Aufklarung Edisi Oktober 2017

Page 1

AUFKLÄRUNG

•MENGENAL LEBIH DEKAT PAULO FREIRE• EDISI OKTOBER 2017


This page is intentionally left blank


DAFTAR KONTEN

Biografi : Mengenal Lebih Dekat Paulo Freire

oleh : M Fathurrahman Aditya K

Artikel : Memuji Kemalasan bersama Bertrand Russell

oleh : Muhammad Ridwan

oleh : Aldo Fernando Natsir

Artikel : Analisis Pendekatan Postmodernisme dan Metamodernisme dalam Internet Meme

oleh : Mulia Ramdhan Fauzani

Tidak ada daftar isi, baca sampai beres. You have to finish what you’ve started.

Resensi Album : Godspeed You ! Black Emperor – F#A#∞ : Cuplikan Pascaapokaliptik dan Surealisme Alienasi oleh : M Fathurrahman Aditya K

Artikel : G30S/PKI : Perjalanan Fantasi Masyarakat Anti-Komunis P.s.

Cerpen : Lahan! oleh : Rachmadi Rasyad

Artikel : Dari Barak menuju Istana : Perjalanan Politik Militer di Indonesia oleh : Reynard Pardede

Cerpen : Yang Pertama buat Mangaday oleh : Raihan M Ihsan

oleh : M Fathurrahman Aditya K

Opini : Relevansi TAP MPRS No XXV / 1966 dan Ketakutan Yang Tidak Mendasar

Resensi Buku : Saksi Mata : Mengingat Pembantaian Dilli bersama Seno Gumira Ajidarma oleh : Muhammad Fakhri

Press Release: oleh : M Fathurrahman Aditya K


KATA PENGANTAR Assalamaualaikum wr.wb Salam hangat kawan-kawan. Aufklarung terbitan kedua pada kepengurusan LPPMD 2017 akhirnya dapat kita nikmati. Tema yang diangkat pada Aufklarung Seperti biasa, Aufklarung kali ini berisi berbagai macam rubrik: Artikel, Resensi, Les Avis(opini), dan Cerpen. Dimulai dari artikel, Raynard Pardede, Aldo Fernando, M. Fathurrahman, dan Mulia Ramdhan masing-masing menyumbang satu buat tulisan. Raynard menuliskan bagaimana perjalanan angkatan bersenjata ikut-serta dalam politik negara secara historis. Tulisan ini menjadi menarik dan penting untuk setidaknya memahami motif dan latar belakang keaktivan militer dalam situasi-kondisi sosial politik di Indonesia saa ini menjelang pilpres 2019. Dalam tulisannya Aldo membahas salah satu esai filsafat semi-populer Bertrand Russell yang terkenal, yakni In Praise of Idleness (IPI) yang terbit pada 1932. Ia akan menjabarkan mengenai kemalasan yang menurut Russel pada essai itu mesti dipertahankan manusia. Fathur dalam tulisannya menganalisis meme, sebagai suatu unit kebudayaan yang diturunkan dari satu individu ke individu lain, lewat pendekatan Postmodernisme dan Metamodernisme. Artikel terakhir yang ditulis Mulia Ramdhan mengajak kita untuk meragukan kembali klaim Suharto atas peristiwa G30S, sebelum menemukan fakta sebenarnya dari G30S. Cerpen diisi oleh tulisan dari Rachmadi Rasyad dan Rayhan berjudul “LAHAN!” dan “Yang Pertama Buat Mangaday”. Lahan menceritakan ketertindasan para petani yang tergusur penghidupannya oleh pembangunan beserta industri yang berdiri di belakangnya. Si tokoh bersama kawan seperjuangannya sesama petani seperti Martinah, Marto, dan Samin tak kuasa menahan ketakutannya akan popor senapan aparat alat pembangunan. Pertolongan dari tuhan sangat diharapkannya. Tulisan-tulisan itu untuk kita semua nikmati sebagai ruang publik bebas, terutama bagi kawan-kawan mahasiswa Unpad.

PENANGGUNG JAWAB : MULIA RAMDHAN FAUZANI | PEMIMPIN REDAKSI : M FATHURRAHMAN ADITYA K | KONTRIBUTOR : ALDO FERNANDO NASIR , MUHAMMAD FAKHRI , REYHAN M IHSAN , NOVANDY , RAYNARD C PARDEDE , RACHMADI RASYAD | EDITOR : M FATURRAHMAN ADITYA K | PENATA LETAK : NOVANDY | ILUSTRASI : YUVINIAR EKAWATI


•BIOGRAFI•

MENGENAL LEBIH DEKAT PAULO FREIRE Oleh : M Fahturrahman Aditya K Kepala Divisi Media Lembaga Pengabdian dan Pengkajian Masyarakat Demokratis (LPPMD) Universitas Padjadjaran periode 2016-2017


Seorang profesor sejarah dan filsafat pendidikan di Universitas Recife yang mempunyai idealisme tinggi, aktivis sosial yang menekankan kepada literasi agar kaum tertindas bisa terbebas dari cengkraman penguasa yang mempunyai hegemoni yang kuat, dan seorang guru yang dikejar oleh pemerintah gara-gara mengajarkan membaca—deskripsi inilah yang mungkin bisa disematkan kepada seseorang kelahiran Brazil tahun 1921, Paulo Freire.

Paulo Freire, disaat masih remaja, di-hantam

Pada tahun 1944, ia menjadikan rekan kerjanya, Elza Maia Costa de Oliveira, menjadi istrinya. Berdua, mereka me-ngajar bersama dan hasil dari pernikahannya membuahkan lima orang anak.

dengan keras oleh krisis eko-nomi yang membuat dirinya harus mengerti tentang kelaparan dan ke-melaratan. Ia berkata bahwa “Aku tidak mengerti apa-apa karena kelaparan. Aku tidak bodoh. Aku tidak tertarik. Kondisi sosialku tidak membolehkan aku untuk mendapatkan pendidikan. Dari sini aku belajar, bahwa pengalamanku menun-jukkan hubungan yang sangat harmonis antara kelas sosial dan ilmu pengetahuan.”

Paulo Freire, dengan kekrtisannya, menjadi Direktur Departemen Pen-didikan dan Kebudayaan Pengab-dian Masyarakat di Pernambuco, salah satu distrik di Brazil, pada tahun 1946. Disini ia menekankan pendidikan kepada masyarakat bu-ta huruf (yang mayoritasnya mem-punyai pendapatan yang rendah) menggunakan cara yang tidak biasa—pembebasan teologis.

Ia belajar banyak soal kelas sosial, pemi-kiran Marxisme, dan hegemoni keku-asaan Gramsci, didasari dengan penga-laman yang nyata karena ia hidup di tengah keluarga miskin yang mayo-ritas pendapatannya dihasilkan dari buruh kasar dan pada waktu itu dunia dilanda The Great Depression.

Selama bertahun-tahun menjadi direktur di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Pengabdian Masyarakat distrik Pernambuco, ia ditunjuk untuk menjadi direktur di Departemen Ekstensi Kebudayaan Universitas Recife pada tahun 1961. Disini, ia beruntung, karena dengan posisinya yang strategis, ia bisa mengaplikasikan idealis-menya dengan sangat signifikan, dimana terdapat 300 pekerja buruh tebu belajar membaca dan menulis hanya dalam waktu 45 hari.

Pada tahun 1943, Freire masuk dan belajar di Universitas Recife dalam bidang hukum. Ia juga mengambil filsafat—lebih spesifik pada bidang fenomenologi—dan psikologi bahasa. Meskipun ia lulus dari bidang hukum, ia tidak pernah secara serius menerapkan keilmuannya ke dalam dunia nyata. Ia lebih memilih untuk mengajar bahasa Portugis di sekolah menengah.

3


Tahun 1964 merupakan tahun terberatnya. Kudeta militer yang terjadi di Brazil harus membuat Freire menutup usahanya membebaskan para pekerja. Ia dipenjara sebagai pengkhianat selama tujuh puluh hari. Karena diusir dengan kotanya sendiri, ia pindah ke Bolivia lalu ke Chile selama lima tahun dan membangun sebuah gerakan Christian Democratic

Agrarian Reform Movement dan Organisasi Pangan dan Agrikultur di Perserikatan Bangsa-bangsa. Dengan waktu yang cukup luang karena sudah tidak mengajar lagi, Freire membuat tiga buku, dengan salah satu bukunya yang terkenal yakni Pedagogy of the Oppressed (1970). Freire juga mendapatkan undangan untuk mengunjungi professor yang berada di Universitas Harvard. Dengan kunjungannya, beberapa orang-orang amerika lalu bersimpatik dan ingin melakukan hal yang sama. Pada tahun 1970 ia keluar dari Harvard dan bergabung ke Kantor Pendidikan di Dewan Gereja Sedunia di Jenewa. Menjadi salah satu orang terpenting di tempat kerjanya, Freire tidak menghilangkan idealismenya. Malah, disela-sela waktu ia gunakan untuk membuat enam buku dan menggunakan hak istimewanya agar meningkatkan literasi dan pembebasan negara dunia ketiga melalui program-program pendidikan.

“disela-sela waktu ia gunakan untuk membuat enam buku dan menggunakan hak istimewanya agar meningkatkan literasi dan pembebasan negara dunia ketiga�

Status penolakan dia ditarik pada tahun 1979. Ia kembali lagi ke Brazil dan menjadi sekretaris pendidikan di Sao Paulo. Pada dekade 80an ia banyak menajamkan lagi teori-teori pembebasan pendidikannya pada area politik dan literasi. Freire percaya bahwa orang-orang yang tertindas di dunia adalah hasil dari dominasi dan korban dari orang-orang yang memegang kekuasaan. Ini terlihat bahwa Freire sudah sangat familiar dengan konsep-konsep Marxisme dan teori-teori Hegemoni Antonio Gramsci. Freire meninggal pada tahun 1997 dan ada tiga hari duka berkabung di seluruh kota Pernambuco


•ARTIKEL•

MEMUJI KEMALASAN BERSAMA BERTRAND RUSSELL oleh Aldo Fernando Nasir Ketua Umum LPPMD Periode 2015-2016 Mahasiswa Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran (Unpad)


Bertrand Russell (1872-1970) dikenal sebagai seorang filsuf, logikawan, esais dan kritikus sosial asal Britania Raya abad ke-20 lewat karyakaryanya, seperti Mysticism and Logic (1910), Principia Mathematica (bersama Alfred North Whitehead, 1910), The Problems of Philosophy (1912), Our Knowledge of The External World (1914), Introduction to Mathematical Philosophy (1919),

Free Thought and Official Propaganda (1922), Marriage and Morals (1929), In Praise of Idleness (1932), History of Western Philosophy (1945), Human Knowledge (1949), The Impact of Science on Society (1951), dan lain sebagainya. Bersama G.E. Moore, Russell dianggap sebagai tokoh utama dalam filsafat analitik modern di dunia filsafat Anglo-Amerika. Beberapa kontribusi Russell dalam dunia logika matematika dan filsafat mencakup soal pendirian logisismenya (pandangan bahwa matematika, dalam pengertian tertentu, dapati direduksi ke dalam logika), monisme netral (pandangan bahwa dunia terdiri hanya dari satu

AUFKLÄRUNG Oktober 2017

jenis substansi yang tidak mental sekaligus tidak fisik), teorinya mengenai deskripsi definit, atomisme logis dan tipe-tipe logis (Irvine, 2017). Selain menulis mengenai topik-topik yang berkaitan dengan logika matematika, metafisika, epistemologi dan filsafat analisislogis, Russell juga terkenal lewat esai-esai populernya yang mencakup tema-tema seperti pendidikan, moral, pernikahan, kemanusiaan, perang, damai, kebahagiaan, dampak sains dalam masyarakat, yang dapat kita baca melalui sejumlah judul karya-karya Russell di atas. Dengan esai-esai briliannya mengenai ‘idealideal kemanusiaan dan kebebasan pikiran’ Russell diganjar Nobel Sastra pada 1950. Alasan mengapa Russell dipilih oleh panitia Nobel sebagai penerima Nobel Sastra adalah karena ‘Russell begitu ekstensif menujukan buku-bukunya untuk publik awam dan, dengan demikian, telah berhasil merawat minat orang banyak mengenai filsafat secara umum’.

6


“

“

Kemalasan yang dipertahankan Russell dalam IPI bukan kemalasan yang didapatkan karena dari mengorbankan orang lain untuk bekerja lebih banyak

Nah, di dalam kesempatan ini, kita akan membahas salah satu esai filsafat semi-populer Russell yang terkenal, yakni In Praise of Idleness (IPI) yang terbit pada 1932. Di dalam esai ini Russell mengajukan pandangannya soal kemalasan, waktu senggang dan kerja dalam masyarakat modern. Sebelum membahas inti permasalahan dalam esai IPI, penting untuk disimak mengenai alasan mengapa esai-esai semi-populer Russell hadir dan bisa dibaca sampai saat ini: karena pada 1930-an Russell sedang berjuang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya alias butuh uang, sehingga ia menulis seri-seri artikel-artikel semi populer dan buku-buku potboiler. IPI adalah salah satu di antara ratusan esai Russell yang terbit kala itu. Dalam membahas esai In Praise of Idleness dalam tulisan singkat ini, saya akan dibantu oleh analisis

AUFKLĂ„RUNG Oktober 2017

Stephen Mumford mengenai filsafat kerja dan waktu senggang a la Russell dalam IPI (Mumford, 2008).

IPI adalah esai filosofis Russell mengenai pemenuhan manusia dan keutamaan dalam hidup. Dalam IPI, Russell mengajukan beberapa premis untuk sampai pada kesimpulan yang dapat menyokong pandangannya mengenai kemalasan. Tentu saja, kemalasan yang dibahas Russell berkaitan dengan kerja dalam masyarakat modern. Untuk itu, pertama-tama, mari kita bahas kemalasan macam apa yang dipertahankan oleh Russell, lalu kemudian kita akan menyimak definisi kerja berikut implikasiimplikasinya dalam IPI. Kemalasan yang dipertahankan Russell dalam IPI bukan kemalasan yang didapatkan karena dari mengorbankan orang lain untuk bekerja lebih banyak, seperti yang

7


dilakukan tuan tanah, pendeta, dan kaum pemodal. Mereka inilah yang mengkhotbahkan soal etika kerja dan kewajiban kerja kepada kaum buruh sebagai sesuatu yang Russell mempertahankan ide luhur kemalasan sebagai sematasementara mereka mata cara menuju sebuah ongkangongkang tujuan akhir, yakni kemalasan kaki. Hal ini yang memberikan kontribusi juga terjadi di Rusia yang bagi masyarakat dan komunis kala peradaban itu, yang menyuarakan keutamaan (virtue) kerja kepada kelas pekerja demi tercapainya tujuan negara. Dalam hal ini, Russell mempertahankan ide kemalasan sebagai semata-mata cara menuju sebuah tujuan akhir, yakni kemalasan yang memberikan kontribusi bagi masyarakat dan peradaban (Mumford, 2008). Jadi, Russell juga tidak mempertahankan kemalasanbegitu-saja atau kemalasan tanpa arah—Mumford menyebut ide kemalasan yang dipertahankan Russell sebagai kemalasan aktif (sebuah hal yang nampak swa-

kontradiktif). Dalam esai Russell, kita dapat melihat kesejajaran antara kemalasan dan waktu senggang (akan sedikit dijelaskan nanti). Sebelum membahas lebih lanjut mengenai kemalasan, kita akan membahas mengenai definisi kerja menurut Russell di bawah ini. Russell berpendapat bahwa kerja terdiri dari dua jenis: pertama, kerja sebagai aktivitas mengubah posisi


materi yang berada di permukaan bumi; kedua, kerja sebagai upaya memerintah orang lain untuk melakukan hal yang demikian. Jenis yang pertama, demikian kata Russell, tidak menyenangkan dan dibayar rendah. Sedangkan yang kedua menyenangkan dan bayarannya tinggi (hlm. 12). Ini berarti ada pekerja yang disuruh dan ada tuan pesuruh. Definisi kerja yang disebut pertama yang menjadi fokus bahasan kita di bawah ini. Kerja dalam definisi pertama kita sebut dengan kerja manual. Ini berarti, kerja-kerja seperti kerja untuk peradaban, yang Russell juga lakukan ketika menulis karyakaryanya, tidak dianggap sebagai kerja atau dimasukkan ke dalam jenis kontribusi sia-sia untuk peradaban yang hanya dimungkinkan ketika seseorang memiliki waktu senggang yang cukup. Mumford (2008: 7-8) menunjukkan bahwa dengan pemilahan konsep kerja yang demikian, kita dapat menarik dua argumen yang mendasari pemikiran Russell mengenai kerja dan kemalasan: (a) argumen kerja; (b) argument kontribusi bagi peradaban. Di bawah ini akan disajikan penjelasan mengenai argumen (a) dan (b) (dalam hal ini, saya akan meminjam analisis Mumford).

(a) Argumen kerja: 1. Kerja tidak menyenangkan; waktu senggang menyenangkan 2. Karena adanya mekanisasi, kita tidak perlu lagi bekerja sebanyak yang kita lakukan sebelumnya dan saat ini 3. Tetapi organisasi sosial kita menghendaki agar kita bekerja lebih dari ynag diperlukan

Karenanya,

kita seharusnya mengganti organisasi atau struktur sosial yang ada dengan yang baru yang memungkinkan kita bekerja lebih sedikit (Russell mengajukan empat jam kerja dalam sehari) dan lebih banyak waktu senggang.

(Kesimpulan a) (b) Argumen kontribusi bagi peradaban: 4. Waktu senggang tersedia bagi sedikit orang (minoritas) 5. Peradaban adalah semata-mata produk waktu senggang 6. Penyokong potensial bagi peradaban adalah setidaknya orang banyak (mayoritas) yang sama mungkinnya dengan orang-orang yang sedikit (minoritas)

9


…bahwa kita seharusnya bekerja lebih sedikit karena kerja itu tidak menyenangkan…

Karenanya, Peradaban akan berguna

Tetapi, menariknya, Russell mengakui (sebagaimana dijelaskan di poin 4 pada argumen [b] di atas) sejumlah waktu senggang digunakan oleh orang-orang tertentu (raja, penyair, pendeta, filsuf, ilmuwan— yang memiliki keutamaan aristokratis) untuk memajukan peradaban (Western, 2000). “Waktu senggang penting bagi peradaban dan di waktu lampau waktu senggang bagi sedikit orang,” demikian tulis Russell, “hanya mungkin ada karena adanya kerja yang dilakukan oleh orang banyak.”

apabila waktu senggang diberikan secara merata bagi semua orang. (Kesimpulan b) Dari dua kesimpulan tersebut (a dan b) kita dapat memerasnya menjadi seperti ini: bahwa kita seharusnya bekerja lebih sedikit karena kerja itu tidak menyenangkan (a) dan karena waktu senggang bermanfaat bagi peradaban (b) (Mumford, 2008). Kita bisa melihat upaya penghadaphadapan antara apa yang Russell sebut etika kerja (keyakinan bahwa kerja adalah keutamaan atau virtue) dan kemalasan atau waktu senggang sebagai keutamaan. Russell melihat keyakinan terhadap kewajiban kerja sebagai ‘moralitas budak’, yang dipelihara oleh para penguasa untuk mendorong orang lain melakukan kerja demi kepentingan tuannya. Russell melawan ide ini dalam IPI.

Jadi, Russell melihat banyak keutamaan aristokratis yang bernilai besar dan penting untuk terus dijaga dalam masyarakat modern dan demokratis. “Bahkan pembebasan kaum tertindas biasanya dimulai dari atas,” kata Russell, “Tanpa kelas yang menikmati waktu senggang, umat manusia tidak akan pernah muncul dari barbarisme”.

10


Tetapi, bagi Russell, keutamaan aristokratis hanya akan terjadi dalam sosialisme, ‘karena keutamaan aristokratis hanya akan muncul di bawah kondisi keamanan ekonomi dan waktu senggang’ ‘dan dengan teknik-teknik modern mungkinlah untuk mendistribusikan waktu senggang tanpa membahayakan peradaban’ (Carey & Ongley, 2009; Western, 2000). Inilah tawaran Russell dalam upaya mendistribusikan keutamaankeutamaan aristokratis dalam masyarakat.

kemalasan yang memungkinkan orang banyak berkontribusi bagi peradaban, sebut saja kemalasan aktif (meminjam Mumford). Nah, mengenai kemalasan inilah yang dikhawatirkan Russell. Ia khawatir bahwa banyak orang, terutama kaum pekerja, tidak bisa dan tidak tahu cara memanfaatkan waktu senggangnya. Mengenai perkara ini, Russell menawarkan dua pandangan (Western, 2000). Pertama, kita harus menerima bahwa kehidupan adalah

“…dalam hal ini perlu ada keseimbangan antara kerja dan kemalasan-waktu senggang.”

Sebagaimana telah disebut di atas, kemalasan yang dipertahankan Russell bukanlah kemalasan begitu saja. Kita dapat menghadapkan kemalasan-begitu-saja, disebut juga kemalasan pasif (yakni konsumsi waktu yang non-produktif), dengan

kenikmatan pada dirinya sendiri. Russell berkata bahwa manusia modern berpikir bahwa segala hal harus dilakukan demi sesuatu yang lain, dan tidak demi dirinya sendiri. Bisa dikatakan, dalam hal ini perlu ada keseimbangan antara kerja dan

11


kemalasan-waktu senggang. “Kita terlalu banyak berpikir soal produksi, dan terlalu sedikit soal konsumsi. Salah satu hasilnya adalah bahwa kita sangat sedikit memperhatikan kenikmatan dan kebahagiaan yang sederhana dan bahwa kita tidak menilai produksi dari kenikmatan yang ia berikan kepada konsumen,” demikian kata Russell. Kedua, Russell menekankan pentingnya pendidikan yang bisa meningkatkan citarasa kita sehingga kita bisa memanfaatkan waktu senggang dengan cerdas (hlm. 25). Ini bertujuan untuk ‘mendidik kembali kembali kepentingan kita sehingga kita menggunakan waktu senggan secara lebih produktif’ dan kita menjadi bagian aktif dari waktu senggang yang kita miliki (Mumford, hlm. 14). Dalam esai ini, ada nada optimisme yang Russell berikan. Ia percaya bahwa “di dunia dimana tidak ada seorang pun yang dipaksa untuk bekerja lebih dari empat jam dalam sehari, setiap orang yang memiliki keingintahuan ilmiah akan mampu menurutinya, dan setiap pelukis akan bisa melukis tanpa takut kelaparan [....] Para ahli medis akan memiliki waktu untuk mempelajari kemajuan

12

di bidang kesehatan”. Apakah keyakinan Russell ini mungkin tercapai? Barangkali, ide Russell yang tertuang dalam esai IPI mengenai kemalasan demi kebahagiaan hidup dan kemajuan peradaban, soal pemangkasan waktu kerja menjadi empat jam, akan berakhir sebagai cemoohan—contohnya, dalam bentuk meme di media sosial— karena dianggap hanyalah sejenis ‘optimisme utopis’ seorang pemikir tanpa menceburkan diri ke dalam keadaan ekonomi–politik; atau mungkin bagi kawan-kawan yang bergerak, misalnya, di bidang kajian Marxisme, ide Russell itu tidak mencukupi untuk menganalisis kenyataan dan membuat perubahan nyata bagi keadaan kaum buruh di dunia saat ini karena filsafat kerja a la Russell dianggap tidak seketat teori nilai-lebih Marx (Mumford, 2008). Belum lagi soal pertimbangan jurang waktu, geografis dan kondisi sosialekonomi-politik saat Russell hidup dan kenyataan saat ini yang pasti memiliki sejumlah perbedaan penting yang perlu dipikirkan dan memerlukan analisis yang lebih mendalam.


Tentu saja, dengan segala keterbatasan esai IPI ini masih banyak hal yang belum dijelaskan lebih jauh oleh Russell, sehingga dengan demikian, mengenai posisi Russell dalam esai yang menarik ini, kita bisa mengajukan beberapa pertanyaan (Mumford, 2008). Pertama, mengenai pembedaan Russell antara aktivitas yang berkontribusi bagi peradaban dan yang tidak. Apa yang membedakan aktivitas yang dianggap sebagai kerja dengan aktivitas yang dianggap dilakukan di waktu senggang? Bisakah kita benar-benar menarik garis batas yang tajam antara mereka yang berkontribusi dan yang tidak berkontribusi bagi peradaban? Kedua, mengenai kemalasan yang didukung Russell, yakni kemalasan yang berperan bagi peradaban: Dapatkah seseorang menggunakan kemalasan demi

dirinya sendiri? Ketiga: Seberapa praktiskah ide empat jam kerja dalam sehari diterapkan untuk semua kaum pekerja di segala bidang? Bagaimana dengan perkembangan modern konsumerisme massa yang bisa merayu kaum pekerja untuk menjadi penikmat pasif waktu senggang? Ya, hal-hal dan pertanyaanpertanyaan tersebut di atas, tentu saja, masih sangat terbuka untuk dijawab dan diperdebatkan. Namun, dalam kesempatan ini, menurut saya, kiranya cukuplah untuk membahas terlebih dahulu ide soal bentuk kemalasan yang mungkin ada di luar racauan kaum pemuja etika kerja (upahan) sembari memikirkan lebih lanjut mengenai ide kemalasan dan waktu senggang ini di hari-hari mendatang. Demikian, kawankawan.

Fin


ARTIKEL DARI BARAK MENUJU ISTANA : PERJALANAN POLITIK MILITER DI INDONESIA oleh : Raynard Pardede Kader LPPMD Unpad Angkatan 31 Mahasiswa Prodi Ilmu Pemerintahan, FISIP Unpad


Media di Indonesia kembali disibukkan dengan pemberitaan terkait pernyataan Panglima TNI Gatot Nurmantyo yang dinilai meresahkan dan kontroversial. Ia berujar bahwa ada institusi negara yang melakukan pencatutan nama Presiden Joko Widodo dalam pembelian 5000 pucuk senjata. Para ahli politik menilai ini sebagai manuver politik Gatot Nurmantyo dalam menaikkan tingkat elektabilitas untuk bersaing dengan petahana kuat, Joko Widodo di pemilu tahun 2019. Hal ini menimbulkan keresahan bagi beberapa kalangan, karena pernyataan politis tersebut dikeluarkan saat Gatot Nurmantyo masih menjabat sebagai perwira aktif di jajaran Tentara Nasional Indonesia. Peran TNI memang sulit dilepaskan dalam diskursus politik di Indonesia, walaupun sewajarnya TNI harusnya menjauhkan diri dari politik dan bekerja layaknya tentara profesional. Lalu, pertanyaan besar bagi kita mahasiswa, bagaimana mungkin sebuah organisasi militer (TNI) mengukuhkan dirinya sebagai “pemain� penting dalam peta politik di Indonesia? Mari kita simak bersama.


Kemunculan Tentara Politik

M

edia di Indonesia kembali disibukkan dengan pemberitaan terkait pernyataan Panglima TNI Gatot Nurmantyo yang dinilai meresahkan dan kontroversial. Ia berujar bahwa ada institusi negara yang melakukan pencatutan nama Presiden Joko Widodo dalam pembelian 5000 pucuk senjata. Para ahli politik menilai ini sebagai manuver politik Gatot Nurmantyo dalam menaikkan tingkat elektabilitas untuk bersaing dengan petahana kuat, Joko Widodo di pemilu tahun 2019. Hal ini menimbulkan keresahan bagi beberapa kalangan, karena pernyataan politis tersebut dikeluarkan saat Gatot Nurmantyo masih menjabat sebagai perwira aktif di jajaran Tentara Nasional Indonesia. Peran TNI memang sulit dilepaskan dalam diskursus politik di Indonesia, walaupun sewajarnya TNI harusnya menjauhkan diri dari politik dan bekerja layaknya tentara profesional. Lalu, pertanyaan besar bagi kita mahasiswa, bagaimana mungkin sebuah organisasi militer (TNI) mengukuhkan dirinya sebagai “pemain� penting dalam peta politik di Indonesia? Mari kita simak bersama. Reformasi tahun 1998 adalah salah satu momentum politik paling signifikan dalam sejarah bangsa Indonesia. Mundurnya Soeharto dari pucuk pimpinan pemerintahan, membuka pintu transisi sistem pemerintahan dengan corak otoritarian menjadi lebih demokratis. Proses transisi ini melibatkan dan menyasar hampir seluruh elemen masyarakat dan institusi pemerintah, terutama angkatan bersenjata. Sebelum berbicara lebih jauh terkait lika liku politik dan reformasi militer Indonesia pasca Orde Baru, ada baiknya, terlebih dahulu kita mengulas balik sepak terjak TNI dalam sejarah perpolitikan di Indonesia. Sudah bukan rahasia lagi, Soeharto menggunakan militer Indonesia dengan skala yang cukup besar dalam mengamankan rezim Orde Baru (1966-1998). Meskipun begitu, geliat kontestasi militer dalam perpolitikan di Indonesia sudah terlihat setelah kesuksesan Partai Komunis Indonesia di Pemilu 1955. Untuk mengantisipasi kekuatan PKI yang semakin membesar saat itu, medio 1950 sampai 1960 diadakanlah berbagai seminar yang bertempat di Sekolah Sistem Komando TNI Bandung, untuk mengkaji lagi doktrin


pertahanan TNI agar sesuai dengan kebutuhan saat itu. “Sudah bukan rahasia Konsep “dwi-fungsi” pun lahir, lagi, Soeharto yang nantinya dipakai TNI untuk melebarkan sayapnya menggunakan militer agar tak hanya beroperasi di Indonesia dengan skala bidang militer melainkan juga di yang cukup besar dalam bidang non-militer, salah satunya kegiatan sosial-polimengamankan rezim tik1. Konsep ini disempurnakan Orde Baru” lagi dengan bantuan Koter (Komando Teritorial). Setiap Koter ditugaskan untuk mengadakan operasi teritorial yang merupakan operasi pembinaan wilayah yang dilakukan di daerah untuk mengantisipasi konflik dan masalah di bidang sospol. “Operasi Teritorial” bersama dengan “Operasi Intelijen”, dan “Operasi Tempur” dibakukan dengan istilah Doktrin “Tri Ubaya Cakti”. Selang beberapa bulan, Doktrin ini kembali disempurnakan menjadi Doktrin “Tjatur Darma Eka Karma”, dengan berfokus pada konsep “Perata” (Perang Rakyat Semesta)2. Pada kenyataannya, pembaharuan doktrin yang dilakukan tidak berkonsekuensi besar bagi peningkatan kekuatan TNI di bidang sosialpolitik. Meskipun begitu, PKI berhasil dikalahkan, dan selama 32 tahun, TNI berjaya di bawah Soeharto. Segala sektor kehidupan bangsa praktis dikuasai oleh militer3. Peran militer dalam kegiatan pemerintahan diperkuat dengan penggunaan organisasi macam Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) dibarengi doktrin Dwi-fungsi sebagai instrumen politik utama. Kerjasama politik Soeharto-militer mendapat tantangan dengan berbagai gelombang demonstrasi oleh mahasiswa dan partai politik (dalam kasus ini PDI dan juga PRD) pada awal tahun 1990 dan puncaknya tahun 1997, saat Krisis Moneter melanda Indonesia. Kesan tentara profesional yang harusnya disematkan pada TNI

1

Angel Rabasa dan John Haseman. 2002, The Military And Democracy In Indonesia : Challenges, Politics, and Power. California: RAND. Hlm. 12 2 Andi Widjajanto. 2005, Evolusi Doktrin Pertahanan Indonesia. Hlm 13 3 Untuk mengetahui lebih banyak tentang bisnis militer di Indonesia baca: Indra Samego, 1999, Bila ABRI Berbisnis. Bandung: Mizan


“militer tidak diberikan kewajiban ikut serta dalam kegiatan politik yang mutlak harus dipegang oleh sipil.� Samuel P Huntington

menjadi kabur, dikarenakan TNI mencoba memasuki ranah sipil dengan dalih menjaga stabilitas keamanan nasional. Samuel Huntington4 berpendapat bahwa, militer tidak diberikan kewajiban ikut serta dalam kegiatan politik yang mutlak harus dipegang oleh sipil. Ini berimplikasi terhadap struktur komando angkatan bersenjata yang harus berada dibawah kontrol institusi sipil. Hal ini menurut Andrew Heywood 5 cukup beralasan, dikarenakan angkatan bersenjata sudah memiliki kewenangan yang cukup besar dalam sistem pemerintahan yaitu sebagai pengendali atas penggunaan kekuatan bersenjata beserta komponen pendukungnya, seperti teritorial, intelijen dll yang digelar untuk melawan musuh. Maka itu, bila angkatan bersenjata diberikan tugas politik, kekuatan dan kekuasaan yang dimiliki akan terlampau besar dan bisa mencederai sendi-sendi demokrasi.

4

Samuel Huntington, 1957, The Soldier And The State: The Theory and Politics Of Civil-Military Relations Cambridge: Harvard Press. Hlm 89. 5 Andrew Heywood, 2007, Political Ideologies : An Introduction. New York: Palgrave Macmillan


Posisi Militer Pasca Orde Baru : Supremasi Sipil Atas Militer Tuntutan masyarakat terhadap reformasi mendapatkan angin segar saat Krisis Moneter melanda Indonesia tahun 1997. Nilai tukar rupiah terhadap dollar AS yang merosot tajam, inflasi barang-barang kebutuhan dasar, serta pemecatan pekerja secara masif mengindikasikan bahwa rezim Soeharto sedang tidak baik-baik saja. Aksi unjuk rasa besar-besaran terjadi dengan menuntut pengunduran diri Soeharto, memberantas KKN, serta mencabut Dwifungsi ABRI. 21 Mei 1998, Soeharto akhirnya meletakkan jabatan kepresidenannya dan diserahkan kepada Habibie.

B.J Habibie (1998-1999) Di era Habibie, masyarakat mulai mendapatkan ruang untuk menyampaikan tuntutan-tuntutannya secara partisipatif terhadap pemerintah. Salah satu peristiwa penting yang terjadi pada saat itu adalah dicetuskannya “Paradigma Baru TNI�, sebuah konsep yang dicetuskan oleh Letjen Susilo Bambang Yudhoyono yang berisi komitmen serta kesadaran militer untuk mengundurkan diri dari politik, dan Habibie memberikan Inpres No.2 Tahun 1999 tentang Langkah Kebijakan Dalam Rangka Pemisahan TNI dan Polri.6 Lebih lanjut lagi, Paradigma Baru TNI berbicara tentang pendelegasian urusan penyelengaraan keamanan dalam negeri yang diberikan kepada institusi kepolisian. Namun, hal ini mendapat sedikit pertentangan dari masyarakat karena tidak melibatkan sipil dalam proses reformasi militer karena dilakukan secara mandiri oleh TNI. Momentum penting dalam hubungan sipil-militer di Indonesia adalah lepasnya daerah Timor Timur dari Indonesia. Habibie –tanpa meminta nasihat dari TNI—mengadakan referendum sepihak, yang menimbulkan kekecewaan di kalangan militer. Selepas Timor Timur merdeka dari Indonesia, TNI beserta milisi lokal pro-integrasi melakukan berbagai tindak kekerasan terhadap warga Timor Timur. Hal ini memberi citra yang sangat buruk bagi Indonesia, dan mengakibatkan embargo dari negara-negara

6

Muhammad Haripin, 2013, Reformasi Sektor Keamanan Pasca Orde Baru : Melacak Pandangan dan Komunikasi Advokasi Masyarakat Sipil. Tangerang: Marjin Kiri. Hlm. 62


Eropa dan Amerika Serikat7. TNI sebagai saviour of the nation merasa kecewa dengan kepemimpinan sipil.

Abdurahman Wahid (1999-2001) Tahun 1999, Abdurahman Wahid, atau yang lebih dikenal dengan Gus Dur menduduki kursi kepresidenan. Kepimpinan Gus Dur diwarnai banyak kejadian kontroversial mulai dari isu penyalahgunaan dana donor dari Brunei Darussalam serta perseteruannya dengan parlemen. Meski begitu, Gus Dur merupakan presiden yang secara tegas menginginkan supremasi sipil ditegakkan. Gus Dur mengeluarkan Keppres No.38 Tahun 2000 tentang Pembubaran Badan Koordinasi Bantuan Pemantapan Stabilitas Nasional, institusi yang merupakan penerus dari Kopkamtib yang merupakan alat penindasan rezim Soeharto. Selanjutnya, Gus Dur mencoba membuka jembatan rekonsiliasi dengan menyampaikan maaf bila Nahdlatul Ulama turut serta dalam melakukan kekerasan terhadap korban pasca-1965, serta mendorong resolusi konflik non-militer di Aceh, Papua, serta Ambon.8 Pada era ini, MPR mengeluarkan Tap MPR No.VI Tahun 2000 tentang pemisahan TNI dan Polri, dan No. VII Tahun 2000 Tentang Peran TNI dan Polri. Kedua Tap MPR ini menandai era baru bagi perjalanan TNI dan Polri sebagai dua institusi yang terpisah.9 Selain itu, pembuktian Gus Dur dalam urusan reformasi militer tercermin dari pengangkatan Letjen Agus Wirahadikusumah menggantikan Djadja Suparman di posisi Pangkostrad pada saat itu. Bagi beberapa perwira, Letjen Agus merupakan “duri dalam daging� bagi TNI, karena ia secara terang-terangan melontarkan komentar bahwa TNI harus loyal kepada institusi bukan jenderalnya. Selain itu pula, Agus pernah melontarkan kritikan tentang praktik korupsi yang terjadi dilakukan bawahannya di salah

7

Menurut sumber reportase, sekitar 190,000 sampai 300,000 orang melarikan diri ke perbukitan saat kekerasan tersebut terjadi, dan 140,000 yang melarikan diri ke Timor Timur bagian barat (International Peacekeepers: 1999). 8 John Roosa, 2000, Gus Dur and The Military Monster ESTAFETTA Vol.6 No.1 9 Muhammad Haripin, 2013, Reformasi Sektor Keamanan Pasca Orde Baru : Melacak Pandangan dan Komunikasi Advokasi Masyarakat Sipil. Tangerang: Marjin Kiri. Hlm. 62


satu yayasan TNI AD. Bakat yang tidak disia-siakan oleh Gus Dur. Ia pun ditarik ke Jakarta. Pemerintahan Gus Dur tidak bertahan lama karena melemahnya konsolidasi internal pemerintahan. Hal ini dimanfaatkan oleh militer untuk melakukan konsolidasi internal serta menyiapkan diri untuk kembali berpolitik10. Setiap kesempatan selalu digunakan oleh militer untuk tampil sebagai pahlawan di penghujung acara.

Megawati Soekarnoputri (2001-2004) Setelah diangkat menjadi Presiden, Megawati langsung diperhadapkan dengan isu-isu pelik, terutama di bidang pertahanan dan keamanan. Selama tiga tahun berturut-turut terjadi serangan bom bunuh diri di Indonesia. Ia pun harus berkutat dengan masalah separatisme di Aceh dan Papua, serta konflik sosial di Maluku, Sulawesi, dan Kalimantan. Melihat begitu banyaknya masalah di bidang hankam, militer menemukan momentumnya untuk memperkuat diri secara politik. Melalui KSAD saat itu, Ryamizard Ryacudu mengusulkan agar fungsi Komando Teritorial diperkuat agar bisa mengumpulkan data informasi teror bom bunuh diri di Indonesia, sebuah tugas yang harusnya dipegang oleh Polri. Bila kewenangan tersebut diberikan, kegiatannya pun harus berada dibawah koordinasi kepolisian yang bertugas di wilayah dalam negeri. Carut marut yang terjadi memaksa pemerintah untuk selalu turut serta mengikutkan militer dalam perumusan setiap kebijakan, seperti UU Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme tahun 2003. Di tahun tersebut pula, Indonesia memutuskan untuk ikut dalam kampanye “Global War On Terror� yang diprakarsai Presiden Amerika Serikat, George W. Bush.

Era Susilo Bambang Yudhoyono (2004-2014) Meski berlatar belakang militer, komitmen SBY dalam penegakkan supremasi sipil patut diapresiasi. SBY mempertahankan tradisi “Konsolidasi TNI, Pembusukan Sipil. Sejauh Mana Ancaman Militerisme?� Kompas, 12 Januari 2002 10


pengangkatan jabatan Menteri Pertahanan dari golongan sipil (Juwono Sudarsono dan Purnomo Yusgiantoro). Pencapaian SBY yang perlu diperhatikan pula adalah terungkapnya pelaku dan jaringan organisasi serangan teror di Indonesia serta pendekatan non-militer dalam penyelesaian konflik Ambalat dan konflik Aceh. Dari segi regulasi, SBY adalah salah satu yang Presiden yang tidak produktif dalam urusan regulasi sektor hankam. Tercatat, SBY hanya berhasil mengesahkan UU Tentang Keterbukaan Informasi Publik Tahun 2008 dan UU Intelijen Negara Tahun 2011. Undang-undang lainnya terkait rahasia negara, keamanan nasional, peradilan militer meninggalkan grey area bagi proses penegakan supremasi sipil di Indonesia. Alasan ketidaktuntasan merentang mulai dari rivalitas birokrasi, misalnya antara TNI dan Polri, hingga penolakan materi RUU tertentu oleh masyarakat sipil. Selain ketidaktuntasan beberapa produk hukum, SBY juga menolak pembubaran Komando Teritorial yang menjadi tuntutan beberapa organisasi non-pemerintah. Dalam kasus ini, TNI mendukung SBY, karena Komando Teritorial sesuai dengan doktrin Sistem Pertahanan Rakyat Semesta (Sishankamrata). Pada akhir masa jabatannya yang pertama, SBY sempat mengeluarkan Perpres No.43 Tahun 2009 Tentang Pengambilan Aktivitas Bisnis TNI guna memenuhi amanat Pasal 76 UU. No.34 Tahun 2004 tentang TNI, yakni mengenai pelaksanaan proses pengambilalihan unit bisnis TNI yang mencakup koperasi, yayasan, dan perseroan terbatas (PT). Masyarakat sipil mengkritisi Perpres No.43 Tahun 2009 karena tidak memberitahukan batas waktu pengambilan bisnis TNI ke tangan pemerintah.11 Nafsu politik TNI tidak begitu terlihat di zaman SBY, hal ini dapat disebabkan karena adanya persamaan pandangan dalam membangun bangsa antar TNI dan SBY, yang notabene pernah menjadi bagian dari militer.

Era Joko Widodo (2014-sekarang) Di atas kertas, kekuasaan pemerintahan sipil Jokowi memang berada di atas militer, namun dalam praktik politiknya, Jokowi jelas terlihat Baca “Logika Berpikir Peraturan Presiden Kompromistis� Kompas, 16 Oktober 2009 11


membutuhkan militer untuk menopang kekuasaanya. Hal ini terlihat dengan pengangkatan Jenderal Gatot Nurmantyo sebagai Panglima TNI dari matra Angkatan Darat tahun 2015 lalu. Bila merujuk pada pola rotasi matra pasca reformasi, seharusnya jabatan Panglima TNI jatuh kepada TNI Angkatan Udara diwakili oleh Marsekal Agus Supriatna, tapi nyatanya tidak. Bisa ditafsirkan secara sederhana, bahwa Jokowi membutuhkan dukungan politik dari TNI Angkatan Darat. Perlu diketahui pula, secara politis Angkatan Darat adalah matra dengan kekuatan politik yang sudah mengakar sejak era perjuangan kemerdekaan sampai sekarang dan memiliki struktur komando yang mengikuti struktur pemerintahan Indonesia. Sesuai dengan visi poros maritim yang dibawa Jokowi, Angkatan Laut atau Angkatan Udara lah yang lebih cocok mengisi jabatan Panglima TNI. Di era Jokowi, momentum demi momentum didapatkan TNI untuk terus tampil sebagai sosok yang paling dibutuhkan bangsa. Pada tahun 2015, pemerintah memulai program pencetakan sawah di berbagai daerah di Indonesia yang dipimpin oleh Kementerian Pertanian. Melalui inisiatif Panglima, Babinsa diseluruh daerah di Indonesia dikerahkan untuk program tersebut. Meski disinyalir mengalami keterbatasan dana operasional, program ini tetap dilanjutkan. Program ini menuai banyak protes dari petani di daerah, yang menganggap TNI terlalu memaksakan target panen yang harus dicapai oleh para petani.12 Selain itu, TNI juga diikutsertakan dalam proyek pembangunan jalan trans-papua, pemadaman api di Kalimantan dan Sumatera, dll. Selanjutnya, pada Februari 2016, Pemerintahan Jokowi, melalui Kemenpolhukam, mengajukan revisi terhadap UU Anti Teror. TNI mencoba memanfaatkan situasi ini dengan turut serta mengajukan draft terkait pemberian wewenang lebih bagi TNI dalam tindakan pemberantasan terorisme13. Dengan memakai Prinsip OMSP dalam UU TNI 2003, TNI ingin ikut serta dalam kegiatan pemberantasan terorisme sesuai dengan kewenangan, dan bukan tugas perbantuan kepada Polisi. Ego sektoral antar kedua institusi hankam masih terasa. Seharusnya TNI legowo untuk bekerja dibawah koordinasi Polri dalam pemberantasan terorisme. Kerjasama TNI-

12 13

Baca “Modus TNI Membantu Petani� Tirto, 24 Juli 2017 IPAC, 2006, Update on the Indonesian Military’s Influence. IPAC Report No.26


Polri sesungguhnya telah terwujud dengan cukup baik, terutama dalam kasus perburuan Santoso melalui operasi gabungan kedua institusi. Selebihnya, peristiwa politik yang berhubungan dengan TNI masih berkutat diantara manuver pernyataan Gatot Nurmantyo terkait kebangkitan komunisme serta isu pembelian 5000 pucuk senjata –yang ternyata tidak benar—kepada masyarakat luas. Bagi penulis, hal ini menjadi sesuatu yang biasa saja, mengingat GN memang digadang-gadang akan maju sebagai calon presiden atau wakil presiden di Pemilu 2019. Hanya saja, Gatot Nurmantyo mengeluarkan pernyataan-pernyataan tendensius tersebut saat masih menjabat sebagai Panglima TNI. Bila ingin berpolitik, berpolitiklah yang santun, Panglimaku. Penutup : TNI dan Sejarah Peran politik TNI di kancah perpolitikan Indonesia dapat tercermin dari konsep Birthright Principle dan Competence Principle yang diajukan Finer (1962) dan Janowitz (1977), yaitu, militer secara sistematis mengembangkan keterkaitan yang erat dengan sejarah perkembangan bangsa serta arah evolusi negara.

Birthright principle didasarkan pada suatu pemahaman historis bahwa militer yang berperan besar dalam proses terbentuknya sebuah negara dan dalam proses pembentukan negara tersebut, militer melakukan pengorbanan yang paling besar. TNI sebagai institusi militer di Indonesia memang berjasa dalam proses kemerdekaaan hingga akhirnya Indonesia merdeka. Namun, permasalahan yang timbul dari hal tersebut adalah, TNI selalu berkeingian untuk ikut serta dalam proses politik nasional secara intensif dengan alasan Indonesia lahir oleh usaha dan keringat para tentara. Pembagian proporsi tugas antara sipil militer penting dalam pembentukan negara Indonesia perlu dikaji lebih lanjut. Lalu, competence principle, hal ini didasarkan pada ide bahwa militer merupakan institusi terbaik yang dimiliki negara untuk mempertahankan dan mencapai kepentingan nasional bangsa. Faktor utama yang mendasari penilaian ini adalah wacana tentang ketidak-mampuan institusi sipil (civil inadequacy) untuk mengelola negara ditandai dengan merebaknya berbagai krisis nasional (Widjayanto, 2005). Mulai dari permintaan menyerah Soekarno kepada Sudirman, jatuh-bangunnya kabinet parlementer yang


dipimpin sipil, hingga lepasnya Timor Timur dari Indonesia, hanyalah beberapa contoh dari kekecewaan militer terhadap kepemimpinan sipil. Maka keduanya memang harus berbenah. Memasuki umurnya yang ke-72, TNI harus mulai menyadari perannya bukan lagi sebagai tentara politik melainkan sebagai tentara profesional. Sipil pun demikian, tidak boleh merasa superior, karena pada hakikatnya, keduanya saling membutuhkan. Selamat Hari Jadi TNI ke-72 !

Daftar Pustaka // Rekomendasi Bacaan : Finer, S, 1962, The Man on Horseback : The Role of the Military in Politics. London: Pinter Haripin, M, 2013, Reformasi Sektor Keamanan Pasca Orde Baru : Melacak Pandangan dan Komunikasi Advokasi Masyarakat Sipil. Tangerang: Marjin Kiri. Heywood, A, 2007, Political Ideologies : An Introduction. New York: Palgrave Macmillan Huntington, S, 1957, The Soldier And The State: The Theory and Politics Of Civil-Military Relations. Cambridge: Harvard Press. IPAC, 2006, Update on the Indonesian Military’s Influence. IPAC Report No.26 Janowitz, M, 1977, Military Institutions and Coercion in the Developing Nations. Chicago: University of Chicago Press. Rabasa, A, 2002, The Military And Democracy In Indonesia : Challenges, Politics, and Power. California: RAND. Roosa, J, 2000, Gus Dur and The Military Monster ESTAFETTA Vol.6 No.1 Samego, I, 1999, Bila ABRI Berbisnis. Bandung: Mizan Widjajanto, A, 2005, Evolusi Doktrin Pertahanan Indonesia.


ARTIKEL ANALISIS PENDEKATAN POSTMODERNISME DAN METAMODERNISME DALAM INTERNET MEME Oleh : M Fathurrahman Aditya K Kepala Divisi Media Lembaga Pengabdian dan Pengkajian Masyarakat Demokratis (LPPMD) Universitas Padjadjaran periode 2016-2017


Dawkins (1976) sempat mengajukan suatu ide untuk menjelaskan kebudayaan menggunakan pendekatan ilmiah yang diterapkan di dalam Biologi. Ia berpendapat bahwa di dalam struktur kebudayaan itu ada unit-unit kecil, berupa ide, nilai, dan perilaku, yang diturunkan oleh individu kepada individu lain—meme. Meme adalah satuan dari kebudayaan, mirip dengan gen yang menjadi satuan terkecil yang dimiliki oleh makhluk hidup. Meme bisa berupa informasi yang penting, representasi simbolis, dan fenomena kebudayaan yang bisa diobservasi. Pertanyaan selanjutnya adalah: Bagaimana meme itu terbentuk?

Secara epistemologis, segala sesuatu yang bisa ditangkap oleh alat indera manusia adalah informasi. Filsuf empiris Inggris (David Hume, John Locke, G. Berkeley) di dalam buku W. Whewell berjudul Philosophy of Science (1840) berpendapat bahwa informasi adalah mediasi antara pikiran dan objek yang dipersepsi oleh indera. Ide, menurut Whewell, adalah produk dari kekuatan formatif pikiran terhadap sensasi yang ia lakukan. Sejalan dengan arti aslinya dalam bahasa Latin, informatio, yakni “memberikan se-

buah bentuk ke dalam pikiran�, informasi menurut Whewell sangat dekat dengan konsep dari representasi, yang ini menjadi dasar definisi dari ilmu kognitif modern. Informasi-informasi ini akan membentuk sebuah gagasan melalui representasi mental individu. Gagasan-gagasan tersebut pada akhirnya menjadi sebuah perilaku, atau tindakan yang bisa diobservasi (Myers, 2010). Perilaku ini, tentu saja, berdasarkan kepada proses mental, yakni pengalaman subjektif yang tidak dapat diobservasi, contohnya: sensasi, persepsi,


pikiran, mimpi, kepercayaan, dan perasaan. Dari sini, perilaku-perilaku yang dilakukan oleh satu individu akan menghasilkan sebuah objek berupa artefak kebudayaan. Artefak inilah yang disebut meme. Dari sini kita bisa menjelaskan apa itu internet meme. Internet meme adalah artefak kebudayaan yang terdapat dalam internet, yakni jaringan yang menghubungkan komputer secara global melalui protokol standardisasi komunikasi. Penyebaran informasi melalui internet terjadi sangat cepat. Kita bisa mengetahui apa yang dikerjakan oleh Presiden Donald Trump, misalnya, melalui media massa daring yang memberitakan. Informasi yang didapatkan juga sangat mudah diperoleh. Internet, dengan hal-hal tersebut, menjadi sesuatu yang hiperdinamis, bergerak terlampau cepat dan mudah berubah dan sangat adaptif. Ini tentu

berdampak pada kebudayaa n di dalam Internet itu sendiri. Berbicara tentang kebudayaan tentu tidak jauh dari pembahasan tentang seni dan estetika. Seni, secara umum, adalah ekspresi atau aplikasi dari kreativitas dan imajinasi manusia, yang berupaya untuk mencapai apresiasi atas dasar keindahan dan kekuatan emosionalnya. Keindahan ini tidak lepas dari salah satu pembahasan dalam ranah filsafat yakni estetika, yaitu pencarian tentang makna keindahan. Seni, dalam perjalanan historisnya, telah melewati proses yang panjang. Ada berbagai era yang dilalui oleh perjalanan seni dan setiap era dipengaruhi oleh keadaan pada zamannya. Setiap era juga merupakan reaksi, kritik, atau ekspansi dari gaya, ide, atau teknik seni era sebelumnya. Walaupun ini merupakan simplifikasi yang bisa jadi fatal, kita mungkin dapat


membagi sejarah seni kedalam empat kategori utama: Pramodernisme, modernisme, postmodernisme, dan metamodernisme. Seni dalam era premodernisme atau tradisionalisme sangat dekat dengan agama/ kepercayaan sebagai ideologi kultural. Pramodernisme menganut gaya seni dan ketentuan-ketentuan yang bersifat terlalu kaku. Tema yang diambil juga bersifat normatif se-

hingga pesan-pesan yang diberikan tak jauh dari norma yang berlaku pada waktu itu. Pramodernisme menekankan kecakapan teknik dan profisiensi yang dimiliki oleh seniman sehingga hasil karya seni tersebut bisa dianggap aes-

thetically pleasing. Modernisme adalah gerakan seni, yang secara sadar, melawan gerakan seni sebelumnya yakni pramodernisme/ tradisionalisme. Modernisme

Ilustrasi seni pramodern : School of Athens karya Raphael


kan. Dari sini, kebudayaan baru telah lahir. Seni, sebagai salah satu unsur budaya, pada masa modernisme, tidak lagi menekankan kepada kecakapan teknik tetapi lebih kepada inovasi dan kemajuan di dalam mengembangkan ide.

Ilustrasi seni modernisme : Scream karya Edvard Munch

sangat dekat dengan dinamika perubahan sosial sampai kebudayaan pada masanya, seperti revolusi Industri dan revolusi Perancis. Revolusi Industri berperan dalam gerakan modernisme, salah satu contoh konkret adalah revolusi industri membuat perubahan yang drastis di dalam masyarakat, misal dalam teknologi yang berkembang pesat sehingga proses produksi jauh melebihi yang dibutuh-

Pemikiran-pemikiran tersebut tentu tidak lepas dari pemikiran filsafat pada masanya. Salah satu yang menjadi titik nadir kebudayaan pada era modernisme adalah filosofi Nietzsche. Dengan sembo-yan pesimisnya “The Death of God�, Nietzsche mengajak umat manusia untuk menciptakan ideologi mereka sendiri, tanpa mengikuti tradisi yang sudah ada, termasuk agama (Cambridge University Press, 2012). Manusia harus mampu meninggalkan tradisi Agama yang pada masanya menjadi penunjuk moralitas dan menciptakan pemaknaan akan kehidupan dari dalam diri sendiri. Konsep semangat eksistensialisme ini mendorong seni era


Ilustrasi seni postmodernisme : Blue Pole karya Jackson Pollock

modernisme untuk selalu mencari pembaruan. Dengan modernisme, seni tidak berhenti sampai disitu. Ia mendapat reaksi dari postmodernisme. Postmodernis menekankan kepada dekonstruksi ide. Jika pada era modernisme, hal yang ditekankan adalah sebuah kemajuan, pemikiran rasional, ekspresi tentang diri sendiri, postmodernisme menekankan perasaan sinis dan pencabikan terhadap kemaju-

an itu sendiri, sebuah pandangan sinis—ironi. Ia mengkritik tentang konsep modernisme yang menjelaskan bahwa semuanya telah dieksplorasi melalui ide-ide individualis ; semangat pencarian terhadap sesuatu yang baru, dan pemaknaan seni oleh diri sendiri. Postmodernisme akan melakukan dekonstruksi terhadap hal tersebut, memecahkan pemaknaan melalui eksekusi terhadap karya seni yang ada. Salah satu contoh bagus dalam postmodernisme ada-


Ilustrasi Sejarah Seni ke dalam Empat Kategori Utama. Sumber: Seon Young-Her & Marsha Zarova (2015). History & Theory of Art [Lecture Video]. Berlin:Humboldt University

lah seni konseptual. Seni konseptual menekankan bahwa esensi dari objek di dalam karya seni, yakni konsepnya, itu lebih “baik� nilai estetikanya daripada pemaknaan terhadap karya tersebut sebagai karya seni. Ada satu gerakan baru, gerakan metamodernisme, atau biasa disebut dengan postpostmodernisme. Era metamodernisme adalah gerakan reaksi atas postmodernisme. Metamodernisme mengkritik bahwa postmodernisme cenderung “tidak serius� dan ter-

lalu bermain-main dalam membuat seni, terlalu konseptual dan abstrak dalam dekonstruksinya. Pencarian estetika dalam metamodernisme lebih kepada hal-hal yang serius dan mendalam, mengembalikan konsep- konsep postmodernisme menjadi sebuah ketekunan dalam membuat karya seni layaknya apa yang dibuat oleh modernisme atau tradisionalisme. Metamodernisme juga bisa disebut sebagai New Sincerity, istilah yang dibuat oleh David Foster Wallace untuk menjelaskan suatu gerakan


seni yang mencoba memutuskan hubungan dekonstruksi seni dengan merekonstruksi konsep-konsep postmodernisme yang sinis dan penuh ironi. Sejalan dengan perkembangan seni, perkembangan meme juga bisa dibagi dengan pembagian waktu yang telah disebut diatas. Dengan menggunakan fase yang sama, kita dapat membagi keempat waktu meme sejalan dengan pergerakan seni:

1. 2. 3. 4.

Meme Pra-ironis Meme Ironis Meme Post-ironis Meme Meta-Ironis

Meme Pra-Ironis, selaras dengan seni tradisionalisme, menggunakan struktur yang kaku pemilihan gambar makro. Template yang digunakan pun masih sederhana dan bisa diidentifikasikan dengan langsung dengan meme pada umumnya. Meminjam tujuan dari seni pramodernisme yang mempunyai tujuan langsung


kepada penikmat yakni menggambarkan realita dengan indah sebagai eskap dan gaya masih konservatif. Tujuan adanya meme pun, menurut meme pra ironis, adalah sebagai medium terkait objek yang viral, menjadi pengantar pesan yang menghibur para pembaca.

Setelah beberapa kali melihat dan menikmati meme dengan gaya Pra-Ironis, masyarakat virtual yang mendiami internet—dengan interaksi yang sangat cepat—mencoba mengubah rasa meme yang repetitif dan penuh pengulangan dengan mempertanyakan kembali gaya yang digunakan untuk


menyampaikan pesan itu sendiri. Nietzsche berpendapat dalam bukunya Twilight of the Idols, “The “true

world”: a useless idea, and consequently a refuted idea. Let us abolish it,” (Dunia nyata: sebuah ide usang, dan tentu ide yang telah disangkal. Mari tinggalkan ide tersebut,) ini menyatakan bahwa Nietzsche adalah seorang pengagum realisme naif. Berangkat dari semangat ontologis Nietzsche inilah Meme Ironis menggunakan gaya subversif dalam penyampaian pesan. Meme Ironis menggambarkan suatu medium komunikasi yang melawan konstruksi umum: intensi yang digunakan dalam membuat grafis dibuat jelek, sumber inspirasi meme berasal dari normie meme namun mengimplikasikan hal

Berangkat dari semangat ontologis Nietzsche inilah Meme Ironis menggunakan gaya subversif dalam penyampaian pesan.

yang sebaliknya, dan ironis— kebertentangan hal yang dinyatakan dari makna sesungguhnya. Meme ironis biasanya mempunyai ciri, namun tak selalu terikat: distorsi gambar makro, pengambilan gambar berwatermark, dan terdapat karakter ofensif yang menjadi tokoh keberhalaan, seperti Pepe, Yee dinosaur, dan Dat Boi.


Martin Heidegger menolak basis dari konsep subjektvitas dan objektivitas dari filsafat-filsafat lama. Dari sini kita perlu tahu bahwa postmodernisme dalam filsafat telah lahir sebagai embrio yang menyerang narasi-narasi besar, berbagai ideologi yang ada, dan semboyan universalisme yang kental yang mulai dilirik oleh filsafat analitik menggunakan skeptisisme, ironi, dan penolakan secara utuh. Heidegger berpendapat

bahwa subjektivitas dan objektivitas berkaitan dengan proses hermeneutika. Ia menekankan bahwa paradoks subjektif-objektif harus berdasarkan konstruksi konsep kultural dan historis dan secara bersamaan dilakukan juga pemahaman imanensi dan atemporal. Semangat skeptisisme inilah yang melandaskan meme Post-ironis. Tentu, beberapa penikmat meme tidak berhenti sampai


disitu. Disini meme akan bertransformasi lebih jauh lagi, dengan menggunakan Meme Ironis sebagai template. Akan hadir sebuah tipe baru dari meme yang kita bisa bedakan dengan yang sebelumnya, yakni Post-Ironis meme. Pesan atau hiburan yang akan ditampilkan tidak lagi melalui narasi-narasi sederhana ataupun subversif, tetapi melalui template yang digunakan dan pesan yang ditawarkan. Dari sini kita bisa melihat kalau Post-Ironis meme tidak menggunakan narasi yang unik, tetapi yang dihadirkan adalah medium praeksistens yang telah disubversi untuk menyampaikan lelucon. Ada peperangan yang tak kunjung berakhir yang terjadi di alam bawah sadar, antara meme post-ironis dan meme meta-ironis. Meme metaironis sendiri adalah bentuk perlawanan, sebuah reaksi, terhadap kekacauan meme

post-ironis yang cenderung absurd dan tidak mempunyai substansi yang koheren. Meme meta-ironis memanfaatkan narasi dan struktur yang bersifat cair dan mampu berpindah kapan saja sesuai dengan konteks yang cair pula. Namun, meme meta-ironis menekankan kepada pemberian makna sebagai meme yang nyata, berbeda dengan meme postironis yang cenderung absurd, baik secara struktur maupun narasi. Peperangan ini akan terus berlangsung. Meme post-ironi mengatakan bahwa meme telah mati dan seluruh hal yang bersirkulasi di internet pastilah diperbolehkan untuk dikatakan meme. Kebebasan yang dijunjung tinggi ketika meme telah mati dalam fase meme ironis bisa diartikan sebagai apa saja, salah satunya adalah format struktur meme dan narasi yang dibawanya. Sebaliknya, meme meta-ironi mengatakan


bahwa jika meme telah mati, tidak ada yang diperbolehkan. Meme meta-ironi mempersembahkan sebuah pernyataan bahwa meme, yang juga merupakan medium komunikasi, terikat dengan keambiguan peraturan linguistik dan hermeneutika yang mendikte sebuah meme akan menjadi apa. Kematian meme oleh kedatangan gerakan meme ironis, menurut meme meta-ironis, tidaklah

untuk diselebrasi, karena apa pun yang meme post-ironis lakukan akan jatuh lagi kepada meme ironis, yang kemudian akan menjadi meme yang basi dan akan disirkulasikan lagi menjadi meme pra-ironis dengan narasi dan struktur yang telah ditentukan. —

Fin


Daftar Pustaka Cambridge University Press. (2012). Introduction to Nietzsche. London: Cambridge University Press. Dawkins, R. (1976). The Selfish Gene. Berkshire: Cox & Wyman Ltd. Myers, D. G. (2010). Psychology in Modules, 9th Edition. New York: Worth Publishers. Nietzsche, F. (1990). Twilight of the Idols, or, How to Philosophize with a Hammer. New York: Penguin Classics. Whewell, W. (1991). The Philosophy of Science. London: Oxford University Press.


G30S/PKI: Perjalanan Fantasi Masyarakat AntiKomunis Oleh : Mulia Ramdhan Fauzani Ketua Umum Lembaga Pengkajian dan Pengabdian Masyarakat Demokratis (LPPMD) Unpad Periode 2016-2017


Fitnah itu lebih besar bahayanya dari pembunuhan(Al-Quran, surat Al-Baqarah:191). Fitnah besar terjadi di Indonesia pada 1965. Saat ini, dosa besar itu tertutupi khayalan banyak orang yang mengaku muslim, mereka menyebutnya kebenaran.

Terbunuhnya enam jenderal dan satu ajudan pada 1 Oktober 1965 dini hari menentukan sejarah Indonesia dan dunia dengan pengaruh yang besar. G30S diyakini masyarakat hingga saat ini sebagai ulah PKI. Disamping itu, sejarah terkait ini dipenuhi dengan pertanyaan-pertanyaan besar yang sulit terjawab; Apa latar belakang dan tujuan gerakan G30S saat itu? Siapa yang mengendalikannya? Bagaimana re-

ncana operasi hingga selesai? Siapa yang mendanai? Apakah pihak yang terlibat bertindak secara sukarela? Jawaban yang ditawarkan Suharto beserta kekuasaannya untuk menjawab pertanyaan penting di atas diragukan banyak sejarawan dari Benedict Anderson, Ruth McVey, Wertheim, hingga John Rossa. Walaupun begitu, kebenaran yang dibungkus


selubung simulakra yang berlaku —disamping beberapa versi tandingan tetap berbunyi:

Suharto menangani aksi PKI dan perwira pengkhianat pengguna isu

Jika keraguan terhadap kebenaran itu ada, maka sebuah konsepsi baru atas sesuatu beserta keabsahannya bisa dibangun kembali.

pemberontakan “dewan jenderal� terhadap Sukarno demi revolusi komunis. Suharto tetaplah pahlawan Pancasila dan layak meneruskan Sukarno untuk memimpin republik. Tulisan ini didasari kecurigaan akan klaim buatan rezim Suharto tersebut, menelusuri perjalanan fantasi masyarakat yang mendukungnya. Menguliti

bungkus dari kebohongan Suharto berupa kebenaran yang melapangkan perjalanan tersebut. Setelah itu akan terlihat bagaimana kondisi yang berlaku saat itu dapat dimanfaatkan Suharto untuk menciptakan narasi awal rezim Orde Baru (Orba)


nan gagah. Ditemukannya visum et repertum jenazah keenam jendral1, kedekatan kolonel Abdul Latif dan letkol Untung dengan Suharto2, dan kerjasama yang aneh antara militer dengan PKI selayaknya cukup membuat sanksi siapapun akan kebenaran yang mapan itu. Jika keraguan terhadap kebenaran itu ada, maka sebuah konsepsi baru atas sesuatu beserta keabsahannya bisa dibangun kembali. Berdasarkan perenungan filsuf asal Perancis, Alain Badiou, dalam Ethiscs3, kebenaran dibentuk dari suatu peristiwa yang terjadi dengan mengaitkan situasi peristiwa terkait pada sudut pandang tertentu (the perspective of its

evental [evenementiel] supplement). Kebenaran akan dianggap betul sedemikian adanya, to be faithful to an event, dengan syarat pikiran selalu mengaitkan peristiwa terkait dengan situasi yang dirancang sedemikian rupa sebagai loyalitas terhadapnya (fidelity). Ingatan akan Suharto yang meredakan aksi G30S, yang hadir lewat pengandaian, bukan hanya tertanam pada masyarakat anti-PKI, namun menjadi kunci yang seolah-olah menyelesaikan segala teka-teki pertentangan antara dewan jenderal dan G30S. Pengandaian itu tidak berhenti hanya sebatas di dalam kepala, ia menekan masyarakat untuk berlaku serupa dengan


yang dilakukan milisi dan TNI terhadap terduga PKI sepanjang 1965-1966, secara adaptif dan inovatif, sebagai wujud kebencian akan PKI yang disesuaikan dengan kondisi sekarang, ia mesti nyata dengan adanya aksi dan tindakan demi kebenaran tetap terjaga. Kesetiaan terhadap aktivitas berpikir dan berlaku ini yang jadi syarat utama agar PKI dapat tetap eksis. Seperti kata Rossa4, “Keberadaan� PKI tetap dibutuhkan bagi mereka yang mendapatkan keuntungan dari keberadaan itu sendiri, legitimasi atas kekuasaan, pembenaran akan tragedi di masa lampau. Fidelity pada kebencian akan PKI bagi masyarakat anti-PKI tidak mesti didahului pemahaman menyeluruh dari keja-

dian yang tamat secara singkat itu, namun bergantung pada pernyataan yang berkuasa saat perubahan kekuasaan secara kilat terjadi. Sebaliknya, jika latar belakang dan tujuan gerakan itu pada awal mulanya dibuat sejelas mungkin, dengan publik juga terlibat di dalamnya, maka tidak mungkin pergantian kekuasaan mendapatkan kebenaran mengakar, yang memberikannya kekuatan untuk tetap berkuasa. Blaise Pascal, filosof Perancis lainnya, dalam Pensees5, mengatakan:

“We must not see the fact of usurpation; law was once introduced without reason, and has become reasonable. We must make it regarded as


“

Tidak tersampaikannya niat dan maksud mereka kepada publik secara luas untuk menarik simpati, entah karena kesalahan operasional atau tidak, menjadikan usaha sia-sia.

authoritative, eternal, and conceal its origin, if we do not wish that it should soon come to an end.�. Ketidakjelasan ini hanya mungkin dan bisa dimanfaatkan pihak yang memenangkan pertempuran sebagai syarat suatu kekuasaan. Posisi G30S saat menguasai kompleks pemerintahan pusat di Jakarta, Gedung RRI, Lapangan Merdeka, dan Bandara Halim Perdanakusuma tidak bisa dikata-

kan menguasai momentum. tidak tersampaikannya niat dan maksud mereka kepada publik secara luas untuk menarik simpati, entah karena kesalahan operasional atau tidak, menjadikan usaha sia-sia. Massa besar yang berdasarkan pernyataan Untung, dalam Mahmilub persidangan peran dia dalam G30S, dapat direbut perhatiannya, ditujukan sejak awal oleh gerakan ini. Kemenangan sebagai momentum atau tahap awal


perancangan kebenaran justru diambil alih oleh Suharto, Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat

Sukarno kehilangan kendali terhadap masyarakat karena PKI, sebagai basis massanya yang besar, terlanjur diposisikan sebagai kambing hitam.

(Pangkostrad) yang memiliki banyak pasukan di bawah kepemimpinannya. Pada 1 Oktober, karena Panglima Angkatan Darat (AD), A.H. Nasution tidak hadir maka komando langsung diserahkan kepada Suharto selaku Pangkostrad. Pada titik ini, Suharto harus menang untuk mematenkan kebenaran. Ia

membentuk Kopkamtib, menetapkan operasi ganyang PKI, dan berkoordinasi dengan kelompok Islam antiPKI dan mahasiswa sehingga kondisi saat itu di bawah kuasanya. Ini ditegaskan Suharto dengan serangan balasan cepat. Komandonya dari Jakarta bahkan berhasil dilaksana-


kan TNI di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Pemimpin PKI di sana ditangkap dan Perwira Cakrabhirawa diculik sebagai aksi balasan. Sukarno kehilangan kendali terhadap masyarakat karena PKI, sebagai basis massanya yang besar, terlanjur diposisikan sebagai kambing hitam. Setelah kemenangan itu, sedikitnya ada dua cara merebut simpati rakyat agar konstruksi kebenaran sekiranya dapat diterima dan didukung publik. Pertama, sentimen sektarian pada masyarakat dimanfaatkan dengan menyudutkan salah satu kelompok. Kedua, sebagai penguat yang pertama, narasi soal ideologi negara mesti diperkokoh dengan meruncingkan perbedaan diantara kelompok-kelom-

pok tersebut. Keduanya sukses dilaksanakan Suharto. Demi terbangunnya ruatu rezim yang telah menang secara singkat dalam peristiwa tidak terduga, keterbatasan informasi bagi masyarakat pada kejadian malam itu mesti dilengkapi oleh sentimen kelompok TNI dan Islam anti-PKI yang sudah berlangsung sejak zaman Hindia Belanda, memperjelas alasan untuk membenci apapun yang berbau PKI. Posisi mereka di perpolitikan negara saat itu dan kedekatannya dengan masyarakat tani dan pekerja untuk mewujudkan reforma agrarian propetani kurang disukai oleh kelompok priyayi. Kontestasi pengaruh politik di antara keduanya mem-


buat kebenaran yang ditawarkan Suharto tidak perlu dicerna secara rasional, cukup bagi mereka mengaitkan keterlibatan anggota PKI di dalam G30S dengan terbunuhnya para jendral secara keji untuk menyimpulkan bahwa segala yang terlibat dengan PKI harus diganyang. Tidaklah perlu dicek lagi pernyataan Suharto dan tentaranya, cukup dengan sekilas terlihat masuk akal untuk menghancurkan PKI. Sasaran amok masyarakat langsung ditujukan kepada Central Committee pusat kegiatan PKI di Jakarta6. Gedung itu dibakar pada 8 Oktober. Empat hari setelah konferensi pers dari TNI dan ulama anti-PKI. Massa sudah yakin bahwa PKI pelaku dibalik pengkhianatan beberapa

hari sebelumnya. Padahal, satu-satunya landasan hukum namun meragukan, Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub) baru dilaksanakan setahun setelahnya untuk mengadili para terduga. Kejelasan mengenai motif dan tujuan G30S seharusnya bisa didapat dengan menginterogasi D.N. Aidit Ketua Umum PKI saat itu yang berhasil ditangkap TNI pada pertengahan November. Sayangnya, TNI lebih memilih mengeksekusi mati Aidit secepat mungkin setelah ia tertangkap7. Kokohnya fondasi kebenaran itu memicu pembunuhan massal sepanjang 1965-1966, pergantian kekuasaan, hingga kemandegan masyarakat Indonesia akan literasi


yang bermutu soal kasus ini. Belum jelas siapa saja pelaku yang terlibat mengemban mandat revolusi itu, banyak orang tanpa refleksi historis mengidentifikasi PKI sebagai dalang. Dengan heroik, Soeharto muncul menertibkan situasi dan mengklaim bahwa dewan jenderal yang jadi incaran G30S adalah tidak benar keberadaannya, banyak orang pun lantas mengabsahkannya. Ia dan para tentaranya menyelinap ke dalam atmosfer pencegahan coup d’etat dewan jenderal—yang berlangsung sangat cepat, dan masyarakat melihatnya sebagai tindakan patriotik gagah berani. Padahal, tanpa adanya isu kudeta yang

digulirkan perwira dan orang-orang PKI itu, mustahil Suharto dapat sejajar dengan A.H. Nasution yang kala itu pengaruh politiknya dianggap paling mendekati sosok Sukarno. Ini sekaligus menolong The

Smiling

General8

menghindari pelantikan inkonstitusional saat menggantikan Sukarno nantinya. Supersemar malahan menjadi harapan masyarakat anti-PKI akan So`eharto yang muncul sebagai matahari baru di republik menggantikan Sukarno, yang pengaruhnya luntur kala itu dan tidak bisa apa-apa. Akan tetapi, citra Suharto itu kembali hadir pada September tahun ini, meskipun kini reformasi sudah hampir dua


dasawarsa berjalan, akses akan literasi makin mudah didapat, dan ia sudah tumbang dan perilaku korupnya sudah diketahui masyarakat. Melihat dari penjelasan Badiou, pada mulanya masyarakat Indonesia terkesan pasif dalam membentuk kebenaran mengenai G30S dan penumpasannya. G30S yang bersifat tertutup, singkat, dan berskala kecil inilah yang menutup partisipasi masyarakat ke dalam peristiwa pemberontakan. Aksi yang dianggap Sukarno sebagai

riak kecil di tengah samudera revolusi itu berakhir dengan cepat pada 3 Oktober, hanya kurang dari tiga hari, di tangan Suharto. Sejak

mereka beraksi, gerakan tersebut belum sempat menggelar konferensi pers atau mengeluarkan rilis resmi untuk publik, berkaitan dengan siapa mereka dan apa tujuan mereka secara jelas. Mereka meluputkan partisipasi masyarakat. Wajar saja jika orang-orang banyak menerima kebenaran pandangan resmi dari TNI lewat konfrensi pers 4 Oktober dan buku propaganda mengenai kronologis kejadian yang terbit dan dibagikan kepada masyarakat pada 5 Oktober—berisikan penggambaran kekejian PKI, seperti menyilet tubuh para jendral dan mengebirinya sebelum dibuang ke dalam sumur. Keduanya merupakan


sumber informasi satusatunya yang terbuka dan disebarkan secara massif. Sangatlah sulit saat itu bagi surat kabar, sebagai watchdog milik orang sipil, mendapatkan informasi mengenai G30S beserta pembasmiannya yang keduanya dirancang oleh para perwira militer secara rahasia9. Pada tahap ini, “perisai” kepentingankepentingan masyarakat anti-PKI dipasang oleh Suharto beserta pasukannya, yakni kebencian akan PKI. Pada tahap setelahnya, masyarakat berperan aktif dalam kebodohan massal satu ini. Perisai dari Suharto dan orba itu setelahnya terus dirawat dan diperbaiki sendirinya oleh masyarakat secara sadar, untuk melindungi

kebencian akan PKI mereka dari kebenaran sesungguhnya. Badiou mengatakan,

“If there is no ethics 'in general ' , that is because there is no abstract Subject, who would adopt it as his shield.” Tentunya kebencian akan PKI, yang kemudian diidentikan pada frasa kiri, sosialisme, dan progresif, bukanlah hal yang sudah semestinya tertanam pada setiap insan manusia—nilai universal. Mereka berpandangan bahwa komunisme bukanlah sesuatu yang manusiawi karena ia mengandung pembambangkangan akan tuhan, kekerasan nan kejam dalam berpolitik, serta amoral. PKI, dan seterusnya Komunisme, Marxisme, Leninisme, Sosialisme bagi mereka


adalah hal yang salah, menyimpang dari nilai universal manusia yang penuh toleransi, lemahlembut, dan selalu bertuhan. Mereka memaksakan perisai di dalam tengkorak mereka terpasang demi kepanjangan umur ketakutannya—yang hanya bermanfaat bagi penguasa. Untuk menunjang pernyataan tersebut Andre Vltchek mengatakan, dalam bukunya Indonesia: Archipelago of Fear, orangorang Indonesia sangatlah disiplin dalam tidak memahami sesuatu10. Tentunya, yang Vltchek maksud adalah para antiPKI yang menerima kebenaran bentukan rezim Suharto—yang diformulasikan lewat BAP di mahmilub dan interogasi dengan kekerasan11. Pada masa orde baru, mereka disiplin dengan terlibat

secara aktif sebagai agen pendidikan dan kebudayaan. Para guru mengajak murid-muridnya untuk berekreasi rutin setiap tahunnya ke Monumen Kesaktian Pancasila. Merefleksikan situasi rekaan Suharto ke dalam fantasi menyeramkan. Mereka tidak merasa perlu untuk memahami itu, malam jahanam yang disebut Munir sebagai Perang Bintangx, secara radikal dengan mengkritisi sumber-sumber sejarah dari pahatan-pahatan tembaga monumen tersebut. Tugas mereka adalah menjaga belenggubelenggu pikiran dari karat perusak, yang hingga saat ini memungkinkan mereka untuk berkata: Lupakanlah

masa lalu.


i

Opini Relevansi TAP MPRS No XXV / 1966 dan Ketakutan Yang Tidak Mendasar oleh : Muhammad Ridwan Kepala Divisi Prngabdian Lembaga Pengabdian dan Pengkajian Masyarakat Demokratis (LPPMD) Universitas Padjadjaran periode 2016-2017


S

udah kita ketahui bersama bahwa Ketetapan MPRS nomor 25 tahun 1966 tentang larangan belum dicabut. Mengapa belum dicabut? Apa alasan dibalik tidak dicabutnya ketetapan tersebut? Apakah ini semua hanya ketakutan tak berdasar pemerintah saja? Pemerintahan Soeharto selama 32 tahun sudah sangat menanamkan persepsi yang salah soal ideologi Marxisme. Pemerintahan Soeharto lewat propaganda-propagandanya telah mengubah persepsi masyarakat soal Komunisme, yang awalnya hanya sebatas ideologi ekonomi politik menjadi ‘virus’ yang perlu dibasmi hingga ia menghilang dari muka bumi ini. Kesalahan persepsi ini sering kita temukan belakangan ini. Contoh, masyarakat yang mencap komunisme sama dengan PKI (Partai Komunis Indonesia). Padahal PKI hanyalah sebuah partai politik yang berideologi komunis. Masyarakat juga sering mencap komunis sebagai ateis, suka membunuh orang, dan hal-hal buruk lainnya. Bentuk komunisme (negara) yang dibakukan Marxisme-Leninisme juga sudah bisa dianggap ‘mati’ seiring runtuhnya Uni Soviet dan usainya Perang Dingin sehingga perlu dipertanyakan lagi relevansi pelarangan ajaran Marxisme. Kita sebenarnya bisa menjadikan Marxisme sebagai antitesis (dan memang diciptakan sebagai itu) dari tesis kapitalisme dan liberalisme yang ada sekarang untuk mencari sintesis demi kesejahteraan kita semua. Ketetapan MPRS nomor 25 tahun 1966 seolah-olah melegitimasi pembantaian terhadap orang yang dicap sebagai ‘anggota PKI’, padahal belum tentu semua orang yang dicap sebagai anggota PKI adalah anggota yang


sebenarnya. Dan keturunan-keturunan mereka yang dianggap anggota PKI harus mengalami diskriminasi dalam banyak hal. Walaupun dalam Pasal 3 ketetapan tersebut membolehkan siapapun untuk mempelajari Komunisme/Marxisme dalam mimbar akademis, tapi dalam kenyataannya forum-forum diskusi ilmiah tentang Marxisme masih sering dibubarkan aparat penegak hukum dengan alasan bahwa diskusi itu akan membangkitkan kembali PKI di Indonesia. Ketakutan yang tidak mendasar juga ditunjukkan dengan pembubaran dan pelarangan forum-forum ilmiah tentang pencarian fakta dalam pembantaian yang dilakukan di awal masa pemerintahan Soeharto. Padahal pembantaian itu tentunya sudah termasuk pelanggaran hak asasi manusia berat. Apakah kita hanya bisa mengacu pada literatur sejarah versi pemerintahan Soeharto? Terlepas dari fakta yang pemerintah katakan bahwa PKI dalang dari kejadian G30S atau Gestapu atau Gestok (yang masih diperdebatkan hingga saat ini oleh peneliti-peneliti sejarah), PKI sudah mati dan pemikiran-pemikiran Marx sekarang ‘hanya’ menjadi dasar-dasar teori dalam mempelajari ilmu-ilmu sosial dan humaniora. Tentunya perlu kita pertanyakan kembali relevansi ketetapan MPRS nomor 25 tahun 1966 dengan realita jaman sekarang dan perlu kita lawan ketakutan-ketakutan tidak mendasar akan ide-ide Marxisme (dan juga ide-ide lain yang ada di dunia) karena ide ada bukan untuk ditakuti melainkan untuk dipelajari dan dikritisi oleh kita sebagai manusia yang ingin mencari kebenaran di dunia ini.


Cerpen Yang Pertama buat Mangaday Oleh : Raihan M Ihsan Kader LPPMD Unpad Angkatan 33 Mahasiswa Prodi Manajemen Komunikasi, FIKOM Unpad


D

unia itu begitu putih. Tanahnya putih, langitnya putih, airnya pun putih. Dunia yang begitu bersih dan suci, yang sekalipun ada noda di dalamnya, warnanya putih. Kita sebut dunia itu Tabula Rasa; di sana hanya ada kepolosan dalam bentuknya yang paling utuh, dan di sanalah Mangaday tinggal. Agak sulit mendeskripsikan Mangaday. Ia bukanlah orang seperti kau dan aku. Badannya bulat, nirpundak, dan tentu saja, putih. Kalau kau melihatnya secara langsung, kau barangkali akan terdorong untuk memeluk Mangaday sebab ia tampak begitu khalis dan tahir seperti bayi yang baru lahir. Kau tidak bisa meneroka setitik pun aura mengancam pada dirinya. Seumur hidupnya di Tabula Rasa, Mangaday tak pernah melihat warna lain selain putih. Akan tetapi, itu tak membuat Mangaday risau, sebab ia tak tahu kalau warna selain putih itu ada. Kalau ia tahu, itu lain hal. Hatinya mungkin akan tak tenang dan gelisah dan barangkali ia tak akan lagi mensyukuri kehidupannya di Tabula Rasa. Ketidaktahuan berhasil melindungi Mangaday dari hal-hal tersebut. Hingga pada suatu hari, muncul sebuah lubang di Tabula Rasa. Lubang itu kecil dan dari dalamnya keluar seberkas cahaya asing. Setidaknya asing bagi Mangaday; se-

bab cahaya itu tidak berwarna putih. Cahaya itu menimbulkan ketakjuban, harapan, dan sesuatu yang kita kenal dengan rasa hangat–perasaan yang juga asing bagi Mangaday. Tabula Rasa tidaklah panas atau dingin atau hangat maupun sejuk. Di sana hanya ada perasaan netral, sehingga cahaya itu merupakan sesuatu yang benar-benar baru bagi Mangaday. Kita mengenal cahaya itu dengan sebutan cahaya mentari. Mangaday yang penasaran pun menghampiri lubang tersebut. Anehnya, seiring ia melangkah, lubang yang kecil itu tampak semakin membesar. Yah, memang begitulah cara kerja mata; dari kejauhan ia membuat sesuatu tampak lebih kecil ketimbang ukuran aslinya. Dan sesuatu yang kecil itu, terkadang, sulit untuk dilihat. Begitu pun dengan pemandangan di balik lubang itu. Dari kejauhan, yang Mangaday lihat hanyalah cahaya mentari semata. Akan tetapi, semakin dekat Mangaday dengan lubang itu, semakin jelaslah pemandangan yang ada di baliknya. Dan pemandangan itu betul-betul membuat Mangaday tercengang. Pasalnya, ada begitu banyak hal yang perlu diproses Mangaday dari pemandangan itu. Begitu baru dan


asing, begitu tidak putih. Ada hamparan luas sesuatu yang kita kenal dengan sebutan rumput, dan jauh di atas, langitnya berwarna jingga. Begitu banyak sensasi yang membanjiri mata Mangaday dan itu lumayan membuatnya kewalahan. Setelah terpaku cukup lama, akhirnya Mangaday memberanikan diri keluar ke tempat yang menakjubkan itu. Awalnya ia merasa ragu, tapi perasaan itu segera tergantikan oleh rasa semangat dan ingin tahu. Ada apa di luar sana? Mengapa ada begitu banyak warna? Apakah lubang ini muncul agar ia bisa keluar dari Tabula Rasa? dst. Bayangkan saja rasanya melihat pintu yang terbuka setelah selama ini terkurung dalam kamar yang kaukira tak ada pintunya. Perasaan untuk segera melarikan diri itu pastilah ada. Dengan ayunan yang perlahan, Mangaday pun menjejakkan kakinya di atas padang rumput tersebut. Kakinya yang polos serta-merta dikejutkan oleh tekstur rumput yang agak basah dan menggelitik; perasaan yang aneh bagi kaki Mangaday. Selama menghuni Tabula Rasa, kakinya selalu menjejak pada bidang tanah yang polos dan datar... dalam artiannya yang paling absolut. Menginjak rumput adalah sensasi yang sama sekali baru bagi Mangaday.

Ia lalu mendongak dan melihat langit yang elok luar biasa; berhias awan dengan gradasi kuning ke jingga yang tak bisa dipahami oleh otaknya yang putih sekali. Matanya berbinar-binar, mulutnya menganga lebar. Langit itu begitu memesona dan Mangaday tak bisa berhenti memandanginya. Ia masih asik dalam keterkagumannya saat kedua bola matanya yang kecil menangkap sesuatu melayanglayang di langit, tertiup angin. Mangaday tak yakin apa itu, tapi ia yakin ia tak pernah menyaksikannya di Tabula Rasa. Keingintahuan pun terpantik dalam rongga dadanya dan Mangaday mulai berjalan mengikuti benda yang tertiup angin itu. Awalnya ia memang melangkah pelan-pelan saja, tapi benda itu melayang cepat sekali... sampai Mangaday berakhir mulai berlari. Ia merasakan rumput menyapu telapak kakinya, angin pada wajahnya, kesenangan pada hatinya. Sensasinya betul-betul Mangaday sukai sehingga ia pun mulai memelesat. Ia merasa lepas... meliar... meski selama ini ia tak pernah menganggap Tabula Rasa sebagai suatu tempat yang mengurung kebebasannya. Mangaday hanya terus berlari dan berlari dan berlari, tak menyadari


“Mangaday

hanya terus berlari dan berlari dan berlari, tak menyadari dunia yang selama ini ditinggalinya sudah tertinggal jauh di

�

belakang.

dunia yang selama ini ditinggalinya sudah tertinggal jauh di belakang. ∞ Mangaday kini sudah berada jauh di depan. Ia tak tahu berada di mana tepatnya, tapi ia meyakini dua hal: 1.) ia masih berada di padang rumput yang sama (sebab rumput-rumput itu jelas masih berada di bawah kakinya), dan 2.) ia sudah jauh dari tempatnya bermula (sebab jika ia menengok ke belakang, ia tak bisa lagi melihat lubang tempatnya keluar). Ia kini berdiri saja, memandangi benda yang sedari tadi dikejarnya sedang melayang jatuh ke bawah. Ya, Mangaday kelelahan. Tapi ia juga merasa senang sebab benda

itulah yang akhirnya menyerah duluan. Tak pernah dalam hidupnya ia merasa sehidup ini; memiliki sesuatu untuk dikejar dan dikalahkan. Kau yang selama ini hidup berlomba-lomba dengan orang lain mestilah yang paling paham rasanya.

Ketika benda itu sudah sampai ke tanah, Mangaday pun berderap menghampirinya. Ia melihat benda itu bulat dan lebar, seperti perutnya, tapi ternyata berdalam kopong. Pun di sana ada gagang panjang dengan lengkungan pada bagian ujungnya. Itulah benda teraneh yang sudah dilihat Mangaday sejak meninggalkan Tabula Rasa, sejauh ini. Kita mengenalnya dengan sebutan payung. Meski ia tak tahu persis fungsinya apa, Mangaday tetap mengambil payung tersebut. Tak layak rasanya bagi Mangaday untuk meninggalkan apa yang sudah dikejarnya, dan toh apa salahnya? Hal demikian bukan sesuatu yang bisa dijumpainya sehari-hari di Tabula Rasa. Sementara itu, Mangaday mulai menyadari langit di atasnya mulai menggelap. Ia menatap perubahan warna langit itu dari jingga ke biru gelap lalu menghitam... sebuah proses yang sungguh menarik


baginya. Secara tak sadar Mangaday merebahkan tubuhnya di atas rumput. Ia menatap langit lama sekali sampai bintangbintang mulai bermunculan. Dengan tubuh yang letih dan payung berada di sampingnya, Mangaday memandangi bebintang di atas. Dari bawah, mereka tampak berkerlipan; karena cahaya mereka terdistorsi oleh kantung atmosfer bumi. Mangaday tak memahami hal itu. Ia hanya merasa bintangbintang itu sedang mengedip kepadanya... barangkali untuk menyuruhnya tidur... sebab ia merasa mengantuk sekali beberapa saat kemudian. Mangaday pun terlelap. ∞ Cahaya matahari pagi membangunkan Mangaday. Awalnya ia merasa bingung, mengira ia terbangun di Tabula Rasa seperti biasanya. Kemudian memori akan hari kemarin memenuhi benaknya... dan semua kembali menjadi jelas. Ia sempat mengira itu semua hanya mimpi belaka. Mangaday menengok ke samping, dan menemukan payung yang kemarin masih berada di tempatnya semalam. Ia meng-ambil

payung tersebut dan berdiri, kemudian memandangi lanskap di sekelilingnya.

Kukira putih itu hanya ada di Tabula Rasa, pikirnya lagi. Janganjangan benda tersebut berasal dari sana?

Yang bisa Mangaday lihat sejauh mata memandang hanyalah rumput, rumput, dan rumput. Akan tetapi, itu tak ia ambil pusing, karena dulu di Tabula Rasa pun yang bisa ia lihat hanyalah putih dan putih. Barangkali dunia yang kini sedang dijejakinya pun seperti itu; hanya terdiri dari tanah dengan rumput yang hijau tanpa ada tanah dengan warna lainnya. Mangaday cukup puas dengan pengaturan ini. Ia pun mulai berjalan meski tak yakin hendak ke mana. Diliriknya awan-awan yang menggantung di langit, dan ia agak heran sebab warnanya putih sekali. Kemarin


rasanya benda tersebut tidak putih deh, pikir Mangaday. Kukira putih itu hanya ada di Tabula Rasa, pikirnya lagi. Jangan-jangan benda tersebut berasal dari sana? Pikirnya kemudian, kali ini agak tercengang. Kalau demikian, apakah benda tersebut keluar dari lubang yang sama dengan tempatnya kemarin keluar? Yah... Mangaday memutuskan untuk tidak terlalu memikirkannya. Itu membuat kepalanya agak nyeri, sebab ia tak biasa memikirkan lamat-lamat suatu pertanyaan, sebab sebelumnya tak pernah ada yang betul-betul bisa ditanyakan di Tabula Rasa, sebab sekalipun ada, jawabannya tak bisa ia temukan. Biasanya Mangaday akan diam dan menerima dan melanjutkan hidup seolah-olah tak terjadi apapun dan semuanya akan baik-baik saja. Mangaday berjalan kembali, melangkahkan kakinya lagi dan lagi. Rasa hangat dari mentari pagi menyelimutinya, dan ia merasa senang sekali. Depa demi depa dilalui tanpa ia sadari. Sampai di satu titik dalam perjalanannya, Mangaday melihat setitik warna yang bukan hijau di tanah di kejauhan. Begitu kontras dengan warna di sekelilingnya; begitu berbeda dan satu-satunya. Rasa penasaran itu tentu tak bisa ditahannya, hingga ia pun berjalan menghampirinya.

Warna tersebut ternyata dari setangkai kembang. yang dimaksud adalah sementara kembangnya mawar.

berasal Warna merah; adalah

Mangaday lantas memandangi kembang tersebut lekat-lekat; tiba-tiba tahu saja bahwa kembang tersebut hidup seperti dirinya. Tidak seperti payung yang lebih dulu ia temui, benda yang satu ini tampak menguarkan aura kehidupan, semacam rasa hangat, sampai-sampai Mangaday merasakan ada desiran dalam dadanya. Awalnya memang menggelitik, tapi lama kelamaan rasanya berubah menjadi mendebarkan. Dadanya kemudian mekar laiknya kembang yang sedang dipandanginya. Kakinya lalu gemetar tak sanggup lagi menahan berat tubuhnya. Ia jatuh berlutut. Ia jatuh cinta. Itulah ` kesan yang kuat bagi Mangaday. Kesan yang kuat, tentu, dalam hal ini adalah cinta. Mangaday yang penasaran kemudian merabai kembang tersebut. Dari kelopaknya yang halus, jemari Mangaday bergerak menyusuri batangnya yang langsing. Tak dinyana, duri dari tangkai kembang tersebut menusuk jari Mangaday. Ia pun terkejut sebab sebelumnya ia tak menyadari duri itu ada; ia terkejut sebab ia tak mengira benda seindah itu bisa menyakitinya.


Bukankah hal demikian sering terjadi? Kau memuja keindahan seolah-olah tidak ada bahaya yang tersembunyi di baliknya. Ia membuatmu buta akan risiko lain yang mungkin saja terjadi.

dan melindungi dan mengentaskan kesendirian.

Setitik darah pun merembes dari jarinya, dan seperti yang dapat kautebak, warnanya putih. Mangaday pun agak terkesima melihatnya sebab baru kali ini ia melihat darahnya sendiri; meski itu tak mengurangi rasa sakit yang dirasakannya.

Mulai sekarang.

Seiring dengan berjalannya waktu, Mangaday kemudian menyadari satu hal lagi mengenai kembang di hadapannya: dia sendirian, dan itu mengingatkan Mangaday akan kehidupannya ketika masih di Tabula Rasa. Ia pun kembali melihat lanskap di sekelilingnya, hanya untuk memastikan fakta tersebut. Dugaannya benar. Di tengah padang rumput yang luas ini, kembang itu hanya setangkai. Fakta tersebut menghantam ulu hati Mangaday kuat-kuat. Rasa sakit pada jarinya sontak hilang, digantikan oleh keibaan dan kesepahaman yang mendadak memenuhi organ dalamnya. Begitu malang nasibmu! Pikirnya. Hidup sendiri sepertiku! Pikirnya lagi. Pikiran-pikiran demikian lantas bersusul-susulan hingga muncul sebuah kesimpulan dalam kepalanya: bahwa mungkin mereka bisa hidup bersama; saling menemani

Mangaday pun kemudian memutuskan untuk menjadi teman hidup mawar tersebut.

Begitu saja. Untuk selama-lamanya. ∞ Sekarang kau barangkali mengira cerita akan berhenti di sini, berakhir bahagia. Tapi kau juga barangkali lupa bahwa kata “selama-lamanya” tidak berarti “kekal” atau “abadi”. “Selamalamanya” memiliki arti “paling lama”, dan “paling lama” itu terkadang tidak selama yang kita kira... terutama apabila itu menyangkut dengan kehidupan setangkai kembang mawar. Dari hari ke hari, Mangaday memang betul menunggui mawar tersebut. Ia melekatkan pandangannya pada mawar itu dari waktu ke waktu, tak beranjak sama sekali. Apakah ia bosan? Tentu tidak. Ia sudah lama hidup di Tabula Rasa, sehingga tak ada satupun rasa bosan yang tak tertanggungkan baginya. Lagipula bukankah kita semua begitu? Tak peduli seklise apapun kelihatannya, kita tak pernah bisa menolak kembang yang orang lain berikan. Kita akan merasa senang-


senang saja dan tersanjung dan menolak merasa bosan seperti yang kini sedang Mangaday lakukan. Hingga pada suatu ketika, Mangaday melihat ada yang berubah pada langit di atasnya. Awannya tak lagi berwarna putih, melainkan menggelap menjadi kelabu. Mereka tampak sendu dan menggantung berat di sana, seolah-olah akan terjatuh kapan saja. Benar nyatanya, tak lama kemudian hujan turun dengan begitu derasnya. Air membasahi tubuh Mangaday dan ia pun serta merta kuyup badannya. Awalnya ia memang merasa senang, sebab air di sini terasa lain dengan air di Tabula Rasa. Lebih menggigit, menusuk, tapi juga lebih menyegarkan. Sayang, lama kelamaan Mangaday merasakan kehangatan mulai meninggalkan badannya, sehingga ia pun mulai tidak menyukainya. Mangaday lalu memikirkan kembang di hadapannya; janganjangan dia merasakan hal yang sama? Jangan-jangan kehangatan juga mulai meninggalkan tubuh kurusnya? Jangan-jangan sekarang dia sudah tak lagi menyukai hujan yang membasahinya? Mangaday mulai panik dan khawatir dan kebingungan sebab ia tak tahu apa yang harus ia lakukan.

Setelah berfrustrasi sekian lama, sebuah gagasan tercetus dalam benak putihnya; bahwa ia butuh sesuatu yang lebar untuk menghalangi hujan menjatuhi mereka berdua. Tak ayal ia melihat payung yang selama ini diabaikannya, yang mungkin kau, pembaca yang budiman, pun melupakan keberadaannya. Mangaday lalu meraih gagang payung tersebut dan mengangkatnya tinggi-tinggi. Segera saja hujan berhenti menjatuhi Mangaday dan si kembang. Hujan itu kini harus membentur payung itu terlebih dahulu, bergulir pada galurgalurnya, sebelum akhirnya jatuh menjadi kucuran di sepanjang tepinya... menciptakan tirai air yang seolah-olah memisahkan Mangaday dan si kembang dengan dunia di sekitarnya. Meskipun Mangaday tak sertamerta kering dan merasa hangat kembali, setidaknya ia dan si kembang tak perlu lagi diterpa hujan. Mereka kini aman berada di balik kubah air yang melingkupi mereka; seolah-olah hujan itu sedang berlangsung di dunia yang sama sekali berbeda. Saat ini boleh saja merasa senang, tapi menyadari bahwa apa baginya belum tentu yang lain. Apa yang

Mangaday ia luput yang baik baik bagi diperlukan


Mangaday pun mulai menangis tersedu-sedu. Matanya mengeluarkan air yang banyak sekali, persis seperti awan-awan di langit yang menumpahkan hujan.

olehnya belum tentu diperlukan oleh yang lain.

juga

Keesokan harinya, hujan turun lagi. Lusa, tulat, tubin, dan mingguminggu berikutnya pun demikian. Kita menyebutnya sebagai musim hujan, dan celakanya, selama berlangsungnya musim ini, Mangaday tak pernah berhenti memayungi si kembang barang sedetik pun. Mengapa kusebut hal yang sangat berkomitmen semacam demikian sebagai sesuatu yang celaka? Sebab Mangaday tak mengerti bahwa si kembang membutuhkan hujan itu. Bukan payungnya, bukan teduhnya, bukan dirinya; melainkan hujan-hujan itu. Mangaday terlalu banyak berasumsi mengenai apa yang dibutuhkan si kembang, tanpa

mengetahui sepanjang musim kemarau sebelumnya dia nyaris tak mereguk air barang sepercik. Mangaday memiliki terlalu sedikit pengalaman mengenai dunia yang baru didiaminya ini. Mangaday seperti kertas putih yang belum terisi sama sekali. Dan begitulah ceritanya bagaimana si kembang mati perlahan-lahan; dicekik oleh rasa kering dan kasih sayang yang kelewat buta dari Mangaday. Awalnya gugur satu kelopak... lalu kelopak lainnya susul-menyusul... hingga akhirnya tak tersisa sama sekali. Mangaday berada di tengah semua itu; terpaku diam, tak paham, dan hancur hatinya. Ia bertanya-tanya apa yang salah? Ia bertanya-tanya mengapa begitu sakit rasanya? Mangaday pun mulai menangis tersedu-sedu. Matanya mengeluarkan air yang banyak sekali, persis seperti awan-awan di langit yang menumpahkan hujan. Ia merasa remuk redam, tak kuasa menahan kesedihan. Kemudian, si kembang tiba-tiba mewujud di hadapannya, melayang-layang dan tembus pandang. Itu jelas adalah ruhnya; kembali ke dunia sebab merasa terpanggil setelah mendengar suara patah hati Mangaday yang begitu memilukan. Lalu


dijelaskannya apa-apa yang keliru Mangaday maknai sebagai kasih sayang, apa-apa yang selama ini seharusnya ia lakukan. Ruh si kembang berkata, tak apa-apa berbuat salah. Semua orang melakukannya. Yang penting adalah bagaimana kita belajar dari kesalahan tersebut dan kembali berbuat benar. Sebelum ruh si kembang pergi, dia menyentuh dada Mangaday. Dadanya yang semula berwarna putih itu pun tiba-tiba diperciki oleh corak-corak merah yang indah sekali, persis seperti warna si kembang. Ia lantas ingat dengan buah pikirannya tempo hari, mengenai awan-awan di langit yang jangan-jangan berasal dari Tabula Rasa seperti dirinya. Saat

itu Mangaday mengagumi kemampuan awan-awan itu berubah warna; dari gradasi jinggakuning hingga kelabu. Kini ia melihat perubahan warna itu pada dirinya sendiri dan tersenyum: ternyata ia juga bisa melakukannya. Kesedihan itu kini perlahan hilang, digantikan oleh semangat baru yang kini memompanya agar berjalan dan berlari kembali. Ia juga menyadari satu hal sekarang: bahwa masih ada banyak yang belum ia ketahui di dunia yang baru ini. Ada begitu banyak jawaban yang mesti ia cari. Mangaday pun melangkahkan kakinya lagi dan lagi.


Cerpen

Lahan!

Oleh: Rachmadi Rasyad Kader LPPMD Unpad Angkatan 29 Alumnus Prodi Sastra Indonesia, FIB Unpad


K

etika rumah yang telah kutempati selama tiga puluh tahun dirobohkan oleh alat berat, air mataku keluar membasahi pipi lalu jatuh di tanah. Aku memalingkan muka, menghadap pada anakku yang sedang berdiri tepat di belakang. Ia pun tampak mengeluarkan air mata. Ada kata-kata yang tidak bisa diucapkan oleh kami pada petugas berseragam yang tampak bersemangat menyingkirkan puing-puing bangunan yang tersisa. Mereka menendangi dan memukuli rumahku seolah itu kandang hewan, bukan rumah yang ditinggali oleh manusia. Langit mendung. Sebentar lagi mungkin hujan akan turun jadi wakil atas perasaanku saat ini. Di sekitar kawasan berlangsungnya penggusuran, jerit dan tangis para pemilik rumah terdengar pilu menusuk hati orangorang yang masih punya rasa keadilan. Aku pun ingin menjerit sejadijadinya tapi satu kata pun tidak mampu kuucapkan. Aku entah harus mengucapkan kata apa atau bertindak bagaimana. Aku hanya tertegun menyaksikan rumah yang telah jadi sekumpulan puing-puing bangunan. Sesekali mataku diarahkan pada sawah luas yang terhampar di samping rumah. Selain tempat tinggal, pekerjaan sebagai petani yang telah diwarisi oleh nenek-moyangku pun akan sirna. Anakku bernama Samin bertanya, �Di mana kita akan tidur malam ini, Pah?�. Pertanyaan itu tidak mampu kujawab dengan pasti karena memang belum ada kepastian. Pemerintah yang jadi pelaksana dari kehendak pemilik industri tidak memberi kepastian apa pun. Mereka hanya bilang bahwa penggusuran dilakukan untuk mempercepat pembangunan. Entah pembangunan semacam apa yang hendak mereka lakukan. Dalam rencana pembangunan itu, jadi apakah aku? Sebagai pihak yang hendak dibangun ataukah justru disingkirkan? Sebelum dilakukan penggusuran, wakil pemerintah sempat mendatangi kepala desa untuk menjelaskan maksud penggusuran. Pemerintah hendak membangun industri sehingga perlu dilakukan penggusuran. Industri yang dibangun akan menyerap tenaga kerja yang berasal dari warga desa berprofesi sebagai petani. Kepala desa pun lalu menyampaikan hal itu kepada warga. Ada warga yang mendukung, adapula yang menolak.


Warga yang mendukung berpikir bahwa pekerjaan sebagai petani telah waktunya ditinggalkan karena tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman dan tidak pula menjanjikan harta melimpah. Sementara itu, warga yang menolak berpikir bahwa keahlian bertani merupakan satusatunya keahlian yang dimiliki sehingga mereka patut mempertahankan sawah. Mereka pun merasa merdeka bekerja sebagai petani meski hasil yang diperoleh tidak seberapa. Mereka tidak harus merasa ketakutan pula akan dipecat bila melakukan kesalahan dalam bekerja, berbeda bila bekerja sebagai buruh industri. Pemecatan dan pemotongan upah senantiasa akan menakut-nakuti selama bekerja. Waktu terus melaju. Kepala desa akhirnya memilih untuk memihak pada pemerintah karena ia tidak ingin kehilangan pekerjaan sebagai kepala desa. Bagaimanapun, ia harus patuh pada atasan tanpa bisa menolak. Protes atas keberpihakan kepala desa lalu dilakukan oleh warga desa yang menolak dibangun industri. Aku pun ikut serta dalam kerumunan yang memprotes. Dari DPR hingga presiden telah dicoba untuk diajak berdiskusi tapi tiada satu pun yang bergeming bahkan mendengar. Kalaupun telah mendengar, mereka menjawabnya dengan serbuan peluru, bukan kata-kata dan tindakan. Sahabatku bernama Marto terkena peluru tepat di betisnya ketika berlari. Belum usai masalah lahan taninya yang hendak digusur, ia harus pula memikirkan biaya pengobatan kakinya. Beruntung, aktivis-aktivis yang masih punya kepekaan membantu mengumpulkan biaya pengobatannya. Kakinya terluka cukup parah. Walaupun telah keluar dari rumah sakit, ia harus berjalan menggunakan penyangga. Keterbatasan tidak pernah menyurutkan semangatnya sedikit pun. Ia masih ikut dalam rombongan yang melakukan aksi penolakan penggusuran. Jika peluru menyerbu, ia berlari tergopoh-gopoh dibantu olehku. Aku sering kali meneteskan air mata jika melihat semangatnya. Lain lagi perempuan bernama Martinah. Setelah suaminya meninggal dunia tahun lalu, ia bersama anak tunggalnya bekerja sama mengolah lahan tani. Anaknya sekarang telah berumur 17 tahun. Dikarenakan belum pernah mengenyam pendidikan di jenjang manapun, anaknya tidak memiliki keahlian selain bertani. Memang ada program pemerintah mengenai pendidikan gratis. Namun, di desaku sekolah tidak diminati. Anak-anak lebih memilih bermain di sawah daripada menimba ilmu di sekolah. Sekolah bagi mereka adalah tempat yang membosankan. Mereka pun merasa tidak membutuhkan ilmu yang diajari di sekolah untuk mengolah lahan tani. Ilmu yang diwariskan oleh nenek moyang dirasa lebih berguna bagi kehidupan mereka kelak.


Mendengar lahan tani yang diwariskan oleh mendiang suaminya akan dialihfungsikan menjadi industri, tentunya Martinah menolak. Ia bersama anaknya rela menempuh perjalanan jauh untuk ikut serta dalam barisan aksi. Terkadang, bila sedang melakukan aksi, Martinah berdiri di atas mimbar sebagai orator. Apabila mendengar suaranya yang lantang berisi kegetiran, senjata-senjata yang dipegang oleh aparat seakan bergetar jadi kecut. Suara keramaian lalu lintas yang bising pun mendadak senyap dikalahkan oleh suaranya. Suara gemuruh alat berat yang bersentuhan kasar dengan tembok atau atap bangunan semakin bising terdengar. Puing-puing bangunan menumpuk tak beraturan. Rintik hujan pun mulai turun perlahan-lahan. Burung-burung yang semula riuh mempertontonkan aksinya di langit telah hilang kembali ke sarang untuk berteduh. Jalan menjadi basah. Wangi hujan yang khas mulai terhirup di antara debu-debu yang berhamburan. Martinah menangis dan mengamuk memaki-maki petugas berseragam yang semakin bersemangat menyelesaikan kerjanya. Anaknya yang berdiri tak jauh di belakang tampak tercengang. Ia mungkin tercengang karena melihat raut wajah Martinah yang selalu meneduhkan berubah jadi mengerikan. Warga lainnya yang menyaksikan keberanian Martinah ikut pula bersuara. Keadaan jadi riuh. Aparat yang semula tenang-tenang saja ikut serta untuk menghentikan pertikaian. Pukulan dan tendangan aparat tak mampu ditahan atau dibalas oleh warga. Mereka pun menyingkir. Martinah yang didakwa jadi penyebab keriuhan diamankan oleh aparat. Kali ini, giliran anaknya yang mengamuk. Namun, ledakan senjata yang dipegang oleh aparat menghentikan amukannya. Sementara itu, ketika keriuhan berlangsung, kulihat Marto ikut serta. Ia berada tepat di samping Martinah. “Hey, jahanam! Hentikan!� Ujar Marto terdengar meledak-ledak. Amarahnya meledak tak lama. Ia pingsan terkena hantaman senjata tepat di pelipisnya oleh aparat. Empat orang yang berkerumun di sekitarnya langsung membawanya ke surau. Marto dan Martinah telah roboh. Dua orang yang paling giat melakukan perlawanan telah disingkirkan. Hujan jatuh menjadi deras. Pakaian yang kering pun menjadi basah. Aku masih berdiri getar bersama Samin menatap bangunan-bangunan yang dirobohkan oleh petugas. Suara adzan dari surau lalu sayup-sayup terdengar di antara bisikan, “Allah, harus ke manakah aku?�.


Resensi Album : Godspeed You ! Black Emperor – F#A#∞ : Cuplikan Pascaapokaliptik dan Surealisme Alienasi Oleh : M Fathurrahman Aditya K Kepala Divisi Media Lembaga Pengabdian dan Pengkajian Masyarakat Demokratis (LPPMD) Universitas Padjadjaran periode 2016-2017


“We’re trapped in the belly of this horrible machine, and the machine is bleeding to death,”

I

tulah kata-kata yang diucapkan pada awal-awal album ini diputar. Ia bergema seperti suara narator yang baru saja ingin memulai film tentang pascaapokaliptis yang bercerita tentang keadaan kota yang lumpuh karena suatu kejadian yang meluluhlantakkan umat manusia—setidaknya sebagian, dan belum mampu bangkit kembali ke peradaban sediakala, terperangkap dalam pusaran kebencian satu sama lain dan ketidakmampuan untuk menunggangi lingkungan alam seperti yang sudah-sudah. Suara narator terdengar cukup berat dan menjemukan, seakan-akan tidak ada harapan lagi untuk menatap masa depan. Ada, namun sulit untuk diraih karena kaki telah lelah. Opening dari track pertama (dari tiga track) bisa katakan cukup gamblang untuk menjelaskan tentang apa album ini. “We’re

trapped in the belly of this horrible machine, and the machine is bleeding to death,” narator ingin mengimplikasikan bahwa mesin, yakni sistem yang berjalan di masyarakat, sudah rusak dan umat manusia terperangkap di dalamnya. “And

the flags are all dead at the top of their poles,” narator kembali lagi menyampaikan pandangan pesimisnya, yakni benderabendera yang mati masih menjulang tinggi diatas tiang, namun karena masyarakat telah terdegradasi sedemikian rupa, ia diabaikan dan maknanya hilang dengan peradaban. “The skyline

was beautiful on fire, All twisted metal stretching upwards,” narator menggambarkan keadaan tepat saat kiamat yang telah berlalu, dengan langitlangit yang penuh dengan lidah api, dan gedung-gedung tinggi menjulang diatasnya ikut terbakar. “You grabbed my hand,

and

we

fell


into it, like a daydream‌ or a fever,� narator bernostalgia, mengingat kembali, ketika kejadian yang menjadi penyebab kiamat itu terjadi, ia bersama kekasihnya, jatuh dan pingsan di tengah-tengah huru-hara dan kerisauan. Sebuah gambar yang suram dan lusuh. Itu juga menjadi salah satu alasan mengapa album ini tetap

relevan dan terus dibicarakan selama 19 tahun terakhir. Ia mengingatkan kita betapa pentingnya album ini sebagai suatu karya seni yang bersifat adiluhung. Aristoteles, dalam bukunya Poetika, mengatakan bahwa ada lima ciri dari tragedi drama Yunani: mengimitasikan kejadian yang nyata; memberikan perasaan kasihan


dan takut; memberikan gambaran tentang manusia sesuai dengan kenyataan; berakhir dengan indah; dan secara inheren menawan. Godspeed You! Black Emperor (selanjutnya disingkat GYBE) mempunyai ke lima unsur tersebut, sehingga tidak ganjil ketika musik-musik GYBE mampu mengekspresikan secara verbal bagaimana kondisi manusia yang secara bersamaan elok dan menyedihkan. Melalui medium post-rock, GYBE mampu menghadirkan sebuah katarsis, dengan tensi-dan-rilis kreskendo yang pelan dan perlahan namun sentimental dan emosional. Dengan line-up band yang mencapai sembilan orang atau lebih (semuanya instrument, seperti tiga gitaris, dua basis, French horn, violin, viola, cello, dan perkusi, kecuali beberapa skenario yang membutuhkan vocal), GYBE berhasil memberikan penonton suasana orkestra yang menyayat kulit, membuat gigil tulang, dan mengelevasi penonton kepada tahap mengerikan dari alienasi yang disebabkan oleh kapitalisme.

F#A#∞ (F-Sharp A-Sharp Infinity) adalah album debut GYBE yang rilis pada tahun 1997 dan 1998 (repress dengan label yang berbeda) setelah sebelumnya sukses pada skena musik post-rock dengan beberapa penampilan live bawah tanah dan merilis demo terbatas pada tahun 1994-1997. Menggunakan latar belakang bvmelodi string, intro dari track pertama, Dead Flag Blues, dimulai dengan pembacaan skrip dari narator. Setelah pembacaan skrip selesai, musik memakai rekaman-rekaman lapangan yang menambah kesan atmosferis, luas, dan menyeramkan. Diiringi dengan instrumental ala western yang berjalan perlahan, musik sampai kepada klimaks kreskendo yang menakjubkan, melepaskan semua energi-energi hasil dari kekesalan akan dunia yang bersifat kapitalistik, dengan instrumen yang mencoba memberondongi kontradiksikontradiksi kapitalisme sampai kepada titik dimana ia hancur sendiri. Ambience-ambience hadir dengan nuansa drone, mirip seperti Sunn O)))), namun


dengan atmosfir pascaapokaliptis yang kental. Track pertama diakhiri dengan permainan Glockenspiel yang menetramkan, seolah-olah waktu kiamat adalah waktu yang harus ditunggu dengan senyum lebar dan wajah sumringah. Track kedua, East Hastings, dibuka dengan khutbah seorang nabi akhir zaman, diiringi instrumen bagpipes yang membuat suasana seolah-olah merayakan kematian—kematian peradaban. Drone elektronik dan permainan gitar yang mencoba mengambil alih teriakan sang nabi muncul dengan penggambaran atmosfer kota yang telah mati ditinggal oleh penghuninya. Bagian inilah yang diambil oleh Danny Boyle, sutradara 28 Days Later, untuk dimasukkan ke dalam filmnya yang bertemakan pascaapokaliptis berlatar kota London yang dipenuhi oleh mayat hidup. Track diakhiri dengan kebisingan elektronik dan dengungan, diiringi rekaman lapangan dari keberangkatan kereta api, seolah-olah meng-gambarkan kalau tidak ada moda transportasi yang bisa

menyelamatkan manusia dari kesuraman. Track ketiga, track terpanjang—berdurasi 30 menit, berisi dengungan-dengungan drone yang kental, mirip dengan Spiritualized, salah satu band bergenre space drone. Alunanalunan alat musik string seperti cello menambah mistisisme dari album ini. Perkusi-perkusi perlahan mengambil alih sampai kepada ujung melodi. Sesaat setelah klimaks pecah, musik berganti dengan distorsi suara yang menyanyikan Hazel Dickens – Gathering Storm. Track yang sangat minimalis ini menekankan kepada kesendirian individu setelah ditinggal oleh peradaban yang telah rusak. Ini ditunjukkan dengan pengulangan frasa “Where are you going?” di ujung track. Ada sebuah interpretasi yang menarik, dimana kolase dari suara-suara yang berdegung ini membuat suatu penggambaran suasani batin yang menyesal akan keadaan pascaapokaliptis, teralienasi bahkan dengan lingkungannya sendiri. Ada hal unik yang terdapat pada akhir album ini, dimana versi dari piringan hitamnya terdapat


sebuah goresan kecil yang membuat musik tidak akan berhenti berputar. Musik akan selalu mengulangi bagian yang sama—infinity (∞)—melukiskan keadaan yang tidak akan pernah berubah, menegasikan segala mimpi Hegel dengan kebenaran absolut. Album ini adalah suatu pencapaian, merupakan bahan bakar ketika seseorang merasa sendiri dan teralienasi dari lingkungannya dan ingin me-

nyendiri bersama dengan pikiranpikiran pesimis terhadap masa depan. Album ini menyatakan dengan keras puisi-puisi sendu dengan nada instrumental tanpa sepatah katapun yang sengaja diutarakan. Ini bisa jadi sebuah eskapisme—dalam dunia kapitalisme yang selalu menuntut kemajuan dengan kompetisikompetisi semu yang mencoba menarik diri dari realita eksternal.

∞


Resensi Buku Saksi Mata : Mengingat Pembantaian Dilli bersama Seno Gumira Ajidarma oleh : Muhammad Fakhri Kepala Divisi Pendidikan Lembaga Pengabdian dan Pengkajian Masyarakat Demokratis Periode 2016-2017


Judul Penulis Penerbit Tahun Terbit Tebal

B

: Saksi Mata : Seno Gumira Ajidarma : Bentang Pustaka : 2016 : 158 halaman

“Hari-hari itu saya memikirkan harga jiwa manusia. Saya menulis cerita dengan semangat perlawanan, untuk melawan ketakutan saya sendiri—dan saya sungguh bersyukur telah mendapat pilihan untuk melakukannya. Penguasa datang dan pergi. Certita saya masih ada”. egitulah Seno Gumira Ajidarma atau yang biasa dipanggil ‘SGA’ mengungkapkan bagaimana perasaan dan pikirannya saat menulis cerita pendek ini. Ketakutan ini tentu mempunyai alasan. Pada masa itu, awal ‘90-an, telah terjadi pembantaian keji di Dili. Dan kita tahu, pemberitaan mengenai pembataian oleh para militer tidak akan menjadi isu nasional. Dianggap angin lalu saja, dilupakan. Namun, SGA melawan ketakutan yang dirasakan hampir semua jur-

nalis pada masa itu. Ia dengan berani menuangkan cerita pembantaian tersebut dalam majalah Jakarta Jakarta melalui sastra. Seperti yang ia katakan, “Jur-

nalisme dibungkam dan harus menggunakan sastra untuk bisa berbicara”. Tetapi, tetap saja ancaman dan teror didapatkan oleh SGA, seperti dibentak salah satu pejebat militer yang risau dengan bocornya berita tentang pembantaian tersebut.


Pembantaian Dili atau dikenal dengan pembantaian Santa Cruz terjadi pada 12 November 1991. Santa Cruz adalah pemakaman umum di Dili yang merupakan tempat seorang aktivis muda pro kemerdekaan, Sebastiao Gomez dimakamkan. Gomez ditemukan mati tergeletak di dekat Gereja Motreal setelah malam sebelumnya, 27 Oktober 1991, sekolompok provokator yang bekerja untuk intelijen Indonesia mengejek para aktivis pro kemerdekaan yang berujung dengan perkelahian. Dua minggu setelah itu, misa arwah dilaksanakan di Gereja Motreal, dan dilanjutkan dengan aksi unjuk rasa menuju pemakaman Santa Cruz. Kurang lebih ada lima ratusan massa yang berjalan sambil membentangkan spanduk dengan foto Xanana Gusmao, pemimpin gerakan kemerdekaan Timor Timur saat itu. Ketika sampai di pemakaman itu, seperti yang dilansir di Tirto.id, massa telah disambut dengan tentara Indonesia yang terdiri dari Kompi A Brimob 5485, Kompi A, Kompi D Batalion 303, dan Kompi Campuran. Namun, para pasukan ini tidak mengenakan seragam,

melainkan mengenakan pakaian seperti preman. Sehingga, saat itu juga meletuslah pembantaian dengan penembakan warga sipil yang membabi buta. Ada yang mati tertembak, tertusuk, dipenggal, dan berbagai siksaan lainnya tanpa ampun. Setidaknya 50 orang tewas dalam insiden itu. Bahkan, dalam laporan yang lain tercatat 273 tewas dalam pembantaian warga sipil tersebut.

“

Setidaknya 50 orang tewas dalam insiden itu. Bahkan, dalam laporan yang lain tercatat 273 tewas dalam pembantaian warga sipil tersebut.

Tentu saja, pada saat itu, berita mengenai pembantain Dili ini sulit ditemukan. Oleh sebab itu, Seno berusaha untuk menuangkannya di dalam kumpulan cerpen yang berlatarbelakang pembantaian warga sipil ini. Seno dengan apik dapat membangun emosi pembaca dengan alur cerita yang


mengejutkan. Seperti pada cerpen yang pertama, yaitu Saksi Mata. Seno mencoba mengungkapkan bagaimana kesaksian seseorang di persidangan yang dibuat buta. Ia sebelumnya mengaku dibuat buta oleh ninja yang mencongkel matanya dengan sendok. Dengan darah masih mengalir di lantai, seorang saksi ini dengan berani dan tegas ingin bersaksi demi tegaknya keadilan dan kebenaran. Namun, apa daya, besok malamnya, ia kembali didatangi melalui mimpi oleh ninja-ninja tersebut, dan kali ini lidahnya yang dipotong dengan menggunakan catut. Seno, menurut saya, berhasil menggunakan alegori mimpi sebagai cara memperlihatkan bagaimana seseorang dapat disiksa dan tidak ada yang mengetahui termasuk korban tersebut! Siapa yang menyiksa? Dimana? Entahlah yang jelas matanya sudah hilang! Penggunaan karakter ninja juga menunjukkan orang-orang yang lihai sekali mengintai dan dengan cekatan menuntaskan misi apapun yang diberikan, termasuk men-congkel mata dan mencatut lidah seseorang.

Ia juga dengan cerdik menyinggung periswtiwa Dili dengan nada sarkasme. Seperti dalam cerpen Telinga yang bercerita tentang juru cerita yang juga bercerita kepada Alina tentang seorang wanita bernama Dewi yang dikirimi potongan telinga para orang-orang yang dicirugai sebagai musuh, para pemberontak. Potongan telinga ini dikirim langsung oleh pacarnya yang berjuang di medan perang sebagai kenang- kenangan. Di akhir cerita, juru cerita menutup cerita dengan komentar langsung oleh Alina, “Alangkah kejam pacar Dewi itu�. Dan juru cerita itu pun menjawab, “Tapi, banyak orang yang menganggapnya pahlawan�. Cerpen-cerpen Seno sarat akan perjuangan, konflik, perlawanan, pemberontakan, penyiksaan, pembantaian, pemerkosaan, penculikan, dan segala kemalangan yang hadir di dalam peristiwa itu. Semuanya berusaha diungkapkan oleh Seno. Tentang seorang ibu yang tidak mengenali anaknya yang setelah bertahuntahun disiksa dan kembali dengan wajah yang sama sekali berbeda. Tentang seorang


aktivis yang, sialnya, bertemu dan bercerita dengan seorang intel tentang kegiatan perjuangannya yang berujung penahanan dirinya pada malam itu juga. Tentang seorang pria yang dipaksa menelan rosario oleh seorang prajurit sambil berteriak, “kemerdekaan adalah impian yang terkutuk�. Cerpen-cerpen ini mengingatkan kita kepada sejarah bangsa yang kelam. Bahwa telah terjadi pelanggaran HAM berat di ujung timur sana. Warga sipil dibunuh dan ditembaki tanpa ampun. Selain itu, kita harus mengapresiasi SGA sebagai

sastrawan yang memiliki keberanian yang besar dalam mengungkapkan fakta sejarah yang disembunyikan. Walaupun, dalam perjalanannya, ia kerap mendapati terror dari pihak-pihak yang‌‌.. tentu sudah bisa kita tebak. Kepiawaian SGA melukiskan cerita membuat kita, pembaca, tidak akan lupa mengenai kejadian-kejadian yang terjadi di dalam cerita tersebut. Sehingga, cerpen ini layak untuk dibaca bagi mereka yang tidak ingin dibodohi oleh sejarah yang ditutup-tutupi, oleh fakta yang disembunyikan, oleh penguasa yang culas dan haus kekuasaan.

Cerpen-cerpen ini mengingatkan kita kepada sejarah bangsa yang kelam. Bahwa telah terjadi pelanggaran HAM berat di ujung timur sana.


Press Release: Diskusi Kurikulum Kapitalisme

S

elasa (19/9), Lembaga Pengkajian dan Pengabdian Masyarakat Demokratis (LPPMD) Universitas Padjadjaran (Unpad) mengadakan diskusi kurikulum bersama Dicky Ermandara, staff pengajar program studi Antropologi Unpad yang juga berstatus sebagai mahasiswa program magister Antropologi UGM. Selain itu, Dicky juga aktif menulis dan berkontribusi di laman nirlaba Indoprogress. Diskusi dimulai dengan penjabaran historis lahirnya kapitalisme yang diawali runtuhnya merkantilisme (ajaran yang percaya bahwa keuntungan berasal dari hasil perdagangan) dan feodalisme (-isme yang mempunyai anggapan bahwa sistem ekono-

mi-politik dikendalikan oleh satu atau beberapa orang yang mempunyai kekuasan absolut) dan sampai sekarang kapitalisme masih menjadi sistem yang melandasi masyarakat. Kapitalisme lahir sebagai alternatif dari sistem-sistem sebelumnya, yang pada dasarnya mempunyai tujuan untuk membuat suatu keadaan yang adil & nyaman untuk orang banyak. Hal Ini berlandaskan pada pandangan bahwa manusia adalah makhluk sosial dan ilmu ekonomi dibutuhkan untuk mengatur rumah tangga. Penjabaran soal kapitalisme lalu dilanjutkan dengan pembahasan modal.


Suasana Diskusi Kurikulum LPPMD Unpad, Selasa (19/9) foto oleh Yuviniar Ekawati

Saat membahas modal, Dicky menggunakan analisis dari Das Kapital yang ditulis Marx. Menurutnya, modal terbagi menjadi dua, yakni modal tetap dan modal variabel. Modal tetap adalah nilai-nilai yang terkandung dari bahan mentah seperti kayu, mineral, batu, dan alat produksi lainnya. Berbeda dengan modal tetap yang nilainya tak dapat berubah. Modal variabel mempunyai kemampuan untuk meningkatkan nilai benda-benda mentah. Nilai dari mineral di gunung akan tetap sama tetapi apabila ada manusia yang campur tangan terhadap benda-benda tersebut, maka benda itu akan berubah nilainya. Contohnya

ketika batu kapur diubah menjadi semen Pembahasan selanjutnya adalah keterkaitan antara budaya dan alam dengan ekonomi. Disini, Dicky menjelaskan bahwa ekonomi adalah perekat antara seluruh hasil alam yang ada di muka bumi dan bertransformasi menjadi nilai-nilai kebudayaan. Proses ini adalah proses yang berlangsung terus menerus dan merupakan implikasi dari asumsi bahwa manusia adalah homo economicus -makhluk yang mencoba memaksimalkan efisiensi dan efektifitas. Selanjutnya adalah penjelasan kapitalisme modern dari John Maynard Keynes. Keynes meng-


amini Marx bahwa kapitalisme memiliki kecenderungan bunuh diri di dalam sistemnya. Keynes tidak setuju terhadap hal yang bersifat finansialisme, seperti bank dan bursa saham. Namun, ia mengusulkan bahwa lapangan kerja dibutuhkan dan harus diciptakan sebanyak-banyaknya. Sebelum menutup diskusi, Dicky memaparkan tentang kontradiksi-kontradiksi yang terdapat dalam tubuh Kapitalisme. Menurut Dicky, ada beberapa factor penting yang menjadi penyebab adanya kontradiksi tersebut tetapi yang patut digarisbawahi adalah mengenai pengisapan yang dilakukan pemilik modal terhadap tenaga kerjanya. Seorang pemodal tidak mungkin mendapatkan kenaikan nilai dari modal tetap. Kenaikan nilai yang diandalkan, dan merupakan satu-satunya sumber pendapatan kapitalis adalah pengisapan pekerja. Kenaikan nilain ini sendiri berasal dari modal variable yang merupakan hasil dari kerja buruh yang ia tuangkan untuk mengubah nilai dari komoditas yang mempunyai nilai yang rendah menjadi komoditas yang

mempunyai nilai yang lebih tinggi. Namun, karena akumulasi kapitalisme bertambah, jumlah proletariat akan semakin banyak. Terdapat pertanyaan menarik yang ditujukan oleh kader kepada Dicky, yakni bagaimana terkait sistem kapitalisme yang sekarang. Dicky lalu menjelaskan bahwa sistem kapitalisme klasik yang dibawakan oleh Adam Smith dan David Ricardo merupakan sistem yang cukup berbeda ketika dibandingkan dengan keadaan sekarang.

Rumus Dasar Kapitalisme M - C - M+; dimana M yang pertama menandakan bahan mentah (uang), C menandakan bahwa ada transformasi modal berupa buruh, tanah, dan teknologi, dan yang ketiga adalah hasil bertambahnya modal (uang yang lebih)


Ketika kita menganut kapi-talisme di abad 21 sekarang ini, kita akan melihat sedikit perubahan paradigma para pemodal. Menurut mereka, keinginan untuk menambah buruh untuk meningkatkan produktivitas sudah usang. Disini, mereka mengandalkan dengan penggandaan uang. Meski demikian, banyak negara yang gagal dalam pelaksanaan inim negara industri.


pp

Selamat Hari Tani 24 September 2017 “Buruh Tani� oleh bidobagus https://bidobagus.deviantart.com/art/buruh-tani-155915924


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.