01 pengantar (p1 p25)

Page 1

LANGGAM Majapahit JILID 1

Made Wijaya

Langgam Majapahit | 1


2|

Langgam Majapahit

Langgam Majapahit | 3


LANGGAM Majapahit

Made Wijaya 4|

Langgam Majapahit

Langgam Majapahit | 5


Mengenang Biang Agung, ibunda angkat saya, beserta keluarga yang telah menerima saya dengan hangat dan mengenalkan saya pada keluarga Pemecutan dan budaya Bali-Majapahit.

LANGGAM MAJAPAHIT Produser Wijaya Words, Sukowati Sosrodjojo, Castle Asia Wijaya Words adalah sebuah divisi dari Yayasan Beringin Berapi Jalan Pengembak No.9B, Mertasari, Sanur 80228, Bali Indonesia Naskah: Made Wijaya (Michael White) Editor Utama: Terence Clarke Editor: Willem van de Wall Bake, Gregory Churchill, Putu Semiada, Putu Jaya Ekaputra Proof Editor: Rachel Lovelock Penasehat: Soedarmadji Jean Henry Damais, Gregory Churchill, Willem Bake, Pintor Sirait Fotografer: Made Wijaya (seluruh foto oleh Made Wijaya, kecuali dengan keterangan. Lihat halaman photo credit untuk detailnya) Tim Desain Tata letak: Agus Perry Setiawan Editor foto, riset dan arsip: Kadek Wirawan, Ngurah Ekaputra, Nyoman Darsana, Putu Jaya Ekaputra Ilustrator: Deddy Krisnajaya Desain kulit muka: Agus Perry Setiawan Video & perpustakaan: Wayan Gunawan Administrasi: Sri Sudewi Penerbit: Wijaya Words Edisi pertama B. Indonesia, September 2014 Dicetak di Indonesia oleh Indonesia Printer Copyright © 2014 ISBN 978-602-71367-0-0 Seluruh hak cipta dilindungi undang-undang. Tidak diperkenankan mencetak ulang, menyimpan dalam sistem penyimpanan, atau menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi dalam buku ini dalam bentuk apapun atau dengan peralatan apapun, elektronik atau mekanikal, fotokopi, merekam, atau lainnya tanpa pemberitahuan sebelumnya dari pemilik hak cipta.

6|

Langgam Majapahit

PENGANTAR

B

uku ini mengalami penggodokan selama delapan tahun. Selama kurun waktu tersebut saya mandapat bantuan dan bimbingan dari banyak ahli dalam lingkungan akademis. Mereka adalah Prof. Adrian Vickers, Dr John Miksic, Dr Lydia Kieven, Hadi Sidomulyo (Nigel Bullough), Prof. Aminuddin Kasdi, Prof. Hedi Hinzler, Dr Michel Picard and Amrit Gompert. Kepada mereka saya sangat berterimakasih. Ada empat penasehat editorial untuk buku ini — Soedarmadji Damais, Greg Churchill, Pintor Sirait dan Willem van den Wall Bake — yang telah terlibat dalam pembuatan buku ini sejak awal, memberikan saran-saran yang tidak ternilai harganya sepanjang penyusunan buku ini. Adapun kepala editornya adalah Terry Clarke AM, guru Matematika saya sewaktu di SMA dulu, dengan bantuan yang kompeten dari Drs Putu Semiada dan Putu Jaya Ekaputra serta sekretaris saya yang sangat setia, Sri Sudewi. Desain buku ini dikerjakan oleh Agus Setiawan, Kepala Divisi Wijaya Words dengan bantuan dalam hal penelitian dan kompilasi data oleh Kadek Wirawan, Wayan Gunawan, Nyoman Darsana, Ngurah Ekaputra dan Deddy Krisnajaya. Terimakasih secara khusus saya sampaikan kepada Bapak Pintor Sirait atas saran-saran untuk tata letak dan desain secara keseluruhan, Susi Johnston atas bimbingan dan dukungannya yang terus menerus, Robbie Bennett atas bimbingannya yang luar biasa, dan kepada Majell Hind atas executive proofing-nya. Antusiasme dan dukungan dana yang diberikan oleh Bapak Sukowati Sosrodjojo dari Teh Sosro sungguh merupakan bantuan yang luar biasa. Saya juga sangat berutang budi kepada almarhum Pengabean Harjonegoro (Go Tik Swan), mitra-pendiri Museum Radio Pustaka di Keraton Surakarta, Jawa Tengah, yang menjadi mentor saya sejak awal (sejak 1979) dalam semua penelitian saya tentang Jawa Tengah. Saya mendapat keistimewaan selama bertahun-tahun di banyak pura dan puri keluarga Puri Pemecutan Denpasar. Terimakasih secara khusus kepada bimbingan yang tidak terhingga kepada Cokorda Pemecutan XI beserta keluarga besar beliau. Terimakasih secara khusus juga saya sampaikan kepada Elang Ajat dan Elang Deri dari Keraton Kanoman Cirebon yang membantu penelitian saya di Makam Sunan Gunung Jati yang megah dan kepada Ida Pedanda Gede Telabah yang telah membantu saya selama bertahun-tahun. Untuk di Jakarta, terimakasih secara khusus juga saya sampaikan kepada Wieneke de Groot dan Asmoro Damais yang telah memberikan informasi untuk buku ini selama bertahun-tahun dan kepada Agung Handoko atas bantuannya untuk perjalanan saya sepanjang pesisir utara Jawa. Gunilla Larsson yang melakukan penelitian yang tidak ternilai terhadap koleksi Walter Kaudern di Museum Etnografi Stockholm, Swedia. Terimakasih kepada Cokorda Raka Kerthyasa karena sudah membagikan pengetahuannya tentang Ubud dan puri-purinya, kepada Garrett Kam di Bali atas segala masukan yang tidak ternilai dan juga Ir Gede Kresna dari Singaraja yang telah memandu saya terkait dengan sejumlah pura yang unik dari abad XIX di Bali utara. Untuk semua kuncen makam Wali Songo tombs, dan di Imogiri, saya sampaikan rasa terimakasih — karena tanpa informasi, pendapat dan bantuan mereka yang tidak ternilai, buku ini tidak akan pernah ada. Mertasari, 15 Februari 2014

Langgam Majapahit | 7


daftar isi

JILID I

1. PENGANTAR ......…………....................……....................................……….…………….……….…. 17 2. PRA-MAJAPAHIT ...……………………………………..............................................………………… 31 Indonesia Kuno ..…......………………………...........................................................………………… Jawa Kuno …………………………….....................................................................………………… Bali Kuno ......…………………………...........................................................………………...........… Pasang Surut Budaya: Pengaruh Regional ...…………..............................................…………………

31 47 53 61

3. INDIANISASI …......................……………....................................……….…………………….….... 71 Kerajaan-Kerajaan Pertama di Jawa Timur .........................……….…………….................……….…. 85 Kebudayaan Jawa Timur pada Zaman Pra-Majapahit ......................….......…….…………………….…. 88 Taman-Taman Pra-Majapahit ......................……………................................…………………….….... 92

4. HINDU MAJAPAHIT …….……............…………....................................….…………………….….... 97 Majapahit Akhir …...…………………....................................................................………………… 115 Bali pada Zaman Majapahit ...………...................................................................………………… 139 Sumatera Zaman Majapahit .....………….................................................................……………… 153 Pengaruh Cina, Khmer, Vietnam (Champa) selama Zaman Majapahit ............….........……………… 157

5. ZAMAN ISLAM-MAJAPAHIT ….……......…..…..................................….…………………….….... 167 Makam Wali Songo ...................................………….........................................................……… 175 Keraton-Keraton Zaman Islam-Majapahit ...............................................................………………… 191 Taman Sari Zaman Islam-Majapahit .....................................................................………………… 213 Balai atau Rumah Panjang ...................................................................................................…… 217 Gapura ........................................................…………............................................................… 220 Masjid atau Bangunan Beratap Susun ................................................................…………….…… 225 Mustaka ..................................................………………..........................................................… 231 Cungkup ..................................................………………..........................................................… 235 Dekorasi .................................................………………..........................................................… 239 Batu Nisan ........................................................................................................………………… 250

6. LANGGAM ARSITEKTUR MAJAPAHIT DI BALI ZAMAN PASCA MAJAPAHIT .…............…… 257 Langgam Bali Utara ..................................................…..........................................................… 265 Langgam Bali Selatan ...............................………………..........................................................… 273 Langgam Bali Timur .........................................…..……..........................................................… 281 Langgam Tabanan .............................................………..........................................................… 285 Langgam Mengwi ...........................................…………..........................................................… 289 Langgam Klungkung ........................................……………......................................................… 293 Langgam Gianyar .....................................………………..........................................................… 299 Langgam Lombok ...........................................………………....................................................… 305 Taman-Taman Majapahit di Bali — Pura Taman dan Taman Puri .................................................… 311 Kulit dalam: Foto pilihan dari berbagai bentuk boma atau kala dari Jawa dan Bali antara abad VI dan XXI. Bentuk-bentuk ini sering ditemukan balok horizontal di atas pintu pura dan tugu pemujaan. Halaman judul: (kiri) Sadeg (peserta ritual pemanggilan arwah) dalam busana era Majapahit berdiri di tangga sebuah kori agung bergaya Majapahit di Pura Petilan, Kesiman, Denpasar Timur, saat Festival Pengerebongan; (kanan) Patung tembikar dwarapala dari abad XVII di merajan agung Puri Jero Kuta, Denpasar. Halaman sebelumnya: Keris pusaka Dalem Majapahit diusung melalui gerbang utama Pura Panembahan Badung (Pura Tambang Badung) di Denpasar, ritual tahunan sebagai bagian dari upacara maprani yang digelar di pura penting di Denpasar ini malam hari sebelum hari raya Galungan. Halaman ini dan halaman berikut: Patung abad XX di bangunan utama dari Pura Panembahan (Tambang) Badung, stana batara Dalem Majapahit, di Pemedilan, Denpasar Barat, Bali. Menurut beberapa sumber, pura ini dulunya adalah merajan agung Puri Pemecutan yang asli (pra-puputan).

8|

Langgam Majapahit

Langgam Majapahit | 9


JILID II

(akan diterbitkan pada tahun 2015)

7. RAGAM UPACARA MAJAPAHIT Upacara Zaman Pra-Majapahit Ritual-ritual Istana Upacara di Pura Ritual Kematian

8. BUSANA MAJAPAHIT

Tekstil Busana Busana Pra-Majapahit Kain Sembagi Mode Zaman Hindu Majapahit Mode Zaman Islam Majapahit Pengaruh Cina

9. PERHIASAN MAJAPAHIT 10. DEKORASI BERLANGGAM MAJAPAHIT

Pengantar: Pengaruh Regional Terhadap Dekorasi Pura Langgam Majapahit Boma Dwarapala Patung (Arca) Singa Makala Gunungan Teja Paduraksa Bentuk-bentuk Medali Seni Ukir Batu Pintu Seni Ukir Kayu Perhiasan Warna

11. ELEMEN ARSITEKTUR BERLANGGAM MAJAPAHIT (Jawa dan Bali Dari Masa ke Masa) Candi Bentar Kori Ornamen Atap Bentala Murda Mustaka Bali Sayap Garuda Saka Tunggal Sendi Adegan Prasada Kerti Muka Bale/Pendopo Bale Lantang Gedong Altar Pemujaan

10 |

Langgam Majapahit

Langgam Majapahit | 11


12 |

Langgam Majapahit

Langgam Majapahit | 13


14 |

Langgam Majapahit

Langgam Majapahit | 15


BAB 1

Pengantar

S

ebagian besar wilayah Indonesia menyimpan pesona Majapahit — namun tidak ada tempat lain yang memilikinya sebanyak yang ada di Bali, yang tercermin melalui sisi budaya layaknya secarik kain penuh dengan bordiran. Arsitektur bata merahnya, agama Siwa-Buddha, serta sebagian besar kaum kesatrianya adalah keturunan Majapahit. Pengaruh dari kerajaan maritim ini, yang berlangsung dari akhir abad XIII hingga awal abad XVI, juga bisa dilihat dengan jelas pada ritual-ritual keraton1 di Jawa Tengah, arsitektur Majapahit periode Islam2 pada makam-makam raja, dan pada sejumlah masjid sepanjang pesisir utara dan selatan Jawa hingga Imogiri di Yogyakarta dan Klaten di Jawa Tengah. Bendera nasional Indonesia juga lahir dari bendera kerajaan Majapahit: merah dan putih, hal ini sekaligus mencerminkan dualitas yang merupakan inti dari falsafah Jawa dewasa ini; darah dan air, pria dan wanita. Ibukota kerajaan Majapahit diperkirakan terpusat di dekat Trowulan, 30 kilometer barat daya Surabaya, ibukota propinsi Jawa Timur. Sangat sedikit sekali peninggalan ibukota kerajaan ini yang tersisa, kecuali beberapa reruntuhan gapura dan candi yang bertebaran, namun inilah yang telah menarik perhatian para peneliti dari seluruh dunia. Ketertarikan saya akan berbagai hal yang terkait dengan Majapahit mulai berkembang ketika saya tinggal dan ‘magang’ selama enam tahun di rumah seorang brahmana (geria) tidak jauh dari Pura Desa Kepaon, Bali Selatan. Ketertarikan saya berlanjut pada asal muasal kostum zaman Majapahit yang biasanya dikeluarkan dari balé penyineban (ruang penyimpanan) saat puncak acara dalam ritual kuno memanggil arwah suci, di beberapa pura3. Saya juga kagum dengan para pemuka Puri4 Pemecutan, Denpasar, saat Dari kata ke-ratu-an dalam bahasa Jawa, yang berarti tempat kediaman ratu atau raja; istana raja; kerajaan. Untuk selanjutnya disingkat menjadi Islam-Majapahit. Suatu zaman dimana ajaran Islam berakulturasi dan memberi pengaruh besar pada berbagai sendi kehidupan, terutama dalam hal arsitektur. Langgam ini muncul pada babak akhir kerajaan Majapahit (abad IV) dan selanjutnya berkembang sejalan dengan bermunculannya kerajaan-kerajaan Islam di tanah Jawa. 1 2

Empat halaman sebelumnya: Candi Sukuh di lereng barat Gunung Lawu, Jawa Tengah dari abad XV. Sebuah candi kerajaan terakhir di masa Majapahit Hindu yang dibangun oleh Brawijaya Pamungkas (Bhre Kertabumi), penguasa terakhir Majapahit. Terlihat bahwa arsiteknya kembali menggunakan motif asli Jawa pada candi terakhir zaman Majapahit akhir (Kempers, 1960). Dua halaman sebelumnya: Keraton Kesepuhan di Cirebon, Jawa Barat. Istana dari abad XV ini adalah istana yang paling pertama berdiri di masa pengaruh Islam di Majapahit. Istana ini dibangun dengan gaya yang serupa dengan istana berbahan dasar bata merah di masa Hindu-Majapahit. Halaman sebelumnya: Tugu pemujaan ini, salah satu koleksi museum luar ruang Majapahit di dekat Trowulan, Mojokerto, Jawa Timur, adalah penemuan dari abad ke XIV yang telah disatukan kembali oleh arsitek dan arkeolog terkenal Belanda, Henri Maclaine Pont. Museum luar ruang ini didirikan tahun 1932 dengan bantuan dari Bupati Mojokerto, Kanjeng Adipati Ario Kromodjojo Adinegoro. Atas: Surya, dewa matahari di atas kudanya — lambang kekaisaran Majapahit — digambarkan pada sebuah karya ukiran batu abad XIV pada Candi Kebo Ireng, Kejapanan, Pasuruan (Museum Trowulan), Jawa Timur.

16 |

Langgam Majapahit

Langgam Majapahit | 17


LANGGAM MAJAPAHIT

PENGANTAR mereka berkunjung ke desa saya (Kepaon) setahun sekali untuk mendak (menyambut) puspa5 Ida Bhatara Desa Kepaon yang budal (kembali) dari Pura Sakenan yang ada di Pulau Serangan setelah pesamuan6 Ida Bhatara yang berlangsung setiap tahun (dalam sistem penanggalan Bali). Saya jatuh cinta dan mulai mendokumentasikan langgam arsitektur Majapahit dari sejumlah pura yang ada di Desa Kepaon, antara lain berupa patung-patung para kesatria zaman Majapahit, para malaikat, dan mahluk bermata besar yang dibuat dalam bentuk dan warna yang indah, yang kini sebagian besar sudah punah. Saat saya naik sepeda menuju tempat kerja saya dulu di Akademi Seni Tari7, tempat saya mengajar bahasa Inggris selama lima tahun, saya melewati pura demi pura dengan nuansa merah bata yang dirancang oleh arsitek hebat abad XX, Pedanda Made Sidemen dari Sanur. Ketika itu saya bertanya dalam hati, apakah mungkin saya bisa memahami semua simbol-simbol dan ornamen-ornamen tersebut. Sekarang, 40 tahun kemudian, segala sesuatunya menjadi semakin terang setelah setahun lamanya saya meneliti kuburankuburan wali songo yang terdapat di sepanjang pesisir utara Jawa, dari Gresik hingga Banten, dan setelah sekian banyak kunjungan ke situs-situs candi Hindu-Jawa, khususnya di Trowulan, Jawa Timur. Selama empat dasawarsa saya mengagumi koleksi pribadi sahabat-sahabat saya, Soedarmadji Damais, Hardjonagoro (Go Tik Swan), dan yang terakhir, Hadi Sidomulyo (Nigel Bullough), yang banyak dari buku-buku — buku terbarunya adalah tentang candi-candi zaman Majapahit — dan juga foto-foto yang luar biasa, membuka mata saya akan kejayaan Islam-Majapahit. Tidak ada pemugaran yang berarti terhadap makam-makam wali songo tersebut, meskipun dikunjungi secara rutin oleh para peziarah dalam kurun waktu 500 tahun terakhir; kondisinya tetap seperti sedia kala. Demikian pula halnya dengan peninggalan yang terdapat di museum Masjid Agung Demak dan Istana Kasepuhan di Cirebon, Jawa Barat, yang merupakan satu-satunya acuan untuk Tempat beribadat (bersembahyang) umat Hindu Istana raja atau tempat tunggal para bangsawan dalam bahasa Bali. 5 Puspa bermakna arwah leluhur yang disucikan. Umumnya ditampilkan dalam bentuk patung atau benda sebagai perlambang arwah tersebut. Mendak puspa diartikan sebagai ritual menyambut arwah leluhur. Saat inilah puspa tersebut dihias (ngajum sekah). 6 Pesamuan bermakna pertemuan. 3

7 Akademi Seni Tari di Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Denpasar, sejak tahun 2003 dinamakan Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar hingga saat ini. 8 Vita Sackville-West (1892-1962) adalah seorang penulis, penyair dan perancang taman berkebangsaan Inggris. White Garden atau Taman Putih adalah salah satu bagian dari rancangan tamannya di Istana Sissinghurst, Inggris. 9 Selanjutnya diistilahkan sebagai Hindu-Majapahit

(courtesy of www.wilwatiktamuseum.wordpress.com)

4

melihat seperti apa arsitektur Hindu-Majapahit abad XV. Sebagai seorang perancang taman, saya bahkan pernah memasukkan langgam Majapahit dalam karya saya. Saya membuat ruang mandi terbuka di rumah keluarga Damais, di Jalan Sawo, Menteng, Jakarta tahun 1979, dan di tahun 1985, taman dengan konsep reruntuhan untuk Hyatt Regency (sekarang Hotel Bumi) di Surabaya, Jawa Timur, yang masih ada hingga sekarang. ‘White Garden’ (terinspirasi oleh Vita Sackville-West8) di hotel Bali Hyatt lama memiliki koleksi pot-pot tembikar dalam langgam zaman Majapahit (pot-pot ini pada dasarnya adalah tiruan dari temuan yang ada di desa-desa dekat Trowulan, Jawa Timur). Tahun 1995 saya merancang sebuah taman budaya untuk pemerintah Singapura, yang saya sebut dengan Temasek Walk untuk mengenang sejarah awal Singapura (Semenanjung Malaya) ketika masih menjadi daerah pendudukan Majapahit. Sebagai seorang penggemar saya mendalami dengan tekun dan sepenuh hati beragam ornamen, pernak-pernik, serta berbagai kepercayaan yang menyangkut Majapahit-Bali tanpa begitu memedulikan asal muasalnya. Ketika saya mengadakan perjalanan ke Trowulan untuk pertama kalinya tahun 1978, saya mengunjungi museum lapangan yang dibangun tahun 1920-an oleh arsitek-sejarawanarkeolog ternama berkebangsaan Belanda, Henri Maclaine Pont. Diantara fragmen-fragmen dan patung-patung yang terdapat di taman yang dipenuhi pohon kamboja, ada sebuah altar pemujaan (Inggris: shrine) yang dibangun kembali dari bata merah kuno dengan elemen-elemen ukiran khas zaman Majapahit (foto hlm.16). Candi tersebut tersebut memiliki atap, sama seperti yang terdapat pada setiap pekarangan rumah di Bali sebagai penyuwen karang (tugu penjaga rumah), dan merupakan satusatunya bukti yang pernah saya temukan bahwa tipikal rumah Majapahit periode Hindu9 memiliki kesamaan dengan arsitektur rumah Bali dewasa ini.

Kamboja, abad XII

Jawa Timur, abad X

Kalimantan Timur, abad XIX

Bali, abad XX

Halaman sebelumnya: Boneka raksasa (ogoh-ogoh) dalam upacara pemakaman Cokorda Pemecutan X tahun 1986, pengemban gelar ‘pewaris Majapahit’. Atas: Perbandingan penutup kepala (ketu) Majapahit dalam warna klasik merah dan emas yang mewah dari masa ke masa. Bentuknya yang sedemikian rupa mungkin diambil dari simbol-simbol ajaran Buddha tentang ilmu dan kebijaksanaan.

18 |

Langgam Majapahit

Langgam Majapahit | 19


LANGGAM MAJAPAHIT

Atas: Patung perwujudan dari Dewa Gede (Arya Kangin), salah satu dari delapan ksatria yang dikirim oleh raja Majapahit, Hayam Wuruk, di abad XIV untuk menundukkan Bali. Arca yang diabadikan di sini mendapatkan persembahan (mendak) di Pura Dadia Kayu Putih, Babandem, Bali Timur. Bawah: Bintang nawasanga berujung delapan adalah sebuah simbol penting Majapahit. Bentuk itu mewakili arah posisi dewa-dewa Hindu dan tiga tingkat alam Buddha (demikian halnya upacara Eka Dasa Rudra yang digelar setiap seratus tahun sekali di Bali). (Photo courtesy of www.id.wikipedia.org)

20 |

Langgam Majapahit

PENGANTAR

Sebagian besar ukiran candi zaman Majapahit — seperti yang terdapat di Candi Menak Jinggo, Candi Jago, dan terutama Candi Penataran — memiliki kesamaan dengan sebagian besar pura di Bali dewasa ini, namun saya belum menemukan gambaran yang jelas langgam arsitektur rumah pada zaman itu. Sebagian besar peneliti lebih berfokus pada reruntuhan candi dan istana. Puing-puing pemukiman penduduk, yang menurut cerita merupakan bagian dari ibukota abad XV yang luasnya sepuluh kilometer persegi, sudah sejak lama tergerus dan menjadi areal persawahan dan juga berkembang menjadi desa-desa pasca zaman Majapahit. Saat itu pemerintahan kolonial Belanda tidak berupaya menyelamatkan reruntuhan ini. Alasannya adalah, menurut banyak peneliti, pemerintah kolonial saat itu khawatir akan kebangkitan kembali rasa nasionalisme yang memang bermula dari Kerajaan Majapahit, kerajaan yang pertama kali mempersatukan sebagian besar wilayah kepulauan Indonesia di bawah satu bendera. Sebuah pertanyaan timbul: Apakah Maclaine Pont memilih untuk meninggalkan warisan unik ini — gairah penulis dalam mempelajari bukti menyangkut ukuran dan kecintaan terhadap roh arsitektur rumah berlanggam Majapahit sirna ketika Museum Trowulan dipindahkan ke lokasinya yang baru tahun 2003 — sebagai sebuah bentuk ‘rangkaian yang hilang’ bagi para peneliti mendatang? Sepertinya banyak misteri menyelimuti kajian mengenai Majapahit. Berbagai koleksi perhiasan dan patung-patung tembikar Majapahit yang mengesankan masih ada, tetapi tidak banyak yang diketahui mengenai bagaimana dan dimana perhiasan-perhiasan itu dipakai dan dimana patung-patung itu pernah ditempatkan. Bahkan ada rumor bahwa karya-karya arsitektur Majapahit kuno yang dibangun oleh Brawijaya Pamungkas di kaki Gunung Lawu, di Solo bagian timur — berupa candi-candi Hindu yang dibangun dalam bentuk tempat pemujaan berundak (Inggris: terraced sanctuary), sebuah langgam yang juga kentara sekali ditemukan lereng tinggi Gunung Penanggungan yang suci di Jawa Timur — juga berbalut misteri. Ada sebuah catatan sejarah yang bisa dijadikan acuan yang berasal dari zaman tersebut, yaitu Desawarnana, yang juga dikenal dengan nama Negarakertagama, ditulis

pada tahun 1365 oleh penyair kerajaan Mpu Prapanca. Kitab tersebut menggambarkan adat istiadat dan pemerintahan pada saat raja agung Majapahit Hayam Wuruk berkuasa dengan Gajah Mada sebagai perdana menterinya. Kebudayaan yang digambarkan dalam manuksrip itu bagaikan gema yang gaungnya masih banyak kita jumpai dalam kebudayaan Bali: arsitektur bata merah di Bali mungkin hilang, tetapi ritual dan tradisi zaman Majapahit masih tetap bertahan. Upacara pelebon (kremasi) untuk raja yang secara khusus dibahas pada kitab Desawarnana sama persis dalam hal cara dan tujuan sebagaimana yang masih dilaksanakan di Bali dewasa ini. Jejak-jejak ‘migrasi Majapahit’ bisa ditemukan di mana saja hingga saat ini di Bali. Bahkan di desa-desa terpencil sekalipun di Bali timur kita bisa menemukan patung-patung dan upacara yang dipersembahkan bagi ‘Dewa Gede (Arya Kangin)’, salah satu dari delapan Arya10 yang ‘menduduki’ Bali pada masa kejayaan Kerajaan Majapahit. Puri Pemecutan Denpasar masih menjadi pengemong (penanggung jawab) Bhatara Dalem Majapahit di Pura Panembahan Badung yang berlokasi tak jauh dari puri mereka di Denpasar. Pura ini memiliki halaman yang mirip dengan bekas istana Panembahan Senopati di Kotagede, Jawa Tengah dalam hal ukuran dan langgam arsitektur. Ritual-ritual yang berasal dari tradisi kerajaan Majapahit masih dapat kita temui pada keraton-keraton di Jawa. Ritual penobatan Susuhunan Solo, Jawa Tengah, sangat bernuansa Majapahit, terutama ketika sang raja harus mengadakan ‘penyatuan secara gaib’ dengan Kanjeng Ratu Kidul. Sejumlah peneliti menganggap hal ini sebagai kelanjutan dari tradisi ritual yang dilakukan dalam penobatan Kertanegara, penguasa Majapahit saat itu yang bertujuan untuk memastikan kekuatan kolektif sebagai seorang ‘Dewa (di) Bumi’ * * * Ketika saya menginjakkan kaki di Bali tahun 1973 untuk pertama kalinya, saya tinggal selama enam tahun di Desa Kepaon, dekat

Kuta, yang bernuansa Majapahit. Desa itu dahulunya berada di bawah kekuasaan raja dari Puri Pemecutan, mirip seperti wilayah kekuasaan pribadi. Di bagian timur desa ini terdapat sebuah geria (tempat tinggal warga kasta brahmana) yang menjadi tempat saya tinggal. Sementara itu, di kampung-kampung kecil di sebelah utara dan selatan puri utama, dan juga di dekat pura, terdapat sejumlah tempat tinggal pelayan kerajaan yang berasal dari keturunan para abdi (pelayan) istana yang mengikuti para arya dari Majapahit yang hijrah ke Bali segera setelah runtuhnya kerajaan Majapahit di Jawa Timur abad XV. Di desa tempat tinggal saya bahkan terdapat sebuah pemukiman yang bernuansa Islam-Majapahit yang leluhurnya merupakan abdi istana yang mengikuti perjalanan seorang puteri dari Sumenep, Madura Timur yang datang ke Bali (Puri Pemecutan) pada abad XVIII setelah suaminya, seorang pangeran di Madura yang beragama Islam, wafat. Setelah buku kedua saya tentang arsitektur tradisional Bali terbit tahun 1999, saya diundang ke Trowulan oleh sebuah kelompok yang terdiri dari beberapa arkeolog amatir untuk membuka tabir misteri Keraton Majapahit beserta bangunanbangunan yang terkait. Kemampuan saya yang terlatih dalam memahami seluk beluk arsitektur pura dan puri di Bali sangat berguna dalam menafsirkan makna dari reruntuhan yang ada serta tata letaknya di lapangan. Oleh karenanya gagasan untuk membuat buku ini, yang didasarkan pada perbandingan, semakin jelas dan terang. Dalam pengetahuan saya sebagian besar ahli dalam masalah Hindu-Majapahit tidak mempunyai pengetahuan yang luas tentang seni dan budaya HinduBali, yang merupakan satu-satunya warisan terbesar Majapahit yang masih ada. Oleh karena itu mereka cenderung sampai pada kesimpulan yang kurang mengena menyangkut segala sesuatu yang terkait. Hal ini sebenarnya bisa dihindari jika ada pemahaman dasar tentang arsitektur dan budaya Bali. 10 Arya adalah gelar bagi para bangsawan kesatria atau perwira tempur (B.Ing.: knight/warrior-prince) zaman Majapahit

Atas: Relief pada sebuah candi Hindu era Majapahit abad XIV, Candi Jago di Malang, Jawa Timur. Hal-hal yang serupa tampak pada banyak pura di Bali saat ini.

Langgam Majapahit | 21


LANGGAM MAJAPAHIT

PENGANTAR Javanese Kingdoms, 1550-1594

Javanese Kingdoms, 1550-1594. Figure redrawn from Keraton Surakarta. (Miksic, John). Yayasan Pawiyatan Kabudayaan Keraton Surakarta, 2004, p.29-29

Perjalanan yang saya tempuh dalam mempelajari tentang Majapahit dengan pengetahuan yang terbatas ini hampir berhenti, namun selama penelitian saya untuk buku ini, saya bertemu dengan sejumlah ahli tentang Jawa Timur dan menyadari betapa sedikitnya yang saya ketahui. Saya tidak pernah membaca Desawarnana sampai tuntas ataupun manukrip-manuskrip penting dari zaman Majapahit. Minat saya cukup besar tetapi kurang diimbangi dengan keberanian. Pengetahuan saya tentang zaman Majapahit akhir menimbulkan rasa kagum terhadap dua candi di Jawa dari masa ini, yaitu Candi Sukuh dan Candi Ceto. Rasa kagum saya terhadap kedua candi itu lebih berdasar kepada kecintaan saya terhadap reruntuhan (peninggalan dalam bentuk fisik) daripada naluri saya terhadap sejarah. Kedua candi tersebut terbuat dari bahan batu yang lebih keras dibandingkan dengan candi-candi zaman Majapahit lainnya sehingga lebih kokoh, kuat dan tahan terhadap belitan rimba belantara sehingga tidak punah — semua itu menimbulkan rasa kagum. Guru saya yang menguasai segala perihal yang menyangkut Jawa Tengah, almarhum Panembahan Hardjonagoro (Go Tik Swan), memiliki sebuah patung yang merupakan bagian penting dari Candi Sukuh, yaitu sebuah patung Bima berukuran raksasa, di rumahnya yang sangat bernuansa Jawa; keberadaannya membuka mata saya akan kemungkinan ratusan patung dewa-dewi Hindu zaman Majapahit juga tersebar di berbagai museum di berbagai belahan dunia mulai dari Mojokerto hingga Manhattan.

pula dengan koleksi benda-benda yang terbuat dari tembikar milik Soedarmadji Damais yang dikumpulkan dari penemuanpenemuan benda-benda peninggalan Majapahit kuno di lapangan. Bagi para peneliti pada umumnya, penemuan-penemuan ini hanyalah ‘benda-benda yang dipahat’; namun di mata orang Bali peninggalan-peninggalan itu diyakini sebagai misalnya, tatakan dekoratif untuk gentong tirta (air suci) yang ditemukan pada banyak geria dewasa ini, dan sebagai umpak (bagian dasar) untuk tugu utama sebuah candi. Dengan memakai ‘kacamata orang Bali’ inilah saya mulai meneliti bukti-bukti yang ada, terutama arsitektur Jawa dari zaman Islam-Majapahit abad XVI dan XVII yang memiliki kemiripan dengan arsitektur Bali klasik dalam banyak hal, dengan tujuan menemukan dan mendalami elemen-elemen arsitektur dari zaman kekuasaan Kerajaan Majapahit. * * * Bab terakhir memiliki bagian yang membahas kaitan yang erat antara ritual-ritual zaman Majapahit dengan ritual-ritual yang saya dokumentasikan sejak 1979 dalam kolom saya, Stranger in Paradise, dan juga dalam film-film pendek tentang upacaraupacara di Bali yang saya buat akhir-akhir ini. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah mungkin budaya Bali yang memiliki daya serap tinggi mengadopsi banyak warisan arsitektur Majapahit tanpa mengadopsi ritual dan tata kehidupan SiwaBuddha? Kita tahu bahwa benih-benih ajaran Islam di Jawa berkembang melalui keraton, diawali dengan kemunculan Wali Songo (sembilan tokoh penyebar ajaran Islam yang sangat dihormati orang Jawa) pada awal abad XV. Demikian halnya yang terjadi pada penyebaran budaya ‘dewa-raja’ Majapahit masuk ke Bali dengan cara ‘menduduki’ wilayah-wilayah yang belum dikuasai oleh suatu kerajaan serta dengan memperkuat kerajaan11

kerajaan setempat menjalankan tata pemerintahan Majapahit. Argumen ini memang diakui di Bali akan tetapi dianggap kurang kuat oleh para peneliti Majapahit yang tidak mendapat manfaat dari studi yang menyeluruh tentang budaya Bali. Tidak dapat disangkal bahwa peralatan, pakaian, dan ritual para pendeta Brahman atau pedanda di Bali, benar-benar bernuansa Majapahit, sebagaimana yang saya amati saat odalan (peringatan hari jadi) di banyak pura di Bali. Selama saya mengadakan penelitian, saya sudah banyak melakukan kunjungan singkat ke berbagai candi Hindu/pura, makam, keraton/puri, dan situs Islam-Majapahit di seluruh nusantara, bahkan hingga jauh ke pelosok Kalimantan Timur, Sumatera Selatan, Sulawesi Tengah, dan Sumbawa. Akan tetapi yang benar-benar merupakan warisan Majapahit yang sejati ternyata ada tidak jauh dari saya, di Desa Kepaon, yang menjadi tempat tinggal saya di tahun 1973. Dari tahun ke tahun11 selama kurun waktu 40 tahun, saya menghadiri odalan yang sama dan juga berbagai ritual pemujaan leluhur di Bali Selatan — yang saat ini, menurut hemat saya, merupakan jantung dari pengaruh Majapahit. Seluruh pengetahuan saya sepenuhnya merupakan akumulasi murni berdasarkan pengamatan yang saya abadikan lewat tulisan maupun rekaman dalam bentuk foto dan video. Saya perhatikan bahwa Pura Panembahan Badung di Denpasar sudah menjadi tempat bersemayamnya bhatara (leluhur) Dalem Majapahit sejak 500 tahun yang lalu. Para leluhur peletak dasar ini dipuja oleh keluarga Puri Pemecutan, yang merupakan keturunan Arya Damar (Arya Kenceng). Beliau adalah salah satu dari delapan arya yang dikirim oleh Raja Hayam Wuruk untuk menuntaskan ‘pendudukan atas Bali’ pada pertengahan abad XIV. Para leluhur puri-puri besar di Bali Selatan dipuja sebagai dewa di berbagai pura di desa-desa, dan sebagian besar memiliki nama berciri zaman Majapahit, misalnya Mayoen, Agung atau Luwur. Sudah sejak lama kata bhatara yang

Satu tahun penanggalan Bali sama dengan tujuh bulan penanggalan Masehi

Tinjauan Umum Majapahit Secara umum orang tidak melihat ada sesuatu yang khusus pada peninggalanpeninggalan Majapahit hasil penemuan Maclaine Pont, berupa tugu misalnya, demikian

Atas: Peta Pulau Jawa abad XIV memperlihatkan batas wilayah kerajaan Majapahit pada 1350M. Halaman sebelah: Gapura Bajang Ratu dari abad XIV di Trowulan, Jawa Timur, dianggap sebagai gerbang menuju ke tugu pemakaman untuk memperingati wafatnya Sri Kerthawardhana (Bhre Tumapel), ayah dari Raja Hayam Wuruk, di tahun 1386M. Sayap garuda pada bangunan tersebut merupakan simbol pelepasan jiwa (Kusumajaya, 1999).

22 |

Langgam Majapahit

Mandala Majapahit, 1313

(Gunawan Kartapranata in www.id.wikipedia.org)

Balinese Offering, 2013

Langgam Majapahit | 23


LANGGAM MAJAPAHIT

berasal dari Jawa Timur kerap digunakan di Bali dibandingkan istilah dewa, yang berasal dari istilah Hindu. Sekalipun demikian sebagian besar dewa-dewa yang dipuja di banyak desa pegunungan praMajapahit (Bali Aga) lebih sering menggunakan istilah-istilah yang lebih umum, seperti ‘Dewa Wayan’ dan ‘Dewa Ketut’. Ada ratusan pura dan ribuan pelinggih12 yang menggunakan nama bernuansa Majapahit, tetapi hanya sedikit yang diketahui asal muasalnya. Dang Hyang Dwijendra (Nirartha), pendeta sekaligus arsitek zaman Majapahit adalah pendiri berbagai pura besar seperti Petitenget di Bali Selatan, Sakenan di Pulau Serangan, dan Suranadi di Lombok Barat, serta masih banyak lagi yang lainnya. Atman (arwah) beliau diabadikan di Pura Luhur Uluwatu. Pura ini masih dilestarikan dalam tradisi kebesaran Majapahit oleh Puri Agung Jero Kuta, Denpasar selaku pengemong pura tersebut. Akhir dasawarsa 1970-an, saya mengikuti sebuah komunitas pemerhati budaya yang berpusat di Jakarta, bernama Mitra Budaya, dalam sejumlah perjalanan untuk menyaksikan beragam upacara di sejumlah keraton besar di Jawa. Wieneke de Groot, Soedarmadji Damais dan Hardjonagoro (Go Tik Swan) adalah beberapa ahli tentang Jawa dalam komunitas tersebut yang membimbing saya. Mereka mengatakan bahwa sebutan ‘SiwaBuddha’ yang sering terdengar dalam ritual-ritual di Jawa, berarti semacam penghormatan terhadap penyatuan yang bersifat rahasia dalam Majapahit-Hindu yang masih menjadi bagian terbesar dari ritual-ritual besar kerajaan. Di samping itu, dalam budaya Jawa ada

24 |

Langgam Majapahit

PENGANTAR

semacam penghormatan terhadap dewi dari zaman pra-Hindu, Kanjeng Ratu Kidul (dewi penguasa laut selatan). Fakta bahwa Kerajaan Majapahit merupakan kerajaan Hindu terakhir dari rangkaian panjang kerajaan beraliran Hindu-Buddha di Jawa sebelumnya, adalah tidak salah berasumsi bahwa ritualritual bernuansa Hindu yang berlangsung di sejumlah keraton di Jawa dan juga oleh orang-orang Jawa pada umumnya memiliki karakter Majapahit. Hingga sekarang beberapa pedanda di Bali masih sering diundang oleh Keraton Yogyakarta, untuk muput (memimpin) ritual-ritual yang berkaitan dengan kematian (dikenal dengan istilah Pitra Yadnya di Bali) dan diperuntukkan bagi kaum ningrat Jawa yang sudah lama meninggal dan arwahnya belum mendapat tempat di akhirat dan membutuhkan tata upacara MajapahitHindu agar dapat beristirahat dengan damai. Prosesi pelebon (kremasi) besar-besaran keluarga puri di Bali persis seperti yang digambarkan dalam kitab Desawarnana, demikian halnya dengan kehadiran tari Baris Gede. Ritual kremasi yang rumit untuk keluarga kerajaan Majapahit kemungkinan diperkenalkan ke Bali selama zaman Majapahit. Pada masa itu banyak puri di Bali dibentuk atau diberi sentuhan arsitektur Hindu Jawa, misalnya candi bentar (gapura apit) yang sangat bernuansa Majapahit di areal ancak saji sebagian besar istana, balé kul-kul, mrajan (tempat suci keluarga) yang dikelilingi kolam dan taman sari.

Di Bali, sebelum zaman Majapahit, sudah ada puri-puri yang dihuni bangsawan dari garis keturunan Dalem. Sama halnya seperti di Jawa Tengah yang sebelumnya telah memiliki budaya Hindu-Buddha dan keraton-keraton yang berasal dari zaman dinasti Sailendra dan Sanjaya kuno (pendiri Candi Borobudur dan Prambanan). Pada masa selanjutnya puri-puri di Bali maupun keraton-keraton di Jawa diperkaya oleh budaya Majapahit. Para sejarawan mungkin kurang setuju dengan anggapan semacam itu, tetapi bagi seorang peneliti awam, membandingkan budaya istana dengan arsitektur Jawa dan Bali adalah sebuah keharusan. Bahkan Bahasa Bali halus pun pada dasarnya tetap Bahasa Jawa, sama halnya ketika percakapan dalam istanaistana di Inggris menggunakan Bahasa Perancis (bahasa yang lebih madani) hingga abad XIX. Hingga abad XIX Bali dianggap sebagai ‘Jawa Kecil’ oleh para sejarawan Belanda. Banyak putra bangsawan Bali di abad XX yang meneruskan tradisi — yang berlangsung hingga kini — mempersunting putri keraton Jawa (Raden Ayu) untuk dijadikan permaisuri. Penelitian saya untuk buku ini telah mengantarkan saya pada berbagai sudut menarik dari zaman Majapahit akhir, yaitu ketika bangsawan-bangsawan Hindu yang tersisa menyingkir ke daerah pegunungan atau ke Bali atau ke Pulau Madura. Keluarga raja Cakraningrat di Madura misalnya, menolak Islamisasi, meskipun mereka mempunyai ikatan dengan Gresik, yang menjadi pusat pertumbuhan agama Islam. Saat berkunjung ke makam raja-raja Madura — beberapa diantaranya dihiasi pahatan batu yang indah dan gapuragapura yang memiliki kemiripan dengan yang ada Bali — saya mengamati desa-desa di beberapa daerah terpencil yang rumahrumahnya memiliki halaman yang mungkin mendapat pengaruh arsitektur rumah langgam Majapahit kuno, dan hal ini berlanjut kepada perkembangan yang sama dengan langgam Majapahit13

Bali. Hal ini akan dibahas lebih lanjut dalam bab-bab berikutnya. * * * Kita tidak akan pernah tahu Majapahit itu seperti apa sebenarnya, mengingat bahan-bahan yang kita miliki hanya sejumlah dokumen kerajaan dan beberapa catatan-catatan singkat dari abad XV dari beberapa negara, seperti Portugis, Cina dan Arab — dan tentu saja dari kitab Desawarnana. Seperti halnya rekonstruksi tugu pemujaan yang dilakukan Maclaine Pont, petunjuk yang dapat mengarahkan kita ada di berbagai tempat. Jika kita menyatukan berbagai petunjuk tersebut sebagai acuan maka kita mendapatkan pemahaman yang meyakinkan tentang sebuah gambaran arsitektur kuno Majapahit. Sebagai seorang antropolog, arkeolog atau sejarawan seni amatir, saya telah memilih foto-foto upacara di Bali untuk buku ini yang saya anggap memiliki keterkaitan dengan Majapahit. Pemilihan foto didasarkan pada peristiwa, lokasi, dekorasi (kandidatnya terutama yang bernuansa warna hitam, merah dan keemasan, serta penuh dengan hiasan) dan upacara tertentu. Predikat yang saya miliki sebagai seorang ceremonialist (pakar upacara) dan ahli sejarah arsitektur dapat lebih diandalkan dibanding dengan predikat sebagai seorang antropolog. Buku ini sudah saya lengkapi dengan DVD sebagai bagian dari dokumentasi video, guna membantu anda sebagai pembaca dalam mengisi celah, yang memberikan anda pengamatan secara langsung mengenai berbagai upacara yang langka serta memberi anda wawasan terhadap sejumlah makam unik di Jawa dan sejumlah pura di Bali. Dengan materi yang telah saya kumpulkan selama masa penelitian, saya merasa gembira untuk menanggapi pernyataan Adji Damais13 bahwa, “Kita tidak tahu apapun mengenai Majapahit.” Buku ini hadir sebagai usaha untuk memberi jalan bagi bidang kajian yang selama ini diabaikan.

Soedarmadji Jean Henry Damais, pengarang sejumlah buku yang berkaitan dengan Majapahit

Halaman sebelumnya: Tari Bedoyo Ketawang, ditampikan di hadapan Sri Sinuhun Pakubuwono XII, melambangkan ikatan abadi antara sang penguasa dengan dewi penguasa laut selatan, Kanjeng Ratu Kidul. Banyak dari upacara-upacara di istana Jawa diwarnai dengan simbol-simbol Hindu dan Buddha. Kiri: Seorang penari Bali di Asak, Bali Timur, dalam kostum yang serupa dengan penari Bedoyo Ketawang di Jawa (foto tahun 1979).

Langgam Majapahit | 25


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.