26 |
Langgam Majapahit
Langgam Majapahit | 27
28 |
Langgam Majapahit
Langgam Majapahit | 29
BAB 2
Pra-Majapahit Indonesia Kuno U
ntuk memahami langgam Majapahit secara utuh kita perlu menengok rangkaian sejarahnya, dimulai dari arsitektur Indonesia kuno.
Pada bagian dasar candi Borobudur terdapat relief yang menggambarkan halaman rumah tinggal — kemungkinan sebuah rumah di Jawa Tengah abad IX — yang didominasi oleh suatu bangunan menyerupai lumbung padi yang agak kecil dengan panggung yang digunakan sebagai tempat duduk-duduk atau bekerja di bawahnya. Berdasarkan foto-foto tua yang menampilkan desa-desa suku asli tertentu di Taiwan selatan (Formosa), khususnya suku Tsou, dan studi-studi tentang arsitektur masyarakat Austronesia kuno di Filipina Utara dan juga studi-studi lainnya di tahun 1920-an tentang Lembah Palu, Sulawesi Tengah oleh antropolog terkenal dari Swedia Walter Kaudern, kita tahu bahwa bentuk rumah tinggal yang menonjol dari mereka adalah semacam rumah panggung yang banyak diantaranya memiliki beberapa sisi yang melandai ke arah luar, sebagaimana yang tergambar pada ukiran di candi Borobudur.
Empat halaman sebelumnya: Kuil ‘Tujuh Batu untuk Dewa Angin’ di Mone Ama, Pulau Savu, Indonesia bagian timur. Tempat pemujaan Neolitik seperti ini dapat ditemukan di seluruh Asia Selatan. Tempat ini, sayangnya ‘dipugar’ oleh Departemen Arkeologi tahun 1970, adalah salah satu yang paling dramatis. Dua halaman seelumnya: Upacara suku pedalaman dengan mengelilingi compang (panggung batu) di Pulau Alor, Indonesia bagian timur (foto tahun 1987, dalam The Living House oleh Roxana Waterson, 1990 h.52). Halaman sebelumnya: Desa kuno bergaya Austronesia di Filipina bagian utara (seizin Rodrigo D. Perez dalam Folk Architecture, 1989). Atas: Lukisan tentang sebuah desa dengan gunung dan sungai tidak jauh dari Dong So’n di Vietnam bagian utara, yang merupakan asal-muasal kebudayaan Zaman Neolitik di Indonesia.
30 |
Langgam Majapahit
Langgam Majapahit | 31
PRA-MAJAPAHIT
INDONESIA KUNO
Satu-satuya bukti kuat lainnya menyangkut gaya arsitektur rumah-rumah Indonesia kuno atau para leluhur mereka, bisa ditemukan pada suasana pedesaan yang tercetak pada tutup nekara-nekara perunggu Dong-S’on yang berasal dari Zaman Perunggu akhir (1000 SM hingga 200 M) yang bisa dilihat di Museum Kunming, Yunnan, Cina bagian selatan. Bentuk rumah-rumah Austronesia kuno yang paling berkembang dapat dilihat di Toraja dan Nias. Dr Roxana Waterson membahas lebih jauh mengenai hal ini dalam karya bukunya yang gemilang, The Living House. Kita tahu bahwa kebudayaan Indonesia kuno berasal dari penduduk asli Formosa dan juga suatu kumpulan kebuyaan yang dikenal dengan nama Dong-So’n (Vietnam bagian utara), yang merupakan pusat penyebaran nekara kuno. Ada kemungkinan para arsitek Borobudur mengangkat kehidupan pedesaan di luar ibukota Kerajaan Sailendra — wilayah yang lebih dekat ibukota cenderung memiliki ciri arsitektur hunian berpagar — walaupun tidak ada bukti yang mendukung teori semacam ini. Hampir semua arkeolog Jawa mendukung teori bahwa terdapat perbedaan yang mendasar antara rumah tinggal warga biasa, pakuwon dan rumah-rumah berpagar milik para saudagar dan kaum priyayi. Satu hal yang jelas adalah bahwa bentuk asli lumbung (penyimpan padi) ini masih dapat ditemui hingga saat ini di Flores, Timor, Madura, Jawa, Sumbawa, Sumba, Bali, Sulawesi (Toraja), Nias, Minangkabau, dan di pedalaman Batak sekitar Danau Toba, Sumatera Utara. Di belantara Kalimantan dan rawa-rawa di pesisir barat daya Papua, diantara penduduk suku Asmat khususnya, rumah-rumah panjang sederhana adalah bentuk arsitektur (kuno) yang dominan.
32 |
Langgam Majapahit
Halaman sebelumnya: (kiri atas) Patung kayu dari suku asli Fdi Formosa dalam pakaian tradisional. Antropolog menganggap mereka sebagai leluhur dari sekian banyak suku-suku di Indonesia (foto dari Ethnographic Studies in Celebes oleh W. Kaudern, 1925); (kanan atas) gambar irisan sebuah lumbung padi di Sulawesi Tengah (foto dari Ethnographic Studies in Celebes oleh W. Kaudern, 1925); (bawah) pintu masuk menuju Desa Bawomataluo, Pulau Nias bagian selatan, Sumatra Utara, sebuah desa dari Zaman Megalitik yang oleh banyak antropolog dipercayai seumuran dengan periode migrasi ras Austronesia dari Yunnan, atau dari Taiwan Selatan, 3000 tahun SM. Gaya arsitekturnya serupa dengan Toraja dan desadesa di Batak Toba. Kiri: (dari atas ke bawah) Desa kuno bergaya Austronesia di Filipina bagian utara; foto bertahun 1920-an dari sebuah desa bergaya Austronesia di Lembah Palu, Sulawesi Tengah; desa tradisional di Flores, Indonesia bagian timur (foto tahun 1985).
Langgam Majapahit | 33
PRA-MAJAPAHIT
INDONESIA KUNO
Buku ini tidak terlalu dalam membahas perkembangan arsitektur balé (balai atau paviliun) di Indonesia — di antaranya masjid-masjid yang terbuat dari kayu, balai pertemuan, rumahrumah panjang dan lumbung padi — disebabkan minimnya keterkaitan, dalam segi bentuk, dengan desain rumah tinggal zaman Majapahit; sebuah desain yang barangkali dapat menuntun kita kepada arsitektur bangunan balai yang megah dan kompleks di Jawa Tengah, Jawa Barat, Bali, dan Lombok Barat pasca Majapahit. Adalah suatu hal yang cenderung bersifat paleo-arkeologi ketika tidak ada gagang pintu atau bahkan genteng yang tersisa; hanya ada ambang pintu yang tidak lazim, pondasi bangunan dan dudukan kolom. Beruntungnya masih ada peninggalan berupa nekara dan warisan agung Candi Borobudur ditambah dengan penemuan-penemuan oleh sejumlah antropolog penuh dedikasi sepanjang abad XX, sehingga kita bisa menarik sejumlah kesimpulan. Pulau-pulau tertentu di bagian timur Indonesia masih menyimpan kebudayaan Indonesia kuno. Kita bisa saksikan altar-altar kuno dalam permukiman warga dan membandingkan ritual-ritual mereka dengan ritual yang masih berlangsung dalam masyarakat di wilayah lain Indonesia yang mendapat pengaruh kuat Majapahit. Ada semacam tumpang tindih, khususnya dalam ritual memandikan jenazah, pemakaman, dan ritual peralihan usia (rites de passage) untuk para balita. Mengingat tidak ada bukti adanya Indianisasi dalam masyarakat di daerah-daerah terpencil ini maka bisa dikatakan bahwa berbagai ritual yang saling tumpang tindih ini mewakili bu-
Kanan: Peninggalan dari budaya Megalitik dapat ditemukan dalam kehidupan masyarakat membentang sepanjang Asia-Pasifik: (searah jarum jam dari kiri atas) Menhir yang diberi ‘pakaian’ di Hawaii; pemakaman dekat Bukittinggi, Sumatra Barat; batu nisan berupa menhir sebagai penanda makam di Pulau Flores, Indonesia timur; batu pemujaan dari masa pra-Hindu di sebuah pura di pegunungan, Kintamani, Bali; alun-alun sebuah desa di Pulau Nias, Sumatera Utara; desa di Filipina bagian utara (foto dari Folk Architecture oleh Rodrigo D. Perez).
34 |
Langgam Majapahit
Langgam Majapahit | 35
PRE-MAJAPAHIT
INDONESIA KUNO
daya kuno yang asli Indonesia. Disamping itu ada pula ritual yang melibatkan tarian dalam formasi barisan — diiringi nyanyian dari paduan suara laki-laki dan perempuan — dan penyembelihan babi dan kerbau dalam kegiatan-kegiatan upacara. Banyak dari ritual-ritual ini diperkenalkan oleh masyarakat proto-Melayu1 dan deutero-Melayu2 yang berkelana keluar dari China bagian selatan dan memperkenalkan cara bercocok tanam padi 2500 ta1 Disebut juga Melayu Tua adalah istilah untuk Melayu ‘gelombang’ pertama dari dua ‘gelombang’ migrasi yang dulu diperkirakan terjadi dalam pendudukan Nusantara oleh penutur bahasa Austronesia. Menurut teori ‘dua gelombang’ ini, termasuk Melayu Tua di Indonesia adalah Toraja (Sulawesi Selatan), Sasak (Lombok), Dayak (Kalimantan Tengah), Batak (Sumatera Utara), Nias (pantai barat Sumatera Utara), Rejang, dll. 2 Sering disebut sebagai Melayu Muda, istilah yang pernah digunakan untuk populasi yang diperkirakan datang pada “gelombang kedua” setelah “gelombang pertama” dari Melayu Proto. Populasi ini dikatakan datang pada Zaman Logam (kurang lebih 1500 SM). Suku bangsa di Indonesia yang termasuk dalam Melayu Muda adalah Aceh,Minangkabau, Jawa, Sunda, Melayu, Betawi, Manado, Bali. Teori ini tidak lagi diakui penggunaannya, karena para arkeolog menyimpulkan bahwa tidak ada dasar arkeologis yang berarti yang menunjukkan adanya perbedaan antara Melayu Proto dan Melayu Deutero.
Kiri: Di Flores, struktur menyerupai dolmen yang disebut compang dapat ditemukan di alun-alun desa. Compang (inset bagian atas) dan compang beratap di alun-alun desa di Flores, Indonesia bagian timur; menurut saya bagian bagian dasar sebagian besar bangunan paviliun di Indonesia berkembang dari adanya kebutuhan di masa lalu akan suatu naungan di atas strtuktur dolmen batu/panggung batu.
36 |
Langgam Majapahit
Langgam Majapahit | 37
PRA-MAJAPAHIT
INDONESIA KUNO
Bawah: (kiri) Simbol kesuburan pada sebuah kendang orang Timor. Simbol ini digunakan di seluruh Indonesia yang melambangkan kesuburan atau rahim. Simbol ini lebih banyak lagi ditemukan pada ukiran-ukiran candi masa Majapahit akhir; (kanan) struktur yang serupa tampak pada sebuah kendang tahun 500 SM di Museum Kunming (foto dari Zhongguo Xi’nan Minzu Kaogu oleh Tong Enzheng).
RUMAH ARWAH
Halaman sebelumnya: (searah jarum jam dari kiri atas) Panel ukir pada Candi Borobudur menggambarkan bentuk lumbung padi (dua foto pertama dari The Living House oleh Roxana Waterson); dua foto lagi tentang menampilkan ukiran dari Candi Borobudur (foto seizing R. Badil & N. Rangkuti dalam www.arkeologisunda. blogspot.com); lumbung padi di suatu tempat dekat Bukittinggi, Sumatra Barat (foto tahun 1985); tempat menyimpan padi yang lainnya pada ukiran di Candi
Rumah Arwah, Jawa Barat, abad XII (foto oleh John Miksic)
Rumah Arwah, Kuil Wat Inpeng, Vientiane, Laos, abad XX
hun yang lalu. Dalam perjalanan ke Yunnan awal 1980-an, saya menemukan bahwa dalam tradisi suku minoritas Bai — terletak di wilayah Danau Erhai, dekat Distrik Dali, Provinsi Yunnan, China — ada upacara ‘menyentuh tanah’ bagi bayi-bayi mereka dengan meletakkan ikatan bawang putih di atas kepala bayi. Upacara ini digelar di halaman depan rumah (yang dipercaya sebagai wilayah yang masih dalam pengaruh roh jahat), persis seperti di Bali. Hal ini merupakan sesuatu yang membuka wawasan penulis. Pengaruh migrasi budaya kuno ini terhadap upacara-upacara di Bali dan Indonesia bagian timur khususnya, sering kali diabaikan.
Punden Berundag dan Tempat Pemujaan Kuno Di banyak desa dengan budaya Austronesia kuno di seluruh Asia Tenggara, pola permukiman linear diterapkan di lereng gunung dan biasanya bagian
38 |
Langgam Majapahit
Langgam Majapahit | 39
PRA-MAJAPAHIT
INDONESIA KUNO hulu (paling atas) menjadi tempat bagi keluarga sesepuh desa. Tempat pemujaan para leluhur dan roh dibangun di lereng yang lebih tinggi di atas permukiman, sedangkan kuburan di bagian bawah dengan orientasi ke arah laut. Punden berundak adalah bagian pokok dalam masyarakat pegunungan Jawa yang paling awal; banyak diantaranya kemudian beralih menjadi pura bagi umat Hindu (Candi Ceto, misalnya) atau bahkan menjadi kuburan Muslim (Makam Sunan Sendang Duwur, misalnya). Di Bali, beberapa pura yang terletak di pegunungan, seperti Pura Puncak Penulisan, Pura Besakih, dan Pura Batukaru dipercaya awalnya adalah juga punden kuno. Di wilayah pesisir Bali dewasa ini, banyak pura di lahan datar yang awalnya asri dibangun ulang menjadi pura dengan banyak tangga (berundak).
Kiri: Balai pertemuan para kepala suku yang bersebelahan dengan kolam penampungan air tidak jauh dari Bukittinggi, Sumatra Barat; (inset) rumah panjang Bali di Tenganan, sebuah desa Bali Aga (suku asli di Bali).
40 |
Langgam Majapahit
Langgam Majapahit | 41
PRA-MAJAPAHIT
INDONESIA KUNO
Kanan: Sebuah Pura Puseh kuno dalam bentuk punden berundak di Tenganan, Bali; (inset) rumah tradisional di Desa Belantih, tidak jauh dari Kintamani, Bali.
42 |
Langgam Majapahit
Langgam Majapahit | 43
44 |
Langgam Majapahit
Langgam Majapahit | 45
Jawa Kuno A
dat istiadat pra-Hindu di Jawa yang hingga kini masih bertahan di banyak wilayah di Jawa dan dalam keluarga orang Jawa di seluruh Indonesia dikenal dengan istilah kejawen. Beberapa desa dengan adat kejawen yang kuat, tidak jauh beda dengan desa-desa lain di Jawa dan Sunda, kecuali bahwa desa-desa itu mungkin memiliki tempat atau tugu pemujaan dalam lingkungan desanya. Pada masyarakat pegunungan dengan tingkat kejawen paling kuat masih dapat ditemukan tempat pemujaan berundak Zaman Megalitik. Tempat pemujaan berundak ini — dengan struktur bentuk Austronesia kuno — terletak di bagian hulu desa dan digunakan untuk memuja arwah leluhur yang dipercaya ‘berdiam’ di pegunungan. Pada akhir zaman Hindu-Majapahit, tempat pemujaan terhadap leluhur ini terkadang dialihfungsikan menjadi pura Hindu, khususnya untuk pura padarman (klan) yang dapat dijumpai di lereng Gunung Agung di Bali, berdampingan dengan Pura Besakih. Tempat pemujaan berundak serupa juga dapat dijumpai di lereng Gunung Penanggungan di Jawa Timur dan lereng Gunung Lawu di sebelah timur Jawa Tengah (lihat foto-foto terkait dalam sub-bab ‘Majapahit Akhir’).
Dua halaman sebeumnya: Simbol kesuburan yang diikatkan ke rel kereta api sebagai bagian dari ritual kuno orang Jawa (kejawen) untuk keselamatan (Manten Tebu, 1999, foto oleh Eddy Hasby). Halaman sebelumnya: Suasana di dalam ruang pemujaan di teras paling atas Candi Ceto, Jawa Timur. Altar sederhana ini mengingatkan pada tugu pemujaan kuno untuk para penguasa gunung-gunung di Jawa. Atas: Teras paling bawah bergaya pra-Hindu atau Jawa kuno yang menjadi bagian dari Candi Ceto di Jawa Tengah yang berasal dari masa akhir Majapahit.
46 |
Langgam Majapahit
Langgam Majapahit | 47
PRA-MAJAPAHIT
JAWA KUNO
Di Candi Ceto — di lereng Gunung Lawu, sebelah timur kota Solo, Jawa Tengah (lihat foto h.47) — kami temukan patung-patung kodok, kepiting dan kadal yang dalam kepercayaan Jawa kuno, hewan-hewan amfibi ini dipercaya memiliki kekuatan magis. Kepercayaan ini berlanjut hingga zaman Majapahit, bahkan hingga ke zaman modern, terutama di Jawa, Bali dan Lombok dimana kadal putih (albino) masih dapat ditemukan di sumber-sumber air suci (Bali: klebutan) di dalam pura dan bahkan di sejumlah tempat wudu pemakaman Islam. Dengan minimnya petunjuk tentang bentuk permukiman penduduk zaman pra-Hindu, penulis membayangkan suatu kesamaan dengan desa-desa ‘neokejawen’ ortodok yang ada hingga kini seperti di Badui, Jawa Barat, pedesaan tradisional Sasak, dekat Kuta di Lombok Tengah, atau desa-desa bercorak Austronesia sebagaimana telah dibahas pada bagian-bagian sebelumnya. Ada sejumlah patung primitif dan banyak pula batu meditasi watu gilang yang masih bertahan (lihat photo atas), namun sisi kejawennya lebih banyak terlihat melalui berbagai upacara dan kepercayaannya dibanding warisan arsitekturnya. Ritual ‘persembahan darah’ dalam budaya Austronesia kuno, misalnya, masih bisa kita lihat hingga kini dalam ritual penyembelihan kerbau pada masyarakat Kiri atas: Kendi air Jawa yang dipesan oleh pakar batik dari Solo Pengabean Hardjonagoro. Istilah kendi diperkirakan berasal dari bahasa Sansekerta, yang berarti cerek air. Kundika tampil dalam ikonografi Hindu sebagai atribut dewa Brahma dan dewi pengetahuan, Saraswati. Bentuk ini sangat populer pada istana turunan Majapahit baik di Jawa maupun di Bali.
Toraja di Sulawesi Tengah. Demikian pula halnya di Jawa pada zaman Hindu, ritual tersebut kemungkinan besar digantikan dengan penyembelihan ayam atau menuangkan anggur beras merah (Bali: brem) ke tanah. Ritual serupa berlangsung juga dalam masyarakat Hindu di Bali hingga kini berupa tabuh rah (diwujudkan dalam bentuk adu ayam) yang biasa diadakan di jaba luar (halaman luar) pura, yang merupakan wilayah para roh jahat. Topeng-topeng pemakaman dari emas yang berasal dari zaman pra-Hindu (lihat foto pada halaman ini) mungkin merupakan asal muasal tradisi tata rias wajah jenazah yang masih dilaksanakan pada tahap-tahap akhir sebelum jenazah dikremasi dalam upacara ngaben di Bali.
ALTAR KUNO
TOPENG PEMAKAMAN
48 |
Langgam Majapahit
Jawa abad XVI
Bali abad XVIII
Jawa, sekitar tahun 200 Masehi
(courtesy of www.nationalmuseum.gov.ph)
Atas: (searah jarum jam dari kiri atas) Pundek berundak dekat Kediri, Jawa Timur (dipugar secara besar-besaran tahun 2000); tugu pemujaan yang baru saja dibangun untuk roh-roh alam (penguasa gunung) yang ditemukan di lereng gunung di atas Candi Ceto, Jawa Tengah; patung-patung lambang kesuburan dari masa kejawen pra-Hindu yang ditemukan di dekat Tengger, Jawa Timur kemungkinan dari abad XIII.
(courtesy of ‘Old Javanese Gold’ by John Miksic, 2011)
Kanan atas: Batu kuno watu gilang, digunakan para petapa untuk bermeditasi, ditemukan di halaman depan Makam Sunan Sendang Duwur (abad XVII), Lamongan, Jawa Timur, awalnya merupakan sebuah punden berundak dari masa pra-Hindu.
Oton, Iloilo (Filipina tengah) 1300-1400 M
Bali, abad XXI
Langgam Majapahit | 49
50 |
Langgam Majapahit
Langgam Majapahit | 51
Bali Kuno S
ebelum kedatangan ajaran Buddha di abad VIII, Bali sudah memiliki suatu kebudayaan yang kreatif dan dinamis, yang mungkin sepadan dengan Jawa kuno.
Bukti paling awal mengenai peradaban di Bali didapat dari penemuan arkeologis bangsa Belanda awal 1950-an di Bali barat, dekat Gilimanuk, berupa sarkofagus berbentuk penyu raksasa berangka tahun 1000 SM. Masyarakat pesisir ini mungkin (atau mungkin juga bukan) yang memulai peradaban di Bali; tetapi yang pasti bahwa pada awal milenium pertama, pusat kekuasaan Bali berlokasi di Silulung kuno, di daerah pegunungan antara puncak Gunung Batur dan Gunung Batukaru. Tidaklah sulit membayangkan bahwa pola-pola permukiman di pedesaan dan tipikal rumah orang Bali Aga (pribumi Bali) mengalami sedikit perubahan dalam kurun waktu berabad-abad sejak kedatangan mereka di Bali melalui jalan darat dari Jawa; mulai dari pertengahan milenium pertama sebelum masehi hingga akhir tahun 1970-an, saat saya banyak melakukan penelitian. Pada tahun 1970an, desa-desa ini masih sangat terpencil, dan arsitekturnya cenderung homogen. Ada yang berpendapat, walaupun hanya sebatas asumsi, bahwa minimnya perubahan ini didasarkan pada pertimbangan bahwa desa-desa ini sangat terisolasi, sangat konservatif, suku yang keras, dan juga tidak sekalipun mengambil
Dua halaman sebelumnya: Salah satu desa Bali Aga di Bali bagian timur, Desa Tenganan Pegringsingan (kebudayaan Bali pegunungan) (foto tahun 1979) memperlihatkan orientasi linier yang populer dalam pola penataan desa sebelum diperkenalkannya penataan desa/permukiman berdasarkan kosmogoni Hindu-Jawa. Halaman sebelumnya: Barong Berutuk, sebuah bentuk tari topeng dari masa lampau yang ditemukan hanya di desa-desa di pegunungan Bali, Papua Nugini dan Kalimantan TImur. Atas: Tempat penyimpanan padi (lumbung)dari masa pra-Hindu di Desa Tenganan, Bali bagian timur (foto tahun 1979).
52 |
Langgam Majapahit
Langgam Majapahit | 53
PRA-MAJAPAHIT
BALI KUNO bentuk-bentuk candi beraliran India selama zaman Majapahit. Mereka memiliki tempat tinggal yang cukup canggih, jika diukur dari sisi primitif, yang sebagian besar serupa dengan orangorang Austronesia awal di Asia Tenggara. Mereka tinggal di rumah sederhana yang dapat memenuhi segala kebutuhan mereka dan dapat beradaptasi dengan baik dengan iklim yang ada. Pola pemukiman desa-desa Bali Aga sebagian besar berbentuk linear, ditata sepanjang teras-teras di lereng bukit atau gunung mengikuti kontur tanah. Pura klan (Bali: pura dadia) dibuat untuk menghormati leluhur dan pemujaan terhadap gunung dan leluhur pendahulu (misalnya Da Tonta di Terunyan) sering ditemukan hanya berupa gundukan batu, atau altar sederhana, sebagaimana yang kita temukan di desa-desa kuno di seluruh Indonesia dan bahkan di sejumlah kepulauan Pasifik. Sama halnya seperti desa-desa kuno di Vietnam utara, Filipina utara, Taiwan selatan, maupun di Sulawesi Tengah, desa-desa kuno ini juga terletak dekat danau-danau di daerah pegunungan yang memudahkan dalam pengairan dan sebagai sumber protein (ikan air tawar). Akibat lokasinya yang terpencil desa-desa ini jauh dari jangkauan binatang buas maupun dari suku-suku pesisir yang ganas maupun para suku laut (misalnya Bugis dan Bajo). Selama masa penjajahan, Bali tidaklah ‘sepadat’ Jawa, baik oleh industri maupun pertanian komersil. Oleh karenanya, para antropolog perintis menemukan banyak bukti kehidupan masa
Kiri: Permukiman Zaman Megalitik di Indonesia cenderung berpola linier dengan atau tanpa tembok pembatas setengah badan dan tugu pemujaan dengan pondasi rendah. Seluruh foto di sebelah kiri berasal dari pegunungan Bali kecuali foto tengah bawah dan kanan memperlihatkan dua buah rumah panjang (balai pertemuan atau bale lantang di dalam pura dari sebuah desa di pegunungan Bali). Paviliun serupa (setengah panjangnya) juga ditemukan di komplek maka-makam era Islam di Majapahit dan pada relief-relief ukiran candi-candi dari masa Hindu-Jawa (lihat bab berikut).
54 |
Langgam Majapahit
Langgam Majapahit | 55
PRA-MAJAPAHIT
BALI KUNO
lalu di desa-desa kuno pegunungan sekitar daerah Batur dan Bedugul. Karyakarya para peneliti seperti Margaret Mead tentang Bayung Gede di tahun 1930an, Thomas Reuters tentang desa-desa Bali Aga di tahun 1990-an, Urs Ramseyer yang meneliti Tenganan di tahun 1970-an, atau karya Stephen Lansing tentang subak (sistem irigasi) kuno, semuanya memaparkan secara rinci tentang desadesa kuno di pegunungan Bali (Bali Aga) beserta arsitekturnya. Tentu saja, banyak punden berundak masih tetap dengan bentuk pra-Hindu sesuai aslinya. Namun, diantara semuanya, tidak ada yang lebih penting daripada puncak Penulisan, sebelah barat danau Batur, tempat pemujaan yang letaknya paling tinggi di Bali. Meskipun hampir setiap abad sejak jaman Majapahit arsitektur pura mengalami pemugaran atau setiap 30 tahun sejak maraknya pariwisata, satu hal yang tetap dianggap asli adalah patung-patungnya. Satu diantaranya adalah patung raja Bali terakhir sebelum pendudukan Majapahit (Stutterheim, 1929). Sejumlah altar batu kuno di banyak pura pegunungan sepertinya dibuat sebelum periode Indianisasi dan memiliki kesamaan bentuk dengan patung-patung pemuka masyarakat Polinesia. Hal ini masih perlu penelitian lebih lanjut dari para arkeolog (Reuters, 2002). Tidak seperti di Jawa, upacara-upacara Bali kuno sudah melebur ke dalam ritual-ritual yang berlangsung hingga kini karena kesesuaiannya dengan kepercayaan Hindu-Bali.
Atas: Sarkofagus Bali dari Zaman Megalitik di Bali bagian utara (foto dari Archipelago Guides: Bali, A Traveller’s Companion, 2000). Kiri: Benda-benda, arsitektur, struktur dan dekorasi dari masa pra-Hindu dan pra-Majapahit di Bali — (searah jarum jam dari kiri atas) Gerbang utama yang telah dipugar dari Pura Desa di desa Bali Aga, Julah di Bali bagian utara; tugu pemujaan dengan pondasi rendah dalam merajan (pura kecil di lingkungan rumah tunggal) di Tejakula, Bali bagian utara; patung Dewa Ratu Sakti Pancering Jagat di Trunyan (gambar oleh W.O.J. Nieuwenkamp, 1917); menhir kuno di belakang tugu pemujaan di sebuah pura di Desa Tejakula, Bali bagian utara; dekorasi garis tiga warna pada kuda-kuda sebuah rumah panjang di sebuah desa Bali Aga, Desa Sembiran, Bali bagian utara. Aslinya warna cat dihasilkan dari darah, batu kapur dan abu; merajan alit di Tejakula; (dua foto berikutnya) banten (persembahan) yang tidak lazim tampilannya di sebuah desa di Bali bagian utara; tampak dari struktur atap dari ijuk yang bundar di bagian utama Pura Puseh di Julah; (gambar di tengah) susunan dolmen batu di bawah pohon beringin yng ada di Pura Puseh, Tenganan Pegringsingan, Bali.
56 |
Langgam Majapahit
Langgam Majapahit | 57
58 |
Langgam Majapahit
Langgam Majapahit | 59
Pasang Surut Budaya: Pengaruh Regional “Aktifitas penduduk asli Asia Tenggara, dalam perjalanan kembali dari negeri lain, memberi pengaruh yang besar dalam penyebaran adat istiadat India dan ajaran agama di negara mereka. Tetapi fakta sejarah proses penyebaran tersebut tidak dibatasi oleh ruang dan waktu. Hal ini adalah sebuah fenomena yang mencakup wilayah luas dan beragam yang berlangsung selama beberapa abad; peristiwa ini juga melibatkan gelombang berkesinambungan, arus lokal dari berbagai penduduk asli. Hal ini juga didukung oleh pusat-pusat pembauran yang dibentuk oleh kerajaan-kerajaan India pertama di Semenanjung Malaka, yang berperan sebagai wilayah penghubung antara India daratan dengan wilayah-wilayah jauh di luar India.â€? — G. Coedès, The Indianized State of Southeast Asia, 1968
Dua halaman sebelumnya: Monumen peringatan dari abad XI bergaya Hindu-Jawa diperuntukkan bagi Raja Anak Wungsu dari dinasti Udayana dan permaisurinya. Gua meditasi dan pertapaan beraliran Buddha di dekat situ membuktikan bahwa aliran Hindu dan Buddha berkembang dengan baik di Bali tengah pada abad XI, hidup berdampingan dan dalam suatu hubungan yang erat antara istana-istana di Bali dan Jawa Timur (Kediri). Halaman sebelumnya: Artefak dari aliran Buddha berbentuk dagoba (kemungkinan besar merupakan puncak sebuah kuil) di luar kawasan Goa Gajah (abad X) tidak jauh dari Bedulu di Bali bagian tengah. Atas: Artefak berupa benda berbentuk kendi dari abad XVI beraliran Buddha Vajrayana (merupakan yang terbaik dalam menyiapkan persembahan) dalam sebuah kuil di Bhutan yang juga dapat ditemukan di berbagai pura di Bali saat ini.
60 |
Langgam Majapahit
Langgam Majapahit | 61
PRA-MAJAPAHIT
PASANG SURUT BUDAYA
Dalam kurun waktu 5000 tahun telah banyak berlangsung pasang surut pembauran budaya di Asia selatan. Para peneliti menggambarkan bagaimana orang-orang bermigrasi menuju Asia Tenggara dari Cina selatan, Vietnam utara, dan Taiwan pada zaman pra sejarah — orang-orang Austronesia yang datang paling awal membawa budaya Megalitik dan orang-orang proto-Melayu maupun deutero-Melayu membawa cara bercocok tanam dan budaya Dong-So’n (Zaman Perunggu). Selama 2000 tahun berikutnya gelombang pengaruh budaya bergerak kembali ke arah utara dari Jawa dan Sumatera. Selama milenium pertama Masehi banyak terjadi perdagangan antara India Selatan dan Asia Tenggara dan juga antara kerajaan-kerajaan besar seperti Sriwijaya, Khmer dan Champa (Vietnam tengah dan selatan); dan kemungkinan besar diikuti pula dengan pertukaran budaya. Pengaruh arsitektural, dekoratif dan seremonial yang mengarah pada beragam karya lintas budaya Majapahit yang mengagumkan berakar dari periode ini. Sebuah panel ukir yang terdapat di kaki Candi Borobudur menggambarkan sebuah kapal dagang Jawa dengan rinci; jadi bukan tidak mungkin bahwa pada abad ke IX, para saudagar India dan mungkin juga Cina telah menciptakan suatu proses penyebaran suku bangsa dengan mendirikan permukiman musiman ataupun melalui pusat distribusi barang pesisir utara Jawa dan Bali, serta sepanjang pesisir timur Sumatera. Hal ini mendorong masuknya pengaruh terhadap budaya dan mungkin juga arsitektur — sejumlah pagoda dan beberapa bentuk atap yang tergambar pada Candi Borobudur cenderung mengarah pada Cina selatan dan bukan India, misalnya, Barong Ket (Singa Cina) di Jawa dan ondel-ondel Betawi (Bali: Barong Landung) adalah contohcontoh kesamaan sejarah budaya dengan Cina selatan. Barong Landung juga ditemukan di Yunnan, Cina selatan.
Atas: Candi abad X dekat Angkor Wat, Banteay Srei, kemungkinan adalah leluhur, secara arsitektural, dari pemujaan tri-murti (Brahma, Wisnu, Siwa) yang dibangun di atas pondasi tunggal yang juga ditemukan pada beberapa candi di masa akhir Majapahit (mis: Candi Kotes, Blitar) dan banyak lagi pura di Bali utara. Detil bagian tepi lubang pintu ditemukan di beberapa obyek arsitektur masa keIslaman Majapahit sebagai suatu pengaruh dari wilayah Khmer (seperti yang ditemukan pada pintu utama Mesjid Agung Sang Cipta Rasa di Cirebon yang terbuat dari batu kapur keras, sebagai contoh, dan juga pada bagian pintu menara Mesjid Agung Banten (adik laki-laki dari Mesjid Cirebon)). Mungkinkah arsitek besar pada masa Majapahit pasca-Hindu, Raden Sepat (seorang penganut Hindu), pernah melakukan perjalanan ke Kamboja? (foto dari majalah SilverKris edisi April 2014). Kanan: Foto karya Pier Poretti tentang para biksu muda dalam sebuah rangkaian upacara prasada (penghormatan terhadap leluhur) raja-raja yang telah mangkat di Angkor Thom. Secara arsitektural candi bata merah ini sangat mirip dengn candi-candi di zaman Majapahit baik di Jawa maupun Bali (lihat Gedong di h.144-45). Gagasan mengenai Devaraj (pendewaan raja) dibawa dari Jawa ke Kamboja di abad IX.
62 |
Langgam Majapahit
Langgam Majapahit | 63
PRA-MAJAPAHIT
PASANG SURUT BUDAYA Kiri: 30 ekor gajah yang luar biasa dalam upacara Thrissur Pooram ceremony yang digelar di Thrissur, Kerala, India selatan, Mei 2014. Ditampilkan berbagai macam paying yang masih dapat ditemukan di Bali saat ini.
“Pergerakan penduduk di wilayah nusantara sering disebabkan oleh adanya konflik atau tekanan ekonomi yang berperan penting
Kanan bawah: Ritual masa pra-Hindu (Austronesia) yang masih lestari hingga saat ini di Bali dan pada masa lalu dimasukkan sebagai bagian dari ritual zaman Majapahit.
dalam menyumbang keanekaragaman dan kompleksitas langgam seni dan arsitektur setempat.
Halaman sebelumnya: (atas) Singgasana raja dari sebuah kerajaan Islam di abad XV memperlihatkan bentuk naga dari budaya Cina dan dekorasi lain dalam pengaruh budaya pesisir (foto dari Life, Death and Magic: 2000 Years of Southeast Asian Ancestral Art oleh Robyn Maxwell, 2011); (kiri bawah) beberapa elemen dari ritual pembakaran jenazah di sebuah desa Bali Aga sangat mirip dengan ritual-ritual yang disebutkan dalam tulisan-tulisan mengenai ritual pemakaman kuno orangorang Austronesia.
— J. Bennett, Crescent Moon, Islamic Art & Civilisation in Southeast Asia, 2005
Kerajaan Sriwijaya memiliki persentase jumlah penduduk Cina- Buddha yang cukup banyak, begitu pula halnya dengan kerajaan-kerajaan sebelumnya termasuk Majapahit. Kerajaan-kerajaan di Jawa, sejak zaman Tarumanegara dan sesudahnya, telah menjalin perdagangan, dan terkadang juga hubungan politik, baik dengan Vietnam maupun Cina daratan bagian selatan, khususnya Tonkin. Sangat mungkin bahwa arsitektur pekarangan rumah Vietnam dan Cina — masih populer di sejumlah wilayah pedesaan Jawa (khususnya Lasem dan Ponorogo) dan Bali — mulai diterapkan semasa zaman pra-Majapahit. Pada zaman Sailendra, payung dan kain yang diimpor dari India, terutama kain Patola, telah menjadi ornamen berharga di pura, altar di keraton, ritual pemakaman dan dalam iring-iringan upacara (Bali: mendak). Hingga hari ini, hiasanhiasan di puri dan pura di Bali — yang merupakan benteng pelindung tradisi kuno — memiliki cita rasa kebangsawanan Cina-Vietnam yang kental, khususnya di Ubud, Gianyar, Klungkung dan Karangasem. Hal ini terlihat juga dari kepopuleran selendang brokat sutra Cina. Para sultan dari sejumlah kerajaan di Indonesia masih mengenakan busana dengan pola bunga yang tegas —disebut basekop sembagi (Jawa Tengah) mengikuti sebutan orang Sumatera untuk bahan yang sama, kain sembagi, yang diimpor dari Pesisir Coromandel, India — guna membedakan mereka dengan kaum ningrat lainnya. Tercatat Susuhunan Solo (Pakubuwono), Sultan Hamengkubuwono dari Keraton Yogyakarta dan bangsawan Puri Pemecutan di Bali mengikuti aturan busana ini. Kain yang dikenakan pada altar-altar pemujaan (wastra) penting di Bali juga bercorak flora Cina, lengkap dengan payung (bentuk payung Cina yang lebih datar cenderung dipilih daripada payung India selatan yang lebih penuh) digunakan di pura untuk memperjelas status yang lebih tinggi. Keranda jenazah yang bersusun — populer di Bali dengan sebutan badé — identik dengan yang digunakan komunitas orang-orang Hokkian di Penang, Malaysia, sebagai contohnya, begitu pula halnya dengan adat istiadat di desa-desa tertentu di Bali bagian timur dimana putra sulung memimpin iring-iringan menuju tempat kremasi dengan mengena-
64 |
Langgam Majapahit
kan jubah kain tipis yang diikat tali putih (benang Bali) di pinggang, sama persis seperti yang dilakukan dalam prosesi pemakaman warga Hokkian di Singapura. Seorang ahli berpendapat bahwa orang-orang Hokkian hijrah ke Penang awal abad XIX saat masa jaya penambangan timah. Pertanyaannya adalah: apakah mereka membawa tradisi kuno dari negeri mereka sendiri yang sudah banyak diadopsi oleh masyarakat Bali jauh sebelumnya? Ataukah mereka mengadopsi tradisi Hindu setempat yang masih ada di Penang? Tradisi kremasi kedua (penyucian arwah) sangat kental di Bali hingga hari ini, dikenal dengan istilah nyekah — berlangsung juga dalam tradisi Islam Jawa dengan istilah nyekar yang dilaksanakan di pemakaman dalam interval hari, bulan atau bahkan tahun setelah setelah kematian — yang dipandang penting oleh kalangan masyarakat di kawasan Asia Tenggara yang berakar budaya Austronesia kuno. Menurut beberapa ahli, budaya kremasi atau pemakaman kedua ini berasal dari Cina selatan atau Taiwan selatan. Buku The World of Buddhism memperlihatkan seorang pendeta Cina sedang mengatur wadah kayu penyucian arwah — dalam tradisi orang Cina jenazah dikuburkan mayat — sama halnya dengan yang dilakukan orang Bali dalam ritual kremasi (ngaben). Perabuan leluhur dibuat dengan memuat nama-nama almarhum(ah), diletakkan pada altar dalam rumah untuk dipuja dan diberi persembahan (Bali: sesajen) yang disukai almarhum ketika hidup. Di Bali puspalingga untuk upacara mukur (juga disebut maligia atau nyekah) juga berisi nama-nama almarhum(ah) untuk dipuja, diberi sesajen dan diberi penghiburan (Garrett Kam, 2013)3.
Information based on personal communication.
1
Langgam Majapahit | 65