majalah
aufklÄrung lembaga pengkajian dan pengabdian masyarakat demokratis universitas padjadjaran
edisi maret 2017
LGBT DI INDONESIA: Penelusuran Kembali Jejak yang Mulai mengHilang
press release: DISKUSI REGULER
ROSA LUXEMBURG: IKON PERJUANGAN FEMINISME sayap kiri
CERPEN: SURGA/UTOPIA
Pengantar Salam Pembebasan! Pada akhirnya AUFKLĂ„RUNG untuk bulan Maret 2017 terbit! Kami berharap kawan kawan pembaca terbangkitkan rasa keingintahuan mengenai isu-isu sosial budaya dan filsafat (khususnya mahasiswa yang membaca) dan mengajak kawan-kawan untuk berpikir lebih kritis menghadapi suatu isu. Selamat menikmati sajian sederhana kami! Tim AUFKLĂ„RUNG LPPMD Unpad Maret 2017
Penyusun AUFKLÄRUNG PENANGGUNG JAWAB Mulia Ramdhan Fauzani (Ketua Umum LPPMD 2016-2017) PEMIMPIN REDAKSI M Fathurrahman A K (Kepala Divisi Media) KONTRIBUTOR
Aldo Fernando Nasir Annadi Muhammad Alkaf M Fathurrahman A K Muhammad Fakhri Mulia Ramdhani Fauzan Rachmadi Rasyad LAYOUT, EDITOR, DESAIN M Fathurrahman A K
Daftar Isi I Artikel
IV Resensi
II Biografi
V Les Avis
III Sastra
IV Press Release
Artikel.
NON-BINARY GENDER DI INDONESIA: Penelusuran Kembali Jejak yang Mulai Menghilang M Fathurrahman A K (Kepala Divisi Media LPPMD Unpad 2016-2017) - Psikologi 2016
Cukup
sering kita melihat topiktopik berita yang membahas gender nonbinary. Menariknya, pembahasan mengenai LGBT berita-berita anyar selalu terkait dengan penyelewengan perilaku seksual yang dilakukan. Jarang ada pemberitaan tentang pembahasan gender lebih lanjut melalui analisis yang mendalam. Masyarakat Indonesia, yang selalu memegang teguh budaya “timur”, harus melihat kembali gender yang terasingkan dengan datangnya budaya-budaya “barat” (baca: budaya asia sebelah barat) dan menilik kembali permasalahan moralitas terhadapnya.
sumber: vice.com Gerakan LGBT atau Lesbian, Gender, Bisexual, and Transgender adalah suatu gerakan sosial yang mengadvokasi kesetaraan hak sosial untuk orang-orang LGBT. Salah dua hal yang selalu menjadi sebuah aksi yang cukup untuk membangun kesadaran masyarakat adalah membangun masyarakat LGBT dan mengkritisi pemahaman khalayak soal homophobia, biphobia, dan transphobia. Gerakan LGBT berjuang terhadap pembebasan masyarakat, seperti lewat politik, untuk memperoleh hak-hak LGBT terutama proteksi terhadap kekerasan. Indonesia, sebagai negara yang penuh dengan beragam budaya, termasuk budaya yang mempunyai unsur LGBT didalamnya, kiranya bisa mengkaji kembali persoalan yang berhubungan dengan gender dan preferensi seksual. Gagasan gender ini berada dalam budaya Indonesia. Kebudayaan bugis, tarian Reog Ponorogo, sampai tarian kontemporer yang sering dipentaskan oleh Didik Ninik Thowok masuk dan terserap oleh ruang-ruang kebudayaan Indonesia yang kental dengan kemistisannya. Hal ini tentu tidak bisa disangkalkan, bahwa persoalan gender di Indonesia tidak hanya meliputi hak-hak gender binary, namun tetap mengikutsertakan gender-gender di luar dari itu. 1
Sebut saja orang Bugis. Sudah ratusan tahun semenjak orang Bugis mempunyai spektrum gender yang tidak melulu laki-laki dan perempuan. Bugis mengenal tiga jenis kelamin, yakni: laki-laki, perempuan, dan hermafrodit (mempunyai dua kelamin) dan ada empat gender, yakni: Makkunrai (setara dengan perempuan cisgender), Oroane (setara dengan laki-laki cisgender), Calalai (setara dengan transgender laki-laki yang mempunyai karakteristik gender perempuan), Calabai (setara dengan transgender perempuan yang mempunyai karakteristik gender laki-laki), serta satu meta-gender, yaitu Bissu (gabungan dari kesemuanya dan berjenis kelamin hermafrodit). Di dalam suatu wilayah tertentu, Bissu adalah penasihat pemimpin. Bissu merepresantasikan keseluruhan gender agar kesemuanya koeksis. Untuk menjadi Bissu, seseorang harus terlahir dengan kedua kelamin secara bersamaan, meski ini tidak menutup kemungkinan salah satu fungsi organ kelamin tidak berfungsi. Dengan ini, keempat gender lain bisa hidup dengan harmonis tanpa merasa tidak direpresentasikan. Penampilan mereka pun sama. Mereka bertatarias dan memakai layaknya perempuan dengan unsur feminin yang kental, namun tidak menghilangkan atribut-atribut maskulin. Untuk menjadi Bissu pun tidaklah mudah. Seseorang harus melewati serangkaian upacara adat dan proses magang untuk menjadi orang yang cukup berpengaruh terutama dalam hal spiritualitas. Hal ini berlangsung bisa mencapai bertahun-tahun untuk membuat seseorang menjadi Bissu. Tentu, Bissu tidak hanya membantu kepala suku dan dewan adat untuk memerintah dan memberikan arahan dalam pembangunan suatu desa. Bissu merangkap sebagai “tetua� yang bisa berkomunikasi langsung dengan Yang Maha Kuasa. Seorang Bissu dianggap sebagai manusia setengah dewa yang bisa menggunakan batin untuk menghalau roh-roh jahat ingin mengganggu individu atau sekelompok orang di dalam suatu lingkungan. Bissu juga “memprediksi� kejadian melalui mimpi-mimpi yang ia dapatkan. Dari sini lalu didiskusikan kembali bersama dewan-dewan adat untuk kemaslahatan kampung kedepannya. Sekarang Bissu sudah mulai hilang. Terlepas dari seluruh kekhasan dan keunikan yang ia miliki, Bissu hampir punah. Perubahan zaman yang terjadi serta masuknya nilai-nilai kebudayaan luar yang mengkonfirmasi gender adalah sesuatu yang biner membuat Bissu kehilangan tempat dalam eksistensi kebudayaan Bugis. Pada zaman kerajaan sebelum datangnya kolonialisme Belanda, satu kerajaan bisa mempunyai 40 Bissu dan ratusan Calalai dan Calabai. Sekarang, di Kecamatan Segeri Mandalle, Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan, misalnya, hanya tinggal 12 Bissu saja. Kehilangan ini bisa bermacam-macam sebabnya. Salah satu hal yang konkret untuk diperhatikan adalah pesatnya penyebaran ajaran agama Islam yang terlalu fundamental. Dahulu, kebudayaan Bugis tak sekekang dengan ajaran-ajaran yang didapatkan. Bissu dapat berkomunikasi dengan Allah dan bisa menjadi perantara dalam penyampaian pesan terkait suatu hal. Seorang Bissu bisa mengizinkan Jin untuk diikutsertakan ketika ada seseorang yang ingin melakukan peribadatan Haji agar diselamatkan sampai tujuan dan kembali secara utuh ke kampungnya. Hilangnya mitos-mitos yang dulunya bersemayam dikampung-kampung dan mendukung keberadaan Bissu sebagai seseorang yang sakti ini menghilangkan unsur kemagisan dari Bissu yang selanjutnya membangkitkan rasa skeptisisme warga sekitar untuk tidak percaya lagi dengan salah satu artifak kebudayaan tersebut. Hilangnya kerajaan-kerajaan dan diganti dengan pemerintahan NKRI juga salah satu faktor hilangnya eksistensi Bissu secara legalitas. Harapan baru muncul pada tahun 2001 ketika pemerintahan kabupaten tersebut memberikan dukungan terhadap lembaga adat ada. Pun, ini juga dimanfaatkan oleh pemerintah setempat sebagai sumber devisa dengan mendatangkan waria bukan Bissu sebagai sebuah pertunjukkan wisata. Bissu-bissu ini juga ser2
ing mendapat pandangan negatif dari masyarakat sekitar sehingga kaum Bissu berlindung dibalik aspek “kebudayaan� dari pemerintah setempat. Kehilangan ini juga diperparah dengan adanya serangan oleh kaum fundamentalis terhadap Bissu. Tahun 1960an, terjadi suatu kejadian yang dinamakan Operasi Toba (Taubat). Bissu-bissu yang sebelumnya hidup dengan damai koeksis dengan warga sekitar dituduh dan dicap sebagai kafir yang melakukan praktik musyrik. Masyarakat bergejolak. Sebagian masyarakat masih ingin untuk mempertahankan nilai-nilai kebudayaan leluhur mereka yang sudah sejak lama ada, sebagian yang lain timbul kebencian kepada kaum multigender tersebut dan ingin memurnikan ajaran keagamaan mereka. Kahar Muzakkar, melalui gerakan DI/ TII, menumpas habis Bissu-bissu yang berada di wilayah Sulawesi Selatan. Ini membuat Bissu-bissu harus bersembunyi di goa-goa sekitar wilayah tersebut untuk bertahan hidup dari tekanan kaum fundamentalis agama. Dengan usaha kekerasan terhadap kebudayaan yang terjadi, pemerintah perlu membuat kajian lebih lanjut dan membuat kebijakan untuk menempatkan Bissu dan kelompoknya sebagai salah satu warisan budaya. Dukungan-dukungan moral dan penghargaan terhadap kaum Bissu bisa menjadi salah satu faktor yang harus diperhatikan sebagai aset budaya bangsa yang tiap hari kian tergerus eksistensinya. Daftar Pustaka: Boellstorff, T. (2007). A Coincidence of Desires: Anthropology, Queer Studies, Indonesia. Dunham: Duke University Press. Davies, S. G. (2010). Gender Diversity in Indonesia : Sexuality, Islam and Queer Selves. Boston: Wadsworth Publishing Company. Geertz, C. (1992). Tafsir Kebudayaan. Terjemahan F. Budi Hardiman. Yogyakarta: Kanisius. Graham, S. (2004). While Diving, Drink Water: Bisexual and Transgender Intersections in South Sulawesi, Indonesia. Journal of Bisexuality 3, 231-248. Graham, S. (2005). Indonesian Intersections of Bisexuality and Transgender. Sexualities, Genders, and Rights in Asia: 1st International Conference of Asian Queer Studies, Bangkok, 2005. Bangkok: Auckland University of Technology. Latief, H. A. (1981). Bissu dan Peralatannya. Makassar: Proyek Pengembangan Permuseuman Sulawesi Selatan. Latief, H. A. (2004). Bissu, Pergulatan dan Peranannya di Masyarakat Bugis. Depok, Jawa Barat: Desantara Utama. Pranesti, O. L. (2012, July 10). Bissu, Pendeta Agama Bugis Kuno yang Kian Terpinggirkan. Retrieved from National Geographic: http://nationalgeographic.co.id/berita/2012/07/bissu-pendeta-agama-bugis-kuno-yang-kian-terpinggirkan Sunardi, C. (2011). Negotiating Authority and Articulating Gender: Performer Interaction in Malang, East Java. The Society of Ethnomusicology, 32-54. 3
Suwarningdyah, R. R. (2007). Laporan Penelitian Tinggalan Budaya: Bidang Kesenian tahun 2007. Jakarta: Kementrian Pariwisata.
4
Gender Equality Di Indonesia Dalam Kerangka Sustainable Development Goals Muhammad Fakhri (Kepala Divisi Pendidikan LPPMD Unpad) - Hubungan Internasional 2016 Pada tanggal 25-27 September 2015 di markas besar Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), New York, dengan beberapa perwakilan negara-negara di seluruh dunia, menyepakati agenda pembangunan berkelanjutan yang baru atau biasa disingkat SDGs1. Bertepatan pada perayaan 70 tahun PBB, dibuatlah suatu agenda pembangunan bekerlanjutan selama 15 tahun ke depan yang menggantikan sekaligus melengkapi agenda sebelumnya, yaitu MDGs (Millenium Development Goals). Di dalam Agenda tersebut terdapat tujuh belas tujuan dan 169 target-target yang harus dicapai oleh negara-negara yang menyepakatinya, tidak terkecuali Indonesia. Salah satu dari tujuh belas tujuan yang terdapat dalam SGDs adalah gender equality (persamaan gender) dan Empower woman and girls (memberi kuasa kepada wanita). Tujuan kelima dari SDGs ini memiliki sembilan target yang dapat dijadikan pedoman dan indikator atas implementasi SDGs di Indonesia. Persamaan gender, belakangan ini, cukup mendapat perhatian publik di Indonesia melalui publikasi media massa. Dengan segala dinamika kasus-kasus persamaan gender—sebagai ikatan moral universal atas kesepakatan pertemuan PBB September lalu—Indonesia berkewajiban menegakkan hal tersebut sebagai konsekuensinya. Target pertama yang harus dipenuhi Indonesia adalah mengakhiri semua bentuk diskriminasi terhadap perempuan di seluruh Indonesia. Target ini mengharuskan, pemerintah sebagai otoritas yang memilik kekuasaan (power), untuk mengilangkan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Di dalam pemerintahan Jokowi-JK sekarang, pada dasarnya, memiliki visi-misi yang sejalan dengan SDGs, terutama persamaan gender. Jokowi-JK di dalam visi dan misi tersebut berkomitmen untuk memperjuangkan hak-hak perempuan di dalam segala aspek2. Namun, pada realitanya, kondisi perempuan di Indonesia—secara umum—memprihatinkan. Perempuan tidak mendapat perlakuan yang sama sebagaimana yang didapat oleh laki-laki. Hal ini terjadi dari berbagai sisi kehidupan di kehidupan masyarakat Indonesia. Tindakan diskriminasi dan peran inferior perempuan ini terjadi mulai dari ranah keluarga, pendidikan, ekonomi, politik, bahkan sampai budaya berpakaian dan bersikap pun—yang seharusnya menjadi ranah privasi sebagai cara berekspresi seseorang, baik laki-laki maupun perempuan—sering kali dilakukukan oleh sebagian kelompok dengan standardisasi moralnya sendiri. Di dalam ranah politik, perempuan Indonesia masih menjadi kaum minoritas dan lagi-lagi mendapatkan tindakan diskriminatif. Contohnya pada kursi lembaga legislatif di Indonesia hanya 18% perempuan dari 560 anggota total yang terpilih3. Konsekuensinya, berbagai kebijakan diskriminatif dikeluarkan, mulai dari tingkat daerah, sampai tingkat provinsi UN – United Nations, 2015 KPU – Komisi Pemilihan Umum, 2014 3 Asia Foundation, 2012 1 2
5
bahkan nasional. Komnas perempuan mencatat sampai agustus 2011, tercatat 207 kebijkan yang diskriminatif atas nama moral dan agama, 78 ditujukan kepada wanita. 200 dari 207 kebijakan tersebut dikeluarkan pada tingkat daerah dan propinsi, sedangkan tujuh lainnya pada tingkat nasional4. Contoh pertama adalah UU No. 44 Tahun 2008 tentang pornografi yang menjelaskan pencegahan pornografi melalui pendekatan agama dan moral. Komnas perempuan berargumen bahwa hal ini dapat menimbulkan pelanggaran terhadap kepastian hukum dan hak untuk berekspresi wanita dan karenanya mereka menyayangkan kebijakan UU tersebut. Sepanjang 2009 dan 2010, Komnas Perempuan mendapatkan dua kasus kriminalisasi perempuan atas UU pornografi. Yang pertama melibatkan empat korban perdagangan manusia yang dianggap melakukan perbuatan amoral. Dan yang kedua, seorang perempuan yang merekam adegan seks dengan pacarnya untuk meyakinkan orangtuanya agar mendapat ijin untuk menikah. Contoh kedua yaitu mengenai penyunatan (pemotongan organ genital) wanita berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan No.1636/MENKES/PER/ XI/2010. Peraturan ini mengubah peraturan yang lalu, yaitu peraturan Mentri Kesehatan No. HK.00.07.1.3.104.1047a of 2006 yang melarang tindakan medis untuk memotong organ genital wanita karena tidak memiliki keuntungan sama sekali. Hal ini sungguh diskriminatif, meningat kembali Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28D ayat 1 berbunyi “Setiap orang berhak mendapat perlakuan yang sama dimata hukum” dan 28D ayat 3 berbunyi “Setiap warga Negara berhak memperolah kesempatan yang sama dalam pemerintahan”. Berbagai fakta, kondisi, dan kebijakan di atas menyentuh berbagai target yang ada dalam tujuan kelima di kerangka Sustainable Development Goals. Dalam ranah keluarga atau pernikahan, ternyata perempuan masih menjadi individu yang didiskriminasi di Indonesia5. Batas umur yang sah untuk menikah bagi laki-laki adalah 19 tahun, sedangkan perempuan adalah 16 tahun. Kebijakan ini berdasarkan UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan pasal 7 ayat 16. Tidak hanya itu, dalam berkeluarga, suami dianggap masih sebagai kepala keluarga dan tugas perempuan adalah mengurus anak-anaknya di rumah. Tentu saja hal ini adalah tindakan diskriminatif mengingat Convention On The Ellimination Of All forms Of Discrimination Against Woman (CEDAW) menegaskan bahwa suami-istri mempunya tangggungjawab dan otoritas yang sama dalam rumah tangga. Lebih jauh lagi dalam tatatan keluarga yang lebih bersifat privasi, tindakan diskriminasi cenderung dibiarkan bahkan diterima sebagai justifikasi kontrak pernikahan. Menurut survey kesehatan dan deomografi tahun 2013, hampir 25% perempuan yang menikah setuju atau mnerima tindakan kekerasan oleh pasangannya berupa pemukulan karena makanan yang dimasak terlalu matang (gosong), saling debat, dianggap tidak benar mengurusi anak, bahkan sampai karena menolak untuk berhubungan seks. Tindakan diskriminasi selanjutnya yang berhubungan dengan pernikahan adalah warisan. Walaupun di dalam hukum sipil diatur bahwa warisan dibagi secara rata antara laki-laki dan perempuan, akan tetapi di berbagai daerah masih menerapkan hukum adat dan hukum agamnya masing-masing. Di aceh, contohnya, yang masih menerapkan hukum syariah (Islam) mengatur 2:1 untuk warisan laki-laki dan perempuan. Sebaliknya, dalam adat minang, perempuan mendapat porsi yang lebih besar. Langkah besar PBB dalam kerangka SDGs ini sebenarnya cukup untuk menjadi pedoman dasar dalam menentukan arah kebijakan nasional, terutama pada isu persamaan Komnas Perempuan, “Independet Report Universal Periodic Review: Submitted to The Human Right Council”, 2011 SIGI – Social Institution and Gender Index, Indonesia, Discriminatory Family Cod 6 UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan Pasal 7 Ayat 1 4 5
6
gender di Indonesia. Tujuan (goal) kelima dengan Sembilan target dari SDG dapat menjadi refleksi bagaimana kondisi perempuan Indonesia dari waktu ke waktu dan tujuan apa yang harus dicapai untuk mencapai kesetaraan gender sekaligus dapat mulai memperkuat status sosial perempuan Indonesia yang cenderung (dianggap) inferior dari laki-laki. Diharapkan, siapapun dengan latar belakang dan profesi apapun, dapat menjadi agen yang mengubah paradigma dirinya sendiri dan keluarganya serta secara aktif menyuarakan dan bertindak berdasarkan asas persamaan gender. Sehingga salah satu tujuan dari SDG di Indonesia dapat tercapai dan berkontribusi untuk membuat dunia ini menjadi tempat yang lebih baik. Referensi: Asia Foundation, (2012), Gender in Indonesia, retrieved from https://asiafoundation.org/resources/pdfs/IDgender.pdf Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, (2014), Rancangan Awal: Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-2019, Jakarta. Fatma, A dan Rosvianti, R, (2014). Panduan Pencegahan dan Pelecehan Seksual di Tempat dan Kendaraan Umum. Jakarta: Halaman Moeka Komnas Perempuan, “Independet Report Universal Periodic Review: Submitted to The Human Right Council”, retrieved from http://lib.ohchr.org/HRBodies/UPR/Documents/session13/ID/Komnas_Perempuan_UPR_IDN_S13_2012_KomnasPerempuan_E.pdf SIGI – Social Institution and Gender Index, Indonesia, Discriminatory Family Cod, retrieved from http://www.genderindex.org/sites/default/files/datasheets/ID.pdf UN – United Nations, “Transforming Our Word: The 2030 Agenda For Sustainable Developement, retrieved from http://www.un.org/sustainabledevelopment/sustainable-development-goals/, pada tanggal 28 Nopember 2016
7
Para Penerjemah Berbahasa Arab Melakukan Lebih Jauh Daripada Sekadar Melestarikan Filsafat Yunani Peter Adamson* Penerjemah: Aldo Fernando** Pada zaman antik Eropa, sebagian besar filsuf menulis dalam bahasa Yunani. Bahkan setelah penaklukan Romawi di Mediterania dan kematian paganisme, filsafat betul-betul terasosiasi dengan kebudayaan Helenis. Pemikir besar dunia Romawi, seperti Cicero dan Seneca, mendalami kesusastraan Yunani; bahkan Cicero mengunjungi Athena untuk memberi penghormatan kepada rumah para pahlawan filsafat tersebut. Dengan cara yang mengesankan, kaisar Marcus Aurelius juga menulis Meditations karyanya dalam bahasa Yunani. Cicero, dan selanjutnya Boethius, mencoba memulai sebuah tradisi filsafat dengan bahasa Latin. Namun, selama awal Abad Pertengahan, sebagian besar pemikiran Yunani hanya dapat diakses dalam bahasa Latin secara parsial dan tidak langsung. Di tempat lain, situasinya lebih baik. Di bagian timur Kekaisaran Romawi, Bizantium yang berbahasa Yunani bisa terus membaca Plato dan Aristoteles dalam bahasa aslinya. Dan para filsuf di dunia Islam menikmati derajat akses yang luar-biasa ke warisan intelektual Helenis. Di Baghdad pada abad ke-10, para pembaca Arab memiliki derajat akses ke karya-karya Aristoteles yang kira-kira sama dengan para pembaca berbahasa Inggris dewasa ini. Ini berkat usaha penerjemahan yang dibiayai dengan baik yang berkembang selama masa kekhalifahan Abbasiyah, yang dimulai sejak paruh kedua abad ke-8. Didukung dengan sungguh-sungguh, bahkan oleh sang khalifah dan keluarganya, usaha penerjemahan tersebut mencoba mengimpor filsafat dan ilmu pengetahuan Yunani ke dalam kebudayaan Islam. Kekaisaran Abbasiyah memiliki sumberdaya untuk melakukan hal tersebut, tidak hanya secara finansial tetapi juga secara kultural. Sejak akhir zaman antik sampai kemunculan Islam, bahasa Yunani bertahan sebagai bahasa aktivitas intelektual di antara para umat Kristen, khususnya di Suriah. Maka, ketika para aristokrat Muslim memutuskan untuk membuat ilmu pengetahuan dan filsafat Yunani diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, kepada umat Kristenlah mereka berpaling. Kadang kala, sebuah karya berbahasa Yunani diterjemahkan dahulu ke dalam bahasa Suriah, dan kemudian ke dalam bahasa Arab. Itu merupakan tantangan yang besar sekali. Bahasa Yunani bukanlah bahasa semitis, sehingga para penerjemah berbahasa Arab tersebut bergerak dari satu kelompok bahasa ke kelompok bahasa lainnya: ini lebih seperti menerjemahkan bahasa Finlandia ke dalam bahasa Inggris ketimbang dari bahasa Latin ke dalam bahasa Inggris. Dan tidak ada, pada mulanya, terminologi yang mapan untuk mengungkapkan ide-ide filosofis dalam bahasa Arab. Apa yang mendorong kelas politik dalam masyarakat Abbasiyah mendukung usaha hebat dan sukar ini? Yang jelas, sebagian penjelasannya adalah karena kegunaan belaka dari corpus (karya besar) ilmiah: teks-teksi kunci dalam disiplin ilmu seperti teknik dan kedokteran memiliki kegunaan praktis yang nyata. Namun ini tidak menjelaskan kepada kita mengapa para penerjemah tersebut dibayar mahal untuk menerjemahkan, katakanlah, Metafisika karya Aristotels atau Enneads karya Plotinos ke dalam bahasa Arab. Penelitian oleh para sarjana terkemuka mengenai usaha penerjemahan bahasa Yunani-Arab, khususnya oleh Dimitri Gutas dalam Greek Thought, Arabic Culture (1998), menyatakan bahwa motif-motif yang mendasari usaha penerjemahan tersebut pada faktanya bersifat sangat politis. Para khalifah ingin 8
membangun hegemoni budaya mereka sendiri, dalam kompetisi dengan kebudayaan Persia dan juga dengan Bizantium. Abbasiyah ingin menunjukan bahwa mereka bisa melanjutkan kebudayaan Helenis dengan lebih baik daripada Bizantium yang berbahasa Yunani, yang terjebak dalam kegelapan irasionalitas teologi Kristen. Para intelektual Muslim juga membaca sumber teks-teks berbahasa Yunani untuk mempertahankan, dan untuk memahami lebih baik, agama mereka sendiri. Salah satu di antara yang paling awal untuk merengkuh kemungkinan ini adalah al-Kindi, yang menurut tradisi ditunjuk sebagai filsuf pertama yang menulis dalam bahasa Arab (ia wafat sekitar 870 M). Sebagai seorang Muslim makmur yang bergerak di kalangan pengadilan, al-Kindi mengawasi aktivitas para sarjana Kristen yang bisa menerjemahkan bahasa Yunani ke dalam bahasa Arab. Hasilnya beragam.Versi Metafisika karya Aristoteles dari kalangan al-Kindi tersebut kadang kala hampir tidak bisa dimengerti (agar bersikap adil, orang bisa mengatakan ini sebagai Metafisika Yunani juga), sementara ‘terjemahan’ mereka atas karya-karya Plotinos seringkali merupakan sebuah parafrase bebas berikut dengan bahan-bahan tambahan baru. Ini merupakan, terutama sekali, contoh dramatis mengenai sesuatu yang menjadi karakteristik terjemahan-terjemahan Yunani-Arab yang lebih umum—dan barangkali dalam semua terjemahan-terjemahan filosofis. Mereka yang menerjemahkan filsafat dari sebuah bahasa asing akan mengetahui bahwa, untuk mencoba melakukannya, anda memerlukan pemahaman yang mendalam atas apa yang sedang anda baca. Sepanjang proses penerjemahan, anda pasti membuat pilihan-pilihan yang sulit mengenai bagaimana menerjemahkan teks sumber ke dalam bahasa target, dan para pembaca (yang mungkin tidak memahami, atau tidak bisa mengakses ke, versi asli) akan bergantung pada keputusan-keputusan penerjemah. Ini salah satu contoh favorit saya. Aristoteles menggunakan kata eidos dalam bahasa Yunani untuk merujuk baik ‘bentuk’—sebagaimana dalam ‘substansi terdiri dari bentuk dan materi’—maupun ‘spesies’—sebagaimana dalam ‘manusia adalah sebuah spesies yang berada di bawah genus hewan’. Namun di dalam bahasa Arab, sebagaimana dalam bahasa Inggris, terdapat dua kata yang berbeda (‘bentuk’ [form] adalah sura, ‘spesies’ [species] adalah naw). Akibatnya, para penerjemah berbahasa Arab harus memutuskan, setiap kali mereka menjumpai kata eidos, yang merujuk kepada konsep milik Aristoteles, kadang-kadang kata tersebut jelas, tetapi kadang-kadang tidak. Plotinos versi bahasa Arab, bagaimanapun, melampaui keputusan-keputusan yang niscaya semacam itu dalam hal terminologi. Hal ini membuat intervensi dramatis ke dalam teks, yang membantu memunculkan relevansi ajaran teologi monoteistik Plotinos, yang menghidupkan kembali gagasan Neoplatonis mengenai prinsip pertama tertinggi sekaligus paling sederhana sebagai Pencipta yang maha kuasa dalam agama-agama Abrahamistik. Apa sebenarnya peran al-Kindi dalam semua upaya penerjemahan ini? Sebenarnya, kita tidak sepenuhnya yakin. Tampaknya ia sendiri tidak menerjemahkan, dan ia mungkin bahkan tidak begitu memahami bahasa Yunani. Tetapi tercatat bahwa ia ‘mengoreksi’ Plotinus versi bahasa Arab, yang memungkinkan bahwa ia menambahkan ide-idenya sendiri ke dalam teks tersebut. Dengan terang, al-Kindi dan rekan-rekannya berpikir bahwa terjemahan yang ‘benar’ akan menjadi terjemahan yang menyampaikan kebenaran, bukan hanya terjemahan yang memiliki kesetiaan pada teks sumber. Namun al-Kindi tidak puas dengan hal ini. Ia juga menulis seri karya-karya sendiri, biasanya dalam bentuk surat-surat atau epistel-epistel kepada pelindungnya, yang termasuk sang khalifah sendiri. Surat-surat tersebut menjelaskan mengenai pentingnya dan daya ideide Yunani, dan bagaimana ide-ide ini bisa berbicara dalam perhatian Islam pada abad ke-9. 9
Akibatnya, al-Kindi menjadi semacam penghubung publik bagi pemikiran Helenis. Namun ini tidak bermaksud bahwa ia, secara merendahkan diri, mengikuti pendahulu kunonya yang menulis dalam bahasa Yunani. Sebaliknya, orisinalitas perkumpulan [usaha penerjemahan, penerj.] al-Kindi terletak pada adopsi dan adaptasinya atas ide-ide Helenis. Ketika al-Kindi mencoba membangun identitas antara prinsip pertama dalam Aristoteles dan Plotinos dengan Tuhan dalam Al-Quran, jalannya sudah dipersiapkan oleh terjemahan-terjemahan yang sudah memperlakukan prinsip pertama tersebut sebagai sang pencipta. Ia tahu bahwa kita cenderung lupa dewasa ini: bahwa menerjemahkan karya-karya filsafat bisa menjadi sebuah cara yang sangat ampuh untuk berfilsafat.[] *** *Peter Adamson adalah seorang professor filsafat di Ludwig Maximilian University of Munich. Ia merupakan penulis beberapa buku terkenal: The Arabic Plotinus (2002), Great Medieval Thinkers: al-Kindi (2007) dan Philosophy in the Islamic World (2016), ia juga seorang pemandu di the History of Philosophy podcast. **Penerjemah adalah Mahasiswa Pertanian Unpad, yang mengambil peminatan Perkebunan. Ia seorang pemuda yang hidup di Twitterland dengan id @aldofernandons Sumber tulisan: Adamson, Peter. 2016. Arabic Translators Did Far More Than Just Preserve Greek Philosophy, dalam https://aeon.co/ideas/arabic-translators-did-far-more-than-justpreserve-greek-philosophy (diakses pada 27/01/2017, 18: 30 WIB).
10
ROSA LUXEMBURG: Ikon Perjuangan Feminis Sayap Kiri M Fathurrahman A K (Kepala Divisi Media LPPMD Unpad 2016-2017) - Psikologi 2016 Rosa Luxemburg adalah deviasi dari gerakan kiri. Tidak ada sosok selain beliau yang pemikirannya disetujui oleh berbagai gerakan yang saling bertubrukan, yakni Marxis-Leninis yang berpegang teguh dengan MDH-nya, Anarkis yang tidak menyetujui kediktatoran kaum proletar, bahkan sosial demokrat yang tidak menyetujui komunisme dan memilih untuk memperbaiki kerusakan dari kapitalisme. Rosa Luxemburg, atau yang lebih dikenal dengan sebutannya Red Rosa, adalah seorang Marxis, ekonomis, aktivis anti-perang, feminis, dan sosialis revolusioner keturunan Yahudi Polandia yang dinaturalisasi menjadi warga negara Jerman—atau dengan kata lain: individu paling minoritas pada saat itu, selain mempunyai ide yang cukup membuat ia tertangkap, ia juga tidak sempurna secara fisik. Luxemburg lahir di Zamosc pada tanggal 5 Maret 1871 di Polandia, yang pada waktu itu masih dikendalikan oleh Rusia. Umur dua tahun, ia mengalami pertumbuhan tak sempurna: kaki-kakinya cacat. Namun, pahlawan kita semua ini tidak mungkin berhenti sampai disitu. Cukup beruntung untuk lahir sebagai seorang bungsu yang berasal dari keluarga kelas-menengah-bawah, Luxemburg berhasil mengambil pendidikan doktoralnya di University of Zurich, yang waktu itu cukup langka di Zurich karena ia adalah salah satu perempuan dengan gelar doktor. Ia mengambil ilmu alam dan ekonomi politik yang pada akhir perjalanan pendidikannya berhasil menghasilkan disertasi berjudul Die Industrielle Entwicklung Polens (Pembangunan Industri Polandia) dan mendapatkan gelar PhD dalam bidang Ekonomi. Dengan masih tetap aktif dalam gerakan kiri yang ia buat bersama kawannya, Leo Jogiches, yakni Socjaldemokracja KrĂłlestwa Polskiego i Litwy (Partai Sosial Demokratik Kerajaan Polandia dan Lithuania), Luxemburg memutuskan untuk pindah ke Jerman. Dengan regulasi hubungan luar yang cukup ketat pada waktu itu, Luxemburg tidak bisa untuk tinggal langsung di Jerman. Ia mempunyai dua pilihan: yang pertama, Ia masuk ke dalam dengan sembunyi-sembunyi sampai pada akhirnya ditangkap dengan tuduhan Yahudi-Komunis-Imigran-Perempuan-yang-ingin-merusak-tatanan-Jerman, atau, yang kedua, menikahi anak dari kawan lamanya, Gustav Lubeck, agar idealisme-nya untuk masuk ke Jerman tercapai. Tentu, orang dengan kewarasan namun mempunyai idealisme langit yang menyentuh atmosfer memilih cara yang kedua agar bisa tercapai mimpinya. Meski ini adalah hal terpaksa, dimana Luxemburg dan Lubeck tidak pernah tinggal bersama dan mereka bercerai lima tahun setelah “trikâ€? pernikahannya berhasil, toh mimpinya tercapai juga. Di Jerman, Luxemburg bergabung ke dalam partai Sozialdemokratische Partei Deutschlands (Partai Sosial Demokratik Jerman, selanjutnya disingkat SPD). Di SPD, yang pada waktu itu mempunyai tujuan untuk pembebasan untuk buruh-buruh pekerja industri dan seluruh minoritas dan kesemuanya hanya bisa dicapai dengan revolusi, Luxemburg mulai menimbun rasa benci konservatisme dari Berlin. Ia tidak suka dengan cara orang-orang Prussia pada waktu itu, khususnya laki-laki, yang sinis terhadap gerakan kiri namun hidup dengan status-quo yang ada. Setelah menjadi saksi peningkatan isu-isu revolusi yang terjadi di kerajaan Rusia, Ia mengembangkan teorinya. Ia mengkritik pemerintahan parlementer yang waktu itu sedang 12
menjadi perdebatan di kalangan sosialis. Argumennya adalah hanya dengan persatuan kaum buruh seutuhnya berevolusi melawan kapitalisme yang mengekang dengan gelang-gelang penindasan. Pandangannya terhadap hal tersebut tentu membuat orang-orang di sekitarnya, yakni SPD, juga merasa kalut karena terlalu radikal. Hal ini juga yang membuat dirinya terbunuh dari paramiliter sayap kanan selanjutnya. Tahun-tahun menjelang Perang Dunia I, Luxemburg aktif dalam menyebarkan ideologi radikal. Ia dan kawan-kawan dekat sosialisnya di SPD sangat menentang kebijakan Jerman dalam partisipasinya kepada Perang Dunia I, karena perang tersebut hanya sekadar perang antarimperialis yang tidak menguntungkan populasi secara umum. Ini semakin memperburuk hubungannya dan kawan-kawannya dengan petinggi-petinggi partai, yang pada waktu itu mempunyai harapan kepada perang yang dilakukan akan memenangkan Jerman dan mereformasi sistem pemerintahannya. Ini berujung kepada Luxemburg yang sudah terlalu kesal untuk membuat tulisan pada tahun 1916 berjudul The Crisis in German Social Democracy. Di tulisannya, yang dibantu oleh kawan seperjuangannya Karl Liebknecht, ia mengkritik bahwa SPD telah gagal untuk membangun kelas-kelas pekerja dengan bekerja sama pada Imperialis yang hanya mementingkan kekayaannya. Solusi yang pantas, menurut Luxemburg, adalah melalui revolusi kelas internasional. Tentu ini malah membuat kegerahan bagi SPD. Kisah Luxemburg berakhir pada tahun 1919. Perjalanannya perburuannya telah berakhir ketika ia dan kawannya—Wilhelm Pieck dan Karl Liebknecht—ditangkap oleh sekumpulan paramiliter berseragam Jerman sayap kanan yang kemudian mendukung Nazi. Ia lantas disiksa dan dipukuli dan dihantam batok kepalanya dan dihujani oleh butir-butir peluru dan dilempari sisa remukan mayatnya ke sungai Landwehr. Mayatnya hilang begitu saja sampai setelah lima bulan kemudian. Kepalanya yang penuh dengan ide-ide kritis sudah tidak berbentuk lagi. Luxemburg adalah pahlawan. Tidak hanya untuk gerakan kiri, ia adalah pahlawan yang berjuang melawan penindasan perempuan. Meski jarang menulis secara khusus tentang gerakan feminisme yang pada waktu itu sedang hangat-hangatnya mengenai isu Suffragette, Luxemburg cukup jelas dukungannya dalam beberapa tulisan kritik terhadap imperialisme dan sosialis pada jamannya. Untuknya, perjuangan kaum tertindas, terutama kaum perempuan yang pada waktu itu masih belum dapat hak untuk memilih, haruslah mempermasalahkan isu terkait pembebasan perempuan. Namun ia menolak mendukung gerakan pembebasan perempuan secara umum. Ia berpendapat bahwa gerakan massa yang membawa isu tentang hak pilih perempuan tidak boleh hanya didukung oleh perempuan semata, namun itu adalah kesadaran bersama sebagai kaum tertindas untuk memperjuangkan haknya, baik laki-laki maupun perempuan. Kematiannya membuat dirinya seorang martir. Kawannya, Clara Zetkin, menuliskan tentangnya: Ide tentang sosialis bagi Rosa Luxemburg menerkam rasa untuk berjuang dari pemikiran maupun perasaan. Ia tidak hanya berkorban hanya dengan kematiannya yang membawa simpati dari sesamanya, namun juga dari tulisan-tulisannya yang penuh semangat untuk mengkritisi mulai dari imperalisme sampai ke dalam gerakan sosialis sendiri. Dengan menggunakan metafor, Tony Cliff, salah satu aktivis kiri yang cukup terkenal, berkata: Di negeri-negeri tersebut, pisau bedah analisis Rosa lebih terlampau jauh pengaruhnya ketimbang Palu Lenin.
13
Daftar Pustaka: Buhle, P., & Hudson, A. (2016, January 29). Rosa Lives. Retrieved from Jacobinmag: https:// www.jacobinmag.com/2016/01/rosa-luxemburg-paul-buhle-clr-james-reform-revolution-german-spd/ Cliff, T. (1959). Rosa Luxemburg. London: International Socialism. History.com Staff. (2009). Socialist Revolutionary Rosa Luxemburg Born. Retrieved from History.com: http://www.history.com/this-day-in-history/socialist-revolutionary-rosa-luxemburg-born
14
Surga t o p i a
Surga/Utopia M Fathurrahman A K (Kepala Divisi Media LPPMD Unpad 2016-2017) - Psikologi 2016
“Dimana aku?” Kosim membuka matanya. Badannya letih. Pikirnya, ia pasti tertidur sangat lama setelah tongkat besi berongga sepanjang satu setengah meter menghantam kepalanya saat ia berteriak Allahu Akbar ketika menuntut kekhilafahan saban bulan yang selalu ia lakukan ketika pengajiannya mengajak bersama-sama ikhwan dan akhwat berjuang di jalan Allah memprotes demokrasi harus tumbang dengan berdemonstrasi. Setidaknya itu hal terakhir yang ada dalam tempurung tengkoraknya sesaat setelah dihantam oleh batang dingin yang diatasnya ada sebuah plang bertuliskan “SYARIAH DAN KHILAFAH SOLUSINYA. PROBLEMATIKA INDONESIA DAN DUNIA”. “Kamu ada di Surga. Surga yang telah lama kamu rindukan.” Kosim bingung. Ia tak percaya. Bagaimana tidak, surga yang selama ini ada dipikirannya adalah suatu padang hamparan luas dengan cuaca yang sejuk setiap saat dengan matahari yang selalu ditutupi oleh awan, dengan aroma semerbak khas parfum surga yang membuat warga Perancis candu-ingin-bersetubuh seperti dalam film Perfume: The Story of a Murderer, dihiaskan dengan sungai-sungai yang mengalir jernih laksana kaca yang baru disemprot dengan pembersih sampai-sampai orang yang melihat tampangnya akan bingung apakah ia sedang bercermin atau melihat kembar identiknya yang telah lama terpisah, pohon-pohon yang terbalik agar penghuninya tidak capek-capek mengambil buahnya, serta bejana-bejana terbuat dari emas dan perak dan permata berisikan minuman yang memabukkan, tetapi tidak membuat mabuk jika diminum bahkan sampai tiga galon air isi ulang, yang dicampur jahe dan ramu-ramuan ala Jägermeister dan disajikan dengan suhu delapan belas derajat celcius dibawah nol. Dan, tak lupa, bidadari-bidadari mungil yang kelihatan tulang betisnya lengkap dengan selendang menutupi dada montoknya yang memanggil-manggil hasrat primitif manusia akan kebutuhan seksual yang tidak lagi mementingkan rasa suka sama suka. Yang ia dapatkan adalah pandangan yang dingin dari gedung-gedung besi krom menjulang tinggi, tinggi sekali sampai mengalahkan rencana menara Babel yang konon akan menjulang sejauh 10 kilometer jika pengerjaan sudah selesai, dan ini tersebar banyak, banyak sekali, dan beragam pula bentuknya. Ada yang mempunyai kubah. Ada juga yang seperti tusuk cilok, dengan kubahnya ada di bagian tengah. Ada seperti cilok yang jatuh ke tanah, gedung dan kubah yang berseberangan tetapi masih dalam satu kompleks gedung. Ada yang mirip keong mas, tetapi kali ini ukurannya raksasa, dan warnanya bukan keemasan tetapi krom, seperti warna gedung lainnya. Dan, ada gedung yang paling megah. Terbuat dari material yang sama, tentu saja—krom, yang menyerupai bangunan bertemakan gotik, mirip seperti sekolah Hogwarts dalam serial Harry Potter. Tidak hanya pandangan dingin dari gedung-gedung yang aneh-aneh, Kosim juga mendapatkan pandangan yang tidak kalah dinginnya dari robot yang datang menghampiri dan mengajaknya bicara.
“Kau siapa? Dimana aku? Dimana manusia yang lain?”
Robot tersebut berubah suaranya. Dari suara yang menggema dan bass-y, berubah menjadi suara khas robot, atau seperti suara Stephen Hawking yang ingin meminta jatah kepada istrinya lewat mesin text-to-speech. Tanpa emosi dan perasaan. 16
“Saya adalah Alif-Lam-Röf 2001, robot yang dikirimkan langsung untuk mengawali anda. Anda sekarang berada di surga. Lengkapnya, anda sekarang berada di wilayah U-212, sektor PX ke-XVIII, Firdaus tingkat satu. Seluruh manusia berada di salah satu kamar di gedung-gedung yang ada. Tentu, di surga juga dibutuhkan privasi, bukan? Tenang saja, jika anda rindu dengan manusia, cukup dengan pergi ke VA-11-H4LL, tidak jauh dari sini. Disitulah tempat manusia berkumpul dan saling berbagi ide-ide mereka. Namun, sebelumnya, izinkan saya untuk mengantarkan anda menuju kamar saudara. Selamat menikmati fasilitas surga yang ada!” Robot tersebut mengakhiri percakapannya seraya berbalik badan membelakangi Kosim. Kosim, yang merasakan dirinya sehat sekali entah kenapa, bergegas beranjak lalu berjalan tertatih sekaligus sempoyongan dengan mulut menganga karena masih heran dengan keadaan yang ada. Dalam pikirannya, Kosim pasti bermimpi. Ini cuma khayalan belaka. Karena sehari sebelum pergi demonstrasi, malamnya ia menyempatkan untuk menonton laga Tom Cruise dalam film Minority Report. Mungkin ia terbawa dalam film yang menggambarkan dunia modern tersebut. Ia mencoba mencubit kulitnya. Tak sakit. Ini sudah pasti mimpi, tungkasnya. Tapi ia merasakan kesadarannya benar-benar hadir saat ini. Bukan seperti mimpi yang sulit dibedakan rasa sadar dan tidaknya. Dia punya kendali penuh atas dirinya, sesuatu yang tidak ada dalam mimpi. Menyadari hal tersebut, lekas ia memegang kepalanya yang terantuk besi. Tidak ada bekas luka. Seluruhnya seperti sedia kala. Ia bingung. “Bagaimana impresi pertama anda tentang surga ini? Menakjubkan bukan?” “Ini bukan surga yang kurindukan sebelumnya. Bukan seperti ini. Ini seperti di film-film Hollywood yang mencoba menafsirkan masa depan seperti apa. Ini bukan surga.” “Oh. Tentu saja ini surga. Di surga, anda bisa menciptakan pandangan surga yang anda inginkan. Semuanya menggunakan mesin robot disini. Tak perlu khawatir.” “Diciptakan? Berarti aku harus repot-repot memikirkan konsep surga yang aku inginkan, begitu? Bukankah aku bisa langsung menikmatinya saja?” “Kalau anda tidak ingin capek-capek untuk berpikir, masuk saja ke distrik surga sesuai kemauan. Distrik-distrik surga ini diciptakan untuk meniru konsep surga duniawi. Ada beberapa distrik yang telah dibuat. Distrik B-988, misalnya, itu dibuat semirip mungkin dengan konsep surga masyarakat Viking. Atau Distrik P-572, yang menggunakan cetak biru surga penganut Islam. Ada pula Nirvana, atau N-192, yang mirip dengan konsep surga Hindu. Kalau bosan, cobalah sesekali berkunjung ke distrik yang unik, seperti I-712 yang memakai gambaran Bikini Bottom-nya Spongebob Squarepants atau T-515 yang dibuat menyerupai dunia dalam serial Westworld. Tentu, di dalam distrik tersebut mempunyai peraturannya sendiri, semata-mata untuk menjaga kekhasan surga yang dibuat. Jika bosan, anda bisa memilih untuk keluar dari distrik kapanpun anda mau.” Dibuat makin bingung, Kosim menghentikan pembicaraannya. Ia menengok kiri kanan untuk melihat apakah ada yang lewat. Sesekali ia perhatikan sesuatu yang melesat secepat kilat lalu lalang. Ada juga segumpal kabut yang terbang ditengah jalan dengan kecepatan seperti traktor yang mencoba menyusuri jalan beraspal—lamban sangat. “Itu Euqaroob. Kendaraan yang dipakai penghuni surga untuk bertransportasi. Kabut yang berjalan perlahan itu juga sama, hanya mungkin di dalamnya berisi orang yang masih menikmati lagu atau film yang diputar. Tentu, anda pasti kesal saat lagu yang anda dengarkan terpotong karena anda sudah sampai di tujuan, bukan?” 17
Kosim akhirnya sampai di tujuannya. Ia tahu, karena robot yang mengantarnya berhenti di depan gedung seraya membuka pintu dan mempersilakannya masuk. Di dalam, Kosim takjub dengan apa yang dilihatnya. Ukiran khas art-deco dengan detail yang sangat menakjubkan, seperti pada bangunan-bangunan broadway Amerika tahun 50an, menghiasi seluruh ruangan. Semuanya berwarna kilau keemasan. Semuanya, termasuk buah-buahan serta nampan yang mewadahinya. Lekas si Kosim menyusul robot karena si robot sudah berada dalam ruang yang bisa dibilang seperti lift. Disaat pintu tertutup, sedetik kemudian, pintu terbuka kembali. Nampak cahaya keemasan menghiasi koridor yang disetiap sisi mempunyai pintu-pintu yang entah menuju kemana. Robot tersebut berjalan kembali sampai kepada satu pintu. Ia berhenti. “Ini adalah kamar anda. 15641-C. Ingat baik-baik. Namun, jika ingatan anda terlalu kabur sehingga sulit untuk diakses kembali, hubungi saja lewat benda ini. Nanti ada robot yang akan datang membantu. Terima kasih.” Robot memberikan sebuah iPhone kepada Kosim lalu berbalik menuju lift yang mereka naik tadi. Kosim bingung, bukan karena tiba-tiba ia berada ditempat yang luar biasa asing, atau melihat ia yang mendapatkan tempat tinggal yang bagus seolah-olah ia menjadi warga kelas menengah yang tinggal di apartemen sekitaran Setiabudi Jakarta, atau fakta bahwa surga ini tak ubahnya seperti masyarakat yang jauh modern. Ia bingung karena ia mendapatkan sebuah iPhone. Di surga. Lengkap dengan detailnya seperti logo apel menghiasi kasing bagian belakang dan earphone wireless-nya. Ia memasuki kamarnya. Betapa terkejutnya ia ketika melihat kamarnya yang sama persis dengan kamar masa kecilnya. Rasa nostalgia yang tak terbendung membuat Kosim tak mampu menahan air matanya mengalir. Ia tersenyum. Inilah kebahagiaan, ucapnya dalam hati. Ia mengelap air matanya, sambil memegang bingkai foto yang didalamnya ada dia, dan ayahnya, dan orangutan, dan dia yang menggendong orangutan yang sedang digendong oleh ayahnya. Ia ingat waktu itu ayahnya, dengan susah payah menabung receh demi receh hasil dari usaha stempel yang ia buka di pinggir jalan, mengajaknya ke Ragunan. Ia mulai menyadari bahwa surga yang benar-benar pantas disebut surga adalah surga yang menghadirkan kebahagiaan. Dan kebahagiaan manusia itu berbagai macam bentuknya, seperti menghadirkan kembali kenangan yang telah lama pergi, meski itu sederhana dan penuh dengan ketidaksempurnaan. Namun, ada satu hal yang membuat kamarnya tidak persis dengan kamar masa kecilnya. Ada sebuah kotak putih berdimensi setara bungkus Marlboro Merah dengan bagian atasnya terdapat moncong yang menyerupai lensa kamera digital berada ditengah meja belajarnya. Disebelah moncong tersebut ada sebuah tombol hitam, yang menurutnya adalah tombol on/off. Penasaran, ia menekan tombolnya setelah ia mengembalikan bingkai foto tersebut kembali ketempat awalnya. Alat tersebut, setelah menunggu beberapa detik, memancarkan sebuah sinar hologram. Ternyata, alat tersebut seperti alat yang digunakan oleh Tony Stark dalam merancang kostumnya untuk menyelamatkan dunia atau seperti pesan yang disampaikan oleh putri Leia kepada Luke. Berpendar segumpalan cahaya membentuk sebuah kotak yang bertuliskan “Please input your language by saying a sentence in your preferred language”. Kosim memang tak terlalu paham bahasa Inggris, namun ia tahu apa yang harus ia lakukan. “Saya Kosim. Kosim bin Abdullah. Saya orang Indonesia. Saya tinggal di Petamburan, Jakarta Barat.” Cahaya dari kotak tersebut membentuk sebuah tulisan baru. “Terima kasih :)” dengan font yang masih sama seperti sebelumnya, Helvetica. Berpendar lagi cahaya baru.
18
“Mulai?â€? “Ya.â€? “Surga. Nirvana. Kayangan. Indraloka. Inilah tempat yang ditunggu-tunggu oleh umat manusia seutuhnya. Menjawab apa yang terjadi setelah kehidupan dan misteri dari kematian—atau proses perpindahan kesadaran manusia menuju kepada daging surgawi yang tidak merasakan sakit, lelah, atau capek namun masih merespons sensitivitas. Surga, seperti yang sudah dirindukan, merupakan tempat yang sangat utopis. Ya, utopis, seperti dalam hipotesis-hipotesis kaum sosialis yang menginginkan dunia yang penuh dengan kesempurnaan. Sempurna dalam berbagai hal, dari aspek moral sampai sosial dan politik. Disini, tidak ada yang namanya pemimpin. Semua orang berhak atas ide dan pemikirannya. Tentu, jika di dalam dunia sebelumnya, manusia dikekang oleh materi-materi yang ada yang membuatnya kesulitan dalam memanifestasikan idenya. Disini, semuanya otomatis. Semuanya bisa dibangun dengan robot-robot yang ada yang siap memenuhi apa yang sebelumnya manusia telah dipikirkan. Ide adalah surga. Dan surga adalah ide. Tentu, di surga, manusia masih belum puas. Belum puas akan ketidakterbatasan ide, tentunya. Maka, surga yang baik adalah surga yang didalamnya penuh dengan manusia yang berfilsafat. Realita, seperti yang sudah manusia ketahui, tidak akan pernah habis untuk digali sifat ontologisnya. Manusia, tentu saja, masih memerlukan hasrat akan kebutuhan fetisisme komoditas. Ini menjelaskan mengapa di surga masih ada iPhone. Masih ada gedung-gedung yang bertahtakan mutiara dan permata. Itu ada, karena interaksi manusia dengan manusia lain menghasilkan sebuah pasar. Surga adalah pasar, bukan sebagai institusi atau sistem infrastrukur, melainkan sebuah pasar relasi sosial. Apa yang menjadi alat tukar adalah ide-ide mereka. Dari sini, tidak perlulah kita capek-capek bekerja, karena robot telah menggantikan kerja kita. Tinggal manusia sendiri yang mengaturnya berdasarkan relasi sosial yang mereka miliki. Pasar telah ditentukan kepada masyarakat surga sendiri, dimana setiap orang mempunyai alat produksinya masing-masing. Neraka sebenarnya tidak ada. Neraka, selama ini, adalah sebuah tempat dimana orangorang jahat mendapatkan balasan atas apa yang ia lakukan. Yang ia lakukan hanyalah mempertahankan posisi kelas mereka di dunia. Seseorang mencuri, misalnya, itu karena orang tersebut tidak mempunyai akses kepada kapital, atau ingin mempertahankan posisi mereka pada kelas tertentu. Apa yang selama ini menjadi konflik hanyalah pertentangan kelas semata. Yang miskin, atau yang tidak mempunyai kapital, marah kepada yang kaya karena mempunyai kapital yang banyak sehingga bisa mengakomodasi alat produksi untuk mengeksploitasi kerja buruh si miskin. Disini tidak terjadi seperti itu. Moda produksi dikuasai oleh semua orang. Kejahatan adalah bentukan sosial dan budaya, dimana bentukan tersebut berdasarkan semata-mata ketimpangan kelas. Disini, semuanya mempunyai mesin produksi yang tak terbatas. Semua manusia bisa melakukan apa yang ia punya dalam otak mereka. Di surga, pendidikan itu perlu. Namun sains, di surga, sudah tidak diperlukan lagi. Apa yang dicari melalui observasi yang melelahkan dan perhitungan statistik yang memusingkan sudah tidak perlu dilakukan. Seluruh ilmu pengetahuan eksakta sudah berada di perpustakaan VA-11-H4LL. Anda bisa mencari apa saja yang anda mau disana. Waktu anda tidak terbatas, jadi bersenang-senanglah ketika anda menyempatkan untuk berkunjung. Yang anda perlu lakukan adalah pergi ke sekolah filsafat, letaknya tak jauh dari VA-11-H4LL. Disana, anda akan diajarkan berlogika sampai mengkaji tentang esensi alam semesta. Tentu, ini adalah hal yang opsional, jika anda tak mau dipusingkan dengan filsafat. Di surga, kreativitas adalah sesuatu yang mutlak. Mengkaji tentang nilai-nilai estetis adalah salah satu yang dijunjung tinggi di tanah firdaus ini. Ini menghasilkan karya seni yang jumlahnya tak terbatas, seperti pemikiran manusia yang tak akan habisnya. Karya seni ini, lalu dicari bentuk objektifnya, melalui forum bulanan VA-11-H4LL, dan akan ditentukan mana yang pantas menjadi tema artistik tiap bulan yang menghiasi firdaus. Tentu, semuanya dilakukan secara demokratis dengan musyawarah untuk mencapai mufakat. Surga, adalah tempat untuk bersenang-senang. Disana‌â€? 19
Kosim menekan tombol hitam kembali. Ia tidak mengerti apa yang barusan ditampilkan. Kepalanya penuh dengan kata-kata asing yang ia tak peduli selama ia hidup di dunia. Ia ingin hidup enak. Titik. Pendapatnya tidak boleh diganggu oleh penjelasan filosofis yang membuat dirinya pusing. Dia ingin istirahat sejenak. Semata-mata bukan untuk merehatkan fisiknya, melainkan ingin mencerna lebih jauh lagi apa yang barusan terpapar. Kosim punya pertanyaan kecil sebetulnya. Bagaimana rasanya tidur di surga? Ternyata sama saja. Kosim merasa sedikit kecewa. Tetapi kosim mulai paham tentang apa itu surga. Dan ia tahu, kemana ia harus pergi selanjutnya. Mengendarai Euqaroob memang sesuatu yang tidak terkira rasanya. Sedetik kemudian, setelah masuk kedalam kendaraan, Kosim sampai kepada distrik P-572, distrik surga penganut Islam. Keluar, Kosim melihat sebuah gerbang besi yang menjulang yang menjadi perbatasan antara dunia aneh dan surga yang selama ini ia rindu-rindukan. Di gerbangnya bertuliskan, “Selamat datang, para pemenang!”. Tak perlu berlama-lama, Kosim masuk ke dalam tempat yang sudah dijanjikan sejak lama itu. Di dalam, Kosim terpana. Apa yang selama ini ia persepsikan tentang surga, benar-benar persis seperti apa yang ia harapkan: sungai yang mengalir, pohon yang mudah diambil buahnya, bidadari-bidadari berdada montok bertubuh sintal, langit yang selalu tertutup awan, cuaca yang sejuk sepoi-sepoi yang dapat membawa orang di dalamnya melayang-layang, bau parfum yang membangkitkan hasrat bercinta, sampai bejana-bejana emas yang bertahtakan permata berisi minuman yang memabukkan. Kosim meneggak liurnya, lalu secepat kilat melakukan apa yang orang-orang surga lakukan— bercinta sampai mampus, meski diri sudah tidak bisa lagi untuk mampus. Dengan perilaku yang saban hari begitu melulu, Kosim akhirnya bosan. Bercinta, minum, bercinta, makan, bercinta, bercinta, bercinta, minum, bercinta. Hidup di surga, menurutnya, tidak mungkin melakukan hal sebosan ini. Ia tidak letih, tentu, ia hanya ingin keluar dari lingkaran surga yang begini-begini saja. Terbersit pemikiran untuk bertemu dengan kawan surga lainnya. Kosim merogoh iPhone-nya dari kantung jeans selvedge yang ia kenakan dari apartemen, kosim memanggil Euqaroob-nya untuk menuju kemari. Secepat kilat, Euqaroob yang ditunggu telah muncul dihadapannya. Menekan perintah “Masuk?” di layar iPhone, kosim bertransformasi menjadi partikel-partikel kabut, bergabung dengan kabut euqaroob, secepat kilat berpindah tempat, bertransformasi kembali, lalu berada disamping euqaroob yang siap siaga mengantarkannya kemana saja. Kosim melihat betapa megahnya VA-11-H4LL. Dinding-dindingnya, setelah dilihat lebih dekat dengan saksama, ternyata terbuat dari kristal-kristal bercahaya mengkilap namun permukannya halus. Warna khas krom yang menyala dari gemerlap kristal-kristal unik membuat Kosim terpana akan keindahannya. Arsitekturnya benar-benar ciamik, mirip seperti gedung-gedung bangsa Norse tua. Tanpa menunggu lama, Kosim masuk melalui pintu yang sudah ada didepannya. Betapa kagetnya Kosim melihat ribuan—atau mungkin jutaan—manusia yang berada disatu tempat. Banyak, banyak sekali, ia tidak menyangka tempat sebesar ini ternyata ramai sekali dengan sekumpulan manusia. Dari atas, ia terlihat sangat-sangat kecil. Ia melihat sekumpulan manusia sedang berkumpul berlingkaran, 6-7 orang, berdiri, memegang minumannya, seraya tertawa secara bersama-sama, namun suaranya tidak dapat di dengar. Tidak ada kegaduhan sama sekali. Seluruh manusia sedang asik bercengkrama dengan teman-temannya, tanpa membuat kericuhan. Semuanya berdiri, mirip seperti kondangan yang dilaksanakan di gedung-gedung mewah. Tak perlu capek-capek kesana kemari, robot akan mengantarkan makanan dan minuman kepada orang-orang. Ini terlihat seperti pesta besar-besaran, dengan dana yang mungkin dengannya bisa membeli bumi langsung tunai. Akan tetapi, ada satu hal yang membuat Kosim heran—foto berukuran raksasa yang terpampang di tengah-tengah ruangan, foto Karl Marx. 20
Berjalan ke tengah-tengah kerumunan, Kosim takjub melihat penampilan orang-orang yang ada. Mereka semua berpakaian seperti manusia di dunia. Ada grup yang memakai pakaian formal— dengan dasi di leher dan jas sutra yang mulus serta pantofel yang mengkilap. Ada juga yang berpakaian layaknya anak muda mahasiswa—Kemeja kotak-kotak, skinny jeans, dan sepatu Converse All-Star 70s yang menutupi tubuhnya. Sampai ada grup yang memakai busana Haute Couture, persis seperti pakaian para borjuis dalam film The Hunger Games. Semuanya saling bercengkrama satu sama lain, saling tertawa serta mengejek-ejek kecil tentang hal-hal yang pernah mereka lakukan selama hidup di dunia. Ada pula yang membahas secara serius filsafat, namun dengan diskusi yang sederhana diselingi senyum dan tawa. Semuanya sibuk dengan peer group mereka. Ada yang naik keatas podium. Sepertinya seseorang yang menurut Kosim cukup signifikan posisinya di Surga. Ia mulai berbicara. “Saudara-saudaraku, Kamerad-kameradku. Hari ini, seperti hari biasanya, adalah hari yang berbahagia. Saya disini, tanpa basa basi, akan memulai musyawarah bulanan kita semua. Saya akan bertindak sebagai moderator dalam musyawarah ini. Sila mengambil tempat yang nyaman.” Sekejap mata seluruh keadaan berubah. Robot-robot bertindak secepat kilat untuk mengatur kursi-kursi agar membentuk sebuah lingkaran yang besar. Seluruh orang berhenti. Dan dengan sekejap pula, mereka menduduki kursi-kursi yang telah tersedia di ruangan. Tanpa menunggu sepuluh detik, semua orang-orang yang hadir telah siap memulai musyawarah yang Kosim tak tahu apa-apa. Kosim memilih meninggalkan tempat tersebut dengan pelan-pelan. Di luar, ada seseorang yang menghampiri Kosim. “Hai saudara, kau pasti penghuni baru di Surga ini, bukan? Aku tahu, karena aku juga sepertimu ketika pertama kali masuk. Masih canggung dan tak tahu melakukan apa yang harus dilakukan.” “Kenapa kau di luar?” “Oh, aku masih ada urusan yang belum kelar. Game of Thrones-ku belum kutamat. Masih ada season 10. Aku akan berpartisipasi lewat teleskrin saja. Ngomong-ngomong, asal agamamu apa di dunia?” “Aku Islam.”
“Sudah ke distriknya? Ku dengar peraturannya cukup ketat, bahkan di Surga.”
“Menarik. Kamu ternyata bisa bosan berada di Surga. Tertarik untuk mengelilingi lebih jauh?”
“Hmm, tidak juga. Hanya sedikit repetitif saja. Itulah alasanku ke sini.”
“Sepertinya begitu, dengan milyaran distrik yang ada, mungkin waktuku akan sangat banyak untuk dikeluarkan.” “Santai saja. Waktu tidak akan habis ketika kamu berada di surga seperti ini. Nikmati segalanya saja.” “Heh. Sedang kuusahakan. Balik lagi, aku jadi penasaran, ada apa yang membuatmu berkata kalau surga Islam terlalu banyak peraturan?” “Itu, ada satu hal yang membuatku sedikit aneh ketika mengingatnya kembali. Ada sesuatu yang dilarang keras untuk di dekati.” 21
“Apa itu?” “Pohon Khuldi. Kudengar rumornya kalau penghuni surga disana tidak boleh mendekati pohon tersebut, apalagi memetik dan memakan buahnya.”
“Wah. Benar. Buah Khuldi.”
“Oh, Aku izin untuk pergi duluan. Aksi White Walker sedang menungguku tiba. Sampai Jumpa lain kali.” Kosim tak menjawab. Ia penasaran akan apa yang baru saja ia dengar. Pohon Khuldi. Dari kecil ia selalu diceritakan bahwa pohon Khuldi adalah sesuatu yang sangat dilarang untuk disentuh ketika manusia berada di surga. Kosim tak mampu membendung rasa penasarannya. Secepat kilat ia langsung menuju kepada distrik yang baru saja ia tinggalkan. Keadaannya masih sama, masih sejuk dan bidadari-bidadari yang kesana kemari masih tetap membangkitkan hasrat Kosim yang tak pernah habis-habisnya. Namun, rasa penasarannya lebih kuat. Pandangannya tertuju pada suatu tempat yang dipagari. Disitu dia melihat Pohon Khuldi, menjulang tinggi keatas seperti pohon Baobab yang sudah ratusan tahun umurnya. pohon tersebut seperti anomali. Tumbuh ditengah-tengah surga yang penuh dengan kenikmatan membawa hawa yang terkutuk layaknya penyihir yang sedang mencoba mantra baru dengan menaburkan kembang-kembangnya ke dalam periuk yang berisi air yang tidak jelas apa isi pelarutnya. Mendekatinya, Kosim merasakan hal-hal yang sebelumnya ia rasakan di dunia. Kehampaan, ketidakmampuan menjalani hidup, keputusasaan, kesedihan, kemuraman, semuanya tergabung dan menjadi identitas hawa yang menyelimuti pohon tersebut. Memberanikan diri dengan berbekal rasa penasaran, Kosim masuk melewati pagar yang tingginya tidak lebih dari satu depa orang dewasa. Buah yang bergelantungan mirip seperti hasil persilangan buah naga dan salak, warnanya hitam legam layaknya darah ayam cemani yang dipotong untuk sesembahan kepada arwah pantai selatan, dan ketika dipetik mengeluarkan bunyi berdesis seperti ular derik yang diganggu tidurnya. Sementara menyimak bentuk buah tersebut, Kosim langsung keluar dari deviasi surga tersebut. Teksturnya kasar, seperti sisik salak yang beberapa bagiannya muncul duri-duri yang mencuat secara acak ke segala arah. Kulitnya ternyata tak sekeras yang dibayangkan. Menggunakan jempol saja, Kosim langsung membuat buah tersebut terbelah menjadi dua. Isinya merah. Merah yang sama sekali tidak membangkitkan nafsu. Merah darah seperti hasil aborsi janin yang belum cukup umur namun tetap dipaksa keluar sehingga bagi para dokter aborsi dan pasiennya hadir rasa berdosa seumur hidup diantara mereka ketika melihatnya. Ia tidak mempunyai bau, sukurnya. Atau, ia sebenarnya mempunyai bau yang sangat tidak enak, tetapi hidung Kosim mungkin lebih memilih mencium bau surga yang menyenangkan ketimbang bau yang analoginya seperti bangkai fetus tiga bulan yang telah lama ditinggal selama tiga bulan di dalam toples yang berisi air muntahan orang pesakitan dirawat selama tiga bulan. “Sesuai namanya. Ini benar-benar buah setan secara hakiki.” Kosim bergumam dalam hatinya. Ia mungkin akan berpikir—tidak dua atau tiga kali tetapi empat kali—sebelum menyantap buah yang membuat Tuhan sangat murka kepada hasil ciptaannya sendiri. Namun, Kosim hanyalah manusia, yang kekuatannya bergantung kepada curiosity dan exploration, yang menjadi motto film-film sci-fi anyar yang menggambarkan kehidupan manusia kedepannya akan selalu terdorong oleh rasa keingintahuan. Tanpa ba-bi-bu, Kosim mengambil secuil buah tersebut lalu memasukkan ke dalam mulutnya. 22
“…” “…” “…” “…” “…” “Dimana aku…?” “…” “…” “…” “…” “…” “…” “…” “…”
“Selamat bu, pak... bayi laki-laki anda lahir sehat. Alhamdulillah.”
“Lihat bu, bayi kita. Aku punya ide untuk namanya, bu. Kosim. Ya. Kosim. Satu yang terbaik.” -FIN-
23
existensial dream Preach! Fair befall you What emotion and longing it stirs Pathos are titillted Catharsis are attained Sublime! Aye, look down upon the ocean! haven’t we forgot? Our creation of macrocosm from which we evolved befell into bi-pedal vertebrae Celebrate jolly goodness! Bethink of our origins in the arms of pathetic existence O miserable end take our blood away forsooth we are doomed by the very virtue of existing and breathing
24
Resensi
In the Court of the Crimson King M Fathurrahman A K (Kepala Divisi Media LPPMD Unpad 2016-2017) - Psikologi 2016 Kalaupun bisa dikatakan, Ini adalah karya terbesar dalam sejarah permusikan. Di tahun 1967, Robert Fripp bersama Michael dan Peter Giles membentuk sebuah band trio. Band ini merilis beberapa single dan satu album, meski kurang begitu sukses dalam ranah komersil. Pada tahun yang sama, Ian McDonald, seorang multi-intrumentalis, dan Peter Sinfield, pembuat lirik dan strategis dalam seni, bergabung dalam band yang masih belum bisa membuat sebuah kesuksesan ini. Nama King Crimson adalah hasil dari pemikiran Peter Sinfield dan Robert Fripp yang melambangkan sebuah raja yang mempunyai keahlian dalam membidik. Ini adalah pijakan kuat dalam penamaan yang tidak disangka akan menjadi sebuah nama termasyhur dalam scene progressive rock sepanjang masa. King Crimson adalah band yang terkenal dalam berganti-ganti dalam gaya bermusiknya. Seperti pada Lars Tongue in Aspic (1973) yang eksperimental dan Red (1974) yang menjadi pelopor dalam gerakan New Age Music, King Crimson kerap mengubah cara mereka menghasilkan karya. Ini tidak mengherankan. Pada dekade 70an saat itu kita bisa melihat tren musik rock senang akan bereksperimen. Dari Inggris, kita punya Pink Floyd, ELP, Jethro Tull, Yes, Genesis, Rush, Gentle Giant, dan lebih banyak lagi. Dari Jerman ada Tangerine Dream, Amon Duul, Can, Popol Vuh, Faust, Neu!, dan lain-lain. Dari Italia kita bisa menyebut Banco del Mutuo Soccorso dan Il Balletto di Branzo berada garda paling depan di blantika musik progresif. Pun, di Indonesia juga tak kalah dengan adanya band-band seperti Shark Move, Guruh Gipsy, dan Giant Steps yang ikut memeriahkan gerakan musik progresif Internasional. Pada tahun 1969, King Crimson merilis debut mereka. In The Court Of The Crimson King (selanjutnya disingkat ITCOCK). Ini adalah kompilasi dari single-single yang mereka telah kerjakan dari waktu sebelumnya. Dalam waktu yang sangat singkat, album ini meraih sambutan yang cukup bagus pada waktu itu. Meski dengan beberapa kesalahan teknis seperti ketidaksinkronan saat rekording, yang ini menghasilkan beberapa distorsi-distorsi yang tak diinginkan dan frekuensi yang tiba-tiba meledak, album ini dapat meraih peringkat nomor 5 dalam UK album Chart dan nomor 28 di Billboard 200. Album dimulai dengan track 21st Century Schizoid Man. Suara riff gitar yang menggila, layaknya gonggongan anjing yang menyalak keras, memenuhi ruang-ruang telinga pendengar. Guitar fuzzy-nya mengarah kemana-mana, membuat pendengar merasakan emosi angst yang dirasakan oleh vokalis dalam membawakan lagunya. Vokal yang catchy pada bagian hook menambah suatu esensi dalam lagunya yang ingin mengatakan bahwa lagu ini keras. Suara Saxophone yang khas ini juga salah satu hal yang patut untuk disoroti. Ini menambah ke-khas-an dalam lagunya. Mendengar ini, seseorang pasti mengatakan kalau lagu ini adalah lagu King Crimson. Karena saking catchynya, hal tersebut paling mencolok dan membuat lagu tersebut semakin autentik. Satu hal yang tidak boleh dilewatkan karena menjadi highlight lagu ini adalah drum fill-nya. Drum saat instrumental solo membuat pendengar menjadi 26
tidak sabar untuk memukul-mukul udara, membayangkan sintingnya drummer memainkan alat musiknya dengan begitu manis namun keras. Ketukan yang tak lazim khas jazz adalah salah satu ciri dari lagu tersebut yang membuatnya distingtif dari lagu-lagu progressive rock lain pada waktu itu. Di lagu kedua, I Talk to the Wind, kita disambut dengan tiupan harmoni suling yang menentramkan perasaan setelah kegilaan lagu pertama berakhir. Kesemuanya menurunkan emosi sang pendengar setelah capek mendengarkan kompleksitas harmoni di 21st Century Schizoid Man. Meskipun begitu, di lagu ini penuh dengan detail-detail menawan yang membuat pendengar terpikat kembali oleh romantisasi King Crimson. Meskipun lagu ini adalah lagu yang cukup pelan dibandingkan dengan sebelumnya, drum-drum yang ada tetap mengganas dengan beberapa improvisasi sana sini sehingga membuat pendengar tetap merasakan musikalitas dari seorang maestro. Selanjutnya, kita dibawa menuju trek paling kelam dari album, Epitaph. Dari sini pendengar bisa diimajinasikan kalau ia sedang dihakimi atas dosa-dosanya ketika ia melihat wajah sang pencabut nyawa. Yang patut menjadi pusat perhatian disini adalah mellotron yang digunakan oleh King Crimson. Dari sini bisa dilihat bahwa emosi-emosi yang tertampung oleh pembuat lagu bisa dimanifestasikan ke dalam sebuah harmoni khas progresif rock tahun 70an. Suara gitar akustik pun turut serta membantu membawa pendengar menuju tingkat tertinggi kesadaran akan realita yang begitu mencekam ketika dihadapkan dengan kematian. Lagu berikutnya bisa dibilang lagu tereksperimental dari album tersebut, Moonchild. Dari sini pendengar akan diantarkan kepada kesunyian yang harmonis. Tentu tidak terlalu sunyi, karena pendengar akan beberapa interupsi dari improvisasi alat musik yang dipukul secara tidak menentu. Alat musik ini saling bersahut-sahutan ditengah-tengah kesunyian yang melanda. Bayangkan lagu ini sebagai salah satu transisi dari kematian seseorang menuju kepada nirvana yang hilang dari kenikmatan duniawi. Terakhir, lagu In the Court of the Crimson King, menjadi penutup yang manis dari album berpengaruh ini. Jika pada Epitaph itu bisa dianalogikan sebagai lagu penjelang ajal kematian seseorang, In the Court of the Crimson King menjadi lagi penjelang ajal kematian manusia—kiamat. Album ini tidak serta merta memandang kiamat sebagai suatu hal yang buruk, melainkan sebagai suatu hal yang pantas untuk diselebrasi, membayangkan manusia akan menemui akhir peradabannya. Pantas kalau lagu ini menjadi salah satu soundtrack dari film Children of Men yang mengambil tema setelah-kiamat. Teatrikal dan penuh beban, lagu ini sarat akan penghayatan. Dengan pelan pelan membangun crescendo, lagu ini mencapai titik puncak dengan harmonisasi gitar yang begitu indah. Keseluruhan album ini mempunyai potensi yang kuat untuk menggebrak menjadi album nomor 1 sepanjang masa. Dengan teknikalitas yang mumpuni dan songwriting yang ciamik, album ini pantas mendapatkan gelar yang ada. Namun, minimnya jangka waktu untuk satu album yang kurang dari 50 menit menjadi salah satu kelemahan. Meskipun begitu, album ini tetap mendapat porsi yang pas untuk dinikmati saat sore hari bersama kopi dan rokok sebatang.
27
Bakat Menggonggong Annadi Muhammad Alkaf (Staff Divisi Pendidikan LPPMD Unpad 2016-2017) - Sosiologi 2015 “Sewaktu kecil, ada dua hal yang paling tidak kausukai. Pertama, iklan layanan masyarakat tentang keluarga idaman. Kedua, pelajaran PPKN. Alasannya: kedua hal tersebut sama-sama menganggap keluarga yang terdiri dari seorang ibu dan seorang anak sebagai sesuatu yang tidak genap. Keluarga yang genap, normal, ideal, atau apapun sebutannya di negeri ini adalah keluarga yang terdiri dari seorang ayah, seorang ibu, serta para anak.” –Halaman 83. Paragraf diatas saya kutipkan dari cerita pendek berjudul ‘sebuah cerita sedih, gempa waktu, dan omong kosong yang harus ada’ dalam buku ‘bakat menggonggong’ karangan Dea Anugrah. Ngomong-ngomong, buku ini sendiri masuk dalam daftar 5 buku terbaik Indonesia 2016 versi majalah Rolling Stone Indonesia. Berisi empat belas cerita pendek didalamnya, Dea Anugrah benar-benar menyajikan kisah yang unik dan sangat berkarakter dalam setiap cerpen yang ada. Misalnya seperti dalam cerpen diatas, Dea Anugrah menjadi narator dalam kisah yang di perankan oleh kau (pembaca cerpen) sebagai tokoh utamanya. Benar-benar sudut pandang yang unik, bukan? Di bagian awal buku ini, Dea Anugrah memulainya dengan cerpen berjudul ‘Kemurkaan Pemuda E’, dari judulnya saja sudah bisa ditebak bahwa tokoh utama dalam cerita ini adalah Pemuda E. Tapi, justru pemilihan tokoh yang disebut sebagai Pemuda E itulah yang menjadikannya unik dan berkarakter. Biasanya orang-orang akan cenderung menulis dengan nama tokoh semacam: Udin, Bejo, Sugiono, dan sebagainya. Tapi tidak dengan Dea Anugrah. Dalam cerpen yang sama, penulis juga menunjukkan keahliannya dalam membentuk karakter cerita, seperti saat mengisahkan Pemuda E yang makan roti pakai acar. Menarik! “....Pemuda E tentu tahu, namun pagi itu ia memilih merogoh toples dengan tangannya, meraup segenggam penuh timun yang dipotong dadu, meniriskan airnya dalam beberapa gestur monoton, lantas menaburkannya ke atas roti panggang dengan sikap yang penuh rasa syukur setelah tidak ada lagi cairan yang menetes dari sela-sela jemarinya.”—Halaman 2. Dua potongan cerpen itu, dari sejumlah cerpen yang ada dalam buku ini sekiranya dapat menggambarkan betapa menariknya buku ini untuk di baca. Meskipun di beberapa bagian, karena keunikannya itu, membuat saya pribadi harus membolak-balik halaman untuk memahami maksud yang ingin disampaikan oleh penulis. Sebagian, akhirnya saya pahami apa maksudnya. Sebagian lagi tetap saja tidak saya mengerti. Tapi itu sama sekali tidak masalah, bukankan cerita disajikan untuk dinikmati dan bukannya melulu harus dipahami seperti buku pelajaran sekolah? Bagaimana pun, buku ini cocok bagi siapa pun yang ingin merasakan kekuatan karakter cerita dalam setiap bagiannya, dalam cerita yang tidak panjang-panjang. Catatan saya, barangkali latar belakang penulis sebagai lulusan Filsafat UGM banyak berperan dalam ide penulisan cerita. Seperti sebagian kita tahu, filsafat selalu menyajikan sesuatu 28
yang unik dan menarik, yang jarang dipikirkan oleh orang-orang kebanyakan. Berjumlah 113 halaman, berukuran 13x19 cm. Tipis dan relatif kecil, menjadikan buku ini enteng dan mudah di bawa kemana-mana. 4 dari 5 bintang untuk karya Dea Anugrah yang satu ini.
29
Penceritaan Kembali Arus Balik Karya Pramoedya Ananta Toer Rachmadi Rasyad Alumnus LPPMD XXIX - (Sastra Indonesia 2012) “... Dahulu, di jaman kejayaan Majapahit, arus bergerak dari selatan ke utara, dari Nusantara ke Atas Angin. Majapahit adalah kerajaan laut terbesar di antara bangsa-bangsa beradab di muka bumi ini. Kapal-kapalnya, muatannya, manusianya, amal dan perbuatannya, cita-citanya – semua, itulah arus selatan ke utara. Segala-galanya datang dari selatan. Majapahit jatuh. Sekarang orang tak mampu lagi membuat kapal besar. Kapal kita makin lama makin kecil seperti kerajaannya. Karena, ya, kapal besar hanya bisa dibikin oleh kerajaan besar. Kapal kecil dan kerajaan kecil menyebabkan arus tidak bergerak ke utara, sebaliknya, dari utara sekarang ke selatan, karena Atas Angin lebih unggul, membawa segala-galanya ke Jawa, termasuk penghancuran, penindasan, dan penipuan. Makin lama kapal-kapal kita akan semakin kecil untuk kemudian tidak mempunyai sama sekali.� (Pramoedya Ananta Toer dalam Arus Balik, halaman 746) Jatuhnya kerajaan Majapahit sebagai kerajaan laut terbesar telah mengubah tata kehidupan di Nusantara yang pada mulanya tentram dan damai. Majapahit jatuh karena dikhianati oleh raja-raja kecil yang telah diberi kepercayaan untuk membantu menyejahterakan penduduknya. Pengkhianatan yang dilakukan terhadap Majapahit disebabkan oleh adanya kesalahpahaman yang menimbulkan pemberontakan dan berujung pada perang yang dinamai Paregreg. Setelah jatuhnya Majapahit, praktis tidak ada raja dari raja di Nusantara. Nusantara terpisah-pisah menjadi kerajaan-kerajaan kecil dengan kepongahan serta keegoisannya masing-masing. Adipati Tuban Arya Teja Tumenggung Wilwatikta merupakan satu di antara raja kecil yang bermukim di Nusantara. Kekuasaannya meliputi Tuban, Jepara, dan Semarang. Namun, Jepara dan Semarang pada suatu waktu mesti jatuh pada kerajaan Demak tanpa melalui peperangan sebagaimana yang sering kali dilakukan di Nusantara ketika berlangsungnya perebutan wilayah kekuasaan. Diambil-alihnya Jepara dan Semarang oleh kerajaan Demak tanpa perang menimbulkan kemarahan dan kebencian Adipati Tuban Arya Teja Tumenggung Wilwatikta pada Sultan Demak bernama Raden Fatah serta anak sulungnya Adipati Unus. Kebencian yang dirasakan olehnya menimbulkan pula curiga dan buruk sangka pada setiap gerak yang dilakukan oleh kerajaan Demak. Kecurigaannya pada Demak memuncak ketika Tuban mengkhianati armada gabungan yang dipimpin oleh Adipati Unus untuk menyerang Portugis di Malaka. Tuban pada mulanya menjanjikan akan ikut serta dalam armada gabungan itu dengan memberi titah pada anaknya bernama Raden Kusnan sebagai pemimpin pasukan Tuban. Namun, pasukan Tuban menunda-nunda keberangkatannya atas titah Sang Adipati sehingga tertinggal jauh oleh armada gabungan. Armada gabungan berperang melawan Portugis di Malaka tanpa Tuban yang jauh tertinggal. Armada gabungan kalah setelah melakukan perlawanan yang sengit. Adipati Unus sebagai pemimpin armada gabungan menderita luka parah yang menyebabkannya cacat. Kekalahan armada gabungan disebabkan tidak ikut sertanya balatentara Tuban yang terke30
nal cakap berperang serta ambisi balatentara Aceh untuk menguasai Malaka sebagai bagian dari kekuasaannya. Selain itu, senjata tercanggih yang dimiliki oleh armada gabungan berupa cetbang ternyata jauh tertinggal dari senjata meriam yang dimiliki oleh Portugis. Meskipun demikian, armada gabungan yang dipimpin oleh Adipati Unus telah berani untuk mendatangi dan berperang melawan Portugis yang dikenal sebagai balatentara paling menakutkan di muka bumi memasuki awal abad ke-16. Dikarenakan keberanian yang telah ditunjukkan oleh Adipati Unus, ia mendapat julukan “Pangeran Sabrang Lor�. Kekalahan armada gabungan di Malaka pada mulanya menjadi berita yang menyenangkan bagi Adipati Tuban. Namun, ketika bandar Tuban mulai sepi, Sang Adipati merasa menyesal tidak mengikutsertakan balatentaranya ke dalam armada gabungan. Malaka merupakan jalur perdagangan yang dilalui oleh negeri-negeri Atas Angin untuk menjual dan mengambil rempah-rempah. Dihambatnya jalur perdagangan oleh Portugis, berarti dihambat pula sumber penghidupan Tuban karena perdagangan di Nusantara yang terdiri dari kepulauan dilakukan melalui laut. Sumber penghidupan merupakan segala-galanya bagi setiap orang yang hidup. Tidak adanya sumber penghidupan memungkinkan setiap orang untuk melakukan kejahatan apa pun. Begitupula, yang terjadi di Tuban sejak bandar sebagai pusat perdagangan sepi. Keributan-keributan yang disebabkan oleh pencurian sering kali terjadi. Untuk menghindari keributan, sebagian pedagang yang bermukim di bandar pindah ke pedalaman mencari sumber penghidupan yang baru dengan membuka lahan pertanian. Di pedalaman, tepatnya di desa bernama Rajeg, ada bekas Syahbandar Tuban yang diberi kekuasaan oleh Adipati Tuban. Bekas syahbandar itu bernama Ishak Indraajit yang beragama Islam. Ia diberi kekuasaan atas enam desa oleh Adipati Tuban. Pencabutan Ishak Indraajit sebagai Syahbandar Tuban disebabkan oleh datangnya orang berbangsa Moro bernama Tholib Sungkar Az-Zubaid. Ia merupakan bekas Syahbandar Malaka yang pandai berbahasa Portugis. Berkat kepandaiannya itu, ia diangkat oleh Adipati Tuban menggantikan Ishak Indraajit. Adipati Tuban tidak menginginkan peperangan dengan Portugis. Ia membutuhkan Tholib Sungkar Az-Zubaid sebagai perantara hubungan yang baik di antara Tuban dan Portugis. Adipati Tuban Arya Teja Tumenggung Wilwatikta adalah pemimpin yang selalu berupaya untuk menghindari peperangan sebagai solusi walaupun memiliki balatentara yang cakap berperang. Ia begitu fokus pada perdagangan yang terjadi di bandar Tuban. Ia ingin menikmati umur tuanya dengan hasil perdagangan yang dipercayakan pada syahbandar. Keinginan untuk menikmati umur tuanya dengan keadaan yang tentram dan damai membuatnya lengah terhadap kemungkinan-kemungkinan yang berasal dari luar daerah kekuasaannya. Bahkan, karena ketidakinginannya berperang, ia berniat untuk menjadikan Portugis sebagai sekutu dalam berdagang. Ia seolah menutup matanya terhadap segala tingkah-laku Portugis di Nusantara. Ishak Indraajit mengetahui bila Tholib Sungkar Az-Zubaid merupakan penyebab jatuhnya Malaka sehingga dikuasai oleh Portugis. Ishak Indraajit yang tidak rela melepaskan jabatannya sebagai Syahbandar Tuban mulai melancarkan serangan pada Adipati Tuban dengan cara mengajari enam desa dalam kekuasaannya agama Islam. Ajaran-ajaran yang diberikan bukanlah Islam yang berisi perdamaian, melainkan kebencian pada sesama. Ia melakukan itu untuk menyerang Adipati Tuban sekaligus kerajaan Demak yang dianggapnya kafir karena tidak mengamalkan ajaran Islam dengan benar. Ajaran Islam yang diberikan oleh Ishak Indraajit membuatnya memiliki pengikut yang setia di enam desa. Kecakapannya dalam berbicara serta pengalaman yang dimilikinya ber31
kat menjabat Syahbandar Tuban menjadikannya pribadi yang berpengetahuan luas. Berkat hal itu pula ia mudah untuk mengikat masyarakat di enam desa untuk setia kepadanya. Kesetiaan masyarakat di enam desa dibuktikan dengan diberikannya gelar Ki Aji padanya. Seiring melajunya waktu, gelar itu berubah menjadi “Sunan�. Pemberian gelar itu menandakan semakin kuat pengaruhnya atas enam desa. Setelah melihat kesetiaan yang ditunjukkan pengikutnya, Ishak Indraajit mulai menyusun strategi untuk melakukan serangan terhadap Tuban dan Demak. Ia berniat untuk menguasai Tuban terlebih dahulu lalu Demak. Adipati Tuban yang telah mengetahui tingkah-laku Ishak Indraajit tidak melakukan apa pun. Ia benar-benar meyakini cara apa pun yang akan ditempuh oleh bekas syahbandarnya itu takkan membuat kekacauan, bahkan menggoyahkan kekuasaannya. Untuk menyerang Tuban, Ishak Indraajit memerlukan meriam. Ia menyadari kekuatan cetbang dan pasukan gajah yang dimiliki oleh Adipati Tuban. Persekongkolan dengan Tholib Sungkar Az-Zubaid pun dilakukan melalui perantara Wiranggaleng dan Yakub. Walaupun, tidak menyukai syahbandar baru itu, setidaknya ia memerlukannya untuk bisa menjalin hubungan dengan Portugis yang memiliki meriam. Kesamaan tujuan untuk meluluhlantakkan Tuban menjadikan hubungan di antara Tholib Sungkar Az-Zubaid dan Ishak Indraajit terjalin. Meriam Portugis pun mendarat di Desa Rajeg dengan bantuan Yakub si penjual arak dan pengikutnya. Adipati Tuban belum juga sadar adanya mara bahaya yang akan datang dari pedalaman. Ia tetap tidak menginginkan peperangan berlangsung. Barulah ketika balatentara Rajeg mulai memasuki Tuban, ia menggerakkan balatentaranya dengan menjadikan Patih Tuban sebagai Senapati Tuban. Namun, Patih Tuban tidak segera menggerakkan pasukannya yang berjumlah lima ratus prajurit untuk menghadapi balatentara Sunan Rajeg. Ia masih dihinggapi oleh perasaan kecewa karena telah dihinakan oleh Sang Adipati ketika menghadap memberi keterangan tentang bahaya-bahaya yang mengancam Tuban. Ia dikecam habis-habisan oleh Adipati Tuban di hadapan selirnya dan merasa sangat terhina. Melihat Patih Tuban tidak juga melakukan pergerakan, pemuda Desa Awis Krambil bernama Wiranggaleng yang diangkat sebagai pemimpin pasukan laut mulai kesal. Ia akhirnya menikam Patih Tuban menggunakan keris di alun-alun lalu mengangkat dirinya sebagai Senapati Tuban tanpa sepengetahuan Sang Adipati. Ia beserta balatentara Tuban mulai melakukan penyerangan pada balatentara Rajeg yang dipimpin oleh Mahmud Barjah. Wiranggaleng adalah pemuda Desa Awis Krambil yang diangkat menjadi praja Tuban. Ia merupakan juara gulat dan suami dari Idayu. Idayu adalah penari ulung dari Desa Awis Krambil yang dikenal kecantikannya sehingga menjadi pujaan seluruh laki-laki di Tuban. Jalan mesti ditempuh oleh mereka untuk melangsungkan pernikahan tidaklah mudah. Idayu diminati oleh Adipati Tuban untuk dijadikan selirnya. Penduduk Tuban mengetahui bahwa keinginan Adipati Tuban tidak bisa dibantah. Membantah Sang Adipati sama saja dengan menyerahkan nyawa untuk dihilangkan. Namun, cinta Idayu pada Wiranggaleng membuatnya berani untuk menolak keinginan Sang Adipati. Berkat keberaniannya, Idayu dan Wiranggaleng dihormati oleh seluruh penduduk Tuban, bahkan mereka hingga dianggap sebagai jelmaan Kamaratih dan Kamajaya. Adipati Tuban sebenarnya ingin menghukum Idayu dan Wiranggaleng karena telah berani untuk membantah tapi rasa hormat yang ditunjukkan oleh penduduk Tuban membuatnya enggan untuk menghukumnya. Penghukuman pada orang yang dihormati penduduk akan menimbulkan gelombang kemarahan dan perlawanan yang tiada henti pada Sang Adipati sehingga kekuasaannya pun akan terancam. Maka dari itu, ia memutuskan untuk mengangkat 32
Idayu dan Wiranggaleng sebagai praja Tuban. Mereka dititah untuk tinggal di wilayah kerajaan dan meninggalkan desanya Awis Krambil. Pengangkatan Idayu dan Wiranggaleng dilakukan pula untuk meredam keberanian yang ditunjukkan oleh Idayu. Sang Adipati menyadari bahwa keberanian yang ditunjukkan oleh satu orang akan menimbulkan keberanian-keberanian lainnya. Maka dari itu, ia berniat untuk meredam keberanian itu dengan memberikan kenyamanan hidup pada Idayu dan Wiranggaleng. Selain itu, ia pun ingin menunjukkan diri sebagai pemimpin yang bijaksana di hadapan penduduk Tuban. Meskipun demikian, keinginannya untuk mengikat Idayu tidak pernah padam. Ia ingin menyingkirkan Wiranggaleng melalui kekuasaannya. Mendengar kabar bahwa Wiranggaleng telah mengangkat diri menjadi Senapati Tuban tanpa sepengetahuannya begitu menambah kebenciannya. Balatentara Tuban yang dipimpin oleh Wiranggaleng berhasil menyerang balatentara Rajeg yang dipimpin oleh Mahmud Barjah dan memperoleh kemenangan. Ishak Indraajit alias Sunan Rajeg tewas karena ditusuk menggunakan keris oleh Mochamad Firman alias Pada, bekas praja Tuban yang menjadi musafir Demak. Kemenangan yang diperoleh Tuban semakin menambah rasa hormat penduduk Tuban pada Wiranggaleng. Sebaliknya, Adipati Tuban semakin membenci Wiranggaleng. Kebenciannya lalu disalurkan melalui hukuman yang diberikan pada Wiranggaleng dengan dalih telah mengangkat diri sebagai Senapati Tuban tanpa sepengetahuan Sang Adipati. Hukuman yang diberikan pada Wiranggaleng berupa pengusiran dari lingkungan kerajaan dan larangan memasuki Tuban. Wiranggaleng akhirnya memutuskan untuk kembali ke Desa Awis Krambil dan menjadi petani di sana. Tuban kembali tenang dan damai. Namun, kerajaan Demak sedang berkabung karena ditinggalkan oleh sultannya yang bernama Raden Fatah. Sepeninggal Raden Fatah, kekuasaan Demak dipercayakan pada Adipati Unus. Semangat Adipati Unus untuk menyerang kembali Portugis di Malaka masih menggelora. Ia menitahkan pada penduduknya untuk membuat kapal-kapal perang besar yang akan digunakan untuk menyerang Portugis di Malaka. Adipati Unus menyadari bahwa Malaka merupakan kunci untuk membangkitkan kembali kejayaan Nusantara. Selama Malaka dikuasai oleh Portugis maka kejayaan takkan pernah menghinggapi Nusantara. Adipati Unus pun menyadari bahwa kejayaan Nusantara hanya bisa dikembalikan apabila seluruh kerajaan di Nusantara bersatu. Ia begitu terinspirasi Mahapatih Gajah Mada yang berhasil mempersatukan Musantara lalu menjadikannya kerajaan laut paling disegani oleh bangsa-bangsa beradab di muka bumi. Cacat yang diderita oleh Adipati Unus semakin menggerogoti kesehatannya. Ia akhirnya wafat dan cita-citanya untuk menyerang kembali Portugis mesti sirna. Kekuasaan Demak pun beralih pada adiknya bernama Sultan Trenggono. Beralihnya kekuasaan Demak menandakan beralihnya pula tujuan Demak. Sultan Trenggono sama sekali berbeda dengan Adipati Unus. Ia tidak berniat untuk menyerang Portugis dengan cara mempersatukan kerajaan-kerajaan nusantara, melainkan meluaskan wilayah kekuasaannya. Ia akan menyerang Portugis apabila Jawa telah berada dalam wilayah kekuasaannya. Dengan demikian, pembuatan kapal-kapal perang besar yang dicetuskan oleh Adipati Unus mesti dihentikan. Beralihnya kekuasaan pada Sultan Trenggono menimbulkan duga-sangka pada kerajaan Demak. Raja-raja di sekelilingnya mengetahui perangai Sultan Trenggono yang begitu bernafsu pada kekuasaan semata. Maka dari itu, kerajaan-kerajaan di sekitar Demak mulai menyiapkan balatentaranya untuk menghalau kemungkinan penyerangan Demak. Sementara itu, strategi untuk menguasai Jawa mulai dirancang oleh Sultan Trenggono dengan melatih pasukan kuda. Ia berniat untuk melakukan penyerangan melalui darat. Namun, keinginannya untuk menguasai jawa mendapat halangan dari ibunya, Ratu Aisiah. Ibunya tidak mendukung keinginan Sultan Trenggono karena dipengaruhi oleh pandangan-pandangan Adipati Unus, 33
anak yang sangat dicintainya. Ia ingin penyerangan ke Malaka kembali dilakukan dan pembuatan kapal-kapal perang besar terus digalakan. Untuk meredam keinginan ibunya, Sultan Trenggono menggalakan kembali pembuatan kapal-kapal perang besar sembari memberitahukan pada ibunya bahwa ia akan segera melakukan penyerangan ke Malaka dengan bantuan Fathillah, bekas sultan di Pasai. Akan tetapi, niatnya itu hanyalah tipu muslihat semata untuk mengelabui ibunya serta mengambil-alih pasukan laut yang bermarkas di Jepara. Sebelumnya, ia mengetahui bahwa ibunya telah membentuk pasukan rahasia menggunakan pasukan laut Demak untuk menyerang ke Malaka. Pasukan rahasia itu dipimpin oleh Wiranggaleng. Dengan demikian, serangan terhadap kerajaan-kerajaan di Jawa tetap dilakukan oleh Sultan Trenggono. Lalu, pasukan rahasia yang dipimpin oleh Wiranggaleng diberangkatkan menuju Malaka dari Tuban menggunakan jung, bukan kapal perang. Sebelumnya, Adipati Tuban telah memanggil kembali Wiranggaleng dari Desa Awis Krambil untuk memimpin pasukan rahasia ke Malaka. Digunakannya jung sebagai kendaraan Wiranggaleng menuju Malaka merupakan siasat Adipati Tuban untuk menumpas Wiranggaleng dari Tuban. Dengan menggunakan jung, Wiranggaleng sama sekali tidak memiliki kesempatan untuk melawan Portugis dan dipastikan akan tewas di Malaka. Wiranggaleng merasa kecewa pada sikap Adipati Tuban yang hanya memberinya jung. Baginya, kapal merupakan penentu berhasil atau tidaknya perang. Kejayaan Majapahit di masa lampau pun dikarenakan kapalnya perangnya yang besar dan kuat hasil rancangan Mpu Nala serta dipersenjatai dengan cetbang buatan Mahapatih Gajah Mada. Dengan menggunakan kapal itu, Majapahit menjelma menjadi kerajaan yang disegani oleh penduduk negeri di Atas Angin. Ketika memasuki Jepara untuk menggabungkan pasukan dengan balatentara Demak, Wiranggaleng kembali dihantam kekecewaan yang semakin menyurutkan rasa optimisnya mendulang kemenangan di Malaka. Balatentara Demak ternyata telah lebih dahulu pergi sehingga kapal jung yang digunakannya mesti menyusulnya. Perginya balatentara Demak ke Malaka meninggalkan balatentara Tuban, sebenarnya merupakan titah dari Sultan Trenggono untuk mengelabui Tuban. Tiadanya balatentara Tuban di Tuban akan memudahkan penyerangan atas Tuban oleh armada Demak. Wiranggaleng memutuskan untuk melanjutkan perjalanan menuju Malaka. Pasukannya singgah terlebih dahulu di Aceh untuk bergabung. Pasukan rahasia terdiri dari balatentara Tuban, Aceh, dan Bugis. Setelah bergabung, perjalanan dilanjutkan menuju Malaka. Setibanya di sana, Wiranggaleng terkejut karena balatentara Demak tidak berada di sana. Ia mulai menduga adanya pengkhianatan yang dilakukan untuk mengorbankan dirinya. Walaupun demikian, ia tetap melanjutkan penyerangan pada Portugis bersama balatentara Aceh dan Bugis. Penyerangan yang dilakukan oleh Wiranggaleng berhasil memukul Portugis. Di Jawa, armada Demak yang dipimpin oleh Sultan Trenggono dan Fathillah mulai melakukan penyerangan pada kerajaan-kerajaan yang ada di sekelilingnya. Tuban yang ditinggalkan Wiranggaleng diserang pula oleh armada demak. Namun, penyerangan di Tuban tidak membuahkan hasil karena pasukan gajah dan pasukan kuda Tuban menghalaunya. Adipati Tuban wafat di umur tuanya ketika armada Demak melakukan penyerangan. Sementara itu, Portugis pun mulai bergerak menyerang. Pada mulanya, mereka berniat memasuki Sunda Kelapa yang telah dikuasai oleh Demak tapi mereka mundur kembali setelah ditembaki meriam hasil rampasan balatentara Demak. Akhirnya, mereka memasuki Tuban yang sedang menata kembali denyut perdagangan setelah porak-poranda dihantam Demak. Kedatangan Portugis di Tuban disambut tembakan cetbang yang dimuntahkan oleh 34
balatentara Tuban. Portugis pun membalas dengan tembakan meriamnya. Pertempuran terus berlangsung. Kemenangan pada akhirnya diraih oleh Portugis. Balatentara Tuban mesti masuk ke pedalaman untuk menghindari Portugis sambil menyusun strategi penyerangan yang akan dilakukan. Di Malaka, Wiranggaleng merasa perlu kembali ke Tuban untuk ikut serta bertempur melawan Portugis. Ia tidak memiliki tugas lagi di malaka karena Adipati Tuban telah wafat. Selain itu, pasukannya pun telah berkurang karena balatentara Aceh kembali ke markasnya. Lagi pula, pasukan Tuban tampak olehnya tidak lagi memiliki niat untuk berperang melawan Portugis di Malaka. Mereka malah menikahi perempuan-perempuan desa di Semenanjung, mempunyai anak, dan membuka lahan pertanian. Mereka telah bahagia tinggal di sana. Akhirnya, Wiranggaleng memutuskan untuk kembali ke Tuban. Datangnya kembali Wiranggaleng di Tuban membangkitkan kembali semangat balatentara Tuban yang sempat tercerai karena terjadinya perselisihan di antara pasukan kuda dan pasukan gajah. Wiranggaleng kembali menjadi Senapati Tuban untuk bertempur melawan Portugis. Strategi menyerang yang direncanakan oleh Wiranggaleng berjalan dengan baik. Portugis kalah dengan korban-korban yang bergelimpangan di sepanjang jalan. Mereka menyisakan belasan saja dari ratusan prajuritnya yang lari ke hutan-hutan di sekitar Tuban. Kemenangan Wiranggaleng dirayakan oleh penduduk Tuban. Wiranggaleng dielu-elukan oleh penduduk sebagai titisan Mahapatih Gajah Mada yang akan membawa kembali kejayaan Nusantara. Namun, sanjungan yang diterima olehnya tidak lantas membuatnya menjadi mabuk kekuasaan. Ia justru memilih untuk kembali ke desa setelah perang dan melanjutkan sisa hidupnya di sana bersama istrinya Idayu. Wiranggaleng merasa bahwa orang yang bisa membawa kembali kejayaan Nusantara hanyalah Sultan Trenggono karena memiliki balatentara yang kekuatannya jauh melampaui Tuban. Apabila Sultan Trenggono terus-menerus teguh pada pendiriannya untuk berperang dengan kerajaan di Nusantara maka portugis akan semakin kuat dan berkuasa mutlak atas Malaka. Bagaimanapun, Malaka adalah kunci untuk mengembalikan kejayaan Nusantara. Selama kekuasaan Malaka ada pada Portugis, Nusantara takkan pernah kembali pada kejayaannya. Demikianlah, rangkaian kata terakhir yang disampaikan Wiranggaleng pada penduduk Tuban. Ia akhirnya kembali ke desa karena merasa dirinya memang anak desa yang tidak memiliki keinginan untuk menjadi raja. Ia tidak ingin menguasai dan dikuasai oleh siapa pun. Ia bukanlah Mahapatih Gajah Mada yang mampu mempersatukan Nusantara. Meskipun demikian, ia sama seperti Adipati Unus, telah berani untuk melawan Portugis dengan segenap cintanya pada Nusantara...
35
Les Avis (Opinion)
Tong Hilang, Sampah Datang—Les Avis (Opinion) Mulia Ramdhan Fauzani Ketua Umum LPPMD 2016-2017—Jurnalistik 2015
Tanggal 22 Maret 2017 kemarin hari bumi ramai diperingati seisi bumi kita. Di kampus Unpad Jatinangor sendiri poster peringatannya tertempel di banyak tempat. Upaya penyadaran tersebut terkait keharusan orang-orang untuk menjaga lingkungan hidup tempat kita tinggal. Namun, kerja keras tersebut tentunya mesti terus digaungkan--bukan sebatas seremonial dan harus disertai upaya nyata. Salah satu permasalahan lingkungan yang mesti ditangani di kampus Unpad dengan penyadaran-upaya nyata tersebut adalah terkait penyediaan tempat sampah. Penyadaran tentang pentingnya penyediaan tempat sampah adalah upaya yang juga harus ditempuh di Unpad. Implementasi pemahaman akan keharusan tidak membuang sampah sembarangan tidak akan optimal tanpa fasilitas pembuangan yang setidaknya cukup. Di kampus Unpad tercinta ini tersedianya jumlah tong sampah saat ini sepertinya kurang memadai. Padahal pada 2016 lalu jumlahnya masih banyak, namun sekarang jumlahnya berkurang di banyak tempat, contohnya di kawasan Brooklyn. Di Brooklyn, tidak adanya tempat sampah membuat sampah-sampah berserakan. Setiap harinya, terutama sore hari, kresek, kertas, botol plastik, hingga puntung rokok menghiasi “wajah kampus Unpad� tersebut. Ramainya kegiatan mahasiswa di Brooklyn tanpa tersedianya tong sampah lah yang sekiranya membuat Brooklyn sedemikian rupa. Begitupun dengan trotoar pejalan kaki di kampus Unpad Jatinangor. Sampah banyak berserakan di kiri-kanan jalan. Kampus Unpad sejatinya memiliki sistem pengolahan sampah yang sangat baik. Sistem konservasi sampah di Unpad ini mendapatkan penghargaan pada 2014 sebagai 37
“Green Campus” pada Indonesia Green Awards 2014. Pengelolaan yang dijalankan UPT Pengelolaan Lingkungan Kampus tersebut mengolah sampah organik yang terkumpul menjadi pupuk kompos. Untuk sampah non-organik, penanganannya adalah memilah-milihnya lalu dikilokan. Untuk memisahkan keduanya(sampah organik-non-organik), UPT Pengelolaan Lingkungan Kampus saat itu menyediakan tong sampah warna-warni di lingkungan Unpad. Warna hijau untuk organik dan oranye untuk non-organik. Akan tetapi, tong-tong tersebut sekarang berkurang jumlahnya, termasuk di kawasan Brooklyn. Apapun penyebab dari “hilangnya” tong-tong sampah itu, hal yang mesti kita dukung sekarang adalah penambahan jumlah tempat sampah secepatnya dengan penyebarannya yang proporsional. Dukungan tersebut merupakan upaya kita untuk menegaskan kembali gelar “kampus hijau” yang Unpad sandang. Bukan sekedar penghargaan yang harus dipertahankan dalam predikat tersebut, namun semangat untuk terus menjaga lingkungan tempat kita tinggal, dimulai dengan bertanggungjawab atas sampah yang kita hasilkan. Namun, itu akan sulit tanpa adanya sarana pertanggungjawabannya yang memadai. Oelh karena itu, MARI DUKUNG PENINGKATAN JUMLAH TONG SAMPAH DI UNPAD! Sumber : http://www.unpad.ac.id/2014/06/universitas-padjadjaran-raih-penghargaan-green-campus-dari-indonesia-green-awards-2014/ h t t p : / / w w w. u n p a d . a c . i d / 2 0 1 3 / 0 6 / u n p a d - t e r i m a - p e n g h a r g a a n - p e l e s t a r i - s u m ber-daya-air-di-indonesia-green-awards-2013/
38
Press Release
Press Release: Diskusi Kurikulum I Muhammad Fakhri (Kepala Divisi Pendidikan LPPMD Unpad) - Hubungan Internasional 2016
Suasana diskusi kurikulum di Sekretariat LPPMD UNPAD Rabu, 22 Maret 2017, LPPMD UNPAD mengadakan diskusi kurikulum yang pertama di kepengurusan tahun ini. Diskusi kurikulum ini merupakan program kerja dari Divisi Pendidikan LPPMD. Diskusi kurikulum bertujuan untuk terus mengasah daya kritisisme, memperluas dasar-dasar keilmuan, dan memperkuat hubungan internal antar kader. Program ini akan terus berjalan setidaknya satu kali dalam sebulannya. Diskusi kurikulum I mengambil tema “Masyarakat Indonesia dan Perubahan Sosial�. Ucu Feni (Sejarah 2014) dan Annadi (Sosiologi 2015) ditunjuk sebagai pemantik diskusi kali ini. Ucu Feni membahas dari mulai konsep perubahan sosial, faktor pendorong dan penghambat perubahan sosial, teori perubahan sosial, hubungan perubahan sosial dan kebudayaan, hingga perkembangan masyarakat Indonesia dari mulai masyarakat primitif sampai dengan masyarakat moderen. Pada sesi ini, diskusi berjalan terbuka dan dibumbui dengan pertanyaan-pertanyaan kritis oleh para peserta diskusi. Sehingga, jalannya diskusi tidak hanya satu arah, tetapi interaktif. Setelah beberapa pertanyaan dan jawaban dilontarkan dan saling memberi tanggapan, pemantik diskusi mulai menutup sesi diskusi pertama dengan mempertanyakan kembali tujuan utama dari peruabahan sosial itu sendiri. Sesi kedua diskusi, dengan pemantik diskusi, yaitu Annadi, tidak kalah seru dibanding sesi pertama. Annadi memulai diksusi dengan menyajikan teori struktural-fungsional yang 40
diusung oleh Parsons. Teori ini memiliki empat konsep utama, yaitu adaptasi, pencapaian tujuan, integrasi, dan pemeliharaan pola (AGIL). Setelah penjelasan konsep, Annadi melanjutkan dengan kritik atas teori struktural-fungsional Parsons. Selanjutnya, ia juga membahas teori konflik dari Dahrendorf. Teori ini muncul atas krititknya terhadap teori struktural fungsional yang cenderung mengabaikan konflik di tengah masyrakat Secara umum diskusi kali ini sudah berjalan dengan baik. Hal ini ditunjukkan dengan antusiasme dan atensi yang relatif cukup besar dari kawan-kawan LPPMD. Di akhir diskusi, Bung Aldo mencoba memberikan evaluasi dan saran tentang diskusi kurikulum pertama ini. Sehingga, untuk kedepannya, diskusi akan berjalan lebih baik lagi. Dan juga dapat mencapai tujuan dan manfaatnya.
41
Selesai! nantikan aufklÄrung edisi selanjutnya
SALAM PEMBEBASAN!