04 hindu majapahit (p94 p163)

Page 1

94 | Langgam Majapahit

Langgam Majapahit | 95


BAB 4

Hindu Majapahit P

ada abad XIII mereka yang berasal dari garis keturunan kerajaan KediriSingosari telah berhasil mendirikan sebuah kerajaan baru di Trowulan yang mereka namakan Keraton Majapahit. Kerajaan yang berkembang mungkin mengambil namanya dari keraton ini dan bukan sebaliknya. Pusat kerajaan Majapahit adalah Trowulan, karena disanalah dapat dijumpai deretan gapura dan candi dari bata merah. Akan tetapi harus diakui bahwa Majapahit memiliki cakupan yang luas dalam hal basis seremonial. Candi Penataran, candi kerajaan yang terletak di Blitar, sekitar 50 mil (80 kilometer) jaraknya, dan candi penting lainnya yang diperuntukkan bagi leluhur kerajaan, seperti Candi Singosari dekat Malang, Candi Jawi dekat Pandaan, serta Candi Tegowangi dan Candi Surowono di Kediri, berada dalam satu lingkar seremonial. Penguasa agung Majapahit, Raja Rajasanagara (Hayam Wuruk (1350-1389)) selalu berkeliling di wilayahnya untuk singgah di candi-candi atau tempat suci leluhur beliau, sama seperti halnya keluarga puri di Bali yang meluangkan banyak waktu mereka mengunjungi purapura leluhur mereka di berbagai tempat.

Dua halaman sebelumnya: Candi Penataran dari abad XII adalah komplek candi Hindu terbesar di Jawa Timur. Diperkirakan sebagai ‘candi ibu’ dari kerajaan Majapahit, serupa dengan status yang dimiliki oleh Pura Besakih di Bali kini. Bentuk-bentuk prasada, meru, bale agung dan gedong yang ditemukan di banyak pura di Bali juga tampak di tempat ini. Komplek ini memilki sebuah pura taman kecil di sebelah timur seperti pola yang tampak pada pura di Bali saat ini. Sayangnya hanya sedikit yang tersisa dari gerbang Kuri Agung, salah satunya adalah pondasi gerbang yang memang sangat besar. Halaman sebelumnya: Keindahan memukau dari patung Prajnaparamita yang ditemukan dekat Candi Singosari, dipercaya sebagai penggambaran Ratu Dedes (Ken Dedes) permaisuri pertama kerajaan Singosari, pasangan dari Ken Arok, penguasa pertama Singosari, Jawa, Indonesia. Ratu Dedes kemudian dianggap sebagai cikal bakal garis keturunan raja-raja yang menguasai tanah Jawa, dan juga ibu agung dari dinasti Rajasa, keluarga bangsawan yang memerintah Jawa sejak zaman Singosari hingga Majapahit. Kebiasaan setempat menyebutnya sebagai wanita dengan kecantikan yang luar biasa (dari koleksi Museum Nasional Indonesia). Atas: Detil kuil Hindu di zaman Majapahit yang tampak pada relief abad XII di Candi Jago, Malang, memperlihatkan sebuah paviliun pojok (bale patok di Bali), tugu prasada besar dari batu beratap tingkat seperti pada Candi Penataran, dan tiga paviliun pemujaan seperti bale piyasan yang ada di Bali. Tugu pemujaan beratap tingkat dibangun di atas sebuah pondasi tunggal yang dapat ditemukan di Bali utara hingga saat ini. Hal ini mendukung teori saya (dalam Bab 6) bahwa dalam beberapa hal, Buleleng (Bali utara) adalah pewaris sejati dari langgam gaya Majapahit.

96 | Langgam Majapahit

Langgam Majapahit | 97


LANGGAM MAJAPAHIT

HINDU MAJAPAHIT

KEKUASAAN MAJAPAHIT DI ABAD XV

LEGENDA Laut di bawah pengaruh Majapahit Ibukota Majapahit Wilayah inti Majapahit Kerajaan-kerajaan bawahan Majapahit Wilayah ekspedisi laut Majapahit

Re-illustrated after J.Miksic, 2004

Pada lereng Gunung Penanggungan di atas Trowulan terdapat punden-punden berundak — tempat pemujaan leluhur — persis seperti pura pedarman di Besakih, Bali saat ini, yang juga memiliki altar sederhana tempat pemujaan dewa-dewa pegunungan. Ritual-ritual ‘pembersihan’ yang melibatkan korban hewan-hewan peliharaan bagi dewi penguasa danau pegunungan dalam wilayah kerajaan Majapahit merupakan bagian dari agenda seremonial rutin kala itu — ritual yang masih berlanjut hingga hari ini, khususnya di Gunung Raung, Jawa, di Danau Rinjani, Lombok dan di Danau Batur, Bali. Di akhir abad XIX, raja Lombok Barat, yang merupakan bangsawan kerajaan Karangasem, bahkan membuat sebuah segaran,

sebuah miniatur dari Danau Rinjani. Segaran ini terletak berdampingan dengan Taman Narmada dan menjadi tempat melempar miniatur berbentuk hewan dari emas — danau yang sesungguhnya terlalu jauh. Tradisi untuk mendirikan ‘pura persinggahan’, atau danau buatan sepertinya sudah berlangsung sejak zaman Hindu Majapahit. Beberapa ahli percaya bahwa patirtan Candi Tikus yang terletak di dekat pusat kerajaan Majapahit, sebagai ‘persinggahan’ (Bali: pasimpangan atau penyawangan) dari beberapa candi besar yang diwujudkan dalam bentuk miniatur candi pada pelatarannya (lih foto h.130). Bagian paling tengah dari beberapa miniatur candi ini sangat mirip dengan Candi Jawi. Salah satu peninggalan arsitektur Majapahit yang paling menonjol adalah candi bentar atau gapura apit. Panel-panel ukir yang menampilkan candi bentar bisa ditemukan pada candi-candi abad IX (Borobudur), tetapi ketika kemudian dibuat dengan bata merah, secara simbolis tercipta sebuah arsitektur candi dan keraton zaman Majapahit. Ketika dibawa ke Bali, simbol ini menjadi lambang daerah Bali selama masa pemerintahan kolonial Belanda, yang pada akhirnya di tahun 1910 tampil dalam lambang resmi Bali yang pertama. Dilukis oleh pelukis Belanda W.O.J. Nieuwenkamp, lambang ini memuat sebuah candi bentar

Atas: Lambang pertama Bali, dengan candi bentral sebagai motif utamanya, dirancang di tahun 1906 oleh Nieuwenkamp (gambar dari Beeldhouwkunst van Bali oleh W.O.J. Nieuwenkamp). Bawah: Maket ibukota Majapahit, dibuat tahun 2013 untuk Museum Trowulan. Maket ini didasarkan pada hasil penafsiran dari naskah-naskah kuno zaman Majapahit dan sisa-sisa reruntuhan setempat (seizin dari Museum Trowulan).

Atas: Sebagai negara maritime Majapahit mengembangkan wilayah kekuasaannya melalui perdagangan lintas laut dan dominasi dalam dunia kelautan. Pada masa kejayaannya, wilayah kerajaan dan hubungan diplomatik membentang hingga Jepang dan India Selatan. Kanan: Denah komplek Candi Penataran dari abad XIII memperlihatkan penataan yang sama dengan pura besar di Bali (digambar ulang dari sketsa Bernet Kempers, 1936).

98 | Langgam Majapahit

Re-illustrated after A.J. Bernet Kempers, 1959

Langgam Majapahit | 99


LANGGAM MAJAPAHIT

HINDU MAJAPAHIT di Bali Utara. Seperti halnya Sriwijaya, Majapahit pada dasarnya adalah kerajaan maritim, menyebarkan pengaruhnya melalui hubungan-hubungan maritim dan peperangan. Manuskrip dari jaman ini menyatakan bahwa Segara Agung, kolam besar di depan Pendopo Agung (balai seremonial keraton), adalah tempat untuk simulasi perang dan parade armada laut untuk menghormati raja. Tiang-tiangnya masih ada di dekat panggung bagi raja untuk menyaksikan acara sekaligus menjadi tempat mengikatkan gajah, guna menambah semarak pesta raja. Ada bukti — baik fisik maupun tertulis — bahwa kota Majapahit dilintasi kanalkanal layaknya Venesia, yang menjadikannya bagian sejarah Indonesia yang unik. Air menjadi sesuatu yang sangat dihormati. Dalam tradisi Hindu-Majapahit, pemujaan terhadap air suci (pekuluh) masih banyak dilaksanakan di Bali saat ini. Pembuatan kolam air untuk pura taman dan taman sari adalah — perlambang sumber kehidupan yang mengitari gunung suci Mahameru — kemungkinan berkembang di Jawa pada abad IX (terbukti dalam sejumlah panel di Borobudur), tetapi penulis menduga hal ini mencapai kejayaannya saat pemujaan terhadap air suci demikian hebatnya pada zaman Majapahit. Bukti arsitektur zaman Hindu-Majapahit lainnya yang mudah dikenali adalah tingginya tingkat pemakaian bata merah sebagai bahan bangunan, sebagai aksen dekoratif arsitektur yang eksotis dan dalam pembuatan patung penjaga candi. Batu kapur juga digunakan untuk membuat patung dan sebagai sentuhan dekoratif dalam arsitektur dikombinasikan dengan bata merah. Tren ‘corak ganda’ ini menjadi populer di seluruh nusantara; contohnya Candi Ibu di Muara Takus, Sumatera Tengah yang berdiri antara masa Sriwijaya akhir atau Majapahit awal, memiliki tampilan tersebut, sebagaimana terlihat di Bali pada gapuragapura pura dan puri pasca Majapahit dan pada banyak makam zaman IslamMajapahit di Jawa Tengah. Penelitian lebih mendalam perlu dilakukan untuk membuktikan apakah kemunculan altar pemujaan (serupa dengan rumah-rumah arwah di Thailand dan semenanjung Malaysia) yang terdapat di pekarangan rumah merupakan sesuatu yang diperkenalkan saat zaman Majapahit atau lebih mengarah ke masa Indonesia kuno. Selama bertahun-tahun banyak seniman yang telah mencoba menggambarkan tentang Majapahit berdasarkan uraian dalam naskah-naskah sejarah, berbagai peninggalan arkeologis dan legenda setempat. Banyak dari mereka yang terlalu berandai-andai dan tidak banyak memperlihatkan elemen-elemen Hindu seperti pura atau candi dan altar pemujaan. Tim penulis diijinkan untuk menambahkan beberapa elemen Hindu pada sketsa karya Gunawan yang muncul di Harian Kompas, Juni 2005.

Re-illustrated after an infographic art by Gunawan Kartapranata in Kompas daily newspaper, June 2010

Keraton Majapahit Artikel yang diambil dari buku Trowulan: Keraton of Majapahit h. 166-177

Cantos 8 hingga 12 dari Nagarakertagama memberikan uraian yang jelas menyangkut denah Trowulan. Cantos 9 hingga 12 menjelaskan lokasi tempat tinggal keluarga kerajaan dan para pejabat tinggi. Berikut adalah terjemahan dari Cantos 8, yang mencakup juga petunjuk tentang para penganut aliran Siwa maupun Buddha: 1. Ijinkan kami menggambarkan tata letak keraton nan megah ini: dindingnya dari bata merah, tinggi dan tebal, mengitari istana. Pada sisi barat, pintu gerbang keraton menghadap alun-alun besar yang dikelilingi oleh kolam air yang dalam. Brahmasthana dengan naungannya masing-masing dan jajaran pohon boddhi terpangkas rapi, penuh hiasan — di sanalah para prajurit secara rutin bergiliran menjaga keamanan istana. 2. Di utara terdapat gerbang seremonial, anggun dan megah, pintunya terbuat dari besi, dihias dengan desain yang luar biasa banyaknya; Di sebelah timur, agak di pinggir, terdapat sebuah menara yang tinggi dan indah, dasarnya berplester semen. Terletak di bagian utara, tepatnya di sebelah selatan pasar, terdapat balai peristirahatan yang saling berdekatan, sangat panjang dan luar biasa. Setiap bulan Caitra tempat itu menjadi tempat berkumpulnya para prajurit; ke arah selatan terlihat sebuah perempatan jalan sakral dalam keanggunannya tersendiri. 3. Halaman luar keraton luas dan lapang; Balai-balai diatur pada keempat sisi dengan sebuah aula di tengah-tengah. Di sisi utara adalah balai tempat para cendekiawan berikut para pejabat bertemu dan duduk berkelompok; di sisi timur merupakan tempat para rohaniwan Siwa (Saiwa) dan Buddha, menggelar debat serta mengumandangkan mantra lengkap dengan perangkat ritual mereka; Upacara penyucian yang mereka lakukan saat bulan mati (Phalguna) ditujukan bagi kesejahteraan seluruh dunia. 4. Di bagian timur merupakan tempat-tempat meletakkan persembahan yang diatur dalam tiga baris: di tempat yang tinggi bagian tengah terdapat tempat suci para Saiwa. Tempat para Wipra ada di sisi selatan, sama megahnya dan bertingkat; di sisi barat halaman ini terdapat panggung tempat sesaji bagi roh jahat (butha kala). Umat Buddha mengambil tempat di utara; bangunannya bertingkat tiga dengan hiasan ukiran yang indah pada bagian puncaknya. Masing-masing penuh dihias dengan bunga. Para pangeran selalu mengunjungi tempat ini secara berkelompok saat persembahan disiapkan untuk mereka.

Atas & kanan: Sekumpulan relief di Museum Trowulan: semuanya melukiskan desa dan tata letak rumah pada masa Majapahit. Halaman selanjutnya: Sebuah ilustrasi dari rumah tinggal orang kebanyakan di zaman Majapahit. Kantor saya telah menambahkan beberapa elemen tugu pemujaan Hindu berdasarkan infografis karya Gunawan (ilustrasi ulang dari sebuah infografis dalam harian Kompas, Juni 2010).

100 | Langgam Majapahit

5. Di dalam keraton, sebelah selatan pekarangan luar dan dipisahkan oleh sebuah gerbang, terdapat aula-aula untuk tamu; Barisan bangunan-bangunan yang indah berjajar sepanjang jalan menuju ke barat; barisan pohon Tanjung yang sedang berbunga menghiasi bagian tengah jalan. Di barat, dikelilingi dinding, di sebelah selatan menara, berbagai balai terbuka berdiri di sekelilingnya; tempat ini sangat luas dan di tengah halaman mandapa terlihat kandangkandang dengan begitu banyaknya ayam jago di dalamnya yang terus-menerus berkokok. 6. Lebih ke dalam lagi, aula untuk tamu di bagian selatan mengarah langsung menuju gerbang kedua dari hunian yang lebih ke dalam; hunian ini ditata dalam pelataran bertingkat — masing-masing bagian dipisahkan oleh sebuah gerbang. Semua bangunan memiliki pondasi yang kuat, tiang-tiang, dinding papan dan balok atapnya tanpa cela; tempat ini dipenuhi oleh pasukan pengawal raja yang datang bertugas jaga dan mengawasi secara bergiliran, sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan.

Langgam Majapahit | 101


LANGGAM MAJAPAHIT

HINDU MAJAPAHIT

Gapura dan Candi Zaman Majapahit

Atas: Tugu pemujaan di merajan agung Puri Agung Jero Kuta, Denpasar — contoh yang baik dari arsitektur klasik pura zaman Majapahit.

(photo by Nick Williams on Flickr).

Halaman berikutnya: (searah jarum jam dari kiri atas) Gapura Wringin Lawang, Trowulan, Jawa TImur; Candi Plumbangan, gerbang seorang bangsawan (abad XV), Blitar, Jawa Timur; Candi Jedong Wedok, Mojokerto, Jawa Timur; Candi Jedong Lanang, Mojokerto, Jawa Timur.

Penggunaan bata merah dan genteng tanah liat meluas di Trowulan, ibukota Majapahit, sepanjang zaman itu. Ada banyak peninggalan gapura dan candi, tetapi hanya melalui petunjuk-petunjuk yang tersisa pada relief candi, kita dapat membayangkan seperti apa penampilan bangunan kayu dan balai. Sejumlah kolom dan pintu yang berasal dari Keraton Majapahit bisa dilihat di Masjid Agung Demak, Jawa Tengah. Di luar wilayah Trowulan — khususnya di Blitar dan di lereng Gunung Penanggungan — bahan bangunan yang lebih diminati adalah batu alam abu-abu dan batu vulkanis. Pemakaian batu bata dalam konstruksi bangunan merupakan ciri khas Majapahit sebagaimana tampak dalam bangunan-bangunan arsitekturnya yang menjulang — gapura apit, prasada, dan gapura candi. Bagian dasar bangunan yang kokoh pada gerbang pintu, balai dan altar pemujaan merupakan contoh yang lain. Semua struktur dari abad XIII dan XIV dalam gambar di kanan masih lestari, terutama di Trowulan. Penggunaan bata merah dan berbagai pekerjaan lapangan yang indah banyak digunakan pada makam zaman Islam-Majapahit di abad XVI dan XVII — paling mencolok adalah makam Sunan Kudus dan Sunan Ampel (setelah renovasi) dan di Keraton Kesepuhan di Cirebon, Jawa Barat (lih. h.14-15).

Jawa Timur, abad XIV

102 | Langgam Majapahit

Bali, abad XX

India, abad XX Langgam Majapahit | 103


LANGGAM MAJAPAHIT

HINDU MAJAPAHIT Hampir sebagian besar struktur bangunan bata peninggalan Majapahit lama adalah hasil rekonstruksi, yang dapat dihitung jumlahnya. Berbagai peninggalan tersebut mengarah kepada suatu langgam — candi bentar agung dan arsitektur bata merah pada rumah tinggal, keduanya berakar dari tradisi yang lahir pada masa kerajaan sebelumnya, Daha-Kediri — yang merupakan karakter dari struktur Majapahit. Bentuk-bentuk candi sangat beragam, tetapi sebagian besar bermuara pada arsitektur Siwa-Buddha dan kaidah-kaidah dekoratif zaman Singosari. Kemegahan gapura Bajang Ratu dan Wringin Lawang yang sudah dipugar di Trowulan diperkirakan sebagai gerbang menuju keraton (kediaman Gajah Mada, Hayam Wuruk atau untuk keperluan lainnya); kemegahannya menunjukkan sebuah pencapaian tertinggi seni bangunan bata merah. Gapura bata merah pada makam dari zaman Islam-Majapahit di awal abad XVI (beberapa di antaranya bekas keraton), seperti makam Panembahan Senopati dan Sunan Kudus merupakan ‘mata rantai yang hilang’ antara peninggalanpeninggalan megah di Trowulan dan gapura bata merah di Bali kini dalam skala yang lebih kecil tetapi nilai seninya setara. Wilayah kekuasaan Majapahit bagian selatan, khususnya di sekitar Blitar, terdapat banyak peninggalan candi dari batu andesit, Candi Penataran adalah yang paling utuh, dan satu-satunya bukti nyata bahwa tata letak pura di Bali diturunkan dari Majapahit. Memang ada candi Hindu Jawa lainnya, tetapi tanpa bangunan tambahan, pondasi, pemandian suci dan gapura. Candi-candi yang berdiri pada lereng gunung Gunung Penanggungan sebagian besar dibangun saat zaman Majapahit akhir dan akan dibahas lebih lanjut dalam bab ini. Kita mesti mengacu pada tulisan-tulisan para ahli upacara Hindu (khususnya aliran Siwa Tantra) untuk menafsirkan makna penggunaan berbagai lingga dan yoni dan patung-patung yang berkaitan dengan candi-candi ini. Dalam bukunya yang berjudul From Majapahit and Sukuh to Megawati Sukarnoputri, Profesor Victor M. Fic mengemukakan pandangannya yang menarik tentang ritual Brahmanis yang dilaksanakan. “Dengan melewati tangga para purohita (keluarga pendeta) menapaki puncak yoni agar bisa melaksanakan ritual suci kerajaan dan juga doa di depan lingga agung, demikian juga ritual persembahan dengan cara membasahi lingga dengan santan sesuai dengan tradisi kuno. Penasbihan yoni-lingga telah merubah Candi Sukuh menjadi pusat spiritual, keagamaan, magis dan kosmologis bagi sebuah kerajaan baru.” —V.M. Fic, From Majapahit and Sukuh to Megawati Sukarnoputri, 2003

Atas: Candi Gunung Gangsir, Pasuruan, sebelum rekonstruksi (koleksi foto Lembaga Purbakala dan Peninggalan Nasional). Kiri: Candi Gunung Gangsir, Pasuruan, sesudah rekonstruksi. Opposite page: (searah jarum jam dari kiri atas) Candi Bangkal, Mojokerto, Jawa Timur; Candi Jawi, Pasuruan, Jawa Timur; Candi Kalicilik, Blitar, Jawa Timur; Candi Sawentar, Blitar, Jawa Timur.

104 | Langgam Majapahit

Langgam Majapahit | 105


LANGGAM MAJAPAHIT

HINDU MAJAPAHIT

Altar Pemujaan di Pekarangan

“Adalah teori saya sendiri bahwa altar pemujaan dalam pekarangan memiliki leluhur yang sama, yang menghubungkannya dengan rumah batu kecil bertiang dari daerah Sunda, dikenal dengan sebutan rumah ‘Sri’, yang contohnya dipajang di Museum Nasional (dan mungkin jika dirunut lebih jauh, akan terhubung juga dengan rumahrumah arwah ‘nats’ di Myanmar dan ‘neak ta’ di Kamboja atau ‘pi’ di Thailand). Namun dalam pengelompokan besar ini, terdapat banyak unsur-unsur lokalnya. Dimana altar ditempatkan, dan bagaimana penggunaannya, akan terlihat perbedaan yang cukup besar antara satu tempat dengan tempat yang lain. Ada kemungkinan orang Bali memiliki semacam ‘pamerajan’ sebelum tahun 1330, namun mengalami perubahan akibat perjalanan sejarah dari waktu ke waktu. — J. Miksic, kutipan pribadi, 2014

Atas: Acintya diukir pada bagian puncak sebuah tugu padmasana Bali. Bentuk ini diperkenalkan ke Bali pada zaman Majapahit (foto dari www.id.wikipedia.org). Bawah: (kiri & kanan) Tugu pemujaan di pekarangan seperti terlihat pada Candi Kotes di Blitar, Jawa Timur, yang dibangun di atas pondasi tinggi bersama dua buah tugu pemujaan lain. Komplek candi ini sama besar dan gayanya dengan merajan di rumah-rumah di Bali. Ukiran-ukiran di bagian pojok identik dengan ukiran pada tugu pemujaan dalam pekarangan di Bali pada saat ini.

Selama 30 tahun, penulis telah mencari bukti dalam tulisan-tulisan bersejarah atau pada ukiran-ukiran candi perihal keberadaan dan penempatan altar pemujaan di pekarangan rumah zaman Majapahit dan secara khusus penulis mencari kata merajan dan sanggah, bahasa Bali untuk pura keluarga, yang merupakan tempat bersemayamnya arwah para leluhur. Altar pemujaan yang dibangun oleh peneliti Majapahit berkebangsaan Belanda, Maclaine Pont, pada tahun 1928 di museum lapangan Majapahit di Trowulan (lih. foto h.16) merupakan satu-satunya bukti, meski sifatnya sementara, bahwa altar pemujaan dan pura keluarga di Bali yang terletak pada posisi Kaja-Kangin (timur laut) atau mengacu pada posisi gunung, berasal dari Majapahit. Tahun 2014, sahabat penulis Greg Churchill mengirimkan sebuah buku karangan Dr Slamet Muljana terbitan tahun 1966, The Structure of National Government in Majapahit yang memuat sebuah denah Keraton Majapahit kuno di halaman akhir. Denah menunjukkan gerbang utama berada di utara, seperti yang terdapat di Puri Klungkung lama, yang dibangun seperti Keraton Majapahit. Kediaman para pendeta Siwa berjajar sepanjang sayap timur kompleks yang besar ini dan tempat pemujaan terletak di bagian timur laut. Awalnya hal ini membingungkan penulis, hingga akhirnya penulis menyadari bahwa posisi Gunung Penanggungan, gunung suci kerajaan Majapahit berada di selatan, dengan demikian area suci berada di sebelah barat daya, dan bukan timur laut, serupa kondisinya di sepanjang pesisir utara Bali. Kita tahu bahwa Candi Jawi yang dibangun pada masa awal zaman Majapahit, dekat Tretes, Jawa Timur, adalah candi Jawa pertama yang mengarah ke pegunungan terdekat (Gunung Penanggungan) — sebelum awal abad XIV, candicandi didasarkan pada sebuah mandala kosmik yang mendefinisikan semesta suci dengan cara masing-masing. Apakah sanggah dan merajan di Bali berasal dari Jaman Majapahit? Apakah

mereka berkembang bersamaan dengan padmasana, sebuah altar pemujaan kepada Acintya (Sang Pencipta), yang diperkenalkan ke Bali oleh pendeta zaman Majapahit, Dang Hyang Niratha (Dwijendra) yang bertujuan untuk membenahi ajaran Hindu di Bali, terutama untuk membendung pengaruh Islam. Penulis menganggap bahwa pada zaman Majapahit, rumah-rumah memiliki rumah arwah (Bali: tugu penyuwen karang) bagi roh yang menjaga tanah tersebut, seperti halnya masyarakat Thai dan lainnya. Di Bali, sanggah adalah sebuah bagian dari pekarangan rumah tempat altar pemujaan bagi leluhur (serupa dengan altar-altar untuk leluhur di Cina selatan), khususnya sanggah kemulan atau pejenengan ratu ngurah yang merupakan tempat bagi arwah para leluhur (dewata) yang ditempatkan kembali setelah upacara penyucian nyekah atau maligia. Didirikan di sudut yang dianggap paling suci di setiap rumah, apakah Sanggah kemulan berasal dari zaman Majapahit yang datang bersamaan dengan kedatangan Nirartha saat beliau memperkenalkan padmasana? Berbeda dengan desa-desa Bali Aga (pra-Majapahit), yang tidak memiliki sanggah, melainkan hanya pejenengan dadia (altar klan) dan juga terkadang Rong Telu (altar tiga bagian). Sejumlah orang Malayalee di Kerala, India selatan (Kerala) ingat akan keberadaan struktur mirip sanggah di tempat tinggal para bangsawan kuno dahulu, tetapi sekarang semuanya sudah lenyap. Jika benar apa yang dikatakan olah banyak sejarawan bahwa Candi Jawi adalah candi sradha paling tua yang mengarah ke pegunungan, pada awal zaman Singosari-Majapahit, maka daerah pesisir Bali atau permukiman di lereng gunung kemudian mengikutinya. (Perlu diingat bahwa desa-desa Bali Aga sudah berorientasi ke arah gunung yang terdekat sejak zaman pra-sejarah). Perlu diingat juga bahwa Candi Jawi dibangun oleh Prabu Kertanegara sebagai monumen perabuan raja-raja.

Tugu pemujaan dalam pekarangan rumah dalam sebuah ukiran dari abad XII (?) pada sebuah biara Buddha di Mliri, Kediri, Jawa Timur (foto oleh Claire Holt, 1930 (?)). Relief ini sekarang ada di

Perwujudan dari sebuah tugu pemujaan dalam pekarangan rumah (Bah. Bali: piyasan) yang tinggi dan tidak biasa pada ukiran di Candi Jago, Jawa Timur (foto tahun 1962 oleh Allen Atwell).

Atas: (kiri ke kanan) Pelinggih dari abad XV pada candi di lereng Gunung Penanggungan, Jawa Timur; pelinggih Bali di dekat daerah Gianyar (foto dari Worshipping Siva and Buddha oleh Ann Kinney, 2003); tugu pemujaan di sebuah pura warga Bali Aga di Songan, tepian Danau Batur Bali.

Bali

Altar Tri Sakti di merajan agung Puri Karangasem

106 | Langgam Majapahit

Java

Candi Kotes, di Blitar Jawa Timur

Kiri: (kiri ke kanan) Tugu pemujaan trimurti abad XX 20th di Bali timur; tugu pemujaan trimurti dari abad XIV di Candi Kotes, Blitar, Jawa Timur.

Langgam Majapahit | 107


LANGGAM MAJAPAHIT

DENAH KERATON Majapahit OLEH Maclaine-Pont, 1925

HINDU MAJAPAHIT

Keraton Majapahit Berbagai uraian tentang pusat kerajaan Majapahit masih bisa dibaca dalam puisi epos abad XIII, Nagarakertagama (Desawarnana) dan Sumanasantaka. Sebagai bagian dari narasinya, puisi-puisi ini juga menjabarkan tentang sistem ketatanegaraan yang diterapkan oleh penguasa dan para pejabatnya, dan banyak memuat kehidupan keagamaan rakyatnya, dan tentang arsitektur pada saat itu Sebagai kerajaan Siwa-Buddha terakhir dari garis dinasti berumur hampir seribu tahun, Majapahit juga dikenal sebagai yang pertama dari dinasti Indonesia kuno yang mewariskan sejarah yang cukup banyak untuk dapat diperbandingkan segi kebudayaannya — adat, perilaku dan arsitektur — dengan Bali dan Jawa masa kini. Dari perbandingan semacam itu, kita bisa merasakan seperti apa arsitektur pemukiman pada masa itu. Kita tahu bahwa keraton dikelilingi oleh tembok yang tebal dan tinggi, dalam langgam pasca Majapahit istana-istana di Jawa dan Bali (sejak akhir abad XIX dan seterusnya keraton tidak lagi menyerupai benteng), dan bahwa Keraton Majapahit terdiri dari beberapa bagian yang saling terkait, antara area umum dan pribadi, sekuler dan religius. Kitab Sumanasantaka menyinggung tentang altar pemujaan bagi leluhur yang terletak di taman — kemungkinan yang dimaksud adalah tempat pemujaan keluarga bukan taman sari kerajaan — dan menjelaskan upacara dan peranan pendeta brahman yang mirip seperti yang masih dilakukan di Bali hingga kini. Dalam beberapa catatan, arsitektur keraton kedengarannya paling eksotis. Sebuah catatan Cina abad XIII mengabarkan bahwa balai dengan pondasi setinggi sepuluh meter berada di halaman luar istana tempat menjamu para tamu. Hal ini terdengar aneh. Berbeda dengan orang-orang Maya, tidak lazim bagi orang-orang Jawa untuk naik turun tangga yang tinggi. Catatan tersebut mungkin akibat bingungnya sang penulis terkait perbedaan antara balé kul-kul (menara kentongan) dengan balé loji (balai peristirahatan yang tinggi seperti yang kita jumpai di Puri Gianyar dan Puri Saren, Ubud), serta balé semanggen (balai pertemuan yang tinggi di halaman luar istana). Pada saat yang sama, kita mesti tahu bahwa, dibandingkan dengan kediaman pribadi yang ada di keraton-keraton Jawa, bangunan balai di sebagian besar Puri Agung di Bali dewasa ini memang sangat tinggi.

Atas: Legenda Majapahit, Mahapatih Gajah Mada, dalam sebuah lukisan dari akhir abad XX, jenderal pasukan gajah di bawah Raja Hayam Wuruk (berkuasa 1350-1389). (foto dari http://img1.wikia. nocookie.net/__cb20130517172101/civilization/images/b/bb/Concept_Art_of_Gajah_Mada.jpg). Kiri: Foto udara hasil hipotesa terhadap ibukota Majapahit pada abad XIV berdasarkan penelitian oleh Maclaine Pont (sketsa oleh Tjahja Tribinuka on https:// mbasic.facebook.com). Halaman sebelumnya: Peta hasil hipotesa Maclaine mengenai kraton (istana) Majapahit abad XIV (sketsa dari buku Madjapahit oleh H.M. Pont, 1925).

108 | Langgam Majapahit

Langgam Majapahit | 109


LANGGAM MAJAPAHIT

HINDU MAJAPAHIT Kita memiliki catatan-catatan mengenai permukiman rakyat kebanyakan — dalam bentuk miniatur tanah liat dari jaman Majapahit, atau dalam bentuk relief yang ada di candi-candi — dan juga pada bangunan-bangunan pura: prasada, meru, dan balé lantang (balai panjang) dan semacamnya. Bahkan ada penggambaran tentang taman air. Tetapi kita tidak memiliki gambaran tentang puri: tentang bangsawannya dan pendeta, ya; tentang upacara-upacara di candi atau pura dalam istana, ya; tetapi tidak ada tentang puri itu sendiri, sebagaimana yang tertuang dalam catatan di atas. Sumanasantaka melukiskan pintu-pintu besi di keraton dihiasi permata; namun hal ini kedengarannya sangat tidak biasa dalam arsitektur Jawa yang kemungkinan adalah ungkapan berlebihan sang penulis. Pada kenyataannya hal ini tidak disinggung dalam tulisan-tulisan lainnya sehingga kemungkinannya pendapat penulis relevan adanya. Meskipun demikian, kediaman pribadi dalam Keraton Majapahit di abad XIII terlihat sama megahnya dengan istana-istana di Vijaynagar (India selatan) pada periode yang sama. Penulis berpendapat bahwa ide-ide dekoratif unik yang tampak pada keraton-keraton di awal zaman Islam-Majapahit (Cirebon dan Banten) dan makam Sunan Gunung Jati di pinggiran Cirebon (peninggalan berharga berlanggam Moorish Jawa-Majapahit) berada dalam satu kesatuan tradisi dekoratif yang sama dengan yang dijumpai di Keraton Majapahit tulen. Sejumlah cendekiawan percaya bahwa gapura besar Wringin Lawang, yang berdiri sejak abad XIV di Trowulan, adalah candi bentar menuju keraton lama tempat Gajah Mada tinggal. Bangunan ini adalah satu-satunya peninggalan arsitektur keraton abad XIV yang mempertegas langgam dan kemegahan istana raja sebagaimana disebutkan dalam puisi-puisi abad XIII. Satu-satunya kediaman raja yang pernah penulis lihat, Candi Kedaton — hanya bagian dasarnya saja yang tersisa — serupa dengan balai-balai istana di Bali dalam hal ukuran. Tetapi Kedaton mungkin bukan bagian dari keraton maupun bagian paling tengah (dalem) dari keraton; akan tetapi letaknya cukup dekat dengan bagian lain dari bangunan keraton lainnya, seperti menara Sitinggil (ukuran pondasi Sitinggil masih bisa dilihat di area makam belakang Pendopo Agung yang penulis kunjungi tahun 2009, sebagai bagian dari ekspedisi rekonstruksi Keraton Majapahit sesuai hipotesis Amrit Gomperts). Keberadaan kolam Segara Agung, Pendopo Agung, sejumlah gapura dan patirtan Candi Tikus yang tersebar di sekitar pusat Trowulan, memberikan gambaran akan begitu besarnya wilayah Keraton Majapahit. Berlanjutnya pengaruh puisi-puisi zaman Majapahit abad XIII dalam kehidupan masyarakat Bali hingga kini — dalam bentuk kidung, kakawin, dan sebagai inspirasi bagi para seniman — merupakan bukti meresapnya pengaruh Majapahit. Pembacaan kakawin — serupa dengan Sumanasantaka karya Empu Monaguna — terutama oleh kelompok sekeha santi (kelompok pelantun sastra religius), masih menjadi bagian penting dalam banyak ritual di Bali dewasa ini. Cerita Sayambara menjadi tema populer dalam lukisan-lukisan Kamasan di Bali pada paruh kedua abad XVIII dan juga awal abad XIX. Prof. Peter Worsley menulis dalam pengantarnya untuk terjemahan terhadap syair Sumanasantaka (2013) bahwa: “{…} kajian ini dimaksudkan untuk memberi sumbangsih terhadap sejarah sebuah narasi yang berasal dari sub-benua India dan disadur dalam bentuk syair-syair dan lukisan-lukisan bertema kepahlawanan di Jawa dan Bali. Di dalamnya kita juga berusaha memberi landasan untuk memahami narasi tersebut dengan berbagai bentuk gubahannya yang bercerita mengenai latar belakang budaya penulisnya dan pemirsanya selama kurun waktu lebih dari 800 tahun. Jelas sekali bahwa Mpu Monaguna, pujangga Kediri abad XII, mengacu pada Mahakarya Raghuvamsa karya Kalidasa sebagai landasan bagi karya kakawin bertema kepahlawanannya, dan bahwa manuskrip yang memuat karyanya tersebut tersebar di masa Jawa kuno dan Bali hingga abad XXI. Karya puisi Mpu Monaguna sendiri dianggap sebagai inspirasi untuk sebuah kidung dengan nama sama, yang kemungkinan disusun di Gianyar, Bali, antara tahun 1537 dan 1800 Masehi.”

Atas: Sebuah panel relief yang memperlihatkan para bangsawan dalam taman kerajaan zaman Majapahit (koleksi Museum Trowulan).

110 | Langgam Majapahit

— P. Worsley, Mpu Monagunas’s Sumanasãntaka, 2013

Tipikal Rumah Majapahit Ukiran yang menggambarkan rumah orang kebanyakan di zaman Majapahit dapat dilihat pada relief-relief candi di daerah Trowulan, dan dalam bentuk miniatur terakota hasil penggalian dalam kurun 50 tahun terakhir. Ada cukup informasi arkeologis bagi para ahli guna mengambil kesimpulan bahwa tipikal rumah kala itu berupa area berpagar dengan beberapa balai kecil — sebagian terbuka, sebagian tertutup. Balai utama yang tertutup memiliki proporsi dan bentuk yang sama dengan meten di daerah pegunungan Bali saat ini (lih. foto h.113). Tahun 2013, perkumpulan arkeolog Mojokerto memulai sebuah kegiatan rekonstruksi dengan memanfaatkan ketenaran lokasi Museum Majapahit di Trowulan (sebuah koleksi yang dipelopori oleh arsitek zaman kolonial, Henri Maclaine Pont). Sebuah balai sederhana dengan pondasi tinggi, dinding panel kayu dan atap sirap dengan bubungan dekoratif yang disebut ukel.

Atas: Banyak peninggalan miniatur tanah liat berbentuk rumah gaya Majapahit (disebut méten di Bali) bertahan hingga kini. Berdasarkan peninggalan ini dan informasi lainnya, kalangan arkeologi Trowulan telah berhasil merekonstruksi sebuah rumah tunggal sederhana lengkap dengan pekarangan yang ditutupi bata merah dan kerikil (foto kiri).

Langgam Majapahit | 111


LANGGAM MAJAPAHIT

HINDU MAJAPAHIT

DENAH HASIL PENGGALIAN DI SITUS SEGARAN V, TROWULAN (1989 & 1990)

GENTENG UJUNG JURAI (Ukel) TEMUAN DI Trowulan

Trowulan abad XV

Blitar, Jawa Timur abad XXI

Bali abad XX Pola penyelesaian halaman rumah yang ditemukan saat penggalian arkeologis kebanyakan berupa kotak-kotak dibentuk dari bata merah dan diisi batuan sungai yang kecil, bulat warna abu-abu. Dapur dan kamar tidur adalah dua bagian utama rumah yang tertutup, sebagaimana halnya meten pada desa-desa pegunungan Bali.

Halaman sebelumnya: Penelitian arkeologis lapangan terhadap sebuah pekarangan rumah di Trowulan (1979), gambar dibuat ulang berdasarkan Legacy of Majapahit oleh J. Miksic.

Re-illustrated after Legacy of Majapahit by J. Miksic, 1995

112 | Langgam Majapahit

Kiri: Selama beberapa decade, arkeolog melakukan usaha rekonstruksi sebuah rumah tinggal tunggal yang bersumber dari berbagai catatan yang kiranya merupakan gambaran tipikal rumah keluarga Majapahit. Hasilnya, seperti telah diduga, sangat mirip dengan rumah mĂŠten di permukiman yang ada di dataran tinggi Bali (foto atas). Rumah-rumah ini tidak mengalami perubahan gaya bangunan yang berarti sejak 1000 tahun yang lalu; (tengah) bangunan cungkup di makam raja-raja Imogiri, Jawa Tengah; (bawah) bentuk mĂŠten Majapahit di Candi Ceto, Karanganyar, Jawa Tengah.

Tipikal hunian di Desa Bayan, sebuah desa tradisional zaman Islam-Majapahit di pesisir utara Pulau Lombok

Langgam Majapahit | 113


Majapahit Akhir A

bad terakhir pada zaman Kerajaan Majapahit merupakan masa yang penting dalam sejarah Indonesia. Pada pertengahan abad XV, keberadaan Islam telah kuat terbentuk, khususnya di Gresik dan sekitarnya, daerahdaerah pelabuhan di Jawa Timur dan di ibukota Majapahit sendiri. Di Jawa Barat dan Jawa Tengah, masjid-masjid didirikan dalam sebuah langgam yang penulis istilahkan sebagai Islam-Majapahit di tahun 1480-an. Pada abad XVI, perdagangan dengan Cina semakin meningkat dan keratonkeraton di Jawa mulai mengadopsi sejumlah budaya dan tradisi arsitektur Cina. Bangsa Portugis, yang telah mapan di Malaka, juga sedang berperang guna memperebutkan akses rute perdagangan ke pelabuhan-pelabuhan seperti Jepara, Cirebon dan Tuban. Kerajaan-kerajaan pengikut di Blambangan (di ujung timur Jawa), Bali dan Pajajaran (Jawa Barat) menjadi lebih kuat dan membentuk angkatan perang dengan tujuan memperoleh kemerdekaan. Beberapa ahli berpendapat bahwa pada saat yang sama, susunan ritual kerajaan Hindu mengalami perubahan dengan mengedepankan pemujaan terhadap leluhur (pitra yadnya) dan ilmu kebatinan yang berbasis di pegunungan. Terkait dengan hal itu banyak didirikan candi-candi klan di lereng Gunung Penanggungan dan Gunung Agung di Bali pada periode ini.

Halaman sebelumnya: Candi Sukuh, Jawa Tengah (abad XV), karya agung zaman akhir Majapahit. Atas: Sebuah panel berukir di halaman depan Candi Sukuh yang kemungkinan menampilkan kisah patung Bima yang dulunya ada di candi ini (saat ini patungnya ada di Ndalem Harjonegaran, Solo. Lihat foto h.120). Halaman berikut: Pekarangan depan pintu masuk Candi Ceto, Jawa Tengah (abad XV) yang telah dipugar tahun 1982.

114 | Langgam Majapahit

Langgam Majapahit | 115


LANGGAM MAJAPAHIT

116 | Langgam Majapahit

MAJAPAHIT AKHIR

Langgam Majapahit | 117


HINDU MAJAPAHIT

MAJAPAHIT AKHIR Di pertengahan abad XVI dibangun berbagai makam, masjid dan keraton bernuansa Islam yang megah di seluruh Jawa, banyak di antaranya dalam langgam Hindu-Majapahit yang dikombinasikan dengan simbol dan motif-motif Islam. 50 tahun terakhir Kerajaan Majapahit merupakan masa yang ‘riuh rendah’ dan berakibat pada munculnya beragam versi sejarah. Satu versi yang paling banyak berkembang dan mungkin paling akurat adalah bahwa raja terakhir, Brawijaya V, menjalani tahun-tahun terakhirnya dalam pengasingan di lereng Gunung Lawu, sebelah timur Solo, Jawa Tengah, tempat beliau membangun dua buah candi yang luar biasa dengan langgam Majapahit akhir, Ceto dan Sukuh — candi-candi Hindu-Majapahit terakhir yang dibangun di Jawa. Setelah berbulan-bulan bertapa dalam sebuah hutan di atas Candi Ceto, beliau mencapai moksa1. Putra beliau Raden Patah, yang telah menjadi mualaf2, mendirikan sebuah kesultanan Islam di Demak, Jawa Tengah. Berdasarkan nasehat para pemuka agama Islam, beliau berhasil mendirikan sebuah kerajaan yang sah dengan memasukkan nilai-nilai Islam ke dalam kebudayaan Jawa (Majapahit). Dalam Keraton Majapahit yang hancur akibat serangan mendadak, salah satu Wali Songo, Sunan Giri dari Gresik, tinggal di sana selama 100 hari sebagai legitimasi atas perebutan kekuasaan dan mungkin sekaligus titik awal istilah Islam-Majapahit yang penulis gunakan. Banyak bagian dari cerita tersebut merupakan spekulasi, tetapi fakta yang jelas bahwa Raden Patah dan Sunan Giri adalah figur sejarah yang penting sejak dimulainya periode Islam. Keraton Majapahit yang agung ditinggalkan sekitar tahun 1530 Masehi diikuti berdirinya kerajaan-kerajaan pecahan baru dengan penguasa baru di Jawa Timur. Banyak bangsawan, rohaniwan Hindu dan seniman yang hijrah ke Bali (‘melarikan diri’ mungkin istilah yang terlalu berlebihan) dan yang lainnya, khususnya penduduk sekitar Blitar bagian selatan (Candi Penataran), memilih hijrah untuk berlindung dan membuka wilayah bagi umat Hindu di Tengger dan Tosari jauh di lereng Gunung Bromo. Wilayah Majapahit terakhir yang jatuh adalah kerajaan-kerajaan di Madura (Jawa Timur) dan Banten (Jawa Barat) pada abad XVI. Keraton-keraton pengikut 1 Moksha atau moksa, dalam kepercayaan Hindu Bali, adalah penyatuan dengan Sang Pencipta; yang sering ditafsirkan sebagai nirwana. Jika roh (atman) mencapai moksa, maka roh akan terbebas dari lingkar kelahiran dan kematian, dan mencapai kesempurnaan.

Dikutip dari Wikipedia (ringkasan dari Babad Tanah Jawi dan prasasti Cina kuil Sam Po Kong) ibu dari Raden Patah (Jin Bun), Siu Ban Ci, adalah seorang Cina Muslim Jawa, selir dari Brawijaya V, yang kemudian menjadi istri dari Arya Damar (Swan Liong, anak dari Brawijaya III yang kemudian menjadi bupati Palembang) karena istri raja, Ratu Dwarawati (Putri Champa), merasa iri kepadanya.

2

SIMBOL KESUBURAN BANGSA AUSTRONESIA KUNO

Atas: Gerbang masuk menuju Candi Sukuh memiliki simbol kesuburan berupa phallus yang dibuat pada bagian lantai.

Simbol pada sebuah kendang abad XX dari Flores, Indonesia bagian

118 | Langgam Majapahit

Candi Sukuh dari abad XV di Karanganyar, Jawa Tengah

Halaman sebelumnya: Halaman depan Candi Ceto, Jawa Tengah, setelah pemugaran teras bagian atas yang kontroversial di tahun 1970. The temple was most probably a terraced sanctuary (punden) before the Hindu era, as witnessed by the many statues of animals believed, by the ancient Javanese, to have mystical powers — salamanders, crabs, turtles, etc.

Langgam Majapahit | 119


HINDU MAJAPAHIT

MAJAPAHIT AKHIR Majapahit masih bertahan hingga akhir abad XVII di Blambangan, yang pada akhirnya menjadi wilayah kekuasaan Bali (akibat ikatan perkawinan dengan Puri Gelgel). Keluarga yang berkuasa, keraton dan pasukan mereka pada akhirnya melarikan diri ke Bali. Setelah terjadi kekisruhan selama beberapa dekade — saat dibuang dari Mengwi ke Nusa Penida — mereka terhenti di Banjar, sebelah barat laut Bali, tempat mereka membangun Puri Ksatria Dewa Blambangan. Upacaraupacara yang berlangsung di sana saat ini cukup unik dan sepertinya sangat terkait secara langsung dengan upacara-upacara zaman Majapahit akhir yang ada. Dalam satu catatan sejarah disebutkan bagaimana sekelompok punggawa (pejabat istana Hindu) meninggalkan keraton Banten Hindu beberapa bulan menjelang keruntuhan mereka dan mendirikan pusat pemerintahan baru di wilayah pegunungan Badui, yang masih bertahan hingga saat ini. * * * Peristiwa yang mungkin paling penting dari zaman Majapahit akhir, jika melibatkan sejarah arsitektur Majapahit, adalah tertangkapnya arsitek besar Majapahit, Raden Sepat, saat terjadi pertempuran di Demak, dan dilanjutkan dengan peristiwa pembebasannya, pertengahan abad XV oleh Sultan Banten, Jawa Barat. Beliau diperintahkan untuk membantu Sunan Gunung Jati membangun masjid-masjid besar di Cirebon, Demak dan Keraton Pakungwati di Cirebon (sekarang Keraton Kasepuhan). Kontribusi Raden Sepat menegaskan bahwa banyak dari elemen utama langgam Majapahit diteruskan ke periode Islam.

JAVA

Atas: Patung Bima dari Candi Sukuh (abad XV) yang saat ini berada museum priibadi di nDalem Harjonegaran, Solo. Kanan: Para penari Baris yang populer pada masa Majapahit dan lestari hingga kini di Jawa dan Bali.

120 | Langgam Majapahit

BALI

Candi-Candi Zaman Majapahit Akhir

Tidak banyak candi yang utuh tersisa dari zaman Majapahit, terutama karena sebagian besarnya terbuat dari bata merah yang mudah aus. Banyak gapuragapura besar yang masih bertahan menjadi bahan perdebatan terkait usia bangunan dan asal usulnya. Candi Tikus yang terbuat dari bahan bata merah, menurut sejumlah ahli awalnya adalah merupakan pura taman (Jawa: patirtan) atau pura persimpangan dengan miniatur candi — perwujudan beberapa candi yang letaknya jauh dari pusat kerajaan — yang ditempatkan secara simetris pada pelatarannya. Dari sekian banyak candi-candi zaman Majapahit akhir, banyak bangunan dari batuan lahar yang masih bertahan di Gunung Penanggungan, tentunya termasuk Candi Sukuh dan Candi Ceto di lereng Gunung Lawu di Jawa Tengah yang tidak memiliki keterkaitan dalam hal langgam. Keberadaan Candi Bale Kambang di Pulau Ismoyo, pulau lepas pantai sebelah selatan Blitar, adalah sesuatu yang menarik mengingat bentuknya yang modern mengikuti candi sebelumnya yang diperkirakan berdiri pada zaman Majapahit akhir. Di candi ini, masyarakat Hindu Blitar yang ada saat ini memuja Dewa Baruna, sang penguasa samudera saat tahun baru Jawa (Suro) — sama halnya seperti masyarakat Hindu Bali yang memuja Baruna dalam prosesi upacara melasti di laut sebelum datangnya tahun baru Caka. Di Bali, pendeta suci Hindu-Jawa Dang Hyang Nirartha (Dwijendra) membangun banyak pura di daerah-daerah pesisir yang sangat indah pada zaman Majapahit akhir. Sesuai fakta yang ada, timbul pertanyaan di benak penulis, apakah kadar eksentriksitas dan firasat seorang penampil dalam pemilihan tempat yang menjadi keistimewaan pura zaman Majapahit akhir di Bali. Sejumlah pura zaman klasik Hindu-Jawa yang lebih tua umurnya — hingga abad XIV — umumnya didirikan di atas tanah datar. Saat zaman Majapahit akhir dan bahkan saat zaman Islam-Majapahit, baik di Bali maupun Jawa, banyak pura, makam atau monumen Islami didirikan di atas pelataran punden berundak tua di perbukitan — misalnya, Candi Ceto di Jawa Tengah, Makam Sunan Sendang Duwur dan Sunan Giri di Jawa Timur. Tentu saja ada kaitan yang erat antara arsitektur dari tempat-tempat suci di atas dengan seni-seni dekoratif lain dari zaman Majapahit akhir dan Bali. Kita dapat melacak suatu kesatuan hubungan dalam dekorasi candi — terutama berbagai motif karang (lihat h.137) — dari Jawa Timur ke Bali (Candi Kotes di Blitar adalah salah satu petunjuk awal). Kemeriahan arsitektur pura di pesisir Bali utara mungkin merupakan hasil dari ‘eksentrisitas’ zaman Majapahit akhir. Sejumlah gapura zaman Islam dan cungkup — seperti yang ditemukan di Makam Sunan Sendang Duwur, Sunan Gunung Jati dan Sunan Derajat — juga diperkirakan memberi pengaruh bagi langgam arsitektur Bali utara.

Atas: Candi Kendalisodo, satu dari ratusan kuil punden berundak yang dibangun saat masa akhir Majapahit di lereng Gunung Penanggungan, Jawa Timur untuk mendoakan arwah leluhur. Bawah: Patung Panji di Candi Selokelir hasil penggalian di lereng Gunung Penanggungan oleh Stutterheim. Cerita Panji yang mistis tergambar dalam relief di Candi Penataran in Blitar (foto dari buku Mengenal Situs Purbakala di Gunung Penanggungan oleh H. Sidomulyo, 2013).

Langgam Majapahit | 121


HINDU MAJAPAHIT

MAJAPAHIT AKHIR

Gunung Penanggungan Selain Candi Ceto dan Sukuh, serta candi-candi berundak di lereng Gunung Penanggungan (Mahameru-nya kosmogoni Majapahit) — tidak ketinggalan pula beberapa ratus pura di Bali — tidak banyak candi-candi besar yang dibangun sepanjang masa Majapahit akhir. Hadi Sidomulyo (Nigel Bullough), seorang penggemar Majapahit yang telah menghabiskan 25 tahun melakukan ekplorasi peninggalan-peninggalan bersejarah di Jawa Timur, berpendapat bahwa dalam abad terakhir zaman Majapahit, adalah suatu kebiasaan dalam membangun candi-candi bagi para leluhur suci (dewata) di kaki Gunung Penanggungan. Sejumlah klan Hindu membangun tempat pemujaan berundak di lereng atas Gunung Penanggungan. Hal ini merupakan suatu tahapan proses yang mencapai puncaknya pada abad XV. Komplek pedarman (pura bagi leluhur) bersebelahan dengan Pura Besakih di lereng Gunung Agung, Bali, kemungkinan dibangun pada masa yang sama. Penulis berpendapat bahwa saat itu banyak terjadi pembauran budaya — barat dan timur, pesisir dan pegunungan. Candi-candi Hindu di Tengger dan Tosari masih lestari hingga sekarang, namun sudah banyak yang diberi sentuhan modern: adalah pada peninggalan di Gunung Penanggungan dan tempat lainnya seharusnya kita mencari bukti tentang langgam arsitektur yang ada pada candi atau pura klan (Bali: pedarman) dari zaman Majapahit akhir. Di Penanggungan tidak ditemukan peninggalan berupa permukiman yang menegaskan bahwa candi-candi di Penanggungan pada prinsipnya adalah tempat ziarah. Sidomulyo menunjukkan bahwa sebagian besar candi-candi tersebut memiliki altar pemujaan terbuka (Bali: pelinggih atau padmasari)3. Altar-altar inilah yang dianggap sebagai perintis awal langgam pegunungan yang masih ditemukan di Bali hingga sekarang, dengan padmasarinya dan berbagai pelinggih. Sidomulyo juga berpendapat bahwa bagian belakang dari altar (berupa batu) para penganut Siwaisme (lih. foto altar Candi Ceto h.46) adalah pelopor bentuk batu nisan zaman Islam-Majapahit yang pertama kali muncul di makam raja-raja di Troloyo pertengahan abad XIV (S. Damais, komunikasi pribadi), dan digunakan pada makam-makam para bangsawan- Majapahit yang beralih keyakinan ke agama Islam. Hingga hari ini, di seluruh Indonesia, banyak batu nisan Islam yang diukir dalam langgam Majapahit.4 Padmasari (altar pemujaan terbuka) merupakan petunjuk terhadap gerakan perubahan Hindu abad XVI yang diprakarsai oleh Danghyang Nirartha – dikenal dengan Pedanda Sakti Wawu Rawuh, seorang figur Hindu di Bali pada saat Islam meluas di seluruh Jawa dari arah barat.

3

Informasi ini berdasarkan percakapan pribadi, karena artikel yang ditulis oleh Sidomulyo dan membahas hal ini belum terbit.

4

Atas: Detil ukiran pada dinding Candi Kerajaan dari abad XIV yang memperlihatkan pengaruh Cina pada tepian dengan motif bunga (foto dari buku Mengenal Situs Purbakala di Gunung Penanggungan oleh H. Sidomulyo, 2013). Kiri: Candi Kerajaan di Gunung Penanggungan, salah satu yang masih bertahan dihiasi dengan detil yang rumit memperlihatkan baik elemen Hindu-Jawa klasik (batu bundar yang saling mengapit pada pintu masuk) dan aksen dekorasi Majapahit akhir (relief pada panel dinding) dalam gaya bangunan yang serupa dengan Candi Sukuh (foto dari buku Mengenal Situs Purbakala di Gunung Penanggungan oleh H. Sidomulyo, 2013). Halaman sebelumnya: Candi Kendalisodo di Gunung Penanggungan (www.teguhhariawan.wordpress.com).

122 | Langgam Majapahit

Langgam Majapahit | 123


HINDU MAJAPAHIT

Kanan atas: Relief pada Candi Kendalisodo di Gunung Penanggungan memperlihatkan tipikal rumah zaman Majapahit atau (mungkin) pekarangan pura (foto dari buku Mengenal Situs Purbakala di Gunung Penanggungan oleh H. Sidomulyo, 2013). Bawah: Beraneka ragam reruntuhan di lereng Gunung Penanggungan. Banyak candi-candi yang dibangun berdasarkan daya khayal di perbukitan dengan gaya pundek berundak ciri khas pra HinduJawa. Bentuk seperti ini dapat ditemukan juga pada Pura Kehen atau Pura Besakih sebagai contohnya (foto kanan atas dan kanan dari buku Mengenal Situs Purbakala di Gunung Penanggungan oleh H. Sidomulyo, 2013, foto kiri bawah dari pic.twitter. com/FWt8nL6Sti).

MAJAPAHIT AKHIR

Sebuah panel dari Candi Kendalisodo di Gunung Penanggungan menggambarkan sebuah pekarangan rumah kemungkinan berasal dari akhir abad XIV5, yang sangat mirip dengan rumah tradisional Bali dan bertolak belakang degan relief sebelumnya yang menggambarkan rumah-rumah orang kebanyakan zaman Majapahit (lih. h.124, atas) yang sederhana atau seperti rumah dengan banyak ragam balai. Tentunya tidak mungkin untuk menyusun sebuah hipotesis hanya berdasarkan sebuah panel ukir peninggalan abad XV; tetapi itu adalah petunjuk, meskipun bukan merupakan sebuah bukti. Kita dapat menggabungkan petunjuk-petunjuk semacam itu dengan Candi Kotes, di luar kota Blitar, yang sangat ‘Bali’ dalam hal skala dan detail atau pun dengan tata letak Candi Penataran, yang penulis bayangkan bertahan sebagai pusat spiritual Majapahit jauh sesudah runtuhnya keraton di Trowulan. Candi Penataran, sebagai candi induk Majapahit, dalam perjalanan waktu kerap menambah altar pemujaan termasuk Candi Naga, yang merupakan panutan Tanggalnya dibandingkan dengan Candi Tigawangi di Pare, Kediri. Kendalisodo adalah salah satu candi kuno yang dibangun di lereng Gunung Penanggungan (H. Sidomulyo).

Re-illustrated after Sidomulyo, 2013

5

dalam pembuatan altar-altar pemujaan pada berbagai pura di Bali zaman pasca Majapahit,6 misalnya gedong abad XVII di Pura Desa atau Pura Puseh Sebatu di Gianyar (lih. foto h.144). Detail yang terdapat di banyak candi-candi Gunung Penanggungan yang didokumentasikan oleh Stutterheim, Bernet Kempers dan Bullough, menunjukkan kemungkinan adanya keterkaitan dengan aliran Blitar (altar andesit dengan pondasi yang kuat dan garis tegas dalam sebagai dekorasinya; banyak di antaranya memuat elemen sederhana pengapit pintu gerbang berlanggam India selatan). Beberapa ukiran candi terlihat sangat anggun dalam tradisi pesisir (pesisir utara atau pengaruh Cina). Penemuan patung Panji oleh Stutterheim menjelaskan keterkaitan terhadap Candi Penataran (sebuah monumen peringatan bagi dunia Panji yang penuh mistis) dan juga rantai keterkaitan penting dengan pemujaan mistis Jawa kuno, yang juga tergambar pada ukiran dan Wayang Beber pada masa Islam. 6

Pura Gede Prancak, Pura Pulaki, Pura Rambut Siwi (dibangun oleh Dang Hyang Nirartha tahun 1546).

Atas: Peta yang memperlihatkan lokasi candi-candi di Gunung Penanggungan (digambar ulang dari sketsa Sidomulyo, 2013). Kiri: Detil dari salah satu gulungan Wayang Beber dari abad XVI (zaman Islam) yang masih bertahan hingga kini di Jawa (foto dari http://en.wikipedia.org/wiki/ File:Wayang_Beber_Opened.jpg)

124 | Langgam Majapahit

Langgam Majapahit | 125


HINDU MAJAPAHIT

MAJAPAHIT AKHIR

Candi Sukuh – Candi Ceto – Candi Menggung “Upacara penyucian yoni-lingga merubah Candi Sukuh menjadi pusat spiritual, keagamaan, magis dan kosmologis dari sebuah wilayah baru. Pada saat yang sama, upacara penyucian tersebut mengubah Gunung Lawu yang suci, tempat para arwah leluhur dengan Candi Sukuh di lerengnya, menjadi Gunung Meru, meskipun secara politis ibukota kerajaan yang baru letaknya di barat laut. Akibat kuatnya pengaruh tempat ini, berdasarkan ajaran Siwa Tantra, Candi Sukuh merupakan pesaing Majapahit, doktrin kerajaan yang muncul setelahnya diturunkan dari dualisme Hindu-Buddha.” — V.M. Fic, From Majapahit and Sukuh to Megawati Sukarnoputri, 2003 - p54 Segitiga kosmis candi-candi tersebut merupakan suatu kumpulan yang menimbulkan tanda tanya dalam sejarah Hindu-Jawa. Candi Sukuh, sebagai candi utama merupakan sebuah pusat pemujaan kesuburan dari sekte Bima. Candi Ceto menggabungkan konsep punden berundak kuno dan patung-patung dalam desainnya. Tema utama Candi Sukuh adalah kisah Bimaswarga, tema yang sama terlukis pada langit-langit di taman sari Kerta Gosa, Puri Klungkung, Bali. Dalam bukunya yang kontroversial From Majapahit to Sukuh to Megawati Soekarnoputri, ahli sejarah berkebangsaan Ceko Professor Victor M. Fic mengemukakan bagaimana Candi Sukuh sebenarnya dibangun pada awal abad XV oleh Bhre Daha, seorang bangsawan dinasti Daha-Kediri. Bhre Daha dibesarkan di Majapahit setelah orangtuanya, Raja Pandansalas (1468-1470), wafat dalam sebuah kudeta. Pada tahun 1436, beliau menggulingkan Ratu Suhita sebagai penguasa Majapahit. Beliau lalu dimakzulkan pada tahun 1437 dan mendirikan kerajaan tandingan bersama orang-orang Kalang di Jawa Tengah. Orang-orang Kalang dikenal sebagai sebuah sekte dengan kemampuan bertempur, daya seni dan budaya kunonya. Bhre Daha mendirikan sebuah lingga kerajaan di puncak piramid di Candi Sukuh untuk meresmikan wilayah baru dan melegitimasi dirinya sebagai penguasa Jawa. Sukuh menjadi pusat kosmologis dari wilayah baru, dan menjadi saingan Majapahit.

Atas: Bagian kepala dari patung Wong Kalang di Rijksmuseum, Amsterdam berasal dari Candi Sukuh, Jawa Tengah. Para pendiri Candi Sukuh percaya bahwa lereng Gunung Lawu adalah tempat yang sakral untuk memuja roh para leluhur dan roh yang ada di alam dan tempat ibadah para pemuja kesuburan. Di Candi Ceto yang tidak jauh dari tempat ini, mantan presiden Soeharto membangun sebuah tempat pemujaan lengkap dengan phallus dari tembaga di bagian atasnya. Banyak pemimpin muslim kerap berkunjung ke Candi Ceto untuk meditasi. Dunia mistis masih populer di berbagai bagian Jawa Tengah dan Jawa Timur (koleksi Rijksmuseum, Amsterdam dalam buku Worshipping Siva and Buddha oleh Ann Kinney, 2003). Kanan: (searah jarum jam dari kiri atas) Pelataran depan Candi Sukuh memperlihatkan meja batu berbentuk kura-kura; obelisk misterius di pelatran depan Candi Sukuh; pelataran depan Candi Ceto dengan dekorasi lantai yang asli berupa susunan batu yang masih bertahan; patung-patung dari abad XV di reruntuhan Candi Menggung, Jawa Tengah.

126 | Langgam Majapahit

Langgam Majapahit | 127


HINDU MAJAPAHIT

MAJAPAHIT AKHIR “Sifat kreatif orang-orang Kalang memberikan suntikan kehidupan baru ke dalam peradaban Hindu-Jawa pada tahap-tahap akhir perkembangannya di wilayah-wilayah ini, khususnya di Kediri sebagai pusatnya. Orang-orang Kalang bermata pencaharian sebagai pembuat candi dan pemotong batu yang memahat relief dan membuat patung-patung di Candi Sukuh, Candi Ceto maupun candi-candi lainnya yang terletak di kawasan-kawasan bagian barat kerajaan Kediri. Mereka juga memiliki kerajinan kulit, seperti wayang kulit, alat-alat musik dan benda-benda lainnya yang diperlukan dalam pertunjukan seni. Memang benar bahwa sebagai pembuat candi dan pemahat batu, mereka harus mengikuti cetak biru yang digambar oleh para Brahmin terpelajar yang menguasai Shilpashastra (norma yang mengatur tata cara pembuatan arca atau ikonografi) pada zaman itu, pengaruh para seniman Kalang dan ahli-ahli kerajinan dalam menafsirkan dan pengamalan norma-norma tersebut luar biasa.” — V.M. Fic, From Majapahit and Sukuh to Megawati Sukarnoputri, 2003 – h.67 Candi-candi ini — kesemuanya unik jika dipandang dari sudut pandang Candi Hindu — dibangun di atas kawasan suci punden berundak zaman Megalitik yang sakral bagi orang-orang Kalang. Ukir-ukiran di Sukuh menampilkan mitos dan patung-patung Kalang dalam sebuah langgam gabungan Kediri klasik akhir dan juga Jawa asli — dipengaruhi oleh seniman-seniman Kalang dan para pembuat candi yang mendirikannya. Lingga dengan tinggi tiga meter, misalnya, memiliki empat batu bulat di bagian pangkalnya. Bentuk seperti ini juga ditemukan pada budaya Austronesia dan Polinesia kuno sebagai ritual inisiasi. Tiga buah meja batu berbentuk penyu besar di halaman depan Candi Sukuh — bentuk altar pra-Hindu kuno untuk ritual penyucian arwah — tergabung dalam desain yang baru. Patung-patung menyeramkan dan berbagai ukiran yang terdapat di candi-candi ini mengingatkan kita pada patung-patung Kediri-Tumapel abad XI-XII dalam langgam yang sederhana (disinggung pada bagian sebelumnya). Secara obyektif, patung-patung tersebut kemungkinan juga adalah cikal bakal dari berbagai bentuk patung Bali yang sederhana, terutama yang ditemukan di sejumlah masyarakat asli pegunungan sekitar danau Batur. Kemungkinan lain adalah bahwa banyak ritual-ritual Kalang-Daha yang dilaksanakan pada tiga candi zaman Majapahit akhir ini berkembang hingga ke Bali. Terlihat dari ritual membakar pakaian orang yang meninggal dalam budaya Kalang yang dapat ditemukan pada masyarakat pegunungan di Bali. Candi-candi tersebut tetap menjadi pusat kerajaan aliran Siwa-Tantra hingga akhirnya Bhre Daha kembali ke Kediri. Candi-candi ini kemudian kehilangan statusnya sebagai candi kerajaan untuk kemudian menjadi tempat suci leluhur di pegunungan. Hingga suatu hari, menurut sejarawan lain, candi-candi tersebut dipilih oleh salah satu raja terakhir Majapahit, Brawijaya V, sebagai tempat pengasingannya dan beliau akhirnya mencapai moksa di lereng Gunung Lawu. * * * Buku Professor Fic dianggap penting sekalipun banyak dari teorinya dianggap ‘konyol’ oleh para Javanologis. Bagi penulis, uraiannya tentang upacara dan peran para pendeta Brahmana membuat kehidupan ritual Majapahit menjadi hidup. Sebagai seorang ahli Tantra dengan pengalaman puluhan tahun dalam bidang Hindu-India, penafsirannya terhadap ukiran-ukiran berbaur dalam gairah yang tinggi, sebagaimana seseorang yang sedang menggambarkan ritual HinduBali hari ini.

Halaman sebelumnya: Seni patung dari Candi Sukuh dan Candi Ceto — Sebuah rangkaian foto-foto patung dan ukiran, karya agung Majapahit di Candi Sukuh, Jawa Tengah, dari abad XV. Arkeolog besar A.J. Bernet Kempers merasa bahwa di candi-candi masa Majapahit akhir — khususnya Candi Ceto dan Candi Sukuh — para pemahat kembali pada motif-motif Jawa yang asli. Kanan: (atas) linggum raksasa yang aslinya berada di atas Candi Sukuh (linggum/lingga menghilang dari Museum Nasional pada 1985); (dua foto di bawah) patung-patung penjaga di Candi Ceto.

128 | Langgam Majapahit

Langgam Majapahit | 129


HINDU MAJAPAHIT

Patirtan

MAJAPAHIT AKHIR

Air suci (tirta) adalah bagian paling pokok dalam sebagian besar ritual HinduJawa. Tren mata air suci dan pura taman mulai menyebar; hal itu tampak di zaman Majapahit dan kembali jaya di zaman pasca-Majapahit. Di Bali saat ini, timbul sebuah kebangkitan besar dalam mendirikan atau merestorasi pura taman, simbol tempat tinggal Dewi Sri, pasangan Dewa Wishnu, dewa pegunungan dan danau. Patirtan dan mata air suci sudah ada di Jawa Timur dan Bali paling tidak sejak abad X — Candi Belahan, Candi Jalatunda, di Jawa; permandian raja-raja di Pura Tirta Empul, Tampaksiring dan Goa Gajah di Bali — namun tampaknya peran patirtan lebih menonjol dalam ritualritual Majapahit. Miniatur-miniatur altar pemujaan di sebagian besar patirtan yang dijumpai di Jawa Timur, Candi Tikus di Trowulan misalnya, dipercaya oleh sejumlah ahli merupakan miniatur pura pasimpangan (pura cabang). Jika teori ini benar, para umat di zaman Majapahit mengunjungi patirtan (pura taman) Candi Tikus dengan tujuan menghaturkan sembah bagi candi-candi yang jauh seperti Candi Penataran atau candi-candi leluhur di lereng Gunung Penanggungan.

Kanan atas: Patirtan/pura taman di Tabanan, Bali (foto daro buku Kunst op Bali oleh P.A.J. Moojen, 1926). Kiri: (searah jarum jam dari kiri atas) Patirtan Candi Tikus dari abad XIV di Trowulan; Candi Pemandian Penataran, Blitar; sisi lain dari Candi Pemandian; Candi Sambisari dari abad XII, pendahulu dari candicandi bertema air dari masa Majapahit; Pakar di bidang Majapahit dari Belanda, Amrit Gomperts, di depan kolam Segara Agung di Trowulan; patirtan utama di luar komplek Candi Penataran, yang terletak di atas sungai, mirip dengan yang terdapat di banyak Pura Beji yang juga merupakan sumber mata air.

130 | Langgam Majapahit

Langgam Majapahit | 131


HINDU MAJAPAHIT

MAJAPAHIT AKHIR

Patung Zaman Majapahit Akhir Majapahit terkenal dalam bidang seni patung-patung berbahan terakota dan batu kapur, yang seringkali mencengangkan dan indah, sama halnya seperti Kerajaan Vijaynagar di bagian tengah India selatan pada periode yang sama. Banyak dari ketentuan-ketentuan khusus dan artistik Majapahit diadopsi oleh Bali dan bisa disaksikan hingga hari ini. Bali utara sepertinya paling kentara sangat dipengaruhi oleh langgam floral Majapahit yang bersifat feminin dan mengalir. Bali selatan memperlihatkan lebih banyak pengaruh maskulin dengan arsitekturnya yang kuat serta patung-patung penjaganya. Cukup sering hasrat naturalis para pemahat Majapahit — menampilkan patung-patung rohaniwan, misalnya — dikombinasikan dengan patung-patung dan ukiran fantasi Siwa-Bhairawa yang sudah lebih dulu ada. Penggambaran Siwa beserta beragam avatarnya di sini sebagai pemusnah atau dalam perwujudannya yang angker. Pada zaman Singosari di Jawa Timur, sebuah kerajaan sebelum Majapahit, aliran Siwa-Bhairawa dibawa ke Bali. Dua patung pertama dalam baris kedua di sebelah kanan menunjukkan sebuah kaidah artistik Majapahit yang populer dengan menampilkan patung-patung gadis yang mengangkat kain bawahannya (kamben) untuk memudahkan gerakan. Patung-patung gadis seperti ini bisa ditemukan sebagai dasar wadah air suci (nyuwun jun) atau bahkan pada ragam seni di pura. Langgam ini sudah jamak digunakan di seluruh Bali.

Halaman ini: Seni patung Bali dari abad XIX dan XX dalam gaya Majapahit (seluruhnya dari Bali bagian utara atau wilayah pegunungan Bali (Trunyan, di kiri atas)). Halaman berikutnya: Sebuah koleksi patung gerabah dan emas zaman Majapahit dari abad XII hingga XV. Patung wanita dalam busana tanpa atasan yang sedang memegang selendang sering terlihat sebagai motif zaman Majapahit dan bertahan dalam seni patung Bali masa kini (foto dari Majapahit Terracotta oleh S. Damais, 2012, kecuali foto kedua dalam baris kedua diambil dari www.wilwatiktamuseum.wordpress.com)

132 | Langgam Majapahit

Langgam Majapahit | 133


HINDU MAJAPAHIT

MAJAPAHIT AKHIR

Figur Gajah pada Zaman Majapahit Patung dan perumpamaan bentuk gajah dan pemanfaatan hewan itu saat upacara kerajaan, mencapai puncaknya di Jawa dan Bali pada zaman Majapahit. Laporan dari Eropa yang paling awal tentang raja Bali adalah tentang Dalem Gelgel di abad XVI yang menggambarkan beliau bepergian dalam iring-iringan gajah — hal ini mungkin merupakan warisan zaman Majapahit yang dibawa dari keraton induk di Jawa Timur. Gajah sudah tampak pada relief candi-candi sejak abad IX, batu tumpuan tiang (umpak) dari abad XI, sebagai figur penjaga candi atau pura, dan sebagai aksen dekoratif pada taman-taman sari kerajaan, sejak abad XIV dan seterusnya. Perdana menteri Majapahit yang terkenal, Gajah Mada (jenderal gajah), mengirim delapan orang Arya (kesatria) untuk menundukkan Bali sekitar tahun 1340. Dalam masa jabatannya, beliau mampu menyatukan wilayah kepulauan Indonesia modern di bawah kendali Kerajaan Majapahit hingga mencapai Temasek (sekarang Singapura) dan negara-negara yang saat ini bernama Malaysia, Brunei dan Filipina selatan melalui jaringan perdagangan.

Kiri: (atas) Relief di Candi Sukuh menampilkan para prajurit mengendarai gajah menuju medan perang; (bawah) ukiran gajah yang mengantarkan para prajurit Kalang menuju medan perang tergambar di dinding Candi Penataran.

Below: (atas) Medali bermotif gajah di Candi Penataran, Blitar.

Atas: Motif gajah zaman pra Majapahit telah populer di Indonesia sejak awal zaman Hindu klasik. Bagian bawah tiang bangunan ini berasal dari candi di dekat Semarang, Jawa Tengah sekitar abad X. Kiri bawah: Cokorda Pemecutan XI — keluarga besarnya adalah penjaga ‘api’ Majapahit — di Pura Panembahan (Tambang) Badung, memiliki tato bergambar gajah yang melambangkan tenaga dan kekuatan. Kanan bawah: Foto tahun 1979 memperlihatkan mantan gubernur Bali Prof. Dr Ida Bagus Mantra dan istri dalam sebuah perahu gajah mina di lepas pantai Sanur.

134 | Langgam Majapahit

Langgam Majapahit | 135


HINDU MAJAPAHIT

Atas: Gadis Bali di Tirta Gangga, taman hiburan kerajaan di Karangasem. Bawah: Motif gajah makala yang populer pada candi-candi zaman Hindu, terus digunakan hingga masa Islam Majapahit dan tampak pada kereta kenegaraan Singa Barong milik Istana Kasepuhan Cirebon, Jawa Barat dari abad XVI. Halaman berikutnya: (searah jarum jam dari kiri atas) Elemen hias dari abad XIV berupa ukiran batu karang gajah di Candi Menak Jinggo, Trowulan, Jawa Timur. Motif karang gajah sebagai bagian dasar sebuah perayaan ogoh-ogoh di Bali timur, 2014; karang gajah pada bagian utama Pura Dalem Tunon, Kuta, Bali; elemen hias karang gajah di Museum Trowulan (mungkin dari Candi Menak Jinggo).

136 | Langgam Majapahit

MAJAPAHIT AKHIR

Di Candi Sukuh, kita bisa melihat ukiran-ukiran yang menggambarkan pasukan yang sedang mengendarai gajah menuju medan perang. Sosok gajah mina, yang merupakan kombinasi ikan dan gajah, populer dalam bentuk patung-patung dan tandu kerajaan sepanjang zaman Islam hingga sampai di Bali dalam bentuk patung-patung, layang-layang dan kereta gajah mina yang masih populer. Ganesha, dewa gajah India, lebih populer selama zaman pra-Majapahit di Bali. Ganesha —tampil dalam bentuk patung-patung di sejumlah pura kuno — dan juga di sejumlah pura penting, seperti Pura Luhur Uluwatu. Karang gajah (motif gajah, lih. foto h.137) masih banyak diterapkan di Bali. Kemunculannya paling awal di Jawa adalah pada candi-candi zaman Majapahit yang banyak terlihat di bagian-bagian sudut altar pemujaan sebagaimana halnya kita temukan di Bali saat ini.

Langgam Majapahit | 137


Bali pada Zaman Majapahit K

urang lebih satu abad sebelum berdirinya Keraton Majapahit, seorang keturunan Airlangga mengirim putranya, Jayasakti, untuk memerintah Bali dari sebuah tempat di pegunungan bernama Balingkang. Putranya, Jayapangus (1178-81) berhasil meneruskan tugasnya sebagai raja dan membentuk dinasti yang menjadikan hubungan timbal balik antara Jawa-Bali hampir berhasil dan menunda pendudukan secara penuh oleh angkatan bersenjata Majapahit. Dari periode ini banyak karya-karya literatur klasik Indonesia kuno, puisi-puisi India yang dikenal dengan istilah kekawin, mulai ditulis dan beredar secara luas di Bali. Pada pertengahan zaman Majapahit, puri-puri di Bali berada dibawah kendali Majapahit. Rakyat Bali ditaklukkan dan kemudian perlahan-lahan diperkenalkan dengan tata cara Majapahit. Hal ini dicapai dengan cara menundukkan desa-desa Bali Mula dan Bali Aga dan menjajahnya melalui pengaruh sejumlah pangeran kerajaan bawahan Majapahit di Jawa dan pendeta Brahmana, misalnya Arya Kepakisan dan Sri Kresna Kepakisan yang dikirim ke Bali oleh Raja Majapahit Hayam Wuruk. Dari beberapa manuskrip diketahui bahwa sejumlah raja Bali bahkan mengundang arsitek (Bali: undagi) dari Majapahit guna merancang berbagai pura di Bali — Pura Maospahit (abad XIV) di Denpasar adalah salah satu contohnya — dan bahwa tradisi arsitektur arsitektural Majapahit sudah diterapkan pada model-model bangunan Bali kuno dan jaman awal Hindu-Bali. Ragam upacara juga diperkaya dengan tradisi-tradisi Majapahit. Gagasan tentang pura kerajaan bagi khalayak ramai (pura agung) dan hubungannya dengan istana raja (puri agung) diperkenalkan ke Bali pada masa ini. Hal ini merupakan sebuah ketentuan umum, menjadi sesuatu yang pokok dalam ketatanegaraan Majapahit, untuk memiliki sejumlah pura penting yang berada dalam wilayah kekuasaan, yang secara simbolis, menaungi sembilan penjuru mata angin (nawa sanga) — delapan dewa penjaga sesuai arah mata angin ditambah Dewa Siwa di bagian tengah, suatu ciri khas Majapahit. Masing-masing pura penting ini memiliki kaitan dengan puri-puri besar di Bali, sebagai contoh Pura Besakih memiliki kaitan dengan Puri Agung Klungkung, begitu pula dengan Pura Agung Kesiman dan Pemecutan dikaitkan dengan Pura Dalem Sakenan. Sistem ketatanegaraan seperti ini menjadi sesuatu yang pokok dalam tata pemerintahan Majapahit.

Halaman sebelumnya: Gerbang utama (kori) menuju Pura Luhur Uluwatu, dipercaya telah berdiri pada abad XV oleh pendeta Hindu-Jawa yang agung, Dang Hyang Dwijendra. Atas: Lukisan wayang Bali dari abad XIX serupa dengan wayang beber dari abad XIV yang populer pada masa Majapahit (lih. h.125).

138 | Langgam Majapahit

Langgam Majapahit | 139


HINDU MAJAPAHIT

BALI ZAMAN MAJAPAHIT Penulis berpendapat bahwa pada abad XV berbagai masyarakat yang hidup jauh di pegunungan baik di Bali maupun Jawa, mengalami suatu ‘Majapahitisasi’, begitu pula dengan penghormatan mereka terhadap dewa-dewa gunung juga diserap ke dalam sistem kepercayaan masyarakat-masyarakat pesisir, yang dari segi budaya, lebih bersifat Majapahit. Banyak tempat suci dengan pelataran bertingkat pada lereng Penanggungan di Jawa dan Gunung Agung di Bali mendapat ‘sentuhan Majapahit’ dan disucikan kembali sebagai pedarman atau pura leluhur. Bahkan jauh di Sumatera, kita menemukan petunjuk sejarah menyangkut penggabungan beberapa suku bangsa, seperti Orang Kayu Hitam, ke dalam kekuasaan Majapahit. Di Bali, para pemuja pohon beringin (Latin: Ficus benjamina) dikenal sebagai klan Pasek Taro Selem (sama seperti Orang Kayu Hitam), bersama dengan klan Pasek Barak, dikenal sebagai komunitas masyarakat tertua di Bali, dan mereka diberikan keistimewaan dalam upacara-upacara besar di Bali daratan, seperti misalnya dalam prosesi mendak saat Melasti yang terkait dengan upacara Eka Dasa Rudra yang berlangsung setiap seratus tahun sekali. Zaman keemasan Majapahit di Jawa, di bawah kekuasaan Raja Hayam Wuruk dan perdana menterinya Mahapatih Gajah Mada, bersamaan pula dengan zaman keemasan bangunan puri dan pura di Bali. Banyak dari kedelapan arya (perwira kerajaan) yang dikirim untuk menduduki Bali tahun 1343 akhirnya menetap di Bali dan mendirikan rumah yang pada kelanjutannya berubah menjadi puri atau bahkan pura.

Jawa Timur, abad XIII Atas: Beberapa pura di Bali berangka tahun seusia dengan asa SingosariMajapahit, dan bahkan masa sebelumnya (dalam kasus Pura Besakih, Samuan Tiga, Pura Puncak Penulisan dan banyak lainnya). Yang paling terkenal dari pura zaman Singosari-Majapahit adalah Pura Luhur Uluwatu, yang didirikan oleh Empu Kuturan di abad XI tetapi disempurnakan dengan sangat banyak pada abad XV oleh pendeta Hindu-Jawa, Dang Hyang Dwijendra. Pura Dalem Sakenan dan Pura Susunan Waden, keduanya di Pulau Serangan merupakan peninggalan dari zaman yang sama dan tetap bertahan hingga kini, sama halnya dengan Pura Panembahan Badung, di Denpasar. Halaman berikutnya: Ukiran tipikal Majapahit klasik yang ditemukan pada gerbang masuk ke Pura Luhur Uluwatu dari abad XVI.

Bali, abad X

140 | Langgam Majapahit

Altar Bhatara Ngurah di sebuah pura kecil di luar Pura Luhur Uluwatu mirip sebuah perahu (banyak pendeta yang datang dari Jawa Timur dengan perahu pada akhir zaman Majapahit). Atap altar ini juga sedikit mencerminkan Candi Kotes di Blitar, Jawa Timur dari abad XIV.

Candi Kotes dari abad XIV di Blitar. Yang menarik dari Candi dengan ukuran kecil ini adalah adanya tiga buah tugu pemujaan di atas sebuah pondasi yang serupa dengan banyak pura di Bali utara di abad XVIII – XIX. Candi ini juga serupa dengan bentuk-bentuk candi dari tanah liat lain yang sudah ditemukan.

Pada abad XVII, keraton-keraton di Jawa Tengah dan Barat — Kartasura di Jawa Tengah, Sumedang dan Banten di Jawa Barat, sebagai contohnya (keduanya berdiri pada zaman Sailendra) — juga lebih banyak mengambil identitas Majapahit. Bangunan-bangunan di Jawa Tengah dan Sunda dalam aliran arsitektur Majapahit Hindu akhir yang kita lihat saat ini — di berbagai makam dan keraton di Jawa Tengah dan Barat — memiliki keunikan Majapahit. Hal ini akan dibahas lebih banyak pada bab berikutnya. Penulis berpendapat bahwa sepanjang kekuasaan Raja Hayam Wuruk puripuri besar Bali ‘didandani’ dengan lebih banyak ragam hias yang mewah dalam kehidupan tata upacara Hindu-Jawa. Hal itu terlihat dalam tandu (Bali: gayot) bersepuh emas (ukiran berwarna merah dan emas adalah ciri khas Majapahit); rangkaian upacara megah saat berlangsungnya kremasi kerajaan (kemegahan yang ditambahkan dalam upacara-upacara yang sudah ada, memberi kesan yang lebih mewah pada materi persembahan dan ritual yang terkait dengan segala jenis upacara di Bali saat ini), tradisi Ogoh-ogoh (sebenarnya berasal dari India selatan); sebagian besar peralatan upacara — bendera dan umbul-umbul serta arca Hindu-Jawa seperti angsa suci, kijang emas, rompi brokat (rumbi), kain sumbagi, maskot mahluk mistis gajah mina (Jawa: makala), pedati untuk dewa —, halaman ancak saji dan elemen bangunan puri lain seperti candi bentar, balé kulkul dan taman air di pura adalah beberapa contoh yang ada. Penentuan arah atau orientasi penting lainnya mungkin juga sudah diperkenalkan di Bali pada masa itu. Kita tahu bahwa Candi Jawi (abad XIV) di Jawa Timur adalah monumen perabuan bagi Kertanegara, ayah dari pendiri Majapahit. Dilihat dari segi bentuk, Candi Jawi sangat mirip dengan candi peninggalan abad XI, Gunung Kawi, di Tampaksiring, Bali bagian tengah yang menurut cerita merupakan makam Anak Wungsu, saudara laki-laki Airlangga, yang memerintah Bali pada masa akhir dinasti Warmadewa. Candi Jawi merupakan candi pertama di Jawa Timur berorientasi ke arah gunung suci dan juga secara bersamaan ke timur (Siwa). Tradisi menempatkan altar pemujaan bagi para dewa dan leluhur suci di pojok timur laut dalam pekarangan rumah serta balai (Bali: balé), kemungkinan adalah tradisi Majapahit yang berlanjut hingga kini di Bali. • • •

Langgam Majapahit | 141


HINDU MAJAPAHIT

BALI ZAMAN MAJAPAHIT

Dang Hyang Nirartha (Dang Hyang Dwijendra) Sejarah Bali mencatat tentang seorang pedanda sekaligus seorang arsitek yang berasal dari Kerajaan Majapahit di Daha (Kediri) yang terus menjauh dari penyebaran Islam dengan terus melanglang ke arah timur hingga berakhir di sebuah kerajaan yang dipimpin oleh seorang raja Hindu di Blambangan, yang memiliki ikatan melalui perkawinan dengan Dewa Agung di Gelgel, Bali. Tahun 1546, atas undangan Kerajaan Gelgel, Nirartha berangkat ke Bali. Saat tiba di Perancak, dekat Negara di Bali Barat, beliau segera mulai membenahi ajaran Hindu di Bali. Nirartha membangun banyak pura di sepanjang pesisir, seolah membentuk rangkaian simbolis untuk menyatukan Bali. Salah satu sumbangan besar beliau adalah diperkenalkan padmasana — tugu pemujaan terhadap Acintya, Tuhan Yang Maha Esa — di semua pura di Bali. Tujuan Nirartha adalah untuk menyaingi ajaran Islam ‘Satu Tuhan’. Banyak dari pura gaya Majapahit yang beliau bangun terletak pada lokasi yang dramatic, mulai dari tempat saat beliau tiba di Bali hingga Pura Suranadi di Lombok Barat. Pura yang beliau bangun menjadi acuan baru bagi tata bentuk pura dan banyak ditiru pada abad-abad berikutnya. Nirartha dikenal pula dengan nama Pedanda Sakti Wawu Rawuh. Beliau akhirnya mencapai moksa di Pura Luhur Uluwatu. Di pura ini terdapat sebuah pejenengan dan sejumlah patung untuk mengenang beliau.

Bagaimana halnya dengan peradaban masyarakat Bali sebelum adanya pengaruh Majapahit? Sayangnya, tidak banyak bukti tertulis dari zaman praMajapahit selain catatan mengenai upacara-upacara di berbagai di masa Rsi Markandya (abad XI) dan Empu Kuturan (abad XII) serta catatan tentang kerajaan kuno dan penting di daerah pegunungan, yakni Balingkang dan Selulung. Raja Purana adalah salah satu manuskrip yang mencatat sejarah pra-Majapahit secara rinci mengenai Bali tengah dan daerah pegunungan Bali. Sebuah laporan bangsa Portugis dari abad XVI tentang Bali mencatat Bali sebagai tempat yang cukup ganas, dikenal luas dengan ‘perompaknya dan penyedia budak’. (The Suma Oriental of Tomé Pires (1512 – 1515). Pada akhir abad XVI, sebuah ekspedisi Belanda yang dipimpin Cornelis de Houtman mencatat situasi yang agak berbeda: sebuah kerajaan yang hebat di Gelgel dan upacara-upacara yang mengesankan. Ada kemungkinan perbedaan dalam kedua catatan tersebut karena faktanya adalah Pires berlabuh di Kuta sedangkan de Houtman di Gelgel. Kemungkinan lainnya adalah bahwa abad XVI merupakan sebuah periode dengan perubahan besar-besaran di Bali dengan adanya pembaruan budaya akibat pengaruh Majapahit.

Jawa

Kalung Majapahit abad XIV (kalung Cakar Harimau), dari buku Old Javanese Gold oleh John Miksic, 2011

142 | Langgam Majapahit

Bali

Foto tahun 2014 yang diambil saat upacara Nyambutin cucu keduabelas dari Cokorda Pemecutan XI, Ngurah Agung Sailendra Kertagama (perhatikan kalungnya)

Kanan atas dan halaman sebelumnya: Detil Pura Maospahit. Banyak bagian dari pura ini telah dipugar berkali-kali sejak abad XIV tetapi tugu pemujaan utama dan gerbang yang ada saat ini dipercaya tetap mengacu sesuai aslinya. Pemasangan bata merah disini merupakan salah satu contoh terbaik di Bali dalam hal pekerjaan dekoratif pasangan bata Majapahit (foto kanan atas diambil dari Kunst op Bali oleh P.A.J. Moojen, 1926).

Langgam Majapahit | 143


HINDU MAJAPAHIT

BALI ZAMAN MAJAPAHIT Bawah: (kiri) Foto tahun 1980 dari gedong (dijaga oleh dua dwarapala menyerupai Bima) di Pura Petitenget, Bali (abad XVI), rumah bagi kotak sirih (peti pecanangan) milik Dang Hyang Dwijendra; (kanan) Salah satu dari dua buah gedong utama di Pura Maospahit (abad XV) di Denpasar.

Sebuah ‘skenario’ yang mungkin: Candi Naga, Penataran, Blitar, Jawa Timur Abad XIV (bagian atap direkayasa dengan Photoshop)

Gedong Gedong adalah semacam bangunan arsitektur candi Jawa yang paling awal dikenal. Kemunculan pertamanya adalah pada zaman Dinasti Sanjaya (abad VIII). Di zaman Majapahit, gedong merupakan bagian (bawah) dari meru (bentuk pagoda). Candi Naga di areal Candi Penataran adalah sebuah contoh klasik. Bentuk itu banyak dipakai dalam khazanah arsitektur pura di Bali pada saat itu. Gedong zaman Majapahit dari abad XVI dapat ditemukan di Pura Susunan Wadon, Pulau Serangan, di Pura Maospahit, Denpasar dan Pura Penataran, SuwungKepaon (lih. foto h.274-5). Gedong bisa juga berbentuk kubah batu, dengan atap batu atau sebagai balai yang ditinggikan dengan dinding nonbeban tebal yang melingkupinya, seperti tampak pada cungkup (ruang makam Islam) abad XVII, misalnya makam Kyai Tumenggung Pusponegoro dan cungkup makam penguasa Cirebon di Makam Sunan Gunung Jati serta Makam Sunan Pandanarang dekat Klaten, Jawa Tengah.

Atas: Bataran (bagian dasar) dari sebuah banguan berbentuk gedong yang ditemukan di Candi Kotes (abad XV), dalam pekarangan kedua. Gedong umum ditemukan pada berbagai pura (lihat di bawah) terlebih pada pura keluarga di beberapa istana terkemuka di Bali. Ukuran Candi Kotes memberi kesan bahwa pada zaman tersebut bangunan ini adalah sebuah pura keluarga.

144 | Langgam Majapahit

Candi Pari, Sidoarjo, Jawa Timur, abad XIV (detiktravel.blogspot.com)

Gedong Naga, Pura Puseh, Sebatu, Ubud, Bali Abad XX Hampir seluruh cungkup abad XVI memiliki dinding kayu berukir sehingga tidak termasuk gedong. Gedong simpenan yang digunakan untuk menyimpan barong dan arca-arca penting telah populer paling tidak sejak jaman Majapahit. Di sejumlah pura di Bali zaman pra-Majapahit seperti misalnya di Pura Batukaru, bentuk gedong baru ditambahkan pada zaman Majapahit. Gedong di Pura Batukaru saat ini diperuntukkan bagi keluarga bangsawan Puri Pemecutan (Badung) dan Tabanan, keduanya merupakan keturunan dari bangsawan Majapahit, Arya Kenceng.

Gedong di Pura Maospahit (abad XV), Tonja, Denpasar

Langgam Majapahit | 145


HINDU MAJAPAHIT

BALI ZAMAN MAJAPAHIT

Meru Pagoda adalah sebuah bentuk altar pemujaan yang terdapat di India, Nepal, Cina, Jepang, Bhutan, Tibet, Vietnam, Burma dan Bali. Di Jawa, meru tertua yang masih bertahan (hanya pondasinya saja) berlokasi di Candi Jago, peninggalan zaman Singosari abad XIII di dekat Malang, Jawa Timur. Candi Naga yang terletak di kawasan Candi Penataran adalah pondasi meru yang paling terkenal dari zaman Majapahit dan memiliki kesesuaian bentuk, ukuran dan ragam hiasan dengan banyak meru pada berbagai pura di Bali saat ini. Tahun 1924, Raden Soekotjo, seorang pengawas pribumi (Jawa) di bagian pembangunan situs arkeologis milik pemerintah colonial Belanda memancing kemarahan komunitas arkeologi dengan sebuah rekontruksi hipotesis tentang sebuah meru dengan atap tumpang 13 di Candi Naga, yang didasari riset terhadap sejumlah pura yang sezaman di Bali (1920) dan relief pada dinding candi. Atas: Rekonstruksi Candi Naga, Penataran Meru, 1924 (sketsa oleh R. Soekotjo dalam buku Worshipping Siva and Buddha oleh Ann Kinney, 2003). Kanan: Meru atau paviliun dengan atap bertingkat tergambar pada sebuah panel ukir di Candi Sukuh, Jawa Tengah. Halaman berikutnya: Foto tahun 1910 dari Candi Yeh Gangga (abad XV) di Perean, Tabanan, Bali (foto dari buku Kunst op Bali oleh P.A.J. Moojen, 1926).

146 | Langgam Majapahit

Langgam Majapahit | 147


HINDU MAJAPAHIT

Meditation place at Candi Ceto, Central Java, 2013

BALI ZAMAN MAJAPAHIT

Pura Ulun Danu, Songan, Kintamani, Bali, 2011

Meru dengan gaya Majapahit terakhir yang dibangun di Jawa adalah meru dengan atap tumpang tiga yang dibangun oleh Presiden Soeharto di lereng Gunung Lawu di belakang Candi Ceto sekitar tahun 1980-an. Bagian atasnya diberi mahkota tembaga berbentuk lingga. Meru cenderung merupakan tempat meditasi keluarga. Dalam mitologi Buddha, Hindu dan Jain, terdapat tujuh jenjang pegunungan yang mengarah pagoda sakti Sulamani di Gunung Meru, yang berada di tengah laut keabadian. Banyak sejarawan arsitektur percaya bahwa meru (pagoda berangka kayu) adalah hadiah bagi Asia yang disumbangkan oleh para arsitek Nepal, yang mulai diperkenalkan kira-kira setelah abad VI.

Kiri: Struktur atas bertingkat dari abad XVI di Durbar Square, Kathmandu, Nepal. Halaman ini dan berikutnya: (baris pertama, dari kiri) Ukiran pada dinding Candi Jago (abad XII) di Malang, Jawa Timur; pajenengan (tugu pemujaan) bertingkat tiga di Blayu, Tabanan, Bali; Pura Taman Sari, Klungkung; Pura Besakih (tiga foto terakhir dari buku Kunst op Bali oleh P.A.J. Moojen). (baris tengah, dari kiri) Pura Batur, Kintamani; Pura Besakih; Merajan Agung Puri Kesiman (foto tahun 1910 dari buku Kunst op Bali oleh P.A.J. Moojen); Pura Dasar Buana, Gelgel, Klungkung (foto tahun 1930). (baris ketiga, dari kiri) Pura Batur Kintamani; Pura Puseh Lembongan (foto tahun 2014); Pura Batur, Kintamani (foto tahun 1980).

148 | Langgam Majapahit

Langgam Majapahit | 149


Majapahit Bali abad XV - XVII

Baturiti

Klungkung

Gianyar

Denpasar

Kerobokan

Pura Yeh Gangga, Perean

Badung

Sakenan

Pura Petitenget, Kerobokan, Badung

Pura Maospahit, Denpasar

Pura Canggi, Batubulan, Gianyar

Pura Taman Sari, Sengguan, Klungkung

Uluwatu

Pura Tambang Badung, Denpasar

150 | Langgam Majapahit

Pura Uluwatu, Badung

Pura Susunan Wadon, Sakenan

Pura Dalem, Sakenan

Langgam Majapahit | 151


Sumatra Zaman Majapahit “Pada awal periode abad Klasik Pertengahan, ketika Jawa dibagi dan kehilangan sejumlah tradisi kunonya yang paling menonjol, seperti pembangunan candi, misalnya, Sriwijaya justru menikmati manfaat dari berkurangnya pengaruh politik di Selat Malaka serta hubungan yang baik dengan mitra-mitra dagang dan diplomatiknya. Mitra-mitra tersebut antara lain Dinasti Song, China dan Kerajaan Chola di India selatan. Sejumlah candi yang dibangun di Guangzhou dan Negapatam di Pesisir Coromandel, India sekitar tahun 1000 M dibiayai oleh Sriwijaya.� — I. Glover and P. Bellwood, Southeast Asia: From prehistory to history, 2004

Halaman sebelumnya: Stupa abad XV di Candi Muara Jambi, Sumatera Selatan. Atas: Gerbang Candi Muara Jambi, Sumatera Selatan, pengulangan bentuk candi dari bata merah yang mirip sekali dengan bentuk piramida berundak pada bagian dasar candi-candi Majapahit.

152 | Langgam Majapahit

Langgam Majapahit | 153


HINDU MAJAPAHIT

SUMATRA ZAMAN MAJAPAHIT

DAgoba forms on a variety of Buddhist shrines from Burma to Bali, from the 15th to 20th century

Burma

Sumatra

Java

Bali

Pulau Sumatera adalah rumah bagi ratusan candi berbahan bata merah dan reruntuhan kuno. Kita tahu bahwa perguruan Buddha di Nalanda, Bihar, India, didirikan pada abad VI sebelum Masehi, juga terbuat dari bata merah. Banyak cendekiawan berangkat dari Nalanda menuju Sriwijaya di Sumatera Selatan setelah abad VI Masehi. Seorang penguasa India bahkan membangun sebuah candi dari bata merah berlanggam Nalanda dekat Muaro Jambi. Banyak ahli yang percara bahwa, selama kurun waktu berikutnya Kerajaan Sriwijaya (abad XIII–XV Masehi), pusat kerajaan berpindah dari Palembang ke arah utara menuju Muara Takus dekat Pekanbaru sekarang. Memasuki abad XIII Majapahit memiliki hubungan perdagangan dan ikatan perkawinan yang kuat dengan Sriwijaya. Pada abad XIII, sebuah kerajaan yang baru hasil penyatuan beberapa kerajaan di Jawa Timur memanfaatkan kesempatan untuk membangun kekuasaan politik di Sumatera. Raja Kertanagara dari Singasari (pra-Majapahit) mengirim tentaranya ke Malayu tahun 1263. “Sumatera Utara dan Semenanjung Thai-Malayu mendapat pengaruh India selatan yang kuat selama abad kesebelas. Perkumpulan saudagar India selatan dibentuk di beberapa tempat. Raja-raja Chola mungkin pernah memerintah secara langsung di wilayah-wilayah ini. Selama periode Klasik Pertengahan, ketika tidak satupun candi dibangun di Jawa, sejumlah kompleks yang luas dibangun di Sumatra. Salah satunya yang masih ada sampai sekarang adalah Padang Lawas (‘Dataran Luas’). Daerah tandus ini sepertinya tidak akan pernah bisa menyokong jumlah penduduk yang besar,

Kanan: Candi Muara Takus dari abad XV dengan undak-undakan bata merahnya memperlihatkan pengaruh yang kuat dari arsitektur Majapahit (Jawa Timur).

154 | Langgam Majapahit

namun kawasan itu memberikan rute yang nyaman antara pesisir timur dan pesisir barat. Situasi ini dapat menjelaskan tentang keberadaan sekitar 25 candi yang megah bagi sekte kebatinan Buddha yang berbahan batu bata didirikan antara abad sebelas dan tigabelas.” — I. Glover and P. Bellwood, Southeast Asia: From prehistory to history, 2004 Di awal abad XIV, perdana menteri agung Majapahit, Gajah Mada (12901364) mengirim Adityawarman — putra dari perkawinan Raja Malayu dengan seorang putri Sailendra — bersama dengan saudara sepupu dari Jayanegara, raja Majapahit, untuk memerintah Malayapuram Sumatera tengah. Beliau adalah seorang penganut kebatinan Buddha (dan aliran Siwa-Bhairawa sebagaimana tampak pada sebuah patung diri beliau di Museum Nasional sebagai perwujudan Bhairawa) yang berkuasa selama 50 tahun. Selama kurun waktu tersebut beliau mendirikan kerajaan Siwa-Buddha Minangkabau dan sekaligus berperan besar dalam pertukaran budaya dengan tempat asalnya, Majapahit. Keyakinan beliau terhadap Siwa-Bhairawa dan aliran kebatinan Buddha (Vajrayana) semakin menegaskan arti penting kedua kepercayaan ini, berjalan berdampingan selama zaman Majapahit. Sebuah catatan kecil sejarah yang menarik mengaitkan Majapahit-Sumatera dengan Bali zaman Majapahit. Arya Damar (Jaka Dilah) yang legendaris — yang memimpin wilayah-wilayah pendudukan di Palembang, Pagaruyung dan Dharmasraya di pertengahan abad XIV — membantu Gajah Mada menundukkan Bali tahun 1343 dan menjadikannya wilayah kedaulatan Majapahit. Saudarasaudara beliau yang lebih muda — Arya Kenceng, Arya Kuta, Arya Sentong and Arya Dolog — menetap di Bali, untuk melanjutkan pemerintahan di Bali sekembalinya Arya Damar ke Palembang. Munurut sejumlah catatan, di Palembang, beliau memeluk Islam dan konon berganti nama menjadi Arya Abdillah. Sejarawan Professor Berg berpendapat bahwa Arya Damar dan penguasa Sumatera-Majapahit legendaris lainnya, Adityawarman, pendiri dinasti kerajaan Minangkabau, adalah satu dan sama. Adityawarman adalah seoarang penganut kebatinan Buddha.1 Asumsi Prof. Berg dilandasi oleh adanya kesamaan antara Arya Damar dan Adityawarman sebagai penguasa Sumatera di bawah Majapahit. Kedua nama tersebut berkuasa pada tahun yang relatif sama. Nama Adityawarman ditemukan di sejumlah prasasti berangka tahun 1343 dan 1347. Kajian lebih jauh menunjukkan, Adityawarman adalah penguasa Pagaruyung (Sumatera Barat), sementara Arya Damar adalah penguasa Palembang (Sumatera Selatan). Kronik Cina tentang Dinasti Ming menyebutkan bahwa ada tiga kerajaan di Sumatera di bawah Majapahit, yakni Palembang, Dharmasraya, dan Pagaruyung. Oleh karena itu Arya Damar bukan satu-satunya penguasa di Sumatera, begitu pula Adityawarman. Ini membuktikan bahwa Arya Damar tidak harus identik dengan Adityawarman. (Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Arya_Damar)

1

Candi Brahu, Trowulan, Jawa Timur, (abad XV)

Candi Bahal, Tapanuli, Sumatra Utara (abad XI)

Atas: Patung Adityawarman, penguasa Pagaruyung, Sumatera Barat (koleksi Museum Nasional Indonesia).

Langgam Majapahit | 155


Pengaruh Cina, Khmer, Vietnam (Champa) selama Zaman Majapahit “Pada awal abad VII, para peziarah Cina telah berdiam di nusantara dengan tujuan untuk mempersiapkan diri mereka untuk mengunjungi tanah suci di India. I-tsing, salah seorang peziarah Cina yang terkenal, belajar di SriwiÂŹjaya pada akhir abad itu selama beberapa bulan sebelum kunjungannya ke India. Dia kembali ke sana setelah perjalanannya dan dari tahun 685 hingga 695 dia menulis atau menerjemahkan beberapa buku. Sekalipun ada keraguan tentang situasi yang benar di Sriwijaya saat itu menyangkut I-tsing dan situasi secara umum tentang sebagian besar nama-nama yang disebutkan dalam naskah Cina, namun tidak dapat dipungkiri keberadaan pusat-pusat kajian dan tradisi Buddha di Indonesia di awal abad VII, yang menuangkan landasan-landasan terhadap perkembangan seni yang luar biasa pada abad-abad berikutnya, khususnya di Jawa Tengahâ€?. — A.J.B. Kempers, Ancient Indonesian Art, London, 1959

Halaman sebelumnya: Sebuah hal yang tidak biasa tampak pada perayaan besar (odalan nadi) di Pura Desa Sidakarya, Denpasar Selatan tahun 2014. Lilin persembahan yang unik dari komunitas Cina-Buddha di Karangasem dibawa ke salah satu pura penting di Denpasar Selatan ini. Atas: Sebuah hasil cetakan dari seni cetak pelat kayu dalam sebuah buku mengenai suku minoritas Yunnan memperlihatkan seorang perajin dari suku Bai memberi sentuhan akhir pada ukiran yang dibuat untuk bagian dasar sebuah pilar bangunan besar.

156 | Langgam Majapahit

Langgam Majapahit | 157


HINDU MAJAPAHIT

Atas: Paviliun Cina di Puri Kanginan Karangasem, Bali. Salah satu hasil dari hubungan dagang yang erat dengan kerajaan-kerajaan di Cina bagian selatan adalah adanya kerapnya terjadi pertukaran tenaga perajin dan tari-tarian (tarian Singa, contohnya, yang akhirnya menjadi Tari Barong di Bali). Legenda mengatakan bahwa Kuil Bayon di Angkor Thom dibangun oleh para tukang batu dari Jawa, sebagai hadiah dari ‘raja gunung’ di Jawa. Tradisi ini berlanjut hingga abad XIX, ketika raja-raja Bali kerap mengirim rombongan penari ke istana-istana di Jawa, dan memasuki dekade awal abad XX, raja Kanton mengirim arsitek beserta para pemahatnya kepada raja Karangasem yang bertugas merancang dan membangun istana bagian timur bagi keluarga kerajaan inti Karangasem. Komplek ini, beserta taman hiburan Sunyaragi di Istana Kasepuhan Cirebon, bisa jadi satu-satunya yang tersisa dari tradisi agung taman hiburan kerajaa bertema oriental yang bermula saat zaman Majapahit.

PENGARUH CINA

Selama kurun 2000 tahun terakhir banyak terjadi peristiwa budaya di Asia Selatan. Ahli Majapahit, Soedarmadji Damais sering menyatakan bahwa segala hal yang bernafaskan Cina yang datang ke Indonesia, datang melalui Vietnam — beliau berbicara tentang tradisi dekoratif (ukiran) arsitektur. Terdapat sebuh masjid Cina-Buddha pada zaman Majapahit kuno: masjid dari abad XIII yang disebutkan dalam sejumlah manuskrip kemungkinan besar merupakan Cina Hanafi. Buku kontroversial karya Slamet Muljana, Runtuhnja Keradjaan Hindu-Djawa dan Timbulnja Negara-Negara Islam di Nusantara1, yang dilarang beredar hingga tahun 2000, berpendapat bahwa banyak dari jenderal yang berpengaruh dan para penguasanya adalah keturunan Cina. Disebutkan dalam manuskrip Cina maupun Jawa bahwa selama zaman Majapahit, terjadi perseteruan dengan Cina masalah jalur perdagangan dan kedaulatan. Sebagian besar ahli setuju bahwa era pengaruh budaya 1 Ejaan lama Bahasa Indonesia, diterjemahkan menjadi The Fall of Javanese-Hindu Kingdoms and The Rise of Islamic Nations in the Archipelago.

Kanan: Motif bunga Cina — terlihat pada Klenteng Avalokitesvara di Banten, Jawa Barat (abad XVI) yang telah dipugar kembali — dapat ditemukan pada candi/pura/tugu pemujaan di Jawa dan Bali. Di Bali motif ini disebut patra cina. Halaman berikutnya: Contoh penggunaan warna dalam arsitektur Cina (dua foto teratas) dan penerapan warna khas Cina (atau mungkin Khmer) dalam dekorasi bergaya Majapahit pada Pura Kawitan yang indah di Puri Saraswati, Ubud.

158 | Langgam Majapahit

MOTIF WARNA CINA Langgam Majapahit | 159


HINDU MAJAPAHIT

PENGARUH CINA

Bawah: (searah jarum jam dari kiri atas) Motif rantai yang dekoratif — terlihat disini terukir pada kolom kayu di Makam Sunan Prapen di Gresik, Jawa Timur — yang populer semasa zaman Majapahit. Asal muasalnya masih menjadi misteri tetapi kemungkinan berasal dari zaman HinduMajapahit; pola stensil masa Khmer pada kuil-kuil bangsa Thai dan Lao mengingatkan pada pola stensil yang sama pada arsitektur Bali dan seni dekorasi Sriwijaya, Sumatera Selatan; elemen dekorasi yang tidak biasa yang saat ini disimpan di Museum Trowulan menunjukkan pengaruh seni dekorasi Cina (perhatikan bentuk trapesium ganda di tengah). Beragam motif dekorasi pada elemen abad XV ini bentuk kebebasan jiwa — proses adopsi dan adaptasi — yang menjadi bagian dari paham dekoratif yang berkembang di Bali dan pada masa Majapahit akhir di Jawa, setelah satu periode penuh dengan pengaruh Cina.

Bali

China

Cina secara signifikan baru mulai muncul abad XVI. Hal itu ditandai dengan dibangunnya pelabuhan dagang Cina di kota-kota pelabuhan, seperti Lasem, Jepara, Semarang, dan Banten. Perdagangan yang serius dengan Vietnam tengah dan selatan dimulai pada periode ini. Permukiman warga Cina melahirkan masjid-masjid Islam Hanafi, yang pada akhirnya berubah menjadi klenteng (kuil Buddha), sejalan dengan memudarnya hubungan dengan Cina daratan, khususnya mereka yang berada di Cirebon dan Semarang. Saat ini dewa-dewa kuno Hindu- Majapahit masih dipuja di kuil-kuil tersebut. Seniman-seniman Muslim Hanafi (beberapa dari Aceh dan Palembang) memberi pengaruh pada seni dekoratif di sepanjang pesisir utara Jawa hingga akhirnya sampai di Madura. Pada masa akhir Islam-Majapahit aliran itu sampai di Bali Utara (lihat Bab 6 mengenai langgam Bali Utara).

160 | Langgam Majapahit

Istana kekaisaran di Hue, Vietnam Tengah — yang memiliki kesamaan ragam hias arsitektur dan dekoratif dengan Jawa dan Bali zaman Majapahit —sudah berada di bawah kendali budaya Cina selama 700 tahun ketika perdagangan dengan Majapahit mulai. Apakah tradisi kain Cina yang gemerlap (khususnya kain prada emas yang disebutkan dalam manuskrip zaman Majapahit (dan bukan sebelumnya) dibawa dari Vietnam-Cina? Kecintaan orang-orang Khmer-Vietnam-Cina dengan warna emas dan merah (atau kuning dan merah) menjadi sebuah ciri khas Kerajaan Majapahit yang bertahan hingga saat ini di Jawa dan Bali. Kita tahu bahwa hingga abad XIX, para utusan dari Cina memberi pengaruh terhadap tradisi tari Jawa dan Bali (Barong Ket atau Tari Singa, misalnya) serta arsitektur pura dan masjid. Kita tahu bahwa Kartasura, ibukota lama Jawa Tengah pasca zaman Majapahit, memiliki keraton Mandarin(?)-Cina (Hardjonagoro, anekdot) dan bahwa upacara penyucian arwah yang penting atau srada zaman Majapahit (yang terus bertahan di Bali dengan upacara yang lebih meriah) banyak meminjam tradisi Cina. Yang tidak diketahui dan sulit untuk dipahami — ketika pembauran itu terjadi pada banyak hal sehingga mengubah DNA awalnya — adalah dari zaman yang mana pengaruh itu mulai (Sriwijaya?) dan sejauh mana pengaruhnya berlanjut hingga ke zaman Majapahit.

Kiri: Sebuah rumah tradisional Madura dengan pekarangannya tidak jauh dari Sampang di Madura bagian tengah, yang saya rasa adalah sebuah percampuran dari masa awal Hindu-Majapahit dan gaya arsitektur Jawa di masa berikutnya. Paviliun terpisah dengan arsitektur pekarangan Majapahit terlihat ‘melebur’ menjadi sesuatu yang mengarah pada sebuah joglo Jawa. Bagian putih pada bubungan atap, dan bahkan bentuk keseluruhan atapnya, menjelaskan pengaruh gaya Cina atau Vietnam. Bentuk atap mirip dengan yang tampak pada relief-relief candi zaman Majapahit. Bawah: (kiri bawah) Foto tahun 2014 menampilkan dekorasi berupa kain prada putih dan emas pada ‘anjungan utama untuk arwah para leluhur’ saat upacara adat Bali, mukur (disebut srada di zaman Majapahit) di sebuah geria (rumah pendeta Hindu); (kanan bawah) foto tahun 1986 dari Cokorda Pemecutan XI, raja Badung (Denpasar) sedang menempatkan simbolisasi arwah ayahnya, Cokorda Pemecutan X, ke dalam sebuah wadah saat puncak acara mukur di istana.

Langgam Majapahit | 161


Hindu Majapahit Wringin Lawang, Trowulan

Candi Bajang Ratu, Trowulan

Candi Gunung Wukir, Magelang

Candi Brahu, Trowulan

Candi Asu Sengi, Magelang

Candi Tikus, Trowulan

Kolam Segaran, Trowulan

Candi Kedaton, Trowulan

Lawang Majapahit, Pati

Candi Ngetos, Nganjuk

Candi Pari, Sidoarjo

Candi Bangkal, Mojokerto

Candi Jedong Lanang, Mojokerto

Candi Badut, Malang

Candi Jedong Wedok, Mojokerto

Candi Badut, Malang

Pati

Trowulan

Museum Majapahit, Trowulan

Sidoarjo

Magelang Nganjuk

Karanganyar Yogyakarta

Candi Jawi, Pandaan, Pasuruan

Candi Gunung Gangsir, Pasuruan

Pasuruan Probolingo

Kediri

Tulungagung

Malang Blitar

Candi Jabung, Probolinggo

162 | Langgam Majapahit

Candi Tegowangi, Kediri

Candi Surowono, Kediri

Candi Kethek, Karanganyar

Candi Sukuh, Karanganyar

Candi Setono Gedong, Kediri

Candi Ceto, Karanganyar

Candi Barong, Yogyakarta

Candi Mirigambar, Tulungagung

Candi Sanggrahan, Tulungagung

Candi Gayatri, Tulungagung

Candi Rambut Monte, Blitar

Candi Kotes, Blitar

Candi Penataran, Blitar

Candi Sawentar, Blitar

Candi Simping, Blitar

Candi Kalicilik, Blitar

Candi Plumbangan, Blitar

Candi Tepas, Blitar

Langgam Majapahit | 163


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.