Majalah Frasa

Page 1

Edisi 10 Tahun pertama | majalah digital | sabtu, 30 maret 2013

Frasa Mempersoalkan Legitimasi

Puisi-Esai

Cerpen Cikie Wahab | Puisi Muhammad Musyaffa dan Ribut Achwandi | Cerpen Teenlit Rika Diani Dasopang | Puisi Teenlit Faith Grandine, Laura Rafti, Muzammil Frasdia dan Ria Dwi Sutriani | Fiksimini Agung Yuli TH | Puisimini Sonny H, Syafrizal Sahrun dan Selendang Sulaiman Art Cover: Internet


HAL

2

SALAM

Frasa

M a j a l a h

Pemimpin Umum Pemimpin Redaksi Wakil Pemipin Redaksi Tim Redaksi Design Tata Letak Sekretaris Redaksi

D i g i t a l

: Makmur HM : M Asqalani eNeSTe : Delvi Adri : Jhody M Adrowi Makmur HM M Asqalani eNeSTe Delvi Adri Yohana Nia Nurul Syahara Putu Gede Pradipta : Makmur HM : Jhody M Adrowi

Redaksi menerima tulisan yang bersifat orisinil dan belum pernah diterbitkan di media manapun. Tulisan berupa karya sastra yang terbit akan dibukukan setiap edisi akhir tahun. email: majalahfrasa@yahoo.com Tarif Iklan full colour per edisi 1/4 halaman: Rp150,000 1/2 Halaman: Rp300,000 1 Halaman: Rp500,000 Iklan Sosial: Mulai Rp30,000 - Rp100,000 Alamat Redaksi / kontak Email: majalahfrasa@yahoo.com Phone: 0852 6536 9405 Blog: www.majalahfrasa.blogspot.com Media Partner: www.jadikabar.com

Pu msd Frasa, Makmur HM, saat berdiskusi bersama salah seorang redaktur, Nia Nurul Syahara beberapa waktu lalu. Assalamualaikum Dalam Sastra Dunia, kali ini dan salam hangat Frasa redaksi menampilkan ‘Teroruntuk kita semua... teror Paranoia (dari Cerpen Edgar Allan Poe)’ yang disusun begitu apik oleh Bayu Bicara soal generasi sas- Agustari Adha. Sastra Indotrawan, tentu para pemba- nesia dan Religi mengulas haru selalu bereksplorasi ter- ‘Membaca Itu Wajib, Guru!’ hadap karya-karya mereka. dan ‘Kala Penyair Merindubegitu pula Denny JA, yang kan Rasul’. Selain itu ada juga telah melahirkan karya ber- Pondok Pena yang nangkring judul Atas Nama Cinta, yang di rubrik Komunitas. disebutnya sebagai puisiCerpen ‘Tentang Umar esai. Lalu, dari sebutan pui- dan Akasia’ Karya Cikie si-esai muncul pertanyaan: Wahab, Puisi Muhammad bagaimana mendefinisikan Musyaffa dan Ribut Achwanesai untuk membedakan- di, Cerpen Teenlit Rika Diani nya dengan puisi? Apakah Dasopang berjudul ‘Wacana perbedaannya terletak pada Sang Pemimpi’, puisi teenlit isi, bentuk, persepsi, atau Faith Grandine, Laura Rafti, perspektif? Kemudian mun- Muzammil Frasdia dan Ria cul sebuah pertanyaan lagi: Dwi Sutriani sangat, Fiksimini apakah puisi dapat berfungsi Agung Yuli TH berjudul ‘Wansebagai pemicu pemikiran ita di Bangku Halaman’ serta rasional untuk menggerakkan Puisimini karya Sonny H, Syalahirnya sebuah puisi-esai? frizal Sahrun dan Selendang Hal itulah yang dibicara- Sulaiman sangat sayang jika kan oleh Leon Agusta dalam dilewatkan. tulisannya berjudul ‘Mempersoalkan Legitimasi Puisi-Esai’ Terakhir, redaksi ucapkan yang pada edisi kali ini dijadi- selamat membaca! kan tema utama dalam MSD Frasa. Redaksi

Edisi 10 Tahun I [Sabtu, 30 Maret 2013]

Frasa


DAFTAR ISI

HAL

3

Halaman 6

Utama: Mempersoalkan Legitimasi Puisi-Esai

Halaman 10

Teror-teror Paranoia (dari Cerpen Edgar Allan Poe)

Halaman 12

Membaca Itu Wajib, Guru!

Halaman 14

Kala Penyair Merindukan Rasul (1)

Halaman 16

Komunitas: Pondok Pena; Sastrawan Sasntri, Santri Sastrawan

Halaman 18

Cerpen Cikie Wahab: Tentang Umar dan Akasia

Halaman 22

Puisi Muhammad Musyaffa dan Ribut Achwandi

Halaman 24

eduSastra: Memaknai Keunikan Budaya dalam Sastra

Halaman 26

Lentera Budaya: Alu Katentong, Ekspresi Kegembiraan Wanita Sumbar

Halaman 27

Pesta Dadung, Prosesi Syukuran Setelah Panen Menjelang Musim Tanam

Halaman 28

Cerpen Teenlit Rika Diani Dasopang: Wacana Si Pemimpi

Halaman 32-33

Puisi Teenlit Faith Grandine, Laura Rafti, Muzammil Frasdia dan Ria Dwi Sutriani

Halaman 34

Fiksimini Agung Yuli TH: Wanita di Bangku Halaman

Halaman 35

Puisimini Sonny H, Syafrizal Sahrun dan Selendang Sulaiman

Halaman 36

Inspiring: HB Jassin, Sang Dokumentator Sastra Indonesia

Frasa

Edisi 10 Tahun I [Sabtu, 30 Maret 2013]


HAL

4

NEXT ISSUE

Hari Buruk bagi Puisi Oleh: Riadi Ngasiran Aku tidak bisa menulis puisi lagi, kata Subagio Sastrowardoyo. Dalam puisi yang termuat kumpulan puisi penuh pesona, Simphoni, penyair terusik hatinya ketika menyaksikan fakta “sejak di Nazi Jerman berjuta Yahudi dilempar ke kamar-kamar gas sehingga lemas mati”. Empati penyair hadir dalam sederet fakta historis lainnya: apartheid di Afrika Selatan, perdamaian yang tak kunjung datang di jalur Gaza, sejak serdadu-serdadu Israel mematahkan lengan anakanak Palestina. Seperti kita tahu, fakta di tanah air sendiri ketika Subagio menaruh empati kepada nasib buruk para tukang becak di Jakarta yang alat tranportasi yang dikayuhnya itu dicemplungkan ke laut – akibat kebijakan pemerintah yang ternyata membunuh mata pencaharian si abang becak itu. Itulah hari-hari buruk bagi puisi. Harihari buruk ketika kenyataan sosial yang lain yang menghadirkan fakta buram: penggusuran, tanam paksa petani, truk-truk yang dicegat aparat penegak hukum, hingga keluarga tetangga yang anaknya menjadi korban tabrak lari hingga mati. Hari-hari buruk bagi puisi menemukan ironi justru ketika sederet penyair dalam Forum Penyair Internasional Indonesia sedang mengadakan pesta puisi di Surabaya – juga Malang Magelang dan Pekalongan — seraya menanyakan “What’s Poetry?”.

Edisi 10 Tahun I [Sabtu, 30 Maret 2013]

Frasa


CORNER

HAL

5

Yang harus digarisbawahi adalah, tidak ada satu manusia pun yang sanggup melepaskan diri dari pengaruh orang-orang terdahulu. Tetapi kejujuran tentang keterpengaruhan terkadang diselubungi kabut tebal dan hitam. Demi menyatakan bahwa benar orisinalitas itu ada, padahal sejauh pengamatan saya, hanya ranah eksplorasilah yang dapat dibajak dan diolah. Dari eksplorasi itulah lahir seoarang Chairil Anwar dengan karya-karya yang tegas berlatar bohemian. Meski telah berhasil mengakhiri kejayaan Pujangga Baru puisi-puisi Chairil Awar tetap memiliki aroma Amir Hamzah. Atau Abduh Hadi WM dalam puisinya “Tuhan, Kita Begitu Dekat” yang dianggap sebagai pencapaian karyanya yang tertinggi ternyata memiliki keterpengaaruhan yang sangat kuat dari karya Chairil Anwar “Lagu Siul”. Lantas bagaimana dengan hari ini? Tersebab pendapat ini dibuat untuk menanggapi wacana yang diketengahkan oleh seseorang yang mengarah pada karya-karya Denny JA, maka dengan sangat terpaksa saya mengarahkan ke sana, walau saya sama sekali tidak melirik Denny JA sebagai pengkarya yang layak dikaji sebagai kaca pergerakan karya sastra (Baca: Khusus puisi), karena masih begitu banyak yang lebih layak, tetapi sayang duhai sayang, kebanyakan mereka tak punya banyak uang untuk meminta endorsement dari sastrawan-sastrawan besar negeri ini, agar namanya lekas terangkat, atau untuk membuat lomba dengan hadiah jutaan rupiah agar masyarakat tergerak mengapresiasi secara berjamaah. Denny JA dengan karya-karyanya yang cenderung populis yang bertajuk Atas Nama Cinta itu, tidak begitu menggembirakan. Pencampuradukan antara puisi lirik dengan prosa dan esai membuat minat baca saya pada karyanya langsung lenyap. Katakanlah dengan puisi-esai yang mengkisahkan si gay itu, sangat populis dan mengejar pangsa pasar saja, selain bungkus kemanusiaan yang dicoba menjadi kemasan di sana. Kembali bicara soal legitimasi keaslian karya, Denny JA tidak melakukan hal baru pada tatanan subtansi dan cara penyampaian, baik dilihat dari sisi puisi, esai atau cerpen atau sebut apa sajalah semaunya pembaca. ia hanya mengolah bentuk dan aksen-aksen lainnya yang bisa disamakan dengan pernak-pernik saja. Selebihnya datar. Demikian. Salam. March 2 at 9:49pm • Muhammad Rois Rinaldi

Beri komentar terbaikmu pada setiap issu yang akan kami angkat pada edisi berikutnya di

http://www.facebook.com/majalahfrasa komentar terpilih akan dimuat di rubrik CORNER

Frasa

Edisi 10 Tahun I [Sabtu, 30 Maret 2013]


HAL

6

UTAMA

Mempersoalkan Legitimasi Puisi-Esai Oleh: Leon Agusta

Tak ada yang baru di bawah langit. Begitu sering kita dengar banyak orang mengatakan. Namun, selalu ada cara pandang yang baru tentang apa atau bagaimana adanya sesuatu di bawah langit. Selalu pula ada cara pendekatan baru terhadap sesuatu yang sudah berlalu—terhadap sesuatu—misalnya karya dari masa silam. Dari segala sesuatu yang ada sebagian elemen sudah dieksplorasi, tetapi ini tidak berarti bahwa tidak mungkin ada elemen lain yang dapat dieksplorasi. Setiap generasi baru dalam seni selalu melihat atau menyiasati apa yang sudah dilakukan oleh seniman generasi sebelumnya dengan cara pandang yang berbeda. Perbedaan konteks dan pengalaman akan melahirkan berbagai pertanyaan baru dengan fokus pada elemen-elemen tertentu. Semuanya ini mendorong mereka untuk melahirkan sesuatu yang baru di luar paradigma dan wacana lama. Hasilnya, adakalanya melahirkan paradigma baru yang pada gilirannya akan

Edisi 10 Tahun I [Sabtu, 30 Maret 2013]

menghasilkan karya yang baru pula. Dari eksplorasi semacam ini, lahirlah karya Denny JA, Atas Nama Cinta, yang disebutnya sebagai puisi-esai. Lalu, dari sebutan puisi-esai muncul pertanyaan: bagaimana mendefinisikan esai untuk membedakannya dengan puisi? Apakah perbedaannya terletak pada isi, bentuk, persepsi, atau perspektif? Kemudian muncul sebuah pertanyaan lagi: apakah puisi dapat berfungsi sebagai pemicu pemikiran rasional untuk menggerakkan lahirnya

Frasa


UTAMA sebuah puisi-esai? Jurnalisme dan statistik serta analisis mampu menghadirkan fakta atau kenyataan dari suatu situasi dan kondisi suatu kehidupan masyarakat di suatu waktu dan tempat tertentu. Hal ini tecermin pada bentuk tulisan yang didefinisikan sebagai esai. Adapun estetika memiliki potensi untuk mengungkapkan sensitivitas kemanusiaan, kedalaman perasaan, intuisi, dan imajinasi sehingga menghadirkan kesan mendalam terhadap pembaca bagaimana wajah nasib dan penderitaan manusia ke dalam rasionalitas melalui empati pada bentuk tulisan yang didefinisikan sebagai puisi. Jadi, apakah mungkin puisi-esai dapat mengantarkan pembaca pada penghayatan dengan warna perasaan yang kaya nuansa? Dalam konteks di atas, puisi esai Denny JA berakar pada realitas masyarakat berupa kejadian dan peristiwa dalam berbagai kategori analisis dengan fokus tunggal pada problematik diskriminasi di Indonesia. Sejak awal, bentuk, konteks, dan isi karya Denny JA adalah esai dalam format puisi. Bukan baru Sebenarnya, dalam sejarah sastra Indonesia, upaya mempertemukan atau menggabungkan bentuk-bentuk tulisan yang berbeda dalam satu karya bukan sesuatu yang baru. Dalam hal ini mungkin sebaiknya ada sedikit perbandingan dengan karya Rendra. �Si Burung Merak� ini menulis puisinya, seperti diakuinya sendiri, dalam bahasa pamflet. Ini dilakukannya untuk merespons kenyataan sosial politik pada waktu itu. Ungkapanungkapannya lugas, sama sekali tidak rumit. Begitu mendengar, maksudnya langsung bisa ditangkap. Pesan politiknya tampak lebih diutamakan ketimbang estetika puisi. Denny menggali sumber kekuatan estetik jauh lebih dalam pada buku puisi-esainya Atas Nama Cinta yang merupakan gugatan terhadap isu sosial dalam bingkai diskriminasi. Dalam konteks ini, kekuatan estetika dalam narasi akan merupakan jembatan emas untuk menyampaikan pengalaman emosional, sedangkan catatan kaki memperkuatnya dengan pengalaman intelektual. Dengan demikian, ditemukan satu titik temu untuk mencapai keseimbangan antara penghayatan dan pengertian. Dalam hal ini, pendekatan puisi-esai Denny, yang merupakan upaya menyatukan pengalaman emosional dan rasional dalam sebuah karya, mungkin bisa dikatakan lebih dekat dengan teknik penyair Toeti Heraty dalam Calon Arang (Yayasan Obor Indonesia Tahun 2000).

Frasa

HAL

7

Jurnalisme dan statistik serta analisis mampu menghadirkan fakta atau kenyataan dari suatu situasi dan kondisi suatu kehidupan masyarakat di suatu waktu dan tempat tertentu. Hal ini tecermin pada bentuk tulisan yang didefinisikan sebagai esai. Adapun estetika memiliki potensi untuk mengungkapkan sensitivitas kemanusiaan, kedalaman perasaan, intuisi, dan imajinasi sehingga menghadirkan kesan mendalam terhadap pembaca bagaimana wajah nasib dan penderitaan manusia ke dalam rasionalitas melalui empati pada bentuk tulisan yang didefinisikan sebagai puisi. Jadi, apakah mungkin puisi-esai dapat mengantarkan pembaca pada penghayatan dengan warna perasaan yang kaya nuansa?

Edisi 10 Tahun I [Sabtu, 30 Maret 2013]


HAL

8

UTAMA

Pemahaman tentang pendekatan dan alasan seorang penyair menulis puisi pamflet, puisi esai, prosa lirik, atau apa pun namanya, memang diperlukan. Pemahaman tentang keanekaragaman alasan para penyair dalam menulis puisi dapat membantu kita dalam upaya memahami keberagaman karya yang dihasilkan para penyair dari masa ke masa. Dengan ini, jika ada perbincangan, kita akan berada dalam jalur yang mengasyikkan. Konteks zamannya terjaga. Begitu pula dengan otentisitas masingmasing penyair.

Seperti yang ditulis oleh Seno Gumira Ajidarma dalam pengantar buku ini, yang disebut karya ”prosa lirik” oleh penulisnya sendiri, tak pelak lagi, ini adalah karya seorang pejuang feminisme. Di awal pengantarnya Seno menulis, ”…setidaknya terdapat dua jalan menuju buku ini. Jalan pertama adalah tradisi Calon Arang. Jalan kedua, tentu kedudukan perempuan dalam puisipuisi Toeti Heraty.” Jadi, prosa lirik Calon Arang karya Toeti Heraty dapat dimasuki melalui pintu dunia kepenyairan Toeti Heraty sendiri yang sikap dan pandangannya sudah diungkapkan, misalnya pada kumpulan puisi Sajak-Sajak 33 and Mimpi dan Pretensi. Dalam buku Calon Arang, Toeti Heraty tidak memakai catatan kaki dalam memunculkan unsur rasional untuk mengimbangi narasi emosional. Dia lebih memilih mengarahkan kesadaran pembaca melalui anak judul ”Kisah Perempuan Korban Patriarki” dan mendedikasikan karyanya kepada ”setiap perempuan yang meredam kemarahan”. Dengan demikian Toeti Heraty menerapkan bingkai yang kuat dan ketat untuk menjaga agar fokus pembacaan sesuai dengan teks. Dalam buku Atas Nama Cinta, Denny JA juga memberi petunjuk mengenai isi intelektualnya dengan anak judul ”Sebuah Puisi Esai: Isu Diskriminasi dalam Untaian Kisah Cinta yang Menggetarkan Hati”. Dengan demikian, isu sentral yang diajukan melalui lima kisah cinta pada buku ini disampaikan sekaligus dengan kriteria puisi esai. Pemahaman tentang pendekatan dan alasan seorang penyair menulis puisi pamflet, puisi esai, prosa lirik, atau apa pun namanya, memang diperlukan. Pemahaman tentang keanekaragaman alasan para penyair dalam menulis puisi dapat membantu kita dalam upaya memahami keberagaman karya yang dihasilkan para penyair dari masa ke masa. Dengan ini, jika ada perbincangan, kita akan berada dalam jalur yang mengasyikkan. Konteks zamannya terjaga. Begitu pula dengan otentisitas masing-masing penyair. Jika terjadi pencampuradukan dalam membandingkan, misalnya karena mengabaikan konteks zamannya atau otentisitas seorang penyair tak diindahkan, perbincangan takkan mengasyikkan lagi. Penamaan puisi-esai, menurut Denny JA, adalah karena kebutuhan ekspresi kisah-kisahnya. Wujudnya adalah puisi dengan cita rasa esai, esai tentang isu sosial yang diungkapkan secara puitis.

Cita Rasa

Untuk lebih mengesankan cita rasa esai, Den-

Edisi 10 Tahun I [Sabtu, 30 Maret 2013]

Frasa


UTAMA

HAL

9

ny JA juga secara sadar membutuhkan pencantu- nya. Di sinilah peranan puisi esai yang dilahirkan man catatan kaki, di antaranya ada yang sangat Denny JA. mengejutkan. Misalnya, catatan kaki (4) halaDalam konteks ini, tampaknya Maman S Mahayaman 164 mengenai ”Tafsir Baru atas Nikah Beda na (MSM) tidak terkesan dengan kehadiran puisi Agama” tentang pernikahan Nabi Muhammad esai Atas Nama Cinta. SAW dan beberapa sahabat dengan perempuan Kritik MSM dalam artikel ”Posisi Puisi, Posisi Esai” yang bukan panganut agama Islam (http//icrp- (Kompas, Minggu, 30 Desember 2012, halaman 20) online.org/o82008/post-17.htmi). Ada banyak ada satu pertanyaan menarik seputar perbincaninformasi ataupun pengetahuan berharga dari gan puisi esai Denny JA: ”Lalu bagaimana dengan catatan kaki yang dapat mengantarkan pembaca catatan Ignas Kleden, Sapardi Djoko Damono dan pada pemahaman lebih mendalam tentang puisi Sutardji Calzoum Bachri dalam antologi itu? Apakesai. Catatan kaki ini berperan bagaikan paru- ah itu sebagai stempel legitimasi tentang konsep paru bagi kisah-kisah yang disajikan sehingga puisi esai?” puisi esai hidup dan bernapas bukan hanya sebaPertanyaan ini langsung dijawabnya sendiri berupa tas lingkungan masyarakat sastra, melainkan kesimpulan dengan nada yang terkesan merendahmenerobos ke tengah masyarakat luas. kan: ”Catatan mereka adalah bentuk apresiasi yang Semua topik yang disajikan Atas Nama Cinta tentu saja berbeda dengan legitimasi”. jelas sekali lebih merupakan bahan baku untuk Penulis jadi bertanya-tanya: apakah kehadiran penulisan esai, yakni isu-isu sosial yang relevan puisi esai harus dilegitimasi? Apakah puisi esai dan aktual. Denny JA ingin menyajikannya dalam mengganggu dunia kelangenan para penyair yang format sebuah esai yang lazim untuk mengisi secara kultural harus memelihara tatanan, hierarki, otak. Dia juga memiliki dorongan kuat untuk ketertiban, dan kepatuhan? memanfaatkan estetika bahasa yang mampu Sekarang pertanyaan yang perlu ditambahkan membuat pembacanya masuk ke dunia nyata adalah: legitimasi dari siapa? Siapa sesungguhnya melalui penghayatan seni. yang berhak memberikan ”stempel legitimasi” terDengan demikian, Denny JA mempunyai pengal- hadap konsep puisi esai atau konsep puisi penyair aman dan pandangan yang khas terhadap kehidu- mana pun? Dari mana seseorang mendapatkan hak pan sosial, terutama sastra. Mungkin ia merasa ter- sedemikian? Apakah Denny JA memerlukan legitihina jika dikatakan menjadi sekadar peniru atau masi seperti yang dipahamkan MSM? Sejauh penseorang murid penurut genalan saya tentang terhadap fatwa-fatwa Semua topik yang disajikan Atas Nama cara berpikir dan sepak para guru. Penulis yakin, terjang Denny JA dalam Denny JA sama sekali Cinta jelas sekali lebih merupakan bahan dunia perpuisian yang baku untuk penulisan esai, yakni isu-isu dibangunnya, cara bertidak merasa terlalu penting untuk diband- sosial yang relevan dan aktual. Denny JA pikir, pertanyaan, dan ingkan kehadirannya ingin menyajikannya dalam format sebuah kesimpulan MSM seperdengan para penyair tertinya sudah jauh ketingesai yang lazim untuk mengisi otak. dahulu. galan zaman. Dia juga memiliki dorongan kuat untuk Dengan puisi esai Pertanyaan dan kesmemanfaatkan estetika bahasa yang yang disajikannya, impulan MSM itu memDenny JA sudah mem- mampu membuat pembacanya masuk ke buat penulis terkenang buka jendela baru bagi satu komentar dunia nyata melalui penghayatan seni. pada masyarakat sastra Indopenyair yang menetap nesia untuk melihat di Padang, Rusli Markenyataan sejarah peradaban dengan cara yang zuki Saria (75), dalam satu perbincangan santai di baru pula, kemudian mengungkapkannya dengan sela-sela Pertemuan Sastrawan Indonesia 2012 di pendekatan yang juga baru. Masalah kemanusiaan Makassar, akhir November lalu. Ia mensinyalir adandan ketidakadilan membelenggu masyarakat kita di ya ”budaya feodalisme yang menguasai dunia sasmana-mana. Kreativitas seni berupaya membebas- tra kita”. (www.publiksastra.net) kan belenggu itu dengan memberikan pencerahan kesadaran terhadap kompleksitas kondisi zamanLeon Agusta Penyair Tinggal di Jakarta

Frasa

Edisi 10 Tahun I [Sabtu, 30 Maret 2013]


HAL

10

SASTRA DUNIA

Teror-teror Paranoia (dari Cerpen Edgar Allan Poe) Oleh: Bayu Agustari Adha

N

AMA Edgar Allan Poe tentu tak asing lagi dalam peta kesusastraan dunia. Ia dikenal sebagai Master Horror Gothic yang membuat pembacanya masuk pada ruang gelap yang menyajikan ketegangan dan misteri. Di saat sastrawan seangkatannya sibuk menelurkan karya-karya berpesan moral seperti Charles Dickens dan Mark Twain, ia malah menghadirkan warna baru dengan teror-teror psikologis dalam cerpen-cerpennya. Dalam genre misteri sendiri ia juga membuat suatu hal otentik dengan menekankan pada kegilaan karakternya, beda dengan Agatha Christie yang lebih fokus pada usaha pemecahan misteri. Tabiat karakternya yang selalu menyimpan suatu kelainan psikologis membuat para pembaca takut dan sekaligus penasaran. Sehingga ketakutan itu sendirilah yang membuat kita ingin terus membalikkan setiap halaman ceritanya. Karya-karyanya yang terkenal seperti Tell-Tale Heart dan Black Cat adalah beberapa contoh yang menyajikan teror-teror paranoia. Teror yang selalu menghantui tokohnya sehingga membuatnya paranoid dan melakukan hal-hal di luar kewajaran. Meskipun terlihat terlalu sadis, namun ini merupakan suatu siklus psikologis yang bisa merasuk siapa saja. Cerpen di atas dan cerpen lainnya bisa dibaca pada Kisah-Kisah Tengah Malam terjemahan Maggie Tiojakin yang memuat 13 cerpen pilihan karya Edgar Allan Poe. Dalam cerpen Tell-Tale Heart (Terjemahan: Gema Jantung yang Tersiksa) memuat cerita seseorang yang sangat membenci tatapan mata seorang lelaki tua, padahal lelaki tua itu baik padanya dan begitu juga sebaliknya. Namun karena mata yang seperti mata burung bangkai itu sangat menjijkkan baginya, dia beren-

Edisi 10 Tahun I [Sabtu, 30 Maret 2013]

cana untuk membunuh laki-laki tua itu. Tujuh malam berturutturut ia mengintai mata lelaki tua itu, namun tak bisa melihatnya karena sedang tidur. Di malam kedelapan saat dia mengintai dengan sangat hati-hati, lelaki tua itu terbangun dan satu jam tak beranjak dari posisi duduknya di atas ranjang. Hingga akhirnya si aku berteriak dan menghantamnya ke lantai dan membalikkan ranjang hingga menimpa lelaki tua itu sampai mati. Ia lalu mencincang mayatnya dan menyembunyikannya di bawah lantai kayu. Keesokan harinya, polisi datang untuk bertanyatanya. Sementara waktu ia bisa menyembunyikan perbuatannya, namun lama kelamaan ia mendengar suara jantung lelaki tua itu dari bawah lantai. Keras dan semakin keras sehingga ia tak tahan lagi untuk mengakui pembunuhan dengan menunjukkan sendiri letak mayat yang membuatnya jijik itu. Dari sekuel di atas bisa dilihat bahwa konflik dimulai dari ketaksukaannya terhadap mata lelaki tua itu. Kebencian itu terus dipelihara sampai menimbulkan rencana pembunuhan. Dari aspek psikologi dapat ditarik bahwa elemen id naluriahnya terus memaksanya untuk terus memuaskan hasrat kebenciannya. Ia tidak berusaha memfilter apa yang diinginkan oleh idnya tersebut. Tidak adanya mekanisme menghambat laju napsu naluri kebinatangannya membuatnya semakin liar. Saat eksekusi pembunuhan akan dilakukan, ada jeda waktu satu jam untuk mengelola tindakan yang akan dilakukan. Namun tetap saja saat pengambilan keputusan dia menuruti perintah id untuk melancarkan rencana. Konflik tindakan ini akhirnya benar-benar dimenangkan oleh sang id. Bisikan untuk membunuh ini tentu datangnya dari

Frasa


SASTRA DUNIA ketidakinginan untuk kembali melihat sesosok mata yang menjijikkan itu. Setelah itu sepertinya dia menyerahkan segalanya kepada perintah id untuk memutilasi mayat lelaki tua itu. Gejolak pergolakan psikologis lainnya terjadi pada saat polisi datang keesokan harinya. Dalam menanggapi keberadaan polisi tersebut, si pembunuh berusaha untuk terus menyembunyikan. Di sini terlihat siklus psikologis yang masih dikuasai naluri alamaiah untuk menghindari sesuatu yang dianggap akan tidak menguntungkannya. Mekanisme pertahanan ini memang adalah sesuatu yang wajar mengingat elemen id dalam psikologi juga mendorong seseorang untuk tidak berada pada suatu keadaan yang akan merugikannya. Terlihat dia membuat alasan bahwa lelaki tua pergi liburan ke pedesaan. Alasan inilah yang menjadi senjata dalam upaya penghindaran tersebut. Si pembunuhpun mempersilahkan polisi untuk memasuki kamar lelaki tua itu. Pada saat berada dalam kamar tersebut bersama tiga polisi, di situlah muncul teror-teror paranoia yang selalu menghantuinya. Polisi tak terlalu menginterogasinya dan hanya berbincang dengan santai. Namun apa yang dialami oleh si pembunuh tidak demikian, meskipun dia tetap berusaha untuk santai bersahaja. Beberapa saat kemudian dia mendengar suara detak jantung dari balik lantai kayu yang makin lama makin keras. Di sinilah efek dari paranoia yang dijangkiti olehnya, karena di antara gejala paranoia adalah adanya halusinasi yang hanya dirasakan diri sendiri. Jelas sekali suara detak jantung itu sendiri merupakan suatu halusinasi darinya, dari efek rasa bersalahnya. Hingga akhirnya diapun mengakui, meskipun polisi tak berusaha sedikitpun untuk mencurigainya dan mengatakan, ‘’Dasar penjahat!’’ teriakku lantang, ‘’Tidak usah berpura-pura lagi! Aku mengakui perbuatanku! Bongkar lantai ini!-sini!-di sini!-aku bisa mendengar denyut jantungnya yang menjijikkan’’. Sementara itu dalam cerpen lainnya yakni The Black Cat (Terjemahan: Kucing Hitam) juga menceritakan hal dengan fenomena psikologis yang cukup mirip dengan cerpen di atas. Tokoh aku sendiri adalah seorang yang sangat mencintai binatang karena dia merasakan kenyamanan dengan binatang dikarenakan pergaulan sesama manusia yang tidak memuaskannya. Setelah beristripun dia akrab dengan binatang, yang favorit baginya adalah kucing hitam bernama Pluto. Seiring berjalannya waktu kondisi mentalnya mulai tidak stabil karena sering mabuk-mabukan. Akibatnya dia sempat melampiaskan kemarahannya pada istri dan binatang-binatangnya. Plutopun juga jadi sasaran setelah sekian lama dia mencoba menahan amarahnya. Sampai akhirnya Pluto diangkat dan dicekik lehernya kemudian dicongkel matanya serta digantungnya di pohon. Setelah membunuh kucing itu, rumahnya kebakaran namun ada satu dinding yang tidak terbakar dan menurutnya ada ukiran yang mirip Pluto. Setelah itu dia selalu dibayangi oleh sosok Pluto. Suatu saat di Bar dia melihat kucing mirip Pluto dan langsung mengambilnya. Diapun memperlakukan dengan penuh kasih sayang layaknya Pluto dulu. Namun lama kelamaan dia juga benci kucing itu sampai suatu saat dia ingin membunuh kucing itu dengan kapak. Malangnya istrinya menghalanginya sehingga diapun tak terkontrol sampai akhirnya Kapak tertancap di kepala istrinya. Diapun menyimpan mayat istrinya di dalam dinding yang kemudian dilapisinya lagi dengan bata sehingga tertutup dan berbentuk sama seperti dinding. Namun dia masih heran di mana Pluto berada. Polisipun datang untuk sekedar bertanya keberadaan istrinya, karena para tetangga juga telah melakukan pencarian. Dia bisa menyembunyikan pembunuhan ini sampai akhirnya dia mendengar tangisan dari lapisan dinding dan akhirnya mengakui perbuatannya. Kucing hitam mirip Pluto berada di atas mayat istrinya. Sekilas terlihat memang cerpen ini sama polanya dengan cerpen Tell-Tale Heart. Perbedaannya barangkali hanya dari latar belakang tokoh-tokohnya. Si narator dalam cerita ini sejak kecil

Frasa

HAL

11

memang telah mengalami kelainan psikologis. Dia kerap menjadi olok-olokkan temannya sehingga dia menemukan pelarian dengan bermain bersama binatang. Ini juga merupakan suatu gejala paranoia di mana kecendrungan untuk mengasingkan diri terjadi karena adanya anggapan dan kecurigaan takkan diterima oleh sosial. Rasa khawatir inilah yang terus menterornya sehingga menjadikan suatu pergaulan sosial dengan manusia untuk tidak menjadi pilihan. Kemudian berbeda dengan cerpen pertama yang memiliki sesuatu yang dibenci, dalam cerpen ini kebencian lahir dari adanya suatu kasih sayang. Si pembunuh yang telah lama mencintai binatang akhirnya menemukan antiklimaks di mana dia kemudian sangat membenci hal yang disayanginya. Pengaruh luar mungkin bisa dijadikan alasan di sini yakni pengaruh mental yang dirasuki alkohol. Jelas di sini dimendi Id telah menguasainya mengalahkan dimensi super ego yang memuat nilai-nilai mulia, di sini adalah kasih sayangnya pada binatang. Seperti diketahui, binatang lainnya telah menjadi pelampiasan kemarahannya, namun untuk sang kucing hitam Pluto dia masih menahannya hingga akhirnya meledak dengan kejadian dia mencongkel mata si Pluto. Pelampiasan kehendak Id yang bersifat destruktif terus menguasainya sampai akhirnya dia menggantungnya. Namun setelah rumahnya terbakar dan melihat ukiran Pluto di dinding yang tidak terbakar, teror rasa bersalah terus menghantuinya. Ukiran Pluto tersebut jelas merupakan suatu halusinasi dari dirinya. Ukiran ini akan terus membuatnya menjadi paranoid karena bayangan itu terus menghantuinya. Akibatnya, dia berusaha untuk mencari wadah penebus rasa bersalah. Kucing yang dikiranya mirip Pluto diambilnya dan diniatkan untuk merawatnya dengan kasih sayang. Akan tetapi sepertinya keakrabanlah yang menimbulkan kebencian karena lama-lama dia membenci juga kucing ini. Apalagi ditambah dengan adanya halusinasi tanda putih lingkaran di dada kucing itu yang dianggapnya sebagai tali gantungan Pluto. Kebiasaannya yang selalu memanjakan kehendak ingin menghancurkan membuatnya menyerah juga untuk ingin membunuh kucing ini, walaupun akhirnya yang terbunuh adalah istrinya. Istrinya yang disimpannya di balik dinding yang dibuatnya sendiri mungkin terasa janggal dan tidak logis. Namun apabila dianalogikan dengan binatang-binatang yang disiksanya, istri dan binatang merupakan dua korban yang sama. Di mana kebencian dilahirkan dari suatu keakraban dan kasih sayang. Tidak adanya rasa takut untuk membunuh istrinya adalah suatu perasaan superior yang dimilikinya karena istrinya memang tidak pernah sekalipun berlawanan dengannya. Teror-teror yang membuatnya menjadi paranoid jelas sekali saat polisi datang rumahnya. Meskipun dia mencoba santai, namun usaha-usaha menyembunyikan perbuatan itu tak begitu kebal. Perasaannya yang seakan-akan ada yang akan membahayakannya menjadi umpan balik yang membuatnya tidak stabil saat dia mengetuk dinding di mana istrinya di dalamnya dengan tongkat. Dia mengatakan ‘’Kalimatku dijawab seseorang dalam dinding-seperti tangisan, suara itu awalnya menyerupai isak tangis anak kecil, yang lama-lama membengkak menjadi teriakan binatang atau setan’’. Teror yang menghantuinya membuatnya khawatir dan ketakutan sehingga tanpa sadar dia telah memperlihatkan perbuatannya. Edgar Allan Poe sepertinya tak hanya menyumbang untuk sastra dan psikologi tapi sepertinya dia juga memberi metode interogasi untuk pelaku kejahatan. Faktanya kita lihat memang banyak pembunuhan yang terjadi akibat oleh orang terdekat. Walaupun hidup satu abad lebih di masa lalu, tapi tampaknya pemikirannya telah melampaui zamannya. (www. cabiklunik.blogspot.com) Bayu Agustari Adha, penulis sastra yang rajin menulis esai dan karya-karyanya dimuat diberbagai media, salah satunya Riau Pos.

Edisi 10 Tahun I [Sabtu, 30 Maret 2013]


HAL

12

SASTRA INDONESIA

Membaca Itu Wajib, Guru! Oleh: Sutejo

Jika kita percaya akan pepatah “buah jatuh tak jauh dari pohonnya”, maka anak-anak yang bagaimanakah yang kita impikan ke depan jika guru-guru dan orang tua kita tidak memiliki tradisi membaca? Apalagi dalam peribahasa yang lain diungkapkan, “guru kencing berdiri murid kencing berlari”. Jika dua peribahasa ini kita jadikan cermin, para guru tentunya akan menanggung malu dalam setiap langkah profesi, dalam hidup berhari, karena membaca bukanlah kebutuhan pokok sebagaimana kita membutuhkan makan untuk kesehatan fisik kita. Walhasil, guru yang tidak mau membaca bukanlah guru yang sehat secara keilmuan (bahkan psikologis). Kalau guru-guru yang berdiri di depan kelas bukanlah guru yang sehat secara keilmuan, anak-anak zaman yang akan terlahir pun bukanlah anak-anak yang sehat secara keilmuan pula. Untuk inilah, maka dipandang penting untuk membudayakan membaca di kalangan para guru. Persoalannya adalah bagaimana membudayakan membaca di kalangan guru? Tulisan berikut akan mengkaji bagaimana kiat teknis melahirkan guru-guru yang merasa berdosa jika tidak membaca. Pertama, perlunya penanaman kesadaran akan kebutuhan membaca bagi para guru. Jika dalam banyak kasus, guru sendiri sering terjebak dalam ketidaksadaran, maka langkah inilah yang paling penting (fungsional) untuk ditempuh. Tengoklah, kebiasaan guru yang menugaskan para siswa untuk

Edisi 10 Tahun I [Sabtu, 30 Maret 2013]

pentingnya menabung dalam menulis, tetapi dalam praksis guru terjebak (dalam ketidaksadaran) kebiasaan suka hutang. Ambil lain contoh, guru sering menugaskan siswa-siswinya menulis (entah itu cerpen, ilmiah, atau ilmiah populer), tetapi mereka sendiri tidak menulis. Untuk itu, menanamkan kesadaran –hemat penulis— seperti melukis di atas batu. Sebab, statemen ini tentu akan melahirkan berpuluh alibi guru untuk menolaknya, tanpa mencoba mengontruksi ulang mengapa kebiasaan ini terjadi.

Frasa


SASTRA INDONESIA Sementara itu, sebagaimana disinggung di awal tulisan, bahwa membaca merupakan makanan pokok guru yang akan menyehatkan, tentunya akan menuntun kesadaran guru untuk menjadikan membaca sebagai kebutuhan pokok dalam profesinya. Sebab, lazimnya para guru yang mendapatkan ilmu puluhan tahun sebelumnya kemudian diberikan dalam konteks kekinian, maka dapat diprediksikan apa yang disampaikannya akan aus dan out date. Salah satu upaya untuk meningkatkan kesehatan profesi guru mau tidak mau mengawali dengan kesadaran diri bahwa jika guru tidak membaca tidaklah sehat secara profesi. Dengan demikian maka akan muncul semacam “taubatan nasuha”, kapok mencit , untuk tidak mengulangi dosa profesi ini. Hematnya, memang, guru yang tidak mau membaca adalah sebagian dari “dosa besar” profesinya. Kedua, perlunya menjadikan membaca sebagai kewajiban profesi. Langkah kedua ini, erat kaitannya dengan langkah pertama. Artinya, jika kesadaran guru belum tersentuh maka kecil kemungkinan meletakkan membaca sebagai kewajiban tentunya akan dipandang sebagai guyonan yang tidak berdasar. Padahal, sebagaimana diisyaratkan oleh Al-Quran (Al‘Alaq), diksi bacalah diulang sampai dua kali. Pada kalimat pertama, kata bacalah kemudian diulang dalam kalimat selanjutnya, bahkan kemudian pada ayat keempat diikuti dengan “kata pena” (al-qalam). Dengan demikian, membaca dalam konteks surat Al-‘Alaq, sesungguhnya merupakan perintah –yang tidak perlu ditafsirkan secara rumit—karena perintah itu sudah konkret. Diksi perintah membaca (metaforik dari belajar), sesungguhnya, merupakan ruh perubahan dan penyadaran yang diinginkan Tuhan kepada umat manusia. Dan tentunya, menjadi wajib hukumnya para guru, karena mereka adalah penggembala ilmu. Mengapa Tuhan tidak memerintahkan belajarlah tetapi bacalah? Sebagai permenungan ada baiknya surat itu dikutipkan terjemahnya sebagai berikut. Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmulah yang Maha Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. Ajaibnya, surat ini merupakan surat yang pertama kali diturunkan Tuhan dalam konteks “magis” sampai-sampai Nabi Muhammad hampir pingsan. Ketiga, pentingnya menjadikan membaca sebagai rekreasi hati. Abu Nashr Al Mikali mengatakan, “Pada suatu hari kami membincangkan berbagai tempat rekreasi (paling indah), sedang Ibnu Duraid hadir bersama kami. Sebagian orang berkata, “Tempat yang paling indah adalah lembah yang berada di Damaskus.” Sementara, yang lain berkata, “Tempat yang paling elok adalah sungai Ubullah.” Yang lainnya berkata, “Sughdu Samarkand.” Yang lainnya berkata, “Lembah Bawwan.” Yang lainnya lagi, berkata, “Bunga Balakh (pohon).” Lalu Ibnu Duraid berkata, “Semua yang kalian sebutkan hanyalah tempat rekreasi indah bagi pandangan mata, namun mengapa kalian tidak memikirkan tempat-tempat rekreasi bagi hati?” Kami bertanya, “Apa tempat rekreasi bagi hati, wahai Ibnu Duraid?” Ia berkata, “Kitab ‘Uyunul Akhbar karya Al Qatabi, Az-Zuhroh karya Ibnu Abi Thahir. Kemudian, ia melantunkan beberapa bait syair: Kalau semua orang rekreasinya adalah biduanita

Frasa

HAL

13

Juga gelas yang dituankan dan ditenggak Maka hiburan dan rekreasi kami adalah Berdiskusi dan menelaah kitab. (Spiritual Writing, 2007:162) Ungkapan Ibnu Duraid tentang tempat rekreasi yang indah ini tentu sangat luar biasa. Bayangkanlah, andaikan para guru menjadikan kitab (buku) sebagai tempat rekreasi dalam kehidupannya maka dapat dibayangkan kualitasnya. Andaikan guru-guru kita, menjadikan buku isteri kedua yang harus “digauli” maka akan lahir orok pemikiran yang luar biasa untuk anak didiknya. Minimal, etos wisata hati akan memberikan ruang lapang sehingga anak akan memetik terang pandang. Tetapi, yang terjadi sebagian besar kita menganggap tempat rekreasi adalah fisik, tempat-tempat lahiriah yang hanya menjadi bersifat visual (mata). Tempat wisata secara fisik seperti laut dan gunung, pemandangan seindah apapun sifatnya hanyalah lahiriah. Kecuali, bagi penempuh ruh spiritual akan selalu mengaitkan dengan kebesaran Sang Alam ke dalam relung bersama kelembutan Sang Khaliq. Andaikan setiap bulan, misalnya, guru-guru kita membeli buku sebagai tempat wisata yang terdekat, maka dalam satu tahun kita telah memiliki 12 tempat wisata hati. Andaikan 10 tahun maka kita telah memiliki 120 tempat wisata hati. Dan, andaikan umur kita 65 tahun, dan mulai memikirkan buku sebagai tempat wisata di umur 20 tahun; maka minimal 5400 tempat wisata itu telah kita miliki. Andaikan kemudian, satu kabupaten saja, para guru yang melakukan wisata jenis ini 1000 orang saja, maka sudah ada 5.400.000 tempat wisata hati. Ini, akan menjadi kekayaan yang luar biasa bagi keluarga, anak-anak, dan masyarakat kita di masa depan. Fatalnya, masyarakat kita masih memandang hal ini dengan sebelah mata. Bahkan, para guru pun belum menjadikan tempat wisata hati yang utama dalam kehidupannya. Guru dan masyarakat kita masih suka mengoleksi sepeda motor baru, mobil baru, dan peralatan lainnya; yang sebenarnya hanyalah bentuk wisata fisik. Pesan, Ibnu Duraid ini, tentu menjadi sangat menyentuh jika kita kaitkan dengan konteks mutakhir. Sebab, bagaimanapun memang perubahan kehidupan berawal dari jenis wisata hati ini. Ilmu pengetahuan berkembang, kreativitas tergali, nyali berkompetesi terteruji; bukan kebiasaan saling memaki dan menghegemoni. Untuk inilah, maka di masyarakat kita penting untuk membudayakan wisata hati ini. Sehingga, akan menjadi sebuah impian kita menemukan masyarakat di mana pun memegang dan membaca buku: antri di bank membaca buku, menunggu di tempat parker membaca buku, bercengkerama di warung membaca buku, santai di alon-alon membaca buku, di ruangruang tamu rumah kita penuh buku; dan seterusnya. Sebuah masyarakat pembelajar yang akan berpijar di masa depan. Keempat, pentingnya mengawinkan membaca dengan menulis. Sebagaimana isyarat surat Al-‘Alaq, yang menyandingkannya membaca dengan pena, secara metaforik menuntun kita akan pentingnya kemampuan menulis sebagai sarana pembelajaran terpenting. Ingat ayat keempat: yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Pena (kalam, menulis), dengan sendirinya, akan meneguhkan proses dialogis dalam pembacaan sebelum terekspresikan dalam tulisan (di sinilah tentu makna mengajar yang ditasbihkan Tuhan itu). Bersambung........

Edisi 10 Tahun I [Sabtu, 30 Maret 2013]


HAL

14

SASTRA RELIGI

Kala Penyair Merindukan Rasul (bagian 1) Oleh: Iwan Kurniawan

S

AMBIL merapikan pecinya, penyair Taufik Ismail, 77, melangkah perlahan dari sudut kiri deretan kursi penonton menuju ke sebuah panggung. Wajahnya masih terlihat segar malam itu. Tubuhnya yang tua sudah sedikit membungkuk, tapi panggilan jiwa untuk bersajak seakan tak pernah lekang. Sesekali ia terbata-bata saat berbicara. Sesekali pula ia tersenyum ranum. Kala tampil membacakan sajak pada Kongres Internasional Nabi Muhammad SAW dalam Literatur Puisi Persia dan Melayu, di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pertengahan pekan ini, Taufik begitu menjiwai setiap lirik demi lirik. Malam itu, Taufik menyiapkan empat puisi untuk dibacakan. Keempat puisi itu ialah Janganlah Kiranya Ditutupkan Cahaya Quran, Rasulullah Menyuruh Kita, Mengenang Awal Sejarah Kita, dan Rindu Kami Padamu, Ya Rasul. ‘Pada malam kedua belas Rabiul Awwal bulanny-

Edisi 10 Tahun I [Sabtu, 30 Maret 2013]

Frasa


SASTRA RELIGI

HAL

15

aEmpat belas abad silam pada abad ke-12. Dalam Meski para penyair telah menulisnya, masanyalahirlah sang kebangkitan genre itu dalam kesastraan sastra Arab, hal tersebut bayi sangat utama Yang tampak dalam Qasida Islam bermula pada abad ke-12. Dalam telah ditunggu-tunggu al-Burda karya Syekh sastra Arab, hal tersebut tampak dalam oleh jagat semesta raya al-Busiri. Adapun dalam Qasida al-Burda karya Syekh al-Busiri. dan seisinya….’ sastra Persia tampak Adapun dalam sastra Persia tampak pada ‘Dua puluh tiga tahun pada sajak-sajak Syekh dilaksanakan Di Mekkah sajak-sajak Syekh Fariduddin Attar. Sampai Fariduddin Attar. Sampai dan Madinah sebagai pada abad ke-18, penulis mada’ih umumnya pada abad ke-18, penupermulaan Akhirnya ke lis mada’ih umumnya adalah kaum sufi. Tak mengherankan seluruh penjuru dunia adalah kaum sufi. Tak apabila genre ini digolongkan sebagai membawa perubahan….’ mengherankan apabila bagian dalam kesusastraan sufi. Taufik lantang membagenre ini digolongkan cakan karyanya itu bersebagai bagian dalam judul Rindu Kami Padamu, Ya Rasul. kesusastraan sufi. Gaya pembacaan sajak di atas panggung cukup “Politik memecah belah, tetapi budaya menyatusederhana. Dengan pakaian batik rapi, ia tampak kan. Pengaruh budaya Persia di Indonesia begitu santai. Itu menunjukkan Taufik adalah seorang kuat. Ini yang membuat persahabatan lewat budapenyair Angkatan 66 yang masih memiliki karisma ya begitu erat,” tutur Abdul Hadi saat mengomendalam dunia kesusastraan. tari acara tersebut. Selain Taufik, ada pula sederet penyair seperti Pembacaan puisi malam itu ditutup dengan Jamal D Rahman, Ahmadun Yosi Herfanda, Fatin penampilan Ahmadun. Ia begitu lantang membaHamama, dan Abdul Hadi WM. Ada pula penyair cakan sajaknya, Musang Berbulu Agama. Lirik yang asal Malaysia Mukhari Lubis dan Rabani dari Iran. ia baca terdengar jelas. “Lewat kongres ini, kita ingin mendekatkan ‘Jika musang berbulu domba Berbahaya bagi budaya antara Indonesia dan Iran lewat kesusas- anak ayam Yang tak tahu kapan akan diterkam Jika traan. Bangsa Persia pernah masuk ke Tanah Mel- musang berbulu agama Berbahaya bagi semua ayu dalam menyebarkan Islam,” ujar Taufik seusai anak bangsa Yang tak sadar tiap hari dimangsa pementasan. Karena si musang berpeci dan fasih mengucapkan Malam itu semua penyair membacakan puisi- ayat suci….’ puisi bernapaskan Islam dan pujian kepada Nabi Sebagai karya sastra, mada’ih juga ditulis para Muhammad SAW. Setiap sajak yang keluar serupa penyair nonmuslim, khususnya di India. Banyak doa-doa dan merindukan Sang Pencipta. penyair Hindu melahirkan mada’ih tanpa terlepas Fatin membacakan Maulid dengan penuh pen- dari pengaruh sastra sufi seperti penyair Rumi dan jiwaan. Suaranya terdengar lantang dan konsisten. Hafiz. ‘Dibiarkannya api kobarTak dihiraukannya kota Malam pembacaan puisi lintas bangsa terseterbakar Kakek yang agung Dengan takzim penuh but terasa sangat khusyuk. Para penyair mencoba damai Menanti saat-saat hadir Lahirnya cucu si bayi mengekspos kerinduan kepada Sang Khalik. Bahyatim’. kan, Ahmadun membacakan sajak lainnya, Tuhan, Aku Berlindung Padamu. Pujian “Tuhan aku berlindung padamu. Dari godaan Pembacaan puisi penyair Indonesia hingga Iran tuhan-tuhan baru. Yang bermunculan di sekelilmenunjukkan ada sebuah kesamaan. Para penyair mencoba mendekatkan diri lewat setiap helaan ingku…,” teriak Ahmadun seraya mengepal tangan kanannya. napas. Pembacaan sajak religius selama 2 jam lebih Bila dicermati, puisi pujian kepada Nabi Muhammemberikan sebuah arti kekhusyukan dalam mad di dalam sastra Arab disebut mada’ih al-nameneladani Nabi Muhammad. “Ini membuat saya bawiyah yang kemudian disebut mada’ih. Meski para penyair telah menulisnya, kebang- begitu dekat dengan teman-teman di sini,” pungkitan genre itu dalam kesastraan Islam bermula kas Rabani.(www.sastra-indonesia.com)

Frasa

Edisi 10 Tahun I [Sabtu, 30 Maret 2013]


HAL

16

KOMUNITAS

Komunitas Pondok Pena

SASTRAWAN SANTRI,

SANTRI SASTRAWAN Penulis: Dimas Indianto S

K

eberadaan sebuah komunitas sangat diperlukan dalam membangun sebuah komunikasi. Pun dengan komunitas sastra. Keberadaannya sangat mempengaruhi produktivitas sastra di sebuah tempat. Maka dari itu, dewasa ini banyak bermunculan komunitas-komunitas sastra. Di tempat kami, Kota Purwokerto, Jawa Tengah, sudah banyak komunitas sastra berdiri dan hampir semuanya aktif. Namun ada satu komunitas yang berbeda dari yang lain, yaitu komunitas sastra berlatar Pesantren. Pesantren sebagai sebuah lembaga pendidikan, memberikan banyak sumbangsih kepada Negara

baca puisi saat mengadakan acara pergantian tahun.

Edisi 10 Tahun I [Sabtu, 30 Maret 2013]

berupa pemikiran-pemikiran dan juga karya dalam bentuk tulisan, sebut saja Gus Dur, Gus Mus, Cak Nur, Cak Nun, Kuswaidi Syaifi’ie, Zainal Arifin Thoha, Acep Zamzam Noor, dan banyak lagi. Pada mulanya saya pribadi mengidamkan bahwa kelak ada penerus mereka, yaitu para santri yang bisa memberikan sumbangsih kepada Negara baik dalam bentuk pemikiran maupun tulisan. Untuk itulah, saya mendirikan sebuah komunitas sastra santri bernama “Pondok Pena�. Hal ini berangkat dari pembacaan saya terhadap ketertarikan rekan-rekan santri di pesantren Mahasiswa An Najah, Purwokerto. Dengan mendirikan komunitas, saya berharap minat santri terhadap sastra akan berkembang, bahkan akan mampu menggali potensi para santri. Awal berdiri, Oktober 2011 lalu. Komunitas ini beranggotakan 7 orang santri. Namun begitu, tidak membuat kami kecil hati. Hampir setiap malam minggu kami mengadakan acara kecil-kecilan, yaitu pertemuan rutin setelah kegiatan mengaji. Dari situ kami saling bertukar pikiran dan gagasan. Alhasil, kami merumuskan sebuah agenda rutin yakni Pengadilan Sastra, yaitu kegiatan mengadili atau menilai karya sastra milik anggota. Setiap malam minggu salah satu dari kami memfotokopi karya sebanyak anggota komunitas, lalu masing-masing menilai sesuai pengetahuan. Dari kegiatan seperti inilah kami bertukar informasi dan pengalaman. Waktu bergulir. Kami saling mensuport untuk terus

Frasa


KOMUNITAS

penganugerahan juara lomba menulis cerpen nasional berkarya. Akhirnya kami semua mempunyai karya, dan mulai dikirim ke media-media dan buku-buku antologi. Setahun berjalan, komunitas kami terlihat produktif, akhirnya anggota pun bertambah sekitar 20 santri. Pengadilan sastra menjadi ritual rutin komunitas kami. Buku-buku sudah banyak kami hasilkan, sekalipun itu hanya buku antologi. Saya yang memang lebih dulu menjamah media, terus memberikan motivasi kepada anggota komunitas. Tanpa saya duga sebelumnya, komunitas kami menelurkan penyair, cerpenis dan cerpenanak. Satu hal yang menarik dari komunitas ini adalah bahwa latarbelakang pesantren menjadi sebuah ruh yang tidak bisa dihindarkan dalam karya-karya kami. Barangkali karena keseharian kami selalu dihabiskan di lingkungan Pesantren. Beberapa nama akhirnya muncul di Koran-koran lokal. Bahkan salah satu anggota kami, yaitu Aulia Nur Inayah, pada bulan Agustus puisinya dimuat Majalah Horison. Tanpa diduga sebelumnya, ketelatenan anggota yang notabene seorang santri

pondok pena memaikan drama mengangkat cerpen karya salah satu anggota

Frasa

HAL

17

pesantren, dapat membuahkan hasil yang maksimal. Dan dua orang lagi yaitu Aries Ermawati dan Rizki A. Abdullah menjadi juara II dan III lomba penulisan Cerpen Bertemakan Pesantren berskala Nasional. Selain itu, kami telah menyelenggarakan lomba penulisan cerpen tingkat Nasional dan baca puisi tingkat Nasional. Dan ini akan menjadi acara rutinan setiap tahun. Rencana kedepan, komunitas Pondok Pena akan membuat bulletin sastra santri pertama di kota Purwokerto. Semoga dengan itu dapat dijadikan sarana para santri pada khususnya untuk menyalurkan bakat kepenulisannya, dan member warna kesusasteraan Indonesia mendatang. Pondok Pena kini bukan sekedar komunitas sastra, kami juga telah mendirikan penerbitan sendiri yang diberi nama “PesMa An Najah Press” yang telah menerbitkan sedikitnya tiga buah judul buku, yaitu Pilarisme (Antologi Puisi 15 Penyair Purwokerto, 2012), Nadhom Cinta (Antologi puisi tunggal karya Dimas Indianto S., 2012) dan Sepucuk Surat Untuk Tuhan (antologi cerpen Nasional, 2012). Semoga apa yang telah komunitas kami lakukan, mampu memberikan sumbangsih signifikan dalam bentuk karya sastra, dan memacu pesantren-pesantren lain untuk mengembangkan dunia sastra, sehingga kesusasteraan Indonesia akan semakin berwarna. Wallaohua’lam. Dimas Indianto S. menulispuisi, cerpen, danesaiy. Karya-karyanya banyak dibukukan dalam buku antologi puisi, cerpen dan juga esaiy berskala Nasional. Juga dimuat di Koran-koran, majalah, bulletin dan jurnal sastra. Dia menjabat sebagai Lurah Pesantren Mahasiswa An Najah Purwokerto, Jawa Tengah. Buku kumpulan puisinya bertajuk “NadhomCinta”. Dan sedang menyiapkan sebuah Novel pertamanya.

silaturahmi ke tempat tinggal anggota

Edisi 10 Tahun I [Sabtu, 30 Maret 2013]


HAL

18

CERPEN: Cikie Wahab

Tentang Umar dan Akasia Edisi 10 Tahun I [Sabtu, 30 Maret 2013]

Frasa


CERPEN

HAL

19

“Tapi, Mak kan tahu pohon ini hanya pohon biasa. Jangan berlebihan menyayangi akasia ini, Mak. Tumbang begitu hanya akan jadi sampah. Kita bisa menanam bunga yang lebih kecil.” “Anak-anak akasia akan tumbuh. Kau tidak tahu apa-apa. Kau pergilah!” “Mak agungkan pohon celaka ini? Percuma mak sembahyang tiap waktu. Akasia keparat!!” Pohon akasia di depan rumah Mak Irat masih berdiri kokoh ketika sore sebelumnya Umar tiba di sana. Saat ia turun dari becak dan melihat pohon akasia dengan takjub. Umar sudah membayangkan sesuatu di kepalanya, ia akan membangun ruko atau sebuah tempat yang menghasilkan pundi-pundi uang. Sementara Mak Irat terus melayangkan pandangan tajamnya kepadanya. Umar tahu ia tak bisa berbuat apa-apa jika Mak Irat tak memberikan izinnya. Umar menarik napas dan mengangkut tasnya ke beranda rumah, menyalami Mak Irat yang masih tampak kaku membalas senyuman Umar. Umar mengikuti pandangan Mak Irat ke halaman yang ia lewati tadi. Tidak ada yang aneh selain sebuah pohon akasia besar tumbuh di tengah-tengah perkarangan, seolah-olah tak ingin berbagi ruang dengan tanaman lainnya. Pohon yang rimbun dan membuat Umar geram melihatnya. Umar segera masuk ke dalam rumah dan membiarkan Mak Irat bertanyatanya perihal kepulangannya. Pohon akasia itu memang kokoh hingga keesokan paginya, Namun hujan datang sejak tengah malam dan tidak juga berhenti di sertai angin kencang. Saat Umar menyelesaikan sholat subuhnya dan membuka pintu rumah, ia melihat Akasia tumbang ke tanah. Ia berteriak girang. Sebagian akar akasia menyembul keluar dan sebahagian lagi tertancap ke dalam tanah. Mak Irat berdiri di belakang Umar dan melihat akasia kesayangannya tumbang begitu saja. ”Astaghfirullah! Umar!! Kau apakan pohon itu?!” Mak Irat segera melipat kain sarung di pinggangnya dan turun ke perkarangan. Matahari belum sepenuhnya muncul dan suara Mak Irat seperti terompet di pagi buta itu. “Bukan aku, Mak. Hujan semalam. Pasti karena sambaran

Frasa

Edisi 10 Tahun I [Sabtu, 30 Maret 2013]


HAL

20

CERPEN

petir. Mana mungkin Umar sanggup menumbangkan pohon besar seperti itu. Gusti Allah yang sanggup melakukan itu.” “Ya Tuhan. Kualat kau Umar!” “Astraghfirullah, Mak. Itu Cuma sebatang pohon. Mak berlebihan!” Umar kesal dan masuk kembali ke dalam kamar, tanpa peduli Mak Irat tengah mengomel dan berduka atas tumbangnya pohon akasia. *** Mak Irat sudah mengambil ancang-ancang untuk mengusir orang-orang yang hendak menebang pohon akasia itu. Agar bisa dipindahkan, Umar meminta pemuda setempat bergotong royong. Namun, pagi itu Mak Irat berdiri menantang siapa saja yang akan menyentuh akasia. Langkah orang-orang yang membawa parang dan kapak surut seketika. Mak Irat sangat marah. Matanya merah dan suaranya parau seketika. Anak-anak yang berkerumun dipaksa pulang oleh orang tua mereka. Umar mencoba mendekati Mak Irat dengan tenang. “Kalau sudah tumbang begini, bagusnya di potong saja, Mak.” “Kau tidak punya hak menyuruh mak! Kau mau merusak tanaman di sini? Balik saja kau ke kota. Tak ada guna kau jadi anak.” “Tapi, Mak kan tahu pohon ini hanya pohon biasa. Jangan berlebihan menyayangi akasia ini, Mak. Tumbang begitu hanya akan jadi sampah. Kita bisa menanam bunga yang lebih kecil.” “Anak-anak akasia akan tumbuh. Kau tidak tahu apa-apa. Kau pergilah!” “Mak agungkan pohon celaka ini? Percuma mak sembahyang tiap waktu. Akasia keparat!!” Mak Irat marah. Ia terjatuh dan matanya berkacakaca seketika. Orang-orang tadi sudah bubar. Tinggal Umar dan Mak Irat di antara pohon akasia yang tumbang. Mak Irat sesenggukan. Umar menengadah ke langit. Mendung pagi itu mengelantung dan udara jadi lembab. Umar meraih tangan Mak Irat. Tapi Mak Irat bertahan dan membuka suaranya. IRAT kecil berlari menemui ayahnya di halaman

Edisi 10 Tahun I [Sabtu, 30 Maret 2013]

Frasa


CERPEN rumah. Rumah yang sama hingga puluhan tahun lamanya. Rumah itu tidak mengalami perubahan berarti selain tanaman yang terus tumbuh. Ayah turun dari becak dan menunjukkan bibit akasia setinggi kepala Irat kepada Ibu. Irat girang, melonjaklonjak dan masuk ke dalam perpustakaan ayahnya. Ia ambil buku tanaman dari salah satu sudut lemari. Sekembalinya ia dari dalam rumah, Ayah sudah mengambil cangkul dan Ibu yang menentukan di mana akasia harus ditanam. “Kita akan menumbuhkan akasia ini bersama.” Ujar Ibu. “Akasia? Seperti saudara kita, Bu?” “Ya. Seperti saudara kita.” Lalu Irat kerap bermain di halaman dengan boneka kesayangannya, belajar dengan rimbunan harum akasia. Juga akhir pekan bersama Ayah dan Ibu tercinta. Tidak terasa beberapa tahun akasia itu terus tumbuh dan membesar. Irat sudah menamatkan sekolah dasar. Irat ingin menunjukkan hasil laporan sekolahnya sebagai kejutan. Ia sudah memesan makanan dan membuat tanda di akasia dengan pisau milik ibunya. Namun cuaca gelap datang. Hujan tidak henti dan petir menggelegar. Seluruh warga di kampung panik mencari perlindungan. Banjir besar datang sebelum Irat menyelesaikan kejutannya, menyapu apa saja yang ada di depan mata. Irat tersangkut di akasia beberapa jam lamanya. Irat berhasil di selamatkan penduduk lain. Akasia tetap berdiri kokoh. Namun Irat telah kehilangan Ayah dan Ibunya. Mak Irat memejamkan mata lama sekali. Napasnya memburu dan tangannya terus meraba tulisan yang ia gores di batang pohon bertahun-tahun yang lalu. “Akasia ini menyelamatkan Mak. Akasia ini juga yang menemani emak selama Bapak kau pergi.” Umar mengusap matanya. Berbicara tentang Bapak memang membuatnya tidak berdaya. Ia tahu jika tidak ada Mak, maka ia tidak akan hidup seperti sekarang. Umar hanya benci pada akasia, Umar tidak membenci Bapak atau Maknya. Dirangkulnya tubuh tua itu dan mengangkatnya ke beranda rumah. Umar tidak ingin bicara lagi. Ia hanya ingin memeluk Mak Irat. Umar terus berdiam diri dan tidak mempersoalkan lagi tentang akasia yang tumbang di halaman rumah. Umar kini menjadi anak yang penurut. Ia ingin Mak Irat ikut dengannya ke kota. Menemui istri dan anak-anaknya. Mak Irat terus menolak tapi Umar terus berusaha meyakinkan bahwa Umar

Frasa

HAL

21

tidak akan meninggalkan ia lagi dengan akasia manapun. Hidup dengan manusia berbeda dengan benda yang tidak bisa bicara. Umar tak akan meninggalkan Mak Irat seperti bertahun-tahun yang lalu. Umar akan melakukan segalanya buat Mak Irat. Umar merasa akasia telah merebut perhatian maknya. Mak Irat terus memandangi rumah dan akasia yang masih roboh saat mobil jemputan datang. Umar menyuruh seseorang untuk menjaga rumah tersebut agar Mak Irat tenang. Mak Irat yakin anakanak akasia akan tumbuh dan terus memberi kehidupan baru, sama seperti manusia yang terus lahir dari rahimnya. Seiring waktu, Mak Irat bertambah tua dan peristiwa di kota mengaburkan ingatannya tentang akasia. Cucu-cucunya juga sudah dewasa. Cucu laki-lakinya baru saja pulang dari tamasya. Ia mendengar tawa anak cucunya yang tengah bercerita tentang tanaman yang berbunga juga tentang foto-foto yang cucunya bawa. Umar memberi kejutan sebuah kursi goyang kepada Mak Irat. Tapi Mak Irat malah menanyakan akasia padanya. Umar terdiam, istri dan kedua anaknya juga terdiam. Kursi goyang itu bergerak pelan. Mata Mak Irat berbinar haru. Ia meraba goresan yang masih ada di kayu. Goresan nama Ibu dan Ayahnya. Umar pucat pasi dan memeluk Mak Irat segera. “Rumah itu sudah roboh setahun lalu. Banjir sudah meratakan tempat itu. Hanya batang akasia itu yang bisa di selamatkan.” Cepat umar menjelaskan sebelum Mak Irat menanyakannya lebih dahulu. Mak Irat menangis. Ada raut kekecewaan di wajah Mak Irat. Ia terus mendekap kursi itu dan duduk di atasnya. Kursi itu bergerak-gerak dan terus saja bergerak. Hingga Umar sadar Mak Irat sudah menemukan ujung waktunya di dunia. Umar merasa sangat bersalah, karena ia begitu bencinya pada akasia. Ia membakar kursi goyang itu dan menanam berpuluh-puluh bibit akasia baru. Ia menyebarkannya ke semua tempat. Umar kini melihat Mak Irat dimana-mana. Mak Irat tidak mati dalam hidupnya. Akasia-akasia itu terus menemani ia dan Umar terus menumbuhkannya. Kini akasia memenuhi segala ruang dalam rumahnya dan dalam pikirannya. Semakin ia membenci akasia semakin ia menumbuhkan pohon itu satu persatu.(*) Cikie Wahab. Penulis dan Komikus

Edisi 10 Tahun I [Sabtu, 30 Maret 2013]


HAL

22

PUISI Muhammad Musyaffa

Baturaden

yang berserak di licin tubuh

di dadamu gununggunung berduka angin membelah sundal serungkud kenang yang terkulai dari kusut rambut

nafasku sengal di buru waktu mengental melukis musim di wajahmu

kau bicara tentang cuaca yang butiranbutiran kata membuncah di bulat rekah putingmu sementara aku memungutinya dengan penuh istiqomah matamu menerbitkan senja yang warnanya pudar dibawa sekelompok kuntul diseberang sana ku temukan hanya perahuperahu usang melayari tubuhmu, terjebak di pusara bendungan menanti pelayaran demi pelayaran

senja di sirep malam tubuhku dan kau menguap jadi rajam Sokaraja, Oktober 2012

Ikhwal Pohon ada mata yang bisa menerjemahkan semesta raya, adalah hati yang menyunggi bibit biji menasbihkan doa bumi sebelum dibuahi ada tanah yang rindu persetubuhan yang akan mengandung hijau warna langit dan bumi

tapi tidak dengan ikanikan yang mabok di jernih air matamu

ada yang mengamini dalam gerimis airmata Sokaraja, November 2012 saat doamu menerbangkan puisi

Pengasinan laut meluruh dalam deru batin pesisir hanya angin yang menggerai rambutmu, bergulung biru ombak jakunku berlayar di situ jerit burung camar melempar sunyi ke gubug asam di dadamu pengasinan yang ombak merangkak, punguti kenangan

Edisi 10 Tahun I [Sabtu, 30 Maret 2013]

Sokaraja, Desember 2012 Muhammad Musyaffa, lahir di Banyumas, 18 November 1992. Mahasisiwa Universitas Muhammadiyah Purwokerto (UMP), Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI) semester lima. Bergiat di Komunitas Penyair Institute (KPI) dan Diskusi Angkringan Malam Senin. Tulisannya dipublikasikan pada beberapa media masa seperti Majalah Mayara, Satelit Post dan Minggu Pagi. Alamat rumah di jalan Turmudi Rt 03/01 kec. Sokaraja, kab. Banyumas dengan kode post 53181. RHP 085747770187. Email: m.musyaffa@rocketmail.com

Frasa


Ribut Achwandi PUISI

HAL

23

PERAHU

[seorang kawan bertanya alamat negeri ini] pada suatu senja pekat oleh jelaga dihias kilatan halilintar di seberang tengah samudra perahu nelayan bergegas pulang dihadang badai tak ingin mati sia-sia meski kepergian mereka adalah ikhtiar tetapi ombak menebing menjurang curam menghantam limbunglah perahu terseret menyeok oleng tak terkendali koyaklah kayu perahu patahlah kemudi pecahlah kompas terlemparlah jangkar dari jauh kerlip cahaya mercusuar redup dihalau hujan yang berkelebatan meremang kabur pandang mata perahu tanpa kenal daratan pun karang-karang terjal mereka hanya merapal doa-doa keselamatan sambil memegang kain bendera merah dan putih warnanya tetapi sulit mengenali lagi daratan mana tempat bendera tertancap dan dikibarkan perahu itu semakin menjauh di tengah samudra digulung ombak, berputar dalam kumparan badai betempur melawan nasib, memasrah kemana ia bawa pada jaring-jaring ikhtiar mereka berharap agar tak pecahlah perahu tempat mereka mengais nasi kini entah kabar apa yang tersiar perahu itu tak pernah kembali wujudnya hanya terkabar menjadi legenda senyap dalam balutan luka dan tangis yang menanti yang tak kembali yang tak hilang tetapi tak jua dapat diperjelaskan [kawanku kini tak lagi bertanya alamat negeri ini semua terjawab dengan ketiadaan jawaban] Pekalongan, 9 Januari 2013

NEGERI LUMPUR matahari berjingkat di atas istana negeri lumpur udara memekat terpikat lendut berjelaga hitam nyaris tiada celah pun pori-pori ya, negeriku negeri lumpur tak tembus cahaya, kedap suara Pekalongan, 01/02/2013

Frasa

TONGKAT PERAHU di atas panggung itu ia kehilangan tongkat yang diwariskan Musa di atas panggung itu ia hanyut dan ditenggelamkan oleh riuh tepukan sebab perahu Nuh telah lama menghilang ditelan gerak zaman ia kini, berdiri sebagai apa yang ia namai kebimbangan dan ketaksadaran Pekalongan, 30/01/2013

 

MANUSIA PAGI kita adalah manusia pagi yang membangun mimpi di bawah bayangan dan jejak kaki bekerja sampai sore hari bekal nanti kala bermimpi tentang esok pagi kita adalah manusia pagi memugar mimpi di siang hari berangkat menanjak senja hari menikmati istana mimpi di malam hari kita adalah manusia pagi yang tak boleh lupa tentang senja dan malam hari Pekalongan, 6/01/2013 Ribut Achwandi, nama penanya Riboet Gondrong, bekerja sebagai ‘tukang kebun’ di sebuah kampus kota kelahirannya Pekalongan. Bergiat sebagai penyuka semua jenis karya sastra.

Edisi 10 Tahun I [Sabtu, 30 Maret 2013]


HAL

24

eduSASTRA

Memaknai Keunikan

Budaya dalam Sastra

S

Oleh: Raudal Tanjung Banua

ASTRA adalah dunia yang unik. ‘’Dunia jungkir balik,’’ kata Budi Darma. Justru keunikan itulah yang menjadi pertaruhan seorang sastrawan, tak mesti dalam bentuk, tapi lebih-lebih pada persfektif. Cara pandang pengarang yang unik akan sangat menentukan dunia yang dibangunnya, meskipun secara bentuk (struktur) biasa saja. Cerpen dan novel Kuntowijoyo bisa sebagai pintu masuk apa yang saya maksud. Secara bentuk karya Kuntowijoyo boleh dikatakan konvensional, namun prilaku dan pandangan tokohtokohnya berhasil mengusung sisi budaya (Jawa) yang inkonvensional. Yaitu, sisi budaya yang tidak gampang dimaknai, sebab meskipun terlihat sederhana, ia sesungguhnya sangat kompleks. Lihat misalnya cerpen ‘’Anjing-anjing Menyerbu Kuburan’’ (1996). Kuntowijoyo menceritakan seorang laki-laki mencari pesugihan dengan menggali kuburan orang yang meninggal pada Selasa Kliwon. Dia harus mengambil sepasang telinga mayat itu. Sekilas, kita akan menganggap tokoh itu abnormal. Namun sebenarnya kepercayaan itu bukan milik ia seorang. Sebab nyatanya kuburan orang yang meninggal pada hari Anggara Kasih itu dijaga petugas kampung selama tujuh hari tujuh malam. Jadi kepercayaan semacam itu bersifat kolektif (ah, bagaimanakah memvonis kepercayaan kolektif sebagai irasional?). Singkat cerita, laki-laki itu harus mengelabui warga yang bertugas menjaga kuburan, tentu, dengan memenuhi semua syarat yang diminta sang guru. Ia harus menaburkan beras kuning supaya penjaga tertidur. Menggali kuburan harus dengan tangan telanjang (tak boleh pakai alat bantu). Lalu mengambil telinga mayat langsung memakai mulut (tak boleh pakai tangan). Meski lagi-lagi terdengar irasional, toh ketika syarat itu dipenuhi ternyata efeknya memang berhasil meninabobokkan para penjaga makam (Bagaimanakah cara menolak hubungan syarat dan efek yang ditimbulkannya?). Di luar dugaan, anjing-anjing yang tak diketahui asalnya datang menyerbu kuburan sehingga laki-laki itu kelimpungan sampai tak terasa fajar telah datang. Ia pingsan diserbu anjing-anjing, bersamaan dengan terbangunnya para penjaga makam. Sebagian penjaga makam itu menuding, ‘Pencuri!’ Yang lain membela, ‘Penyelamat!’ Sampai di sini, cerita bercabang dua, bahkan berca-

Edisi 10 Tahun I [Sabtu, 30 Maret 2013]

bang banyak; tidak hitam tidak putih. Jangankan kita sebagai pembaca, bahkan para pelaku cerita pun tak dapat memutuskan apa yang sebenarnya terjadi. Masing pihak punya pendapat dan anggapannya sendiri. Begitu pulalah pembaca, jelas tak mudah menjatuhkan vonis benarkah dia penyelamat ataukah pecundang. Inilah contoh sederhana bagaimana keunikan dalam sastra tidak bisa dimaknai secara hitam-putih. Meskipun karya yang diresepsi bukan karya yang eksprimental dalam bentuk, namun berkat persfektif yang unik, terjadi penajaman tema sehingga ia menghadirkan dunia yang tak biasa.

Keunikan Budaya Etnik

Tentu tidak kalah banyak pula hasil sastra Indonesia yang tajam dalam persfektif sekaligus unik dalam bentuk. Cerpen-cerpen Danarto dalam Godlob (1976) dan Adam Marifat (1982) misalnya, sama-sama berangkat dari budaya Jawa, dalam hal ini dunia Kejawen. Sambil mengeksplorasi ‘keajaiban’ atau mungkin ‘kegaiban’ dunia Kejawen, Danarto sekaligus memanfaatkan ‘keajaiban’ dan ‘kegaiban’ itu sebagai kendaraan cerita sehingga menghasilkan bahasa serta kalimat-kalimat mistis yang mengalir, bebas mengembara serupa angin, jumpalitan serupa roh-roh halus bahkan malaikat yang turun ke bumi. Tentu memaknainya jauh lebih sulit, setidaknya tak semudah menuding ‘’bahasanya kacau, ceritanya tak masuk akal’’ jika tak mau dianggap serampangan. Jelas pula, keunikan dalam sastra tak hanya dibentuk oleh keunikan budaya lokal (etnik) tertentu, dia bisa juga berupa dunia modern (urban, metropolis, diaspora) sebagaimana dapat ditemukan dalam cerpen/novel Putu Wijaya, Iwan Simatupang atau Budi Darma. Akan tetapi, disadari atau tidak, keunikan budaya Nusantara (budaya etnik) menjadi salah satu pilar yang banyak menyumbang keunikan dunia sastra modern Indonesia. Keunikan tersebut tak hanya menyangkut situasi fisik dan ritual tapi juga pandangan hidup, sistem sosial, bahkan dunia batin pemilik kebudayaan itu. Lebih dari sekedar memperkaya diskursus lokalitas, keunikan budaya mesti dipandang sebagai sumur inspirasi sastrawan tanah air sekaligus sumber spirit kehadiran nilai-nilai alternatif di tengah dominannya standar nilai yang baku. Sebutlah dunia ronggeng dalam novel Ahmad Tohari, Ronggeng Dukuh Paruk (1981). Dunia ronggeng dihad-

Frasa


eduSASTRA irkan tak sekedar yang tampak, alih-alih eksotis, tapi tak kalah penting dunia batin dan nilai yang diusung para pelakunya. Jauh sebelum dilayarlebarkan menjadi Sang Penari, tokoh Srintil telah menjadi simbol dunia peronggeng-an yang tak hanya menggoyang Rasus dan masyarakat Dukuh Paruk. Ia bahkan menggoyang pikiran masyarakat umum (di luar teks) yang mempertanyakan kejumudan tradisi serta kepatutan nilai-nilai. Patutkah seorang perempuan desa ‘dikorbankan’ dalam ritual dengan hasrat libido massal? Apakah artinya tradisi jika penari mesti ‘dipersembahkan’ kepada lelaki yang memiliki uang? Dan tradisi itu dibiarkan bahkan dipelihara oleh komunitas masyarakat bersangkutan! Gugatan-gugatan normatif yang berseliweran di luar teks tentu saja dengan sendirinya ikut berada di luar ‘tanggung jawab’ sebuah teks. Sebab ketahuilah, sastra, dalam hal ini Ronggeng Dukuh Paruk tidak mendedahkan risalah moral, dan jika pun ada (dan seharusnya memang ada), tidaklah dengan cara yang verbal. Sastra melihat dunia ronggeng sebaik para pelaku budaya ronggeng menjaga tradisinya. Mereka misalnya percaya bahwa ronggeng adalah simbol kesuburan. Menjadi ronggeng tak semudah mengencingi umbi singkong sebagaimana dilakukan Rasus dan kawan-kawannya supaya mudah dibongkar. Bahwa menjadi ronggeng mesti memenuhi ‘’isyarat langit, isyarat bumi’’, dan seorang ronggeng adalah ia yang ‘terpilih’. Oleh karena itu, ritual eksotik yang membakar suasana malam seisi desa adalah sah. Bahkan ‘’upacara buka kelambu’’ bukanlah sesuatu yang tabu, alih-alih kehormatan. Maka, sebagaimana ronggeng punya ‘pakem’-nya sendiri, sastra pun mesti percaya pada kekuatan ‘pakem’nya yang dikenal sebagai konvensiunsur-unsur intrinsik/ ekstrinsik yang melekat pada dirinya itu. Salah satu yang terpenting adalah perspektif, sudut pandang, dari mana nilai-nilai ‘kebenaran’ bukan dalam takaran hitam atau putih. Kebenaran moral sastra berada dalam tataran interpretasi yang memantik perdebatan, diskusi, opini, atau apa pun yang mencerdaskan.

Dunia Warok

HAL

25

dengan perempuan. Konon, lelaki yang diturunkan dari Klonosewandono, pendiri Kerajaan Bentar Angin yang kelak dikenal sebagai Wengker itu pada mulanya dihasratkan untuk menjaga kesucian dirinya sebagai calon raja. Dalam prakteknya kemudian, pantangan itu memunculkan gemblak sebagai bocah laki-laki piaraan warok. Gemblak menjadi ‘kawan intim’ sang warok. Demikianlah cerita tentang warok dan gemblak kemudian mengisi hampir separoh halaman novel ini. Lewat tokoh ‘aku’ (Hargo) kita bisa mengikuti dengan jelas dunia warok dan per-gemblak-an. Tak lain karena Hargo seorang bocah yang dijadikan gemblak oleh warok paling terkenal di wilayah bekas kerajaan Wengker: Eyang Tejowulan. Meskipun sang Eyang punya istri, Nyi Tejo atau Eyang Putri, dan Hargo pun punya orang tua. Ini menunjukkan bahwa dunia gemblak memiliki kultur sendiri yang ‘sah’ karena semua berlangsung ‘sepengetahuan’ ayah, ibu, istri dan anggota masyarakat semua. Bahkan tidak jarang prosesi lamaran seorang gemblak dilaksanakan secara besar-besaran. Tentu saja ‘bayaran’ yang diperoleh secara sosial bukan hanya benda-benda pinangan itu, namun juga kehormatan dan lebih jauh pengetahuan dan ‘kesaktian’ warok yang biasanya diwariskan kepada si gemblak. Itulah sebabnya, sejarah dan mitologi, seni beladiri dan keterampilan menabuh jadi pelajaran setiap malam. Ia pun mengenal tokohtokoh Ki Ageng Mirah, Ki Ageng Kutu, Raden Patah, bahkan Soekarno. Meski prosesi ‘pinangan’ itu kadang berjalan tidak dalam keadaan ‘normal’: jika orang tua menolak lamaran warok, akibatnya bisa fatal. Termasuk istri warok yang memiliki nestapanya sendiri: cemburu, iri dan ingin hidup normal sebagaimana keluarga lain. Nah, bagaimanakah memaknai ‘dunia jungkir-balik’ yang tak sesuai dengan kaidah masyarakat luas dan di luar standar moralitas umum itu? Sesuai hakikat sastra yang kaya interpretasi, dunia yang dihadirkan bukan untuk dinilai benar-salah atau hitam putihnya. Sejungkir-balik apa pun dunia yang dihadirkan, itulah realitas (budaya) kita, itulah dunia kita. Dan sastra merupakan medium paling ‘ideal’ untuk menghadirkan realitas itu, dengan segala keunikan yang tak bertara, sebab sejatinya ‘’sastra tidak bicara dengan bahasa langit, melainkan bahasa bumi.’’ Akan tetapi, cerita akan menjadi lain jika keunikan budaya dengan segala nilai-nilai ‘alternatif’-nya itu hanya disajikan sebatas permukaan, sebatas eksotisme banal (di ruang manakah interpretasi harus ditempatkan?). Dan lebih parah lagi jika keunikan itu dieksploitasi secara salah kaprah sehingga ‘’dunia jungkir-balik sastra’’ dijadikan medium buat beraneh-aneh, akrobatik bahasa dan berisi serba sensasi. Sampai di sini, tanggung jawab mesti bicara.(www.sastra-indonesia.com)

Tak kalah menarik melihat dunia warok sebagai salah satu budaya ‘unik’ Nusantara lainnya di sekitar kita. Hans Gagas dalam novelnya Tembang Tolak Bala ( 2011) mengangkat warok sebagai satu-kesatuan jagad reog Ponorogo. Tak sekedar penampilannya yang atraktif dan indah, melainkan segala sesuatu yang berhubungan dengan kehidupan di ‘belakang panggung’ dan ini jauh lebih menantang. Salah satunya adalah kehidupan warok, pelaku utama reog. Sosok dan laku hidup warok didedah secara terbuka. Seorang warok menjalani ritual khusus demi menjaga kesaktiannya. Susuk dan meditasi di sanggar pamujaan adalah dua di antaranya. Namun yang paling membedakan dengan yang lain -karena berhubungan langsung dengan *) Raudal Tanjung Banua, Redaktur Jurnal Cerpen lingkungan sosial- ialah pantangannya untuk bercampur Indonesia, tinggal di Jogjakarta.

Frasa

Edisi 10 Tahun I [Sabtu, 30 Maret 2013]


HAL

26

LENTERA BUDAYA

Alu Katentong

Ekspresi Kegembiraan Wanita Sumbar Atraksi Alu Katentong ini dimainkan oleh kaum wanita sebagai ekspresi kegembiraan kala menumbuk padi menggunakan alu di sebuah lesung dengan cara bergantian memukulkan alu tersebut ke lesung sehingga menghasilkan irama-irama tertentu yang bernuansa ceria. Diantara irama yang dihasilkan tersebut dikenal dengan istilah “alang babega” (elang melayang), “alang ka turun” (elang menukik) dan sebagainya. Pesona plus dari Alu katentong: 1. Dimainkan oleh para wanita dengan anggun. 2. Menggunakan penumbuk padi yang diiringi oleh variasi pukulan ritmis, sehingga menghasilkan irama yang teratur dan indah. 3. Dimainkan dengan sistem interloking dari 8 buah alu yang dimainkan oleh 8 orang perempuan, dengan masing-masingnya mempunyai motif pukulan tersendiri. 4. Menghasilkan rangkaian irama yang disebut “Alang Babega” (Elang Melayang), “alang ka turun” (Elang yang terbang menukik), dan sebagainya. (www.budaya-indonesia.org)

Edisi 10 Tahun I [Sabtu, 30 Maret 2013]

Frasa


LENTERA BUDAYA

HAL

27

Pesta Dadung

Prosesi Syukuran Setelah Panen Menjelang Musim Tanam

P

esta Dadung hadir secara turun temurun sejak abad ke XVIII. Kesenian ini lahir di kalangan Budak Angon (Pengembala) yang intinya mengadakan syukuran setelah panen menjelang musim tanam tiba, sekitar bulan September. Dikatakan "Pesta Dadung" karena media yang digunakan dalam upacara yang sakral tersebut menggunakan Dadung (tali pengikat leher Kerbau atau Sapi).-¨Bertempat di Desa Legokherang Kecamatan Cilebak Kabupaten Kuningan. Kini, pesta dadung tersebut dijadikan sebagai salah satu bagian dari upacara miceun hama (membuang hama) di Situ Hyang dalam rangkaian upacara Seren Taun di Cigugur, Kabupaten Kuningan. Mantra yang terdapat dalam ritual pesta Dadung: Allah kaula pangampura-¨, parukuyan rat gumilang,-¨ aseupna si kendi wulang,-¨ ka gigir ka para nabi,-¨ ka handap ka ambu ka rama,-¨ nu calik tung-

Frasa

tung damar, kadaharan tungtung kukus,-¨ sakedap kanu kagungan. Dadung panjangnya kurang lebih dua belas meter tujuannya sebagai alat untuk menari dan menyanyikan lagu yang diiringi gamelan. Awalnya Pesta dadung ditujukan untuk Ratu Galuh yang dianggap menggembalakan batin manusia. Berupa upacara bersama antara sesepuh dan pemegang pemerintahan. Pada perkembangannya, tarian yang digunakan untuk Pesta Dadung adalah tari jalak pengkor hasil kreasi Angkin Jiwa Laksana. Sedangkan nyanyian pengiringnya menggunakan musik kangsreng dan waledan. Kedua jenis musik ini hasil ciptaan Sunan Gunung Djati atau bisa disebut Wali Sanga. Sehingga tradisi pesta dadung memiliki beberapa visi. Melestarikan tradisi kehidupan agraris dan nilai-nilai penyebaran Islam dengan media Kesenian.(www.budaya-indonesia.org)

Edisi 10 Tahun I [Sabtu, 30 Maret 2013]


HAL

28

TEENLIT CERPEN

Wacana Si Pemimpi Edisi 10 Tahun I [Sabtu, 30 Maret 2013]

Frasa


TEENLIT CERPEN

HAL

29

Oleh: Rika Diani Dasopang

Dengan tergesa-gesa aku membuka akun Facebook-ku. Berharap muncul namanya di daftar teman yang berulang tahun. Setelah proses loading yang cukup lama bagiku, aku dibuat terkejut ketika pertama kali membuka beranda akunku. Tak ada yang berulang tahun hari ini? Tidak pun dia! Apa yang terjadi sebenarnya? Ini cinta yang kupunya. Aku tak tahu bagaimana bisa aku memperolehnya. Tapi, aku tahu dari siapa cinta ini ku dapat. Dia, Yang Kuasa sedang menjabarkan takdirku. Saat kata-Nya aku harus memelihara cinta ini, hingga selama ini. Aku juga heran, ketika hal ini tak sedikit pun dapat aku musnahkan. Dia, sedang menuliskan cerita hidupku, cerita cintaku. Mungkin sedikit yang kutahu tentangnya. Tapi entah mengapa sudah banyak cinta yang kuberi padanya. Dia tak tahu dan tak akan pernah tahu. Aku sendiri pun bingung menyebut perasaan ini dengan nama apa, suka? Tapi mengapa begitu lama dan berlarut-larut, sulit terhapus. Mungkin, ini cinta! Sebut saja begitu. Aku tahu banyak tentangnya. Mungkin hanya hal biasa saja yang aku peroleh dari dunia maya. Tapi, bukan sifatnya. Aku ingat satu kejadian, saat aku baru mengetahui hari ulang tahunnya. Syukur belum terlewatkan. Tanggal 2 Juni. Aku berkesiap untuk mengucapkan selamat ulang tahun padanya. Ya, lewat dunia maya tentunya. Aku memikirkan kata-kata apa yang harus ku ucapkan. Tapi ending-nya tetap saja �Happy b’day, wish you all the best�. Dasar pengecut! Tapi, wajar saja. Nanti seandainya aku mengucapkan kata-kata yang terlalu spesial, dia akan terkejut nantinya.

1 Juni, pukul 23.05 wib

Aku ucapkan dalam hatiku. �Selamat ulang tahun yang ke-18. Semoga di hari ulang tahunmu ini, semakin taat beribadah, semakin

Frasa

Edisi 10 Tahun I [Sabtu, 30 Maret 2013]


HAL

30

TEENLIT CERPEN

sukses, dan sehat selalu. Menggapai cita-cita, serta selalu dalam lindungan-Nya. Amin.” Aku merasa geli pada doaku. Siapa aku? Beraninya mendoakannya. Waktu belum juga menunjukkan pukul 00.00 Wib. Kantuk sudah terlebih dulu menyerangku. Aku pikir, lebih baik besok pagi saja kuucapkan selamat ulang tahun padanya. Dan aku pun beranjak tidur. ** Esoknya.. Dengan tergesa-gesa aku membuka akun Facebook-ku. Berharap muncul namanya didaftar teman yang berulang tahun. Setelah proses loading yang cukup lama bagiku, aku dibuat terkejut ketika pertama kali membuka beranda akunku. Tak ada yang berulang tahun hari ini? Tidak pun dia! Apa yang terjadi sebenarnya? Dengan cepat ku lihat akun FB-nya. Di wall-nya, tertera dua ucapan memberi selamat ulang tahun padanya. Dan sebuah status di bawahnya. Kira-kira dia menuliskan, ”Usia 18 tahunku sudah berlalu, ............” dan lainnya aku tak ingat. Dan waktunya malam tadi sekitar jam 00.00 lewat, dan saat itu aku sudah tertidur. Kulihat info akunnya, ternyata dia sudah menghapus informasi tanggal ulang tahunnya. Dan hal itulah yang membuat namanya tak muncul di berandaku. ’Apakah dia orang yang sesederhana itu?’ Pikirku. Dia tidak mau mengumbarkan hari ulang tahunnya pada khalayak banyak? Aku benar-benar tidak mengerti jalan pikirannya. Dan tak akan pernah mengerti walau sekali pun. Rasanya aku ingin sekali mengucapkannya saja, agar dia tahu tentangku. Tapi, aku takut membuatnya terkejut dan ini terlalu spontan, tak istimewa. Orang yang bahkan tak pernah ia dengar namanya sekali pun mengucapkan selamat ulang tahun padanya, padahal tidak ada notification dan tak pernah kenal sebelumnya. Menyedihkan pikirku. Aku benar-benar menyesal telah tidur semalam. Dan tak menunggu pergantian hari untuk mengucapkannya secara langsung distatusnya. Aku benar-benar menyesali hal bodoh ini. Lagi-lagi aku pikir kami memang tak jodoh. *** Tahun berikutnya. Tepat saat dia akan berusia 19 tahun. Aku berkesiap dan belajar dari kesalahan tahun lalu. Sebaiknya aku harus menunggu. Tidak terpikir katakata apa yang ingin ku ucapkan, tapi aku hanya

Edisi 10 Tahun I [Sabtu, 30 Maret 2013]

menunggu saja. Waktunya pun tiba, dan waktu sudah menunjukkan jam 00.05 wib. Lalu kulihat wall-nya, sudah ada beberapa temannya yang mengucapkan selamat ulang tahun sebelum pergantian hari. Rasanya sih, ingin jadi yang pertama. Tapi, nanti dia akan heran, pikirku lagi. Aku memikirkan kalimat apa yang kira-kira cocok untuk kuucapkan padanya. Lalu terpikir, berhubung dia sangat menyukai manga Jepang, aku pun mencari ucapan selamat ulang tahun dalam bahasa Jepang. Berharap sedikit unik dari ucapan yang lain. Ya, ’O tanjoubi omedette”. Perfect! Setelah selesai mengirimnya, aku pun menatap tulisanku itu. Berharap sedikit menarik perhatiannya, dan melihat siapa yang mengucapkannya. Ah, tapi pikirku terlalu jauh kesana, namun aku banyak berharap. Dan ternyata tahun ini, dia membiarkan orang banyak mengetahui tentang dirinya yang bertambah dewasa. Namun, saat ku tunggu dia membuat status lagi seperti tahun lalu, berharap agar bisa mengucapkan selamat ulang tahun padanya secara ‘eksklusif’, tapi dia tak kunjung muncul dengan satu huruf-pun. Sungguh menyedihkan lagi. “Dia yang tertidurkah di tahun ini? Fiuhh! Sungguh bukan jodoh.” Desirku dalam hati. Jadi, untuk apa sebenarnya aku menjaga cinta ini? Tidak ada tujuan sama sekali. Tuhan berikan aku jawaban, kenapa tak Engkau perkenankan aku menghapus rasa cinta ini saja? Aku benar-benar seperti pungguk yang merindukan surga, bukan bulan lagi. Terjerat dalam jaring harapan mustahil yang pernah aku miliki seumur hidupku. Sungguh memalukan si Pemimpi ini. *** Rika Diani Dasopang, pemilik nama pena R Dianie Dasopang. Kelahiran 05 Oktober 1992 di Padang Sidempuan, Sumatra Utara. Mahasiswi Kimia angkatan 2011 FMIPA Universitas Riau. 2008, meraih juara 1 Lomba Menulis PI tingkat Kabupaten Rokan Hulu. Meraih juara 1 Lomba Penulisan Cerpen PEKSIMIKA Universitas Riau 2012. Belakangan puisinya juga dimuat di Kompas.com. Dapat dihubungi melalui email richamagic@yahoo.com, akun Facebook Rika Diani, Twitter @reekha_ssi. Selain itu juga melalui nomor handphone 083167581709.

Frasa


TEENLIT CERPEN

BUKU BARU

Aku Puisi, Puisi-puisi dari Robekan Kertas Penulis: Makmur HM Aku Puisi adalah sekumpulan memori luka duka serta suka cita dalam kehidupan yang digoreskan Makmur HM pada sobekan-sobekan kertas, sesuatu yang menjadi puisi, yang seharusnya ia lukapan. Judul: Aku Puisi, Puisi-puisi dari Robekan Kertas (Hardcover) ISBN 978-602-17023-5-2 Hal. viii+83 Ukuran: 5.6 x 7,7 inch BISAC: Antologi Puisi Pesan Disini: http://minangkabauonline.com/buku/en/ puisi/14-poetry-poetry-from-226-indonesianpoets-flows-into-the-sink-into-the-gutter.html

Frasa

HAL

31

Luka Puisi "Apa?, kau masih menulis puisi di zaman ini?", kata seorang teman padaku saat tuts-tuts keyboard berdetakdentum oleh jariku. aku hanya melirik meski sedikit terusik puisi mulai berbisik "selesaikan lukaku, kemudian pergilah berburu" sambil merayu aku mulai menyatu dengan bayu memasrahkan ketersesatanku yang tak berujung dan puisi tetap pada luka Pekanbaru, 13 April 2011

Edisi 10 Tahun I [Sabtu, 30 Maret 2013]


HAL

32

TEENLIT PUISI

Warung Kelok : Marhalim Zaini

Dua Suap seperti biasa, aku hanya bisa membakar dupa dan lilin berharap hati tetap menyala dalam waktu ketika tanpa terasa, tinggal dua suap bulan sempurna tahun ingin sekali kuhabiskan rindu dan cinta tersisa di meja bersamamu, bersama-Mu. Sebelum waktu dan pilu kenyang menelanku FG, 2012 Faith Grandine (BMI Taiwan) masih awam sekali dalam menulis puisi, tergabung dan ikut belajar di grup kepenulisan dalam Facebook seperti, COMPETER, FLP Taiwan, BPSM

Edisi 10 Tahun I [Sabtu, 30 Maret 2013]

Yogyakarta merenung di pori sajakku mengajak membaca kali bahkan bersunyi mencengkram stasiun larik luka menumpah bibir yang terukir ke diam ini membentuk dedaun diksi “menarasi di warung kelok yang kau sembilankan di arterimu� waw , aku masuk ke puisimu tanpa izin! tapi, inginku berhambur memetafora bersama burung yang dikau ciptakan di tetesan pagi yang indah di kata luapan batin nan tak aku tahu kapan mengintip waktu? Laura Rafti, Mahasiswi Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Islam Riau (UIR) Semester Enam. Puisi-puisinya terbit di Metro Riau, Al-Bratva, Xpresi Riau Pos, Kompas.com, Kuflet.com dan Koran Cyber. Bergiat Community Pena Terbang (COMPETER).

Frasa


TEENLIT PUISI

HAL

33

BIS KOTA Di bis kota aku pusing Pikiranku terpelanting dalam desak sesak penumpang yang bergeming. Pening. Dalam bis seorang perempuan menyusui bersabda sambil menangis: “Bapak ibu saudara saya numpang ngamen untuk kebutuhan sehari-hari Atas bantuannya saya ucapkan terima kasih Semoga amal ibadah anda di terima Tuhan. Amin”. Naik Bis kota siang hari, di tengah terik matahari aku turun Bungurasih Dari kaki ke kaki pasti kankudengar lagi cerita saudara kami menangis dalam bis Perak-Bungurasih, 10 September 2012

Cobaan

: Ferdi Afrar Salam akan berganti Sepi tak bernadi jika mungkin Gemericik air Untuk sampaikan salam Bila itu rapuh Sendu karena cobaan melihat awan yang luas Dingin memekik Kesunyian Di balik nada-nada bait demi bait tangisan meronta apakah sadar?

Muzammil Frasdia. Lahir di Bangkalan, 06 Februari Di balik keramaian hatimu sepi 1988. Alumni STKIP PGRI Bangkalan. Jurusan Sastra Kering tak bernada dan Bahasa Inggris. Sekarang mengajar di Sekolah Dasar Negeri RA”AS Kecamatan Klampis. Aktif Ria Dwi Sutriani, Mahasiswi Pend. Bahasa Inggris di komunitas seni dan sastra “Masyarakat Lumpur semester IV. Bergiat di COMPETER. Pernah meraih Bangkalan”. Email : mfrasdia@yahoo.com. HP: juara 2 Mengarang Indah SMP 1 Kerumutan dan (085730825686) atau (08981194698) juara 2 Cipta Puisi 50 Tahun UIR.

Frasa

Edisi 10 Tahun I [Sabtu, 30 Maret 2013]


HAL

34

FIKSIMINI Agung Yuli TH

Wanita di Bangku Halaman Setiap pagi dan sore wanita itu sering duduk di bangku halaman, dekat pohon imboh samping rumahku. Sering kutemukan ia membawa secarik kertas dan menulis sesuatu di sana. Katanya yang ditulis adalah surat untuk suaminya tercinta, seorang pelaut yang sudah sangat lama tidak pernah terlihat lagi. Aku bertanya padanya, bagaimana ia dapat mengirimkan surat itu pada suaminya. Sambil menunjuk pada burung-burung gereja yang sering bertengger di pohon imboh, dia berkata bahwa merekalah makhluk baik hati yang senantiasa mengirimkan suratnya. Entah sudah tahun yang ke berapa dia masih tetap menulis surat, hingga pada suatu hari dia terlihat sangat murung di bangku itu. Dengan berusaha menyembunyikan isaknya, ia bilang padaku bahwa ia sudah lelah menunggu surat balasan dari suaminya yang tak kunjung datang. Aku hanya bisa iba dan membimbingnya pulang. Dan kemarin, ketika aku pulang dari kerja, dia menghampiriku. Wajahnya berseri-seri di bawah langit senja yang hampir meredup.

Edisi 10 Tahun I [Sabtu, 30 Maret 2013]

“Aku mendapatkan balasan surat dari suamiku,” katanya sambil menitikkan air mata. “Ia akan datang dan membawaku ke puncak menara Eifel yang tinggiiiiiiiii sekali,” imbuhnya dengan sangat antusias. Aku tersenyum melihat ia sebahagia itu. Tiba-tiba aku terbersit sesuatu: “Siapa yang mengantarkan suratnya padamu?” tanyaku. “Tentu saja seekor burung yang ia mintai tolong. Itu burungnya,” ia menunjuk ke pohon imboh. Aku terperanjat. Itu burung gagak. Rumah, Lamongan_14 Januari 2013 Agung Yuli TH, lelaki pecinta kedamaian yang lahir di Lamongan 1988. Suka menulis fiksimini, puisi, cerpen dan esai. Aktif bergiat di Komunitas Sanggar Sastra (KOSTRA) di Tuban. Beberapa tulisannya pernah masuk di Radar Bojonegoro, majalah Frasa, majalah Akbar, Tabloid Nusa dan termaktub dalam sejumlah Antologi. email: agungyuli02@gmail.com atau fb: Agung Zhou-lee.

Frasa


PUISIMINI

HAL

35

Parfum Aku datang dan pergi Padamu di bangku-bangku taman; remang Memahat jarak antara parfum dan wanginya Jauh dan dekat masih namamu di nafasku 2012

Knock Out “Aku ingin meninjumu, dengan tinju cintaku�, kata petinju itu kepada kekasihnya di ring tinju, setelah dia mengkanvaskan lawannya, selanjutnya dia ingin mengkanvaskan kekasihnya, gubrakkk, KO 10-02-2013 Sonny H. Sayangbati, seorang konsultan lubrikan. Suka membaca buku, menulis puisi dan tertarik fotografi.

PINTU Orang mengetuk tak hanya petanda untuk masuk Orang yang masuk belum tentu di awali dengan ketuk Percut, 16 Maret 2012 Syafrizal Sahrun. Kelahiran 4 November 1986 di desa Percut. Berdomisili di desa kelahiran. Menyelesaikan S1nya di UISU. Puisi dan esai sastranya di muat pada koran Waspada, Analisa, Medan Bisnis, Mimbar Umum, Haluan Kepri, Lampung Post, Majalah Frasa dan Majalah Horison.

Frasa

Terkenang Penyair Sebab aku tahu Ada rindu dalam sajakku Dingin AC tak membuat beku Saat bertemu penyair kaku Blandongan, 2011-2012

Ayat XVIII

:labirin hitam sebut saja mimpi; selembar wajah yang melintas di mata sebentar saja, hati tergetar, apa itu mimpi? bila kau tak hadir disana Blandongan, 2012 Selendang Sulaiman, Lahir di Pajhagungan, Madura 1989. Mahasiswa Sejarah dan Kebudayaan Islam Fakultas Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Puisinya dimuat diberbagai Media Masa. Antologi bersamanya; Mazhab Kutub, 50 Penyair Membaca Jogja; Suluk Mataram, Bima Membara, Presidin Untuk Presidenku, dll. Bergiat di Masyarakat Bawah Pohon Yogyakarta

Edisi 10 Tahun I [Sabtu, 30 Maret 2013]


HAL

36

INSPIRING

HB Jassin

Sang Dokumentator Sastra

Indonesia Edisi 10 Tahun I [Sabtu, 30 Maret 2013]

Frasa


INSPIRING Hans Bague Jassin, atau lebih sering disingkat menjadi H.B. Jassin selalu dihubungkan dengan dokumentasi sastra Indonesia dan H.B. Jassin adalah orang yang secara penuh mencurahkan perhatiannya kepada kerja dokumentasi. Itulah sebabnya, orang yang bermaksud mencari informasi tentang sastra Indonesia tidak dapat melepaskan dirinya dengan hasil pengumpulan bahan dokumentasi yang disusun oleh H.B. Jassin. Kerja dokumentasi bagi H.B. Jassin adalah kerja yang sudah dimulai sejak mudanya dengan penuh kecintaan. Ia berasal dari keluarga Islam yang taat. Ayahnya Bague Mantu Jassin, pegawai BPM (Bataafsche Petroleum Maat-schappij), pernah bertugas di Balikpapan, sehingga kota itu meninggalkan kenangkenangan yang manis baginya. Ibunya Habiba Jau, sangat mencintainya. Di kota Medan ia banyak berkenalan dengan seniman dan para calon seniman, diantaranya Chairil Anwar. Dalam perjalanannya pulang ke Gorontalo tahun 1939, ia mampir untuk bertemu dengan Sutan Takdir Alisjahbana di Jakarta. Takdir sengat terkesan dengan Jassin dan mengirim surat ke Gorontalo, menyatakan ada lowongan di Balai Pustaka. Rupanya surat itu berlayar bersama-sama dengan Jassin ke Gorontalo. Untuk menyenangkan orang tuanya, ia bekerja di kantor Asisten Rsiden Gorontalo antara bulan Agustus sampai Desember 1939, sebagai tenaga magang. Bulan Januari 1940, Jassin mendapat izin dari orang tuanya untuk memenuhi permintaan Sutan Takdir Alisjahbana. Bulan Februari 1940, H.B. Jassin mulai bekerja di Balai Pustaka. Ia mula-mula duduk dalam sidang pengarang redaksi buku di bawah bimbingan Armijn Pane pada tahun 1940-1942 dan kemudian menjadi redaktur majalah Panji Pustaka tahun 1942-1945. Setelah Panji Pustaka diganti menjadi Panca Raya, ia menjabat wakil pemimpin redaksi di tahun 1943 sampai dengan 21 Juli 1947. Tanggal 21 Juli 1947 itulah akhir kariernya di Balai Pustaka. Setelah keluar dari Balai Pustaka, H.B. Jassin secara terus-menerus bekerja dalam lingkungan majalah sastra-budaya. Ia menjadi redaktur majalah Mimbar Indonesia di tahun 1947-1966, majalah Zenith di tahun 1951-1954, majalah Bahasa dan Budaya di tahun 19521963, majalah Kisah tahun 1953-1956, majalah Seni tahun 1955 dan majalah Sastra di tahun 1961-1964 dan tahun 1967-1969. Ia juga pernah menjadi anggota dewan pertimbangan pembukuan Perum Balai Pustaka (1987-1994), anggota Panitia Pertimbangan Pemberian Anugerah Seni Bidang Sastra, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1975), anggota juri Sayembara Kincir Emas oleh radio Wereld Omroep Nederland (1975), anggota Panitia Pelaksana Ujian Calon Penerjemah yang disumpah (1979-1980), Extrernal assessor Pengajian Melayu, Universiti Malaya (1980-1992), anggota Komisi Ujian Tok-Vertlader, Leiden tahun 1972, peserta 29 tahun International Congress of Orientalist, Paris dari tanggal 16-22 Juli 1973, penasehat Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa ditahun 1973-1982, anggota dewan juri Sayembara Mengarang Novel Kompas-Gramedia tahun 1978, ketua dewan juri Sayembara Novel Sarinah di tahun 1983, anggota dewan juri Pegasus Oil Indonesia pada tahun 1984 dan ketua dewan juri Sayembara Cerpen Suara

Frasa

HAL

37

Hans Bague Jassin, atau lebih sering disingkat menjadi H.B. Jassin selalu dihubungkan dengan dokumentasi sastra Indonesia dan H.B. Jassin adalah orang yang secara penuh mencurahkan perhatiannya kepada kerja dokumentasi. Itulah sebabnya, orang yang bermaksud mencari informasi tentang sastra Indonesia tidak dapat melepaskan dirinya dengan hasil pengumpulan bahan dokumentasi yang disusun oleh H.B. Jassin. Kerja dokumentasi bagi H.B. Jassin adalah kerja yang sudah dimulai sejak mudanya dengan penuh kecintaan.

Edisi 10 Tahun I [Sabtu, 30 Maret 2013]


HAL

38

INSPIRING

Pembaruan ditahun 1991. Tahun 1964, ia dipecat dari Fakultas Sastra Universitas Indonesia karena keterlibatannya dalam Manifes Kebudayaan. Pemecatan itu berlangsung sejak dilarangnya Manifes Kebudayaan oleh Presiden Soekarno 8 Mei 1964 sampai meletusnya G30S/ PKI tahun 1965. Cerpen Ki Panji Kusmin, Langit Makin Mendung, yang dimuat H.B. Jassin dalam Sastra, 1971, sempat dianggap �menghina Tuhan�. Di pengadilan, ia diminta mengungkapkan nama Ki Panji Kusmin sebenarnya. Permintaan ditolaknya. Pada tanggal 28 Oktober 1970 ia dijatuhi hukuman bersyarat satu tahun penjara dengan masa percobaan dua tahun. Sejak tahun 1940, H.B. Jassin telah mulai membina sebuah perpustakaan pribadi. Pengalaman admisitrasinya selama ia magang di kantor Asisten Residen di Gorontalo sangat berguna bagi pendokumentasian buku. Tanggal 30 Mei 1970, lahirlah Yayasan Dokumentasi Sastra H.B. Jassin yang menggantikan Dokumenrasi Sastra, Sejak akhir September 1982 s/d sekarang bangunan itu berdiri dan menempati areal seluas 90 meter persegi dalam komplek Taman Ismail Marzuki, jalan Cikini Raya 73, Jakarta Pusat.

Jassin mulai menerjemah pada tahun 1941. Ia selalu berusaha menerjemahkan dari bahasa aslinya. Oleh karena itu ia lalu mempelajari banyak bahasa asing, dan yang berhasil dikuasainya adalah bahasa Belanda, Inggris, Prancis, Arab, dan Jerman. Terjemahannya dari karya Multatuli, Max Havelaar (Djambatan, 1972), mengganjarnya dengan Hadiah Martinus Nijhoff dari Prins Bernhard Fonds di Belanda pada tahun 1973. Kontroversi mengiringi Jassin tatkala ia menerjemahkan al-Quran dalam wajah puisi, yakni Al-Quran al-Karim Bacaan Mulia (1978) dan Berita Besar (1984).

Redaktur Abadi Sastra Indonesia

Jassin memulai debut dalam bidang keredaksian pada tahun 1940 sebagai sekretaris di majalah Pujangga Baru pimpinan Sutan Takdir Alisjahbana. Berikutnya ia berganti-ganti sebagai redaktur sastra berbagai majalah dan surat kabar, antara lain Panji Pustaka, Panca Raya, Mimbar Indonesia, Zenith, Kisah, Bahasa dan Budaya, Seni, Buku Kita, Medan Ilmu Pengetahuan, Sastra, Bahasa dan Sastra, dan hingga akhir hidupnya tahun 2000, Jassin masih tercantum sebagai redaktur majalah Horison. Jadi Jassin menjabat pekerjaan redaktur selama 60 tahun! Jabatan ini membuatnya menjadi orang yang palDokumentator Sastra Indonesia. ing memahami perjalanan sastra Indonesia. TerH.B. Jassin memulai karirnya dalam sastra sebagai lepas dari sejumlah kritik atas pendekatannya, peripengumpul dokumen. Ia mendirikan pusat dokumen- odesasi sastra Indonesia versi Jassin paling banyak tasi sastra secara pribadi pada tahun 1940. Tentang hal dipakai dan diajarkan di sekolah-sekolah. ini ia pernah menulis: “Dari tiap-tiap pengarang mesti- Kritikus Terbesar Sastra Indonesia nya dikumpulkan setiap tulisannya, baik yang berupa Di lapangan inilah Jassin paling dikenal publik. buku maupun yang tersebar di mana-mana, sedikit- Sebagai kritikus sastra, H.B. Jassin memiliki wibawa nya diadakan inventarisasi, dikumpulkan pendap- yang tinggi. Jangkauan kritiknya sangat luas, meliat-pendapat mengenai kegiatannya, dikumpulkan puti semua bentuk karya sastra, hampir semua data-data mengenai kehidupannya dan sebagainya. pengarang Indonesia dari yang paling senior samPikiran kita terarah pada pembentukan satu gedung pai yang paling pemula, hampir semua media Dokumentasi Kesusastraan, di mana semua keteran- massa yang mempunyai rubrik sastra baik yang tergan mengenai apa saja yang menyangkut kesusas- g o l o n g media serius maupun pop. traan bisa ditemukan� (1967). Kritik Jassin mungkin kalah Impiannya kemudian terwujud. Pusat ilmiah dibanding kritikus dokumentasi sastra yang dibinanya lain macam A Teew, Umar diresmikan menjadi Yayasan DokuJunus, atau Maman mentasi Sastra H.B. Jassin pada Mahayana. Namun dari tanggal 30 Mei 1977 oleh Gubernur segi pengaruh, Jassin DKI Jakarta (waktu itu) Ali Sadikin. tak terbandingkan. Inilah warisan Jassin yang paling Dalam menilai nyata dan berharga. Para peminat dan karya sastra, peneliti sastra Indonesia tak usah repotJassin lebih repot mencari berbagai data tentang kesm e m e nt i n gusastraan Indonesia. Tinggal datang saja kan unsur ke Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin di perasaan Taman Ismail Marzuki, Cikini. daripada Penerjemah yang Baik pikiran.

Edisi 10 Tahun I [Sabtu, 30 Maret 2013]

Frasa


INSPIRING Kritik sastra yang digunakan Jassin tergolong metode ganzheit, di mana kritikus membaca karya seniman tanpa konsepsi a priori apa pun. Ia membiarkan karya seninya merasuk dan secara merdeka berbicara sendiri, lalu terjadilah dialog, sebuah pertemuan, sebuah interferensi dinamis antara kedua subjek – kritikus dan karya seni - yang hidup dan merdeka itu. Proses refleksi dan analisis terjadi kemudian. Pendekatan Jassin terhadap karya sastra adalah keseluruhan, kemudian analisis bagian-bagian. Karya-karya Jassin dalam bidang kritik sastra antara lain Angkatan 45 (1952), Tifa Penyair dan Daerahnya (1952), Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esei (4 jilid, 1954 dan 1967), Heboh Sastra 1968, Suatu Pertanggungjawaban (1970), Sastra Indonesia sebagai Warga Sastra Dunia (cet.3, 1981), Sastra Indonesia dan Perjuangan Bangsa (1993), dan Koran dan Sastra Indonesia (1994).

Mahaguru Sastrawan Indonesia

Secara formal H.B. Jassin adalah seorang dosen sastra di Universitas Indonesia. Namun jabatan ini saja tidak lantas membuatnya menjadi guru bagi kalangan di luar mahasiswanya. Pekerjaan Jassin sebagai kritikus dan redakturlah yang mengalirkan pengakuan atasnya sebagai guru para sastrawan. Sebagai redaktur, Jassin memiliki otoritas penuh dalam menilai layak-tidaknya suatu karya sastra dimuat di majalahnya. Namun yang terutama ialah karena ia selalu menyediakan waktu untuk membalas berbagai surat berikut kritik-kritik yang disertakannya setiap mengembalikan tulisan. Hal ini tentu sangat menyenangkan bagi para pengarang, terutama yang karyanya dikembalikan. Karena hampir semua pengarang pernah mendapat nasihatnya, pantaslah jika ia disebut “mahaguru”, “guru besar”, atau “profesor” bagi para sastrawan Indonesia. Tidak kurang dari Pramoedya Ananta Toer, novelis terbesar Indonesia kandidat peraih Nobel, pun mengakui Jassin sebagai guru besarnya, meski keduanya berseberangan pandangan dalam polemik Lekra-Manifes Kebudayaan.

HAL

39

Terhadap kasus pertama, Jassin tidak membela secara membuta. Ia pelajari tuduhan-tuduhan itu dengan saksama. Sebagai hasilnya, ia mengakui bahwa beberapa sajak Chairil Anwar adalah plagiat, beberapa lagi adalah saduran. Sementara soal Hamka, ia menyimpulkan bahwa dalam novel Tenggelamnya Kapal van der Wijck, Hamka terkena pengaruh besar dari al-Manfaluthi. Dalam polemik Lekra-Manikebu, Jassin membela kebebasan berkreasi para seniman dari intervensi politik. Inti pembelaan yang sama ia tampilkan dalam kasus cerpen Langit Makin Mendung. Cerpen ini dimuat di majalah Sastra tahun 1968, di mana Jassin merupakan redakturnya. Cerpen ini dituduh menghina agama, dan karena H.B. Jassin memuat cerpen tersebut serta melindungi identitas pengarangnya, ia pun digiring menjadi terdakwa di pengadilan. Argumen pokok Jassin adalah bahwa cerpen merupakan wilayah imajinasi, tidak bisa dihakimi dengan kaidah-kaidah agama.

Paus Sastra Indonesia

Seorang pengarang konon belum sah menjadi sastrawan sebelum “dibaptis” oleh H.B. Jassin, dan itulah yang membuat Gayus Siagian menggelarinya Paus Sastra Indonesia. Gelar ini menunjukkan betapa besarnya wibawa dan pengaruh Jassin terhadap kehidupan sastra di negeri kita. Juga betapa tingginya penghormatan para sastrawan atas dirinya.

Wafat

Pria gemuk pendek ini menikah tiga kali. Istri pertama, Tientje van Buren, wanita Indo yang suaminya orang Belanda yang disekap Jepang, pisah cerai. Lalu Arsiti, ibu dua anaknya, meninggal pada 1962. Sekitar 10 bulan kemudian ia menikahi gadis kerabatnya sendiri, Yuliko Willem, yang terpaut usia 26 tahun. Yuliko juga memberinya dua anak. Dari kedua istri ini, ia memiliki empat anak, yakni Hannibal Jassin, Mastinah Jassin, Yulius Firdaus Jassin, Helena Magdalena Jassin, 10 orang cucu, dan seorang cicit. Ia meninggal pada usia 83 tahun, Sabtu dini hari, 11 Maret 2000 saat dirawat akibat penyakit stroke yang sudah dideritanya selama bertahunPembela Sastra Indonesia tahun di Paviliun stroke Soepardjo Rustam Rumah Setidaknya bisa disebut tiga kasus berbobot besar Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta. Sebayang pernah dibela Jassin. Pertama, tuduhan plagiat gai penghormatan, ia dimakamkan dalam upacara terhadap Chairil Anwar dan Hamka; kedua, polemik kehormatan militer “Apel Persada” di Taman Makam Lekra-Manifes Kebudayaan; ketiga, heboh cerpen Pahlawan Nasional Kalibata, Jakarta. (dari berbaLangit Makin Mendung karya Kipanjikusmin. gai sumber)

Frasa

Edisi 10 Tahun I [Sabtu, 30 Maret 2013]


HAL

40

X-COVER

BACA DAN DOWNLOAD MSD FRASA DI www.majalahfrasa.blogspot.com MEDIA PARTNER MSD FRASA www.jadikabar.com KIRIM KARYA ANDA KE majalahfrasa@yahoo.com

Edisi 10 Tahun I [Sabtu, 30 Maret 2013]

Frasa


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.