Bakti Kami di Pelosok Negeri – Institut Teknologi Bandung

Page 1



BAKTI KAMI

di Pelosok Negeri 1


BAKTI KAMI

DI PELOSOK NEGERI INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG

PENANGGUNG JAWAB R. Sugeng Joko Sarwono, Ph.D. Ketua LPPM ITB

PENGARAH Deny Willy Junaidy, Ph.D. Sekretaris Bidang Pengabdian kepada Masyarakat LPPM ITB

DAFTAR Isi 4 5

KATA PENGANTAR REKTOR ITB

8

KHIDMAT ITB UNTUK DESA

KATA PENGANTAR KETUA LPPM

EDITOR Islaminur Pempasa PENULIS & PERISET Endan Suhendra Catur Ratna Wulandari Risa Anggraeni Yudi Noorachman FOTOGRAFER Ferdyansyah Poernama, A.Md. Una Nizar Gumrah Andriansyah Akhyar Fikri Lucky W. Purnama (Foto Udara) DESAIN GRAFIS Aninda Purnamashari, M.Ds. ILUSTRATOR Ernest Widi Iswanto, S.Ds. SEKRETARIAT Maharlika Rhasunda Yulian Cetakan pertama: Desember 2020 ISBN: 978-623-297-086-1 Hak Cipta © 2020 Dokumen ini diterbitkan oleh ITB Press. Hak Cipta milik LPPM ITB - Bandung dan dilindungi Undang-Undang. Tidak diperbolehkan mencetak ulang, mengutip sebagian atau keseluruhan isi tanpa izin. Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Institut Teknologi Bandung Gedung CRCS lt. 6-7 Jl. Ganesha No. 10 Bandung 40132 - Jawa Barat Indonesia (022) 86010050 / 8601005 www.lppm.itb.ac.id

2

11

LINGKAR 5

61 LINGKAR 4

MEMBUKA PINTU EMAS PERBATASAN

SELAMATKAN EKOSISTEM DANAU MANINJAU

22

65

28 34

SMKN 1 SEI MENGGARIS DARI KOLONG RUMAH SAMPAI KE ITB TETRAPOD UNTUK KEBERLANJUTAN Prof. Budi Sulistianto

MEREKA KOK LEBIH MENGENAL ‘NEGARAKU’ Rusmini Hakim

JAMUR UNTUK KETAHANAN PANGAN Prof. Dr. I Nyoman Pugeg Aryantha

69

HISTORIOGRAFI PROGRAM MANINJAU

70

BUKAN SEKADAR MANINJAU CENDAWAN, BUKAN JAMUR!

36

BERDAYA LEWAT PAKAN TERNAK & NATA DE COCO

72

40

MENGHIDUPKAN AIR, MERAWAT GENERASI MENINGGALKAN JEJAK KEMANDIRIAN

74

MENGUBAH LIMBAH MENJADI PUPUK HAYATI

76

PENDEKATAN TRANSDISIPLINER UNTUK DESA

44 47

48

TANTANGAN PENGELOLAAN Rofiq Iqbal, S.T., M.Eng., Ph.D.

MENGEMBANGKAN POTENSI PARIWISATA

52

UPAYA MEMPERKECIL KESENJANGAN

54

DAYAK SEI KALAYAN SIAP MENYAMBUT WISATAWAN

Ir. Budi Faisal Maud, MLA, Ph.D.

Kuin Surang

Prof. Dr. Eng. Khairurrijal, M.Si.

Drs. Budi Isdianto, M.Sn.


79

LINGKAR 3

MENDORONG PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN 84

EMBUNG KERUK BEBASKAN RANDUBLATUNG DARI KRISIS AIR

86

AIR UNTUK KEMASLAHATAN MASYARAKAT

94

HISTORIOGRAFI EMBUNG KERUK RANDUBLATUNG

96 102 109

Prof. Ir. Muhammad Syahril B.M., Ph.D.

MENILIK POTENSI AIR DAN WISATA KARST BLORA BARONGAN ROH SENI BUDAYA BLORA MENJADIKAN SOSOK BARONGAN DISUKAI BANYAK ORANG Drs. Muksin M.D., M.Sn.

110

112 114

153

129

LINGKAR 1

LINGKAR 2 SELAAWI ITU BAMBU

SOLUSI PERTANIAN TERPADU

136

156

139

142 146

PENINGKATAN KAPASITAS PERAJIN BAMBU SINERGI RISET & KEAHLIAN PERAJIN

158

Dr. Muhammad Ihsan, M.Sn.

PENGEMBANGAN DESAIN & PASAR KERAJINAN BAMBU BOBOKO PENEBUS IJAZAH Utang Mamad

148

MENGEMBANGKAN BAMBU LEWAT LAB LAPANGAN

150

BIOGAS KOTORAN SAPI

SUATU SAAT BARONGAN BISA DIJUAL Purwadi

Dr. Ramadhani Eka Putra, Ph.D. Dr. Mia Rosmiati, Ir., M.P. Dr. Rijanti Rahayu Maulani

165

SINERGI YANG MENGHADIRKAN APRESIASI

166

MEWUJUDKAN CANGKUL PERTAMA BERSTANDAR NASIONAL INDONESIA

171

MULAI PERTANIAN SAMPAI PERTAHANAN

Prof. Edy Soewono, Ph.D.

117

PERUBAHAN BERAWAL DARI PENDIDIKAN

118

MENATAP MASA DEPAN LEBIH BAIK BERSAMA JAMUR

122

OMAH SUSU, JEPARA BUKAN CUMA UKIRAN KAYU

SEJAHTERAKAN MASYARAKAT DENGAN MAGGOT DAN MOCAF

163

179

DATANG, DUDUK, DENGARKAN

Dr. Taufikurahman

SABAR & TELATEN

176

PEMBERDAYAAN MASYARAKAT ALA UPAT UPAT BUMI

BELAJAR KEAHLIAN & KEARIFAN LOKAL

Dr. Dr. Eng. Akhmad Ardian Korda, S.T., M.T.

EDUKASI BENCANA LEWAT DESA WISATA PENGABDIAN MASYARAKAT DULU, BARU RISET Dr. Irwan Meilano, S.T., M.Sc.

Supat

182

LAMPIRAN

186

UCAPAN TERIMA KASIH 3


KATA Pengantar In Harmonia Progressio untuk Menggapai Martabat Bangsa dan Reputasi Dunia Sejalan dengan upaya menempatkan ITB di kancah persaingan global dan menjadi institusi yang globally respected, sejatinya ITB secara konsisten mengokohkan pijakan untuk berkembang bersama masyarakat dan bangsa. Secara eksplisit hal ini tertuang dalam visi keunggulan, ataupun misi kemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi bagi masyarakat dan bangsa. Keindonesiaan memang menjadi bagian komitmen ITB untuk menjadi institusi yang memiliki reputasi kebangsaan, memberikan solusi terhadap masalah bangsa, dan dapat senantiasa menjaga dan meningkatkan martabat bangsa. Pengembangan keunggulan di tingkat global juga ditopang dengan kemampuan iptek untuk memberikan solusi terhadap masalah yang ada di masyarakat dan bangsa, termasuk tantangan belum terkelolanya kawasan Tertinggal, Terdepan, Terluar (3T) nasional. Pengembangan penelitian yang unggul, antara lain juga harus sejalan dengan kondisi sosial dan ekonomi di masyarakat. Salah satu pintu untuk memahami tantangan dan menemukan iptek yang tepat adalah melalui pengabdian kepada masyarakat. Dalam perspektif ini, Program Pengabdian Masyarakat merupakan mata rantai pembangunan endogen yang memanfaatkan sumber daya dan potensi lokal. Melalui program ini, pemecahan masalah diharapkan muncul dari aktivitas inovasi dan penelitian hulu ataupun hilir yang locally relevant, terutama dengan menciptakan dan menerapkan iptek untuk meningkatkan kualitas kehidupan dan penyelesaian masalah bangsa dan dunia secara berkelanjutan. Melalui program ini, para ilmuwan ITB terjun langsung ke masyarakat, khususnya masyarakat desa melalui program Desa Binaan, merangkul desa di sekitar ITB hingga desa di perbatasan. Dalam “laboratorium” pengabdian masyarakat, kemanfaatan iptek dirajut dalam kelindan interaksi sosial, kultural, dan sumber daya untuk menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari pengelolaan gagasan, proses, dan solusi yang dihasilkan. Iptek dari interaksi yang intens, menemani masyarakat desa, merumuskan masalah serta mengidentifikasi potensi penerapan iptek diarahkan menjadi produk riset unggul untuk dibawa ke kancah global. Penyusunan dan penerbitan publikasi yang bersifat populer ini menjadi berharga, sebagai rekognisi dari aksi kolaboratif dan upaya saling belajar serta memahami para pihak dan pemangku kepentingan pengembangan desa. Berjuta pengalaman dalam berpuluh tahun program pengabdian masyarakat, tentu saja tidak cukup dituliskan dalam lembar buku ini, meskipun setidaknya apa yang telah diupayakan untuk dicatat, diharapkan bisa menjadi bagian dari ekstensi memori dan audiens, sekaligus menjadi salah satu inspirasi bagi langkah ITB menjadi universitas yang Globally Respected dan Locally Relevant.

Prof. Reini Wirahadikusumah, Ph.D. Rektor ITB 4


Sentuhan Sains dan Teknologi untuk Mendorong Kemandirian LPPM ITB merupakan lembaga di bawah Wakil Rektor Bidang Riset dan Inovasi yang diberi tugas untuk mengawal, mengelola proses-proses kegiatan dan program penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Sejalan dengan misi ITB, untuk secara fungsional memiliki reputasi internasional dalam konteks globally respected, program-program yang dirancang juga tidak melupakan sumbangsih atau impact kepada masyarakat dalam konteks locally relevant. Dengan demikian, ITB tidak dikenal hanya melalui publikasi, tetapi juga berupa karya nyata yang bisa diaplikasikan ke dalam kehidupan berbangsa dan bermasyarakat. Secara spesifik ITB merupakan sebuah perguruan teknologi, yang hasil penelitiannya diarahkan menjadi inovasi, dan salah satu tugas LPPM adalah menerjemahkan inovasi tersebut menjadi teknologi tepat guna yang bisa digunakan di industri, selain juga mempercepat pertumbuhan ekonomi bangsa, termasuk pengembangan kemandirian desa melalui Program Desa Binaan ITB. Program ini menjadi arena diseminasi ilmu pengetahuan, sains, dan teknologi oleh para dosen ITB untuk mengembangkan dan menciptakan kegiatan-kegiatan yang akan membuat kawasan itu lebih berkembang dan mandiri. Dari tahun ke tahun, impact dari program ini semakin dirasakan khususnya oleh masyarakat maupun bagi para dosen yang terjun ke lapangan. Tentu saja semua kegiatan itu tidak bisa dilakukan sendiri, ITB memang memiliki kompetensi, teknologi, dan para ahli, tetapi tetap saja diperlukan kerja sama dengan pemerintah daerah, para local champions, dan unsur pentahelix lainnya.

komunitas akademik maupun masyarakat dan pemangku kepentingan lain. Salah satu cara yang dilakukan dalam diseminasi dari kegiatan ini adalah dengan membangun wahana knowledge management system, antara lain dalam bentuk buku yang dikemas dengan format populer. Upaya diseminasi ini juga diimbangi dengan penerapan pendekatan komunikasi digital untuk bisa lebih cepat menularkan apa-apa yang sudah dilakukan dengan baik, dan semakin memberikan manfaat dalam membangun kemandirian. Kami berharap, semakin banyak pihak yang bisa ikut menarik pembelajaran dan mendorong penyempurnaan pelaksanaan program sehingga memberi efek domino bagi kesejahteraan masyarakat desa binaan khususnya, ataupun pertumbuhan di daerah-daerah lainnya di pelosok Indonesia.*

Berbagai kisah dan pengalaman dari lapangan kami rasakan perlu untuk ditularkan kepada

Desa Binaan ITB adalah arena diseminasi ilmu pengetahuan, sains, dan teknologi untuk membuat desa lebih berkembang dan mandiri.

Ir. R. Sugeng Joko Sarwono M.T., Ph.D. Ketua LPPM ITB

5


Sei Menggaris

6


7


KHIDMAT ITB UNTUK DESA DENY WILLY JUNAIDY, PHD.

Sekretaris Bidang Pengabdian kepada Masyarakat LPPM ITB

Deny Willy Junaidy, Ph.D.

BUDaya kepedulian terhadap masyarakat serta luasnya kegiatan pengabdian dosen ITB di Indonesia merupakan upaya ITB mendukung pemerintah meningkatkan kualitas hidup masyarakat yang merata di seluruh Indonesia. Tahun 2020 menjadi salah satu tonggak penting perjalanan ITB yang telah melakukan layanan pendidikan kepada bangsa Indonesia selama 100 tahun. Oleh karena itu, arah pengembangan program Pengabdian Masyarakat LPPM ITB 2020-2025 menjadi bagian penting dalam kontribusi ITB menuju 100 tahun berikutnya. Untuk menjadi lebih mandiri dan dihormati bangsa-bangsa lain dengan menggunakan kata kunci Locally Relevant and Globally Respected. ITB harus dihargai secara global atas berbagai daya dan upayanya dalam menangani masalah-masalah lokal yang terjadi di masyarakat. Buku Bakti Kami di Pelosok Negeri menceritakan sebagian kecil pengalaman dosen ITB mengabdikan pengetahuan, teknologi, sains, dan seni di tengah-tengah masyarakat. Kegiatan pengabdian yang tampak senyap di tengah masyarakat mengungkap aksi heroik, baik dari para tokoh desa lokal maupun dosen ITB yang sebelumnya tidak saling mengenal, tetapi mengikat persaudaraan dalam semangat dan saling percaya. Di Jawa Barat tim pelaksana pengabdian masyarakat ITB selama bertahun-tahun mendampingi masyarakat Rancakalong, Kabupaten Sumedang dalam hal budi daya hayati dan pengolahan pangan. Hasilnya, mereka memperoleh penghargaan Kecamatan Inovatif dan Desa dengan Integrasi Intervensi Stunting Terbaik dari Dinas Kesehatan Kabupaten Sumedang. Kemudian, di perbatasan RI-Malaysia, tim pengabdian masyarakat ITB bertahun-tahun mengabdikan

8


ilmunya, jejaringnya, hingga Desa Srinanti, Sei Menggaris.Tim harus berjam-jam menyusuri anak sungai dan estuari Sei Menggaris dengan berbagai keterbatasan, termasuk persoalan ketiadaan listrik. Di desa ini sebuah SMK berdiri, dari belajar di bawah kolong rumah hingga tumbuh berkembang menjadi SMK terbaik nomor 1 di Kabupaten Nunukan. Sekolah yang kemudian menjadi magnet bagi guru-guru dan murid-murid dari pulau masuk ke pedalaman untuk bergabung dengan SMK tersebut. Masih di Desa Srinanti, sarana penyediaan air bersih yang telah bertahun-tahun mangkrak diperbaiki oleh tim pengabdian masyarakat ITB. Hasilnya harga air bisa dikikis, dari Rp300 ribu per meter kubik menjadi Rp10 ribu saja. Lebih dari lima tahun tim pengabdian ITB keluar masuk anak Sungai Sei Menggaris, memberikan berbagai pendampingan, pelatihan, jejaring hingga melatih siswa dan guru hingga ke ITB.

Beragam peristiwa inspiratif di pelosok negeri ditorehkan bukan hanya oleh “gajah-gajah” ITB, melainkan juga melalui mereka para penggerak desa, tokoh desa, komunitas, pemerintah lokal, local champion, dan pihak swasta yang selalu sepenuh hati mencurahkan keyakinannya.“ Kolaborasi lintas pihak telah menjadi ciri yang khas dari kegiatan pengabdian masyarakat menggenapi unsur pentahelix. Peristiwa harum yang telah menjadi jejak-jejak ITB sekaligus menjadi rumah-rumah baru dan menjadi keluarga besar dari ITB di pelosok Indonesia. Berbagai pengalaman ITB di pelosok Indonesia yang penuh dengan cerita haru dan bahagia belum pernah tersampaikan selama bertahun-tahun. Maka, melalui buku Bakti Kami di Pelosok Negeri ini kami berniat menceritakan pengalaman-pengalaman heroik tersebut agar menjadi inspirasi bagi banyak pendidik di Indonesia dan rekognisi bagi ITB. Kumpulan kecil cerita-cerita pengabdian masyarakat ini menjelaskan sasaran dari penerapan iptek di tengah masyarakat. Pengabdian yang memperkuat pembangunan endogen dengan memanfaatkan sumber daya dan potensi lokal di daerah-daerah terdampak di daerah yang dibagi menjadi 5 zona (lingkar) di Indonesia, yakni: Lingkar 1: Lingkungan Kampus ITB, Bandung dan sekitarnya; Lingkar 2: Zona Provinsi Jawa Barat; Lingkar 3: Zona Pulau Jawa (di luar Jawa Barat); Lingkar 4: Zona Luar Pulau Jawa; Lingkar 5: Zona Perbatasan atau Daerah Tertinggal, Terdepan dan Terluar (3T). Pengabdian masyarakat dan kemanfaatannya yang selalu senyap dalam pemberitaan menyimpan banyak cerita besar. Ke depan sudah saatnya cerita-cerita besar ini memperoleh atensi. 9


Wisata Air Terjum Blok 17, Sei Menggaris

10


5

LINGKAR

ZONA PERBATASAN ATAU DAERAH TERTINGGAL, TERDEPAN, DAN TERLUAR (3T) 11


MEMBUKA

Pintu Emas PERBATASAN DERMaGa kecil Sekitang yang sedikit tersembunyi dari rimbun hutan bakau (mangrove), cukup untuk perahu kecil bermesin tunggal merapat. Beberapa perahu lain berjajar tertambat di panggung papan dengan tinggi yang sejajar dengan lunas. Turun dari perahu, terdapat tangga kayu untuk naik ke platform lebih tinggi dan beratap seng. Barongkok, penganan manis dari olahan pisang, dan wajah-wajah ramah para perintis dan pengabdi menyajikan kesegaran setelah berbelas jam dan ribuan kilometer perjalanan dari Institut Teknologi Bandung (ITB) di Jl. Ganesha, Bandung. Di atas panggung papan kayu yang sama, pos kecil berdinding papan, kami lewati untuk mendapati bus sekolah – sebuah truk kecil dengan kursi panjang dari papan yang disangga pipa besi di sisi kanan dan kiri bak truk. Bus sekolah melintasi jalan perkebunan sawit dan rawa gambut dengan variasi jalan tanah berlumpur, mendekati desa dengan jalan sudah relatif mulus mengantar sampai Desa Sri Nanti, Kecamatan Sei Menggaris, daerah yang berbatasan langsung dengan Sabah, Malaysia. Hanya beberapa tahun lalu, desa dan kecamatan ini belum bernama dan belum ada dalam peta. Saat itu, desa ini dikenal sebagai SP, satuan permukiman, tempat bagi para transmigran membuka lahan bagi sebentuk penghidupan baru. Mimpi besar kemudian ditanam di tengah belantara, untuk mengubah dari daerah perbatasan yang identik dengan ketertinggalan menjadi gerbang kemajuan bagi seluruh masyarakat. Melalui upaya sungguh-sungguh dan kerja keras berbagai pihak, desa dan kecamatan ini berproses untuk mentransformasi dirinya menjadi “Pintu Emas” perbatasan, yang masih terus bergerak hingga saat ini. 12


Bukit Bahagia, Sei Menggaris

Ibarat sebuah rumah, daerah perbatasan layaknya beranda bagi Indonesia. Halaman depan yang mencerminkan baik buruknya rumah itu. Tetapi, untuk sekian lama, daerah perbatasan sering kali diperlakukan seperti halaman belakang. Dibiarkan tidak terurus sehingga kondisinya serba-kekurangan dibandingkan dengan daerah yang lain. Lewat “pintu emas”, Sei Menggaris berusaha mengubah keadaan garis depan Indonesia. Sei Menggaris merupakan salah satu dari 19 kecamatan di Kabupaten Nunukan, Provinsi Kalimantan Utara. Daerah ini berbatasan langsung dengan Malaysia. Kabupaten Nunukan mempunyai luas 14.247,50 km2 dan memiliki bentangan perbatasan baik darat, sungai, maupun laut. Sei Menggaris hanya bisa dicapai dengan menggunakan kapal dari Nunukan. Dengan perahu bermesin tunggal, waktu tempuhnya sekitar satu jam. Menyusuri sungai di antara bakau. Sementara untuk mencapai Nunukan, harus lewat Tarakan menggunakan kapal cepat yang sedikit lebih besar, perjalanan laut menghabiskan waktu tiga jam. Opsi untuk mencapai Tarakan bisa menggunakan pesawat dari Jakarta ke Tarakan, atau dari Bandung ke Balikpapan, dan berganti penerbangan dari Balikpapan ke Tarakan. Konektivitas ini menjadi salah satu tantangan besar mengembangkan daerah perbatasan seperti Kabupaten Nunukan ini. Sebagian jalan di Sei Menggaris memang sudah beraspal, terutama di dekat pusat pemerintahan kecamatannya. Sebagian besar ada ruas-ruas jalan di area perkebunan kelapa sawit yang masih berupa tanah liat. Jika hujan datang, jalanan menjadi becek dan licin. Kawasan Sei Menggaris didominasi oleh perkebunan kelapa sawit. Kebun itu sebagian dimiliki oleh warga transmigran, sebagian lagi dimiliki oleh korporasi. Setiap transmigran mendapat lahan plasma 2 hektare ditambah lahan usaha seluas 0,75 hektare. Lahan itu yang kemudian ditanami kelapa sawit oleh warga. 13


Transportasi untuk mencapai Sei Menggaris

14


Hanya beberapa tahun lalu, desa dan kecamatan ini belum bernama dan belum ada dalam peta. Saat itu, desa ini dikenal sebagai SP, satuan permukiman, tempat bagi para transmigran membuka lahan bagi sebentuk penghidupan baru. Kecamatan Sei Menggaris terbentuk pada 2010. Wilayah seluas 84.000 hektare itu didiami oleh sekitar 8.950 jiwa yang tersebar di empat desa, yaitu Sri Nanti, Tabur Lestari, Samaenre Semaja, Sekaduyan Taka. Warga Sei Menggaris merupakan transmigran dari berbagai daerah serta para Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Pada mulanya, Sei Menggaris bukanlah kampung ramai. Wilayah ini hanya dihuni oleh para pekerja perusahaan kayu. Pertama hanya ada satu rumah panjang yang biasa disebut konsi. Rumah itu disekat menjadi beberapa ruangan. Sekitar tahun 2003, sudah ada pekerja yang membawa keluarganya. Seiring waktu berjalan bisnis kayu tak lagi menjanjikan. Perusahaan-perusahaan di sana kemudian banting setir membuka perkebunan kelapa sawit. Wilayah itu menjadi satu RT yang berada di bawah Desa Nunukan Barat Kecamatan Nunukan. Selama kurun waktu hingga 2007 mulai masuk warga transmigran. Perusahaan sawit di sana berperan membawa transmigran ini menghuni Sei Menggaris. awalnya terdapat 340 KK yang menempati Satuan Permukiman (SP) 1, lokasinya kini menjadi wilayah Desa Tabur Lestari. Transmigran gelombang pertama itu mayoritas datang dari Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Lombok Timur. Sebagian lagi berasal mantan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang dipulangkan lewat Nunukan. Penempatan transmigran di Nunukan dianggap berhasil sehingga dilanjutkan dengan penempatan transmigran gelombang dua. Mereka tinggal di SP2. Lokasi itu kemudian menjadi wilayah Desa Sri Nanti. Pada 2005, wilayah itu diisi oleh para transmigran yang berasal dari Toraja, Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, Lombok, dan Timor. ada juga mantan TKI yang sebagian dari suku Tidung dan Bugis, Selain itu, ada pula warga dari Nunukan yang tidak punya rumah. Pada 2007 kawasan ini kemudian menjadi Desa Srinanti, bagian dari Kecamatan Nunukan. Kepala Desa Sri Nanti Abdul Hafid mengatakan, nama Sri Nanti diusulkan oleh salah seorang transmigran dari Jawa Barat yang menjadi tokoh di sana. Sri Nanti artinya penantian, menanti apakah desa ini akan menjadi maju atau malah terperosok. “Pada masa itu, masyarakat merasa resah karena mereka ini dari kota lalu diturunkan ke hutan. Waktu itu masih hutan di sini,” kata Abdul Hafid. Dua desa itu kemudian menjadi cikal bakal berdirinya Kecamatan Sei Menggaris. Kecamatan ini secara resmi berdiri pada 2012. Sejak 2012 itu, Nunukan menjadi bagian Provinsi Kalimantan Utara yang merupakan pemekaran dari Provinsi Kalimantan Timur.

15


Mimpi besar kemudian ditanam di tengah belantara, untuk mengubah dari daerah perbatasan yang identik dengan ketertinggalan menjadi gerbang kemajuan bagi seluruh masyarakat.

Sebagai provinsi termuda, banyak hal yang harus ditata dan dibenahi. Mulai dari kelengkapan birokrasi, sarana prasarana, sampai pembangunan manusianya. asisten Kepala Daerah Bidang Ekonomi dan Pembangunan Kabupaten Nunukan Robby Nahak Serang mengatakan, citra daerah perbatasan selama

“Dalam kurun waktu yang berjalan, perlahan sudah menunjukkan tren yang cukup baik.”

ini masih lekat dengan kekurangan dan ketertinggalan. Robby Nahak Serang

Kabupaten Nunukan memiliki 232 desa dan 8 kelurahan. Sebagian besar statusnya masih desa tertinggal dan sangat tertinggal. Semula tidak ada desa mandiri di Nunukan. Namun pada 2020, tercatat 6

“Desa mandiri ini harapan semua. Untuk menyejahterakan masyarakat di Nunukan supaya bisa jadi desa mandiri,” kata desa sudah masuk kategori desa mandiri.

Junianto

Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa Kabupaten Nunukan, Junianto. Desa kategori maju yang pada 2016 hanya ada 2, kini sudah berkembang menjadi 32 pada 2020. Pada 2020 ini, desa kategori tertinggal saat ini tersisa 154 desa dan sangat tertinggal sebanyak 24 desa. Junianto mengatakan, pengembangan masing-masing desa disesuaikan dengan tipologinya. Pengembangan di wilayah pantai lebih mudah karena sudah tersedia listrik. Sementara di pedalaman, tidak ada listrik juga sinyal telekomunikasi. Sumber daya manusianya pun sebagian besar hanya lulusan SD. Camat Sei Menggaris arif Budiman mengatakan, pemenuhan kebutuhan dasar menjadi tantangan besar wilayah terluar Indonesia ini. Baru dua desa, Sri Nanti dan Tabur Lestari, yang sudah teraliri listrik. Itu pun hanya 12 jam. Dua desa lainnya sama sekali belum teraliri listrik. Kondisi yang kontras dengan negara tetangga yang tepat berada di sebelahnya, Malaysia. “Kalau di Malaysia sudah terang, di sini masih gelap. Sekarang sudah ada listrik masuk, tetapi ke depannya perlu ditingkatkan lagi,” kata arif. Ketiadaan listrik ini tentu berpengaruh pada aktivitas ekonomi warga. Pengembangan ekonomi tak bisa dilakukan cepat. Itu baru listrik, belum lagi soal telekomunikasi. Hanya Desa Tabur Lestari yang sudah terjangkau jaringan seluler. Padahal di masa pandemi, masyarakat membutuhkan internet. Terutama para pelajar yang harus melakoni pendidikan jarak jauh. “Janjinya akan ada BTS di sini. Mudah-mudahan akan dibangun juga di desa-desa lainnya,” tambah arif. anak-anak di Sei Menggaris tadinya hanya bersekolah sampai SMP. Mereka sulit melanjutkan sekolah karena SMa atau yang sederajat hanya ada di Pulau Nunukan. Baru akhir 2013 Sei Menggaris punya SMK negeri. Kehadiran SMK ini melengkapi tiga SD dan 7 SMP negeri yang ada di sana.

16


Perbatasan Triangulasi

17


Tari Suku Kenyah di Air Terjun Bangen Tawai

18


MENYIAPKAN PINTU EMAS Kehadiran SMK baru di Sei Menggaris terdengar juga oleh Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Institut Teknologi Bandung (LPPM ITB). Kabar itu didapat dari alumni ITB, Budi Hartono, yang kini berkarier di Medco Mining. Ia mengajak ITB untuk membantu masyarakat setempat membangun kehidupan yang lebih baik di perbatasan. Pada mulanya, tim LPPM ITB terjun ke Sei Menggaris untuk memberi siswa dan guru SMK di sana pelatihan pembuatan pakan ternak dan pupuk organik. Kegiatan ini bekerja sama dengan PT Duta Tambang Rekayasa – Medco Mining dan PT Sago Prima Pratama.

LPPM ITB melihat antusiasme masyarakat untuk membekali diri dengan ilmu pengetahuan dan keterampilan baru yang mereka butuhkan.

Prof. Dr. Ir. Budi Sulistianto, M.T. yang mengomandani tim LPPM ITB ke Sei Menggaris ketika itu melihat langsung kegigihan masyarakat setempat. Ia bertemu dengan tokoh-tokoh daerah setempat yang gigih memperjuangkan perubahan. “Kesulitan di pengabdian masyarakat itu, kita memang harus mendapatkan suatu local agent yang semangat. Itu kuncinya,” kata Prof. Budi Sulistianto. Program pengabdian masyarakat tak selamanya berhasil. Salah satu faktor kegagalan yang sering terjadi, kata Prof. Budi Sulistianto, masyarakat hanya fokus pada bagaimana menghasilkan uang sehingga proses pembelajaran tidak menjadi perhatian. Di Sei Menggaris, Prof. Budi Sulistianto melihat sebaliknya. Mereka melihat antusiasme masyarakat untuk membekali diri dengan ilmu pengetahuan dan keterampilan baru yang mereka butuhkan. Hal ini yang membuat LPPM ITB mantap menjadikan Sei Menggaris, Kabupaten Nunukan sebagai daerah pengabdian masyarakat. Keterlibatan ITB ini kemudian diikat dalam sebuah nota kesepahaman bersama yang ditandatangani Rektor ITB dan Bupati Nunukan serta Rektor ITB dan Gubernur Kaltara.

LPPM ITB kemudian merancang serangkaian program yang lebih luas. Tidak hanya membantu SMK, tetapi Sei Menggaris secara luas. ITB berupaya untuk mendampingi warga mencari jalan keluar atas berbagai persoalan yang dihadapi daerah itu seperti penyediaan air bersih, pemberdayaan sumber daya manusia, ekonomi, serta pengembangan pariwisata. ITB membawa pakar-pakar terbaik di bidangnya ke perbatasan. Itu sebabnya program kemitraan ITB dengan Sei Menggaris terus berkembang sejak 2015 hingga sekarang. Pemberdayaan di Sei Menggaris menerapkan konsep pentahelix yang melibatkan pemerintah, akademisi, bisnis, masyarakat, dan media. Konsep ini dipercaya menjadi kunci sukses pengembangan yang berkelanjutan. PT PT Duta Tambang Rekayasa (DTR) – Medco Mining menjadi penggerak penting dari sektor bisnis di Sei Menggaris. Manajer Eksternal Medco Mining, Budi Hartono menjelaskan, pemerintah telah mengamanatkan perusahaan minyak, mineral, dan batu bara agar memberdayakan masyarakat di sekitar tambang sehingga mereka bisa mandiri, sejahtera, dan berkelanjutan. akan tetapi, ia menyadari, kewenangan yang dimiliki oleh swasta amatlah terbatas. Oleh karena itu, ia menggandeng ITB yang mempunyai kemampuan lebih besar lewat program pengabdian masyarakat. Ditambah dengan dukungan pemerintah dan masyarakat setempat, program ini menjadi lebih mengena karena bisa mengembangkan sumber daya manusia dan kawasan sekaligus.

19


“Filosofinya sederhana, tambang itu pasti habis. Jadi kita memastikan bahwa program kami harus sustain jadi fokus utama di SDM. Kami ingin membangun generasi perbatasan yang baik,” tuturnya. SMK Negeri 1 Sei Menggaris yang terbangun berkat kegigihan masyarakat setempat dan dukungan swasta kemudian dijadikan sebagai “Pintu Emas” atau Pusat Inovasi dan Teknologi untuk Ekonomi Masyarakat Perbatasan. Di sana dibuat berbagai program yang tujuannya memberikan bekal kepada masyarakat sehingga bisa berdaya. Program untuk meningkatkan keterampilan perbengkelan, mesin industri, pertanian, perkebunan, dan lainnya yang bertujuan untuk memecahkan persoalan masyarakat, akan digodok dan dimatangkan di SMK itu. Kepala Sekolah SMK Negeri 1 Sei Menggaris Rusmini Hakim mengatakan, program Pintu Emas ini berupaya agar SMK tidak hanya berbuat untuk lingkungan sekolah sendiri, tetapi untuk masyarakat Sei Menggaris. Upaya itu dilakukan dengan membuat kelompok binaan di masyarakat. Melalui kelompok binaan ini, SMK terlibat dalam usaya pemberdayaan masyarakat, misalnya lewat program menanam sayur-mayur. Upaya lain dilakukan lewat kegiatan ekstrakurikuler, misalnya membersihkan lapangan kecamatan, embung, dan melatih siswa SD dan SMP utnuk menjaga lingkungan hidup. “Supaya masyarakat merasakan manfaat keberadaan SMK ini,” ujar Rusmini. Guru dan siswa SMK menjadi agen yang mentransfer ilmu juga keterampilan baru kepada masyarakat. “anak-anak ini juga belajar jadi guru, bahwa mentransfer ilmu adalah suatu seni dan sangat nikmat. Sekecil apa pun ilmu kita, kalau kita sudah mentransfer berarti kita pasti belajar, kita pasti menuntut ilmu yang lebih luas agar bisa kita ajarkan ke anak-anak,” tutur Rusmini. Semua program pemberdayaan itu diharapkan benar-benar menjadi pintu emas yang mengantarkan masyarakat Sei Menggaris mencapai kemajuan, kemandirian, dan kesejahteraan. arif bersyukur LPPM ITB bersedia ambil bagian memajukan Sei Menggaris. Ia yakin berbagai ilmu pengetahuan dan riset yang dilakukan ITB bisa membawa perubahan besar jika diterapkan di Sei Menggaris. Ia begitu optimistis karena setiap pelatihan dan kegiatan lain yang digelar ITB selalu membuahkan hasil baik bagi warga.

“Dengan adanya upaya dari Bandung ke Sei Menggaris sini, semoga ke depan ada perhatian lebih dari pemerintah daerah dan pusat untuk membenahi fasilitas dan sarana yang belum ada di sini,” tutur Arif. Arif Budiman

Roby mengatakan, kemitraan seperti pentahelix itu mampu membuat lompatan tinggi bagi daerah seperti Nunukan. Kemajuan itu tak bisa dilakukan jika hanya mengandalkan anggaran pemerintah. “Tidak ada pilihan lain untuk melakukan kemitraan. Salah satunya yang harus digandeng ialah dari lembaga pendidikan. ITB punya kajian, analisis, bahkan bisa me-manage,” tegas Roby. Ia berharap kolaborasi dengan ITB ini bisa membangun Nunukan dengan menggali potensinya yang bisa menjadi andalan dan menjadi fokus pengembangan. “Dua atau tiga tahun lalu diskusi dengan Medco dan ITB menjadikan Sei Menggaris sebagai kawasan wisata yang terus dikembangkan sehingga punya dampak ekonomi, punya daya tarik ke luar, punya martabat,” tutur Roby. Ia menekankan agar ITB juga bisa membantu pemerintah menyiapkan sumber daya manusia. “Masyarakat harus diedukasi. Menempatkan jetski di pantai itu gampang, tetapi yang penting manusianya dahulu,” kata Roby. Ketika sumber manusianya sudah mumpuni, mereka akan mampu membuka pintu emas dan membawa daerah perbatasan melesat.***

20


Blok 17

Perbatasan Triangulasi

Rumah Adat Suku Kenyah

21


SMK NEGERI 1

Sei Menggaris

DARI KOLONG RUMAH SAMPAI KE ITB

SMK PERTAMA DI SEI MENGGARIS Berdirinya SMK Negeri 1 Sei Menggaris menjadi bukti nyata bahwa tidak ada cita-cita yang mustahil jika diupayakan dengan sungguh-sungguh. Kecamatan Sei Menggaris semula tak punya sekolah setingkat SMa. Setelah menamatkan SMP, anak-anak Sei Menggaris yang ingin melanjutkan sekolah harus hijrah ke Pulau Nunukan. Kepala SMKN 1 Seimenggrais Rusmini Hakim masih ingat kejadian 2013. Ia ditemui oleh 14 siswa lulusan SMP Negeri 1 dan 2 Sei Menggaris. Mereka ingin ikut belajar Kejar Paket C karena tak mau melanjutkan ke sekolah formal di Pulau Nunukan. Mereka tak mempersoalkan keterbatasan yang ada di Kejar Paket C. Mereka hanya ingin bisa tetap belajar tanpa harus meninggalkan Sei Menggaris. “Sayang masih muda, umur 14 tahun kok ambil Paket C. Saya coba dudukkan di rumah,” kata Rusmini. Mereka tak mau sekolah di Nunukan karena itu berarti orang tua harus menyiapkan uang untuk transportasi dan membayar uang kos dan biaya hidup di Nunukan. Sementara mereka tak bisa lagi membantu orang tua di kebun. Selain itu, para remaja itu belum siap menghadapi pergaulan di kota. Rusmini tak bisa mengabaikan kondisi ini. Inilah yang menjadi momentum untuk memulai upaya pendirian sekolah menengah atas di Sei Menggaris. Pertama kali ia sampaikan niat ini ke Unit Pelaksana Teknis (UPT) Dinas Pendidikan Kecamatan Sei Menggaris, 22

tetapi persoalan ini merupakan kewenangan Dinas Pendidikan Kabupaten Nunukan. Ia bertemu dengan sejumlah pejabat di instansi itu. Namun, semuanya mengalami jalan buntu. Pemerintah berpegang pada ketentuan yang mensyaratkan lokasi, guru, biaya operasional, dan setidaknya terdapat 40 siswa per kelas untuk mendirikan sekolah baru. Tak ada satu syarat pun yang terpenuhi. “Waktu saya mau pulang, turun dari ruangannya Pak Kadis, Pak Sekretaris Dinas ternyata ada di lobi kantor. Sebelum saya ke Pak Kadis saya coba komunikasi ke Pak Sekretaris, cuma Pak Sekretaris sampaikan ini wewenang Kadis. Begitu Pak Sekretaris lihat, saya dipanggil masuk ruangan,” tutur Rusmini. Sekretaris Dinas Pendidikan menyarankan agar Rusmini berkomunikasi dengan SMK Negeri 1 Nunukan. apakah memungkinkan dilakukan kelas jauh. anak-anak itu akan tercatat sebagai siswa SMKN 1 Nunukan, tetapi mereka belajar di Sei Menggaris. Rusmini bisa menempuh jalan ini tanpa perlu restu dari Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Nunukan. Seperti secercah harapan, Rusmini tak mau membuang waktu. Ia segera bergegas menyampaikan gagasan ini kepada Kepala Sekolah SMKN 1 Nunukan yang sudah ia kenal saat mengajar di sana. Ternyata usulan ini bisa diterima. Namun, sekolah tidak akan mengirim guru ke Sei Menggaris. “Tidak apa-apa, yang penting anak-anak ini terdaftar sebagai siswa SMK Nunukan,” jawab Rusmini ketika itu.


SMKN 1 Sei Menggaris

23


Ilustrasi kegiatan pembelajaran di kolong rumah, membangun sekolah bersama sepulang sekolah hingga akhirnya gedung pertama selesai dan dapat digunakan oleh Pelajar SMKN 1 Sei Menggaris

24


Kembali ke Sei Menggaris, ia bergegas mengumpulkan 14 anak yang siap belajar. Tak hanya siswa, para orang tua pun berlega hati dengan kabar baik ini. Terhitung sejak Juni 2013, kelas filial pertama SMK Negeri 1 Nunukan dimulai di Sei Menggaris. Mereka melaksanakan kegiatan belajar mengajar di kolong rumah panggung Rusmini. Tempat itu biasa digunakan untuk pengajian ibu-ibu. Bangku mengaji dipakai untuk belajar. Rusmini menghubungi temantemannya di perusahaan kayu tempat ia bekerja sebelum menjadi PNS. Ia mengajak mereka menjadi guru sukarelawan sebab tak mungkin Rusmini sendirian. apalagi ia masih terdaftar sebagai guru SMP 2 Sei Menggaris. “alhamdullillah, sukarelawan pertama saya itu ada namanya Pak Mansur. Beliau itu chief mechanic di perusahaan yang sama dengan saya. Gajinya (di sana) luar biasa. Mendengar saya membutuhkan sukarelawan, akhirnya ia langsung tinggalkan perusahaan,” kata Rusmini. akhirnya, ia berhasil mengumpulkan empat sukarelawan untuk mengajar di sekolah filial SMK Negeri 1 Nunukan. Kegiatan belajar pun dimulai.

Jangan pernah takut pada apa pun karena sejatinya hidup ini ada tujuannya. Setelah berjalan beberapa bulan, Camat Sei Menggaris kala itu datang langsung melihat kondisi sekolah. Sebelumnya, Camat telah memberikan dukungan penuh pada langkah Rusmini ini. Ia meminta agar langkah yang sudah dimulai ini tidak terhenti di tengah jalan. Hari itu, ia datang bersama seseorang menggunakan mobil putih, mobil yang identik dengan perusahaan tambang. Merasa tak punya kenalan orang tambang, Rusmini tak memberikan sambutan khusus pada ‘teman Pak Camat’. Terlebih ketika itu ia sedang mengajar. Selang seminggu, Pak Camat datang lagi bersama orang yang sama. Baru saat itu Rusmini berkenalan

dengan Budi Hartono yang menjabat sebagai Humas PT Duta Tambang Rekayasa (DTR) bagian dari Medco Mining. “Jadi anak-anak ini duduk bersila?” tanya Budi kepada Rusmini. Budi kemudian menanyakan berbagai hal terkait aktivitas belajar di sana. Saat itu sudah ada 28 siswa. Mereka mengambil jurusan pertanian, sesuai dengan jurusan di sekolah induknya. Satu bulan setelah pertemuan itu, mobil tambang kembali datang. “Bu, ada mobil tambang, kayanya ada barang di belakang mobilnya pake kotak,” lapor siswa kepada Rusmini. Rusmini sama sekali tak menduga mobil itu datang khusus ke sekolah itu. “ya allah luar biasa! Kami ternyata dibawakan kursi Chitose kuliahan,” ujar Rusmini. Murid-murid bahagia bukan kepalang. Mereka tak perlu lagi menahan sakit pinggang karena duduk bersila selama belajar. Rusmini tak kuasa menahan haru, ia keluar ruangan dan menengadahkan kepalanya ke langit. “ya allah, kenapa terlalu cepat saya dibantu? Kasih saya kesempatan untuk berbuat dulu, jangan dulu dibantu,” ucapnya ketika itu. Setelah bangku, perusahaan tambang itu memberi bantuan berupa bantuan honorarium untuk para pengajar di sana. Sebuah berkah yang tak pernah disangka-sangka. Karena keberadaan sekolah ini tak diketahui oleh pemerintah, tak ada secuil pun bantuan pemerintah yang sampai. Para pengajar hanya diberi imbalan Rp 200 ribu setiap bulan yang berasal dari hasil kebun milik Rusmini. Uang itu hanya cukup untuk mengganti uang bensin. Bantuan demi bantuan yang terus diterima membuat Rusmini semakin yakin untuk merawat dan membesarkan sekolah ini. “Jangan pernah takut pada apa pun karena sejatinya hidup ini ada tujuannya. Tetapi, kita harus langkahi aliran itu sesuai dengan proporsinya dan jangan pernah tidak berani melangkah. Kalau kalian tidak berani melangkah, tidak akan tahu di depan itu ada apa,” tutur Rusmini. Tidak ada usaha yang mengkhianati hasil. Pada penghujung 2013, Wakil Bupati Nunukan asmah Gani berkunjung ke Sei Menggaris. Ia dan rombongan singgah di rumah Rusmini untuk makan siang. Karena jauh dari pasar dan rumah makan, jamuan makan siang digelar di rumah Rusmini yang juga dipasrahi untuk memasak hidangannya.

25


untuk membangun sekolahnya. Sementara siswa putra melanjutkan pekerjaan pembangunan, siswa putri memasak untuk mereka.

SMK ini tak hanya menjadi tempat menimba ilmu, melainkan juga menjadi poros pergerakan di Sei Menggaris. Di sana, asmah melihat pelajar berbaju putih abuabu. Ia yang selama ini hanya tahu sekolah di Sei Menggaris hanya sampai SMP akhirnya mendengar cerita lengkap tentang sekolah filial ini. “Dalam ranah pendidikan tidak ada layak dan tidak layak. yang jelas ada kemauan, ada sasaran. Buka (sekolah),” kata asmah ketika itu. Ia pun berjanji untuk membereskan izin operasional yang menjadi hambatan sekolah ini tak bisa berdiri sendiri. Setelah kunjungan itu, giliran Bupati Nunukan yang sedang kunjungan kerja ke Sei Menggaris melihat langsung apa yang dilihat oleh wakilnya. Ia pun langsung meminta Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Nunukan membantu sekolah ini. Tak sampai sebulan, izin operasional SMK Negeri 1 Sei Menggaris pun terbit. Rusmini kemudian menjadi Kepala Sekolah SMK Negeri 1 Sei Menggaris. Lewat program Sarjana Mendidik di Daerah Terluar, Terdepan, dan Tertinggal (SM3T), SMK ini akhirnya mendapat empat guru muda dari Universitas Negeri Malang. Pemerintah kemudian memberi sebidang tanah di Desa Tabur Lestari untuk dibangun gedung sekolahnya. Memasuki tahun kedua, SMK Negeri 1 Sei Menggaris menambah jurusan otomotif sebagai peminatan. Jurusan ini ditujukan agar anak-anak bisa mengoperasikan mesin-mesin yang digunakan di industri yang ada di wilayah mereka. Irfandy, salah seorang siswa angkatan pertama, masih ingat bagaimana ia dan teman-temannya turut membangun sekolah ini. Selepas pulang sekolah, ia melepas seragamnya dan mulai mengaduk semen 26

Gedung baru itu mulai dibangun setelah sekolah ini mempunyai dua angkatan murid. Pada lahan sekolah, banyak terdapat pasir yang jadi incaran orang-orang. Sering truk datang untuk mengeruk pasir di sana. Murid-murid tak tinggal diam. Mereka pasang kayu balok besar untuk menghalau truk. Setiap malam murid bergantian berjaga agar tidak ada pencuri pasir. Irfandy sempat tak mau bergabung dengan SMK ini. Untung saja ia tak menuruti kehendak hatinya saat itu. Irfandy sebenarnya telah bersekolah di sebuah SMK di Nunukan, tetapi baru beberapa bulan tidak betah. Namun, baru beberapa bulan, ia tidak betah. Ia pun kembali ke Sei Menggaris. atas bujukan guru SMP dan orang tuanya, ia bergabung ke SMK Sei Menggaris. Namun, ia merasa ganjil dengan sekolah itu. Siswanya tidak berseragam, tidak bersepatu, bahkan belajar di lantai. Tidak ada meja dan kursi seperti di sekolah. “Bukan sekolah itu namanya,” ujar Irfandy yang sedang menunggu diwisuda sebagai Sarjana Ekonomi Pembangunan.

Irfandy

Pendidikan tak hanya soal yang terlihat di luar. Tak mengapa jika belum berseragam atau bersepatu, sepanjang ada kemauan sekolah, belajar bisa tetap dilakukan.

Kerja keras dan kegigihan selama menempuh pendidikan itu terbayar sudah. Teman-temannya kini banyak yang merampungkan pendidikan sampai perguruan tinggi. Bahkan, ada yang berpredikat sebagai lulusan terbaik di kampus negeri. Beberapa temannya bahkan mencicipi pendidikan di Cina. SMK ini tak hanya menjadi tempat menimba ilmu. SMK tersebut menjadi poros pergerakan di Sei Menggaris. Berbagai gerakan lahir dari sana, mulai dari Karang Taruna, PKK, hingga perhimpunan masyarakat memberantas buta aksara juga dirintis dari sana.


Membangun sekolah

Kegiatan sekolah di kolong rumah

Kondisi awal pembangunan

Kondisi awal pembangunan

Pengadaan fasilitas sekolah

Gedung pertama selesai dibangun

27


Kegiatan yang dilakukan bersama ITB dititkberatkan pada memberikan bekal ilmu pengetahuan dan keterampilan kepada masyarakat.

TETRAPOD UNTUK KEBERLANJUTAN PROF. BUDI SULISTIANTO

MEMBANGUN SINERGI Rusmini merasa berkah yang diterima sekolah pimpinannya tak berkesudahan. Pada 2015, ia kembali mendapat kabar baik dari Budi Hartono. Tim LPPM ITB akan terjun langsung ke Sei Menggaris. Para profesor dan ahli akan ke SMK untuk menularkan ilmunya. Rusmini tak ingin kedatangan perguruan tinggi bereputasi internasional itu hanya menjadi berkah bagi sekolah. Ia ingin masyarakat Sei Menggaris juga merasakan manfaatnya. Rusmini dan pemangku kebijakan setempat membuat rancangan yang bisa menjadi panduan tim ITB menentukan program kegiatan yang sesuai dengan kebutuhan Sei Menggaris. Kehadiran rombongan ITB disambut sukacita oleh masyarakat dan pemerintah. Semua menaruh harap, kehadiran ITB bisa membantu memajukan Sei Menggaris. Kegiatan yang dilakukan bersama ITB dititikberatkan pada memberikan bekal ilmu pengatahuan dan keterampilan kepada masyarakat, bukan lewat pendekatan bangunan fisik. Keterlibatan para profesor dari ITB diharapkan bisa memotivasi siswa dan warga untuk memperbaiki wilayahnya. Sebagai kegiatan pertama kolaborasi antara ITB dan SMK Negeri 1 Sei Menggaris dipilihlah pelatihan pembuatan pakan ternak dan pupuk organik. Kegiatan ini dipilih karena diharapkan bisa menjadi solusi persoalan kala itu. Saat itu, warga sering mengeluh karena pucuk kelapa sawit yang baru tumbuh dimakan oleh sapi. akhirnya dibuat pelatihan pembuatan pupuk organik oleh tim dari Sekolah Ilmu Teknologi Hayati (SITH) ITB yang dipimpin oleh Prof. Dr. I Nyoman Pugeg aryantha. Pakan ternak dan pupuk organik ini memanfaatkan sumber daya alam setempat dengan menggunakan teknologi fermentasi. Pakan ternak yang dibuat bisa dimanfaatkan warga sehingga hewannya bisa mendapatkan nutrisi yang baik tanpa harus 28

Prof. Budi Sulistianto merupakan salah seorang sosok penting di balik sepak terjang LPPM ITB turun ke berbagai desa di tanah air. Pengabdian ITB tidak hanya di daerah sekitar kampus, tetapi meluas hingga garis perbatasan negeri. LPPM ITB menggandeng para ahli terbaik di bidangnya yang dimiliki ITB untuk turun langsung ke masyarakat. Mereka menjadi pendorong penting dalam memajukan masyarakat. Berikut penuturan Prof. Budi Sulistianto menceritakan pengalamannya turun ke berbagai daerah, khususnya di daerah perbatasan. Bagaimana pengalaman terlibat dalam pengabdian masyarakat? Saya pertama kali diberi tugas di LPPM pada 2012. Dengan melanjutkan beberapa hasil rapat pada tahun-tahun sebelumnya, yang kebetulan saya ditempatkan dalam Komisi Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (PPM), Subkomisi Pengabdian Masyarakat. ada beberapa agenda bagaimana meningkatkan partisipasi Institut Teknologi Bandung (ITB) di bidang pengabdian masyarakat. Khusus untuk program pengabdian masyarakat murni, kami datang ke suatu tempat lalu memberi pelatihan. Itu berjalan sampai 2014. Secara pribadi saya ditempatkan di Perhimpunan ahli Pertambangan Indonesia sebagai Pelaksana Tugas Ketua Umum.


Di dalam organisasi itu, ada working group yang cukup aktif. Pada saat diskusi seperti itu, salah satu anggota, yaitu Pak Budi Hartono dari Medco Mining mengajak dan berkata, “Pak, bagaimana kalau ke perbatasan?” Kata Budi Hartono, di sana ada masalah yang sangat krusial. Tenaga kerja yang tertolak ke Malaysia selain malu pulang, akhirnya berdiam di sekitar Nunukan. Hal tersebut menjadi problem sendiri karena untuk melaksanakan proses sosial dan kebudayaan seperti itu cukup rumit. yang kedua, perbatasan ini rawan hilir mudik perdagangan narkoba. Nah, asal ada support-nya, ya oke kita coba masuk. akhirnya, program ini berjalan. Kesulitan dalam program pengabdian masyarakat itu, kami harus mendapatkan local agent yang bersemangat. Itu kuncinya. Perjalanan kami banyak gagalnya juga, tidak semua sukses. Kalau local agent-nya

sudah berpikir nanti kalau membuat ini bisa dipasarkan ke mana, saya langsung menutup diri. Hal tersebut sudah menutup prospek untuk berkembang dan maju berjalan lebih jauh Namun, kalau local agent bertanya, “Pak, kalau saya ingin begini bagaimana?” Itu artinya ada semangat. Tenaga kami juga tidak banyak sehingga kalau ada local agent yang punya semangat seperti ini, kita masuk. Harapannya, local agent-lah yang mengembangkannya. Karena diceritakan ada pendirian SMK yang potensial, akhirnya dengan dukungan teman-teman Medco Mining pada 2015, kami berdiskusi. Hasilnya, disarankan bagaimana kalau kami melakukan program secara maraton di perbatasan. Kemudian, menjadikan SMK yang sudah memiliki fasilitas yang cukup maju ini sebagai pusat pelatihan yang kita sebut Pintu Emas

Perbatasan. Pintu ini singkatan dari Pusat Inovasi dan Teknologi. Sementara Emas adalah Ekonomi Masyarakat Perbatasan. Jadi, semuanya digodok di SMK tersebut, apakah itu pembibitan atau perbengkelan. Begitu ada industri di sekitar sini, seperti tambang ataupun perkebunan, yang membutuhkan, kita tinggal masuk. Setelah itu, mereka tergugah untuk melakukan semacam nota kesepahaman (MoU) dengan ITB. akhirnya, bupati dengan perwakilan pemda berangkat ke Bandung untuk menandatangani MoU pada Mei 2018. Proses ini menggugah teman-teman di Provinsi Kalimantan Utara yang juga membangun nota kesepahaman dengan Rektor ITB pada agustus 2018. Ini selanjutnya sebagai acuan pendampingan pembuatan RTRW dan Riparda kalau memang mau mengembangkan pariwisata dan merangkul turis dari negara tetangga. Harusnya tahun 2020 ini ada pembuatan cetak biru transportasi Kaltara, tetapi apakah berjalan atau tidak karena memang program kami tahun ini juga tersendat. Tetapi, insya Allah kami masih terus berkomunikasi. Bagaimana proses menemukan masalah dan solusi dalam pengabdian masyarakat ini? Begitu kami berminat datang (ke suatu lokasi), kami tanya terlebih dahulu program yang diinginkan, karena kami tidak pernah menjanjikan bisa begini atau bisa begitu dalam program pengabdian masyarakat ini. Setelah kebutuhannya disampaikan, lalu kami siapkan. Kalau misalnya berhubungan dengan pengolahan makanan, atau terkait dengan biopori, kami akan carikan staf pengajar di ITB yang bisa. Lalu, kami rundingkan bersama staff tersebut bagaimana metode dan strateginya, lalu kami ajak jalan menuju lahan yang dimaksud. 29


Tantangan apa yang Bapak lihat di depan dan harapan di masa mendatang apa, Pak? Ketika berdiskusi dengan Wakil Rektor Bidang Perencanaan dan Keuangan terkait pendanaan PM, kami sangat berharap adanya pendanaan yang sustain. Jadi, siapa pun nanti yang menggantikan tinggal meneruskan. Syukur-syukur yang menggantikan ada rancangan sendiri dengan keahliannya, tinggal menyambungkan sehingga menjadi program yang never ending. Untuk itu butuh dukungan dari Rektor dan Wakil Rektor untuk kebijakan ini. Seperti yang dilakukan sekarang ini, kami merekam semua kegiatan, itu juga terkait dengan program yang sustain tadi. Biasanya kami hanya membuat foto-foto lapangan, menulis laporan, selesai. akibatnya kami mengerti, tetapi orang lain tidak. Pencatatan perekaman seperti ini sangat membantu proses dan keberlanjutan program ini. Melacaknya dan/atau melanjutkannya jadi relatif gampang. Selain itu soal stakeholders. Bisa dengan pemerintah setempat camat, lurah. yang tidak kalah penting adalah industri yang beberapa ahli menyebutnya kerja sama pentahelix. Namun saya menyebutnya dengan tetrapod, seperti penahan ombak di laut, yang kakinya empat.yang kami garap ini di tengahnya karena punya kaki empat kalaupun menggelundung ke sana masih berjalan, menggelundung ke sini juga masih berdiri. Siapa yang tiga di bawah itu? agen yang harus mendukung

30

program ini. Minimal, kalau yang atas jadi benderanya (penyemangat) saja, tetapi kalau suatu saat nanti ketendang ombak dan menggelundung, maka gantian ketiga agen yang di bawah mendukung proses ini dan yang atas membawa benderanya. Hubungan stakeholders harus dijaga. Itu juga bukan hal yang mudah. Bagaimana Bapak memandang urgensi pengabdian masyarakat ini di perguruan tinggi? Saat ini mau tidak mau kita harus menghadapi pemeringkatan internasional. Kalau di nasional, pemeringkatan universitas berdasarkan pengabdian masyarakat itu sudah diberitahukan. ITB termasuk yang dipandang dalam program asia Engage (programnya Chulalongkorn University Universitas Kebangsaan Malaysia) di situ ada NUS Singapura, dan lainnya. Walaupun dibungkus dengan community service, di dalamnya bisa penelitian. Misalnya di NUS Singapura setelah ada dana, kondisi desa akan dievaluasi dulu sebelumnya. Lalu perguruan tinggi memberi pendapat, apa keilmuan yang akan diterapkan. Begitu dilaksanakan satu program bersama-sama, nanti dievaluasi efeknya. Hasil evaluasinya juga bisa dipublikasikan di jurnal. Dengan begitu, nanti bisa menaikkan pangkat dosennya ke profesor, meluluskan doktor dan seterusnya sehingga jadi terintegrasi. Kalau goal-nya ke pemeringkatan ya monggo, tetapi integrasi pendidikan, penelitian, pengabdian masyarakat itu sangat bagus kalau bisa dijalani dengan jargon ITB yaitu locally relevant, globally respected.

Kegiatan pelatihan

Gedung SMK sudah berdiri, tetapi saat ke toilet, tidak ada air yang bisa digunakan


MENGHIDUPKAN SUMBER AIR Pendampingan LPPM ITB di SMK Negeri 1 Sei Menggaris tak hanya soal peningkatan kapasitas, tetapi juga merespons persoalan yang dihadapi sekolah. Pada 2017, Prof. Budi Sulistianto kembali ke Sei Menggaris untuk menggelar pelatihan, gedung SMK sudah berdiri. Tetapi, saat ke toilet, tidak ada air yang bisa digunakan. “Diceritakan bahwa air dari talang. Wah kita kaget,” katanya. Padahal, Sei Menggaris didapuk sebagai tuan rumah Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ) Kabupaten Nunukan pada 2018. Soal ketersediaan air ini memang menjadi momok bagi Sei Menggaris. Seharusnya MTQ di sana digelar pada 2017, namun gagal lantaran kesulitan air bersih. Rupanya di dekat lokasi SMK berada ada mata air yang sudah mati. Tim LPPM ITB mendatangi lokasi untuk melihat langsung kondisi mata air di sana. Di belakang SMK terdapat lereng dan terlihat lembap. “Nah betul, akhirnya tim dibantu bapak ibu guru mencoba mengais beberapa tanah dan alhamdulillah ada sedikit aliran air kecil,” kata Rusmini. merusak perkebunan. Sementara bagi masyarakat yang mengelola kebun bisa memanfaatkan pupuk organiknya. Dengan pengetahuan dan keterampilan baru ini, warga bisa menghemat biaya dan meningkatkan kualitas ternak dan kebunnya. Prof. Budi Sulistianto mengatakan, salah satu kunci penting keberhasilan kegiatan pengabdian masyarakat ialah lebih pada kemauan untuk mendapatkan ilmuilmu baru yang bermanfaat dan berdampak pada masyarakat sekitar. “Tolong saya dilatih membuat tas, tolong latih jahit, tolong kami ingin beternak, ingin biogas, dan lainnya. Nah kalau seperti itu cepat sekali (berkembangnya). Kami semangat mengajarnya,” kata Prof. Budi Sulistianto. antusiasme seperti ini yang akan menambal keterbatasan sumber daya manusia yang dibawa oleh LPPM ITB ke lokasi. Local agent nanti yang banyak berperan mentransfer dan mengembangkan ilmu di wilayahnya.

Tempat tersebut digali lebih lebar dan diberi pembatas dari drum. air ini yang kemudian juga digunakan oleh warga setempat. Penggalian dilakukan lagi di lokasi yang lebih tinggi dari aliran air itu. Ternyata ditemukan lagi aliran air yang lebih besar. Sebelum air digunakan, terlebih dahulu dilakukan pengujian untuk memastikan kandungan air aman untuk digunakan. Selanjutnya bersama Prof. Ir. Muhammad Syahril Badri Kusuma, Ph.D. mengambil sampel air dari lokasi itu. Ternyata kandungan Fe atau zat besinya tergolong tinggi. Solusinya dengan melakukan aerasi, yaitu proses menambahkan udara atau oksigen ke dalam air. Setelah itu air bisa dipompa lalu bisa dimanfaatkan. Dengan sumber air itu, kini SMK tak lagi kesulitan air. air dipompa untuk mengisi seluruh toilet di sekolah. Tak ada lagi toilet yang kering tak ada air. Bahkan kini warga setempat juga bisa menikmati air bersih dari sumber air itu.* 31


Mencicipi belajar di salah satu perguruan tinggi terbaik yang dimiliki Indonesia bersama para ahli adalah kesempatan emas. PROGRAM MAGANG DI ITB Perekonomian Kabupaten Nunukan ditopang oleh sektor pertanian dan perkebunan, di antaranya kelapa dan kedelai. Hasil alam itu berpotensi untuk dikembangkan menjadi produk-produk olahan yang mempunyai nilai ekonomi lebih tinggi. Misalnya pengolahan air kelapa menjadi nata de coco melalui proses fermentasi. Sementara kedelai bisa diolah menjadi tempe melalui fermentasi menggunakan ragi. Pengembangan lain juga bisa dilakukan lewat budi daya jamur. Mikroba juga bisa dimanfaatkan untuk membuat pupuk organik yang dibutuhkan masyarakat. “Proses fermentasi memerlukan keahlian laboratorium mikrobiologi dasar,” kata Prof. Budi Sulistianto. Oleh karena itu, LPPM ITB membuat program magang bagi guru dan siswa SMK Negeri 1 Sei Menggaris. Pada November 2017, selama satu bulan guru dan siswa terpilih akan belajar langsung di Laboratorium Mikrobiologi, Pusat Penelitian Biosains dan Bioteknologi ITB. Selama di Bandung, mereka dilatih dan dibina langsung oleh para pengajar dan asisten ITB (Sri Utami, Muhandini azahra, azizah Nur Fitriani, dan Wuddan Nadhirah). Harapannya, mereka bisa membimbing dan menularkan pengetahuan ini kepada siswa dan warga setempat. “Pelatihan dan pembinaan yang didapat bisa dipraktikkan secara kontinu. Untuk jangka panjang, diharapkan para siswa dapat membentu masyarakat memenuhi kebutuhan pangan warga Kabupaten Nunukan dan meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat melalui sebuah sentra usaha yang

32

mandiri,” tutur Prof. Budi Sulistianto yang bertindak sebagai Ketua Pelaksana program magang ini. Syaiful, salah seorang guru yang berkesempatan belajar di ITB. Mencicipi belajar di salah satu perguruan tinggi terbaik yang dimiliki Indonesia bersama para ahli adalah kesempatan emas. Ia dan para peserta magang berkesempatan belajar tentang mikrobiologi dasar, pembuatan makanan fermentasi, pengujian kualitas air, budi daya jamur, membuat anyaman, membuat pupuk organik. Ia belajar budi daya jamur merang dan jamur tiram, membuat tempe, juga tape. Produk-produk itu, kata Syaiful, merupakan produk yang sudah merakyat. Tetapi, masyarakat hanya sebagai konsumen, belum tahu cara membuatnya.Oleh karena itu, ilmu yang sudah ia dapatkan di Bandung ditularkan kembali kepada siswa di Sei Menggaris. Siswa juga warga setempat tidak hanya menjadi konsumen, tetapi juga bisa memproduksi dan memasarkannya. Dengan demikian, pengetahuan ini mempunyai daya ungkit terhadap perekonomian warga. Kepala Bidang Pendidikan SMK Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Kalimantan Utara amat mengatakan, keberadaan SMK Negeri 1 Sei Menggaris sangat strategis untuk menyiapkan anak-anak di perbatasan. Mereka bisa menjadi sumber daya manusia yang memiliki kompetensi dan keahlian, baik sebagai tenaga kerja untuk industri maupun sebagai penggerak berbagai aktivitas ekonomi di sana.


Pelatihan Sumur Biopori

amat tidak ingin SMK ini hanya fokus pada satu bidang. Itu sebabnya sejak lima tahun lalu telah dibentuk juruan analis kimia. Konsekuensinya, pemerintah pun menambah fasilitas SMK ini, baik laboratorium maupun ruang belajar.

“Kami ingin nanti keunggulan-

Amat Sahar, M.Pd.

keunggulan teknologi kultur jaringan tidak hanya dikembangkan di kota, tetapi juga dikembangkan di daerah pedalaman perbatasan.”

Ia memahami, sebagai daerah perbatasan yang jauh dari pusat kota, masih banyak pekerjaan rumah untuk mengatasi ketertinggalan. akan tetapi, dengan bantuan industri juga akademisi seperti yang dilakukan Medco Mining dan ITB di Sei Menggaris,

pendidikan di Sei Menggaris, juga Kalimantan Utara pada umumnya, bisa setara dengan pendidikan di kota besar. Bagi Rusmini, kemajuan Sei Menggaris tak cukup hanya dilihat dari pertumbuhan ekonominya. Menyiapkan sumber daya manusia yang mumpuni menjadi kerja besar yang tak boleh dilupakan. “Saya yakin mereka akan menjadi pemegang modal untuk mengembangkan Sei Menggaris. Saya selalu yakinkan anak-anak jangan harap orang luar memajukan kampung kalian kalau bukan kalian yang berpikir,” kata Rusmini. Melihat kegigihan, kerja keras, dan keberanian anak muda Sei Menggaris, Rusmini yakin mereka akan menjadi orang berhasil. Dari tangan merekalah kemajuan Sei Menggaris akan terwujud.***

33


MEREKA KOK LEBIH MENGENAL

‘Negaraku’

RUSMINI HAKIM

Hati Rusmini Hakim telah tertambat di Sei Menggaris. Bertahun-tahun mengabdikan diri untuk pendidikan Sei Menggaris membuat Rusmini tak ingin meninggalkan daerah perbatasan itu. Sei Menggaris telah menjadi jati dirinya. Rusmini menjejakkan kakinya di Sei Menggaris pada 3 Juni 2003. “Saya ingat dengan menaiki perahu kayu dari Nunukan ke Sei Menggaris dengan jarak tempuh 6 jam. Sepanjang perjalanan dari Nunukan ke Sei Menggaris saya tidak menemukan satu pun perkampungan. Saya hanya menemukan anak sungai, hutan bakau, dan sungai luas. Waktu saya memasuki Sei Menggaris, semua hutan belantara, belum ada perkebunan. Saya seperti menemukan jiwa saya. Wah ini yang saya cari selama ini,” kata perempuan kelahiran Sidrap, 17 Juli 1976 ini. Semula Sei Menggaris hanya ditinggali pekerja perusahaan kayu. Rusmini bekerja untuk PT Nunukan Jaya Lestari (NJL) yang bergerak di bidang pengolahan kayu kemudian banting setir ke perkebunan kelapa sawit.

34

Wilayah itu kemudian menjadi lokasi transmigrasi. Mereka berasal dari Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Lombok Timur. Sebagian lagi merupakan mantan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang dipulangkan dari Malaysia, juga warga Nunukan yang tidak punya rumah Belum ada sekolah di Sei Menggaris kala itu. Sementara lambat laun semakin banyak pekerja yang memboyong keluarganya, termasuk anak-anaknya. Bagi yang punya uang, mereka mengirim anakanaknya sekolah ke Nunukan. Tinggal di rumah kos di sana. Bagi yang tidak mampu, mereka terpaksa membiarkan anak-anaknya tidak sekolah. Rusmini kemudian berinisiatif mengumpulkan anak-anak pada sore hari di teras masjid. Ketika itu ia belum berkeluarga, ia ingin memanfaatkan waktu luangnya untuk mengajari anakanak di sana. Tak disangka-sangka, ternyata hampir seratus anak yang datang ke masjid.

Meskipun tak punya latar belakang sebagai pendidik, ia tergugah melihat anak-anak ini. Sebagian besar adalah anak-anak mantan TKI ilegal yang dipulangkan ke Indonesia. Ia tahu anakanak itu adalah anak Indonesia, tetapi mereka berbicara dengan aksen Malaysia. Rusmini dipanggil Mak Cik. Mereka tidak menyebut abjad a, B, C, D, E, seperti umumnya anak Indonesia. anak-anak itu menyebutnya dengan ei, bi, ci, di, dst. Dalam berhitung pun demikian. Mereka menyebut tambah (+) dengan campur dan kurang (-) dengan tolak. anak-anak itu terbiasa dengan dialek Sabah yang mereka dengar seharihari. Tak hanya bahasa, pengetahuan kebangsaan pun lebih dekat dengan Malaysia. Mereka lebih mengenal “Negaraku” sebagai lagu kebangsaan ketimbang “Indonesia Raya”.


Kami yakin bahwa pendidikan bukan modal dari luar, melainkan dari dalam sendiri.” tua, tetapi tidak memiliki ijazah. Selain kemampuan, ijazah masih menjadi syarat bagi perusahaan untuk mencari pekerja. Tidak berhenti di situ, Rusmini kemudian mendirikan Pendidikan anak Usia Dini (PaUD) pada 2010. aktivitas Rusmini membangun dunia pendidikan di Sei Menggaris kian padat. Pada 2010, ia memutuskan untuk mengundurkan diri dari perusahaan. Rusmini lalu mencoba peruntungan sebagai PNS Kabupaten Nunukan. Nasib baik berpihak kepada Rusmini dan suaminya. Mereka berdua diterima sebagai guru PNS. Setelah mencicipi beberapa bulan sebagai guru di kota, permintaannya kembali ke Sei Menggaris dikabulkan.

“Saya tidak menyalahkan mereka karena kondisi hidup mereka memang lahir di Malaysia. Sampai Malaysia agak ketat dengan pemeriksaan surat administrasi keluarga, mereka harus tinggalkan Malaysia,” kata alumni Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin itu. Ia justru bertekad untuk mendampingi anak-anak ini. Baru pada 2006-2007, PT NJL mendirikan sekolah formal pertama di sana, yaitu SD dan SMP satu atap. Sistem penyaringan siswa dibuat sangat sederhana. anak-anak yang usianya lebih tua dan bisa membaca dimasukkan ke kelas IV. anak yang memiliki kemampuan yang kurang dari itu dimasukkan ke kelas III, II, atau I. Rusmini kemudian membuka program belajar Kejar Paket a, B, dan C yang ditujukan bagi para pekerja yang sudah

Kembali ke Sei Menggaris, Rusmini seperti mendapat energi baru untuk mengabdi. Ia kemudian mengupayakan berdirinya SMK di sana. Kepala Desa Srinanti Abdul Hafid mengatakan, tanpa kegigihan dan ketangguhan Rusmini, barangkali SMK Negeri 1 Sei Menggaris tak akan terbentuk. Ketika itu, Hafid termasuk orangtua yang gelisah. anaknya sudah hampir lulus SMP, tetapi belum ada sekolah setara SMa yang ada di wilayahnya. Sementara, untuk mengirim anaknya ke Nunukan perlu dana yang tidak sedikit. “Harus ada SMa di Sei Menggaris. anak-anak kasihan juga. Kalau saya ke Nunukan, anak saya yang sekarang jadi polisi itu, masih di kapal sudah pegang perut, lapar. Kalau ada SMa, anak-anak enggak kececeran lagi. Bisa makan di

rumah, membantu orang tua bekerja,” tutur Rusmini. Hafid turut membantu Rusmini bertemu dengan sejumlah pejabat, mulai camat hingga bupati untuk membahas soal sekolah ini. akhirnya usaha itu terbayar. Pemerintah menerbitkan izin operasional SMK Negeri 1 Sei Menggaris. Pemerintah kemudian memberikan lahan seluas 5 hektare di Desa Tabur. Setelah hampir dua tahun belajar di kolong rumah, siswa dan guru-guru kini sudah bisa menikmati gedung yang layak. Meskipun awalnya merupakan sekolah filial yang belajar di kolong rumah Rusmini, SMK itu kini berkembang dan menjadi SMK mandiri, SMK Negeri 1 Sei Menggaris. Kini sekolahnya sudah memiliki gedung yang memadai. Lulusannya pun sudah berhasil, bahkan ada yang melanjutkan sekolah ke Cina. SMK Negeri 1 Sei Menggaris bukan garis finis bagi Rusmini. Masih banyak cita-citanya untuk pendidikan Sei Menggaris yang akan ia wujudkan. Kini Rusmini ingin membuat yayasan yang fokus pada pendidikan agama Islam. Rusmini terpikir, mengapa tidak membuat lembaga pendidikan agama Islam di Sei Menggaris? “Saya lihat pendidikan dasar agama itu yang dipakai dari lahir sampai mati,” ujar Rusmini. Rusmini adalah sumber insipirasi dan semangat Sei Menggaris. Ia meyakini, perubahan itu hanya akan terjadi jika diusahakan oleh orang-orang Sei Menggaris sendiri. “Kami tidak pernah merasa terbelakang, terkucilkan meskipun realitanya ada. Kami yakin bahwa pendidikan bukan modal dari luar, tapi dari dalam sendiri, dari kami yang ada di sini, dari support masyarakat, dari semangat anak yang mau dididik. Buat saya itulah pendidikan perbatasan,” kata Rusmini.***

35


BERDAYA LEWAT PAKAN TERNAK DAN

Nata de Coco

Pendekatan yang dipilih LPPM ITB di daerahdaerah binaannya bukan seperti Sinterklas yang membagikan berbagai macam hadiah. Sebagai institusi pendidikan teknik, ITB membekali masyarakat dengan pengetahuan dan kemampuan baru yang bisa digunakan untuk mengatasi persoalan dan mengembangkan potensi daerah. Prof. Budi Sulistianto mengatakan, program yang dirancang, termasuk di Sei Menggaris, berasal dari kebutuhan masyarakat. Biasanya masyarakat menyampaikan persoalan apa yang sedang dihadapi, kemudian ITB berupaya mencari solusi yang efektif untuk mengatasinya. Program pertama yang dilakukan ITB di Sei Menggaris pada 2015 ialah melatih siswa dan guru SMK Negeri 1 Sei Menggaris membuat pakan ternak dan pupuk organik. Langkah itu juga sesuai dengan kebutuhan masyarakat kala itu. “Pupuk sama pakan ternak ini karena ternak di sini bisa jalan-jalan menghabisi beberapa tanaman yang ada di sini. Maka, bagaimana kalau kita ajari beternak,” kata Prof. Budi. Kemudian dipilihlah pelatihan pembuatan pakan ternak yang terbuat dari sumber daya lokal yang sudah tersedia dan mudah dicari. Pembuatannya memanfaatkan mikroorganisme. Jika masyarakat bisa membuat pakan 36

ternak sendiri, ternaknya tak perlu mencari makan di kebun. Dengan begitu perkebunan bisa diselamatkan. Pada 2017, ITB kembali ke SMK Negeri 1 Sei Menggaris untuk memberi masyarakat beberapa pelatihan pemberdayaan. Salah satunya pelatihan pembuatan nata de coco. Pelatihan ini bertujuan agar masyarakat mempunyai keterampilan untuk mengolah sumber daya alam yang tersedia di Sei Menggaris. Salah satu sumber daya itu berupa kelapa yang merupakan bahan dasar pembuatan nata de coco. Selain itu, dilakukan pelatihan pembuatan tempe dan kecap yang terbuat dari kedelai. Prof. Budi Sulistianto berharap, pelatihan ini bermanfaat untuk mengatasi persoalan pangan yang ada di Sei Menggaris. Selain menggelar pelatihan langsung di Sei Menggaris, pelatihan ini juga dilakukan lewat program magang. Siswa dan guru SMK Negeri 1 Sei Menggaris yang terpilih dibina selama sebulan sampai 2 bulan (2 kali magang) di Laboratorium Mikrobiologi Pusat Penelitian Biosains dan Bioteknologi pimpinan I Nyoman Pugeg aryantha. Tujuannya, mereka bisa menularkan dan turut mendampingi masyarakat setempat mempelajari kemampuan ini.


PEMBUATAN PAKAN TERNAK Prof. Budi menjelaskan bahwa pelatihan pembuatan pakan ternak secara garis besar terdiri dari dua tahap utama, yaitu pembuatan biang dan fermentasi pakan. adapun untuk proses pembuatan skala kecil dapat dilakukan melalui tahapan berikut. TAHAP

1

BAHAN-BAHAN • • • • • •

2

TAHAP

MEMBUAT BIANG JAMUR MARASMIELLUS

Serbuk kayu (25%) Beras merah (20%) Jagung Pecah (50%) NPK (1%) Gula pasir (4%) Kultur murni

PERALATAN (skala kecil) • Kukusan • Panci • Wadah • Kompor

Untuk pembuatan biang sebanyak 2 Kg dapat dilakukan sebagai berikut. 1. Pertama, masukkan 1 kg jagung dan 0,4 kg beras merah serta 80 g gula pasir ke dalam panci. Lalu tambahkan air sebanyak dua buku jari di atas permukaan bahan. Masak hingga sampai tanak, sekitar 1 jam. Jagung dan beras merah yang sudah dimasak itu kemudian dicampur dengan serbuk kayu sekitar setengah kilogram dan NPK 20 gram dalam sebuah wadah besar. Setelah merata dimasukkan ke dalam beberapa botol selai sebanyak 3/4 dari volume botol. Botol lalu ditutup dengan aluminium foil atau lembaran plastik tahan panas dan diikat dengan karet gelang. 2. Selanjutnya, perlu disterilisasi. Sterilisasi dilakukan dengan menggunakan autoklaf atau dengan metode pasteurisasi dengan alat kukusan dalam waktu lebih lama. Masukkan dalam autoklaf lalu kukus selama 20 menit, hitungan waktu ini dimulai sejak muncul uap air mendidih. Jika menggunakan prinsip pasteurisasi kukusan dilakukan proses pengukusan minimal 1 jam 3. Proses selanjutnya dilakukan proses penanaman jamur atau inokulasi. Tahap ini memerlukan ruang kerja yang bersih. Oleh karena itu, sebelum dimulai ruang kerja disemprot dengan alkohol 70%. Media steril yang telah diingin kemudian diberikan (diinokulasi) kultur murni jamur secukupnya secara aseptik. Proses ini dilakukan di dekat api untuk menghindari kontaminasi. Setelah itu disimpan selama 2-3 minggu pada

FERMENTASI PAKAN

BAHAN-BAHAN

(persentase megacu ke bahan utama) • Tandan kosong atau pelepah daun sawit) • Dedak (10%) • NPK/urea (1%)

• Air keran (tanpa kaporit) • Biang jamur (Marasmiellus sp)

PERALATAN (skala kecil) • • • • •

Kukusan Gelas ukur Wadah tahan panas Sendok Centong

• • • •

Baki/Loyang Baskom Kompor Chopper/pencacah

Untuk pembuatan pakan skala kecil sekitar 3 kg 1. Cara membuatnya, pelepah daun kelapa sawit atau tandan kosong ditimbang sebanyak 3 kilogram. Kemudian dicacah agak halus menggunakan alat pencacah. Hasil cacahan diletakkan ke dalam baskom. Lalu campur dengan dedak 300 gram dan NPK 30 gram. Tambahkan air hingga mencapai kelembapan 60%. Kelembapan yang diharapkan itu tandanya jika diperas akan membekaskan air di telapak tangan, namun tidak tidak meneteskan air saat diperas dengan tenaga maksimum. Campuran bahan itu kemudian dibungkus dalam plastik tahan panas sehingga membentuk baglog. Kemudian dipasteurisasi dengan mengukusnya selama kurang lebih 200 menit. 2. Diamkan bahan hingga mencapai suhu di bawah 40oC. Kemudian media dikeluarkan dari kantong plastik dan ditaburkan biang jamur di dalam wadah baki yang aseptik, aduk secara merata di dekat api. Kemudian baki ditutup dengan kantong plastik yang bekas wadah lalu didiamkan hingga 2-3 minggu. Pada waktu itu merupakan masa inkubasi jamur hingga ditumbuhi miselin putih di seluruh permukaan baglog.

suhu ruang dan tempat yang bersih.

37


Selain itu, ternak juga membutuhkan probiotik dan silase. Starter (biang) probiotik ini terbuat dari mikroba hidup. Mengonsumsi suplemen probiotik dapat mencegah terjadinya kelainan metabolisme, mengurangi produksi gas metana, mendetoksifikasi racun, dan merangsang sistem kekebalan tubuh. Mikroba probiotik ini lebih mudah diproduksi, harganya pun lebih murah. Sementara silase merupakan pakan yang berasal dari limbah pertanian TAHAP

1

PENYIAPAN BIANG & PENUMBUHAN BAKTERI PROBIOTIK

BAHAN-BAHAN

(pembuatan biang dengan persentase mengacu pada volume air) •

Air

Gula merah (10%)

Susu murni (1%)

Bakteri probiotik (10%)

2

(persentase mengacu ke bahan hijauan)

• • • •

(skala kecil) • Panci

Botol semprot

Kompor

Centong

Botol 1,5 liter

Corong

Botol 330 ml

Gelas ukur

Pompa aerator

Lem perekat

Sedotan

Dakron/kapas

Selang

Alkohol (70%)

PEMBUATAN SILASE

(skala kecil)

BAHAN-BAHAN

Untuk penyiapan biang, caranya dengan mencampur 1 liter air mineral dengan gula merah 100 gram. Campuran tersebut direbus selama sekitar 45 menit, kemudian didinginkan. Selanjutnya, tambahkan 10 ml susu dan 1 botol bakteri probiotik. Lalu masukkan ke dalam botol steril dan simpan selama 24 jam. 2. Selanjutnya, tahap memperbanyak probiotik skala lebih besar (5 L), caranya dengan mencampur molase atau gula merah atau bisa juga air tebu sebanyak 500ml atau 500gr dengan 4 liter air dan 500 ml biang ke dalam wadah steril. Media gula diberikan aerasi secara kontinyu dengan udara bersih melalui sistim filtrasi dengan bahan serat dakron 2-3 hari, akan muncul bau harum yang menandakan probiotik sudah dapat digunakan untuk minuman ternak dan pembuatan silase

38

TAHAP

PERALATAN

1.

yang diawetkan dengan cara fermentasi. Dengan cara ini, hasilnya bisa disimpan lebih lama tanpa merusak zat gizi yang terkandung di dalamnya. Pembuatan minuman probiotik terdiri atas dua tahapan, yaitu perbanyakan biang dari bakteri probiotik dan penumbuhan bakteri probiotik dalam skala besar. Kemudian dilanjutkan dengan pembuatan silase.

bahan hijauan NPK atau urea (1%) air keran tanpa kaporit dedak (10%) molase (2,5%) plastik alas biang bakteri probiotik (10%).

1. Siapkan limbah bahan hijauan (rumput, jerami dan daun jagung) sebanyak 1,5 kg. Kemudian potong menjadi berukuran sekitar 3-5 cm. Setelah itu, campur dengan kultur bakteri probiotik 150 ml, dedak 150 gram, molase 40 gram, NPK 15 gram. 2. Tempatkan campuran tersebut dalam wadah yang tertutup rapat. Setelah 1-2 minggu, silase siap dikonsumsi oleh ternak.

Pelatihan ini tidak sekadar untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat, tetapi juga untuk bisa menjadi sumber penghasilan baru yang berkesinambungan.


PEMBUATAN NATA DE COCO Nata de coco merupakan makanan hasil olahan air kelapa melalui proses fermentasi. Proses fermentasinya dibantu oleh bakteri Acetobacter xylinum. Prof. Budi Sulistianto menjelaskan, hasil dari fermentasi ini berupa lapisan selulosa berwarna putih yang biasa disebut nata.

BAHAN-BAHAN

(skala kecil) •

Air kelapa 1 liter

Kecambah tauge 10 g

Cuka 50 ml

Gula putih 100 gram

Bibit nata 100 ml

PERALATAN •

Panci

Kertas roti/kain kasa

Pembungkus

Kompor

Loyang/nampan

Sendok

1. Untuk membuat nata de coco, saring 1 liter air kelapa ke dalam panci. Tambahkan 100 gram gul aputih dan 50 ml cuka. Masak hingga mendidih, lalu segera matikan kompor. Ketika masih panas, tuangkan ke loyang yang bersih kemudian tutup dengan kertas roti / kain kasa, lalu ikat dengan karet. 2. Setelah dingin, tambahjan bibit naya (Acetobacter xylinum) sebanyak 100 ml. Jangan lupa mengocoknya terlebih dahulu. Kemudian simpan dalam suhu ruang agar proses fermentasi berjalan, sekitar 5-7 hari. 3. Setelah terbentuk lapisan nata, ambil lalu dipotongpotong sesuai selera, setelah itu dicuci dan dibilas dengan air mengalir. Lalu rebus nata agar aman dikonsumsi, kemudian tiriskan. 4. Bibit nata bisa dibuat dengan cara menambahkan air kelapa dengan gula putih dan cuka lalu mendidihkannya. Masukkan dalam botol, lalu tutup dengan plastik. Ketika sudah dingin, tambahakan Acetobacter xylinum sebanyak 10%. Simpan dalam ruangan. Setelah 5-7 hari bisa digunakan sebagai bibit nata. Jika di permukaan botol muncul lapisan nata, itu berarti sudah siap digunakan.

Selain membuat nata de coco, warga juga dilatih untuk membuat makanan fermentasi misalnya, kecap dari kedelai, dan terasi dari ikan ataupun udang. Kecap dibuat melalui proses fermentasi oleh jamur Aspergillus sp dan Rhizopus sp. Sedangkan olahan di bidang perikanan yaitu terasi yang dibuat dari ikan atau udang yang bernilai ekonomis rendah. Pembuatan terasi menggunakan rebon (Atya sp.). Prof. Budi berharap, pelatihan ini tidak sekadar untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat, tetapi juga untuk bisa menjadi sumber penghasilan baru yang berkesinambungan di Sei Menggaris. Masyarakat bisa sejahtera dengan membangun sentra usaha mandiri.***

39


MENGHIDUPKAN AIR,

MERAWAT

Generasi

Sei Menggaris pernah mempunyai sumber air yang melimpah ruah. Menilik masa itu, sulit membayangkan jika kemudian Sei Menggaris kekurangan air sampai harus menadah air hujan. Berkat bantuan para pakar dan kalangan usaha, akhirnya Sei Menggaris bisa menikmati air bersih lagi. Meski tetap dibayangi oleh berkurangnya sumber air bersih lantaran beradu dengan perkebunan kelapa sawit, air bersih di Sei Menggaris kini terkelola dengan baik. Dany Wokal ingat sekitar tahun 2005 ditemukan sumber air di Satuan Permukiman (SP) 2, kini daerah ini bernama Desa Sri Nanti. Menurut Dany, mata air itu dulu merupakan hulu sungai. “Setiap air surut baru kelihatan sumber mata airnya berupa lubang sebesar batok kepala. ada tiga titik,” kata Dany. Mata air itu kemudian dibangun, dibendung menjadi embung sehingga airnya bisa dialirkan untuk keperluan warga. Kapasitas airnya sangat besar. Saat alirannya kecil saja, debitnya bisa mencapai 50 liter per detik. Memanfaatkan sumber air itu, pada 2009 dibangun Sistem Penyediaan air Minum atau yang biasa disebut dengan SPaM. Pengelolanya ketika itu Dinas Pekerjaan Umum Provinsi Kalimantan Timur. Operasionalnya dibantu oleh Dinas PU Kabupaten Nunukan. Dany merupakan satu dari dua orang yang direkut untuk mengurusi operasional SPaM ini.

40

Ketika itu, pengaliran air ke warga dibantu dengan pompa air menggunakan dinamo yang berbehan bakar solar. Sayangnya, operasional SPaM macet pada 2012. Desa Sri Nanti kemudian mau mengelolanya sendiri. Tetapi, sistem swadaya ini tidak berumur panjang. Baru setahun pengelolaannya sudah terhenti. Rupanya pendapatan dari pembayaran warga tak setimpal dengan biaya yang dikeluarkan. Penerimaannya tidak cukup untuk membiayai keperluan solar dan gaji petugas. Pemerintah desa jadi tekor terus. Pengelolaannya waktu itu dipegang oleh Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM) Desa Sri Nanti. Belum juga setahun, sudah tekor Rp40 juta. akhirnya, SPaM harus berhenti lagi. Tahun 2015, Dany kembali dipanggil oleh pemerintah desa. Setelah mengadakan rapat antara pemerintah dan warga Desa Sri Nanti, semua sepakat untuk kembali menghidupkan SPaM, tetapi tidak ada instansi yang mengelolanya. Pengelolaannya diserahkan kepada SPaM sendiri. akhirnya Dany dan rekannya kembali mengoperasikan lagi SPaM. Setelah melakukan perbaikan dengan bantuan warga, SPaM bisa kembali normal. Sayangnya, lagi-lagi usaha ini terhenti lagi. Kali ini karena genset rusak. Meskipun pendapatan yang diterima sudah lebih tinggi, uang itu habis untuk menutup utang sebelumnya. akhirnya tak ada anggaran yang tersisa untuk melakukan


Embung Air Srinanti

41


Proses pengolahan air dari Embung Sri Nanti hingga didistribusikan ke masyarakat desa

perbaikan alat. akhirnya dengan berat hati, operator SPaM sekali lagi harus terhenti. Sampai akhirnya sekitar 2018, Dany menerima panggilan telepon dari Budi Hartono dari PT Duta Tambang Rekayasa, bagian dari Medco Mining. Budi mengutarakan niatnya untuk membantu menghidupkan kembali SPaM. Dany diminta untuk membuat perkiraan apa saja yang perlu diperbaiki dan besaran anggaran yang diperlukan. Perbaikan yang dilakukan mulai dari instalasi pipa, mesin, pemasangan watermeter, dan lain-lain. “Pertama (menyerahkan anggaran), kaget. Enggak sanggup (sebesar itu). Kedua, masih terlalu besar anggarannya. Ketiga, baru mereka bilang, bagaimana kalau dilakukan bertahap. Misalnya 3 RT dulu, nanti kalau berhasil baru dilanjutkan,” tutur Dany.

42

Setuju dengan skema itu, akhirnya SPaM kembali dihidupkan atas bantuan PT DTR. Operasional tahap pertama dilakukan di 4 RT. Lantaran hasilnya baik, akhirnya dilanjutkan ke RT yang lain. Setiap rumah warga dipasang watermeter. Mereka harus membayar Rp10.000/kubik air. Sebelum menggunakan watermeter warga membayar Rp20.000 untuk berapa pun air yang terpakai. Ini yang membuat SPaM menenggak kerugian. Ketika SPaM tidak ada, warga mengambil air dari mata air langsung. Mereka harus membayar Rp6.000 untuk 20 liter air atau sekitar Rp150.000 untuk satu tangki profil air berkapasitas 1.800 liter. Bahkan, dahulu warga sempat harus membeli air setangki profil air seharga Rp300.000. Dengan kembali beroperasionalnya SPaM, warga cukup membayar air yang digunakan seharga Rp10.000/kubik.


Dahulu warga sempat harus membeli air setangki profil air seharga Rp300.000. Dengan kembali beroperasionalnya SPAM, warga cukup membayar air yang digunakan seharga Rp10.000/kubik.

Dany mengatakan, hidupnya kembali SPaM sokongan PT DTR dan melibatkan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Sri Nanti. Medco melalui PT DTR membantu dana sebesar Rp20 juta. Pemerintah Desa Sri Nanti mengeluarkan dana dengan nominal yang sama. Sekarang SPaM bisa memperoleh pemasukan sekitar Rp15 juta per bulan. SPaM saat ini tidak lagi menggunakan solar. Genset dioperasikan dengan listrik. Biaya yang dikeluarkan jadi lebih hemat. Sebelumnya, pembelian solar jadi celah untuk memainkan uang. Sekarang tidak bisa lagi. Listrik setiap bulan menghabiskan dana sekitar Rp5juta. “Masih ada sisa uang untuk pemeliharaan,” kata Dany. Untuk gaji petugas, setiap orang mendapat Rp1juta dari BUMDes dan tambahan dari PT DTR sebesar Rp500 ribu. Dany sebagai yang paling senior mendapat Rp1,5 juta, tetapi biaya bensin tidak ditanggung seperti petugas lainnya. Kini SPaM sudah melayani 11 RT di Desa Sri Nanti, tetapi masih ada RT yang menggunakan air tanpa watermeter. Penggunaan airnya jadi cukup boros, tidak cukup 20 kubik. Untungnya ada bantuan dari dana desa untuk melengkapi watermeter. Selain itu, ada juga bantuan dari Pemerintah Kabupaten Nunukan untuk pemipaan di RT 6. Pemipaan ini bisa mengaktifkan juga jalur ke RT yang lain. “Sementara berjalan ini, sudah bagus cara pemakaiannya. Sudah tidak boros air seperti dahulu,” ujar Dany.

Meskipun semua sudah berjalan baik, Dany masih punya menyimpan resah. Ia ingat betul tahun 20072008 saat air meluap-luap. Sejak 2015, debit airnya hanya tersisa 15 liter per detik. Ia khawatir tahun ini dan seterusnya tidak akan ada cukup air. “Tiap menyedot air 5 liter per detik, setelah 9-11 jam sudah tidak ada air yang keluar. Dahulu 25 liter per detik, sekarang sudah tidak ada,” tutur Dany. Kapasitas air di bendungan pun sudah menurun. Dahulu kedalaman air bisa mencapai 4 meter, sekarang tinggal 1,8 meter saja. Penyebabnya karena banyaknya endapan pasir yang terbawa aliran air.

Dany Wokal

“Dahulu air jernih, sekarang airnya untuk penyaringan sudah mulai keruh ada zat asam dan zat besi tinggi. Sekarang menampung lumut juga. Debit sudah jauh berkurang,”

Kekurangan air ini juga sudah dirasakan warga. Dahulu warga menggunakan air tanpa perhitungan karena merasa biayanya kecil. akan tetapi, sejak merasakan sumber air yang berkurang, warga pun mulai hemat air. “Permasalahan nanti itu nanti bukan dari sistem dan pelanggan,melainkan dari sumber. Sumber air satusatunya yang bisa dikonsumsi, tetapi di atasnya semua orang menanam sawit. Semakin besar sawitnya, semakin kecil airnya,” tutur Dany. Ia mengatakan, pada 2010 SPaM memperoleh tanah hibah dari pemerintah seluas 4 hektare. Lahan itu seharusnya menjadi lahan resapan yang bisa merawat sumber air bersih untuk warga. akan tetapi saat diukur di lapangan, luasnya mengecil. Sebagian lahannya sudah dipenuhi kelapa sawit. Tak jelas juga siapa pemilik kelapa sawit itu. “Kita tahu bahwa sumber air kurang akibat sawit,” ujar Dany. LPPM ITB memahami kondisi ini sehingga pada 2018 dilakukan penanaman bambu di kawasan sumber air. “Kami juga dikasih tahu soal penghijauan dan memperkaya tanah dengan air,” kata Dany. Dany bersyukur adanya keterlibatan Medco dan ITB 43


di SPaM ini. SPaM sebagai sumber air bersih satusatunya bagi dua desa di Sei Menggaris, SPaM sudah seharusnya mendapat perhatian yang besar. “Kami butuh pemerintah yang meu memperhatikan karena hanya ini sumber air yang ada. Sumber lain sudah tidak layak karena isinya pupuk dari sawit semua,” kata Dany.

“Mata air yang telah dibendung dalam embung itu merupakan sumber daya yang sayang jika tidak diberdayakan untuk masyarakat.” Itu sebabnya Medco Mining melalui PT DTR membangkitkan kembali SPaM. Ia menyadari salah satu persoalan besarnya ialah sumber air yang tak sebesar dahulu. Bersama dengan para profesor di LPPM ITB dilakukan usaha untuk mencari sumber air yang mampu menghidupi masyarakat. Prof. Syahril turut untuk mengecek langsung adakah sumber air yang bisa dimanfaatkan. “Jadi, waktu dipastikan memang ada air yang sangat luar biasa, yang(sebelumnya) di situ enggak ada sumber air yang bagus dan dibor enggak pernah dapat. Satu atau dua bulan bulan kemudian Prof. Syahril ya datang mengecek potensi airnya. Diperkirakan bisa digunakan oleh 6.000 orang. Kalau 1 orang per hari 200 liter,” kata Prof. Syahril. Ia melihat keberadaan SPaM sebenarnya bisa menguntungkan masyarakat dalam hal pengelolaan air. Sayangnya ketika itu kondisinya mangkrak. “akhirnya kami telusuri itu sebetulnya punya siapa. Ternyata punya PU Kalimantan Utara, asetnya masih PU,” ujarnya. Setelah memahami jelas duduk persoalannya, PT DTR menyatakan kesediaannya untuk mengelola SPaM, tetapi pengelolaan itu dilakukan bersama-sama dengan BUMDes. “Pak Syahril waktu itu menggaris bawahi, pastikan jangan nanti pas sudah jalan, sudah bagus, tidak diposisikan BUMDes,” kata Budi. Budi juga meyakini keikutsertaan BUMDes akan menjadi kunci SPaM yang berkelanjutan. akhirnya kemitraan ini diikat dalam Nota Kesepahaman antara PT DTR dan BUMDes. Sepakat untuk memperbaiki instalasi pipa, memasang sambungan PLN, dan mengelola operasional SPaM. “akhirnya sejak 2019 sudah mandiri,” ujar Budi. Budi tidak ingin program untuk kemaslahatan orang banyak ini lagi-lagi mandek

44

MENINGGALKAN JEJAK KEMANDIRIAN Hubungan masyarakat dengan perusahaan tambang kerap tidak harmonis. Dua pihak ini seolah tidak bisa hidup berdampingan, tetapi tidak demikian di Sei Menggaris. Masyarakat setempat justru sangat akrab dengan PT Duta Tambang Rekayasa, anak perusahaan Medco Mining yang mengelola tambang batu bara di Sei Menggaris. Perusahaan ini terlibat saat masyarakat merintis pendirian SMK pertama di daerah itu dan berperan menghidupkan kembali saluran air yang sempat mangkrak. Perusahaan ini pula yang menjembatani masyarakat dengan LPPM ITB sehingga masyarakat mendapat banyak keterampilan baru yang bisa menjadi bekal memajukan masyarakat, seperti keterampilan bercocok tanam, budi daya jamur, membuat nata de coco, tempe, kecap, bahkan pakan ternak. Manajer Eksternal PT Medco Mining Budi Hartono mengatakan, keharmonisan antara perusahaan dan masyarakat ini tidak begitu saja terjadi. Saat PT DTR memulai eksplorasi, sekitar 2013, sempat terjadi konflik dengan masyarakat Sei Menggaris. Konflik itu bisa selesai dengan pendekatan dan komunikasi yang baik dengan masyarakat. Buka puasa bersama dan penanaman pohon menjadi ajang untuk berkenalan lebih dekat dengan masyarakat. Tidak hanya mengenal tokoh kunci di sana, tetapi juga mendapat informasi tentang persoalan yang dihadapi warga.


“Diinformasikan oleh Pak Camat, katanya, ‘Pak Budi, ada warga yang berinisiatif bikin SMK filial di kolong rumah’. Beberapa kali saya diingatkan oleh Pak Camat untuk melihat, baru ketiga kali saya dan Pak Camat ke kolong rumah itu. Dan memang bener di kolong rumah, saya lihatin,” tutur Budi. Beberapa bulan setelah itu, Budi terus memantau dari jauh perkembangan sekolah itu. Jumlah siswanya terus bertambah, tetapi situasi belajarnya masih sangat terbatas. Tanpa kursi, hanya menggunakan bangku pengajian ibu-ibu. Dari sana, PT DTR menawarkan diri untuk membantu menyiapkan sebanyak 40 kursi belajar. “Saya melihat semangat. yang saya tidak bisa lupakan itu semangatnya,” ujar Budi. Dari sana hubungan baik mulai terbina. Budi jadi bisa melihat lebih jelas, apa saja persoalan yang dihadapi warga. Tak hanya pendidikan, tetapi juga pertanian, peternakan, juga lingkungan. Pemerintah lewat Kepmen ESDM no 1824 tahun 2018 tentang Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat pada Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara mewajibkan setiap badan usaha pertambangan untuk memiliki rencana induk Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat (PPM). Inilah yang menjadi kerangka aktivitas sosial PT DTR di Sei Menggaris. “Misinya supaya masyarakat sekitar tambang bisa mandiri, sejahtera, dan berkelanjutan,” kata Budi.

Tonny P. Sastramihardja

Presiden Direktur PT Medco Mining

Oleh karena itu, kata Budi, kegiatan yang dilaksanakan tak bisa sekadar bagi-bagi bantuan, tetapi direncanakan agarkegiatan bisa berkelanjutan. PT DTR memilih pembangunan sumber daya manusia sebagai fokusnya. SMK Negeri 1 Sei Menggaris kemudian dipilih menjadi mitra strategis. Lewat sekolah, indeks pembangunan manusia di kawasan itu bisa meningkat. Lebih jauh, keberadaan SMK menjadi mitra yang signifikan untuk bisa mengembangkan kawasan Sei Menggaris.

Kami tak ingin masyarakat hanya mendapatkan sesuatu untuk jangka pendek. Kami memilih memberikan kail, bukan ikannya. Agar manfaatnya bisa dirasakan masyarakat secara jangka panjang hingga generasi berikutnya.

Berbagai pihak kemudian bergandengan tangan untuk membangun Sei Menggaris secara serius. ITB dan Pemkab Nunukan melangkah membuat nota kesepahaman bersama agar ada ikatan yang kokoh untuk menyelesaikan berbagai program di sana.

tambang. Kedua barangkali karena kami ini perusahaan yang eksekutifnya ada yang idealis. Jadi, tidak mau sekadar memberikan community development (comdev) atau CSR kepada masyarakat, tetapi terus tidak ada ujung pangkalnya,” kata Tonny.

Presiden Direktur PT Medco Mining, Tonny P. Sastramihardja mengatakan, kunci penting keharmonisan sektor usaha dengan masyarakat di Seimenggaris ialah kejelian melihat apa yang dibutuhkan masyarakat “Pertama, kami melihat kebutuhan masyarakat area

Menurut Tonny, pendidikan merupakan salah satu kendala yang paling kentara. “Dengan kondisi ekonomi yang terbatas, mereka harus mengirim anaknya ke Nunukan jika ingin melanjutkan sekolah,” kata Tonny. Oleh karena itu,

45


keuangan, sampai perawatan peralatan. Perusahaan menjadi mentor yang mendampingi di awal. Selanjutnya masyarakat yang menjalankannya sendiri.

Budi Hartono

Manajer Eksternal Medco Mining

Medco Mining mendukung inisiasi masyarakat mendirikan SMK. Bahkan ketika itu, ijazah sebagai insinyur mesin pegawainya disertakan sebagai syarat pendirian selain turut mengajar untuk bidang mesin alat berat. “Bantuan yang diberikan perusahaan kepada masyarakat sebagian besar bukan berupa uang, melainkan juga berupa jaringan. Jaringan ini salah satunya untuk menggandeng pemerintah,” papar Tonny. Selain pendidikan, pemenuhan kebutuhan air bersih juga menjadi persoalan warga. Perusahaan berusaha untuk mengurai benang kusut pengelolaan air bersih di sana. Tonny mengatakan, keterlibatan perusahaan tak boleh menihilkan masyarakat. Masyarakat harus tetap menjadi aktor penting pada setiap program. “Mereka harus bantu, tidak cuma duduk-duduk saja. Bikin apa, siapa yang mengurusnya, sehingga bisa self financing,” kata Tonny. Proses ini penting untuk melahirkan kemandirian. Dukungan perusahaan tidak membuat masyarakat merasa bergantung. Masyarakat didorong untuk menciptakan sistem yang baik. Mulai dari pemasangan dan pengaturan pemasangan pipa, pengelolaan 46

Selain memberi solusi atas persoalan masyarakat, pemberdayaan masyarakat dilakukan dengan menumbuhkan kesadaran untuk menciptakan sumbersumber pendapatan baru. Itu sebabnya masyarakat diberi berbagai pelatihan untuk memberi alternatif sumber pendapatan yang tidak konvensional. Bersama dengan ITB, masyarakat diajarkan budi daya jamur, buah naga, sayur-mayur, produksi madu, membuat pakan ternak, pupuk organik, membuat tempe, kecap, nata de coco, dan sebagainya. Meski masih memiliki anak perusahaan PT Duta Tambang Sumber alam dan PT Nunukan Bara Sentosa Satu, eksplorasi PT DTR di Sei Menggaris akan rampung pada 2022, dan Tonny ingin meninggalkan jejak yang baik. “Ini kewajiban moral, yang ditinggalkan jangan sampai susah,” ucapnya. Setelah tambang DTR rampung, pihaknya

Embung Sri Nanti

harus memulai proses reklamasi dan revegetasi di lokasi bekas tambang. Tonny berharap proses ini tidak dilakukan secara konvensional. Model reklamasi dan revegetasi perlu memperhatikan kebutuhan masyarakat. “Harmonisasi kegiatan pascatambang dengan manfaat sebesar-besarnya untuk masyarakat tambang. Kalau ada 300 hektare untuk hutan, kenapa tidak sekelilingnya ditanami durian supaya masyarakat bisa menikmati. Hutan memang bagus untuk lingkungan, tetapi mungkin ada yang bisa jadi kebun jeruk, sirsak, nanti ibu-ibunya bisa bikin sirupnya,” tutur Tonny. Untuk mewujudkan gagasan tersebut, perlu proses panjang. “ITB sebagai rumah para pemikir bisa membuat kajian bagaimana konsep ideal reklamasi dan revegetasi ini,” ujarnya. Ia berharap area bekas tambang bisa dimanfaatkan oleh warga sesuai dengan kebutuhannya. “Misalnya menjadi ekowisata, hutan sosial, atau lainnya, reklamasi menjadi sesuatu yang mudah diimplementasikan dan memberi manfaat bagi masyarakat setempat.*


di tengah jalan. Oleh karena itu, PT DTR berharap BUMDes mempunyai komitmen yang kuat. Untuk mengujikan, PT DTR tak mau menanggung semua biayanya. Berbagai biaya harus ditanggung bersama dengan BUMDes. Setelah dua tahap awal berjalan baik, barulah BUMDes mengelola sepenuhnya uang pembayaran dari pelanggan. Ketika mengaktifkan kembali SPaM ini, Budi memahami salah satu persoalan yang dihadapi ialah sumber air yang mulai menipis sehingga sumber air yang ada di Sei Menggaris harus dijaga agar tetap lestari. Sebelum SPaM mulai diaktifkan, terlebih dahulu dilakukan penanaman bambu di sekitar mata air. Para profesor dari LPPM ITB turun langsung mendampingi masyarakat. Mereka mengajari bagaimana cara terbaik melestarikan sumber air. Kepala Desa Sri Nanti Abdul Hafid mengatakan, bambu yang ditanam bahkan didatangkan langsung dari Bandung. Bambu-bambu itu ditanam untuk

Abdul Hafid

“Di situ, kami berbangga hati bahwa seorang profesor mau langsung datang ke desa kami menanam bambu untuk masyarakat,” kata Hafid.

menjadi resapan air. Kini ia sudah bisa lega. Dahulu penampungan air kecil saja, kini sudah dibesarkan. airnya cukup untuk memenuhi kebutuhan warga. Secara kualitas, air SPaM juga membaik. Menurut penelitian, airnya bersih dan bisa diminum langsung. Kekeringan yang menjadi momok setiap tahun, terkikis perlahan. Budi sadar betul, usaha tambang tidak akan berlangsung selamanya. Pada saatnya akan habis juga. Oleh karena itu, perusahaannya bertekad untuk membuat program yang berkesinambungan di masyarakat agar mereka tetap sejahtera sampai generasi-generasi berikutnya.

TANTANGAN PENGELOLAAN ROFIQ IQBAL, S.T., M.Eng., Ph.D. PENYEDIAAN air berbasis masyarakat masih sangat ringkih. Beberapa proyek seperti (Penyediaan Air Minum Berbasis Masyarakat (Pamsimas) atau Sanitasi Berbasis Masyarakat (Sanimas) untuk membangun sebuah sistem penyediaan air minum biasanya hanya berjalan 20% meskipun sebenarnya sederhana. Air diambil untuk diberikan kepada masyarakat dan masyarakat mau membayarkan apa yang mereka dapatkan. Akan tetapi, karena memang berbasis masyarakat, tidak ada standar prosedur atau kedisiplinan dan pengaturan yang cukup rapi. Sei Menggaris salah satunya. Meskipun banyak masyarakat yang kesulitan air bersih, menurut dosen teknik lingkungan ITB, Rofiq Iqbal, S.T., M.Eng., Ph.D. sebenarnya di Sei Menggaris sudah ada sistem penyediaan air bersih, tetapi tidak berjalan dengan baik. Kalau secara teknis, apa yang dilakukan di sana tidak terlalu susah. Mengambil air, memompa air kemudian dari pompa air disalurkan ke tangki yang sudah tersedia. Semua sudah tersedia dan yang rusak hanya pompa dan tanki air yang sedikit bocor. “Saya menceritakan pengalaman

pengelolaan air bersih, dan hitung-hitungan pengelolaan air, termasuk membandingkan dengan biaya listrik jika menarik air sendiri yang bisa sampai Rp 20 juta per bulan,” kata Rofiq Iqbal, Ph.D. ketika datang ke Sei Menggaris untuk memberikan sarasehan pengadaan air bersih berbasis masyarakat pada kunjungan pertamanya pada 2018. Tantangannya memang lebih ke arah pengelolaan. Selama ini, lanjut Rofiq Iqbal, Ph.D., mereka mengoperasikan air dengan genset dan itu hanya seminggu sekali dan bayarannya Rp 100 ribu. “Jadi mengapa tidak mengoperasikan secara optimal dan rutin? Mereka sepakat dan alhamdulillah ketika sepakat, mereka menyusun rencana. Setelah beberapa bulan berikut saya datang dan menjelaskan pengoperasian lebih detail dan sekarang alhamdulillah cukup berjalan,” papar Rofiq Iqbal, Ph.D. Tantangan berikutnya adalah menjaga komitmen karena secara teknis mesin yang dijalankan pasti akan mengalami kerusakan. Jadi, dalam pengelolaan harus ada mekanisme

untuk menyisihkan dana perbaikan. “Pada beberapa kasus, planning untuk itu tidak ada, jadi misalnya ada dana 30 juta langsung dihabiskan. Begitu ada masalah, ya sudah, selesai. Itu tidak pernah ada solusi, yang setahu saya kebanyakan begitu,” lanjut Rofiq. Sejauh ini, pengelolaan air di Sei Menggaris berjalan cukup lancar. “Harus ada usaha menjaga sumber air tersebut, misalnya kemarin kita sudah melaksanakan kegiatan mengenalkan sumber air ke anak SMK sehingga mereka melakukan kegiatan. Artinya, ada semacam usaha untuk membuat masyarakat merasa memiliki sumber air tersebut,” kata Rofiq Iqbal, Ph.D.*

47


MENGEMBANGKAN POTENSI

Pariwisata

Ilustrasi Taman Mangrove Tarakan

48


NUNUKaN merupakan daerah perlintasan yang banyak dilalui orang, baik dari Indonesia maupun Malaysia. Sayangnya, selama ini mereka hanya transit untuk menuju ke destinasi utamanya. Memanfaatkan potensi masyarakat, LPPM ITB membantu merancang model pariwisata di Kecamatan Sei Menggaris, Kabupaten Nunukan. Kelak orang tak hanya lewat, tetapi sengaja singgah dan mendapatkan pengalaman baru melancong di sana. Kepala Program Studi Magister Lanskap ITB Budi Faisal, MaUD, MLa, Ph.D. menilai, daerah perbatasan seperti Kabupaten Nunukan, termasuk Sei Menggaris dan sekitarnya, memiliki peluang besar untuk untuk dikembangkan sebagai daerah wisata. Kekayaan budaya dan alamnya tidak kalah dengan milik negara tetangga, Malaysia. “Kalau sekarang terjadi kebalikannya, temanteman di Nunukan, di Sei Menggaris itu liburan ke Malaysia, orang-orang Malaysia lewat saja ke Nunukan karena mereka tujuannya ke Derawan terus lanjut lagi. Nah kalau bisa menangkap peluang itu, peluangnya besar,” kata Budi Faisal, Ph.D. Pemerintah sendiri telah menetapkan, pembangunan kepariwisataan di kawasan perbatasan ditujukan unuk mempercepat pembangunan di berbagai bidang di kawasan itu. Daerah perbatasan merupakan beranda depan negara berperan sebagai pintu gerbang aktivitas ekonomi dan perdagangan dengan daerah tetangga.

49


EKOWISATA BERBASIS MASYARAKAT Budi Faisal, Ph.D. menjelaskan terdapat tiga jenis pengembangan pariwisata, yaitu culture based tourism (pariwisata berbasis kebudayaan), nature based tourism (pariwisata berbasis kekayaan alam), dan man made tourism (pariwisata buatan manusia). “Faktanya dalam beberapa tahun terakhir orang datang ke Indonesia 60% karena culture based tourism atau karena budaya kita yang luar biasa kaya. Kedua 30% karena alam atau nature based tourism. Sisanya 10% karena man made. Menurut saya, budaya kita tidak akan dikalahkan budaya mana pun saking kayanya, termasuk budaya di Sei Menggaris, Nunukan dan sekitarnya secara umum,” tutur Budi Faisal, Ph.D.

50

Tren kenaikan kunjungan wisata ke Indonesia membuat sektor ini diprediksi sebagai sumber penerimaan negara tertinggi. Melampaui sektor pertambangan seperti minyak bumi dan batu bara, juga sektor perkebunan yaitu kelapa sawit dan karet. Budi menambahkan, pengembangan kepariwisataan bukan melulu soal menyiapkan destinasi yang indahindah belaka. Tetapi, juga menyiapkan infrastruktur, membangun masyarakat, menyiapkan tata kelola dan regulasi, nilai-nilai atau local wisdom yang harus dijaga, dan menjaga budaya setempat. apabila hanya infrastruktur fisik yang disiapkan, biasanya akan berujung pada kerusakan akibat tidak dikelola dengan baik, masyarakat setempat juga tidak akan merasakan manfaatnya. “Banyak contohnya di Indonesia, di tempatkan di wilayah yang sangat bagus, tetapi yang mengelolanya orang asing. Pulau-pulau dikuasai orang asing yang bagus-bagus dan kemudian, mohon maaf, orang Indonesia susah masuk ke situ,” kata Budi Faisal, Ph.D.

Budi Faisal, Ph.D. menawarkan konsep ecotourism berbasis masyarakat untuk mengembangkan pariwisata di Nunukan. Ecotourism atau ekowisata menitikberatkan pada kegiatan pariwisata yang berwawasan lingkungan, mengutamakan konservasi alam, serta mengandung unsur pemberdayaan masyarakat lokal, baik dari sisi ekonomi maupun sosial budaya, juga terdapat unsur pembelajaran dan pendidikan.

Masyarakat menjadi komponen utama dari pembangunan pariwisata. Menurut Undang-Undang Kepariwisataan, tujuan pariwisata ialah kesejahteraan masyarakat. Maka, sudah seharusnya masyarakat setempatlah yang menikmati hasilnya, bukan hanya dinikmati oleh pengembangnya. “Hampir dapat dipastikan bahwa akan ada masalah. Begitu terjadi sesuatu, biasanya ada social clash yang tinggi sekali di beberapa tempat karena ketidakadilan semakin melebar,” kata Budi Faisal, Ph.D.

Sementara pengelolaannya, Budi Faisal, Ph.D. berpendapat, model kerja sama pentahelix bisa diterapkan. Model ini melibatkan kemitraan antara akademisi, perusahaan swasta, masyarakat, pemerintah, dan media. Kerja sama yang baik sudah terjalin antara masyarakat dan pemerintah dengan akademisi dan perusahaan swasta. Beberapa tahun belakangan, LPPM ITB turut terlibat mengembangkan Nunukan. Sementara dari sektor swasta, Medco Mining telah terjun lebih dahulu.

Budaya kita tidak akan dikalahkan budaya mana pun saking kayanya, termasuk budaya di Sei Menggaris, Nunukan dan sekitarnya secara umum.


Air Terjun Bangen Tawai

51


“Medianya selama ini kurang. Tentu niatnya baik, kita menyosialisasikan kebaikan. Dengan media, menurut saya, dia akan menjadi lompatan yang besar, banyak kegiatan yang tidak direkam mungkin dengan niat tidak mau ketahuan, tetapi menurut saya niat baik perlu ditularkan agar kebaikannya menular sehingga apa yang perlu dilakukan ini niatnya melengkapi,” tutur Budi Faisal, Ph.D. Kalimantan Utara punya banyak tujuan wisata yang potensial untuk dikembangkan dengan model ekowisata. Beberapa di antaranya adalah Desa Long Bawan di Kecamatan Krayan Kabupaten Nunukan, Hutan Lindung Sungai Sesayap di Kecamatan Sesayap Kabupaten Tanah Tidung, Pantai Batu Lamampu di Kecamatan Sebatik Kabupaten Nunukan, air Terjun Semolon di Kecamatan Mentarang Kabupaten Manilau, Persemaian Inhutani di Kecamatan Sesayap Hilir, Kabupaten Tanah Tidung, Pantai Tanah Kuning di Kecamatan Tanjung Palas Timur Kabupaten Bulungan, Konservasi Mangrove dan Bekantan di Kecamatan Tarakan Barat Kota Tarakan, dan masih banyak lagi. Belum lagi wisata budaya seperti Desa Wisata Setulang di Kecamatan Malinau Selatan Kabupaten Malinau, Museum Roemah Boendar di Kecamatan Tarakan Tengah Kota Tarakan, dan Museum Kesultanan Bulungan di Kecamatan Tanjung Palas Kabupaten Bulungan, dan masih banyak lagi. Soal keindahan, tujuan wisata tersebut tidak kalah bahkan lebih indah dari negara tetangga, tetapi beberapa tujuan wisata masih perlu pembenahan. Misalnya ketersediaan infrastruktur di dalam area wisata, perbaikan pintu gerbang, juga penambahan aktivitas yang bisa dilakukan oleh wisatawan. Pengembangan pariwisata Nunukan bisa belajar dari apa yang dilakukan oleh Malaysia di Tawau, wilayah yang berbatasan langsung dengan Nunukan. Beberapa tujuan wisata di Tawau ialah Tawau Waterfront, Taman Muhibbah, Tawau Bell Tower Park, dan Tawau Monument Park. Dari tempat-tempat wisata ini terlihat bagaimana pemerintahnya menangani ruang publik. Di sana dilengkapi dengan fasilitas umum yang memadai, desain jalanan dan lanskap yang ditata apik. Toilet umum, jalur pejalan kaki, dan tempat parkir kendaraan disiapkan demi kenyamanan pengunjung.

52

UPAYA MEMPERKECIL

Kesenjangan

IR. BUDI FAISAL MAUD, MLA, PH.D.:

Menginjakkan kaki di Sei Menggaris, Kabupaten Nunukan meninggalkan kesan yang amat dalam bagi Ir. Budi Faisal MaUD, MLa, Ph.D. “Perjalanannya saja luar biasa butuh waktu yang cukup panjang, berangkat dinihari, menjelang magrib baru sampai. Naik pesawat, naik boat, naik sampan kadang-kadang. Banyak ular, buaya di sungai dan melihat kawasan transmigrasi,” kata Budi Faisal, Ph.D. Begitu sampai di garis batas negeri, ia mengaku bertemu dengan orangorang dengan daya tahan tinggi. Walau akses masih sulit dan kondisi yang serba terbatas, mereka mempunyai semangat yang sangat tinggi untuk membangun daerahnya. “Kami ke sana banyak belajar. Ternyata selama ini saudara saya di sana kesulitan. Mereka lebih berketahanan, lebih resiliens terhadap banyak hal. Jadi dengan begitu, ketika kami pulang mudah-mudahan tidak menjadi orang yang mudah mengeluh,” tutur Budi Faisal, Ph.D. Lokasi yang sulit dijangkau membuat waktu begitu berharga, dua hari khusus untuk perjalanan berangkat dan pulang, apalagi layanan telekomunikasi yang belum baik. Kondisi-kondisi seperti itu yang membuat Budi merasa beruntung bisa terlibat dalam kegiatan pengabdian masyarakat. “Jadi saya sependapat


Mereka paham betul apa yang dihadapi masyarakat dan berupaya agar ilmu yang dikuasainya memberi jalan keluar.

dengan orang yang mengatakan ilmu itu akan bermanfaat kalau diamalkan dan kemanfaatannya terasa oleh masyarakat, kira-kira itu pengalaman batin di Sei Menggaris,” ujar Budi Faisal, Ph.D. Turun langsung ke tengah masyarakat dan mendarmakan kemampuan bukan hal baru bagi Kepala Program Studi Magister Lanskap ITB Budi Faisal, Ph.D. Saat memimpin Pusat Perencanaan dan Kepariwisataan (P2PaR) ITB, Budi juga kerap turun ke desa untuk mendampingi masyarakat mengembangkan destinasi wisata. “Pariwisata apabila dikelola dengan benar, biayanya murah, masyarakatnya akan lebih langsung merasakan dampaknya. Saya melihat di Sei Menggaris dan Nunukan punya peluang besar untuk menjadi gerbang Indonesia,” kata Budi Faisal, Ph.D. Ilmuwan yang sekitar setahun yang lalu mendirikan research center Urban Landscape Hub (ULH) dalam rangka membantu meningkatkan kualitas pengembangan kawasan perkotaan ini, mendorong agar proses pengabdian dilakukan secara berkala dan bahu membahu dengan pemangku kepentingan lain agar kawasan binaan makin mandiri. Pendekatan ini menurutnya ini lebih baik ketimbang melakukan

pengabdian masyarakat di banyak tempat, tetapi tidak sampai tuntas. apalagi, saat ini model pengabdian masyarakat yang fokus pada satu tempat dalam waktu yang lebih lama memungkinkan dilakukan perguruan tinggi. “Misalnya dengan menjadikannya sebagai program merdeka belajar atau merdeka kampus, bisa juga lewat program Kuliah Kerja Nyata (KKN) yang berkelanjutan. Daerah yang dibina akan ‘dikeroyok’ mahasiswa dan dosen dari berbagai bidang ilmu. Dengan begitu, program yang direncanakan bisa lebih komprehensif,” papar Budi Faisal, Ph.D. Selain metode “mengeroyok”, Budi Faisal, Ph.D. yang tergabung dalam kelompok keahlian Perencanaan arsitektur Sekolah arsitektur, Perencaaan dan Pengembangan Kebijakan (SaPPK) ITB, ini juga mendorong perluasan spektrum karakteristik kawasan binaan. “Lebih baik fokus dan kita punya variasi model dan keragaman kategori. ada daerah perbatasan misalnya daerah yang sangat terpencil di pulau, ada yang di gunung, laut, sehingga kita punya

spektrum keragaman desa binaan ini dan bisa untuk pengembangan model yang baik,” papar Budi Faisal, Ph.D. Dengan melihat bentuk pengabdian yang membutuhkan waktu dan tenaga yang tidak sedikit, Budi Faisal, Ph.D mengingatkan bahwa kegiatan ini seyogianya dilandasi semangat persaudaraan. “Sebagai anak bangsa, harusnya kita semakin memperkecil gap yang sekarang ini besar. Mereka saudara kita. Kalau mereka maju, kita juga maju karena kebahagiaan hakiki adalah membahagiakan orang lain, kesuksesan hakiki itu menyukseskan orang lain,” ujar Budi Faisal, Ph.D. Ia juga meyakini, para dosen yang sudah terjun langsung ke daerah sulit seperti ini akan memililki pendekatan yang berbeda. Mereka tidak sekadar menjadi ahli terbaik di bidangnya, tetapi juga mengamalkannya kepada masyarakat yang membutuhkan. “Jadi kalau nanti dia bicara di depan mahasiswa dan kolega sejawatnya, akan berbeda. Mereka paham betul apa yang dihadapi masyarakat dan berupaya agar ilmu yang dikuasainya memberi jalan keluar.”*

53


Air terjun ini berada tapal batas Indonesia dengan Malaysia, tepatnya di Kampung Dayak Sei Kalayan, Desa Sekaduyan Taka. perahu. Gerombolan bekantan yang ada di sana bisa menjadi hiburan tersendiri bagi wisatawan. Masyarakat adat yang ada di sana mendukung pengembangan pariwisata di Sei Menggaris. Saat ini masyarakat adat Dayak Sei Kalayan yang tinggal di sana sekitar 300 jiwa. Setiap hari

DAYAK SEI KALAYAN SIAP MENYAMBUT WISATAWAN

Kuin Surang

Sejak Maret 2020, Air Terjun Bangen Tawai resmi menjadi destinasi wisata di Kabupaten Nunukan. Air terjun ini berada tapal batas Indonesia dengan Malaysia, tepatnya di Kampung Dayak Sei Kalayan, Desa Sekaduyan Taka, Kecamatan Sei Menggaris. Bangen Tawai artinya senang hati. Menurut tokoh adat Kampung Dayak Sei Kalayan Kuing, nama itu dipakai karena memang air terjun ini dijadikan tempat untuk melepas kepenatan. Bagi mereka yang hobi memancing, seperti dirinya, air terjun ini tidak hanya memanjakan mata, tetapi juga menghilangkan stres. Selain air terjun, Sungai Sekalayan juga potensial untuk menarik pengunjung. Selain memancing, pengunjung bisa menyusuri sungai, melewati hutan bakau (mangrove) dengan

54

mereka membuat kerajinan tangan. Kegiatan ini juga potensial mendatangkan wisatawan. Meski sudah lama menekuni pembuatan kerajinan tangan, masyarakat masih terkendala pemasaran. Wisatawan menjadi salah satu alternatif untuk memasarkan hasil kerajinan ini. “Harapan kami sebagai masyarakat adat, tolonglah dengan pembangunan yang bisa memajukan Sei Menggaris. Kita ini cermin negara di perbatasan jadi tolong dibantu,” kata Kuin Surang yang tinggal di sana sejak 1998. Masyarakat adat tampaknya sudah mempersiapkan diri untuk pengembangan wisatawan. Hal ini ditunjukkan dengan 12 hektare hutan yang sudah diserahkan sebagai hutan wisata. Di dalamnya sudah terbentuk kelompok sadar wisata (pokdarwis) yang akan mengelola kegiatan pariwisata di hutan tersebut, termasuk air terjun Bangen Tawai. “Siapa pun yang mengambil hasil (dari hutan ini) akan ada sanksi adat sesuai dengan aturan adat yang

Hasil kerajinan Dayak

sudah dibuat. Kami juga bekerja sama dengan pihak kehutanan supaya hutan untuk wisata ini lebih aman dan bisa dinikmati masyarakat Nunukan,” tutur Kuin Surang. Sebagai masyarakat adat, setiap tahun terdapat beberapa acara budaya yang lagi-lagi potensial untuk pengembangan pariwisata. Misalnya saat panen dan hari raya. Setiap hari raya, terjadi mobilitas penduduk yang cukup ramai ke kampung adat ini. Baik dari Tawau, Malaysia maupun Nunukan. Mobilitas ini hendaknya segera dimanfaatkan untuk menghidupkan usaha pariwisata. “Dengan kunjungan seperti ini, harus cepat membangun di perbatasan ini. Supaya pemerintah mau campur tangan agar bisa membantu kami di situ,” ucap Kuin Surang. Menurut Kuin Surang, perlu peningkatan infrastruktur untuk menggenjot pariwisata di Sei Menggaris, terutama perbaikan akses untuk menuju destinasi wisata. Masyarakat sendiri sebelumnya selalu mengajukan kepada pemerintah agar perbaikan bisa segera dilaksanakan. Sayangnya permohonan itu belum sepenuhnya terwujud. Ia berharap, perbaikan ini bisa segera terlaksana pada masa mendatang agar mampu menarik lebih banyak wisatawan.


Tarian Suku Kenyah

55


Taman Mangrove Tarakan

56


Kegiatan pariwisata bisa menjadi cara untuk memulihkan kondisi lingkungan setelah kegiatan eksplorasi selesai.

PARIWISATA DI KAWASAN PASCATAMBANG Kegiatan pariwisata bisa menjadi cara untuk memulihkan kondisi lingkungan setelah kegiatan eksplorasi selesai. Sekaligus bisa menjadi alternatif sumber pendapatan masyarakat setelah kegiatan tambang berakhir. Lokasi bekas pertambangan juga menjadi peninggalan sejarah yang bisa dimanfaatkan sebagai tujuan wisata. Usaha ini sudah dilakukan di banyak tempat. Misalnya saja Taman Danau Taiping di Malaysia yang dibuat dari kolam bekas tambang timah. Lahan bekas tambang El Paso di Texas amerika Serikat kini menjadi tempat hiking favorit. Di Indonesia sendiri, ada Taman Satwa Kandi yang dibuat di lahan bekas tambang di Sawahlunto. Tambang batu bara Ombilin Sawahlunto kini menjadi geopark nasional. UNESCO telah menetapkan kawasan ini sebagai warisan dunia pada 2019. Sebagai tambang batu bara pertama di asia Tenggara sejak abad ke-19, lokasi tambang ini menyimpan sejarah yang menjadi daya tarik bagi wisatawan. Satu-satunya tambang batu bara bawah tanah di Indonesia, lokasi ini menyimpan beberapa peninggalan yang menarik. Misalnya Terowongan Mbah Soero, perumahan pekerja tambang, pabrik kereta api, dan bangunan lain yang sarat sejarah dan desain arsitektur yang menarik.

Pariwisata yang dikembangkan di sana bahkan berhasil menghidupkan kembali Sawahlunto yang sempat terpuruk setelah kegiatan pertambangan selesai. aktivitas pariwisata juga telah terbukti di berbagai negara berhasil memberikan nilai tambah pada kawasan pertambangan. Model-model seperti ini yang bisa diterapkan pula di lokasi bekas tambang yang ada di Nunukan. Budi yang pernah menjabat sebagai Ketua Pusat Perencanaan dan Kepariwisataan (P2PaR) ITB, beberapa model pengembangan yang bisa dilakukan misalnya membuat jalur wisata pertambangan seperti yang dikembangkan oleh P2PaR ITB di area bekas tambang timah di Pangkal Pinang. Selain itu, bisa juga dikembangkan eduwisata pertambangan seperti yang dilakukan di Great Orme Wines, Wales. Di sini wisatawan bisa melihat langsung lokasi penambangan tembaga sejak zaman perunggu (1800 SM). Wisatawan diajak belajar tentang bahan-bahan pertambangan dan menjelajahi jalur penambangan di bawah tanah. Tak hanya wisatawan, para ilmuwan juga bisa melakukan riset di lokasi ini.

57


EDUTOURISM DI SEI MENGGARIS Menurut pemaparan Budi Faisal, Ph.D., setidaknya ada empat lokasi di Sei Menggaris yang potensial dijadikan tempat wisata. Pertama, Sungai Blok 17. Lokasi ini potensial untuk dijadikan atraksi air dan viewscape di sekitar sungai. Pariwisata di sini juga bisa diintegrasikan dengan usaha konservasi pascapenambangan batu bara yang ada di kawasan ini. Dengan infrastruktur yang lebih baik dan lengkap, Budi Faisal, Ph.D. meyakini, lokasi ini bisa menarik wisatawan. Kedua, embung alami yang bisa dimanfaatkan sebagai kolam renang. agar fungsinya sebagai resapan air tak terganggu, lokasi ini perlu dibagi menjadi area konservasi dan area atraksi. area konservasi harus turut dipelihara agar penyerapan air ke tanah tetap maksimal. Budi Faisal, Ph.D. merekomendasikan agar dibuat bioswale untuk mencegah penurunan debit air dan mencegah rambatan api kebakaran. Dengan perencanaan yang tepat, lokasi ini berpotensi menjadi objek wisata seperti Bookenberg Park Pool di Belgia atau Pasir Ris Fishing Pond di Singapura. Ketiga, Islamic Centre Sei Menggaris. Lokasi ini bisa menjadi sarana penunjang wisata halal yang sedang naik daun. Hanya perlu pengaturan ruang publik dan privat sehingga aktivitas santri dan guru tidak terganggu dengan kehadiran wisatawan. Selain itu, rekayasa teknologi bisa dilakukan untuk membuat penampungan air. Mengingat lokasi ini masih minim sumber air. Terakhir, SMKN 1 Sei Menggaris. Sekolah yang diprakarsai oleh masyarakat dan berhasil menjadi penggerak berbagai aktivitas ini menyimpan potensi agrowisata. Di sekolah ini terdapat taman pembibitan (nursery) yang menarik bagi wisatawan.

58

Selain mempersiapkan destinasi wisata, sangat penting untuk menyiapkan masyarakatnya.

Budi Faisal, Ph.D. mengingatkan, selain mempersiapkan destinasi wisata, sangat penting untuk menyiapkan masyarakatnya. Masyarakat harus siap menjadi tuan rumah yang harus melayani para wisatawan yang datang. “Kalau sistemnya jalan, tapi masyarakatnya belum siap ada kekhawatiran karena budaya melayani perlu dilatih. Budaya setiap orang bisa berbeda, tetapi ada budaya universal untuk melayani tamu. Itu juga perlu dilakukan,” kata Budi Faisal, Ph.D. Hal itu juga diamini oleh asisten Kepala Daerah Bidang Ekonomi dan Pembangunan Kabupaten Nunukan Robby Nahak Serang. Ia meyakini, soal infrastruktur jauh lebih mudah diatasi ketimbang soal kesiapan sumber daya manusia ini. Masyarakat Nunukan harus disiapkan untuk menjadi tuan rumah yang baik bagi para wisatawan.


Sungai Blok 17 Before-After Gerbang Ticketing

Sungai Blok 17 Before-After Entrance Area Kolam Pancing

Sungai Blok 17 Before-After Viewing deck

59


Danau Maninjau, Foto: T. Bachtiar

60


4

LINGKAR

ZONA LUAR PULAU JAWA 61


MENYELAMATKAN

Ekosistem

DANAU MANINJAU

Jika adik memakan pinang, makanlah dengan sirih hijau, jika adik datang ke Minang, jangan lupa singgah ke Maninjau Pantun yang dibuat oleh Presiden RI Soekarno itu tergantung di Museum Rumah Kelahiran Buya Hamka di Kampung Tanah Sirah, Nagari Sungai Batang, Maninjau. Soekarno tampaknya terpukau betul dengan keindahan Danau Maninjau yang terletak di Kecamatan Tanjung Raya, Kabupaten agam, Sumatera Barat. Kabupaten agam merupakan kawasan pegunungan dan pesisir yang didominasi oleh kawasan lindung. Kabupaten agam dihuni oleh 480.722 jiwa pada 2016. Selain sumber daya alam, sektor pertanian merupakan tumpuan ekonomi wilayah ini. Sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan mempunyai kontribusi paling besar terhadap perekonomian Kabupaten agam. Data BPS tahun 2017 menunjukkan, tingkat kemiskinan Kabupaten Agam (7,59%) berada di atas tingkat kemiskinan Sumatera Barat (6,87%). Menurut Sensus Ekonomi 2016, tantangan perekonomian Kabupaten agam berada pada kualitas sumber daya manusia yang rendah dan infrastruktur ekonomi yang terbatas. agam dilalui pegunungan Batang agam di bagian utara dan Batang antokan di selatan. Wilayah ini memiliki delapan aliran sungai yang menjadi sumber air masyarakat. Terdapat Danau Maninjau di Kecamatan Ranjung Raya seluas 94,5 km persegi yang merupakan hulu Sungai Batang Sri antokan. Danau Maninjau merupakan daya tarik wisata kebanggaan agam. Tidak hanya menyuguhkan panorama yang indah, tetapi juga memiliki tradisi budaya, keragaman kuliner, serta pertanian dan perkebunan yang menarik. Danau seluas 94,5 kilometer persegi itu terbentuk akibat letusan Gunung Sitinjau sekitar 700 tahun lalu. airnya berwarna biru, karena itu pula danau ini berjuluk Talaga Biru. Di sekitarnya terhampar sawah bersusun 62


Danau Maninjau, Foto: T. Bachtiar

luas. Panoramanya tertangkap indah jika dilihat dari Kelok ampek Puluah ampek (44). Ini menjadi spot foto favorit wisatawan yang berkunjung ke sana. Haji abdul Malik Karim amarullah atau yang dikenal dengan Buya Hamka yang sudah berkeliling dunia mengaku tak ada satu tempat pun yang menandingi keindahan tempat kelahirannya itu. Sayangnya, kita tak seberuntung Buya Hamka atau Soekarno yang sempat mencicipi keindahan Maninjau yang paripurna. Keindahan itu terkikis perlahan. airnya yang jernih berubah keruh. aroma tak sedap kerap menyeruak bersama embusan angin. Penurunan kualitas air Danau Maninjau disebabkan sisa makanan ikan yang dibudidayakan dengan sistem keramba jaring apung. Masyarakat di sekitar Danau Maninjau sebagian besar menjadikan keramba jaring apung sebagai sumber penghasilan utama. Tidak heran jika setiap tahun jumlah keramba jaring apung terus meningkat hingga tak terkendali. Penambahan jaring apung ini meningkat tajam ketika Indonesia didera krisis moneter pada 1998. Para perantau di kota-kota besar memilih balik kampung atau berdiam diri di kota kecil. Itu sebabnya jaring apung juga dimiliki para pendatang juga. Jumlah jaring apung pada 2015 tercatat sebanyak 17.000 meski menurut informasi di lapangan jumlahnya sudah mencapai 30.000. Tingkat kerapatannya (densitas) penanaman ikan bervariasi antara 19.000-20.000 ikan per keramba. Padahal menurut hasil studi yang pernah dilakukan sebelumnya, daya dukung Danau Maninjau hanya sanggup untuk 6.000 keramba dengan densitas penanaman ikan 15.000/keramba. Pemanfaatan 63


Masyarakat perlu melihat alternatif lain di darat yang mampu menjadi jalan hidup baru yang berkesinambungan.

Danau Maninjau yang melampaui daya dukungnya ini membuat kualitas lingkungan menurun. Sisa pakan ikan yang mengandung zat anorganik terakumulasi membentuk sedimen di dasar laut. Data Balai Besar Wilayah Danau dan Sungai Sumatera menunjukkan, tumpukan limbah pakan dan sedimen lainnya di dasar Maninjau mencapai 50 ton atau setinggi 267 meter. akibatnya, terjadi pendangkalan danau. Pada 2017, kedalaman danau mencapai 200 meter, tetapi kini tersisa 33 meter saja. Kualitas air danau pun ikut menurun. Saat pola arus meningkat, air danau menjadi keruh. Perputaran zat toksik sisa pakan menyebabkan kematian ikan secara massal. Menyebarkan bau tak sedap yang mengganggu. Peningkatan fenomena kematian ikan massal menjadi lebih dari tiga kali per tahun. Produktivitas keramba juga jadi menurun signifikan. Praktis, seluruh unsur lingkungan di sekitar Maninjau merosot. Beban yang dipikulnya terlalu berat. Masyarakat pula yang harus menanggung akibatnya. Pariwisata Maninjau menurun drastis. Sebagai objek wisata alam, kelestarian lingkungan menjadi tumpuan. Kondisi ini tak bisa dibiarkan terusmenerus. Pada akhirnya, masyarakat yang selama ini bergantung pada Maninjaulah yang akan menanggung kerugian terbesarnya. Pemerintah daerah berniat mengurangi jumlah jaring apung hingga tinggal 6.000 saja. Rencana ini mendapat penolakan dari masyarakat. Mereka khawatir kehilangan mata pencaharian. Jika tidak menjadi petani ikan, apa yang bisa mereka lakukan? Perlu ada upaya untuk menarik masyarakat agar tak hanya menggantungkan diri pada budi daya ikan keramba jaring apung. Masyarakat perlu melihat alternatif lain di darat yang mampu menjadi jalan hidup baru yang berkesinambungan. Dengan begitu, warga bisa mendapatkan pekerjaan yang layak dan dengan berkurangnya beban Danau Maninjau, lingkungan sekitarnya lambat laun akan pulih. Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) Institut Teknologi Bandung bersama-sama dengan Pemda Kabupaten agam dan Ikatan alumni ITB mencoba mencari solusi alternatif bagi masyarakat. Kewirausahaan berbasis agroindustri dinilai menjadi solusi yang cocok dengan masalah yang dihadapi masyarakat setempat. Lewat kegiatan pelatihan dan pendampingan yang terintegrasi, ITB menawarkan budi daya jamur tiram dan pembuatan pupuk sedimen dari sumber daya alam lokal sebagai solusi menyelamatkan masyarakat dan lingkungan Maninjau. Tidak mudah meyakinkan masyarakat untuk mau menyelami keterampilan baru ini. Bertahun-tahun mereka telanjur hidup berkawan jaring apung. Bagi mereka, mata pencaharian baru belum memberi jaminan keberhasilan. Prof. Nyoman dari Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati (SITH) ITB sebagai komandan lapangan program ini cukup dibuat frustrasi dengan respons masyarakat. Pelatihan yang semula ditujukan kepada warga secara luas, termasuk pemagangan salah seorang pemuda lokal Maninjau selama 1 bulan di ITB untuk budi daya jamur dibayang-bayangi kegagalan. akhirnya sejak 2016, pelatihan difokuskan di SMa Negeri 1 Tanjung Raya. Sekolah ini menangkap niat baik ITB. “Alhamdulillah dengan bantuan Kepala SMa 1 dan alumni ITB juga, nah beliau punya penerimaan yang sangat baik. akhirnya kita jadikan SMa itu sebagai basisnya. Kita melatih SMa sehingga kegiatan kita menjadi kurikulum anak SMa,” kata Prof. Nyoman.

64


JAMUR UNTUK KETAHANAN PANGAN PROF. DR. I NYOMAN PUGEG ARYANTHA,

Prof. Dr. I Nyoman Pugeg aryantha berkeliling Indonesia mengajak masyarakat belajar budi daya jamur. Nyoman meyakini, jamur ialah masa depan pangan Indonesia. Budi daya jamur bisa menjadi penyelamat lingkungan dan ekonomi sekaligus. Tergabung dalam Kelompok Keilmuan Bioteknologi Mikroba Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati (SITH) ITB, Prof. Nyoman banyak meneliti tentang pemanfaatan jamur lokal, baik untuk pertanian, industri pangan, maupun kesehatan. Pada banyak kesempatan, ia menyebut mikroba sebagai “biogaib”. Makhluk yang tak kasat mata, tetapi mempunyai peran penting untuk kemaslahatan bersama. Meski sudah puluhan tahun mendalami soal jamur – jasad renik yang termasuk dalam kelompok mikroba dan kategori eukariot – Prof. Nyoman tetap menikmati setiap kali turun ke tengah masyarakat untuk menunaikan tugas pengabdian. Bersama Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) ITB, Prof. Nyoman membantu masyarakat memulai budi daya jamur di setidaknya tiga lokasi, yaitu Danau Maninjau, Blora, dan Sei Menggaris. Prof. Nyoman mengaku, terjun langsung untuk memberi solusi atas persoalan masyarakat selalu membawa kepuasan batin.

Bergaul langsung dengan masyarakat membuatnya bertemu dengan temanteman baru. Teman yang bisa berdiskusi dari hati ke hati. “Di Blora saya menjadi seperti saudara dengan Supat. Begitu ke Jepara saya dekat dengan Kharis, jadi seperti saudara. Begitu ke Maninjau jadi dekat dengan Pak Chandra, kepala sekolah di sana. Seolah-olah tidak ada jarak dengan kepala sekolah. Di Sei Menggaris, saya sudah menjadi saudara dengan guru-gurunya, siswanya. Saya jadi merasa memiliki banyak saudara,” tutur Prof. Nyoman. Manfaat bertemu langsung dengan masyarakat, berikut berbagai persoalannya, juga bermanfaat bagi mahasiswa. Oleh karena itu, Prof. Nyoman selalu mengikutsertakan mahasiswa yang sedang dibimbingnya terlibat dalam kegiatan pengabdian masyarakat. “Jadi melekat apa yang saya ajarkan di kelas, melihat implementasi di masyarakat, kemudian dipraktikkan langsung di lapangan. Itu yang menurut saya sangat penting dan sangat besar maknanya bagi mahasiswa saya,” kata Prof. Nyoman. Di Maninjau, Prof. Nyoman dan tim berusaha untuk mencari jalan keluar dari masalah ekonomi juga lingkungan yang dihadapi warga Maninjau. Dari sisi ekonomi, jaring apung tak lagi berdaya seperti dulu. Jumlah keramba jaring apung sudah terlalu padat sehingga berpengaruh pada produktivitasnya. Belum lagi ikan yang sering mengalami kematian massal, tetapi berganti profesi bukan perkara gampang.

65


Kerusakan lingkungan jelas terlihat. akibatnya, usaha pariwisata merosot tajam. Pendapatan masyarakat setempat jadi terpuruk. Masyarakat perlu mengalihkan sumber pendapatannya yang semula dari air ke darat. “Salah satunya dengan budi daya jamur,” kata pria kelahiran Denpasar, 22 Mei 1965 ini. Prof. Nyoman mengatakan, usaha masyarakat di darat, seperti pertanian, perlu dukungan agar berkelanjutan dan berdampak baik bagi perekonomian dan lingkungan. Itu sebabnya, masyarakat tidak hanya diajak belajar budi daya jamur, tetapi juga membuat pupuk hayati.

Hanya dengan kemandirian, masyarakat mampu meninggalkan cara hidup lama yang bergantung pada Danau Maninjau. Pupuk hayati itu dibuat dari sedimen Danau Maninjau. “Kalau rutin diambil sedimennya, jangka panjangnya Insya allah kualitas danaunya bisa membaik,” ujar pria yang mendapat gelar master dan doktor dari The University of Melbourne, australia. Petani jadi mempunyai kemampuan untuk memproduksi pupuk secara mandiri menghemat biaya pupuk yang sebelumnya harus beli. Hasilnya pun terbukti baik. Kemandirian menjadi hal penting yang ditekankan Prof. Nyoman. Hanya dengan kemandirian, masyarakat mampu meninggalkan cara hidup lama yang bergantung pada Danau

66

Maninjau. “Di Maninjau, kami sempat frustrasi,” kata Prof. Nyoman. Semula, upaya memperkenalkan budi daya jamur dilakukan di masyarakat yang difasilitasi Bupati agam ketika itu. Ternyata respons masyarakat jauh dari yang diharapkan. Sampai akhirnya terjalin komunikasi yang baik antara SMa Negeri 1 Tanjung Raya yang difasilitasi oleh alumni ITB. Sekolah itu kemudian menjadi basis pelaksanaan program ini.

sudah di atas 2 kilogram per kapita. Sementara, di Indonesia tak sampai 100 gram per kapita. Sejauh ini dikonsumsi sebagai bahan pangan dan obat. Prof. Nyoman meyakini, jamur bisa menjadi solusi ketahanan pangan Indonesia. Jamur memiliki kandungan protein yang tinggi dan rendah kolesterol, serta kandungan asam amino yang hampir sama dengan telur. Kandungan lemaknya berupa lemak tak jenuh atau lemah sehat.

Rupanya pendekatan sosial seperti ini lebih membuahkan hasil. Program sekolah itu diharapkan bisa menjadi contoh bagi masyarakat luas. Jika di sana berhasil, masyarakat akan lebih mudah diajak turut serta. Bagi siswanya, kegiatan ini diharapkan bisa menjadi alternatif kegiatan wirausaha selepas lulus SMa nanti.

Dari penelitian-penelitiannya, sejumlah paten telah ia kantongi, antara lain teknologi mikroba probiotik indigenous untuk aplikasi pertanian, perikanan, dan bioremediasi; sel bahan bakar menggunakan bakteri litotrof; produksi senyawa antikolesterol lovastatin dari jamur tiram; dan proses produksi paket mikroba penghasil fitrohormon.

Inilah yang membuat Prof. Nyoman senantiasa bersedia membagi ilmu jamurnya kepada masyarakat luas. “Jamur ini sangat pas dijadikan objek kegiatan kewirausahaan, banyak sekali masyarakat yang mengalami putus kerja dan sebagainya mengambil penelitian kewirausahaan dengan topik jamur ini jadi sangat terbantu, jadi sangat pas untuk dijadikan topik penelitian masyarakat. Itu alasan saya memilih budi daya jamur ini diaplikasikan ke masyarakat,” kata Prof. Nyoman.

Ketekunan dan kegigihan Prof. Nyoman meneliti dan menyebarluaskan ilmu budi daya jamur selama ini diganjar sejumlah penghargaan. Ia pernah menyabet penghargaan atas hasil lisensi karya Kekayaan Intelektual ITB 2001, adikhara Rekayasa award Persatuan Insinyur Indonesia (PII) 2003, aFEO award asean Federation of Engineering Organization 2003, Satya Lencana Pemerintah RI 2004, Dosen Berprestasi ITB 2012 Bidang Pengabdian kepada Masyarakat Kategori Penerapan Teknologi.

Peluang membudidayakan jamur di Indonesia masih terbuka lebar. Jamur tidak hanya sebagai sumber protein masa depan, tetapi juga bisa mengangkat kesejahteraan masyarakat. Di negara maju, seperti Prancis, Jepang, australia, Kanada, dan amerika Serikat konsumsi jamurnya

Ia berharap program pengabdian seperti ini bisa terus dilanjutkan, bahkan ditingkatkan sesuai dengan kapasitas anggaran LPPM ITB. Koordinasi antara dosen, mahasiswa menjadi kunci keberhasilan program.*


Program pelatihan ini diharapkan dapat memberikan diversifikasi lapangan pekerjaan bagi masyarakat di sekitar Danau Maninjau sehingga masyarakat tidak hanya terpaku pada kegiatan keramba jaring apung.

BuDI DAYA JAMuR TIRAM Prof. Nyoman menjelaskan, jamur tiram merupakan bahan pangan dengan kandungan protein yang tinggi, mengandung zat antikolesterol, dan berbagai vitamin mineral yang bermanfaat bagi tubuh. Mengonsumsi jamur tiram secara rutin akan berdampak baik bagi kesehatan. Dari sisi ekonomi, budi daya jamur tiram memiliki prospek bisnis yang menjanjikan. Permintaan jamur tiram selalu meningkat setiap tahunnya. Ditambah lagi kondisi lingkungan di sekitar Maninjau cocok untuk berbudi daya jamur tiram. Oleh karena itu, alternatif layak untuk dikembangkan. Masyarakat di sekitar Maninjau juga hidup dari pertanian. Mereka menanam padi, cokelat, pala, cengkeh, dan kacang-kacangan. Pembuatan pupuk diharapkan bisa menunjang pertanian masyarakat. Prof. Nyoman mengatakan, masyarakat diajak untuk belajar membuat pupuk hayati yang terbuat dari sedimen. “Bersifat alami, tidak merusak lingkungan dan memiliki kandungan nutrisi yang tinggi untuk tanaman,” kata Prof. Nyoman. Pembuatan pupuk ini juga bertujuan memanfaatkan sedimen sisa pakan ikan yang mengendap di dasar danau. Sedimen tersebut ditambahkan dengan mikroorganisme lokal. Pupuk hayati memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan pupuk kimia. Harganya lebih murah dan tidak merusak lingkungan. “Program pelatihan ini diharapkan dapat memberikan diversifikasi lapangan pekerjaan bagi masyarakat di sekitar Danau Maninjau sehingga masyarakat tidak hanya terpaku pada kegiatan keramba jaring apung,” tutur Prof. Nyoman. Prof. Nyoman merancang pelatihan yang bersifat berkesinambungan dan terintegrasi. Dengan konsep ini, pelatihan yang dilaksanakan tidak sekadar selesai dalam satu kali pertemuan. Pelatihan dilakukan bertahap dengan pendampingan yang berkesinambungan. Tim ITB memulai program ini pada 2015 dengan mengumpulkan informasi, survei, dan membangun relasi dengan berbagai pihak. Program pelatihan terealisasi pada 2016 dan terus berlanjut sampai sekarang. Pelatihan tidak saja soal budi daya jamur tiram, tetapi juga pengolahan pascapanen. Selain memproduksi tubuh buah jamur, nilai tambah produk jamur tiram juga dapat ditingkatkan dengan pengolahan pascapanen. Masyarakat diajarkan tentang teknik pengawetan dengan prinsip yang sederhana, yaitu memanfaatkan panas matahari untuk mengurangi kadar air pada tubuh buah jamur sehingga produk dapat lebih tahan lama. Pengolahan pascapanen bioproduk selain dapat meningkatkan umur produk, juga meningkatkan kandungan gizi, cita rasa, juga nilai ekonomi. Tubuh buah jamur tiram hasil panen diolah menjadi produk-produk pangan inovatif dan menyehatkan seperti keripik jamur, nugget jamur, dan asinan jamur. Dengan begitu, masyarakat Maninjau bisa berkreasi menghasilkan produk-produk olahan jamur tiram. Langkah ini menjadi awal terciptanya industri budi daya jamur tiram oleh masyarakat Tanjung Raya, Maninjau. Masyarakat dibekali kemampuan menanam jamur tiram hingga memasarkan berbagai produk olahannya. Opsi yang dimiliki masyarakat jadi kian lebar. Mereka bisa memilih perannya dalam rantai budi daya jamur ini.

67


PuPuK HAYATI Tingginya sedimentasi merupakan persoalan terbesar yang dipikul Danau Maninjau. Menyelamatkan lingkungan Maninjau, mau tak mau, harus bisa mengatasi sedimentasi. LPPM ITB menawarkan solusinya menjadikan sedimen Maninjau yang memiliki kandungan organik tinggi di dasar danau sebagai bahan baku pembuatan pupuk cair hayati. Proses ini dibantu oleh mikroorganisme yang mudah dibuat. Pupuk hayati merupakan istilah dari penggunaan agen-agen mikroba aktif seperti bakteri, jamur, dan mikroalga yang berfungsi sebagai penyedia unsur hara di tanah bagi tanaman. Pupuk hayati mengandung mikroorganisme yang menghasilkan berbagai enzim sehingga dapat melakukan pengikatan nitrogen udara, dekomposisi materi organik menjadi unsur hara dan fitohormon, melarutkan unsur dari batuan mineral, juga meningkatkan kapasitas penyerapan akar terhadap unsur hara dalam tanah yang secara keseluruhan dapat menjaga kesuburan tanah. Sedimen Maninjau menjadi bahan baku pupuk cair yang berlimpah. Sedimen yang diambil bisa yang berada di pinggir danau, maupun yang berada di dasar. Pengambilan sedimen di pinggir danau lebih mudah karena bisa dilakukan dengan alat sederhana. Pengambilan sedimen di dasar danau mempunyai tantangan tersendiri. “Karena ini berbasis kemandirian masyarakat, masyarakat mengambil (sedimen) dengan cara yang masih tradisional seperti menggunakan pompa. akan tetapi, pakai pompa itu banyak yang terencerkan oleh air dan hilang di jalan, akhirnya menggunakan teknik menyelam,” kata Prof. Nyoman.

ITB menawarkan solusinya menjadikan sedimen di dasar danau Maninjau sebagai bahan baku pembuatan pupuk cair hayati.

Pupuk cair hayati ini dimanfaatkan langsung untuk lahan dan tanaman sayur. Setelah beberapa kali pemakaian, hasil panen terong petani meningkat dengan kualitas yang baik. Selain pupuk cair, masyarakat juga diajak berinovasi dengan membuat pupuk padat hayati yang terbuat dari limbah baglog jamur tiram. Peningkatan budi daya jamur tiram menghasilkan limbah baglog yang tidak digunakan. Baglog jamur tiram mengandung nutrisi yang menunjang pertumbuhan tanaman. Pelatihan pembuatan pupuk ini dirancang agar masyarakat bisa memanfaatkan alat dan bahan yang mudah didapat, murah, dan dapat disubstitusi dengan bahan lain yang tersedia. Pupuk padat hayati atau dikenal dengan istilah biofertilizer menggunakan agen mikroba aktif yang mampu menyediakan unsur hara di tanah bagi tanaman melalui proses metabolisme yang dilakukan oleh mikroba. Dalam hal ini, agen mikroba aktif yang digunakan adalah jamur Trichoderma sp. Prof. Nyoman mengatakan, penggunaan pupuk padat Trichoderma ini bisa mengurangi dampak negatif penggunaan pupuk kimia sintetis secara terus-menerus. Setelah mengikuti pelatihan ini, masyarakat diharapkan tak hanya bisa mengurangi kebergantungannya terhadap pupuk kimia, tetapi juga mampu memproduksi pupuk hayati Trichoderma ini secara mandiri.

Siswa di SMaN 1 Tanjung Raya masih aktif memproduksi pupuk cair sedimen ini sampai sekarang. Bahkan keterampilan membudidayakan jamur tiram dan membuat pupuk hayati ini menjadi kurikulum pengembangan ilmu pengetahuan dan kewirausahaan. Perhimpunan Petani dan Nelayan Sejahtera Indonesia (PPNSI) Sumatera Barat tertarik untuk menguji kandungan pupuk cair hayati yang dikembangkan oleh SMaN 1 Tanjung Raya untuk selanjutnya dikembangkan di koperasi petani. Pembuatan pupuk hayati ini membantu sebagian masyarakat Maninjau yang hidup dari bertani. Mereka bisa mendapatkan pupuk hayati yang lebih ramah lingkungan dengan harga yang lebih murah dari pupuk kimiawi. Tentu saja ini kabar baik bagi petani karena bisa menghemat ongkos produksi sekaligus mendapatkan hasil panen yang berkualitas. Budi daya jamur tiram dan pembuatan pupuk hayati akan mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap budi daya ikan keramba jaring apung. Masyarakat mempunyai banyak pilihan sumber ekonomi baru yang lebih ramah lingkungan. Prof. Nyoman mengatakan, berbagai pelatihan 68


yang diselenggarakan LPPM ITB untuk meyakinkan masyarakat, keramba jaring apung bukan satu-satunya mata pencaharian yang bisa dilakoni masyarakat. “Harapannya, tadinya sekian persen melihara ikan berbasis keramba jaring apung, sebagian bisa pindah sehingga jangka panjang harapan kami danau bisa pulih kembali,” tutur Prof. Nyoman. Mundur ke daratan bukan berarti kehilangan mata pencaharian Karena potensi usaha di darat berbasis komoditas lokal cukup banyak yang potensial seperti kelapa untuk VCO, coklat, dan kayu manis. Masyarakat kini justru memiliki keterampilan baru yang memberi banyak pilihan sumber ekonomi yang lebih ramah lingkungan.***

Historiografi PROGRAM

2017

MANINJAU

2016 2015

Budi daya jamur tiram dan yoghurt Di Nagari Bayur dan Maninjau dilanjutkan dengan pemagangan seorang pumuda lokal belajar teknik bibit dan budidaya jamur di ITB selama 1 bulan.

Budi daya jamur tiram

Produksi jamur tiram di SMA Negeri 1 Tanjung Raya

Sekolah ini diharapkan bisa menjadi contoh untuk masyarakat Maninjau dan sekitarnya. aktivitas ini masih berlangsung sampai hari ini bahkan menjadi program dan komoditas unggulan dari SMaN 1 Tanjung Raya. Budi daya jamur tiram dan pupuk hayati masuk dalam kurikulum di sekolah.

2019

Pelatihan pascapanen jamur tiram Peserta pelatihan diajarkan teknik pengawetan menggunakan prinsip sederhana, yaitu memanfaatkan panas matahari untuk mengurangi kadar air pada tubuh buah jamur sehingga produk dapat lebih tahan lama.

2018 Pelatihan pembuatan pupuk cair hayati memanfaatkan sedimentasi Danau Maninjau Pelatihan mulai mengarah pada perbaikan Danau Maninjau.

Pelatihan pembuatan pupuk padat hayati memanfaatkan limbah baglog jamur tiram dengan bantuan jamur Trichoderma sp. Masyarakat diharapkan mengurangi ketergantungan pada pupuk kimia.

69


BUKAN SEKADAR

Maninjau

Kegiatan pertama LPPM ITB ke kawasan Danau Maninjau tidak langsung berjalan sebagaimana diharapkan. Ketika LPPM bekerja sama dengan Nagari, belum ada tindak lanjut. “ada istilah, yang namanya Maninjau itu hanya meninjau-meninjau saja,” kata Surya Chandra, Wakil Kepala SMaN 1 Tanjung Raya Maninjau. Ketika acara homecoming ITB 2015, Surya Chandra bertemu dengan teman seangkatannya di Fisika 1983 yang menjadi dosen di ITB, Prof. Dr. Eng. Khairurrijal, M.Si. Setelah itu, mereka bertemu dengan Prof. Nyoman dan Prof. Budi Sulistianto, kemudian membahas kegiatan LPPM di Maninjau. Setelah dibahas Chandra menawarkan sekolahnya dijadikan titik pusat aktivitas LPPM. Lalu disepakati kegiatan pertamanya adalah budi daya jamur tiram yang dilaksanakan pada 2016. Selain siswa SMa, beberapa kelompok tani juga menjadi peserta. Kegiatan dilanjutkan dengan pelatihan pengolahan pascapanen pada 2017. Saat kunjungan LPPM pada 2017, diceritakan mengenai masalah limbah pakan ikan yang membentuk sedimen di dasar 70

Danau Maninjau. Ketika danau berulah, para petani keramba mengalami kerugian sampai miliaran. LPPM berusaha mencari jalan keluar bagaimana menyelesaikan permasalahan danau, sekaligus persoalan mahalnya harga pupuk. Pada 2018, Prof. Nyoman menginisiasi pembuatan pupuk cair dengan sedimen danau sebagai bahan dasar, selain limbah pasar, sayur, dan buah-buahan. Pengambilan sedimen pertama kali dilakukan menggunakan pompa sedot. Namun, karena lebih banyak airnya, warga mengambil sedimen dengan teknik jaring atau didawu. Masyarakat menaruh jaring di dasar danau untuk mengangkat sedimen. Surya menceritakan, pada 2019, POC yang diajarkan diterapkan untuk organisasi PPNSI (Perhimpunan Petani Nelayan Seluruh Indonesia) Tanjung Raya. Pupuk tersebut digunakan salah satu kelompok petani cabai, dan ternyata hasilnya memang unggul dan bagus. Jumlah daun jadi lebih banyak, tumbuh


Danau Maninjau, Foto: T. Bachtiar

lebih cepat, dan buahnya bagus. Salah satu anggota kelompok tani tersebut bahkan membawa pupuk untuk diterapkan. “Kebetulan di kelompok itu ada satu anak ITB. Begitu tahu kita bikin pupuk itu, dia membawa semuanya, hampir satu ton. Karena yang lain cuek, saya mempersilakan dia membawanya. Ternyata semua cabai di lahannya, mungkin sekitar setengah hektare, yang dia tanam memakai pupuk POC berbuah dengan baik. Setelah itu, salah satu kelompok tani menerapkan pupuk tersebut untuk tanaman terong. Terong yang biasanya dipanen maksimal 15 kg, dengan menggunakan pupuk ini bisa mencapai 40 kg. Begitu pula dengan tanaman buncis, yang panjangnya bisa mencapai dua kali dari yang biasa. “PPL petani di sana sampai bingung,” kisah Surya. Sejauh ini pupuk organik cair hanya dimanfaatkan petani karena dalam pengujian nilai NPK-nya di bawah 1 sehingga tidak bisa dijual. “Tentu saja NPK-

nya rendah karena POC berfungsi membangkitkan nutrisi dan bersifat organik,” kata Surya menirukan jawaban Prof. Nyoman. Program ini berlanjut pada 2019, LPPM memberikan pelatihan pembuatan pupuk Trichoderma. Di sekolah, seluruh program ini dimasukkan sebagai bagian dari mata pelajaran khusus. Sebelum kurikulum 2013, masih 2006, dinamakan keterampilan pertanian. Pelajarannya budi daya jamur dan pascapanen. Jadi, setelah panen jamur, mereka diberi pelatihan membuat jamur krispi, bakso, dan beberapa olahan jamur di kelas II. Pelatihan pembuatan pupuk POC dan Trichodema diberikan untuk kelas III. Kelompok siswa yang meneliti POC mendapatkan gelar juara kedua. Banyak keunggulan lain dari pupuk organik cair selain untuk pertanian. Bahkan, ketika disandingkan dengan POC versi pabrik, pupuk organik dari sedimen juga lebih unggul. “Orang sana berkata, ‘Profesor dari ITB yang ngajarin, jadi ya enggak main-main’,” kata Surya.*

71


CENDAWAN, BUKAN JAMUR! PROF. DR. ENG. KHAIRURRIJAL, M.SI.

“Namanya Pak Surya Chandra. Dia jadi guru di SMaN 1 Tanjungraya, kemudian tahu saya di LPPM. Lalu dia bilang apa yang bisa digandeng dengan LPPM ITB, saya bilang sih banyak, tapi karena dengan sumber dana di LPPM itu terbatas jadi kita perlu menggandeng pihak ketiga,” kata Prof. Rijal. akhirnya kegiatan LPPM ITB di Maninjau mendapat sokongan dari Ikatan alumni ITB. Kegiatan di Maninjau pun bergulir sejak 2015 dan terus terlaksana sampai tahun-tahun berikutnya. Misi utama LPPM ITB di Maninjau ialah memperbaiki ekosistem Danau Maninjau yang rusak akibat pertambahan keramba jaring apung yang tak terkendali. Pendangkalan danau, ikan banyak yang mati dan meninggalkan bau tak sedap sehingga menurunkan kecantikan Maninjau. Wisatawan berkurang drastis.

72

Perlu usaha keras untuk menarik masyarakat yang sudah telanjur hidup di atas Danau Maninjau ke darat. Perlahan, masyarakat diberi pandanganpandangan baru bahwasannya darat juga menjanjikan hidup yang baik. Sebenarnya, LPPM ITB sudah menyusun grand design pemecahan masalah di Maninjau. Namun, untuk melaksanakannya perlu dana yang sangat besar. Setelah upaya mendapatkan dana tak membuahkan hasil maksimal, akhirnya rencana tersebut dilaksanakan dengan dana yang ada. “Misalnya pengambilan lumpur (sedimentasi) tidak memakai backhoe, tetapi ada nelayan yang kreatif. Setelah berdiskusi, dia kreatif mengambil lumpur. Itu salah satu contoh biaya bisa ditekan,” tutur Prof. Rijal. Prof. Rijal mengatakan, dana memang penting. Tapi, juga tidak boleh menjadi penghambat, hanya menunggu sampai ada dana baru bergerak. Perlu mencari alternatif agar program tetap bisa berjalan. LPPM ITB memilih satu fokus kegiatan setiap tahunnya. Setelah pemetaan pemetaan masalah awal tahun kegiatan pertama sejak agustus 2015 di 2 Nagari Bayur dan Maninjau. Sejak 2016 terpusat di SMa N 1 Tanjungraya. Tahun berikutnya, masyarakat diajari mengolah jamur tiram menjadi produk lain yang mempunyai nilai ekonomi.

Tahun 2018 dan 2019, kegiatan pengabdian masyarakat di Maninjau difokuskan pada perbaikan kualitas lingkungan. Caranya dengan memanfaatkan sedimentasi Danau Maninjau menjadi pupuk cair hayati. Baglog sisa budi daya jamur tiram juga dimanfaatkan menjadi pupuk padat.

Berhadapan dengan masyarakat Maninjau menjadi tantangan terbesar saat LPPM ITB memulai pengabdian masyarakat di sana. Perlu waktu membuat masyarakat menerima ide yang ditawarkan oleh LPPM ITB. Dengan pendekatan dan pemahaman kultur yang tepat, akhirnya sinergi pun tercipta. Ketika memulai program di Maninjau, LPPM ITB dipimpin oleh Prof Rijal. Keterlibatan LPPM ITB di Maninjau bisa berjalan berkat bantuan teman seangkatan Khairul yang pulang kampung dan menjadi guru di SMa Negeri 1 Tanjungraya.

Oleh karena itu, penting kemudian melatih masyarakat sebagai agen multiplikasi kita.” Semua kegiatan itu tak bergulir mulus. Prof. Rijal masih ingat, bagaimana respons negatif masyarakat setempat dengan ajakan membudidayakan jamur tiram. Keengganan masyarakat karena istilah jamur bagi masyarakat Sumatera Barat mempunyai konotasi negatif. Jamur dianggap sebagai penyakit. “Bikin panu,” ujar Prof. Rijal. Rupanya, masyarakat setempat tidak menyebut tiram dan sebangsanya sebagai jamur, melainkan cendawan. akhirnya istilah jamur diganti dengan cendawan. Meskipun masyarakat tidak langsung menerima program


ini, ada satu keluarga yang mencoba bertani jamur. Keluarga ini mendapat dukungan dan perhatian penuh dari LPPM ITB. Keluarga ini pun akhirnya berhasil membudidayakan jamur tiram. Keberhasilan inilah yang kemudian mengubah pendirian warga. Setelah berhasil, justru masyarakat yang kemudian memberi masukanmasukan untuk kegiatan berikutnya. akhirnya kegiatan ini terus bergulir setiap tahun. LPPM ITB juga tak sekadar menggandeng guru SMa Negeri 1 Tanjung Raya. Seluruh siswanya juga menjadi agen perubahan di daerahnya. Mereka mendapat berbagai ilmu dan keterampilan baru yang kemudian ditularkan kepada keluarganya dan masyarakat di lingkungannya. Bahkan semua materi yang didapat dijadikan materi pembelajaran di sekolah. “Jadi itu juga yang penting, multiplikasinya sangat-sangat banyak dan sangat positif,” ujar Prof. Rijal. Setelah lima tahun tanpa jeda, program pengabdian masyarakat yang digawangi LPPM ITB di Maninjau mendapat apresiasi yang positif, baik dari masyarakat maupun pemerintah daerahnya. Kegiatan pemberdayaan memerlukan sumber daya yang besar. Selain tenaga, perlu pula dana yang memadai. Jika hanya mengandalkan anggaran yang dimiliki LPPM ITB, barangkali pengabdian masyarakat di Maninjau – juga di daerah lainnya – tak akan tuntas. Manfaat yang diterima masyarakat tidak akan optimal. Oleh karena itu, tidak segan tim peneliti jungkir balik memenuhi kebutuhan dana

ini. Mencari pendanaan dari berbagai sumber lalu dikumpulkan. Semua itu dilakukan karena harapan masyarakat terhadap ITB sangatlah besar. “Tapi, sekali lagi, LPPM ITB khususnya, ITB pada umumnya kan tenaganya terbatas. Oleh karena itu, penting kemudian melatih masyarakat sebagai agen multiplikasi kita,” kata Prof. Rijal. Maksudnya, masyarakat juga harus berperan aktif. Bukan sekadar menerima materi atau menjadi objek program pengabdian masyarakat. Ia mencontohkan, beberapa warga dari daerah binaan datang ke ITB untuk mendalami pengetahuan atau keterampilan tertentu. Setelah menguasainya, ia kembali ke daerahnya lalu menularkan kemampuan itu kepada yang lain.

Dengan begitu, segala keterbatasan bisa diatasi tanpa mengurangi manfaatnya. Prof. Rijal mengatakan, peran aktif masyarakat justru menjadi kunci keberhasilan program pengabdian masyarakat ini. Ibaratnya, bukan ITB yang ngotot, melainkan masyarakat yang menyadari perlunya mencari solusi atas persoalan yang dihadapi. Di sisi lain, para peneliti ITB juga membuka diri sehingga bisa berbaur dengan baik dengan masyarakat. Pengabdian masyarakat di Maninjau bisa menjadi salah satu contoh sukses. Meski pada awalnya tampak sulit. “Setelah lima tahun, budi daya jamur itu sekarang sudah jadi produk hilir. Mereka sudah membuat berbagai olahan pangan,” ujar Prof. Rijal.*

73


MENGUBAH LIMBAH MENJADI

Pupuk Hayati

Sisa pakan ikan di keramba jaring apung di Danau Maninjau menyebabkan tingginya sedimentasi di dasar danau. Tumpukan limbah pakan ditambah sedimen lainnya mencapai 50 ton atau setinggi 267 meter. akibatnya, Danau Maninjau semakin dangkal. Data yang menunjukkan, kedalamannya tinggal 33 meter saja. Padahal pada 2017, kedalamannya masih sekitar 200 meter. Sedimen tersebut mengandung materi organik yang bisa dimanfaatkan, yaitu sebagai bahan baku pembuatan pupuk cair hayati. Jika bisa dimanfaatkan, timbunan sedimen di Danau Maninjau bisa dikurangi. Pupuk hayati lebih ramah lingkungan dibandingkan dengan pupuk kimia. Pupuk hayati merupakan pembuatan pupuk dengan bantuan agen-agen mikroba, seperti bakteri, jamur, dan mikroalga yang fungsinya menyediakan unsur hara bagi tanaman. Enzim yang dihasilkan mikroorganisme itu mampu mengikat nitrogen di udara, mengurai materi organik menjadi unsur hara dan fitrohormon, melarutkan unsur batuan mineral. Pupuk hayati bermanfaat untuk meningkatkan kapasitas akar menyerap unsur hara tanah dan menjaga kesuburan tanah. Pada intinya, sedimen danau ini menjadi media bakteri. Sedimen itu oleh bakteri diolah menjadi unsur hara. Pembuatan pupuk cair hayati ini terdiri atas dua proses utama. Pertama, pembuatan inokulum atau bibit pupuk sedimen. Kedua, pembuatan pupuk cair dengan menggunakan biang yang sudah disiapkan. Inokulum terbuat dari jus akar tanaman dari golongan Fabaceae, misalnya akar tanaman Arachis pintoi, tanaman kacangkacangan seperti kedelai, mimosa, kacang tanah, dan kacang babi yang memiliki nodul (bintil akar). Bintil akar itu berisi bakteri-bakteri yang mengikat nitrogen.

74

Proses metabolisme menggunakan substrat akan menghasilkan unsur hara yang dibutuhkan tanaman. Substrat yang digunakan ialah limbah sayuran dan buah-buahan. Bahan-bahan ini diambil dari produk sampingan pertanian di Maninjau yang sebelumnya belum dimanfaatkan. Limbah ini mengandung nutrisi, karbon, dan nitrogen yang dibutuhkan mikroba untuk tumbuh. Untuk membuat biang pupuk, limbah sayuran dan buah-buahan dihaluskan menjadi jus setelah sebelumnya dicuci bersih. Kemudian ditambahkan substrat gula merah sebagai sumber karbon dan kecambah atau tauge sebagai sumber nitrogen dan asam amino. Campuran ini yang disebut dengan biang. Biang dibuat di bioreaktor sederhana yang dibuat dari botol bekas dan aerator akuarium. Untuk membuat pupuk cair hayati, sedimen diambil dari danau. Sedimen dan air ditampung dalam wadah. Wadah yang digunakan bisa berupa ember kemudian disambungkan ke pompa. Bisa menggunakan pompa akuarium. Jika membuat dalam jumlah besar, sedimen bisa ditempatkan di tangki air kemudian disambungkan ke pompa yang lebih besar pula. Tambahkan aerator ke dalam wadah. Fungsinya untuk proses pencampuran dan sebagai suplai oksigen. Lalu tambahkan inokulum yang sudah dibuat sebelumnya. Selanjutnya nyalakan bioreaktor. Pupuk akan melewati proses fermentasi sekitar satu minggu. Setelah itu pupuk dapat langsung digunakan. Pupuk cair ini bersifat pekat. Untuk menggunakannya perlu diencerkan 10-100 kali. artinya, jika pupuk cair yang digunakan sebanyak 1 liter, perlu diencerkan dengan 10 liter air. Untuk penggunaan yang lebih efisien, pupuk cair ini bisa disemprotkan ke lahan pertanian atau perkebunan.


Nutrisi-nutrisi yang diperlukan tanaman akan terbuang jika limbah baglog tidak dimanfaatkan.

PuPuK PADAT DARI lIMBAH BAGloG Jika pupuk cair hayati dibuat dari sedimen danau, pupuk padat hayati bisa dibuat dari limbah baglog jamur tiram. Nutrisi-nutrisi yang diperlukan tanaman akan terbuang jika limbah baglog tidak dimanfaatkan. Pupuk padat hayati atau biofertilizer dibuat dengan bantuan agen mikroba aktif. Proses metabolisme mikroba itu akan menyediakan unsur hara bagi tanaman. Dalam pembuatan pupuk padat ini, agen mikroba aktif yang digunakan adalah jamur Trichoderma sp. Jamur ini berperan sebagai dekomposer yang mengurai limbah organik menjadi kompos. Jamur Trichoderma sp akan menyelimuti akar tanaman sehingga luas permukaannya lebih besar. Dengan begitu, jumlah zat hara, air, dan mineral yang diserap oleh akar bisa semakin banyak. Selain itu, Trichoderma juga berperan sebagai biofungisida yang mampu menghambat pertumbuhan jamur patogen penyebab penyakit pada tanaman. Tidak hanya mampu meningkatkan pertumbuhan tanaman, tetapi juga dapat melindungi tanaman dari hama dan infeksi mikroorganisme patogen maupun hama. Pembuatan pupuk padat ini diawali dengan pembuatan media tumbuh, kemudian menyiapkan

dan memperbanyak inokulum, serta pembuatan biang pupuk. Baru setelah itu pembuatan pupuk menggunakan baglog. Pembuatan media tumbuh dimaksudkan untuk menghasilkan jamur Trichoderma. Salah satunya bisa dibuat dari media dedak padi atau bekatul yang diberikan kultur murni. Simpan dalam wadah tertutup yang steril kemudian diamkan selama beberapa hari. Maka, akan tumbuh Trichoderma berupa lapisan seperti kapas dengan permukaan berwarna hijau. Untuk memperbanyak inokulum, Trichoderma yang sudah dibiakkan dicampur dengan dedak, gula, dan air. Simpan di tempat yang terlindung dari panas dan hujan, diamkan selama beberapa hari. Setelah itu campurkan bahan ini dengan baglog jamur. Baglog yang akan digunakan harus dipisahkan dulu dari bahan anorganiknya, misalnya plastik pembungkus dan pengikatnya. Baglog yang sudah mengeras juga harus dihancurkan terlebih dahulu hingga ukurannya kecil-kecil. Pengecilan ini dilakukan agar baglog lebih mudah dan cepat terurai. Setelah tercampur, tutupi semua bagian dan biarkan proses fermentasi mematangkan pupuk ini. Diperlukan waktu sekitar satu bulan hingga pupuk padat ini siap digunakan.

75


PENDEKATAN

TRANSDISIPLINER UNTUK DESA DRS. BUDI ISDIANTO, M.SN.

SUDaH sejak pertengahan ‘90-an, Drs. Budi Isdianto, M.Sn. berkecimpung dalam program pemberdayaan masyarakat. Sebelumnya, bersama dengan para seniman dan desainer, ia berupaya menjembatani antara penawaran (supply) dan permintaan (demand). Ia juga menemukan bahwa desain adalah jembatan yang menghubungkan antara penawaran kebutuhan dan permintaan. Selama kurang lebih 11 tahun ia bergabung dengan lembaga pengabdian masyarakat. Dosen yang bergabung dalam Kelompok Keahlian Manusia dan Ruang Interior Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB ini membagikan pengalamannya. Bagaimana perjalanan pengabdian masyarakat yang Bapak lihat? Dahulu saya lihat gap antara kota dan kampung itu jauh. artinya, kita harus masuk ke sana, menyebar ke mereka agar mereka bisa tumbuh. Nah tumbuhnya seperti apa? Karena saya di dunia seni dan desain, di tengahtengahnya ada kerajinan. Kerajinan jadi sangat berpotensi karena terwarisi dari masa lalu. Hal itulah yang dicoba digali dan dikembangkan. awalnya, saya masuk ke Purba Ratu di Tasikmalaya yang memiliki produk kerajinan tikar mendong. Tikar mendong di sana punya masalah, ujungnya selalu lepas-lepas karena ikatannya tidak bagus. Perhatiannya

76

sederhana, di situ saja. Saya punya teman yang istrinya itu orang Skandinavia dan dia ahli struktur. Saya undang dia datang ke Tasikmalaya untuk melihat kerajinan mendong di sana. apa yang terjadi? Dia melihat dan berkata, ‘Wah ini pekerjaan saya sehari-hari yang tidak pernah saya temukan di sini’. akhirnya, dia mencoba membuat sesuatu yang lebih dari apa yang saya harapkan. Dia tidur di sana, mencoba bekerja bersama-sama perajin. Banyak persoalan yang dulunya besar, dapat disederhanakan. ‘Oh beginikan saja’. Jadi, itu yang saya sebut gap. Saat perajin frustrasi ketika menenun mendong karena mendongnya selalu patah akibat ketajaman benang, dia punya cara sederhana. Memasukkan benangnya jangan lurus, tetapi miring. Semua dilakukan bertahap dengan berapa kali latihan jadinya tidak putusputus, itu sederhana banget. Saya

bukan ahli, melainkan saya mencoba memfasilitasi dan ada orang hebat di sini. Jadi, kalau kita membina, seperti pengabdian masyarakat di desa dan sebagainya, bukan berarti sesuatu yang harus hebat yang datang ke sana. Kita harus bisa membantu menggaet, menemani teman-teman di sana agar kalau ada apa-apa, kita bantu menjaga, dan bukan kita problem solver-nya. Kita berperan sebagai katalis yang bisa mempertemukan antara persoalan dan ahlinya. Jangan jarak jauh. Kalau jarak jauh, kita tidak akan mendapatkan inti persoalannya. Problem dan solusi itu bagai sahabat, tidak akan berpisah. Problem dan solusi itu sama. Kalau dekat dengan masyarakat, kita akan tahu persis persoalannya seperti apa. Dengan demikian, kita bisa mencari siapa kira-kira orang yang akan bisa membantu mereka.


dari ujung Indonesia dikumpulkan dalam wadah dan menugasi mereka untuk bisa mengeluarkan problemproblem yang ada di daerahnya masing-masing. Nanti setelah matriks mempertemukan dia dengan tools ini (dengan pusat-pusat) sehingga pusatpusat ini bisa bekerja dengan problem yang real yang benar-benar dialami orang sana . Dengan menggunakan pola segitiga, bagian bawah adalah masyarakat dengan pendidikan, di atasnya adalah penelitian

Bagaimana peran kampus dalam menemani masyarakat? Perguruan tinggi kan punya tridharma, pendidikan, penelitian, dan pengabdian. Sekolah itu harus membekas di masyarakat seperti pohon dengan akar di tanah dan kita punya langit sendiri, bukan langitnya negara maju yang kita terus mengacu menjadi followers. Kita menghasilkan buah dan buah itu kita usahakan agar manis, enak, bermanfaat buat orang yang ada di situ. Oleh karena itu, risetnya harus baik, akarnya harus baik, beri pupuk yang baik sehingga pohonnya kokoh dan buahnya bagus. akar itu memang pahit, tetapi buahnya manis. Jadi mengurus pendidikan itu memang pahit, tetapi dengan satu orientasi yang buahnya bermanfaat untuk orang. Itu yang harus kita kejar. Sekolah juga harus seperti itu, dia harus earthly dengan buminya dan dengan langitnya. Di situlah baru terasa bahwa sekolah itu benar-benar eksis.

Hubungan masyarakat dengan penelitian ini menjadi R&D dengan industri. Penelitian dengan pendidikan ini akan menjadi pendidikan melalui riset. Segitiga kecil tadi akan menjadi segitiga yang besar dan itu akan membuat sekolah menjadi earthly, Kenapa earthly? Karena dasarnya itu menjadi besar, yang tadinya pengabdian masyarakat hanya seperti titik, sekarang pengabdian masyarakat ditemani penelitian berkelanjutan dan ada R&D, itu semua buat masyarakat, hingga segitiga jadi utuh. Dari tengah ke bawah itu cenderung transdisipliner, banyak orang yang terlibat di sana karena problemnya luas. Kalau problemnya luas harus dibantu dengan integrasi. Kalau segitiga kecil ke atas ini teoretis sehingga pengalaman di bawah menjadi sumber dari berkembangnya keilmuan yang di atas. Saya pikir itu menjadi segitiga yang baik yang kita kembangkan.

Bagaimana menghubungkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan pengabdian masyarakat di desa? Saya mengusulkan ada pusat kajian. Pusat kajian Indonesia barat, tengah, timur. Kita akan mudah membuat pusat kajian itu mahasiswa ITB berasal

Bagaimana pendekatan transdisipliner ini diterapkan dalam pendidikan dan pengabdian masyarakat? Pendekatan transdisipliner itu muncul karena melihat problem sebagai sesuatu yang luas dan kompleks

Apa yang paling menarik dari desa yang dikunjungi? Hampir semua punya keunikan-keunikan. Jadi memberikan pengalaman yang berbeda. yang belajar itu bukan cuma mereka, saya juga langsung belajar dari mereka bagaimana memaknai hidup. Saya cuma menyediakan mangkok kosong, terus tumpahin di situ dan ngobrol-ngobrol, begitu ya. Setelah dia tumpahin, dia pulang agak gagah sedikit, padahal saya tidak melakukan apa-apa.

Perubahan semakin cepat dan persoalan semakin luas, tidak bisa ditangani sendiri.” yang tidak bisa dipecahkan oleh satu atau dua keilmuan. Pendekatan ini juga tidak kaku, perlu gabungan dari macam-macam orang, termasuk masyarakat, stakeholder untuk duduk sama-sama merumuskan dan memecahkan persoalan yang di bawah. Ini adalah budaya baru karena ke depan akan sering kita lakukan. Perubahan semakin cepat dan persoalan semakin luas, tidak bisa ditangani sendiri. Jadi, ada persoalan di mana pengetahuan tidak lagi menjamin untuk bisa menerobos masa depan, ada pengetahuan lain yang non-akademik yang barangkali harus kita siapkan. Pengabdian masyarakat menghadapi problem yang luas dan variasinya banyak sekali. Menghadapi hal tersebut perlu perubahan mindset, orang harus terus belajar dan harus bisa survive di setiap kondisi yang cepat berubah. Kita harus terbiasa dengan itu. Pendekatan transdisipliner jadi sangat penting. Apa tantangan pengabdian masyarakat ke depan? Ke depan kita harus berani melakukan redefinisi, tidak lagi cuma sekadar senggolan. Pengabdian masyarakat harus bisa memfasilitasi fondasi. Macam-macam persoalan di bawah kita angkat dan kita beri solusi, pendekatannya harus transdisipliner.*

77


78


3

LINGKAR

ZONA PULAU JAWA (DI LUAR JAWA BARAT) 79


MENDORONG

Pembangunan

BERKELANJUTAN

JIKa mendengar nama Blora, boleh jadi yang pertama kali terbayang adalah hutan jati dan minyak bumi. Maklum, meskipun harus diakui belum mampu mengangkat perekonomian warga setempat, dua komoditas itulah yang sudah sejak lama melambungkan nama Blora ke dunia luar. Kabupaten yang berada di sebelah timur Jawa Tengah, tepatnya 217 km dari Semarang, tercatat sebagai penghasil kayu jati terbesar di Indonesia. Bukan hanya kuantitas, kualitas kayu jati Blora dianggap yang terbaik di Indonesia hingga terkenal ke mancanegara. Wajar kalau kemudian Blora dijuluki sebagai Kota Kayu Jati. Selain kayu jati, Blora juga tersohor sebagai penghasil minyak bumi nomor wahid di tanah air. Desa Cepu merupakan area penambangan minyak bumi yang sudah dieksploitasi sejak zaman Hindia Belanda. Pada tahun 2006, eksploitasi di Blok Cepu semakin masif menyusul temuan cadangan minyak bumi sebanyak 250 juta barel. Namun, Blora bukan hanya kayu jati dan minyak bumi. Kabupaten yang terbagi menjadi 16 kecamatan ini memiliki potensi alam lain yang cukup besar, baik dari sektor pertanian, peternakan, dan perhutanan. Hanya, ada faktor penghambat dalam pengembangan potensi-potensi tersebut. Salah satunya masalah ketersediaan air dan pengelolaan sumber daya air (SDa). Bayangkan, wilayah yang sebagian besar terdiri atas lahan pertanian, perkebunan dan hutan (90%), 46.143.958 hektare di antaranya areal persawahan, hanya didukung oleh ketersediaan air dari irigasi teknis 7.449 hektare (16,14%), irigasi setengah teknis 967 hektare (2,10%), pengairan sederhana/PU 4.114 hektare (8,92%), pengairan irigasi desa/non-PU 1.640 hektare ((3,55%), tadah hujan 29.717,958 hektare (64,40%), dan pengairan dari program P2AT 2.256 hektare (4,89%). 80


Omah Susu Embung Keruk, Randu Blatung

“Salah satu kelemahan Blora adalah sumber air. Kita enggak punya sumber air. Kita memang sudah mampu mengambil air dari Bengawan Solo. Tapi, tetap masih banyak kecamatan yang sangat membutuhkan air,

Persoalan mendasar lain yang dihadapi Blora adalah menyangkut sumber daya manusia (SDM). Menurut

terutama di Blora bagian selatan,” kata Bupati Blora, Djoko Nugroho.

Djoko, pola pikir masyarakatnya masih terkungkung dan belum berkembang baik. “Mindset masyarakat sangat berpengaruh. Ini yang membuat masyarakat saya sulit berkembang,” tambah Djoko Nugroho.

Djoko Nugroho Bupati Blora 2016-2021

Berangkat dari dua persoalan tersebut, LPPM ITB menginisiasi program pengabdian masyarakat pada tahun 2009. Tim pioner dipimpin Ir. Oemar Handojo, M.Sn. dengan anggota Dr. Ibnu Syabri, B.Sc., M.Sc., Prof. Dr. Edy, Prof. Syahril, dan Prof. Nyoman. Kegiatan perintis di Kecamatan Randublatung itu mengangkat tema “Dukungan ke arah Pemecahan Krisis air di Kabupaten Blora”. Lewat kegiatan ini, LPPM ITB mencoba menilik potensi kebutuhan air di Kecamatan Randublatung, menganalisis dan kemudian menghasilkan desain bangunan air yang menjadi solusi atas masalah ketersediaan air di kawasan tersebut. Selain itu, sebagai upaya peningkatan kesejahteraan warga setempat, dilakukan survei lingkungan dan sosial ekonomi masyarakat. Tujuannya untuk mengetahui potensi masyarakat di Kabupaten Blora, khususnya di Kecamatan Randublatung. Kecamatan Randublatung dipilih karena di kawasan tersebut terdapat sebuah embung atau waduk buatan yang menjadi sumber air bagi warga sekitarnya. Fungsi utamanya adalah sandaran air untuk sekitar 22 hektare lahan pertanian di Kecamatan Randublatung dan sekitarnya, yang pada kenyataannya, keberadaan embung belum bisa dimaksimalkan karena berbagai faktor. Kegiatan pengabdian masyarakat rintisan LPPM ITB di

81


Saya juga tertarik dengan cara pendekatan ITB kepada masyarakat. Menurut saya, luar biasa karena bisa mendekati, mengajak, dan memengaruhi masyarakat ke arah yang lebih baik.” Kecamatan Randublatung ini dinilai berhasil oleh Bupati Blora. “Ketika kita kesulitan membangun embung keruk, ITB masuk dan mendesain ulang. Alhamdulillah berhasil dibangun dan sampai sekarang embung keruk itu bisa dimanfaatkan. Warga sekitar embung pun merasakan manfaat dari pembangunan embung keruk dan upaya pemberdayaan masyarakat yang dilakukan LPPM ITB,” tutur Djoko. Dalam perkembangannya, berkaitan dengan krisis air, atas permintaan Pemerintah Daerah Kabupaten Blora, tim LPPM ITB juga melakukan investigasi analisis kondisi terkini Waduk Tempuran yang badan utama bendungannya longsor pada tahun 2010. Waduk yang terletak di Kecamatan Kota Blora ini pertama kali dibangun pada 1916. Waduk ini memiliki beberapa fungsi penting yang menopang kehidupan warga di sekitarnya yaitu perikanan, pariwisata, pencegah banjir, penampung air, pemasok air warga melalui PDaM Kota Blora dan venue latihan dayung. Bendungan tersebut menampung air hujan dari anak Sungai Lusi yang merupakan wilayah pengelolaan TKPSDa WS Jratunseluna (Jragung, Tuntang, Serang, Lusi, dan Juana). Kemudian, pada 2011, tim LPPM ITB melakukan survei awal untuk kegiatan penelitian formasi karst di Kabupaten Blora. Kegiatan penelitian ini bertujuan untuk menilik ulang potensi air dan pengelolaan air serta wisata di kawasan Karst Blora. Penelitian difokuskan di Kecamatan Todanan karena kawasan ini merupakan sumber air bagi Kecamatan Kunduran, dan daerah hutan jati milik Perhutani. ”Waktu itu, kita memang meminta LPPM ITB untuk mendampingi, mencari sumber-sumber air yang sangat kami butuhkan. Dengan teknologi yang dimilikinya, saya yakin ITB bisa membantu. Saya sangat berharap peran serta LPPM ITB karena saya yakin dengan air, masyarakat Blora akan lebih sejahtera sebab air itu kebutuhan pokok kita,” ujar Djoko. Bukan cuma pencarian sumber air, Djoko juga berharap, kerja sama dan peran serta LPPM ITB dalam geliat pembangunan Blora di berbagai bidang terus berlanjut. Pemerintah Daerah Kabupaten Blora dan warganya sudah merasakan manfaat besar dari program penelitian dan pengabdian masyarakat ITB di wilayahnya. ”Kami butuh ITB. Saya melihat, kehadiran ITB di sini sudah dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Kepercayaan diri dan cara berpikir masyarakat yang dipoles LPPM ITB sudah sangat berubah. Saya juga tertarik dengan cara pendekatan ITB kepada masyarakat. Menurut saya luar biasa karena bisa mendekati, mengajak, dan memengaruhi masyarakat ke arah yang lebih baik,” ungkap Djoko.***

82


Karst Blora

83


EMBUNG BEBASKAN

Randublatung

DARI KRISIS AIR SELaIN Waduk Greneng dan Tempuran, Kabupaten Blora memiliki penampungan air buatan bernama Embung Keruk Randublatung. Sesuai dengan namanya, embung ini berada di Dukuh Keruk, Kecamatan Randublatung. Fungsi utamanya adalah sandaran air untuk sekitar 22 hektare lahan pertanian di Kecamatan Randublatung dan sekitarnya. Pertama kali dibangun pada tahun 2005, embung yang hanya berjarak tiga kilometer dari kantor Kecamatan Randublatung ini memiliki luas 8 hektare. Dalam perencanaan, penampungan air ini bakal diperluas hingga 22 hektare untuk mencukupi kebutuhan air 250 hektare lahan pertanian. Selain kebutuhan air pertanian, pembangunan Embung Keruk Randublatung bertujuan sebagai tempat konservasi lingkungan, venue olahraga air seperti dayung dan salah satu objek wisata di Blora bagian selatan, termasuk memancing. Embung ini pertama kali dibangun warga Dukuh Keruk menggunakan biaya dari Bank Dunia melalui Proyek Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Inovasi (P4MI) yang dilakukan Komite Investasi Desa (KID) pada 2005 dengan nilai Rp165 juta. Saat itu, pembangunan hanya dilakukan dengan menggunakan peralatan sederhana dari masyarakat. Sama sekali tidak ada perencanaan teknis ataupun hidrolis yang memadai. Pada bulan Juli 2006, salah satu sisi tanggul embung runtuh karena tekanan hidrolis. Penyebabnya adalah curah hujan yang sangat tinggi sehingga terjadi peningkatan volume air. akibat tekanan hidrostatis,

84

beberapa bagian tanggul tidak mampu menahan air dan menyebabkan keruntuhan. Bahkan, dinding fondasi terangkat dan terseret hampir 25 meter. Dampak luapan air dan banjir dirasakan warga di dua desa yang berada di radius 2 kilometer dari embung sehingga menimbulkan kerugian material. Berdasarkan hasil visit site pertama tim LPPM ITB diketahui, runtuhnya tanggul embung karena diabaikannya aspek hidrolis dalam perencanaan sehingga tidak memperhitungkan debit banjir yang akan terjadi. Jika ditinjau dari sisi kestabilan lereng secara geoteknis, perencanaan tanggul ini sangat rawan. Tidak ada penyelidikan lapangan untuk memperkirakan jenis tanah yang akan dibebani sehingga ketika menerima beban yang lebih besar, struktur tanggul roboh, dan mengalami keruntuhan. Dari sisi strukturalnya, dinding tanggul terbuat dari beton tanpa tulangan yang diplester seadanya dengan adukan semen, batu bata tanpa ada perhitungan secara teknis. Fondasi pada dinding tanggul menggunakan pasangan batu kali yang digali dan ditempatkan di dalam tanah. Lalu dinding dibangun dengan hanya menyusun batu bata dan memplesternya. Faktor ini yang sangat berpengaruh terhadap keruntuhan tanggul. “Ketika itu ada permohonan dari salah satu anggota tim kita untuk membantu renovasi embung,” kata Prof. Syahril, anggota tim LPPM ITB dari kelompok keahlian Teknik Sumber Daya air.


Embung Keruk, Randublatung

85


Kecamatan Randublatung termasuk kawasan paling rawan krisis air. Bayangkan, hampir 65% areal persawahan merupakan tadah hujan lantaran tidak memiliki irigasi teknis. Pada 2009, tim LPPM ITB yang dipimpin Oemar Handojo, M.Sn. melakukan kegiatan pengabdian masyarakat di Kecamatan Randublatung. Salah satu fokus kegiatannya adalah renovasi Embung Keruk Randublatung. “Pada saat ke lapangan, kita juga mengidentifikasi besarnya harapan masyarakat terhadap manfaat embung itu. Intinya, manfaatkan embung itu sangat dinantikan masyarakat setempat,” tambah Prof. Syahril.

Analisis banjirnya kita betulkan, jumlah potensi air yang bisa ditampung, kita naikkan dan berapa kebutuhan masyarakatnya.” Prof. Syahril mengatakan, langkah pertama yang dilakukan tim LPPM ITB adalah melakukan kajian desain awal embung keruk. Namun sebelumnya, tim sudah mengantongi sudah data-data primer berupa data hidrologi, geoteknik, dan topografi. Pada tahapan ini, sudah didapatkan peta kontur daerah embung keruk, peta orientasi Kecamatan Randublatung di provinsi Jawa tengah, peta topografi serta situasi kecamatan. “Kemudian kita melakukan improvement dengan strukturnya dan metode konstruksinya. Lalu, analisisnya kita update, terutama yang kurang tepat. Jadi, analisis banjirnya kita betulkan, jumlah potensi air yang bisa ditampung, kita naikkan dan berapa kebutuhan masyarakatnya. Pokoknya, semua aspek kita analisis lagi dari awal untuk kepentingan desain embung,” beber Prof. Syahril. Rancangan desain peningkatan kapasitas air embung keruk sebagai solusi permasalahan ketersediaan air di Kecamatan Randublatung itu kemudian divisualisasi dalam bentuk maket dan diserahterimakan kepada Pemerintah Kabupaten Blora pada November 2009.*

86

AIR UNTUK KEMASLAHATAN MASYARAKAT PROF. IR. MUHAMMAD SYAHRIL BADRI KUSUMA, PH.D.

BERBICaRa soal sumber daya air, nama Prof. Syahril sudah tidak asing lagi. Maklum, sebagian besar hidupnya diabdikan dalam pengembangan sumber daya air (PSDa) yang ditujukan untuk kemaslahatan umat manusia. “air itu kemaslahatan orang banyak. Dalam agama saya pun dijelaskan bahwa tidak ada surga yang tanpa air,” ujar Prof. Syahril dalam sebuah kesempatan. Saat ini, Prof. Syahril, demikian sapaan akrab kesehariannya, menjadi Guru Besar Fakultas Teknis Sipil dan Lingkungan Institut Teknologi Bandung (FTSL-ITB). Kelompok keahliannya adalah Teknik Sumber Daya air dengan bidang dinamika fluida. “Hanya, banyak beraplikasi pada banjir, sumber daya air, drainase, struktur hidrolik, dan pengendalian daya rusaknya. Sekarang, saya mengajar tentang hidrolika, hidrologi, perencanaan bangunan pantai, pembangkit listrik tenaga air, pemodelan, dan juga alirannya,” tutur Prof. Syahril. Lulus dari Teknik Sipil ITB pada 1984, Prof. Syahril melanjutkan pendidikan master (S-2) dan doktornya (S-3) di Universitas De Nantes-Ecole Nationale Superieure De Mecanique, Nantes, Prancis pada 1988. Setelah merampungkan studinya di Prancis


pada 1991, ia mengikuti program New-S1 di bidang Teknik Kelautan yang dipelopori Prof. Dr. Ir. Hang Tuah, M.Oc.E. Nama Prof. Syahril sangat identik dengan PSDa karena sudah banyak proyek di bidang ini yang digarapnya. Bersama Prof. Hang Tuah, ia terlibat dalam pengerjaan proyek transmigrasi yang dicanangkan pemerintah pada 1978-1979. Dalam proyek tersebut, ia mengerjakan perencanaan drainase, rawa, sistem suplai air, dan irigasi. Selain itu, ia juga terlibat dalam proyek pemetaan wilayah kumuh kawasan Balubur, Kota Bandung, serta proteksi jembatan akibat penggerusan banjir. Proyek besar Prof. Syahril lainnya adalah pengerjaan Bandar Udara Banda Neira di Pulau Banda, Pelabuhan Ikan Nasional di Palabuhanratu, Dam Muara Rempang di Batam, Studi Pengembangan Peta Risiko Banjir di Kelurahan Bukit Duri Jakarta (2009) dan Desa Telaga Karawang (2011), Dukungan ke arah Pemecahan Krisis air di Kabupaten Blora (2010), Pemodelan Eutrofikasi Waduk Ir. H. Juanda Purwakarta (2011), Pembuatan Rencana Pengembangan (Master Plan) Kayan Delta Farm Food Estate (Kadefe) di Kabupaten Bulungan Kalimantan Timur (2011), Konservasi dan Revitalisasi Kawasan DaS Citarum sebagai Sumber Ketahanan Pangan, Energi, dan Lingkungan Hidup (2012), Kajian Penerapan Model Estimasi angkutan Sedimen pada Sungaisungai di Jawa Barat: Studi Kasus anak Sungai Cimanuk (Sungai Cikamiri dan Sungai Cibuah) (2014), Dukungan bagi Upaya Pengelolaan Sumber Daya air di Kabupaten Subang: Studi Kasus Cipunegara (2014), Kajian Potensi air Baku Bagi Kawasan Sekitar BIJB dan Kertajati Aerocity (2015), Identifikasi Teknologi Pemanfaatan Danau Maninjau

Bagi Masyarakat (2015), Implementasi Teknologi dan Penumbuhan Kewirausahaan Berbasis agroindustri bagi Masyarakat di Sekitar Danau Maninjau (2016) dan Pengembangan Platform Tata Kelola Manajemen DaS Ciliwung dari Perspektif ancaman Hidrometeorologi (2020). Bagi Prof. Syahril, seabrek proyek yang dijalaninya selama ini merupakan wujud pengabdian masyarakat yang dilakukannya. “Bagi saya dan mahasiswa yang dilibatkan, pengabdian masyarakat juga bisa menambah wawasan dan pendalaman metodologi,” kata Prof. Syahril. Selain itu, Prof. Syahril mengaku memiliki banyak pengalaman, baik pahit maupun manis, selama melakukan pengabdian masyarakat. “ada macammacam persoalan yang kita temui di masyarakat. Dari mulai kebutuhan hidup, kondisi lingkungan yang tidak mendukung, hingga sumber daya terbatas. Makanya, ketika teknologi yang diterapkan dirasakan manfaatnya oleh masyarakat, kita merasa sangat puas,” ungkap Prof. Syahril. Karena itu, dalam setiap kegiatan pengabdian masyarakat, Prof. Syahril selalu memprioritaskan kemanfaatan dan kemaslahatan teknologi yang bakal diterapkan. Menurut Syahril, setinggi apa pun tidak semua teknologi bisa cocok dan bermanfaat bagi masyarakat. “Jadi, soal teknologi itu harus dikembalikan kepada masyarakatnya. Kita harus cari tahu dahulu masyarakat butuh apa dan solusi apa yang mau tercapai. Nah, kita harus benar-benar melihat kondisi itu dalam masyarakat. Kita yang harus menyesuaikan. Soalnya, enggak bisa semua teknologi diterapkan,” pungkas Prof. Syahril.*** 87


Embung Keruk, Randu Blatung

88


SURVEI SOSIAL EKONOMI Selain kajian untuk kepentingan desain embung keruk, tim LPPM ITB juga melakukan survei sosial ekonomi. Tujuan survei untuk memperoleh gambaran mengenai potensi keterlibatan penduduk dalam mengelola dan memanfaatkan embung yang akan dibangun dan memperkirakan kondisi sosial ekonomi penduduk setelah pembangunan embung. Beberapa hal yang diidentifikasi dalam survei sosial ekonomi ini adalah keadaan penduduk sebelum adanya embung, besaran kebutuhan air yang harus disediakan/dihasilkan embung, karakteristik mata pencaharian masyarakat setempat, ratarata willingness penduduk untuk merawat dan mengelola embung, bentuk “pembayaran” yang rela diberikan penduduk untuk memperoleh manfaat embung, sistem yang baik menurut penduduk dalam mengelola dan memanfaatkan embung, pengaruh embung terhadap daerah di sekitarnya, serta tingkat kebergantungan masyarakat setempat pada keberadaan embung. Dari hasil survei sosial ekonomi tersebut disimpulkan, Taman Wisata Waduk “Ngudi Rahayu” dapat dikembangkan lagi untuk meningkatkan sosial ekonomi masyarakat. Sebab, di wilayah taman wisata tersebut masih terdapat lahan kosong yang cukup luas. Lahan kosong tersebut dapat dimanfaatkan untuk pengembangan tempat pemancingan ikan, taman bermain, wisata alam dengan pemandangan, wisata outbound, tempat penjualan kerajinan masyarakat (crafting), tempat penjualan industri pupuk cair, pemondokan, dan museum kehutanan jati. Permasalahan lain yang cukup penting adalah perizinan lahan untuk pembangunan kawasan embung yang semula hanya sekitar 3 hektare menjadi 14 hektare. Sebab, lahan tersebut masih dikuasai Kementerian Kehutanan di bawah pengelolaan Perum Perhutani. Perizinan penggunaan lahan embung tersebut sempat tertunda selama kurang lebih 6 bulan karena adanya pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di Kabupaten Blora. Namun, secara prinsip penggunaan lahan pembangunan kawasan embung telah mendapatkan izin dari Menteri Kehutanan.

Dengan adanya sarana jalan dan lahan parkir tersebut, wilayah Embung Keruk Randublatung telah mulai dijadikan tempat wisata. Kendala lain yang dialami dalam proses pembangunan embung adalah akses jalan yang cukup sulit. Sebagai realisasi dukungan dalam kerja samanya dengan ITB, Pemda Kabupaten Blora telah mengalokasikan dana sebesar Rp709 juta untuk pembangunan prasarana pendukung berupa peningkatan kualitas jalan menuju kawasan embung keruk. Pada 2011, izin penggunaan lahan untuk perluasan embung belum turun dari pemerintah pusat. Surat permohonan telah dikirimkan melalui Gubernur Jawa Tengah yang ditujukan kepada Menteri Dalam Negeri dan Menteri Kehutanan RI. Izin ini diperlukan karena bila embung diperluas, ada sekitar 14 hektare lahan milik Perum Perhutani yang akan terendam. Salah satu alternatif yang ditawarkan Pemerintah Daerah Kabupaten Blora adalah tukar guling dengan lahan lain dengan luas yang sama. Pembangunan infrastruktur pariwisata di sekitar embung keruk telah dilakukan. Progresnya sudah sampai pada tahap pembangunan sarana dan prasarana jalan dan lahan parkir. Biaya yang dikeluarkan Pemerintah Daerah Kabupaten Blora untuk perbaikan jalan tersebut kurang lebih Rp590.000.000. Dengan adanya sarana jalan dan lahan parkir tersebut, wilayah Embung Keruk Randublatung telah mulai dijadikan tempat wisata oleh masyarakat. 89


PEMANTAPAN STRUKTUR TANGGUL Pada 2012, renovasi embung dilanjutkan dengan menggunakan anggaran sebesar Rp3,8 miliar dari aPBN dan dana pendampingan Rp500 juta dari aPBD Kabupaten Blora. Namun, dalam perjalanannya terdapat ketidaksesuaian konstruksi. Hal itu ditemukan saat tim peneliti LPPM ITB melakukan kunjungan pada bulan Oktober 2012. Dalam kunjungan itu, tim LPPM ITB melakukan kajian untuk memantapkan struktur tanggul. Kunjungan dan peninjauan dilakukan ketika pembangunan konstruksi embung keruk sedang berjalan. Dalam kunjungan tersebut didapatkan sejumlah catatan mengenai ketidaksesuaian pelaksanaan konstruksi dengan usulan tim LPPM ITB, risiko atau dampak akibat ketidaksesuaian, dan upaya yang mungkin dilakukan. Dari petugas di lapangan didapatkan informasi lisan tentang kemungkinan adanya ketidaksesuaian tata letak bangunan air, terutama lokasi pintu intake untuk irigasi. Secara visual juga teramati adanya ketidaksesuaian jenis, bentuk geometri, dimensi, dan struktur dari bangunan air yang sedang dibangun. Identifikasi ketidaksesuaian berdasarkan pengamatan selama kunjungan terkonfirmasi melalui gambar dan Rencana Anggaran dan Belanja (RaB). Selain itu, di lokasi tidak dijumpai pekerja atau pengawas yang mampu dan mengerti tentang aspek perencanaan dan konstruksi dari bangunan yang sedang dikonstruksi. Hal ini teridentifikasi dalam proses tanya jawab mengenai aspek teknis/ konstruksi dan pengamatan visual, baik pada proses atau pelaksanaan konstruksi maupun pada bangunan terkonstruksi di lokasi pekerjaan. Ketidaksesuaian tersebut akan menimbulkan risiko perubahan fungsi dan faktor keamanan embung keruk. Berdasarkan hasil visit site terakhir kepelaksanaan konstruksi dan setelah selesainya pembangunan, diusulkan langkah pencegahan untuk mengurangi risiko atau dampak akibat ketidaksesuaian pembangunan embung dengan Guideline Teknis & Desain LPPM ITB dan upaya yang mungkin dilakukan. Setelah proses renovasi dianggap rampung, Embung Keruk Randublatung diresmikan oleh Gubernur

90

Jawa Tengah, Bibit Waluyo pada bulan Desember 2012. “Setelah perbaikan dilakukan dan embung jadi, sawah yang bisa diairi menjadi lebih luas. Selain itu, panen petani juga sudah ada yang bisa dua kali dalam setahun,” ujar Prof. Syahril. Meskipun terkadang mengalami kekeringan, dari sisi infrastruktur, Embung Keruk Randublatung sudah bisa beroperasi dan masyarakat merasakan banyak manfaatnya seperti lapangan kerja dan penghasilan bertambah. Manfaat juga dirasakan oleh Perhutani karena memiliki cadangan air tanah untuk hutan jatinya. Kendati demikian, Prof. Syahril mengungkapkan, persoalan Embung Keruk Randublatung bukan sekadar masalah teknis. Jadi, persoalan di lapangan tidak selesai begitu saja pada saat rampungnya renovasi embung keruk. Sebab, ada masalah sosial yang mengiringi sejak awal pembangunan hingga masa yang akan datang. “Kalau secara teknis, kita tinggal melakukan rekayasa saja. Tapi, di sini ada masalah sosial. Itu yang membuat pembangunan embung keruk menjadi tidak sederhana. Itulah yang membuat kita harus melakukan monitoring yang benar-benar intensif . yang tidak kalah pentingnya ada juga masalah pendidikan dan budaya. Makanya, kita terus melakukan edukasi dan pendekatan kepada masyarakat setempat yang fokus kepada asas kemanfaatan,” beber Prof. Syahril. Benar saja, setelah selesai direnovasi, konflik sosial muncul. Karena merasa pasokan air tidak merata, sekelompok warga melakukan aksi dengan mengganjal pintu air embung untuk mengairi areal persawahan. akibatnya, pintu air rusak dan tak bisa mengairi seluruh areal pertanian, baik yang dekat maupun jauh dari embung. Konflik horizontal antarwarga pun tak terhindarkan. “Sebenarnya pintu airnya enggak mahal, tetapi karena ada masalah sosial itu, enggak ada yang betulin. Mereka berpikir, biar sama-sama enggak kebagian air,” cerita Prof. Syahril. Untuk menyelesaikan konflik tersebut, tim LPPM ITB mencoba melakukan pendekatan melalui kepala desa setempat dan memberikan pemahaman kepada masyarakat terkait persoalan distribusi air


Sutaat & Singgih Hartono

Karena merasa pasokan air tidak merata, sekelompok warga melakukan aksi dengan mengganjal pintu air embung untuk mengairi areal persawahan. itu, “Setelah itu, pintu airnya kita betulin lagi,” tegas Prof. Syahril. Setelah itu, pada saat monitoring pada bulan Oktober 2013, ditemukan adanya penurunan permukaan air embung 80-100 cm. Menurut Kepala Desa Randublatung, Sutaat, penurunan muka air embung terjadi karena ketiadaan hujan sejak awal bulan agustus. Pada saat dibangun, Embung Keruk Randubaltung direncanakan dapat mengairi sawah seluas 100-150 hektare. Namun, Sutaat menyebutkan, embung tersebut hanya bisa mengairi 10-20 hektare sawah di sekitarnya. Meskipun begitu, menurut Sutaat, embung bekerja lebih baik ketimbang di kecamatan lain yang mengering saat musim kemarau sehingga tidak berfungsi untuk mengairi pesawahan.

Sutaat

Dokumentasi musyawarah penyelesaian konflik sosial Embung Keruk

“Karena embung belum dapat bekerja secara maksimal, penduduk yang memiliki sawah dan tidak mendapatkan pengairan, kebanyakan kembali beraktivitas menebang pohon jati di sekitar embung untuk dijual.” 91


Tampak Depan Arah Selatan Utara (Unproper Side Wall and Riprap over uncompacted local material)

Dam lereng Hilir arah Timur Barat (uncompacted local material)

Dam lereng udik Arah Timur Barat (Unproper Riprap over uncompacted local material)

Dam lereng udik Arah Barat-Timur (Unproper Riprap over uncompacted local material)

Spilway Dam Riprap Udik arah Timur-Barat Spilway Tampak Miring Utara Timur Barat Spilway Tembok Sayap Udik Kanan

Spilway Tampak Depan Udik

92


Ilustrasi gambar kerja Embung Keruk

Embung mampu meningkatkan produksi padi sehingga bisa tiga kali panen dalam setahun. Itu artinya, embung keruk sudah berhasil meningkatkan produktivitas padi. Meskipun demikian, menurut pengakuan Sutaat, embung mampu meningkatkan produksi padi sehingga bisa tiga kali panen dalam setahun. Itu artinya, embung keruk sudah berhasil meningkatkan produktivitas padi, tetapi masih belum mampu mengairi luas sawah sesuai rencana. Selain penurunan muka air, ada juga potensi pengembangan ketela di sekitar embung walaupun belum dilakukan secara masif. Kemudian, embung juga dimanfaatkan sebagai area pemancingan dan objek wisata. Salah satu jenis ikan yang dikembangkan adalah patin. “Sejak embung ini digenangi air dengan luas ratarata 10 hektare dan kedalaman rata-rata 80 cm, jumlah kunjungan per hari diperkirakan sebanyak 30100 orang,” ujar Sutaat. Namun, pengembangan objek wisata ini belum didukung peraturan dan akses yang baik. Contohnya mengenai pengaturan sampah dan limbah yang dibuang sembarangan oleh pengunjung serta infrastruktur jalan yang masih kurang memadai. Karena itu, untuk mendukung pengembangan kegiatan jasa pariwisata di daerah tersebut, perlu didukung suatu sistem kelembagaan dan pembangunan infrastruktur lain, terutama sarana dan prasarana yang berkaitan dengan peningkatan aksesibilitas.

Fakta lain yang ditemukan, pertanian di sekitar embung keruk masih terbatas pada komoditas padi. Petani sebenarnya sudah mencoba mengembangkan beberapa komoditas seperti bawang merah dan cabai. apalagi, saat itu penyediaan bibit dan penjaminan biaya tanam sudah dilaksanakan oleh pemerintahan desa setempat. Namun, masyarakat yang memiliki lahan pertanian di sekitar embung tidak ingin berpindah dari padi ke komoditas lainnya. Hal ini dikarenakan biaya pertanian komoditas lainnya lebih mahal dari padi sawah. Berdasarkan hasil analisis dan kesimpulan yang diambil, tim LPPM ITB mengeluarkan sejumlah rekomendasi. Salah satunya menyangkut pendampingan dan edukasi berkelanjutan. “Perlu adanya pembinaan berkelanjutan seperti community development untuk membina warga dalam mengembangkan potensi ekonomi baru yang mungkin dikembangkan dengan adanya potensi air di embung keruk tersebut. Masyarakat harus didampingi dan dibina dalam jangka waktu yang cukup lama agar memiliki wawasan yang luas dalam pemanfaatan air,” ujar Prof. Syahril. ***

93


2005

2006 2009

EMBUNG KERUK RANDUBLATUNG

Salah satu sisi tanggul embung runtuh karena tekanan hidrolis. Akibat tekanan hidrostatis, beberapa bagian tanggul tidak mampu menahan air dan menyebabkan keruntuhan. Bahkan, dinding fondasi terangkat dan terseret hampir 25 meter. Dampak luapan air dan banjir dirasakan warga di dua desa yang berada di radius 2 kilometer dari embung sehingga menimbulkan kerugian material.

Tim LPPM ITB yang dipimpin Oemar Handojo, M.Sn. melakukan kunjungan awal. Setelah melakukan survei, tim LPPM ITB membuat rancangan desain peningkatan kapasitas air embung sebagai solusi permasalahan ketersediaan air di Kecamatan Randublatung. Desain divisualkan dalam bentuk maket dan diserahterimakan kepada Pemerintah Kabupaten Blora.

Tim LPPM ITB melakukan survei sosial ekonomi untuk kepentingan pemberdayaan masyarakat di sekitar embung. Tujuan survei untuk memperoleh gambaran mengenai potensi keterlibatan penduduk dalam mengelola dan memanfaatkan embung yang akan dibangun dan memperkirakan kondisi sosial ekonomi penduduk setelah pembangunan embung.

94

Historiografi

Pertama kali dibangun oleh warga Dukuh Keruk dengan menggunakan biaya dari Bank Dunia melalui Proyek Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Inovasi (P4MI) yang dilakukan Komite Investasi Desa (KID) dengan nilai Rp 165 juta. Selain kebutuhan air pertanian, pembangunan embung seluas 8 hektare ini bertujuan sebagai tempat konservasi lingkungan, venue olahraga air seperti dayung dan salah satu objek wisata di Blora bagian selatan, termasuk memancing.

2010

2011 Izin penggunaan lahan untuk perluasan embung keruk belum turun dari pemerintah pusat. Surat permohonan telah dikirimkan melalui Gubernur Jawa Tengah yang ditujukan kepada Menteri Dalam Negeri dan Menteri Kehutanan RI. Izin ini diperlukan karena bila embung diperluas, ada sekitar 14 hektare lahan milik Perum Perhutani yang akan terendam. Salah satu alternatif yang ditawarkan Pemerintah Daerah Kabupaten Blora adalah tukar guling dengan lahan lain dengan luas yang sama. Sedangkan untuk pembangunan infrastruktur pariwisata di sekitar embung keruk telah dilakukan. Progresnya sudah sampai pada tahap pembangunan sarana dan prasarana jalan dan lahan parkir. Dengan adanya sarana jalan dan lahan parkir tersebut, wilayah Embung Keruk Randublatung telah mulai dijadikan tempat wisata oleh masyarakat.


2012

2014

Renovasi embung keruk dilanjutkan dengan menggunakan anggaran sebesar Rp 3,8 miliar dari APBN dan dana pendampingan Rp 500 juta dari APBD Kabupaten Blora. Namun, dalam perjalanannya terdapat ketidaksesuaian konstruksi. Dalam kunjungannya, tim LPPM ITB melakukan kajian untuk memantapkan struktur tanggul embung. Kunjungan dan peninjauan dilakukan ketika pembangunan konstruksi embung keruk sedang berjalan. Setelah proses renovasi dianggap rampung, Embung Keruk Randublatung diresmikan Gubernur Jawa Tengah, Bibit Waluyo pada bulan Desember 2012.

2013 Tim LPPM ITB menemukan fakta embung keruk hanya bisa mengairi 25-30 hektare sawah di sekitarnya. Padahal pada saat dibangun, direncanakan dapat mengairi sawah hingga 100150 hektare. Meskipun demikian, menurut pengakuan kepala desa, embung mampu meningkatkan produksi padi sehingga bisa tiga kali panen dalam setahun. Fakta lain yang ditemukan, pertanian di sekitar embung masih terbatas pada komoditas padi. Petani sebenarnya sudah mencoba mengembangkan beberapa komoditas seperti bawang merah dan cabai. Namun, masyarakat yang memiliki lahan pertanian di sekitar embung tidak ingin berpindah dari padi ke komoditas lainnya. Embung keruk sudah dimanfaatkan sebagai area pemancingan ikan yang dikembangkan kepala desa dengan menebar benih ikan patin.

2015

Tim LPPM ITB mengeluarkan sejumlah rekomendasi sebagai berikut: a) Embung keruk “Ngudi Rahayu” perlu diperbaiki sesuai dengan rencana awal, yaitu seluas 14 hektare sehingga persediaan air mampu mengairi lebih banyak lahan pertanian terutama di beberapa dukuh yang dekat dengan lokasi embung keruk, yaitu Dukuh Balongkare dan Dukuh Karanganyar di Desa Pilang serta seluruh Dukuh Keruk; b) Perbaikan embung keruk juga harus disertai pembangunan saluran irigasi, baik saluran irigasi primer maupun sekunder yang menyalurkan air dari embung menuju lahan pertanian penduduk; c) Pengelolaan embung keruk sebaiknya diserahkan kepada pihak Kecamatan Randublatung, terutama dalam pembukaan pintu air agar debit air di dalam embung tetap terjaga; d) Perlu adanya pembinaan berkelanjutan seperti community development untuk membina warga dalam mengembangkan potensi ekonomi baru yang mungkin dikembangkan dengan adanya potensi air di embung keruk tersebut. Masyarakat harus didampingi dan dibina dalam jangka waktu yang cukup lama agar memiliki wawasan yang luas dalam pemanfaatan air.

Tim LPPM ITB untuk melakukan kajian mengenai pemberdayaan dan peningkatan ekonomi masyarakat setempat. Kajian harus dilakukan karena esensi pembangunan perdesaan adalah pemberdayaan dan peningkatan kesejahteraan masyarakatnya. Pada kunjungan 3 Oktober 2013, tim LPPM ITB menemukan permukaan air embung menurun sekitar 80-100 cm. Hal ini disebabkan ketiadaan hujan sejak dua bulan sebelumnya.

2019 Tim LPPM ITB menggelar kelompok diskusi terpumpun (focus group discussion, FGD) membahas kemanfaatan dan progres kegiatan penelitian dan pengabdian masyarakat yang sudah dilakukan di Kabupaten Blora.

95


MENILIK POTENSI AIR DAN WISATA

Karst Blora

SEBaGIaN besar warga Blora hidup bertani, berkebun, dan memanfaatkan hasil hutan lainnya. Ironisnya, Blora merupakan kawasan yang rawan krisis air. Bukan lantaran tidak memiliki sumber air, melainkan pengelolaan sumber daya airnya yang belum optimal. Salah satu potensi air yang belum teroptimalkan itu tersembunyi di balik Karst Blora. Di Kabupaten Blora, karst yang merupakan bagian sistem Pegunungan Kapur Utara ini membentang di Kecamatan Todanan, Begorejo, dan Kradenan.

Dr. Pindi Setiawan

atas permintaan Pemerintah Daerah Kabupaten Blora, LPPM ITB menerjunkan timnya untuk melakukan penelitian potensi air dan wisata Karst Blora pada tahun 2011. Tim peneliti beranggotakan Dr. Pindi Setiawan, Dr. Budi Brahmantyo (LPPM ITB), Sunu Wijarko, Qoirunna’im (aSC) Johannes yuda, dan yoga Sakyanto (KMPa Ganesa-ITB). Penelitian difokuskan di Kecamatan Todanan karena kawasan ini merupakan sumber air bagi Kecamatan Kunduran dan daerah hutan jati milik Perhutani. Kecamatan Kunduran yang berada di hilir Todanan merupakan basis cadangan pangan Blora yang mengandalkan pertanian. Secara statistik (BPS 2009), Kecamatan Todanan berpenduduk 60.629 jiwa dan Kunduran 65.450 jiwa. Daerah penelitian berada pada Zona Rembang-Madura. Zona ini terutama dicirikan oleh struktur perlipatan antiklinorium yang membentuk perbukitan terlipat di utara Grobogan, Blora hingga ke Cepu. antiklin-antiklin yang terbentuk pada zona ini dikenal sebagai jebakanjebakan minyak bumi yang potensial. Berdasarkan hasil

96

survei dan penelitian, tim LPPM ITB menyampaikan sejumlah rekomendasi untuk Pemerintah Daerah Kabupaten Blora. Rekomendasi itu meliputi

PENGELOLAAN SENDANG Sendang (sumber air) pada daerah penelitian muncul ke permukaan di atas formasi batuan karst. Karena itu, penting memperhatikan struktur geologi sebelum melakukan pengelolaaan sendang agar tidak menurunkan debit air alaminya. Pencucian kendaraan berminyak dan air sabun juga perlu dikelola dengan benar agar tidak mengganggu kualitas air di kemudian hari.

PENGELOLAAN VEGETASI PADA PUNGGUNGAN KARST Pengelolaan vegetasi secara tepat penting untuk dilakukan. Punggungan karst di Kecamatan Todanan nyaris seluruhnya berada di kawasan Perhutani yang ditanami pohon jati. Tumbuhan lokal yang biasa tumbuh di sendang dapat diteliti oleh ahli vegetasi. Tumbuhan tersebut, menurut penduduk dapat memelihara ketersediaan air, tetapi hal ini perlu ditelaah lebih lanjut. Secara teoretis, hutan heterogen merupakan vegetasi terbaik yang dapat menyerap dan menahan gelontoran air. Sehingga air dapat maksimal masuk ke celahan-celahan karst, dan kemudian menghasilkan kuantitas yang optimal pula pada sendang-sendang. Penghutanan kembali setidaknya hanya mencakup daerah tangkapan air untuk sungai-sungai bawah tanah yang berujung pada sendang-sendang di Kecamatan Todanan.


Karst Blora

97


Pintu masuk Kompleks Goa Terawang

Karst Blora

98


POTENSI PARIWISATA KARST Ditemukan tiga kompleks perguaan yaitu Gua agung, Gua Terawang dan Gua Kidang serta gua-gua di kompleks Pancasona Pramuka (Gua Tumpang 1,2,3; Gua Banyu dan Gua Projo). Pancasona merupakan kompleks pramuka yang akan dijual kepada pabrik gula. Keempat lokasi ini bisa dipadukan menjadi trip satu hari wisata geologi. Kompleks Gua Terawang merupakan tujuan wisata favorit karena berada persis di pinggir jalan KunduranTinapan. Tercatat ada 7 buah gua di kompleks ini. Kompleks wisata ini berada di tanah Perhutani dan menyediakan lapangan terbuka untuk panggung dangdutan di hari-hari besar nasional, seperti 17 agustus, hari raya keagamaan, dan Tahun Baru. Selain Gua Terawang, Kompleks Gua Kidang juga mempunyai potensi besar. Kendala utamanya tidak berada langsung di pinggir jalan raya KunduranTinapan. Namun, Gua Kidang mempunyai peninggalan prasejarah berupa lingkaran batu serta ditemukan sisa tulang iga dan gigi manusia (Nurani, 2009). Gua Kidang kemungkinan terbentuk akibat runtuhnya bagian atap sehingga lorongnya menjadi terbuka. Bentuknya mirip dengan luweng. Pada dasar luweng terdapat dua ceruk berpasir yang mempunyai tandatanda peninggalan dari manusia prasejarah. Pada kaji literatur disebutkan adanya peninggalan prasejarah yang berasal dari Gua Macan di Kecamatan Jepon. Gua-gua di Kecamatan Todanan merupakan gua horisontal yang arah lorongnya terkait dengan arah sesarnya. Gua-gua ini juga searah dengan lembahlembah karst. Lembah ini terlarut secara perlahanlahan. Di beberapa tempat, atap gua runtuh dan membentuk semacam luweng. Salah satu gua yang berpotensi menjadi lokasi wisata adalah Gua agung yang berlorong sepanjang kurang lebih 150 meter. yang perlu diwaspadai terdapat jamur-jamur di lantai gua yang dapat berdampak buruk pada paru-paru. Namun, hal ini masih perlu diteliti lebih lanjut.

Kompleks Gua Terawang merupakan tujuan wisata favorit karena berada persis di pinggir jalan Kunduran-Tinapan. PENGELOLAAN BAHAN GALIAN C Sungai-sungai di Kecamatan Todanan bersifat continues yang langsung turun ke daerah rendah menuju Bengawan Solo. Sungai tersebut tidak mempunyai lembah yang memperlambat arusnya secara alami. Karena itu, wajar bila sifat wilayah potensi air di kawasan hilir dari Todanan adalah fluktuatif. Kawasan Blora dikenal sebagai daerah yang airnya dapat melimpah-ruah pada saat hujan. Daerah seperti ini mempunyai potensi banjir bandang bila tidak ada penahan limpahan air hujan, baik batuan karst maupun vegetasi di daerah aliran sungai. Pengelolaan bahan galian C perlu dilakukan dengan hati-hati agar tidak terjadi bencana banjir bandang di kemudian hari. Galian fosfat juga perlu dihentikan ketika sudah mencapai batuan karstnya. Fosfat yang ditemukan di daerah ini merupakan bentukan dari endapan guano di masa lampau.

99


PERENCANAAN TATA RUANG KAWASAN KARST KABUPATEN BLORA Berdasarkan Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, kawasan karst termasuk ke dalam kriteria Kawasan Lindung Nasional. Karena itu, pada pembicaraan tata ruang di Bapeda perlu memasukkan variabel-variabel batuan karbonat bukan karst dan batuan karbonat karst. Batuan karbonat yang mempunyai sungai bawah tanah dan mata ait karst adalah batuan karbonat yang diklasifikasikan sebagai kawasan karst. Hal ini perlu diperhatikan karena kehadiran batuan karbonat karst berfungsi sebagai pengatur keseimbangan dan ketersediaan air. Batuan karbonat karst sering kali menyimpan pusaka-pusaka masa lampau, seperti hunian prasejarah, situs masa megalitik, dan situs zaman klasik. Batuan karbonat karst pada sisi pariwisata berpotensi menjadi tujuan wisata minat khusus. Di Kabupaten Blora, khususnya kawasan karst Kecamatan Todanan terbukti sebagai pengatur keseimbangan air. Kecamatan ini juga merupakan daerah cadangan pangan Kabupaten Blora. atas dasar itu, kawasan karst Todanan memenuhi kriteria fungsi utama kawasan lindung sesuai UndangUndang No. 26 Tahun 2007. Selain itu, kawasan karst Todanan juga mengandung nilai pusaka prasejarah (Gua Kidang), serta bernilai wisata (Kompleks Gua Terawang). Terdapat pula gua yang berpotensi menyimpan hayati yang unik (Gua agung). Oleh karena itu, kawasan karst di Kecamatan Todanan (minimal kawasan karst Tinapan) dapat dikategorikan sebagai kawasan strategis nasional karena menyangkut hajat hidup orang banyak dari sudut politik, sosial, budaya, lingkungan dan pertahanan dan keamanan sesuai dengan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004. Dengan demikian, pemerintah daerah jangan melihat kawasan karbonat sebagai bahan galian saja. Pemerintah Daerah Kabupaten Blora dapat bekerja sama dengan Badan Geologi (ESDM) dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk menentukan kawasan karbonat yang bisa bisa dieksploitasi galian C-nya, dan mana yang tidak boleh digali.

100

ANTISIPASI PABRIK GULA Pabrik Gula PT Gendhis Multi Manis (GMM) akan didirikan di atas tanah Bumi Perkemahan Lembaga Cadika Pancasona, Kwarcab XI.16 di kawasan Tinapan. Menurut pimpinan kwarcab, Suryanto, luas tanah tersebut 27 hektare. Namun, transaksi sementara yang diakui GMM hanyalah 20,2 hektare. Perselisihan ini menunda pembangunan pabrik gula. Kapasitas produksi pabrik gula ini direncanakan 4.000 ton per hari dan sudah dilakukan peletakkan batu pertama oleh Gubernur Jawa Tengah, Bibit Waluyo pada 18 april 2011. Komisi amdal pabrik gula diketuai oleh Djoko Sutrisno yang juga Ketua Badan Lingkungan Hidup (BLH) Provinsi Jawa Tengah menyatakan belum bisa menyajikan data yang akurat untuk memenuhi kebutuhan air buat operasional pabrik gula nantinya. Kebutuhan air dijanjikan tidak akan mengambil dari sumber air Sendang Putri. Sumber air akan didapat dari embung tadah hujan yang dibangun di daerah persawahan bertanah lempung. Berdasarkan hasil tinjauan, pabrik gula didirikan di atas batuan gamping yang sangat besar kemungkinan berklasifikasi karst. Pada batuan ini terdapat aliranaliran air bawah tanah yang mengalir dari arah barat laut ke arah tenggara dan berujung pada Sendang Putri. Ini adalah sistem utama karst Tinapan Di dalam areal pabrik gula juga terdapat Gua Banyu dan Gua Tumpang yang masih dalam sistem karst Tinapan. Karena itu, LPPM ITB memberikan peringatan dini. Dampak negatif pada sistem karst tidak pernah dapat diperbaiki kembali. Perlu dicermati lebih lanjut tentang dampak debu batu bara terhadap batuan karst, dampak pendirian bangunan pabrik di atas batuan karst, dampak limbah pada batuan karst dan dampak-dampak sosial bila di kemudian hari Sendang Putri dan persawahan terganggu oleh adanya aktivitas pabrik gula. Jangan sampai cita-cita memulai pembangunan ekonomi, malah berbalik menjadi merusak Desa Tinapan sebagai lumbung pangan Blora, serta mengganggu sumber air PDaM.***


Karst Blora

101


Barongan

WARISAN SENI BUDAYA BLORA

“Tholèkthoglèng-tholèkthoglèng, ndhang-ndhang glèng, hasolé-hasolé, Barongan mata beling nèk wani tak tempiling. Tholèkthoglèng-tholèkthoglèng, ndhang-ndhang glèng, hasoléhasolé, Barongan mata cermin kalau berani saya tempeleng. Begitu kira-kira terjemahan lirik yang kerap terlontar dari mulut anak-anak yang tengah asyik dengan barongan mainan. Mereka juga menirukan gerakangerakan barongan yang dilihatnya dalam upacara ritual maupun pertunjukan. Bagi masyarakat Blora, suara gamelan “tolèk toglèng” merupakan pertanda adanya pertunjukan barongan, baik acara ritual maupun tontonan. Bentuknya bisa arak-arakan atau pertunjukan panggung. Bila mendengar suara gamelan musik iringan barongan, masyarakat akan mencari arah bunyi dan berbondong-bondong mendatanginya. Pemandangan seperti itu sudah tidak asing bagi masyarakat Blora. Barongan sudah mendarah daging dan tertanam di hati mereka. Barong atau barongan sebenarnya merupakan kesenian khas Jawa Tengah. Namun, lebih identik dengan Blora karena secara kuantitas keberadaannya lebih banyak ditemukan di daerah ini ketimbang kabupaten/ kota lain di Jawa Tengah. Tidak mengherankan jika kesenian ini sangat populer di tengah masyarakat Blora, terutama di pedesaan.

102

Kesenian barongan adalah suatu pelengkapan yang dibuat menyerupai singo barong atau singa besar sebagai penguasa hutan angker dan sangat buas. Secara filosofis, dalam seni barong tercermin sifatsifat kerakyatan masyarakat Blora seperti spontanitas, kekeluargaan, kesederhanaan, kasar, keras, kompak, dan keberanian yang dilandasi kebenaran. Berdasarkan catatan di laman resmi Pemerintah Kabupaten Blora, tokoh singo barong dalam cerita barongan disebut Gembong amijoyo. artinya harimau besar yang berkuasa. Kesenian barongan berbentuk tarian kelompok yang menirukan keperkasaan gerak seekor singa raksasa. Dalam penyajian secara keseluruhan, singo barong merupakan tokoh yang sangat dominan. Namun, ada juga beberapa tokoh yang tidak dapat dipisahkan yaitu Bujang Ganong, Pujonggo anom Joko Lodro, Gendruwo Pasukan Berkuda dan Reog Noyontoko Untub. Selain tokoh tersebut, pementasan kesenian barongan dilengkapi beberapa instrumen musik seperti kendang, gedhuk, bonang, saron, demung dan kempul. Seiring perkembangan zaman, ada beberapa penambahan instrumen modern berupa drum, terompet, kendang besar dan keyboard. Bahkan, dalam beberapa pementasan sering dipadukan dengan kesenian campur sari. Kesenian barongan yang masih dilakukan setiap tahun antara lain upacara tradisi setelah panen yaitu lamporan yang dilanjutkan dengan sedekah desa.


Kesenian Barong

103


“Pada awalnya, barongan di Blora untuk kepentingan ritual. Namun, kemudian berkembang menjadi pertunjukan dalam arak-arakan dan tontonan di panggung,” kata Drs. Muksin Md, M.Sn., anggota LPPM ITB dari Fakultas Seni Rupa dan Desain (FRSD). Berdasarkan fungsinya, barongan di Blora terbagi dalam tiga yaitu kawak atau klasik untuk kepentingan ritual, pakem untuk arak-arakan dan pertunjukan, serta kreasi untuk pertunjukan panggung dan hajatan. “Saya menyebut barongan pakem dan kreasi merupakan karya kreatif para perajin dan pengguna di Blora yang digunakan untuk kepentingan pertunjukan. Dari situ, barongan kreasi berkembang menjadi suvenir-suvenir,” tambah Muksin, M.Sn. Seni rupa berupa desain barongan untuk pertunjukan dan kriya pun turut berkembang di tengah masyarakat Blora. Beberapa daerah yang perajinnya cukup produktif membuat barongan untuk pertunjukan dan suvenir antara lain di Kecamatan Kunduran, Kota Blora, dan Jiken. Di ketiga daerah tersebut, kesenian maupun produksi barongan masih berjalan cukup baik. Produk yang dihasilkan dipasarkan ke berbagai wilayah di Blora dan ke luar daerah seperti Purwodadi, Tuban, Rembang, dan Kudus. Namun faktanya, pengembangan barongan sebagai cendera mata khas Blora belum berjalan optimal, termasuk desain dan pemassalan produksinya. akibatnya, dampak perekonomiannya pun belum bisa dirasakan masyarakat setempat. Berdasarkan hasil pemetaan tim LPPM ITB, sebagian besar perajin masih memproduksi barongan sungguhan (untuk pertunjukan). Mereka terdapat di Tegal Gunung, Kunden, Kaliwangan, Bangkle, dan Kunduran. Bahan yang digunakan adalah kayu lokal yang banyak terdapat di sekitar Blora, seperti randu, waru, dan dadap. Menyangkut konsep visual, barongan yang dibuat sudah sangat berkembang jauh dari bentuk aslinya. Jika pada awalnya terinspirasi dari kepala macan yang sangat distorsif, barongan sekarang sudah dibuat menyerupai dan bahkan sangat mirip bentuk macan. Hal ini justru membuat barongan kehilangan kekhasannya. Secara ekonomis, barongan untuk pertunjukan sangat terbatas pada pesanan dan revisi

104

saja. Hal ini terkait program Pemerintah Daerah Blora yang mengharuskan setiap kecamatan memiliki barongan. Jika tiap kecamatan sudah terpenuhi dan memiliki barongan, dapat dipastikan tidak ada pesanan lagi, kecuali revisi karena tiap tahun pasti ada pentas arak-arakan. Hal ini berbeda dengan produk suvenir yang konsumennya universal, dari mulai mainan anak-anak sampai pajangan. Sasarannya juga tidak saja pasar lokal, tetapi juga dapat dipasarkan di luar Blora dan bahkan ke luar negeri.


SUVENIR DAN MAINAN ANAK Dari sisi sumber daya manusia (SDM), ada 4 dari 16 kecamatan di Kabupaten Blora yang secara konsisten memproduksi barongan untuk pertunjukan, yaitu Kunduran, Ngawen, Blora, dan Jiken. Di empat kecamatan itu terdata sebanyak 20 perajin yang pernah mengikuti pelatihan pengembangan barongan sebagai produk suvenir khas Blora. Mereka diharapkan bisa menjadi leader di lingkungannya untuk mengembangkan kerajinan suvenir barongan. Sebab, mereka di antaranya merupakan perajin sekaligus pelaku seni pertunjukan barongan. Namun, dari 20 perajin tersebut, hanya tiga orang yang benar-benar memiliki potensi untuk dapat dikembangkan menjadi basis produksi kerajinan barongan yaitu di Galgunung (Kecamatan Blora), Jiken, dan Kunduran. Tiga orang ini membentuk kelompok di lingkungan sekitarnya dengan 3-5

anggota. Mereka sudah mulai memproduksi barongan untuk suvenir. Salah satunya, Wito Purwanto atau yang kesehariannya dikenal dengan panggilan Mas Wiwid. Dahulunya, Wiwid adalah seorang pemulung asal Blora yang beroperasi di Semarang. “Dahulu memang tidak ada barongan kecil (suvenir). Kalaupun ada, barongan besar (untuk pertunjukan) yang dikecilkan. Baru pada tahun 2012, perajin mulai membuat barongan untuk suvenir,” kata Wiwid. Dari simpulan yang didapat, langkah pertama yang dilakukan tim LPPM ITB adalah membuat beberapa model pengembangan barongan sebagai cendera mata khas Blora dengan berbagai alternatif. Beberapa model di antaranya untuk produksi suvenir mainan anak, cendera mata resepsi pernikahan dan pajangan interior rumah, gantungan kunci, hingga hiasan pensil.

Secara ekonomis, barongan untuk pertunjukan sangat terbatas pada pesanan dan revisi saja.

Ilustrasi proses transisi dari barongan asli menjadi suvenir Blora

105


Kemudian, LPPM ITB melakukan transfer metode pembuatan barongan untuk suvenir kepada para perajin dan calon perajin di Blora dalam bentuk workshop. Dalam kegiatan ini, LPPM ITB bekerja sama dengan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) dan Dinas Pariwisata Kabupaten Blora. Meski tidak dibina secara langsung, Wiwid termasuk perajin yang bisa keluar dari pakem barongan besar. Terinspirasi oleh banyaknya anak-anak yang suka dengan barongan mainan di sebuah pasar di Semarang, Wiwid memutuskan pulang kampung ke Blora. “Belajar secara autodidak, dengan modal awal Rp500 ribu, saya mulai memproduksi barongan mainan anak-anak. Dengan sedikit kreasi, agar anakanak tidak takut, saya buat yang lebih bagus biar harganya agak mahal. alhamdulillah, meski awalnya kecil-kecilan, sekarang sudah bisa memasarkan hingga ke luar Pulau Jawa,” tutur Wiwid. Bukan hanya itu, harapan Wiwid untuk mempekerjakan saudara dan tetangganya mulai terwujud. “Sekarang alhamdulillah, saya sudah bisa membuat lapangan kerja, paling tidak buat saudara dan tetangga. Sekarang, saya punya sembilan pekerja,” kata Wiwid. Purwadi, seorang perajin kayu ukir yang secara intensif dibina tim LPPM ITB mengakui manfaat desain produk yang ditawarkan. Selain transfer metode pembuatan barongan, pada kunjungan kedua juga dibentuk sebuah paguyuban perajin barongan untuk mempermudah proses pemantauan produksi dan pemasarannya. . “Selain paguyuban perajin barongan, saya berharap kepada ITB juga membentuk kelompok-kelompok untuk kepentingan pelatihan kerajinan lain,” kata Purwadi.

“Setelah mengikuti pelatihan ini, manfaat yang paling saya rasakan adalah ilmunya, terutama menyangkut desain dan cara memproduksi kerajinan barongan.“

106

Dampak pengembangan desain produk tim LPPM ITB juga dirasakan pelaku kesenian barongan. andrik misalnya, ia mengaku kehadiran tim LPPM ITB dengan berbagai programnya, termasuk desain produk dan membuka jejaring pemasaran membuat barongan Blora semakin dikenal masyarakat. “Sebenarnya barongan itu sudah ada sejak dahulu. Barongan itu tradisi masyarakat Blora. alhamdulillah sampai sekarang masih ada. Bahkan, Pak Muksin dan kawan-kawan dari ITB bisa mengenalkan barongan lebih luas lagi, termasuk bisa dimainkan anak-anak di mana-mana,” tutur andrik. andrik bercerita, sebelum LPPM ITB membantu mengembangkan potensi barongan, hanya ada dua grup pertunjukan di kampungnya yang dikelola dan dimainkan orang tua. “Tapi, sekarang banyak grup anak-anak muda dan bahkan mulai disukai anakanak. Ini bagus agar tradisi barongan tetap terjaga dan semakin dikenal masyarakat luas,” kata andrik.

GARAP KEMASAN Pada 2017, perajin di Galgunung, Kedung Jenar, Jiken, Ngawen, Kunduran, dan sekitarnya sudah banyak membuat berbagai macam produk barongan berdasarkan hasil pengembangan model dari LPPM ITB. Mereka juga sudah mulai memasarkannya meskipun masih bersifat sporadis dan belum dikemas dengan baik. Perajin yang sebelumnya hanya fokus membuat barongan sungguhan (untuk pertunjukan), sudah mulai merambah pada industri kerajinan. Kerajinan atau suvenir itu dipasarkan dan dipajang di kios-kios tanpa kemasan menarik sehingga kekhasannya kurang terlihat. Selain itu, suvenir kurang praktis untuk dibawa. Karena itu, tim LPPM ITB melanjutkan pengabdian masyarakatnya dengan fokus kepada pengembangan kemasan dalam aplikasi produk dan strategi pemasaran (branding) suvenir khas Blora. Dari kegiatan ini diharapkan menumbuhkan pengetahuan dan kesadaran para perajin tentang pentingnya mengemas suatu produk dan strategi pemasarannya (branding).

Purwadi

Dalam pelaksanaannya, aplikasi desain kemasan pada hasil produk dan pemasaran cendera mata khas Blora dilakukan melalui pelatihan dan workshop. Tentu saja ada pendampingan langsung pada kelompok-


Barongan berbentuk mainan anak

Suvenir Blora

107


kelompok perajin sehingga dapat mengetahui langsung proses produksi cendera mata dan cara mengemasnya. Selain itu, dibuat juga rencana bersama untuk meningkatkan kualitas desain, serta produksi dan pemasarannya. “Pengemasan menjadi penting agar produk suvenir yang dihasilkan memiliki kekhasan. Kemasan dapat menjadi solusi untuk memperkuat image yang khas. Sebab, tiap daerah di sekitar Blora memiliki produk yang sama. Setidaknya, kemasan bisa menjadi pembeda,” ujar Muksin, M.Sn. Ia menjelaskan, kemasan juga dapat memberikan informasi tentang produk yang khas tersebut. Menurutnya, pengemasan yang baik bisa menghadirkan kebanggaan pembelinya sebagai buah tangan ketika berkunjung ke Blora. yang tidak kalah pentingnya, kemasan juga dapat mendukung pengembangan pangsa pasar yang lebih luas dan dapat mencirikan Blora-nya sehingga diharapkan dapat menembus pasar nasional dan jika perlu sampai mancanegara.

Menurut Muksin, M.Sn, suvenir yang dibuat juga kurang memiliki daya saing jual karena masih terlalu rumit cara membuat dan harganya terlalu mahal. 108

Berdasarkan pengamatan di lapangan, ada beberapa titik tempat penjualan suvenir berupa kios yang menjual barongan yaitu di Kunduran, Ngawen, pasar kota Blora, dan Jiken. Suvenir barongan dijual tanpa kemasan dan rata-rata hanya satu jenis berupa barongan mainan anak-anak. Selain itu, sebagian besar perajin masih memproduksi barongan untuk pertunjukan yang jumlah pesanannya semakin menurun. Tercatat, hanya 40 persen perajin yang memproduksi kerajinan barongan untuk suvenir. alasan perajin tidak memproduksi suvenir karena tidak tertangani lantaran sebagian besar dari mereka hanya bekerja sendiri atau dibantu satu sampai dua orang. Selain itu, konsumen merasa produk suvenir masih terlalu mahal. Misalnya, untuk satu gantungan kunci dibanderol Rp10.000. “Hal ini terjadi kurang efisiensi produksi dan desain suvenir sehingga pengerjaannya lama yang berdampak pada harga yang tinggi. Makanya, kami fokus mencari alternatif desain suvenir yang berukuran kecil, efisiensi produksinya sehingga harganya dapat terjangkau,” ujar Muksin, M.Sn.

Kami fokus mencari alternatif desain suvenir yang berukuran kecil, efisiensi produksinya sehingga harganya dapat terjangkau.”


MENJADIKAN SOSOK BARONGAN DISUKAI BANYAK ORANG DRS. MUKSIN MD, M.SN.

“BaRONGaN Dalam Pengembangan Cinderamata Khas Blora”. Itulah paper hasil penelitian pertama Muksin, M.Sn. dengan objek barongan, kesenian rakyat yang sangat populer di kalangan masyarakat Blora. Karya ilmiah dosen Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung (FRSD-ITB) ini dirilis pada 2012. Upaya pengembangan barongan sebagai cendera mata khas Blora berawal dari permintaan saat tim LPPM ITB mengadakan pengabdian masyarakat yang sudah berjalan sejak 2009. “awalnya, kegiatan pengabdian di Blora fokus pada kepentingan yang utama, seperti pembangunan embung keruk di Randublatung dan pemberdayaan masyarakat di Todanan. Namun, kemudian ada permintaan untuk pengembangan pariwisata dan budaya,” ujar Muksin, M.Sn. Dari sekian banyak potensi budaya dan wisata di Kabupaten Blora, tim LPPM ITB memilih fokus pada pengembangan barongan. Selain bisa menjadi ciri khas Blora dan melestarikan tradisinya, barongan juga berpotensi menggerakkan roda perekonomian warga setempat. Konsep yang pertama kali ditawarkan tim LPPM ITB kepada perajin adalah mengubah sosok garang barongan menjadi suvenir yang disukai semua orang, mulai anak-anak hingga dewasa. Beberapa desain produk pun ditawarkan. Setidaknya, LPPM ITB sejauh ini sudah membuat delapan prototipe atau purwarupa untuk suvenir, yaitu tempat

tisu, mainan untuk pertunjukan anakanak, barongan tangan, dekorasi interior, wayang golek, gantungan kunci dan hiasan mobil, barongan keramik, dan mainan anak. Namun, menawarkan hal baru kepada masyarakat yang sudah secara turunmenurun menganggap barongan sebagai hal sakral tentu saja bukan pekerjaan gampang. Di lapangan, konsep dan bahkan desain produk yang ditawarkan, baik secara terbuka maupun tidak, kerap mendapatkan penolakan. “Pada umumnya, mereka tidak berani. Di benak mereka, karakter barongan itu harus galak. Selain itu, pada awalnya barongan Blora itu untuk ritual, suatu hal yang sakral bagi warga. Itu bukan main-main. Ketika barongan diubah untuk kepentingan arak-arakan dan pertunjukan, sifat sakralnya tidak hilang. Nah, ketika kita tawarkan menjadi suvenir, tentu saja sifat galak dan sakralnya hilang untuk menjembatani agar banyak orang menyukainya,” beber Muksin, M.Sn. Untuk mengubah mindset warga Blora itu saja, tim LPPM ITB butuh waktu lebih dari tiga tahun. “Kita masuk dari 2012 sampai 2013. Baru pada 2015 dan 2016, perajin mulai berani memproduksi suvenir,” tambah Muksin, M.Sn. Tapi, persoalan tidak berhenti sampai di situ. Jumlah perajin yang mau memproduksi suvenir masih sangat sedikit. Setelah ada kemauan membuat suvenir, mereka dihadapkan pada persoalan modal dan kerap terkendala masalah pemasaran.

“Makanya, kita masuk lagi. Sebab, kita tidak ingin hanya mengembangkan produk barongan jadi suvenir. Tapi, kita juga melanjutkan pengembangan suvenir barongan ini, dari mulai pengemasan, peningkatan kapasitas produksi hingga terpasarkan dengan baik,” kata Muksin, M.Sn. Karena itu, Muksin, M.Sn terus mengupayakan pengembangan desain produk barongan Blora. Beberapa proyek penelitian yang dilakukan selanjutnya antara lain Pengembangan Produk Identitas Budaya Masyarakat Blora untuk Menunjang Sentra Masyarakat Kreatif, aplikasi Pengembangan Cinderamata Khas Blora (Barongan) dengan Sentuhan Teknik Potong, Tempel, Pahat dan Lukis (2013), dan Peningkatan Kapasitas Produksi Pengrajin Barongan Melalui Pengembangan Produk Baru di Sentra Industri Dhak Gling Blora (2020). Selanjutnya, Muksin, M.Sn mengaku masih punya obsesi yang belum terealisasi yang berkaitan dengan city branding. “Kita ingin membuat festival barongan bertaraf nasional atau bahkan internasional di Blora. Selain itu, kita juga ingin membangun museum barongan,” harap Muksin, M.Sn. Untuk festival, tanpa melibatkan ITB, Pemerintah Kabupaten Blora memang sudah melakukannya, baik bertaraf lokal, regional, maupun nasional. Namun, karena konsepnya tidak seperti yang ditawarkan ITB, Muksin, M.Sn. menilai, festival barongan yang diadakan Pemkab Blora belum mampu memaksimalkan seluruh potensi yang ada. “Kita ingin melalui festival ini semua potensi wisata Blora dimaksimalkan. Tapi, karena penyelenggaraannya hanya sehari, dari sisi promosi wisata saja tidak terasa. Makanya, bekerja sama dengan perguruan tinggi – perguruan tinggi di Jawa Tengah –, kita ingin mengadakan festival barongan yang lebih baik,” tutur Muksin, M.Sn.***

109


Untuk itu perlu dibuat desain (model) barongan untuk suvenir sebagai alternatif yang lebih efisien dalam produksinya dengan harga jual yang bisa lebih murah. Salah satunya dengan membuat model replika barongan kawak untuk gantungan kunci dan hiasan magnet untuk kulkas. Kemudian dibuat cetakannya dari karet silikon (silicone rabber) yang selanjutnya dapat digunakan perajin untuk produksi. Kemudian, tim juga membuat desain alternatif kemasan suvenir replika barongan kawak yang ukurannya besar dan kecil. Untuk ukuran suvenir kecil, seperti gantungan kunci dan hiasan magnet kulkas dapat dikemas dengan plastik, label sebagai penjepit plastik serta keterangan tentang barongan ada di dalamnya. Mengenai ukuran label dapat disesuaikan dengan besar-kecilnya plastik kemasan dan suvenirnya. Untuk yang berukuran besar dapat menggunakan label yang cukup diikatkan atau digantungkan pada bagian barongan suvenir dengan tali benang.

SUATU SAAT BARONGAN BISA DIJUAL

Purwadi

KETIKA pertama kali belajar dan membuat barongan pada 1998, sama sekali tak tebersit dalam benak Purwadi untuk menjualnya. Saat itu, ia hanya membuat barongan untuk memenuhi kebutuhan desanya saat ritual atau perayaan hari-hari besar seperti 17 Agustusan. Maklum, pada saat itu, barongan hanya sebatas tradisi ritual dan pertunjukan rakyat di pedesaan yang belum memiliki nilai jual. Meskipun demikian, Purwadi punya keyakinan besar. “Suatu saat, barongan bisa dijual,” gumamnya ketika melihat neneknya bergegas meninggalkan masakannya di dapur hanya garagara ada arak-arakan barongan lewat dekat rumahnya di Desa Jiken, Kecamatan Jiken, Kabupaten Blora. “Nenek saya memilih nonton barongan ketimbang melanjutkan masaknya di 110

Dengan menawarkan alternatif desain yang unik, menarik dan mencoba memasuki peluang pasar yang masih sangat terbuka. “Untuk pengembangan barongan selanjutnya diperlukan dukungan pemerintah daerah, eksplorasi desain dan pasar, dengan menawarkan alternatif desain yang unik, menarik dan mencoba memasuki peluang pasar yang masih sangat terbuka serta mempersiapkan tenaga terampil. Dukungan dana dari pemerintah daerah dan instansi terkait tentunya sangat diperlukan. Cendera mata khas Blora,memiliki nilai jual, pangsa pasar dan potensi industri kreatif sebagai lapangan kerja baru bagi masyarakat,” beber Muksin, M.Sn. ***

dapur. Itu artinya, barongan punya daya tarik luar biasa. Dari peristiwa itulah awal keyakinan saya terhadap potensi ekonomi barongan,” tambah Purwadi. Karena itu, Purwadi terus belajar dan memproduksi barongan. Ia tak memedulikan cibiran orang. “Waktu itu, dari Pasar Blora hingga Cepu belum ada yang jualan. Barongan buatan saya sampai menumpuk. Banyak orang ngatain buat apa bikin barongan, siapa yang suka barongan, siapa yang mau beli, saya tetap bikin,” tutur Purwadi. Kesabaran dan kerja keras Purwadi mulai berbuah manis ketika kakaknya mengambil barongan buatannya untuk pertunjukan. Tidak lama setelah itu, ada tetangganya yang pesan dan membeli karyanya. “Kemudian, pelan-pelan nambahnambah pembelinya sampai sekarang sudah banyak yang pesan dari luar Jawa,” kata Purwadi. Awalnya, Purwadi hanya memproduksi barongan besar untuk pertunjukan. Bahkan, ia tergolong perajin yang fanatik dengan desain karyanya sendiri. Termasuk ketika pertama kali diajak teman-temannya mengikuti pelatihan desain yang diadakan lPPM ITB bekerja sama dengan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Blora, pada 2013, Purwadi tidak langsung tertarik. “Sebelum diajak teman ikut pelatihan ITB di Bappeda,

sebenarnya saya sudah lama bikin barongan. Waktu itu, pola pikir saya, dikasih saran kalau tidak cocok, ya saya bantah. Saya maunya begini, kalau enggak mau ya sudah,” tutur Purwadi soal awal perkenalannya dengan ITB. Kendati demikian, Purwadi tidak menyangkal pentingnya inovasi, kreasi, dan desain baru barongan yang ditawarkan ITB. Begitu juga dengan teknologi terapan untuk meningkatkan kapasitas produksi barongannya. Apalagi, waktu itu dan hingga sekarang, selain anggota keluarga, Purwadi tidak memiliki pekerja tetap yang membantu proses produksinya. Karena itu, setelah pertemuan kedua dengan tim lPPM ITB, ia mulai memproduksi barongan kecil untuk mainan anak hingga suvenir seperti gantungan kunci, pensil, pulpen, hiasan kulkas dan pernak-pernik lainnya. Pada saat itu, berbagai suvenir yang diproduksi Purwadi sudah memanfaatkan resin yang mempercepat proses produksi dan meningkatkan kualitas produknya. “Alhamdulillah, berkat desain dan teknologi yang saya pelajari dari ITB, kalau dihitung hasilnya sudah ratusan juta. Bahkan, di samping bengkel ini, ada tanah yang saya beli dari hasil barongan. Makanya, saya bilang tanah barongan,” kata Purwadi, tersenyum bangga.***


Purwadi, perajin barongan

111


PEMBERDAYAAN MASYARAKAT ALA

Upat Upat Bumi

TERLETaK di barat laut, Kecamatan Todanan merupakan salah satu satu titik sentral produksi pertanian di Kabupaten Blora. Tidak mengherankan karena sebagian besar masyarakatnya memiliki mata pencaharian sebagai petani. Namun, hasil pertanian mereka baru sebatas untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Bahkan, ada juga petani yang tidak mampu memenuhi konsumsi sehari-harinya. Siklus panen lahan pertanian di Kecamatan Todanan biasanya dua kali dalam setahun untuk tanaman padi, diselingi sekali palawija. Namun, karena bersifat tadah hujan lantaran tak memiliki embung dan irigasi teknis, areal pertanian di Kecamatan Todanan tergolong rawan krisis air. Selain bertani, masyarakat Todanan memiliki mata pencaharian sampingan sebagai pembuat arang dan peternak sapi, kambing atau unggas. Mata pencaharian sampingan ini biasanya dilakukan untuk tambahan pemasukan dan modal untuk kegiatan insidental seperti nikahan, sunatan, dan sebagainya. Kebutuhan untuk mendapatkan bahan baku arang berupa kayu jati dan kebutuhan pakan ternak berupa rumput biasanya diambil langsung dari hutan sekitar kampung mereka. Kegiatan perekonomian lain yang terdapat di Kecamatan Todanan adalah industri jamur skala rumah tangga dan industri pembuatan sapu ijuk. Industri rumahan jamur inilah yang berpotensi untuk

112

dikembangkan karena topografi Kecamatan Todanan berada di daerah pegunungan yang membuat cuaca relatif dingin. Selain perekonomian, Kecamatan Todanan juga punya persoalan sosial. Meskipun partisipasi dalam membangun desa sudah cukup baik, masyarakat di Kecamatan Todanan masih mengalami kendala teknologi. Mereka juga kurang berinisiatif. Tanpa contoh konkret, masyarakat desa cenderung tidak mencoba hal baru. akibatnya, masyarakat sulit berkembang dan tidak mengikuti inovasi-inovasi yang muncul. Masyarakatnya juga cenderung berpola pikir jangka pendek. Mereka hanya berpikir bekerja untuk mendapatkan uang. Mereka praktis tak memiliki pola pikir jangka panjang untuk mengembangkan sumber daya dan usaha yang ada. Tidak mengherankan apabila banyak warga Todanan, terutama generasi mudanya yang merantau ke daerah lain untuk bekerja dan mendapatkan uang. “Sebenarnya, itulah salah satu ciri kota kecil. Di manamana sama. Mereka tidak mudah berkembang karena generasi mudanya keluar dari kota. yang tinggal di sana secara turun-temurun berkembang dengan kondisi seadanya. Tidak ada ide dari luar masuk,” kata Prof. Edy, anggota tim LPPM ITB kelahiran Blora. Kondisi sosial dan ekonomi di Kecamatan Todanan itu tertangkap tim LPPM ITB ketika diajak berkeliling oleh anggota DPRD Kabupaten Blora, Singgih Hartono


Tempat pelatihan Upat Upat Bumi

113


Dari perpustakaan swadaya yang sudah ada di Desa Dalangan sejak tahun 2008 itulah, tim LPPM ITB masuk dan membantu mengembangkan pembentukan Pusat Kegiatan Belajar Mengajar (PKBM) yang kemudian diberi nama Upat Upat Bumi. pada 2009. “Di Todanan, kita dipertemukan dengan seorang pemuda lokal bernama Supat. Dia hanya lulusan SMP, tetapi punya pemikiran dan semangat mengajak masyarakat untuk maju melalui kegiatan di perpustakaan swadayanya,” tutur Guru Besar Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan alam ITB (FMIPaITB) ini. Dari perpustakaan swadaya yang sudah ada di Desa Dalangan sejak tahun 2008 itulah, tim LPPM ITB masuk dan membantu mengembangkan pembentukan Pusat Kegiatan Belajar Mengajar (PKBM) yang kemudian diberi nama Upat Upat Bumi. Komunitas ini berkembang dan semakin dirasakan pesat setelah tim LPPM ITB turut membantu. “Waktu itu, kita membantu usulan kegiatan. Salah satunya budi daya jamur. Ketika itu, kita bawa dua orang anggota komunitas ke ITB untuk dilatih budi daya jamur hingga pemasarannya,” kata Prof. Edy. Setelah itu, tim LPPM ITB membantu dan merancang pembentukan PKBM Upat Upat Bumi. Beberapa program yang pertama kali dikembangkan PKBM antara lain Pendidikan anak Usia Dini (PaUD)/TK, Kejar Paket B dan C, dan Taman Bacaan Masyarakat (TBM) ”Sumber Ilmu”. Kemudian, berkolaborasi dengan LPPM ITB, diadakan juga pelatihan instalasi biogas, pembibitan dan budi daya jamur tiram, pelatihan sablon magang koperasi di Bandung, PKBM Upat Upat Bumi secara mandiri berhasil mengembangkan kursus menjahit,

114

DATANG, DUDUK, DENGARKAN PROF. EDY SOEWONO, PH.D

KELOMPOK keahlian Prof. Edy Soewono adalah Matematika Industri dan Keuangan. Menilik kelompok keahlian Guru Besar Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan alam Institut Teknologi Bandung (FMIPa-ITB) ini, rasanya sulit menerapkan ilmu dan teknologi yang dimilikinya pada kegiatan pengabdian masyarakat yang sebagian besar dilakukan di pelosok daerah. Hal itu pun disadari benar oleh profesor jebolan The Ohio University athens, amerika Serikat (1988) ini. “Kalau


lihat kelompok keahlian, memang tidak nyambung sih. Tapi, pengabdian masyarakat itu tidak harus selalu berbasis keilmuan. yang terpenting, kita bisa turun ke bawah, diterima masyarakat, dan bisa memahami kebutuhan mereka. Itu kan tidak perlu dilatarbelakangi keilmuan khusus,” kata pria yang menyelesaikan program sarjana (S-1) dan master (S-2) di ITB pada tahun 1979 dan 1982 ini. Menurut Prof. Edy, pada dasarnya, pengadian masyarakat itu berjalan karena ada permintaan dari wilayah bersangkutan. “Jadi, kita tidak bisa datang dengan membawa ilmu dan teknologi untuk diterapkan di masyarakat. Kita pernah coba itu. Hasilnya tidak berkelanjutan,” tambah Prof. Edy. Ia mencontohkan penerapan teknologi biogas di Blora dan Jepara. Pada awalnya, tim LPPM ITB berpikir, teknologi biogas itu bisa bermanfaat dan menghadirkan nilai tambah dalam berbagai kegiatan perekonomian yang dilakukannya. Tapi, pada kenyataannya, teknologi itu tidak bisa diterapkan dengan berbagai alasan. “Di Blora, mungkin kita bantu biogas di tiga atau empat tempat. Setahun berjalan, tapi tidak berkelanjutan. Masalahnya, karena secara nyata tidak memberikan nilai tambah ekonomi. Karena kenyataannya, biogas itu hanya untuk masak. Begitu juga di Jepara, meski biogasnya lebih bagus, tapi enggak berjalan karena warga merasa repot harus mengisi limbah sapi dan itu dianggap tidak efesien,” beber Prof. Edy. Dari pengalaman trial and error di Blora tersebut, Prof. Edy mengidentifikasi salah satu faktor pendukung keberhasilan kegiatan pengabdian yang dilakukan LPPM ITB itu adalah ketepatan teknologi yang akan diterapkan dengan kebutuhan masyarakatnya. “Makanya, kita harus

datang, duduk, bersilaturahmi dan mendengarkan kebutuhan masyarakat dan apa yang bisa dibantu. Dari situ, pelan-pelan kita menawarkan solusi untuk kebutuhan masyarakat. Dari situlah, pengabdian masyarakat bisa terus berkembang,” kata Prof. Edy. Selain ketepatan ilmu dan teknologi yang dibutuhkan masyarakat, faktor lain yang teridentifikasi sebagai salah satu kunci keberhasilan kegiatan pengabdian adalah tokoh-tokoh lokal, khususnya kaum muda, yang punya jiwa dan semangat memajukan masyarakatnya. Di Blora, Prof. Edy mencontohkan sosok Singgih Hartono dan Supat. Singgih Hartono adalah mantan anggota DPRD Kabupaten Blora. Sedangkan Supat seorang pemuda Desa Dalangan, Kecamatan Todanan, Kabupaten Blora. Bagi Prof. Edy, Singgih dan Supat merupakan local hero. Mereka merupakan tokoh sentral di balik keberhasilan kegiatan pengabdian masyarakat di Kabupaten Blora. Berkat keduanya, sejumlah program pengabdian masyarakat di Blora bisa berkelanjutan. “Pak Singgih adalah tokoh lokal yang membawa kita berkeliling menemui individu-individu dan kelompok masyarakat yang perlu dibantu. Kemudian kita dipertemukan dengan Supat, tokoh muda yang sangat antusias, militan dan all out ingin memajukan masyarakatnya,” tutur Prof. Edy tentang kedua sosok yang kerap disebutkannya. Kiprah Singgih yang dekat dengan masyarakat dan Supat bersama Pusat Kegiatan Belajar Mengajar (PKBM) Upat Upat Bumi menjadi inspirasi bagi seluruh anggota tim LPPM ITB dalam setiap kegiatan pengabdian masyarakat di kawasan lain, terutama di pelosok seperti Nunukan, Jepara, Maninjau, dan juga Selaawi Garut.

Tidak semuanya berhasil, tetapi, itu semua kita identifikasi dan jadi bahan pembelajaran tentang perlunya tokoh muda yang betul-betul punya jiwa dan semangat membangun masyarakatnya. Itu yang tidak mudah kita temukan dalam setiap kegiatan pengabdian masyarakat,” kata Prof. Edy. Selain keberhasilan, Prof. Edy tidak menutup mata dengan adanya harapan dan target yang sejauh ini belum tergapai. Salah satunya adopsi dan replikasi program yang sudah berhasil oleh pemerintah daerah (pemda) tempat pengabdian masyarakat dilakukan. “Kita pendekatannya dari bawah, bukan dari struktural. Kita pernah mencoba itu, tidak berhasil. yang belum berhasil, bagaimana program kita diadopsi oleh pemda. Ini tidak mudah. Perlu ketokohan seorang pimpinan daerah yang punya visi ke depan soal kemanfaatan kami. Sejauh ini belum ada pemda yang melihat program ini berhasil dan datang untuk bilang kami mau bawa ke level pemda. Itu belum bisa di mana pun,” ujar Prof. Edy. Bicara soal pengalaman selama pengabdian masyarakat, Prof. Edy mengaku lebih banyak sukanya. apalagi, sebagian besar masyarakat tempat kegiatan pengabdian selalu antusias kehadiran tim LPPM ITB. “Tidak hanya itu, semangat masyarakat juga berkelanjutan. Itu yang membuat kita selalu semangat dan happy selama kegiatan pengabdian masyarakat,” tutur Prof. Edy. Dukanya? “Tidak duka-duka amat, sih. Tetapi, umumnya kita harus mencoba mengikuti alur kerja masyarakat setempat walaupun kita maunya cepat maju dan bergerak. Itulah dinamika di lapangan,” pungkas Prof Edy.***

115


servis komputer, industri rumahan pembuatan aneka keripik, keterampilan limbah perca, les Matematika dan Bahasa Inggris, koperasi mandiri, pembibitan ikan nila dan lele, bengkel serta program air bersih. Sempat dicibir dan bahkan ditertawakan pada awal pendiriannya, pada 2012 Upat Upat Bumi sudah mampu mengadakan event berskala lokal yang mengangkat kebudayaan dan potensi setempat seperti Parade Obor Nusantara untuk menyambut Tahun Baru Jawa 1 Suro. Kegiatan ini terus dilaksanakan setiap tahun. Namun, menurut Supat, ada kendala dalam mengembangkan sejumlah kegiatan pemberdayaan masyarakat di antaranya keterbatasan modal dan sulitnya mendapatkan bantuan dari pemerintah. “Karena itu, saya sangat berharap kerja sama dengan ITB tidak boleh putus. Saya masih punya mimpi besar menyangkut pengembangan pendidikan dan pemberdayaan masyarakat. ITB jangan nanggung. ITB bisa membantu kami membuka link dan jejaring untuk mencari sumber dana buat kegiatan Upat Upat Bumi. Saya yakin ITB mampu,” kata Supat. Selain pusat belajar, Upat Upat Bumi juga memiliki kegiatan pelatihan pembibitan jamur. Pelatihan ini mampu menumbuhkan industri pengolahan jamur serta kegiatan ekonomi masyarakat lain yang diharapkan bisa mendongkrak kesejahteraan warga, termasuk koperasi simpan pinjam. Khusus untuk pengelolaan koperasi, dua pengurus Upat Upat Bumi, Slamet Eko Mulyono dan Sunaryoto sempat diberi kesempatan belajar langsung ke Koperasi Keluarga Pegawai (KKP) ITB pada 2015. Selama sebulan, keduanya melakukan studi banding tentang pengorganisasian dan kepengurusan dengan cara terlibat langsung di beberapa bidang usaha KKPITB, dari mulai warung serba ada (waserda), simpan pinjam, pusat jajan serba murah (pujasera) hingga rental mobil. “Selain perilaku warga, perubahan yang paling terasa tentu saja dari sisi ekonomi. Kalau dahulu banyak sekali pengangguran, sekarang warga punya kesibukan masing-masing yang menghasilkan secara ekonomi,” tutur Supat.

Supat di depan Upat Upat Bumi

116


Selain kegiatan-kegiatan yang sudah berjalan, Supat juga mengharapkan lebih banyak pelatihan yang bisa diberikan ITB. “Pokoknya, teknologi yang sekiranya dibutuhkan dan bakal menghadirkan manfaat buat masyarakat, pasti akan saya minta ke ITB,” tambah Supat. Harapan Supat direspons positif oleh LPPM ITB. Buktinya, sejak 2009 hingga saat ini, setiap ada kegiatan penelitian dan pemberdayaan masyarakat di Kabupaten Blora, Upat Upat Bumi menjadi prioritas. “Saya melihat, kegiatan anak muda di Upat Upat Bumi sudah berhasil. Bayangkan, sebelumnya mereka tidak punya kegiatan bergulir dari sisi pendapatan. Sekarang, terutama budi daya jamurnya, menjadi sentral. Mereka sudah menjadi kiblat pelatihan budi daya jamur yang sangat berhasil,” kata Prof. Nyoman, anggota tim LPPM ITB dari kelompok keahlian Bioteknologi Mikroba.

PERUBAHAN BERAWAL DARI PENDIDIKAN

NAMANYA sangat pendek. Hanya terdiri atas lima huruf, Supat. Namun, pria kelahiran Blora, 21 Mei 1979 ini punya pemikiran panjang yang bahkan menembus ruang dan waktu. “Saya punya impian besar yang harus diwujudkan. Kalau hasilnya belum bisa dirasakan sekarang, biarkan anak saya yang melanjutkannya,” kata Supat tentang impian besarnya memberdayakan masyarakat yang berada di sekitarnya. Dahulunya, hidup Supat tak keruan. Di kampungnya, Desa Dalangan, Kecamatan Todanan, Kabupatan Blora, Supat terkenal suka mabuk-mabukan dan bikin onar. Bahkan, Supat muda pernah menggelandang bertahuntahun di jalanan. Impian Supat justru berawal

Keberhasilan LPPM ITB untuk memberdayakan masyarakat lewat PKBM Upat Upat Bumi diakui Ketua LSM ampera, Singgih Hartono. “Dengan berbagai pelatihan yang rutin dilakukan, masyarakat jadi tahu banyak hal. Dari mulai pembukuan di koperasi simpan pinjam, pendidikan hingga cara pengolahan dan pemasaran jamur,” kata tokoh masyarakat yang pernah menjadi anggota DPRD Kabupaten Blora itu. Singgih berharap, LPPM ITB terus meningkatkan kegiatan pemberdayaan masyarakat sambil memperkenalkan dan menerapkan teknologi tepat guna yang dibutuhkan warga. “Kalau di sini, yang paling dibutuhkan masyarakat itu adalah teknologi yang berkaitan dengan pertanian. Misalnya, ITB bisa mencarikan solusi untuk meningkatkan kualitas tanah agar produksi pertanian secara kuantitas meningkat lagi,” kata Singgih.***

dari kehidupanan jalanannya. Ketika usianya menginjak 21 tahun, kebosanan akan kehidupan jalanannya muncul. Entah ada bisikan dari mana, ia pun mengaku prihatin atas kondisi masyarakat di desanya, terutama kalangan mudanya. Selain rata-rata berpendidikan rendah dan tidak memiliki pekerjaan tetap, para pemuda desanya punya kebiasaan buruk seperti mabuk-mabukan, bahkan suka berkelahi dan bikin onar, seperti yang pernah dialaminya. “Kondisi itu sangat memprihatinkan dan meresahkan hati saya. Waktu itu, saya berpikir harus bisa mengubahnya,” ujarnya. Supat tak ingin, impiannya memberdayakan masyarakat sekadar bunga tidur. Saat terbangun, ia pun merintis jalan agar impian besarnya menjadi kenyataan. Salah satunya dengan membangun komunitas yang dihuni pemuda dan warga yang sebagian besar tergolong orang termarginalkan. “Komunitas ini dihuni pengangguran, anak jalanan, anak nakal dan doyan berkelahi, serta putus sekolah. Ada anak punk, Slankers (fans Slank) dan sebagainya. Kegiatan kami hanya berkumpul, berdiskusi membahas banyak hal seperti pekerjaan, kesulitan ekonomi,” tutur Supat. Rumah Supat yang berada di tepi sawah pun disulap menjadi markas tempat mereka

berkumpul. Sejak saat itu, selalu saja ada sekelompok orang yang datang, baik hanya untuk mengobrol, maupun melakukan aktivitas lain, seperti pelatihan berbagai jenis keterampilan. Kebiasaan buruk pemuda setempat mulai berupaya diubah. langkah pertama yang dilakukannya adalah dengan menyediakan perpustakaan. “Tidak mudah. Bahkan banyak orang yang mencibir dengan kegiatan komunitas ini. Apalagi, saya ini hanya tamatan SMP dan berlatar belakang kurang baik di mata masyarakat. Tapi, saya tetap punya keyakinan suatu saat akan berhasil,” kata Supat. Dalam perkembangannya, melalui anggota DPRD Kabupaten Blora, Singgih Hartono, Supat berkenalan dengan anggota tim lPPM ITB yang tengah mengadakan kegiatan pengabdian masyarakat di daerahnya pada tahun 2008. Setelah intensif berkomunikasi, muncul gagasan untuk mendirikan Pusat Kegiatan Belajar Mengajar (PKBM) yang kemudian diberi nama upat upat Bumi. “Saya setuju mendirikan PKBM yang bergerak di bidang pendidikan. Karena menurut saya, pendidikan itu merupakan hal mendasar. Perubahan itu terjadi karena adanya pendidikan,” kata Supat.***

117


MENATAP

Masa Depan

LEBIH BAIK BERSAMA JAMUR

SEBaGIaN besar warga Desa Kentong, Kecamatan Cepu, Kabupaten Blora, menggantungkan hidupnya dari hasil pertanian, terutama padi. Namun, hasil pertanian mereka tidak pernah maksimal dan bahkan kerap gagal panen akibat serbuan hama tikus. Tidak mengherankan bila tikus menjadi public enemy nomor satu bagi warga Desa Kentongan. “Hampir semua warga desa saya bertani. Tapi, kami punya masalah besar yang sulit teratasi, hama tikus,” tutur Kepala Desa Kentong, Muntahar. “Meski coba diberantas dengan berbagai cara, hama tikus tidak pernah bisa teratasi,” tambah Muntahar. Sebagai alternatif penghidupan mereka, sejumlah warga memilih usaha budi daya jamur. Kebetulan, kawasan Cepu memiliki potensi yang baik untuk mengembangkan budi daya jamur karena memiliki sumber substrat melimpah. Selain itu, kondisi lingkungan juga mendukung proses budi daya. Kemudian, sudah sejak lama jamur juga dikenal masyarakat sebagai produk pangan yang memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi sumber pangan nutraseutikal. Beberapa jenis jamur diketahui memiliki kandungan nutrisi cukup lengkap dan senyawa dengan aktivitas antikolesterol. Salah satunya jamur merang (Volvariella volvaceae). Jamur ini termasuk komoditas yang telah dikenal dan banyak dibudidayakan. Jamur merang merupakan

118

salah satu jenis jamur pertanian yang banyak diminati masyarakat karena nilai gizi yang tinggi dan memiliki prospek untuk dikembangkan. Semula, warga Desa Kentong hanya mengenal budidaya jamur tiram. “Kalau jamur tiram sudah lama mereka budidayakan. Nah, mereka ingin meniru keberhasilan jamur budi daya jamur merang di Todanan yang dilakukan PKBM Upat Upat Bumi,” kata pakar mikroba dari LPPM ITB, Prof. Nyoman. Prof. Nyoman menilai, berdasarkan permasalahan yang dihadapi petani dan potensi yang tersedia, budi daya jamur merang bisa menjadi usaha dan kegiatan sampingan selain bertani. “Budi daya jamur merang juga berpeluang meningkatkan taraf masyarakat. Sebab, jamur ini sangat pas dijadikan objek kewirausahaan bagi masyarakat yang kehilangan pekerjaan dan masalah perekonomian lainnya,” kata Prof. Nyoman. atas permintaan masyarakat yang punya keinginan kuat untuk mengikuti jejak keberhasilan budi daya jamur di Kecamatan Todanan, di pengujung tahun 2019, tim LPPM ITB mulai mengadakan rangkaian pelatihan dan pendampingan di Desa Kentong. Benar saja, pada saat pelatihan yang dilakukan pada 2-3 Desember 2019, peserta yang terdiri atas warga dan petani Cepu terlihat antusias. Beberapa peserta aktif bertanya dan mengungkapkan ketertarikannya


Budi daya jamur di Cepu

119


Kegiatan pelatihan budi daya jamur

120


mengembangkan budi daya jamur merang. Namun, mereka masih belum terlalu paham prospek dan cara mengembangkannya. apalagi peralatan untuk budi daya masih tidak lengkap. Mereka pun berharap ada bantuan berkelanjutan dari ITB untuk mengembangkan proses budi daya ini. “yang namanya baru pelatihan dan pertama kali mencoba, tentu saja masih banyak kekurangan. Makanya, untuk pengembangan budi daya jamur ini, kita masih harus terus berkomunikasi dengan ITB,” kata Supri, seorang petani peserta pelatihan jamur merang. Setelah kegiatan, warga dan petani mulai memanfaatkan limbah jerami yang dihasilkan dari proses pertanian sebagai media tumbuh jamur merang. Kemudian, mereka juga memiliki aktivitas sampingan untuk berbudi daya jamur merang selain menjadi petani. Warga dan petani juga mampu memahami teknik dasar budi daya jamur merang yang diharapkan akan terus dikembangkan secara mandiri oleh warga. Namun, berkat ketekunan petani, mereka akhirnya bisa meningkatkan kuantitas dan kualitas pada saat panen kedua. “alhamdulillah, panen kedua mengalami peningkatan. Kita juga sudah bisa merasakan hasilnya, baik untuk konsumsi maupun dijual. Sebab, walaupun harganya mahal, antara Rp30 ribu sampai Rp40 ribu per kilogram, jamur merang ini tetap dibeli,” tutur Supri. Kendati demikian, Supri tetap berharap bantuan ITB berkelanjutan. “Jangan berhenti sampai di sini. Kami masih butuh bantuan dan pendampingan dari ITB. Kendala kami tidak jauh-jauh, hanya soal pemasaran dan permodalan,” kata Supri

Walaupun harganya mahal, antara Rp30 ribu sampai Rp40 ribu per kilogram, jamur merang ini tetap dibeli.

termasuk pemasarannya. Pelatihan pemasaran bermanfaat karena kita tidak ingin jualan jamur saja, tapi mungkin produk olahan lainnya,” kata Eko. Berkenaan dengan pasar, Eko mengaku tidak khawatir. Karena diyakini memiliki nilai gizi yang tinggi dan bisa bermanfaat sebagai obat, meskipun harganya tergolong mahal, Eko optimistis dengan potensi pasar jamur. Buktinya, kata Eko, dalam dua kali panen yang sudah dilakukan petani binaannya, semuanya bisa dipasarkan.

Setali tiga uang, harapan serupa dilontarkan Ketua PKBM amal Bhakti Indonesia yang berperan membina warga dan petani Desa Kentong, Eko Suyanto, SE. S.Pd. apalagi, tutur Eko, setelah merasakan hasilnya dalam dua kali panen, para petani dan warga binaannya sudah bertekad menjadikan budi daya jamur menjadi mata pencaharian utama pengganti padi.

“Sekarang pun, permintaan ke kita sudah banyak. Sayang kita belum bisa produksi karena kekurangan modal, terutama setelah pandemic Covid-19. Karena biaya produksinya agak mahal juga. Tapi, kami sangat yakin prospek jamur itu bagus. Makanya, kita mau lanjut. Sebab, masyarakat sudah merasakan manfaatnya, terutama dari sisi ekonomi. Mereka butuh tambahan pendapatan,” tandas Eko.

“Makanya, kita berharap sentuhan lebih lanjut dari LPPM ITB. Kalau kemarin kita baru mendapatkan pelatihan dasar, ke depan kita ingin lanjutannya,

Dengan bantuan dan pendampingan lanjutan dari LPPM ITB, Eko yakin, masa depan warga dan petani binaannya akan lebih baik bersama jamur merang.*** 121


Omah Susu,

JEPARA BUKAN CUMA UKIRAN KAYU

JEPaRa sangat identik dengan ukiran kayu. Tidak banyak tahu kalau Jepara juga punya potensi sebagai daerah penghasil susu. Potensi itu bisa ditemukan di Desa Banyuputih, Kecamatan Kalinyamatan. Sebagian besar penduduk desa itu merupakan peternak kambing dan sapi perah. Sayangnya, produk susu hasil peternakan di Desa Banyuputih belum mendapatkan tempat di hati masyarakat. adalah abdul Khakim, seorang peternak kambing perah di Desa Banyuputih yang merintis usahanya pada tahun 2013 dengan label BM (Berkah Manunggal) Farm. Sebelumnya, ia sempat mencoba peternakan kambing biasa. Namun, karena keuntungannya kecil, abdul Khakim beralih ke kambing perah. Ketika itu, di belakang rumahnya di RT 09/RW 03, berjejer kandang yang dihuni 15 ekor kambing etawa. Setiap kambing bisa menghasilkan 1-1,5 liter susu. Pemerahan susunya bisa dilakukan dua kali dalam sehari. Pembeli biasanya datang langsung dan kalau kebetulan, bisa menyaksikan proses pemerahan susu kambing. Selain membeli susu, tamu yang datang juga bisa belajar beternak dan bertani. “Tamu yang datang, termasuk warga bisa belajar memelihara kambing, membuat pakan fermentasi, dan bertani juga,” kata abdul Khakim. 122

Di lokasi berbeda, tetapi masih di Desa Banyuputih, tepatnya di RT 02/RW 02, abdullah Kharis yang tidak lain adik kandung abdul Khakim, juga memiliki usaha serupa dengan label Omah Susu. Produk susu yang dihasilkan dipasarkan hingga ke Kudus. Kemudian, kakak beradik ini berkolaborasi. Untuk urusan kambing perah, abdul Khakim yang menangani, sedangkan ia fokus di bidang pemasaran. “Soal pemasaran, sejak lama saya punya cita-cita mengembangkan peternakan kambing dan sapi perah bisa menyatu dengan restoran. Dengan begitu, selain minum susu segar dan berbagai olahan sepuasnya, pengunjung juga bisa melihat langsung bagaimana susu dihasilkan,” tutur aris, sapaan akrab abdullah Kharis. Oleh sang kakak, abdul Khakim, konsep tersebut dilengkapi dengan wahana bermain anak dan sarana edukasi alam. “Konsep dan keinginan itu, saya sampaikan kepada seorang dosen di Unisnu (Universitas Islam Nahdlatul Ulama) Jepara,” tutur abdul Khakim. Dari dosen Unisnu itulah keluarga abdullah Kharis dan abdul Khakim berkenalan dengan dosen-dosen ITB yang tengah melakukan kegiatan pengabdian masyarakat di Jepara. Kebetulan, ITB dan Unisnu sudah menjalin kerja sama


Omah Susu, Jepara

123


Wahana bermain di Omah Susu, Jepara

124


program pengembangan desa binaan. Tim dari LPPM ITB dan Unisnu mulai melakukan pendampingan pada Oktober 2016. Kendati baru tahap awal pendampingan, pada 17 Desember 2016, Rektor Unisnu, Dr. Sa’dullah assa’idi, M.ag. meresmikan Omah Susu. Sentra peternakan kambing dan sapi perah yang dipadukan dengan restoran ini merupakan bagian dari upaya pemasaran produk hasil olahan susu peternak Desa Banyuputih yang diberi label “Moo…Moo…”. Saat memberikan sambutan, Kharis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada tim Unisnu, ITB, dan semua pihak yang telah mendukung terwujudnya Omah Susu. Ia berharap, Omah Susu menjadi sarana edukasi wisata bagi masyarakat yang ingin mengetahui dan melihat secara langsung proses pengolahan susu yang baik, mulai dari memeras hingga menciptakan produk berkualitas baik. Prof. Budi Sulistianto, perwakilan LPPM ITB yang hadir pada acara peresmian, menyampaikan komitmen dan dukungannya untuk pengembangan Omah Susu selanjutnya, mulai dari packaging, pengolahan susu, hingga teknologi pendukung lain yang bisa diterapkan. “Harapan kami, Omah Susu sebagai contoh bagi kampung atau desa lain untuk menjadi masyarakat mandiri,” kata Prof. Budi. Karena itu, pada 2017, tim LPPM ITB kembali ke Banyuputih. Dipimpin Prof. Nyoman (Bioteknologi Mikroba), tim yang beranggotakan Prof. Budi Sulistianto (Teknik Pertambangan) dan Dr. Dudy Wiyancoko (Desain Produk Kebudayaan dan Gaya Hidup) ini mengadakan sosialisasi kerja biogas dan pembuatan pupuk hayati di Omah Susu. Tim ini dibantu asisten/mahasiswa Muhandinni Zahra, S.Si. (Manajemen), Sri Utami, S.Si. (Mikrobiologi), dan anwar Fauzi Rakhmat, S.Si. (Mikrobiologi). Selain memberikan masukan untuk wahana permainan anak, tim LPPM ITB juga melakukan pendampingan dan pelatihan untuk para peternak dan masyarakat sekitar tentang pembuatan pangan fermentasi, dilanjutkan pembuatan biogas dan eduwisata peternakan sapi dan kambing perah serta hasil olahannya.

abdul Khakim mengungkapkan, selain peternakan dan pemerahan, pada 2017, Omah Susu juga mulai membuka area khusus anak-anak bermain untuk mengenal alam, permainan tradisional, cara beternak dan memerah susu. “Pada awalnya, yang kami pikirkan hanya konsep edukasi dan tempat bermain buat anak-anak yang sudah sangat bergantung pada gadget. Waktu itu, kami sama sekali tidak terpikir soal kemanfaatan seluruh wahana permainan ini,” kata abdul Khakim. “Nah, teman-teman dari ITB itulah yang mengenalkan kemanfaatan jenis-jenis permainan yang harus ada di Omah Susu untuk anak-anak. Salah satunya, permainan yang bisa melatih motorik anak, seperti rumah pohon dan wahana lainnya,” kata abdul Khakim.

Abdul Khakim & Abdul Kharis

“Nah, teman-teman dari ITB itulah yang mengenalkan kemanfaatan jenis-jenis permainan yang harus ada di Omah Susu untuk anak-anak. Salah satunya, permainan yang bisa melatih motorik anak, seperti rumah pohon dan wahana lainnya.”

Sistem biogas yang telah diterapkan di Omah Susu dapat dikembangkan untuk kemudian menghasilkan pupuk hayati. Pupuk ini diproduksi dari limbah kotoran sapi yang keluar dari output reaktor biogas. Pemanfaatan pupuk dapat diaplikasikan untuk menunjang fasilitas kebun yang dikembangkan di Omah Susu dan dapat diperjualbelikan. Selain itu, pada proses produksinya juga dapat menyerap tenaga kerja masyarakat di sekitarnya. Proses sosialisasi sistem biogas dilakukan untuk memberi pemahaman mengenai penggunaan dan perawatannya. Volume gas yang dihasilkan dikaitkan dengan jumlah ternak sapi yang dimiliki, agar hasil yang didapatkan efektif dan efisien. 125


Pupuk hayati yang dihasilkan berupa cair maupun padat sehingga dapat memenuhi kebutuhan pasar yang beragam. Pengajaran pembuatan pupuk hayati juga dilakukan untuk menghasilkan sistem biogas yang zero waste. Karena sumber organik dari pupuk hayati merupakan output limbah biogas itu sendiri. Pupuk hayati yang dihasilkan berupa cair maupun padat sehingga dapat memenuhi kebutuhan pasar yang beragam. “Kegiatan pelatihan fermentasi pakan ternak itu sangat bermanfaat buat peternak dan warga sekitar sini. Kami sangat berterima kasih kepada ITB karena transfer ilmu dan teknologi semacam itulah yang kami harapkan terjadi di Omah Susu ini,” kata abdul Khakim. Pada tahap selanjutnya, tepatnya 2018, tim LPPM ITB mengirimkan Bayu Sutanto (Magister Teknik Mesin Fakultas Teknik Mesin dan Dirgantara) untuk perancangan panel surya di Omah Susu. Berdasarkan hasil survei, lokasi yang ideal untuk pemasangan panel surya di Omah Susu terletak di area peternakan dan tanaman sayur karena tidak terhalang oleh pepohonan di sekitarnya. Selain itu, konstruksi atap 126

kandang sapi juga dapat digunakan untuk meletakkan panel surya karena posisinya yang sudah menghadap ke utara dan strukturnya cukup kuat karena telah menggunakan cakar ayam. Berdasarkan pengolahan gambar, terlihat bahwa sudut kemiringan dari atap kendang sapi adalah 9° sehingga dalam instalasinya diperlukan modifikasi berupa penggunaan pasak untuk membentuk sudut 12°. Energi listrik yang dihasilkan oleh panel surya rencananya digunakan untuk kebutuhan pompa air. Berdasarkan hasil wawancara dengan pengelola Omah Susu, telah terpasang sebuah pompa air dengan motor listrik aC berdaya 450 watt untuk sumur bor dengan kedalaman rendah (7-11 meter) dan ketinggian penampung air sekitar 5 meter. Maka beban listrik yang akan disuplai oleh sistem panel surya adalah sebuah pompa listrik berdaya 450 watt yang beroperasi selama 3-4 jam setiap hari.***


Biogas di Omah Susu, Jepara

127


128


2

LINGKAR

ZONA PROVINSI JAWA BARAT 129


Selaawi ITU BAMBU RUMPUN bambu atau awi dalam bahasa Sunda, berjejer di sepanjang aliran Sungai Cimanuk, tepat di pintu masuk ke Kecamatan Selaawi dari arah Limbangan, Kabupaten Garut. Selanjutnya, sejauh mata memandang, entah di dataran rendah maupun perbukitan, termasuk di sekitar permukiman warga, rumpun-rumpun bambu akan selalu ditemukan. Begitulah panorama alam yang paling khas dari Selaawi, sebuah kecamatan yang berjarak 37 kilometer dari ibu kota Kabupaten Garut. Selaawi memiliki 7 desa, yaitu Cigawir, Cirapuhan, Mekarsari, Pelitaasih, Putrajawa, Samida dan Selaawi. “Entah siapa yang memulai menanamnya. yang pasti, bambu adalah anugerah dari allah SWT untuk Selaawi dan diwariskan leluhur kita kepada generasi sekarang dan yang akan datang,” tutur H. Saripudin, seorang tokoh masyarakat Selaawi. “Bagi kami, warga Selaawi, bambu adalah sumber penghidupan yang sudah dianugerahkan allah Swt. dan diwariskan orang tua, nenek, dan buyut,” timpal Utang Mamad, perajin bambu asal Kampung Ciloa, Desa Mekarsari. Beberapa catatan menyebutkan, semula Selaawi hanyalah dusun sunyi yang hanya dihuni sekitar 25 kepala keluarga pada 1870. Mereka merupakan pengungsi dari Sumedang yang tengah mendapatkan tekanan dari pemerintahan kolonial Belanda. Konon, pada saat itu mereka mulai membangun permukiman yang seluruh terbuat dari bambu. Selain bertani, mereka juga punya kebiasaan membuat perkakas rumah tangga dengan bahan dasar bambu yang memang pohonnya bertebaran di sekitar kediaman mereka. “Mungkin, karena sumber daya alam dan kebiasaan warga yang membuat perkakas rumah tangga di sela-sela rumpun bambu itulah daerah ini dinamai Selaawi,” tutur Ridwan Effendi, Camat Selaawi yang sudah menjabat sejak 2015. 130


Ada dua faktor yang menghambat dalam pengembangan potensi di Blora yaitu pengelolaan sumber daya air dan menyangkut sumber daya manusianya.

Salah satu alat di Lab Selaawi

Semula, secara administratif, Selaawi merupakan sebuah desa di Kecamatan Cisewu. Pada saat ada pemekaran, Selaawi kemudian masuk ke wilayah Kecamatan Talegong. “Nah sekarang sudah 36 tahun Selaawi dimekarkan menjadi sebuah kecamatan tersendiri,” tambahnya. Ridwan Effendi sempat dianggap sebagai orang yang tak beruntung karena ditugaskan sebagai Camat Selaawi. “Wayahna di Selaawi mah ‘garing’,” demikian kira-kira anggapan kebanyakan orang yang sering sekali ia dengar. Selaawi dianggap sebagai daerah yang garing atau tidak menguntungkan, baik dari segi ekonomi, maupun lingkungan. Warga Selaawi sulit bercocok tanam karena daerahnya sangat kering, terutama di musim kemarau. Salah satu daerah paling gersang di Garut bagian utara. Daerah ini juga terbilang jauh dari aliran Sungai Cimanuk sehingga infrastruktur irigasinya juga tak memadai. Untungnya Ridwan tak langsung menyerah. Ia berkeliling untuk ngobrol dengan tokoh masyarakat setempat. Dia meyakini, tak mungkin sebuah daerah tak punya potensi sama sekali. Benar saja, dari obrolan itu Ridwan melihat potensi unggulan Selaawi ialah bambu. Potensi ini dimiliki merata di semua desa. Ia melihat langsung produk-produk tradisional yang dibuat oleh warga. Sampai suatu hari, Ridwan diajak stafnya berkunjung ke tempat salah seorang perajin bambu yang biasa dipanggil Kang Utang. “Saya lihat di tempat Kang Utang agak lain, agak nyeleneh nih produknya,” kata Ridwan. Rupanya Kang Utang sudah cukup lama didampingi oleh Institut Teknologi Bandung (ITB). “Ketika mendengar nama ITB, muncul sebuah keyakinan dalam diri saya,” ujarnya. Desain produk bambu milik Kang Utang berbeda dari yang lain. Menurut Ridwan, desainnya lebih variatif dan tidak terkesan kuno. Dari sana, ia yakin produk-

131


produk bambu ini bisa membesarkan Selaawi. Sejak 2016, ia mendorong pengembangan kerajinan bambu Selaawi. Potensi bambu di setiap desa menjadi tumpuannya. Setiap desa diharapkan mempunyai produkproduk bambu unggulan yang bisa dipasarkan secara luas. Tak hanya melestarikan tradisi, tetapi juga memberi daya ungkit bagi kesejahteraan warga. Embrio yang sudah berkembang di tingkat kecamatan ini kemudian dibawa ke Bupati Garut. Pada 2018, Bupati Garut menerbitkan surat keputusan yang menetapkan Selaawi sebagai Kawasan Pedesaan Industri Bambu Kreatif. Keputusan itu menyiratkan adanya sinergi antardesa. Bukan seperti membangun sentra kerajinan yang biasanya hanya terdiri atas satu desa atau kampung. Seluruh Kecamatan Selaawi menjadi pusat industri kerajinan bambu. Mereka mengatur mulai menyiapkan bahan baku, pross produksi, konsumsi, hingga bisa sampai ke tangan konsumen yang lebih luas.

SINERGI DENGAN LPPM ITB Keterlibatan ITB di Selaawi semakin melembaga. Melalui Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) mendampingi Selaawi membangun kawasan industri bambu kreatif ini. Kerja sama ini dijalin dalam nota kesepahaman yang ditandatangani Bupati Garut dan Rektor ITB. LPPM ITB mendampingi perajin bambu Selaawi, utamanya dalam hal mengembangkan desain produk, selain juga pemasaran serta bantuan peralatan untuk produksi. Tidak itu saja, pendampingan juga dilakukan terkait dengan kegiatan-kegiatan lain yang bisa menunjang industri bambu dan meningkatkan kesejahteraan warga. Misalnya saja pembuatan biogas, biovlok, pelatihan budi daya ikan air tawar (lele), dan lainnya. Ridwan mengaku kerja sama ITB ini telah membantu warga. Dampak lain yang tak kalah penting, keterlibatan ITB ini meningkatkan posisi tawar Selaawi. “ITB saja turun ke Selaawi, masa yang lain enggak? Alhamdulillah dari situ dampaknya cukup besar sehingga beberapa perguruan tinggi lain ikut bekerja sama dengan kami. ada banyak lebih dari enam kampus setelah melihat konsistensi LPPM ITB terus melakukan pendampingan,” tutur Ridwan.

Peranti rumah tangga tradisional, kini memiliki sentuhan seni yang adaptif dengan perubahan zaman. Bambu tak hanya berupa boboko atau nyiru, tetapi juga cangkir, aksesori, dan perkakas lainnya.

Kerja sama intensif dengan ITB telah mengubah banyak hal. LPPM ITB berbagi jaringannya dengan warga Selaawi. Masyarakat belajar banyak dari para ahli, praktisi, dan tokoh bambu yang datang ke Selaawi. Kerajinan bambu yang dihasilkan lebih bervariasi, baik dari segi desain maupun jenis produk. Desainnya lebih kekinian, tetapi masih mengandung ciri khas Selaawi. Peranti rumah tangga tradisional, kini memiliki sentuhan seni yang adaptif dengan perubahan zaman. Bambu tak hanya berupa boboko atau nyiru, tetapi juga cangkir, aksesori, dan perkakas lainnya. “Itu yang kami harapkan, pengembangan produk itu betul-betul membaca kebutuhan pasar,” ujar Ridwan. Kerajinan bambu kini juga dilirik anak muda setempat. Mereka membentuk komunitas-komunitas baru untuk menghasilkan inisiatif dan produk baru. Bahkan ada juga yang banting setir dari profesinya menjadi perajin bambu. Geliat semacam ini diharapkan mampu meningkatkan kuantitas produksi yang belum optimal. Masyarakat masih kesulitan untuk membuat produksi dalam jumlah besar. Sering kali para perajin kelabakan menghadapi permintaan pasar. Meski begitu, Selaawi masih perlu lebih banyak orang yang teribat dalam industri bambu kreatif ini. Penambahan sumber daya manusianya belum signifikan. Dari 41 ribu penduduk, belum sampai 10 persen yang ikut mengembangkan kerajinan bambu. “Kami harap minimal seperempatnya, supaya betul-betul bisa mewarnai. Ketika kita bicara Selaawi jadi kawasan pedesaan dengan tematiknya industri bambu kreatif, paling tidak ketersediaan SDM perajin bisa mencapai 20-25 persen dari jumlah penduduk sehingga kita tidak kerepotan ketika ada orderan, siap mengerjakan,” kata Ridwan.

132


Hasil karya perajin bambu Selaawi

133


Hasil karya perajin bambu Selaawi

134


Dalam penataan kawasan industri bambu kreatif ini direncanakan pembuatan arboretum bambu yang digadang-gadang bisa menjadi pusat penelitian keanekaragaman bambu. Bersama ITB, pemerintah memetakan potensi di setiap desa di Selaawi. Tujuannya untuk membuat zonasi. Setiap desa bakal punya kekhasan yang berbeda dari desa yang lain. Ridwan berharap nantinya setiap desa bisa mempunyai satu produk dengan desain unik yang menjadi unggulan. Hal ini penting untuk mengembangkan kawasan industri bambu kreatif di Selaawi. ada beberapa tantangan yang masih perlu diatasi. Salah satunya soal bahan baku yang sesuai dengan permintaan pasar. Terkadang, keduanya tidak sinkron. Permintaan pasar tak bisa dipenuhi karena bahan baku yang tersedia tidak sesuai dengan yang dibutuhkan. Sebenarnya bambu sebagai bahan baku industri ini tersedia banyak. Saat ini masih tersedia 600 hektare lahan bambu yang tersebar di tujuh desa. Jumlah itu masih bisa mencukupi kebutuhan produksi saat ini. Lahan itu masih mungkin diperluas dengan memanfaatkan tanah carik yang luasnya di masing-masing desa bervariasi dari 10 sampai 100 hektare. Tanah milik Balai Besar Wilayah Sungai DaS Cimanuk juga bisa ditanami bambu. Hanya, penanaman bambu itu masih dilakukan dengan cara tradisional yang dipelajari turun-temurun. Ridwan mengatakan, dalam penataan kawasan industri bambu kreatif ini direncanakan pembuatan arboretum bambu yang digadang-gadang bisa menjadi pusat penelitian keanekaragaman bambu nusantara atau bahkan di dunia. arboretum itu bisa mengoleksi berbagai jenis bambu yang konon jumlahnya mencapai 1.200 spesies. Bisa juga menjadi tempat menyilangkan spesies-spesies dari negara yang berbeda. Selain itu, pemerintah juga akan membangun Selaawi Bamboo Creative Center (SBCC) sebagai sentra berbagai kegiatan masyarakat yang terkait dengan pengembangan produk, pemasaran bambu dan bahkan destinasi wisata minat khusus. Keberadaan SBCC diharapkan semakin menguatkan citra Selaawi sebagai kawasan kerajinan bambu nomor wahid di Indonesia. Soal rencana ini, LPPM ITB pun memberikan dukungan penuh. Bahkan, Dr. Muhammad Ihsan, M.Sn., dosen ITB dari Fakultas Seni Rupa dan Desain (FRSD) menyatakan, pengadaan arboretum, SBCC dan sarana-prasana pendukungnya menjadi pekerjaan rumah bagi LPPM ITB yang harus dirampungkan. “Sekarang, kita juga harus mempertimbangkan bantuan-bantuan peralatan dengan teknologi tepat guna untuk menopang keberadaan seluruh fasilitas penebangan bambu di Selaawi,” kata Dr. Ihsan.***

135


PENINGKATAN KAPASITAS

Perajin Bambu

BaGI warga Selaawi, Kabupaten Garut, bambu adalah anugerah Tuhan yang sudah menjadi bagian dalam kehidupan keseharian mereka. Maklum, secara turun-temurun, sebagian besar warga hampir pasti bersentuhan dengan bambu dalam aktivitas kesehariannya, mulai dari rumah, tempat bekerja hingga areal pertanian dan perkebunan yang mereka garap. Mereka juga sudah sangat terbiasa memanfaatkan bambu, dari mulai bahan bangunan (rumah), perkakas rumah tangga, kerajinan atau kriya hingga olahan makanan. “Buat warga kami, bambu bukan barang aneh. Makanya, kalau ditanya soal ketersediaan sumber daya manusia sebagai dasar pengembangan kerajinan bambu, saya punya keyakinan warga kami punya kemampuan itu. Kalau sekadar bisa, yang basic-nya bukan tukang bambu pun, kalau disuruh bikin apa pun, saya yakin mereka pasti mampu,” tutur Camat Selaawi, Ridwan Effendi. Keyakinan yang tidak berlebihan. Namun, kapasitas SDM yang dimiliki Selaawi saat ini terbangun secara tradisional dan turun-temurun. Kondisi ini sangat rentan tergerus perubahan zaman. apalagi, secara tradisional, warga Garut, termasuk Selaawi, khususnya generasi muda memiliki kebiasaan merantau ke kota besar, terutama Bandung dan Jakarta. Buktinya, pada 2016, jumlah perajin

136

bambu yang tercatat di 7 desa di Kecamatan Selaawi hanya sebanyak 1.600 orang, sangat sedikit dibandingkan dengan populasi 34.000 jiwa. “Soal SDM ini memang tantangan buat kami. Kalau melihat data yang ada, pertumbuhannya belum signifikan. Jumlah perajin bambu masih di bawah 10 persen dari total populasi. Harapan kami seperempat warga itu perajin bambu. Jadi, ketika kita bicara Selaawi sebagai kawasan pedesaan dengan tematiknya industri bambu kreatif, paling tidak ketersediaan SDM-nya setidaknya 20-25 persen dari jumlah penduduk,” beber Ridwan Effendi. Target yang dibidik Ridwan tidak terlepas dari konsep pembangunan kawasan berbasis potensi unggulan lokal yang sudah dilegalkan oleh Pemerintah Kabupaten Garut pada 2018. Karena itu, Ridwan sangat berharap, pendampingan yang sudah dilakukan tim LPPM ITB bisa lebih dimasifkan di tujuh desa di Kecamatan Selaawi. Selain kuantitas, harapan lain yang dibidik Ridwan adalah peningkatan kapasitas perajin. “Jadi nantinya yang diproduksi perajin bukan hanya kurung, boboko, nyiru, ayakan, melainkan produk lain yang sangat dibutuhkan masyarakat,” tegas Ridwan Effendi. Berbicara soal kapasitas perajin bambu, tokoh masyarakat Selaawi, H. Saripudin mengungkapkan soal peran yayasan Selaawi Raksa Mandiri. Ia


Perajin bambu Selaawi

137


Pengembangan kapasitas perajin bambu di Selaawi bukan hanya menyangkut skill, tetapi juga desain produk, kapasitas produksi, dan pemasaran. mengatakan, selain fungsi sosial, yayasan ini didirikan untuk mewadahi aktivitas para perajin bambu di Selaawi, termasuk dalam hal peningkatan kapasitas, kemampuan, dan keterampilan. “Sebenarnya, kerajinan bambu itu merupakan ilmu warisan leluhur kita. Tapi, kita yang menerima warisan itu harus terus mengikuti perkembangan zaman. Terutama untuk generasi muda, kita siapkan workshop khusus yang bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan kapasitas dan kualitas kerajinan bambu,” kata Saripudin. Upaya peningkatan kapasitas perajin sebenarnya sudah dimulai sejak mahasiswa ITB melakukan serangkaian kegiatan studi dan penelitian di Kecamatan Selaawi pada awal dekade 2000-an. Berawal dari dukungan Kementerian Perindustrian dan dinas-dinas terkait, peneliti, dan mahasiswa ITB mengadakan pelatihanpelatihan pengembangan produk berbahan dasar bambu untuk perajin dan warga Selaawi. Pengembangan kapasitas perajin bambu di Selaawi semakin masif setelah Pusat Penelitian Seni Rupa dan Desain (PP SRD) dibentuk pada 2005 dan berubah nama menjadi Pusat Penelitian Produk Budaya dan Lingkungan (PP PBL) pada 2011. Ketua PP PBL, Dr. Ihsan, mengatakan, pengembangan kapasitas perajin bambu di Selaawi bukan hanya menyangkut skill, tetapi juga desain produk, kapasitas produksi, dan pemasarannya. “Karena itu, dalam pelaksanaan pengabdian masyarakat, kita juga melakukan pendampingan pengembangan desain produk dan bantuan peralatan dengan teknologi tepat guna. Untuk meningkatkan kemampuan perajin, bekerja sama dengan yayasan Selaawi Raksa Mandiri dan Pemerintah Kecamatan Selaawi, kita juga membangun laboratorium lapangan

138


SINERGI RISET & KEAHLIAN PERAJIN DR. MUHAMMAD IHSAN, D.R.S.A.S. S.SN., M.SN.

SUaTU hari di awal dekade 2000-an, bersama rombongan koleganya di Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Institut Teknologi Bandung (LPPM ITB), Dr. Ihsan meluncur ke Tasikmalaya. Selepas Pasar Limbangan, mata Ihsan tertuju pada papan penunjuk arah di tepi jalan raya yang bertuliskan “Selaawi” lengkap dengan tanda panah ke arah kiri. Secara spontan, Dr. Ihsan langsung mengajak rekan-rekannya untuk mampir ke kecamatan paling utara di Kabupaten Garut ini. “Meski sudah tahu ada banyak perajin bambu di sana, waktu itu saya belum tahu di mana lokasi pastinya. Saya hanya bertanya-tanya dan mengikuti arah yang ditunjukkan oleh warga yang kita tanya,” tutur dosen Fakultas Seni Rupa dan Desain (FRSD) tersebut mengawali kisah perkenalannya dengan para perajin bambu di Selaawi.

Ketika itu, Dr. Ihsan dan rombongan dari LPPM ITB menyaksikan langsung produksi sangkar burung dan anyaman yang dilakukan oleh Utang dan kawankawan. Kendati baru pertama kali melihat, Ihsan mengaku sangat terkesan. “Waktu itu, saya berpikir, ini beda dengan daerah lain, termasuk Tasikmalaya, tempat kerajinan bambu yang sebelumnya kita dampingi,” tegas Dr. Ihsan.

Setelah sempat berputar-putar, rombongan tiba di satu tempat yang belakangan diketahui bernama Kampung Ciloa, Desa Mekarsari, Kecamatan Selaawi. Lokasinya agak menjorok lumayan jauh dari jalan utama. “Oleh seorang warga, saya ditunjukkan rumah seorang perajin dan nomor kontaknya. Waktu ditelepon, ternyata nomor kontaknya sudah ada di phone book ponsel saya. Ternyata yang ditunjukkan warga itu Pak Utang (Mamad) yang sebelumnya sudah saya kenal,” beber Dr. Ihsan yang memiliki kelompok keahlian Manusia dan Desain Produk Industri ini.

Menurut Dr. Ihsan, kesalahan yang sering terjadi dalam pengembangan produk kerajinan di Indonesia adalah ketika pemerintah mengharapkan perajin bisa melahirkan inovasi desain dan mengembangkan pasar produk yang dihasilkannya. “Perajin disuruh produksi, mengembangkan desain produk, lalu jualan, menurut saya, itu salah. Bayangkan, tiga kemampuan itu harus dimiliki perajin. Jalan keluarnya, ya bersinergi,” beber Dr. Ihsan.

Camat Selaawi, Ridwan Effendi kemudian meminta Dr. Ihsan mendampinginya saat melakukan presentasi pengembangan kerajinan bambu di Bappeda Garut. Dalam kesempatan itu, Ihsan yang diminta pandangannya sebagai akademisi menyampaikan pentingnya kolaborasi pentahelix antara akademisi, dunia usaha, komunitas, pemerintah, dan media.

Paparan Dr. Ihsan dalam presentasi itu disambut positif. Hal itu ditunjukkan dengan antusiasme Camat Selaawi

mendorong kerajinan bambu di daerahnya untuk lebih berkembang. Sampai suatu hari, Camat Selaawi meminta waktu kepadanya untuk melakukan kunjungan langsung ke ITB sebagai awal penjajakan kerja sama pengembangan kerajinan bambu dengan akademisi. “Sekali lagi, takdir mungkin membuat semuanya seperti ini. Tiba-tiba Camat Selaawi telepon saya harus ke Bappeda Garut, saya diangkat jadi Kepala Pusat Penelitian Produk Budaya dan Lingkungan ITB (2017), dan kemudian Pak Camat mengagendakan kunjungan ke kampus dan bilang, ‘Tolong Selaawi dibantu dari sisi akademisnya’, menjadi rentetan peristiwa yang mewarnai kiprah penelitian dan pengabdian masyarakat ITB di Selaawi hingga saat ini,” tutur Dr. Ihsan. Selain rentetan peristiwa tersebut, ada sosok lain yang turut mendorong Dr. Ihsan menambatkan hatinya di Selaawi. Dia adalah mendiang Dr. Dudy Wiyancoko (1966-2019). “Pak Ihsan, tolong ditemenin Selaawi. Begitu pesan beliau kepada saya seusai pertemuan dengan Camat Selaawi di ITB. Ketika itu, beliau menjabat Sekretaris LPPM ITB,” kata Dr. Ihsan. Sejak saat itu, Selaawi seperti kampung halaman kedua buat Dr. Ihsan. Sebab, kegiatan penelitian dan pengabdian masyarakat di Selaawi terus berlanjut Kendati progresnya dinilai cukup baik, Ihsan masih punya banyak harapan terkait pengembangan produk kerajinan bambu di Selaawi. Di luar itu, Dr. Ihsan juga masih memiliki pekerjaan rumah terkait teknologi tepat guna untuk membantu perajin Selaawi meningkatkan kuantitas dan kualitas produknya.*

139


Perajin bambu Selaawi

140


lengkap dengan peralatan penunjangnya. Laboratorium lapangan itu bisa digunakan sebagai tempat workshop bagi perajin bambu Selaawi,” kata Dr. Ihsan. Melalui laboratorium lapangan yang terletak di Kampung Pulosari, Desa Selaawi ini, warga dan para perajin bisa dengan leluasa mengadakan pelatihan, workshop, dan mencoba membuat kriya baru. apalagi, laboratorium lapangan ini sudah dilengkapi sejumlah peralatan bantuan dari ITB seperti mesin bor duduk 13 mm, mesin ketam duduk, mesin gergaji scroll saw, variable speed mesin gergaji scroll saw, circular saw, mesin gergaji bandsaw, mesin bubut kayu 1.000 mm, kompresor angin, mesin heat/hot gun, mesin bor obeng baterai dan aksesori, mesin gergaji jigsaw, mesin trimmer router, mesin gerinda tangan, las listrik mesin, mata bor kayu kipas, mata bor besi set, klem kayu, jangka sorong manual, gergaji tangan kayu, gergaji tangan miter kayu dan clamping box, spray gun, dan mitter saw. “Dengan peralatan yang ada, para perajin bisa memanfaatkan laboratorium lapangan ITB ini untuk mengadakan pelatihan dan workshop. Itu sangat membantu meningkatkan kemampuan para perajin,” kata Utang Mamad, perajin yang dijadikan ITB sebagai “lokomotif” penggerak bagi rekan-rekannya di Kecamatan Selaawi. Utang mengungkapkan, pelatihan-pelatihan secara berkala diperlukan sebagai upaya regenerasi dan melanggengkan budaya kerajinan bambu di Selaawi. Meski diakui sudah menjadi budaya, Utang justru menangkap sebuah tantangan bagi warga Selaawi untuk mempertahankannya. “Bagaimana budaya tersebut bisa langgeng, masyarakat bisa menikmati dan menjadi kebanggaan, tentu banyak hal yang harus dilakukan. Kita harus kerja keras mempertahankan dan bahkan meningkatkannya nilainya secara ekonomi agar masyarakat bisa menikmatinya,” kata Utang. Tidak hanya di level perajin, Utang pun berharap, muncul pengusaha-pengusaha muda dari Selaawi yang piawai dalam bidang pemasaran dan membuka akses pasar hingga ke level internasional. “Ini yang menjadi harapan saya untuk ITB selanjutnya. Saya mau LPPM ITB bisa menerjunkan pakar manajemen bisnis ke Selaawi. Dengan begitu, selain bantuan alat

Para perajin bisa memanfaatkan laboratorium lapangan ITB ini untuk mengadakan pelatihan dan workshop. dan pengembangan desain produk, pola pikir warga Selaawi juga bisa terbuka akan potensi ekonomi yang mereka miliki,” tegas Utang. Ia mencontohkan, pada 2014, seorang entrepreneur muda jebolan ITB bernama Harry anugrah Mawardi menawarkan kerja sama saling menguntungkan dengan perajin. Tanpa mengubah kemampuan dasar perajin, jebolan Fakultas Seni Rupa dan Desain (FRSD) ITB ini menawarkan sejumlah desain produk berbahan dasar bambu di luar sangkar burung dan anyaman, plus pemasarannya. Waktu itu, Harry sudah memiliki label desain produknya yaitu amygdala Bamboo. Beberapa desain yang ditawarkan adalah lampu meja dan gantung, vas bunga, bangku, gelas keramik dengan pegangan bambu, jam, dan kalung. “Meski teknik dasarnya sama, para perajin juga mendapatkan pengetahuan dan kemampuan baru dari desaindesain yang ditawarkan amygdala. Begitu juga dengan edukasi cara memasarkannya,” tutur Utang. Utang mengaku sangat terbantu dengan desaindesain kerajinan bambu yang lebih modern dari amygdala. apalagi, produk yang dihasilkan memiliki nilai ekonomi lebih tinggi. Secara pendapatan, ia dan kawan-kawannya di Selaawi sangat terbantu.”Nah ke depan, kita membutuhkan pendampingan seperti amygdala ini,” tegas Utang lagi.***

141


PENGEMBANGAN

DESAIN & PASAR

Kerajinan Bambu KEMaMPUaN membuat sangkar burung dan menganyam boboko, nyiru dan ayakan, sudah dimiliki para perajin di Kecamatan Selaawi, Kabupaten Garut, secara turun-menurun. Kendati transfer keterampilannya masih terjadi secara alamiah dan tradisional, rasanya tidak ada yang meragukan kemampuan dasar mereka. Pada 90-an, Dodi Mulyadi (alm.), seorang desainer dan pencinta bambu alumni FSRD ITB sangat aktif mendedikasikan dan mendampingi pengembangan produk kerajinan sangkar burung bambu (kurung manuk) di Desa Selaawi. Dodi Mulyadi di bawah Dodi Craft Studio bekerja sama dengan pemerintah lokal menyelenggarakan banyak pelatihan dan pameran untuk mempromosikan kandang burung yang selama ini dikenal produk tersier ‘murah’ menjadi naik kelas. Produk sangkar burung didesain dengan berbagai detail dan pola produksi yag sistematik, seperti bagian ukir pada rangka lingkar, serta sistematisasi penyususnan jeruji dengan menggunaan pola, finishing dan pewarnaan kayu, hingga pembuatan teknologi tepat guna untuk produksi sangkar burung. Selanjutnya, muncullah sangkar burung yang dikenal sebagai produk premium yang meningkatkan nilai jual berpuluh kali. Teknik dan desain yang diperkenalkan kepada perajin sangkar burung tersebut secara alamiah menarik perhatian beberapa perajin yang kreatif karena haus akan pengembangan baru.

142

Dodi Mulyadi

Hingga 30 tahun kemudian pun para perajin dapat mengambil manfaat dari apa yang telah diwariskan oleh Dodi Mulyadi.

Beberapa generasi berselang, Harry anugrah Mawardi, jebolan Fakultas Seni Rupa dan Desain (FRSD) Institut Teknologi Bandung (ITB) bersentuhan dengan Selaawi. Sekitar 2013 ia terlibat dalam program penelitian dan pengabdian masyarakat yang dilaksanakan LPPM ITB. Ia merupakan founder dan owner amygdala Bamboo.

Harry Anugrah

“Keahlian mereka sangat luar biasa. Meski hanya dikerjakan dengan tangan, kerapian produk sangkar burung mereka memiliki presisi desain yang hampir sama dengan buatan pabrik.”

Setelah melakukan riset awal, salah satunya melalui dialog langsung dengan perajin, warga dan tokoh masyarakat setempat, kebutuhan yang pertama kali diidentifikasi tim LPPM ITB ketika itu adalah keberlanjutan ketersediaan sumber daya manusia (SDM), pengembangan desain produk dan pemasarannya. Ketika LPPM ITB melanjutkan program-program pengabdian masyarakatnya, Harry fokus menggarap kerja sama pengembangan desain produk kerajinan bambu dan pemasaran. Harry mencoba mengintroduksi desain baru kerajinan bambu di luar sangkar burung dan anyaman.


Ciri khas hiasan bambu Selaawi

143


‘Pangku’ hasil karya Harry bersama perajin bambu Selaawi

144


Harry menggandeng Utang Mamad sebagai kepala produksi sekaligus menjadi leader untuk menggerakkan komunitas perajin. Untuk menangani penganggaran dan pesanan amygdala, Utang dibantu oleh 7-8 orang perajin. Jumlah itu akan bertambah jika pesanan membeludak. Pada awalnya, Harry mencoba menawarkan desaindesain produk kontemporer yang tetap menggunakan teknik tradisional yang sudah dikuasai perajin. Harry menyebutnya sebagai emphatical design. Ia tidak mau memaksakan teknik tertentu, apalagi sampai mematikan keterampilan yang sudah dikuasai perajin. Contohnya, kemahiran perajin membuat sangkar burung diterapkan untuk produk lain seperti kap lampu dan hiasan interior lainnya. Desain produk kap lampu ini kemudian diikutsertakan dalam sebuah kompetisi dan terpilih menjadi yang terbaik untuk dipamerkan di Milan, Italia. “Dari desain lampu inilah kemudian orang bertanya jenis produk lain yang bisa dibuat,” kata Harry. Desain produk selanjutnya digarap amygdala Bamboo bersama komunitas perajin Selaawi adalah stool (bangku) dan peralatan makan dari bambu. Dalam perkembangannya, Harry terus memperbanyak variasi desain, terutama untuk produk-produk yang kemungkinan banyak diminati pasar seperti kap lampu, vas bunga, dan jam dinding. Tidak hanya itu, dilakukan kombinasi dengan material lain seperti keramik dan stainless. “Desain dan inovasi baru itu harus dilakukan karena ternyata, pasar sangkar burung dan produk anyaman itu ada musimnya juga. Jadi, perajin membutuh desain produk lain agar keberlanjutan aktivitasnya terjaga sepanjang tahun,” kata Harry. Hingga saat ini, Harry masih terus melakukan uji pasar dan percobaan pembuatan prototipe untuk menemukan teknik yang paling cocok untuk menjembatani kemampuan perajin dengan permintaan pasar menggunakan dua teknik dalam pembuatan produknya yaitu sangkar burung dan coiling atau lilitan. Setelah beberapa tahun berjalan, garapan LPPM ITB terkait pengembangan desain produk dan pemasaran kerajinan bambu di Selaawi, mulai berbuah manis. Selain berubahnya cara pandang

masyarakat, khususnya perajin, dan juga pemerintahan setempat, tentang tingginya nilai bambu, nama Selaawi mulai harum ke seantero negeri, bahkan mancanegara. Buktinya, pada 2019, Selaawi kedatangan rombongan mahasiswa dan dosen dari Musashino art University, Jepang yang tertarik dengan potensi pengembangan produk bambu. Kedatangan tersebut diinisiasi oleh Dr. Dudy Wiyancoko (alm.) (Sekretaris Bid. Pengabdian Kepada Masyarakat, LPPM ITB) dan Guru Besar ITB Prof. Imam Buchory Z. Camat Selaawi, Ridwan Effendi mengatakan, mereka merasa tertarik dengan pengembangan produk budaya bambu, dari mulai desain yang tradisional hingga modern. Ia mengatakan, kunjungan tersebut merupakan penjajakan terkait rencana riset kolaboratif antara beberapa dosen Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) ITB dan Graduate School of Engineering, Chiba University.

PENGEMBANGAN PASAR Bukan hanya desain produk, amygdala juga all out membantu dan mengembangkan pasar kerajinan bambu dari Selaawi. Selain mengandalkan media sosial sebagai etalase produk, amygdala juga menjalin kerja sama bisnis dengan berbagai pihak. Misalnya dengan Pori Goods dalam pembuatan cangkir bambu. Kini, cangkir bambu merupakan salah satu produk terlaris amygdala untuk produk peralatan makan. amygdala juga mendapat kesempatan untuk memasarkan produk-produknya dengan mendapatkan fasilitas mengikuti pameran antara lain Seoul International Handmade Fair yang difasilitasi oleh British Council di 2017, Milan Design Week yang difasilitasi oleh Bekraf di 2017 dan 2018 serta pameran di dalam negeri seperti Inacraft. Berbagai desain produk yang ditawarkan amygdala Bamboo mendapatkan sambutan para perajin. Setidaknya, begitulah terpantau Utang Mamad, perajin yang dipercaya amygdala menjadi komandan produksi. apalagi, kata Utang, amygdala bukan sekadar memberikan desain, melainkan juga jaringan pemasarannya. “Kalau perajin, saya yakin apa pun desainnya, mereka bisa mengerjakannya. Sebab yang menjadi persoalan

145


mereka sebenarnya di pemasaran. Makanya, ke depan kita membutuhkan pendampingan, bukan hanya desain, juga memasarkannya, sehingga penghasilan perajin jelas,” kata Utang.

sebagai destinasi wisata berbasis perdesaan. Menurut Camat Selaawi, Ridwan Effendi, hal itu sangat memungkinkan karena wilayahnya masih kental dengan suasana perdesaan.

Utang menjelaskan, sistem kerja sama yang dibangun juga sangat meminimalisasi kerugian di pihak perajin. Sebab, amygdala Bamboo membeli produk kerajinan yang dihasilkan perajin. “Jadi, berapa pun produk yang dibuat, asal sesuai spesifikasi dan pesanan, itu akan langsung dibeli,” kata Utang.

Salah satu konsep yang bakal dikembangkan di tujuh desa di Selaawi adalah bamboo craft tourism. Untuk mendukung konsep tersebut, kata Ridwan, setiap desa akan memiliki lahan untuk wisata, aktivitas perajin dan penginapan yang bisa diakses pengunjung. Ia berharap, konsep wisata desa itu bisa meningkatkan nilai ekonomi kerajinan bambu. “Masih berkaitan dengan konsep kawasan terpadu dan wisata perdesaan, kita juga akan membangun Selaawi Bamboo Creative Center yang bersifat terpadu untuk pengembangan ekonomi kreatif bambu, seni budaya, sampai kemasan pariwisata minat khusus,” kata Ridwan.*

WISATA BAMBU Ketika pengembangan desain produk dan pemasaran terus berjalan, Pemerintah Kecamatan Selaawi terus melakukan upaya optimalisasi jalinan kerja sama yang sudah dibangun dengan LPPM ITB. Salah satunya dengan rencana pengembangan Selaawi

Titik balik dalam perjalanan kehidupan utang terjadi pada saat ia lulus SMP. Ketika itu, ijazahnya ditahan sekolah karena menunggak SPP dan uang bangunan. “Saya memang berasal dari keluarga kurang mampu,” kenang utang. Tak ingin membebani orangtuanya, utang berpikir keras mencari cara untuk menebus ijazahnya yang tertahan. “Makanya, begitu keluar SMP, saya langsung belajar anyaman. Waktu itu, saya bikin boboko (tempat nasi). Alhamdulillah, akhirnya bisa dan hasilnya bisa dijual untuk menebus ijazah,” tutur utang.

BOBOKO PENEBUS IJAZAH UTANG MAMAD

uTANG Mamad (50) lahir dan besar di tengah keluarga perajin bambu di Kampung Ciloa, Desa Mekarsari, Kecamatan Selaawi, Kabupaten Garut. Meskipun demikian, utang mengaku tidak pernah punya cita-cita menjadi perajin. Namun, jalan kehidupan mengarahkan utang untuk menerima warisan talenta dari leluhurnya.

146

Berawal dari boboko penebus ijazah itulah utang mulai tertarik dan bahkan menyeriusi kerajinan bambu. Apalagi, dalam perjalanan kehidupannya, ia banyak bergaul dengan orangorang yang punya ketertarikan serupa kepada bambu, termasuk seorang desainer interior asal ITB yang dikenalnya pada tahun 1998. “Saya masih ingat, waktu itu sedang krisis moneter. Banyak perusahaan di kota besar bangkrut. Saat itulah saya bertemu dengan desainer interior dari ITB yang mengajarkan saya menggambar desain, skala, menerjemahkan keinginan orang, dan sebagainya. Fokusnya ke desain produk sangkar burung karena waktu itu tujuannya datang ke Selaawi untuk menaikkan nilai kerajinan bambu,” tutur utang.

Pertemuan dengan desainer ITB itu membuat pandangan, wawasan utang tentang bambu semakin terbuka. Ternyata, kerajinan bambu bukan hanya anyaman boboko, nyiru, dan ayakan. Banyak desain produk berbahan dasar bambu yang bisa dikembangkan karena punya pasar dan nilai jual yang lebih baik. “Apa pun dan bagaimanapun sulitnya desain produk yang akan dibuat, saya yakin perajin bisa mengerjakannya. Tapi, motivasi perajin untuk memproduksi semakin kuat ketika target pasarnya sudah jelas dan ada,” kata utang. utang bercerita, sebelum mendapatkan pendampingan, aktivitas perajin bambu di Selaawi sempat lesu. Penyebabnya, nilai jual kerajinan mereka tidak menjanjikan. Bahkan, para pemuda desa setempat banyak yang memilih meninggalkan kampung untuk bekerja di kota-kota besar. “Sekarang, setelah produk kerajinan bambu terbukti punya nilai jual tinggi, banyak yang awalnya bukan tukang bambu pun beralih profesi. Ini menjadi momentum untuk terus mengembangkan kerajinan bambu Selaawi. Kami juga masih membutuhkan pendampingan dari ITB yang selama ini saya pikir sudah berhasil mengubah citra dan brand bambu Selaawi,” ujar Utang.***


Podium hasil karya perajin bambu Selaawi

147


MENGEMBANGKAN

BAMBU LEWAT

Lab Lapangan

SEJaK awal milenium kedua, ITB sudah menjalin kerja sama dengan para perajin di Kecamatan Selaawi, Kabupaten Garut. Kolaborasi di antaranya keduanya semakin meningkat dalam sepuluh tahun terakhir, terutama setelah LPPM ITB mengadakan kegiatan penelitian dan pengabdian masyarakat di kecamatan yang memiliki tujuh desa tersebut. Dr. Ihsan, personel LPPM ITB dari Fakultas Seni Rupa dan Desain (FRSD) mengungkapkan, pada awalnya, kerja sama ITB dan perajin Selaawi hanya sebatas pelatihan-pelatihan yang disponsori Kementerian Perindustrian dan dinas-dinas terkait untuk pengembangan produk berbahan dasar bambu. Namun, dalam perkembangannya, beberapa tugas mahasiswa berupa pengembangan produk bambu pun dilakukan di Selaawi. Di kawasan yang memiliki tujuh desa ini, mahasiswa ITB menggarap tugas studio, tugas akhir dan bahkan tesis untuk program magister. Dalam kegiatannya, baik penelitian dan pengabdian masyarakat maupun penyelesaian tugas, mahasiswa dan dosen ITB memberikan kontribusi kreasi dan inovasi, terutama menyangkut desain produk kerajinan bambu yang unik dan tidak biasa dilakukan perajin dengan peralatan tradisionalnya. Bahkan, beberapa teknik pengerjaannya menuntut kualitas yang sangat baik sehingga para perajin membutuhkan peralatan tambahan. Di samping itu, bambu yang selama ini menjadi bahan dasar kriya perajin Selaawi merupakan material masa depan. Selain cepat tumbuh, bambu juga banyak jenisnya dan punya karakter berbeda satu dengan lainnya. Keanekaragaman dan potensi bambu ini merupakan peluang bagi mahasiswa,

148

dosen atau peneliti dalam mengembangkan produk atau material bambunya sendiri. Pertimbangan dan peluang tersebut disadari benar oleh Pemerintah Kecamatan Selaawi. Maka, proposal kerja sama pengadaan laboratorium lapangan dari LPPM ITB pun disambut baik dan akhirnya ditandatangani dengan melibatkan pihak ketiga yaitu yayasan Selaawi Raksa Mandiri yang mewadahi komunitas perajin. “Kita menyadari pentingnya laboratorium lapangan ini karena nantinya bukan hanya digunakan untuk kepentingan penelitian mahasiswa dan dosen ITB, tapi juga bisa dimanfaatkan perajin dan warga, khususnya untuk peningkatan kapasitas dan keterampilan mereka,” kata Camat Selaawi, Ridwan Effendi. Pola kerja sama dalam pengadaan laboratorium lapangan ini adalah ITB sebagai pihak yang menyediakan peralatan produksi bambu dan kayu. Sedangkan Pemerintah Kecamatan Selaawi yang menggandeng yayasan Selaawi Raksa Mandiri menyediakan lahan dan petugas yang merawat peralatan yang ditempatkan. Pada 2019, setelah mendapatkan hibah lahan dari seorang tokoh masyarakat bernama H. Saripudin, laboratorium lapangan itu akhirnya dibangun di Kampung Pulosari, Desa Selaawi. Sesuai kesepakatan, ITB melengkapi laboratorium lapangan ini dengan sejumlah peralatan seperti mesin bor duduk 13 mm, mesin ketam duduk, mesin gergaji scroll saw, variable speed mesin gergaji scroll saw, circular saw, mesin gergaji bandsaw, mesin bubut kayu 1.000 mm, kompresor angin, mesin heat/hot gun, mesin bor obeng baterai dan aksesori, mesin gergaji jigsaw, mesin trimmer router, mesin gerinda tangan, las listrik


mesin, mata bor kayu kipas, mata bor besi set, klem kayu, jangka sorong manual, gergaji tangan kayu, gergaji tangan miter kayu dan clamping box, spray gun, dan mitter saw. Tidak hanya bantuan peralatan, untuk mendukung operasionalisasi laboratorium lapangan, tim LPPM ITB juga membangun instalasi biogas yang memanfaatkan kotoran sapi dari peternakan di sekitarnya. Meski dalam skala terbatas, instalasi biogas tersebut sudah bisa dimanfaatkan dengan baik oleh laboratorium lapangan. “Selain meningkatkan kuantitas perajin dan kualitas produk, laboratorium lapangan ini bisa dijadikan pusat penelitian dan pengembangan bambu. Dengan adanya laboratorium lapangan ini, kita juga semakin percaya diri menjadikan Selaawi sebagai kawasan wisata dan industri kreatif bambu. Ini puslitbangnya bambu Selaawi, tempat menggodok desain produk dan pengemasannya yang kemudian diproduksi secara masif oleh perajin,” beber Camat Selaawi. Dalam pemanfaatnya, Ketua Komunitas Perajin Bambu Selaawi, Utang Mamad mengatakan, laboratorium tersebut secara berkala dimanfaatkan perajin untuk percobaan pembuatan desain-desain baru, khususnya yang ditawarkan LPPM ITB. “Selain itu, kita juga mengadakan pelatihan-pelatihan untuk peningkatan kapasitas dan keterampilan perajin,” Ungkap Utang Mamad.

“Kendati demikian, keberadaan laboratorium lapangan itu belum termanfaatkan secara optimal.” H. Saripudin

Penggunaan lab lapangan oleh perajin bambu Selaawi

Hal itu diungkapkan H. Saripudin. Menurutnya, warga dan perajin yang memanfaatkan laboratorium lapangan masih sangat terbatas. Kendalanya, kata Saripudin, kemungkinan karena ketidaktahuan dan ada rasa segan warga untuk mengakses laboratorium lapangan. “Laboratorium lapangan itu memang ada di lahan saya, tetapi peralatan yang ada di dalamnya adalah bantuan ITB untuk semua warga dan perajin. Jadi, silakan manfaatkan sebaik-baiknya. Sayang, kalau tidak dimanfaatkan,” ujar H. Saripudin. ***

149


Biogas

KOTORAN

SAPI

UNTUK kepentingan riset dan praktikum mahasiswanya yang sedang melakukan penelitian dan menyelesaikan tugas akhir desain produk berbahan dasar bambu di Kecamatan Selaawi, Kabupaten Garut, Institut Teknologi Bandung (ITB) membangunkan sebuah laboratorium lapangan. Lokasinya di Kampung Pulosari, Desa Selaawi, di sebuah lahan milik tokoh masyarakat setempat bernama H. Saripudin. Laboratorium lapangan itu bisa dibangun berkat kerja sama LPPM ITB dan yayasan Selaawi Raksa Mandiri. Karena itu, selain untuk kebutuhan riset mahasiswa ITB, laboratorium lapangan juga bisa dimanfaatkan para perajin bambu binaan yayasan Selaawi Raksa Mandiri untuk meningkatkan kemampuan dan kapasitas produksinya. “Karena ada tujuan sosialnya, saya mengizinkan lahan saya digunakan untuk membangun laboratorium lapangan itu. Saya berharap, laboratorium lapangan itu bisa bermanfaat untuk para perajin di Selaawi,” kata H. Saripudin. Tidak jauh dari lokasi laboratorium lapangan tersebut terdapat area peternakan sapi yang juga milik H. Saripudin. Selama keberadaan peternakan tersebut, limbah kotoran sapi yang dihasilkan dibuang begitu saja ke belakang kandang sapi tersebut. Meminjam istilah “dibuang sayang”, tim LPPM ITB berinisiatif untuk memanfaatkan limbah kotoran sapi itu menjadi biogas yang bisa digunakan sebagai pengganti liquefied petroleum gas (LPG) alias elpiji. “Selain sebagai pengganti elpiji, instalasi biogas ini juga bisa mengatasi persoalan lingkungan yang ditimbulkan oleh sistem pembuangan dan pengolahan kotoran sapi peternakan itu,” kata Dr. Ihsan dari tim LPPM ITB. 150

Umumnya, seekor sapi biasa menghasilkan kotoran sekitar 25 kg/hari. Kotoran sapi sebanyak itu bisa diubah menjadi 1.000 liter biogas atau setara 0,34 kg elpiji. Dibantu warga sekitar, tim LPPM ITB membangun instalasi biogas tepat di belakang kandang sapi yang jaraknya sekitar 200 meter dari laboratorium lapangan. LPPM ITB sengaja melibatkan warga dalam pembangunan instalasi biogas tersebut agar mereka bisa memahami cara pembuatannya dan kelak bisa mengikutinya di tempat masing-masing. Dari bioreaktor yaitu tabung besar penampung kotoran sapi yang ditanam di dalam tanah, biogas yang dihasilkan dialirkan menggunakan pipa atau selang ke laboratorium lapangan. Gas itu kemudian dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan seperti menyalakan api tungku, kompor dan pemanas untuk melenturkan bambu yang ada di laboratorium lapangan. “Biogas ini juga bisa dimanfaatkan untuk menyalakan kompor gas di rumah-rumah warga sekitar. Sekarang kotoran sapi yang awalnya seallu dibuang dan bahkan bisa mencemari lingkungan sudah bisa menghasilkan manfaat,” kata Dr. Ihsan. Di samping elpiji, pembangunan instalasi biogas inipun menghadirkan manfaat lain. Ternyata, bioreaktor juga menghasilkan limbah yang bisa dimanfaatkan sebagai pupuk. Selain digunakan untuk memupuk tanaman di areal pertanian, pupuk yang dihasilkan juga memiliki nilai jual lumayan tinggi. Kini, manfaat instalasi biogas tersebut sudah bisa dirasakan. “Sekarang, saya sudah tidak membeli gas lagi untuk memasak. Begitu juga untuk menyalakan api mesin pemanas untuk melenturkan bambu di laboratorium lapangan,” kata H. Saripudin, sambil tersenyum.***


Proses biogas dan penggunaannya oleh perajin bambu Selaawi

151


152


1

LINGKAR

LINGKUNGAN KAMPUS ITB BANDUNG DAN SEKITARNYA 153


SOLUSI

PERTANIAN

Terpadu

DI Desa Haurngombong, Kecamatan Pamulihan, Kabupaten Sumedang, Institut Teknologi Bandung (ITB) punya aset berupa lahan yang luasnya sekitar 3 hektare. Setelah pengelolaannya diserahkan kepada Sarana dan Prasarana ITB (SP-ITB), lahan ini dijadikan sebagai kebun penelitian. Selain pohon kayu jati putih atau jati Belanda, di areal kebun penelitian ini ditanami juga berbagai tanaman seperti alpukat, campoleh, cengkih, durian, huru, jabon, jambu air, jambu bol, jengkol, jeruk bali, lamtoro, limus, mahoni, mangga, mindi, petai, sawo, manalika dan umbi-umbian seperti singkong, ubi cilembu, serta jagung. “Kami menyebutnya sebagai kebun penelitian. Pada tahun 2015, pengelolaan kebun penelitian itu diserahkan kepada ITB Jatinangor dan kemudian ditanami sekitar 1.500 pohon kopi,” kata Dr. Taufikurahman, dosen Sekolah Tinggi Ilmu Teknologi Hayati (SITH-ITB). Kemudian, melalui Program Penelitian, Pengabdian kepada Masyarakat dan Inovasi (P3MI). LPPM ITB memberikan bantuan pendanaan untuk membangun rumah pembibitan di areal kebun penelitian ini. Setelah dibangun sekitar tiga tahun silam, rumah pembibitan ini menyediakan bibit untuk program penghijauan yang dilakukan LPPM ITB di bagian 154

hulu Sungai Citarum. “Karena merupakan bagian dari program pengabdian, masyarakat sekitar yang membutuhkan bibit cabai, sayuran dan buah-buahan juga bisa datang ke rumah pembibitan ini. Di sini, kita juga sering melakukan pelatihan pembuatan pupuk cair dari kotoran sapi atau air kencing sapi yang kita fermentasikan, instalasi biogas dan lebah tanpa sengat,” kata dosen yang akrab disapa Taufik ini. Dikatakan Dr. Taufik, pelatihan pembuatan pupuk cair dan instalasi biogas dilakukan tim LPPM ITB karena selain bertani, masyarakat setempat juga memiliki peternakan sapi perah. Menurut Dr. Taufik, pelatihan pembuatan pupuk cair dan instalasi biogas tersebut merupakan bagian dari konsep perkebunan terpadu (integrated farming) yang sedang dikembangkan LPPM ITB di desa tersebut. “Pada pelatihan terakhir, kita lakukan bersamaan dengan pelatihan aeroponik dan hidroponik. Contoh yang kita berikan kerika itu itu dengan cara menanam dengan menggunakan botol bekas air mineral. Setelah pelatihan itu, masyarakat mencobanya dan ternyata berhasil. Kita tentu saja senang bisa menghadirkan manfaat buat masyarakat sekitar,” kata Dr. Taufik. Sistem tanam aeroponik dan hidroponik dianggap tepat untuk para petani di Desa Haurngombong.


Kebun penelitian ITB di Sumedang

155


Sebab, kawasan itu tidak memiliki sungai atau aliran air lain. akibatnya, ketersediaan air di desa itu sangat minimal dan rentan kekeringan jika musim kemarau tiba. Dr. Taufik bercerita, ITB pernah membantu membuatkan sumur artesis hingga mencapai delapan titik. Namun, hasilnya tidak terlalu memuaskan meski sudah dibor hingga kedalaman lebih dari 70 meter. Sebagai solusinya, tim LPPM ITB menawarkan alternatif sistem pertanian yang tidak membutuhkan banyak air yaitu akuakultur dipadukan dengan hidroponik menjadi akuaponik. “Jadi, sistemnya perpaduan antara hidroponik. Kita menanam dengan media air nutrisi, kemudian ada akuakultur ikan. yang kita coba di sini ikan nila, lele, dan lobster. Ini sudah jalan lebih dari setahun dengan kolam yang terbuat dari batu bata yang kita kasih plastik untuk menampung air. Dengan sistem seperti ini, kebutuhan air lebih minimal dan efisien. Masyarakat juga melihat ini sebagai alternatif. Mereka tidak harus selalu bercocok tanam di tanah yang membutuhkan penyiraman secara reguler karena sudah menyirami sendiri,” kata Dr. Taufik. Selain dengan perikanan, prinsip lain dari integrated farming yang dicobakan di kebun penelitian ITB adalah memadukan komoditas tanaman sayuran dan buah-buahan dengan padi. “Panennya memang belum belum cukup bagus. Kita masih uji coba di beberapa tempat. Saya lihat ada alumni ITB yang berhasil mengembangkan dan panen padinya bagus,” ujar Dr. Taufik. Melihat kemanfaatannya untuk masyarakat sekitar, termasuk untuk pemberdayaan ekonomi, Dr. Taufik berharap, ITB melakukan replikasi program di Haurngombong di desa lain. apalagi, katanya, ITB memiliki banyak lahan yang bisa dimanfaatkan seperti di Lembang dan Gunung Geulis. “Saya kira kita tidak perlu bikin bangunan yang megah. Cukup perkebunan seperti ini agar mayarakat bisa datang dan menggunakan lahan untuk persemaian padi sebelum mereka tanam di sawah. Pendekatan seperti itu saya kira bisa dilakukan di lahan milik ITB lain. Di kaki Gunung Geulis itu ada lahan 300 hektare bisa dimanfaatkan untuk kegiatan berbasis pertanian. Intinya, kita membantu mereka untuk bisa dengan teknologi sederhana,” kata Dr. Taufik.***

156

BELAJAR KEAHLIAN & KEARIFAN LOKAL DR. TAUFIKURAHMAN

Bagi Dr. Taufik, program pengabdian bersama LPPM ITB di berbagai tempat bukan sekadar sarana untuk membagikan pengetahuan, pengalaman, atau teknologi tepat guna yang bermanfaat kepada masyarakat. Sebaliknya, ia pun bisa belajar langsung bersama masyarakat tentang berbagai dinamika dan problematika kehidupan. “Melalui program pengabdian masyarakat, kita bisa belajar dan sharing pengetahuan bersama mereka. Jadi, kita tidak hanya membagikan pengetahuan kepada mereka, tapi dari mereka juga ada inspirasi untuk penelitian dan pengabdian lebih lanjut,” kata dosen Sekolah Ilmu Teknologi Hayati (SITH-ITB) ini. Salah satu hal yang selalu dipelajari Dr. Taufik– sapaan akrabnya – di tengah masyarakat adalah kearifan lokalnya. Menurutnya, hal ini penting dicermati karena akan berkaitan dengan identifikasi ilmu pengetahuan dan teknologi tepat guna yang dibutuhkan dan bisa diterima masyarakat. Peneliti dari Kelompok Keahlian (KK) Sains dan Bioteknologi Tumbuhan ini mencontohkan pengalamannya melakukan pengabdian


masyarakat di Desa Haurngombong, Kecamatan Rancakalong, Kabupaten Sumedang. “Ketika menyampaikan ilmu dan teknologi tepat guna di bidang pertanian, kita tidak perlu terlalu bicara panjang lebar. Sebab, petani mungkin sudah punya keahlian dan kearifan lokal. Mereka hanya tinggal melihat dan meniru. Keahlian dan kearifan lokal itulah yang bisa kita pelajari bersama dengan mereka,” tegas Dr. Taufik. Seperti peneliti lain, Dr. Taufik juga mengaku senang jika program pengabdian yang dilakukannya bersama LPPM ITB bisa membantu dan menjadi solusi permasalahan yang ada di tengah masyarakat. apalagi, kalau ilmu pengetahuan dan teknologi yang ditawarkan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. “Di tengah pandemi Covid-19 seperti sekarang misalnya, kita sangat senang bisa menyemangati dan memberikan manfaat buat masyarakat dengan berbagi pengetahuan dan pengalaman secara langsung. Makanya, dengan tetap

memperhatikan protokol kesehatan, kita tetap berikan pelatihan-pelatihan dan workshop kepada mereka. Sebab, kita senang bisa memberikan solusi dengan teknologi yang sederhana sekalipun,” beber Dr. Taufik. Salah satu teknologi sederhana yang sudah bisa diterapkan dan menghadirkan manfaat, termasuk ekonomi, adalah konsep integrated farming (pertanian terpadu) di Desa Haurngombong. Ketika tim LPPM ITB mencontohkan cara bercocok tanam hidroponik dan aeroponik dengan media yang ada di sekitar lingkungan, para petani sangat antusias melakukannya. “Ketika kita lakukan, masyarakat bilang, ‘Wah bisa ya bercocok tanam dengan cara seperti ini’. Waktu itu kita contohkan dengan wadah plastik bekas botol air mineral dan masyarakat mengikutinya dan berhasil. Tentu saja, kita senang sekali karena kehadiran kita membawa manfaat untuk masyarakat,” kata Dr. Taufik. Karena bisa menghadirkan manfaat kepada masyarakat Haurngombong, Dr. Taufik

berharap ITB bisa memanfaatkan aset lahan yang dimiliki untuk pengembangan program desa binaan. Ia mencontohkan aset lahan ITB yang berada di Lembang dan Gunung Geulis Sumedang yang menurutnya cocok untuk pengembangan konsep perkebunan terpadu. “Kita tidak perlu bikin bangunan yang megah. Cukup perkebunan seperti ini dan masyarakat bisa kita invite untuk menggunakan lahan persemaian padi sebelum ditanam di sawah. Masyarakat juga bisa meminjam lahan kita. Itu bentuk pendekatan pengabdian kita kepada masyarakat yang bisa dilakukan,” tutur Dr. Taufik.***

157


SEJAHTERAKAN

MASYARAKAT DENGAN

Maggot dan Mocaf BUKaN hanya tahu, Kabupaten Sumedang juga punya komoditas unggulan lain. Salah satunya kopi. Dalam setahun, petani Sumedang rata-rata memproduksi 300 ton kopi dari 3.200 hektare areal perkebunan yang mereka garap. Salah satu sentra produksi kopi di Kabupaten Sumedang terdapat di Kecamatan Rancakalong. Bahkan, kualitas kopi luwak Rancakalong sangat terkenal hingga ke mancanegara. Namun, seiring dengan peningkatan produksi kopi di Rancakalong, muncul persoalan limbah. Kulit kopi sisa produksi biasanya dibuang begitu saja oleh sebagian besar petani. Tidak jarang, pembuangan limbah kulit kopi itu menimbulkan masalah lain berupa pencemaran lingkungan sekitar desa. Menangkap permasalahan limbah dan juga sampah di sejumlah desa di Kecamatan Rancakalong tersebut, LPPM ITB mengadakan program pengabdian masyarat bertajuk “Diseminasi Teknologi Pemanfaatan Serangga sebagai Peningkatan Produksi Pertanian, Penyedia Sumber Nutrisi, Pengolah Limbah Organik, dan Bahan Baku Industri pada Kelompok Tani Berbasis Budi Daya dan Pengolahan Kopi” pada tahun 2019. Sebenarnya, pengabdian masyarakat kali ini merupakan lanjutan dari programprogram sebelumnya yang sudah dirintis LPPM ITB di Kecamatan Rancakalong. Tim peneliti dari Sekolah Ilmu Teknologi Hayati (SITH) yang diterjunkan ke Rancakalong dipimpin Dr. Ramadhani Eka Putra, Ph.D. dengan anggota Dr. Mia

158

Rosmiati, Ir., M.P. Keduanya dibantu lima mahasiswa S-1 dan 2 alumni Prodi Rekayasa Pertanian, Fakhira Rifanti M. dan Rizki arifani. Kegiatan pengabdian masyarakat di Rancakalong direncanakan berlangsung tiga tahun. Salah satu program yang fokus dilaksanakan pada tahun pertama adalah pengenalan teknologi pemanfaatan serangga bernama lalat tentara hitam atau black soldier fly (BSF). “Ketika pertama datang ke sini, kita mencoba mengenalkan budi daya BSF dan memanfaatkan produk turunannya,” kata Ramadhani, Ph.D. Rama mengatakan, larva BSF atau sering disebut maggot memiliki kelebihan yaitu mudah dan murah untuk dibudidayakan. Selain itu, kandungan proteinnya cukup tinggi sehingga memiliki potensi cukup tinggi sebagai pengganti pakan ternak. “Melalui pemanfaatan maggot ini diharapkan dapat mengurangi produksi limbah kulit kopi dan sampah, terutama sampah dapur yang merupakan sumber makanan untuk maggot dan menghemat pengeluaran untuk biaya pakan ternak,” ujar Rama. Mengawali kegiatannya, tim LPPM ITB mulai memperkenalkan teknologi sederhana mengenai budi daya BSF dan pemanfaatan hasil biokonversinya kepada petani di Desa Nagarawangi pada 30 Juni 2019. Tujuan awalnya agar petani familier dengan BSF dan melihat manfaat yang dibawanya. Sasarannya adalah Kelompok Tani Maju Mekar yang


Pemberdayaan masyarakat dalam pengolahan singkong

159


Maggot

Burung puyuh

Pemberdayaan masyarakat

160


sudah rutin mendapatkan pendampingan dari SITH ITB. Kelompok tani yang diketuai Sulaeman ini sudah menjalankan budi daya beserta pengolahan kopi. “Selain apa dan bagaimana caranya, yang pertama kita perkenalkan kepada petani adalah manfaat besar budi daya BSF sebagai solusi dalam mengatasi limbah pertanian dan meningkatkan pendapatan petani dari produk turunannya,” kata Ramadhani, Ph.D. Dalam pertemuan tersebut, tim LPPM ITB menyampaikan deskripsi singkat, siklus hidup, syarat tumbuh, teknik budi daya serta produk-produk turunan dari BSF. Kepada petani dijelaskan, setiap siklus BSF dari mulai telur, larva, prepupa, pupa, dan lalat dewasa memiliki manfaat ekonomis. Larva atau maggot merupakan sumber protein tinggi yaitu sebesar 40% sehingga cocok digunakan sebagai pakan ternak, termasuk ayam broiler, burung, ikan. Hal ini akan membantu petani untuk menghemat biaya pembelian pakan. Kemudian, sampah hasil konversi oleh larva BSF bisa dimanfaatkan menjadi pupuk organik yang dapat mengurangi biaya pembelian pupuk kimia. Produk turunan lainnya adalah air lindi yang dihasilkan dari biokonversi limbah oleh BSF dapat dimanfaatkan sebagai pupuk organik cair dan larutan nutrisi untuk membantu pertumbuhan tanaman hidroponik. Pengenalan tahap awal ini mendapatkan sambutan positif dari petani. Ketua Kelompok Tani Maju Mekar, Sulaeman berharap, para petani dapat membudidayakan BSF dengan memanfaatkan sumber daya sekitar seperti limbah ceri kopi yang masih menjadi masalah bagi mereka. Sepekan kemudian, kegiatan serupa dilakukan di Desa Genteng, Kecamatan Sukasari. Kali ini, tim LPPM ITB berbagi ilmu dengan Kelompok Tani Bubuay Jayagiri, Mekarjaya Sarimulya, dan Jaya Makmur. Kelompok Tani Bubuay Jaya Giri dan Mekarjaya Sarimulya adalah binaan baru SITH ITB yang mulai dirintis. Kegiatan juga dihadiri Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) Desa Genteng, Endang Rahayu dan Kelompok Wanita Tani (KWT) Mentari dan Mekar arum. anggota KWT diundang dalam kegiatan kali ini agar mereka yang sebagian besar merupakan ibu rumah

Daripada dibuang ke mana saja, lebih baik dimanfaatkan, dikasih telur dan mulai melakukan budi daya BSF. tangga (IRT) bisa memanfaatkan sampah di rumahnya sebagai bahan baku biokonversi oleh BSF. KWT juga bisa mulai memisahkan sampah organik dan anorganik di tingkat rumah tangga. Kemudian, produk-produk turunan BSF yang dihasilkan kelompok tani juga bisa dijual atau dimanfaatkan KWT. PPL Desa Genteng, Endang Rahayu mengungkapkan pentingnya teknologi sederhana tentang budi daya BSF yang ditawarkan LPPM ITB. Menurut dia, teknologi itu menjadi solusi menyelesaikan masalah limbah dan menurunkan ketergantungan petani terhadap pupuk kimia. Setelah berjalan setahun, anggota kelompok tani mulai merasakan manfaat budi daya BSF, termasuk dalam peningkatan kesejahteraan. “awalnya, saya tidak tertarik dengan budi daya BSF ini. Tapi, setelah mengikuti penyuluhan dari LPPM ITB, saya jadi tertarik. apalagi, saya juga mengelola bank sampah bersama ibu-ibu KWT. Kebetulan banyak sampah di dapur. Daripada dibuang ke mana saja, lebih baik dimanfaatkan, dikasih telur dan mulai melakukan budi daya BSF. Hasilnya, lumayan sudah bisa meningkatkan ekonomi. Selain produk olahannya bisa dijual, saya juga bisa manfaatkan maggot untuk pakan ayam,” kata Endang Rahayu. Kini, warga yang mengelola budi daya BSF semakin bersemangat karena sebuah koperasi di Sumedang sudah meminta dipasok 10 ribu ton maggot untuk diekspor. “Sekarang kita butuh sedikit modal untuk membesarkan budi daya ini. Kita semakin semangat sekarang,” tutur Endang Rahayu. Selanjutnya, kolaborasi dengan KWT pun bisa terjalin dengan baik. “Sekarang, kita juga bekerja sama dengan ibu-ibu KWT. Ibu-ibu memberikan sampah organik, kemudian kita kasih pupuk kepada mereka,” tambah Endang Rahayu.

161


TEPUNG SINGKONG FERMENTASI Selain BSF, tim LPPM ITB juga mencoba mengembangkan modified cassava flour (mocaf), tepung berbahan dasar singkong dan produk turunannya di sejumlah desa di Kecamatan Rancakalong dan Pamulihan. Dirintis sejak 2015, selain tepung singkong yang kualitasnya mendekati standar terigu, berbagai produk turunan seperti kue kering, kue basah hingga bakso mocaf sudah bisa dihasilkan. Setelah dikemas, produk-produk turunan mocaf itu sudah bisa dipasarkan dan diminati masyarakat sekitar. Dr. Mia, seorang peneliti dan dosen dari SITH-ITB mengatakan, salah satu kelompok tani yang dibina untuk pengembangan produk mocaf ini adalah Bangun Mandiri Mukti di Desa Pamulihan, Kecamatan Pamulihan. Desa Pamulihan dipilih karena merupakan salah satu sentra singkong terbesar di Kabupaten Sumedang. “Fenomena dan masalah yang selalu muncul dan dihadapi petani singkong adalah jatuhnya harga pada saat panen raya dan stok melimpah. Saat itu harganya bisa sangat rendah hingga Rp700/kg sehingga petani mengalami kerugian. Nah, berangkat dari persoalan itu, kami menawarkan solusi dengan mengolah singkong menjadi mocaf,” kata Dr. Mia. Dr. Mia mengakui, meski sudah banyak dikembangkan di daerah lain, tim LPPM ITB memberikan teknologi mocaf yang lebih sederhana sehingga bisa dilakukan di tingkat rumah tangga atau kelompok. “Alhamdulillah setelah beberapa bulan, mereka sudah bisa menghasilkan mocaf dan dijual dengan harga lebih baik,” katanya. Selain itu, kualitas tepung yang dihasilkan pun lebih baik karena sudah mendekati karakteristik terigu. Dijelaskan Dr. Mia, proses fermentasi yang dilakukan membuat produk mocaf di Desa Pamulihan berbeda

162


SABAR & TELATEN DR. RAMADHANI EKA PUTRA, PH.D. DR. MIA ROSMIATI, IR., M.P. DR. RIJANTI RAHAYU MAULANI

Dr. Ramadhani, Ph.D., Dr. Mia, dan Dr. Rijanti Rahayu Maulani merupakan tiga peneliti dari Sekolah Ilmu Teknologi Hayati Institut Teknologi Bandung (SITH-ITB). Mereka sudah terlibat dalam sejumlah program pengabdian masyarakat yang dilakukan LPPM ITB, termasuk di beberapa desa di Kecamatan Rancakalong dan Pamulihan, Kabupaten Sumedang dalam dua tahun terakhir. Fokus pengabdian masyarakat tim yang dipimpin Ramadhani, Ph.D. ini adalah pengembangan budi daya black soldier fly (BSF) alias lalat tentara hitam, produksi modified cassava flour (mocaf) berbahan dasar singkong dan jamur. Selama mengikuti program pengabdian masyarakat, ketiganya tentu saja mempunyai pengalaman menarik, baik suka maupun duka, yang satu dengan lainnya berbeda. Tapi, ada satu hal yang sama dari ketiganya. Mereka sepakat, upaya memberdayakan masyarakat itu bukan hal yang mudah. Butuh kesabaran dan ketelatenan agar kelompok masyarakat yang dibina bisa mandiri. “Memberdayakan masyarakat itu tidak mudah. Kita tidak bisa mengubah kebiasaan masyarakat begitu saja. Butuh pembinaan terus-menerus. Bukan sebatas memberikan ilmu dan teknologi dan selesai. Tapi, kita harus memonitor aktivitas dan persoalan yang muncul di masyarakat. Bahkan, setelah kegiatan

selesai, monitoring masih harus terus dilakukan,” kata peneliti dengan Kelompok Keahlian Manajemen Sumber Daya Hayati ini. Saking intensifnya monitoring dan komunikasi dengan kelompok masyarakat binaannya, tidak jarang tumbuh ikatan batin yang membuat hubungan peneliti dan warga sudah seperti saudara. Hal ini pula yang dirasakan yanti, sapaan akrab Dr. Rijanti Dr. Rijanti juga mengaku senang ketika sharing ilmu dan teknologi sederhana yang dilakukan tim LPPM ITB benarbenar dibutuhkan dan dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. “Memang, untuk mencapai itu harus dilakukan secara bertahap. Tapi, kita sangat senang ketika masyarakat sudah bisa merasakan manfaatnya,” kata dosen dari Kelompok Keahlian agroteknologi dan Teknologi Bioproduk ini. Tidak mudahnya upaya memberdayakan masyarakat itu dirasakan pula oleh Ramadhani, Ph.D. Peneliti ITB dengan Kelompok Keahlian Manajemen Sumber Daya Hayati ini kerap dihadapkan kepada problematika yang ada di tengah masyarakat. Salah satunya ketika ia mendapat permohonan bantuan mesin pencacah sampah dalam sebuah dialog dengan warga di Kecamatan Rancakalong. Meski wajar karena besarnya antusiasme warga

terhadap pengembangan budi daya BSF, menurut Rama, permohonan itu terlalu melompat dari tahapan-tahapan yang sudah dirancang. Karena itu, Rama harus dengan sabar memberikan penjelasan kepada warga soal tahapantahapan pengembangan budi daya BSF tersebut. “Mesin cacah itu dibutuhkan ketika budi daya BSF ini sudah beranjak ke level yang lebih besar. Kalau baru sebatas di tingkat individu dan rumah tangga, teknologi itu belum perlu. Tapi, kita tetap akan sampai ke level pengadaan bantuan mesin cacah itu,” kata Ramadhani, Ph.D., berupaya memberikan pemahaman kepada warga yang memohon bantuan mesin cacah sampah. Khusus untuk pengembangan BSF, Ramadhani, Ph.D. mengaku senang karena saat ini sudah banyak dilakukan masyarakat. Itu artinya, riset yang sudah dilakukan LPPM ITB dalam tujuh tahun terakhir sudah dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. “Sebenarnya, pada tahun 1990-an, riset soal BSF ini sudah ada. Tapi, baru berkembang pesat pada tahun 2010 meskipun pengembangan budi dayanya belum banyak ditemukan. Saya melakukan riset pertama kali tujuh tahun lalu bersama Dr. Robert Manurung di Bogor dengan media ampas kelapa. alhamdulillah, sekarang sudah banyak masyarakat membudidayakannya,” tutur Ramadhani, Ph.D.***

163


Yang membedakan adalah penggunaan enzim yang dihasilkan starternya. Yang kami kenalkan di kelompok tani ini adalah khamir Saccharomyces cerevisae.

dengan daerah lain. Melalui fermentasi, komponenkomponen, dinding sel, terutama asam sianida (HCn) yang bisa menyebabkan warna lebih hitam dan kalau lama berbahaya karena mengandung racun, bisa didegradasi. “Teknologi mocaf-nya sama. yang membedakan adalah penggunaan enzim yang dihasilkan starternya. yang kami kenalkan pada kelompok tani ini adalah khamir Saccharomyces cerevisae yang bisa didapatkan di mana pun, termasuk ragi untuk roti atau tape sehingga warga tidak kesulitan mendapatkannya,” kata Dr. Mia. Selain transfer teknologi pembuatan mocaf dan produk turunannya, tim LPPM ITB juga turut mendampingi pengembangan kewirasausahaan dengan membentuk kelompok-kelompok usaha untuk memasarkan produk-produk yang dihasilkan. “Hasilnya alhamdulillah, warga sudah bisa mendapatkan tambahan penghasilan. Hanya, kita harus memonitor dan melakukan pendampingan secara terus-menerus hingga warga bisa mandiri,” tambah Dr. Rijanti, peneliti lain dari SITH-ITB. apa yang disampaikan Dr. Rijanti diamini Camat Rancakalong, Ili. “Kita paham betul, keberhasilan pemberdayaan ekonomi dipengaruhi oleh ilmu dan pengamalan. Dengan masuknya ITB ke Rancakalong, mudah-mudahan bisa meningkatkan kualitas output kegiatan masyarakat. Kami berharap, program pengabdian masyarakat ITB terus berlanjut dan kelompok masyarakat binaannya semakin bertambah,” kata Ili.*** 164

Proses pengolahan Mocaf


SINERGI YANG MENGHADIRKAN

APRESIASI

Selain kepada warganya, Ili berterima kasih kepada seluruh pemangku kepentingan (stakeholder) yang turut membantu dan mendukung program pengentasan stunting di wilayahnya, termasuk LPPM ITB yang sudah lima tahun melakukan pengabdian masyarakat di wilayahnya. “Sinergi dengan perguruan tinggi yang dalam hal ini melalui LPPM ITB menjadi nilai plus untuk program pengentasan stunting di Rancakalong,” kata Ili. Salah satu nilai plus buat Kecamatan Rancakalong adalah kemampuan mempertahankan aktivitas perekonomian warganya di tengah pandemi Covid-19 melalui pengembangan budi daya maggot atau black soldier fly (BSF) alias lalat tentara hitam dan jamur yang dibina LPPM ITB. Selain itu, ada juga budi daya burung puyuh. Dikatakan Ili, dalam melaksanakan program pemberdayaan masyarakat,

LPPM ITB secara berkesinambungan memberikan pelatihan-pelatihan dengan menafaatkan teknologi sederhana dan tepat guna, pendampingan, dan bantuan peralatan yang dibutuhkan. Ili menuturkan, program pemberdayaan yang dilakukan LPPM ITB itu membuat masyarakatnya tetap produktif di tengah pandemi. Bahkan, katanya, program desa binaan ITB yang dilakukan di Rancakalong itu sudah banyak melahirkan kelompok-kelompok masyarakat yang memiliki inovasi dan kreativitas di berbagai bidang dan mulai masif dilakukan warganya. Selain mendapatkan apresiasi dari Pemerintah Daerah Kabupaten Sumedang, Kecamatan Rancakalong juga diminta Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas) untuk mempresentasikan program pengentasan stunting-nya. “Kita dijadikan model penanganan stunting yang inovatif. Selain itu, Pemkab Sumedang juga meminta seluruh kecamatan mencontoh Rancakalong dalam hal pembinaan dan pemberdayaan masyarakat yang melibatkan perguruan tinggi,” kata Ili. Kendati sudah mendapatkan apresiasi, Ili memastikan, kolaborasi dan sinergi dengan LPPM ITB tidak akan kendur. Sebaliknya, ia dan warganya akan

GEDUNG Negara Kabupaten Sumedang, 24 November 2020. Bertepatan dengan Hari Kesehatan Nasional 2020, Camat Rancakalong, Ili menerima penghargaan dari Bupati Sumedang, Dony ahmad Munir. Rancakalong dianugerahi penghargaan sebagai Kecamatan Inovatif dan Desa dengan Integrasi Intervensi Stunting Terbaik.

Sinergi dengan perguruan tinggi yang dalam hal ini melalui LPPM ITB menjadi nilai plus untuk program pengentasan stunting di Rancakalong.”

semakin termotivasi untuk lebih memberdayakan masyarakatnya. Beberapa program kolaborasi pun dilakukan antara lain peningkatan usaha jamur kepada remaja di Desa Pasir Dogdog, pengembangan usaha pembibitan ikan nila dan mas hasil binaan kepada kelompok lain untuk pengentasan stunting dan pengembangan usaha talas pratama dengan penyediaan 400 bibit. “Sasaran program kali ini adalah kepala keluarga dan pendamping stunting. Nantinya, pendamping stunting harus berbagi hasil panen dengan keluarga stunting,” kata Ili.***

165


MEWUJUDKAN

Cangkul Pertama

BERSTANDAR NASIONAL INDONESIA

Bagi masyarakat Desa Mekarmaju, Kecamatan Pasirjambu, Kabupaten Bandung, menjadi pandai besi bukan sekadar mata pencaharian, tetapi juga upaya melestarikan warisan leluhur. Keterampilan turun-temurun semacam ini rentan kalah bersaing jika tak dilengkapi dengan ilmu pengetahuan yang memadai. Tim LPPM ITB mendampingi para perajin tradisional ini agar hasil produksinya setara dengan Standar Nasional Indonesia (SNI).

Dedep abdul Rohman mewarisi keterampilan membuat alat-alat pertanian dari besi. Ia merupakan generasi ketiga yang hidup sebagai pandai besi. Hal serupa juga terjadi di banyak perajin di Mekarmaju. Membuat cangkul, pisau sadap karet, alat pemadam kebakaran, semua keterampilan itu ia dapatkan turun-temurun. Nyaris tidak ada pengetahuan logam yang ia pelajari sebelumnya. Itu sebabnya ia merasa kesulitan menentukan kualitas baja yang dipakai.

Sebagai negara agraris, kenyataan bahwa Indonesia mengimpor cangkul adalah sebuah ironi tersendiri. Namun, faktanya, produksi dalam negeri belum bisa memenuhi kebutuhan cangkul sekitar 3 juta buah setiap tahunnya. Oleh karena itu, Kementerian Perdagangan mengimpor cangkul dari luar negeri. Cangkul ternyata tidak sesederhana bentuknya. Perlu baja untuk memproduksinya. Sayangnya Indonesia belum mampu memenuhi semua kebutuhan baja untuk cangkul ini.

Oleh karena itu, ia merasa sangat beruntung ketika LPPM ITB mendampingi para perajin Mekarmaju. Ia merasa proses produksinya menjadi lebih baik dan benar. Tata kelola dan manajemen waktu lebih rapi. Tentu saja hal itu meningkatkan kualitas dan kuantitas hasil produksi. “Penjualan juga jadi berubah karena kualitas dan kuantitasnya juga bertambah. Kualitas semakin terjamin,” kata Dedep abdul Rohman.

Selain itu, pembuatan cangkul banyak dilakukan oleh industri kecil menengah (IKM) yang menggunakan teknik sederhana. Salah satunya yang dilakoni masyarakat di Desa Mekarmaju, Kecamatan Pasirjambu, Kabupaten Bandung. Berbagai jenis sabit, cangkul, golok, seblang, pembuat lubang biopori, dan pisau raut merupakan beberapa produk hasil para perajin di desa itu. 166

Kualitas hasil produksi sudah disesuaikan dengan SNI. Ia mencontohkan, saat membuat cangkul dulunya tidak memperhatikan aspek dimensi, kadar bajanya pun tidak diukur dengan akurat. Sekarang, semua hal itu menjadi perhatian. Diakhiri dengan proses finishing yang mumpuni. Setiap minggu para agen dan pengepul datang ke bengkelnya untuk mengambil barang. Dedep juga mengerjakan pesanan langsung. Ia juga mendistribusikan hasil produksinya secara rutin ke Jakarta.


Cangkul dengan Standar Nasional Indonesia

167


Perajin besi

168


Dedep dibantu oleh lima pegawai tetap. Jika sedang menerima banyak permintaan, ia bisa menambah pegawai sampai 12 orang. Setiap pegawai punya kemampuan yang berbeda-beda. “ada tukang potong, tukang las, tukang gerinda, tukang finishing atau tukang cat,” ujar Dedep. Generasi di bawah Dedep masih ada yang mengikuti jejak pendahulu menjadi pandai besi. Keterlibatan ini berperan meningkatkan produktivitas Mekarmaju. Namun, harus diakui, banyak juga di antara mereka yang lebih memilih menjadi tukang ojek. “Sebenarnya hasilnya lebih banyak menempa daripada ngojek. Tapi, memang dari segi tenaga, lebih capek (menempa),” ujar Dedep abdul Rohman. Sekarang Dedep bisa memproduksi sampai 100 buah per hari. Kebutuhan bahan bakunya sudah mencapai 10 ton besi per hari. Dahulu cukup sulit memenuhi ketersediaan bahan baku dengan kualitas yang diperlukan. Sekarang ia bisa memenuhinya dari BUMDes yang memasok bahan baku bagi perajin. Program desa itu sangat membantu 20 kelompok pandai besi yang khusus membuat cangkul seperti Dedep. Belum lagi kelompok perajin lain yang khusus memproduksi alat pertanian lain seperti golok, sabit, korek, garpu, dan lain-lain.

PEMENUHAN STANDAR Sebagai perajin, pengetahuan dan keterampilan baru yang didapat dari pendampingan LPPM ITB mengalami kemajuan. Hasil peleburan dari besi menjadi baja jadi lebih sesuai dengan spesifikasi yang diharapkan pembeli. Metode pengerjaan bisa dibilang tidak banyak berubah, tapi peningkatan pengetahuan membuat hasilnya berbeda. Selanjutnya ia berharap ada modernisasi mesin produksi. Peningkatan sarana atau mesin-mesin penunjang akan mampu menghasilkan produk yang lebih baik pula. Pada akhirnya, ia berharap semua produk yang ia hasilkan bisa setara dengan produk berstandar nasional. Peneliti juga dosen Teknik Metalurgi Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan ITB Dr. Eng. akhmad ardian Korda, S.T., M.T. mengatakan, mengingat produk pandai besi ini digunakan sebagai perkakas pertanian, maka kerap digunakan untuk memotong.

Sudah ada SNI cangkul, tapi bagaimana caranya para industri kecil menengah menghasilkan cangkul dengan kualitas SNI.

Cangkul dan golok pasti untuk memotong. Sekop yang umumnya hanya terbuat dari pelat dan tidak perlu pengerasan yang berlebihan karena tak digunakan untuk memotong. Terdapat kriteria khusus untuk peralatan seperti cangkul ini. Sejauh ini memang produk cangkul di dalam negeri berbeda dengan yang diproduksi di luar negeri. Saat ini sudah ada SNI untuk produk cangkul, tetapi belum ada satu pun cangkul produk Indonesia yang memenuhinya. “Sudah ada SNI cangkul, tapi bagaimana caranya para IKM (industri kecil menengah) menghasilkan cangkul dengan kualitas SNI,” kata Dr. Korda. Pada mulanya tim melakukan pengujian pada produk para perajin, seperti cangkul, golok, dan lainnya. Di situlah diketahui adanya kekurangan di sisi kualitas bahan baku dan proses pembuatannya. “Meskipun sudah turun-temurun membuat produk pandai besi dan seterusnya, mereka kekurangan pengetahuan mengenai bahan baku dan proses yag baik dan benar. Terutama, mereka tidak sanggup mencari hubungan antara kualitas bahan baku dan proses pembuatan,” kata Dr. Korda. Tim peneliti mengambil beberapa sampel untuk memetakan mutu hasil tempa. Tim yang dipimpin Dr. Korda melakukan pengujian pada bahan baku yang digunakan oleh pandai besi di Mekarmaju. Fokus pada bahan baku dan proses pembuatan. Bahan baku menjadi penentu kualitas produk pandai besi. 169


Jika baja yang digunakan merupakan baja rendah karbon, heat treatment (perlakukan panas) sulit dilakukan untuk mendapatkan kekerasan yang sesuai dengan spesifikasi yang diinginkan. adapun untuk produk yang membutuhkan kekuatan dan kekerasan membutuhkan bahan baku dengan kadar karbon cukup atau jenis baja karbon sedang. Baja karbon sedang merupakan karbon yang lebih mudah dilakukan heat treatment. Dr. Korda mengatakan, para perajin diberi pengetahuan tentang jenis baja yang beraneka ragam. Pada mulanya, para perajin tidak memahami perbedaan besi dan baja. Sering kali perajin menganggap besi yang digunakannya kurang mengandung baja. Padahal, tidak demikian. “artinya, pemahaman itu penting. Kami menjelaskan bahwa yang namanya baja dipengaruhi oleh komposisi kimia dan komposisi kimia yang berpengaruh itu kandungan karbon untuk pengerasan dari baja. Nah, memang ada beberapa supplier pelat yang ada di Bandung, yang sayangnya masih impor, namun kualitas tidak pernah diketahui. Jadi, kalau mereka mengirim ke sini, mereka hanya meminta ketebalan baja berapa, sementara baja tersebut tidak bisa diketahui kualitasnya sebelum melakukan pengujian,” tutur Dr. Korda. Tim mengumpulkan bahan baku yang mereka miliki lalu dilakukan pengujian di laboratorium. Dengan begitu bisa diketahui jenis baja, termasuk yang sudah dibuat diperiksa kekerasannya, struktur mikronya, proses pembuatannya. Pengujian itu menggunakan peralatan canggih yang dimiliki oleh kampus. Pengujian bahan baku bisa dilakukan dengan dua cara, yaitu dengan melakukan pengujian kekerasan, kemudian pengujian fokusi kimia. Sampai saat ini ITB masih membantu untuk mengidentifikasi bahan baku. Para perajin akan terbantu jika ada alat uji sederhana. “Ini penting karena beberapa produk ada yang tidak diberikan perlakuan panas atau pengerasan sehingga bahan baku yang mereka dapatkan itu mereka bentuk kemudian mereka finishing tanpa perlakuan panas. ada syarat kekerasan yang dituntut sehingga mereka harus mulai dengan bahan baku yang kekerasannya sesuai,” ungkap Dr. Korda.

170


DR. ENG. AKHMAD ARDIAN KORDA, S.T., M.T.

Tidak mudah menyampaikan informasi berbasis sains kepada pandai besi yang sudah melakoni pekerjaan ini selama tiga generasi. Terdapat gap ilmu pengetahuan yang perlu diatasi. Dr. Korda memilih berhati-hati dan menyampaikannya perlahan. Ia menggunakan bahasa Sunda agar mudah diterima dan mudah dipahami oleh para perajin di Desa Mekarmaju, Kecamatan Pasirjambu, Kabupaten Bandung. Penjelasan ini juga disampaikan berulang-ulang di forum bersama di balai desa. Secara rutin tim ITB kembali ke desa untuk mengamati perkembangannya. Dengan begitu komunikasi pun semakin baik. Perlahan para perajin bisa memahami semua pengetahuan baru yang didapat. Pada akhirnya mereka bisa menerapkan semua pengetahuan itu dan merasakan sendiri peningkatan kualitas produknya. “Pertama kali ke sini tidak mudah karena kita belum kenal. Jadi pertama kali kita datang ya tentu sambutannya belum meriah. Tetapi, kemudian setelah kami melakukan banyak sampling, kemudian kami buat poster yang cukup besar. Kami buat banyak lalu dibagikan ke masyarakat. Mereka bisa lihat cangkul itu seperti ini, kekerasannya seperti begini,” kata Dr. Korda yang memimpin pengabdian masyarakat di Desa Mekarmaju. Masyarakat pada akhirnya memerlukan informasi tentang bagaimana bahan baku dan proses pembuatan yang

baik. Para pandai besi ini menyadari bahwa produknya bisa diuji. Produk mereka juga perlu memenuhi syarat tertentu. Semakin hari, hubungan para peneliti dengan pandai besi Mekarmaju semakin dekat. “Bahkan kata Pak Kades, kami sudah dianggap keluarga Desa Mekarmaju. Mamang kami rutin datang, tahun ini saja sudah delapan kali,” tuturnya. Sebagai pandai besi yang mewarisi keahliannya secara turun-temurun, produk dari Mekarmaju kerap tak sesuai standar. Sementara di pasaran sudah dipasok barang impor. Bahkan Indonesia juga mengimpor cangkul. Menurut Dr. Korda, persoalan pandai besi di Mekarmaju ini bukan persoalan langka. Persoalan ini juga dialami pandai besi di seluruh Indonesia. Kuncinya ada di bahan baku. Bahan baku yang baik hanya bisa diperoleh dari industri baja. Tetapi, industri baja seperti Krakatau Steel saja belum memasok bahan baku sejenis yang mereka butuhkan sehingga bahan baku masih banyak diimpor. Itu pun belum sesuai dengan spesifikasi. “Jadi tidak mudah menghasilkan prosuk yang memenuhi SNI (Standar Nasional Indonesia),” ujar pria yang menyelesaikan studi S-3 di Nagaoka University of Technology, Nagaoka, Jepang. Ia bisa menyampaikan hal itu karena pernah mendampingi pandai besi di

MANFAAT PERTANIAN SAMPAI PERTAHANAN

Diperkirakan kebutuhan untuk cangkul mencapai 3 juta buah dan egrek untuk memanen kelapa sawit mencapai 7 juta buah per tahun.” Bareng, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah. Sama halnya dengan di Mekarmaju, di sana ia membantu pandai besi untuk meningkatkan kualitas produknya. Dengan situasi seperti itu, ia berharap, ITB bisa menjadi jembatan yang menghubungkan pandai besi dengan jaringan yang bisa memasok bahan baku yang diperlukan. atau setidaknya, ITB bisa membantu bagaimana mendeteksi bahan baku yang tepat. “Jadi harapannya, satu per satu produk harus di-SNI-kan. Jadi cangkul punya SNI, sekop punya SNI. Satu-satu, tapi (semua) harus di-SNI-kan,” ujar Dr. Korda. Dengan SNI, produk pandai besi akan diterima di pasar yang lebih luas. Ia bisa masuk untuk kebutuhan pertanian atau perkebunan skala besar. Diperkirakan kebutuhan untuk cangkul saja mencapai 3 juta buah. Egrek yang biasa digunakan memanen kelapa sawit bahkan kebutuhannya mencapai 7 juta buah per tahun. Sebuah peluang yang sangat besar. Sayang jika kebutuhan itu justru dipenuhi dari produk impor. Meski beberapa tahun ke belakang Dr. Korda disibukkan dengan pengabdian masyarakat di desa pandai besi yang industrinya berskala kecil menengah, riset-risetnya sebenarnya juga membicarakan tentang penggunaan 171


logam berteknologi tinggi. “Fokus saya saat ini adalah bagaimana bisa membuat panduan logam, baja khusus yang memiliki ketangguhan tinggi untuk alutsista (alat utama sistem pertahanan). Jujur bahwa baja khusus ini belum dimiliki Indonesia dan baja khusus ini sangat penting karena sebagai penggerak di industri lainnya,” kata Dr. Korda. Misalnya industri penerbangan, otomotif, pertahanan, dan lainnya, hampir semua industri memerlukan baja khusus ini. Ia berharap upaya ITB untuk merintis sebuah teaching factory bisa berjalan mulus. Dengan begitu, target ITB untuk bisa membuat baja khusus di dalam negeri bisa terwujud. Baja khusus ini nantinya bisa dijual ke industri yang membutuhkannya, misalnya Pindad. Setidaknya sejak 2017, Korda memang aktif membuat riset terkait material untuk alutsista ini. Ia membuat riset tentang pengembangan produk struktur tahan ledak untuk kendaraan tempur. Saat ini, Dr. Korda terlibat dalam pengembangan panduan khusus mengenai aplikasi logam untuk medis, contohnya dengan implan. “Saat ini yang banyak digunakan implan dari stainless steel 316L. Nah, kemudian kita bergerak ke titanium. Titanium juga sudah banyak dicoba di luar negeri, tapi yang akan kita kembangkan itu implan panduan titanium antimikroba dan antivirus, itu sudah kita coba beberapa tahun lalu,” tutur Dr. Korda. Ia menjelaskan, ketika menggunakan antibiotik biasa bakteri bisa berkembang dan bermutasi sehingga menjadi resisten. Namun jika menggunakan panduan ini, bakteri dan virus bisa langsung mati. Riset itu dilakukan sebelum pandemi Covid-19 terjadi. Setelah itu ada riset yang khusus membuat panduan pada masa pandemi seperti sekarang ini.

172

Peneliti ini mengetahui bahwa logam, salah satunya tembaga, memiliki sifat alamiah untuk membunuh bakteri dan virus. “Dan kita perhatikan Indonesia ini kaya tembaga, perhatikan di Freeport itu banyak sekali tembaga. Sekarang kenapa tembaga itu tidak kita gunakan dengan baik? Katakanlah untuk keperluan medis,” kata Dr. Korda. Seperti diketahui, penularan penyakit atau penyebaran virus bisa terjadi karena menyentuh permukaan yang mengandung virus. Misalnya gagang pintu atau keran air. Jika setelah memegangnya lalu memegang wajah, virus atau bakteri yang menempel bisa masuk ke tubuh. Dengan panduan tadi, bisa dibuat modifikasi pada permukaan logam yang biasa terkena sentuhan. Ia menargetkan riset ini bisa sampai menghasilkan prototipe. Saat ini Kordan dan tim peneliti lainnya masih melakukan modifikasi terhadap komposisi kimia. “Kami memerlukan peralatan yang advance yang di Indonesia tidak ada. Kalau alat karakterisasi, tidak masalah, ITB punya alat karakterisasi. Permasalahannya di alat proses. alat yang membuat panduan itu, harganya mahal,” tutur Dr. Korda. Sudah pernah diajukan ke pemerintah dengan nilai Rp100 miliar. Meski pada dasarnya setuju, pemerintah belum bisa merealisasikannya sebab program tersebut harus dilakukan lewat program tahun jamak (multiyears). Sayangnya hal itu terganjal aturan di tingkat kementerian. “Harapannya program ini bisa ditingkatkan sampai level – katakanlah – iktikad penelitian atau penelitian strategis nasional,” ujar Dr. Korda. Sepak terjang Dr. Korda menegaskan, logam memiliki pengaruh besar pada kehidupan. Logam dibutuhkan di industri berskala kecil hingga berteknologi tinggi, dari pertanian hingga pertahanan.

Dari proses pendampingan yang sudah dilakukan, produk pandai besi di Mekarmaju sudah memenuhi SNI.


badan sehingga sangat baik untuk memotong dan lebih tahan aus. Bagian ujung cangkul terkikis lebih lama dibandingkan material yang kekerasannya lebih rendah. Jika dibandingkan dengan cangkul hasil manufaktur, bagian ujung cangkul produksi tempa memiliki kekerasan yang lebih tinggi sehingga lebih tahan aus. Tetapi, di sisi lain, kekerasan yang hampir merata pada produk manufaktur membuat produk ini lebih tahan lama. Pada produk golok, ujungnya mengalami perlakukan panas sehingga kekerasannya jauh meningkat dibandingkan dengan bagian bada. Kekerasan yang tinggi pada ujungnya sangat baik untuk memotong. Batas antara bagian badan dan ujung tajam terlihat jelas pada struktur mikronya.

Hasil karya perajin besi

Proses pengerasan menjadi salah satu perhatian pada proses pembuatan produk. Proses memanaskan baja ini dilakukan sebelum ditempa atau pendingin kejut. Para perajin biasa menyebutnya dengan sipuh. Secara akademis disebut dengan perlakuan panas dengan pendingin kejut. Pada proses ini perlu terdapat target temperatur dan waktu. Metode perlakuan panas, pendinginan atau pengerasan dengan cara tertentu bergantung pada bahan baku yang digunakan. ada bahan baku yang didinginkan menggunakan air, ada pula bahan baku yang didinginkan dengan oli. Semua itu bergantung pada kompisisi kimianya. Laju pendinginan akan memengaruhi kekerasan baja yang dihasilkan. Beberapa kesalahan yang lazim ditemukan ialah kadang terlalu lama memanaskan, kadang-kadang metode pencelupannya terlalu pelan sehingga mengurangi kekerasannya. Tingkat kekerasan ini harus benar-benar diperhatikan sebab merupakan salah satu tolok ukur SNI yang harus dipenuhi. Setelah melakukan serangkaian pengujian, tim peneliti bisa membuat pemetaan mutu hasil pandai besi. Produk yang baik perlu memenuhi mutu tersebut. Misalnya untuk cangkul, kesimpulannya bagian depan cangkul lebih keras dibandingkan dengan bagian

Hasil pengujian dan pemetaan mutu itu kemudian disampaikan kembali kepada para perajin. Dengan begitu mereka memahami produk yang mereka hasilkan. Harapannya, mereka bisa membuat produk yang lebih baik dan bisa bersaing dengan produk serupa yang diimpor dari luar negeri. Dr. Korda mengatakan, secara umum pembuatan cangkul, juga sekop, merupakan proses yang sederhana. Namun, bahan bakunya yang tidak sederhana. Kebanyakan perajin menggunakan besi rongsok sebagai bahan baku. Sementara, proses yang dilakukan masyarakat diwariskan turun-temurun. Bagi mereka, apa yang dilakukan ialah berupaya mempertahankan warisan tersebut. Masyarakat setempat sangat bangga dengan profesi yang dilakoninya ini. Menurut Dr. Korda, jika dibina dengan baik Mekarmaju bisa menjadi desa percontohan. Dari proses pendampingan yang sudah dilakukan, produk pandai besi di Mekarmaju sudah memenuhi SNI. Misalnya saja cangkul kelas a yang digunakan untuk pertanian, komposisi kimia dan kekerasannya sudah memenuhi kriteria. Persoalannya sekarang, bagaimana membantu mereka untuk bisa mendapatkan SNI itu. “Mereka sudah ada proses pendaftaran. Harapannya sebelum akhir tahun ini, mereka sudah bisa dapat SNI. Kalau mereka dapat SNI, ini SNI pertama di Indonesia produk cangkul dalam negeri yang asli,” kata Dr. Korda.*

173


MATERIAL CENTER

KAMPUNG PANDAI BESI

Menurut Kepala Desa Majumekar Usep Bunyamin, menjadi pandai besi bukanlah sekadar mata pencaharian bagi penduduknya, melainkan sebagai upaya mempertahankan sejarah desanya sebagai penghasil pandai besi. “Produksinya masih sama, alat pertanian. Tapi kalau dulu, misalnya garpu, ditempa dari ujung sampai pegangan. Kalau sekarang ada kolaborasi dengan pengelasan. Matanya dari spiral, baja per, tetapi gagang bisa dengan pipa atau kayu. Tetapi, fungsi dan bentuk kasar tetap sama,” tutur Usep Bunyamin.

Usep bercita-cita, Mekarmaju bisa menjadi desa wisata pandai besi. Menurut dia, proses pembuatan peralatan pertanian ini menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan. Usep menyadari, desanya tak punya air terjun atau laut yang bisa jadi destinasi wisata alam yang kini sedang naik daun. Desa seluas 110 hektare ini semuanya merupakan permukiman warga. Tidak ada pasar, apalagi minimarket. Daerah ini dinilai terlalu dekat dengan kota sehingga pengembangan di desa itu sendiri dirasa tidak optimal.

Usep mengatakan, usaha pandai besi ini membuat semua warga menjadi produktif. Setiap rumah punya workshop. Penduduk lanjut usia dan anak-anak ikut serta dalam proses produksi yang sudah menyatu dengan keseharian warga. “Meskipun terbatas fisik, bisa mengampelas dengan pendapatan Rp40 ribu sehari. Tidak ada pengangguran kecuali yang malas,” katanya. Pemerintah desa membuat BUMDes untuk menopang kegiatan pandai besi dengan mendirikan Material Center pada 2019. “Supaya perajin mendapat bahan baku yang konstan, rutin, dan bagus. yang memiliki rantai pasok tidak terlalu panjang, jadi harga bisa dipangkas untuk meningkatkan produktivitas sehingga bisa bekerja tiap hari,” tutur Usep Bunyamin.

Meski begitu, Mekarmaju selalu kebagian macet wisatawan yang berlibur ke Bandung selatan. Usep berpikir bagaimana agar kemacetan itu bisa berubah menjadi berkah bagi warga setempat. ”Kami punya gagasan, kampung pandai besi,” ujar Usep. Dia menjelaskan, kampung ini bisa menyuguhkan wisata edukasi pandai besi. Rencananya akan ada galeri untuk memamerkan produk apa saja yang dibuat. ada pula workshop sehingga pengunjung bisa melihat langsung bagaimana proses pembuatannya. Lalu ada gazebo yang menjadi tempat atraksi. Misalnya golok yang digunakan untuk pencak silat. Ditambah lagi kios cendera mata untuk menopang BUMDes. “Galeri sudah, workshop sudah, gazebo sudah. Tinggal launching akhir tahun ini,” kata Usep.

Sebelumnya perajin kesulitan mendapat bahan baku. Mereka kebanyakan membeli dari pengepul atau sisa besi tua alias barang rongsokan. Bahan baku dari sana biasanya tidak stabil, baik segi ukuran maupun kualitas. BUMDes ini digagas bersama dengan Kementerian Perindustrian dan ITB. Kementerian mendukung dengan memberi bantuan berupa penyediaan permesinan. Sedangkan ITB menyiapkan masyarakat industri kecil menengah (IKM) sehingga mampu bersaing.

Usep bersyukur, ITB sebagai salah satu perguruan tinggi yang memiliki banyak pakar bidang logam, terlibat mendampingi Mekarmaju. Usep menyadari pengetahuan para perajin soal ilmu logam masih sangat terbatas. Padahal, untuk mengembangkan usaha ini perlu pengujian logam dan pengukuran kadar besi, baja, serta kandungan lain yang presisi.

Usep menjelaskan, BUMDes ini mampu menyediakan kebutuhan bahan baku semua perajin di desa itu. “Sementara kami ukur satu komoditas (misalnya) cangkul. Dihitung pemakaiannya dahulu. Sekelompok ada 20 IKM, kami hitung ada 37 ton per bulan untuk skala satu bahan pelat, satu ukuran. Masih ada kelompok lain yang menggunakan bahan lain, baja per, atau mungkin untuk custom perlu bahan yang lebih keras, baja putih, dan lain-lain,” ucap Usep.* 174

Usep bercita-cita, industri penghasil alat pertanian Mekarmaju bisa naik level. Tidak hanya memenuhi permintaan yang ada selama ini, tapi juga bisa ikut bersaing di pengadaan barang pemerintah. Selama ini mereka kesulitan karena bentuk usahanya berupa BUMDes sehingga tidak bisa ikut dalam pengadaan barang pemerintah. Kini BUMDes sudah memiliki perusahaan terbatas (PT) dan sudah terdaftar di Kementerian Desa dan Kementerian Perindustrian. “Kami sudah bisa bersaing dengan produk lainnya. Kami siap pengadaan skala nasional,” ujar Usep Bunyamin.*


Hasil karya perajin besi

175


EDUKASI

BENCANA LEWAT

Desa Wisata JUMaT, 22 Juli 2011. Tepat pukul 5.46 WIB, sebagian warga di Bojongkoneng, Ujungberung, dan Pasir Impun, Kota Bandung, dikejutkan dengan getaran gempa bumi. Berdasarkan data dari enam stasiun seismik yang ada di Bandung Raya, pusat gempa ditetapkan terletak pada koordinat 107,72° BT dan 6,84°LS dengan kedalaman 6 km, berada pada jarak 12,5 km timur Lembang dan 16 km timur laut Bandung. Lokasi sumber gempa bumi berada pada jalur Sesar Lembang. Magnitudo gempa bumi tersebut 3,4 Skala Richter (SR). Dalam sebuah laporan di Jurnal Lingkungan dan Bencana Geologi, peneliti Badan Geologi menyimpulkan, penyebab gempa bumi diperkirakan berkaitan dengan aktivitas Sesar Lembang. Hal ini mendukung pendapat para peneliti yang meyakini bahwa Sesar Lembang merupakan sesar aktif. Hal itu dibuktikan dengan adanya laporan gempa bumi besar hingga magnitudo 6.8 di masa lalu.

176

Mitigasi Bencana (PPMB) – menginisiasi program pengurangan risiko bencana berbasis komunitas. Merujuk kepada Peraturan BNPB No. 1 Tahun 2012, program tersebut dinamakan Desa/Kelurahan Tangguh Bencana. Untuk mendukung program pemerintah tersebut, LPPM ITB yang digawangi Dr. Irwan (ketua), Dr. techn. Dudy Darmawan Widjaya, S.T., M.Sc., Dr. Irwan Gumilar, S.T., M.Si. (anggota), Dzakiyyah Khaerani, S.T., dan Febryana Kuscahyadi, S.T., M.T. (asisten peneliti) melakukan pengabdian masyarakat sebagai upaya pengembangan desa tangguh bencana di sekitar wilayah Sesar Lembang pada tahun aprilNovember 2019. Menggandeng Komunitas Bandung Mitigasi Hub (BMH) dan BPBD Kabupaten Bandung Barat (KBB), LPPM ITB memilih Desa Suntenjaya, Kecamatan Lembang, sebagai lokasi pengabdian masyarakatnya.

Kesimpulan tersebut diperkuat laporan penelitian yang dilakukan pakar gempa bumi dari ITB, Dr. Irwan Meilano, S.T., M.Sc. pada 2012. Dosen dari kelompok keahlian geodesi ini menyebutkan Sesar Lembang terus bergerak aktif dengan kecepatan rata-rata 6 mm/tahun. Dalam survei yang dilakukan peneliti ITB setelah kejadian itu, didapatkan laporan dari BPBD soal kerusakan sekitar 100 rumah akibat gempa bumi tersebut.

“awalnya di sana kita mau bikin model desa wisata bencana yang dilengkapi dengan produk berupa jalur evakuasi. Waktu itu kita ingin mengajak masyarakat untuk memahami potensi dan risiko bencana Sesar Lembang sekaligus dengan harapan menaikkan tingkat perekonomian mereka. Sebab, di sana juga ada potensi wisata air dan Lembah Cikahuripan yang memiliki sejarah panjang,” ujar Dr. Irwan membuka pembicaraan mengenai program pengabdian masyarakat di Desa Suntenjaya tersebut.

Menyadari risiko bencana yang kemungkinan terjadi di masa depan, ITB yang sudah sejak 2003 memiliki Kelompok Penelitian dan Pengembangan Mitigasi Bencana (KPPMB) – kini menjadi Pusat Penelitian

Namun, begitu terjun langsung ke masyarakat, tim LPPM ITB mengidentifikasi persoalan lain yang lebih mendasar. Dr. Irwan mengungkapkan, persoalan sesungguhnya di masyarakat adalah literasi. Secara


Desa Wisata

177


umum, masyarakat tidak memiliki cukup informasi dan pengetahuan untuk memahami potensi dan risiko bencana yang ada di sekitar lingkungannya. “apalagi menggunakan istilah sulit. Contoh sederhananya untuk istilah risiko bencana, itu tidak ada dalam bahasa daerah mereka. yang ada dalam bahasa Sunda adalah ‘risiko dapur’. Jadi enggak ada istilah risiko yang berarti probabilitas mengalami kerugian,” tutur Dr. Irwan menceritakan fakta yang ditemukan di tengah masyarakat Desa Suntenjaya ketika tim LPPM ITB memulai pengabdian masyarakatnya. Dari hasil dialog di lapangan, Dr. Irwan menangkap, potensi dan risiko bencana Sesar Lembang bukan masalah prioritas masyarakat yang lebih takut tidak makan. Upaya membangun kesadaran masyarakat untuk memahami potensi dan risiko bencana melalui instrumen ekonomi, jalannya terlalu jauh dan butuh lompatan. “Bagi kami ini challenge. Karena framing yang berbeda, kita harus kemas bagaimana cara menyampaikan informasi, kemudian bisa memahami prioritas mereka,” kata Dr. Irwan. Persoalan literasi masyarakat berupaya ditingkatkan dengan berbagai cara, termasuk melibatkan peneliti dari Fakultas Seni Rupa dan Desain (FRSD), menggandeng sejumlah komunitas dan mendirikan lembaga-lembaga kemasyarakatan seperti Forum Kewaspadaan Dini Masyarakat (FKDM). Dalam upaya menuntaskan persoalan literasi, tim LPPM ITB juga berhasil mengangkat cerita kebudayaan lokal yang berkembang di masyarakat Kampung Batu Lonceng, Desa Suntenjaya, terkait bahaya gempa bumi Sesar Lembang. Tim membuat peta wilayah di Kabupaten Bandung Barat yang dilalui oleh garis Sesar Lembang dan peta wilayah Desa Suntenjaya yang terpapar bahaya gempa bumi. Diseminasi informasi terkait potensi bencana dilakukan melalui sosialisasi dan media sosial Komunitas Bandung Mitigasi Hub (BMH). Kegiatan lain yang berhasil dilakukan adalah sosialisasi pembangunan Desa Tangguh Bencana bersama Komunitas Bandung Mitigasi Hub dan BPBD KBB di Desa Suntenjaya. Kegiatan yang dilakukan berupa pemaparan potensi risiko bencana

178

Untuk istilah risiko bencana, itu tidak ada dalam bahasa daerah mereka. Yang ada dalam bahasa Sunda adalah ‘risiko dapur’.


PENGABDIAN MASYARAKAT DAHULU, BARU RISET DR. IRWAN MEILANO, S.T., M.SC.

SaaT ini, Dr. Irwan dikenal sebagai seorang pakar gempa bumi di Indonesia. Namun, pada masa perkuliahannya di Teknik Geodesi Institut Teknologi Bandung (ITB), Dr. Irwan lebih tertarik dengan bidang gunung api. Tidak mengherankan, ketika menyelesaikan tugas akhir untuk studi S-1 di ITB, Dr. Irwan mengambil tema “Memahami Gunung api dari Pengamatan Data”. Ketertarikan Dr. Irwan terhadap gunung api berlanjut hingga ia menyelesaikan gelar masternya di Universitas Nagoya Jepang pada 2003. “Pada tahun 2004, ada gempa bumi aceh. Waktu itu, saya survei ke sana. Setelah itu, saya mulai ganti ‘judul’ menjadi gempa bumi. Saya mulai mendalami dan belajar gempa bumi sampai sekarang,” kata Dekan Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian ITB ini. Ketertarikan kepada bidang keilmuan inilah yang menyeret Dr. Irwan banyak

Irwan menemukan berbagai dinamika dan problematika kehidupan yang sama sekali tidak ditemukan ruang perkuliahan dan laboratorium. “Dari situlah saya merasakan pentingnya memahami hal yang lebih mendasar. Selain bidang sains murni, tetapi juga sains masyarakat. Ini yang menggugah kesadaran saya terkait kebencanaan, khususnya di Indonesia. Selama ini kita sangat fasih memahami text book sosial, tetapi gagal paham dengan text book masyarakat,” tutur Dr. Irwan. Menurut Dr. Irwan, dinamika dan problematika di tengah masyarakat itu tidak pernah ada ujungnya. “Dengan banyak terlibat di program pengabdian masyarakat yang berkelanjutan. Hal ini harus dilakukan agar bidang sains dan kepakaran kita bermanfaat buat masyarakat,” kata Dr. Irwan.

masyarakat mereka pada 2003.

Dikatakan Dr. Irwan, asas kemanfaatan itu harus menjadi tanggung jawab utama dalam setiap program pengabdian masyarakat, termasuk dalam urusan kebencanaan. Sebab, katanya, hampir seluruh wilayah Indonesia, berada dalam zona rawan bencana alam, dari mulai gempa bumi, gunung api, banjir, tsunami hingga pergerakan tanah.

Dari banyak relasi dengan masyarakat, terutama di daerah-daerah yang pernah mengalami bencana alam,

Dalam pelaksanaannya, Dr. Irwan menyadari adanya dua sisi yang boleh jadi pada momen tertentu bakal saling

berhubungan dengan masyarakat dan berbagai program pengabdian masyarakat yang dilakukan LPPM ITB. apalagi setelah LPPM ITB memasukkan kebencanaan dalam

program-program

pengabdian

bertentangan yaitu teknologi tepat guna yang diimplementasikan dengan kebutuhan masyarakat yang mendesak. Karena itu, dalam setiap pengabdian masyarakat, kedua sisi tersebut diupayakan berjalan bersamaan. Dr. Irwan mencontohkan dalam program Citarum Harum. Ketika program rehabilitasi dan revitalisasi dilakukan, akses masyarakat terhadap Sungai Citarum tidak bisa ditutup. Sebab, sungai adalah sumber penghidupan mereka. Solusinya, kata Irwan, pada saat program penghijauan, normalisasi atau apa pun sedang dilakukan, kemanfaatannya di masa datang harus dijelaskan kepada masyarakat, termasuk dampak ekonominya. “Tapi, itu kan jangka panjang. Nah untuk kebutuhan mendesak masyarakat, kita libatkan pakar dari SITH-ITB untuk membantu penjernihan air yang kualitasnya sudah menurun, penggunaan air minimal untuk perikanan namun tetap mendapatkan manfaat maksimal dan ikannya tetap baik, berkualitas dan layak makan,” tegas Dr. Irwan. Diakui Dr. Irwan, kesenjangan yang sangat besar antara produk riset dan kebutuhan mendesak masyarakat itu selalu ditemukan di berbagai daerah tempat LPPM ITB melakukan program pengabdian masyarakat. “Di Lembang,

179


warga yang hidup di jalur Sesar Lembang tidak menganggap mitigasi bencana yang bakal terjadi di masa depan itu sebagai sebuah kebutuhan mendasar dan mendesak. Mereka lebih takut tidak bisa makan dalam beberapa hari ke depan,” tutur Dr. Irwan Pengalaman berharga lain yang dirasakan Dr. Irwan adalah ketika terjun langsung membantu masyarakat korban gempa Lombok (Nusa Tenggara Barat) dan Palu (Sulawesi Tengah). “Ketika berada di daerah bencana, tidak ada pola yang wajar. Kita harus berpikir keras mencari solusi membangun model hunian sementara tanpa harus memobilisasi bahan dari Pulau Jawa. Itu menarik dan menjadi pengalaman yang berharga. apalagi, setelah kita berhasil melakukannya,” kata Dr. Irwan. Dari berbagai pengalaman itu, Irwan berpandangan, pengabdian masyarakat yang dilakukan LPPM ITB harus menjadi model pendidikan di ITB. ITB perlu mengembangkan pola bahwa pengabdian masyarakat itu dilakukan sebelum melakukan riset, bukan sebaliknya. Nantinya bidang keilmuan yang dikembangkan berangkat dari problematika nyata di tengah masyarakat. “Jadi, kalau kita (ITB) ingin menjadi world class university, saya pikir itu tidak susah. Kita hanya perlu terjun ke masyarakat karena problemnya world class. Permasalahan Citarum Harum itu kelas dunia. Kalau kita mau dengerin cerita mereka dan mencari solusinya, itu world class. Begitu juga dengan masalah kebencanaan. Bangunan di Sesar Palu Koro itu tidak banyak ditemukan persoalan seperti itu, baik dari segi tata ruang maupun sumber gempa,” beber Dr. Irwan.***

180

Desa Wisata

di Desa Suntenjaya, edukasi konsep rumah tahan gempa bumi, focus group discussion (FGD) dalam penggalian sejarah kebencanaan di desa dan pembuatan peta partisipatif jalur evakuasi bencana, serta pelatihan tanggap darurat bencana. Dari sisi pemberdayaan, tim LPPM ITB mendirikan lembaga-lembaga kemasyarakatan yang berada di bawah binaan BUMDes untuk pengelolaan usaha desa wisata. “Kita membangun sebuah lembaga masyarakat yang mengelola wisata jalan-jalan. walking tour di Sesar Lembang. Kita juga ajak komunitas dalam walking tour ini. Harapannya, mereka bisa mengubah persepsi mengenai bencana,” kata Dr. Irwan. Meskipun sejumlah kegiatan dan permodelan sudah berhasil dibuat, Dr. Irwan mengakui, tugas LPPM ITB di Desa Suntenjaya belum selesai. Ia mengungkapkan, masih ada mimpi yang belum terealisasi. “Tapi poin pentingnya, kami ingin mengubah sudut pandang di banyak tempat mengenai daerah yang berisiko bencana. ada semacam vonis mati jika di daerah seperti itu pembangunannya akan sulit. Padahal menurut kami, ada solusi alternatif dan banyak potensi yang


“ Kita ingin mengembangkan desa wisata di Lembah Cikahuripan ini sekaligus menjadi sarana edukasi kebencanaan bagi warga dan pengunjung.” Masyarakat (FKDM), Ikatan Kelompok Tani Mandiri (IKTM), dan karang taruna desa setempat serta Siswa Teknik Pencinta alam (Stepa). “Selain pemimpin formal secara kelembagaan, kita juga mencari orang sebagai shadow leader yang disegani, dipercaya dan bisa menyatukan organisasi-organisasi kemasyarakatan pengelola desa wisata itu,” tambah Bayu. bisa dikembangkan asalkan mau bekerja dengan komunitas,” ujar Dr. Irwan. ari Maryani dan Bayu Hardianto, dua peneliti dari Pusat Penelitian Mitigasi Bencana (PPMB-ITB) yang juga pegiat Komunitas Bandung Mitigasi Hub (BMH) membenarkan masih banyaknya harapan mereka, terutama menyangkut pengembangan desa wisata yang tangguh bencana di Desa Suntenjaya. “Untuk pengembangan selanjutnya, kami pikir komunitas lebih fleksibel. Nah, untuk selanjutnya, kita ingin mengembangkan desa wisata di Lembah Cikahuripan ini sekaligus menjadi sarana edukasi kebencanaan bagi warga dan pengunjung,” kata ari. ari menambahkan, berdasarkan keinginan warga setempat, desa wisata tersebut dikelola oleh masyarakat sendiri, bukan investor. Selain Lembah Cikahuripan, Desa Suntenjaya memiliki potensi wisata lain yaitu berupa mata air keramat dan benteng peninggalan tentara Belanda. Untuk menyisipkan edukasi kebencanaan di desa wisata tersebut, komunitas-komunitas yang sudah mendapatkan pembekalan dilibatkan di kelembagaan pengelola. Contohnya Forum Kewaspadaan Dini

Bayu menjelaskan, dalam pengembangan desa wisata yang tangguh bencana dilibatkan juga mahasiswa-mahasiswa Fakultas Seni Rupa dan Desain (FRSD-ITB) untuk mendukung konsep art theraphy sebagai sarana edukasi kebencanaan. Dikatakannya, mahasiswa-mahasiswa FRSD itulah yang mendesain patung, arca atau ornamen lain, tentu saja dengan mengadopsi budaya dan kearifan lokal seperti legenda Sangkuriang, Bujangga Manik, dan Oray Tapa, di sejumlah titik pada trek walking tour di Lembah Cikahuripan. “Patung atau ornamen-ornamen itu dirancang sedemikian rupa untuk mengingatkan warga akan Sesar Lembang dan potensi bencana yang bisa ditimbulkannya di kemudian hari. Konsep ini belum terealisasi. Sejauh ini, kita baru membuat buku cerita rakyat yang dikaitkan dengan edukasi kebencanaan,” tegas Bayu. ari dan Bayu berharap, konsep-konsep pengembangan desa wisata bisa dilanjutkan. “Kita dari komunitas juga berharap, kegiatan pengabdian masyarakat dari LPPM ITB bisa kembali berkolaborasi mengembangkan desa wisata yang tangguh bencana sekaligus melanjutkan edukasi kebencanaan di jalur Sesar Lembang,” kata Bayu. *** 181


LAMPIRAN JUDUL PROGRAM

& TAHUN KEGIATAN

2013 2014 2015 2016 2017 2018 Rintisan Sentra Lebah Madu

Renovasi Embung Keruk

Pengadaan air Bersih Jatinangor

Pembinaan Restorasi Hutan

Pengembangan Produk Identitas Masyarakat Blora

Pelatihan Jamur Tiram

Peningkatan Usaha Jamur dan Nata de Coco Pembinaan Modified Casava

Pelatihan Pembuatan yoghurt Pelatihan Budi Daya Jamur Pelatihan Mocaf Pemasangan Panel Surya

Bottom Up Top Down Kemitraan Desa Binaan

182

Pemberdayaan dan Peningkatan Ekonomi Lokal Masyarakat Pasca Renovasi Embung Keruk

Pelatihan Pupuk Cair Pelatihan Jamur Tiram Pelatihan Jamur Merang

Potensi Pertanian Randublatung

Pengembangan Kelompok Upat Upat Bumi

Pengembangan Usaha Warga Berbasis Jamur

Pengembangan Usaha Budi Daya Jamur Tiram Jepara Pengembangan Budidaya Jamur Tiram di Sekitar Danau Maninjau Kewirausahaan Berbasis agroindustri Danau Maninjau

Pelatihan Pembuatan Pupuk Ternak

Pengolahan air Limbah Citarum

Kajian Suplai air

Pembangunan Desa Wisata Cisoka

Pengembangan Pariwisata Nunukan

Pengembangan Produk Pelepah Pinang

Instalasi Biogas

Produk Kreatif Bagi Penyandang Disabilitas

Pemasangan Panel Surya Survei Waduk Curah Kotok

Peningkatan Kapasitas PKBM Upat Upat Bumi

Peningkatan Kapasitas PKBM Upat Upat Bumi

Kewirausahaan Berbasis agroindustri Danau Maninjau Monitoring Sumber Daya alam Jepara


CAKUPAN

DESA BINAAN ITB lingkar 5

Zona Perbatasan atau Daerah Tertinggal, Terdepan, dan Terluar (3T)

2019 Bantuan Mesin Kecamatan Selaawi Diskusi Pendidikan Terbuka dengan Pakar-pakar dari ITB FGB Kabupaten Nunukan

lingkar 4

2020

Zona Luar Pulau Jawa

lingkar 3

Zona Pulau Jawa (di luar Jawa Barat)

lingkar 2

Masker Lapis Tiga, Standar Lab Etnografi

Zona Provinsi Jawa Barat

Pembuatan Masker PKBM Upatupat Bumi

lingkar 1

Lingkungan Kampus ITB, Bandung dan sekitarnya

Peningkatan Kapasitas Produksi Perajin Barongan

Wisata Edukasi Omah Susu Budi Daya Jamur Merang

lingkar 1

lingkar 2

lingkar 3

Obor Nusantara Upat Upat Bumi

Desa Ngamprah

Desa Tarik Kolot

Kec. Todanan

FGD dengan Bappeda Blora

Desa Mekarwangi

Desa Cinangsi

Kab. Blora

Cimenyan

Desa Selaawi

Kec. Randublatung

Desa Cikeruh

Desa Cinanjung

Kab. Blora

Dago

Desa Jatiroke

Kec. Jepon

Desa Cisempur

Desa Somosari

Desa Karamat Wangi

Kec. Batealit

Desa Sukabakti

Kab. Jepara

Desa Margacinta

Desa Ngadikerso

Desa Citengah

Kab. Wonosobo

lingkar 4

lingkar 5

Maninjau Kec. Sei Menggaris, Sumatera Barat Kab. Nunukan

183


BEBERAPA AKTIVITAS

PENGABDIAN MASYARAKAT LPPM ITB

DI BERBAGAI DAERAH INDONESIA

Identifikasi Persil Pedesaan Menggunakan Metode Obia (Object Based Image Analysis) Guna Mendukung Perencanaan Pembangunan Desa Berkelanjutan Pembangunan Basis Data Spasial Pedesaan Guna Mendukung Perencanaan Pembangunan Desa Berkelanjutan (Studi Kasus: Desa Sayang, Jatinangor) Pemasangan dan Pelatihan Pencatatan Data Peilschaal Sebagai Penunjang Sistem Peringatan Dini Banjir Berbasis Masyarakat Di Bandung Selatan Pemanfaatan Teknologi Automatic Water Level Recorder (awlr) Untuk Peringatan Dini Banjir di Wilayah Bandung Selatan Pemetaan Partisipatif Ruang Budaya Masyarakat Hukum Adat Kasepuhan Ciptagelar Popularisasi Matematika dan Bermatematika Via Blog Pembuatan dan Publikasi Almanak Astronomi Indonesia Pendidikan dan Pemanfaatan Pembangkit Listrik Tenaga Surya dan Pengelolaan Air Hujan untuk Masyarakat Kecamatan Amfoang Tengah NTT Alat Pendeteksi Tingkat Kema Tangan Buah Mangga untuk Daerah Perkebunan Mangga di Indramayu Survival Kit Cerdas Untuk Daerah Bencana Prototype Alat Pengendali Konsumsi Energi Pendingin Ruangan (AC) Menggunakan Teknologi Internet of Things (IoT) Revitalisasi Pembelajaran Analisis Kimia untuk Tingkat Pendidikan Menengah Atas Pengembangan Modul Praktikum Kimia Organik Bertema Green Chemistry untuk Guru Kimia dan Siswa Sekolah Menengah di Jawa Barat Terapi Kognitif-Perilaku Melalui Seni untuk Anak-Anak Penderita Kanker di Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung, Rumah Cinta Bandung, dan Yayasan Kasih Anak Kanker Bandung Penerapan Prinsip Teknokultur Dalam Perawatan Jembatan Kp. Cipadung, Desa Daroyon, Kec. Cileles, Kab. Pandeglang Banten Perancangan Karya Animasi Eksperimental dengan Adaptasi Bahasa Visual Wayang Workshop Pemandu Bakat (Talent Scouting) Menggambar Pemanfatan dan Eksplorasi Limbah Plastik dengan Teknik Crochet Menjadi Produk Tekstil. Studi Kasus: Kampung Cibunut, Bandung Pemanfaatan Serat Batang Padi Dalam Proses Pembakaran untuk Alternatif Desain di Sentra Keramik Plered Pengembangan Desain Instrumen Musik dengan Metode Laminasi Lateral Material Rotan Perkembangan Wacana dan Praktek Seni Patung Indonesia Modern dan Kontemporer Pameran Karya Seni Rupa Allegory of the Origin di Sangkring Artspace Yogyakarta, Sebagai Implementasi Interaksi Karya Seni Rupa dan Publik Melalui Tema Identitas. Seni Grafis Bandung: Perjalanan Artistik dari Masa ke Masa (1946–kini) Evaluasi Keusangan Sistem Persinyalan, Kontrol dan Otomasi Terpasang di Indonesia Pembuatan Pupuk NPK Granular dengan Filer Terbarukan Peningkatan Kualitas Komponen Sol Sepatu pada Industri Penghasil Produk Karet dengan Penerapan Metode Continuous Improvement Perancangan Sistem Pelayanan Berkelanjutan di Kebun Binatang Bandung Bandung Foil: Perangkat Lunak Aerodinamika, dari ITB untuk Masyarakat Motor Bakar Kecil Hemat Energi dengan Bahan Bakar Etanol Kajian Pengelolaan Sampah Kabupaten/Kota di Provinsi Bali Sebagai Dasar Perumusan Usulan Rekomendasi Peningkatan Pengelolaan Sampah dalam Rangka Mewujudkan Bali Green & Clean Pengolahan Air Skala Rumah Tangga untuk Penyisihan Ion Fe Dan Mn Terlarut Air Tanah dengan Menggunakan Batu Alam Hijau Sukabumi (Mineral Modernite) Sebagai Media Ion Excharge dan Adsorber Strategic Thingking To Change Behavior And Improve Sanitation in Jadipan and Kesatrian, Malang, East Java, Indonesia Identifikasi Kebutuhan Fasilitas Pejalan Kaki Bagi Penyandang Disabilitas dalam Kerangka Edukasi dan Kajian Kebijakan Aplikasi Mutsunami, Hydrodynamia Andsdiment Transport Model Using Non- Orthqona I Otrvelin Iear Spherical Coordinate Tahn Ique Di Mentawai Inventarisasi dan Asesmen Tepadu Sungai dan Muara di Indonesia Studi Kasus: Sungai Serayu, Provinsi Jawa Tenqah Konsep Desain Sistem Pelindung Pantai Natural Das Citarum, Fakta dan Ide- Citarum River Basin, Facts And Ideas Analisis Mineralogi dan Lingkungan Geokimia pada Tambang Tungsten Skala Kecil di Pulau Belitung Mitigasi Bencana Longsor di Sekitar Cikahuripan, Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat Identifikasi Potensi Wisata dan Pengembangan Permukiman di Kawasan Waduk Cirata Aplikasi Konsep Rumah Susun Sewa untuk Keluarga Muda Perkotaan Perumahan Vertikal Pada Konteks Urban di Indonesia : Prinsip Perencanaan, Perancangan, Konstruksi dan Penghunian Permukiman Pekerja Industri di Zona Industri Dinamika Industri Kreatif dan Dampaknya Terhadap Keberlanjutan Kawasan Perumahan Bersejarah di Bandung Utara Pengaruh Modifikasi Pola Hidup dalam Penatalaksanaan Beberapa Penyakit Degeneratif di Wilayah Nagrog Ujung Berung Edukasi Penggunaan Obat Yang Rasional Untuk Ibu Hamil dan Menyusui di Wilayah Kiaracondong Bandung Jawa Barat Peningkatan Quality of Life Penderita Tuberkulosis Paru Melalui Edukasi dan Pemberian Vitamin D Tatalaksana dan Edukasi Pasien Ketergantungan Obat di Klinik Medika Antapani Bandung Pendekatan Mengajar Teknik Passing dalam Permainan Sepakbola Usia 12 Karakteristik Fisiologis Atlet Bulutangkis Ganda Campuran Pada Saat Pertandingan Pengembangan Platform Co-Creation Digital dalam Pengembangan Pariwisata Jawa Barat Biokonversi Kotoran dan Sisa Pakan Ternak (Domba) oleh Black Soldier Fly (BSF) untuk Menghasilkan Larva bSF Dan Kompos Premium (Residu Dan Lindi) Pelatihan Teknologi Kultivasi Mikroalga Air Laut untuk Produksi Akuakultur (Larvikultur)

184

Aplikasi Teknologi Tepat Guna untuk Pengolahan Limbah Cair Batik Citizen Scientist Dan Post-Harvest Management Peningkatan Kapasitas Kelompok Tani (Kel Maju Mekar) dalam Pengelolaan Hutan Rakyat di Desa Nagarawangi Kecamatan Rancakalong Kabupaten Sumedang Pengembangan Bioindustri Berbasis Pangan Lokal Pengadaan Bibit-Bibit: Ubi Cilembu, Ubi Ungu dan Pisang, yang Bebas Penyakit Bagi Kelompok Tani Sugih Mandiri di Desa Cigendel Kecamatan Pamulihan Kabupaten Sumedang Pelatihan Teknik Silvikultur dan Pengolahan Kayu Jenis Surian (Toona Sinensis Roem) pada Petani Hutan Rakyat Sistem Jaringan Deteksi Gempa Implementasi Tacking GPS Pada PD Kebersihan Kota Bandung Pelatihan/Penyuluhan Penggunaan Teknologi Informasi dan Media Sosial Bagi Kelompok Masyarakat Pembuatan Tungku Glasir Frit dan Penerapannya pada Perajin Gerabah Di Plered Spiritualitas dalam Seni Rupa Kontemporer Indonesia dalam Perspektif Seni Rupa Kontemporer Asia Tenggara Workshop Apresiasi Seni Rupa untuk Publik (Penikmat Seni) Eksplorasi Material Industri Lokal sebagai Dasar Pengembangan Karya Seni di Ruang Publik di Kota Bandung Pengaruh Reklamasi Terhadap Proses Hidrodinamika di Teluk Benoa Pemodelan Numerik Perubahan Garis Pantai Akibat Penambangan Pasir Edukasi Asupan Gizi Seimbang dan Pemberian Nutrisi Tambahan pada Anak-Anak di Bawah Usia Lima Tahun (Balita) Dalam Upaya Pencegahan Stunting di Kelurahan Sadang Serang, Kota Bandung, Jawa Barat Pengembangan Kebun Pembibitan untuk Tanaman Pangan dan Penghijauan di Haurngombong Sumedang Kajian Model Pengelolaan Pencemaran Air Point Source Sub-Das Citarum Hulu Aplikasi Biofertilizer (Mikoriza) untuk Peningkatan Kualitas Pertumbuhan Tanaman Kopi Penerapan Astronomi dalam Budaya: Batik Astronomi Pengembangan Biofilter dengan Sistem Imobilisasi Mikroba untuk Mengolah Limbah Rumah Tangga Sebelum Mengalir Ke Sungai Citarum Sustainable Adsorption Process For Water Treatment Using Modernite Filter (Study Case: Citarum Raw Water) Karakterisasi Air Limbah dari Industri Bahan Kimia Tekstil Pengembangan Teknologi Remediasi Sedimen yang Mengandung Pencemar Logam Berat: Studi Kasus Sungai Citarum Penguatan Kapasitas Sumber Daya Manusia Pusat Mata Nasional Rumah Sakit Mata Cicendo Melalui Workshop Perencanaan Dan Penganggaran Biaya Dengan Pendekatan System Dynamic Pengembangan Model Penilaian Sustainable Supply Chain Management (Sccm) Industri Batik Evaluasi Akustik Dan Sound System Masjid-Masjid Di Area Sekitar Institut Teknologi Bandung Pengolahan Karakteristik Unggul Material Bambu Indonesia Untuk Pengembangan Desain Produk Bambu Kontemporer Pengembangan Sistem Terpadu Manajemen Pemantauan Kestabilan Tambang Bawah Tanah di Indonesia Sosialisasi Peran Pertambangan Sebagai Penggerak Perekonomian dalam Pembangunan Daerah Melestarikan Umbi Langka Sumedang - Jawa Barat Melalui Pembuatan Koleksi Sumber Benih untuk Menunjang Pengembangan Pangan Alternatif Aplikasi Terknologi Hidrothermal untuk Pengolahan Sampah Kota Menjadi Multiproduk Bahan Bakar Padat dan Bahan Bakar Cair Alat Ukut Pemantauan Penurunan Kualitas Susu Murni KPBS Perancangan Site Plan Desa Wisata Berwawasan Ekologis di Desa Margacinta, Kecamatan Cijulang, Kabupaten Pangandaran Pengembangan Program Pemodelan Metode Time Domain Electromagnetic (TDEM) Untuk Monitoring Injeksi CO2 Ke Bawah Permukaan Bumi Promosi Matematika dan Sains Serta Keprofesian Kepada Anak-Anak Pelatihan Sistem Dinamik Pengembangan Agropolitan dan Rusunawa (SDPAR) Sebagai Komponen Integral Ketahanan Pangan Workshop Pembelajaran Biokimia untuk Peningkatan Kualitas Pengajaran Bagi Para Guru SMA di Wilayah Jawa Barat Geodesi Untuk Pembangunan Indonesia Berkelanjutan (Seri B) Model Permukaan Tanah Dijital Untuk Analisis Genangan Air di Kampus ITB Ganesa Pemantauan Sampah Laut dan Pesisir yang Melibatkan Partisipasi Masyarakat Menggunakan Aplikasi Telepon Pintar Konsep Penerapan Sig 4D Menuju Penyelesaian Konflik Pendaftaran Tanah Studi Identifikasi Sumber Pencemaran Merkuri di Sungai Cibaliung dan Sekitarnya di Desa Sukaluyu, Pangalengan, Bandung Gerhana Matahari Cincin Sebagai Kesempatan Penggalian Budaya dan Kearifan Nusantara Berbasis Astronomi Workshop Isolasi, Pemurnian, dan Karakterisasi Biopigmen dari Mikroalga Laut Tropis Indonesia Penulisan Buku Ajar Berjudul Pengantar Optika Modern dan Fotonik Produksi Seri Video ”Sketsa Kalkulus” Aktivasi Repositori CIVAS (Center For Indonesia Visual Art Studies) Sebagai Portal Digital dan Pusat Analisis Data Mazhab Bandung di Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB Pemanfaatan Pewarna Alam dan Pengembangan Motif Kain Tenun Khas Daerah Ponto Ara, NTT, Sebagai Upaya Optimalisasi Produk Lokal Elemen Visual Mitologi Cirebon dalam Perancangan Produk Kriya Gerabah Interior di Desa Wisata Sitiwinangun Revitalisasi Sentra Kerajinan Keramik Hias Plered Kabupaten Purwakarta Melaui Regenerasi Perajin Pemula Desain Sistem Toilet pada Masa Tanggap Darurat Bencana Desain Bangunan Tradisisional Kasepuhan Ciptagelar Dusun Sukamulya, Desan Sirnaresmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi sebagai Modal Pengembangan Wisata Daerah Pengembangan Desain Home-Decor Rotan Raut dari Limbah Rotan Core Bagi Perajin Muda Rotan Tegalwangi, Cirebon Art And Science-Within Border; Pameran Kolaborasi Prodi Seni Rupa FSRD ITB dan ITB Perancangan Film Animasi Karmawibhangga Borobudur: Transformasi Narasi Visual Statis Menuju Narasi Visual Dinamis Konversi Sampah Daun Di Kampus Ganesha Menjadi Bahan Bakar Gas Melalui Gasifikasi


Studi Kesiapan PNS Pemerintah Provinsi Jawa Barat Dalam Mengadopsi E-Government Pengembangan Aplikasi Pendukung Perumusan Strategi Pemasaran Dan Pengelolaan Data Pelanggan Bagi UMKM Aplikasi Asesmen Pertumbuhan Organisasi Untuk UMKM Perancangan Alat Bantu Produksi Tahu Untuk UKM Dengan Pendekatan Perancangan Sistematik Sosialisasi Rancangan Akustik ‘International Recital Hall’ Musik Dan Tari Tradisional Banyuwangi Pendampingan Pengembangan Program EBTKE Di Madrasah Aliyah Asih Putera, Kota Cimahi, Jawa Barat Pemurnian Biogas Menjadi Biometana DeNgan Absorpsi CO2 Menggunakan Air Bertekanan Pengembangan Food Teaching Industry Berbasis Singkong Untuk Meningkatkan Nilai Tambah Bahan Baku Lokal Sebagai Sarana Pemberdayaan Masyarakat Pembuatan Green Diesel Dari Sabun Logam Melalui Lipolisis Minyak Nabati Pembuatan Protein Terproteksi Dari Kacang Kedelai dan Produk Turunan Untuk Pakan Ternak Ruminasia Evaluasi Produk Menggunakan Text Mining pada Media Sosial Swarming UAV untuk Misi Pemetaan dan Pemantauan Secara Kolaboratif pada Wahana Fixed-Wing Pembuatan Panggangan Sate dengan Mode Radiasi Inframerah Pengembangan Menuju Bahan Bakar Padat Ramah Lingkungan: Prototipe Mesin Briket untuk Merealisasikan Metode Pembriketan Tanpa Perekat Dari Luar (Binderless Briquetting Method) Pengembangan Model Pengelolaan Pembangunan Kembali Sektor Perumahan Pasca-Gempa NTB 2018. Risiko Bencana Gempa Bumi untuk Kota Jakarta Penyusunan Buku Bunga Rampai Sistem dan Manajemen Jalan Tol Propagasi Akustik Bawah Air di Perairan Indonesia Sumberdaya Energi Gelombang Laut dan Pemanfaatannya di Kawasan Perairaan Indonesia Model Fisik Sistem Pelindung Pantai Natural untuk Kondisi Lingkungan Pantai di Indonesia Optimasi Produksi Pada Sumur Gas Dilihat dari Sisi Keekonomian dan Keteknikan Pengembangan Sistem Terpadu Manajemen Pemantauan Penurunan Muka Tanah Akibat Penambangan Batubara Bawah Tanah Model Pengambangan Badan Usaha Milik Desa di Palabuhanratu, Sukabumi Konstruksi Rumah Bambu Plester untuk Hunian Tetap (Huntap) Pasca Bencana Pengembangan Inovasi Konstruksi Blok Kayu Modular untuk Bangunan Bertingkat Identifikasi Penggunaan Sistem Prefabrikasi dalam Rangka Penghematan Sumberdaya pada Pembangunan Apartemen Murah dan Menengah di Indonesia Studi Modul Struktur Bangunan Tahan Banjir pada Permukiman Padat Perkotaan Policy For Housing And Dwelling Quality: Collaborative Endeavor with Badan Penelitian dan Pengembangan Kebijakan Dan Penerapan Teknologi, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Dinamika Kelompok dalam Pengembangan Komunitas: Kasus Penataan Permukiman Padat di Kampung Manteos, Bandung. Sampah Harianku: Eksplorasi Strategi Perubahan Perilaku Terhadap Sampah untuk Anak Usia Dini Melalui Pembelajaran Jurnal Harian Pelatihan Pengolahan Ikan Nila Berdasarkan Pendekatan Circular Economy di Kabupaten Subang Penggunaan Metode Eksperimental dalam Upaya Peningkatan Literasi Keuangan Umkm di Kota Bandung Pengaruh Pegangan (Grip) Terhadap Ketepatan pada Teknik Jump Smash Bulutangkis Edukasi Gaya Hidup Sehat Terkait Olahraga, Nutrisi, Waktu Istirahat dan Penanganan Stress Terhadap Mahasiswa di Asrama dan Unit Kegiatan Mahasiswa ITB Pengembangan Teknologi Budidaya dan Pengolahan Umbi Eksotis Sebagai Pangan Alternatif Alih Teknologi Budidaya Ikan Nila Menggunakan Sistem Akuakultur Tertutup untuk Daerah Urban Teknologi Pasca Panen Pengawetan Filet Ikan Nila Menggunakan Bahan Alami Tradisional Pelatihan Peningkatan Kesadaran Lingkungan : Praktek Pembuatan Awetan Tumbuhan dan Hewan Sebagai Sumber Data Keanekaragam Hayati di Indonesia Pengolahan Limbah Cair Industri Batik Berbasis Sumberdaya Lokal Pemanfaatan Lahan Pekarangan Sebagai Potensi Dalam Pengembangan Desa Wisata Berbasis Pertanian dan Masyarakat Alih Teknologi Tepat Guna Berbasis Tumbuhan untuk Peningkatan Potensi Wisata Alam di Pangjugjugan, Cilembu, Sumedang Pengembangan Program Fragile Watermarking untuk Otentikasi Karya Video Digital Sistem Kendali Lampu Tenaga Surya Hemat Energi Pengembangan Prototipe Cloud Storage (SDS) Untuk Edukasi Dan Pembelajaran Bantuan Teknis Dan Rekomendasi untuk Pemanfaat Jaringan Wifi untuk Konektivitas Antar Dinas dan Akses Internet di Kota Payakumbuh Sumatera Barat Pemetaaan Dampak Penurunan Muka Tanah di Wilayah Gedebage Kota Bandung Pemanfaatan Data PWV-GPS untuk Mendukung Aktivitas Pertanian dan Peternakan di Kampung Pasir Angling, Desa Suntenjaya, Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat. Eksplorasi Promosi Destinasi Wisata Bahari Informatif Berbasis Spasial untuk Mendukung Pariwisata Nasional Pemanfaatan Satelit Himawari untuk Pemantauan Kejadian Cuaca Ekstrem di Daerah Bandung Selatan Kajian Proof Of Concept Impact-Based Forecast untuk Kebencanaan Banjir di Indonesia Capacity Building Model Cuaca untuk Petani Aren di Kawasan Hutan Desa Guna Pengentasan Kemiskinan (Studi Kasus : Desa Cilangari dan Sekitarnya, Kecamatan Gununghalu, Kabupaten Bandung Barat) Perancangan Mobile Edugame Matematika yang Diterapkan Bagi Siswa-Siswa di Kampung Areng Network For Astronomy School Education Bagi Guru IPA Bandung dan Sekitar Menghidupkan Kembali Fasilitas Pemantauan Matahari Real-Time di Gedung Surya Observatorium Bosscha Edukasi Fisika Berbasis Internet of Things (IoT) untuk Indonesia Bebas Kebakaran Hutan Cahaya Dalam Seni dan Desain Penulisan Buku: “Perancangan Alat-Alat Sederhana Peringatan Bencana Alam yang dapat Dibuat Sendiri oleh Masyarakat”

Pengembangan Media Pembelajaran Mengenai Reaksi Kimia Berbasis Teknologi Informasi Pemisahan Bahan Alam Seni Sebagai Terapi dalam Kelompok Sebagai Upaya Meningkatkan Kecerdasan Empati Bagi Mahasiswa Di ITB Telaah Seni dan Budaya Visual Indonesia Abad 21 Model Translasi Budaya Sebagai Strategi dalam Revitalisasi Objek Cagar Budaya Peningkatan SDM Unggul Berbasis Teknologi Digital dan Kreativitas Industri Desain Kominikasi Visual Menghadapi Era Revolusi 4.0 Pengembangan Batik Pewarna Alam Khas Desa Loji, Majalengka Pendekatan Prediksi Tren dalam Perancangan Produk Berbasis Tradisi Pengembangan Desain Berbasis Budaya Tradisi Lokal Sebagai Penguatan Identitas Produk Kerajinan Keramik Plered Pengembangan Produk Kreatif Melalui Optimalisasi Material Berbasis Limbah Genteng di Jatiwangi Kabupaten Majalengka Studi Identifikasi Relasional Tampilan Desain Kemasan Produk Konsumer dan Keputusan Membeli Oleh Konsumen Menggunakan Data Eye-Tracking Dan Self-Report Questionnaire Berbasis Analisis Semantika Produk. Pengembangan Sistem Digital Database untuk Mendukung Pembelajaran Etnografi Desain Pengembangan Material Vernakular Sebagai Elemen Lingkungan Binaan Berbasis Aktivasi Masyarakat (Studi Kasus : Terakota- Kab. Majalengka) Studi Awal Pengembangan Teknik Konservasi Karya Seni Rupa Dan Budaya di Indonesia - Analisis Perubahan Struktur dan Karakteristik Pigmen Cat Minyak Mempergunakan Metode Microanalisis Sem Dan Xrd - Studi Kasus pada Restorasi Lukisan Panel Flora dan Fauna di Indonesia Karya Pelukis Lee Man Fong Koleksi Grand Hotel Indonesia "Seni Sampah Seni ", Daur Ulang Limbah Menjadi Karya Seni Pengembangan Disain Teknologi Tepat Guna Pengolahan Pangan Dengan Pendekatan Ergonomi Otomasi Sederhana Pendukung Tata Laksana Pencegahan Covid-19 Perancangan Sistem Informasi Pendaftaran Fasilitasi Pembinaan IKM Berbasis Website pada Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Jawa Barat Pengolahan Air Limbah Industri Batik Skala Kecil Menggunakan Sistem Modul Upaya Peningkatan Mutu Arang Limbah Kayu Menjadi Arang Aktif Pengembangan Sistem Pendukung Keputusan dengan Perangkat Lunak untuk Meningkatkan Kinerja Umkm Pemanfaatan E-Commerce Berbasis Sosial Media untuk Meningkatkan Daya Saing Pariwisata Usulan Metode Perencanaan Kapasitas Produksi untuk Industri Make To Order Pengukuran Tingkat Kesiapan Manufaktur untuk Penerapan Teknologi Perekatan dan Material Komposit pada Perusahaan Manufaktur Pesawat di Indonesia Analisis Kualitas Pelayanan Jasa Tranportasi Umum Mass Rapid Transportation Jakarta Sosialisasi Tentang Perancangan Akustik Gamelan & Tari Bali Concert Hall ke Pemerintah Provinsi Bali Penerapan Food Teaching Industry Berbasis Singkong Untuk Meningkatkan Nilai Tambah Bahan Baku Lokal Sebagai Sarana Pemberdayaan Masyarakat Pembuatan Senyawa Pengemulsi Pangan Berbahan Dasar Minyak Sawit Pengembangan Teknologi Produksi Protein dan Minyak Kelapa Rakyat Berkualitas Tinggi untuk Bahan Pangan dan Kosmetik Perancangan dan Pembuatan Cold Storage Untuk Produk Pertainian Kajian Pemanfaatan Limbah Pertanian Jagung Sebagai Sumber Bahan Bakar Skala Komunal Maket Instalasi Pengolah Air Limbah Dari Kegiatan Kriya Pengembangan Indikator Kinerja Transportasi Perkotaan Studi Mikro Terkait Rekayasa dan Penataan Fasilitas dalam Menunjang Aktifitas Naik Turun Pengguna Angkutan Umum dan Ojek Online dalam Kerangka Edukasi dan Kajian Kebijakan Pada Suatu Pusat Kegiatan, Studi Kasus Kawasan Kampus ITB Buku Pembiayaan Transportasi Perkotaan Penentuan Umur Layan Beton Berdasarkan Perhitungan Laju Difusi Klorida Terhadap Beton dengan Campuran Fly Ash yang Diretakkan Desain Pipa Bawah Laut di Indonesia Efektivitas Pemanfaatan Pemecah Gelombang Terapung (Floating Breakwater) Pembuatan Peta Bahaya Tsunami, Studi Kasus Palu 2018 Pengembangan Sistem Pengelolaan Data Kualitas Air dalam Upaya Perbaikan Kualitas Kesehatan Lingkungan Peningkatan Efisiensi Proses Pemurnian Gas Melalui Potensi Pemanfaatan Kondisi Superkritikal pada Lapangan Gas dengan CO2 Tinggi Pemetaan Lubang Bekas Tambang di Provinsi Kalimantan Selatan dengan Metode Penginderaan Jarak Jauh Implikasi Pengembangan "Port City" Terhadap Pola Pengembangan Kota di Kota Cirebon, Jawa Barat Perencanaan Spasial Laut Berorientasi Masyarakat Pengurangan Risiko Bencana Tsunami dalam Pengembangan Kawasan Wisata Digitalisasi dan Kewirausahaan Perdesaan Strategi Evakuasi Kebakaran Pada Kampung Kota. Studi Kasus: Kampung Taman Sari, Bandung Bamboo Space Frame Pembangunan Online and Offline Platform Bisnis Analitik UMKM Platform Co-creation Digital dalam Manajemen Industri Digital Kreatif: Cimahi Creative Digital Forum, Cimahi Teknopark Pemberian Edukasi Terkait Kewaspadaan Terhadap IMS Pada Masyarakat Kab. Tabanan Provinsi Bali Mengembangkan Kemandirian Ekonomi Warga Dusun Pakusorok Edukasi Program Olahraga Tradisional Dalam Upaya Meningkatkan Aktivitas Fisik dan Budaya Bangsa pada Anak-anak di Karang Taruna Sosialisasi dan Implementasi Program Latihan Usia Dini Cabang Olahraga Bulutangkis di Majalengka Dan Lain-lain

185


UCAPAN TERIMA KASIH lINGKAR 5: SEI MENGGARIS - Abdul Hafid, Kepala Desa Sri Nanti - Amat, M.Pd., Kepala Bidang SMK Dinas Pendidikan Kabupaten Nunukan - Andi Mirnawati, Guru SMKN1 Sei Menggaris - Andi Muamar Qadafi, Guru SMKN1 Sei Menggaris - Arif Budiman, Camat Sei Menggaris - Budi Hartono, PT Medco Energi Mining Indonesia - Dany Wokal, SPaM Sei Menggaris - Irfandy, alumni angkatan pertama SMKN 1 Sei Menggaris - Junianto, Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa Kabupaten Nunukan - Kuing Surang, Ketua adat Suku Dayak Kenyah - Muhammad Syukri, Sei Menggaris - Rici Sugianto, PT Duta Tambang Rekayasa - Robby Nahak Serang, asisten Kepala Daerah Bidang Ekonomi dan Pembangunan Kabupaten Nunukan - Rusmini Hakim, Kepala Sekolah SMKN 1 Sei Menggaris - Syaiful, Guru di SMKN 1 Sei Menggaris - Tonny P. Sastramihardja, Presiden Direktur PT Medco Energi Mining International - PT Duta Tambang Rekayasa - Pelajar SMKN 1 Sei Menggaris

lINGKAR 4: MANINJAu - Surya Chandra, Wakil Kepala Sekolah SMaN 1 Tanjung Raya - SMaN 1 Tanjung Raya

lINGKAR 3: BloRA, CEPu, DAN JEPARA -

Abdul Khakim, Peternak dan Pemilik Usaha Kambing Perah Abdul Kharis, Peternak dan Pemilik Usaha Kambing Perah Andrik, Pelaku Kesenian Barongan/Perajin Djoko Sutrisno, Ketua Badan Lingkungan Hidup (BLH) Provinsi Jawa Tengah

- Eko Suyanto, S.E., S.Pd., Ketua PKBM amal Bhakti Indonesia yang berperan membina warga dan petani Desa Kentong - Purwadi, Perajin - Singgih Hartono, Ketua LSM ampera, - Slamet Eko Mulyono, Pengurus Upat Upat Bumi - Sunaryoto, Pengurus Upat Upat Bumi - Sunu Wijarko, Qoirunna’im (aSC) - Supat, PKBM Upat Upat Bumi - Supri, petani peserta pelatihan jamur merang - Suryanto, Pimpinan Kwarcab - Sutaat, Tokoh masyarakat - Wiwid Purwanto, Perajin

186

lINGKAR 2: SElAAWI -

H. Saripudin, Tokoh masyarakat Selaawi Ildham, Ds. Bobos Selaawi Iwan, Kebon awi Nagrok Selaawi KEMASEl (Keluarga Mahasiswa Selaawi) Ridwan Effendi, Camat Selaawi utang Mamad, Perajin bambu asal Kampung Ciloa, Desa Mekarsari - yayasan Selaawi Raksa Mandiri

lINGKAR 1: BANDuNG RAYA DAN SuMEDANG -

H. Dedep Abdurrahman, Pandai Besai Desa Mekarmaju Komunitas Bandung Mitigasi Hub (BMH) Ili, S.Sos., Camat Rancakalong, Kabupaten Sumedang usep Bunyamin, Kepala Desa Mekarmaju, Kecamatan Pasirjambu, Kabupaten Bandung




Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.