Aufklarung Edisi Desember 2023

Page 1


KATA PENGANTAR Salam pembebasan! Majalah Aufklärung kini terbit kembali setelah melewati beberapa hambatan dan kendala. Tentunya, proses penerbitan Aufklärung ini tidak dapat berjalan tanpa adanya kontribusi kawan-kawan yang sebelumnya telah menyerahkan tulisannya. Adapun, Aufklärung ini terdiri dari berbagai jenis tulisan, mulai dari puisi, cerita pendek, resensi buku, opini, hingga esai populer. Selain itu, pada edisi ini, tulisan tidak dibatasi pada tema tertentu, sehingga kader LPPMD dapat bebas berkreasi menulis hal-hal yang mereka minati. Hal ini bisa dilihat dari beragamnya topik yang dibahas pada tulisantulisan Aufklärung edisi ini. Kali ini, ada dua puisi yang dimuat, yaitu Angin Jelata karya Intan Ayu (XLIII) yang mengungkapkan kritik dan ketidakpuasan terhadap “demokrasi”, dan Membuat Kotak Pandora Terbuka karya Muhammad Restu Alfarisy (XLI) yang mencoba mengeksplorasi eksistensi dan makna hidup individu secara mendalam. Berikutnya, terdapat sebuah cerita pendek dengan gaya kepenulisan yang unik dan alur yang tak terduga, yakni Meugang karya M. Haikal Algifari (XLIII) yang juga memiliki keterkaitan dengan tradisi Meugang milik masyarakat Aceh. Ada pula sebuah resensi buku-fiksi berjudul Good Omens: Antara Determinisme dan Kehendak Bebas (Moralitas) karya Cindy Veronica Rohanauli (XLIII) yang mencoba mengaitkan kisah hidup salah seorang tokoh utama cerita dengan konsep takdir dan kebebasan, sembari juga menyajikan nilai-nilai moral yang dapat direfleksikan pada kehidupan pembaca. Selanjutnya, dilatarbelakangi oleh peristiwa disahkannya RKUHP oleh DPR-RI pada Desember 2022 lalu, Adrian Aulia Rahman (XLIII) menulis Konflik Ideologi di Era Post-Ideologi. Tulisan ini mempertanyakan relevansi dari larangan terhadap ideologi marxisme-leninisme atau komunisme saat ini, di masa ideologi tidak lagi berpengaruh secara signifikan dalam wacana politik i


Dilatarbelakangi oleh disahkannya RKUHP oleh DPR-RI pada Desember 2022 lalu, Adrian Aulia Rahman (XLIII) menulis Konflik Ideologi di Era Post-Ideologi, mempertanyakan relevansi dari larangan terhadap ideologi marxisme-leninisme atau komunisme saat ini, di masa ideologi tidak lagi berpengaruh secara signifikan dalam wacana politik. Tulisan opini lain juga dapat dilihat pada karya M. Naufal Putra Widhiana (XLIII) yang berjudul Wajah Kusam Otonomi Daerah yang membahas bahwasannya alih-alih mendorong terciptanya demokratisasi, otonomi daerah justru malah memberi ruang bagi semakin berkembangnya praktik korupsi dan nepotisme. Ada pula dua esai yang mengangkat persoalan gender, yaitu Keadilan untuk LGBTQ: Mempertanyakan Moral sebagai Suatu Hal yang Relatif atau Universal karya Rahsya Nigitama (XLI) yang menyoroti potensi penindasan yang diakomodasi oleh relativisme budaya terhadap LGBTQ di Indonesia, dan Si Paling Timur: Bagaimana Dikotomi Budaya dapat Berdampak Buruk pada Upaya Penciptaan Ruang Bebas Diskriminasi Gender karya Fikri Haikal Lubis (XXXVI) yang mencoba mengkritisi konsep segregasi budaya Timur-Barat yang sering digunakan sebagai justifikasi untuk menolak keberagaman gender. Pada Aufklärung edisi ini, terdapat tulisan dengan topik yang segar karena tak biasa dibahas pada kegiatan diskusi LPPMD. Pertama, esai milik Azzam Fauzul Azhim Adnan (XLIII) yang berjudul Fisika Quantum menjadi Landasan Idealisme. Menawarkan sudut pandang baru dalam pembacaan realitas objektif. Kedua, Ketika Musik menjadi Perangkat Kekuasaan karya Muhammad Diva Kafila Raudya (XL), mengulas peran musik sebagai kekuataan intelektual dominan yang ada pada masa kekuasaan Orde Baru. Terakhir, Kucing ‘Oyen’ dan Mitos Keharmonisan Bangsa Indonesia: Kajian Semiotika Barthes karya M. Dzaky Abdullah (XLII). Sebuah kajian semiotika mengenai ilustrasi seekor kucing pada akun media sosial Presiden RI memiliki makna dan peran dalam menormalkan sebuah wacana yang politis. Akhir kata, kami ingin menyampaikan terima kasih terhadap rekanrekan LPPMD Unpad yang sudah terlibat aktif, mulai dari penulisan sampai penyusunan Aufklärung ini. Selamat membaca! ii


PENYUSUN AUFKLÄRUNG Penanggung Jawab Rahsya Nigitama Muhammad Pemimpin Redaksi Olivia A. Margareth Kontributor Adrian Aulia Rahman Azzam Fauzul Azhim Adnan Cindy Veronica Rohanauli Fikri Haikal Lubis Intan Ayu M. Diva Kafila Raudya M. Dzaky Abdullah M. Haikal Algifari M. Naufal Putra Widhiana M. Restu Alfarisy Rahsya Nigitama Muhammad Layout, Editor, Desain Fikri Haikal Lubis I Putu Gede Rama Paramahamsa Nadhif Achyansyah Olivia A. Margareth iii


DAFTAR ISI Kata Pengantar .................................................................................................. i Penyusun Aufklärung ....................................................................................... iii Daftar Isi ........................................................................................................... iv Angin Jelata Oleh: Intan Ayu .................................................................................................. 1 Membuat Kontak Pandora Terbuka Oleh: M. Restu Alfarisy ..................................................................................... 2 Meugang Oleh: M. Haikal Algifari ..................................................................................... 3 Konflik Ideologi di Era Post-Ideologi Oleh: Adrian Aulia Rahman .............................................................................. 6 Good Omens: Antara Determinisme dan Kehendak Bebas (Moralitas) Oleh: Cindy Veronica Rohanauli ....................................................................... 9 Wajah Kusam Otonomi Daerah Oleh: M. Naufal Putra Widhiana .................................................................... 16 Keadilan untuk LGBTQ: Mempertanyakan Moral Sebagai Suatu Hal yang Relatif atau Universal Oleh: Rahsya Nigitama M. .............................................................................. 19 Si Paling Timur Oleh: Fikri Haikal Lubis ................................................................................... 23 Ketika Musik menjadi Perangkat Kekuasaan Oleh: M. Diva Kafila Raudya ........................................................................... 27 Kucing “Oyen” dan Mitos Keharmonisan Bangsa Indonesia: Kajian Semiotika Barthes Oleh: M. Dzaky Abdullah ................................................................................ 35 Fisika Quantum Menjadi Landasan Idealisme Oleh: Azzam Fauzul Azhim Adnan ................................................................ 44

iv


Angin Jelata Intan Ayu (LPPMD angkatan XLIII, Sastra Indonesia 2022)

Suara tak nampak Namun tindakan adalah bukti nyata Omongan tak dapat dipegang Namun selalu dibungkam Suara tak dapat hukuman Namun yang bersuara ditindas Yang riuh hanya omongan Namun kekerasan yang terlontar Suara tidak menjadikan merdeka Namun dengan suara, kita bisa merdeka Di pinggiran benua Yang katanya berkeadilan sosial “Demokrasi”, kau bilang Nampaknya hanya sebuah slogan belaka

1


Membuat Kotak Pandora Terbuka Muhammad Restu Alfarisy (LPPMD angkatan XLI, Agroteknologi 2020)

Adam dengan tiba-tiba muncul di dunia Dia tidak tahu menahu bagaimana hal ini bisa terjadi Pikirannya penuh dengan pertanyaan Lalu, ia bertanya pada orang di sebelahnya Puan, kiranya engkau tahu apa makna hidup kita? Aku hanya orang asing di kesepian ini Tidakkah kau merasa kedinginan, hanya dengan beralaskan sunyi? Aku tiba-tiba berada di sini Perempuan itu menggelengkan kepala Sadar bahwa dirinya juga mengalami serupa Apakah hal itu begitu penting untuk diketahui? Tidakkah kau merasa takut ketika bertanya? Lelaki itu hanya diam meratapi eksistensi dirinya Perempuan itu mulai berkata-kata dengan suara terisak dan air mata Melihat dengan mata yang lain menyadarkanku Bahwa tidaklah aku hanya seorang yang asing Dan kita menyadari bahwa semua eksistensi ini Begitu menakutkan dan mengherankan Kukira kehidupan rentan sekali mengalami krisis makna Bukankah kehidupan terlalu rumit untuk dianalisis hanya oleh satu jalan pemikiran? Aku akan memilih ‘tuk tetap hidup ‘Tuk mengetahui semua hal yang tak ku ketahui Rahasia-rahasia yang melibatkan diriku Dan sebelum aku mati dan aku tidak pernah tahu apa yang akan terjadi, dan jika reinkarnasi itu ada dan aku akan terlahir kembali Maka akan ku tulis beberapa surat untukku di masa sekarang ini Dan ku berharap diriku yang nanti dapat membaca surat dari diriku Yang kini dan menaruh sekuntum bunga di atas kuburan dirinya Yang dulu lelaki dan perempuan itu pun mulai meredup

2


MEUGANG M. Haikal Algifari

(LPPMD angkatan XLIII, Biologi 2022) Hai neuk!! Katulong mak rah si leumo, BEK GADOH KA LUN PIASAN DONYA!!!

Pekik salah seorang wanita tambun—Nyak Mardiah pada anak semata wayangnya Ampon Ceukak yang sedang bergulat mantap dengan gadget warisan bapak. Ampon Ceukak terkejut-kejut dengan suara emak yang menggelegar laksana sirine buka puasa di hari pertama. Bagaimana tidak, suara Nyak Mardiah memang terdengar menggelegar. Bahkan Pak Geuchik kampung sebelah kerap mengeluhkan drama antara ibu dan anak tersebut yang mendominasi di setiap jam menjelang siang. Entahlah, yang jelas itu hanyalah sedikit cerita tentang hiruk pikuk warga Gampong Desa Aree Bakong yang sibuk menyiapkan tradisi makan daging menyambut bulan suci ramadan— Meugang. *** Beda halnya dengan Teuku Ma’e. Pejantan tangguh dengan kopiah terkoyak koyak bekas perjuangan melawan penjajahan Jepang, kehidupan— yang tertancap erat, tepat di sebelah kepala. “Kerjaannya hanya mondarmandir enggak jelas” tanggap Pak Kades bernada medok begitu ditanyai tentang Teuku Ma’e. Bahkan, Teuku Ma’e pernah nyaris 'dikeroyoki' warga karena sering membuat onar. Mencuri, merompak, melabrak, entah apalah itu yang penting Teuku Ma’e dapat makan seharian. Karena sejak Teuku Ma’e ditinggal mati sang pujangga hati—Ceupo Manok, kehidupannya berubah total. Berkeliling berbalut asa, hingga menunggu ajal menjemput— katanya. Disela-sela berjalan di dekat lapangan bola voli, Teuku Ma'e senantiasa meratapi kekosongan lapangan itu yang biasanya berisikan pemuda gampong seusianya (yang jelasjelas jauh lebih muda dari Teuku ma’e). 3


Kini, lapangan itu tergantikan oleh terpal-terpal biru yang terbentang. Ya, akan ada penyembelihan beberapa lembu disini besok. “Mengingat tradisi Meugang harus dirasakan oleh semua lapisan masyarakat—terutama yang tidak mampu” sahut Pak Geuchik sembari tersenyum sampai gigi emasnya (hasil korupsi dana desa) tampak berkilau. Lagi, Teuku Ma’e harus menelan ludahnya. Menyaksikan sisa dua hari menjelang bulan suci ramadan yang menyuguhkan ampunan bagi seluruh umat tak terkecuali warga Gampong Aree Bakong— terlebih Pak Geuchik. Pematang sawah, kebun sawit, pos ronda, semua ditapaki teuku Ma’e bahkan jembatan dekat Keudee (Kedai) Bang Kasem Ciekok Ulee pun dilewati Teuku Ma’e. Konon jembatan kecil yang angker itu sering dilalui makhluk tak kasat mata. Teuku Ma’e kerap mendengar si Kasem yang malang itu menceritakan hal yang sama pada semua pembelinya selama 2 tahun belakangan. Teuku Ma’e berpikir, masa makhluk tak kasat mata dapat dilihat, jelas-jelas tak kasat mata berarti tidak dapat tercitrakan dalam pandangan manusia biasa nan berdosa. Entahlah, Teuku Ma’e tidak mau berdebat lebih banyak apalagi sampai bawa-bawa dalil Al-Quran. Tetap si Cikoek Ulee itu tak akan mengindahkan. Perjalanan Teuku Ma’e pun berlanjut dengan perut memberontak keras seolah meminta jatah Meugang warga Gampong. Setidak-tidaknya, binatang manusia tak berdaya seperti Teuku ma’e ini mendapat bahagian, walau banyak maksiatnya, hehe. Akhir perjalanannya pun tertuju pada satu rumah minimalis berwana cerah—yang tak asing lagi baginya. Ya, milik Pak Geuchik. Tak tebendungkan, teuku Ma’e pun beraksi. Dilihatnya ke dalam. Tampak banyak sekali buah-buahan hingga makanan beraneka ragam macamnya. Jangan bilang ini hasil korupsi dana Gampong— hati Teuku Ma’e berbisik. Sebab, ia tidak akan membiarkan suatu kejahatan terjadi dikampungnya. Apalagi H-1 bulan suci Ramadan, Na’udzubillah. Teuku Ma’e pun menelisik keadaan sekitar. Tak Ada Orang— begitu laporan pantauannya bak seorang mata-mata. Ia mendekat perlahan. Masya Allah Begitu nikmat rezeki dari Allah. Langsung saja tanpa basa-basi. Ia lahap semua dihadapannya, Buah apel hijau, mangga, anggur, dan lainnya. Ia nikmati rezeki sekali seumur hidup itu. Tak cukup sampai disitu, ia jamah piring besar berisikan ikan panggang, ayam bakar—untung bukan babi bakar. 4


Kini, Maklum kebahagiannya saat itu membuat Teuku ma’e lupa diri bahwa ia seorang vegetarian, hehe. “LEUMO PALEH!!!,” teriak seorang wanita. Sontak Teuku ma’e terkejut. Ia bukan seorang binatang. Memang orang Aceh kerap berkata kasar memanggil dengan sebutan binatang walau di hadapnya seorang manusia. Tanpa banyak berpikir diambilnya suapan terakhir buah pisang di piring dan ia lari tak karuan. Seolah tanpa bersalah, ia lari terbirit-birit meninggalkan rumah Pak Geuchik yang baru saja ia renovasi, supaya tahu diri—katanya. *** Keriuhan warga terdengar sekeliling Teuku Ma’e tatkala ia berusaha terbangun walau agak terasa sakit di bagian punggung. Gawat! Teuku Ma’e tidak dapat melihat dengan jelas lantaran matanya kabur seolah baru saja meneggak satu botol alkohol. Tampaknya ia dibius—diagnosa berbekal buku Sherlock Holmes yang dibacanya. Ia memang seperti baru terbangun dari tidur. Sejak peristiwa di rumah Pak Geusyik dan golek-golek di Pos ronda selepas kekenyangan — Teuku Ma’e tidak ingat apa-apa lagi. Sekarang, ia hanya melihat sekerumunan pria juga anak-anak mengelilinginya. Sangat ribut! Teuku Ma’e seketika berontak keras ketika dirinya melihat seorang pria mendekat dengan parang ditangannya. Gawat! Teuku Ma’e berteriak minta tolong sembari berusaha terlepas dari ikatan. Di arah utara ia melihat kepala temannya—Nyak Ariep, juga kepala Ampon Bacee yang tak lain adalah teman sepejuangannya walaupun kini tanduknya entah kemana. Teuku ma’e tak berdaya melawan skema pembunuhan ini. Ia tak akan terima, dan kelak akan membalas segala tindak kejam warga desa. SLRUUURP... darah memuncrat keras dari leher Teuku Ma’e, seketika hanyalah zikir kepada Allah yang diucapkan di sisasisa waktunya. Laa ilaaha illa Allah...Teruntuk Cupo Manok—sang belahan jiwa. “Abang jemput kau disana—sayang”

23-04-22, di atas meja plastik yang kakinya hampir patah

5


Konflik Ideologi di era Post-Ideologi Adrian Aulia Rahman (LPPMD angkatan XLIII, Ilmu Sejarah 2022)

Memori kolektif bangsa Indonesia memang menyimpan suatu catatan yang buruk tentang Komunisme. Sejarah mencatat sekaligus memvonis komunisme sebagai ideologi pemberontak, yang harus disingkirkan apabila kelamnya penghianatan 1948 dan 1965 tidak ingin lagi terulang. Oleh karenanya, pemerintah dengan tanpa keraguan memasukkan larangan penyebaran paham komunisme, Marxisme dan Leninisme di dalam muatan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP), yang tepat pada Selasa 6 Desember disahkan oleh DPR menjadi Undang-Undang. Paham Marxisme-Leninisme-Komunisme merupakan hal yang tabu di Indonesia. TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 menjadi keputusan hukum pertama yang melarang berdirinya Partai Komunis Indonesia (PKI) dan penyebaran ajaran Marxis-Leninis juga Komunis. Setelah kurang lebih enam dekade berlalu, sikap antipati dan konfrontatif terhadap ideologi yang dicetuskan filsuf Jerman Karl Marx ini masih belum usai. Pasal 188 ayat 1 KUHP yang baru saja disahkan membuktikannya. Ancaman yang menghantui para penyebar paham Marxisme-Leninisme/Komunisme adalah 4 tahun penjara. Marx pernah menulis dalam Communist Manifesto "ada hantu berkeliaran di Eropa, yaitu hantu komunisme" sekarang, "ada hantu berkeliaran di Indonesia, yaitu hantu penjara 4 tahun karena komunisme"

6


Ketakutan atau mungkin kebencian yang mendarah daging terhadap komunisme selalu dilegitimasi oleh klaim setia pada pancasila. MarxismeLeninisme/Komunisme dianggap sebagai paham yang kontradiktif dengan nilai-nilai luhur Pancasila, sebagaimana pendapat sebagian orang. Pendapat ini menurut saya tidaklah tepat dan menjadi konfirmasi dari ketidakpahaman orang yang berpendapat tersebut. Secara historis, Marxisme muncul dari perkembangan intelektual sosialisme. Walaupun kita tidak bisa mengidentikkan Marxisme dan sosialisme, tetapi keduanya adalah paham yang memiliki hubungan ide yang tak terpisahkan. Saya berpendapat bahwasannya Marxisme adalah anak kandung dari sosialisme. Ide sosialisme berpusat pada suatu semangat egalitarianisme (kesetaraan), sebagaimana yang dipaparkan Andrew Heywood dalam bukunya Ideologi Politik: Sebuah Pengantar. Karl Marx menjadi intelektual abad ke 19 yang menyumbangkan pikiran-pikiran tentang ekonomi dan masyarakat yang berdasarkan pada semangat kesetaraan dan keadilan sosial. Dalam konteks pancasila, sila ke lima dengan gamblang menegaskan 'keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia' yang sarat akan nilai sosialisme. Para pendiri bangsa tidak segan-segan berpandangan sosialis, seperti Mohammad Hatta dan Sutan Syahrir. Tidak berlebihan apabila saya menyimpulkan bahwa salah satu dasar dan sebab dari berdirinya Republik Indonesia adalah semangat sosialisme termasuk Marxisme. Era Post-Ideologi: Matinya Ideologi Konfrontasi yang tiada henti terhadap MarxismeLeninisme/Komunisme sebagai ideologi, menjadi pertanda masih kentalnya konflik ideologi di Indonesia. Padahal, hemat saya konflik yang bersumber dari perbedaan ideologis sudah tidak lagi relevan pada saat ini. Saya meyakini bahwa saat ini, tepatnya pasca keruntuhan tembok Berlin dan Uni Soviet, kita sedang memasuki era pasca ideologi (post-ideologi). Pascaideologi adalah era dimana diskursus politik tidak lagi diwarnai oleh konfrontasi ideologis. Dengan kata lain, ideologi bukan lagi merupakan hal yang penting dalam wacana politik.

7


Era post-ideologi ini bisa ditafsirkan dengan beragam ide dan gagasan. Samuel Huntington seorang ilmuwan politik Harvard menafsirkannya sebagai era munculnya konflik atau benturan antar-peradaban (clash of civilization). Sedangkan ilmuwan politik dari Stanford Francis Fukuyama, menafsirkannya sebagai kemenangan bagi ekonomi kapitalisme dan demokrasi liberal barat. Terlepas dari perbedaan gagasan dan kritik terhadap ide tersebut, kedua tesis ilmuwan politik itu merupakan sebuah pemikiran yang mengkonfirmasi berakhirnya era konflik ideologis dan munculnya era post-ideologis. Saya tidak sependapat dengan Huntington maupun Fukuyama. Karena pendapat kedua intelektual tersebut tidak berpijak pada suatu realita yang memadai. Benturan peradaban Huntington adalah tesis yang mentah dengan simplifikasi yang membagi dunia menjadi barat dan non barat (islam) yang berkonflik. Sedangkan tesis Fukuyama dibantah oleh realita bahwa akhir sejarah dengan kemenangan demokrasi liberal belumlah terjadi. Bahkan demokrasi liberal di era pasca perang dingin di beberapa negara cenderung mengalami kemunduran (regresif). Saya lebih meyakini bahwa konflik antar-ideologi diganti oleh suatu konflik kepentingan yang lebih dilatari oleh motivasi ekonomi dan pemenuhan kebutuhan. Pragmatisme ekonomi lebih dominan daripada mempersoalkan apakah Anda liberal, konservatif, sosialis atau bahkan komunis. Dalam konteks ini, muatan materi tentang pelarangan ideologi Marxisme-Leninisme atau Komunisme, terlebih apabila dibenturkan dengan Pancasila sebagai ideologi, sudah tidak lagi relevan. Paham-paham ideologi politik baik itu liberalisme, konservatisme, sosialisme bahkan fasisme dan komunisme tidak lagi dijadikan sebagai paham politik yang melatari kebijakan publik, tetapi hanya dijadikan sebagai suatu bahasan akademik terutama dalam diskursus ilmu sosial dan politik. Kesimpulannya, untuk apa kemudian memasukan unsur anti Marxisme dalam suatu produk undang-undang di saat ideologi sudah semakin jauh ditinggalkan. Era post-ideologi ada era dimana ideologi telah mati dan tak berarti. 8


Good Omens: Antara Determinisme dan Kehendak Bebas (Moralitas) Cindy Veronica Rohanauli (LPPMD angkatan XLIII, Hubungan Internasional 2022)

Judul : Good Omens: The Nice and Accurate Prophecies of Agnes Nutter, Witch Penulis : Terry Pratchett dan Neil Gaiman Tebal : 520 hlm; 20 cm Kepengarangan Good Omens: The Nice and Accurate Prophecies of Agnes Nutter, Witch (1990) adalah sebuah novel bergenre fantasi hasil kolaborasi dua penulis berkebangsaan Inggris, Terry Pratchett dan Neil Gaiman. Kedua penulis ini sudah mengenal satu sama lain sejak Februari tahun 1985 dan mereka bertemu untuk pertama kalinya di sebuah restoran Tiongkok (BBC News, 2014). Keputusan mereka untuk menulis sebuah novel bersama diketahui adalah murni inisiatif dari keduanya. Sedikit mengenai Terry Pratchett, ia lahir di Buckinghamshire pada 1948, dan pernah menjadi seorang jurnalis serta petugas pers di Central Electricity Generating Board sebelum sepenuhnya berkarir sebagai seorang penulis. Novel pertamanya, The Carpet People, diterbitkan pada 1971. Namun, bukan karena novel pertamanya tersebut, Pratchett banyak dikenal alih-alih karena series Discworld miliknya. Selama hidupnya, Pratchett sering mendapatkan pujian maupun kritik, serta pengikut berkat karya-karyanya yang terfokus pada dua genre, fantasi dan komedi. Pratchett juga kerap kali memenangkan penghargaan sepanjang karirnya, seperti Medali Carnegie (2001) dan Penghargaan Fantasi Sedunia (2010). Pada 2007, Pratchett didiagnosis menderita penyakit alzheimer dan kemudian tutup usia di usianya yang ke-66 pada 2015.

9

Penulis lainnya, Neil Gaiman, lahir di Hampshire pada 1960 dan mengawali karirnya sebagai jurnalis pada awal 1980-an. Pada saat itu, Gaiman gencar mengirimkan karya cerita cerita pendeknya kepada banyak penerbit dan majalah di Inggris. Singkat cerita, pada 1987, Gaiman berhasil direkrut oleh DC Comics untuk menulis pada sebuah series terbatas Black Orchid (1987), diikuti dengan kemunculan series komik pertamanya, The Sandman (1988), yang berperan besar dalam mengangkat namanya di industri novel grafis. Gaiman menulis Good Omens (1990) ditemani dengan Terry Pratchett, dan kemudian disusul dengan novel pertamanya-


yang berjudul Neverwhere (1996). Sepanjang karirnya hingga saat ini, karya Gaiman banyak dihargai dengan penghargaan internasional, termasuk Medali Newbery (2009) dan Medali Carnegie (2010). Sinopsis Buku Buku Good Omens sendiri berceritakan mengenai kedatangan akhir zaman (Armageddon) yang menurut Buku Ramalan milik Agnes Nutter, The Nice and Accurate Prophecies of Agnes Nutter, akan terjadi pada hari Sabtu, tepatnya Sabtu minggu depan. Iblis Crowley dan Malaikat Aziraphale yang sudah terlanjur nyaman dengan kehidupan mereka di dunia merasa enggan apabila dunia harus berakhir. Maka dari itu, sekalipun pada dasarnya mereka bermusuhan—bagaimanapun bermusuhan selama 6.000 tahun menjadikan mereka semacam teman, mereka kemudian setuju bekerja sama untuk menghentikan “Rencana Besar” ini. Misi pertama mereka setelah kabar mengenai hari kiamat itu mencuat adalah mengawasi sang Antikristus, seorang putra setan yang suatu hari atas perintah Neraka diantarkan oleh Crowley untuk ditukarkan dengan bayi manusia di sebuah rumah sakit yang dikenal dengan nama Ordo Celoteh Santa Beryl. Mereka bermaksud mengintervensi kehidupan kanak-kanak sang Antikristus dengan dalih jika seorang Antikristus tidak mendapatkan didikan setan sejati, maka dia tidak akan menjadi jahat, dan karenanya akhir zaman pun dapat ditunda. Namun, siapa sangka bahwa anak yang selama 11 tahun terakhir mereka pikir adalah seorang Antikristus, ternyata hanyalah seorang bocah lelaki normal. Mereka menyadarinya ketika Warlock—bocah lelaki yang mereka sangka seorang Antikristus tersebut—tidak menerima anjing Neraka di ulang tahunnya yang ke-11 di saat dia seharusnya mendapatkannya. Nyatanya, tanpa sepengetahuan semua orang, telah terjadi kekacauan saat peristiwa penukaran bayi 11 tahun yang lalu tersebut. Singkat cerita, berkat kecerobohan Anathema Device, seorang keturunan Agnes Nutter yang secara tidak sengaja meninggalkan salinan Buku Ramalan Agnes yang tersisa satu satunya di mobil Bentley milik Crowley, Aziraphale dan Crowley menjadi tahu keberadaan Antikristus yang sebenarnya. Antikristus tersebut bernama Adam Young, seorang bocah lelaki berusia 11 tahun yang tumbuh besar dengan afeksi yang cukup dari keluarga dan teman temannya, dan tinggal di Tadfield. Adam, di dalam kesehariannya, hanyalah bocah yang bermain-main bersama teman-temannya, dan geng pertemanannya ini populer dengan sebutan “Mereka”.

10


Anathema yang hampir putus asa karena kehilangan Buku Ramalan leluhurnya tersebut kemudian bertemu dengan Adam. Ia sempat merasa ganjil karena berdasarkan pengamatannya, Adam berbeda dari orang-orang pada umumnya sebab bocah lelaki tersebut tidak memiliki aura. Selain Adam, Anathema juga dipertemukan dengan seseorang keturunan pria yang memprakarsai pembakaran Agnes dahulu, yaitu Newton Pulsifer, yang kemudian membawanya pada hubungan kerja sama guna mengungkapkan Antikristus yang sebenarnya. Di sisi lain, Crowley dan Aziraphale disibukkan dengan upaya untuk menghentikan hari kiamat yang kian mendekat. Semua kemudian berakhir dengan berkumpulnya makhluk-makhluk supernatural, Mereka, dan beberapa manusia—Anathema, Newton, Shadwell, dan Madam Tracy—di Pangkalan Udara Lower Tadfield, ditemani dengan Empat Pengendara Kuda Hari Kiamat, di antaranya adalah Kematian, Perang, Kelaparan, dan Polusi. Adam yang berada di sana adalah Adam yang “lebih berpengetahuan”, sudah sadar akan kuasa sebagai Antikristus yang dimilikinya terhadap dunia, walau kemudian ia memutuskan untuk menghentikan Armageddon setelah melihat temantemannya yang ketakutan. Setelah melalui banyak konflik dan percekcokan, Empat Pengendara Hari Kiamat tersebut akhirnya menghilang, disusul dengan berfungsinya kembali sistem komputer dan telepon di seluruh dunia yang sebelumnya telah dirusak. Sempat mereka dikejutkan kembali dengan kedatangan Metatron dan Beelzebub, tetapi kemudian langit bergetar, awan-awan mulai pecah di sekitar cakrawala, seakan sebuah pertanda bagi mereka bahwa pada akhirnya “semua ini” telah selesai. Mr. Young tiba-tiba muncul, datang untuk meneriaki dan menjemput anak lelakinya yang nakal. Sejak hari itu, dimulailah hari pertama dari sisa hidup mereka di dunia. Antara Determinisme dan Kehendak Bebas (Moralitas) Salah satu hal yang menarik dari cerita di dalam buku ini adalah tokoh Iblis dan Malaikat yang seharusnya hidup dengan saling menentang satu sama lain, tetapi malah menjalin hubungan pertemanan, bahkan lebih mengejutkannya lagi bekerja sama guna menghentikan akhir zaman. Bagaimanapun, mereka adalah satu-satunya makhluk yang selalu ada bagi satu sama lain selama 6.000 tahun kehidupan di dunia.

11


Selama itu, dua makhluk penghuni Neraka dan Surga ini hidup saling berdampingan dengan manusia, sehingga membuat keduanya kemudian mau tak mau menjadi sangat manusiawi dengan beberapa kebaikan dan kejahatan yang ada pada diri mereka masing masing. Mereka tak lagi benar-benar memiliki kesamaan dengan Tuannya di Surga maupun Neraka yang memiliki kecenderungan ekstrim terhadap salah satu di antara kebaikan atau kejahatan. Ada kalanya mereka tak memahami atau seringkali mengalami peperangan batin dalam memaknai tujuan Tuannya, yang mana tentu hal ini tidak terlepas dari pengaruh lamanya mereka tinggal di bumi. Tanpa disadari, kedua tokoh ini—atau perpaduannya—seakan menggambarkan diri seorang manusia pada umumnya. Adam Young, seorang bocah lelaki Antikristus yang tidak tahu menahu soal Rencana Besar dan andilnya di dalamnya, begitu marah ketika mengetahui betapa dunia tempat dirinya tinggal telah dirusak oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Hal-hal seperti pembabatan dan pembakaran hutan lindung, bocornya lapisan ozon, dan pembunuhan yang terjadi terhadap ikan-ikan paus sempat membuatnya berencana untuk menguasai dunia, membagi dunia ini menjadi beberapa bagian kepada teman-temannya dan memulai kehidupan yang baru setelahnya, sesaat setelah menyadari kekuatannya sebagai Antikristus. Namun, ia kemudian menyadari bahwa menguasai dunia ini tidak serta merta dapat menyelesaikan semua permasalahan tersebut “Kau tidak bisa menolak menjadi siapa dirimu,” katanya akhirnya. “Dengarkan. Kelahiran dan takdirmu adalah bagian dari Rencana Besar. Segalanya harus terjadi seperti itu. Semua pilihan sudah diambil.” “Boleh-boleh zaja memberontak,” kata Beelzebub, “tapi ada hal-hal yang tak bisa dijangkau oleh pemberontakan. Kau harus mengerti.” “Aku bukan memberontak terhadap apa pun,” kata Adam dengan nada tenang. “Aku hanya menyampaikan beberapa hal. Menurutku jauh lebih baik kalau kita tidak berperang dan melihat saja apa yang dilakukan manusia. Kalau kau berhenti mengganggu mereka, mungkin mereka bisa mulai berpikir dengan benar, lalu mereka mungkin akan berhenti mengacaukan dunia ini. Aku tidak bilang ini pasti terjadi,” tambahnya berhati-hati, “tapi mungkin.” (Good Omens: The Nice and Accurate Prophecies of Agnes Nutter, Witch, 1990:473-474). 12


Berdasarkan sepenggal percakapan tersebut, samar-samar dapat dilihat terdapat dua keyakinan yang saling berseteru, yaitu determinisme dan kehendak bebas. Determinisme sendiri memandang bahwa semua tindakan manusia sudah ditentukan sebelumnya (Cowburn, 2008). Dengan demikian, seseorang tidak mungkin dapat membuat keputusan lain atau melakukan tindakan lain karena sudah sepatutnyalah hal tersebut terjadi demikian. Maka dari itu, para determinis juga percaya bahwa tindakan serta masa depan manusia dapat diprediksi. Di sisi lain, kehendak bebas sangat bertentangan dengan determinisme, sebab kehendak bebas memandang bahwa manusia pada dasarnya memiliki kehendak bebas sehubungan dengan sikap dan tindakan yang berada dalam kekuasaan dan pikiran mereka sepenuhnya (Cowburn, 2008). Dengan kemudian, manusia dapat memilih untuk mendukung atau menentang sesuatu, memilih untuk bertindak atau tidak bertindak, dan memilih di antara berbagai tindakan yang memungkinkan bagi mereka untuk dilakukan di atas kesadaran. Pada kasus ini, Metatron dan Beelzebub berkeyakinan bahwa kehidupan Adam adalah bagian dari Rencana Besar yang ‘tak terkatakan’ tersebut, sehingga Adam mau tak mau harus menuntaskan apa yang sudah ditakdirkan terhadapnya, yaitu mengakhiri dunia ini. Berbeda dengan Metatron dan Beelzebub, Adam berpikir bahwa alangkah baiknya apabila Surga dan Neraka berhenti mencampuri kehidupan manusia, membiarkan manusia berkuasa atas setiap pilihan dan tindakan yang akan dilakukannya di dunia ini. Adam memang tidak secara gamblang menyatakan keyakinannya terhadap kehendak bebas, tetapi pandangan Adam bahwa manusia harus memiliki kontrol1dan diharapkan dapat bertanggung jawab secara moral2 atas setiap tindakan yang dipilihnya, serta fakta bahwa pada akhirnya dia bisa memilih untuk menghentikan akhir zaman alih-alih menciptakannya3, menyiratkan bahwa kehendak bebas adalah hal yang menurutnya harus menjadi perhatian di sini. Selain itu, Adam juga secara tersirat mengatakan bahwa memasrahkan hidup pada takdir hanya akan membuat manusia menjadi tidak bermoral dan tidak beretika, seakanakan bagaimanapun juga dunia akan berakhir dan manusia hanya dapat memasrahkan dirinya pada apa yang akan terjadi kemudian. “Aku tidak mengerti, apa hebatnya menciptakan manusia sebagai manusia, lalu marah marah hanya karena mereka bertingkah seperti manusia,” kata Adam dengan galak. “Lagi pula, kalau kau berhenti memberitahu manusia bahwa semuanya beres setelah mereka mati, mereka mungkin akan mencoba membereskannya sewaktu mereka masih hidup... 13


...Kalau aku yang berkuasa, aku akan mencoba membuat orang-orang hidup jauh lebih lama, seperti Metusalah. Pasti lebih menarik kalau begitu, dan mereka mungkin akan mulai berpikir tentang apa saja yang mereka lakukan terhadap lingkungan dan ekologi karena mereka masih akan hidup seratus tahun lagi.” (Good Omens: The Nice and Accurate Prophecies of Agnes Nutter, Witch, 1990:472).

Alur cerita di dalam buku Good Omens tampaknya banyak terinspirasi dari kisah mengenai akhir zaman versi Alkitab, sehingga dibutuhkan pengetahuan dasar tentangnya untuk dapat menikmati cerita di dalam buku ini sepenuhnya. Begitu juga halnya dengan komedi yang tersurat, tampaknya akan sangat dapat dinikmati apabila pembaca memiliki latar belakang pengetahuan mengenai beberapa kisah populer yang ada di dalam Alkitab. Secara keseluruhan, jika pembaca sudah memiliki pengetahuan dasar tersebut, maka cerita di dalam buku ini akan sangat menarik. Pengisahan mengenai akhir zaman yang biasanya sangat tradisionalis dan membosankan, dibawakan dengan sangat santai dan mengambil setting di kehidupan manusia yang modern, khususnya di Inggris pada awal tahun 1990-an. Hal-hal seperti car phone, cassette tape decks, dan lagu-lagu terbaik band legendaris Queen—yang kerap dicap sebagai musik Satanis—turut menghiasi alur cerita. Ada pula catatan-catatan kaki yang berfungsi sebagai pelengkap atau tinjauan lebih lanjut dari suatu konteks yang sedang dibicarakan. Selain itu, pendekatan absurdisme yang digunakan Terry Pratchett dalam membawakan lelucon dan humor yang ada, membuat cerita semakin terasa lucu dan menyenangkan. Sayangnya, bagi pembaca yang lebih menyukai cerita yang menyoroti pengembangan karakter beberapa tokoh utama saja, buku ini akan dirasa kurang memuaskan karena terdapat cukup banyak tokoh yang terlibat di dalam cerita, dan semua tokoh tersebut memiliki peran yang kurang lebih sama pentingnya dalam mendorong kemajuan cerita. Selain itu, setting tempat yang sering berganti-ganti membuat pembaca harus ekstra dalam mencermati isi cerita, terlebih juga dengan keberadaan tokoh yang cukup banyak.

berlanjut ke halaman berikutnya... 14


Penutup Good Omens: The Nice and Accurate Prophecies of Agnes Nutter, Witch (1990) adalah bahan bacaan (fiksi) awal yang bagus bagi orang-orang yang berkeinginan untuk menyelami dunia filsafat, khususnya yang membahas mengenai moral (etika), serta determinisme dan kehendak bebas. Apakah akhirnya perdebatan antara konsep determinisme dan kehendak bebas harus berakhir dengan jalan buntu? Belum ada yang tahu. Namun, setidaknya melalui buku Good Omens ini, manusia diingatkan kembali akan misi utamanya di dunia, pentingnya kemanusiaan dan pengendalian diri dalam menjalani kehidupan.

Dia memandang anggota-anggota Mereka yang lain, yang berusaha tidak mundur. Dia tampak seperti berpikir sejenak, lalu berkata, “Toh selama ini sudah terlalu banyak kekacauan. Tapi menurutku semua orang akan lebih senang kalau mereka melupakan saja peristiwa ini. Tidak benar-benar lupa, hanya tidak mengingatnya dengan jelas. Lalu kita bisa pulang.” “Tapi kau tidak bisa berhenti sampai di situ saja!” ujar Anathema sambil mendesak maju. “Pikirkan apa saja yang bisa kaulakukan! Hal-hal yang baik.” “Misalnya?” tanya Adam curiga. “Yah… misalnya, kau bisa mengembalikan ikan-ikan paus.” Dia menelengkan kepala. “Dan itu akan membuat orang-orang berhenti membunuhi ikan paus, ya?” Anathema ragu. Dia ingin bisa menjawab ya. “Dan kalau orang-orang benar-benar mulai membunuhi mereka, lalu kau akan meminta aku berbuat apa?” kata Adam. “Tidak. Kurasa aku mulai mengerti sekarang. Menurutku, hal yang paling bijaksana adalah orang-orang harus tahu bahwa kalau membunuh ikan paus, yang mereka dapat adalah ikan paus mati.” (Good Omens: The Nice and Accurate Prophecies of Agnes Nutter, Witch, 1990:477-478). 15


WAJAH KUSAM

OTONOMI DAERAH

M. Naufal Putra Widhiana - LPPMD angkatan XLIII, Ilmu Sejarah 2022 Pengunduran diri Presiden Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998, memperbaharui tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara agar sejalan dengan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945, baik di bidang ekonomi, politik, hukum maupun bidang lainnya. Otonomi daerah yang diharapkan dapat mewujudkan demokratisasi, baik dalam pemerintahan pusat maupun daerah, justru menjadi lahan subur bagi tumbuhnya ‘raja-raja baru’ di setiap daerah.

Ada hubungan antara tuntutan reformasi yang sering menjadi perdebatan, yaitu pelaksanaan otonomi daerah seluas-luasnya dan pemberantasan KKN. Apakah otonomi daerah berhasil meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui pembangunan dan pelayanan publik, ataukah justru berkontribusi pada desentralisasi korupsi? Kenyataannya, pasca diberlakukannya undang-undang Republik Indonesia nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, korupsi justru semakin merajalela di daerah-daerah. Berdasarkan data di situs kpk.go.id, sejak tahun 2004 hingga 3 Januari 2022 tidak kurang dari 22 Gubernur dan 148 bupati/wali kota telah ditindak oleh KPK. Jumlah itu tentu bisa lebih besar jika digabungkan dengan data dari Kejaksaan dan Kepolisian. International Corruption Watch (ICW) mencatat, sepanjang tahun 2010 – Juni 2018 tidak kurang dari 253 kepala daerah ditetapkan sebagai tersangka korupsi oleh aparat penegak hukum. Sebagian besar ditangkap karena korupsi dalam sektor pengadaan. Wajar saja, sektor pengadaan memang menjadi ‘lahan basah’ karena anggaran yang dikucurkan pemerintah pusat di sektor pengadaan sangat besar. Banyak yang mengatakan bahwa aliran uang yang besar ke daerah akibat pelaksanaan otonomi daerah telah...

16


mengubah perilaku ‘korupsi’ dari pusat ke daerah. Menurut ICW tahun 2010, korupsi akibat penyalahgunaan anggaran daerah berada pada puncak trend korupsi di Indonesia dan pelaku utamanya adalah kepala daerah dan mantan kepala daerah. Pada tahun sebelumnya, 2009, kecenderungan korupsi didominasi anggota DPRD. Saut Situmorang, Wakil Presiden KPK periode 2015 hingga 2019, tak memungkiri Indonesia saat ini sedang krisis akibat korupsi daerah. KPK telah membawa beberapa kasus ke pengadilan. Diakui Saut, mahalnya biaya politik menjadi salah satu faktor korupsi administrasi publik di daerah. Pimpinan daerah harus mengumpulkan uang secara tidak sah dan meminta modal kampanye kepada pengusaha untuk mengikuti kontes politik. Setelah terpilih, para kepala daerah ini mencoba mengembalikan modal kampanye melalui praktik-praktik ilegal mulai dari pungutan kredit, pemerasan jabatan yang lebih rendah, suap, hingga penyitaan izin usaha, pemakzulan anggaran daerah, dan lainnya. Selain perilaku korupsi, perilaku nepotisme pun tidak dapat dipungkiri juga terkait dengan pemerintahan daerah. Selain itu, apabila seorang kepala daerah memiliki anak, saudara, sepupu, keponakan, bahkan cucu yang berstatus Pegawai Negeri Sipil, maka seluruh pejabat pada posisi jabatan strategis dapat dipastikan akan diduduki oleh keluarga dan kroni kepala daerah yang bersangkutan. Keadaan semacam ini masih dapat diterima ataupun dimaklumi oleh masyarakat terutama kalangan Pegawai Negeri Sipil apabila keluarga kepala daerah tersebut memenuhi persyaratan jabatan yang didudukinya, tetapi banyak terjadi bahwa pejabat tersebut hanya dipaksakan oleh Kepala Daerah tanpa memenuhi persyaratan jabatan yang diduduki. Apa yang dilakukan para kepala daerah tersebut bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi. Dalam demokrasi yang ideal, seharusnya warga negaranya memiliki hak yang sama untuk pengambilan keputusan yang dapat mengubah hidup mereka. Demokrasi mengizinkan warga negara ikut serta baik secara langsung atau melalui perwakilan dalam perumusan, pengembangan, dan pembuatan hukum. Kenyataannya, masyarakat masih17


terhalang oleh status atau hak-hak sosialnya sebagai akibat dari adanya fenomena political dynasty. Kehadiran dinasti politik yang melingkupi perebutan kekuasaan di level regional hingga nasional mengakibatkan substansi dari demokrasi sendiri sulit diwujudkan. Tumbuh suburnya dinasti politik khususnya di daerah tidak terlepas dari peran partai politik dan regulasi tentang Pilkada. Oligarki di tubuh partai politik menyebabkan mekanisme kandidasi dan pencalonan tidak berjalan sebagaimana mestinya. Kehadiran oligarki dalam otonomi daerah juga merupakan hasil dari bertahannya sistem politik yang dipilih. Dalam sistem demokrasi tidak langsung seperti yang diterapkan di Indonesia, dalam skema penyelenggaraan pemilu didahului dengan pemilu legislatif, partai politik merupakan elemen penting. Gurita oligarki dalam partai politik menguatkan asumsi bahwa partai politik gagal dalam melakukan fungsinya sebagai aggregator demokratisasi. Dalam praktiknya pencalonan lewat parpol sering terdistorsi oleh praktik politik yang bukan saja tidak mengakomodasi aspirasi publik dalam penentuan calon, namun juga terjadi manipulasi aspirasi atas nama politik uang. Pencalonan melalui parpol bukan lagi menjadi ajang kontestasi kapasitas dan kapabilitas, tetapi lebih pada ajang pertarungan modal/kapital. Salah satu kasus Politik Dinasti yang menguatkan oligarki Partai Politik di Indonesia terjadi pada saat Pilkada pada tanggal 15 Februari 2017 oleh Andika Hazrumy yang maju menjadi calon wakil gubernur Banten. Andika merupakan anak kandung mantan Gubernur Banten, Ratu Atut Chosiyah, yang menjadi terpidana di KPK. Andika yang sebelumnya merupakan anggota DPR RI periode 2014-2019 dicalonkan oleh DPP Partai Golkar Banten yang dipimpin oleh Ratu Tatu Chasanah, adik kandung Atut. Partai politik seringkali kurang waspada. Dinasti politik yang berkuasa lama cenderung korup. Semakin lama mereka memerintah, semakin banyak jalan korupsi yang terbuka. Ini bukan tentang mencoba memblokir dan mengontrol apa yang ada di luar sana, ini tentang meningkatkan peluang menghasilkan uang. 18


Keadilan untuk LGBTQ : Mempertanyakan Moral Sebagai Suatu Hal yang Relatif atau Universal Oleh: Rahsya Nigitama Muhammad (LPPMD angkatan XLI, Ilmu Politik 2021)

Indonesia dan LGBTQ+ Seringkali kita mendengar bahwa LGBTQ merupakan suatu hal yang harus ditolak keberadaannya di masyarakat. Sebagai contoh, banyak yang menganggap bahwa LGBTQ merupakan sebuah degradasi moral yang tidak sesuai dengan budaya Indonesia. LGBTQ juga dianggap tidak sesuai dengan ajaran kaum monotheistik, di mana terdapat sebuah cerita bahwa kaum sodom merupakan kaum yang diazab karena kaum tersebut melanggengkan praktik homoseksualitas—tidak pula menafikan bahwa dalam beberapa interpretasi tertentu, budaya pemerkosaan dan hal-hal yang tidak sesuai dengan standar moral pada saat ini Dari sisi kaum yang tertindas—khususnya kelompok LGBTQ di beberapa belahan dunia, termasuk Indonesia—hak akan keadilan dan kesetaraan merupakan suatu hal yang mereka coba dapatkan. Menurut Offord dan Cantrell (2001), semakin homoseksualitas menampakkan dirinya, semakin banyak juga respon legal dan politik. Salah satu contoh dari respon tersebut adalah kriminalisasi berbagai bentuk tindakan seksual. Adanya pelarangan dari tindakan homoseksual tertentu yang diakibatkan oleh meningkatnya diskursus seksualitas dalam pandangan Islam (Blackwood. 2007). Hal ini menunjukkan adanya pembatasan kebebasan yang dilakukan oleh pemerintah seiring berkembangnya politik Islam di Indonesia. Kelompok transpuan, atau yang biasa disebut sebagai waria, tidak mendapatkan kesempatan kerja yang setara dibandingkan19


dengan individu yang cisgender atau jenis kelaminnya sesuai dengan gendernya. Dikutip dari Laporan Kajian Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak mengenai Pandangan Transgender terhadap Status Gender dan Persamaan Hak Asasi Manusia di Jakarta, Bogot, Depok dan Tangerang (2015), kaum waria memiliki kesulitan untuk memasuki lingkungan kerja formal. Hal ini diakibatkan oleh penyesuaian yang harus dilakukan oleh mereka dalam lingkungan tersebut untuk tidak menampakkan dan mengekspresikan dirinya yang trans. Keadaan ini menyebabkan waria pada umumnya bekerja di sebuah industri yang diasosiasikan dengannya seperti fesyen, salon kecantikan, pelacuran, dan rumah makan. Hal ini menunjukkan ketidakadilan yang dialami oleh kelompok LGBTQ. Berbagai pernyataan yang menunjukkan bahwa hal ini bukanlah merupakan budaya mereka selalu menjadi justifikasi untuk kaum LGBTQ agar tidak mendapatkan keadilan dan kesetaraan tersebut. Apakah relativisme dan partikularisme moral dapat dijadikan sebagai suatu hal yang menjustifikasi penindasan kelompok LGBTQ?

Relativisme Moral dan Penindasan LGBTQ di Indonesia Hal yang perlu ditentukan dari perbedaan antara penerimaan LGBTQ di Indonesia dan berbagai negara atau wilayah lain adalah relativisme budaya. Hal yang perlu ditanyakan adalah mengenai moral. Apakah moral itu mengikat segala sesuatu? Apakah moral seharusnya universal? Jika tidak, apa yang seharusnya menjadi landasan moral?

berlanjut ke halaman berikutnya...

20


Dalam relativisme kultural, ada yang disebut dengan relativisme etis. Relativisme etis adalah sebuah doktrin yang menolak keberadaan moral dan prinsip objektif yang dapat ditentukan untuk semua manusia dan dapat diaplikasikan dalam waktu apa pun. Moralitas dianggap sebagai sesuatu yang relatif tergantung budaya dan pilihan individu. Konvensionalisme, yaitu turunan dari relativisme etis, menyebutkan bahwa kedudukan norma-norma dan nilai sosial merupakan standar utama dalam menentukan moral. Konvensionalisme menolak keberadaan standar objektif dalam diskursus moralitas karena tiap masyarakat mempunyai perbedaan standar moral masing-masing (Eshetu, 2017). Relativisme moral dijadikan sebagai suatu justifikasi penindasan LGBTQ di Indonesia. Dengan berlindung dari tameng relativisme budaya, mereka menolak LGBTQ secara keras. Padahal, budaya yang ada di Indonesia sangatlah beragam. Terdapat berbagai kultur di Indonesia yang mendobrak norma gender dan seksualitas konvensional. Sebagai contoh, Suku Bugis di Indonesia memiliki 5 gender, yaitu Orawane, Makkunrai, Calabai, Calalai, dan Bissu. Di Bali, drama pentas Arja menunjukkan fluiditas gender yang direpresentasikan dari performa yang maskulin dan feminin oleh perempuan. Meskipun begitu, hal-hal yang menunjukkan bahwa beberapa budaya yang ada di Indonesia merupakan budaya yang memiliki nilai LGBTQ yang tertanam tidaklah cukup untuk memperjuangkan keadilan bagi kelompok LGBTQ di Indonesia. Perlu kita lihat juga bahwa teori mengenai relativisme budaya merupakan suatu teori yang memiliki permasalahan, baik secara teori maupun praktis. Dalam teori, relativisme kultural menolak adanya realitas objektif. Dalam praktik, relativisme kultural dapat dijadikan sebagai sebuah justifikasi akan opresi dan penindasan (Kanarek, 2013).

21


Relativisme kultural menolak realitas objektif. Hal ini berarti bahwa realitas yang independen dari pikiran, persepsi, dan perasan manusia merupakan suatu hal yang relatif (Zechenter, 1997). Dengan adanya relativisme kultural, semua budaya haruslah kita anggap sebagai sesuatu yang valid, meskipun keduanya merupakan sesuatu yang kontradiktif. Relativisme kultural merusak segala basis objektivitas yang diperlukan untuk membentuk sebuah pengertian yang melampaui budaya. Dengan adanya relativisme kultural, orang yang tidak bersalah tidak mempunyai dasar moral untuk mempertahankan dirinya dari serangan orang yang mempunyai budaya yang berbeda (Kanarek, 2013). Hal ini bisa kita lihat dari bagaimana Nazi Jerman yang mempunyai landasan moral dan ideologis tersendiri, menindas kaum Yahudi, kaum disabilitas, dan kaum minoritas lainnya—termasuk kelompok LGBTQ—untuk membentuk sebuah “lebensraum”. Nazi Jerman bisa menjustifikasi aksinya karena budaya yang dianut dianggap benar, meskipun budaya tersebut merupakan budaya penindas. Ketiadaan standar moral yang universal dapat dibilang mengakomodasi berbagai penindasan yang ada. Relativisme kultural merupakan suatu paham yang kontradiktif, di mana berbagai kebenaran terdapat pada budaya masing-masing. Hal ini dapat dijadikan sebagai suatu justifikasi penindasan, seperti penindasan terhadap LGBTQ di berbagai belahan dunia. Hal ini membuat kita mempertanyakan bahwa apakah segala bentuk moral harus dianggap sebagai suatu yang relatif, suatu yang universal, atau bisa keduanya?

22


Si Paling

TIMUR

Bagaimana dikotomi budaya dapat berdampak buruk pada upaya penciptaan ruang bebas diskriminasi gender Oleh: Fikri Haikal Lubis (LPPMD angkatan XXXVI, Ilmu Politik 2018)

Akhir-akhir ini, semakin ramai respon penolakan terhadap eksistensi kelompok LGBTQ. Tiap kali hadir di ruang publik, kelompok “Pelangi” ini sering mendapat perlakuan tidak menyenangkan bahkan ketika mereka hanya sekadar mengakui orientasi seksualnya. Mulai dari podcast Ragil bersama Deddy Corbuzier yang akhirnya ditakedown sampai dengan perundungan mahasiswa baru Universitas Hasanuddin yang mengaku non-binary, kian hari selalu ada saja berita-berita diskriminasi terhadap kelompok LGBTQ. Tuduhannya pun sama, yaitu mereka adalah kelompok orang-orang yang menyimpang dari gender ‘normal’ dan harus diarahkan kembali ke jalan yang lurus. Namun benarkah demikian?

Seks, Gender dan Seksualitas Sebelum membahas hal yang lebih mendalam, tulisan ini akan mengulas sedikit terkait perbedaan seks, gender dan seksualitas karena tampaknya masih banyak yang tidak mengerti tiga konsep ini. Seks adalah jenis kelamin biologis sebagai bawaan lahir. Seks terbagi atas laki-laki, perempuan, dan interseks. Interseks adalah kondisi di mana seseorang memiliki karakteristik seks berbeda dengan kategorisasi medis pada umumnya, yaitu tubuh perempuan dan tubuh laki-laki. Interseks beda dengan kelamin ganda atau hermafrodit. Di sisi lain, seksualitas adalah cara seseorang mendapatkan kepuasan seksual dan mengekspresikan dirinya sebagai makhluk seksual. Bisa jadi seorang laki-laki mendapat kepuasan seksual dengan berhubungan intim dengan perempuan maupun sesama laki-laki. Hal inilah yang umumnya dikategorikan sebagai orientasi seksual. Adapun gender sendiri adalah konsep23


konsep tentang bagaimana seseorang mengekspresikan dirinya. Seseorang yang memiliki jenis kelamin laki-laki bisa jadi mengekspresikan dirinya sebagai penyuka warna pink, hobi bermain boneka, ataupun memiliki hobi yang identik dengan konstruksi peran perempuan. Cara setiap orang mengekspresikan dirinya adalah bagian dari hak individu dan tidak seorangpun yang berhak melarangnya. Namun, konstruksi sosial memainkan perannya untuk mendikte bagaimana seharusnya orang yang berjenis kelamin lakilaki/perempuan berperilaku, apa yang harus dilakukan dan apa yang pantang untuk dilakukan. Tentu anggapan laki-laki itu harus maskulin, tegas, dan tidak boleh cengeng ataupun anggapan perempuan itu harus lemah lembut, penurut, dan pandai memasak adalah tuntutan konstruksi sosial. Dalam skala yang lebih luas, tuntutan yang tidak seimbang ini pada akhirnya dapat membawa ketimpangan yang lebih serius. Sepanjang sejarah, ketimpangan gender antara laki-laki dan perempuan terus terjadi berulang kali. Ketidaksetaraan yang dilanggengkan oleh budaya patriarki ini menempatkan perempuan pada posisi yang kurang menguntungkan. Namun kini, mulai terlihat perkembangan signifikan terhadap upaya menempatkan perempuan pada posisi yang setara dengan laki-laki walaupun seringkali harus menghadapi tantangan yang tidak mudah. Pada tahap yang lebih rumit, ada tantangan yang jauh lebih sulit yaitu membuat masyarakat mau menerima kehadiran kelompok noncishet. Sebagian besar masyarakat menilai bahwa LGBTQ+ adalah penyakit dan harus diobati (dipaksa menjadi cisgender — heterosexual). Banyak perdebatan yang muncul terkait eksistensi LGBTQ terutama dari kelompok masyarakat religius yang memandang bahwa “kaum pelangi dari Barat” ini dapat mengundang bencana dan amarah Tuhan. Walaupun pada nyatanya bencana alam timbul akibat ulah manusia yang tidak menjaga kelestarian lingkungan, namun entah kenapa kelompok LGBTQ dituduh menjadi pihak yang paling bertanggung jawab atas timbulnya bencana longsor, gempa bumi, banjir dan tsunami. 24


Penyimpangan? “Indonesia menerima keberagaman namun menolak penyimpangan!” Akhir-akhir ini penggunaan ungkapan diatas begitu ramai disuarakan lewat media sosial. Pada tahun 1968, LGBT memang pernah dikategorikan sebagai penyakit jiwa oleh APA (American Psychological Association). Berbagai upaya pengobatan (penyiksaan) dilakukan untuk mengobati orang-orang yang memiliki orientasi seksual berbeda seperti metode setrum, obat muntah hingga dipaksa berkencan dengan pria/wanita untuk menyembuhkan homoseksualitas namun pengobatan itu justru tidak menimbulkan efek yang diharapkan. Hingga akhirnya pada tahun 1970-an, Frank Kameny beserta organisasi Gay Liberation menyerbu konferensi APA dan mendeklarasikan perang kepada APA karena selama ini telah memerangi kelompok LGBT. Masih pada dekade yang sama, APA akhirnya melakukan voting terhadap 9.664 psikiater untuk memutuskan apakah homoseksualitas tergolong penyakit kejiwaan atau tidak. Hasilnya, 5.854 anggota setuju untuk mencoret homoseksualitas dari penyakit kejiwaan namun masih menggolongkannya ke dalam gangguan orientasi seksual dikarenakan suara anggota belum bulat sepenuhnya. Hingga pada tahun 1987 APA baru benar-benar menghilangkan homoseksualitas dari penyakit kejiwaan tanpa keterangan khusus. Belum ada metode ‘penyembuhan’ yang secara resmi dapat mengubah orientasi seksual seseorang. Di sisi lain, seseorang yang berorientasi seksual LGBT dapat menjalani hidupnya dengan normal seperti orang-orang pada umumnya dan tidak ada studi yang cukup kuat untuk membuktikan bahwa LGBT adalah penyakit. Maka dari itu, upaya untuk memaksa seseorang mengubah orientasi seksualnya dengan cara apapun adalah bentuk kekerasan.

25


Yuk kenalan sama suku Bugis yang punya 5 gender! Salah besar jika kita menilai bahwa bangsa Indonesia hanya mengenal 2 jenis gender. Mungkin pernyataan tersebut benar jika kita mengacu pada konstitusi yang memang mengatur jenis kelamin sebagai laki-laki dan perempuan. Namun pada faktanya, ada suku di Indonesia yang justru mengakui 5 jenis gender. Lima gender tersebut terbagi atas; Orawane yaitu orang yang terlahir dengan fisik biologis laki-laki dan mengekspresikan gendernya sebagai laki-laki, Makkunrai yaitu orang yang terlahir dengan fisik biologis perempuan dan mengekspresikan gendernya sebagai perempuan, Calabai yaitu orang yang terlahir dengan fisik biologis laki-laki dan mengekspresikan gendernya sebagai perempuan, Calalai yaitu orang yang terlahir dengan fisik biologis perempuan dan mengekspresikan gendernya sebagai laki-laki, terakhir Bissu yaitu orang yang mengekspresikan gendernya diluar kedua simbol itu. Bissu sendiri memiliki peran penting dalam keagamaan yaitu sebagai perantara antara manusia dan Tuhan. Suku bugis yang mana merupakan etnis asli dari Indonesia memiliki lima jenis gender yang diakui secara adat. Namun walau demikian, mereka dapat menciptakan atmosfer kehidupan yang toleran serta tidak memusuhi perbedaan. Menolak kekerasan, diskriminasi gender, dan keragaman adalah 3 dari 12 nilai perdamaian yang diajarkan dalam masyarakat suku Bugis.

Segregasi budaya Timur-Barat, pentingkah? Dikotomi budaya timur-barat seperti yang sering disebutkan pada faktanya memiliki kekeliruan. Ungkapan ini seringkali digunakan untuk ‘menertibkan’ orang-orang yang berperilaku tidak sesuai dengan norma-norma ‘ketimuran’ – sebagaimana yang mereka definisikan. Ketakutan berlebihan akan kontaminasi budaya barat dilanggengkan untuk memperkuat identitas ketimuran. Hasilnya, terjadi penolakan secara mentah terhadap keberagaman gender dan orientasi seksual tanpa mencari tahu lebih lanjut terkait kesahihan nilai-nilai yang ditolak dan diperjuangkan. 26


Ketika Musik menjadi Perangkat Kekuasaan Oleh: Muhammad Diva Kafila Raudya LPPMD angkatan XL, Ilmu Politik 2019

Pasca malam pertama pemusnahan total para oponen 30 September 1965, seketika lanskap politik Indonesia berubah secara signifikan. Segala hal yang berbau ‘kiri’ seperti serikat buruh, petani, serta kekuatan politik berbasis kelas dilibas habis dengan metode pembunuhan yang dilakukan secara sistematis dan melibatkan birokrasi negara serta organisasi antikomunis di Indonesia (Farid, 2006). Bukan hanya kekuatan politik berbasis kelas, agenda anti-marxisme di Indonesia semakin kuat pasca ditetapkannya TAP MPRS No. 25/1966 tentang pelarangan Partai Komunis Indonesia (PKI) serta kegiatan penyebaran ajaran marxismeleninisme-komunisme. Mencekamnya situasi Indonesia dengan maraknya terjadi pembunuhan terhadap mereka yang dianggap bagian dari organisasi kiri terpotret dalam lagu-lagu yang ditulis ataupun dirilis selama masa pembantaian tersebut berlangsung. Penelitian yang dilakukan oleh Nugraha (2017) menunjukkan bahwa pada masa pembantaian kelompok kiri di Indonesia, muncul lagu-lagu yang menggambarkan kekhawatiran akan situasi mencekam seperti lagu gubahan Endro Wilis seorang perwira Angkatan Darat berjudul Mbok Irat yang bercerita kesedihan akan gerakan anti komunis di Banyuwangi oleh kalangan militer terhadap simpatisan PKI.

27

Soekarno yang saat itu memiliki kaitan erat dengan kekuatan politik berbasis kelas, terutama setelah rumusan Manipol-USDEKnya, turut coba dinegasikan dengan berbagai agenda de-Soekarnoisasi. Di tengah teror dan pembunuhan terhadap mereka yang dianggap sebagai bagian dari kelompok kiri, masyarakat saat itu juga mengalami ketakutan untuk-


memutarkan lagu-lagu yang diidentikan dengan kelompok kiri seperti Gendjer-Gendjer dan Bersuka Ria – satu-satunya lagu yang diciptakan oleh Soekarno (Setyawan, 2020). Lanskap kebudayaan Indonesia juga turut berubah seiring dengan tumbangnya Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA) yang memiliki kaitan erat dengan tradisi sastra dan seni aliran ‘realisme sosialis’.

Sebuah Pertanyaan dan Usaha Menjawabnya Tulisan ini akan mengulas perubahan lanskap kebudayaan terutama pada dimensi musik di Indonesia. Hal ini dirasa menarik oleh penulis karena musik sebagai produk budaya terikat pada kondisi-kondisi material eksistensi yang diatur secara sosial, dan mengacu pada bentukbentuk yang diasumsikan oleh eksistensi sosial dalam kondisi historis tertentu (Jane & Barker, 2016). Pada akhirnya, produk budaya seperti musik bersifat politis, dalam artian ia mengekspresikan hubunganhubungan kekuasaan, sehingga gagasan kelas sebagai kekuatan material yang dominan sekaligus menjadi kekuatan intelektual yang dominan (Marx, 1981). Berangkat dari pemahaman konsep di atas tulisan ini akan mengulas bagaimana kekuasaan Orde Baru sebagai kekuatan material yang dominan turut menjadi kekuatan intelektual yang dominan melalui pengekspresian kekuasaan di dalam produk budaya seperti musik. Menurut Attali (1985), di tangan negara dan kapitalisme musik menjadi perangkat kekuasaan. Kendati tidak dirumuskan secara sistematis oleh Attali, peran musik sebagai perangkat kekuasaan dapat terbagi ke dalam tiga sektor yang bekerja secara berurutan hingga ke tahap determinasi budaya, yaitu: (1) mengalihkan perhatian massa (2) membuat mereka percaya (3) pembungkaman. Dalam tahap pengalihan perhatian massa, musik yang berkembang di masyarakat cenderung didominasi oleh musik yang mengeksploitasi tema-tema abstrak, romantisme, nostalgik, bahkan cenderung elitis dalam lirik-liriknya, sederhananya membawa tema yang bertolak belakang dengan kondisi sosial politik suatu rezim. Sedangkan dalam tahap membuat massa percaya, musik menjadi perangkat ideologis – jika meminjam istilah Althusser maka musik masuk pada kategori Ideological State Apparatus (ISA) – di mana digunakan untuk membuat massa percaya akan-

28


kondisi-kondisi sosial politik dalam suatu rezim, Pada tahap terakhir, merupakan tahapan purna di mana musik berhasil membungkam nalar kritis massa dan menutup suara kritis massa melalui kontrol yang dilakukan oleh negara dan label rekaman (Nugraha, 2017). Sumber yang akan digunakan dalam ulasan kali ini sepenuhnya berasal dari literatur yang terkait dengan pembahasan mengenai musik Indonesia serta kondisi sosial politik pada era Orde Baru. Buku terbitan Irama Nusantara dengan judul Dari Ngak-Ngik-Ngok ke Dheg-Dheg Plas akan dijadikan sumber primer dalam tulisan ini. Sedangkan sumber sekunder berasal dari buku dan jurnal yang memiliki pembahasan terkait dengan topik tulisan ini.

Kontrol Politik Negara dalam Musik Musik berkali lahir dari kontrol politik negara – kalimat tersebut saya ambil dari salah satu bagian dalam buku milik Galih Nugraha (2022) berjudul Industri Musik yang Menjajah. Dalam bagian tersebut, Galih menyatakan bahwa Soekarno telah bertindak secara otoriter bahkan fasistik karena melarang pemutaran dan penampilan musik ala Barat di Indonesia pada era demokrasi terpimpin. Memang benar Soekarno melakukan berbagai upaya pelarangan dengan mengeluarkan kebijakan yang menentang produk kebudayaan seperti film dan musik yang berasal dari Barat. Sebelumnya perlu digarisbawahi, bahwa tindakan Soekarno didasarkan pada penentangannya terhadap neokolonialisme dan imperialisme (Nekolim) yang baginya diboncengi oleh produk kebudayaan asal Barat (Pertiwi & Nasution, 2014). Kepolisian dan guru sekolah bahkan turut terlibat dalam upaya penentangan budaya Barat dengan melakukan razia gaya berpakaian pada masa itu (Janti, 2017). Lebih lanjut, Galih memaparkan bagaimana pengaruh kontrol politik negara terhadap perkembangan musik Indonesia. Soekarno dengan Manipol-USDEKnya membuat perkembangan musik di Indonesia pada saat itu terbilang cukup unik. Keharusan bagi para musisi untuk menciptakan musik yang sejalan dengan kepribadian bangsa telah menghasilkan ramuan baru musik Indonesia dengan memadukan29


musik ala ‘Barat’ dan ‘Indonesia’ seperti yang dilakukan oleh Tielman Brothers dan lagu Bersuka Ria seperti yang disebutkan di atas. Soeharto dengan agenda peminggiran wacana marxisme serta desoekarnoisasi juga turut melakukan kontrol politik terhadap musik. Berbeda dengan Soekarno yang melakukan kontrol terhadap musik secara vulgar, Soeharto cenderung membuka akses terhadap berbagai produk kebudayaan dari Barat namun dengan tetap menegaskan bahwa seni dan budaya harus bersih dari politik (Su, 2022) – yang jika ditarik penegasan tersebut serupa dengan Surat Kepercayaan Gelanggang yang ditulis oleh Chairil Anwar, Asrul Sani, dan Rival Apin yang menyatakan bahwa “Kami akan menentang segala usaha mempersempit dan menghalangi tidak betulnya pemeriksaan ukuran nilai” sebagai jawaban atas kontrol politik terhadap kebudayaan yang dilakukan oleh Soekarno.

Menyoal Keberpihakan Negara dalam Musik Pada bagian inilah akan dibahas bagaimana musik menjadi perangkat kekuasaan. Berbicara mengenai kekuasaan, tentunya tidak dapat dilepaskan dari pembahasan mengenai untuk siapa kekuasaan itu berpihak. Bagian ini mencoba memberikan tinjauan bagaimana keberpihakan negara dimanifestasikan ke dalam bentuk musik dengan membandingkan perkembangan musik populer di Indonesia pada era pemerintahan demokrasi terpimpin dan Orde Baru. Selama periode 1959-1965, di bawah kepemimpinan Soekarno kita akan dengan mudah menemukan musik populer yang bernuansa politis dan ‘revolusioner’ yang terinspirasi dari Manipol-USDEK Soekarno seperti lagu NASAKOM Bersatu gubahan K. Atmodjo, Pantun Djenaka yang dinyanyikan oleh Lilis Suryani, dan Lima Azimatku yang digubah oleh Wedhasmara. Pada masa “Konfrontasi” Indonesia kepada Malaysia, muncul pula musik populer yang menggambarkan situasi politik saat itu seperti lagu Ganjang yang dimainkan oleh paduan suara dan orkestra Simanalagi, Pesan dari Perbatasan yang digubah oleh Rachmat Kartolo, dan Di Keheningan Malam milik Anna Mathovani. 30


Keberpihakan politik cukup tergambarkan dalam musik populer yang dirilis pada periode demokrasi terpimpin. Disamping bersifat politis dan ‘revolusioner’, tema yang dibawa oleh musik populer saat itu juga dekat dengan kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia. Alih-alih mengaburkan realitas, musik populer justru mencoba membantu masyarakat untuk memahami realitas sehari-hari. Hal tersebut terlihat ketika Indonesia mengalami krisis ekonomi pada awal dekade 60an yang menyebabkan berkurangnya stok bahan pangan. Untuk mengajak masyarakat Indonesia agar meningkatkan daya konsumsi, musisi dan label rekaman (sesuai anjuran pemerintah) merilis lagu-lagu bertemakan makanan khas Indonesia. Oslan Husein dengan Es Mambo, Tahu Tempe, Sepiring Nasi, Singkong Rebus, Nasi Djagung yang dirilis oleh Irama, lalu kolaborasi dengan Alwi yang menghasilkan lagu Bakmi Pangsit, Bandrek & Bajigur, Sate Ajam, dan Kue Pantjong yang dirilis oleh Mesra (Adhiyatmaka, 2021 :27). Bukan hanya bentuk musik dan lirik yang menunjukkan bagaimana keberpihakan politik negara. Pementasan musik pada era tersebut juga jarang yang bersifat komersil dan penuh dengan jargon-jargon seperti “Malam Kesenian Amal”, “Dari Pelajar untuk Ganefo”, dan “Non-Komersil”. Strategi dan jargon dalam pementasan tersebut digunakan untuk membangun nilai-nilai solidaritas dan kepedulian antar rakyat (Adhiyatmaka, 2021 :30).

31

Setelah pemerintahan Soekarno runtuh, Soeharto mengambil alih tahta kepemimpinan Indonesia dan dimulailah periode Orde Baru. Musik populer yang semula dikontrol secara vulgar kini kembali ‘terbebaskan’. Produk budaya seperti musik dan film yang berasal dari Barat kembali mengetuk pintu Indonesia untuk membangun kembali pasarnya. Hal itu dikarenakan kebijakan pemerintah Orde Baru d yang membuka keran investasi asing untuk menopang pembangunan nasional pada saat itu. Pelonggaran investasi asing dapat dilihat tatkala pemerintah Orde Baru memohon peminjaman dana dari International Monetary Fund (IMF) dan disahkannya Undang-Undang Penanaman Modal Asing tahun 1967. Dalam rangka memberikan jaminan terhadap-


investasi asing, pemerintah Orde Baru menjalankan strategi politik yang mendorong penciptaan sistem ekonomi dan masyarakat yang terkendali dan tertib, singkatnya stabilitas dan keamanan merupakan nilai penting dalam pandangan elit Orde Baru (Handoyo, 2011). Orde Baru menyadari bahwa pada pemerintahan Soekarno pemuda cukup dekat dengan budaya populer dan memiliki pengaruh yang cukup signifikan dalam menentukan arah politik dan budaya di Indonesia. Untuk menanggulangi hal tersebut, Orde Baru memulai berbagai kegiatan yang bertujuan untuk mendepolitisasi pemuda dan budaya populer. Pemuda yang semula menggunakan budaya populer untuk menyalurkan aspirasi politiknya, kini diimbau untuk memiliki selera, aspirasi, dan gaya hidup yang mengacu budaya Barat (Adhiyatmaka, 2021:40). Disinilah negara melakukan kontrol politik terhadap musik populer menggunakan cara-cara selubung ideologis. Orde Baru menggunakan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) melalui Badan Koordinasi Seni (BKR Kostrad) untuk melakukan sosialisasi pada pelaku musik populer dengan mengadakan berbagai pertunjukan musik guna membentuk kesatuan antara ABRI dan masyarakat dalam rangka untuk melakukan operasi penumpasan simpatisan PKI (Adhiyatmaka, 2021 :41). ABRI juga turut mendepolitisasi Radio Republik Indonesia (RRI) yang saat itu masih terpengaruh dengan kebijakan pemerintahan sebelumnya di mana RRI dilarang untuk memutarkan musik populer dari Barat. ABRI memiliki suatu jam tayang dengan nama cara Kamera Ria yang berisikan pemberitaan mengenai ABRI sembari diselingi oleh pemutaran musik populer yang berasal dari Barat (Adhiyatmaka, 2021 :46). Pelaku musik populer seolah mendapatkan surganya dengan diberikan jaminan kebebasan berekspresi dan diberi wadah untuk pentas musik mereka. Musisi-musisi yang dahulu sempat meredup kembali bersinar kembali, seperti The Rollies, Rhapsodia, Gipsy, dan The Disc (Adhiyatmaka, 2021 :49). Berbeda dengan para pemerintahan Soekarno di mana musik menjadi instrumen untuk membantu rakyat memiliki kesadaran akan realitas karena liriknya yang politis, lirik-lirik yang terdapat musik populer pada era Orde Baru kini tidak berbau politis-

32


melainkan banyak yang mengandung tema-tema kebebasan, romantisme, dan lainnya. Kebijakan depolitisasi pemuda dan budaya ini ditopang oleh kekuatan media baru yang bermunculan pada era Orde Baru, salah satunya majalah Aktuil. Majalah yang didirikan di Bandung pada tahun 1967 tersebut menjadi wadah untuk mengamplifikasi musik-musik populer pada era Orde Baru (Adhiyatmaka, 2021 :50). Disinilah bagaimana musik sebagai perangkat kekuasaan bekerja pada era Orde Baru tiba pada tahapan purna. Lirik-lirik yang banyak mengeksploitasi tema-tema kebebasan dan romantisme membuat masyarakat tidak lagi mendapatkan penyadaran politik dan kini musik telah purna menjadi lulabi massa. Ditambah dengan berbagai selubung ideologis yang dilakukan oleh ABRI dalam setiap pentas musik yang diadakannya dan amplifikasi yang dilakukan oleh majalah-majalah, membuat bentuk musik populer yang direstui oleh pemerintah Orde Baru menjadi dominan. Meski terlihat memberikan jaminan bagi kebebasan berekspresi, pemerintah Orde Baru tetap melakukan pembatasanpembatasan bagi musisi yang berkarya dengan dilarang memberi keberpihakan politik yang bertentangan pada era Orde Baru. Di sisi lain di luar poros musik dan budaya, agenda pembangunan nasional oleh pemerintah Orde Baru terus berjalan dengan tanpa perhatian dari masyarakat. Praktik-praktik perampasan lahan dengan kekerasan dalam rangka menyambut investasi asing terjadi di Papua tatkala PT Freeport mulai melakukan kegiatan eksplorasi emas di tengah status politik Papua yang belum jelas (Sangaji, 2021). Selain di Papua, masyarakat Kedung Ombo juga terpaksa harus kehilangan ruang hidupnya setelah penggusuran besar-besaran oleh pemerintah tanpa uang ganti sepeserpun demi membangun waduk yang didanai oleh Bank Dunia (Matanasi, 2017).

Konklusi

33

Kembali saya ulangi, bahwa musik berkali lahir dari kontrol politik negara, masalahnya untuk siapa musik dan politik tersebut memihak? Apakah untuk rakyat pekerja kebanyakan atau hanya untuk segelintir pemilik alat produksi? Dari paparan di atas, kita dapat melihat bahwa-


musik sebagai suatu entitas yang kerap didekatkan dengan suasana menyenangkan sebagai sarana eskapisme, ternyata perlu dilihat juga secara kritis. Dalam kasus Orde Baru, meski pelaku musik populer diberi kebebasan berekspresi – ternyata musik juga digunakan sebagai perangkat kekuasaan. Musik bekerja sebagai sarana pengalihan massa, di mana suara-suara kritis yang melekat pada pemuda dialihkan pada halhal yang berbau hiburan. Ditambah dengan amplifikasi yang dilakukan oleh para intelektual (meminjam istilah Gramsci) terhadap musik populer saat itu, membuat masyarakat menjadi taklid buta dan percaya begitu saja terhadap bentuk musik tersebut. Di sisi lain, suara keberpihakan dan kritis dibungkam dengan tidak diberi ruang dalam ruang-ruang rekaman serta ancaman kekerasan oleh aparatur negara pada era Orde Baru.

34


Kucing ‘Oyen’ dan Mitos Keharmonisan Bangsa Indonesia: Kajian Semiotika Barthes M. Dzaky Abdullah (LPPMD angkatan XLII, Sastra Indonesia 2019)

Suatu hari, satu di antara 365 hari tahun 1955, Roland Barthes yang sedang berada di kursi tukang cukur, disodorkan sebuah salinan majalah Paris-Match edisi 25-26 Juni yang sampulnya menampilkan potret seorang anak berkulit legam yang menengadahkan wajahnya 45 derajat ke atas; memberi hormat kepada bendera tiga-warna Prancis yang ada di luar bingkai. Dari gambar itu sahaja, Barthes dapat menulis begini, “Whether naively or not, I see very well what it signifies to me: that France is a great Empire, that all her sons, without any colour discrimination, faithfully serve under her flag, and that there is no better answer to the detractors of an alleged colonialism than the zeal shown by this Negro in serving his so-called oppressors.”Sekarang, analisis dan kritik Barthes ini digunakan sebagai contoh dalam kelas-kelas Semiologi dalam mengenalkan atau mengkritik konsep “mitos”, tentang bagaimana setiap sistem tanda membawa kebohongan, atau malah, kebenarannya sendiri, yang darinya tiap tanda terinfus nilai politik. Akun media sosial resmi Instagram Presiden RI Indonesia, baik di Instagram maupun Twitter (@jokowi), selalu mengunggah peringatan hari besar dengan ilustrasi-ilustrasi menarik; potret yang menggambarkan sebuah adegan harmonis kumpulan warga sedang melakukan aktivitas yang sesuai dengan konteks hari besar yang dirayakan. Tentunya unggahan tersebut juga melukiskan Jokowi berada di adegan tersebut, ikut beraktivitas atau melayani warganya. Misal, pada unggahan perayaan Tahun Baru Islam 2022, menggambarkan adegan warga muslim sedang merayakan hari rayanya di depan sebuah masjid, menyalakan obor, menabuh gendang. Tergambar Jokowi sedang menyalami sebuah keluarga muda, tangannya mendekap, bayi yang digendong ayahnya mencoba menggapai sang Presiden. 35


Semua ilustrasi-ilustrasi peringatan hari raya yang disorot oleh akun resmi kepresidenan ini, setidaknya dalam kurun waktu tahun ini, digambar oleh seorang ilustrator yang sama, yakni Aufa Aqil Ghani. Aufa merupakan seorang ilustrator, desainer grafis, dan paper flower artist, yang lahir di Serang, 28 September 1995. Aufa lulus dari program studi Desain Komunikasi Visual Institut Teknologi Bandung pada tahun 2017, dan telah menjadi Staf Komunikasi Digital Istana Presiden sejak Maret 2020. Pada akhir-akhir ini unggahan-unggahan akun resmi kepresidenan karya Aufa tersebut menjadi bahan pembicaraan hangat di ranah media sosial masyarakat Indonesia, terutama oleh kalangan anak mudanya. Sang ilustrator menyelipkan referensi-referensi kultur populer, terutama kultur internet, dalam gambar-gambarnya. Referensi-referensi tersebut membuat adegan poster menjadi meriah, menggambarkan eksistensi bangsa Indonesia yang harmonis, dan mengundang gelak tawa dari pembacanya. Misal, ilustrasi yang memperingati Hari Tani Nasional, yang memiliki referensi terhadap tren TikTok ‘Begitu Sulit Lupakan Rehan’ milik Intan Lembata, topi jerami tokoh Monkey D Luffy dari series One Piece, dan berbagai hal-hal viral internet lainnya.

Namun, ada satu aspek dari ilustrasi peringatan hari raya ini yang paling menarik perhatian para netizen (warga internet) adalah easter egg yang diselipkan sang ilustrator dalam gambar-gambarnya. Sosok, atau seekor, kucing berbulu oranye selalu hadir dalam ilustrasi-ilustrasi resmi kepresidenan ini. Kucing oranye tersebut digambarkan dalam keadaan-keadaan jenaka, seperti tertidur di atas sapi dalam36


unggahan perayaan Idul Adha 2022; mengikuti lomba panjat pinang dalam unggahan peringatan HUT RI 2022; ikut terhanyut di sungai kecil sambil mengimitasi gimik bebek-bebek yang sedang digembala dalam unggahan peringatan Hari Tani Nasional 2022. Semenjak “debut” di ilustrasi poster digital Hari Raya Idul Adha 2022, apa yang disebut netizen sebagai kucing “oren” atau “oyen” ini selalu hadir dalam unggahan-unggahan peringatan hari besar akun resmi kepresidenan, dan netizen selalu menyambut unggahan tersebut dengan sukacita demi mencari kucing “oyen” lain yang diselipkan Aufa dalam ilustrasi-ilustrasinya. Kucing merupakan bagian penting dari kultur internet. Mengutip rubrik yang ditulis Bryan Lufkin, warga internet menjadikan kucing sebagai hewan kesayangan untuk dibagikan melalui internet karena beberapa hal. Pertama, kucing yang tidak begitu peduli dengan sorotan kamera menghasilkan kesenangan voyeuristic kepada penontonnya. Kedua, struktur wajah kucing yang mirip dengan struktur wajah bayi manusia (mata yang besar, hidung kecil, pipi tembam) merangsang rasa empati kita dan kegemasan terhadap tingkah perilaku kucing yang tertangkap kamera. Ketiga, kucing merupakan kanvas kosong di mana manusia dapat memproyeksikan emosi-emosinya. Salah satu jenis konten kucing yang sering dijumpai di internet adalah videovideo yang menampilkan kucing merusak benda-benda dan perabotan rumah, lalu berlari ke luar bingkai kamera, seakan-akan tanpa dosa. Karena itulah, kucing bisa dibaca sebagai hewan yang menggemaskan, yang disukai semua khalayak, hewan yang menghidupi kehidupan carefree yang tak berdosa. Disebarkannya gambar-gambar dan video kucing di internet, menghasilkan komunitas-komunitas dan forum yang dikhususkan untuk berbicara tentang segala hal kekucingan. Komunitas @kochengfess di Twitter, misalnya, dengan 280 ribu follower yang menjadi ruang untuk konten-konten kucing yang di-submit sendiri oleh para pengikutnya. Kesukaan netizen terhadap kucing telah ada sejak awal mula keberadaan internet itu sendiri. Kucing “Giko” dari forum 2chan pada tahun 1998, misalnya; kucing-kucing megabintang yang bermunculan di internet pada semenjak tahun 2006, kucing Shironeko, Serious Cat, Grumpy Cat, Nyan Cat, dan lainnya. 37


Internet, menjadi taman peliharaan (dog park atau dalam hal ini, cat park) virtual. Suatu tempat membagikan konten-konten kucing sebagai bentuk eskapisme, tempat di mana setiap orang dapat mengesampingkan perbedaan dan perselisihan politik mereka. Kucing, mewakili mitos atas ketidakberdosaan (innocence) dan keberadaan carefree itu. Di sini, kita dapat membaca kucing berbulu oranye sebagai tanda.

“Myth is depoliticized speech” Mitos adalah tuturan yang di/ter-depolitisasi, tulis Barthes. Lalu apa yang “dinormalkan” oleh unggahan-unggahan peringatan hari raya akun kepresidenan tersebut? Barthes, mengenai mitos, “The whole of France is steeped in this anonymous ideology: our press, our cinema, our theatre, our popular literature, our ceremonies, our Justice, our diplomacy, our conversations, our remarks on the weather, the crimes we try, the wedding we are moved by, the cooking we dream of, the clothes we wear, everything, in our everyday life, contributes to the representation that the bourgeoisie makes for itself and for us of the relationships between man and the world.” Bentuk-bentuk yang dinormalisasikan ini menjadi bentuk-bentuk baru, yang hampir terlepas dari asal-usulnya, berada di posisi yang tidak secara langsung politis dan ideologis. Kucing berbulu oren yang—untuk kepentingan ini mari sebut secara bebas—eksis tanpa nilai politis, dipinjam sistem tandanya oleh kelas penguasa (sang Presiden sendiri) untuk menormalkan wacana mereka. Keberadaan kucing sebagai hewan yang innocent dan carefree, disejajarkan dengan tindakan politis sang Presiden dalam menyampaikan ucapan-ucapan hari raya. Ideologi, bekerja melalui mitos-mitos, dan mitos tersebut “menaturalkan” wacana-wacana yang mendukung pandangan dunia kelas penguasanya. Dalam hal ini, Jokowi, melalui ilustrasi poster digital yang jenaka, menggemaskan, dan menggambarkan eksistensi harmoni bangsa, menaturalkan wacana bahwa bangsa Indonesia eksis sebagai suatu kesatuan kelompok manusia yang ber-koeksistensi secara damai. 38


Presiden, sebagai badan eksekutif suatu negara, disamping perannya yang secara eksplisit politis, juga bertindak sebagai aparatus ideologi negara. Peran tersebut juga dikerjakannya melalui relasi-relasinya dengan masyarakat, salah satunya lewat akun media sosialnya. Maka, walaupun, bukan Jokowi sendiri yang menggambar poster-poster digital tersebut—tapi Aufa, staf komunikasi digital; bukan Jokowi sendiri yang mengunggahnya— tapi staf humas istana; dan makna-makna reproduksi wacana kelas penguasa yang dibahas di atas tidak dimunculkan secara sengaja; kita dapat membaca tanda-tanda pada poster-poster tersebut sebagai tindakan politis. Sekarang: apakah kucing, dalam penggambaran ini merupakan mitos yang tak memiliki nilai politik? Apakah mitos selalu tuturan yang didepolitisasi? Apakah realitas, dan setiap aspek-aspeknya, selalu politis? Apakah cukup untuk membaca hal-hal sebagai “yang-dari-sananya” untuknya menjadi sebuah mitos? Perhatikan, pernyataan Bey Machmudin, Deputi Bidang Protokol, Pers, dan Media Sekretariat Presiden, dalam menjelaskan maksud keberadaan kucing oranye dalam poster-poster digital ucapan Presiden. “Untuk menarik perhatian masyarakat, supaya ada atensi terhadap hari-hari besar nasional, maupun momen-momen tertentu.” Sang ilustrator dengan sengaja membuat ilustrasi berdasarkan isu terkini dan hal-hal yang naik daun di ranah internet., dan unggahan tersebut, merupakan perencanaan dari staf-staf media dan humas istana. Mitos-mitos, yang tercakup di poster-poster tersebut, digunakan untuk kepentingan politik. “One could answer with Marx”, tulis Barthes, “that the most natural object contains a political trace, however faint and diluted, the more or less memorable presence of the human act which has produced, fitted up, used, subjected or rejected it.” Bahwa, gambaran tidak berdosa seekor kucing oren dalam ilustrasi-ilustrasi tersebut juga mengandung jejak-jejak politis. Ada makna yang dipinjam oleh satu sistem tanda dari sistem tanda yang lain. Ilustrasi-ilustrasi Aufa menggambarkan ke-Indonesia-an, dengan mengikutsertakan kultur populer dan internet; menggambarkan keharmonisan eksistensi (harmonious existence) dari setiap39


aspek-aspek dan aktor-aktornya. Hal ini dipakai oleh akun resmi media sosial Presiden RI, untuk menyejajarkan sikap dan keadaan politik realitas (signified-nya) pemerintahan Jokowi yang “diadakan” oleh gambaran eksistensi yang segalanya baik-baik saja (signifier-nya). Ada ketidakberdosaan (innocence) realita yang diadegankan dalam poster-poster digital peringatan hari besar tersebut. Peringatan hari raya yang tak jarang— malah selalu—amat politis. Seperti peringatan Hari Tani, yang sebenarnya agak janggal datang dari Jokowi yang kebijakan-kebijakan reforma agraria nya semenjak awal kepemimpinannya (Konsorsium Pembaruan Agraria), bukannya menyejahterakan kehidupan petani, malah membuat semakin runcing ketimpangan kepemilikan tanah pada masyarakat Tuturan-tuturan tersebut (ucapan “Selamat Hari Tani Nasional!”, kucing-kucing oranye, keberagaman bangsa karakter-karakter ilustrasi) dikuras segala aspek politisnya. Maka, pada saat yang sama, tuturan (mitos) yang tidak politis itu, memiliki nilai yang amat politis. Bukti nyata atas usaha penggunaan mitos kucing dalam kepentingan politik presiden dapat kita lihat sendiri bentuknya dari contoh di atas. Bila kita memasukan kata kunci “Jokowi” dan “Tani” pada mesin penelusuran, kita tidak dapat menemukan artikel atau berita mengenai kebijakan-kebijakan eksekutif presiden yang merugikan, atau mungkin menguntungkan, kaum tani. Kita hanya dapat melihat tulisan-tulisan yang menuliskan bagaimana ilustrasi-ilustrasi Aufa membuat para netizen salfok (salah fokus) dan menggugah gelak tawa. Jokowi, sebagai pengunggahnya, adalah sosok yang ikut menciptakan gelak tawa tersebut, mengubur bahasan-bahasan negatif kebijakannya oleh artikel-artikel “apolitis”.

Pada peringatan Hari Anak Nasional, 23 Juli 2022, Jokowi mengunggah ilustrasi karya Aufa yang menggambarkan adegan anak-anak, yang tampaknya berasal dari latar belakang suku dan daerah yang berbeda, bermain layangan bersama di lahan hijau pesisir pantai. Unggahan tersebut ditemani caption, “Setiap anak punya cita-cita dan impian masa depannya sendiri .Kita hanya perlu memastikan anak-anak Indonesia40


tetap terlindungi, terpenuhi hak-haknya, bergembira, tumbuh sebagai manusia yang berjiwa merdeka, dan menjadi bagian dari kemajuan bangsa”. Jokowi dan seorang anak berkulit legam berada di latar depan gambar, sang Presiden berlutut dan memegang pundak sang anak yang menengadahkan kepalanya 45 derajat ke atas—menerbangkan layangan. Di sini, mungkin tepat untuk kita mengutip kembali, dan menyesuaikannya sedikit, Barthes dan pengalamannya di kursi tukang cukur pada tahun 1955: Kita dapat melihat dengan jelas apa yang dimaksud poster-poster digital ini, bahwa Indonesia merupakan Negara Kesatuan yang Agung, bahwa setiap putra-putrinya, tanpa diskriminasi kelas dan warna kulit, dapat bermain dengan tenang dan mencapai cita-citanya di bawah Sang Saka Merah Putih, dan sang Presiden, merupakan sosok yang ada di antara itu semua, yang menciptakan sekaligus menjaga keharmonisan eksistensi bangsa Indonesia.

41


Fisika Quantum

Menjadi Landasan Idealisme

Azzam Fauzul Azhim Adnan (LPPMD angkatan XLIII, Fisika 2018) Padigma berpikir idealisme dalam fisika kuantum adalah suatu cara pandang yang menganggap bahwa realitas hanya terdiri dari pemikiran atau konsep yang ada dalam pikiran individu. Menurut pendapat idealisme, materi atau objek fisik yang ada di dunia ini hanyalah konsep yang diciptakan oleh pikiran individu, dan tidak ada realitas objektif yang terlepas dari pemikiran individu tersebut. Fisika kuantum, sebagai cabang ilmu fisika yang mempelajari fenomena-fenomena di tingkat atom dan subatom, tampaknya menguatkan pendapat ini. Teori kuantum menunjukkan bahwa sifat-sifat dasar dari partikel-partikel subatomik seperti elektron hanya dapat dinyatakan dalam probabilitas, dan tidak dapat ditentukan dengan pasti seperti yang diharapkan dalam paradigma materialis. Selain itu, fenomena yang dikenal sebagai interferensi kuantum menunjukkan bahwa partikel-partikel subatomik dapat berperilaku seperti gelombang, menunjukkan bahwa mereka tidak memiliki lokasi dan momentum yang pasti seperti yang dianggap oleh paradigma materialis ataupun realis. Heisenberg menjelaskan ketidakpastian dalam prinsip fisika yang menyatakan bahwa tidak mungkin untuk secara pasti mengetahui posisi dan kecepatan suatu partikel pada saat yang bersamaan. Ini berlaku karena fakta bahwa pengukuran yang dilakukan terhadap partikel akan selalu mempengaruhi partikel tersebut, sehingga mengubah posisi atau kecepatan yang diukur. 42


Singkatnya ketidakpastian Heisenberg dapat dianggap sebagai representasi dari keterbatasan manusia tentang dunia. Meskipun kita dapat mengukur posisi dan kecepatan suatu partikel dengan tingkat ketelitian tertentu, kita tidak akan pernah bisa mengetahui kedua hal tersebut secara pasti pada saat yang bersamaan dengan kata lain pengukuran akan selalu bergantung terhadap subjek yang mengukurnya atau realitas terbentuk ketika subjek tersebut memilih untuk mengamatinya. Pandangan ini adalah konsep utama dari idealisme. Implikasi dari pernyataan tersebut mengubah pola pandang terhadap realitas. Realitas adalah segala sesuatu yang ada di dunia nyata yang dapat dipertanggungjawabkan secara faktual. Bagaimana realitas terkonstruksi oleh subjek bisa bermacam-macam, tergantung pada bagaimana subjek tersebut mengalami dan menafsirkan realitas tersebut. Misalnya, seseorang mungkin memiliki pandangan yang berbeda tentang realitas yang sama jika mereka memiliki latar belakang yang berbeda atau jika mereka memiliki perspektif yang berbeda. Oleh karena itu, realitas dapat dikatakan sebagai suatu konstruksi subjektif yang tergantung pada cara pandang individu terhadapnya. Dengan demikian, pendapat idealisme dalam fisika kuantum mengajak kita untuk mempertanyakan apakah ada realitas objektif di luar pikiran individu, ataukah segala sesuatu hanya terdiri dari konsepkonsep yang diciptakan oleh pikiran individu. Ini adalah pertanyaan yang sulit untuk dijawab secara pasti, namun pendapat idealisme ini memberikan sudut pandang yang menarik untuk dikaji lebih lanjut.

43


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.