EDISI NOVEMBER 2020
This page is intentionally left blank.
KATA PENGANTAR Salam hangat, Setelah lebih dari tiga tahun hiatus, akhirnya majalah Aufklarung hadir kembali. Majalah Aufklarung yang saat ini ada dihadapan kawan-kawan pada mulanya direncanakan terbit pada bulan Juni tahun 2018, namun karna kendala satu dan lain hal akhirnya mengalami keterlambatan hingga baru bisa diterbitkan sekarang. Oleh karenanya, kami merasa wajib untuk menyampaikan permohonan maaf atas keterlambatan penerbitan majalah Aufklarung tersebut. Tulisan-tulisan yang dimuat dalam Aufklarung edisi bulan November tahun 2020 ini merupakan tulisan yang dikumpulkan selama periode kepengurusan 2017-2018. Banyak diantara tulisan dalam majalah Aufklarung kali ini mengambil tema besar tentang pembangunan dan demokrasi. Beberapa tulisan seperti MIFEE, Papua Menjerit Ditelanjangi untuk Siapa dan Apa? oleh Muthia Elvina dan Saya Malind Zanige, (Wajar) Bukan Pancasila oleh Muli Rozamli barangkali terdengar sudah usang karna isu yang diangkatnya tidak lagi banyak diperbincangkan oleh publik, meskipun demikian, kedua tulisan tersebut bukan berarti kehilangan relevansinya mengingat perampasan lahan dan pelanggaran hak terhadap masyarakat adat di Papua dengan mengatasnamakan pembangunan masih terus terjadi hingga detik ini. Secara keseluruhan isu tentang permasalahan pembangunan dan demokrasi nampaknya akan terus berkembang di periode kedua kepemimpinan Jokowi dengan disahkannya Omnimbus Law Cipta Kerja yang ditujukan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi melalui pembukaan keran-keran investasi untuk pihak asing seluas-luasnya. Dalam praktiknya, pengesahan undang-undang ini banyak menuai polemik di masyarakat karna bertentangan dengan konstitusi, tidak transparan, dan minim partisipasi publik. Selain itu, secara substansi, pasal-pasal yang terkandung dalam undang-undang ini juga dinilai sangat merugikan kelompok buruh, tani, masyarakat adat, pelajarmahasiswa dan warga miskin kota karna sarat akan kepentingan oligark dan juga melanggengkan praktik neoliberalisme di Indonesia. Belakangan, narasi-narasi antipembangunan dan anti-pancasila seringkali digunakan untuk menyerang mereka yang bersikap kritis terhadap agenda pembangunan pemerintah−yang pada kenyataanya justru malah mengesampingkan atau bahkan melanggar hak-hak masyarakatnya. Lebih jauh lagi, represi aparat kepada masyarakat yang berusaha menyampaikan aspirasinya terkait kinerja pemerintah pun meningkat. Kondisi ini menjadi pertanda bahwa Indonesia sedang berada di fase darurat demokrasi. Berangkat dari pembacaan tersebut, majalah Aufklarung ini hadir sebagai kacamata alternatif dalam melihat kondisi Indonesia saat ini. Sebagai penutup, kami hendak mengucapkan terimakasih kepada rekan-rekan LPPMD Unpad yang telah berkontribusi, baik dalam proses penulisan maupun penyusunan majalah Aufklarung kali ini. Semoga kedepannya penerbitan majalah Aufklarung bisa terus berlangsung secara konsisten. Besar pula harapan kami agar terbitan ini bisa membuka ruang-ruang diskusi dan menyalakan api kritisisme di kalangan publik luas. Selamat membaca!
Tim Penyusun Aufklarung 2 November 2020
i
PENYUSUN AUFKLÄRUNG
Penanggung Jawab
Pandu Sujiwo Kusumo (Ketua Umum LPPMD Unpad 2019-2020)
Pemimpin Redaksi
Fikri Haikal Lubis (Kepada Divisi Media LPPMD)
Kontributor
Dara Salsabila Ausi Syafa Muthia Elvina Sari Ahmad Shidqi Mukhtasor Fathurrahman A. Nuraini Mutiah Olivia Adelia Mepha Zuhhad Muli Rozamli Panji Haikal Madani Rizki Yuviniar Ekawati
Layout, Editor, Desain Fikri Haikal Lubis Jenny Nabila Saskia Ichnati Chandri Yuviniar Ekawati
ii
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ................................................................................................................................. i Penyusun Aufklarung.......................................................................................................................ii Daftar Isi ......................................................................................................................................... iii
12 Angry Men Oleh: Dara Salsabila........................................................................................................................ 1 Buruh Pabrik Perempuan dalam Hegemoni Sektor Industri Oleh: Ausi Syafa ............................................................................................................................ 5 MIFEE, Papua Menjerit Ditelanjangi untuk Siapa dan Apa Oleh: Muthia Elvina Sari .............................................................................................................. 8 Dialektika Bangsa untuk Pembangunan yang Terarah dan Demokratis Oleh: Ahmad Shidiq Mukhtasor .................................................................................................... 17 Melawan Pembangunan Konsumeristik Budaya Populer Bersama Adorno Oleh: Fathurrahman A ................................................................................................................... 21 Ketika Kata Menjadi Peristiwa Cantik Itu Luka? Oleh: Nuraini Muthiah .................................................................................................................... 27 This is America – Childish Gambino Oleh: Olivia Adelia Mepha ............................................................................................................ 33 Tumbal-Tulbal Pembangunan Oleh: Zuhhad .................................................................................................................................. 35 Saya Malind Zanige, (Wajar) Bukan Pancasila Oleh: Muli Rozamli ....................................................................................................................... 41 Implementasi Dana CSR (Corporate Social Responsibility) Oleh: Panji Haikal Madani ............................................................................................................. 47 Demokrasi Republik Kuba Oleh: Rizki ..................................................................................................................................... 51 Perpustakaan Jalanan: Wadah Independen Terbuka Oleh: Yuniviar Ekawati .................................................................................................................. 58
iii
12
ANGRY MEN
Seorang penulis dan filsuf asal Perancis bernama Voltaire pernah berkata, “It is better to risk saving a guilty man than to condemn an innocent one.� yang berarti lebih baik menyelamatkan seseorang yang bersalah daripada menghukum yang tidak bersalah. Kutipan ini ingin memberi pesan bahwa walaupun tidak adil untuk menyelamatkan seorang terdakwa dari konsekuensi atas perbuatannya, tentu tidak akan sebanding apabila disandingkan dengan seorang yang tak bersalah untuk dieksekusi. Dalam film ini, 12 juri berkumpul dalam suatu ruangan dan mencoba berdiskusi dalam menentukan nasib seorang anak yang dituduh membunuh ayahnya sendiri. Voting dilakukan, dan 11 dari ke 12 juri beranggapan bahwa sang anak itu bersalah. Namun, satu orang juri, yaitu juri nomor delapan mengatakan bahwa anak tersebut tidak bersalah. Merasa tidak terima, ke sebelas juri pun berusaha menyakinkan juri nomor delapan agar merubah hasil votenya yang mengatakan bahwa sang anak
oleh: Dara Salsabila tidak bersalah. Bukannya terpengaruh, juri nomor delapan malah memberikan bantahan dan argumen yang sangat masuk akal dan dapat membalikan keadaan. Siapa kah yang terpengaruh? Apakah hasil vote dan statement masing-masing juri akan berubah? Apakah juri nomor delapan berhasil merubah hasil pemikiran dan justifikasi tiap-tiap juri? Pada suatu kasus, seorang remaja berusia 18 tahun didakwa dan dilaksanakan peradilan akibat menikam ayahnya dengan pisau sedalam empat inci hingga meninggal. Semua saksi ahli, fakta, dan bukti telah dihadirkan di depan hakim. Film ini dikisahkan terjadi di negara yang menyelenggarakan sistem hukum common law yang mana hakim memiliki kebebasan dalam memutuskan suatu perkara tanpa terikat dengan aturan formil berupa undang-undang dan juga melaksanakan sistem juri pada peradilannya. Para juri ditunjuk untuk memberikan keputusan yang bersifat mutlak terhadap remaja tersebut. Setelah juri pengganti dipersilakan untuk keluar, maka 1
tersisa 12 juri yang akan memberikan keputusan, apakah dia bersalah atau tidak. Jika bersalah, maka nasib anak itu akan berakhir di kursi listrik. Ke-12 juri dipersilakan untuk istirahat di ruang juri untuk memikirkan dengan matang keputusan yang akan diberikan. Juri-juri tersebut berasal dari berbagai kalangan, mulai dari pemilik jasa pengiriman pesan, agensi periklanan, hingga dokter. Dengan dipimpin oleh Foreman (Martin Balsam), penjurian dimulai dengan sistem voting yang hanya dilakukan selama kurang dari lima menit dan voting diambil dari nomor jurinya yang berjumlah 12 orang. Sebelas juri menyatakan bersalah dan tersisa satu orang saja yang belum memberikan keputusannya yaitu juri dengan nomor urut 8. Dia adalah Davis (Henry Fonda) yang masih ragu untuk memberikan keputusan. Juri lain tetap bersikukuh dengan pendapatnya bahwa remaja tersebut ‘ b e r s a l a h’ k a r e n a terbukti t e l a h membunuh ayahnya dengan 2
alat bukti yang telah dihadirkan. Davis tidak benar-benar mengatakan bahwa anak tersebut ‘tidak bersalah’, dia hanya berfikir bahwa anak tersebut bisa saja ‘bersalah’ atau ‘tidak bersalah’. Beberapa juri lain sampai naik pitam dengan keputusan Davis yang minoritas itu. Padahal kenyataannya, beberapa juri lain itu menghendaki segera diselesaikannya keputusan tersebut hanya karena terdesak urusan lain yang akan dilakukan setelah selesainya pengadilan. Perspektif dan argumentasi dari para juri tersebut sangat realistis dan mampu menjadi argumentasi pembelok dari argumentasi yang diberikan oleh Davis. Hal tersebut membuat Davis berusaha meyakinkan yang lain, bahwa dalam pencarian keputusan ini mereka tidak boleh tergesagesa. Davis beranggapan bahwa keputusan tersebut menyangkut nyawa manusia, jadi tidak bisa seenaknya sendiri memberi keputusan tanpa diteliti lebih lanjut. Hematnya, ia berpendapat bahwa memberikan putusan yang bisa saja menghilangkan nyawa orang lain tidak boleh hanya didasarkan pada subtansi yang bisa dibuktikan berdasarkan parameter yang telah ditetapkan, tetapi juga harus
memperhatikan unsur-unsur imateril yang terdapat didalamnya yang merupakan masalah perbedaan konsep kebenaran manusia hingga konsep justifikasi personal mempengaruhi keleluasaan dalam menetukan sikap atas benar dan salah. Sebenarnya, pembenaran dengan kebenaran itu merupakan dua kata yang antonim dan tidak sinonim, pembenaran dengan kebenaran itu berbeda. Juri nomor delapan memberikan gambaran tentang bagaimana sebuah komunikasi yang efektif-persuasif dapat mempengaruhi pemikiran rekan-rekan lainnya yang secara frontal menolak mentah-mentah pemikirannya. Salah satu hal yang ia bahas dalam dialognya adalah remaja tersebut tidak mendapatkan apa yang seharusnya ia dapat. Ayahnya dalam beberapa tahun terakhir melakukan tindakan pemalsuan uang, pencurian, dan didakwa berdasarkan hukum positif serta harus menjalani
akibatnya dengan mendekam di penjara. Maka itu lah awal kebahagiaan anak itu karena sehari-hari ia dipukuli, disiksa, dan lain-lain yang membuat ia harus melakukan resistensi fisik. Diumur dua tahun ibunya meninggal dan ia diasuh oleh neneknya hingga akhirnya ketika ia tumbuh menjadi seorang remaja, ia kembali pada ayahnya. Menariknya, terjadi dialog intens antara pihak pro dan kontra. Selain itu, benturan moral menjadikan subtansi kebenaran menjadi hal yang perlu dikaji lebih lanjut. Walaupun hanya dia yang kontra dan menjadi minoritas, tidak merupakan sebuah masalah. Dengan analisis yang kritis, logis, dan rasional dengan didukung fakta-fakta yang ada, juri nomor delapan berupaya menggerus sedikit demi sedikit kecacatan analisis dan kedegilan hati juri lainnya. Baginya, informasi yang sepotong-sepotong dan ditelan mentah-mentah sangat berpotensi menjadi dasar untuk lahirnya sebuah keputusan yang salah. Sama bahayanya bila prasangka negatif lebih menguasai akal sehat manusia. Apalagi bila prasangka itu kemudian sampai berbuah menggelorakan syahwat untuk 3
menghilangkan nyawa seseorang. Hukuman mati tidaklah langsung diberikan tanpa pembelaan dan pengkajian secara mendalam. Berbeda dengan di Indonesia yang walau hanya masih diduga dan tanpa pembelaan dari terdakwa, kematian sudah dulu menghampirinya dengan main hakim sendiri oleh masyarakat. Dengan dalih didugadiduga. Hanya dengan diduga saja nyawa bukanlah barang mahal untuk dihilangkan. 12 Angry Men memang mempersempit diri dengan tidak mencari siapa sesungguhnya sang pembunuh. Fokusnya ada pada apakah terdakwa bersalah atau tidak. Naskahnya, walaupun sederhana, bisa dikatakan sangat kuat dan berbobot. Menyaksikan film ini seperti disegarkan kembali tentang salah satu nilai yang terkandung dalam Pancasila sila ke-4 tentang
4
musyawarah untuk mufakat. Nilai yang sepertinya telah terpinggirkan dalam kehidupan bangsa ini dan digantikan dengan apa yang disebut voting, dan dianggap sebagai keabsahan dengan mengambil keputusan berdasarkan suara terbanyak. Padahal yang terbanyak itu belum tentu benar, demikian halnya dengan yang minoritas belum tentu salah. Suara minoritas tetap berhak untuk diperdengarkan dan didengarkan, bukan langsung diberangus melalui diskusi yang hakikatnya suara sebelas banding satu akan menang dengan sendirinya. Namun hal yang sama tidak terjadi dengan film ini, yang mana 12 juri tetap bermusyawarah untuk menentukan kebenaran sampai kepada titik terendah dari batas keragu-raguan dengan manjauhkan dari pemikiran subjektif dan emosi personal.
Buruh Pabrik Perempuan dalam Hegemoni Sektor Industri Oleh : Ausi Syafa
Perubahan yang terjadi di masyarakat melahirkan asumsi adanya pergeseran nilai dimana gaya hidup menjadi kebutuhan dan tuntutan ekonomi sebagai hasilnya. Sementara itu, individu dalam setiap kepala rumah tangga juga harus memenuhi kebutuhan hidup yang kian hari semakin meningkat. Hal tersebut membuat mereka selalu berupaya untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas hidup salah satunya dengan meningkatkan taraf ekonomi keluarga. Tentu hal ini juga dilakukan oleh para perempuan yang bekerja sebagai buruh pabrik dalam sektor industri di Indonesia. Buruh pabrik dalam sektor industri di Indonesia, didominasi oleh perempuan karena peluang buruh pabrik dalam sektor industri lebih banyak terbuka bagi perempuan. Fenomena buruh perempuan pada awalnya muncul karena persoalan-persoalan yang dihadapi buruh perempuan dalam pekerjaannya. Baik itu ketidakadilan gender, kekerasan verbal, subordinasi, upah yang minim, dsb.
Keterlibatan buruh pabrik perempuan di sektor industri tidak jarang disebabkan oleh dorongan faktor permasalahan ekonomi. Dengan alasan untuk memperbaiki taraf ekonomi, buruh perempuan, baik yang masih lajang ataupun sudah menikah, pada akhirnya memutuskan untuk bergelut dalam sektor industri dengan harapan dapat memperbaiki kualitas hidupnya. Faktor status sosial juga menjadi salah satu faktor pendorong para perempuan untuk menjadi buruh. Para buruh perempuan banyak yang berasal dari golongan menengah ke bawah dan masih memiliki tingkat pendidikan dan keahlian yang rendah. Adapun penyebab rendahnya pendidikan adalah karena tingkat ekonomi yang rendah yang membuat masyarakat terbatas dalam mengakses layanan pendidikan karena tingginya beban biaya pendidikan. Hal tersebut menyebabkan para perempuan ini tidak memiliki kualifikasi untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik. Disisi lain, dengan semakin 5
berkembangnya sektor industri dalam era modernitas, peluang ekonomi dan kesempatan bekerja telah terbuka lebar. Ada banyak perusahaan yang membuka pintu pabriknya lebar-lebar dan siap menampung ribuan buruh perempuan untuk masuk dan turut serta dalam sektor industri di dalamnya. Namun, seiring dengan hal tersebut, muncul persoalan-persoalan yang dialami buruh perempuan terkait pekerjaan dan keluarga. Konflik pekerjaan terhadap keluarga terjadi saat pengalaman bekerja mempengaruhi kehidupan keluarga. Contohnya, tekanan dalam lingkungan kerja, seperti jam kerja yang panjang dan tidak fleksibel, perjalanan yang jauh, beban kerja yang berlebihan, stress kerja, organisasi atau atasan yang tidak mendukung. Konflik keluarga terhadap pekerjaan terjadi saat pengalaman dalam keluarga mempengaruhi kehidupan kerja,
6
seperti tekanan dalam keluarga, usia anak yang masih kecil, konflik antar anggota keluarga, dan kurangnya dukungan dari keluarga. Selain itu, jam kerja yang panjang dan tidak teratur membuat para buruh perempuan yang telah menikah dan berstatus sebagai istri ataupun ibu sulit mengatur tugas, sebagai komponen penting dalam tatanan anggota keluarga, juga sebagai pencari nafkah. Karena sebagian besar waktu buruh perempuan adalah di tempat kerja untuk mengejar target produksi. Tak jarang buruh perempuan mengalami emosi tidak stabil, stress, mudah marah, sering kelelahan, dan gangguan kesehatan. Hal ini juga tak jarang menimbulkan perselisihan dengan anggota keluarga lainnya, hilangnya komunikasi, serta disfungsionalitas dalam keluarga. Akibatnya keberfungsian sosial buruh perempuan dalam keluarga tidak dapat dilakukan secara
efektif, sehingga akan menimbulkan permasalahan yang dapat mengurangi kualitas hidup buruh perempuan maupun keluarganya. Keterlibatan buruh perempuan pada sektor industri adalah untuk memenuhi tuntutan kebutuhan dalam kehidupan keluarga. Namun, dalam praktiknya buruh perempuan tidak jarang mengalami persoalanpersoalan yang dapat menurunkan kualitas hidupnya terkait dengan terganggunya peran dan statusnya dalam keluarga, juga subordinasi yang dialaminya dalam bidang pekerjaan. Dalam realitasnya, buruh pabrik perempuan perlu belajar dan berkembang sebagai bagian dari individu dalam masyarakat untuk dapat bertahan hidup dan mensejahterakan keluarganya. Oleh karena itu, perlu adanya pemenuhan hak-hak bagi buruh perempuan dalam bidang
pekerjaannya, baik itu buruh pabrik ataupun buruh perempuan dalam sektor lainnya, agar dapat menunjang individu tersebut untuk berkembang dan tidak berkurang kualitas hidupnya maupun keluarganya. Fenomena buruh perempuan ini telah menuai banyak persoalan khususnya terkait peran dan fungsi mereka sebagai perempuan itu sendiri. Selanjutnya, dapat kita cermati kembali peran perempuan dalam sektor industri di Indonesia, apakah dengan bekerja menjadi buruh perempuan dapat memenuhi kebutuhan keluarganya atau justru mengurangi kualitas hidupnya?
7
MIFEE,
Papua Menjerit Ditelanjangi untuk Siapa dan Apa?
oleh Muthia Elvina Sari
Papua, Pulau Banjir Investasi Provinsi Papua dan Papua Barat sejak dahulu sudah menjadi pundi-pundi emas bagi pemerintah Indonesia dan investor asing untuk mengeruk keuntungan atas kekayaan sumber daya alam yang dimiliki provinsi paling ujung wilayah Timur Indonesia tersebut. Hal ini dapat dilihat dari realisasi penanaman modal asing di Papua yang mencapai 8,1 % dengan nilai 0,6 milyar US dollar pada Triwulan I 20171. Kekayaan alam Papua membuat banyak kantong tergiur untuk menjadikannya lahan menanamkan investasi diberbagai bidang seperti perkebunan, pertambangan, pertanian, perkinan, dan pariwisata yang saat ini sedang dillirik para investor baik asing maupun dalam negri. Sektorsektor tersebut jika diolah dengan optimal nantinya bisa memberikan manfaat jangka panjang bagi Papua sendiri. Ditengah-tengah kelesuan
perekonomi global pada 2015, investasi di Tanah Cendrawasih ini khususnya Provinsi Papua dan Papua Barat menunjukkan hasil yang menarik. Investasi asing di Papua maupun Papua Barat hingga kuartal III 2015 memang menurun dibandingkan tahun 2014—sebagai cerminan dari perekonomian global yang melemah. Di Papua, total investasi asing mencapai USD 831,4 juta (turun 34%) sedangkan di Papua Barat mencapai USD 136,9 juta (turun 11%). Di sisi lain, total investasi domestik di Papua justru melonjak sangat tinggi, menjadi 995,8 milyar rupiah atau naik 299% dibandingkan dengan tahun 2014. Kendati demikian, total investasi domestik di Papua Barat menurun hingga 40% menjadi 60 milyar rupiah dibandingkan tahun 2014. Di Provinsi Papua, terdapat fenomena menarik dari meningkatnya investasi domestik pada sektor industri makanan (naik 657,8% menjadi 3,5 miliar rupiah), tanaman pangan dan
Badan Koordinasi Penanaman Modal Republik Indonesia, “REALISASI PENANAMAN MODAL PMDN-PMA TRIWULAN I TAHUN 2017� (26 April 2017), 7. 1
8
perkebunan (naik 280,8% menjadi Rp943 miliar) serta listrik, gas, dan air (naik 1218,5% menjadi 22,9 miliar rupiah). Juga terdapat investasi sebesar 26,4 miliar rupiah untuk sektor transportasi, gudang, dan telekomunikasi yang di tahun sebelumnya tidak terjadi. Di Papua Barat, investasi domestik memperlihatkan peningkatan terutama di sektor tanaman pangan dan perkebunan (naik 95,3% menjadi 50,4 miliar rupiah) dan industri kayu (menjadi 8,6 miliar rupiah dari tahun sebelumnya tidak ada). Sedangkan untuk investasi asing, sektor yang mengalami pertumbuhan signifikan adalah pertambangan (naik 438% menjadi USD 8,1 juta), industri makanan (naik 315% menjadi USD 30,1 juta) dan kehutanan (menjadi USD 2,7 juta dari tahun sebelumnya tidak ada).2 Semua proyek kerjasama investasi itu digadang-gadangkan pemerintah untuk keberlangsungan Indonesia kedepannya. Salah satu megaproyek dalam kerjasama investasi yang direncanakan Indonesia pada era kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono adalah Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE).
Megaproyek yang bertujuan untuk menjamin ketahanan pangan Indonesia dalam jangka panjang ini diresmikan oleh Bupati Merauke, John, Gbluba Gebze pada perayaan HUT Kota Merauke ke-108 tanggal 12 Februari 2010.3 Proyek ini dianggap sejalan dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) yang digagas oleh Kabinet Jokowi dimana Papua dipandang sebagai wilayah strategis dan punya sumber daya potensial untuk mewujudkan ketahanan pangan nasional.4 Melihat dari tujuannya untuk mewujudkan ketahanan pangan Indonesia dimasa mendatang melalui pembangunan megaproyek MIFEE, apakah benar pemerintah akan menguntungkan masyarakat Indonesia atau malah menimbulkan masalah yang lebih banyak dan pelik? Mimpi Pemerintah Melalui MIFEE Pemerintah Indonesia Pemerintah Indonesia melalui MIFEE menargetkan pada tahun 2030, jika program ini berjalan dengan baik, Indonesia akan memiliki cadangan pangan seperti 1,95 juta ton beras, 64.000 ekor sapi,
2 Presiden RI. “Menengok Realisasi Investasi di Papua”. 2015. http://presidenri.go.id/program-prioritas-2/menengok-realisasi-investasi-di-papua.html [30/21/2015] diakses pada 12/11/2017. 3 Policy Paper Bina Desa. “MERAUKE INTEGRATED FOOD AND ENERGY ESTATE (MIFEE) Berkah atau Bencana Bagi Rakyat Papua?” (2012), 1. 4 Arnold Belau. “MIFEE dan Ancaman Eksistensial Masyarakat Papua”. 2016. https://suarapapua.com/2016/06/18/mifee-dan-ancaman-eksistensial-masyakarat-papua/ [18/06/2016] diakses pada 12/11/2017.
9
2,5 juta ton gula, 2,02 juta ton jagung, kedelai 167.000 ton, dan 937.000 ton CPO pertahun. Dari target tersebut keuntungan yang diperoleh daerah adalah PDRB perkapita Merauke yang dikisarkan menjadi 124,2 juta pertahun pada 2030. Pemerintah juga bermimpi devisa negara bisa dihemat hingga 4,7 Triliun rupiah melalui pengurangan impor pangan.5 Dalam upaya merealisasikan mimpi indahnya, pemerintah melahirkan payung-payung hukum agar aksinya berjalan dengan lancar seperti UndangUndang (UU) Nomor 27 tahun 2007 tentang Penanaman Modal, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 40 tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah, Peraturan Pemerintah (PP) 26/2008 tentang Rencana Tata Ruang Nasional (RTRWN), Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 2 Tahun 2008 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Pajak dari penggunaan Kawasan Hutan untuk Kepentingan di Luar Kegiatan Kehutanan, Peraturan Pemerintah (PP) No. 24/2010 tentang Penggunaan Kawasan Hutan, Peraturan Pemerintah (PP)
Policy Paper Bina Desa, Op.Cit, hlm. 2. Policy Paper Bina Desa, Ibid, hlm. 2. 7 Admin, “MIFEE diluncurkan kembali, MIFEE diluncurkan kembali, Jokowi ingin bangun 1,2 juta hektare sawah baru dalam 3 tahun!�. 2015. https://awasmifee.potager.org/?p=1210&lang=id diakses pada 11/12/2017. 5 6
10
No 10/2010 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan, Inpres No.5 tahun 2008 tentang Fokus Program Ekonomi tahun 2008-2009 dan Raperda Kabupaten Merauke Tahun 2009 Tentang Merauke Integrated Food and Energy Estate.6 Keoptimisan realisasi ini juga tampak dari kunjungan Jokowi ke Merauke pada Mei 2015, dimana beliau meluncurkan rencana untuk mengkonversi lahan seluas 1,2 juta hektare milik masyarakat adat setempat menjadi sawah dalam waktu tiga tahun. Keseriusan itu terlihat pula pada bulan yang sama, Mentri Pertanian langsung mengadakan pertemuan khusus dengan Pemerintah Merauke untuk mebahas hal tersebut. Hasil akhir dari pertemuan khusus itu mentri meminta pemerintah daerah dapat menyiapkan kerangka acuan kerja program pengembangan 1,2 juta hektar sawah tersebut dalam tiga hari, di mana setiap tahunnya akan dikembangkan 250.000 hektar dan pemerintah pusat menyediakan dana 7 trilyun rupiah tiap semesternya.7 Dilihat dari rencana tersebut, jelas pemerintah sangat ingin mimpinya terealisasikan.
Hanya saja, mereka sepertinya lupa apakah masyarakat Papua setuju dengan megaproyek itu? Apakah pemerintah sendiri lupa bagaimana budaya masyarakat Papua yang bertahan hidup dengan memakan sagu dan bukan nasi? Apakah pemerintah melupakan tradisi masyarakat Timur Indonesia yang bergantung hidup pada hutan dengan cara meramu bukan bertani? Atau pemerintah purapura tidak sadar dengan persoalanpersoalan laten antara pemerintah pusat dengan masyarakat Papua sendiri terkait persoalan diskriminasi, ketertinggalan, dan ketidak adilan yang berakhir pada konflik social-politik dan berakhir kekerasan? Pemerintah sepertinya juga lupa dengan pengalaman Pak De Harto yang gagal menjalankan megaproyek mengubah lahan gambut menjadi lahan pertanian yang akhirnya ditinggalkan tanpa ada kejelasan.8 Pertanyaannya, apakah hak-hak masyarakat Papua untuk meneruskan keberlangsungan hidup dengan adat istiadat dan tata cara yang selama ini mereka pakai harus dimusnahkan untuk mimpi besar Indonesia? Lantas, untuk siapa semua hasil pangan yang
digembar-gemborkan ini? MIFEE, Senjata Pemerintah Membunuh Rakyat Papua Seperti yang diketahui, makanan pokok masyarakat di Merauke adalah sagu. Lahirnya MIFEE dengan format tranformasi lahan berpotensi mengancam keadaan hutan yang selama ini menjadi sumber bahan makanan bagi masyarakat setempat. Hal ini sangat terasa oleh suku-suku di Papua khususnya suku Malind yang juga menjadikan sagu sebagai makanan pokok. Mereka sangat butuh asupan energi dari sagu seperti kita membutuhkan nasi. Dengan ditebangnya hutan-hutan dan diubah menjadi lahan prouktif untuk kelapa sawit dan padi secara tidak langsung pemerintah membuhun rakyat Papua, utamanya suku Malind, dengan mematikan sumber pangannya sendiri, lahan sagu. Penebangan hutan secara tidak langsung juga membawa dampak pada tradisi kehidupan mereka yang selama ini bergantung pada alam dengan cara beruburu dan meramu. Lalu, jika hutan mereka diubah menjadi lahan pertanian, kemana akan
Policy Paper Bina Desa, Op.Cit, hlm. 2.
8
11
mereka cari sagu dan hewanhewan sebagai sumber makanan untuk dikonsumsi? Theo Erro, aktivis Papua, dalam konferensi persnya pada Juni 2014 mengenai MIFEE mengaku keputusan pemerintah menjadikan Merauke lumbung cadangan pangan ini sangat tidak adil bagi suku Malind yang menjadikan hutan sebagai sumber makanan.9 Kenyataan ini juga diperkuat dalam film documenter The Mahuzes karya Dandhy Laksono dimana masyarakat setempat mengaku kehilangan sagu yang mereka jadikan sebagai pangan utama selama ini. Masyarakat juga mengaku tidak diberikan penyuluhan bagaimana cara bertani atau mengolah lahan pertanian oleh pemerintah sehingga mereka terpaksa kembali ke makanan asalnya.10 Dalam opening film documenter tersebut, Dandhy menyuguhkan bagaimana anak-anak Merauke menikmati burung beo hasil tangkapan Ibunya yang langsung dipanggang dengan sangat bahagia. Dari beberapa uraian konkret, kehadiran MIFEE merupakan sebuah potret kekerasan budaya karya mendegrasi lahan
12
hidup masyarakat Papua, dimana lahan sagu ditransformasi menjadi lahan pertanian secara paksa oleh pemerintah. Padahal secara real sagu tidak bisa dipisahkan dalam kehidupan masyarakat setempat. Pemerintah: Peraup Tanah Adat Keputusan pemerintah menjadikan Papua lumbung pangan dan energy dunia berbasis industri dengan membangun 1,2 juta hektar lahan pertanian sepertinya tidak memikirkan adat istiadat yang ada di Timur Indonesia terebut. Dalam film dokumentenya, Dendhy juga menampilkan bagaimana seorang warga suka Mahuze mengatakan bahwa sagu punya hukum alam di Papua, ada hukum rimbanya karna Papua meliki raja sejak dahulu. Bila ada yang menebang sagu maka hukum alam berlaku padanya. Suku Mahuze secara tegas mengatakan tidak akan memberikan tanahnya kepada pemerintah demi mempertahankan adat istiadatnya.11 Protes dan penolakan juga pernah datang dari Dewan Adat Wilayah V, sebagaimana yang diungkapkan oleh Sekretaris Dewas Adat, Johanes Wob, bahwa
9 Ryan Dagur, “Suku asli di Papua tergusur akibat mega proyek MIFEE�. 2014. http://indonesia.ucanews. com/2014/06/12/suku-asli-di-papua-tergusur-akibat-mega-proyek-mifee/ [12/06/2014] diakses pada 11/12/2017. 10 Watchdoc Image. (28 Agustus 2015). The Mahuzes (Full Movie). [Berkas Video]. Diperoleh dari https://www. youtube.com/watch?v=MSVTZSa4oSg diakses pada 11/12/2017. 11 Watchdog Image, Ibid.
kehadiran industry pertanian berpotensi mengancam kelestarian adat masyarakat Merauke. Sering kali dalam proses negosiasi masayarat dalam posisi lemah karna ketidaktahuan peraturan yang diciptakan pemerintah dan investor. Meskipun sudah ada peraturan daerah tentang tanah ulayat yaitu tidak boleh diperjual belikan, namun nyatanya saat ini raturan hektar tanah milik warga terlepas hanya dengan diganti sebuah motor atau motor temple.12 Di sisi lain, Theo dalam konferensi persnya juga mengatakan masyarakat Papua sebenarnya tidak mau memberikan tanahnya pada pemerintah. Namun, intimidasi terus berdatangan kepada mereka melalui apparat yang memaksa masyarkaat untuk melepaskan lahannya. Tak kunjung padam semangat pemerintah dengan penolakan masayarakat Papua, dengan cara memanfaatkan ketertinggalan masyarakat Papua dalam hal baca-tulispun dilakukan. Theo mengaku sering masyarakat yang menolak dijemput kerumah oleh aparat setempat lalu diajak ke hotel untuk menandatangani surat perjanjian. Padahal, masyarakat sendiri tidak tahu apa yang mereka Policy Paper Bina Desa, Op.Cit. hlm. 4 Ryan Dagur, Op.Cit. 14 Policy Paper Bina Desa, Op.Cit. hml. 4. 15 Ryan Dagur, Op.Cit
tanda tangani, yang mereka tahu tanah mereka dipinjam selama 35 tahun dengan biaya ganti rugi sebesar Rp. 2000,- perhektar.13 Padahal dari data yang dikumpulkan oleh LSM Merauke dana ganti rugi seharusnya bernilai milyaran rupiah.14 Sebagai aktivis, Theo merasakan bagaimana megaproyek ini dirancang dengan rapi oleh pemerintah, investor, dan apparat setempat untuk meraup keuntungan yang banyak tanpa memikirkan keadaan rakyat yang menolak tanah adatnya diambil melalui peraturan-peraturan baru tentang perizinan.15 Hal ini mengingatkan kita pada pola manipulasi dan perampasan lahan seperti pada Orde Baru dimana lahan rakyat dirampas melalui cara-cara halus dan kekerasan. Untuk Siapa Industri Ini? Terkait mimpi pemerintah untuk menciptakan lahan pertanian seluas 1,2 juta hektar di Merauke sepertinya tidak relevan dengan kenyataan yang ada. Sawah pertama di Papua dicetak Belanda pada tahun 1954 dengan luas 96 hektar, pada tahun 2014 ada 43.000
12 13
13
hektare sawah di Merauke dimana butuh waktu 60 tahun untuk sampai pada angka 43.000 hektar. Apakah wacana 1,2 hektar dalam tiga tahun itu realistis? Lalu, pada pidatonya Mei 2015 di Merauke, Presiden Jokowi mengatakan bahwa 1,2 juta hektar lahan rakyat siap untuk dikerjakan dan membutuhkan anggaran triliyunan. Oleh sebab itu, negara akan bekerja sama dengan investor. BUMN dan investor akan datang membawa uang, traktor, benih, dan lainnya untuk keperluan pembangunan lahan.16 Pertanyaannya, apakah masyarakat Papua diuntungkan dalam hal ini dan mengapa pembangunan industri pangan diberatkan pada satu daerah, dimana daerah tersebut juga minim dalam hal pendidikan? Lalu, untuk siapa proyek ini? D i b a n d i n g k a n pemerintahan sebelumnya, sepertinya pemerintahan saat ini lebih mempercayai investor dalam hal pengembangan lahan pertanian dimana tidak lagi melibatkan rumah tangga tani yang tersebar diberbagai wilayah Indonesia. Dalam Program Swasembada Pangan di rezim Soeharto, rumah
tangga tani sangat berpengaruh besar sehingga dapat mendongkrak pertumbuhan pangan di Indonesia dan berhasil mengurangi jumlah penduduk miskin. Namun, saat Program Sejuta Lahan yang juga digagas Soeharto di Kalimantan dikelola oleh Pemerintah Pusat dan para investor dengan modal yang cukup besar, megaproyek tersebut gagal dan tidak ada kabar sama sekali. Seperti dijelaskan sebelumnya, MIFEE berawal pada era Susilo Bambang Yudhoyono dimana rencana investasi sudah dimulai sejak tahun 2008. Pada tahun 2008 Saudi Bin Laden group merencanakan investasi sebesar US$4 milyar untuk mengembangkan 500.000 ha lahan padi di Merauke dalam rangka memenuhi kebutuhan pangan di Arab Saudi.Dilihat dari hal ini, tentu orientasi pengembangan lahan ini adalah untuk diekspor ke luar negri. Namun, rencana investasi ini kemudian gagal karena pada tahun 2009 terjadi global financial downturn.17 Pada tahun 2008, MIFEE ini direncanakan akan melibatkan 36 investor yang akan berinvestasi. Pada 2010 dilakukan seremonial
17 Admin, “MIFEE dan Mimpi Swasembada Pangan�. 2015. http://kedaulatanpangan. net/2015/07/mifee-dan-mimpi-swasembada-pangan/ [28 Juli 2015] diakses pada 11/12/2017.
14
pilot project Medco di Serapu. Melalui PP No 26/2008, Perpres 5/2008, PP No 18/2010 direncanakan ada 1,23 juta ha yang akan dikembangkan. Dari luas ini direncanakan 50% diperuntukan untuk tanaman pangan, 30% untuk tebu, dan 20% untuk sawit. Dari MIFFE ini diharapkan diproduksi 1,95 juta ton beras, 2,02 juta ton jagung, 167.000 ton kedelai, 64.000 sapi, 2,5 juta ton gula, dan 937.000 ton minyak sawit per tahun. MIFEE masih dilanjutkan pada era Jokowi. Pemerintahan merencanakan membuka lahan sekurangnya 1 juta ha untuk pengembangan estate padi. Dengan adanya estate ini pemerintah menargetkan terjadi peningkatan produksi beras nasional. Tak hanya swasembada yang dimimpikan bahkan akan melakukan ekspor beras.18 Untuk menjawab pertanyaan untuk siapa MIFEE ini dikembangkan kita lihat kenyataan yang mucul. Pertama, MIFEE dilakukan untuk mendorong sawasembada sepertinya hanya kampulase. Mengapa? Karena pada saat ini padi yang sudah mulai berproduksi lebih banyak ditanami padi yang mampu menghasilkan beras premium yang memiliki nilai
jual tinggi dibandingkan beras biasanya.19 Beras ini biasanya dipasarkan di pasar internasional. Dalam hal ini, bisa saja beras yang diporduksi lebih banyak digunakan untuk kebutuhan ekspor. Kedua, desain awal konsep MIFEE akan dikembangkan dengan proporsi utama pada pengembangan pangan (50%), tebu (30%) dan sawit (20%). Namun apa yang terjadi sejak tahun 2008 hingga sekarang justru pangan menjadi proporsi terkecil. Saat ini pengembangan pangan yang terdiri dari padi, jagung dan tanaman pangan lainnya masing-masing 2,9% 8,8% dan 5,9%. Sementara yang terbesar adalah Sawit (32,4%) dan HTI (29,4%).20 Ketiga, pemilihan tempat pembangunan lahan di Papua yang sangat kontradiktif antara kenyataan dan realita. Megaproyek MIFEE yang bertujuan untuk membangun swasembada pangan dengan lahan pertanian sangat tidak relevan dengan realitas yang ada. Jika benar proyek ini dibangun untuk kepentingan rakyat, seharusnya pemerintah tidak menghilangkan sumber pangan masyarakat setempat. Pemerintah mengambil paksa lahan, menebang
Admin, Ibid. Admin, Ibid. 20 Admin, Ibid. 18
19
15
pendidikan hanya dijadikan buruh. Hal ini sama saja menjajah kembali Papua ditanahnya sendiri, dan oleh negaranya sendiri. Jika demikian, megaproyek yang digadanggadangkan pemerintah sebagai cadangan pangan Indonesia pada tahun 2030 ini untuk melayani kepentingan siapa dan apa? Belajar dari proyek lahan gambut sejuta hektare dahulu bisa jadi ujung ceritanya akan sama. Masih dengan mudah kita ingat dua tahun setelah proyek lahan gambut sejuta hektare berjalan (atau 1998) sawah tak hutan dan pohon-pohon sagu kunjung terealisasi yang terjadi untuk menanam tanaman- justru kita kehilangan 56 juta m3 tanaman yang lagu dipasaran kayu. *** internasional. Proyek ini ditujukan untuk mengurangi devisa negara dengan cara membiarkan rakyat Papua kelaparan. Apakah ini yang dinamakan untuk kepentingan rakyat? Keempat, pemerintah juga merencanakan mendatangkan pekerja dari luar Papua untuk menjalankan megaproyek ini dan tidak melibatkan masyarakat Papua di tanahnya sendiri. Jika benar untuk kepentingan negara dan masyarakat umum seharusnya pemerintah mengikutsertakan rakyat Papua dalam pengembangan lahan pangan ini. Kenyataannya, rakyat Papua yang tertinggal dalam 16
Dialektika Bangsa untuk Pembangunan yang Terarah dan Demokratis Oleh: Ahmad Shidqi Mukhtasor Indonesia adalah entitas yang lahir dari keberagaman ideologi dan budaya yang ada di bumi nusantara. Karena keberagaman tersebut, Indonesia menganut falsafah khusus dalam menentukan arah gerak negara yang mampu mengakomodir segala jenis ideologi yang hadir dalam semangat perjuangan kemerdekaan dan diskursus publik yang ada pada kala itu, yakni Pancasila. Negara Indonesia dan falsafah Pancasila tidaklah lahir secara aklamasi ataupun dari represi kekuatan politik tertentu, melainkan ia lahir dari adanya dialog para intelektual bangsa yang turut andil secara langsung dalam upaya kemerdekaan secara demokratis. Ia adalah buah yang manis, segar, bergizi, tumbuh dari musyawarah, dan merupakan budaya yang membumi dalam mewujudkan demokrasi di Indonesia pada masa itu. Maka karenanya, tidak dapat dipungkiri bahwa Indonesia adalah milik seluruh ideologi yang terlibat dalam semangat kemerdekaan, dan setiap anak bangsa berhak untuk turut andil membangun Indonesia
dengan asas-asas yang dianut dalam ideologinya masing-masing dengan musyawarah bersama segenap saudara setanah air dengan ideologi yang berbeda pula. Saat gerakan-gerakan perubahan berkekuatan basis ideologi yang beragam telah mampu menggenggam kembali kedaulatan bangsa Indonesia, maka yang menjadi persoalan baru adalah asas-asas yang mendominasi pembentukkan undang-undang dan kebijakan, terlepas Pancasila telah disepakati bersama. Mohammad Natsir sempat akan mencanangkan Islam sebagai dasar negara, D. N. Aidit juga menghendaki Indonesia menjadi negara komunis. Persaingan untuk berebut pengaruh terjadi lewat parlemen dan gagasan-gagasan di media. Namun, semua perdebatan berlangsung dengan etika intelektual dan negarawan yang amat berkelas. . Gagasan dibantah dengan gagasan, antitesis untuk setiap tesis, tidak ada sentimen personal yang dibawa dalam segala perdebatan yang ada. Kobaran api yang memanas di setiap perdebatan 17
dalam parlemen dan media akan kembali surut di luar ruangan dengan gelagak tawa dan perbincangan hangat sebagai saudara setanah air. Terlepas Buya Hamka dipenjarakan oleh Soekarno, Buya Hamka memahami sikap yang diambil oleh kawannya itu, dan tetap berhendak menjadi imam untuk solat jenazah Soekarno. Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII) di bawah kepemimpinan Mohammad Natsir memberikan berbagai jenis bantuan kepada eks tapol PKI yang ada di Pulau Buru, membuktikan sikap para negarawan kita yang saling menghormati demokrasi, nilai ketuhanan, dan nilai kemanusiaan terlepas perbedaan paham ideologi dan arah harapan pembangunan negara Indonesia. Contoh teladan sebagai negarawan yang patut dihormati bermekaran pada tokoh-tokoh kemerdekaan pada awal era kemerdekaan Indonesia, yang kemudian sirna saat Soeharto memegang tampuk kekuasaan. Sikap-sikap yang diambil Soeharto dalam menentukan arah pembangunan bangsa seringkali tidaklah sesuai dengan nilai demokrasi, ketuhanan, dan kemanusiaan yang dijunjung tinggi sebagai semangat kemerdekaan. 18
Upaya penghapusan PKI dan simpatisannya dengan genosida, pembubaran Masyumi, adalah contoh konkrit sebagai alasan kuat untuk mengecam Soeharto dalam perihal kemanusiaan, nilai ketuhanan, dan demokrasi. Citra tersebut dibuktikan sendiri oleh pemerintahan Soeharto yang menekan MPRS untuk membuat TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 yang berisikan tentang pelarangan penyebaran dan pengembangan paham Komunisme/MarxismeLeninisme. Terlepas penulis tidak sepenuhnya sepakat dengan apa yang dibawakan oleh ideologi Komunisme, penulis menilai bahwa pembentukkan TAP MPRS tersebut adalah sikap yang salah, karena menyalahi nilai demokrasi yang menjadi salah satu nilai utama dalam pembentukkan negara Indonesia dan mengesampingkan peran gerakan komunis dalam upaya kemerdekaan. Hal yang menjadi masalah dari pembentukkan TAP MPRS itu ialah pada akhirnya ketetapan tersebut akan digunakan sebagai pasal karet yang mampu menjerat segala diskursus ilmiah akan ideologi tersebut atau ideologi dalam lingkup spektrum kiri. Itu artinya ketetapan tersebut adalah
bentuk kemunduran bangsa Indonesia sebagai bangsa yang akademis dan demokratis; kecuali apabila kita memang tidak menghendaki bangsa Indonesia menjadi bangsa yang maju, maka tidak perlu ada kritik terhadap TAP MPRS tersebut. Sikap represif yang diambil pemerintahan Soeharto justru menimbulkan bias akan hakikat komunisme y a n g s e b e n a r ny a . B a n g s a Indonesia pada akhirnya dihalangi u n t u k mengenal komunisme terhadap g a g a s a n apa yang sebenarnya dibawakan, apa yang baik dari komunisme, dan apa yang buruk pula dari komunisme, dengan cara yang dialektis; bukan melalui propaganda politis sebagaimana film G30S/ PKI yang diputar berulang kali. Karena, yang membuka diskursus ilmiah akan komunisme akan diperlakukan tidak manusiawi, bangsa Indonesia akhirnya ketakutan untuk menyampaikan pendapat dan pandangannya
terhadap negara yang bisa dikaitkan dengan ideologi kiri. Akibatnya, tidak ada kontrol yang keras terhadap kebijakan-kebijakan ekonomi pemerintahan Soeharto yang berbau neoliberal, di mana ia bertentangan keras dengan prinsip kiri dan kesejahteraan rakyat kecil. Sekarang, pemerintah mengambil pola sikap yang mampu disandingkan kemiripannya d e n g a n pemerintahan Soeharto. Hal ini dibuktikan d a l a m sikapnya terhadap ormas Islam bernama Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), yang dibubarkan tanpa proses pengadilan. Terdapat pula nota kesepahaman antara TNI dan Polri akan turut andilnya TNI dalam upaya “penertiban� unjuk rasa, yang bisa dinilai mampu membawa arah bangsa Indonesia kembali sebagaimana pada rezim Soeharto. Sikap para elit politik dalam berupaya merebut kekuasaan dan mempertahankan kekuasaan juga berputar pada cara-cara sentimental dengan memainkan 19
politik identitas sebagai teknik utamanya. Karena pola berpikir yang mudah menghakimi dan memojokkan, diskursus publik yang dialektis tidak mampu terwujud. Akibatnya, kritik-kritik sehat dan solusi yang konkrit untuk kebijakan pembangunan Indonesia terhambat perkembangannya. Oleh karena itu, penting bagi pemuda para pewaris masa depan bangsa Indonesia untuk mampu berdewasa dalam menghadapi ideologi dan gerakan yang berlawanan dengan apa yang tiap individu anut. Bilamana dirasa apa yang diucapkan oleh seseorang adalah sesuatu yang tidak sesuai dengan arah pembangunan bangsa, maka sampaikanlah kritik yang komprehensif dan dengan etika dialektika yang dewasa. Ini telah diajarkan dalam Islam di Q.S An-Nahl ayat 125 yang berbunyi, �Serulah (manusia) ke jalan Rabbmu dengan hikmah dan penuh nasehat yang baik, dan debatlah mereka dengan cara yang baik.� Serta dalam mengungkapkan pendapat dan kritik yang baik, diperlukan kapasitas intelektual yang mumpuni.
20
Maka, pr bangsa kita kali ini dalam menghadapi sikap-sikap nondemokratis ialah mendewasa sebagai bangsa dengan menghargai lawan bicara menggunakan argumen-argumen dialektis, membaca kembali sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia, mematangkan pemahaman akan ideologi yang dianut, dan membuka diskursus publik seluas-luasnya untuk pembangunan Indonesia demi mewujudkan bangsa yang lebih sejahtera. Semoga Indonesia segera kembali menjadi rumah bagi seluruh kelompok masyarakat di Indonesia, dan arah pembangunan pemerintahan Indonesia menjadi lebih jelas bagi bangsa dan mampu mewujudkan kesejahteraan yang menyeluruh.
Melawan Pembangunan Konsumeristik Budaya Populer bersama Adorno oleh Fathurrahman A.
Theodor W. Adorno tidak memulai perlawanan terhadap budaya populer— yang kemudian menjadi konsep utama di dalam pembangunan modern dengan citra dan imajinya—dengan tiba-tiba. Ibunya adalah seorang penyanyi handal dan ayahnya adalah seorang pedagang wine sukses. Tidak terlalu ekstrim jika kita mengatakan bakat musik ibu Adorno diturunkan dengan sengaja kepada Adorno. Awalnya, Adorno seperti ditakdirkan untuk berkarir di bidang permusikan, karena pada masa kanakkanak, ia sudah menunjukkan bakatnya bermain Piano. Namun, ia lebih memilih untuk mengajar di Universitas Frankfurt meskipun musik dan kebudayaan tetap menjadi fokus perhatiannya. Ia memilih menjadi pengajar karena ia melihat bahwa manusia modern, yang sudah dieksploitasi habis-habisan oleh kapitalisme, juga mengambil hak-hak estetis yang manusia miliki. Budaya populer lebih memanjakan pisau analisis Adorno
dalam melihat fenomena. Klaim Adorno tentang budaya popular—musik jazz swing, lagu-lagu dan filmfilm bioskop popular—yang mengukuhkan kapitalisme, memanipulasi pemikiran masyarakat bahwa mereka sebenarnya terjebak di dalam pilihan semu, yang mempunyai tujuan akhir hanya untuk meregenerasi hasrat kita. Menurut Adorno, budaya populer tidak semata-mata ada karena keinginan masyarakat, tetapi dibuat dan dibentuk berdasarkan industri berbasis akumulasi profit. Dengan kata lain, industri berbasis profit merampas kebebasan kita untuk mengalami pengalaman estetis secara menyeluruh dan hanya menikmati citra-citra keindahan yang terpisah. S e b e l u m membahas tentang apa yang dimaksud ‘budaya populer’ menurutnya, Adorno mencurigai ada permasalahan yang bersifat epistemis. Adorno dan rekan karibnya, Horkheimer, mencoba melihat 21
permasalahan dari gerakan modernis yang dibawakan dengan narasi abad ‘pencerahan’. Bagaimana bisa sebuah masyarakat modern, dengan obat-obatan yang lebih efektif dan efisien, sains yang mencerahkan, industri yang menyejahterakan masyarakat, yang menjanjikan pembebasan manusia dengan kemajuannya tersebut, malah menjadi semakin asing bagi manusia dan malah dikembangkan untuk mengamini genosida oleh ideologi fasis? Menurut mereka, rasionalitas telah menjadi irasional. Hal tersebut membuat Adorno membawa Marxisme menjadi lebih radikal. Ia sepakat dengan analisis komoditas dari Marx, namun ia masih belum puas dengan penjabaran Marx soal fetisisme komoditas. Menurutnya, harus ada suatu penjabaran khusus untuk komoditas-komoditas ini berelasi dengan manusia, salah satunya adalah peran sosial dan media yang mendukung hal tersebut. Mendalami Adorno tidak melulu menjadi snob: sebutan untuk orang-orang yang tidak suka dengan budaya populer dan lebih memilih karya estetik yang ‘tinggi’ dan berlawanan dengan arus utama. Respons tersebut adalah respons yang banal, di mana kita 22
melihat Adorno, bukan sebagai pengkritik seni dan sistem sosial, namun sebagai sosok yang tidak menyukai budaya massa yang terlampau ‘rendahan’. Sebaliknya, yang kita harus lihat adalah kritiknya yang menyasar ke dalam dua pihak, yang pertama adalah budaya populer yang dikonsumsi terus menerus, dan yang kedua adalah budaya tinggi feudal-borjuis yang dirindukan. Kedua hal tersebut, terutama masuknya budaya populer, jelas, menjadi titik sentral dari pembangunan modern. Bagaimana tidak, contohnya saja, kita seringkali melihat bahwa pembangunan modern di perkotaan ditandai dengan pembangunan franchise fast food impor. Jika di kotamu belum terdapat mall, maka kotamu masih kurang pembangunan. Jika kamu belum mempunyai akses internet yang memadai sehingga kamu tidak bisa melihat musikmusik yang sedang bertengger di Billboards, jelas kotamu adalah kota yang tertinggal. Belum lagi soal kritik kaum kelas menengah yang menyasar kaum alay karena kurang ‘hip’ dan populer karena sering kali mempertontonkan ‘kecabulan’ dari hal-hal yang
disebut populer oleh kaum kelas menengah perkotaan. Acap kali kita melihat sesuatu yang disebutkan di atas. Menurut Adorno, dua hal tersebut, budaya populer dan budaya tinggi, adalah representasi budaya yang buruk juga berbahaya; dalam artian ia menghalangi kebebasan estetis manusia. Budaya populer kemudian menghasilkan guilty pleasure, sesuatu yang kita sebenarnya suka, namun karena menyukai hal tersebut kita menjadi ‘bersalah’. Perasaan-perasaan bersalah ini tidak serta merta ada. Menyukai sesuatu yang berbau guilty melepaskan hasrat kita yang sebelumnya dituntut untuk menyukai yang seharusnya, sesuai dengan kesadaran dan jati diri indrawi. Hal tersebut, menurut Adorno, adalah dua kejahatan.
Yang pertama, sebagai makhluk estetis, manusia tidak bisa menikmati seni yang sesungguhnya (karena rasa bersalah), dan kedua, sebagai makhluk moralis, karena tidak bisa bebas (kekangan ‘populer’). Kemudian, kita bisa melihat bahwa konsumerisme berperan penting dalam membentuk masyarakat, terutama segmentasi pasar individu-individu yang berada di dalamnya. Baudrillard mengemukakan bahwa apa yang membentuk masyarakat adalah apa yang dikonsumsi. Jika melihat kembali apa yang disampaikan oleh Adorno, apa yang masyarakat modern konsumsi dan yang ditampilkan dalam citra-citra di media (koran, surel, iklan-iklan di media sosial) adalah sesuatu yang bersifat populer.
23
Ini menjadikan konsumerisme—yang menjadi sentral dari pemikiran kapitalistik lanjut—adalah tentang bagaimana caranya menjadikan suatu citra kebudayaan menjadi layak jual, termasuk selera-selera yang dimiliki oleh individu. Kapitalisme lanjut tidak hanya berdampak pada eksploitasi yang terus menerus, namun sampai kepada alienasi, terutama alienasi terhadap perasaan estetis yang murni. Salah satu contoh kecil dalam pengalaman estetis yang terurai adalah lagu populer, sebut saja What do You Mean? yang dipopulerkan oleh Justin Bieber. Proses pengulangan, dari hook, menuju chorus, lalu kembali ke hook atau langsung bridge, menunjukkan bahwa lagu tersebut dirancang sedemikian rupa untuk kenikmatan yang dialami berulang kali. Tidak hanya satu lagunya saja, 24
ketika kita mengambil satu chorus atau bridge, kita bisa mendapatkan pengalaman estetis yang sama tanpa kehilangan satupun makna. Menurut Adorno, hal tersebut menghalangi seorang individu mendapatkan pengalaman estetis yang seutuhnya—karya seni yang seharusnya tidak boleh lepas dari konteks, tanpa kompromi, kualifikasi yang tidak dapat ditebak, cair, dan memiliki struktur yang begitu rumit yang kemudian dikembangkan dalam waktu yang begitu lama. Lahirnya industri-industri budaya seperti musik, film, fesyen, media, olahraga, literature, atau bahkan videogame seolaholah memfokuskan kita hanya pada bagian-bagian tertentu, scene-scene tertentu, interval musik tertentu, gambar-gambar potongan yang tak utuh dalam waktu dan konten, serta merta menumpulkan kemampuan dan kemauan individu dalam menghayati suatu konten kebudayaan sebagai objek yang holistik dan kompleks. Ini yang menjadikan masyarakat konsumerisme dalam moda produksi kapitalisme lanjut kehilangan kemampuan untuk melakukan hal-hal yang bebas. Mengutip dari Guy Debord, salah
satu tokoh dalam gerakan Situasionisme, masyarakat hanya menjadi pion-pion pasif yang hanya menerima citra-citra yang ada, yang dari sananya mereka terperangkap dalam pilihan semu. Dengan kata lain, konsumen sekaligus produsen yang hidup sekarang adalah orang yang tidak mempunyai imajinasi dan spontanitas. Pembangunan yang ada adalah hasil dari imajiimaji yang sebelumnya sudah ada di dunia dan manusia hanya berputar di dalam lingkaran-lingkaran itu saja. Yang salah dari budaya populer, menurut Adorno, bukan terhadap bagaimana dirinya mereproduksi produk kebudayaan yang mudah untuk diakses untuk dinikmati. Akan tetapi, budaya populer salah karena ia menjanjikan kenikmatan estetis dan ia tidak bisa menyampaikannya. Adorno menuliskan di dalam esainya Work and Pleasure: “Pleasure when equally isolated from the “serious” content of life, becomes silly, meaningless and sheer “entertainment” and ultimately it is a mere means of reproducing one’s working capacity, whereas the real substance of any non-utilitarian activity lies in the way it faces and sublimates reality problems: res severa verum gaudium
[true joy is a serious thing]. (Kesenangan yang diasingkan dari konten ‘serius’ di dalam kehidupan sehari-hari, menjadi sesuatu yang memalukan, tidak ada artinya, dan hanya hiburan dangkan dan pada akhirnya menjadi proses reproduksi dari kapasitas seseorang sendiri dalam melakukan pekerjaanya, padahal substansi yang nyata dari aktivitas non-utilitarian berada pada bagaimana ia menghadapi dan menyembunyikan permasalahan realita: kebahagiaan yang sebenarbenarnya bahagia menjadi hal yang serius.” Hal tersebut berujung kepada pertanyaan sebelumnya: bagaimana kita bisa melawan konsumerisme pembangunan budaya populer? Ia tidak menjawab dengan pasti jawabannya. Namun, Adorno jelas membuka pemahaman baru terkait budaya popular—ia adalah salah satu subjek utama dalam kapitalisme lanjut karena pembangunan modern memerlukan nilai-nilai dan citra-citra tertentu dalam mengakumulasi modal.
25
Daftar Pustaka Adorno, T. W., & Horkheimer, M. (1972). Dialectics of Enlightenment. New York: The Seabury Press. Adorno, T. W. (2005). Minima Moralia: Reflections From Damaged Life. Verso Books. Adorno, T. W. (2001). The Culture Industry: Selected Essays on Mass Culture. Routledge Classics. Debord, G. (1970). Society of the Spectacle. Detroit: Black & Red Translation. Adorno, T. W. (2001). Work and Pleasure. The Stars Down to Earth and Other Essays on the Irrational in Culture.
26
KETIKA KATA MENJADI PERISTIWA CANTIK ITU LUKA?
Namun, setelah saya membuka halaman pertama yang berisi tentang bangkitnya Dewi Ayu dari kuburnya menghasilkan sebuah tanda tanya besar didalam benak saya. Kisah seperti apakah yang dihadirkan pada novel ini? Kisah mistis , roman, folklore, surealis atau kisah perjuangan? Atau apa? Dan setelah berhadapan dengan pertanyaan besar tersebut, saya tahu novel ini menawarkan cerita yang tidak biasa, sulit diterka dan saya terus dihantui rasa penasaran dalam setiap cerita Sore hari di akhir pekan yang tertulis di dalamnya. bulan Maret, Dewi Ayu bangkit dari kuburan setelah dua puluh satu tahun kematian. Kuburan tua itu bergoyang, retak, dan tanahnya berhamburan bagaikan ditiup angin dari bawah, yang menimbulkan badai dan gempa kecil dengan rumput dan nisan melayang dan di balik hujan tanah yang bagaikan tirai itu sosok perempuan tua berdiri dengan sikap jengkel yang kikuk, masih terbungkus kain kafan seolah mereka dikubur semalam saja. (hal 1-2). Vulgar, sarkas, dan bejat. Begitulah yang terlintas dipikiran saya mengenai isi novel Cantik Itu Luka setelah membaca penjelasan singkat pada sampul belakang. 27
Adegan Dewi Ayu yang merupakan seorang pelacur terkemuka di Halimunda bangkit dari kubur menjadi pembuka rangkaian kisah ini. Bangkitnya sang pujaan hati setiap suami di daerah tersebut, yang nyaris semua pernah ia tiduri, membuat histeris masyarakat yang mengetahuinya. Dewi Ayu sendiri langsung teringat pada 21 tahun lalu saat ia baru saja melahirkan anak perempuan, yang diberi nama Si Cantik, walaupun ia sendiri belum melihat seperti apa paras bayinya. Setelah Dewi Ayu sampai, ia mendapati seorang perempuan buruk rupa dengan kulit hitam legam, dan hidung seperti colokan listrik yang tidak lain adalah anaknya sendiri, sedang duduk di teras rumahnya. Kaget bercampur bangga, itulah yang dirasakannya. Kaget karena tak mengira anaknya bisa memiliki wajah seburuk rupa itu. Bangga, karena apa yang ia harapkan, persis sebagaimana yang ia inginkan. Sampai-sampai ia ingin sekali berlari naik ke atap rumah dan menari untuk merayakannya.
28
Kembali menjadi hidup dan menetap di rumahnya bersama Si Cantik dan Rosinah, membuat ia mengenal sedikit tentang anaknya tersebut. Namun, lambat laun Dewi Ayu mulai merasakan keganjilan-keganjilan terhadap Si Cantik buruk muka itu. Sering kali ia mendengar suara gaduh dari kamar Si Cantik. Dewi Ayu tahu bahwa anak bungsunya itu sedang bercinta namun tidak pernah terlacak siapa pasangannya. Akhirnya Si Cantik hamil. Kejadian tersebut langsung membuat Dewi Ayu mengingat kembali kisahnya sebelum mati. Dengan berlatar belakang sejarah, cerita Cinta Itu Luka dimulai dari periode waktu saat Belanda masih menjajah di Indonesia khususnya di kota Halimunda. Saat pendudukan Jepang, munculnya orang-orang komunis, pembantaian komunis, saat Indonesia merdeka, dan beberapa saat setelah itu. Eka bercerita tentang kehidupan masyarakat Indonesia yang
tertindas pada maa itu. Masyarakat dibentuk sebagai orang-orang yang patut berada pada posisi marjinal. Masyarakat marjinal merasa diri paling rendah dan merasa lemah dihadapan penjajah. Secara umum novel ini membahas kondisi subaltern yang harus menanggung penderitaan yang berkepanjangan atas kelemahan mereka yang terkondisi. Selama ini hubungan antara penjajah-terjajah (atau bekas jajahan) adalah hubungan yang bersifat hegemonik, penjajah sebagai kelompok superior dibanding pihak terjajah yang inferior (Gandhi, 2006: vi) Subaltern yang dimaksudkan dalam hal ini adalah pihak yang terjajah. Yang dimaksud Spivak dengan ‘subaltern’ adalah subjek yang tertekan, para anggota ‘klas-klas subaltern’-nya Antonio Gramsci, atau secara lebih umum, mereka yang berada di tingkat inferior (Gandhi, 2006: 1). Secara umum subaltern di Indonesia adalah masyarakat Indonesia itu sendiri. Kemudian, dengan adanya kolonialisme itu, dampak yang timbul tidak hanya kerusakan pada material semata, tetapi juga degradasi mentalitas.
Kebobrokan jiwa dan moral manusia akibat latar dan jalan sejarah kehidupan mereka yang ”sakit” adalah gambaran novel ini. Bermula dari perbuatan kakek mereka, Ted Stammler, yang merupakan asli Belanda, merebut kekasih Ma Gedik, yakni Ma Iyang untuk dijadikan gundik. Memang, di era Belanda berkuasa, banyak lakilaki Belanda yang mempunyai gundik. Kesemena-menaan Ted Stammler itu lantas membuat Ma Gedik dalam novel CIL ini mengalami hidup yang dramatis. Cinta dua anak manusia tersebut berakhir mengenaskan. Tak ayal ia menebar kutukan jahat setelah kematiannya, menghancurkan keturunan Ted Stammler. CIL tidak hanya menyuguhkan sejarah, namun di dalamnya terdapat juga nuansa mistis, cinta, kekonyolan, dan lain sebagainya. Ada banyak tokoh dalam novel Cantik itu Luka yang ditampilkan oleh Eka. Hampir seluruhnya masih berkait dengan hubungan keluarga. CIL menampilkan sebuah keluarga dalam tiga generasi. Generasi
29
pertama adalah generasi Ma Gedik dan Ma Iyang yang kemudian memunculkan tokoh sentral Dewi Ayu sebagai cucu Ma Iyang, generasi kedua adalah generasi Dewi Ayu dengan segala permasalahan yang dihadapi, dan ketiga adalah generasi puteri-puteri Dewi Ayu, yaitu Alamanda, Adinda, Maya Dewi, dan Si Cantik. Meskipun tokoh sentral dalam cerita adalah Dewi Ayu, Eka Kurniawan mampu menceritakan keseluruhan tokoh secara detil dan memiliki porsi dalam menyusun kisah. Tidak melulu menggunakan sudut pandang sang pemeran utama. Penggambaran yang dituliskan Eka membuat saya merasa benar-benar mengenal tokoh. Di dalam cerita CIL, Eka sukses memilih tokoh perempuan pelacur yang bangkit dari kubur sebagai pintu masuk sekaligus sebagai kerangka utama dalam kisah. Kesulitan menciptakan karakter bringas Dewi Ayu pada jamannya, tanpa terjebak stereotipe dan bias patriarki, diselesaikan dengan membangkitkannya dari kubur. Selain itu, Eka mampu memunculkan perilaku atau permasalahan sosial yang berbeda pada setiap periode waktunya. 30
Begitulah segalanya terjadi, hingga suatu malam Ma Iyang dijemput sebuah kereta kuda, didandani bagai penari sintren, begitu cantik namun menyakitkan. Ma Gedik yang selalu terlambat mendengar apa pun berlari sepanjang pantai mengejar kereta kuda itu, dan ketika ia mencapainya, ia berlari di samping kereta sambil berseru, bertanya pada si gadis cantik yang duduk di belakang kusir.
“Ke mana kau pergi?” “Ke rumah Tuan Belanda.” “Untuk apa? Kau tak perlu jadi jongos orang Belanda.” “Memang tidak,” kata si gadis. Aku jadi gundik. Kelak kau panggil aku Nyai Iyang.” (Kurniawan, 2006: 33).
Pergundikan zaman Belanda sangat wajar. Bermula adanya fenomena penyakit sipilis yang menjangkiti perempuan pelacur di rumah-rumah pelacuran. Karena itu, orangorang Belanda yang menyukai dan terbiasa pergi ke tempat pelacuran akhirnya memilih mengambil seorang pelacur untuk dipelihara dan dijadikan isteri yang tidak sah atau gundik. Dan kebiasaan itu berlanjut hingga akhirnya banyak orang Belanda melakukan hal itu. Zaman Jepang tidak jauh berbeda dengan Zaman Belanda. Tentara-tentara Jepang selalu mencari perempuan-perempuan untuk memuaskan nafsu mereka. Perempuan-perempuan yang ditawan tentara Jepang menjadi sasaran mereka dan dijadikan sebagai seorang pelacur.
“Aku sudah memeriksa semuanya,” kata Dewi Ayu. “Tak ada tempat untuk meloloskan diri.” “Kita akan jadi pelacur!” teriak Ola sambil duduk dan menangis. “Lebih buruk dari itu,” kata Dewi Ayu lagi. “Tampaknya kita tak akan dibayar.” (Kurniawan, 2006: 95). Pada zaman inilah yang berpengaruh pada kehidupan Dewi Ayu seterusnya. Kekejaman tentara Jepang yang menjadikan Dewi Ayu pelacur membuatnya memutuskan pelacur sebagai profesinya seumur hidup. Latar sosial yang diceritakan dalam novel CIL setelah tidak adanya tentaratentara Jepang adalah kemunculan orang-orang Komunis. Itu waktu-waktu yang sangat sibuk untuk Kamerad Kliwon. Selain pengorganisiran dan propaganda, ia juga mulai mengajar di sekolah partai, memberi kursus-kursus politik untuk kader-kader baru, sementara ia juga masih pergi ke laut dan mengurusi serikat nelayan. Tapi, tampaknya ia begitu menikmati aktivitasnya hingga ketika partai kembali menawarinya sekolah, kali ini ke Moskow, ia menolaknya dan 31
memilih untuk tetap berada di Halimunda (Kurniawan, 2006: 301). Ada ketakutan-ketakutan yang mendera masyarakat tentang isu komunis yang tidak baik: Taman bacaan Kamerad Kliwon akhirnya harus ditutup. Diamdiam ada sedikit orang yang mengembuskan angin busuk tak enak yang mengatakan bahwa ia meracuni anak-anak sekolah dengan bacaan tak bermutu, mesum, dan tak mendidik. Orang-orang itu mulai menghubungkannya dengan aktivitasnya di masa lalu sebagai seorang komunis legendaris (Kurniawan, 2006: 301). Latar sosial yang terakhir adalah saat kehidupan di Halimunda sudah aman dari penjajah dan damai. Kamerad Kliwon yang merupakan seorang mantan komunis menjadi pemburu burung wallet, dan kemudian berbisnis celana kolor pantai. Sedangkan Shodancho, mantan seorang gerilyawan, mempunyai pabrik es batu dan kapal penangkap ikan. Eka membawa saya ke mana-mana. Penulis membuat saya bingung dalam memahami cerita seakan-akan tanpa mempertimbangkan logika dan 32
fakta sejarah. Absurditas yang tak masuk akal. Misalnya tentang kebangkitan Dewi Ayu yang telah mati selama dua puluh satu tahun. Sungguh membingungkan. Di dalamnya Eka juga mengumbar kata-kata jorok, tak senonoh, dan terlalu berani. Namun begitulah Eka. Gaya penulisannya tidak berubah dari masa ke masa. Sederhana tapi enak dibaca. Kevulgarannya juga “awet� dipertahankan. Semua ditulis secara jelas, lugas. tanpa tedeng aling-aling. Eka selalu mampu bercerita tanpa perlu banyak berpuisi. Mengolah kata menjadi peristiwa. Judul : Cantik Itu Luka Pengarang : Eka Kurniawan Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama Jumlah Halaman : 479 Tahun Terbit : 2015 Oleh : Nuraini Mutiah Kader LPPMD Unpad Angkatan 35 Mahasiswa Prodi Ilmu Pemerintahan, FISIP Unpad
This is America Childish Gambino oleh Olivia Adelia Mepha
“We just wanna party Party just for you We just want the money Money just for you,� Merupakan sepenggal lirik dari lagu This is America yang baru saja dirilis oleh Donald Glover atau dikenal dengan stage name Childish Gambino. Lagu ini menyorot bagaimana menjadi orang kulit hitam di AS, kekerasan senjata, dan kebrutalan para polisi terhadap orang minoritas secara ras. Intro lagu berisikan paduan suara sesuai dengan tradisi panjang seni dan musik milik orang kulit hitam. Seni merupakan sebuah wujud nyata dari respon dan obat untuk rasa sakit, dan paduan suara di sini mewakili suatu kelompok yang tampil sebagai satu tubuh. Di sini, Gambino menjelaskan bahwa orang kulit hitam akan hidup dan mati bersama melawan ketidakadilan.
“We just wanna party. Party just for you. We just want the money. Money just for you.� Bagian lirik ini menyelidiki hubungan antara menari, menyanyi, dan kekerasan yang terjadi di lingkungan sekitar yang dapat menjelaskan kehidupan baik di dunia entertainmen maupun sebagai orang kulit hitam di Amerika Serikat. Liriknya juga secara jelas mengatakan bahwa di masa media sosial sekarang, semua orang berpesta dan berusaha mempertahankan penampilan. Akhirnya, gaya hidup berubah menjadi model bisnis. Sebelum masuk ke refrain, iramanya begeser secara mendadak menjadi lebih agresif dan dikendalikan oleh bass. Dalam video klip This is America, Gambino menembak seseorang dengan cara eksekusi dan pada saat yang bersamaan, tubuhnya menyerupai karikatur Jim Crow. Kejadian ini menjelaskan hubungan rumit antara black art dan black suffering. Setelah menembak, Gambino menyerahkan tembakannya 33
dengan menaruhnya layaknya tembakan itu adalah sebuah barang berharga. Hal ini mewakilkan pandangan mengenai senjata yang diperlakukan lebih baik daripada manusia. Gambino kembali menembak paduan suara melambangkan Charleston Church Shooting pada tahun 2015 yang dilakukan oleh Dylann Roof. Setiap kali Gambino menembak, iramanya berubah secara tiba-tiba—dari bahagia menjadi ketukan yang lebih agresif. Dalam hal ini lah lirik This is America ditekankan, menyoroti fakta mengenai kebenaran tragis yang dihindari sampai kejahatan terjadi. Lalu, irama kembali berubah menjadi riang menandakan bahwa kejahatan tersebut mudah dilupakan. Gambino juga mengkritisi orang-orang yang mudah teralihkan dari masalah sosial oleh karena material dan status sosial dan juga mengatakan bahwa media sosial memiliki peran penting dalam menyebarkan isuisu penting mengenai penembakan dan kekerasan terhadap orang kulit hitam.
34
Ia juga menggunakan kelompok paduan suara kulit hitam untuk menggambarkan masyarakat kulit hitam dan kepercayaannya bahwa mendapatkan uang dan kekuasaan adalah hal yang perlu dan harus dilakukan agar terlihat hebat. Seperti tarian dalam videonya yang mengalihkan perhatian masyarakat dari kekerasan yang terjadi di lingkungan sekitar, begitu juga halnya dengan mengejar uang dan kesuksesan juga mengalihkan perhatian dari penderitaan dan ketidakadilan sistemik yang masih bertahan hingga saat ini.
Tumbal-Tumbal Pembangunan Saat mendengar rumor itu umur saya mungkin masih sepuluh tahun. Keluarga saya masih tinggal di Pulau Batam, Kepulauan Riau. Ketika itu, di lingkaran pertemanan saya beredar kabar angin mengenai Jembatan Barelang—sekelompok jembatan yang menghubungkan pulau-pulau di sekitar Batam: jembatan itu dibangun dengan menumbalkan puluhan manusia. Tengkorak para tumbal itu konon ditanam dalam dek jembatan. Mendengar kabar itu, dengan perasaan campur aduk antara penasaran dan takut saya jadi tertarik berjalan-jalan ke jembatan itu untuk memastikan kebenarannya. Suatu kali keinginan saya akhirnya kesampaian. Tapi tentu saja saya tak pernah menemukan tengkoraktengkorak manusia itu. Dan seiring menua, saya makin merasa kabar itu mengada-ada. Cerita-cerita mengenai tumbal dalam proyek pembangunan macam itu sebenarnya tak asing bagi masyarakat kita. Campuran antara
Oleh: Zuhhad
budaya lisan yang kuat dan kepercayaan pada hal-hal mistis menumbuhsuburkan mitos-mitos macam itu. Tapi, belakangan saya jadi bertanyatanya, jangan-jangan mitosmitos macam itu bak tumpukan bara yang menyimpan api kecil, menyimpan kebenaran yang tak biasa dalam narasi yang terasa tak masuk akal.
Jatinangor dan Pembangunan Sudah kesohor sejak lama bahwa rupa Jatinangor saat ini banyak dipengaruhi oleh kehadiran beberapa lembaga pendidikan tinggi di wilayah ini yaitu Unpad, ITB, IPDN, dan Ikopin. Pembangunan infrastruktur lembaga-lembaga pendidikan itu menarik puluhan ribu pendatang ke wilayah ini. Keberadaan mahasiswamahasiswa yang pindah 35
ke daerah ini menarik pula para pelaku ekonomi. Pemilik modal kecil dan besar membeli tanah di Jatinangor dan menyulap lahanlahan pertanian menjadi pondokan dan apartemen. Sementara itu, pedagang kaki lima, industri retail, dan toko-toko lainnya tumbuh di mana-mana, di pinggir jalan hingga ke dalam area pemukiman. Bersamaan dengan perubahan struktur ekonomi Indonesia sejak Orde Baru, kehadiran pabrik-pabrik manufaktur di pinggir selatan Jatinangor pun menarik para penduduk asli yang sudah tak memiliki lahan pertanian untuk beralih profesi. Di antara seluruh kecamatan di Sumedang, Jatinangor menjadi salah satu kecamatan yang dianggap oleh pemerintah daerah dan pusat sebagai daerah dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, sebagai daerah yang maju. Hal itu salah satunya karena keberadaan industri manufaktur yang menyumbang porsi besar bagi gerak pasar di Jatinangor. Bahkan bila dibandingkan sektor lainnya, industri manufaktur menjadi sektor ekonomi terbesar penyumbang Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Jatinangor.1
Keberadaan jalan raya provinsi yang membelah Jatinangor dan jalan tol di sekitarnya pun memengaruhi perkembangan wilayah ini. Infrastruktur jalan membuat Jatinangor makin terhubung dengan wilayah lainnya, memudahkan akses ke wilayah ini. Saban hari kendaraan berbagai macam rupa tumpah ruah di jalan raya Jatinangor, meramaikan jalan yang sudah padat dengan pejalan kaki dan pedagang kaki lima di tepiannya. Begitulah Jatinangor tampak dari luar. Bagi kita, para pendatang, Jatinangor inilah yang kita kenal. Tapi, Jatinangor memiliki banyak wajah yang luput kita lihat. Saya pribadi ‘beruntung’ bisa melihat sisi lain dari Jatinangor. Pertengahan tahun 2016 saya sempat mewawancarai seorang pendiri organisasi relawan penanggulangan bencana Jatinangor. Pertemuan dengan laki-laki paruh baya bernama Dedeng Saepurrohman inilah yang membuka mata saya tentang sisi lain dari Jatinangor.
Putri Wulandari. 2014. Analisis Kesenjangan Distribusi Pendapatan di Kawasan Jatinangor. Sumedang: PKP2A I LAN. Hlm. Iii. 1
36
Dedeng lahir dan besar di Jatinangor, tepatnya di desa Cilayung, salah satu desa tertinggal di wilayah ini. Ketika itu, saya sedang menjalankan tugas saya sebagai anggota sebuah pers mahasiswa: meliput mengenai profil dirinya sebagai pendiri organisasi bernama Jercy. Saat saya mewawancarainya, Ia dengan berapi-api berbicara mengenai tata ruang dan lingkungan Jatinangor yang amburadul. Pemondokanpemondokan yang didirikan berdempetan, saluran air yang hampir-hampir nihil di banyak tempat, ruang resapan air yang makin berkurang, dan apartemenapartemen yang berdiri di tanah dengan struktur labil. Ia pun mengeluhkan tentang tak adanya tempat pembuangan sampah akhir untuk wilayah yang diperkirakan menghasilkan sampah 150 meter kubik per hari juga perilaku sembrono masyarakat yang gemar membuang sampah seenak udel. Masalah-masalah itu menggunung, menyebabkan Jatinangor rutin dilanda banjir tiap musim hujan sejak akhir dekade pertama milenium ini. Ancaman itu tidak akan surut, malah sebaliknya bisa saja bertambah. Longsor dan kekurangan air bersih bisa jadi satu dari sekian kemungkinan ancaman
bencana lingkungan selanjutnya bagi wilayah ini. Kami juga menemukan dokumen-dokumen studi mengenai Jatinangor di internet. Dalam dokumendokumen itu banyak lagi permasalahan di Jatinangor, yang selama ini tak selalu muncul di permukaan, kami temui. Sebuah dokumen menulis sepercik tentang bagaimana penduduk asli Jatinangor terpinggirkan, secara harfiah, dari tempat asalnya. Tanpa pengetahuan memadai dan visi ke depan, masyarakat lokal Jatinangor mudah terbujuk untuk menjual tanahnya karena harga melambung tinggi berkat berdirinya perguruan-perguruan tinggi di Jatinangor. Mereka kehilangan modal (kapital) sosial paling berharga karena fatamorgana keuntungan sesaat. Akibatnya, banyak orang lokal Jatinangor kemudian harus keluar atau berpindah ke wilayah Jatinangor lainnya karena lahan mereka sudah dijual. Ini dapat banyak kita temui, misalnya di desa Cintamulya dan Hegarmanah.
37
Masalah lainnya terkait pula dengan: akses pada layanan kesehatan yang kurang memadai dan tidak merata2; pemenuhan gizi remaja yang tidak mencukupi3 ; pemenuhan gizi balita yang belum seluruhnya memadai4; dan ketimpangan pendapatan ekonomi antar individu yang cukup besar5 6. Itu hanya untuk menyebut sebagian masalah saja.
Melihat Pembangunan dari Jauh Kita mungkin kerap melihat pemberitaan-pemberitaan mengenai penolakan terhadap pembangunan infrastruktur di berbagai daerah. Di Kulonprogo dan Majalengka masyarakat melawan pembangunan bandara. Di Cirebon masyarakat memusuhi PLTU. Di Jatigede dulu masyarakat menghambat pembangunan waduk. Di Pegunungan Kendeng masyarakat memusuhi pabrik semen. Penolakan-penolakan macam itu masih bisa didaftar lagi sejak zaman Orde Baru dan
38
mungkin bisa dibikinkan buku sendiri untuk membahasnya. Dan penolakaan-penolakan itu terjadi di mana-mana. Mengapa ada perlawanan dari masyarakat atas pembangunan? Bukankah pembangunan memberi manfaat bagi masyarakat dan Negara? Untuk melihat dengan jernih perlawanan-perlawanan terhadap pembangunan itu, kita perlu menyingkirkan terlebih dahulu prasangka terhadapnya sebagai gerakan yang “ingin mendapatkan ganti rugi lahan yang tak masuk akal tingginya�, sebagai sikap anti perubahan, sebagai sikap orang-orang yang tidak nasionalis, dan lain sebagainya. Faktanya, perlawanan dari kelompok-kelompok masyarakat itu memang beralasan dan itu lebih sering terkait pada usaha untuk bertahan hidup. Banyak dari perlawanan pada pembangunan dilakukan oleh kalangan petani. Sebuah laporan studi yang diterbitkan Asian Development Bank menyebut bahwa petani di desa sebenarnya
2 Badan Pusat Statistik Sumedang. 2016. Kecamatan Jatinangor dalam Angka 2017. Sumedang: BPS Sumedang. hal. 31-32 3 Siti Nur Fatimah, dkk. 2016. Status gizi, asupan energi, dan serat sebagai faktor risiko kardiometabolik pada remaja pendek. Bandung: Unpad. 4 Indra Bakti Prakoso, dkk. 2011. Hubungan Perilaku Ibu dalam Memenuhi Kebutuhan Gizi dan Tingkat Konsumsi Energi dengan Status Gizi Balita di Desa Cibeusi Kecamatan Jatinangor Kabupaten Sumedang. Sumedang: Fakultas Ilmu Keperawatan Unpad. 5 Putri Wulandari. 2014. Analisis Kesenjangan Distribusi Pendapatan di Kawasan Jatinangor. Sumedang: PKP2A I LAN. Hlm. 43-44. 6 Endah Djuwendah. 2016. Analisis Potensialitas Ekonomi dan Ketimpangan Wilayah di Kabupaten Sumedang. Paspalum Vol. IV
memiliki pilihan yang terbatas untuk beralih profesi. Mereka sulit beralih profesi karena kurangnya modal awal. Untuk bisa beralih profesi seseorang yang berasal dari keluarga petani di desa mungkin membutuhkan usaha yang lebih keras dan lama dibanding warga desa yang berprofesi di sektor lainnya. Salah satu faktor terkuat yang mempengaruhi seorang petani desa bisa beralih profesi adalah pendidikan (utamanya bila sudah lulus SMA), usia (makin muda, makin mudah beralih profesi), dan kepemilikan teknologi pertanian. Sementara, faktor lain seperti jenis kelamin dan kondisi ekonomi awal kurang memiliki peran signifikan7. Ini membuktikan petani memang terancam hidupnya bila harus meninggalkan profesinya. Ganti rugi yang diberikan oleh Pemerintah tidak akan banyak membantu karena mereka yang tergusur oleh pembangunan sulit menemukan lahan pertanian lainnya. Sementara, mereka tidak memiliki kemampuan lain
selain bertani. Untuk menemukan bukti lainnya, kita tak perlu jauh-jauh melihat. Di Sumedang ini pun kita dapat menemukan buktinya. Di Desa Cinta Mulya, Jatinangor, pabrik dan pondokan buruh pabrik pendatang menggusur lahan pertanian. Para petani berusaha bertahan hidup dengan menyewa atau menggarap sawah di desa lain. Penduduk asli Cinta Mulya yang bisa bekerja sebagai buruh pabrik hanyalah perempuan lulusan SMP atau SMA. Sementara, banyak lakilaki, baik tua maupun muda, menjadi pengangguran. Selain sulitnya alih profesi bagi masyarakat yang tergusur oleh pembangunan, perkara lainnya adalah proyek pembangunan sering tidak mematuhi hukum dan kerap mengabaikan dampak pembangunan terhadap lingkungan. Kita bisa melihat itu pada kasus pembangunan bandara di Kulonprogo dan Majalengka. Di Kulonprogo, studi Analisis Dampak Lingkungan
7 Asep Suryahadi, Joseph Marshan, dan Veto Tyas. 2018. Structural Transformation and the Release of Labor from Agriculture. Indonesia: Asian Development Bank. Hal. 111-118. http://www.smeru.or.id/en/content/ structural-transformation-and-release-labor-agriculture-0
39
(Amdal) untuk pembangunan bandara yang terlambat dilakukan. Selain itu, lokasi pembangunan bandara juga merupakan kawasan rawan tsunami8. Sementara, di Majalengka hasil studi Amdal untuk pembangunan direkayasa agar menunjukkan bahwa lahan pertanian di sana tandus9. Ketidakjelasan proses relokasi dan transparansi harga tanah juga menjadi masalah lainnya.10 11 Lebih jauh lagi, pembangunan dengan menggusur masyarakat dapat memperbesar ketimpangan kepemilikan lahan yang sudah sangat tinggi di Indonesia. Kemudian, masyarakat yang terdampak pembangunan kerap mengalami penurunan kesejahteraan. Kasus masyarakat yang tergusur akibat pembangunan waduk Jatigede bisa menjadi contoh. Mereka yang tinggal di daerah relokasi tidak mendapat pasokan listrik dan kekurangan sumber air.12 13
Kita telah melihat bagaimana perspektif pembangunan dalam kebijakan Pemerintah seperti palu godam yang tak pandang bulu menghantam masyarakat. Celakanya, atas nama pembangunan dan pertumbuhan ekonomi negara itulah, masyarakat dijadikan tumbal dan diminta untuk “nrimo� begitu saja. Padahal, tugas negara adalah mensejahterakan hidup warganya, bukan sebaliknya: warga yang mensejahterakan hidup negara.
https://medium.com/nekropolis/prahara-mega-proyek-pembangunan-bandara-kulon-progo-273274ccc601 http://www.kpa.or.id/news/blog/warga-sukamulya-menolak-pembangunan-bjib/ 10 http://kbr.id/saga/01-2017/_saga__menggilas_sawah_produktif_demi_proyek_bijb__bagian_1_/88015. html 11 http://etd.repository.ugm.ac.id/index.php?mod=download&sub=DownloadFile&act=view&typ=html&id= 78554&ftyp=potongan&potongan=S1-2014-282011-conclusion.pdf 12 https://www.youtube.com/watch?v=SS7b1wN_gKc 13 http://www.pikiran-rakyat.com/jawa-barat/2017/04/06/warga-jatigede-kembali-tuntut-penyelesaiandampak-sosial-398323 8 9
40
Saya Malind Zanige, (Wajar)Bukan Pancasila Oleh: Muli Rozamli Hari Kebangkitan Nasional, setiap 20 Mei, biasa dirayakan warga Indonesia saat ini dengan saling membagikan kutipan-kutipan bijak pernyataan presiden, legislator, dan para oligark yang bunyinya bernada nasionalistis. Nasionalisme yang menjadi bensin Harkitnas dirayakan, biasanya tidak disampaikan secara utuh oleh kutipankutipan tersebut. Wajar saja, jika sebagian orang ringan bicara “Saya Indonesia, Saya Pancasila� tanpa refleksi yang sesuai dengan objektivitas. Terlepas dari absurditas maknanya, nasionalisme merupakan fondasi suatu negara yang menyatukan warganya ke dalam, meminjam istilah Benedict Anderson, suatu proyek bersama. Itu artinya, setiap warga punya rasa kepemilikan atas apa yang ingin dituju dan bagaimana itu dituju.
41
Presiden RI, Joko Widodo, saat mengunjungi pengerjaan Merauke Integrated Food and Energy Estate, pada Agustus 2015 (sumber foto: detik.com)
Sesuai dengan Pancasila, sebagai grand narasi nasionalisme Indonesia, proyek tersebut berupa ide untuk mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial. Bagi negara-bangsa seperti Indonesia, peran otonomi daerah sangat vital untuk mencapainya— terkait dengan terlalu luasnya wilayah negara, itu lain hal. Sepertinya, kenyataan yang ada masih jauh panggang dari api. Mari tengok pelosok timur Indonesia, yang katanya disparitas harga komoditas pokok tengah diperangi untuk menuju proyek bersama tersebut. MIFEE, proyek superbesar di Merauke memperlihatkan kepada kita bahwa nasionalisme tidak berlaku, setidaknya di sana.
Keabsenan Nasionalisme Bagi Malind Zanegi
Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) adalah megaproyek pemerintah pusat dan para pemenang tender yang mulai dijalankan sejak 2008. Mulanya, proyek itu bernama Merauke Integrated Rice Estate dan pengerjaannya berjalan sejak 2007, yaitu pada masa kekuasaan bupati Johannes Gebze. MIRE difokuskan untuk meciptakan ketahanan pangan nasional lewat peningkatan pasokan beras—sekaligus 42
mewujudkan kembali kejayaan masa lalu Indonesia sebagai negara swasembada beras. Berjalannya masterplan ini pun dilatarbelakangi oleh krisis makanan dan energi pada 2007-2008 yang dialami beberapa negara berkembang seperti Burkina Faso, Bangladesh, Mesir, dan Meksiko. Perubahannya menjadi MIFEE ditujukan untuk memproduksi tanaman pangan, bukan hanya beras, dan bahan bakar hayati. Selain itu, tujuan lainnya adalah untuk menekan jumlah impor makanan dan menciptakan lapangan kerja di sektor agrikultur. Luas konsesi lahan Merauke untuk proyek ini sendiri sebesar 2,144,650.99 hektar dan dibagi kepada sepuluh titik pusat produksi agrikultur. Berjalannya MIFEE menjanjikan harapan bagi perekonomian negara serta mengentaskan disparitas sosial-ekonomi yang mencekik masyarakat Papua. Namun, para penduduk di wilayah administratif Merauke bukan hanya para migran dari berbagai penjuru nusantara. Di sana, juga hidup banyak masyarakat adat, diantaranya Muyu, Asmat, Mandobo, dan yang terbesar, Malind Anim. Yang terakhir, disebut menggantungkan eksistensinya kepada alam sebagai
jantung kehidupannya. “Malind” berarti “orang”. “Malind” merupakan bagian integral dan menyatu dengan komunitasnya, tidak dapat dipisahkan. “Anim” merujuk pada asal komunitas orang-orangnya yang berarti tanah atau tempat yang jadi ruang hidupnya. Orang-orang Malind Anim pun terbagi kepada beberapa kelompok, salah satunya adalah orang Malind Zanegi di Distrik Animha, Kabupaten Merauke. Tanah sangat berarti penting bagi kehidupan mereka. Orang-orang Malind Zanegi pun punya panggilan sayang untuk tanah tempat hutan mereka berdiri, Mama Malind. Ia menjadi sosok Ibu yang tak pernah selesai memberikan segala kebutuhan pokok subsisten bagi anak-anaknya yang menyebut diri mereka Malind Anim. Kehidupan orang Malind Zanegi berakar dari situ, baik dari segi ekonomi maupun sosial, dan berlangsung sejak adanya kepercayaan nenek moyang. Jantung dari kasih sayang sang ibu berwujud pokok/pohon enau atau aren. Satu batang yang matang saja darinya cukuplah membuat satu keluarga kenyang sepanjang tahun. Ijuknya digunakan untuk atap rumah. Ruyungnya bisa ditajamkan hingga runcing lalu digunakan
untuk berburu ikan ataupun babi hutan, bisa juga jadi pelapis dinding rumah. Tidak berlebihan jika dikatakan Ibu yang satu ini selalu memberikan segala yang ia punya, untuk satu generasi kepada generasi lainnya. Akan tetapi, peran Mama Malind mesti digantikan oleh pabrik-pabrik tebu MIFEE. Lantas, apakah negara meletakkan MIFEE sebagai sebuah proyek bersama tanpa meninggalkan orang-orang Malind pada tingkat kesejahteraan yang payah, sehingga bisa dikatakan nasionalisme juga berlaku bagi orang-orang Malind Zanegi? Nyatanya, orang Malind Zanegi tidak merasa kehidupannya menjadi lebih baik setelah MIFEE berjalan dan Mama Malind mati. Korporasi dan negara pada kasus ini telah mengingkari konsep penyelenggaraan negara yang ditopang nasionalisme, karena mengambil Mama Malind secara sepihak. Ketua adat Kampung Zanegi, Linus Gebze , mengatakan, “Para perusahaan datang ke sini bukan untuk membina kita. Mereka merusak dan merampas hak-hak yang kami punya di sini. Dia (perusahaan), mulai injak kita,”. Gebze ini merupakan perwakilan orang-orang Malind Zanegi. Gebze, pada konteks 43
Ketua adat Kampung Zanegi, Linus Gebze, mengatakan, “Para perusahaan datang ke sini bukan untuk membina kita. Mereka merusak dan merampas hak-hak yang kami punya di sini. Dia (perusahaan), mulai injak kita,�. negara-bangsa,merupakan perwakilan dari community Malind Zanegi. Community Malind Zanegi adalah bagian dari perkumpulan community imajiner yang berisikan sekian ribu komunitas lainnya, seperti Samin Kendeng, Baduy Kampung Naga, Suku Air di Bintan, dan masih banyak komunitas lainnya di nusantara. Mereka tersatukan kedalam suatu imagine communities oleh sebuah proyek bersama, katakanlah kesejahteraan dan keadilan seperti yang ada pada Pancasila. Semenjak MIFEE berjalan, janji yang diberikan pemerintah kepada masyarakat di sana adalah lapangan pekerjaan agrikultur untuk kesejahteraan mereka. Namun, saat ini semua anggota 44
Malind yang bekerja di pabrikpabrik MIFEE hanya berstatus buruh harian. Penghasilan ratarata penduduk Zanegi yang bekerja sebelum era MIFEE sejumlah enam juta rupiah, menurun lima juta rupiah saat era MIFEE. Biaya konsumsi mereka pun naik dari yang sebelumnya RP. 605.000 perbulan menjadi Rp. 1.635.000 perbulan. Proyek MIFEE ternyata bukan sebuah proyek bersama, melainkan sebuah proyek yang sangat utilitarian, mengorbankan yang sedikit demi yang banyak. Klaim ini diperkuat dengan adanya tipu daya korporasi yang terlibat dalam MIFEE disaat proyek baru saja dimulai. Masyarakat Malind dikelabuhi dengan permintaan menandatangi sertifikat yang diberikan Medco1. Sertifikat mulanya diberikan sebagai kompensasi bagi penduduk Zanegi karena telah mempersilahkan perusahaan tambang tersebut mengambil sebagian kayu mereka. Alih-alih demikian, setelah penandatanganan, Medco justru mengklaim bahwa sertifikat tersebut merupakan bukti pembebasan Mama Malind suku Malind Zanegi. Orang Zanegi dikelabuhi dan sendirian, tidak ada pers yang meliput realitas tersebut,
terlebih bagi media asing yang dibatasi aturan-aturan ketat 2 dalam peliputan . Kondisi yang menghalangi kegiatan pers tersebut sudah berlangsung sejak 1965, tidak heran kasus ini luput dari perhatian masyarakat Indonesia3. Disamping itu, alih-alih orang Malind Zanegi dapat bagian adil pada proyek MIFEE, mereka justru jadi korban kekerasan struktural negara. Seorang professor pendiri International Peace Research Institute of Oslo (PRIO) pada awal tahun 1960an, Johan Galtung, menggagas teori kekerasan struktural4. Galtung mengatakan bahwa kekerasan struktural adalah kekerasan yang bersumber dari struktur sosial (antar orang, masyarakat, dan kumpulan masyarakat). Kekerasan jenis ini erat kaitannya dengan relasi kekuatan antara tiap-tiap kelompok—baik yang melancarkan kekerasan maupun pihak korban. Kekerasan tersebut bukan sekedar sebuah kekerasan langsung berupa adanya kontak fisik, namun ada aturan-aturan yang mengikat pihak korban dengan adanya tindakan represif, lalu merugikannya. Pada kasus kekerasan terhadap orangorang Malind, terdapat empat hal yang dapat meneguhkannya sebagai sebuah kekerasan struktural.
Menganalisa lewat Teori Kekerasan Struktural, negara pada realitas ini adalah pihak yang melancarkan kekerasan struktural terhadap orang-orang Malind. Kebijakankebijakannya yang mendukung MIFEE, memberikan dampak yang menggambarkan akibat dari structural violation. Pertama, negara memulai proses pembebasan lahan suku adat Malind lewat UU nomor 26/2007 tentang penataan ruang. Ini membuka pintu legal bagi kekerasan yang terjadi. Kedua, tidak berdayanya resistensi otonomi daerah istimewa yang diberikan negara kepada Papua untuk menetukan kelanjutan nasibnya sendiri. Pada poin ini, Johanes Gebze, gubernur yang berkuasa saat MIFEE disepakati, tidak memutuskan perizinan dengan dialog yang layak bersama orang-orang
Galtung mengatakan bahwa kekerasan struktural adalah kekerasan yang bersumber dari struktur sosial (antar orang, masyarakat, dan kumpulan masyarakat). 45
Malind di seluruh Merauke. Ketiga, Penurunan kualitas kehidupan, terutama aspek ekonomis, semenjak MIFEE. Keempat, pelanggaran yang dirasakan orang-orang Malind terhadap hak asasinya.
Kesimpulan
Nasionalisme yang belakangan dimaknai secara banal membuat warga lupa fungsi dari nasionalisme negara-bangsa. Benda yang sifatnya imajinatif tersebut menjadi kehilangan maknanya, sehingga menimbulkan kemacetan berpikir ketika dicocokkan dengan realitas. Warga akan terbantu memahaminya ketika ia dipahami sebagai sebuah tujuan besar komunitas super-besar/negara, yang mewajibkan keterlibatan serta imbalan bagi seluruh anggotanya. Kasus MIFEE terhadap suku Malind Anim Zanegi merupakan contoh nasionalisme di Papua absen dalam pengertian yang sesungguhya. Ini mustahil dipahami sebagai nasionalisme yang gagal disaat makna nasionalisme sendiri belum dipahami secara layak. Pelanggaran yang dilakukan pemerintah pusat terhadap suku Malind Zanegi ternyata bukan sekadar tidak dilibatkannya mereka dalam MIFEE. Dengan kekerasan struktural, negara justru 46
menjalankan proyek tersebut dengan menegasikan kesejahteraan orang Malind Zanegi, yang semulanya dijanjikan. Maka dari itu, warga negara mestilah paham bahwa keterlibatan dan imbalan yang layak bagi komunitasnya sangatlah penting. Jika untuk paham saja warga gagal, janganlah heran ketika kampung halamannya di pelosok daerah kelak juga mengalami nasib serupa. (1) Suryani, Dini. 2016. Kekerasan Struktrual terhadap Masyarakat Adat di Indonesia: Studi Kasus Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) di Papua, Jurnal Masyarakat dan Budaya, Vol. 18, No. 1 (2) http://www.wenaskobogau. com/2016/06/veronika-komanpapua-menusuk-hati.html diakses 20 Mei 2017 (3) Saltford, John. 2013. The United Nations and the Indonesian Takeover of West Papua 1962-1969. Routledge: New York. (4) https://makaarim.wordpress. c om / 2 0 1 2 / 0 7 / 1 8 / m e m a k n ai kekerasan/ diakses 20 mei 2017
Implementasi Dana CSR (Corporate Social Responsibility) oleh Panji Haikal Madani
Secara umum, dana CSR (Corporate Social Responsibility) adalah suatu konsep bahwa organisasi dan perusahaan memiliki berbagai bentuk tanggung jawab terhadap seluruh pemangku kepentingannya, yang di antaranya adalah konsumen, karyawan, pemegang saham, komunitas dan lingkungan dalam segala aspek operasional perusahaan yang mencakup aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan. CSR dapat dikatakan sebagai kontribusi perusahaan terhadap tujuan pembangunan berkelanjutan dengan cara manajemen dampak (minimisasi dampak negatif dan maksimisasi dampak positif) terhadap seluruh pemangku kepentingannya. Dapat dikatakan pula bahwa dana CSR ini
tidak hanya berkaitan dengan kegiatan yang dilakukan perusahaan, dimana perusahaan ikut serta dalam pembangunan ekonomi masyarakat setempat, tetapi juga terkait dengan kewajiban perusahaan dalam melestarikan lingkungan dan sebagai bentuk biaya dalam penanggulangan atas dampak yang diberikan terhadap oleh perusahaan tersebut. Dana CSR ini memiliki landasan konstitusional, yaitu Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang dalam pasal 1 ayat 1 UUPT tersebut, perseroan (perseroan terbatas) adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam undang undang ini serta peraturan pelaksanaannya. Pasal 74 UUPT pada dasarnya mengatur mengenai hal-hal bahwa CSR ini wajib 47
untuk perseroan yang menjalakan kegiatan usahanya di bidang dan/ atau berkaitan dengan sumber daya alam. CSR ini merupakan kewajiban perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya perseroan yang pelaksanaanya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran, mengenai sanksi dikatakan bahwa perseroan tidak melaksanakan kewajiban CSR akan dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang terkait. Jadi, bila kita merujuk dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 disebutkan bahwa setiap perseroan terbatas diwajibkan untuk mengeluarkan anggaran berupa CSR ini. Namun dalam pengimplementasiannya dana CSR ini sering kali dijadikan sebagai dana sumbangan perusahaan tentang bagaimana perusahaan menciptakan keuntungan, bukan tentang bagaimana perusahaan berbagi keuntungan tersebut. Yang dimaksudkan dengan perusahaan menciptakan keuntungan adalah bagaimana perusahaan menganggap CSR ini sebagai sebuah sumbangan perusahaan yang ketika dicairkan, mengakibatkan seolah-olah tanggung jawab dari dampak negatif atas perusahaannya menjadi gugur karena terkadang 48
biaya ini dikeluarkan tidak untuk mengurangi dampak yang dihasilkan perusahaan tersebut tetapi dilimpahkan terhadap pembangunan sektor lain, walaupun sektor itu berhubungan dengan sektor pembangunan ekonomi dan lingkungan masyarakat setempat. Perusahaan yang melakukan pembiayaan CSR dalam bentuk sumbangan perusahaan ini bisa dikatakan boleh-boleh saja, tetapi dalam pengaplikasiannya banyak menimbulkan penyelewengan dana CSR oleh oknum tertentu. Ketika ada upaya mereduksi CSR, hal ini hanya berupa sekedar “sumbangan perusahaan� yang membuat perusahaan ataupun perantara dan penerima dana CSR cenderung melakukan tindakan koruptif dan cenderung lari dari tanggung jawab atas dampak negatif yang ditimbulkan. Selain itu, ketika biaya CSR ini keluar dari esensi awalnya— untuk membiayai dampak yang ditimbulkan perusahaan tersebut— mereka hanya ingin menimbulkan citra kepada masyarakat bahwa perusahaan tersebut ramah secara ekonomi, sosial, dan lingkungan. Padahal, esensi awal dari CSR ini adalah menekankan pada bagaimana perusahan tersebut dapat menerapkan kinerja yang
ramah lingkungan dan bukan hanya sekedar citra yang digalangkan. Permasalahan lain yang timbul dari dana CSR ini adalah dalam melaksanakan tanggung jawab sosial diperlukannya anggaran dan sumber daya. Dari segi anggaran, pasti dalam setiap kegiatan operasional dalam suatu perusahaan terdapat anggaran untuk melakukan CSR. Namun, permasalahan yang terjadi ialah anggaran tersebut tidak bisa diberikan kepada pihak lain kecuali pihak lain tersebut merupakan mitra perusahaan untuk meminimalisir dampak negatif dan memaksimalkan dampak positifnya. Bisa saja anggaran tersebut diberikan kepada orang lain, namun tanggung jawab tetap terletak terhadap perusahaan bukan pada pihak lain yang menjadi mitra perusahaan tersebut. Kemudian, jika kita berbicara tentang pengimplementasian dari dana CSR ini terhadap suatu daerah, tak jarang kegiatan CSR ini justru lebih mengarah terhadap pelimpahan tanggung jawab daerah terhadap perusahaan. Mungkin kita bisa sedikit berkaca bagaimana saat mantan gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama pada masa kepemimpinannya
mengalokasikan dana CSR ini untuk pembangunan RTH Kali Jodo dan RPTRA yang berasal dari perusahaan PT. BSD Tbk. Di sini, alasan Ahok menggunakan dana CSR sebagai pembangunan adalah mengatakan mutu bangunan yang dibuat oleh pemerintah sering kali tidak berkualitas. Keuntungan lainnya, pembangunan yang dilakukan dengan dana CSR bisa menyesuaikan dengan keinginan pengguna dan juga semua pekerjaan yang dilakukan oleh perusahaan swasta akan diukur dengan jasa penilai. Jika nilainya tidak baik, maka perusahaan tersebut bisa di-blacklist. Hal yang sama tidak bisa terjadi jika menggunakan dana APBD.
49
Ketika Ahok menjadi CSR, hal ini menjadi salah satu alokasi dana untuk pembangunan tersebut. Yang terjadi adalah bagaimana dana CSR ini dimaknai sebagai sumbangan perusahaan, karena dengan adanya sistem alokasi dana CSR tersebut, yang terjadi adalah ketidakjelasan dari pemasukan dan pengeluaran dana anggaran CSR tersebut, dan kembali lagi, dana dari CSR ini hanya untuk membuat citra seolaholah perusahaan tersebut telah bertanggungjawab atas dampak yang diberikan oleh perusahaan tersebut, baik terhadap lingkungan dan masyarakat sekitar. Maka dari itu, dana CSR perlu diberikan pengawasan yang lebih terhadap pengimplementasiannya karena dana CSR ini merupakan salah satu bentuk bagaimana perusahaan bisa bertanggungjawab atas dampak yang ditimbulkan, dan jangan sampai dana CSR ini menjadi salah satu bentuk penyelewengan yang dilakukan oleh pemerintah daerah.
50
Sumber gambar: https://konsultanbigpro.files. wordpress.com/2015/02/city-3d-modern-companybuilding-wallpaper.jpg
DEMOKRASI REPUBLIK KUBA Kuba dari Sudut Pandang Historis Pada tahun 1902, Kuba mendapatkan kemerdekaan dari Amerika Serikat melalui Amandemen Platt, yakni pernyataan pemberian kemerdekaan di bawah intervensi militer dengan tujuan melindungi pemerintahan dan kemerdekaan Kuba. Amandemen tersebut memiliki cita-cita untuk melindungi hak milik dan kebebasan perseorangan dalam bingkai perikemanusiaan. Namun, kata di balik “intervensi militer� seakan memberikan sinyal bahwa Amerika Serikat tidak sepenuhnya memberikan kedaulatan kepada rakyat Kuba. Pemerintahan Kuba berada di bawah bayang-bayang Amerika Serikat, sehingga muncul berbagai ketidaksetujuan rakyat atas intervensi tersebut. Tahun 1920, Gerardo Machado menduduki posisi tertinggi dan memimpin kediktatoran pemerintah Kuba. Setelah itu, Fulgencio Batista melakukan kudeta terhadap pemerintahan Machado.
Oleh: Rizki Namun, yang naik sebagai presiden baru adalah Ramon Grau San Martin. Dengan hasrat kekuasaan, Batista kembali melakukan pemberontakan pada tahun 1934 dan berhasil menggulingkan Ramon Grau. Fulgencio Batista menjadi diktator baru yang didukung Amerika Serikat hingga seorang revolusioner yang bernama Fidel Castro berhasil merebut kekuasaan Batista pada tahun 1959. Fidel Castro mengumumkan pemerintahan revolusioner yang memiliki misi untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat yang berada dibawah garis kemiskinan. Kebijakan ekstrim yang dilakukan Castro diantaranya menasionalisasikan aset dan industri Amerika Serikat, yakni sektor-sektor produksi dan pengilangan minyak, perusahaan telepon dan listrik, pabrik-pabrik gula yang besar, 51
industri kimia, perusahaan perkeretaapian, pabrik pengolahan karet, pabrik sabun, hingga pabrik rokok dan tekstil. Selain itu, Castro melakukan reforma agraria dengan mendistribusikan tanah kepada rakyat, serta menerapkan pelayanan kesehatan dan pendidikan secara gratis. Kondisi ini menyebabkan kaum borjuis tidak merasa aman. Kebijakan Castro yang prorakyat kecil memaksa mereka melarikan diri ke Amerika Serikat untuk mendapatkan keamanan dan kenyamanan. Begitu pula kaum agama dan konservatif yang “dibuang� Castro karena tidak mendukung kebijakan pemerintah, sehingga melakukan migrasi ke negara-negara tetangga. Pemerintahan Castro dinilai diktator-otoriter oleh pengamat politik dunia saat itu. Fidel Castro tidak segan untuk “menghilangkan� orang-orang yang bersebrangan dengan kebijakan politiknya. Namun demikian, Castro mengklaim bahwa itu semua dilakukan demi kebaikan dan kemakmuran rakyatnya. Hal menarik yang dapat disimpulkan dari dinamika politik Kuba adalah dari mulai pembentukan negara hingga proses transisi pemerintahnnya selalu diwarnai kudeta dan tindakan 52
revolusioner. Kuba menjadi negara yang memiliki haluan berbeda ditengah hegemoni Amerika Serikat untuk mengintervensi dan menanamkan pengaruhnya di benua Amerika. Kuba, negara yang lahir melalui revolusi. Ideologi Negara Kuba Kendati pemimpin negara Kuba tidak menyatakan secara eksplisit ideologi negara yang dianutnya, realitas dan arah politik yang digunakan cenderung berkiblat pada negara sosialis, Uni Soviet. Meskipun demikian, Kuba pernah dekat dengan Amerika Serikat pada saat pemerintahan Batista dengan sistem liberal. Haluan sosialis pada ajaran politik Kuba ditandai dengan kebijakan presiden Castro yang membangun negara Kuba sebagai pemerintahan yang revolusioner, mengedepankan hak-hak kaum proletar dengan memberikan fasilitas kesehatan dan pendidikan gratis, subsidi perumahan rakyat, dominasi pemerintah dalam perekonomian, pendirian partai tunggal, yakni Partai Komunis Kuba (Partido Communista de Cuba/PCC), serta terdapat sentralistik kekuasaan ditangan seorang presiden.
Hubungan diplomatik yang dibangun Kuba lebih menitikberatkan kerjasama dengan negara-negara sosialis-komunis, seperti Uni Soviet dan China. Bahkan, presiden Castro memiliki kedekatan dengan presiden Indonesia, yaitu Soekarno, yang saat itu sedang membangun koalisi dukungan internasional bersama-sama dengan negara sosialis untuk membendung kekuatan Amerika Serikat di wilayah Asia Tenggara pada tahun 1960an. Uni Soviet menjadikan kuba sebagai sekutu dekat untuk menyaingi kekuatan Amerika Serikat yang memimpin blok barat. Letak geografis negara Kuba yang memiliki perbatasan langsung dengan Amerika Serikat dinilai memiliki potensi untuk dibangunnya instalasi militer dan senjata nuklir di Benua Amerika sebagai ancaman terhadap Amerika Serikat. Ketegangan yang dilakukan Kuba atas Amerika Serikat, serta kedekatan yang dibangun Kuba terhadap Uni Soviet memberikan sinyal yang kuat bahwa Kuba lebih condong menggunakan ideologi sosialisme-komunisme sebagai dasar pemikiran berbangsa dan bernegara.
Sistem dan Implementasi Politik Kuba Kegiatan politik di negara Kuba dilaksanakan berdasarkan partisipasi langsung dari rakyatnya. Kontribusi rakyat dalam menentukan arah politik negara diwujudkan dalam berbagai peran yang dilakukan. Masyarakat Kuba mendefinisikan partisipasi politik sebagai peran aktif mayoritas warga negara untuk menerapkan kebijakankebijakan yang telah diidentifikasi pemimpin negara guna mencapai tujuan-tujuan nasional. Kendati hanya ada satu partai yang berdiri, yakni Partai Komunis Kuba (PCC), tapi semangat yang dibawa berorientasi pada partisipasi publik dalam berpolitik. Misalnya, anggota PCC dipilih melalui serangkaian tahapan yang ketat meliputi proses wawancara oleh rekan kerja dan para tetangga yang kemudian dipilih karena dianggap sebagai seorang teladan yang mendukung revolusi. Keberadaan partai politik diarahkan untuk menjaga nilai revolusi dengan mengkritik 53
kecenderungan-kecenderungan yang kontra terhadap revolusi. Partai berperan penting sebagai gerakan moral untuk mewadahi masyarakat menyuarakan aspirasinya daripada digunakan elit politik untuk menguasai jabatan-jabatan tertentu. Hal itu terkandung dalam konstitusi Kuba yang menyatakan bahwa : “Partai Komunis Kuba adalah kekuatan pembimbing utama masyarakat dan negara.” Bentuk negara Kuba adalah kesatuan, mengedepankan sistem sentralistik, namun membangun budaya politiknya dari elemen-elemen terbawah. Haroldo Dilla Alfonso (sosiolog Kuba), menyatakan bahwa masyarakat Kuba mencoba memperkenalkan budaya politik baru, yakni demokrasi langsung yang kemudian dikaitkan dengan pertahanan militer dan kedaulatan nasional, serta mobilisasi menuju pembangunan ekonomi. Pada tahun 1965, dibentuk suatu badan yang terdiri dari kalangan politik, massa dan aparat pemerintah yang berperan mengkoordinasikan kegiatan ekonomi dan sosial. Sebagai upaya untuk mewadahi partisipasi masyarakat, organisasi ini gagal menjalankan tugasnya, karena pemerintah pusat memiliki 54
intervensi terlalu dalam pada saat pelaksanaannya. Badan ini bernama “Juntas de Coordinacion, Ejecucion, e Inspeccion”. Pada tahun 1970 dibuatlah badan yang bernama the Organs of People’s Power. Tujuan dari dibentuknya lembaga ini adalah mengakui adanya kekuasaan lokal yang memiliki peran untuk merespon kebutuhan-kebutuhan masyarakat, serta membangun partisipasi yang masif untuk menerapkan kebijakan sekaligus menyerap kritik masyarakat. Badan Kekuasaan Lokal (Dewan Kota) ini dipilih dari tempat kerja dan lingkungan setempat yang dinominasikan secara langsung oleh pemilih tanpa adanya intervensi dari Partai Komunis Kuba. Dalam konteks ini, partai dapat menominasikan kandidatnya, namun secara riil masyarakat yang memilih langsung, sehingga tidak selalu kandidat yang ditawarkan partai terpilih. Pemilihan Anggota Dewan Kota berasal dari kandidat yang berhasil meraup suara diatas 50% pada pemilihan ditingkan areas atau sub-distrik yang kemudian berhak mengikuti kontestasi pemilu ditingkat distrik. Tiga bulan sebelum pemilihan, Komite Pertahanan Revolusi mengusulkan
nama-nama yang akan dipilih. Hal ini dilakukan untuk menawarkan orang-orang yang secara langsung terlibat dalam upaya “revolusi� nasional (pemuda komunis, anggota partai atau anggota organisasi massa). Penominasian dilakukan di Komisi Pemilihan Lokal sebulan sebelum waktu pemilihan. Setiap pemilih adalah orang yang telah memenuhi syarat, yakni diatas 16 tahun, tidak berada pada kondisi cacat mental, tidak dicabut hak politiknya dan tidak sedang dipenjara. Seseorang yang dapat dinominasikan sebagai kandidat adalah pemilih. Seseorang yang mengusulkan kandidat Anggota Dewan Kota wajib memberikan alasan-alasan tertentu mengapa ia mengusulkan kandidat tersebut. Dengan demikian, hubungan pemilih dengan calon wakilnya adalah saling mengenal, baik karakter, reputasi, dan prestasi. Pada tahap pemilihan, lembaga yang berwenang untuk mengadakan pemilu adalah Komisi Pemilihan Umum ditingkat nasional, serta Komisi Pemilihan Lokal ditingkat distrik yang terdiri dari lima orang dan tidak mendapatkan gaji dari pekerjaannya itu. KPU bertugas untuk mempersiapkan pertemuan
untuk nominasi, memverifikasi nama-nama kandidat pemilu, mempersiapkan tempat pemilu, memberikan informasi kepada publik dimana tempat ia akan memilih, serta melakukan perhitungan suara. Dua hari sebelum pemilihan, KPU menyebarkan biografi kandidat-kandidat Anggota Dewan Kota di berbagai tempat umum sebagai informasi kepada publik. Kandidat yang terpilih berasal dari berbagai kelompok profesi, seperti buruh, teknisi, administrator, karyawan, manajer, mahasiswa, tentara, pembantu rumah tangga, petani, pekerja mandiri dan pensiunan pegawai. Tingkat partisipasi dalam pemilihan berkisar di atas angka 95% tiap periode pemilihannya. Anggota Dewan Kota tidak mendapatkan gaji atas pekerjaannya sebagai wakil rakyat. Mereka mendapatkan upah atau penghasilan dari asal profesi yang dikerjakannya. Dengan demikian, menjadi wakil rakyat bukanlah suatu keistimewaan yang dijadikan sebagai karir politik, melainkan sebuah pengabdian. Landasan Teori Demokrasi Kuba Teori demokrasi klasik menitikberatkan pada partisipasi 55
publik secara langsung dalam menentukan kebijakan umum, serta membahas berbagai macam permasalahan kenegaraan. Demokrasi pertama kali diperkenalkan pada saat berdirinya negara-negara polis (kota) di Yunani. Athena dan Sparta merupakan negara polis yang menjadi pelopor dari penerapan demokrasi. Masyarakat polis menggunakan demokrasi langsung dalam praktik politik mereka. Konsekuensi dari sistem tersebut memberikan kewenangan kepada setiap warga negara untuk menentukan keputusan politik yang bergerak berdasarkan proses mayoritas, sebagaimana pemikiran tersebut telah digagas oleh filsuf besar Yunani, yaitu Plato. Pemikiran Plato tentang demokrasi sejalan dengan praktik pemilihan wakil rakyat (Anggota Dewan Kota) di Republik Kuba. Pemerintah dibentuk oleh rakyat dan berasal dari rakyat. Demokrasi dimaknai sebagai partisipasi aktif masyarakat dalam mengambil keputusan politik. Salah satu keputusan politik yang harus diambil rakyat Kuba adalah dengan memilih wakilnya untuk mewakili pemilih pada lembaga Dewan Kota yang terdiri dari tetangga tempat ia tinggal dan 56
lingkungan tempat ia bekerja. Teori Mandat J.J Rosseau seakan mempertegas praktik demokrasi Kuba, yakni wakil rakyat bertindak untuk mewakili pemilihnya sesuai dengan intruksi yang diperintahkan pemilihnya. Teori ini disebut teori mandat imperatif. Kesimpulan Kuba merupakan negara yang dibentuk dari keringat revolusi, yakni aksi heroik untuk melengserkan bentuk otoritarian pemerintah. Fidel Castro sebagai tokoh sentral revolusi membawa negara Kuba menjadi negara yang sosialis. Kontrol sosial-ekonomi dijalankan oleh negara sebagai penanggung jawab pemenuhan kebutuhan rakyat. Akan tetapi, praktik demokrasi di tengah ideologi sosialis merupakan sebuah tradisi yang kontradiksi. Sosialisme yang anti-demokrasi seakan tidak terbukti di Republik Kuba. Bahkan, Kuba merupakan negara yang mengimplementasikan prinsip demokrasi asli yang dicetuskan pada saat pertama kali demokrasi lahir di Yunani Kuno. Pembuktian hal tersebut dapat dilihat saat rakyat dapat memilih wakilnya secara langsung untuk menduduki posisi Dewan Kota. Eksistensi partai ditujukan untuk
menggerakan partisipasi politik masyarakat, bukan sebagai sarana merebut kekuasaan. Kedudukan politik sebagai wakil rakyat bukanlah sebuah keistimewaan yang dijadikan profesi, melainkan sebuah bentuk pengabdian. Kuba adalah negara sosialis yang paling demokratis. Sumber : Mukmin, Hidayat. 1980. Pergolakan di Amerika Latin. Ghalia Indonesia: Jakarta Prasetyo, Eko. 2006. Inilah Presiden Radikal !. Resist Book: Yogyakarta Price, A.W. (1997). “Plato: Ethics and Politics�. C.C. W. Taylor (Ed). Routledge History of Philosophy (Vol I): From the Beginning to Plato. London: Routledge Okhika. 2012. Teori Perwakilan Politik. Diakses 22 April dari https://okhika.wordpress. com/2012/11/26/teori-perwakilanpolitik/ Pratama, Dekris. Teori-Teori Politik. Diakses 22 April dari https:// w w w.academia.e du/8888280/ Teori_-_Teori_Demokrasi Zhafran, Muhammad. Sistem Demokrasi Kuba. Diakses 22 April dari https://www.academia. edu/18444186/Sistem_Demokrasi_ Kuba
Sumber gambar: https://wp.telesurtv. net/__export/1478107643997/sites/ telesur/img/multimedia/2016/04/13/ pcc.jpg
57
Perpustakaan Jalanan: Wadah Independen Terbuka
P
Oleh: Yuviniar Ekawati
entingnya berliterasi harus kita sadari bersama. Dalam berliterasi, perpustakaan menjadi hal yang krusial bagi kehidupan seluruh masyarakat di dunia. Di Indonesia hal ini telah diperjelas pada pernyataan yang terdapat pada Penjelasan Undang-undang (UU) No. 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan:
“Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pemerintah perlu menyelenggarakan perpustakaan sebagai sarana yang paling demokratis untuk belajar sepanjang hayat demi memenuhi hak masyarakat untuk memperoleh informasi melalui layanan perpustakaan guna mencerdaskan kehidupan bangsa.� Implementasi pada demokratisasi akses informasi ini tercermin dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28C ayat (2) yang berbunyi, “setiap orang berhak 58
untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya.� Sejumlah masyarakat telah mengupayakan pemenuhan hak-hak diri yang bahkan telah secara tertulis dilindungi dalam UU di atas. Wadah-wadah yang mempermudah aksesibilitas informasi dalam bentuk perpustakaan yang muncul dari berbagai lapisan, baik pemerintah pusat, pemerintah daerah, mau pun perusahaan swasta. Pengupayaan pun, muncul dari perorangan atau kelompok masyarakat kecil dengan mendirikan taman bacaan atau sekedar membuka lapak bacaan di pinggir jalan, demi memenuhi kebutuhan informasi dalam media buku yang disediakan oleh perpustakaan. Sebuah wadah berbentuk perpustakaan jalanan secara kolektif hadir dengan pendanaan secara sukarela dari tiap anggota atau dari pihak yang sekedar tertarik dan
merasa terbantu mulai menjamur. Kehadirannya seakan dapat menjawab rintihan masyarakat yang haus akan informasi dan bentuk dukungan besar akan giatnya gerakan literasi. Perpustakaan ini hadir dengan harapan dapat dijangkau dengan mudah dan murah, bahkan bebas biaya. Lebih jauh lagi, perpustakaan ini dapat menciptakan dialog atau diskusi terbuka. Salah satu bentuk nyatanya, dengan adanya Perpustakaan Jalanan Bandung dan Buku Bergerak. Suatu hari saya bertemu Tarjo. Tarjo merupakan satusatunya pendiri yang tersisa. Tarjo telah ditinggal kawan seperjuangannya karena berbagai urusan pribadi. Perpustakaan Jalanan Bandung, yang dibentuk oleh Tarjo, Fajar, Anugrah, dan Fahmi yang tergabung pada komunitas Rumah Belajar SAHAJA (Sahabat Anak Jalanan) di Ciroyom yang juga pentolan Band Masturbasi Distorsi yang beraliran Punk. “Yang harus digarisbawahi, inisiatif.” tekannya. Logika berpikirnya adalah perpustakaan jalanan merupakan sebuah wadah independen yang muncul dari inisiatif, “Ketika membentuk sebuah wadah, yang dibutuhkan adalah inisatif. (Jika) inisiatif
terbentuk, (maka) terbentuklah sebuah gerakan,” ungkap Tarjo. “Konsepnya seperti pedagang kaki lima (PKL) atau emperan. Lokasinya selalu di Taman Cikapayang, Dago. Tepatnya, depan BCA setiap malam minggu.” Saat ditanyakan di mana letak perbedaan perpustakaan jalanan dengan perpustakaan lainnya, Tarjo mengatakan agar bisa duduk-duduk, ngerokok, dan tiduran santai. Nampaknya Tarjo memang senang bersantai bersama para pentolan-petolan perpustakaan jalanan yang lain. Dengan jawaban yang seragam, Haekal Gifariy, juga membuka perpustakaan jalanan bernama Buku Bergerak di Brooklyn Timur Unpad agar bisa duduk-duduk, ngerokok, dan tiduran santai. Buku Bergerak muncul dan mulai ngemper pada 21 Februari 2017 oleh Haekal Gifariy, mahasiswa prodi Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya (FIB), Universitas Padjdjaran (Unpad), dengan anggota yang terdiri dari mahasiswa FIB dan lintas Fakultas di Unpad. Buku Bergerak lahir atas insiatif. Perpustakaan jalanan sangat mudah diakses. Kamu tidak perlu untuk menjadi bagian dari civitas academica Unpad untuk dapat numpang baca, ngemper, 59
di Brooklyn Timur menikmati suasana ala Jatinangor tempo kini. Kamu juga tidak perlu menjadi bagian dari orang-orang yang demen skena punk atau seperti saya yang sempat pekak mendengar album Hurje! Maka Merapallah Zarahustra, album produksi Senartogok––yang hari itu saya kenal bernama Tarjo––dan seorang MC, Pangalo! karena didendangkan di atas 100dB setiap saya singgah di sekre. Semua orang bisa mengaksesnya—perpustakaanperpustakaan ini merupakan wadah independen, hasil dari inisiatif beberapa orang yang sadar bahwa diri mereka adalah insan yang merdeka membuka ruang terbuka yang memungkinkan terjadinya berbagai pertukaran.
60
Adalah menarik saat ikut ngemper bersama para penggiat perpustakaan jalanan, kita bisa menjadi subjek aktif dan tidak merasa terpenjara selama berkegiatan di perpustakaan. Sebuah counter hegemony dari pandangan perpustakaan di kepala saya sebelumnya. Otak saya sudah terbiasa menerima informasi bahwa perpustakaan adalah sebuah tempat di mana ada tulisan ‘jangan berisik’ dan ‘harap tenang.’ Saya sudah biasa melihat adegan film berupa pelotot-pelotot si penjaga perpustakaan kepada seseorang yang mencoba mengajak ngobrol teman di depannya. Perpustakaan jalanan memberikan kemerdekaan kepada para pendatang untuk
menjadi subjek aktif yang setiap orangnya memiliki kesempatan yang sama untuk mendapatkan informasi antar satu sama lain, membaca buku yang sama yang disediakan gratis, membuka ruang berpendapat, dan berserikat. Perpustakaan Jalanan Bandung membuka ruang diskusi, hal itu memungkinkan setiap partisipan saling berjejaring. Tarjo mengatakan, “perpustakaan bukan sekedar baca buku, ada ruang sosial di sana. Ada diskusi, ada berbagi info, berbagi keluh kesah, berbagi bisnis, banyak. Nah, makanya perpustakaan pada biasanya malah membuat orang jadi diem. Perpustakaan jalanan mencoba membuat orang jadi aktif. Ada interaksi sosial di sana, ada relasi. Membuka ruang-ruang sosial yang baru.” “Partisipan anggota barubaru ini berasal dari kawankawan yang tergusur dari Dago Elos. Perpustakaan Jalanan ikut berpartisipasi membantu temanteman di Tamansari, pedagangpedagang. Inisatif, asosiasi bebas anggota. Partisipannya, aliansi anti pemerintah, aliansi rakyat anti penggusuran, buruh, dan tani.” kata Tarjo. Kegiatan Buku Bergerak yang dilaksanakan setiap hari saat
cuaca cerah di Brooklyn Timur, setiap Kamis, pada pukul 16.0021.00 pun memiliki kegiatan diskusi, seringkali mereka membahas isu kampus dan bedah buku. Seperti acara yang pernah mereka adakan yaitu bedah buku Rekayasa Sosial karya William Dahl. Menyoal polemik literasi Indonesia, Bagi Tarjo, minat baca orang Indonesia tinggi tetapi aksesibilitas terhadap buku sangat rendah. Tarjo berpendapat, aksesibilitas buku rendah karena distribusi pengetahuan dari yang berwenang terlalu mengikuti negara atau elit. “Aku masih percaya bahwa ilmu, ekonomi, lainnya memiliki ekspoloitator. Semuanya mengikuti selera pasar,” ungkapnya. Mengenai aksesibilitas bacaan dan hak-hak terhadap ilmu pengatahuan Tarjo setuju bahwa ilmu meskilah bebas biaya alias gratis seperti menghirup udara. Satu suara dengan Tarjo, Haekal mengatakan, “Akses buku, ilmu pengetahuan di Indonesia masih sulit. Buku itu seperti sejarah, jadi tergantung siapa yang memegang kekuasaan saat ini. Jadi misalkan saat ini yang berkuasa orang-orang kapitalis, nah bukunya tentang itu semua.”
61
Sumber gambar: https://assets.rappler.com/612F469A6EA84F6BAE882D2B94A4B421/img/ D28AF433A02F45A78C1F911541876BAD/perpus-jalanan-bdg.jpg
Dapat kita rasakan, aksesibilitas terhadap pengetahuan terutama buku bergantung kepada orang-orang yang memiliki power atau kuasa––memiliki power adalah pemegang pengetahuan. Foucault menyampaikan bahwa power atau kekuasaan dan pengetahuan tidak ada sebagai entitas independen tetapi terkait erat pengetahuan selalu merupakan latihan kekuasaan dan kekuatan selalu fungsi pengetahuan. Maka, wajiblah melakukan perlawanan terhadapnya, memerdekakan entitas pengetahuan dengan memperlancar aliran arus pengetahuan. Kehadiran
62
perpustakaan jalanan sebagai penggiat literasi kelas bawah, atas haknya dalam menciptakan wadah independen yang menyebarkan ilmu bebas biaya, membuka diskusi terbuka, dan mempermudah aksesibilitas masyarakat terhadap buku, bagi saya, adalah salah satu dari bentuk perlawanan terhadapnya.
SELESAI! NANTIKAN AUFKLÄRUNG EDISI SELANJUTNYA SALAM PEMBEBASAN!