66 |
Langgam Majapahit
Langgam Majapahit | 67
68 |
Langgam Majapahit
Langgam Majapahit | 69
BAB 3
Indianisasi “Para petani Neolitik, atau orang-orang Indonesia awal, yang datang antara tahun 2500 dan 1000 SM, memperkenalkan juga tata cara membuat monumen megalitik di nusantara. Akan tetapi tonggak penting pendirian bangunan monumental dan pemahatan patung dan relief yang berbahan batu muncul belakangan, yakni setelah terjalinnya hubungan dengan peradaban India dan inspirasi yang diterima dari ajaran Buddha dan Siwaime.� — A.J. Bernet Kempers, Ancient Indonesian Art, 1959
Empat halaman sebelumnya: Patirtan (water temple) menjadi salah satu bagian yang penting dalam ajaran Hindu-Jawa dan juga berlaku hingga saat ini bagi kalangan Hindu-Bali. Pemujaan terhadap air suci (tirta) dimulai sekitar abad IX. Dua halaman sebelumnya: Patirtan yang lain dari abad IX, Candi Belahan, tidak jauh dari Pandaan, Jawa Timur, dikabarkan sebagai sumber mata air suci bagi pertapaan Buddha di dekatnya (serupa dengan Goa Gajah di Bedulu, Bali bagian tengah, yang juga berasal dari abad IX). Halaman sebelumnya: Lingga dari era Hindu-Sumatera sekitar abad XIV yang terdapat di sebuah desa dekat Bukittinggi, Sumatera Barat. Atas: Patung dalam posisi duduk dari abad VIII, kemungkinan menggambarkan sikap tangan seorang abdi istana dalam posisi meditasi, di Museum Sanjaya, dataran tinggi Dieng, Jawa Tengah. Dinasti Sanjaya penganut Hindu dan Dinasti Syailendra yang menganut Buddha adalah wangsa kerajaan yang pertama berkuasa di Jawa Tengah. Selanjutnya dikenal beberapa kerajaan Hindu dan Buddha di Jawa Barat (Tarumanegara) dan Sumatera (Sriwijaya).
70 |
Langgam Majapahit
Langgam Majapahit | 71
LANGGAM MAJAPAHIT
Atas: (searah jarum jam) Gua meditasi penganut Buddha dari abad VIII yang dikenal dengan nama Candi Selomangleng di Tulungagung, Jawa Timur; Foto tahun 2011 tentang wisatawan religius yang menyakralkan kembali sebuah batu panjang misterius yang ditinggalkan oleh pengelana India yang berkunjung ke Kutai, Kalimantan Timur di abad V; wantilan beratap ganda yang umum terlihat pada vihara-vihara Buddha di Sri Lanka dan Burma hingga saat ini, terukir pada dinding Candi Borobudur, Jawa Tengah sekitar abad IX; bentuk gerbang tertua bergaya Hindu klasik di Bali yang terlihat pada Pura Pengukuran dari abad XII serupa dengan komplek Pura Gunung Kawi (abad X) yang terletak tidak jauh dari sini. Gerbang kuno ini mungkin sebuah pintu masuk menuju pertapaan atau biara Buddha (foto dari Bali Report dalam sebuah akun Facebook, Adimelali Bali). Halaman berikut: Lembu Nandi, kendaraan suci Dewa Siwa. Patung ini dibangun tersendiri di bagian timur Candi Prambanan, sebuah candi peninggalan Hindu yang luar biasa dari abad IX.
72 |
Langgam Majapahit
INDIANISASI
Akhir abad VI, banyak di antara kerajaan di Asia Tenggara sudah mengalami Indianisasi dengan mengadopsi agama Hindu dan Buddha serta sistem pemerintahan India yang diperkenalkan oleh para pendeta yang mengembara bersama dengan saudagar-saudagar India. Mereka mempengaruhi para penguasa yang memang berminat mengadopsi sistem yang lebih maju, dianggap cocok, dibanding sistem kepercayaan kesukuan dan sistem hirarki yang ada. Di Jawa Barat sekitar tahun 358 M, seorang pendeta India, dari Kerajaan Vengi yang beraliran Buddha, dekat Kalinga (sekarang Andhra Pradesh) di pesisir timur, menikah dengan seorang putri bangsawan Sunda dan mendirikan sebuah kerajaan Buddha, Tarumanegara, yang mencapai masa jayanya antara abad V hingga abad VII. Tarumanegara mengadopsi bahasa Sansekerta dan huruf Pallawa untuk prasasti kerajaan, seperti tertera pada stela dan prasasti-prasasti batu ukir yang ditemukan di lereng Gunung Geulis, dekat Bogor, selatan Jakarta. Sayangnya, tidak ada candi atau monumen yang ditemukan dari masa ini. Para arkeolog menyatakan bahwa Tarumanegara adalah kerajaan yang sangat luas dengan ibu kota yang besar yang terletak dekat Karawang saat ini. Ada sekitar 40 pondasi candi yang berhasil digali sejauh ini. Tarumanegara menjalin hubungan perdagangan dan diplomatik di sepanjang wilayah yang terbentang antara India dan China. Kerajaaan Tarumanegara dikalahkan oleh Sriwijaya dalam sebuah serangan di tahun 650 M.
Langgam Majapahit | 73
LANGGAM MAJAPAHIT
INDIANISASI
Sejak awal abad ke VII, banyak kerajaan kecil di Sumatera menerima pendeta yang menjalankan misi keagamaan dari Perguruan Nalanda di Bihar, India. Para misionaris ini membantu memperkenalkan sistem pemerintahan India yang memperkuat status kerajaan-kerajaan di Sumatera itu sebagai kerajaan-kerajaan Buddha pada milenium pertama, terutama kerajaan Sriwijaya di Sumatera Selatan. Tidak banyak peninggalan yang tersisa dari ibukota kerajaan kecuali wilayah Sumater Selatan sendiri, khususnya peninggalan di Muara Takus di utara dan Tanah Abang di selatan (lih. foto h.77 & 154) yang dipenuhi dengan stupa yang terbuat dari bata, sama seperti yang didirikan kemudian di Champa, Khmer di Kamboja, Ayutthaya di Thailand dan bahkan Hindu-Majapahit. Para ahli menyatakan bahwa ajaran Buddha yang diperkenalkan ke Sriwijaya mungkin berasal dari Asia Tengah. Akan tetapi, mengingat hanya stupa Buddha yang tersisa dari zaman ini pada dasarnya adalah desain India, maka agak sulit memastikan kelompok mana yang memberi pengaruh lebih besar. Kita tahu bahwa cukup besar jumlah penduduk keturunan Cina yang tinggal di kota pelabuhan Palembang dan bahwa jaringan perdagangan kerajaan Sriwijaya sangat luas mencakup pesisir Vietnam hingga Canton dan juga Sri Lanka serta pesisir timur India. Sebuah prasasti ditemukan beberapa waktu lalu di sebuah kuil India kuno yang mencatat sebuah hadiah dari Sriwijaya untuk kuil tersebut. * * * “Para ahli memiliki pandangan yang berbeda-beda perihal hubungan Hinduisme and Buddhisme zaman Jawa kuno. Berpatokan pada penggunaan motif artistik seni yang sama, beberapa ahli percaya bahwa kedua agama tersebut berdampingan secara damai. Raja Hindu yang mendirikan Candi Loro Jonggrang juga berperan dalam membuat kuil-kuil Buddha, bersama permaisurinya. Sejumlah ahli lainnya berkesimpulan bahwa Hinduisme and Buddhisme pada dasarnya membentuk suatu penyatuan sinkretis pada periode Pertengahan dan Klasik Akhir. Sepertinya kaum rohaniwan mempertahankan dengan kuat kehendak mereka untuk membedakan mereka dengan para pesaingnya, meski masyarakat umum tidak pernah memedulikan nilai-nilai yang lebih baik dari ajaran yang ada.” — I. Glover and P. Bellwood, Southeast Asia: From Prehistory to History, 2004 Sriwijaya menjalin hubungan dengan kerajaan-kerajaan Buddha pertama di Jawa, terutama dalam bentuk ikatan perkawinan dengan Sailendra di Jawa Tengah. Terdapat bukti sejarah yang menyatakan bahwa seorang raja dinasti Sanjaya (732-760) yang mengawasi jalannya penyelesaian pembangunan candi Borobudur tahun 835 M, sebuah pencapaian puncak dinasti Sailendra. Pada saat kekuasaan raja Pala ketiga, Devapala
74 |
Langgam Majapahit
(815-854), wangsa Sailendra juga mendirikan salah satu dari bangunan pemujaan utama di Nalanda, India. Tetapi candi Hindu berbahan batu dari zaman ini merupakan persilangan dari aliran India Selatan dan telah memperlihatkan langgam Jawa yang khas dan unik. Kita bisa temukan contoh paling awal arsitektur kuno candi beraliran India Selatan di dataran tinggi Dieng, Jawa Tengah. Wangsa Sanjaya yang berbasis di Dieng, membangun banyak candi Siwa dari batuan lahar setempat sepanjang abad VIII dan IX serta memperkenalkan berbagai bentuk arsitektural dan beragam upacara yang mengilhami para pembuat candi, rohaniwan dan kalangan istana untuk kurun waktu 1000 tahun berikutnya. Saat itulah dimulainya masa pembangunan candi Hindu berbahan batu yang mencapai puncaknya pada abad IX, yaitu dengan dibangunnya Candi Prambanan, pesaing arsitektural Candi Borobudur, monumen Buddhis terbesar di dunia. Dari kurun waktu Sanjaya, kita dapati bukti tertua berupa sebuah pendopo agung di halaman depan komplek Candi Arjuna. Bagian terpenting arsitektur candi India Selatan terlihat pada pendopo candi (Sansekerta: mandapa) yang dulunya kemungkinan untuk pertama kalinya diperkenalkan di Dieng dalam arsitektur setempat. Di Jawa, namanya menjadi pandapa atau pendopo — sebuah balai pertemuan hasil Indianisasi untuk acara resmi (agak berbeda dalam hal langgam arsitekturnya jika dibandingkan dengan bangunan balai kayu yang ada sebelumnya). Pada abad X, kerajaan-kerajaan hasil Indianisasi di Jawa Tengah telah menerapkan aturan tata letak India selatan (wastu sastra), sebuah ilmu bangunan berdasarkan arah penjajaran, di Bali dikenal dengan istilah Hasta Bumi atau Hasta Kosala-Kosali. Bukti yang terdapat pada panel Candi Borobudur menunjukkan bahwa balai pertemuan berbahan kayu dengan atap bersusun (Bali: bale wantilan), sudah ada sejak abad IX.
Atas: Foto langka berupa patung-patung peninggalan sebuah candi Hindu di Jawa Barat sekitar abad IV hingga abad VII semasa kerajaan Tarumanegara (foto tahun 1923 dari Hindoe-Javaansche Kunst oleh N.J. Krom). Kiri: (atas) Komplek Candi Arjuna dari awal abad IX di dataran tinggi Dieng, Jawa Tengah (foto tahun 1923 dari Hindoe-Javaansche Kunst oleh N.J. Krom); foto tahun 2013 dari tempat yang sama. Halaman sebelumnya: (atas) Sisa-sisa bagian dasar tiang paviliun (sendi/ umpak) pada sebuah pendopo (paviliun/ mandapa) abad VIII di komplek Candi Arjuna di dataran tinggi Dieng; (bawah) Diagram dari zaman Sanjaya mengenai vastu (tata aturan perletakan Hindu kuno). (keduanya koleksi dari Museum Dieng Kaliasa, Jawa Tengah)
Langgam Majapahit | 75
LANGGAM MAJAPAHIT
INDIANISASI
Bangunan serupa masih dapat ditemukan di sejumlah wihara di Myanmar, Thailand dan Sri Lanka. Di Sumatera, Jawa Tengah, Sulawesi dan Lombok dapat kita temukan bangunan kayu dengan atap bersusun pada beberapa masjid, sebagaimana pula di Jawa pada bangunan makam Wali Songo, disebut cungkup. Prinsip-prinsip dasar desain lanskap Jawa ditetapkan pada zaman pra-Majapahit. Pada zaman ini, raja-raja Jawa dan Sumatera sudah mulai membuat kolam air besar berbentuk persegi panjang dan terkadang dengan altar pemujaan atau balai (balé kambang) di atas pulau buatan di tengah kolam. Tren ini terbawa hingga ke negara tetangga, Kamboja dan mencapai puncak perkembangan di Angkor Wat. Pura atau candi patirtan dari abad IX dapat kita jumpai di Jawa Timur — yang paling terkenal adalah Jalatunda dan Belahan — dan kemungkinan banyak didirikan pada permulaan zaman Hindu di Bali. Pemujaan terhadap air suci mungkin berasal dari zaman sebelumnya, akan tetapi pada masa inilah sumber air suci dan sumur-sumur — serupa dengan sumur beranak tangga di India —, seperti Candi Tikus di Trowulan, menjadi populer di Jawa. Patirtan — dahulu populer di Jawa dan dewasa ini kembali populer di Bali dengan sebutan pura taman — pertama kali muncul pada zaman Hindu Jawa klasik sebagai pemandian sekaligus tempat untuk mengambil tirta (air suci) sebagai bahan pembuatan
76 |
Langgam Majapahit
Beberapa bangunan zaman Singosari dari abad XII yang masih ada hingga saat ini di Bali, sebagian besar dijadikan acuan saat zaman Majapahit dan zaman-zaman berikutnya. Halaman sebelumnya: Candi Canggi, reruntuhan sebuah gerbang pura dari abad XIII tidak jauh dari Blahbatuh, Bali bagian tengah (foto dari Kunst op Bali oleh P.A.J. Moojen, 1926). Kiri atas: Candi Tua dari masa akhir Sriwijaya (abad XIII) di Muara Takus menyerupai Candi Borobudur (abad IX) dan berbagai bentuk candi di Sri Lanka, India, Vietnam dan Burma. Bawah: (dari kiri) gerbang pura dari awal abad XX tidak jauh dari Kintamani, Bali; gerbang Candi Belahan, Jawa Timur (abad X); Candi Bima di dataran tinggi Dieng.
Langgam Majapahit | 77
LANGGAM MAJAPAHIT
INDIANISASI
Kanan: Reruntuhan Candi Gedong Songo dari abad IX di Jawa Tengah. Bawah: (kiri) Pintu masuk menuju Candi Kalasan di Jawa Tengah (abad VIII); (kanan) Candi Lumbung dari abad IX yang beraliran Buddha di dalam komplek besar Candi Prambanan, Jawa Tengah, salah satu warisan agung Kerajaan Mataram (kedua foto dari tahun 1923 dalam Hindoe-Javaansche Kunst oleh N.J. Krom). Halaman berikutnya: (atas) Candi Borobudur yang indah dari abad IX di dekat Magelang, Jawa Tengah, pencapaian puncak dinasti Syailendra (mungkin dengan bantuan dari dinasti Sriwijaya); (bawah) Candi Singosari dibangun pada masa dinasti Sanjaya, candi-candi Hindu dibangun mengikuti model klasik candi-candi di India Selatan. Dengan bangkitnya dinasti Mataram dan SIngosari, model-model candi bergaya Hindu-Jawa mulai bermunculan. Saat masa Majapahit, candi-candi beserta nilai seni yang menyertainya telah mengambil suatu karakter Jawa yang unik.
tirta amerta (sumber kehidupan) oleh para pendeta Siwa, yang sangat penting dalam sebagian besar upacara-upacara Hindu. Siraman (ritual mandi) yang hingga kini masih bisa ditemukan dalam ritual perkawinan adat Jawa berasal dari zaman Hindu dahulu. Di Bali, orang Bali pergi ke geria (kediaman pedanda) saat bulan purnama untuk melukat (membersihkan jiwa) saat merasa diri kotor secara spiritual. Pada tradisi Hindu-Jawa, air dari mata air suci dituangkan di atas lingga (simbolisasi Siwa) yang dikumpulkan kembali dari kucuran yang jatuh dari yoni sebagai dasarnya. Air yang terkumpul kemudian digunakan dalam upacara-upacara keagamaan untuk dipercikkan kepada kerumunan umat dan juga ke atas persembahan yang dihaturkan kepada dewa-dewa. Bentuk-bentuk wadah tirta yang digunakan oleh para pendeta Brahmana di India selatan, terutama di Tamil Nadu, serupa dengan yang bertahan sejak abad X di Jawa Tengah. Bentuk perangkat upacara asli India Selatan hanya mengalami sedikit perubahan selama berabad-abad; apakah ini artinya upacara-upacara Hinduisme berakar di luar India? Di bidang sastra, kisah Ramayana dan Mahabharata yang terkenal dari India sudah diperkenalkan pada abad IX, terbukti dari relief di Borobudur. Kemungkinan inilah masa dimana tercipta perpaduan antara tari klasik Jawa dan gamelan dengan langgam tari
78 |
Langgam Majapahit
Langgam Majapahit | 79
LANGGAM MAJAPAHIT
INDIANISASI Kemungkinan yang lain adalah bahwa pada kota-kota di Jawa, masyarakat mulai mengadopsi sejumlah gagasan arsitektur dari para saudagar Cina — kebanyakan dari Cina selatan — yang membuat gerbang masuk rumah dengan langgam Cina selatan untuk mencegah perampok masuk dan menjaga hewan-hewan peliharaan di malam hari. Gerbang pekarangan yang tergambar pada sejumlah relief di Borobudur lebih mirip dengan gerbang desa di pesisir Cina selatan dan beberapa suku pegunungan Yunnan, khususnya di Desa Bai, dibanding dengan apa yang pernah penulis lihat di pedesaan di India. Dalam kurun waktu 800 tahun kemudian hingga berdirinya Majapahit yang perkasa, tercatat kemunculan dan keruntuhan sejumlah kerajaan di Jawa Tengah dan Jawa Timur yang mewariskan sejumlah monumen batu yang luar biasa, bukti-bukti sejarah yang terukir pada relief di dasar candi dan prasasti-prasasti dari peradaban yang kaya akan seni dan ritual upacara. Meskipun sangat sedikit bukti fisik yang bertahan selain candi dan ukiran-ukiran pada candi, namun jelas terlihat bahwa bentuk-bentuk arsitektur yang dominan di wilayah pedesaan dan keraton pada masa ini adalah bangunan balai kayu, terkadang berdiri di atas pondasi yang anggun, perulangan kolom dan atap dekoratif. Bentuk-bentuk pagoda (meru), balai majelis (Bali: bale pesucian) untuk para dewa dan manusia, gapura yang anggun, gedong (balai tertutup) yang hanya digunakan raja untuk melakukan persembahyangan dan tempat menyimpan
tradisional Austronesia dan instrumen musiknya serta sendratari India yang megah, dimatangkan dan menjadi bagian dari upacara-upacara Hindu dan Buddha. Iring-iringan gajah dan persembahan yang tergambar dalam ukiran-ukiran di Borobudur dan Prambanan tidak diragukan kemegahannya dengan yang dapat dijumpai kini di Sri Lanka atau Kerala (India selatan). Tergambar juga pada panel-panel Borobudur, beragam altar pemujaan batu (prasadha) menyerupai pagoda untuk memuja Sang Buddha dan merupakan sesuatu yang unik untuk ukiran candi di Jawa Tengah, lumbung dan balai sederhana yang dibangun dalam langgam Indonesia kuno (lih. foto h.39). Hal tersebut mendukung teori bahwa di satu pihak bangunan-bangunan suci berlanggam India klasik dan berbahan baku batu, sementara arsitektur tempat tinggalnya berbahan kayu dan tidak permanen yang berkembang di jalur berbeda, mengacu kepada kearifan lokal.
80 |
Langgam Majapahit
Halaman sebelumnya: Ukiran mengenai sebuah komplek candi berupa relief pada Candi Jago di Malang, Jawa Timur pada abad XII, memperlihatkan sebuah gerbang dengan atap bertingkat dan paviliun yang dibangun dalam tata letak layaknya purapura di Bali. Inset, halaman sebelumnya: Foto tahun 1979 mengabadikan sebuah gerbang utama (kori agung) Pura Batur Kintamani (stana Dewa Wisnu di Bali) yang merupakan bentuk nyata dari bentuk kori yang terukir dalam relief candi (atas). Kiri: Wadah air suci yang sangat indah dari abad XI, menunjukkan adanya perkembangan yang lebih baik lagi dari karya-karya seni dalam masa pra Majapahit (foto dari Les Ors de l’Archipel Indonésien oleh Musée National des Arts Asiatiques-Guimet).
Langgam Majapahit | 81
LANGGAM MAJAPAHIT
Atas: Tombak bermata tiga dari aliran Siwa di sebuah kuil di Nepal. Bawah: Ujung tombak bermata tiga dari zaman pra Majapahit yang ditemukan pada tombak pengawin (tongkat ritual) dari abad XII di Jawa Tengah (foto paling kiri) dan dari wilayah pegunungan di Bali (foto tengah dan kanan). Halaman selanjutnya: Patung dwarapala simbol penjaga di sebuah kuil abad XII di Pagan, Burma Tengah. Sangat menarik untuk dicatat bahwa patung tersebut terbungkus dengan kain motif kotak-kotak warna hitam dan putih (ciri khas Majapahit) dan pita warna merah dan putih (warna-warna Majapahit).
82 |
Langgam Majapahit
INDIANISASI benda-benda berharga. Semua itu tergambar pada dinding Borobudur dan Prambanan. Komplek Ratu Boko dari zaman Mataram (abad IX), terletak di perbukitan sebelah selatan Prambanan, memiliki gapura-gapura batu besar yang kemungkinan adalah jalan masuk ke sebuah keraton atau tempat suci. Di sini juga kita dapatkan ukiran pada panggung batu yang menyokong balai kayu, yang didirikan secara berkelompok di dalam komplek. Di Kerala, India bagian selatan, kita masih bisa menemukan balai kayu yang berkelompok di sejumlah desa tua. Akan tetapi di banyak desa, balai-balai tunggal telah ‘melebur’ menjadi satu bangunan utama, seperti awalnya dulu. * * * Pada abad X, pusat kekuasaan berpindah dari Jawa Tengah ke Jawa Timur, tidak jauh dari Kediri saat ini, dimana arsitektur berbahan baku bata merah dan batu gunung juga diterapkan. Di Jawa Timur, sejumlah contoh dinding pekarangan dari masa itu masih bertahan; di dekat pemandian Belahan yang dibangun pada abad X (lihat h.93), terdapat serangkaian gapura dari bahan batu vulkanik, yang diperkirakan sebagai pintu masuk menuju biara Buddha kuno. Hanya inilah yang tersisa dari apa yang tergambar pada ukiran-ukiran di bagian dasar candi yang menjelaskan tentang sebuah periode produktif dari arsitektur pekarangan berbasis balai. Gapura serupa yang bertahan sejak abad XIII di Pura Canggi, dekat Desa Sakah di Bali bagian tengah (lih. foto h.76), seperti juga halnya gua-gua dan sejumlah pura dari abad X yang terpahat pada dinding tebing, seperti yang terlihat di daerah Bedulu-Pejeng-Tampaksiring. Kerajaan-kerajaan di Jawa Timur memiliki pengaruh yang kuat di Bali. Pada masa inilah, Airlangga1, seorang pangeran keturunan raja Bali terpilih untuk bertahta di sebuah kerajaan di Jawa. Antara abad X hingga XIII banyak pura besar didirikan oleh pendetapendeta dari Jawa Timur, seperti Rsi Markandya dan Empu Kuturan. Beberapa contoh di antaranya adalah Pura Besakih, Pura Samuan Tiga, Pura Batukaru, Pura Luhur Uluwatu dan monumen peringatan mangkatnya raja, seperti Pura Gunung Kawi (abad XI). Para rohaniwan ini mewariskan ajaran agama dan perencanaan tata kota berdasarkan ajaran-ajaran Hindu dan Buddha.
1 Airlangga lahir dari pernikahan antar dinasti Isyana dari Jawa dan Warmadewa dari Bali. Ibunya adalah Mahendradatta, seorang putri dari Dinasti Isyana, saudari Raja Dharmawangsa dari Medang, sementara ayahnya adalah Raja Udayana Warmadewa, raja Bali keturunan Dinasti Warmadewa. Ada kemungkinan Bali pada abad XI menjadi salah satu daerah di bawah kekuasaan Jawa, sehingga pernikahan orangtua Airlangga menjadi alat politik untuk mengikat Bali sebagai bagian dari kekuasaan Medang.
Langgam Majapahit | 83
LANGGAM MAJAPAHIT
KERAJAAN PERTAMA DI JAWA TIMUR
Kerajaan-Kerajaan Pertama di Jawa Timur (Jenggala-Singosari-Daha-Kediri) Banyak legenda Bali bermula dari kedatangan orang-orang suci di abad X hingga XI yang berasal dari Daha (Kediri), sebuah kerajaan Hindu di Jawa Timur sebelum Majapahit. Banyak sekali arsitektur Majapahit, khususnya dalam hal pekerjaan bata merah, yang jejaknya berasal dari Kediri. Meskipun Kerajaan Singasari (abad XIII) yang berpusat di dekat Malang sekarang dianggap sebagai awal sejarah zaman Singosari-Majapahit, akan tetapi pengaruh kerajaan-kerajaan di Jawa Timur sebelumnya sangat penting dan lebih jelas dibanding dengan kerajaan-kerajaan Hindu di Jawa Tengah sebelumnya dalam hal arsitektur Majapahit. Penelitian terbatas yang penulis lakukan di sekitar Blitar dan Kediri telah berhasil mengungkap banyak hubungan dalam langgam arsitektur, khususnya arsitektur Majapahit-Bali (dan bahkan langgam arsitektur Islam-Majapahit dari kota-kota di Jawa Tengah seperti Kudus, yang terkenal dengan arsitektur bata merahnya). Langgamlanggam tersebut memiliki kekhasan tersendiri dibanding langgam arsitektur pesisir utara. Sejak awal abad XI, istana di Kediri menyerap tren dari luar negeri, misalnya: patungpatung naga Cina raksasa di Candi Semen serta keberadaan guru-guru dari Persia di istana Raja Joyoboyo pada abad XII. Peninggalan berupa kota-kota dan candi-candi Hindu menunjukkan sebuah keagungan
Atas: Liontin emas dari masa Kediri era (foto dari www.wilwatiktamuseum.wordpress.com). Halaman sebelumnya: Patung Garuda abad X, saat ini di Museum Trowulan. Patung ini dulunya merupakan patung utama pada dinding pemandian suci Belahan di lereng Gunung Penanggungan, dekat Pandaan, Jawa Timur. Legenda menyebutkan bahwa sosok yang duduk di atas sebenarnya adalah seorang penguasa terkenal kelahiran Bali, Prabu Airlangga. Meski demikian, masa kekuasaannya lebih lama seratus tahun atau lebih dibandingkan situs pemandian ini. Kiri: Salah satu dari gerbang bata merah dari biara Buddha abad X di Belahan, Pandaan, Jawa Timur (foto dari www. wiramandalika.blogspot.com).
84 |
Langgam Majapahit
Langgam Majapahit | 85
LANGGAM MAJAPAHIT Bawah: (kiri atas) Reruntuhan patung dari masa Kediri dan Singosari yang memberi petunjuk bahwa candi-candi dan istana yang ada pasa masa itu sepertinya cukup besaar. Patung naga yan mengapit pohon di situs arkeologi Semen adalah contoh peninggalan tertua yang dapat diketahui di Jawa Timur; (kiri bawah) Dwarapala raksasa dari Kediri (Arca Totok Kerot); (kanan) Patung dwarapala dari Candi Singosari.
KERAJAAN PERTAMA DI JAWA TIMUR budaya. Patung-patung dwaraphala (penjaga) di situs Arca Totok Kerok di Kediri bahkan lebih besar dibanding patung-patung yang sama di Candi Singosari, dekat Malang serta budaya pura patirtan — elemen pokok Majapahit — sudah lahir di zaman Daha-Kediri (abad XII). Dari segi budaya, cukup banyak upacara dan ritual di Bali berasal dari Daha, yang dibawa masuk oleh orang-orang suci seperti Empu Kuturan dan Empu Baradah. Banyak upacara dari Kediri-Tumapel juga masuk ke Bali setelah ‘disaring’ melalui Majapahit dan kemudian diterapkan dalam ajaran Hindu Bali saat itu, termasuk aliran Siwa Tantra yang diadopsi dari kerajaan Majapahit tetapi upacara-upacaranya yang masih dijalankan bercampur dengan Kejawen, Buddhisme dan Hinduisme. Dari sudut pandang arsitektur, bagian-bagian bangunan balai dari zaman praMajapahit yang dapat disaksikan di Kediri — umpak (bagian dasar tiang) dan bagian bawah bangunan (Bali: bataran) — lebih besar dan terkadang lebih bervariasi dibanding peninggalan zaman Majapahit. Sedangkan untuk motif Hindu-Jawa yang ditemukan pada peninggalan arkeologis dari zaman ini merupakan ‘pondasi’ yang kuat. Lambang pengenal Prabu Air¬langga, misalnya (lih. foto h.87), merupakan sebuah motif yang berlanjut hingga zaman Majapahit dan kini masih digunakan di Bali. Kerajaan Kahuripan, yang diperintah oleh Airlangga, seorang raja yang aslinya dari Bali, dikenal dengan toleransi agamanya. Airlangga adalah seorang pelindung agama Hindu maupun Budha. Hal ini kemungkinan merupakan petunjuk terbentuknya Siwa-Buddha di Kerajaan Majapahit. Runtuhnya kerajaan Sriwijaya akibat invasi Chola dari India selatan, memberikan peluang bagi Airlang¬ga untuk menghimpun kekuatan kerajaannya tanpa gangguan luar (Sumatera). Beliau kemudian memperluas wilayah ke Jawa Tengah dan Bali. Dermagadermaga di pesisir utara Jawa, khususnya Surabaya, Gresik dan Semarang, untuk pertama kalinya menjadi pusat-pusat perdagangan penting pada abad XIV; banyak di
Jawa Pilar paduraksa abad X yang berhasil digali di Kediri, Jawa Timur.
Bali Bentuk paduraksa yang serupa terlihat pada dinding sebuah pura di Bali (akhir abad XX)
antaranya dikendalikan oleh penduduk Muslim Hanafi yang berasal dari Asia tengah. Kisah kehidupan Raja Airlangga tergambar pada Candi Belahan di lereng Gunung Penanggungan (lih. foto h.84) yang diabadikan dalam sebuah patung batu sebagai Dewa Wisnu yang duduk di atas kendaraannya, garuda. Airlangga wafat tahun 1049 dan kemungkinan abunya ditaburkan di pemandian suci Belahan Tirta atau sebuah sungai di dekatnya. Tradisi menaburkan abu di sungai dan juga arsitektur dengan langgam Belahan dapat kita lihat di Bali hingga kini.
Kanan atas: Simbol dari raja terakhir Kediri, King Sri Prabu Srengga Kertajaya/Kertajaya yang terdapat pada prasasti Sapu Angin (foto paling atas) — sebuah motif yang masih populer di seluruh Bali hingga kini (foto dari http://tikusprasasti.blogspot. com/2012/10/alih-aksara-prasasti-sapuangin.html). Kiri: Sosok iblis yang membungkukkan badan pada bagian pojok sebuah bangunan yang populer dalam arsitektur Hindu-Jawa sejak abad IX. Semasa zaman Majapahit, terkadang sosok ini digantikan oleh garuda, gajah-makala, dan juga burung merak.
86 |
Langgam Majapahit
Langgam Majapahit | 87
KEBUDAYAAN JAWA TIMUR PADA ZAMAN PRA-MAJAPAHIT
LANGGAM MAJAPAHIT
Kebudayan Jawa Timur pada Zaman Pra-Majapahit
Atas: Foto tahun 1920-an mengabadikan sebuah candi abad XII dari zaman Singosari, Candi Jago di Malang dan diperkirakan oleh banyak pihak sebagai sebuah meru (fotografer: Hendrik Veen, seizin dari koleksi Tropenmuseum yang dipublikasikan dalam http:// id.wikipedia.org/wiki/Candi_Jago). Halaman selanjutnya: Candi Kidal dari abad XII yang terletak tidak jauh dari Malang, Jawa Timur, sebuah candi terindah dari masa Singosari dan sebuah karya agung aliran Siwa-Bhairawa.
88 |
Langgam Majapahit
Berbagai figur bertaring dan raksasa yang merupakan bagian besar dalam ikonografi Majapahit berasal dari zaman Singosari di Jawa ketika aliran Siwa-Bairawa, pemujaan terhadap Siwa sebagai ‘sang maut’, mendominasi. Desa Berawa di Bali adalah sebuah pengingat adanya pengaruh budaya ini. Pada masa inilah legenda barong Bali (sebuah perwujudan Banaspati Raja, penguasa hutan dalam tradisi Hindu) berbaur dengan mitos-mitos seputar putri bangsawan Jawa Timur, Mahendradatta. Barong menjadikan Mahendradatta (di Bali diwujudkan sebagai rangda, sang penyihir tantra) sebagai pasangan jahatnya dalam cerita tari Calonarang yang sangat populer, khususnya di Bali. Dualisme dalam ajaran Buddha — kepercayaan terhadap kebaikan dan kejahatan yang terdapat di alam semesta — merasuk dalam filsafat Jawa Timur sebelum mulainya zaman Majapahit, sebagaimana halnya dengan elemen-elemen arsitektur Buddha dan upacara-upacaranya. Prasasti berhuruf Pallawa (India selatan) kuno — ditemukan di Jawa Barat (abad VII) dan Kutai (abad V) — telah berkembang menjadi huruf Kawi yang indah di awal abad XIII. Di sisi lain, Kawi juga merupakan istilah bagi bahasa kuno dalam keraton Jawa yang hingga kini masih digunakan dalam upacara-upacara di Jawa dan Bali. Peran para pendeta tinggi Brahman seperti yang tergambar pada relief Borobudur pada abad IX, hanya mengalami sedikit perubahan dalam representasi mereka di candi atau pura selama berabad-abad. Dapat dikatakan bahwa pengaruh mereka, lewat pengetahuan tentang tata letak bangunan, astrologi dan ritual Weda, dianggap sangat penting bahkan sebelum zaman Majapahit, begitu pula halnya di Bali hingga saat ini.
Langgam Majapahit | 89
LANGGAM MAJAPAHIT
KEBUDAYAAN JAWA TIMUR PADA ZAMAN PRA-MAJAPAHIT
Kiri: Candi Singosari di Malang, Jawa Timur. Bawah: Candi Hindu-Buddha yang penting dari abad XII, Candi Jawi, dibangun sebagai monument untuk menghormati raja besar dan terkahir dari Kediri yaitu Raja Kertanegara. Ini merupakan candi HinduJawa yang pertama yang berorientasi ke arah gunung terdekat, suatu tradisi yang berlanjut di Bali hingga sekarang. Halaman sebelumnya: Sebuah koleksi ukiran dari masa pra Majapahit: (searah jarum jam dari atas) Wajah kala dari era Singosari; patung naga yang mengapit Candi Kidal (abad XII); bentuk candi bentar yang diukir pada dinding Candi Jago; gerbang pura yang ada di Candi Jago.
“Tidak ada raja tanpa pedanda (pendeta Brahman) dan tidak ada pedanda tanpa raja,” sesuai bunyi sebuah pepatah Bali. Sistem raja-dewa, pengorbanan janda, upacara Siwa-Budha yang rumit dan kecintaan akan ragam hiasan pada bangunan pura sejatinya memang diwarisi Majapahit dari kerajaan-kerajaan sebelumnya. Konsep Rajadewa diadopsi dari India selatan oleh Raja Sanjaya di Jawa Tengah pada abad IX. Pada abad X dan abad XI di Jawa Timur, pada zaman Singosari, ketika banyak kerajaan juga menganut aliran Wisnu, lazim ditemui patung-patung untuk upacara pemakaman yang menggambarkan raja sebagai Dewa Wisnu dan permaisuri sebagai Dewi Sri, dewi padi sekaligus Dewi Kesuburan. Di Bali, Dewi Sri memiliki keterkaitan dengan Cili, dewi kesuburan pra-Hindu, dimana persembahan untuknya masih populer hingga hari ini. Motif-motif dekoratif khas Tibet (Buddha Tantra dan Mahayana) dapat dijumpai pada sebagian besar candi-candi kuno di Sumatera dan Jawa. Timbul pertanyaan: apakah motif-motif ini diperkenalkan oleh para pendeta dan para seniman yang ikut dalam rombongan dari Orissa ketika zaman Buddha atau sesuatu yang ‘didapat’ dari misi-misi kunjungan ke India.
90 |
Langgam Majapahit
Langgam Majapahit | 91
LANGGAM MAJAPAHIT
TAMAN-TAMAN PRA-MAJAPAHIT
Taman-Taman Pra-Majapahit Penelitian yang penulis lakukan pada sebagian besar pura Bali Aga (pra-Hindu) yang masih bertahan hingga tahun 1970-an memiliki desain taman tanpa kaidah yang pasti. Meskipun begitu mereka tetap sebuah taman dan karakter pagar serta penempatan berbagai altar dan gapura beratap menciptakan suasana yang indah sekaligus mistis. Pada zaman Kediri-Daha dan Singosari (abad XI hingga XIII) serta zaman Buddhis Bali kuno (Pejeng-Bedulu), banyak dibangun candi atau pura yang menggabungkan taman air dan pemandian — pemandian raja-raja di Goa Gajah, Bedulu adalah yang paling indah. Pura Tirta Empul (abad X) adalah mahakarya taman air lainnya yang berdampingan dengan sebuah pura yang dibangun pada masa Dinasti Warmadewa. Candi Belahan dan Candi Jalatunda di Jawa Timur sejatinya merupakan cikal bakal berbagai taman air di Bali. Majapahit juga memberi sentuhan pada seni pertamanan Bali, tampak pada sejumlah taman sari untuk raja bersama abdinya, taman bale kambang (Candi Kuning di Bedugul dan Tanah Lot adalah yang paling terkenal), dan pura dengan pelataran bertingkat serta patung-patungnya, sebagai pengaruh dari punden pra-Hindu di Jawa. Ragam hiasan dan karya mengagumkan dari aliran Bali utara mungkin merupakan peninggalan sejati pura taman zaman Majapahit akhir yang sudah lama tenggelam.
Kiri: Danau buatan menjadi salah satu hal yang penting dalam perancangan taman di Indonesia sejak zaman Hindu awal (mungkin diimpor dari India selatan). Foto tahun 1930-an ini mengabadikan sebuah mesjid tradisional dengan atap bertingkat di Sumatera Utara. Kiri bawah: Pancuran para dewi di sumber mata air suci Belahan yang memberi inspirasi bagi Goa Gajah di Bedulu, Bali tengah pada abad XI. Kanan bawah: Taman dari sebuah pura kuno warga Bali Aga di Bali menampilkan kesederhanaan ala Zen. Foto ini berlokasi di Pura Puseh di Bayung Gede yang dibangun pada abad XV.
Atas: Pancuran naga dari abad IX pada ceruk di patirtan Candi Jalatunda di Jawa Timur. Kanan: Candi pemandian Jalatunda dari abad X, pendahulu candi-candi zaman Majapahit.
92 |
Langgam Majapahit
Langgam Majapahit | 93