254 |
Langgam Majapahit
Langgam Majapahit | 255
BAB 6
Langgam Arsitektur Majapahit di Bali Zaman Pasca Majapahit “Raja-raja di Bali perlu mengendalikan atau memanfaatkan unsur-unsur alam dan supranatural di dunia ini dengan berbagai cara yang mungkin bersifat simbolis, misalnya dengan cara memiliki puri yang besar yang berfungsi sebagai pusat kekuasaan, menyusun dan menjaga hukum atau aturan yang berasal dari dewadewa, dan melalui pelaksanaan ritual-ritual agung yang melibatkan banyak orang di wilayah tersebut. Hubungan pribadi semacam ini dan partisipasi yang melibatkan raja dan rakyatnya membentuk ikatan emosi dan keagamaan antara dua pihak yang membentuk wilayah tersebut.� — A. Vickers, dalam komunitas sejarah Puri Karangasem http://purikarangasem. com/puri/article_static/puri_karangasem_historical_society1
Dua halaman sebelumnya: Foto awal abad XX tentang Pura Desa Kehen di Kesiman, Denpasar yang dibangun pada abad XVIII. (Foto dari buku Kunst op Bali oleh P.A.J. Moojen, 1926); Inset: Gerbang masuk yang sama seperti gerbang Keraton Kasepuhan di Cirebon, Jawa Barat yang dibangun pada abad XV. Halaman sebelumnya: Sebuah altar yang indah dengan dekorasi gaya bebas yang unik tampak dari sebuah pura di dekat daerah Kapal, Mengwi. Tradisi lukisan Majapahit bertahan dalam bentuk arsitektur Bali dan wayang Jawa. Atas: Detil sebuah altar sebuah pura di daerah Pagan, Denpasar Timur. Garis putih sederhana di atas dinding bata dapat ditemui juga pada reruntuhan di Jawa dan pada makam-makam zaman Islam tetapi tidak dapat dipastikan penanggalannya mengacu ke zaman Majapahit.
256 |
Langgam Majapahit
Langgam Majapahit | 257
LANGGAM MAJAPAHIT
Atas: Pura Tirta Dawu, Gunung Kawi, Sebatu, sebuah patirtan berlanggam Majapahit. Below: Salah satu koleksi Donald Friend berupa sebuah tamiang (perisai perang) dari abad XIX, yang memiliki empat motif teja terlukis di bagian depan sebagai lambang perlindungan. Teja adalah salah satu motif yang sering digunakan di Majapahit dan masih sering juga digunakan pada bendera dalam upacara, kostum dan perisai di Bali hingga saat ini.
STYLE ARCHITECTURE
Tidak sedikit pengaruh arsitektur Jawa kuno dan Hindu-Jawa terhadap Bali selama berabad-abad sehingga agak sulit mengenali aspek Majapahit yang sebenarnya. Sebagaimana yang penulis singgung dalam pengantar buku ini, banyak hal yang terlihat jelas di Bali merupakan ‘pinjaman’ dari Singosari-Majapahit: agama SiwaBudha; padmasana; motif-motif ukiran (khususnya yang berasal dari zaman SiwaBhairawa); kain prada yang digunakan dalam upacara-upacara; ritual Siwaisme yang rumit dikaitkan dengan status kasta kesatria yang tinggi (misalnya dalam ritual Naga Banda); berbagai tari Baris; penggunaan air suci (tirta), dan lain-lain. Banyak dari langgam keraton Majapahit diteruskan ke Bali melalui puri-puri — terutama Puri Gelgel dan Puri Klungkung. Dalem Sri Kepakisan pastinya adalah bangsawan pertama dari wilayah pendudukan Majapahit (beliau sebenarnya adalah seorang brahmana) yang mendirikan sebuah puri di Bali, seperti yang dilakukannya di Samplangan abad XIV. Di akhir abad XVII, puri tersebut dipindahkan ke Klungkung melalui Gelgel. Penulis berpendapat bahwa Puri Gelgel, sebagai pendahulunya, dibangun pada zaman Majapahit akhir meniru Keraton Majapahit di Jawa. Dalam hal ukuran dan kebesaran, taman Kerta Gosa (abad XIX) milik Puri Klungkung dapat menjadi warisan hidup di Bali yang paling erat kaitannya dengan langgam Keraton Majapahit yang sejati dan agung. Taman tersebut adalah satu-satunya tempat yang tersisa dari perang puputan1 dengan Belanda yang dilanjutkan dengan penghancuran puri utama sesudahnya. Catatan sejarah menyatakan bahwa puri yang asli dibangun berbentuk persegi, kira-kira 150 meter di masing-masing sisinya, dengan gerbang utama di bagian utara. Puri dibagi ke dalam beberapa blok dengan fungsi ritual dan fungsi harian yang berbeda-beda. Komplek tersebut memperlihatkan simbolisme yang dalam berdasarkan pola struktur yang pasti.
1 Puputan adalah istilah dalam bahasa Bali yang mengacu pada ritual bunuh diri massal daripada mesti menanggung malu dengan cara menyerahkan diri. Puputan pernah terjadi tahun 1906 (di Badung) dan 1908 (di Klungkung) ketika orang-orang Bali dikalahkan oleh Belanda.
258 |
Langgam Majapahit
Pada abad XVI, ada sebagian wilayah Bali yang berada di bawah pengaruh kerajaan Buddha dan Hindu Jawa selama 500 tahun, yang dibuktikan dengan arsitektur pura yang masih bertahan sejak periode tersebut, misalnya Gunung Kawi, Goa Gajah, dan terutama Pura Luhur Uluwatu. Jika kita beranggapan bahwa arsitektur Bali asli pra-Majapahit pada umumnya simpel sebagaimana yang ditunjukkan oleh buktibukti yang ada, lalu bagaimana kita bisa mengenali berbagai ciri pengaruh luar, termasuk sentuhan Majapahit? Apakah mungkin untuk menarik sebuah langgam keluar dari semua jenis langgam yang masuk ke Bali dan menyebutnya Majapahit? Mungkin, jika kita menengok bab-bab sebelumnya sebagai ‘latar belakang’, kita bisa membuat uraian yang tajam tentang hal itu. Tetapi hal itu akan bersifat spekulatif. Orang-orang Bali asli, Bali Aga dan Bali Mula — sebagian besar bermukim di pegunungan — menolak pendudukan Majapahit dan cenderung bersikap antifeodal selama berabad-abad. Meski begitu, seiring berjalannya waktu, pada akhirnya mereka mengadopsi sentuhan-sentuhan langgam Majapahit (dinding bata merah dan ornamen atap yang indah) ke dalam arsitektur pura dan altar pemujaan mereka, termasuk dalam segi upacaranya. Berbagai bentuk adopsi dan penyerapan ini menyatu seiring waktu dengan langgam dan bentuk-bentuk dekoratif yang telah ada sebelumnya. Lalu apa yang bisa kita anggap sebagai Majapahit seutuhnya? Dalam membahas arsitektur pura, dengan aman dapat kita katakan bahwa banyak pura yang terkait dengan arsitek dan pendeta zaman Majapahit, seperti Pura Maospahit di Denpasar and Pura Dasar Buana di Gelgel, dapat dijadikan titik awal. Meskipun demikian, dalam hal desain kerap berbaur dengan model bangunan Jawa yang lebih awal — misalnya dari Singosari, Mataram, dan bahkan dari dinasti Sanjaya.
Atas: Foto tahun 1926 tentang sebuah pekarangan rumah seorang bangsawan dalam langgam Majapahit klasik (foto dari buku Kunst op Bali oleh P.A.J. Moojen, 1926). Kiri: Tipikal gerbang pura langgam Majapahit di Denpasar.
Langgam Majapahit | 259
LANGGAM MAJAPAHIT
Bawah: Bangunan taman sari dan pura taman populer di Bali pada abad XIX dan kemungkinan berasal dari Majapahit. Danau buatan dan pura yang terlihat disini berlokasi di Taman Mumbul, sebelah timur Sangeh, Mengwi.
LANGGAM ARSITEKTUR Bukti-bukti yang ada menunjukkan bahwa arsitektur bata merah di Bali yang masih berlangsung hingga sekarang, berasal dari Majapahit, menyebar ke wilayah-wilayah yang sebelumnya tidak pernah tersentuh budaya Majapahit. Pada abad peralihan Jawa ke Islam, sangat mungkin bahwa banyak arsitek pada saat itu merupakan keturunan dari generasi arsitek Hindu sebelumnya dan kemungkinan juga tetap tinggal di Jawa pada saat zaman Islam-Majapahit (dan seterusnya) untuk merancang makam dan keraton zaman Islam-Majapahit abad XVI. Yang lainnya — mereka yang ingin tetap Hindu — pindah ke Bali untuk melanjutkan langgam Hindu-Majapahit di sana. Sejumlah kediaman pendeta dan bangsawan dari zaman Majapahit telah berubah menjadi pura di Bali. Rumah sederhana abad XVI milik seorang keturunan Pangeran Arya Damar (leluhur dari semua keluarga Puri Denpasar dan Tabanan), misalnya, saat ini lokasinya berada di tengah sawah sebelah utara Tabanan dan telah menjadi sebuah pura bernama Pura Kebon Tinguh. Setiap enam bulan pura itu dikunjungi oleh ribuan umat (Bali: pemedek) yang berasal dari keturunan klan Pemecutan. Berdasarkan bukti foto sejarah — seperti terdapat dalam buku Bali Kunst oleh P.A.J. Moojen (1926) — hunian warga golongan non-triwangsa (Bali: jaba) dan perkampungan orang-orang Bali Aga dan Bali Mula, yang tingkatan sosialnya tidak begitu terikat oleh tata aturan zaman Majapahit, berupa hunian satu massa berpondasi tinggi dan beratap rendah yang mirip dengan hunian orang kebanyakan di Jawa pada abad XV, sesuai kesimpulan para arkeolog. Bahkan di kota besar
Kanan: Barisan patung dalam langgam Majapahit klasik pada altar sebuah pura tidak jauh dari Kapal, Mengwi.
seperti Singaraja dan Denpasar, hunian semacam itu masih bertahan hingga zaman kolonial akhir (1930-an), saat bungalo-bungalo mulai bermunculan. Banyak arkeolog Jawa menghabiskan puluhan tahun waktu penelitian mereka untuk merekontruksi seperti apa tampilan hunian zaman Majapahit di Trowulan, Jawa Timur pada abad XIV. Hasilnya keluar dalam bentuk hunian serupa dengan metén — balai bertiang delapan dengan taban (panggung kayu) di dalamnya dan kulit luar berupa bedég (anyaman bambu) atau lumpur kering — di wilayah pegunungan Bali (lih. foto h.111).
Majapahit Bali: Ragam Upacara dan Tata Pemerintahan Masyarakat Bali kini masih sangat terorganisir, dan sangat feodal, seperti tergambar dalam banyak babad (naskah sejarah) tentang Majapahit. Banyak tradisi dan upacara keraton Majapahit tumbuh di Bali, yang pada umumnya diperkenalkan melalui kediaman para bangsawan Bali. Penulis sungguh yakin bahwa tingginya arus kedatangan para bangsawan Majapahit di masa akhir zaman Hindu-Majapahit berujung pada peningkatan derajat suatu wilayah (gentrifikasi), terutama di daerah pesisir Bali, dan pembentukan organisasi sosial — penulis istilahkan sebagai statuta pura-puri — bersifat sukarela terkait dengan pemerintahan. Ritual dan peritiwa besar Hindu seperti Ngenteg Linggih (penyucian pura), siklus upacara Panca Wali Krama dan Eka Dasa Rudra (yang baru-baru ini dilangsungkan kembali), adalah bentuk-bentuk upacara zaman Majapahit yang kemungkinan masuk ke Bali bersamaan dengan serangkaian ritual keagamaan yang telah disempurnakan selama berabad-abad di Jawa masa Siwa-Budha2. Sebagian besar kaum brahmana Bali adalah keturunan seorang rsi Jawa zaman Majapahit-Bali (abad XVI), Danghyang Nirartha (Dwijendra), yang dianggap sebagai pencetus ajaran Siwa di Bali. Pada awal abad XVII, masyarakat Bali — di pedesaan yang sudah banyak dipengaruhi oleh ajaran-ajaran Empu Kuturan (pengaruh Sanjaya) di abad XI, dan bahkan masyarakat Bali yang berada dalam komunitas Hindu yang jauh, seperti di Nusa Penida dan Lombok Barat — sudah menerapkan aturan-aturan sosial Majapahit yang baru dan banyak keluarga akan memilih seorang pedanda (pendeta) atau pangeran sebagai panutan. Satu penanda atas pengaruh luar yang nyata adalah banyaknya penggunaan nama desa Majapahit-Jawa di Bali, seperti Kesiman, Kedaton dan Dukuh (nama-nama yang juga terdapat di beberapa daerah di Jawa Tengah dan Barat pada zaman Majapahit). Akan tetapi masyarakat Bali Aga dan Bali Mula penganut animisme kuno tetap melaksanakan sistem kepercayaan pra-Majapahit mereka. * * * Di Bali saat ini, umumnya para keturunan arya — perwira tinggi yang menyertai Mahapatih Gajah Mada ketika menduduki Bali pertengahan abad XIV — dominan 2
260 |
Langgam Majapahit
Wayan Surpha, bekas Sekjen Parisadha Hindu Dharma, 2013.
Langgam Majapahit | 261
LANGGAM MAJAPAHIT
LANGGAM ARSITEKTUR
Kanan: Balai meten berlanggam Majapahit di Trunyan, sebuah desa Bali Aga di sekitar Danau Batur (foto dari buku Kunst op Bali oleh P.A.J. Moojen, 1926).
Kidal (abad XIII) di dekat Malang, sebagai sebuah contoh klasik dari langgam ini. Langgam Majapahit diberlakukan di Bali selatan dimana desa-desanya, seperti Klungkung, Sukawati, Kerambitan, Denpasar, Sanur, dan Kesiman meneruskan peran penting ini, masih cukup jelas terlihat dari arsitektur pura dan purinya sampai hari ini. Bali selatan mengadopsi arsitektur bata sementara Bali utara tampaknya mengadopsi seni patung yang merupakan bagian pokok dari Majapahit Jawa — khususnya motif atap Vajrayana berbentuk api menyala dari Majapahit Bali utara. Bahkan Pulau Madura di Jawa Timur, yang dekat dengan pesisir Bali utara dan salah satu pertahanan terakhir Hindu-Majapahit, tampaknya memberi pengaruh juga terhadap langgam Bali utara.
Kanan bawah: Sebuah lukisan aliran Batuan dari tahun 1950-an menampilkan sebuah tipikal pura di Bali sesuai dengan tata bangunan Hindu-Majapahit (sumber foto dari Istana Mangkunegaran, Solo). Halaman berikutnya: Lukisan dari pertengahan abad XIX yang menampilkan seorang pejabat istana Jawa memakai rompi khas Majapahit yang hingga kini masih sering digunakan saat digelarnya odalan-odalan (upacara hari jadi) pura di Denpasar (lih. foto h.4). (Sumber foto: Rijksmuseum, Amsterdam).
Langgam Regional di Bali dan Pengaruh Majapahit
Membedakan Pengaruh Langgam Majapahit dalam Arsitektur Bali Penulis sudah membahas dalam Bab 5 bagaimana investigasi terhadap arsitektur Majapahit pada zaman Islam Jawa — arsitektur keraton dan makam raja abad XV dan XVI sepanjang pesisir utara Jawa — menunjukkan bahwa banyak pola dari langgam dekoratif zaman Majapahit akhir sudah mempengaruhi arsitektur Bali. Mengacu pada ukiran-ukiran kayu di Jawa — misalnya pada ‘peninggalan’ yang berasal dari zaman Hindu, misalnya pintu Keraton Majapahit yang ada di museum Masjid Agung Demak atau tiruan dari balai kayu kuno di Keraton Kasepuhan di Cirebon, dan ukiran-ukiran pada masjid dan makam di sepanjang pesisir utara — jelas sekali bahwa banyak dari peninggalan-peninggalan ini adalah ‘leluhur’ dari ukiran-ukiran yang masih dipakai di Bali hari ini. Elemen arsitektur dekoratif berbahan terakota dari zaman Majapahit, yang digali dari wilayah sekitar Trowulan juga memberikan bukti terhadap asal muasal arsitektur. Jika kita perhatikan candi berbahan batu dan bata merah dari zaman Hindu Majapahit serta gapura dan dinding pada makam dan keraton zaman IslamMajapahit, terdapat dua langgam utama: yang satu ramai dan ada unsur bunga (floral) atau gunungan (bebatuan dan berbukit-bukit), seperti Kuil Le Bayon di Angkor Wat, Kamboja, sementara yang satunya lebih ‘kalem’ dan kaku seperti arsitektur Hindu-Majapahit akhir di Trowulan. Langgam yang lebih mengalir memperlihatkan pengaruh arsitektur Siwa Bhairawa zaman Singosari (Majapahit awal), yakni Candi
262 |
Langgam Majapahit
TEMPAT-TEMPAT PEMUJAAN Tempat-tempat pemujaan di desa-desa pegunungan pasca-Majapahit Bali mungkin sama dengan tempat suci berundak Jawa pra-Hindu, yang dikenal dengan punden. Candi Ceto awal abad XVI, sebelah timur Solo, merupakan punden Jawa zaman Megalitik kuno yang dirubah menjadi tempat pemujaan Hindu-Majapahit. Sejumlah makam zaman Islam Majapahit, seperti Makam Sunan Giri dan Makam Sunan Sendang Duwur, kemungkinan juga sebuah punden sebelum menjadi komplek pemakaman. Pura Besakih di Bali, sangat mungkin adalah sebuah punden kuno. Pura Besakih direnovasi oleh Rsi Markandya di abad X, dan banyak arsitek-pendeta sesudahnya hingga zaman Majapahit, ketika pura itu dibangun kembali dengan langgam Majapahit dan Puri Klungkung dianggap sebagai pengemong (pemelihara). Di Jawa, tempat-tempat suci semacam itu masih ditemukan di desa pra-Hindu, seperti desa-desa Badui di Banten, Jawa Barat. Di desa-desa yang mengadopsi gaya hidup Majapahit dengan kuat, pura utama di desa (Pura Desa) biasanya berada di atas tanah yang datar dan dekat dengan puri dan area pasar.
(Courtesy of Kunst op Bali by P.A.J. Moojen, 1926).
menjadi golongan yang berkuasa. ‘Berkuasa’ dalam pengertian bahwa sebagian besar wilayah Bali masih feodal, dan puri-puri masih berperan sebagai pengemong berbagai pura dan upacara-upacara besar, khususnya di wilayah-wilayah yang pengaruh Arya-Majapahitnya kuat, seperti Tabanan, Karangasem, Denpasar, dan Sanur. Bahkan di wilayah-wilayah Bali lainnya — Klungkung, Gianyar, Sukawati, Peliatan, Mengwi, dan Ubud yang paling terkenal — dimana keturunan Arya DalemMajapahit sebelumnya (abad XIV) masih memegang kendali, langgam arsitektur zaman Majapahit akhir yang sama diadopsi oleh kaum bangsawannya. Tidaklah mengherankan, langgamnya tampak berbeda (lihat bagian-bagian berikutnya dalam bab ini). Pergantian langgam tampaknya melibatkan aspek geografis dan politis. Puri Klungkung misalnya, banyak terpengaruh langgam dari sejumlah pura di desa Bali Mula, Sembiran, Bali utara pada abad XX. Faktanya adalah bahwa Bahasa Bali halus — masih digunakan di ratusan puri di Bali kini — sangat berlandaskan pada Bahasa Jawa, adalah sisi lain dari migrasi budaya ini.
Bagi seorang sejarawan seni, tampak jelas bahwa Majapahit memberikan pengaruh yang besar terhadap arsitektur Bali. Yang sulit dilihat adalah apa yang datang, dari mana dan kapan. Dengan cara memilah-milah Bali ke dalam beberapa wilayah, yang masingmasing memperlihatkan langgamnya, beberapa di antaranya dengan sentuhan Majapahit yang bisa dilihat, sejumlah petunjuk mulai muncul. Dalam bagian-bagian berikutnya, penulis akan menyelidiki pengaruh Majapahit pada pakaian dan upacara (termasuk tari), akan tetapi kali ini akan difokuskan pada langgam-langgam arsitektur regional di Bali dengan latar belakang Majapahit.
Langgam Majapahit | 263
Langgam Bali Utara ‘Berlekuk-lekuk’ atau ‘bebas dan indah’, adalah cara yang baik untuk menggambarkan bagian puncak atap dan gerbang serta fantasi langgam Bali utara, yang merupakan Gotik-nya Bali. Mungkinkah langgam dekoratif ini adalah salah satu langgam Majapahit, sedangkan bukti terkait ini pada candi Jawa zaman Hindu-Majapahit tidak banyak, tetapi petunjuknya muncul dari seni dekoratif zaman Hindu-Majapahit yang masih bertahan dan detail arsitektur sejumlah makam zaman IslamMajapahit? Ada apa di balik keunikan langgam Bali utara? Apakah langgam yang penuh ragam hiasan ini hanyalah bentuk spontanitas dari segelintir undagi, senimanarsitek yang pada akhirnya memberi pengaruh pada gerakan yang meluas di sepanjang pesisir utara? Seberapa besar Bali utara dipengaruhi oleh langgam Cina yang eksentrik dan warna-warna liar yang identik dengan masyarakat Bali Aga dan Bali Mula kuno di pegunungan? Sejauh mana Bali utara mendapat pengaruh dari tradisi motif bunga-bunga berwujud manusia yang eksotis dari zaman Islam-Majapahit, sebagaimana yang ditemukan pada makam-makam sunan atau Wali Songo di sepanjang pesisir utara dan Madura? Apakah langgam Madura (Sumenep) memberi pengaruh pada pesisir utara Bali seperti halnya langgam dekoratif Khmer, Gujarat dan Champa (Vietnam) mempengaruhi pesisir utara Jawa?
Halaman sebelumnya: Dudukan kolom berupa sosok singa pada altar utama yang penuh ukiran di Pura Beji Sangsit, Bali bagian utara. Atas: Dekorasi langgam Majapahit klasik pada meten sakti (balai pendeta) di rumah Sri Pande, Banjar, Singaraja.
264 |
Langgam Majapahit
Langgam Majapahit | 265
LANGGAM MAJAPAHIT
LANGGAM BALI UTARA Semua pertanyaan ini merupakan tantangan bagi sejarawan arsitektur yang sedang menyelidiki arsitektur Bali utara. Petunjuk yang mengarah pada langgam penuh ragam hias ini tergambar pada arsitektur zaman Islam-Majapahit yang terdapat pada ukiran kayu cungkup di Makam Sunan Sendang Duwur dan Makam Sunan Giri, dan di makam Air Mata di Pulau Madura, Jawa Timur. Seni musik Bali utara yang penuh semangat sejalan dengan gerakan tarinya. Watak sejati orang Bali yang ‘suka pamer’ tertanam dalam segi arsitektur dan watak penduduknya. Demikian pula yang terlihat dalam kain tradisional Bali utara yang sangat semarak. Jika Buleleng (Bali utara) adalah pewaris sejati langgam Majapahit, setelah mendapat sentuhan Madura zaman Majapahit, kita bisa menyimpulkan bahwa Majapahit pastilah penuh warna dan juga ‘penuh hiasan yang meriah’. Tentu saja beberapa pura dari abad XVIII di Desa Bila dan Tejakula memperkuat teori ini (lihat foto-foto halaman selanjutnya). Pelinggih (altar) dan gapura-gapura di desa-desa dengan budaya pegunungan, seperti Julah dan Songan pastinya memberi kesan bahwa keaslian adalah kata kunci dalam desain Bali utara, jika dibandingkan dengan Bali selatan. Arsitektur pura dan puri yang tersisa dari ‘masa raja-raja’ menjelaskan bahwa
Atas: Foto awal abad XX tentang seorang bangsawan Singaraja dalam tipikal busana ‘longgar’ yang sempat populer kala itu; foto-foto pada panel zaman Majapahit memperlihatkan busana yang serupa. Kanan: Busana zaman Majapahit yang tampil dalam sebuah patung. Halaman berikutnya: (searah jarum jam dari atas) Altar yang berada di Pura Dangin Carik, Tejakula, terukir dengan indah dan dicat dalam aliran Kubutambahan. Pintunya berciri Majapahit klasik; balok penyangga di sebuah balai altar sebuah pura di Bila, Bali utara, memperlihatkan cita rasa khas pantai utara Jaw atau Madura; pekerjaan plaster motif bungabungaan yang halus dengan langgam di Klungkung-Majapahit pada sebuah pura di Sembiran, sebuah desa yang sangat kuno, sangat Bali Mula (nonMajapahit) di Bali utara; altar penuh warna Majapahit yang lebih modern di Bungkulan, Bali utara.
266 |
Langgam Majapahit
Langgam Majapahit | 267
LANGGAM MAJAPAHIT
LANGGAM BALI UTARA
‘PIRAMIDA BERUNDAK’ (TANPA ALTAR PEMUJAAN)
Candi Penataran, Blitar, Jawa Timur, abad XIV
Struktur piramida berundak di Candi Penataran, Blitar (dimulai abad XIII, selama zaman Kediri, ketika itu disebut Candi Palah) — sering disebut sebagai pura utama kerajaan — selalu menjadi misteri bagi para arkeolog. Bagi sejarawan yang mengambil spesialisasi arsitektur Bali Utara, strukturnya langsung tampak seperti bagian dasar struktur piramida berundak yang ditemukan di Bali utara bagian tengah. Pura Beji Sangsit adalah yang paling terkenal, Pura Subak (milik komunitas petani), yang terkenal sejak awal zaman kolonial Belanda.
PIRAMIDA BERUNDAK YANG SERUPA DENGAN ALTAR DI buleleng
Pura Meduwe Karang, Kubutambahan, Buleleng, abad XIX Kanan atas: Patung rangda yang ganas dalam posisi paramita (Buddha Tantra) yang populer sebagai patung yang ditempatkan di pura seluruh Bali (foto yang satu ini diambil dari Pura Bulian, Kubutambahan, Buleleng) sejak masa Singosari, ketika ajaran Siwa-Bhairawa diperkenalkan ke Bali (ajaran yang oleh banyak orang menyebar melalui Desa Brawa di pesisir selatan dekat daerah Canggu). Langgam ini menembus sisi arsitektural berbagai pura di Bali utara. Patung-patung serupa dapat ditemukan di Museum Majapahit, Trowulan, tetapi koleksi di sini lebih besar dan kekar. Dalam arsitektur Bali utara kita dapat menemukan perwujudan ajaran Siwa-Bhairawa yang dituangkan dalam seni patung dan arsitektur yang kaya warna dan ukiran.
268 |
Langgam Majapahit
pengaruh langgam dan arsitektur Majapahit yang cukup besar (termasuk upacara juga) masuk ke pura dan puri (jero) melalui perdagangan dan melalui sejumlah arya serta utusan (duta besar) dari raja-raja di Jawa selama berabad-abad yang menyebar di sepanjang kota-kota pesisir, seperti Tejakula, Kubutambahan, Bungkulan, Singaraja dan Seririt, khususnya. Penulis melihat hal tersebut terutama di berbagai pura yang memiliki ukiran yang diturunkan dari langgam Majapahit seperti Pura Dangin Carik Tejakula, Pura Desa Bila dan Pura Beji Sangsit (paduraksa yang kita lihat di beberapa pura di atas ini benar-benar merupakan bentuk Islam-Majapahit). Bentala (gapura) ganda di Puri Singaraja dari zaman kolonial dan bataran (pondasi) beraliran Buleleng-rococo di ‘puri’ Rsi Pande di Kecamatan Banjar, Singaraja, (lih. foto h.265) menunjukkan pengaruh langgam Majapahit, khususnya Cirebon-rococo (lihat Bab 5). Minat akan motif seni rupa dekoratif yang ramai sangat jelas terlihat pada
Pura Beji, Sangsit, Buleleng, abad XV
Pura Desa Bulian, Kubutambahan, Buleleng, abad XIX Langgam Majapahit | 269
LANGGAM MAJAPAHIT
LANGGAM BALI UTARA
patung-patung terakota atau unsur-unsur arsitektur dekoratif batu paras yang berasal dari zaman Majapahit, sudah diadopsi dan diserap ke dalam dekorasi arsitektur yang dipahat dengan unik dalam arsitektur Bali utara. Sejarawan arsitektur Soedarmadji Damais menyatakan bahwa balai zaman Majapahit memiliki lisplang atap yang rendah seperti balĂŠ (balai) zaman klasik di pura-pura Bali pegunungan, dan juga balĂŠ pada pura-pura di Bali utara, yakni di desa-desa Bali Mula, Julah dan Sembiran (mungkin jadi sebuah paradoks, karena desa-desa ini menolak pengaruh budaya Majapahit).
Kiri: (atas) Sebuah karya W.O.J. Nieuwenkamp tahun 1910 menggambarkan seorang penari gambuh. Panji gelung (penutup kepala) dan kain prada, keduanya berasala dari zaman Majapahit; (bawah) cloth are both Majapahit-era imports; (bottom) rombongan Wayang Wong Tejakula dari Bali utara yang menakjubkan memakai kostum tari zaman Majapahit. Kanan: Serangkaian foto kekayaan arsitektural Bali utara: kebanyakan merupakan ukiran hasil imajinasi dalam tradisi aliran Bila kuno (kemungkinan berawal dari Bila dan Kubutambahan di awal abad XIX, kemungkinan diturunkan dari langgam rococo-Cirebon-Majapahit yang sepertinya tidak pernah berhasil masuk ke Bali selatan atau mungkin merupakan sebuah kemajuan dari aliran Siwa-Bhairawa); (kanan atas) Sebuah contoh gerbang bata merah dalam langgam arsitektur Klungkung (turunan langgam Majapahit) milik seorang bangsawan di Singaraja.
270 |
Langgam Majapahit
Langgam Majapahit | 271
Langgam Bali Selatan S
ebagian besar wilayah Bali Selatan, tidak banyak memakai ornamen puncak atap aliran Vajrayana dengan karakternya ganasnya yang mendapat sambutan di Bali utara setelah abad XVI. Langgam Bali selatan (Badung) lebih maskulin dan besar, dan cenderung hemat dalam menampilkan detail dekoratif dan penggunaan warna, tetapi cukup terbuka dalam hal pekerjaan pasangan bata yang rumit. Arsitektur Bali selatan lebih terkenal dengan candi bentar bata merah yang monumental dan balé kulkulnya, dan mungkin sebuah bentuk persilangan dari langgam Majapahit yang lebih semarak dan langgam Bali yang lebih maskulin. Ini merupakan hasil penyerapan dan adopsi (dua kemampuan istimewa orang Bali) selama berabad-abad, sejalan dengan penyebaran pengaruh Majapahit melalui keluarga arya dan keturunan mereka, ke seluruh Bali. Para sejarawan arsitektur dapat saja berpendapat bahwa ada banyak juga ‘kantong-kantong’ arsitektur yang penuh ragam hias di Bali selatan — misalnya Mengwi, Kerambitan, bahkan Ketewel dan Kuta lama (memang ada beberapa altar pemujaan bata merah yang menjulang) — tetapi penulis berketetapan bahwa tempat-tempat ini hanya ‘kantong-kantong’ acak dengan kelebihan artistik. Secara umum arsitektur Bali selatan zaman pasca-Majapahit cenderung maskulin dalam ornamentasinya. Plesteran putih atau aksen cat, seni patung yang kuat, altar-altar pemujaan yang kokoh adalah langgam arsitektur yang menonjol sampai abad XXI (ketika para revisionis memutus keberlanjutan sejarah dengan memperkenalkan ‘arsitektur Brontosaurus-Transformer’, aliran arsitektur pura yang didominasi batu andesit hitam. * * *
Halaman sebelumnya: Sepasang patung besar mengapit anak tangga teratas pada sebuah altar penghormatan pada leluhur di Puri Satria, Denpasar. Patung seperti ini sebagian besar ditemukan di berbagai puri dan pura di Denpasar yang merupakan keturunan langsung Arya Kenceng, seorang kesatria Majapahit yang diyakini sebagai pendiri dinasti Pemecutan dan Tabanan. Atas: Gerbang Pura Puseh, Kesiman, Denpasar.
272 |
Langgam Majapahit
Langgam Majapahit | 273
LANGGAM MAJAPAHIT
LANGGAM BALI SELATAN
Langgam Bali selatan klasik — langgam arsitektur bata merah yang masif — mungkin adalah langgam Keraton Majapahit yang paling klasik yang dibawa ke Bali oleh para undagi selama berabad-abad kurun pengaruh Jawa. Sebelum tahun 1970, Denpasar benar-benar sebuah museum hidup bagi langgam Majapahit, khususnya arsitektur puri dan pura. Saat ini, arsitektur bata merah di daerah Denpasar-Kesiman lebih menonjol dibandingkan dengan tempat-tempat lainnya di Bali. Penulis berani mengatakan bahwa upacara-upacara yang digelar di puri-puri di Denpasar lebih kuat dan klasik, berkarakter Majapahit dalam dekorasi dan pakaian upacaranya, dibandingkan dengan daerahdaerah lainnya di Bali. Sering pula kata Jawi (Jawa) disebutkan dalam mantra-mantra pedanda (pendeta) di sejumlah pura milik puri di Bali selatan, seperti di Pura Panembahan (Tambang) Badung dan Pura Dalem Kepala di Kepaon. Di Bali selatan, terdapat tiga pura berbahan batu karang dan batu kapur yang berasal dari zaman Majapahit klasik: Pura Luhur Uluwatu dari abad XI dan Pura Dalem Sakenan abad XIII di Pulau Serangan (keduanya dibangun kembali oleh Dang Hyang Nirartha (Dwijendra) abad XVI, dan Pura Susunan Wadon dari abad XIV yang lokasinya berdekatan dengan Pura Dalem Sakenan. Itulah sebagian contoh pura dari zaman Majapahit yang tersisa dan masih difungsikan. Ketiga pura tersebut menunjukkan kesamaan dengan arsitektur zaman Islam-Majapahit abad XVI di
Atas: Foto tahun 1930-an dari seorang wanita desa di depan sebuah pura di Denpasar. Kiri: Gedong kembar yang terdapat di Pura Penataran, Kepaon yang dibangun pada abad XVII, sangat mirip dengan gedong bata merah dari zaman Majapahit dalam hal proporsi dan langgam (lih. foto h.145).
274 |
Langgam Majapahit
Langgam Majapahit | 275
LANGGAM MAJAPAHIT
LANGGAM BALI SELATAN
Jawa — kesamaan dalam hal skala dan langgam yang tampak dalam komplek makam zaman IslamMajapahit, seperti Sendang Duwur di Lamongan dan Makam Sunan Pandanarang, dekat Klaten di Jawa Tengah. Hal ini membuktikan bahwa percampuran budaya, antara Jawa utara dengan Bali selatan, tetap berlanjut hingga zaman Islam-Majapahit. Hanya di puri-puri utama di Denpasar, seperti Puri Pemecutan, Puri Satria, dan Puri Kesiman kita bisa menemukan arsitektur puri dari bata merah berlanggam Majapahit yang terpelihara dengan baik, terutama pamerajan (pura keluarga) dan halaman pintu masuknya dengan balé kulkul yang menjulang. Beberapa pura tertua di Denpasar seperti Pura Penataran, Pura Panembahan Badung (dibangun oleh Cokorda Pemecutan III di awal abad XVII), dan Merajan Agung Puri Kesiman adalah contoh-contoh yang istimewa. Langgam Bali selatan sering tampil masif dan maskulin, dengan pasangan bata rumit sebagai elemen yang paling menonjol. Bataran (pondasi) balé (balai) dan pelinggih (altar pemujaan) terkadang memiliki ukiran yang indah. Kotak pelinggih yang disebut prabu, sering diberi warna merah dan keemasan dengan ukiran langgam Majapahit yang indah (lih. h.283 kanan bawah,287,289). Patung dwarapala (penjaga) dalam langgam Singosari-Majapahit baik dari bahan tanah liat atau batu, menjaga sebagian besar pintu gerbang pura dan pintu-pintu altar pemujaan besar. Sejak zaman Majapahit, aksesori pokok berupa balé kulkul bata merah, telah mencapai kejayaannya di Bali selatan: bukti menunjukkan bahwa elemen tersebut merupakan impor zaman Majapahit. Contoh yang istimewa bisa ditemukan di Puri Kerobokan, di Banjar Abian Kapas (Denpasar), dan di Puri Tanjung Sari, Pemecutan (direkontruksi dan disucikan kembali dengan upacara Majapahit besar-besaran tahun 2013). Banyak dari pura di Denpasar masih memiliki pura taman yang indah terletak dekat dengan pura itu sendiri, atau di dalam areal pura tersebut seperti, Pura Dalem Kepala, Kepaon; Jero Agung Tegal; Pura Maospahit; Pura Panembahan Badung dan Merajan Agung Puri Kesiman (lih. foto h.312, 314). Tradisi Majapahit mengarak arca (perwujudan leluhur atau dewa) di Bali dengan sebuah pedati yang ditarik oleh kerbau — disebutkan dalam naskah Jawa kuno dan dibahas dalam pengantar buku ini — hanya ditemukan di Suwung Gede. Pura pasimpangan di sana dikelola oleh Puri Jero Lanang Tanjung yang sangat Majapahit, dan bagian dari Pemecutan. Penggunaan kostum tari zaman Majapahit pada ritual tari dan pemanggilan arwah — ditemukan di Kepaon, Kesiman, Sanur, Pemecutan, Kerobokan, Kuta, dan tempattempat lainnya — merupakan bukti kesinambungan tradisi Majapahit ke dalam zaman modern. Pada zaman Majapahit, kekuasaan raja-raja dipercaya sebagai restu dari Sang Pencipta: pemimpin puri adalah pemimpin masyarakat dan pelindung agama. Terkait dengan hal ini, Cokorda Pemecutan XI adalah raja yang ‘paling Majapahit’; beliau menghabiskan banyak waktu menghadiri odalan (peringatan hari jadi) di banyak pura dan juga berziarah ke berbagai pura kerajaan yang jauh, sebagaimana dilakukan oleh leluhurnya dahulu, Raja Hayam Wuruk. Kehadirannya dalam odalan di beberapa pura besar itu sangat dinanti-nantikan. Atas: Gambar yang dibuat oleh W.O.J. Nieuwenkamp mengenai gerbang Puri Denpasar lama (pintu kayu dari gerbang ini sekarang berada di Museum Volkenkunde). Kanan: Rangkaian foto-foto arsitektur Bali selatan yang cenderung maskulin dan ‘tampan’. Dua foto terdekat (diambil tahun 1979) adalah gedong (altar tertutup) dari pura di daerah Kuta. Keduanya adalah karya agung dalam langgam Majapahit-Bali selatan.
276 |
Langgam Majapahit
Langgam Majapahit | 277
LANGGAM MAJAPAHIT
LANGGAM BALI SELATAN
Wilayah Kedaulatan Keluarga Puri Pemecutan (Moncol) di Denpasar (2014, perkiraan)
30
28 27
Puri Agung Pemecutan
P8
26 32
daftar Moncol
1. Jero Lanang Kecehe, Celagi Gendong 2. Jero Lanang Yang Batu-Tampakgangsul 3. Jero Lanang Wayahan Grenceng 4. Jero Lanang Kepaon-Batanmoning Grenceng, Denpasar 5. Jero Lanang Tegal Wangi-Pemeregan 6. Jero Lanang Cepake Pemeregan 7. Jero Lanang Tanjung Sari (Batan Rerek) 8. Jero Lanang Kedaton-Jero Abasan 9. Jero Lanang Tanjung Pemecutan 10. Jero Lanang Wayahan Cerancam, Alangkajeng 11. Jero Perubungan Alangkajeng 12. Jero Lanang Dawan Kanginan 13. Jero Lanang Cepaka Tegal Agung 14. Jero Lanang Dawan Tegal Agung 15. Jero Lanang Dawan Kelodan Padang Sambian* 16. Jero Lanang Dawan Kanjanan Padang Sambian* 17. Jero Lanang Linggah-Kyai Anglurah Ketut Kalang Anyar 18. Jero Lanang Gulingan Sanur (Jero Singgi Sanur) 19. Jero Lanang Puseh Panjer 20. Jero Lanang Busung Yeh Pedungan, Denpasar 21. Jero Lanang Teges Pekandelan Abian Timbul, Denpasar 22. Jero Lanang Tanjung-Kepaon, Denpasar 23. Jero LanangCepaka Kelodan-Kepaon. Denpasar 24. Jero Lanang Wayahan Munang, Legian 25. Jero Lanang Wayahan Pesaji, Legian 26. Jero Lanang Ketut Kerobokan (Jero Kerobokan Kajanan) 27. Jero Lanang Wayahan Celuk (Jero Kerobokan kelodan)* 28. Jero Lanang Tegeh Lumintang 29. Jero Pemayun Kedaton Kesiman* 30. Jero Lanang Wayahan Lumintang (Jero Gede Peguyangan)* 31. Jero Lanang Wayahan Pesaji, Denpasar 32. Jero Lanang Taensiat* 33. Jero Abian Timbul Kanginan, Sanur* 34. Jero Abian Timbul Kawan, Sanur 35. Jero Abian Timbul Kajanan, Sanur 36. Jero Lanang Kecehe Reng Panjer 37. Jero Lanang Kedisan, Pemedilan 38. Jero Lanang Telabah 39. Jero Lanang Tegal Ayu, Jero Gelogor A. PuriAgung Satria Denpasar + Pura Taman B. Puri Agung Jero Kuta Denpasar + Pura Taman C. Puri Agung Pemecutan Denpasar + Pura Taman D. Puri Agung Kesiman + Pura Taman P1. Pura Susunan Wadon Sakenan P2. Pura Dalem Sakenan P3. Pura/ Dalem Penataran Kepaon P4. Pura Dalem Kepala Kepaon + Pura Taman P5. Pura/ Tambang Badung + Pura Taman P6. Pura/ Maospait + Pura Taman P7. Pura/ Dalem Satria, Denpasar P8. Pura/ Kedaton Kesiman P9. Pura/ Pengrebongan, Kesiman
31 38 17
16 15
P6
2
B
10
37 C
9
13 14 12
39
1
P9
3
4 6
P5
P7
A
29
D
5 7
8
11
36 20
18
19
33
34
35
21
P4
24 25
22 23
P3
P2
P1
* According to Jero Abian Timbul in Intaran-Sanur, a family with traces roots back to the Jero Subamia Tabanan, These seven Jero were the main councellors to the Raja Pemecutan. N.B. There over 1,000 other mini-palaces tracing their roots back to the Majapahit-era Prince Arya Damar. Puri Satria and Puri Kesiman Denpasar also have their vassals (moncol) but they have not been recorded here.
278 |
Langgam Majapahit
Langgam Majapahit | 279
Langgam Bali Timur B
ali Timur memiliki arsitektur yang paling unik dan beraneka ragam di Bali. Terbentang dari zaman Austronesia kuno hingga perpaduan Cina-Eropa. Hanya di wilayah Bali paling timur ini kita bisa menemukan langgam Majapahit yang dimasukkan dan dipadukan ke dalam arsitektur asli setempat. Wujudnya antara lain tembok bata merah di atas pondasi batu sungai, dan dalam hal Desa Tenganan, berupa tembok bata merah yang mengelilingi balĂŠ (balai) Bali Aga beratap ijuk. Sebuah teori yang cukup berani menyinggung tentang ikatan keluarga puri Karangasem dengan Jawa yang mengacu kepada Raja Kediri abad XII, Jayabaya, dan seorang saudaranya Jayasaba. Jayabaya tetap tinggal di Jawa, keturunannya akhirnya membentuk keluarga Mangkunegaran; Jayasaba datang ke Bali untuk membangun garis keturunan raja di Bali utara dan Karangasem. Karena itulah mengapa Mangkunegaran dan Puri Karangasem tetap dekat selama berabadabad, mengutip keterangan dari sebuah sumber yang dekat dengan penulis (seorang keluarga puri Karangasem), karena mereka sama-sama keturunan dari trah Kediri.
Halaman sebelumnya: Gerbang utama Puri Gede Karangasem yang telah diperbarui. Motif bajra ulanda (ujung atap berbentuk kobaran api) populer di Bali utara — (lih. foto h.271) terlihat di bagian samping gerbang beratap susun — dan juga sering muncul dalam arsitektur candi yang ditampilkan melalui wayang beber Jawa. Atas: Raja terakhir Karangasem menciptakan cetakan beton dengan motif Majapahit yang diimplementasikan dalam karya agungnya yaitu Puri Kanginan Tirta Gangga dan Taman Ujung.
280 |
Langgam Majapahit
Langgam Majapahit | 281
LANGGAM MAJAPAHIT
LANGGAM BALI TIMUR Dalam langgam KarangasemMajapahit, kita menemukan banyak hubungan dengan Bali utara; karena puri-puri Buleleng dan Karangasem keduanya berasal dari keturunan arya atau perwira Majapahit yang sama dan terhubung melalui perang dan pernikahan, sering kali selama berabad-abad. Aksen merah dan EAST BALI keemasan khas yang ditemukan di Bali dan dan pesisir utara Jawa juga ditemukan di puri-puri di Karangasem, sering kali dalam bentuk langgam wayang yang sama. Di pura-pura di pedesaan tua di dataran tinggi Karangasem, kita masih bisa menemukan patung Dewa Gede (patih Arya Kauh) dari Majapahit di EAST JAWA abad XVI. Klan Pande dari Bebandem masih melaksanakan upacara untuk memberkati arwah suci Dewa Gede (Arya Kauh) (lih. foto h.18) dan masih mengarak patung kayu suci dari bhetara (arwah suci) zaman Majapahit tersebut di sepanjang jalan. Penulis merasa bahwa hanya di desa-desa Bali Aga yang benar-benar tua, seperti Tenganan dan Asak kita menemukan pakaian dan kain yang sama dengan yang dipakai zaman Majapahit (pra-batik). Ornamen seram dalam aliran Bali utara, yang mungkin diwariskan dari zaman Majapahit, juga ditemukan pada banyak padmasana dan pura-pura di Bali timur (lihat foto kiri atas). Sayangnya banyak dari keunikan yang sesungguhnya dari arsitektur langgam Karangasem-Majapahit lenyap dalam dekade terakhir abad XX. Tetapi masih ada cukup petunjuk akan keunikan langgam tersebut, seperti halnya di Desa Manggis, Bugbug, dan Padang Kerta. Dekorasi neo-Majapahit pada pelinggihpelinggih bata merah dan perpaduan aneh kolonial-Majapahit merupakan aspek yang unik bagi Bali timur.
Kiri: Rangkaian foto-foto arsitektur Bali timur, aksen dekoratif dan jejak arsitektural di sekitarnya, termasuk beberapa desa Bali timur yang unik seperti Padang Kerta dan Tenganan yang memperlihatkan sentuhan arsitektur bata merah Majapahit di atas pondasi dari batu lahar. Banyak tren dekorasi Cina masuk ke Bali melalui Singaraja dan Karangasem dari Madura dan pesisir utara Jawa.
282 |
Langgam Majapahit
Langgam Majapahit | 283
Langgam Tabanan P
uri Kerambitan dan kota Tabanan adalah beberapa tempat yang luar biasa di Bali. Puri Kerambitan telah dipercantik dengan keramik dekoratif akhir abad XIX, sehingga susah untuk mengetahui kekuatan atas keindahannya, akan tetapi banyak dari puri-puri utama di Tabanan masih memperlihatkan langgam maskulinnya yang bahkan menyaingi puri-puri di Denpasar. Yang paling menyolok dari arsitektur puri, misalnya di Jero Subamia, yang berada di bagian tenggara puri utama, adalah tembok bata merah tebal dan candi bentar besar, yang menampilkan panel-panel besar berplester putih. Ukiran-ukiran pada pondasi pelinggih dan candi bentar kerap memiliki pola atau grafis dan bukan murni menyerupai bunga. Di bagian dalam puri-puri, khususnya di merajan (pura keluarga), ukiran yang rumit lengkap dengan aksen piring-piring keramik telah menggantikan kesederhanaan langgam Tabanan-Majapahit, tetapi proporsi dari pelinggihpelinggih ini tetap kekar dan maskulin.
Halaman sebelumnya: Detil ukiran pada gerbang abad XX menuju merajan (pura keluarga) milik Jero Subamia di Tabanan. Atas: Ukiran berbentuk medali pada dinding pura di dekat Puri Kerambitan yang menampilkan bentuk seorang pendeta Brahman yang diapit oleh dua orang wanita. Para wanita tersebut digambarkan memakai busana Majapahit klasik yang feminine — kain bawahan batik yang menjurai (kanan) dan satunya terangkat ke atas (kiri).
284 |
Langgam Majapahit
Langgam Majapahit | 285
LANGGAM MAJAPAHIT
LANGGAM TABANAN Candi Yeh Gangga dari abad XIII di Perean, daerah pegunungan di bagian utara, mungkin merupakan meru Majapahit yang paling maskulin di Bali. Lebih jauh ke utara, di bagian paling utara dari kabupaten tersebut ada Pura Batukaru yang memiliki sebuah pelinggih utama berupa gedong dalam tradisi zaman Majapahit akhir dari Blitar, namun tidak ada kaitan yang penting. Pura dari abad XI tersebut hancur awal abad XVII dan baru dibangun kembali sepenuhnya tahun 1959 oleh penduduk setempat, yang sangat anti feodal. Awalnya, Pura Luhur Batukaru diperuntukkan bagi para leluhur rajaraja Tabanan. Di samping itu, masih ada dua pura pedarman (leluhur) di tempat yang lebih tinggi dari pura tersebut yang diperuntukkan bagi arwah suci para leluhur, masing-masing untuk keluarga puri Tabanan and Badung (Denpasar). Kedua keluarga puri ini adalah keturunan langsung dari patih Majapahit abad XV, Arya Kenceng (Arya Damar) yang rumah pertamanya di Bali terletak di Kerambitan, Tabanan.
Kiri: (searah jarum jam dari kiri jauh) Candi Yeh Gangga dari abad XIII di Perean menunjukkan banyak kesamaan dengan candi-candi di Jawa Timur pada masa yang sama; Tabanan di tahun 1926 (foto dari buku Kunst op Bali oleh P.A.J. Moeyen, 1926), material bata merah menjadi keharusan bagi keluarga bangsawan keturunan Majapahit hingga tahun 1970an di Bali, perhatikan kurangnya penataan lansekap; tipikal gerbang rumah tinggal di Tabanan pertengahan abad XX dalam langgam arsitektur Tabanan yang dapat juga ditemui pada keluarga Pemecutan yang merupakan keturunan Majapahit di Denpasar; altar utama di Pura Batukaru yang dibangun pada zaman Majapahit dalam bentuk prasadha langgam Jawa Timur.
286 |
Langgam Majapahit
Langgam Majapahit | 287
Langgam Mengwi T
erletak di antara Kabupaten Tabanan dan Badung dengan langgam Majapahit yang maskulin didominasi bata merah, Mengwi terkenal dengan langgam dekoratifnya yang lebih halus, dan sering kali sangat rumit. Hal yang menonjol dari Pura-pura di Mengwi adalah penggunaan batu lahar yang diukir, dan kadang-kadang diberi warna yang sangat meriah. Keluarga puri Mengwi merupakan keturunan dari trah Dalem Klungkung: kita bisa melihat pengaruh yang kuat dari langgam Klungkung pada banyak dekorasi gapura dan puranya; tetapi bersamaan dengan ukiran yang sangat ramai dan sentuhan akhir cat yang tajam. Hal ini mengingatkan kita pada motif ‘aliran pesisir utara’ dan juga ukiran Jawa Timur (zaman Singosari dan Majapahit), seperti sosok seram bersayap, garuda dan singa yang banyak terlihat pada banyak dinding pura dan merajan di Mengwi. Desa Lukluk, Sempidi dan Kapal dulunya pernah terkenal dengan candi bentar dan pura di sepanjang pinggir jalan mereka. Namun sayangnya, sebagian besar sekarang sudah tidak ada. Taman Ayun, ‘pura leluhur’ keluarga Puri Mengwi, yang dibangun tahun 1634 (diperbesar tahun 1937) adalah jenis pura taman. Pura ini merupakan sebuah rancangan mahakarya taman Hindu-Bali. Pura Sada di Desa Kapal, dekat Mengwi, adalah sebuah pura pra-Majapahit kuno. Pura ini sudah sering diperbaiki sejak zaman Majapahit akhir, dan masih memiliki candi bentar berlanggam Jawa Timur (Majapahit) dan prasada (pagoda) berbahan batu. Yang lebih menarik lagi dari pura di atas adalah kaitan upacaranya dengan berbagai pura dan dewa-dewi zaman pra-Majapahit dan zaman Majapahit lainnya di Bali and Jawa, termasuk Ratu Made Sakti Blambangan (sosok ‘bhetara (arwah suci) zaman Majapahit’ yang dikaitkan dengan daerah terluar Hindu-Majapahit di Blambangan, Jawa Timur, abad XVI)). Yang juga menarik adalah apa yang disebut dengan pura pasimpangan untuk dewadewi atau bhetara-bhetari ‘berkunjung’ (Bali: simpang) dari pura-pura penting lainnya di
Halaman sebelumnya: Gerbang pura di Mengwi yang klasik, ornamental dan penuh lekak-lekuk. Patung pendeta di bagian atas adalah sebuah penanda langgam Majapahit yang banyak ditemukan di sepanjang Kerambitan, Tabanan dan Mengwi. Atas: Gedong di sebuah pura dekat daerah Kapal, Badung; sebuah contoh yang indah dari suatu yang saya kategorikan sebagai langgam Majapahit-Mengwi — sarat dengan aneka warna, beragam pola dan dipenuhi hiasan.
288 |
Langgam Majapahit
Langgam Majapahit | 289
LANGGAM MAJAPAHIT
Gresik, East Java
LANGGAM MENGWI
Mengwi, Bali
Bali yang dibangun selama zaman Majapahit, seperti Pura Sakenan. Bhetara di Bali utara, Ratu Ngurah Panji Sakti juga ada pelinggihnya, demikian pula halnya dengan bhetara- bhetari dari pura-pura zaman pra-Majapahit. Tradisi pelinggih pasimpangan yang lebih kecil ini — sering kali ditempatkan secara berjajar atau dengan pola mandala dalam beberapa pura besar — juga ditemukan di Candi Tikus dari abad XIV di Trowulan, yang menurut sejumlah ahli merupakan patirtan atau pura taman. Para pengemong pura yang penting (keluarga puri dan pedanda) bisa mengunjungi pelinggih-pelinggih pasimpangan ini jika tidak bisa ziarah (Bali: tangkil) ke pura-pura yang jauh letaknya. Tradisi ziarah secara rutin oleh para pengemong dari puri ke berbagai pura besar disebutkan dalam naskah zaman Majapahit. Pertanyaan besarnya adalah: apakah membangun pelinggih-pelinggih pasimpangan dalam kompleks pura-pura utama merupakan tradisi yang dibawa ke Bali dari zaman Majapahit atau sebelumnya? Tentu saja keberadaan sejumlah pasimpangan di Pura Panembahan Badung, yang merupakan pura leluhur puri Pemecutan dan ‘kediaman’ Dalem Majapahit, mendukung argumen bahwa pasimpangan merupakan bagian penting dari tata pemerintahan dan pemujaan zaman Majapahit. Puri Mengwi saat ini memiliki ikatan yang kuat dengan wilayah-wilayah yang berada di bawah pengaruhnya — Bongkasa, Kapal, Abiansemal, Sibang — yang berfungsi sebagai sebuah keluarga pada saat ada upacara pelebon (kremasi) atau wali agung di puri-puri tersebut. Semua keluarga puri ini merupakan keturunan Dalem Sri Nararya Kresna Kepakisan dari zaman Majapahit, yang dikirim raja Majapahit pada akhir abad XIV untuk menghentikan hura-hara setelah invasi Majapahit dan menerapkan tata cara bersifat puri-sentris di pura yang ada di Bali; tata cara yang sudah diturunkan selama berabad-abad dan dilaksanakan dengan ketat di Mengwi hingga kini. Tidak jauh dari Mengwi, sebelum perbatasan Tabanan ada sebuah desa bernama Abian Tuwung, lokasi dari Puri Abian Tuwung yang penuh dengan ragam hiasan. Pada tahun 1970-an, hanya puri ini yang memiliki balai meditasi khusus dengan atap bersusun yang berada di tengah-tengah danau buatan serupa dengan uraian dalam naskah-naskah zaman Majapahit. Kolam dan balainya sudah lama hilang, dan sekarang hanya tersisa foto-fotonya saja. Kanan: Rangkaian foto-foto ukiran yang terdapat pada berbagai pura dalam langga Majapahit-Mengwi.
290 |
Langgam Majapahit
Langgam Majapahit | 291
Langgam Klungkung K
etika ekspedisi Belanda yang dipimpin Cornelis de Houtman tiba di Gelgel tahun 1597, seniman kapal tersebut merekam sebuah pemandangan mengenai sang raja dalam sebuah iring-iringan dengan lembu yang sudah menjadi ikon sejarah perdagangan Belanda. Gambar ini sekaligus juga menjadi catatan bergambar tertua tentang kemegahan langgam Majapahit di Bali — dan mungkin petunjuk tentang gagasan Majapahit menyangkut ritual dan prosesi raja-dewa secara besar-besaran. Ada catatan dari abad XVI yang menyatakan bahwa pembangunan kembali Puri Agung Gelgel, sebelah selatan Klungkung, merupakan ‘tiruan’ sebagian dari Keraton Majapahit di Jawa Timur. Puri tersebut dibumihanguskan pada waktu perang puputan dengan Belanda tahun 1908. Hanya Kerta Gosa dan taman di dekatnya (dan balé kambang) yang selamat. Namun bisa dikatakan bahwa Puri Klungkung — yang berlanggam Majapahit dengan halaman-halaman luas yang saling terhubung, dinding yang kaya ornamen — banyak ditiru di seluruh Bali.
Halaman sebelumnya: Gerbang dari awal abad XX di sebuah desa dekat Manggis, memperlihatkan lekak-lekuk elemen ukiran atap mirip patra ulanda dan jendela intip yang sering ditemukan dalam langgam arsitektur Klungkung. Ukiran garuda di atas pintu masuk tampil dalam langgam yang terkait erat dengan Bali utara maupun Majapahit. Atas: Ukiran berupa figure wayang — dewa kera dan dewa-dewa lainnya — menghiasi struktur bata merah yang menjadi bagian dasar bangunan pura di dekat Gunaksa, sebelah timur Klungkung. Sikap berdiri (agem) figur-figur di atas mirip dengan wayang zaman Majapahit.
292 |
Langgam Majapahit
Langgam Majapahit | 293
LANGGAM MAJAPAHIT
LANGGAM KLUNGKUNG Puri dibangun dalam bentuk persegi, kira-kira 150 meter pada masing-masing sisi dengan gerbang utama di sisi utara. Puri dibagi ke dalam beberapa blok dengan beragam fungsi baik ritual dan harian. Komplek ini menampilkan sebuah simbolisme yang dalam menurut pola struktur yang pasti. Selama berabad-abad, terutama abad XVIII dan XIX, desa-desa Bali Aga yang sangat konservatif dekat Klungkung, seperti Tenganan dan Bugbug, masingmasing bercirikan langgam Majapahit juga, agar sesuai dengan tren yang menyebar di seluruh Bali. Kemungkinannya bahwa langgam arsitektur keraton dan pura zaman Majapahit yang dibawa dari Keraton Majapahit ke Gelgel pada abad XVI dikembangkan juga ke berbagai puri dan pura di seluruh Klungkung serta seluruh wilayah dalam pengaruh Dinasti Dalem lainnya seperti, Gianyar, Sukawati, Peliatan, Ubud, Saba, Blahbatuh dan kemudian naik ke desa-desa pegunungan di Bali, seperti Sembiran dan juga Pulau Nusa Penida, yang berada di bawah kekuasaan Klungkung. Di Nusa Penida terdapat contoh arsitektur pura Majapahit-Klungkung
Denah Puri Semarapura, Klungkung di Abad XIX
Atas: Sebuah liang dekorasi yang menawan dalam langgam Klungkung pada gerbang utama Pura Puseh Lembongan di Pulau Lembongan, sebuah kawasan yang termasuk wilayah pemertintahan Klungkung. Kanan: Foto gerbang istana Klungkung dari tahun 1920-an memperlihatkan bentuk medali bersusun yang populer dalam arsitektur Majapahit (foto dari buku Kunst op Bali oleh P.A.J. Moojen, 1926).
294 |
Langgam Majapahit
Courtesy of Kertha Gosa by I.G.A. Sutiari, 1980.
Halaman berikutnya: Denah lama Puri Klungkung (sebelum perang puputan Klungkung di tahun 1906) memperlihatkan gerbang puri dari arah utara (seperti pada Keraton Majapahit) dan Taman Kerta Gosa (taman sari) di arah timur laut. Saat ini, hanya gerbang utama dan taman sari saja yang masih bertahan; (kanan atas) Foto tahun 1920 dari Dewa Agung Jambe (raja Klungkung); (kanan tengah) gerbang utama Puri Klungkung, tahun 1928, yang selamat dari puputan (foto dari buku Kunst op Bali oleh P.A.J. Moojen, 1926); (kanan bawah) foto bale kulkul di Takmung, tahun 1920-an. Penempatan ukiran medali di bagian dasar dan dinding bangunan altar pemujaan adalah sesuatu yang juga ditemukan dalam arsitektur Jawa dan Bali.
Keterangan: 1. Bencingah 2. Bale Pengambuhan 3. Sumanggen 4. Petadakan 5. Rangki 6. Pemengkang 7. Taman Gili 8. Kertha Gosa 9. Merajan Agung 10. Jero Gunung 11. Pasaren Kangin 12. Puri Gunung 13. Raja Dani 14. Siangan
15. Geboraja 16. Suci 17. Merajan Dukmalaya 18. Halaman Merajan 19. Smarabawa 20. Ukiran 21. Taman 22. Taman 23. Satesorongga 24. Pasaren Gde 25. Pania Bawa 26. Bale Mas 27. Pewaregan 28. Kakus (Tebe) Langgam Majapahit | 295
LANGGAM MAJAPAHIT
LANGGAM KLUNGKUNG yang terbaik dari abad XVII dan masih bertahan hingga hari ini (mungkin hanya dalam beberapa bulan lagi, sepertinya). Langgam Majapahit-Klungkung melibatkan aplikasi plester atau paras pada gapura dan altar bata merah sederhana. Desainnya sering kali mencakup bentala (puncak atap) ‘lubang-kunci’ dan lubang dekoratif dengan patung yang tidak lazim (seni tradisional Majapahit sering tampil dalam ketidaklaziman). Di Nusa Penida dan Nusa Lembongan penulis menemukan gapura dan pelinggih dalam langgam Majapahit-Klungkung yang paling indah (lih. foto h.294 & 296).
Kiri: Rangkaian foto-foto arsitektur pura dalam langgam Klungkung baik di pulau utama (Bali) dan Pulau Nusa Lembongan, wilayah Klungkung sejak zaman Majapahit — gerbang utama Pura Segaran Lembongan yang luar biasa di Pulau Lembongan merupakan contoh klasik langgam arsitektur Klungkung; foto-foto dalam baris paling bawah menunjukkan dengan jelas langgam dekorasi arsitektural Klungkung (penggunaan batu paras yang diterapkan pada struktur bata merah).
296 |
Langgam Majapahit
Langgam Majapahit | 297
Langgam Gianyar M
ajapahit menduduki Bali tahun 1343, dan kunci kemenangan terakhir adalah menundukkan Dinasti Pejeng yang berpusat di Bedulu, sebelah timur Ubud. Setelah itu kebudayaan Bali berkembang dengan pesat, dan leluhur keluarga puri Ubud saat ini, dapat ditelusuri kembali dari periode ini. Ada banyak kerajaan pra-Majapahit di Kabupaten Gianyar, termasuk Kerajaan Pejeng-Bedulu di awal abad XIV yang diperintah oleh Dalem Bedaulu yang meninggalkan banyak sekali warisan pura dan candi. Dalem Bedaulu dikalahkan oleh Gajah Mada tahun 1343. Puri-puri besar di wilayah ini — Gianyar, Sukawati, Peliatan dan Ubud — semuanya merupakan keturunan dari Puri Dalem Sri Kepakisan di Samprangan dan merupakan puri-puri dengan langgam Majapahit paling klasik di Bali. Gianyar, merupakan kabupaten dengan kadar seni yang kental, terkenal dengan ragam hiasan yang kaya pada pura-puranya dan jiwa seni para pelukis dan pemahatnya. Gianyar juga merupakan tempat bagi sejumlah pura penting zaman Majapahit, termasuk sebuah pura yang diperuntukkan bagi seorang patih Bali zaman Majapahit, Kebo Iwa.
Halaman sebelumnya: Meru tumpang sebelas yang luar biasa di merajan agung Puri Pejeng (perhatikan bangunan prasadha Majapahit kecil di bagian kanan). Atas: Lukisan dari seniman Ubud di tahun 1970-an yang mengangkat sebuah odalan di pura.
298 |
Langgam Majapahit
Langgam Majapahit | 299
LANGGAM MAJAPAHIT
LANGGAM GIANYAR
Dari sudut pandang arsitektur, Gianyar berada di tengah-tengah zona langgam Klungkung-Mengwi, sebuah zona dengan berbagai pura yang kaya dekorasi. Bentuk-bentuk tari yang berasal dari zaman Singosari-Majapahit, seperti Gambuh, Prembon dan banyak versi Baris untuk upacara (Majapahit pada dasarnya memiliki 18 versi tari Baris) masih bisa kita lihat dengan baik di Gianyar hari ini. Upacara-upacara plebon (kremasi) di Ubud adalah pertunjukan besar di Bali: Puri Saren, dengan bangga masih memegang tradisi Majapahit, yang secara rutin menyelenggarakan upacara berlanggam Majapahit secara besar-besaran (lihat foto sebelah yang memperlihatkan upacara Naga Banda zaman Majapahit). Gianyar kaya dengan batu gunung lunak, yang disebut paras, material bangunan yang banyak dipakai di dataran tinggi Bali dan bisa diukir dengan mudah ke dalam pola-pola yang rumit warisan zaman Majapahit.
Halaman sebelumnya: (berlawanan arah jarum jam mulai dari kanan atas) Mahkota (pusaka suci yang melambangkan dewa untuk tari-tarian) di merajan Puri Kaleran Mandala, Peliatan (mahkota semacam ini tampak juga pada ukiran di Candi Penataran); tarian Ratu Dedari di Pura Payogan Agung Ketewel, menggunakan topeng-topeng CirebonMajapahit yang menurut cerita dibawa ke Ketewel langsung dari Jawa pada abad XVI; rompi zaman Majapahit dilukiskan pada patung kayu perwujudan roh leluhur yang diupacarai setahun sekali di merajan Puri Kaleran Mandala, Peliatan; upacara Naga Banda yang digelar tahun 2012 oleh Puri Saren, Ubud. Kanan atas: Lukisan tahun 1980-an dengan aliran Batuan tentang ritual upacara Naga Banda. Kanan: Lukisan tahun 1930-an oleh Rudolf Bonnet mengabadikan figur Cokorda Pejeng (perhatikan meru tumpang sebelas di latar belakang).
300 |
Langgam Majapahit
Langgam Majapahit | 301
LANGGAM MAJAPAHIT
LANGGAM GIANYAR
Untuk menemukan arsitektur bata merah dalam langgam Majapahit kita perlu mengunjungi banyak puri, yang dulunya adalah satu-satunya tempat yang berhak mendirikan gapura bata merah, atau mengunjungi desa-desa di bagian selatan wilayah ini, seperti Ketewel, Batubulan dan Blahbatuh. Sejumlah meru yang megah di Bali, yang mungkin diperkenalkan ke Bali pada zaman Majapahit, bisa ditemukan pada beberapa pura klasik Majapahit dan puri-puri di Gianyar, seperti Pura Jagatnata di Ketewel dan Puri Pejeng. Topeng-topeng yang tersisa dari zaman Majapahit tersimpan di Bukit Kutri, Blahbatuh — rumah bagi topeng Gajah Mada yang terkenal serta topeng Ratu Dedari berlanggam Cirebon — dan ditarikan setahun sekali di Pura Payogan Agung, Ketewel. Tradisi busana puri yang indah dari zaman Majapahit tetap hidup di Gianyar. Prosesi di Puri Ubud kini bagaikan museum hidup langgam busana Majapahit.
Atas: Gambar seorang seniman tentang Puri Gianyar (oleh Bruce Granquist, dalam buku Archipelago Guides: Bali – A Traveller’s Companion, Editions Didier Millet, 2000). Kanan: Rangkaian foto-foto langgam arsitektur dan ukiran Majapahit-Gianyar.
302 |
Langgam Majapahit
Langgam Majapahit | 303
Langgam Lombok P
ada abad XV, Puri Gelgel menyebarkan pengaruhnya ke Lombok dengan mengirimkan pendeta dan pejabatnya menyeberangi Selat Lombok untuk mendirikan semacam kerajaan bawahan. Dang Hyang Nirartha (Dwijendra), Rsi agung Majapahit sekaligus arsitek HinduBali, mengunjungi Lombok Barat pada abad XVI. Di sana beliau menegakkan kaidah-kaidah agama baru di antara penganut Buddha Mahayana Jawa yang sudah bermukim di wilayah perbukitan subur, Gumi Selaparang, istilah Jawa kuno untuk koloni tersebut. Di Bali, Dwijendra meninggalkan warisan dengan mendirikan beberapa pura besar — Pura Tanah Lot, Pura Sakenan dan Pura Petitenget — yang sampai hari ini merupakan pura paling indah dan dihormati di Bali. Dwijendra dikenal karena perhatiannya terhadap arsitektur pura besar, dikombinasikan dengan kemampuannya dalam memilih lokasi: dengan cara seperti ini, beliau mampu menarik masyarakat Bali dan Lombok Barat yang mencintai seni untuk segera menjalani kaidah-kaidah keagamaan yang baru. Di daerah perbukitan yang kaya dengan air di Lombok Barat, Dang Hyang Dwijendra mendirikan Pura Suranadi dengan dinding yang memisahkan lima mata air alami. Kelimanya melambangkan Panca Tirta dalam kosmologi Hindu. Dari sana beliau menyebarkan agama air suci, Agama Tirta, nama yang masih banyak dipakai oleh masyarakat Hindu Lombok yang mengacu kepada kehidupan keagamaan mereka dalam hal pemujaan air.
Halaman sebelumnya: Sebuah meru di Pura Meru, Cakranegara dengan elemen lisplang berbentuk gigi yang rumit. Atas: Paduraksa utama dari gerbang masuk menuju Pura Meru, Cakranegara, dalam langgam arsitektur Karangasem yang pendek dan kekar. Bagian bentala (puncak atap) yang rumit dalam langgam bunga-bunga Majapahit.
304 |
Langgam Majapahit
Langgam Majapahit | 305
LANGGAM MAJAPAHIT
LANGGAM LOMBOK Tidak tertutup kemungkinan Dwijendra mendorong raja Karangasem pada abad XVI untuk menduduki seperempat bagian wilayah barat Lombok agar bisa membentuk elemen kasta kesatria (bangsawan) yang dibutuhkan dalam koloni Hindu-Bali mereka. Namun baru awal abad XVIII, raja Karangasem mengirim adiknya menyeberangi Selat Lombok untuk menduduki bukit-bukit dan lembah yang subur dari wilayah yang penduduknya jarang ini. Mereka adalah klan seni yang mendirikan puri dan taman sari yang hingga kini masih menjadi kebanggaan dan kebahagiaan seluruh masyarakat Hindu di Indonesia. Sejumlah permukiman Bali, khususnya masyarakat nelayan, sudah terbentuk di dekat lokasi pantai Senggigi saat ini, yang merupakan keturunan dari sebuah desa di Nusa Penida. Akan tetapi wilayah Lombok Barat baru resmi menjadi jajahan Bali setelah kedatangan Raja Karangasem, dengan sepasukan kecil prajurit dan rombongan besar imigran yang mewakili 30 desa di Bali timur. Tertarik untuk menerapkan kemampuan seni beliau di pulau yang relatif masih ‘perawan’ tersebut, raja yang baru segera membangun puri dengan langgam arsitektur dan tata busana yang sama dengan puri Karangasem yang merupakan kerajaan paling eksotis di Bali. Sejumlah pura yang telah ada dipercantik. Sang raja, Anak Agung Made Gede Ngurah, membangun ibukota yang baru di Cakranegara. Tahun 1810, sebuah pura kerajaan dibangun dan diberi nama Pura Meru. Di sebelah utaranya, beliau juga membangun komplek taman air yang luas, Taman Mayura, yang sama dengan Taman Kerta Gosa dan balĂŠ kambang di Puri Klungkung, Bali. Dengan halaman taman yang lapang itu penulis mendapatkan gambaran yang sama dengan apa yang terdapat di sejumlah keraton di Jawa Tengah, dibanding dengan pura dan puri di Bali yang cenderung kecil dan penuh dengan ornamen.
Halaman sebelumnya: (atas) Tipikal gerbang klasik LombokMajapahit di Pura Meru, Cakranegara; (bawah) gerbang pura di Taman Narmada, Lombok Barat. Halaman ini: (atas) Detil bangunan altar di Pura Lingsar, Lombok Barat; (bawah) padmasari di Pura Lingsar.
Raja muda tersebut menduduki Lombok Barat dan merencanakan sebuah Majapahit kecil yang mungkin didasarkan oleh cerita Panji yang banyak digemari di Jawa Timur pada zaman Hindu (Vickers, 2000). Bahkan nama-nama kota seperti Kahuripan, Mataram, dan Kediri, serta sarana upacara seperti segaran (danau buatan), gagasan menyangkut balĂŠ kambang di Taman Mayura, taman raja Lombok yang luas, semuanya berdasarkan Majapahit. Tahun 1824, Kerajaan Buleleng, Bali utara, menduduki Bali timur dan keluarga puri Karangasem pindah ke Lombok dan membangun sebuah istana di tempat pengasingan bersama dengan para sepupu mereka. Kurun waktu 50 tahun berikutnya, saat keluarga puri bolak-balik menyeberangi Selat Lombok, adalah masa pencerahan bagi Lombok Barat dan tidak diragukan lagi disebabkan oleh dua orang raja yang merupakan arsitek hebat. Raja Lombok dari periode ini, Anak Agung Gede Ngurah Karangasem, menginginkan sebuah istana peristirahatan di perbukitan yang sejuk di atas Cakranegara. Akibat pengaruh dari para pedagang kaya Belanda dan kisah-kisah mereka tentang berbagai istana besar di Eropa, sang raja kemudian merancang gazebo, danau buatan, kolam air mancur, rotunda dan bukit-bukit buatan dengan pura di atasnya, sehingga menciptakan sebuah langgam yang bisa disebut Majapahit-Karangasem-Lombok. Puri yang baru tersebut bernama Taman Narmada.
306 |
Langgam Majapahit
Langgam Majapahit | 307
LANGGAM MAJAPAHIT
LANGGAM LOMBOK
Penulis mengunjungi istana di Cakranegara tahun 1973 dan menemukan sejumlah peninggalan yang dulunya merupakan taman air dan taman keluarga raja yang luas. Raja-raja terdahulu membangun perpustakaan dipenuhi mahakarya sastra zaman Majapahit; salah satu yang ditemukan di sini adalah satusatunya salinan kitab Desawarnana (Nagarakertagama) karya Empu Prapanca dari abad XIV. Di awal abad XX, semua ini lenyap saat Belanda membuang segala sesuatu yang berkaitan dengan Karangasem di tahun 1894, dan kemudian berpihak ke penduduk asli, Sasak1. Di antara semua pura berlanggam Majapahit yang dibangun dengan bata, Pura Meru di Cakranegara adalah yang paling menonjol dibanding lainnya yang pernah penulis lihat baik di Bali maupun Lombok. Di perbukitan yang lebih rendah dari Narmada terdapat Pura Lingsar, sebuah pura penting dengan nuansa yang sama dengan keraton-keraton zaman IslamMajapahit abad XVI (misalnya keraton Panembahan Senopati dan Makam Sunan Kudus) dengan kolam-kolam tertutup dan pelataran berundak. Terlepas dari penghancuran terhadap puri-puri Cakranegara oleh Belanda tahun 1894, hanya di Lombok Barat penulis masih dapat merasakan skala dan keagungan arsitektur Majapahit akhir, khususnya menyangkut karya-karya taman yang ambisius raja-raja Karangasem. Termasuk di antaranya Taman Narmada dengan pura di atas bukit dengan empat candi bentar serta taman airnya yang luas; Taman Mayura yang indah; dan Pura Lingsar dari abad XVI dengan kolam dan air terjun buatannya. Warisan budaya zaman Majapahit juga tetap lestari dalam komunitas warga Bali penggemar sastra Hindu di Lombok Barat saat ini.
Atas: Gerbang masuk menuju taman air di Taman Mayura, Cakranegara, Lombok Barat. Kanan: Foto-foto istana di Lombok Barat, pura dan taman sari. Langgam arsitektur Lombok Barat disederhanakan dengan penggunaan garis-garis dekoratif, tidak seperti bangunan puri dan pura di Bali yang umumnya penuh ukiran. Di Lombok Barat kita temukan taman sari —Taman Mayura dan Taman Narmada khususnya — yang merupakan turunan dari tradisi pembuatan taman air dan taman sari seperti halnya di India selatan atau Jawa Timur. Foto di kiri atas merupakan gerbang masuk Majapahit menuju Pura Lingsar, Lombok Barat. 3
308 |
Sasak adalah nama penduduk asli Lombok. Orang-orang Sasaks beralih ke agama Islam Islam antara abad XVI akhir dan awal abad XVII di bawah pengaruh Sunan Giri dan orang-orang Islam Makassar.
Langgam Majapahit
Langgam Majapahit | 309
Taman-Taman Majapahit di Bali — Pura Taman dan Taman Puri “Taman muncul dalam semua jenis sastra Jawa kuno, misalnya, dalam wayang kulit, nama Taman Sriwedari muncul. Secara umum, sebagaimana yang disimpulkan oleh ahli Perancis, Denys Lombard, bahwa taman dalam pemahaman Jawa menampilkan simbol dua unsur dasar: bumi dan air. Dari dua hal yang saling melengkapi ini, semua unsur desain taman klasik Jawa dan Bali mengalir.” — S. Murtiyoso & J. Miksic, Indonesian Heritage Vol. 6: Architecture, 1996
Halaman sebelumnya: Balai terapung di Taman (sari) Mayura Puri Cakranegara yang terkenal terekam dalam foto. Dibangun di awal abad XIX, taman air yang dibangun berdasarkan taman serupa di Jawa, adalah suatu karya yang luar biasa dalam sejarah arsitektur lansekap Bali. Di sebelah timur taman ini terdapat komplek Pura Meru, sebagai sebuah latar belakang yang menakjubkan. Atas: Sebuah foto tahun 1979 dari Taman (sari) Mayura
310 |
Langgam Majapahit
Langgam Majapahit | 311
LANGGAM MAJAPAHIT
PURA TAMAN AIR
Orang Bali sangat senang memanfaatkan dan memanen segala sesuatu dari alam. Persawahan di Bali sering dikutip sebagai yang paling indah di dunia. Sistem pengendalian irigasi kuno (pra-Hindu) yang efisien, subak, adalah contoh yang nyata orang-orang Bali dalam memanfaatkan alam. Bahkan desa-desa pegunungan kuno di Bali menunjukkan sebuah rasa hormat yang tinggi dengan menempatkan bangunan di alam dan dalam kreasi seni taman dan penghijauan jalan, sering berupa satu pohon beringin tunggal yang ‘menjaga’ desa. Permandian umum kerapkali merupakan mahakarya desain lanskap (beji di Tejakula, Bali utara, misalnya), seringkal muncul berupa bebatuan bukit lunak yang diukir dan dipercantik dengan tanaman bunga yang bisa dipakai untuk mempercantik rambut setelah membersihkan diri.
Atas: Gambar merajan agung Puri Kesiman tahun 1910 oleh W.O.J. Nieuwenkamp. Kiri: Foto tahun 1989 merajan agung Puri Kesiman. Patung-patung penjaga dipahat dalam langgam dwarapala Majapahit-Bali
312 |
Langgam Majapahit
Langgam Majapahit | 313
PURA TAMAN AIR
LANGGAM MAJAPAHIT Sebelum zaman Majapahit, ketika puri-puri menjadi pusat peradaban dan seni, termasuk seni lanskap, penulis membayangkan hanya di sejumlah pura tertentu tamannya dihiasi dengan pohon kamboja (Plumeria sp.), pohon-pohon sakral, serta tanaman bunga lainnya. Patung-patung taman, selain sebagai aksen seni juga merupakan obyek kekuatan, memenuhi fungsinya sebagai penjaga pura atau wadah air suci. Akan tetapi pura kuno sesungguhnya seperti, Pura Puseh Terunyan, Pura Puseh Bayung Gede dan Puseh Julah, ornamentasi tamannya sangat sederhana. Taman pohon kamboja mungkin merupakan penemuan zaman Majapahit yang masih banyak dijumpai pada sejumlah pura di Bali utara (kamboja yang dibawa dari Champa saat tingginya angka perdagangan antara Champa dan Majapahit memang merupakan tanaman untuk kuil). Taman-taman indah Dinasti Karangasem yang masih bertahan (hanya) di Lombok Barat dan Bali timur mungkin lebih dipengaruhi oleh arsitektur Eropa daripada Majapahit, namun masih merupakan taman air dalam tradisi Majapahit. Selama berabad-abad, tradisi Bali untuk membangun pura patirtan dan permandian raja yang indah, sudah ada pada abad XI dengan dibangunnya Tirta Empul dan permandian raja-raja di Goa Gajah abad X, dan semakin diperkuat oleh bangsawan pendatang dari Majapahit yang menggemari pura patirtan. Perubahan fungsi mata air suci menjadi pura patirtan (Bali: dengan pura taman) mungkin diperkenalkan pada zaman Majapahit (pura taman abad XIV di Pura Maospahit adalah salah satu contohnya), sebagaimana halnya hubungan antara ritual pura beji yang rumit dengan upacara plebon di puri.
Atas: Sebuah tampilan Taman (sari) Kertagosa di Klungkung. Kanan: (searah jarum jam dari kiri atas) Sebuah balai ritual upacara dalam bentuk bale kambang di merajan agung Puri Kesiman, Denpasar; foto-foto balai terapung di Taman (sari) Mayura Puri Cakranegara yang dibangun awal abad XIX; foto Taman (sari) Mayura, Lombok Barat diambil tahun 1979; Taman (sari) Kertagosa adalah satusatunya yang tersisa dari Puri Agung Klungkung, menurut cerita didasarkan pada Keraton Majapahit abad XV; sebuah balai terapung di pura leluhur, Taman Ayun, yang ada di pojok timur laut Puri Mengwi ; bale kambang di Puri Kanginan, Karangasem, menampilkan aksem dekoratif Cina, sisa-sisa arsitektur Islam-Majapahit di Cirebon, Jawa Barat.
314 |
Langgam Majapahit
Langgam Majapahit | 315
PURA TAMAN AIR
LANGGAM MAJAPAHIT
HUBUNGAN MAJAPAHIT-BULELENG
Bulan Agustus 2013, penulis memberikan kuliah tentang kemungkinan hubungan khusus antara arsitektur Majapahit akhir dengan arsitektur Bali utara pada konferensi budaya di Bali utara dan merasa terganggu oleh para arkeolog dengan teori yang membosankan. Penulis mengintensifkan penelitian dan menemukan hubungan dekoratif dan fisik yang tak terbantahkan dan tercatat dalam bab-bab sebelumnya. Salah satu hubungan yang paling kuat adalah antara pura taman Bali utara dan patirtan Majapahit. Pura taman dan beji (sumber mata air suci) adalah bagian penting dalam kehidupan upacara orang Bali, karena merupakan sumber air suci (tirta) sebagai unsur pokok dalam semua ritual. Di Bali, banyak persembahan upacara bahkan memiliki miniatur ‘taman’ sebagai simbol sumber air suci dan saksi dalam upacara bersangkutan. Di Bali selatan, ada kecenderungan yang kuat untuk menghidupkan kembali bangunan atau membenahi pura taman pada sejumlah pura penting. Di Bali utara, penulis menemukan petunjuk bahwa pura taman tetap populer sejak awal zaman Majapahit-Bali. Di sejumlah pura di wilayah Buleleng tengah — Singaraja, Bila (dibangun pada abad XI), dan Tamblang — pura taman kerap berada di tengah-tengah halaman pura utama dan memperlihatkan kesamaan yang amat jelas dengan patirtan di Jawa Timur (lihat foto halaman sebelumnya).
Candi Pemandian Penataran, Blitar, Jawa Timur, abad XIV patirtaan
Candi Tikus, Trowulan, Jawa Timur, abad XIII-XIV
316 |
Langgam Majapahit
pura taman
Pura Desa, Beratan, Buleleng, abad XX
Atas & kiri: Pura beji di mata air suci merupakan suatu elemen penting dalam kepercayaan Hindu-Bali.
Langgam Majapahit | 317
KESIMPULAN
J
ika kita membaca semua acuan tentang upacara, arsitektur, lembaga keagamaan dan dekorasi candi dari naskah-naskah penting zaman Majapahit — Desawarnana dan Sumana Santaka, khususnya — maka bisa dilihat tidak banyak kecocokan istilah tersebut cocok dengan sebutan upacara-upacara serupa yang masih berlangsung di Bali saat ini. Sistem tata kota dan lembaga sosial zaman Majapahit juga sangat berbeda dengan apa yang terdapat di Bali kini. Sejak abad XVI, budaya Hindu-Buddha di Bali sangat dinamis, dan berkembang, mungkin dari pusatnya di Majapahit. Jika kita bandingkan peninggalan-peninggalan arsitektur, patungpatung dan bahkan lukisan wayang zaman Majapahit (dua gulung Wayang Beber zaman Majapahit akhir masih tersimpan), maka kita akan melihat kesamaan-kesamaan antara Majapahit Jawa dan Bali. Oleh karena itu, mungkin, merupakan sebuah kekeliruan ketika mengganggap bahwa kesamaan-kesamaan dalam arsitektur akan mengarahkan kepada sistem sosial dan bahasa yang sama, sekalipun banyak upacara Siwa-Buddha yang tercatat dalam dokumen-dokumen sejarah Majapahit-Jawa masih bertahan, sebagaimana banyak aspek feodalisme Jawa (sistem dewaraja, sistem status raja yang dianggap setengah dewa, misalnya) dan peninggalan seni terbaik dalam upacara, busana dan teater. Pengaruh zaman Islam-Majapahit (abad XVI) bagaikan sebuah zaman penemuan-penemuan seni besar, khususnya gamelan (setidaknya dua dari sunan adalah penggubah lagu), desain batik (diadopsi dalam busana resmi Majapahit-Muslim sebagai tandingan pakaian resmi Hindu, yang memakai tenun tradisional) dan ukiran dekoratif motif bunga baik pada kayu maupun batu. Banyak dari motif dekoratif ‘klasik’ Bali dan Jawa berasal dari zaman Islam-Majapahit; banyak lagi yang diwariskan dari kerajaan Hindu dan Buddha sebelum Majapahit. Lapisan paling bawah dalam kue lapis evolusioner ini terdiri dari adat-istiadat, upacara, arsitektur dan elemen-elemen dekoratif yang diwariskan dari Zaman Megalitik atau Indonesia kuno sebelumnya. Pada Volume II, saya akan mencoba mengidentifikasi akar-akar upacara Maapahit Bali. Tentu bukan tugas yang mudah, upacaraupacara di Bali berlapis-lapis dan memiliki banyak aspek. Dalam ritual seperti yang tergambar di sebelah kanan, misalnya — dalam foto tahun 2014 ini yang diambil oleh Wayan Linggar Saputra dari Kuta, bertempat di Dalem Gelgel (zaman Majapahit) yang terkait dengan Puri Satria Kaleran di Kuta — kita bisa melihat klimaks dari sebuah ritual Siwa-Tantra zaman Majapahit. Fotografer telah menangkap momen sebenarnya dari pelepasan secara ritual maskot desa (barong) dengan menggunakan keris Majapahit. Upacara tersebut juga ‘dibungkus’ dengan ritual tarian trans versi Bali (mungkin berasal dari Tari Debus). Pada sistem pemerintahan kuno Majapahit, keraton merupakan penanggung jawab atas candi-candi yang penting. Hal ini berlanjut dalam arti yang sesungguhnya di Bali hari ini, namun, sepanjang yang saya ketahui, tidak pernah didokumentasikan secara menyeluruh.
318 |
Langgam Majapahit
Langgam Majapahit | 319
indeKS A Abian Tuwung, 290 Abiansemal, 290 Aceh(nese), 160,171,187 Acintya, 107 Adityawarman, 155 Agung, 23 Airlangga, 82,86,141 Amangkurat II, 203 Anak Wungsu, 141 Ancak saji courts, 24,141 Angkor Wat, 77,263 Arab, 168 Arab (chronicle), 25,168 Arabesque, 172 Arabic, 250 archipelago, 20 Arta Tinggi, 187 Arya Damar, 23,155,184,260,287 ~ Dolog, 155 ~ Kangin, 21 ~ Kauh, 283 ~ Kenceng, 23,145,155,287 ~ Kepakisan, 139 ~ Kuta, 155 ~ -Majapahit, 262 ~ Sentong, 155 ~ warrior, 134 Asak, 283 Asmat, 32 Austronesian, 31,32,38,41,47,48, 55,62,65,129,217,229,281 Ave, Joop, 208 Ayutthaya, 74
B babad, 261 Badui, 48,120,263 Badung, 145,273,275,276,287, 289,290 Badung, raja of, 161 Bai (tribe/village), 37,81 Bajang Ratu, 105 (see also candi) Bajo, 55 BalĂŠ Agung, 217 ~ kambang, 77,92,215,293, 307,314 ~ lantang, 110,217 ~ loji, 109 ~ piyasan/paruman, 218 ~ Prabu Siliwangi, 181 ~ rantai, 179,218,219 ~ semanggen, 109 BalĂŠ wantilan, 72,77,229
320 |
Langgam Majapahit
~ Mangu Majapahit, 168 ~ Mayed/Mayid, 179,181,218,219 ~ Rantai, 179,218,219 Bali, 17,20,21,22,23,24,25,32,34,37, 38,47,48,49,53,57,62,64,65,75, 77,78,82,86,87,88,91,92,98,99, 100,105,106,107,109,110,111, 113,115,119,120,121,123,126, 129,131,132,134,136,139,140, 141,143,145,146,155,161,168, 173,179,181,182,183,187,193, 200,204,207,209,215,217,219, 220,229,231,236, 241,243,244, 257,258,259,262,275,283,285, 290,293,302,305,308,318 Bali Aga/Bali Mula, 23,41,53,55,57, 92,107,139,181,217,259,260, 262,265,270,281,283,294 Balinese architecture, 19,21,22,173 ~ ceremonies, 22,25 ~ culture, 23 ~ courts, 24 ~ cremations, 49 ~ door, 223 ~ home/house, 19,107,124 ~ legends, 85 ~ long-house, 41 ~ new year, 121 ~ offering, 22 ~ palace (arch.), 21,182,209 ~ pilgrims, 215 ~ priest(s), 24 ~ prince(s), 25 ~ raja(s), 134,139 ~ royal family, 97,207 ~ sarcophagi, 57 ~ scale, 124 ~ temple(s), 19,21,81,105, 121,145,146,172,181,235 Balingkang, 143 Banaspati, 88 Bangli, 294 Banjar District, 268 Banjar Abian Kapas, 276 Banten, 110,120,141,158,194,200, 201,263 Banten, Sultan of, 120 Banyan tree, 140,313 Baris dance, 258,301 Baris Gede, 24 barong, 88,145,157,318 ~ Berutuk, 53 ~ Ket, 62,161 ~ Landung, 62
basekop sembagi, 64 Batak, 32,167 Batubulan, 151,301 Bawomataluo, 33 Bay of Bengal, 168 Bayat, 179 Bayung Gede, 57 Bebandem, 283 bedeg, 261 Bedugul, 57 Bedulu, 61,82,92,299 beji, 209,215,313,317 Belahan, 77,82,87, 215 (see also Candi Belahan) Belantih, 42 benang Bali, 65 bentala gate, 268 bentala pinnacle, 141,294 Berawa, 88 Berg, 155 bhatara, 21,23 B(h)atara Guru, 210,211 Bhre Daha, 126,129 Bhutan, 61,146 Bihar, 74,154 Bila, 266,317 Bima, 22,120,126 Bimaswarga, 126 Blahbatuh, 294,301 Blambangan, 115,120,143,290 Blitar, 85,97,102,105,119,121,123, 125,144,163,204,215,217, 243,269,287,316 blood-spilling, 48 Bogor, 72 Boma, 172,239 Bongkasa, 290 Borneo, 167 Borobudur, (see Candi Borobudur) Brahman (house), 19,21,22,78,109, 129,161,258,261 Brahman priests, 23,78,88,91,129, 139,143 Brahmanic rituals, 105,261 ~ India, 167 Brawijaya (V/Pamungkas), 20,119, 129,179,184 brem, 49 Bronze Age, 32,62 Buddhism, 53,64,65,71,74,86 (esoteric) Buddhism, 155 Buddhist, 101,148,194,258,259 Buddhist centre, 157 ~ kingdoms, 318
~ shrines, 154 Buddhist symbols, 173 ~ temples, 160 ~ university, 154 (Chinese-)Buddhist quarter, 158 ~ Buddhist votive candle, 156 (esoteric) Buddhist sect, 155 (Mahayana) Buddhist, 305 Buddhist-Majapahit, 172 Bugbug, 283,294 Bugis, 55,210 Bukittingi, 34,38,41,217 Buleleng, 266,270,283,307,317 Buleleng-rococo, 268 Bullough, Nigel, 123,125,173,187,250 Bungkulan, 268 Burma, 146
C Cakranegara, 306,307,308 Cakraningrat, 23 Calonarang, 88 Cambodia(n), 61,74,77,106,171,263 Candi Arjuna, 75,217 ~ Bajang Ratu, 162,220 ~ Bale Kambang, 121,217 ~ Bangkal, 105 ~ Belahan, 68-69,87,92,93,131 ~ Borobudur, 24,31,32,34,38,62, 74,75,77,80,82,99,100,157,239 ~ Ceto, 21,38,47,48,49,113,119, 121,123,126,146,215,263 ~ Cungkup, 243 ~ Gunung Gangsir, 105 ~ Ibu, 100 ~ Jago, 19,21,80-81,88,90,97, 146,148 ~ Jalatunda, 131,215 ~ Jawi, 91,97,99,105,106,141 ~ Kalicilik, 105 ~ Kidal, 263 ~ Kendalisodo, 121,122,124 ~ Kotes, 106,107,121,124,141, 144,163 ~ Menak Jinggo, 19 ~ Menggung, 126 ~ Naga, 123,144,146 ~ Palah, 269 ~ Pemandian Penataran, 130,,316 ~ Penataran, 19,97,98,105,119, 123,131,135,144,146,163, 204,215,239,269 ~ Prambanan, 24,38,73,75,80,82 ~ Sawentar, 104,163
~ ~ ~ ~
Selomangleng, 72 Semen, 85,86 Singosari, 79,86,91 Sukuh, 12-13,21,105,114,119, 121,123,126,128,129,135, 136,146,162,201 ~ Surowono, 97,162 ~ Tegowangi, 97,162 ~ Tikus, 77,99,110,121,130, 131,162,215,290,316 ~ Wringin Lawang, 103,105,110, 162,220 ~ Yeh Gangga, 286 candi bentar, 91,99,105,110,171, 187,200,203,204,218,220, 223,240,289 Canton, 74 Cap Go Meh, 181 Cardeel, Hendrik Lucas, 201 Central Asian, 87,171,172,237,239 ~ Java(nese), 17,21,22,24,31,47, 48,64,74,75,77,78,80,82,85, 86,88,91,100, 102,115,119, 121,126,141,145,157,161, 170,172,173,179,183,187, 193,201,204,207,210,215, 218,229,240,244,250,276,307 ~ Bali, 82,141, ~ Lombok, 48 ~ Sulawesi, 23,31,32,49,55 ~ Sumatra, 100,155, Champa, 62,74,157,171,184,266,314 Champa princess,119,171,184,187 Chedi, 74 Churchill, Greg,106 Cili, 91 Cirebon, 19,102,105,110,115,120, 145,160,168,172,173, 181,182,194,199, 200, 201, 204,214,219,220, 223, 226,233,262 Cirebon, second raja of, 199 Cirebon-Rococo, 268 China, 115,146,153,158,231 Chinese architectural, 115 ~ chronicle, 25,119,155 ~ cultural, 115,158,161 ~ priests, 65 Chola, 86,153,155 Coedes, George, 61,167 Cokorda Pemecutan III, 276 Cokorda Pemecutan XI, 134,143, 161,276 Compang, 31,37
Coromandel coast, 64,153 Cremation, 20,24,49,65,141,161,226 Culture Park Singapore, 19 Cungkup,77,113,121,144,145,168, 171,172,179,181,187,201, 218,219,226,229,233,235, 236,237,239,240,241,243, 244,249,250 Cungkup Sunan Derajat, 237,243 ~ Sunan Giri, 172,237 ~ Sunan Prapen, 237
D Da Tonta, 55 Daha, 85,86,92,105,126,129,143, Dalem-lineage, 24 Dalem Bedaulu, 299 Dalem Gelgel, 318 Dalem Majapahit, 290 Dali (Da Li), 37 Damais, Soedarmadji, 19,22,24,25, 219,270 Datu Luwu XVI, 210 Dayak, 167 Death rituals, 24 Debus dance, 318 Decoration, 25,57,64,125,126,146, 158,173,191,194,207, 237,239,240,243,244 ~ (facial), 49 ~ (shrine), 121 ~ (prada), 161 ~ (porcelain), 179 Deity(ies), 22,23,24,49,107,215 Demak, 119,120,168,170,194,201, 226,229 Demak, Sultan of, 182,201,235 Denpasar, 19,21,23,139,144,235, 259,260,262,263,275, 276,285,287 Bawah: Pedanda dan brahmana menghias a puspa perwujudan arwah saat puncak acara effigy Mukur atau Nyekah (upacara penyucian bagi arwah leluhur).
Langgam Majapahit | 321
indeKS Denpasar’s Dance Academy, 19 Desawarnana, 21,24,25,101,109, 308,318 deutero-Malays, 37,62 Devapala, 75 Devaraj, 318 Dewa Baruna, 121 Dewa gede, 20,283 Dewata, 123 Dewi Sri, 91,131 Dewa Wisnu, 131 Dieng (plateau), 75,217 Dolmen, 33,37 Dong-So’n, 31,62 Dukuh, 261 Dutch, 19,20,25,143,146,201,223, 237,241,258,269,293,307 Dutch archaeological, 53 Dutch East-Indies, 193 Dwarapala, 82,86,276 Dwijendra, (see Nirartha)
Gelgel, 134,143,258,293,294,305 Gianyar, 62,125,194,299,301,302, Go Tik Swan, 19,22,24 Goa/Gowa, 210,211 Goa Gajah, 92,131,258,314 god-king, 23,91 Graaf, H.J. de, 198,206,207,213 Gresik, 25,86,115,173,187,201, 204,218,219,237 Groeneveldt, 168 Groot, Wieneke de, 24 Guangzhou, 153 Gujarat, 184,266 Gumi Selaparang, 305 gunung, (see Mount) Gunung Kawi, 141,258
H
Fatimah binti Maimun, Siti, 187 Fic, Victor M., 105,126,129 Fish, 136 Flag of Majapahit, 15 Flores, 32,34,37 Formosan, 31,32 Frangipani, 314
Han, Liem Mo, 201 Hanafi-Islam, 64,87,181 Hamengkubuwanan, 193 Hamengkubuwono, 64 Hardjonagoro, 19,22,24 Hasta Bumi, 75 Hasta Kosala-Kosali, 75 Hawaii, 34 Hayam Wuruk, 20,23,97,105,139, 140,141,276 Hill, A.H., 168 Hindu-Bali(nese), 21,204,207,215, 218,289 Hindu-Buddhist culture, 24,318 Hindu-Javanese, 172,211,217,218, 229,237,239,240,258 Hindu Majapahit(-Hindu), 19,21,24, 100,204,210,211,214,220, 231,259,263,265 Hinduism, 74,86,107 Hokkien, 64 holy water, 22,77,78,100,209,215,306 Hoog, van der, 241 Houtman, Cornelis de, 143,293 Hyatt Bumi Surabaya, 19 Hyatt Bali, 19
G
I
Gajah Mada, 20,105,110,134,140, 155,262,299 gajah mina, 136,141 gambuh, 301 gamelan, 201 Ganesha, 136 garuda, 85,87,172,240,247,289 gedong, 82,144,145,187,235,287
I-Tsing, 157 ijuk thatch, 281 Imogiri, 17,179,181,183,204,218,220 India, 146,154,168,231 Indonesia(n), 17,20,24,167,173, 220,306 irrigation, 55,57 Isthmus of Kra, 168
E East Bali, 21,283,314 East Java(nese), 17,20,21,23,77, 81,82,91,92,102,106, 115, 119,120,134,173,187,193, 204,210,219,240,261,263, 266,290,307,317 East Kalimantan, 23,173,211 East Madura, 21,187 Eka Dasa Rudra, 140,261 Elephant, 134,136 Empu, (see Mpu section) Erhai Lake, 37
F
322 |
Langgam Majapahit
J jaba luar, 49 Jaka Dilah, 155 Jakarta, 19 Jalatunda, 77,92 Japan, 146,211 Java(nese), 19,21,22,23,24,25,32, 53,57,62,74,75,77,91,92,100, 109,119,203,204,215,225, 229,236,241,243, 244,250, 258,260,275,308,318 Javanese anthropologist, 32 Jayabaya, 281 Jayanegara, 155 Jayasaba, 281 Jepara, 115,171,201,236 Jero, 268 Jero Agung Tegal, 276 Jero Lanang Tanjung, 276 Jero Subamia, 285 Joyoboyo, 85 Julah, 266,270 jungging, 214
K Kam, Garrett, 64 Kamasan, 110 Kanjeng Ratu Kidul, 21,24,209,214 Kaudern, Walter, 31 Kahuripan, 86,307 kala, 247 Kalang, 126,129,201 Kalianga, 74 Kalimantan, 32 Kaliwulu, Ki Gede, 194 Kapal, 289,290 Karang gajah, 136 Karangasem, 62,98,200,262,281, 283,306,307,308,314 Karangasem, Anak Agung Gede Ngurah, 307 Karangasem, raja of, 306 Kartasura, 141,203,208 Kawi, 82,88 Kebo Iwa, 299 Kedaton, 261 Kediri, 61,82,85,86,91,97,105,129, 269,281,307 Kejawen, 47 Kekawin, 110 Kempers, 125 Kentongan, 209 Kepakisan, Dalem Sri (Nararya Kresna), 258,290,299
Kepaon, 19,21,23,275,276 Kerala, 82 Kerambitan, 263,273,285,287 Keraton Hamengkubuwono, 214 ~ Kanoman, 172,181,214 ~ Kasepuhan, 19,102,120, 172,194,262 ~ Kasepuhan Palace multicourtyard, 199 ~ Majapahit, 170,171,193,201, 219,258,262,275,293,294 ~ Pajang, 215 ~ Pakungwati, 120 ~ Paibon, 200 ~ Solo/Surakarta,181,191, 207,214 ~ Sumenep Palace, 187 ~ Surosowan, 201 ~ Yogyakarta Palace, 191 kereta Singa Barong, 194 Kerobokan, 276 Kerta Gosa, 126,258,293,306 Kertanegara, 141,154 Kesiman, 261,263,275,276 Ketewel, 235,273,301 kettledrums, 34 Khmer, 62,74,241,243,266 kidung, 110 Kidung Sundayana, 168 Kintamani, 235 Klaten, 17,145,276 Klenteng Talang, 181 ~ Tao Kak Sie, 181 Klungkung, 62,258,262,263,293, 294,301 Klungkung Palace, (see Puri Section) Kota Gede/Kotagede, 21,179,203, 218 ksatria, 258,306 Kubutambahan, 268 Kudus, 85,172 kulkul towers, 24,109,273,276 Kunming, 32,38 Kunst op Bali, 260 Kuta, 21,143,273,276 Kutai, 88 Kutai Kertanegara, 211 Kyai Tumenggung Pusponegoro, 145
L Lake Batur, 98,129 ~ Toba, 32 ~ Rinjani, 98 Lamongan, 240,276
Lansing, Stephen, 57 Lasem, 62,160 Lawang Majapahit, 173 Le Bayon temple, 263 Leiden, 218 Lengen Harjo, 209,214 lingga, 105 Little Java, 25 Loro Jonggrang, 74 Lombard, Denys, 311 Lombok, 77,97,200,305,306,308 Lombok Straits, 305,306 Lukluk, 289 lumbung, 32 Luwur, 23
M Macan, 237 Maclaine-Pont, Henri, 19,22,25,106, 111 Madura, 25, 32,120,193,263,266 Mahayana (Buddhist), 91,305 Mandala, 290 Mandala Majapahit (image), 22 Manggis, 283 Manhattan, 22 Mahendradatta, 82,88 Majapahit architecture, 17,19,25, 120,171,175,314 ~ aristocracy, 24 ~ -Bali, 19,25 ~ capital, 17,225 ~ descent, 25 ~ Empire, 20,21,22,24,98, 115,119,136,211 ~ (Islamic-era), 168,170,172 ~ jewellery, 20 ~ migration, 21 ~ temples, 173 ~ terracotta, 22,233 ~ rituals, 20 ~ statuary, 20,132 ~ studies, 20 ~ sun crest, (see Surya Majapahit) ~ vassal prince, 258 ~ Makam Air Mata, 266 ~ Hastano Kartasura, 183 ~ Panembahan Senopati, 183,218 ~ Ratu Kalinyamat, 226 ~ Sunan Derajat, 121,179, 218,219,240 ~ Sunan Giri, 121,171,172, 204,240,263,266
~ Sunan Gunung Jati, 110, 121,145,172,179,181, 194,204,218,219,226 ~ Sunan Kudus, 172,179, 182,203,218,223,308 ~ Sunan Pandanarang, 145, 220,276 ~ Sunan Prapen, 219 ~ Sunan Sendang Duwur, 38, 121,203,220,247,263, 266,276 ~ Troloyo, 223 ~ Tua Palopo, 250 makara, 136,247 Makassar, 210 makemit, 181 Malang, 85,86,146,263 Malangke, 211 Malay, 184 Malaysia, 100,173,203 maligia, 64 Mallaca, 115 Mandala, 106 Mandapa, 75 Mangkunegaran, 193,281 Mantingan, 171,204,236,241,247,250 Markandya, 82 Masks, 302 ~ Gajah Mada, 302 ~ Ratu Dedari, 302 ~ golden funerary, 49 Masigit, 168 Masjid Agung Cirebon, 223 ~ Agung Demak, 19,102,168, 170,173,194,210,217,219, 223,226,229,233,236,244, 253 ~ Agung Sang Cipta Rasa,168, 173,201,219,226 ~ Haldiri, 236,250 ~ Mantingan, 201,226,237,204 ~ Mesigi, 226 ~ Sunan Ampel, 226 ~ Sunan Derajat, 226 ~ Sunan Kalijaga, 253 ~ Tolo-Goa, 210 ~ Tua Palopo, 210,211,236 Mataram, 23,82,179,203,259,307 Mataram Empire, 193,203,207, 214,244 Maya(n), 109 Mayoen, 23 Mead, Margaret, 57 Megalithic (Age), 33,34,47,62,71,263 Langgam Majapahit | 323
indeKS Megawati Sukarnoputri, 105 Mekong, 171 melasti, 140 Melayu, 154,155 melukat, 78,181 Mengwi, 120,262,273,289,290,301 menhir, 34 Menteng, 19 merajan, 61,106 Merajan Agung Puri Kesiman, 276 meru, 82,110,144,148,231,287, 302 meten, 113,261 middle-eastern, 172 Miksic, John, 173,175,207,311 mimbar, 170,173 Minangkabau, 32,155 Ming (era), 181,200 Mitra Budaya, 24 moghul, 229 Mojokerto, 20,111 moksa, 119 Mone Ama, 26-27 Moojen, P.A.J., 260 mosque, (see Masjid section) Mount Agung, 119,123 ~ Batur, 53 ~ Bromo, 119 ~ Geulis, 72 ~ Lawu, 20,119,126,129,146 ~ Mahameru, 100,148 ~ Raung, 98 ~ Penanggungan, 20,47,87,97, 102, 105,106,119,121,123, 124, 131,140,173,187,250 Mpu Baradah, 86 ~ Prapanca, 20,308 ~ Kuturan, 82,86,143,217,261 ~ Monaguna, 110 Muara Jambi, 154 Muara Takus, 74,100,154 mukur, 64 Muljana, Slamet, 106 mundane Majapahit, 20 Murtiyoso, S., 311 Muslim, 23,175 muslim preachers, (see Walisongo section) Museum Istana Bhatara Guru, 210, 211 ~ (of the) Masjid Agung Demak, 244,262 ~ Nasional, 61 ~ Kasepuhan Palace, 194
324 |
Langgam Majapahit
mustaka, 179,229,231,233,250 Myammar, 61,77
N naga banda, 258,301 Nalanda, 74,75,154 Narmada, (see Taman Narmada) Natagana, Ki, 194 Nats, 61 nawa sanga, 140 Neak ta, 61 Negapatam, 153 Negarakertagama, (see Desawarnana) Neolithic (age), 31,71,231 Nepal, 146 ngenteg linggih, 261 Ngurah, Anak Agung Made Gede, 306 Nias, 32,33,34 Nieuwenkamp, 99 Nirartha, Danghyang, 23,107,261, 275,305,306 north (coast) Bali, 92,99,132,204, 262,263,265,266,269,270, 273,276,281,283,289,290, 294,307,311,314,317 north coast (of Java), 17,19,62,85, 86,121,173175,194,201, 247,262,266,283 Northern Philippine, 55 Northern Vietnam, 55 Nusa Lembongan, 294 Nusa Penida, 120,261,294,306 nyekah, 64,241 Nyi Ratu Rara Sumanding, 181
O odalan, 23 ogoh-ogoh, 141 Ong Tien, 181 orang Kayu Hitam, 140 Orissa, 91
P Padang Kerta, 283 padmasana, 106,257 padmasari, 123 Pagaruyung, 155 pagoda, 82,144,146,148,231,289 Pajajaran, 194 Pakualaman, 193 Pakubuwanan, 193 Pakubuwono, 64,215 Pakubuwono II, 214 Pakungwati Palace, (see Keraton)
Pakuwon, 32 palaces, (see Keraton section) Palaeo-archaeology, 34 palanquin, 170 Palembang, 74,155,171 Pallava, 72,88 Palopo, 210 Palu valley, 31 Panca Tirta, 306 Panca wali karma, 261 Pandanarang, Ki Agung, 179 Pandansalas, 126 Pande clan, 283 Panembahan Senopati, 21,105,179, 203,308 Panji, 125,307 Papua, 32 paras, 301 Pasek Taro Selem, 140 pasimpangan, (see Pura section) Pati, 173 patirtan, 77,78,86,99,110,120,129, 215,290,317 Patola (cloth), 62 pedanda, 23,88 Pedanda Made Sidemen, 19 pedarman, 123,187 pedati, 276 Pejeng, 82,92,299 Pejeng-Bedulu, 299 Peliatan, 262,294,299 Pelinggih, 123 Penang, 64 pengemong, 263 Pengging springs, (see Umbul Pengging) Pendopo Agung, 110 Penulisan, 57 Pemecutan, 20,21,23,64,145,260,276 Perean, 287 Persian, 85,236,239 Persian-Acehnese, 187 Petitenget, 23 Philippine, 31,34 Pi, 61 Pitra Yadnya, 24,119 pleasure garden, 24,109,126,134, 213,214,306,307,308 Plumeria sp., (see Frangipani) Poesponegoro, 173,187,218 Polynesian, 57,129 Ponorogo, 62,160 Portuguese, 115,141 Portuguese (chronicle), 25 Prabu shrine boxes, 276
Prada cloth, 257 Prambanan, 24 prasada, 110,289 prembon, 301 Priest, 22 Prince Losari, 199 ~ Senopati, 203 Proto-Malay, 37 Pulau Ismoyo, 121 pulpit, (see mimbar) Punden, 38,47,92,126,263 Punggawa, 120 puputan, 258,293 pura beji, 314 ~ dadia, 55 ~ pasimpangan/persimpangan, 131,276,290 ~ taman, 78,121,131,290,314,317 Pura Besakih, 38,82,98,123,140, 187,263 ~ Batukaru, 38,82,145,287 ~ Batur, 235 ~ Beji Sangsit, 268,269 ~ Bukit Kutri Blahbatuh, 302 ~ Canggi Blahbatuh, 76,82 ~ Dalem, 226 ~ Dalem Kepala, Kepaon, 275, 276 ~ (Dalem) Sakenan, 19,140,204, 275,290,305 ~ Dangin Carik Tejakula, 268 ~ Dasar Buana, 259 ~ Desa, 263 ~ Desa Bulian, 269 ~ Gunung Kawi, 82,258 ~ Jagatnata Ketewel, 302 ~ Kebon Tinguh, 260 ~ Lingsar, 308 ~ Luhur Uluwatu, 23,82,136,204, 258,275 ~ Maospait, 139,144,235,259, 276,314 ~ Meduwe Karang, 269 ~ Panembahan Badung, 21,235, 275,276,290 ~ Payogan Agung Ketewel, 235,302 ~ Penataran, 144,274,276 ~ Petitenget, 305 ~ Prajapati, 226 ~ Puncak Penulisan, 38 ~ Puseh Bayung Gede, 314 ~ Puseh Julah, 314 ~ Puseh Terunyan, 314 ~ Puser Terunyan, 235
~ Sada, 289 ~ Sakenan, 19,23 ~ Samuan Tiga, 82 ~ Suranadi Lombok, 306 ~ Susunan Wadon, 144,275 ~ Tanah Lot, 92,305 ~ Tirta Empul, 92,131,215,314 Puri Abian Tuwung, 290 ~ Agung Jero Kuta, 23 ~ Agung Gelgel Palace, 293 ~ Gelgel, 258,259 ~ Klungkung Palace, 106,126,140, 193,258,262,263,289,293,307 ~ Pemecutan Palace, 19,21,276, 290 ~ Gianyar, 109,262 ~ Kerobokan, 276 ~ Kesiman, 276 ~ Mengwi, 290 ~ Saren Palace Ubud, 109,301 ~ Satria, 276 ~ Satria Kaleran Kuta, 318 ~ Singaraja, 268 ~ Tanjung Sari, Pemecutan, 276 Puruhita, 105
Q Queen Mahendradatta, (see Mahendradatta) Queen Suhita, 126
R Raden Patah, 119,170,182,184, 194,226 ~ Sepat, 120,201 ~ Soekotjo, 146 Raffles, Sir Stamford, 184 Raja Purana (manuscript), 143 Rajasanagara, 97 Ramayana, 247 Ramseyer, Urs, 57 rangda, 88 Ratu Boko, 82 Ratu Kalinyamat, 171 Ratu Made Sakti Blambangan, 290 Ratu Ngurah Panji Sakti, 290 Red Pasek, 140 research, 21 Reuter, Thomas, 57 rice loft, 31,32 rice wine, (see brem) rites de passage, 34 River Cibanten, 200 rotunda, 307
Rsi Markandya, 143,263 Rsi Pande, 268
S Saba, 294 Sackville-West, Vita, 19 Sailendra, 24,32,62,74,75,141,155 Sakah, 82 Samplangan, 258 Samprangan, 299 sanggah(an), 61,106 Sanjaya, 74,75,91,144,259,261 Sanskrit, 72,75,220 Saputra, Wayan Linggar, 318 Sasak, 48,308 Sanur, 19,262,263,276 sarcophagi, 53 Savu Island, 31 Sayambara story, 110 sea-gypsies, 55 Sebatu, 125 Segara Agung, 100,110 segaran, 98,213,307 Seluleng, 143 Semarang, 86 Sembiran, 262,270,294 Sempidi, 289 Senggigi Beach, 306 serambi, 170 Serangan Island, 19,23,275 Seririt, 268 Shiva-Bhairawa, 88,132,257,263 Shiva-Buddha, 17,23,24,86,88,109, 257,261,318 Shivaite, 21,78,226,257, 261 Sibang, 290 Sidomulyo, Hadi, 19,123 Siliwangi, 194 silk, 64 Silulung, 53 singa/singha, 289 Singapore, 19,65,136 Singaraja, 260,268,317 Singosari, 85,88,91,92,97,105,132, 146,154,259,276,289 Singosari-Majapahit, 301 siraman, 78 Sitinggil, 110 Soeharto, 146 soko guru, 229 Solo, 20,119,193,203,207,214,215 Solo, Susuhunan of, 21,62 song, 153 Songan, 181,266 Langgam Majapahit | 325
indeKS Songsong Gilap Gubeg, 181 South Bali, 19,132,263,273,275, 276,317 ~ Indian, 241 ~ Sumatra, 23,74,210 ~ Sulawesi, 210,211,236,250 ~ Vietnam, 184 Southeast Asia, 168,236,250 Southern Chinese, 172 split gates, (see candi bentar) Sri Lanka(n), 74,77,80,243 Sriwedari garden, 311 sradha, 241 Sriwijaya/Srivijaya, 62,72,74,86, 99,153,154,243 stilt-house, 31 Stranger in Paradise, 22 stupa, 74 Stutterheim, 57,125,193 Subak, 57,269,311 Sukawati, 262,263,294,299 Sulamani, 148 Sulawesi, 32,77 Sultan Abdullah Muhiddin, 211 Sultan Agung, 181,183,218 Sumanasantaka, 109,110,318 Sumatra, 74,77,86,91,140,167,168 Sumba, 32 sumbagi, 141 Sumbawa, 23,32 Sumedang, 141,194 Sumenep, 21,266 Sunan Ampel, 102 ~ Drajat/Derajat, 201 ~ Giri, 119 ~ Gunung Jati, 120,187,201,203 ~ Kalijaga, 201,229 ~ Kudus, 102,105,182 ~ Muria, 201 ~ Prapen, 171 Sunda(nese), 61,72 Sunyaragi, 199,200,214 Surabaya, 17,19,86,194 Surakarta, 203,209 Suranadi, 23 Surya (Majapahit), 173,181,250 Suwung Gede, 276 Swedish, 31 Syafi’i Islam, 173
T Tabanan, 145,260,262,285,287,289 tabuh rah, 49 Taiwan, 31,55,62
326 |
Langgam Majapahit
Taman Ayun, 289 ~ Mayura, 306,307,308 ~ Narmada, 98,308 ~ Sari, 214 Tamasik, 136 Tamblang, 317 Tamil Nadu, 78 Tampaksiring, 82,141,215 Tana Luwu, 210,211 Tana Toraja, 32,210 Tanah Abang, 74 Tantric, 86,88,91,105 Tantric Sivaite, 129,318 Tarumanegara, 62,72,157 Tedung Majapahit, 181 Tejakula, 266,268,311 Temasik Walk, (see Cultural Park Singapore) temples, (see Pura section) Tenganan, 41,42,55,281,283,294 Tenggarong, 211 Tengger, 119,123 terraced sanctuaries, 38 Thai(land), 61,74,77,100 thalassocracy, 100 Tibet, 146 Timor, 32 Tirta (amerta), 20,78 Tirta Empul, (see Pura section) Tirta Gangga, 200 Tomb, (see Makam section) Tomb-room, (see Cungkup section) Tome Pires, 143 Totok Kerot, 86 Tretes, 106 Troloyo,123,173,187 Trowulan, 15,17,18,20,77,97,98, 102,105,106,110,111,124, 173,214,215,220, 223,261, 262,263,290 Trowulan Museum, 18 Trunyan, 55 Tsou, 31 Tuban, 115 Tugu Penyuwen Karang, 18,107 Tumapel, 85,86,92,97 Turtle Island, 144
U Ubud, 62,262,294,299,301,302 Udayana, 61 ukel, 111 umbul, 209 Umbul Pengging, 209,215
umpak, 86,134 undagi, 139,265,275
V Vajrayana, 155,263,273 Vats, 20 vassal-prince, 19 vassaldom palace, 276,290 Vastu sastra, 75 Vedic, 78,88 Vengi kingdom of, 72 veranda, (see Serambi) Vickers, Adrian, 257,307 Vietnam(ese), 31,55,62,74,119,146, 171,266,314 Vijaynagar, 110,132 Vihara, 77,168 Vishnu/Wisnu, 87,91
W Wali songo, 23,77,119,175,194, 203,236,241,266 warrior prince, 17,23,260 Warmadewa, 92,141 water garden, 110 watu gilang, 48 wayang, 318 Wayang Beber, 125,318 Wayang kulit, 311 West Java(nese), 19,34,48,115, 120,172,201,261,263,307 West(ern) Lombok, 23,33,98,261, 305,306,308,314 West Sumatra, 217 White Garden, 19 winged demons, 289 Wiraguna, 201 Wringin Lawang, (see Candi section)
Y Yemen, 184 Yogyakarta, 21,64,179,187,193, 203,204,214 Yoni, 105 Yunnan, 31,34,37,62,81,157,184
Halaman berikutnya: Sebuah topeng dihantarkan keluar dari sebuah gedong di Pura Desa Sidakarya, tidak jauh dari Sanur (foto 1990). Ritual ini sangat identik dengan Majapahit. Upacara-upacara serupa akan dibahas secara lebih lengkap dalam Volume Dua.
Langgam Majapahit | 327
Glossary
n.: noun; v.: verbs; Bl.: Balinese; Ch.: Chinese; Du.: Dutch; Bh.: Bahasa; Jv.: Javanese; Sk.: Sanskrit
A Agem (Bl.) : salah satu posisi dalam tari. Agem adalah posisi berdiri penari laki-laki dan perempuan. Ancak saji (Bl.) : Pagar bambu; halaman luar puri di Bali . Acintya : universal/dewa tertinggi Hindu Arca (Bh.) : Patung yang terbuat daru batu atau batu bata. Arya (Jv./Bl.) : keturunan ksatria yang ada sejak jaman kerajaan B Babah (Ch.) : n. Istilah Cina setempat untuk ayah. Bade (Bl.) : n. Menara kayu/tempat mayat yang membawa jasad ke kuburan, dan sering dibawa oleh lusinan orang. Bale (Bl.) : istilah umum untuk pavilion atau bangunan beratap tanpa tembok atau tembok setengah. Bale agung (Bl.) : balai pertemuan. ~ kambang (Bl) : balai mengapung. ~ lantang (Bl.) : balai panjang untuk pertemuan masyarakat/upacara. ~ loji (Bl.) : balai peristirahatan. ~ patok (Bl.) : sudut balai. ~ piyasan (Bl.) : balai tempat sesaji/sarana upacara di pura keluarga. ~ semanggen (Bl.) : balai pertemuan dengan pelataran yang tinggi terletak di halaman luar puri. Bangsal (Bh.) : balai. Barong (Bl.) : sebuah avatar Dewa Hindu penguasa hutan, Banaspati Raja. Lihat rangda, di halaman lain. Batu nisan (Bh.) : pusara. Bedawang nala (Bl.): penyu suci dalam kosmos Hindu-Bali, sering tampak dililit oleh naga pada dasar pelinggih padmasana. Bedeg (Jv./Bl.) : lembar anyaman dari kulit bambu. Terutama dipakai sebagai material finishing tembok rumah bersama dengan struktur bambu atau kayu. Beji (Bl.) : mata air suci; Jawa: umbul (Bali: empul). Benang Bali (Bl.) : benang warna putih yang dipakai untuk pada saat upacara di bali Beteng (Jv.) : n. fortress Boma (Bl.) : n. a motif ukiran wajah dari bhuta kala arsitektur tradisional Bali, yang dikenal sebagai karang boma, salah satu motif khas yang digunakan di gerbang pura. Brem (Bl.) : n. air tape dari beras merah C Candi (Jv./Bh.) : n. bangunan kuil/pura kuno yang terbuat dari batu atau bata merah Candi bentar (Jv./Bl.) gapura. Cili : Dewi lambang kesuburan di Bali pra-Hindu Cungkup (Jv.) : struktur yang menyerupai kubah atau kamar makam yang menyimpan makam-makam penting pada kuburan Jawa.
328 |
Langgam Majapahit
D Dalang (Bh.) : atau dhalang dalam bahasa Jawa, adalah dalang dalam pertunjukan a wayang. De rigeur (Fr.) : n. ......................................... ..... Deutero-Malay : adalah orang-orang zaman Besi yang berasal dari bagian orang-orang Austronesia yang datang dan dilengkapi dengan tata cara bercocok tanam yang lebih maju dan pengetahuan baru tentang baja. Mereka satu kelompok tetapi lebih Mongolis dan sangat berbeda dari Proto-Malays yang lebih pendek dan berkulit gelap. Dewata (Jv./Bl./Bh.) : dewa-dewa, leluhur atau arwah yang disucikan (Bali disebut pulau ~/pulau para dewa). Dwarapala (Jv.) : penjaga berwajah seram yang biasanya ditempatkan di depan candi bentar pura atau puri. G Gajah mina (Jv.) : n. lihat makara. Gamelan (Jv.) : n. kelompok music tradisional (metallofon) yang terdiri juga dari beberapa alat perkusi kuningan, suling bambu, dan kadang-kadang dengan rebab (instrumen senar perkusi tradisional dengan satu atau dua senar). Instrumen bervariasi tergantung daerah. Garuda (Jv./Sk.) : adalah seekor burung sakti, mahluk menyerupai burung, atau burung. menyerupai manusia yang muncul pada mitologi Hindu maupun Buddha. Garuda adalah tunggangan (vahana) Dewa Wisnu. Gedong (Bl.) : Tempat pemujaan berbentuk kubah. Gedong pertama kali muncul pada masa dinasti Sanjaya abad VII. Geria (Bl.) : rumah Brahmana. Gunung (Bh.) : gunung; pe~an: pegunungan. Gunungan (Jv.) : gunung (pegunungan) tiruan. I Ijuk (Bh.) : serat pohon palem (Arenga pinnata). Berwarna hitam, dipakai sebagai bahan alternative untuk bangunan beratap jerami, terutama untuk pura. J Jathilan (Jv.) Joglo (Jv.)
: Tari trans Jawa : rumah adat masyarakat Jawa
K Kala (Jv.) : Kala dalam bahasa Sansekerta berarti hitam atau gelap. Merupakan perwujudan dari Yama, dewa kematian dalam agama Hindu. Kala juga berarti waktu atau periode. ~ muka: atau kirtimukha dalam bahasa sansekerta diterjemahkan sebagai wajah bercahaya atau wajah agung. Nama seekor mahluk seram dengan wajah menakutkan yang sedang menelan, dengan taring yang besar, dan mulut menganga, biasanya terdapat di atas balok pada sebuah pura Hindu. Kanjeng Ratu Kidul : figure sakti Jawa/Sunda yang dihormati yang dipercaya sebagai penjaga dinasti Mataram dan juga permaisuri spirituan sejumlah raja di Jawa Tengah. Karang (Bl.) : 1) pekarangan rumah; 2) motif ukiran. Kekawin ( ) : juga dikenal dengan nama sekar
agung, tembang gede atau wirama. Dapat dikelompokkan sebagai puisi yang ditulis dalam bahasa Kawi (Jawa kuno). Ada cara khusus dalam membawakannya yakni dengan menyanyikan/melantunkannya bait-baitnya dalam nada yang terpola (guru lagu). Kekawin biasanya dibawakan pada saat ritual Hindu atau prosesi. Keraton/kraton (Jv.) : istana; tempat tinggal raja beserta keluarga kerajaan. Kidung (Jv./Bl. ) : lagu atau puisi tradisional. Kincut (Bl) : bagian ujung atas dari kolom kayu ukir tradisional Bali Klenteng (Bh.) : atau Bio, adalah tempat pemujaan bagi orang Cina tradisional penganut agama di Indonesia secara umum. Agama-agama tradisional orang Cina adalah Taoisme , Kong-Hu-Cu , Buddhisme , Sam Kaw. Secara umum, Buddhisme menyebut klenteng sebagai wihara. Kul-kul (tower) (Bl.) : drum tradisional/lonceng kayu. Biasanya ditempatkan di bagian atas menara di desa/ masyarakat; fungsinya sama seperti lonceng gereja.
puisi oleh Mpu Prapanca abad XIV (1365 M) pada saat Raja Hayam Wuruk (Rajasanagara) berkuasa. Negarakertagama berisi 98 cantos terutama bercerita tentang Majapahit dan keluarga keraton, upacara dan persembahan untuk Raja Hayam Wuruk. Ngaben (Bl.) : n. Prosesi pembakaran mayat HinduBali (pelebon juga). Ngempon (Bl.) : mengurus (ngemong dalam bahasa Jawa.) sebuah pura. pe~: orang/klan yang mewarisi tanggung jawab untuk memelihara. Ngenteg linggih (Bl.) : serangkaian prosesi untuk menyucikan danmenghidupkan sebuah pura (atau merajan) Nyekah (Bl.) : (Jv.: nyekar) ritual penyucian roh atau tradisi mengunjungi orang tua atau makam sanak keluarga yang dihormati untuk memanjatkan doa.
L Lingga (Sk.) : (tatakan untuk Shiwalingga) sebuah benda tegak, biasanya diukir pada batu yang menggambarkan phallus Dewa Siwa. Melambangkan kesuburan. Lihat juga Yoni. Lumbung (Bh.) : bangunan tempat beras.
P Padmasana : sebuah tugu pemujaan terbuka untuk dewa tertinggi yang terbentuk dari tujuh tingkat unsur ukiran, termasuk dasar bedawang nala (lihat bagian B, di atas)
M Madrasah (Bh.) : dari kata Arab madrasa yang mengacu pada lembaga pendidikan, baik sekuler maupun religius (apapun agamanya). Dalam Bahasa Indonesiamengacu pada sekolah Islam, meskipun bukan agama Islam saja yang dipelajari. Makam : kuburan; pe~an: penguburan Makara(Jv.) : mahluk mitos berupa ikan dengan kepala gajah. Makara adalah kendaraan Dewa Baruna, dewa samudra. Di Bali, dikenal dengan nama gajahmina. Masjid or Mesjid (Bh.) : Mekemit (Bl.) : bermalam di pura untuk sembahyang atau meditasi. Melasti (Bl.) : irin-iringan para dewa menuju laut. Melukat (Bl.) : mandi ritual dengan air suci. Meru (Bl.) : n. bangunan arsitektur tradisional Bali yang memiliki atap bertingkat yang terdapat pada banyak pura. Meten (Bl.) : unit rumah dengan kamar tidur (secara umum). Terletak di bagian utara dari tipikal rumah tradisional Bali. Merajan/mrajan (Bl.) : pura keluarga puri Mimbar (Jv.) : Mustaka : kepala bangunan/komponen atap bangunan
Bawah: Pedanda (pemimpin upacara) sedang memasang jarum di kajang (simbol dari almarhum) dalam upacara Ngajum, Jero Lanang Tanjung, Kepaon 2013.
O Odalan (Bl.) : upacara Hindu Bali untuk merayakan berdirinya pura.
N Nawa sanga (Bl.) : delapan dewa penguasa penjuru mata angin dengan Dewa Siwa di bagian tengah Negarakertagama : Aslinya disebut Desawarnana, sebuah Langgam Majapahit | 329
Glossary
n.: noun; v.: verbs; Bl.: Balinese; Ch.: Chinese; Du.: Dutch; Bh.: Bahasa; Jv.: Javanese; Sk.: Sanskrit
Padmasari : hampir sama denga padmasana tetapi dalam bentuk yang sederhana. Terdiri dari tiga tingkat unsur ukiran (pepalihan). Patirtan (Jv.) : tempat untuk mandi dan mengambil air suci. Biasanya dipisahkan sesuai dengan fungsinya masing-masing. Disebut juga pura taman atau beji dalam bahasa Bali Patra (Bl.) : motif ukiran Paduraksa (Bl./Jv.) : pilar dengan karakter yang kuat pada bagian sudut tembok pembatas rumah. Pada sudut arah tenggara disebut Sri Raksa, timur laut disebut Aji Raksa, barat laut disebut Ludra Raksa, barat daya disebut Kala Raksa. Paduraksa juga dikenal sebagai istilah (diadopsi oleh arkeolog Belanda – S. Damais) untuk gapura yang beratap, yang sering ditemukan pada puri, makam atau pura. Paruman (Bl.) : forum rapat atau masyarakat Pasek : salah satu klan di Bali. Pasimpangan : atau penyawangan, adalah sebuah tugu pemujaan tempat para leluhur atau dewa melakukan kunjungan atau ‘transit’ dalam perjalanan dari satu pura menuju pura lainnya Pedarman (Bl.) : Beberapa pura Hindu-Bali untuk leluhur yang terletak di sebelah Pura Besakih, Bali. Padarman merupakan pengaruh pasca-Majapahit yang mungkin ditujukan untuk menyatukan semua klan di Bali. Pelinggih (Bl.) : istilah umum untuk bangunan pemujaan tempat Tuhan (atau segala manifestasinya bersemayam. Pendopo (Jv.) : paviliun terbuka; bangunan beratap yang ditopang oleh kolom, biasanya terletak di area umum keluarga keraton di masa lalu. Berasal dari bahasa Sansekerta, mandapa. Pengemong (Bl.) : puri pengemban Pengempon (Bl.) : seseoran atau klan atau kelompok orang yang bertanggung jawab mengurus sebuah pura. Diturunkan dari generasi ke generasi. Pesisir (Bh.) : wilayah pantai Prasada (Bl.) : n. 1) tugu pemujaan bertingkat dari batu pada sebuah pura di Bali; 2) (Sk.: rasa atau keindahan gerak). Dalam ajaran Hindu, istilah ini mengacu pada makanan dan air yang diberikan kepada bethara/bethari saat sembahyang. Dipercaya bahwa bethara/bethari menyantap dan mengembalikan persembahan tersebut, sehingga memberkahinya. Persembahan tersebut kemudian dibagikan dan dimakan oleh umat (Bl.: nyurud atau nglungsur). Prasasti (Bh.) : tulisan pada batu Proto-Malay : Malaya asli) atau Melayu purba (Malaya kuno), mengacu pada orang-orang Mongoloid dan Austronesia dari Asia daratan yang pindah ke Semenanjung Malaya dan kepulauan Malaya melalui serangkaian migrasi yang panjang antara 2500 dan 1500 SM. Proto-Malay adalah leluhur dari orang-orang Malaya di Malaysia dan Indonesia modern. Puputan (Bl.) : perang dengan cara bunuh diri jika kalah.
330 |
Langgam Majapahit
Pura (Bh./Bl.) : istilah untuk tempat suci agama Hindu di Indonesia. Pura Taman (Bl.) : pura air. R Rangda (Bl.) : perwujudan ratu sihir dalam upacara tari Calonarang. Resi/Rsi : istilah bagi orang suci. Pendeta nonbrahmana di Bali. S Sanggah (Bl.) : pura keluarga tempat para leluhur (juga Mrajan) Segaran (Jv.) : n. danau buatan dengan berbagai fungsi yang berhubungan dengan ritual, atau bahkan sebuah pertunjukan yang berhubungan dengan air (adegan kapal perang, misalnya) yang dipersembahkan bagi raja pada zaman Majapahit. Sinden (Jv.) : penyanyi wanita pada pertunjukan wayang kulit. Sanjaya : n. atau Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya adalah raja pertama Medang (Mataram kuno) dan juga pendiri dinasti Mataram di Jawa Tengah. Beliau berkuasa di kerajaan Medang sekitar 730 M. Sradha (Sk.) : ritual penyucian roh. Maligia/nyekah/ mukur dalam prosesi Hindu-Bali. Subak (Bl.) : organisasi sistem irigasi tradisional Bali untuk pertanian. Syailendra/Sailendra : dinasti Buddha pra-Majapahit yang memiliki kerajaan-kerajaan antara lain kerajaan terkenal Sriwijaya di Sumatra dan Medang di Jawa Tengah. Syailendra di Jawa Tengah, membangun Candi Borobudur, candi Buddha terbesar di Asia Tenggara. Pembangunan dimulai pada tahun 770 M, pada saat Raja Samaratungga berkuasa dan diselesaikan sekitar tahun 825 M oleh putrinya, Dewi Pramudawardani. T Tirta (Bl.)
: air sakral atau air suci
U Ukel (Jv.) : bubungan atap dekoratif. Ulanda : atau patra ulanda adalah salah satu motif ukiran bunga dalam arsitektur Bali. Umumnya motif menunjukkan wide leaves with bunga yang mekar dan putik bunga, buah dan carang. Umpak (Jv.) : tatakan kolom (Bali: sendi) Undagi (Bl.) : arsitek dan sering pula tukang kayu yang ahli dalam bidang arsitektur tradisional Bali. V Vassal (state) : negara bawahan dari negara lainnya. Pada kasus Kerajaan Majapahit, Negara-negara tersebut mencakup Negara Agung/Negara Besar (14 provinsi sesuai dengan prasasti Wingun Pitu tahun 1447 M), Mancanegara (selain Pulau Jawa, Madura, Bali, Dharmasraya, Pagaruyung, Lampung dan Palembang), Nusantara (Maluku, Kepulauan Sunda Kecil, Sulawesi, Kalimantan, dan Semenanjung Malaya), adan kerajaan-
kerajaan sekutu di Thailand, Kamboja, dan Myanmar. Vastu (Sk.) : tempat tinggal atau rumahyang terhubung dengan sebidang tanah. ~ shastra: sebuah doktrin kuno yang terdiri dari ajaran yang lahir dari pandangan tradisional bagaimana hukum alam mempengaruhi tempat tinggal manusia.. Vihara (Sk.) : tempat pemujaan Buddha. Sesungguhnya berarti “Sebuah tempat terpencil untuk berjalan “, dan mengacu kepada “tempat tinggal” atau”tempat aman” yang digunakan oleh para biksu yang berkelana pada saat musim hujan. Vijaynagar : sebuah kerajaan di India selatan. Dinasti yang berkuasa di India selama 3 abad (13361646 M) termasuk Mysore, Trichinopally, Kanara, Pondicherry, Chingalget dan Kanchivaram. Harihara I dan Bukka Raya (Sangama Bersaudara) adalah pendiri dinasti tersebut. Vajrayana : (sekitar abad III) juga dikenal dengan Buddhisme Tantris, Tantrayana, Mantrayana atau Buddhisme Esoterik. Didirikan oleh ahli pengobatan Tantri India, Mahasiddhas, mengacu kepada 3 kendaraan atau jalan menuju pencerahan, yang dua lagi adalah Hinayana dan Mahayana. W Wali Songo/walisongo (Jv.) : Sembilan orang suci Muslim yang menyebarkan agama Islam ke seluruh Jawa — mulai dari pesisir utara — dan beberapa tempat di Indonesia Wayang kulit : pertunjukan wayang kulit tradisional yang dibawakan oleh seorang dalang dengan ditemani gamelan dan sinden Wayang Beber : sebuah jenis pertunjukan wayang yang menggunakan kertas gulung yang diberi ilustrasi sebagai media untuk menceritakan sebuah cerita. Wipras : Y Yadnya (Bl.) : Yajna (Sk.), pengorbanan suci dalam agama Hindu. Pitra yadnya : pengorbanan suci bagi leluhur. Yoni (Sk.) : melambangkan genital perempuan. Sering dikaitkan dengan lingga sebagai lingga-yoni atau lingam-yoni. Di sejumlah daerah di Indonesia, dikenal juga dengan istilah lesung batu. Z Ziarah (Bh.)
: n. mengunjungi kuburan
Kanan: Bagian puncak Paduraksa (pilar) pada sebuah pura di Kubutambahan, Bali Utara.
Langgam Majapahit | 331
DAFTAR PUSTAKA Buku-buku 1. Akasah, Hamid, & Aby, Azizy. (2000). Babad Tanah Jawa (Majapahit-Demak-Pajang). Semarang: Cipta Adi Grafika. 2. Akasah, Hamid. (2006). Menelusuri Lokasi Bekas Keraton Demak. Semarang: CV. Cipta Adi Grafika. 3. Ardika, I.W., Parimartha, I.G., Wirawan, A.A.B. (2013). Sejarah Bali: dari prasejarah hingga modern. Denpasar: Udayana University Press. 4. Arifien, Tadjul R. (2007). Arya Wiraraja. Sumenep: Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Madura 5. Basyari, Hasan. (1989). Sekitar Komplek Makam Sunan Gunung Jati dan Sekilas Riwayatnya. Cirebon: Zulfana 6. Bechert, Heinz and R.F. Gombrich. (1991). The World of Buddhism. New York: Thames & Hudson. 7. Bellwood, Peter S. (1978). Man’s Conquest of the Pacific. The prehistory of Southeast Asia and Oceania. Auckland: William Collins Publisher Ltd. 8. Bennett, James. (2005). Crescent Moon, Islamic Art & Civilisation in Southeast Asia, (Bulan Sabit: Seni dan Peradaban Islam di Asia Tenggara). Adelaide: Art Gallery of South Australia; Canberra: National Gallery of Australia. 9. Boisselier, Jean. (1990). Majapahit. Paris: Beurdeley & Cie. 10. Brierley, Joanna H. (2001). Aspects of Indonesian Culture: Java, Sumatra, and Sulawesi. Jakarta: Indonesian Heritage Society 11. Bullough, Nigel, & Klot, Steven E. (1972). Bali: an Adventure in Cultural Ecology. Amsterdam: Kosmos 12. Bullough, Nigel. a.k.a. Hadi Sidomulyo. (1995). Historic East Java Remains in Stone. Jakarta: ADLine Communication 13. Campbell, Bronwyn. (2002). Museum Treasures of Southeast Asia. Singapore: The Asean Committee on Culture and Information. 14. Carpenter, Bruce W. (1997). W.O.J. Nieuwenkamp, first European artist in Bali. Abcoude, The Netherlands: Uitgeverij Uniepers 15. Chihara, Daigoro. (1996). Hindu-Buddhist Architecture in Southeast Asia [trans. Rons W. Giebel]. Leiden: E.J. Brill. 16. Churchill, G., Subandi, M., Setiadi, Hanuri, & Prakasa, S. (2009), Semar Semarak, Citra Semar dalam Kesenian Rakyat Indonesia. Jakarta: PT. Tatanusa. 17. Coedès, G. (1968), The Indianized State of Southeast Asia. Honolulu: University of Hawai’i Press. 18. Cortesao, Armando. (1944). The Suma Oriental of Tome Pires and The Book of Francisco Rodrigues. London: Hakluyt Society.
332 |
Langgam Majapahit
19. Damais, Soedarmadji J. H. (2012). Majapahit Terracotta: The Soedarmadji Jean Henry Damais collection. Jakarta: BAB Publishing Indonesia. 20. Darling, D., Laidlaw, J.A., Owens, L. (1997). Treasures of the National Museum, Jakarta. Jakarta: Buku Antar Bangsa 21. Darmanuraga, A.A.N. Putra. (2011). Perjalanan Arya Damar dan Arya Kenceng di Bali. Denpasar: Pustaka Larasan. 22. Drake, Earl. (2012). Gayatri Rajapatni, Perempuan di Balik Kejayaan Majapahit. Yogyakarta: Ombak. 23. Eiseman Jr., Fred B. (1994). The Story of Jimbaran. Bali: independent publication 24. Enzheng, Tong. (1990). Zhongguo Xi’nan Minzu Kaogu Gu Lun Wen Ji (Mandarin Chinese Edition). Xin hua shu dian jing xiao. 25. Fic, Victor M. (2003). From Majapahit and Sukuh to Megawati Sukarnoputri: Continuity and change in pluralism of religion, culture and politics of Indonesia from the XV to the XXI century. New Delhi: Abhinav Publication. 26. Fox, David J. Stuart. (1982). Once a Century, Pura Besakih and the Eka Dasa Rudra Festival. Jakarta: Sinar Harapan and Citra Indonesia. 27. Gallop, Annabel T. (1995). Early Views of Indonesia, Drawings from the British Library. London: The British Library; Jakarta: Yayasan Lontar 28. Gaspar, A., Casanovas, A., Couteau, J. (2014). Lempad, a timeless Balinese Master. Netherlands: Pictures Publishers 29. Geertz, Hildred. (2004). The Life of a Balinese Temple: artistry, imagination and history in a peasant village. Honolulu: University of Hawai’i Press 30. Gittinger, Mattiebelle. (1990). Splendid Symbols, Textiles and Tradition in Indonesia. Oxford, New York, Singapore: Oxford University Press. 31. Glover, Ian & Bellwood, Peter. (2013). Southeast Asia from Prehistory to History. Eastbourne, USA: Antony Rowe Ltd. 32. Guy, John. (1998). Woven Cargoes, Indian Textiles in the East. New York: Thames and Hudson 33. Haer, D.G., et. Al. (editor). (2000). Archipelago Guides: Bali, a traveller’s companion. Singapore: Edition Didier Millet Pte. Ltd 34. Hamzuri. (------). Seri Rumah: Rumah Tradisional Jawa. Jakarta: Proyek Pengembangan Permuseuman D.K.I. Jakarta Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 35. Hardjonagoro, K.R.T. (2001). Kirab Pusaka. Solo: PT. Solo Murni 36. Hauser-Schäublin, Brigitta. (1997). Traces of Gods and Men, temples and rituals as landmarks of social events and processes in South Bali village. Berlin: Dietrich Reimer Verlag.
37. Holland, Tom. (2012). In the Shadow of the Sword, The battle for global empire and the end of the ancient world. London: Little, Brown Book Group. 38. Ismail, Moktar Haji. (1992). Rumah Tradisional Melayu Melaka. Kuala Lumpur: United Selangor Press Sdn. Bhd. 39. Joosten, P. L., & Verrijt, E.M. (1992). Samosir: the Old Batak Society. Pematangsiantar. 40. Kaler, A.A. Made. (2007). Sejarah Puri Gerenceng Pemecutan Badung dan Salah satu Warihnya. Denpasar. 41. Kant-Achilles, Mary, F. Seltmann, and R. Schumacher.(1990). Wayang Beber, Das wiederentdeckte Bildrollen-Drama Zentral-Javas. Stuttgart: Franz Steiner 42. Kasdi, Aminuddin. (2005). Kepurbakalaan Sunan Giri. Surabaya: Unesa University Press. 43. Kaudern, Walter. (1925). Ethnographic Studies in Celebes: Results if the author’s expedition to Celebes, 1917-1920s. Gӧteborg: Elanders Boktryckeri Aktiebolag. 44. Kempers, A.J.B. (1959). Ancient Indonesian Art. Amsterdam: C.P.J. Van der Peet. 45. Kempers, A.J.B. (1991). Monumental Bali Introduction to Balinese Archaeology & Guide to the Monuments. Singapore: Periplus Editions Inc. 46. Kieven, Lydia. (2013). Following the Cap-Figure in Majapahit Temple Reliefs. Leiden: Koninklijke Brill NV. 47. Kinney, Ann R., Klokke, Marijke J., and Kieven, Lydia. (2003). Worshiping Siva and Buddha, The Temple Art of East Java. Honolulu: University of Hawaii Press 48. Kleen, Tyra de. (1970). Mudras, the ritual handposes of the Buddha priests and the Shiva priests of Bali. NewYork: University Book Inc. 49. Kleinsteuber, Asti & Maharadjo, Syafri M. (2012). Masjid-Masjid Kuno di Indonesia, Warisan Budaya dari Masa ke Masa (Old Mosques in Indonesia, Culture Heritage Through the Times). Jakarta: Genta Kreasi Nusantara 50. Krom, N.J. (1923). Hindoe-Javaansche Kunst. S-Gravenhage: Martinus Nijhoff. 51. Kumar, Ann & McGlynn, John H. (1996). Illuminations: The writing traditions of Indonesia. Jakarta: The Lontar Foundation; New York & Tokyo: Weatherhill, Inc. 52. Kusumajaya, I.M., Soviyani, A., & Nugroho, W. D. (2001). Mengenal Kepurbakalaan Majapahit di daerah Trowulan. Surabaya: Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) 53. Lombard, Denys. (2010). Gardens in Java [trans. by John Miksic]. Jakarta: École française d’ExtrémeOrient.
54. MacKenzie, Jennifer. (2009). Borobudur. Yarraville: Transit Lounge Publishing 55. Mannikka, Eleanor. (1996). Angkor Wat, Times, Space, and Kingship. Honolulu: University of Hawai’i Press 56. Michell, George. (2000). Hindu Art and Architecture. London: Thames & Hudson Ltd. 57. Miksic, John N. (1985). Archaeological Research on the “Forbidden Hill” of Singapore: Excavations at Fort Canning, 1984. Singapore: National Museum Singapore. 58. Miksic, John N. & Soekatno, Endang S.H. (1995). The Legacy of Majapahit. Majapahit Sunburst with Guardian Gods of the Nine Directions. Singapore: National Heritage Board. 59. Miksic, John N., et al. (1996). Indonesian Heritage. Vol.1: Ancient History. Singapore: Archipelago Press. 60. Miksic, John & Tjahjono, Gunawan. (1996). Indonesian Heritage Vol. 6: Architecture. Singapore: Archipelago Press 61. Miksic, John. (2004). Karaton Surakarta. Surakarta: Yayasan Pawiyatan Kabudayan Karaton Surakarta. 62. Miksic, John N. (2011). Old Javanese Gold: The Hunter Thompson collection at the Yale University Art Gallery. New Haven: Yale University Art Gallery 63. Miksic, John N. (2012). The Court of Surakarta. Jakarta: BAB Publishing Indonesia 64. Moojen, P.A.J. (1926). Kunst op Bali. Den Haag: Adi Poestaka 65. Muljana, Slamet. (1966). The Structure of The National Government of Madjapahit. Jakarta: P.N. Balai Pustaka 66. Muljana, Slamet. (1968). Runtuhnja Keradjaan Hindu Djawa dan Timbulnja Negara-negara Islam di Nusantara. Jakarta: Bhratara. 67. Muljana, Slamet. (1980). Dari Holotan ke Jayakarta. Jakarta: Yayasan Idayu 68. Muller, Carole. (2011). Bali Aga Villages: field work in 1980s. Sydney: Walsh Bay Press. 69. Muller, Carole. (2013). Nusa Penida: An adventure in 1990. Sydney: Walsh Bay Press. 70. Munandar, Agus A. (2008). Ibukota Majapahit, Masa Jaya dan Pencapaian. Jakarta: Komunitas Bambu. 71. Munandar, Agus A. (2011). Bangunan Suci Sunda Kuna. Jakarta: Wedatama Widya Sastra. 72. Munandar, Agus A. (2011). Catuspatha Arkeologi Majapahit. Jakarta: Wedatama Widya Sastra. 73. Ngô, Văn Doanh. (2012). Champa Ancient Towers – Reality & Legend. Hanoi: Thế Giới Publisher 74. Nieuwenkamp, W.O.J. (1926). Inlandsche Kunst van Nederlandsch Oost-Indië: Beeldhouwkunst van Bali (vol.1). The Hague: H. P. Leopold’s UitgeversMaatschappij. Langgam Majapahit | 333
DAFTAR PUSTAKA 75. Nieuwenkamp, W.O.J. (1928). Inlandsche Kunst van Nederlandsch Oost-Indië: Beeldhouwkunst van Bali (vol.2). The Hague: H. P. Leopold’s UitgeversMaatschappij. 76. Noertjahjo, A.M. (1963). Tjeritera Rakjat Sekitar Wali Sanga. Jakarta: Pradnja Paramita II. 77. Pemberton, John. (1994). On the Subject of Java. Ithaca, New York: Cornell University Press. 78. Perez, Rodrigo D. (1989). Folk Architecture. Quezon City: Gilda Cordero-Fernando 79. Perkasa, Adrian. (1988). Orang-orang Tionghoa & Islam di Majapahit. Yogyakarta: Ombak 80. Pigeaud, T.G.T. (1960). Java in the 14th Century: A Study in Cultural History. The Nagra-Kertagama by Rakawi Prapanca of Majapahit 1365 (3 ed.), 5 vols. The Hague. 81. Pijper, G.F. (1947). The Minaret in Java, in F.D.K. Bosch et. Al. (ed), India Antigua. A Volume of oriental studies presented by his friends and pupils to Jean Philippe Vogel (O). Leiden: Brill, Kern Institute, pp. 274-83 82. Pucci, Idanna. (1985). The Epic of Life: A Balinese Journey of the Soul. New York: Alfred van der Marck Editions. 83. Ramseyer, Urs. (2009). Theatre of the Universe, Ritual and Art in Tenganan Pegeringsingan Bali. Basel: Museum der Kulturen Basel 84. Reuter, Thomas A. (2002). Custodians of the Sacred mountains, culture and society in the highland of Bali. Honolulu, University of Hawai’i Press. 85. Rodriguez, Yves. (1992). Nat-Pwe Burma’s Supernatural Sub-Culture. Scotland: Paul Strachan Kiscadale. 86. Salam, Solichin. (1967). Dja’far Shadiq – Sunan Kudus. Kudus: Menara. 87. Sastra, Gde S. (2008), Bhujangga Waisnawa dan Sang Trini. Denpasar: Pustaka Bali Post. 88. Said, K.H. Ibrahim. (1969). Sunan Ampel. Kudus: Menara. 89. Sidomulyo, Hadi. (2007). Napak Tilas Perjalanan Mpu Prapanca. Jakarta: Wedatama Widya Sastra. 90. Sidomulyo, Hadi. (2013). Mengenal Situs Purbakala di Gunung Penanggungan. Surabaya: Ubaya Press. 91. Sinar, Tengku L. (2011). Sejarah Medan Tempo Doeloe. Medan: Sinar Budaya Group 92. Sjamsuddin, R., Bullough, N., & Mujiyono P.H. (1990). Discovering East Java. Surabaya: Regional Government of East Java. 93. Sjamsuddin, R., Bullough, N., & Mujiyono. (1991). East Java: the Glorious Century. Surabaya: Regional Government of East Java. 94. Sjamsuddin, R., Bullough, N., & Mujiyono. (1992). Wali Songo Pilgrimage. Surabaya: Regional Government of East Java
334 |
Langgam Majapahit
95. Sjamsuddin, R., Bullough, N., & Mujiyono. (1993). Memories of Majapahit. Surabaya: East Java Government Tourism Service. 96. Soemantri, Hilda. (1997). Majapahit Terracotta Art. Jakarta: Ceramic Society of Indonesia. 97. Stutterheim, Willem F. (1929). Oudheden van Bali. Singaraja: Bali Kirtya Liefrinck-Van der Tuuk. 98. Sulendraningrat, P.S. (1984). Babad Tanah Sunda/ Babad Cirebon. Cirebon: independent publication. 99. Sunyoto, Agus. (2012). Atlas Wali Songo: Buku pertama yang mengungkap Wali Songo sebagai fakta sejarah. Jakarta: Pustaka IIMaN 100. Surpha, I. W. (2002). Seputar Desa Pakraman dan Adat Bali. Denpasar: Pustaka Bali Post 101. Sutiari, I.G.A. & Kanta, I.M. (1980). Kertha Gosa. Denpasar: Sasana Budaya Bali Project by Directorate General of Culture, Department of Education and Culture 102. Suyono, S.J., Adi, W., Herliany, D.R., Muhtarom, I. (2012). Memori dan Imajinasi Nusantara: Musyawarah Agung Penulis Cerita Silat dan Sejarah Nusantara. (Borobudur Writers & Cultural Festival). Yogyakarta: Samana Foundation 103. Tjandrasasmita, Uka. (1975). Islamic Antiquities of Sendang Duwur [trans: Satyawati Suleiman]. Michigan: Archaeological Foundation 104. Waterson, Roxana. (1990). The Living House, An Anthropology of Architecture in South-East Asia. Singapore: Oxford University Press 105. Wijaya, Made. (1984). Balinese Architecture: towards an encyclopaedia. Bali: Wijaya Words. 106. Wijaya, Made. (1984). Statues of Bali: variety and design in Balinese sculpture – a glimpse. Bali: Wijaya Words. 107. Wijaya, Made. (2005). Architecture of Bali: A source book of traditional and modern forms. Singapore: Editions Didier Millet. 108. Wijaya, Made. (2008). The Best of Stranger in Paradise: Diaries of an expatriate (1996-2008). Bali: Wijaya Words. 109. Williams, Adriana & Chong, Yu-Chee. (2005). Covarrubias in Bali. Singapore: Editions Didier Millet. 110. Williams, Julie S. (1997). From the Mountains to the Sea. Honolulu: Kamehameha School Press 111. Wiryoprawiro, Zein M. (1986). Arsitektur Tradisional Madura Sumenep dengan Pendekatan Historis & Deskriptif. Surabaya: Laboratorium Arsitektur Tradisional FTSP ITS. 112. Worsley, Peter. (2013). Mpu Monaguna’s Sumanasãntaka: An Old Javanese Epic Poem, its Indian Source and Balinese Illustrations. Leiden: Koninklijke Brill NV 113. Wurtzburg, C.E. (1984). Raffles of the Eastern Isles. New York: Oxford University Press.
114. Yudodiprojo, K.R.T. (1997). Arti dan Berdirinya Karaton Ngayogyakarto Hadiningrat. Yogyakarta
Paper, Jurnal, Manuskrip, Proposal Karya 1. --------------. (1991). Kratons of Java [manuscript]. Jakarta: Minister of Tourism, Posts and Telecommunication, Republic of Indonesia (funded by American Express Foundation). 2. --------------. (------). Sejarah Singkat Istana Maimoon Medan. Medan 3. --------------. (2009). Waters in South and Southeast Asia: Interaction of Culture and Religion [abstract book]. Bali: The 3rd SSEASR Conference Organising Committee. 4. Behrend, T. E. (1984). Kraton, Taman and Mesjid: A brief survey and bibliographic review of Islamic antiquities in Java. Indonesia Circle 35: 29-55, Nov. 1984 5. Darmosoetopo, Riboet. (1997). Hubungan Tanah Sima dengan Bangunan Keagamaan di Jawa pada Abad IX-X [dissertation presented senate of Gajah Mada University to obtain Doctoral degree in Archaeology]. Yogyakarta. 6. Graaf, H. D de. (1963). The origin of the Javanese mosque. Journal of Southeast Asian History 4(i): 1-5. Cambridge University Press 7. Forge, Anthony. (1980). Tooth and Fang in Bali. Canberra Anthropology Journal Vol. 3 Issue 1: pp116. 8. Gupta, Sunil. (2005). The Bay of Bengal Interaction Sphere (1000 BC – AD 500). Indo-Pasific Prehistory Association Bulletin, 25, 21-30. Taipei Papers, Volume 3 9. Hardjonagoro, K.R.T. (1979). The Place of Batik in the History and Philosophy of Javanese Textiles: A personal view [paper, trans.: R.J. Holmgren]. Washington DC: 1979 Textile Conference at the Textile Museum. 10. Hill, A.H. (1963). The Coming of Islam to North Sumatra, Journal of Southeast Asian History 4(i): 6-21. Cambridge University Press 11. Hinzler, H.I.R. (1995). Architecture and Ergonomics of Javanese Temples [paper]. 12. Hinzler, H.I.R. (1995). Orientation of Monuments [paper]. 13. Hinzler, H.I.R. (2004). Buddhist Pantheon in Ancient Java Based on Data in Old Javanese Texts [compilation] 14. Hinzler, H.I.R. (2006). Statues, Buildings and Worship in Ancient Java [paper]. 15. Hinzler, Hedi I.R. (2013). North Bali First Encounters, Innovation in North Bali, Influences from Abroad and Influences of North Bali Abroad End of 19th – beginning of 20th century [paper].
16. Johnston, Susi. (2013). Perhiasan Majapahit [paper]. 17. MacRae, Graeme S. (1997). Economy, Ritual and History in A Balinese Tourist Town [thesis presented to University of Auckland in partial fulfilment of the requirements for the degree of Doctor of Philosophy]. 18. Mestu, Slamet. (2003). Makam Aer Mata, situs pemakaman raja-raja Bangkalan. Bangkalan: Dinas Pendidikan & Kebudayaan Kabupaten Bangkalan. 19. Murya, A.A.P., Inggas, A.A.G.N.M., and Oka, A.A.N. (1993). Sejarah Puri Pemecutan Badung. Denpasar. 20. Murya, A.A. Putu. (2009). Semeton Agung Lanang Tanjung, Puri Tanjung Sari Pemecutan, Denpasar. 21. Suarka, I. N., Pidada, I. B. J. S., Utama, I. W. B., & Sukayasa, I. W. (2009). Toya Ring KauripanKasuksman, Kawigunan lan Pikobet. Denpasar. 22. Warsika, I. G. M. (------). Dinamika Kekuasaan RajaRaja Bali Kuno. Klungkung. 23. Vickers, Adrian. (2014). Majapahit as the Basis of Indonesia: A New Javanism [paper]. Sydney
Buku Panduan, Katalog Lelang/Eksibisi dan pamflet 1. --------------. (2013). Rijksmuseum: 250 Highlights. Amsterdam: Rijksmuseum. 2. --------------. (------). Shung Ye Museum of Formosan Aborigines Guidebook. 3. --------------. (2013). Works from the Donald Friend Collection Including Bali and Southeast Asia [catalogue of auction]. Sydney: Deutscher and Hackett. 4. Bennett, Roby et.al. (1984). Arts of the Indonesian Archipelago, an exhibition of Indonesia primitive art and artefacts [catalogue of exhibition at the Craft Councils Centre Gallery, Sep 14 – Oct 28 1984]. Sydney: Craft Councils of New South Wales. 5. Brakel, J.H. van, et al. (1987). Budaya Indonesia. Arts and Crafts in Indonesia [catalogue of exhibition at the Tropenmuseum Amsterdam, Dec 16, 1987 – Aug 21, 1988]. Amsterdam: Royal Tropical Institute. 6. Dalem, A.A.G. Rama Pujawan. (2012). Pameran Lukisan Goresan di Atas Daun Lontar. Ubud: Puri Kaleran Pusaka Peliatan. 7. Fontein, Jan. (1990). The Sculpture of Indonesia, with essays by R.Soekmono and Edi Sedyawati [catalogue of exhibition at the National Gallery of Art, Washington D.C.]. New York: Harry N. Abrams, Inc. 8. Lind, Elisabet. (2003).Masks and Myths in the Island of Indonesia: Collection Rolf de Maré [catalogue of exhibition at Dansmuseet Nov 19, 2003 – Feb 29, 2004]. Stockholm: Dansmuseet. Langgam Majapahit | 335
DAFTAR PUSTAKA 9. Maxwell, Robyn. (2010). Life, Death & Magic: 2000 years of Southeast Asian ancestral art [cataloguingin-publication]. Canberra: National Gallery of Australia. 10. Newton, Gael. (2014). Garden of The East, photography in Indonesia 1850s – 1940s. Canberra: National Gallery of Australia 11. Reichle, Natasha. (2010). Bali: Art, Ritual, Performance [catalogue of exhibition at A.A.M.S.F.]. San Fransisco: Asian Art Museum of San Francisco 12. Wahyono, Martowikrido. (1995). L’or de l’archipel, in Les Ors de l’Archipel Indonésien [catalogue of exhibition at Musée National des Arts AsiatiquesGuimet May 5-July 31, 1995]. Paris: Réunion des Musées Nationaux. 13. Zandvliet, Kees et.al. (2002). The Dutch Encounter with Asia 1600-1950 [cataloguing-in-publication]. Amsterdam: Rijksmuseum and Waanders Publishers - Zwolle. 14. Zheng, Chantal. (2004). Les Presbytériens Anglais a Taiwan, la Recontre avec les Austronésiéns 18651940. Taipei: Shung Ye Museum of Formosan Aborigines.
Web 1. Handinoto & Hartono, Samuel. (2007). Pengaruh Pertukangan Cina pada Bangunan Mesjid Kuno di Jawa Abad 15-16. Retrieved from http://fportfolio. petra.ac.id/user_files/81-005/Dimensi1.pdf 2. Majapahit Jawa Bali – A group account on Facebook https://www.facebook.com/ groups/222093747913659/ 3. Wijayapilem2, video collections on www.youtube. com by Made Wijaya. http://www.youtube.com/ user/wijayapilem2 4. http://www.youtube.com/watch?v=GRA-smO6Amo 5. Sarnowsky, Jürgen. (2010-2011). Java Sources, material for the medieval history of Indonesia – The historical poem Nagara-Kertagama. Retrieved from http://www1.uni-hamburg.de/java-history/ JavaNagara-Kertagama.html 6. http://books.google.com 7. http://www.arkeologisunda.blogspot.com 8. http://www.flickr.com 9. http://img1.wikia.nocookie.net 10. http://www.purikarangasem.com/puri/article_ static/puri_karangasem_historical_society1 11. http://www.strangerinparadise.com 12. http://www.teguhhariawan.wordpress.com 13. http://tikusprasasti.blogspot.com 14. http://www.wikipedia.com 15. http://www.id.wikipedia.org 16. http://www.wilwatiktamuseum.wordpress.com 17. http://www.wiramandalika.blogspot.com
336 |
Langgam Majapahit
PHOTO CREDIT Seluruh foto oleh Made Wijaya, kecuali berikut, sesuai urutan abjad: • A.A. Gede Agung, pp.86 • Agung Handoko, pp.232 • Agus Setiawan, pp.113,115,128(a,b,c),129(b,c), 135(a),192 • Ann R. Kinney, pp.107 • Bimo S. Nimpuno, pp.46 • Claude Gourlay (on Flickr), pp.62 • Chris Hazzard, pp.150 • Eddy Hasby, pp.44-45 • Franco Salmoiraghi, pp.34 • Greg Churchill, pp.19,75,86,87 ,90,91,135,287 • Gusti Bagus Karang Harryartha, pp.300 • Gopar, pp.49 • Hadi Sidomulyo, pp.121, • Hendrik Veen, pp.88 • Hermita (on Flickr), pp.113,234 • John Miksic, pp.38 • Kadek Wirawan, pp.48 • Laserpit (on Flickr), pp.128 • Laura van Wieringen, pp.58-59,148 • Linggar Saputra Wayan, pp.318 • Marc Aurel, pp.78,104 • Mario Kampes (on Flickr), pp.131 • Made Kader, pp.48,140 • Meffi (on Flickr), pp.87,144 • Milo Migliavacca, pp.72 • Muh Sirojul (on Flickr), pp.223 • Nic Aplin, pp.79 • Nick Williams, pp.102 • P.A.J. Moojen, pp.76,287 • P.F. Valoris (via Flickr), pp.136,148 • PHGCOM on www.id.wikipedia.org, pp.106 • Pier Poretti, pp.63,79 • Rio Helmi, pp.80-81 • Riyono Putra Penanggungan, pp.91,103,105 • Rotua Damanik (Rottyu) on Twitter, pp.124 • Roxana Waterson, pp.30 • Sulin Handoko, pp.92,114 • Tim Street-Porter, p.p54-55,93,105,149 • Toshiyuki Aoyama/Phimee (on Flickr), pp.119,128 • W.F. Stutterheim, pp.121 • Wahyudi Burhan, pp.39 • Yudha Ganz on Flickr, pp.121 Permohonan maaf bagi para fotografer yang karyanya kami gunakan tetapi tidak berhasil kami dapatkan izinnya. Halaman berikutnya: Bentala dari terakota yang langka pada balai berlanggam Majapahit hasil rekonstruksi di Candi Ceto, Jawa Tengah
Langgam Majapahit | 337
338 |
Langgam Majapahit
Langgam Majapahit | 339