Majalah Frasa

Page 1

Edisi 9 Tahun pertama | majalah digital | kamis, 28 februari 2013

Frasa & Kritik Tradisi

Puisi, Korupsi

Cerpen Fitria Handayani | Puisi A. Sultoni, Arafat AHC, Irwanto dan Bellinda Puspita Dara | Cerpen Teenlit Daviatul Umam el-S | Puisi Teenlit Den Rasyidi Az, Azizah Nur Fitriana dan Steve Agusta | Fiksimini Makmur HM | Puisimini Mubaqi Abdullah

Art Cover: Internet


HAL

2

SALAM

Frasa

M a j a l a h

Pemimpin Umum Pemimpin Redaksi Wakil Pemipin Redaksi Tim Redaksi Design Tata Letak Sekretaris Redaksi

D i g i t a l

: Makmur HM : M Asqalani eNeSTe : Delvi Adri : Jhody M Adrowi Makmur HM M Asqalani eNeSTe Delvi Adri Yohana Nia Nurul Syahara Putu Gede Pradipta : Makmur HM : Jhody M Adrowi

Redaksi menerima tulisan yang bersifat orisinil dan belum pernah diterbitkan di media manapun. Tulisan berupa karya sastra yang terbit akan dibukukan setiap edisi akhir tahun. email: majalahfrasa@yahoo.com Tarif Iklan full colour per edisi 1/4 halaman: Rp150,000 1/2 Halaman: Rp300,000 1 Halaman: Rp500,000 Iklan Sosial: Mulai Rp30,000 - Rp100,000 Alamat Redaksi / kontak Email: majalahfrasa@yahoo.com Phone: 0852 6536 9405 Blog: www.majalahfrasa.blogspot.com Media Partner: www.jadikabar.com

REDAKTUR MSD Frasa, Yohana, berpose dengan kedua orangtuanya setelah diwisuda, Rabu (27/2/2013). Assalamualaikum adalah masyarakat. dan salam hangat Frasa Karena itu, karya sastra untuk kita semua... yang lahir harus mencerdaskan bangsa ini dan menemKarya sastra yang lahir patkan antikorupsi sebagai untuk mencerdaskan bangsa wacana yang terus dikamini, hendaknya menempatkan panyekan. Tanggung jawab antikorupsi sebagai wacana sosial sastrawan adalah menyang terus dikampanyekan. gupayakan perbaikan hidup Tanggung jawab sosial sas- dengan menjelaskan kondisi trawan adalah mengupaya- kritis yang merenggut masa kan perbaikan hidup dengan depan bangsa ini. menjelaskan kondisi kritis Korupsi sudah marak di yang merenggut masa depan negara kita sejak dahulu bangsa ini. Maka, karya sas- kala. Karena itulah pada tra yang menggambarkan edisi kali ini MSD Frasa perlawanan terhadap tradisi mengangkat tema tersebut korupsi patut didukung den- ke hadapan pembaca. gan pemikiran dan gerakan Tak pernah ketinggalan, kongkret. sajian cerpen dan beberapa Penggalan tulisan Muna足 karya dari penulis seluruh -wir Aziz diatas tentu akan pelosok negeri ini yang amat membuat kita tergugah sayang jika dilewatkan. betapa pentingnya peran penulis dalam memberan- Terakhir, redaksi ucapkan: tas maupun saling menginSelamat membaca! dan gatkan kepada sesama ten- selamat diwisuda kepada tang betapa merugikannya salah seorang redaktur korupsi itu baik dari sisi MSD Frasa, Yohana Fitri, S. pelaku korupsi tersebut IKom. maupun korbannya yang tidak lain dan tidak bukan Redaksi

Edisi 9 Tahun I [Kamis, 28 Februari 2013]

Frasa


DAFTAR ISI

HAL

3

Halaman 6

Utama: Puisi, Korupsi & Kritik Tradisi

Halaman 10

Dari Nietzsche ke Olimpiade Sastra

Halaman 12

Sastra pun Membutuhkan Mediasi

Halaman 14

Memahami Sastra Islam

Halaman 16

Komunitas: Komunitas Rudal Yogyakarta; Membaca dan Berdiskusi, Lahan Awal Dunia Kepenulisan

Halaman 18

Cerpen Fitria Handayani: Terakhir

Halaman 22

Puisi A. Sultoni, Arafat AHC, Irwanto dan Bellinda Puspita Dara

Halaman 24

eduSastra: Sastra; Mengenal Saudara dan Budaya

Halaman 26

Lentera Budaya: Dramatari Gambuh, Tari Lakon Klasik Tertua Dalam Khazanah Tari Bali

Halaman 28

Cerpen Teenlit Daviatul Umam el-S: Kemarau Hari-hariku

Halaman 32-33

Puisi Teenlit Den Rasyidi Az, Azizah Nur Fitriana dan Steve Agusta

Halaman 34

Fiksimini Makmur HM: Kursi Goyang

Halaman 35

Puisimini Mubaqi Abdullah

Halaman 36

Inspiring: Leo Tolstoy, ‘Tuhan’ Bagi Kaum Tertindas

Frasa

Edisi 9 Tahun I [Kamis, 28 Februari 2013]


HAL

4

NEXT ISSUE

Mempersoalkan Legitimasi Puisi-Esai Oleh: Leon Agusta Tak ada yang baru di bawah langit. Begitu sering kita dengar banyak orang mengatakan. Namun, selalu ada cara pandang yang baru tentang apa atau bagaimana adanya sesuatu di bawah langit. Selalu pula ada cara pendekatan baru terhadap sesuatu yang sudah berlalu—terhadap sesuatu—misalnya karya dari masa silam. Dari segala sesuatu yang ada sebagian elemen sudah dieksplorasi, tetapi ini tidak berarti bahwa tidak mungkin ada elemen lain yang dapat dieksplorasi. Setiap generasi baru dalam seni selalu melihat atau menyiasati apa yang sudah dilakukan oleh seniman generasi sebelumnya dengan cara pandang yang berbeda. Perbedaan konteks dan pengalaman akan melahirkan berbagai pertanyaan baru dengan fokus pada elemen-elemen tertentu. Semuanya ini mendorong mereka untuk melahirkan sesuatu yang baru di luar paradigma dan wacana lama. Hasilnya, adakalanya melahirkan paradigma baru yang pada gilirannya akan menghasilkan karya yang baru pula. Dari eksplorasi semacam ini, lahirlah karya Denny JA, Atas Nama Cinta, yang disebutnya sebagai puisiesai. Lalu, dari sebutan puisi-esai muncul pertanyaan: bagaimana mendefinisikan esai untuk membedakannya dengan puisi? Apakah perbedaannya terletak pada isi, bentuk, persepsi, atau perspektif? Kemudian muncul sebuah pertanyaan lagi: apakah puisi dapat berfungsi sebagai pemicu pemikiran rasional untuk menggerakkan lahirnya sebuah puisi-esai?

Edisi 9 Tahun I [Kamis, 28 Februari 2013]

Frasa


CORNER

HAL

5

W

isuda. Pastinya dinantikan oleh semua mahasiswa. Setelah berjuang 3 tahun, 4, tahun, 5 tahun atau bahkan lebih inilah sebuah momen yang dianggap puncak dari kelulusan di perguruan tinggi. Memakai toga dianggap sangat sakral. "Sekali seumur hidup, kapan lagi," kata orang-orang. Apapun itu tentunya harus disyukuri. Pastinya ada mudah dalam kesulitan. Alhasil akhirnya gelar sarjana pun saya raih. Seperti cerita setiap orang, pasti ada cobaan menjelang wisuda. Ada yang sakit, mengalami kesulitan, dan sebagainya. Tetapi jika sudah melewatinya maka semua akan menjadi indah. Tak akan ada cerita indah tanpa adanya cerita duka. Tak akan ada tawa tanpa adanya tangis. Dan yang manis pun akan terasa lebih manis jika sudah melewati pahit. Maka dari itu, saya mengucapkan syukur kepada Tuhan yang Maha Esa. Tanpa kuasa-Nya tentunya semua tidak akan terjadi. Setelah manis pahit perjuangan akhirnya saya dapat meraih gelar Sarjana Ilmu Komunikasi (S.Ikom) dari Universitas Riau. Terima kasih saya haturkan kepada kedua orang tua. Sesulit apapun hidup, sesusah apapun rintangan, percayalah dua orang tersebut akan selalu berada di dekat kita. Tak lupa pula seluruh teman-teman yang telah memberi dukungan baik moril maupun materill. Teruntuk buat redaksi Frasa. Di tengah kesibukan, kejenuhan, dan berbagai persoalan Frasa tentunya menjadi bagian dari keluarga besar saya. Dukungan dari crew Frasa kiranya sangat berarti bagi saya. Makmur HM, Delvi Adri, Muhammad Asqalani, dan Syahara Niyya tentunya tak pernah membuat saya sedih dalam bekerja dan belajar. Justru makin semangat. Buat Kak Jhody dan istri, Putu Gede yang berada di luar sana juga selalu memberikan komunikasi motivasi bagi saya.***

ttd YOHANA

Frasa

Edisi 9 Tahun I [Kamis, 28 Februari 2013]


HAL

6

UTAMA

Puisi, Korupsi & Kritik Tradisi Oleh: Munawir Aziz

Korupsi menjadi polemik dan bencana dalam ruang kehidupan bangsa ini. Menghadapi polemik ini, sastra bertugas memberi wawasan segar dan pencerahan kreatif kepada publik luas, agar menghindar dari jerat korupsi. Virus korupsi seolah menggerakkan energi iblis untuk melahirkan setan-setan baru yang menghancurkan negara dan tatanan kehidupan. Masa depan bangsa ini dihimpit suramnya badai korupsi. Di tengah badai, sastra bertugas menangkis korupsi dengan menginspirasi pembaca sebanyak-banyaknya agar menghindar dari terjangan korupsi. Karya sastra yang lahir untuk mencerdaskan bangsa ini, hendaknya menempatkan antikorupsi sebagai wacana yang terus dikampanyekan. Tanggung jawab sosial sastrawan adalah mengupayakan perbaikan hidup dengan menjelaskan kondisi kritis yang merenggut masa depan bangsa ini. Maka, karya sastra yang menggambarkan perlawanan terhadap tradisi korupsi patut didukung den-

Edisi 9 Tahun I [Kamis, 28 Februari 2013]

Frasa


UTAMA gan pemikiran dan gerakan kongkret. Melawan korupsi berarti menyiapkan mental dan diri menggempur kemapanan birokrasi. Kritik sosial semacam ini, akan meletup dalam diri sastrawan yang tak mau dikekang kejumudan. Sastrawan dan seniman yang menghamba pada kemapanan birokrasi hanya akan menghasilkan dengan nafas pendek. Kampanye antikorupsi dalam karya sastra mengharuskan konsistensi dalam pikiran dan tindakan. Kampanye antikorupsi yang meletup akan menjadi perjuangan kreatif penuh risiko, namun menjadi panggilan hidup dan refleksi penting. Puisi antikorupsi merupakan jalan kreatif untuk mengutuk kebusukan birokrasi dan mengimpikan masa depan cerah bangsa ini. Perjuangan kreatif inilah yang akan menjadikan nama penyair terekam dalam keabadian. Sebaliknya, ketika penyair hanya terdiam menghadapi badai krisis sosial, menjadi epigon, dan makelar sastra, maka karya yang lahir hanya akan singgah sejenak pada beranda sejarah, selanjutnya tenggelam dan diterpa arus tren baru yang lebih relevan. Penyair yang setia pada penciptaan puisi, berfungsi sebagai aktor yang mengendalikan lorong komunikasi dalam jengkal syairnya, dengan menampilkan nilai-nilai baru (new values) yang bermanfaat bagi masa depan sastra negeri ini. Untuk itu, penggalian terhadap tema-tema sosial hendaknya melalui filter kontemplasi dari ruang batin. Sudah selayaknya lorong puisi negeri ini memunculkan karya kreatif yang tak tunduk pada kanon sastra yang lazim diikuti, atau setelah ditahbiskan sebagai “selera zaman”. Perjuangan menemukan celah kreatif yang tak sekadar berbeda, tetapi menyuguhkan jalan dan bentuk baru dalam khazanah sastra negeri ini. Jalan sunyi yang ditempuh penyair, merupakan perjuangan kemanusiaan dengan sayap kreatif luar biasa. Penyair yang setia menampilkan kritik sosial dan jejak kreatif dalam derap sajaknya, akan tercatat dalam naskah sejarah kesastraan. Hal inilah, yang menjadikan Widji Thukul—penyair dan aktivis sosial—dari Solo, sajaknya menjadi “lagu wajib” bagi aktivis mahasiswa, hingga detik ini. Widji THukul melancarkan sajak-sajak kritik sosial, hingga menjadikan dirinya “lenyap” tak berbekas, ketika hegemoni Orde Baru masih menancap di bumi pertiwi. Dengan demikian, bukan dentuman karya yang menjadi “air bah” dalam panggung sastra, akan tetapi subtansi dan kecemerlangan karya, yang akhirnya memberikan kontribusi penting bagi perkembangan kehidupan. Pada konteks inilah,

Frasa

HAL

7

Sudah selayaknya lorong puisi negeri ini memunculkan karya kreatif yang tak tunduk pada kanon sastra yang lazim diikuti, atau setelah ditahbiskan sebagai “selera zaman”. Perjuangan menemukan celah kreatif yang tak sekadar berbeda, tetapi menyuguhkan jalan dan bentuk baru dalam khazanah sastra negeri ini.

Edisi 9 Tahun I [Kamis, 28 Februari 2013]


HAL

8

UTAMA

ucapan Heidegger (dalam Urterwegs zur Sprache) bahwa “setiap penyair besar hanya menghasilkan sebuah syair” menjadi kalimat penting.

gan problem politik dan hukum. Selanjutnya, Korupsi itu/ kalau toh dianggap ada/ mustahil bisa dibasmi dari muka bumi/ termasuk negeri ini/ tapi dalam hal ini upaya saudara jaksa/ bagaimanapun juga sangat saya hargai. UngWacana Korupsi Dalam letupan puisi di panggung sastra negeri kapan ini menjadi sentilan kepada lembaga hukum ini, wacana antikorupsi yang sublim dalam deretan negeri ini, ketika menghadapi kasus korupsi sekan sajak penyair disuarakan secara lantang. Adalah berbelit-belit. Selain itu, sajak ini mengungkapkan F. Rahardi, penyair dan wartawan, menulis kum- paradoks keadilan di negeri zamrud khatulistiwa. Di ranah hukum, koruptor yang merugikan pulan sajak “Catatan Harian sang Koruptor” (1985). negara dalam jumlah besar, seakan bebas memDalam buku ini, F. Rahardi merangkum 48 sajak yang penuh dengan kritik sosial dan refleksi realitas permainkan, sedangkan warga kecil dengan balutan kemiskinan menjadi pesakitan ketika tertimpa kehidupan. Sajak F. Rahardi sarat dengan kritik sosial terh- kasus hukum. Selain F. Rahardi, belakangan ini adap keserakahan, wajah pemerintah, paradoks muncul ratusan penyair yang menggemakan kritik keadilan, dan perilaku koruptor yang melukai hati antikorupsi dalam deretan sajak. Riuhnya kritik sosial rakyat. Sebagaimana dalam panggung sastra, dalam puisi “Tentang Di ranah hukum, koruptor yang merugikan semoga menjadi inspiraTikus” ini; Tikus tikus negara dalam jumlah besar, seakan bebas si bagi berbagai elemen jorok itu melubangi mempermainkan, sedangkan warga kecil bangsa untuk memperkebun rakyat/ dan menbaiki negeri ini. Kritik dengan balutan kemiskinan menjadi curi cek lembar demi yang menguar dari lembar/ Dan menumpesakitan ketika tertimpa kasus hukum. sosial puknya dalam gudang Selain F. Rahardi, belakangan ini muncul lubuk sastra, akan menjadi ekpresi kehidupan 75 cm/ di bawah perratusan penyair yang menggemakan kritik yang sesungguhnya. mukaan tanah. KukerahHal ini senada dengan antikorupsi dalam deretan sajak. kan herder/ kusiapkan analisis Nyoman Kutha sekop/ kubongkar dan Ratna (2005) bahwa kutumpas tikus-tikus yang bodoh dan memalukan. kaitan antara sistem estetika dan sistem sosial tamBagiku,/ cek, bini muda, mobil/gedung atau karet pak apabila karya sastra dilihat melalui dimensi-diKB/semuanya bernyawa dan punya kaki/ mereka tak pernah kukejar/ kucari-cari atau kucuri/ mer- mensi sosiokulturalnya. Artinya, karya sastra diangeka semua datang sendiri/ tiap hari sebagai upeti. gap melalui manifestasi intensi-intensi struktur Sajak ini, walaupun ditulis puluhan tahun lalu, akan sosial tertentu, baik sebagai afirmasi (pengakuan), tetapi masih relevan dengan konteks sosial politik restorasi (pengembalian pada semula), dan inoyang terjadi saat ini. Korupsi menjadi hantu yang vasi (pembaruan), maupun negasi (pengingkaran). membayangi kehidupan dan merasuki tubuh peja- Melalui medium bahasa, karya sastra menampilkan ekspresi kolektivitas tertentu, sebagai pandangan bat negeri ini, hingga mencederai amanat rakyat. Suara hati F. Rahardi menjadi penanda (sign) dunia. Hal ini menjadi spirit penyajian refleksi melabetapa virus korupsi begitu parah merasuk dalam lui lorong sastra. Kampanye antikorupsi dan kritik sosial lain yang kehidupan bangsa ini. Dalam sajaknya yang lain, F. menggema dalam karya sastra, diharapkan menjaRahardi merefleksikan situasi dalam ruang pengadi inspirasi terbukanya ruang kesadaran elite politik dilan yang penuh dengan muslihat. Seperti petikan sajak “Pledoi di Meja Hijau”: Tuan Hakim Ketua dan negeri ini untuk memperbaiki kinerja dan mengayAnggota/ Saudara Jaksa/ Rekan Saya Pembela/ Dan omi rakyat. Dengan demikian, cita-cita negara kesHadirin semua. terlebih dahulu/ kenalkan: aku ini ejahteraan (welfare state) akan tergapai. Dan lewat hewan kurban/ —bukan koruptor—/ seperti tudu- panggung sastra, spirit inilah yang terus dikobarhan jaksa/ atau pers Indonesia. Penyair F. Rahardi kan.(www.publiksastra.net) menuliskan perenungannya akan kondisi hukum Munawir Aziz, Koordinator Divisi Riset Sampak negeri ini, dengan perspektifnya sebagai penyair, “Gus Uran” dan peneliti di Cepdes, Jakarta. sekaligus wartawan yang setiap hari bergelut den-

Edisi 9 Tahun I [Kamis, 28 Februari 2013]

Frasa


UTAMA

HAL

9

Frasa

M a j a l a h SAS T RA D i g i t a l

Mengucapkan

Selamat atas Diwisudanya Salah Seorang Redaktur MSD FRASA

Yohana Fitri, S. IKom

Pada Hari Rabu, 27 Februari 2013 di Universitas Riau Tertanda

Frasa

Pemimpin Umum Makmur HM

Pemimpin Redaksi M Asqalani eNeSTe

Sekretaris Redaksi Jhodi M Adrowi

Wakil Pemimpin Redaksi Delvi Adri, S. Pd

Edisi 8 Tahun I [Rabu, 30 Januari 2013]


HAL

10

SASTRA DUNIA

Dari Nietzsche ke Olimpiade Sastra Oleh: Richard Oh

P

ada tahun 1876, sebuah festival diselenggarakan di Bayreuth atas prakarsa King Ludwig II, Bavaria, untuk menggelar karya-karya komposisi Richard Wagner. Seorang filsuf tak dikenal pada waktu itu diundang untuk menghadiri festival ini. Filsuf itu hadir di festival Bayreuth karena, selain sebagai sahabat dekat sang komposer, dia memang penggemar berat karya-karya Richard Wagner. Namun, apa yang disaksikannya di Festival Bayreuth itu justru membuat dia jatuh pingsan di tengah keramaian. Apa yang terjadi dalam festival itu sungguh mengguncang sistem pemikiran sang filsuf sehingga membuat dia menelaah kembali secara kritis apa yang disaksikannya di festival itu. Kegundahan intelektualitasnya membuahkan dua karya pemikiran filsafat yang sangat terkenal, yakni Human, All-too- Human dan Ecce Homo. Dua karya yang mengecam habis-habisan kemerosotan kebudayaan dan kebobrokan moralitas kelas borjuis. Hubungan filsuf ini dengan panutannya, Richard Wagner, sejak saat itu meretak. Filsuf ini bernama Nietzsche. Hari ini kita paham cikal bakal kegundahan Nietzsche pada Wagner dan Festival Bayreuth berlandasan pada

Edisi 9 Tahun I [Kamis, 28 Februari 2013]

kemuakkannya pada orang-orang borjuis yang dianggap terlalu mengagung-agungkan seorang pencipta karya seni. Juga frustrasi sekaligus kekecewaannya pada Richard Wagner yang, di matanya terlihat sebagai seorang seniman sejati, semestinya tidak membiarkan dirinya dielu-elu bagaikan seorang mahadewa. Dua abad kemudian kita perlu mengutak-atik kembali pemikiran Nietzsche. Di abad ke-21 ini hanya para rocker dan bintang layar lebar Hollywood yang menikmati layanan istimewa seperti yang disesalkan oleh Nietzsche itu. Pemikir, ilmuwan, komposer, bahkan rupawan paling terkenal sekalipun saat ini tidak bisa lagi mengimbangi kejayaan yang pernah dinikmati oleh Sartre, Einstein, Wagner atau- pun Picasso pada masanya. Saya yakin hanya sejumput manusia yang kenal baik nama-nama ini: WB Sebald, Garreth Lisi, Alain Badiou, dan Gerhard Richter. WB Sebald adalah penulis sastra yang dianggap salah satu penulis terbesar saat ini. Garreth Lisi dengan makalahnya, A Very Simple Theory of Everything, dianggap fisikawan yang telah menemukan sebuah solusi elegan untuk menyatukan teori relativitas dan teori partikel yang telah mengganggu para ilmuwan sejak masa Einstein. Alain Badiou adalah seorang filsuf yang dianggap

Frasa


SASTRA DUNIA berhasil mengembalikan filsafat ke jalur baru, sejak filsafat diluluhlantakkan oleh para pemikir pascamodern. Gerhard Richter adalah rupawan Jerman yang dianggap rupawan paling hebat di masa ini. Hari ini mereka hanya dikenal sebagai dewa di kelompok masing-masing. Bagi orang awam, mereka hanya nama-nama tidak berarti sama sekali. Pada saat ini, hampir mustahil, seorang pemikir bisa menggapai ketenaran yang begitu berpengaruh seperti Sartre ataupun mereka yang nama-nama saya sebutkan di atas. Wacana yang menyerpih Di era serba fragmentaris ini, yang digambarkan oleh Nietzsche sebagai abad �Tuhan yang telah mati�, sangatlah sulit bagi seorang seniman, ilmuwan atau- pun pemikir besar untuk mendominasi wacana publik. Suara orang-orang istimewa ini sudah kehilangan geregetnya. Walaupun internet memungkinkan kita menyebarluaskan sebuah wacana ke seluruh dunia dalam sekejap, ia juga berhasil memecahbelahkan pusat perhatian dunia sehingga dampak sebuah wacana menjadi serpihan-serpihan tak berarti. Di dunia cerai-berai seperti sekarang ini, komik, seni rupa, seni performa, apa saja yang mudah dicerna dan tidak membuat jidat mengerut menjadi penguasa di bidangnya. Alasannya sangat sederhana, mereka mempunyai daya tarik massal yang tinggi. Semakin berpengaruh massa itu, semakin sederhana tuntutan manusia pada sebuah karya seni. Manusia modern tidak lagi memiliki waktu untuk menafsir sebuah karya seni secara saksama. Semuanya harus supra cepat dan tidak bertele-tele. Maka kapasitas berpikir dan daya ingat pun menjadi semakin dangkal dan manusia pun kehilangan toleransi dan kesabaran. Dalam list bestseller New York Times sekarang nama-nama seperti John Grisham dan Daniel Steele mendominasi. Di zaman sekarang, asal kasar, melawan konvensi dan tebal muka, karya-karya tersebut akan diserap langsung oleh masyarakat. Dalam keadaan seperti ini, maka tidak heran dan perlu kita syukuri keagresifan negara-negara berkembang dalam mempromosikan kebudayaan dan pencipta seni ataupun pemikirnya. Mereka dianggap sebagai aset-aset nasional yang perlu didukung karena mereka menonjolkan kebudayaan dan memperkenalkan keunikan peradaban masingmasing negara, yang pada ujungnya merupakan sebuah tindakan yang bersifat politis dan pragmatis karena ia meningkatkan turisme dan pemasukan devisa. Apa yang ditakutkan oleh Nietzsche, dua abad kemudian menjadi sebuah hal yang perlu kita dukung secara mutlak. Di negara-negara yang lebih maju, di mana bergelimang kekayaan pribadi, banyak filantropis yang bermunculan. Kepedulian mereka tidak hanya di tingkat kepantasan seorang individu mengembalikan ke negaranya apa yang telah mereka keruk darinya. Alasan mereka kini jauh lebih pribadi dan mendalam: bagi sebagian filantro-

Frasa

HAL

11

pis urusannya bukan lagi altruisme, tetapi sebuah kecintaan mendalam pada bidang-bidang kesenian yang mereka dukung. Beberapa nama belakangan bermunculan menjadi pahlawan filantropis: Bill Gates, Oprah Winfrey, dan Maurice Saatchi.

Agresivitas budaya

Tidak heran bila kemudian kita menyaksikan pertumbuhan yang begitu dahsyat di berbagai bidang kesenian dan kebudayaan di negara-negara yang begitu agresif membelanya. Mengikuti jejak negara tetangganya, Jepang, Korea secara agresif mempromosikan kebudayaannya di negara kita. Negara-negara Eropa sudah bertahun-tahun mempromosikan kebudayaan dan keseniannya di negara kita. Negara-negara Amerika Latin seperti Cile dan Brasil juga tidak mau kalah dalam mempromosikan keunikan kebudayaan mereka. Melalui prakarsa yayasan Pablo Neruda, misalnya, Cile pernah memberikan Pramoedya Ananta Toer sebuah penghargaan. Brasil saat ini sedang mempromosikan Capoera dan kulinernya kepada masyarakat kita. Di negeri ini, sebuah aksi agresif yang mendayagunakan produk budaya sebagai senjata utama penegakan karakter dan integritas sebuah bangsa tidak tampak dalam setiap kebijakan publik maupun jargon para calon pemimpin yang sibuk untuk dipilih belakangan ini. Tak ada semacam strategi kebudayaan yang kuat, visioner, dan progresif. Kesenian sebagai produk budaya terpenting menjadi komoditas alientif dalam retorika politik-ekonomi kita yang riuh. Terlebih kesusastraan, sebagai satu puncak kesenian, mendapatkan apresiasi yang hampir nol di kalangan elite kita. Belum lagi posisinya yang tak hanya terpojok karena desakan teknologi digital seperti video games dan perangkat informasi-komunikasi, sastra pun menjadi bidang yang dianggap kurang menjanjikan oleh orang muda saat ini. Penulis-penulis sastra serius harus berjuang mati-matian untuk bisa mencukupi keperluan sehari-hari hanya untuk sekadar bertahan hidup dan setia pada profesi. Dan terlalu minim kebijakan publik yang mau menyentuh hal itu. Kemiskinan sastra terjadi sudah secara struktural; tertolong karena kegigihan para aktivis/pelakunya saja. Oleh karenanya, di tengah ribut kita pada upaya promosional dengan program binaan atau penyelenggaraan berbagai olimpiade sains, betapa bermartabatnya bila juga diikuti oleh sebuah ide bagi penyelenggaraan sebuah olimpiade sastra. Yang melibatkan segala lapisan masyarakat luas, yang tak hanya menggalakkan apresiasi dan penciptaan sastra, tetapi juga kian meneguhkan karakter kebudayaan kita yang dihargai dunia sejak beberapa milenia lalu. Dalam gelapnya, sastra memerlukan bintang-bintang yang menyelamatkan pelayarannya. (www.publiksastra.net) Richard Oh, Penulis novel, penggagas penghargaan sastra Kathulistiwa Award

Edisi 9 Tahun I [Kamis, 28 Februari 2013]


HAL

12

SASTRA INDONESIA

Sastra pun Membutuhkan Mediasi Oleh: Herry Firyansyah

Ketika hendak berkomunikasi dengan pembaca, sastra membutuhkan sarana atau mediasi, yaitu bahasa. Singkatnya, sastra mengguratkan hasil pencarian imajinasi itu dalam rangkaian kata, dan bahasa yang tertata amat indah. Maka, peran bahasa menurut Slamet Mulyana (1964), sangat vital dan tidak bisa dianggap sepele. Pertanyaanya kemudian, apakah ada hubungan antara penguasaan bahasa, mutu bahasa dan apresiasi seseorang terhadap karya sastra? Tentu saja ada korelasi yang sangat signifikan. Sebab, kedalaman dan penguasaan bahasa seseorang akan memberinya kemudahan untuk menangkap pesan, pengetahuan, hiburan, atau ancaman yang dibawa teks (termasuk sastra), termasuk kemudahan menyampaikan pengetahuan itu pada orang lain. Maka, benar kata Seno Gumira Ajidarma (2007), bahwa bahasa itu menentukan corak berpikir tentang sesuatu, ekpresi imajinasi, dan pengetahuan seseorang. Singkatnya, bahasa adalah batas pengetahuan dan batas apresiasi budaya seseorang. Fakta itu juga saya alami ketika menyimak Emha Ainun Najib (Cak Nun) membacakan karya sastra

Edisi 9 Tahun I [Kamis, 28 Februari 2013]

maupun orasi budaya yang disampaikan setiap malam tengah bulan. Demikian juga ketika mendengar Mustofa W Hasyim, Hamdy Salad, Indra Trenggono, Agus R Sarjono, dan sastrawan lainnya membaca karyanya. Para sastrawan dan penyair itu, karena penguasaan bahasa, mampu menangkap pesan teks-baik yang tersurat maupun tidak-secara apik, yang selanjutnya dikomunikasikan kepada audience sastra. Karena penguasaan bahasa pula, audience sekitar saya ada yang menangis terharu, gusar, atau hanya melongo (baca; tak tau apa-apa). Dari analisa itu, tepat pendapat Slamet Mulyana bahwa besar kecilnya apresiasi masyarakat terhadap karya sastra ditentukan oleh penguasaan bahasa. Sayangnya, sistem pendidikan kita tidak

Frasa


SASTRA INDONESIA menanamkan penguasaan keterampilan bahasa itu pada anak didik. Guru lebih menekankan teori dan pengetahuan bahasa daripada mengutamakan keterampilan berbahasa. Dengan kata lain, pengajaran bahasa Indonesia cenderung membawa siswa belajar tentang bahasa daripada belajar berbahasa, aspek kognitif lebih diutamakan daripada aspek psikomotorik. Kurikulum pengajaran bahasa, tulis St Kartono (2007), benar silih berganti, mulai dari Kurikulum 1975, 1984, 1994, hingga 2006. Namun demikian, pendekatan pembelajaran bahasa yang mendasari kurikulum itu belum beranjak dari pendekatan struktural menuju pendekatan komunikatif. Belum lagi keterbatasan alokasi waktu, di mana untuk SMA hanya disediakan waktu empat jam pelajaran tiap minggu. Bandingkan dengan pelajaran IPA, Matematika, Fisika dan ilmu-ilmu eksak lainnya. Anehnya, kurikulum itu dengan tegas mensyaratkan kenaikan kelas atau kelulusan dengan nilai bahasa Indonesia bukan merah. Problem pengajaran bahasa masih diperparah dengan kualitas bahasa Indonesia sendiri, ketika dipersandingkan dengan bahasa dunia lainya. Bahasa kita (Indonesia) tidak mampu menangkap dan menterjemahkan semua letupan atau “ujaran� sastra. Fenomena ini dikeluhkan hampir semua sastrawan kita, salah satunya Otto Sukatno CR (2007). Menurutnya, lantaran sempitnya perbendaharaan kosakata bahasa Indonesia, sastrawan kita sering meminjam istilah bahasa asing. Akibatnya, produk sastra menjadi elitis karena maknanya hanya diketahui oleh orang-orang tertentu (yang paham bahasa lain). Produk sastra menjadi kehilangan pembacanya sehingga tidak banyak memberi kontribusi pada kehidupan manusia. Keterbatasan bahasa kita, semakin terasa tatkala menerjemahkan karya sastra atau pemikiran bahasa lain (Inggris, Arab, Spanyol, Prancis, India dan sebagainya). Naskah asli misalnya hanya sekitar 100 lembar, tetapi begitu diterjemahkan menjadi 200 lembar atau lebih. Karena keterbatasan perbendaharaan kosakata pula, bahasa kita sering memenggal atau mendangkalkan rasa bahasa aslinya. Ketika membaca dan mengapresiasikan karya-karya besar semacam Wordsworth, Mahabarata, Ramayana dan Mary Shelley, mestinya hati kita akan takjub dan bergetar. Akan tetapi justru sebaliknya, karya besar itu terasa biasa-biasa saja dan tak mampu menggugah

Frasa

HAL

13

relung batin kita. Ini artinya, bahasa kita boros kata tetapi dangkal makna. Selain aspek pengajaran, problem bahasa juga tidak lepas dari peran politik dan kekuasaan. Pemerintah Orde Baru (orba) misalnya, sering menempatkan bahasa sebagai komoditi kekuasaan yang sering dipolitisi. Orba dengan sistem sentralistik dan totaliter, mengharuskan keseragaman di setiap lini kehidupan, termasuk bahasa. Maka, dikeluarkanlah aturan baku penggunaan bahasa yang disebut dengan “Ejaan Yang Disempurnakan� (EYD). Di satu sisi, adanya peraturan yang ketat terhadap masuknya berbagai kosakata asing bertujuan meneguhkan identitas kebangsaan kita. Tetapi di sisi lain, aturan itu justru menyempitkan ruang apresiasi bahasa terhadap teks-teks sastra asing. Tampaknya, tidak ada pilihan lain bagi kita selain terus membenahi model pengajaran dan kualitas bahasa Indonesia. Pertama, pengajaran bahasa harus menjadi proses pembiasaan berbahasa yang baik dan benar. Para guru harus menjadi teladan bagi anak didiknya dalam penguasaan keterampilan berbahasa. Sebab, kebiasaan berbahasa anak didik hanya dapat dibentuk dalam suasana disiplin para guru bahasa Indonesia itu sendiri. Maka, para guru bahasa harus mempunyai kebiasaan membaca, terbuka dengan pemikiran baru, dan membiasakan menulis, sehingga merangsang siswa untuk melakukan hal yang sama. Singkatnya, para guru bahasa Indonesia tidak sekadar sebagai pengajar, tetapi juga menempatkan diri sebagai pendidik yang membangun kebiasaan berbahasa para siswanya. Kedua, adanya kebijakan pemerintah yang memberi kebebasan bagi para pakar bahasa untuk mengkaji dan meneliti unsur-unsur kebudayaan kita sehingga menemukan istilah-istilah, padanan kata atau kosakata yang bisa menerjemahkan berbagai simbol bahasa di dunia. Jika bahasa kita tidak terus berbenah, dia tidak akan sanggup menerjemahkan simbol-simbol bahasa dunia, dan dengan demikian tidak akan menjadi alat komunikasi yang efektif. Hanya dengan perbendaharaan kosakata yang lengkap, dan memiliki rasa yang baik atau paling tidak mendekati bahasa aslinya. Hanya dengan itu, penghayatan kita terhadap dunia sastra-yang selalu menggunakan mediasi bahasa-bisa lebih holistik, mendalam dan universal, sehingga bisa semakin memperkokoh peradaban bangsa ini. Semoga. ***

Edisi 9 Tahun I [Kamis, 28 Februari 2013]


HAL

14

SASTRA RELIGI

Memahami Sastra Islam Oleh: Jumardi

S

astra dalam Islam (Arab) disebut dengan adab.Dalam keseharian, kita bisa mengaitkannya dengan kesopanan, kesantunan, atau dengan istilah kelembutan kata.Sudah tentu untuk menilai sikap dan tingkah laku seseorang kita melihatnya dengan adab.Baik dengan melihat kesopanannya, kesantunannya, atau dengan kelembutan tutur katanya saat bicara.Namun defenisi adab di dalam sastra jauh lebih besar daripada itu. Menurut Shauqi Dhaif, adab (sastra) adalah karya yang dapat membentuk ke arah kesempurnaan kemanusiaan, yang di dalamnya terkandung ciri estetika dan kebenaran. Dalam Islam, sastra haruslah mendorong hasrat masyarakat untuk menjadi pembaca yang baik. Masyarakatlah yang menjadi target utama pemahaman kesusastraan. Jadi sastra Islam lebih mengarah pada pembentukan jiwa. Definisi seni dan sastra Islam menurut Said Hawa dalam bukunya Al Islam, adalah seni/sastra yang berlandaskan kepada akhlak Islam. Senada dengan

Edisi 9 Tahun I [Kamis, 28 Februari 2013]

Frasa


SASTRA RELIGI Said Hawa, menurut Ismail Raja Al Faruqi, seni Islam adalah seni infiniti (seni ketakterhinggaan), di mana semua bentuk kesenian diakomodir pada keyakinan akan Allah. Ia juga menyatakan bahwa ekspresi dan ajaran Alquran merupakan bahan materi terpenting bagi ikonografi seni/sastra Islam. Dengan demikian seni Islam dapat dikatakan sebagai seni Qurani atau seni Rabbani. Harun Daud berkata, “Tujuan kesusastraan adalah untuk mendidik dan membantu manusia ke arah pencapaian ilmu yang menyelamatkan.Bukan untuk membentuk makna spekulatif.Sebuah karya sastra atau karya seni dalam Islam adalah alat atau bantuan dan bukannya pengakhiran realita itu sendiri.” Sementara menurut Shanon Ahmad bersastra dalam Islam haruslah bertonggakkan Islam, yaitu sama seperti beribadah untuk dan karena Allah. Dalam Manifes Kebudayaan dan Kesenian Islam 13 Desember 1963 di Jakarta —yang dideklarasikan untuk merespon Lekra dan Manifes Kebudayaan 17 Agustus 1963— para seniman, budayawan muslim beserta para ulama yang dimotori Djamaludin Malik, menyatakan bahwa yang disebut dengan kebudayaan, kesenian (kesusastraan) Islam ialah manifestasi dari rasa, karsa cipta dan karya manusia muslim dalam mengabdi kepada Allah untuk kehidupan umat manusia. Seni Islam adalah seni karena Allah untuk umat manusia yang dihasilkan oleh para seniman muslim bertolak dari ajaran wahyu Illahi dan fitrah insani. Setelah kita memahami definisi maupun tujuan dari sastra Islam, ada hal yang perlu kita jawab yaitu apakah yang akan menciptakan karya sastra Islam harus orang Islam? Atau bisa saja orang non muslim berkarya yang karya sastra mereka berdasarkan adab Islam, lalu apakah sastra mereka dapat dikatakan sebagai sastra Islam? Kita perlu memahami maksud dari definisi di atas, bahwa yang dikatakan sastra Islam adalah sebuah karya yang berlandaskan adab islami yang orang yang membuat karya sastra itupun harus orang Islam. Jadi jika orang non muslim berkarya dengan ciri karya sastra Islam bukanlah disebut sastra Islam. Sastra itu bisa disebut dengan sastra yang bersumberkan Islam. Untuk memudahkan kita untuk memahami maksud sebenarnya dari sastra Islam.Berikut beberapa ciri sastra Islam. Yaitu: (1) Jika sebuah cerpen, puisi atau novel Islam, misalnya, tidak melalaikan pembaca atau penulisnya untuk mengingat Allah. (2) ketika membacanya akan diingatkan kepada ayatayat kauliyah maupun kauniyah-Nya. (3) Ada unsur

Frasa

HAL

15

amar maruf nahi munkar dengan tidak menggurui. (4) Penuh dengan ibrah dan hikmah. (5) Ia kerap bercerita tentang cinta; baik cinta kepada Allah, Rasulullah, kedua orangtua, perjuangan di jalanNya. Cinta pada kaum muslimin dan semua mahluk Allah: sesama manusia, hewan, tumbuhan, alam raya dan sebagainya. Ciri lainnya, karya sastra Islam tidak akan pernah mendeskripsikan hubungan badani, kemolekan tubuh perempuan atau betapa ‘indahnya’ kemaksiatan, secara vulgar dengan mengatasnamakan seni atau aliran sastra apapun. Ia juga tak membawa kita pada tasyabbuh bi’l kuffar, apalagi jenjang kemusyrikan. Sastra Islam akan lahir dari mereka yang memiliki ruhiyah Islam yang kuat dan wawasan keislaman yang luas. Penilaian apakah karya tersebut dapat disebut sastra Islam atau tidak bukan dilihat pada karya semata, namun juga dari pribadi pengarang, proses pembuatannya hingga dampaknya pada masyarakat. Sastra Islam bagi pengarangnya adalah suatu pengabdian yang harus dipertanggungjawabkan pada Allah dan umat. Sastra dalam kehidupan seorang muslim atau muslimah pengarang adalah bagian dari ibadah. Artinya tidak ada dari hasil karya mereka diniatkan selain untuk ibadah. Sebuah karya tak bisa dikatakan sebagai sastra Islam hanya karena mengambil setting (latar belakang) pesantren, masjid, mengetengahkan tokoh ulama dan menampilkan ritual-ritual keagamaan atau unsur sufistik.Sastra Islam lebih dari sekadar slogan atau simbol.Sang pengarang, kehidupan, Islam dan karyanya menjelma satu kesatuan. Para sastrawan Islam, berkarya tidak hanya sekadar berkarya, untuk menghasilkan sebuah kesenian yang indah, kata-kata yang mengagumkan.Tetapi mereka jauh lebih besar dari itu.Mereka berkarya atas dasar iman kepada Allah dengan tujuan dari karyanya itu dapat menjadikan dirinya dekat kepada Allah dan orang yang membaca karya-karyanya bisa ikut juga menjadi lebih baik. Untuk mewujudkan itu semua tentunya sebelum berkarya haruslah memperbaiki pribadi terlebih dahulu secara matang sampai benar-benar memahami agama Islam secara kaffah. Sehingga apapun yang tertulis atau hasil karyanya benar-benar membawa kebaikan dunia dan akhirat.(www. riaupos.co) Jumardi, Mahasiswa Fakultas Ushuluddin Jurusan Tafsir Hadits UIN Suska Riau Co Kaderisasi FLP Pekanbaru

Edisi 9 Tahun I [Kamis, 28 Februari 2013]


HAL

16

KOMUNITAS

suasana diskusi di Komunitas Rudal, Yogyakarta

Komunitas Rudal Yogyakarta

Membaca dan Berdiskusi, Lahan Awal Dunia Kepenulisan Penulis: Matroni Muserang

K

omunitas Rudal merupakan sebuah komunitas yang konsen di bidang sastra. Selama ini komunitas ini sudah berjalan 20 edisi pertemuan. Dari pertama kali kita bertemu dalam komunitas Rudal ini kami lebih fokus pada dua jalan dalam sastra yaitu puisi dan cerpen, walau kadang ada seling diskusi tematik, akan tetapi selama ini kami masih konsen membedah puisi dan cerpen. Lahirnya Komunitas Rudal berangkat dari kegelisahan teman-teman terhadap dunia kepenulisan dan dunia membaca. Yaitu bagaimana proses kreativitas dalam dunia kepenulisan. Bagi kami membaca dan diskusi merupakan lahan awal dalam dunia kepenulisan. Dari kegelisahan itu, lahirlah Komunitas Rudal, walau pun kami belum sepakat mau disingkat apa Rudal ini, tapi bagi kami bukan singkatannya yang sebenarnya paling penting, akan tetapi isi atau substansi dari sebuah komunitas itu sendiri yaitu kontinuitas dalam belajar dan berdiskusi. Dan kegiatan diskusi sastra di Komunitas Rudal diadakan setiap Sabtu Sore jam 15.00 di daerah Pengoh, Demangan, Gondokusuman Yogyakarta. Secara struktual kami tidak memiliki pengurus harian atau pengurus secara struktural, kami

Edisi 9 Tahun I [Kamis, 28 Februari 2013]

berjalan kultural saja dan semua teman-teman Komunitas Rudal kerja sama dan sama kerja, awalawal teman-teman komunitas Rudal sendiri sebagai pembedah, misalnya saya sendiri (Matroni Muserang), F, Rizal Alief, Jufri Zaituna, Marsus Banjarbarat, Imam Nawawi, Selendang Sulaiman, Rachem Siyaesa, Rusydi Tolareng, Yondi, dan kami mengundang penyair-penyair Yogyakarta yang kami kenal seperti Mahwi Air Tawar, Achmad Muchlis Amrin, Muhammad Ali Fakih, Sunli Thomas Alexander, Ridwan Munawwar Galuh, Ahmad Fakih Mahfudz, dan Quratun A’yun. *

Frasa


KOMUNITAS

HAL

17

Beberapa kegiatan Komunitas Rudal Yogyakarta, mulai dari berdiskusi hingga bedah cerpen dan puisi bersama beberapa penulis ternama.

Frasa

Edisi 9 Tahun I [Kamis, 28 Februari 2013]


HAL

18

CERPEN: Fitria Handayani

Terakhir Edisi 9 Tahun I [Kamis, 28 Februari 2013]

Frasa


CERPEN

HAL

19

Debu-debu dari penghapus hitam itu terus bertebaran di sekitarku, Fania tampaknya sedang berjuang keras dengan kertas-kertas itu. Entah apa? Aku pun tak begitu mengerti, sampai sekarang aku masih terkurung dalam tempat pensil tua yang selalu diagung-agungkannya. Kuperhatikan lagi gerak-geriknya, kacamata yang ia kenakan kini mulai lembab, iamenangis. Aku tak tega melihatnya. Ia merapikan kami dan memasukannya ke dalam tas yang baru beberapa bulan ini menjadi bagian dari kami. Setelah menempuh perjalanan cukup panjang, kami sampai di sebuah gedung tua. Aku belum terlalu mengerti apa yang akan ia lakukan, tetapi kami senang karena kami dapat terus berada di sampingnya, menemani tangis dan tawanya. Fania adalah sosok perempuan muda yang tangguh, meskipatut diakui bahwa ia adalah penyendiri, oleh karena itu kami sering dibawanya kemanapun ia pergi. Ia sering menulis disela-sela kesendiriannya, kadang menulis puisi, cerita, bahkan mengarang lagu-lagu indah yang selalu dinyanyikannya sendiri. Kami sangat menikmati suaranya yang indah sambil menyanyi bersama teman-temanku yang lain. Tak sadar kami telah berada di suatu ruangan kosong.Ia duduk di lantai yang agak berdebu, lalu menyimpan tas di sampingnya. Perlahan tapi pasti, ia mengeluarkanaku bersama dengan sebuah kertas tua yang masih terlihat cantik. Ia menggenggamku dengan erat, erat sekali, sehingga aku kesulitan bernafas. Aku memejamkan mataku selama Fania menulis, ia menulis dengan tekanan yang sangat tinggi, sehingga sesekali kertas tua itu terluka karenaku. Ia menulis dengan sangat cepat hingga tak terasa aku telah ditaruh tepat di depannya. Setelah Fania menyimpan kertas itu di meja, aku dimasukkannya kembali kedalam tempat pensil kebanggaanku itu, kemudian kami pulang bersama dan terus berusaha menghibur Fania. Hari demi hari kian berlalu. Namun, perasaan gundah Fania tetap melekat bahkan terus bertambah. Aku bingung, aku ternyata tak dapat berbuat banyak untuknya. Kami ikut sedih belakangan ini, padahal biasanya kami selalu saja ceria menghadapi indahnya dunia, berusaha menghiburnya di saat ia sedih, tetapi kali iniberbeda.

Frasa

Edisi 9 Tahun I [Kamis, 28 Februari 2013]


HAL

20

CERPEN

Hingga tiba di saat Fania merasakan puncak amarahnya.Ia mengendarai motor tuanya dengan kecepatan 120 km/jam, tak sampai 5 menit melaju, akhirnya kami pun sampai kembali di gedung tua itu. Ia menendang pintu gedung tua itu, memasukinya dengan tergesa-gesa, ia berlari dengan sangat cepat saat menaiki tangga kayu yang sudah agak rapuh. Tibalah kami di ruangan yang sama seperti beberapa hari lalu, tetapi kini terlihat sesosok pria tua sedang berdiri menghadap jendela. Fania langsung mengeluarkanku dan berjalan perlahan. Ia membuka penutup kepalaku dan... Woooossshh! Aku ditancapkan ke leher pria itu dan seketika berlumuran darah. Aku takut sekali, aku menangis, tak percaya bahwa semua ini telah dilakukan oleh Fania. Sesosok perempuan manis yang telah bertahun-tahun merawatku, menemaniku, selalu bersama di setiap waktu, hingga akhirnya seperti ini. Ia pergi bersama tas kebanggaannya, bersama teman-temanku yang ikut menyesali atas hal yang telah terjadi, ikut menangis melihat diriku. Aku kini ditinggal sendiri, keluar dari komunitas dengan cara yang sadis. Aku hanya dapat terdiam, diam dalam gedung tua dengan keadaan yang mencekam akibat tragedy berdarah ini. Aku menangis tiada henti, menangis dan menangis, sepanjang malam, sepanjang hari, menangis dalam sunyi. Setelah empat hari berlalu, di tengah tangisku yang mulai mengering, dan mayat pria tua itu yang sudah mulai dikerumuni belatung-belatung yang entah datang darimana. Suara yang sudah familiar di telingaku itu terdengar cukup jelas. Ya, itu adalah suara mobil polisi yang sepertinya telah terparkir tepat di depan gedung tua ini. Aku merasakan dua orang pria berseragam telah berada di tangga, hingga tak lama

Edisi 9 Tahun I [Kamis, 28 Februari 2013]

Frasa


CERPEN

akhirnya priaitu sampai di ruanganku dan refleks menutup hidung mereka saat mencium bau bangkai yang keluar dari mayat pria itu. Tak lama diperiksa, mayat pria itu terlebih dahulu dibawa ke mobil ambulan yang telah sampai sekitar sepuluh menit yang lalu. Setelahitu, barulah aku dimasukannya ke dalam plastik transparan yang dengan senang hati menyambutku. Aku dan mayat pria itu terpisah dengan mobil dan tujuan yang berbeda. Aku bersama polisi itu menaiki mobil patrol menuju kantor polisi, sedangkan mayat itu dinaikkannya keambulan menuju rumah sakit untuk dilakukan otopsi. Aku merasa sesak di dalam sini. Darah pria itu rasanya telah meracuniku, aku merasa kehilangan jati diriku semenjak kejadian empat hari yang lalu itu.Masih terekam jelas saat Fania menancapkan ku dengan sekuat tenaganya ke leher pria itu dan seketika darah bercucuran dimana-mana, kematian yang tragis. Tak terasa, akhirnya aku sampai di ruangan gelap yang hanya diterangi bolham 5 watt di tengahtengah meja dan empat kursi mengelilinginya. Aku yang masih terbungkus plastic diletakkan di tengah-tengah meja itu, kemudian diambil oleh pria berjaket putih untuk di periksa sidik jari terlebih dahulu. Tak lama, aku pun kembali keruangan gelap ini. Sendiri menanti seseorang yang akan meminta jawaban atas hal yang sebenarnya telah terjadi pada diriku yang tidak dapat banyak membantu. Seseorang membuka pintu perlahan, sesosok pria itu membawa sesuatu yang kurasa aku mengenalinya, jelas kurasa dari baunya, ah... ternyata itu kertas tua indah yang pernah ditulis Fania beberapa hari sebelum tragedy berdarah itu. Ya, aku yang menulisnya, meski aku tak tahu persis apa yang aku tuliskan. Kertas itu disimpan tepat di sebelahku, kudeka-

Frasa

HAL

21

tinya dan kubaca perlahan. Aku terkejut dan tidak dapat berkata-kata lagi. Isi tulisan itu adalah... Senin, 11 September 2000 Belum genap duapuluh tahun yang lalu Aku pernah ada disini Pertama kali merasakan udara di dunia yang fana Namun, aku seperti tak pernah diharapkan Aku dibuang begitu saja Tepat di hari pertama aku hidup Aku telah menunggu Belasan tahun yang menyakitkan Kelak aku ‘kan kembali datang Tepat di ulang tahunku Kuharap kauingat... Tak perlu khawatir Karena aku akan segera mati setelah Aku menghabisimu Setidaknya jika aku tak dapat hidup bersamamu Aku tetap dapat mati bersamamu... AYAH Ttd, Fania Aku tak dapat menahan air mataku. Ternyata pria tua itu adalah Ayah Fania yang membuangnya saat ia baru saja menginjakkan kakinya di dunia ini. Aku tak mengerti siapa yang salah. Namun, semua ini benar-benar terjadi, telah menimbulkan luka yang teramat menyakitkan. Kehidupan dan kematian yang menyakitkan, dan aku saksinya. **** Jumat, 16 November 2012 Fitria Handayani, siswi kelas XII IPA 3 SMA Negeri 1 Leuwiliang, Alamat di Kecamatan Leuwiliang Kabupaten Bogor.

Edisi 9 Tahun I [Kamis, 28 Februari 2013]


HAL

22

PUISI A. Sultoni dan Arafat AHC

Ranjang Ketikab cinta hendak tertidur kusodorkan puisi-puisi kepadamu agar ranjang tempat kita bercinta tak merana ketika cinta terbangun. Kalau telah habis puisi kuberikan kita tunggu saja cinta terbangun siapa tahu masih tersimpan puisi yang belum sempat kita baca. 2013 A. Sultoni, Lahir di Cilacap 31 Agustus 1991; adalah anggota Komunitas Penyair Institute (KPI). Masih menempuh di bangku kuliah program studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Muhammadiyah Purwokerto. Berdomisili di Desa Welahan RT 01 RW 01, Adipala, Cilacap, Jawa Tengah. HP. 085786618300. email: Achmadsultoni71@yahoo.com Risalah Argumen; Tentang Angin Dan Kebinalan Manusia Serupa Hewan “ Kenapa kau seperti ini? “ tanya Angin lembut. “ Tidak apa-apa” jawabmu: manusia serupa hewan. Angin yang tertipu dalam risalah argumen yang kau bilang ini argumen tingkat tinggi, Akan tetapi mata dan nadamu tak sanggup kau ajak bermain kekonyolan. Memperkosamu. Bukan berarti tak ada percaya yang tertancap pada harga dirimu. Tapi ia hanya mencari sepercik air yang suci. Kau malah menampar mata angin dengan argumenmu. Hingga gairah memerkosaanmu memuncak, dan kau malah meronta seolah kau tak apa dan angin yang mengada. Angin tak butuh risalah argumenmu: yang menggiling jagad raya. Angin hanya butuh kesucian kata dan hatimu. Karena angin mencintaimu seperti dia mencintainya dan perawatnya.

Hanya Malam Yang Menghimpit Pelipih Hanya malam yang menghimpit pelipih Ada kenangan berdua Antara kau dan kandang ayam Terekam gesekan air dan udara Meramal tentang esok Hanya malam yang menghimpit pelipih Anak-anak berlari mencari persembunyian Kakek-kakek merayap di dinding tua Dan para gadis membuka pintu rumah Menyambut Jibril yang tersesat Hanya malam yang menghimpit pelipih Tangisan terurai saat dinding kesucian pecah Terpercik tangisan mengeram Hanya malam yang menghimpit pelipih Pecah-pecah Menyatu Rabi’ul Awwal 1433-1434 H, Habib Arafat Arafat Abdul Hadi Choliel ( Arafat AHC ) lahir di Desa Jetak, Wedung, Kabupaten Demak dan sekarang tinggal di Ngaliyan, Semarang. Menulis puisi, cerpen, tajuk, artikel, essay, dan tulisan yang bisa ditulis. Untuk menyapanya, bisa ke facebook: Arafat AHC dan bisa mampir ke blognya: Arafat AHC dan Serat Gusti. Atau bisa menghubungi cr7.rafa@ yahoo.co.id dan 085640790588, 087833743942, 089605024633. Puisinya termuat di antologi, “Selayang Pesan Penghambaan”(Pustaka Nusantara, Grobogan-2012), “Ayat-ayat Ramadhan”(Alif Gumilang Publishing,Yogyakarta-2012), “Dari Sragen Memandang Indonesia”(DKDS, Sragen-2012). Puisinya dimuat di laman Rumah Diksi, El_Insyaet, WAWASANews.com dll. Penulis tergabung pada komunitas Sastra LAH Kudus, yang saat ini mati suri karena ditinggal anggota-anggotanya ke berbagai penjuru Indonesia.

Syawwal 1432 H, Habib Arafat

Edisi 9 Tahun I [Kamis, 28 Februari 2013]

Frasa


Irwanto dan Be-pd PUISI

HAL

23

Andai Aku Nelayan Tua

Tanah dan Darah

tak berkasut aku terpaut larian mekar laut di persimpangan mercusuar ini kuberi layar biar dapat kaki menari lari dan lari pulang dan pergi

Tanah hitam, tanah putih Tanah merah, tanah coklat Tanah kuning, tanah abu-abu Tanah sawo matang, tanah kuning langsat Identik dengan suku bangsa manusia Memang asal manusia dari tanah Tanah lumpur Darah merah, darah putih Darah biru, darah kotor Darah dingin, darah panas Darah muda, darah lemah Kurang darah, haus darah Hingga pendarahan, tak jadi darah daging ayah-bunda Sejak Adam dan Hawa turun ketanah Sudah ada yang berdarah-darah Saling tumpahkan darah Padahal saudara sedarah Hingga kini masih saja banjir darah dimana-mana

tali temali bintik bintang landai tikam suluh kemudi buih serambi musim berganti kelamin oh perabung rumahku yang calar dihintip camar tua bersumbat damar, obor dan kain kumal ku tunggu engkau di magrib setiap persinggahan ingin

Cucilah darahmu sampai putih merah ruhmu Irwanto, lahir di Tanjung Batu - Kepulauan Riau, 05 Januari 1982. orang memanggilnya Tuan Tabib Gubah Puisi 2013 Kelana, seorang tukang sunat peminat Sastra dan Budaya. Puisinya diterbitkan di berbagai media sepBe-PD (Bellinda Puspita Dara). Lahir di Cirebon,14 erti; Batam Pos, Haluan Kepri, Pekanbaru Pos, Len- September 1992. Mahsiswi Pendidikan Ekonomi UniteraTimur dan Majalah Sagang. Terangkum dalam versitas Riau (UR) Semester 5 CP: 087893855703 FB/ antologi Sajak 64 Penyair , Sayap Sayap Bening email: bellindapuspitadara@ymail.com Moto hidup: Antologi Puisi Kep.Riau 2012. HP : 081364261676 FB: Menjadi diri sendiri, selagi bisa berusaha sendiri ttp://www.facebook.com/irwanto.liverpool kenapa harus mengharap orang lain.

Frasa

Edisi 9 Tahun I [Kamis, 28 Februari 2013]


HAL

24

eduSASTRA

Sastra; Mengenal Saudara dan Budaya Oleh: Sartika Sari

S

astra dan semangat persaudaraan ibarat kembang mekar di tengah taman. Mengapa? Karena memang, saat ini topik tersebut laris di pasar perbincangan para sastrawan dan budayawan Indonesia dengan mancanegara. Hidup dalam kemultikulturalan masyarakat memang telah menjadi pilihan yang menuntut kita untuk cakap bersosialisasi dan beradaptasi di lingkungan yang heterogen. Medan, sebagai salah satu wilayah yang kental dengan bermacam-macam budaya, setelah Jakarta yang terkenal sebagai wilayah multikultiralisme, merupakan satu kondisi nyata betapa keberagaman yang ada menjadikan kita individu yang berbeda-beda. Kemajemukan adalah suatu keindahan. Saya yakin hal tersebut dapat disepakati bersama. Membahas tentang keberagaman dan kemajemukan, pada dasarnya memang harus diakui bahwa menyatukan warna yang berbeda bukanlah pekerjaan mudah. Tetapi, andai saja kita sadar dengan pentingnya kerukunan dan keberadaan jembatan pemersatu, tentu perbedaan warna dapat menjadi sesuatu yang indah. Tidak kalah dengan lukisan Paul Husner-penyatuan

Edisi 9 Tahun I [Kamis, 28 Februari 2013]

warna-yang pada bulan Desember ini mengadakan pameran di Galeri Nasional Indonesia. Masih tentang keberagaman yang menjadi ciri khas bangsa kita. Berangkat dari keberagaman masyarakat di Medan, kita beranjak ke wilayah negara yang berbeda. Selama ini kita telah menjalin hubungan bilateral dengan banyak Negara di dunia. Maka sangat disayangkan jika hubungan tersebut hanya sebatas mengirimkan delegasi tanpa pengenalan secara sederhana ke masyarakatnya. Ya, multikultural bukan hanya objek dalam wacana multikulturalisme. Itulah mengapa kita kerap terlupa dengan kesederhanaan, dan lebih cenderung hanyut dalam kerumitan. Begini maksud saya. Jika bicara tentang multikultural, lekat dalam mindset kita-sahabat belia-adalah sikap saling menghormati, tenggang rasa, dan tidak memaksakan kehendak pada orang lain. Hanya itu. Padahal, pada beberapa titik, masih ada kesenjangan yang menjadi jurang pemisah dan muasal perpesahan. Kita kurang mengenal dengan baik kultur dalam hal ini negara lain. Beragam teks dan perjanjian dilahirkan. Namun toh, hanya seperti simbolis semata. Sedang keberadaan

Frasa


eduSASTRA teks-teks kebudayaan, sastra, dianggap tiada. Mengutip kalimat Berthold Bonn/Jerman, dalam makalah “teks, Sastra, dan pertukaran Budaya yang ditampilkan dalam acara Jakarta International Literary Festival ke-2 pada tanggal 6-8 Desember 2011 yang berisi: “Kalau mau tahu tentang semangat, juga tingkat intelektualitas dna kreatifitas sebuah bangsa, saya menyarankan: bacalah puisi para penyairnya!” Saya yakin pemikiran itu sudah ada dalam benak kita, hanya saja motivasi dalam mengaplikasikannya memang sangat lemah. Sastra yang selama ini ada dan dikenal oleh masyarakat lebih banyak dimaknai sebatas tumpahan hati saja. Dalam makna yang lebih luas, sastra dirasa masih belum mampu menjadi kajian yang sahih seperti ilmu-ilmu lainnya. Padahal, melalui sastra kita dapat saling mengenal budaya, kondisi masyarakat dan kultur suatu daerah. Banyak pula semangat persaudaraan yang tersimpan. Tetapi masih terbenam jauh dan luput dari kita. Tentu, dalam kesempatan ini, saya bukan pengamat sastra yang sudah mahir untuk mengulas hal tersebut. Tetapi ada beberapa hal yang penting untuk diketahui perihal teks sastra dan fungsinya terkait dengan semangat persaudaraan dan multikulturalisme. Karya sastra modern sangat memungkin kan bisa “menyelinap” dan menyeberang ke ranha budaya dan sosial lainnya dengan cara yang tidak terlalu menghebohkan. Kedua, kary sastra modern biasanya ditulis oleh pengarang yang sudah sangat mafhum mengenai perlunya berinteraksi dan menyoal konvensi yang sudah ada. Situasi sosial dalam karya sastra disikapi dengan menciptakan tempat yang “aman” untuk menyiasati “penyelinapan”, “penafsiran”, dan “penyeimbangan” pemaknaan. Selain itu, karya sastra dapat mewadahi strategi-strategi multikultural tersebut. (Tommy CH, Fakultas Ilmu Budaya UI). Mengenal suatu masyarakat dengan pendekatan estetis dan psikologis kejiwaannya terbukti lebih ampuh ketimbang menganalisis peraturan yang kaku. Bukankah lewat sastra kita bisa mengenalkan budaya Indonesia, mengenal dunia mancanegara dan menjalin kerukunan dunia. Lantas mengapa masih diam dan menahan tahu? Mari, retaslah karya-karya emas untuk Indonesia dan jejaki dunia dengan estetika. (www.publiksastra.net)

Frasa

HAL

25

Sastra yang selama ini ada dan dikenal oleh masyarakat lebih banyak dimaknai sebatas tumpahan hati saja. Dalam makna yang lebih luas, sastra dirasa masih belum mampu menjadi kajian yang sahih seperti ilmu-ilmu lainnya. Padahal, melalui sastra kita dapat saling mengenal budaya, kondisi masyarakat dan kultur suatu daerah. Banyak pula semangat persaudaraan yang tersimpan. Tetapi masih terbenam jauh dan luput dari kita.

Edisi 9 Tahun I [Kamis, 28 Februari 2013]


HAL

26

LENTERA BUDAYA

Dramatari Gambuh

Tari Lakon Klasik Tertua Dalam Khazanah Tari Bali

P

ada umumnya fungsi Gambuh adalah sebagai Tari Bebali (seremonial), yaitu sebagai pengiring upacara di pura-pura. Dramatari Gambuh sebagai tari lakon klasik tertua dalam khazanah tari Bali adalah merupakan bentuk total teater yang memiliki unsur seni, drama, music, dialog dan tembang. Dramatari gambuh masih memakai nama-nama tokoh penarinya diambil dari nama-nama kaum bangsawan kerajaan di Jawa Timur pada abad ke 12-14. Nama-nama itu diantaranya Demang Sampi Gontak, Tumenggung Macan Angelur, Rangga Toh Jiwa, Arya Kebo Angunangun, Punta Tan Mundur, dan lain-lainya. Dramatari Gambuh mengambil tema dari cerita Panji yaitu sebuah hikayat yang menceritakan kehidupan, peperangan, roman dari raja-raja Jenggala, Kediri, Gegelang, dan sebagainya. Di Bali cerita ini disebut Malat. Pada Dewasa ini masih ada beberapa Sekeha Gambuh yang masih aktif seperti di Pedungan (Kodya Denpasar), Batuan (Gianyar). Dramatari Gambuh adalah tari dasar hampir selu-

Edisi 9 Tahun I [Kamis, 28 Februari 2013]

ruh tari-tarian yang ada di Bali. Dramatari Gambuh sangat erat hubungannya dengan pelaksanaan upacara-upacara besar terutama tingkatan upacara “mapeselang”. Tarioan Gambuh ditarikan pada waktu Ida Bhatara turun ke paselang. Pada waktu piodalan di pura yang merupakan piodalan ageng, pelaksanaan upacara dimulai oleh Ida Pedanda dengan memuja caru yang merupakan penyupatan. Kala Rudra dengan wajah yang menyeramkan akan disucikan sehingga menjadi “somya” atau tenang, dan distanakan di Sanggar Tawang. Pada saat inilah beliau berwujud Ida Sang Hyang Widhi, setelah dipersembahkan sesajen (katuran ayaban) lalu dipuja oleh umat dan tedun ke paselang. Drama Tari Gambuh mengambil lakon Panji. Barulah dalam perkembangannya,Gambuh mebawakan lakon lain seperti Amad Muhamad, Rengganis, Megantaka, Lawe, Undakan Pangrus, Pakang Raras, Ni Diah Tantri (C.J. Grader, 1932:2-3 dalam Rota, 1982: 9). Adapun tema pokok cerita-cerita Panji (termasuk Malat) adalah kisah percintaan.

Frasa


LENTERA BUDAYA Kata malat diambil dari nama tokoh utama cerita itu yaitu Panji Amalat Rasmi. Tokoh-tokoh penting dalam pertunjukan Gambuh adalah Condong, Kakan-kakan, Putri, Kade-kadean atau Kadeyankadeyan, Demang, Tumenggung, Prabu, Panji, Prabangsa, Potet, Penasar, Patih Tua. Instrumen musik Gambuh terdiri dari Rebab (satu buah), Suling berukuran besar (dua atau tiga buah), Kendang (sepasang), Kajar, (satu buah), Klenang (satu buah), Ricik atau cengceng kecil (satu buah), Kenyir (satu tungguh), Gentorang atau ogar (satu atau dua buah), gumanak (dua buah), Kangsi (sebuah). Di antara alat-alat music di atas, gumanak dan kangsi sekarang sudah semakin jarang dipergunakan ( I Wayan Dibia, 1978-1979 : 13 dalam Rota, 1982: 13) Dengan aturan pepeson dalam pertunjukan dramatari Gambuh diatur sesuai dengan kedudukan/ kepangkatan tokoh-tokoh yang ada. Adapun salah satu aturan pepeson yang ada adalah adegan Putri, adegan Panji, adegan Prabu Alus, Adegan Prabu Keras, Adegan Prabangsa. Aturan ini mungkin saja mengalami perubahan kecil sesuai dengan lakon yang dibawakan tetapi tidak akan jauh berbeda dari aturan pepeson yang pokok ini.

Sejarah Singkat Karya budaya

Menurut I Ketut Rinda dan dr. R. Moerdowo, bahwa gambuh telah ada di bali pada tahun 929 Saka atau tahun 1007 masehi. Dikatakannya bahwa sejarah tentang gambuh terdapat dalam lontar Candrasengkala dimana disebutkan gambuh telah ada di Bali pada permulaan abad ke-11 tepatnya pada tahun 1007 masehi, pada masa pemerintahan Sri Udayana beserta permaisurinya Sri Gunapriya Dharmapatni di Bali, (I Ketut Rinda dan dr. Moerdowo, 1973 dalam Ketut Rota,1982:2). Pendapat ini diperkuat dengan pendapat Sudarsono yang juga mengatakan bahwa ia sendiri tidak dapat menetapkan dengan pasti abad keberapa gambuh lahir di Bali. Jika hanya berpegang

Frasa

HAL

27

kepada lontar Candrasengkala, dapat dikatakan gambuh sudah ada pada permulaan abad ke -11 (Sudarsono, 1972 dalam Ketut Rota,1982:3) Sedangkan I Made Bandem dalam bukunya Ensiklopedi Tari Bali mengatakan bahwa gambuh merupakan dramatari tertua di Bali yang berunsur total teater dan diduga muncul sekitar abad ke-14. Dalam tulisan lain I Made Bandem dan Fradrik Eugene de Boer mengatakan bahwa “One of the types of courtly dance-drama mentioned in the old records still exists in Bali today, preserved by a continuous performing tradition that extends back for 400 years. This is Gambuh, a bebali dance of the second temple courtyard, which is performed without masks� (I Made Bandem,& Fredrik Eugene de Boer, 1978-1979, dalam Ketut Rota,1982:5) Mula pertama adanya Dramatari Gambuh di Bali terkait dengan Sastra Malat yaitu sebuah karya karya sastra berbentuk kidung berbahasa Jawa Tengahan. Ide penciptaan Dramatari Gambuh di Bali bersumber pada karya sastra Panji/Malat ini. Besar kemungkinan sasatra malat masuk ke Bali sekitar abad ke- 16, dramatari Gambuh pun kemungkinan besar pertama ada di Bali pada abad ke-16 atau setelah itu. Kemudian dalam sastra Panji/Malat yang masuk ke Bali sudah disebut-sebut adanya Gambuh atau lahir dari hasil membaca dan mendengar cerita-cerita Panji. Demikian pula kalau diperhatikan gambelan Gambuh yang juga ada kaitannnya dengan dramatari gambuh, ternyata gambelan gambuh termasuk golongan gambelan madya yang lebih muda dari gambang, saron, selonding kayu, gong besi, gong luang, selonding besi, angklung klentangan, dan gender wayang. Tetapi Gambelan dramatari Gambuh lebih tua dari gambelan Arja, gong kebyar, gambelan jangger, angkung bilah 7, gambelan joged bumbung, gong suling (I Made Bandem, 1975:42 dalam Rota, 1982: 25).(www. budaya-indonesia.org)

Edisi 9 Tahun I [Kamis, 28 Februari 2013]


HAL

28

TEENLIT CERPEN

KEMARAU HARI-HARIKU Oleh: Daviatul Umam el-S

Pena dan kertas ini akan kujadikan saksi serta bukti yang menggambarkan adanya perasaan yang masih terbelenggu dalam hati. Seorang gadis yang berteduh dalam naungan Pesisir Kombang, pernah menjadi bagian dari nafasku.Gadis teguh pendirian yang kudapati dari sifatnya. Menawan dan mempesona yang kudapati dari gaya hidupnya. Sungguh istimewa di sela-sela waktu ketika aku merindukannya. Edisi 9 Tahun I [Kamis, 28 Februari 2013]

Frasa


TEENLIT CERPEN Namun kini telah sirna dari genggamanku. Cinta-mencintai telah pecah entah dia yang salah atau memang aku sendiri yang salah. Kisah kami berdua berakhir dengan kepahitan. Aku benar-benar menyesal sudah memutuskan hubungan dengannya, yang kurasakan saat ini. Menyisakan luka dan duka seperti kehilangan keluarga. Ingin rasanya aku balikan sama dia. Menciptakan hidup baru tanpa kekosongan jarak sedikitpun. Membawa kebahagiaan, kedamaian, serta ketentraman di tengah keabadian cinta.Lebih pantas mati dari pada aku harus menggores hatinya lagi. Tak ingin kuulangi higga empat kali.Alangkah indah jika aku meneteskan air matanya dalam keheningan surga dibanding menumpahkannya dalam campuran air tuba. Membahagiakannya merupakan cita-cita terbesar bagiku. Tapi apalah daya, tangan orang lain telah menggendongnya ke atas bianglala. Bagai ombak yang membentur, begitulah kira-kira keberadaan hatiku sekarang.Mencari arah tak menentu.Seperti kumbang kehilangan madu. Bingung semakin menggunung terus-terusan ditimbun kegalauan dalam lingkaran waktu. Kucoba menguntaikan ‘rasa cinta‘ akan banyak wanita dengan visi-misi ingin mencuci imajinasi dari wajahnya. Sayangnya selalu digagalkan oleh keharuman hatinya yang masih terpaku tajam dalam tubuhku. Sungguh aku tak bisa melupakan gadis itu.Masih saja banyangan-bayangannya mengikuti langkah demi langkahku. Tak bisa ditukar dengan wanita lain sekalipun dihiasi permadani indah. Betapa sejuknya dunia ini jika dia kembali ke pangkuanku.Akan tetapi semua harapanku hanyalah angin biasa. Tak kan bisa mengguyur keeratan cinta dia dengan kekasihnya. Cinta yang begitu kokoh, tegar, dan sempurna bak karang dalam lautan.Keromantisan telah menumpuk dalam harihari mereka berdua.Seperti itulah yang kuraih dari perkataan manisnya kala aku menanyakan tentang hubungan cintanya saat ini. Penuh ketapi-tapian yang menjadi bingkai dalam benakku.Biarlah kekasihnya yang menanggung semua pintu air matanya.Biarlah kekasihnya yang mengantar aroma dalam hidupnya.Walau sebenarnya aku tak sanggup melihat hal itu terjadi sampai akhir nanti. Ah,,, tak perlu kubersedih. Lebih baik aku mendo’akan dia semoga tetap bersama kesetiaan yang merajalela.Dan harus mendukung perjalanan-

Frasa

HAL

29

nya agar kesemangatan selalu menjadi bumbu dan mewarnai kekuatan cintanya. Kalau cinta tak harus memiliki, berarti wajib bagiku merelakannya pergi ke pelukan orang lain. Wajib pula ikut bahagia apabila dia merasakan kebahagiaan.Jujur aku bisa tersenyum jika dia merasakan keistimewaan.Paling utama jika semakin banyak yang menyayanginya. @@@ Sampai sekarang nafasku masih bergejolak ketika teringat pada masa laluku dengannya.Kami berdua memang sejalan dalam kehidupan sehari-hari kendatipun terkadang saling menyalahkan dalam sebuah permasalahan yang selalu melingkup bahkan menghantui kenirwanaan jembatan kami.Menimbulkan kurangnya rasa kasih sayang sampai-sampai dianugerahi perselisihan, pertengkaran, juga prahara yang menggelombang dan menerkam karang cinta kami.Namun karang itu hanyalah siluman yang bisa terpunahkan.Tak sekuat karang yang bermukim dalam lautan.Sehingga badai-badai tajam dengan mudah membinasakan hati kami dalam berhubungan. To: Orang yang mengajariku Tentang cinta dan kesakitan. Assalamu’alaikum Wr. Wb. Sebelumnya aku juga minta maaf karena baru bisa balas surat darimu. Syukurlah jika kamu merasa bahwa kamu telah menanam duri di hatiku.Yang telah kamu berikan rasa pedih, sakit, dan tangis itu ada.Memang ucapan seseorang mayoritas tidak sesuai dengan kenyataannya. Tapi bukannya aku berprasangka buruk kepadamu. Aku tidak akan menafsirkan kehidupan seseorang dengan menilai tidak baik kepada orang itu sendiri, termasuk kamu tanpa tahu alur ceritanya. Tapi yang jelas aku mendengar dengan telingaku sendiri kalau kamu suka sama Citra. Dari situlah timbul rasa sedih, perih, dan tangis itu ada.Dua kali air mataku mengalir perih.Itu datang atas kelakuanmu.Namun aku tetap memaafkanmu dan memberi kesempatan untukmu. Tapi entahlah setelah kejadian ini apa mungkin kamu akan memberi air mata itu lagi. Jelas aku tak tahu semua itu. Jika kamu benar-benar sayang padaku seperti

Edisi 9 Tahun I [Kamis, 28 Februari 2013]


HAL

30

TEENLIT CERPEN apa yang kamu tulis di kertas putihmu, maka jagalah perasaan dan hati seorang wanita kalau kamu tak ingin aku benci. Cukup sudah kamu memberikan kesakitan itu sampai di sini.Dan jangan pernah kamu ulangi kesalahan yang ketiga kalinya. Jika masalah itu datang lagi, aku tidak akan pernah mengenalmu sebagai orang yang pernah aku sayang. Itulah hal terbesar yang aku rasakan saat ini. Wassalamu’alaikum Wr. Wb. From: Orang yang tersakiti. 07-Januari-2012. Surat itu merupakan surat kedua yang membawa senjata. Peringatan, peraturan, serta ancaman yang terkandung di dalamnya. Datang secara berangsur-angsur dari tangan ke tangan setelah aku menjawab surat yang pertama. Sebab kami berdua sama-sama berteduh dalam naungan sebuah pesantren.Hanya saja berbeda pemukiman (antara putra dan putri). Usai menelusuri kata-kata yang tertoreh di kertas itu, penyesalan dan kesadaran merumput di hatiku tiba-tiba.Sungguh aku tak tahan pula tak mampu jika disuruh untuk membacanya lagi. Goresan hatinya seakan menjelma sawah yang dibanjiri air mata darah. Telah terwakili dengan bahasa mendung di atas hamparan surat tersebut. Memang benar kata dia. Aku harus menjaga perasaan dan hati seorang wanita.Aku merasa sudah menjadi seorang laki-laki penjajah di dunia ini.Dengan mudah aku meremehkan, melalaikan, menganiaya wanita yang sangat aku cintai. Aku bersumpah atas nama Tuhan sang pencipta Adam dan Hawa beserta cinta yang tertanam dalam diri mereka, aku tidak akan pernah menyakiti dia lagi. @@@ Jum’at yang mengisahkan tentang kemarau. Tepatnya ketika matahari memberi isyarat bayang-bayang yang menandakan jam 13.00 WIB setelah jama’ah shalat jum’at terselesaikan. Hari itu merupakan kiriman akbar bagi para santri. Tak terkecuali anak-anak Talango. Kucoba menghubungi dia lewat telephone.Dia tak bersuara.Aku terus memancing lidahnya dengan lembut supaya berucap menyambungi ucapanku. Lama kelamaan dia bisa membuka belenggu di mulutnya. Tapi tak kutemukan kata-kata manis darinya. Yang terlontar hanyala kecuekan, kejudesan, caci maki, dan serupa dengannya.Terjerumus pesat ke labirinku walaupun aku berusaha menenangkan dan minta maaf sebanyak mungkin terhadapnya.Sia-sia yang kudapatkan. Dia tetap memakai perkataan yang sama seperti semula. Bahkan di akhir kalimat dia minta ucapan ‘putus’ dariku.Dia langsung mematikan sambungan suara di handphone-nya sehingga terpecah antara suaraku dengan suaranya.Kucoba panggil kembali.Akan tetapi informasi rijeck-

Edisi 9 Tahun I [Kamis, 28 Februari 2013]

Frasa


TEENLIT CERPEN

HAL

31

an yang terdengar dari pusat.Itu terulang hingga sebuah surat dan gara-gara setangkai cinta yang setbeberapa kali. Mungkin dia sudah tidak butuh lagi engah roboh tak punya akar. Tapi mau gimana lagi? akan diriku. Tak ada cara lain supaya surat tersebut bisa bertengger di tangan Claudia. Sementara waktu membuatku To: orang yang paling kucinta (Claudia) mendesak dan terburu-buru untuk mengirimnya dengan cepat.Disebabkan rasa egois yang telah menyeluAssalamu’alaikum Wr. Wb. ruh dalam tubuhku.Teriring rasa terpaksa aku melakukan itu semua. Juga kalimat yang terangkai dalam Maafin aku ya, jika selama berhubungan den- surat itu aku tulis dengan pena syetan tanpa berfikir ganku dirimu selalu tersiksa.Jujur, sayang.Aku panjang. Aku sudah terbiasa menggunakan sifat itu, sudah rela untuk melepasmu dari hatiku. Buat apa jika ada latar belakang yang tidak enak didengar dan kita punya hubungan? Tapi selalu dirundung kese- mengandung amarah. Paling menusuk apabila ada dihan karena saling tersakiti.Alangkah baiknya kita kata-kata yang tulus, ikhlas dariku akan tetapi tak sahabatan / temenan saja. Mungkin dengan cara dihiraukan serta merta dijadikan mainan dan dibalas itulah kita bisa menemukan kehidupan baru yang dengan berbagai ejekan yang mengesankan. akan kita rasakan masing-masing. Aku tahu, aku Bermenit-menit kunanti-nanti datangnya Ibu dari tidak bisa menjadi yang terbaik untukmu. asrama putri yang agak lama mulai tadi.Akhirnya datang Sekali lagi aku minta maaf atas kelakuanku yang juga.Mengulurkan sebuah kertas berlipat rapi ke arahku. tak terlintas dalam benakmu selama ini.Baik dari Kuraih dari tangannya dan kubuka pelan-pelan.Ternyata segi sifat maupun perkataan.Sampai-sampai kamu ada guntingan foto yang diselipkan di dalamnya.Foto kelihatan marah ketika ketemu aku.Mungkin sifatku yang awalnya terbingkai indah tercantum diriku dan terlalu memaksa, menekan, menyangka tidak baik dirinya, kukirimkan pada bulan yang lalu.Juga bersaterhadapmu.Atau perkatanku selalu lebay, menyindir, maan dengan sebuah kertas yang dimasukkan ke dalam menyakitkan, yang sempat kuuntaikan padamu. amplop.Kini telah tergunting dikembalikan lagi. Tidak Sumpah, aku emang cinta banget sama Citra. lain hanya sepotong, yakni fotoku sendiri. Ini merupaAsal kamu tahu, aku gak akan mungkin menyakit- kan simbol bahwa ikatan cinta kami telah terbelah. imu. Tapi karena kamu yang menyakiti aku duluan, Kubaca teliti penuh kertas yang bertuliskan tinakhirnya aku juga berbuat demikian. ta merah itu. Memang benar, kalimat di dalmnya Sekarang kamu sudah ngerti kan… tapi semuan- memang sengaja mengandung keterbelahan resya sudah terlanjur. Maka dari itu, kalau kamu mi cinta kami berdua oleh sang penulisnya. Sejak emang ingin hubungan kita putus, ya gak apa-apa. itulah langit dan bumi beserta isinya menyaksikan Aku hanya ingin satu permintaan padamu: “tolong lepasnya rantai hati kami. jangan benci aku.” Kita damai aja ya… Mungkin cuma ini, terima kasih atas semuan>>>THANKS TO ALLAH<<< ya… Annuqayah, 07-November-2012. Wassalamu’alaikum Wr. Wb. Daviatul Umam el-S, lahir pada tanggal From: Dewa Manja 18-September-1996. Menulis Puisi dan Cerpen sejak 27-Januari-2012. merangkak di kelas VIII. Aktif di beberapa komunitas. Karya-karyanya dimuat: Armada, Majalah Muara, Begitulah bunyi potongan surat yang kukirimkan Variez, Radar Madura (Jawa Pos Grup), Himmah, sebagai pertunjukan dari kerelaanku untuk melepasMajalah Infitah, Bindhara, dll. Juga dimuat dalam nya lewat tangan ibuku sendiri saat aku dikunjungi. buku antologi bersama: Penujum dari Laut (IKSAT Entah Ibu memberikannya pada siapa.Yang penting 2012). Puisinya: Perjumpaan SuraMadu, terpilih aku cuma minta tolong untuk diantarkan ke asrama sebagai juara I dalam Lomba Cipta Puisi SponMbakku, Dila (A/06). Waktu itu aku sangat merasa tansekaligus ia memenangkan juara II dalam Lomba bersalah telah menyuruh Ibu hanya untuk mengantar Baca Puisi (Festival Kitabiyah 2012).

Frasa

Edisi 9 Tahun I [Kamis, 28 Februari 2013]


HAL

32

TEENLIT PUISI

  Setelah Malam Gerimis

Menyanyikanmu Vie Apa yang bisa direnung dari semesta Ketika sujud jauh dari waktu yang mengucap rindu Pada kabut kelabu kelambu Hanya suara-suara dzikir hati Menggemakan nama Virqah Yang membuat batu-batu nanar dan bersinar, menusuk sukma Vie Di putaran jam yang akan datang Selalu kuucapkan selamat tinggal Mengingat senyummu yang tak pernah batal Kini, aku membuat musim sendiri Tanpa ada semi dan kemarau Karenanya, bunga-bunga selalu bermekaran Kau tak tahu, Vie Pada kelopak dan putik bunga kasturi Kunyanyikan liuk tubuhmu pada yang kekal Dungkek, Januari

Edisi 9 Tahun I [Kamis, 28 Februari 2013]

Rupanya malam habis gerimis, Pada bunga ia bertetesan Mengalir pada bibir-bibir sungai yang menciumi rerumputan Seperti cinta dan kerinduan, Vie Ia bilang, ada yang hilang setelah lama tak bersua Ya, air yang dirindukan sebagai hujan bulan ini Tak kan hilang hanya matahari yang membakar Sebab itu, Vie aku tahu, bahwa hati tak akan kerontang dari kerinduanku yang terlarang Maaf, Vie Aku telah mencintaimu Dari ujung pedang Dungkek 2013 Den Rasyidi Az (Muhammad Rasyidi) lahir di Sumenep Madura, penggerak kajian filsafat di Lingkaran Metalogi dan Aktif di MBP (Masyarakat Bawah Pohon) Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Karya-karyanya pernah dipublikasikan dibeberapa media lokal dan nasional. Sekarang tinggal di Yogyakarta. CP. 087738466107 Email: ruang.karya@ yahoo.co.id Fb: Muhammad Rasyidi (Den RasyidiAz)

Frasa


TEENLIT PUISI

HAL

33

Melempar Rindu

Sayang ; Sesenja Usia Ibu I Setiap pagi menyapa hari Ibu telah menyiapkan bekal untukku bekerja Ketika hari berganti siang Ibu selalu menantikan kepulanganku di rumah Wanti-wanti tentang keadaanku di luar sana Pandangan cemas tertuju pada jam dinding Yang tak mampu menjawab seluncur pertanyaan ibu Saat jam dinding berdentang nyaring Menunjukkan pertengahan siangnya Debur cemas ibu semakin deras Anak yang sedari tadi di nantikan Tak kunjung pulang menemuinya Sayang ; Sesenja Usia Ibu II Hingga senja menampakkan diri Pun ibu masih(saja) seperti semula Tak beranjak dari kursi goyangnya Yang matanya memandang tajam Jam dinding diam membatu Dan malam kini menemani ibu Yang(masih) menanti kepulanganku Pada malam kian tua Aku pulang menemu ibu terlelap Di atas kursi goyang dengan wajah lemah ; Pucat pasih pun cemas itu begitu nyata terlihat Astaghfirullah‌ maafkan anakmu : Bu Sketsa Kontan , Juni 2012 Azizah Nur Fitriana adalah Mahasiswi Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UNIMED dan saat ini bergiat pada Komunitas Tanpa Nama ( KONTAN ). Puisinya mengisi laman Waspada dan Medan Bisnis.

Frasa

hati ini melambungkan rindu mengisahkan kenangan menjenguk masa silam saat dipapah pembelai kehidupan saat disuap penyuplai kehidupan di desa sepi perbincangan ruko atau kalutnya kemacetan lalu lintas ibu negara melempar rindu ke gubuk berpelepah lontar, bertiang sagu rakitan kreativitas leluhur masa silam sepi buah bibir tata kota hampa sentuhan arsitek dari kampus ternama di desa mungil sepi tak bermegah pemuda-pemudinya, putera-puterinya, nenek, kakek, buyutnya, hingga penghuni samudera langit turun ke hutan dan belukar belantara yang tercipta dalam satu karya kedamaian desa merangkul mesra memelukku dalam hati kesunyian mendekapku dengan rasa kemanusiaan menyuapku dengan peradaban kasih rukun dan dami. Kos Bambu, 11012013 Steve Agusta adalah nama pena dari Stefanus P Elu. Lahir dari pasangan petani desa di ujung timur negeri Indonesia, pada 30 September 1985. Lulusan S1 Ilmu-Ilmu Teologi di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta. Saat ini, saya bekerja sebagai Wartawan di Majalah HIDUP (sebuah Majalah Katolik berlevel Nasional dan sudah berumur 66 tahun). Karya-karyanya bisa ditemukan di blog: stevehyasantrix.wordpress.com. Email: steve.hyasantrix@gmail. Account Fb: Steve Elu.

Edisi 9 Tahun I [Kamis, 28 Februari 2013]


HAL

34

FIKSIMINI makmur HM

Kursi goyang Setiap malam Abah duduk di kursi goyang depan kamarku. Sebelah kanannya ada meja bundar. Di atasnya ada secangkir kopi, vas bunga yang sudah kusam bunganya dan selembar foto Emak yang sudah pudar warnanya. Di seberang, ada jendela yang menganga tepat ke bulan setiap jam 12 malam. Abah dulunya senang sekali ngopi sambil ngunyah goreng ubi dan menghisap sam su di sana. Sesekali sam su diganti dengan lintingan. “Kalau harga padi anjlok, Abah rela begini,� ia menggerutu. Malam ini tak ada sam su di tangan Abah, lintingan juga. Kopi di meja sudah lama dingin, ras-

Edisi 9 Tahun I [Kamis, 28 Februari 2013]

anya juga barangkali sudah hambar. Emak yang menyeduhnya, dulu. Kini Emak di syurga entah menyeduhkan kopi buat siapa. Emak adalah wanita paling setia. Bahkan pacarku saja tak sesetia dia. Sebelum tidur, aku selalu mengucapkan selamat tidur kepada Abah. Paginya, saat bangun tidur, aku baru sadar jika Abah sudah innalillah... belajarnarasi, 5 Februari 2013 Makmur HM, adalah pria bodoh yang tidak pernah bisa fokus terhadap apa yang selalu ia cita-citakan, yaitu menjadi penulis.

Frasa


PUISIMINI

HAL

35

petuah seayah nak, bila kau ingin cepat tidur maka bermainlah dengan hujan yang turun teratur Pondok, Januari 2013

kelahiranku di perut, seperempuan menggendong gunung sembilan bulan. hingga meletus memuntahkan magma suwung* dan aku, terlahir dari hembus nafas yang berperang dengan izrail

Sajak Restu

: KH Dzikron Abdullah izinkan aku meminjam sandalmu untuk menembus belantara hutan Kamar06, Januari 2013

*Suwung (B. Jawa) = tenang, anteng, kosong. Pesantren, Januari 2013

Banjir Air hujan meluruh orang-orang bersimpuh banjir mencipta teduh mata yang menyimpan keluh Semarang, Januari 2013

Frasa

Mubaqi Abdullah, nama pena dari Abdullah Mubaqi. Lahir di Tegal 09 Juli 1991. Saat ini tercatat sebagai santri PonPes Addainuriyah 2 Semarang, juga mahasiswa di IKIP PGRI Semarang. Puisi-puisinya tergabung dalam antologi Dari Sragen Memandang Indonesia, dan Pinangan bersama dapur sastra jakarta. Beberapa puisinya pernah dimuat di Majalah Keris UKM KIAS IKIP PGRI. Cerpennya berjudul Orangorang yang memperkosa hujan pernah dimuat di majalah digital Frasa dan Buletin Ulyatu Al-Kubro di PonPes Addainuriyah 2 Semarang.

Edisi 9 Tahun I [Kamis, 28 Februari 2013]


HAL

36

INSPIRING

Leo Tolstoy (1828-1910)

‘Tuhan’ Bagi Kaum Tertindas Edisi 9 Tahun I [Kamis, 28 Februari 2013]

Frasa


INSPIRING

HAL

37

P

enulis besar, pecinta kaum Papa nama lengkapnya adalah Lyev Nikolayevich Tolstoy, lahir di Yasnaya, Tula, Rusia tanggal 28 Agustus 1828 dari sebuah keluarga ningrat. Sejak umur 9 th orang tuanya meninggal sehingga ia dibesarkan dalam asuhan bibinya. Meskipun berasal dari keluarga ningrat, Tolstoy tidak menjadi angkuh dan ingin dihormati, justru sebaliknya ia dikenal sebagai filsuf moral dan reformator sosial. Pada saat itu sedang terjadi tekanan revolusi sosial, dimana orang kaya dari kelompok ningrat hidup dalam kemewahan dan pesta pora. Sementara kaum petani dan lainnya yang miskin hidup dalam kesengsaraan. Umur 16, Tolstoy kuliah di Univ. of Kazan, untuk belajar bahasa dan hukum, namun karena bosan ia keluar dari sekolah itu. Meski demikian, latar belakang pendidikan hukum membuat Tolstoy mengerti praktekpraktek kehidupan yang menyimpang. Kaum ningrat, bangsawan kaya yang hidup dalam kemewahan, ternyata tidak selamanya memperoleh semua kekayaan itu dengan cara yang benar. Tolstoy masuk ketentaraan pada tahun 1851 dengan menggabungkan diri pada tentara Kaukasia dan ikut dalam perang Krim. Dia keluar dari ketentaraan pada 1855 u ntuk kemudian mengembangkan kemampuannya di bidang sastra di St. Petersburg. Melalui minat dan bakatnya yang besar dalam penulisan, Tolstoy menyampaikan keluhan-keluhan kaum tertindas dalam karya-karyanya yang luar biasa. Dalam tulisannya nampak nyata ungkapan-ungkapannya mengenai prinsip kekristenan secara mendalam. Novel pertamanya yang berbentuk autobiografi yaitu “Childhood, Boyhood, dan Youth� menceritakan tentang anak seorang tuan tanah kaya yang perlahan menyadari perbedaan antara dirinya dengan teman-temannya yang berasal dari golongan petani. Keturunan ningrat yang cinta orang papa ini juga rela hidup di tengah kaum petani itu. Walau sistem perbudakan masih berlaku dimana-mana, termasuk Rusia. Namun Tolstoy rela membebaskan orang yang bisa ia jadikan sapi perah demi kasihnya pada semua orang. Anehnya, para budak yang ia bebaskan itu justru tetap tinggal dengan tuannya yang baik hati ini. Dalam ladang pertaniannya yang luas, kelompok orang -orang ini hidup bersama dengan cara swadaya. Ia pun lalu membentuk sekolah untuk anak-anak petani di daerahnya. Ketika sekolah ini akhirnya berhenti, ia lalu berkeliling ke Eropa barat dan dari pengembaraannya itu, hatinya dipenuhi rasa muak atas peradaban barat dan materialisme dalam kehidupan masyarakat borjuis Eropa. Seluruh pengalamannya itu dituangkan dalam karyanya yang bernada getir, yaitu “Luzern� (1857). Tahun 1862 Tolstoy menikahi Sophia Andreyevna Bers, seorang gadis muda terpelajar dan memberinya 13 anak. Pernikahannya tidak bahagia, karena keterus-terangannya dan perbedaan konsep tentang tugas isteri. Selama awal perkawinan ini ia menulis The Cossacks dan mahakaryanya War and Peace (1862-69) yaitu sebuah nov-

Frasa

Penulis besar, pecinta kaum Papa nama lengkapnya adalah Lyev Nikolayevich Tolstoy, lahir di Yasnaya, Tula, Rusia tanggal 28 Agustus 1828 dari sebuah keluarga ningrat. Sejak umur 9 th orang tuanya meninggal sehingga ia dibesarkan dalam asuhan bibinya. Meskipun berasal dari keluarga ningrat, Tolstoy tidak menjadi angkuh dan ingin dihormati, justru sebaliknya ia dikenal sebagai filsuf moral dan reformator sosial.

Edisi 9 Tahun I [Kamis, 28 Februari 2013]


HAL

38

INSPIRING

el sejarah tebal (lebih dari 1500 halaman, mencakup 580 karakter, baik nyata atau fiksi) yg menggambarkan kejadian pada masa pendudukan Napoleon dan kekaisaran Russia pada PD I th 1812. Novel itu sekaligus membuktikan bahwa Tolstoy adalah juga seorang ahli sejarah hebat yg dapat melihat sisi-sisi dari sejarah yang tak disadari orang lain. Sementara pd tahun 1867 ia menulis Anna Karenina, novel yang menjadi karyanya yang paling dikenal orang, bercerita tentang tragedi kehidupan cinta seorang wanita yg terjebak antara kondisi masyarakat yang miskin dan filosofi kebangsawanannya (mirip dengan kisah Tolstoy sendiri. Meski War and Peace sering disebut sebagai novel hebat, Tolstoy hanya menganggap Anna Kareninalah yang benar-benar novel, karena sebagai sastrawan realis, ia menganggap bahwa sebuah novel harus dapat berfungsi sebagai potret refleksi kenyataan yang terjadi pada kehidupan sosial dan politik masyarakat secara luas, bukan hanya satu golongan saja. Pada usia 50 tahun, Tolstoy yang sejak muda banyak bergumul dengan pertanyaan -pertan-

Edisi 9 Tahun I [Kamis, 28 Februari 2013]

yaan seputar hidup dan masyarakat sekitarnya, ditambah dengan krisis paruh baya dan depresi yang dialaminya akhirnya menemukan jawaban dalam kekristenan. Dia melihat ajaran kasih dan terutama ajaran mengenai khotbah di bukit serta ajaran “jika kau ditampar pipi kananmu berikan pipi kirimu� sesuai dengan semangat dan pandangan hidup pasifisme (anti kekerasan) yang ia pegang setelah melihat dan merasakan sendiri kekejaman perang. Tolstoy juga dikenal sebagai seorang anarkis (dalam hal ketidak setujuannya pd sistem yg otoritarian / pemaksaan kehendak, termasuk jika praktek tersebut terjadi di negara dan gereja), ia memiliki pandangan tersendiri mengenai kekristenan, ia percaya jika orang Kristen harus dapat melihat ke dalam hati dan dirinya sendiri untuk menemukan kebahagiaan diri dan bukan hanya bergantung pada gereja atau penguasa saja (pandangan “Kerajaan Allah ada di dalammu�), dia juga menganggap aristokrasi/kebangsawanan adalah beban bagi rakyat miskin dan menentang adanya kepemilikan pribadi. Ide-idenya tersebutlah yang sering membawa konflik antara dirinya dengan pihak pemerintah dan gereja ortodoks di Rusia. Di masa depan, pemikiran tentang perjuangan anti kekerasan melawan penindasan ini juga banyak mempengaruhi tokoh2 spt Mahatma Gandhi (yg memang sempat mengadakan hubungan korespondensi dengannya), Martin Luther King Jr dll. Setelah menjadi Kristen, karya-karya Tolstoy lebih banyak bernuansa religius seperti Confession (1879) yang berisi pengalaman pertobatannya. Selain juga A Short Exposition of the Gospels (1881), What I Believe In (1882), What Then Must We Do? (1886), The Law of Love and the Law of Violence (1908), novel Hadji Murad (1896-1904), novella The Death of Ivan Ilyich (1884), Resurrection (1899-1900), drama The Living Corpse (terbit 1911), selain juga essay What is Art yg menulis tentang tanggung jawab seorang seniman untuk membuat karyanya dapat dipahami oleh banyak orang, yang sehingga seorang seniman juga harus membaur dan tdk hidup di menara gading yang eksklusif dan angkuh. Tolstoy juga banyak berkhotbah, isi khotbahnya banyak berkisar tentang ajaran anti kekerasan dan kesederhanaan hidup. Di masa tuanya, karena ketidak harmonisan

Frasa


INSPIRING rumah tangganya, terutama dengan isterinya dan 12 anaknya (kecuali si anak bungsu, Alexandra) yang tidak sepaham dengan pola hidup yang tidak mengutamakan materi yang ia anut, membuat pada tahun 1910, di usia 83 tahun, Tolstoy dan Alexandra meninggalkan rumah dan naik kereta tanpa tujuan jelas, dan dalam perjalanan itulah, di sebuah stasiun di Astapovo, Tolstoy meninggal karena kedinginan. Pada waktu pemakamannya, ribuan petani memadati jalan untuk mengantarnya. Pengikut Tolstoy berkembang di Russia dan luar negeri sampai kini, dan kota kelahirannya banyak diziarahi. Begitu besar pengaruhnya, membuat bahkan pemerintah komunis pada zaman Uni Soviet tetap membiarkan aktivitas mereka, namun meski demikian, gereja Russia tetap memusuhinya.

Anna Karenina Novel Terbaik Sepanjang Masa

Anna Karenina dianggap sebagai novel terbaik sepanjang masa. Karya sastra terindah ini sampai sekarang masih terus diterjemahkan dalam berbagai bahasa dunia. Sampai abad modern ini, novel karya Leo Tolstoy itu telah diterjemahkan dan diterbitkan 625 kali dalam 41 bahasa. Dalam bahasa Inggris hasil terjemahan yang berbeda pernah dicetak 75 kali, Jerman 67 kali, Prancis dan Itali 36 kali, Belanda 14 kali, Cina 15 kali, dan Arab 6 kali. Di Indonesia buku novel bernilai sastra tinggi ini diterjemahkan langsung dari bahasa Rusia oleh Koesalah Soebagyo Toer sebanyak dua kali. Karya sastra novel legendaris ini telah menginspirasi semua penulis novel dunia dalam berkarya. Anna Karenina adalah sebuah novel oleh

Frasa

HAL

39

penulis Rusia Leo Tolstoy , ditulis dan diterbitkan secara bertahap pada tahun 1873-1877 dalam terbitan berkala pada Rusia Messenger. Karya sastra ini dianggap para pengamat puncak dalam karya fiksi realis. Tolstoy menganggap Anna Karenina novel pertama benar, ketika ia datang untuk mempertimbangkan Perang dan Damai untuk lebih dari novel. Karakter Anna mungkin terinspirasi, sebagian, oleh Maria Hartung, putri sulung dari penyair Rusia Alexander Pushkin. Segera setelah bertemu saat makan malam, Tolstoy mulai membaca Pushkin prosa dan pernah memiliki lamunan sekilas tentang “bangsawan siku indah telanjang�, yang terbukti menjadi isyarat pertama karakter Anna. Detail cerita dan cara serta gaya bercerita Leo Tolstoy memang luar biasa, kreatif, dan cerdas. Dalam cakupan, luasnya, dan gambarannya yang realistik mengenai kehidupan Rusia. Buku ini berdiri pada puncak fiksi realistik. Sebagai seorang filsuf moral ia terkenal karena gagasan-gagasannya tentang perlawanan tanpa kekerasan, yang pada gilirannya memengaruhi tokoh-tokoh abad ke-20 seperti Mahatma Gandhi dan Martin Luther King, Jr. Bahan diterjemahkan dan diringkas oleh Ary dari : http://www.answers.com/topic/leo-tolstoy.htm

Edisi 9 Tahun I [Kamis, 28 Februari 2013]


HAL

40

X-COVER

BACA DAN DOWNLOAD MSD FRASA DI www.majalahfrasa.blogspot.com MEDIA PARTNER MSD FRASA www.jadikabar.com KIRIM KARYA ANDA KE majalahfrasa@yahoo.com

Edisi 9 Tahun I [Kamis, 28 Februari 2013]

Frasa


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.