususnya bagi pembaca yang tertarik dengan topik jurnalisme ataupun pembaca umum karena bahasa dan istilah yang dipakai juga tidak sulit dipahami. Selamat membaca!
INFO GRAFIS LANDSCAPE 19
Infografis: Arifin Agus.S
INFO GRAFIS
PEKTA 2017
PMBF MENYAMBUT; MAHASISWA BARU?