Landscape Edisi Khusus PEKTA 2015

Page 1

Buletin Mahasiswa FTSP

E D E Y A R T M Y Y G B C J V P H A P E

P G F T W P E K T A X F Y H Y Y H E V

L J N T N K K D Q N L G L I U E V R A

G O H C Y T X Y O H S E O B W M B

P J S E J C A E T U R D C Z A G

Y M R Y T Z I G M D C S F

X T T P A N J N K J V A R

K G M D H G G U H Y T G F L U

A Z N J R B Y V M N U I Y H A Y

K S H V A R S I T E K T U R I H T

C D G M J G U N H I A I P E G A P

Sepak Terjang Arsitektur di PEKTA 2015 Kualitas Pendidik PEKTA 2015 Mahasiswa Vs Birokrat, Siapa yang Benar? SOLID / LANDSCAPE EDISI PEKTA 2015

M T J R G W L C J P D B N M S N I

Ilustrasi : Iqbal Ramadhan

R G A H R G U F G K L J J H G S W F Q G Q

Forum Aspirasi Mahasiswa FTSP


DAFTAR ISI DAFTAR ISI

4

Sepak Terjang Arsitektur di PEKTA 2015

LANDSCAPE

Persiapan PEKTA 2015 diiringi lika-liku kebingungan panitia penyelenggara. Adanya beberapa isu klasik seperti penyelenggaraannya pada tahun-tahun sebelumnya. Mulai dari isu menarik dirinya Prodi Arsitektur dalam keterlibatannya di acara PEKTA sampai adanya intervensi birokrat FTSP terhadap kehidupan lembaga mahasiswa FTSP.

Kualitas Pendidik PEKTA 2015

6

Peran waljam pada pekta 2015 di harapkan tidak hanya menjadi pendamping maba-miba , melainkan juga sebagai pembimbing untuk mengenalkan Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan (FTSP) lebih dekat. Tetapi, apakah peran waljam tersebut telah terlaksana seperti seharusnya?

2 3 8

10

DAFTAR ISI

11 12

EDITORIAL LENSA Ta’aruf-an Yuk

OPINI Mahasiswa Vs Birokrat, Siapa yang Benar? IPTEK Mengubah CO2 Menjadi Produk Bernilai SASTRA Puisi: Usai

13 14 15

RESENSI Film: Sebuah Film Tentang Mahasiswa RESENSI Buku: Bapak Republik Yang Dilupakan POLLING Menilai PEKTA

SAPAAN Alhamdulillahi Rabbil ‘Alamin. Puji syukur atas segala nikmat yang Allah berikan kepada kami sehingga buletin LANDSCAPE dapat tersebar kepada anda, kawan-kawan pembaca. Buletin LANDSCAPE kali ini lebih spesial daripada edisi-edisi sebelumnya, karena edisi ini merupakan edisi khusus Pekan Ta’aruf (PEKTA). Edisi khusus PEKTA ini kami hadirkan sebagai wujud partisipasi kami sebagai bagian dari FTSP, sekaligus melaksanakan tanggung jawab kami sebagai sebuah lembaga pers. Semoga edisi PEKTA kali ini memberikan manfaat kepada pembaca, khususnya mahasiswa baru FTSP 2015. Salam PERSMA! Alamat Redaksi: Jalan Kaliurang Km 14,5 Kampus Terpadu FTSP UII Basement, Yogyakarta 55581.

2

085786959585 fax 895330

|

lpmsolidftspuii@gmail.com

@solidftspuii

|

@solidftspuii

PEKTA 2015

www.solidpress.co

PEMIMPIN UMUM Iqbal Ramadhan PEMIMPIN BIRO UMUM Arifin Agus S PEMIMPIN REDAKSI Sofiati Mukrimah REDAKTUR PELAKSANA Andi Mufli M.M REDAKTUR RANCANG GRAFIS DAN FOTO Baiq Raudatul J STAFF REDAKSI Osi Novenda S PEMIMPIN P3 Bowin Yulianti. STAFF P3 M. Arief Guswandi, Arya Praditya G, Helmy Badar N ANGGOTA MAGANG Nur Riza Arnas, Suko Prayitno, Alfin Fadhilah.


EDITORIAL LANDSCAPE

S

EDITORIAL

ejak beberapa tahun belakangan ini, program studi (prodi) Arsitektur makin frontal menunjukkan sikap ketidaksetujuannya akan konsep Orientasi Studi dan Pengenalan Kampus (OSPEK) di Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan (FTSP). OSPEK di FTSP yang disebut Pekan Ta’aruf (PEKTA) dinilai tidak relevan lagi dengan zaman sekarang. PEKTA dirasa masih berbau perpeloncoan, ajang balas dendam, dan berunsur kekerasan verbal. Nurcholis Idham, Kepala Program Studi (Kaprodi) Arsitektur menekankan bila tidak ada perubahan di konsep PEKTA, maka selaku Kaprodi ia berhak mengimbau mahasiswa baru Arsitektur untuk tidak mengikuti PEKTA. Panitia dan Kaprodi bersikeras mempertahankan masing-masing keinginannya hingga tidak mencapai mufakat. Namun fakta di lapangan, mahasiswa baru Arsitektur banyak yang memilih untuk tetap datang dengan berbagai alasan. Hal ini seolah menjadi bukti bahwa panitia lah yang ada di atas angin.

Dari : Herman Cemper Untuk : Prodi Arsitektur

SURAT

Saya rasa untuk Pekta FTSP tahun ini menjadi langkah selanjutnya untuk mendidik mahasiswa baru FTSP menjadi satu, memperbanyak pengetahuan akan kampus, dan memberikan arti penting tentang bagaimana bertindak menjadi mahasiwa. Harapan saya kedepannya Pekta menjadi lebih baik tanpa menghilangkan esensi-esensinya.

Inilah yang menjadi salah satu hambatan yang seharusnya ada titik temu agar tidak mengintervensi satu sama lain. Seharusnya kita sama-sama mencari jalan tengah untuk penyelenggaraan rutin penyambutan mahasiswa baru FTSP. Hidup Mahasiswa!!!

PEKTA 2015

3

Keresahan pada Pekta 2015 hadir ketika adanya himbauan hingga menjurus ke sebuah larangan mengikuti kegiatan pekta 2015, terkhusus pada prodi Arsitektur. Hal ini dikemukakan oleh Kaprodi Arsitektur yang ingin merubah beberapa rangkaian acara yang ada di Pekta 2015. Budaya kolegial dalam perumusan Pekta FTSP 2015 ini sudah dilakukan bersama pihak dekanat dan hanya prodi Arsitektur yang menolak beberapa konsep Pekta yang berujung pada kecaman, “Ketika kalian hilangkan maka kami ikut. Ketika kalian tidak menghilangkan maka kami menarik mahasiswa kami.�


LAPORAN UTAMA LAPUT

Sepak Terjang Arsitektur di PEKTA 2015

Foto : Iqbal Ramadhan

LANDSCAPE

Oleh : Nur Riza Arnas Reporter : Sofiati Mukrimah, Iqbal Ramadhan, Suko Prayitno

● Barisan jamaah Maba-miba di Pekan Ta’aruf 2015.

Apa iya dua hari itu bisa membentuk mental mahasiswa? Kami saja dengan waktu 4 tahun masih kurang dalam membentuk mental mahasiswa kami, it’s impossible Nurcholis Idham (Kepala Prodi Arsitektur)

4 PEKTA 2015

Pekan Ta’aruf (PEKTA) merupakan agenda tahunan Orientasi Studi dan Pengenalan Kampus (OSPEK) di Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan (FTSP) Universitas Islam Indonesia (UII). Acara yang diselenggarakan oleh panitia dari mahasiswa ini bertujuan untuk menyambut mahasiswa baru. Acara ini sekaligus sebagai tahap untuk memperkenalkan apa saja yang terdapat di FTSP, khususnya dalam segi kemahasiswaan seperti yang diutarakan oleh Herman Cemper selaku ketua Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) FTSP.

Acara yang sudah dipersiapkan secara matang dari jauh-jauh hari oleh pihak panitia tersebut tidak berjalan semulus harapan mereka. Sebagian konsep dan tujuan yang sudah dirancangpun terancam gagal karena beberapa permasalahan yang masih terganjal. Salah satu permasalahan klasik yaitu kembali adanya ketidaksetujuan akan acara PEKTA dari program studi Arsitektur yang disampaikan langsung oleh Kepala Program Studi (Kaprodi) Arsitektur, Nurcholis Idham. Ketidaksetujuan Prodi Arsitektur

khususnya terkait masalah muatanmuatan dalam PEKTA. Padahal, menurut Yudha Unggul Wicaksono, ketua Steering Committee (SC) acara yang sedianya diikuti oleh tiga prodi (program studi) di lingkup FTSP, yaitu Teknik Sipil, Teknik Lingkungan, dan Arsitektur itu menitikberatkan pada konsep kemahasiswaan dan kelembagaan. Ketua Lembaga Eksekutif Mahasiswa (LEM) FTSP, Rae Fatullah, membenarkan ketidaksetujuan prodi Arsitektur tersebut, bahkan menurutnya sampai berujung Prodi Arsi-


LAPUT LANDSCAPE 5

intervensi terhadap acara mahasiswa dalam sistem student government di UII, Nurcholis Idham berdalih bahwa student government merupakan cara model lama. “Sekarang tidak ada yang namanya student government, dalam rezim represif dulu mahasiswa melakukan hal-hal seperti itu. Tapi sekarang di masa keterbukaan apa itu dibutuhkan lagi?” Beliau juga mengingatkan mahasiswa agar tidak bersikap arogan. “Dulu adanya student government karena pemerintah yang arogan, nah sekarang dengan alasan student government, mereka yang bersikap arogan kepada adikadiknya,” lugasnya. Divisi Penertib Lapangan (DPL) menerapkan 3 hal mendasar yaitu pressing, doktrin, dan colling down kepada mahasiswa baru. “PEKTA tahun ini harus ada perubahan, yaitu untuk DPL khususnya pada keberangkatan pagi karena menurut mereka ada bentuk kekerasan verbal, intimidasi, dan pembodohan disitu. Padahal dari kami mengharamkan segala bentuk tindakan kekerasan di PEKTA,” jelas Rae Fatullah. Seperti kurang sepaham mengenai peran dan fungsi DPL, Nurcholis Idham menganggap pendidikan dan pembentukan mental yang diberikan kepada mahasiswa baru melalui DPL itu tidak masuk akal. “Apa iya dua hari itu bisa membentuk mental mahasiswa? Kami saja dengan waktu 4 tahun masih kurang dalam membentuk mental mahasiswa kami, it’s impossible.” Dalam menyikapi gesekan antara mahasiswa dan pihak birokrat FTSP, Abdul Jamil selaku Wakil Rektor 3 menyarankan agar kedua pihak untuk menyelesaikan segera permasalahan yang terjadi. Hal ini lebih ditekankan kepada dosen, “Karena kita ini pendidik, kita ini wajib memberikan pendidikan kepada mahasiswa. Kalau ada sesuatu yang bermasalah berartikan harus dikomunikasikan," tutupnya.

PEKTA 2015

tujuan mengirimkan SMS tersebut beliau menyebutkan sudah melalui musyawarah dan beliau harus mengambil keputusan. “Keputusan ada di kami sebagai pengurus dan sebenarnya yang merasakan itu bukan hanya saya tapi hampir semua prodi. Tapi saya memang yang mengeluarkan SMS, surat kepada lembaga dan SMS langsung kepada mahasiswa. Saya nyatakan bahwa kami tidak menyarankan, karena apa yang kami minta tidak diberikan,” tegasnya. Dekan FTSP, Widodo, membenarkan pernyataan Nurcholis yang menganggap bahwa Prodi Arsitektur tidak menarik diri, “Istilahnya Prodi Arsitektur tidak menarik diri, untuk beberapa prodi yang tidak setuju ya tidak apa-apa. Nanti kita adakan evaluasi intern, bersama ketua PEKTA, Pak Kasam pas rapat bulan September bersama Warek 3,” jelasnya. Ketegangan antara Prodi Arsitektur dengan lembaga kemahasiswaan itu sendiri adalah buntut dari Prodi Arsitektur, diwakilkan oleh ketua prodi, yang menginginkan adanya perubahan di PEKTA 2015 dan meninggalkan konsep-konsep lama. Nurcholis Idham bersikukuh bahwa acara Ospek baik PESTA maupun PEKTA itu sudah ketinggalan jaman, “Namanya Ospek di universitas maju bukan seperti itu, dari awal baik PESTA maupun PEKTA saya tidak setuju dan bahkan saya menentang." Campur tangan birokrat kampus cukup membuat sebagian panitia bertanya-tanya akan perkembangan ● Nurcholis Idham saat diwawancarai di geacara mereka. “Kita ini lagi diinterdung rusunawa putri vensi. Pihak LEM dan panitia merasa diintervensi khususnya oleh prodi Ar“Kami tidak menarik diri dari aca- sitektur di setiap acara PEKTA,” tutur ra ini, tapi lebih kepada bersifat per- Rae Fatullah ketika dimintai pendasuasive. Surat edaran itu dulu, sudah pat masalah intervensi acara kemadari awal sebelum LEM terbentuk. hasiswaan. Setali tiga uang dengan Saya sudah menghimbau supaya Rae Fatullah, Herman Cemper ketika PEKTA tidak seperti tahun-tahun se- ditanya tentang kondisi student gobelumnya. Awal mulanya mereka se- vernment di UII berpendapat bahwa tuju tapi di detik-detik terakhir mere- sebenarnya ada hal yang belum jelas ka menyatakan tidak mau merubah. di UII tentang student government. Akhirnya saya keluarkan SMS kepa- "Letaknya di mana? Student goverda semua mahasiswa baru Arsitek- nment kita kan sedang dipertanyatur, saya tidak menyarankan untuk kan,” jelasnya. mengikuti PEKTA,” ucap Nurcholis. Ketika ditanya tentang adanya piKetika diminta klarifikasi tentang hak Prodi Arsitektur yang melakukan Foto : Nur Riza Arnas

tektur yang mengancam akan menarik mahasiswanya dari acara PEKTA. “Beliau (Kaprodi Arsitektur) tetep keukeuh. Kita mau atau tidak untuk merubah. Jika mau, Arsitek ikut kalau tidak maka Arsitek akan manarik diri,” tegasnya. Jika ditelaah kembali inilah yang menyebabkan sampai keluarnya surat edaran atas nama prodi Arsitektur kepada mahasiswa barunya, “Kami belum ada kesepakatan, tiba-tiba beliau sudah menghimbau mahasiswanya untuk tidak terlibat dalam PEKTA 2015,” tambah mahasiswa prodi Teknik Lingkungan angkatan 2012 tersebut. Nurcholis Idham selaku Ketua Prodi Arsitektur sendiri berpendapat bahwa Prodi Arsitektur sebenarnya tidak menarik diri dalam keterlibatannya dalam PEKTA 2015. Mereka memberikan sikap setelah tidak adanya titik tengah dalam menyikapi permasalahan tersebut.


LAPORAN KHUSUS LAPSUS

Kualitas Pendidik PEKTA 2015

LANDSCAPE

Oleh : Alfin Fadhilah Reporter : Mufli Muthaher, Bowin Yulianti

6 PEKTA 2015

Pekan Taaruf (Pekta) merupakan agenda tahunan Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan (FTSP) yang tahun ini dilangsungkan mulai senin (31/8) hingga selasa (1/9). Jika melihat dari jumlah wali jamaah (Waljam) pada tahun lalu, jumlah waljam pada tahun ini lebih banyak yaitu berjumlah 24 orang yang terbagi ke dalam 12 jamaah. Adapun fungsi waljam menurut Triaditha Yulindari selaku koordinator divisi tersebut adalah membimbing mahasiswa baru (maba) dan mahasiswi baru (miba), karena mereka adalah orang terdekat saat itu. “Kan waljam yang langsung terjun ke maba-miba. Nah, di situ fungsi waljam gak cuman sebagai pendamping tapi juga sebagai sosok kakak yang membimbing,” ujarnya. Berbeda dengan waljam saat Pesona Taaruf (Pesta) 2015 yang melakukan training di Student Convention Center (SCC), waljam Pekta 2015 saat ini tidak ada diberikan training tetapi langsung kepada prakteknya. “Jadi, untuk training dan segala macam, saya dari Komisi A langsung ke prakteknya aja gitu loh,” ujar Vito Briyandono selaku SC Komisi A. Dia juga menyampaikan Waljam sendiri yang dirancang olehnya diharapkan mengetahui tentang dunia kemahasiswaan. “Jadi waljam yang sekarang, yang aku rancang, mampu memberikan muatan masalah kemahasiswaan. Dunia kemahasiswaan kampus ini, kan disini kita ranahnya pekta,” tambahnya.

Waljam yang telah masuk kedalam divisi ini diharapkan mampu menjaga komitmen mereka sebagai waljam, karena salah satu kriteria waljam menurut Vito yaitu memiliki komitmen. “Mereka harus berkomitmen ketika milih waljam, dengan tugas waljam yang berat” ungkapnya. Dia juga menambahkan, selain itu tugas waljam juga diharapkan membuat maba-miba menjadi tidak canggung ketika memasuki kampus FTSP. “Jadi, harapannya maba-miba tidak akan malu-malu,” ungkapnya. Selain waljam, Divisi Penertib Lapangan (DPL) juga memiliki fungsi yang tidak jauh berbeda dengan waljam. Hal itu dikarenakan fungsi DPL yang memberikan muatan-muatan fungsi dan peran mahasiswa saat maba-miba akan memasuki kampus di FTSP untuk pertama kalinya. Adapun muatan yang disampaikan oleh DPL adalah mengenai hal akademis maupun non akademis. “Jika dari non akadamis, mengenai kelembagaan, kemahasiswaan, di suruh rajin kuliah dan disiplin dalam berbagai hal,” ujar Anwar Arieffudin selaku DPL. Hal senada juga di sampaikan oleh koordinator DPL, Ahmad Syaiful Marzuki, dia menyampaikan bahwa DPL itu juga berfungsi untuk memperbaiki kekeluargaan di FTSP yang mulai rapuh. Adapun permasalahan muatan yang di sampaikan oleh DPL lebih dalam tentang peran dan fungsi mahasiswa daripada waljam adalah ka-

Foto : Andi Mufly M. M.

Waljam itu gerbang kekeluargaan, dari Waljam dapat memberi suasana kekeluargaan. -Vito Briyandono

● Vito, mahasiswa Teknik Sipil 2012 saat di wawancarai di ruang lembaga FTSP.

rena waljam lebih sebagai pemercik sedangkan DPL lebih kepada penegasannya. “Pemercik berarti lebih kepada kekeluargaan, agar mereka penasaran dan punya tanda tanya besar dan ikut membangun organisasi kita,” sahut Vito di ruang Himpunan Mahasiswa Teknik Sipil (HMTS). Selain itu, terdapatnya tujuh pos saat maba-miba baru memasuki kampus FTSP bukan tanpa alasan. Menurut Anwar, setiap pos memiliki fungsi-fungsi sendiri. “Yang pertama pengkondisian awal, yang kedua senam biar gak kaget nantinya. Disitu ada materi tentang kepemimpinan dalam Islam, kekeluargaan di FTSP ini. Tentang kelembagaan di FTSP dan terakhir tentang pengkondisian peserta lagi,” ujarnya. Jika idealnya waljam sebagai pembimbing maba-miba, hal ini tidak


Meskipun begitu, peran waljam yang juga sebagai pemandu di nilai cukup berhasil. Menurut Eza, waljamnya tergolong baik. “baik di sini ya waljamnya ramah gitu,” ungkapnya. Hal itu juga di sepakati oleh Gabriel dan Umi yang tergabung kedalam jamaah yang sama. “iya baik, ramah juga kalau sekedar mendampingi,” tambah mereka. Terkait DPL sendiri, muatanmuatan yang di sampaikan oleh DPL di rasa baik menurut eza, Maba Teknik Lingkungan. “galak, yg pos pertama, pos selanjutnya enggak. Di pos ke 4 itu tentang kepemimpinan dan membimbing mahasiswa yg baik,” ujarnya.

LAPSUS

juga menuturkan bahwa kinerja waljamnya kurang maksimal. “kurang ditambah lagi untuk memberi materi dari waljam, seperti penyampaian sesuatu yg kami belum tau di kampus,” tuturnya yang di temui sebelum menunaikan salat ashar. Dia juga menambahkan bahwa waljam tidak memberi pengertian tentang kelembagaan untuk jamaahnya sendiri. “Ya, itu gak ada”, ujarnya. Sejalan dengan apa yang di sampaikan Eza, Umi juga menyampaikan bahwa pada jamaahnya belum ada interaksi kepada waljam masalah kelembagaan. “ Tadi gak sempet nanya sih, kan gak terus sama waljam, gak deketan terus, gak barengan terus gitu,” ujarnya.

LANDSCAPE

di rasakan oleh maba-miba yang di temui oleh Tim Solid di selang acara berlangsung. Maba-miba yang berjumlah tiga orang ini hanya merasa waljam mereka sebagai pemandu, bukan pembimbing. Pembimbing di sini adalah orang yang menerangkan kembali materi yang telah di terima, seperti materi kelembagaan, kedisiplinan dan lain-lain. tetapi, pada kenyataannya tidak demikian. Menurut Umi Nur, Miba Teknik Sipil, dia menerangkan waljamnya hanya memandu seperti “’dek kesini, dek kesini,’ gitu,” ujarnya. Pernyataan itu juga diamini oleh Gabriel Wahyu dan Neza Adi. “Waljamku sendiri kurang interaktif,” ujar Gabriel sore itu. Neza Adi yang akrab di sapa Eza

Tunggu Stan Pendaftaran Kami Info: @solidftspuii. CP: 085786959585

PEKTA 2015

7

Be the next SOLID Crew


LENSA

Ta'aruf-an Yuk

●Pengkondisian sore oleh DPL. (Foto : Iqbal Ramadhan)

●Widodo Bronto Wiyono, Dekan FTSP UII membuka Pekta 2015 secara simbolis. (Foto : Iqbal Ramadhan)

●Seorang Miba tengah bertanya kepada DPM

pengenalan kelembagaan. (Foto : Iqbal Ramad ●Rae Fatullah, Ketua LEM FTSP UII memimpin pembacaan Sumpah Mahasiswa. (Foto : Iqbal Ramadhan)


●Barisan Maba-miba disalah satu pos DPL. (Foto : Sofiati Mukrimah)

●Maba-miba ditemani wali jamaah bermain game yang di isapkan Pekta 2015. (Foto : Iqbal Ramadhan)

FTSP UII dalam sesi

dhan) ●DPM FTSP UII tengah memperkanalkan diri pada rangkaian Pekta 2015. (Foto : Iqbal Ramadhan)


OPINI OPINI

Mahasiswa vs Birokrat, Siapa yang Benar? Oleh : Suko Prayitno

LANDSCAPE 10 PEKTA 2015

Orientasi Studi dan Pengenalan Kampus (Ospek) sesi kedua sedang berlangsung. Khususnya di Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan acara ini dikenal dengan Pekan Ta’aruf atau Pekta. Pekta sendiri, yang merupakan rangkaian Ospek tingkat Fakultas di Universitas Islam Indonesia (UII), diselenggarakan secara bergantian dan mempunyai penyebutan berbeda, tergantung kebijakan pengampu tanggung jawab di masing-masing fakultas. Pekta FTSP berlangsung secara apa adanya dengan beberapa konflik yang belum terselesaikan. Beberapa tahun terakhir Pekta FTSP memang mempunyai warna yang sama, abu-abu. Seperti tanpa ada itikad untuk memperbaiki permasalahan klasik yang ada, perselisihan itu terjadi lagi. Ketidaksepahaman antara mahasiswa dengan birokrat menjadi cerita yang cukup membosankan. Mahasiswa beranggapan mempunyai kekuasaan penuh untuk mengatur urusan rumah tangganya. Di lain pihak terdapat tanggung jawab dari birokrat untuk untuk membawa institusi kedalam perubahan yang lebih baik. Dalam konteks tulisan ini mahasiswa yang dimaksudkan adalah pihak lembaga kemahasiswaaan. Berdasarkan Peraturan Dirjen Dikti No 274/2014 yang kini diberlakukan, Ospek sekarang menjadi tanggung jawab institusi. Ospek bukan lagi menjadi milik mahasiswa. Dasar ini menguatkan pembenaran campur tangan birokrat ke dalam urusan penyambutan mahasiswa-mahasiswi baru tentunya. Dari pihak mahasiswa sendiri mempertanyakan sistem “Student Government� yang ada di UII, yang mana lembaga mahasiswa mengurus segala aktivitas kemahasiswaannya tanpa ada instruksi ataupun intervensi dari rektorat dan dekanat

sebagai birokrat kampus. Seharusnya acara mahasiswa tetaplah punya mahasiswa. Ajang-ajang perpeloncoan yang menjadi dasar keluarnya peraturan Dikti terasa men-generalisir keseluruhan Ospek yang ada di Indonesia. Begitu pula yang dikatakan salah satu kepala jurusan di FTSP. Ospek saat ini dianggap tidak mempunyai

nilai-nilai yang edukatif dan hanya menjadi ajang balas dendam para senior dalam universitas. Pihak instansi pun bersikukuh, salah satu dari birokrat menyayangkan ketika posisi mahasiswa yang temporary bertindak di luar batasan-batasan. Seperti halnya mengesampingkan tanggung jawab birokrat yang posisinya menggiring mahasiswa dengan tujuan lebih baik untuk kedepannya. Keduanya, baik birokrat dan mahasiswa menuntut masing masing haknya. Belum ada titik temu mana yang bisa dianggap benar. Karena hak-hak yang mereka tuntut akan mengurangi diskresi masing-masing pihak. Harusnya Dikti pun bisa memperkirakan tabrakan kewenangan seperti halnya demikian. Apa memang benar Ospek yang ada di UII sekarang sudah kadaluarsa? Kadaluarsa atau tidaknya sebenarnya terdapat pada konten yang tersirat di dalamnya. Birokrat ber-

anggapan ada arogansi dari mahasiswa, sementara mahasiswa merasa terintervensi oleh birokrat. Di satu sisi orang-orang yang berada dalam keduanya, birokrat dan mahasiswa – lah yang kadaluarsa. Masih bertahan atas arogansi masing-masing, merasa berkuasa, merasa kuat, dan merasa mempunyai kewenangan yang paling tinggi. Diperlukan orang-orang yang pandai berdiplomasi atau setidaknya bersifat toleran untuk sengketa ini. Mereka yang berkepala batu mungkin hanya pantas untuk zaman batu. Toleransi yang memudar meninggalkan kaidah-kaidah kekeluargaan dan kemanusiaan. Seperti halnya singa tak akan mungkin mau bersanding dengan rusa yang lebih lemah darinya. Begitukah seharusnya manusia? Ya, mungkin seperti itulah gambaran sifat manusia yang kadaluarsa. Memang tidak semuanya dari birokrat dan mahasiswa berkepala batu. Ada beberapa yang melunak. Akan tetapi mereka tertutup dan bungkam karena kewenangan dan ketidakpedulian. Mereka merasa kewenangan tersebut telah mereka berikan untuk diwakilkan. Sehingga menimbulkan ketidakpedulian yang mereka fikir sudah ter-cover oleh wakil-wakilnya. Tapi tetap saja mereka menjadi manusia-manusia yang kadaluarsa selama mereka tidak berfikir praktis dan terus terkekang belenggu anggapan. Sangat diperlukan kepala dingin untuk berdialektika, butuh meja, butuh forum, butuh media untuk menyatukan pendapat. Tidak hanya selembar kertas yang berisi tuntutantuntutan untuk dikabulkan. Menegosiasikan keinginan masing-masing secara vocal, secara dua arah, akan memudahkan bertemunya kesepakatan dan meminimalisir perselisihan tanpa pemahaman.


●Sumber : Sciencedaily

Sebuah sistem molekular memiliki peran besar untuk penangkapan dan penyimpanan karbon dioksida yang telah dimodifikasi sehingga saat ini juga memegang peran besar sebagai katalis untuk mengubah karbon dioksida yang ditangkap menjadi produk kimia yang bernilai. Para peneliti dari U.S Department of Energy (DOE)’s Lawrence Berkeley National Laboratory (Barkeley Lab) telah memasukkan katalis pengurangan karbon dioksida menjadi kristal berbentuk mirip spons ke dalam dalam covalent organic frameworks (COFs). Hal ini menciptakan sebuah sistem molekular yang tidak hanya menyerap karon dioksida, tapi juga secara selektif mereduksinya menjadi karbon monoksida, yang berfungsi sebagai blok bangunan utama untuk berbagai produk kimia termasuk bahan bakar, obat-obatan dan plastik. “Ada banyak upaya untuk me-

ngembangkan katalis homogen atau heterogen untuk karbon dioksida, tapi kelebihan menggunakan COFs adalah kita dapat mix and match yang terbaik dari kedua dunia. Artinya kita memiliki kontrol molekul dengan memilih katalis ditambah kristal alam yang kuat dari COF,” kata Christopher Chang, seorang ahli kimia dari Berkeley Lab’s Chemical Sciences Division. “Untuk saat ini, bahan berpori telah digunakan terutama untuk menangkap karbon dan pemisahan, tetapi kenyataannya juga dapat digunakan sebagai katalis karbon dioksida,” lanjutnya. Karbon dioksida terkenal akan dampaknya pada atmosfer dan perubahan iklim global yang telah dialihkan nilainya sebagai sumber berlimpah, terbarukan, tidak beracun dan sumber karbon yang tidak mudah terbakar untuk pembuatan produk kimia. Yaghi dan kelompok penelitinya di University of Michigan pada

LANDSCAPE

tahun 2005 merancang dan mengembangkan COFs pertama sebagai sarana memisahkan karbon dioksida dari gas buang. COF adalah kristal tiga dimensi berpori yang terdiri dari kerangka kompak yang terlipat kuat, memiliki luas permukaan internal yang luar biasa besar - sebuah COF ukuran kubus gula bila dibuka dan dilipat akan menyelimuti lapangan sepak bola. Kualitas yang seperti spons memungkinkan sistem untuk menyerap dan menyimpan jumlah besar dari molekul yang ditargetkan, seperti karbon dioksida. “Fitur utama dari COFs adalah kemampuan untuk memodifikasi secara kimiawi situs aktif dengan kontrol tingkat molekul dengan menyetem blok bangunan yang mengangkat kerangka kerja COF,” kata Yaghi. “Ini memberi keuntungan yang signifikan atas katalis padat lain di mana menyetem sifat katalitik dengan tingkat desain rasional tetap menjadi tantangan utama. Karena COFs porfirin stabil dalam air, mereka dapat beroperasi di air elektrolit dengan selektifitas yang tinggi yang lebih bersaing reaksi reduksi air, merupakan persyaratan penting untuk bekerja dengan emisi gas buang. “ Dalam tes kinerja, COFs porfirin menampilkan aktivitas katalitik yang sangat tinggi - mengganti hingga 290.000, yang berarti satu porfirin COF dapat mengurangi 290.000 molekul karbon dioksida menjadi karbon monoksida setiap detik. Sumber : Sciencedaily

11

Oleh: Sofiati Mukrimah

PEKTA 2015

Mengubah CO2 Menjadi Produk Bernilai

IPTEK

IPTEK


SASTRA SASTRA

USAH Oleh : Iqbal Ramadhan

LANDSCAPE

Usah Kau indahkan Mereka yang mengaduh Di ketuk pentungan kepalanya Di cium sepatu bot mukanya Usah Kau dengarkan Terlalu berharga kupingmu Mereka mengaduh hanya mencari perhatian Mereka memang meratap selalu Usah Kau hiraukan Mereka yang di rampas tanahnya Mengadu saja mereka bisanya Tak pernah mereka mencangkul dalam Usah Kau pedulikan Melihat mereka tak hanya terlukai Juga mendarahkan hati Usah Kau pedulikan Jika sudah sebusuk itu hatimu Berbahagisajalah ragamu Berbahagia di atas tengkuk sebangsamu Atau.. Mati sajalah Kau “Manusia� sudah mati Mati sedari hati Yogyakarta, 31 Agustus 2015

12 PEKTA 2015


Judul Sutradara Produser Durasi Tahun

: Gie : Riri Riza : Mira Lesmana : 147 menit : 2005

“Tidak bisa. Tetap saja kita katakan kalau dia seorang penerjemah, bukan seorang pengarang dan lagi pula Andre Gide dikenal di sini,” bantah Soe Hok Gie muda (Jonathan Mulia) kepada gurunya ketika Ia masih duduk di bangku SMP. Perdebatan itu berlangsung karena sang guru Arifin menganggap bahwa Chairil Anwar adalah pengarang Pulanglah Dia Si Anak Hilang, sedangkan Soe –ia biasa disapa– mengetahui bahwa Chairil penerjemah buku Andre Gide. Itulah salah satu adegan dalam film GiE yang memorable. GiE berkisah tentang seorang pemuda keturunan Tionghoa yang kritis, berpendirian teguh, dan selalu

memperjuangkan impiannya. Mimpinya adalah agar Indonesia menjadi negara yang sejahtera dan adil bagi rakyatnya. Untuk itu ia kerap melancarkan kritik terhadap pemerintahan Soekarno melaui tulisan, diskusi, hingga pada akhirnya bersama mahasiswa turun ke jalan untuk menurunkan Soekarno. Film garapan sutradara Riri Riza –yang berdasarkan kisah nyata– ini mengisahkan perjalanan hidup Soe Hok Gie dengan cukup komplit. Dimulai dengan masa Soe duduk di bangku SMP, SMA, hingga ia memulai kehidupan kampusnya. Bagian awal film cukup menjawab pertanyaan darimana daya kritis dan luasnya pengetahuan Soe datang. Beberapa kali scene menunjukan Soe muda tengah berkunjung ke perpustakaan ataupun Soe tengah membaca buku. Dari bagian awal film ini juga kita bisa bersepakat bahwa ia sudah menunjukan tanda-tanda “berani mengemukakan pendapat” sedari muda. Konflik-konflik yang terjadi di film ini sebagian besar adalah tentang kemanusiaan. Tentang kawannya yang kerap disiksa tantenya, tentang konflik horizontal antar golongan mahasiswa di kampusnya –Fakultas Sastra Universitas Indonesia–, hingga tentang konflik di pemerintahan antara ABRI vs PKI yang justru berdampak kepada rakyat. Melihat itu semua ia tidak pernah bisa diam. Untuk kasus yang terakhir biasa ia lancarkan kritik dengan menulis. Kompas menjadi salah satu harian yang kerap memuat tulisanya, atau terkadang melalui

Gemsos (Gerakan Mahasiswa Sosialis) pemikiran dan tulisannya dipropagandakan. Untuk film berlatar belakang sejarah, jangan anggap bahwa GiE akan berjalan dengan kaku. Disisipkannya kisah roman Soe semasa kuliah menjadi penyegar tersendiri. Konflik percintaan anak muda yang dibingungkan oleh pilihan, Ira (Sita Nursanti RSD) wanita berkarakter, cerdas, dan menggambarkan seorang wanita tangguh atau Sinta (Wulan Guritno) seorang wanita nan cantik dari keluarga berada. Nicholas Saputra memerankan Soe Hok Gie dewasa dengan cukup rapi. Ia berhasil memerankan Soe yang pendiam namun tegas, ataupun Soe yang kebingungan dengan kisah asmaranya. Mungkin yang sedikit mengganggu dalam film ini adalah ending film yang tidak begitu jelas. Bahwa GiE diangkat dari buku Soe Hok Gie Catatan Sang Demonstran dan ditambah tokoh fiktif di dalamnya, yaitu Ira dan Sinta adalah jawaban paling logis kenapa endingnya terkesan terlalu didramatisir. Ira, -walaupun terinspirasi dari teman wanita Soe- sebenarnya ia tidak ada sama sekali dalam kehidupan Soe. Dari sinilah ada pemberian porsi lebih ketika Ira mendapat surat dari Soe. Hal ini menjadikan jalan cerita film sedikit berbeda dengan kisah nyata Soe.

LANDSCAPE 13

Oleh : Iqbal Ramadhan

PEKTA 2015

Sebuah Film Tentang Mahasiswa

FILM

RESENSI


RESENSI BUKU

Bapak Republik Yang Dilupakan Oleh : Mufli Muthaher

LANDSCAPE

Judul : Tan Malaka, Bapak Republik Yang Dilupakan Penerbit : Tempo Jumlah Hal : 185 Terbit : September 2010

14 PEKTA 2015

17 Agustus telah berlalu. Indonesia kini akan berangkat menuju 71 tahun kemerdekaannya. Perjuangan para pahlawan kemerdekaan akan selalu menjadi tontonan dan bacaan wajib yang hadir menjelang dan sesudah detik-detik proklamasi: Bung Karno, Bung Hatta, Bung “Kecil"-Sjahrir- sampai Hamengkubuwono IX. Namun, ada seorang pahlawan yang jarang dikenang. Ia tak seperti Soekarno, yang foto-fotonya acap kali nampak di dinding rumah kita, meskipun sudah lapuk dimakan rayap. Ia tak seperti Hatta, yang di elu-elukan masyarakat karena perjuangannya dalam pendidikan melalui tulisan-tulisannya. Ia pun tak seperti H.O.S Cokroaminoto yang namanya dijadikan sebuah universitas di Yogyakarta. Namanya ialah Ibrahim Datuk Tan

Malaka, atau Tan Malaka, dan kini dua-tiga generasi melupakan sosoknya serta pengorbanannya menuju Indonesia merdeka. Pantaslah ia disebut bapak republik yang dilupakan. Rezim Orde Baru telah habis-habisan membunuh karakter orang-orang berhaluan “kiri” dan menghapusnya dari memori masyarakat. Sangat sulit mendapatkan sejarah Tan Malaka dalam buku-buku sejarah anak sekolahan. Kisah pejuang yang kaya gagasan filosofis dan lincah berorganiasi ini diangkat dalam buku Tan Malaka: Bapak Republik Yang Dilupakan. Buku ini adalah salah satu dari 4 seri buku terbitan Tempo yang mengangkat cerita tentang pendiri bangsa: Sukarno, Hatta, Sutan Sjahrir, dan Tan Malaka sendiri. Awal-awal bab buku ini menceritakan Tan dalam seputar proklamasi kemerdekaan. Pria berdarah Minang ini ternyata terlambat mengetahui proklamasi. Hal itu berbuntut dari situasi Jakarta yang saat itu tidak menentu. Polisi militer Jepang mengintai dimana-mana. Tan tidak tahu adanya proklamasi karena penguasa militer Jepang pun melarang berita proklamasi meluas di radio dan surat kabar. Alhasil, terbatasnya peran Tan seputar proklamasi tersebut, menurut penulis Harry Poeze, "Sungguh ironis." Padahal Tan orang Indonesia pertama yang mengagas konsep republik Indonesia dalam buku Naar de Republiek Indonesia, yang ditulisnya tahun 1925. Buku Tan tersebut, menurut buku ini, “Menjadi pegangan politik tokoh pergerakan, termasuk Sukarno.” Buku ini menjadi pengantar yang pas untuk setidaknya mengetahui kisah hidup, pergolakan pemikiran,

serta semangat nasionalisme Tan dan lain-lain. Selain itu, buku yang terdiri dari beberapa judul tulisankarena sebelumnya dimuat dalam edisi khusus Majalah Tempo ini-juga menceritakan kisah-kisah menarik lainnya dari pria yang memiliki 23 nama samaran ini. Mulai dari yang kontroversial seperti testamen politk pemberian Sukarno kepada Tan-yang mengatakan bahwa Tan adalah “ahli waris obor revolusi”. Kisah gerilyanya di Filipina sampai-sampai ia dielu-elukan masyarakat Manila, kisahnya di Tanah Haarlem tempat awal pergolakan pemikirannya, kisah cintanya yang tak terbalas, sampai misteri kematian pria yang sempat menjadi tangan kanan Komunis Internasional untuk mengawasi pergerakan komunis daerah Asia Tenggara ini. Keunggulan dari buku ini adalah penggarapannya yang tidak mau terjebak dalam literatur-literatur yang sudah ada. Pun juga tidak berusaha untuk menguji masa lalu dengan metodologi sejarah yang ketat. Tempo, dengan pendekatan khas jurnalistiknya mencoba, mengutip kata pengantar buku ini oleh Arif Zulkifli selaku Redaktur Eksekutif Majalah Tempo, “Mengetengahkan fakta dengan menarik, dramatik tanpa mengabaikan presisi.” Maka dari itu, pembaca bisa melihat bagaimana Tempo menelusuri kembali beberapa daerah yang menjadi konsen tulisan di buku ini. Seperti misalnya Tanah Harleem, Belanda. Tempo juga menelusuri kembali tanah kelahiran Tan di Pandan Gadang, Sumatera Barat. Namun, buku ini tidak betul-betul tersusun dengan rapi. Masa kecil Tan baru dibahas menjelang akhir bab buku ini.


POLLING

LANDSCAPE

POLLING

Menilai Pekta Oleh: Bowin Yulianti mendidik sebanyak 84% berpendapat setuju dan 12% tidak sependapat. Terakhir adalah siapakah yang seharusnya berperan dalam menyampaikan pendidikan PEKTA antara DPL dan Waljam keduanya memiliki persentase yang sama yakni 43%. Dari data mengenai penilaian pendidikan dalam PEKTA, diharapkan mahasiswa baru dapat berpartisipasi dalam rangkaian acara PEKTA. Dan semoga dengan adanya acara PEKTA ini dapat membangun semangat mahasiswa yang memiliki pemikiran kritis dan mental yang tangguh.

Infografis: Arifin Agus S 15

dan menambah wawasan tentang kelembagaan yang ada di FTSP. Namun, 5% menyatakan tidak penting, dengan berbagai alasan di antaranya acara yang dilaksanakan waktunya terlalu singkat sehingga kurang efektif untuk mencapai tujuan PEKTA. Selanjutnya, sebanyak 88% menyatakan DPL sudah sesuai dengan peran dan fungsinya tetapi 9% berpendapat sebaliknya. DPL memberikan materi yang bermanfaat sebanyak 93% setuju dan 6% tidak setuju. Kemudian penilaian apakah waljam memberikan muatan-muatan yang

LPM SOLID Menerima Hak Jawab Atas Segala Tulisan yang Dimuat dalam Buletin Kami

PEKTA 2015

P

ekan Ta’aruf (PEKTA) 2015 merupakan wadah untuk menyambut kedatangan mahasiswa dan mahasiswi baru. Tujuannya adalah untuk mengasah potensi dari mahasiswa baru agar lebih memiliki mental yang baik dan menjadi pemimpin-pemimpin bangsa yang amanah dengan masyarakat. Divisi Penertib Lapangan (DPL) merupakan pendoktrin pertama tentang materi ke FTSP-an dan memberikan materi tentang peran dan fungsi mahasiswa dengan konsep pressing dan doktrinnya. Sedangkan waljam juga memiliki kedudukan yg sama namun dengan konsep colling down dan lebih kepada pendekatan secara personal. Untuk itu kedua divisi ini diperlukan untuk memberikan muatan-muatan positif kepada mahasiswa baru, karena posisinya yang berinteraksi langsung dengan Maba. Untuk mengetahui seberapa jauh pendidikan yang diberikan dalam PEKTA FTSP 2015, kami mencoba mengumpulkan data kuisioner yang disebar kepada Maba FTSP 2015. Setelah penelitian dilakukan, didapatkan data sebagai berikut : Acara Pekta FTSP 2015 sudah sesuai dengan tujuannya sebesar 93% dan hanya 5% yang merasa PEKTA FTSP 2015 belum sesuai tujuan. Sebanyak 94% menyatakan bahwa acara PEKTA penting untuk dilaksanakan. Acara ini penting untuk menjalin kebersamaan dan kekeluargaan antar warga FTSP


Iklan ini dipersembahkan oleh LPM SOLID


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.