Majalah Frasa

Page 1

Edisi 4 Tahun pertama | majalah digital | jumat, 28 september 2012

Frasa

KELEMAHAN KARYA-KARYA

MASA KINI

Cerpen Jatni Azna | Puisi Riza Multazam Luthfy, Sir Saifa Abidillah, Wawan Kurniawan, Rahmat S | Cerpen Teenlit Vita Nanda Kusuma Wardani | Puisi Teenlit Kucing Senja, Muhammad Fikry, Hendrik Efriyadi | Fiksimini Makmur HM | Puisimini Muhammad Asqalani eNeSTe Art Cover: Internet


HAL

2

SALAM

Frasa

M a j a l a h

Penanggungjawab Pemimpin Umum Pemimpin Redaksi Wakil Pemipin Redaksi Tim Redaksi Design Tata Letak Sekretaris Redaksi

D i g i t a l

: 4 Bratvas : Makmur HM : M Asqalani eNeSTe : Delvi Adri : Jhody M Adrowi Makmur HM M Asqalani eNeSTe Delvi Adri Yohana May Moon Nst Nia Nurul Syahara Putu Gede Pradipta : Makmur HM : Jhody M Adrowi

Redaksi menerima tulisan yang bersifat orisinil dan belum pernah diterbitkan di media manapun. Tulisan berupa karya sastra yang terbit akan dibuku­ kan setiap edisi akhir tahun. email: redaksifrasa@yahoo.com Tarif Iklan full colour per edisi 1/4 halaman: Rp150,000 1/2 Halaman: Rp300,000 1 Halaman: Rp500,000 Iklan Sosial: Mulai Rp30,000 - Rp100,000 Alamat Redaksi / kontak Email: redaksifrasa@yahoo.com Phone: 0852 6536 9405 Blog: http://majalahfrasa.blogspot.com/

Redaksi Majalah Frasa saat menikmati santapan berbuka puasa. Assalamualaikum kebebasan mencipta yang dan salam hangat Frasa dapat kita rasakan beber­ untuk kita semua... apa tahun terakhir ini. Kita menyaksikan mem­ Memang tidak dapat di­­ banjirnya tulisan-tulisan pungkiri bahwa keterbatasan dalam berbagai media SDM dalam melakukan sega­ massa, juga yang terbit la hal akan berakibat pada buruknya kinerja dan hasil dalam bentuk buku. Lem­ dari pekerjaan itu sendiri, baga penerbitan buku begitu juga dengan keter­ juga tumbuh menjamur di batasan redaksional dari mana-mana. Gejala seperti Majalah Sastra Digital (MSD) itu mungkin membesar­ FRASA yang mengakibatkan kan hati kita. Tetapi apak­ tidak terbitnya MSD FRASA ah dengan demikian kesu­ pada bulan Agustus lalu. sasteraan kita mengalami Tapi dengan segala keter­ kemanjuan atau perkem­ batasan yang kami miliki bangan yang berarti? ditambah dengan semangat Selain itu, pada rubrik menggebu-gebu diantara Sastra Dunia kami menco­ hiruk pikuk kesibukan beker­ ba mengangkat kompilasi ja dan menyusun skripsi (bagi sebagian besar tim redaksi), pandangan dan komentar akhirnya MSD FRASA edisi 4 dari mereka yang tinggal di seberang Indonesia tentang dapat terbit. Pada edisi ke 4 ini, kami salah seorang sastrawan mencoba mengangkat tema kita yaitu Pramoedya Anan­ seperti yang telah tercantum ta Toer, serta beberapa dalam rubrik Next Issue di artikel menarik dan karya edisi sebelumnya yaitu Kele­ ciamik dari para penulis mahan Karya-karya Masa Indonesia tentunya. Sela­ Kini. mat membaca! Tema tersebut kami pilih Redaksi berdasarkan terbukanya

Edisi 4 Tahun I [Jumat, 28 September 2012]

Frasa


DAFTAR ISI

HAL

3

Halaman 6

Utama: Kelemahan Karya-karya Masa Kini

Halaman 10

Sastra Dunia: Pramoedya Ananta Toer; Suara-suara dari Seberang

Halaman 12

Sastra Indonesia: Sastra dan Minat Baca yang Suram

Halaman 14

Sastra Religi: Sastra Islam, Sastra Sufi

Halaman 18

Komunitas: Penyisir Sastra Iksabad; Komunitas yang Berkopiah Pena dan Bersandal Buku

Halaman 20

Cerpen Jatni Azna: Serenada Empat Roda

Halaman 24

Puisi Riza Multazam Luthfy, Sir Saifa Abidillah, Wawan Kurniawan, Rahmat S

Halaman 26

Sastradukasi: Nilai Budaya Asing dalam Sastra Anak Terjemahan

Halaman 28

Lentera Budaya: Tari Saman dan Tari Rateb Meuseukat yang Mendunia

Halaman 30

Cerpen Teenlit Vita Nanda Kusuma Wardani: Bukan Lagi Malaikat

Halaman 32

Puisi Teenlit Kucing Senja, Muhammad Fikry, Hendrik Efriyadi

Halaman 34

Fiksimini Makmur HM: Jam dan Malaikat Pencabut Nyawa

Halaman 35

Puisimini Muhammad Asqalani eNeSTe

Halaman 36

Inspiring: Buya Hamka (1908-1981); Ulama, Politisi dan Sastrawan Besar

Frasa

Edisi 4 Tahun I [Jumat, 28 September 2012]


HAL

4

NEXT ISSUE

Eksistensi Buku Di Era Digital Oleh: Elisabetyas “Sebelum sebagian besar pen­ duduk dunia ini menjadi kutu buku, kita telah sampai pada satu masa ketika dunia melesat ke alam audio-visual, virtual, dan multi­ media.” (“Pada Mulanya Sebuah Buku”, dalam Bukuku Kakiku) Begitulah kekhawatiran yang diungkapkan Melani Budianta, seorang pengamat budaya dan sastra. Kekhawatiran lainnya ada­ lah dengan adanya zaman digital dan virtual, zaman buku pun per­ lahan akan punah. Mungkin tidak ada lagi tumpukan buku di per­ pustakaan suatu hari nanti, ter­ gantikan oleh tumpukan CD berisi konten buku-buku.***

Edisi 4 Tahun I [Jumat, 28 September 2012]

Frasa


CORNER

HAL

5

?

Beri komentar terbaikmu pada setiap issu yang akan kami angkat pada edisi berikutnya di

http://www.facebook.com/majalahfrasa komentar terpilih akan dimuat di rubrik CORNER

Frasa

Edisi 4 Tahun I [Jumat, 28 September 2012]


HAL

6

UTAMA

KELEMAHAN KARYA-KARYA MASA KINI www.sastra-indonesia.com

D

engan terbukanya kebebasan men­ cipta, kita menyaksikan memban­ jirnya tulisan-tulisan dalam berbagai media massa, juga yang terbit dalam bentuk buku. Lembaga penerbitan buku juga tum­ buh menjamur di mana-mana. Gejala seperti itu mungkin membesarkan hati kita. Tetapi apakah dengan demikian kesusasteraan kita mengalami kemanjuan atau perkembangan yang berarti? Ternyata tidak demikian. Kebebasan memang penting, bahkan cenderung menen­ tukan.Tetapi ternyata kebebasan mencipta saja tidak cukup. Untuk menciptakan karya yang bernilai juga memerlukan kedalaman dan keluasan wawasan, selain daya kreativitas yang tinggi. Hingga kini karya sastra kita masih terpu­ ruk. Di gelanggang internasional, sastra kita belum bisa bicara apa-apa. Beberapa kali terbit antologi sastra dunia, karya penulis kita tidak

Edisi 4 Tahun I [Jumat, 28 September 2012]

Frasa


UTAMA

HAL

7

ada yang ikut termuat di dalamnya. Dalam hal adanya seleksi terhadap karya-karya yang akan ini kita kalah oleh penulis dari Palestina dan diterbitkan. Pertama, karena setiap penulis Papua Nugini. Selain perlu disayangkan tentu bisa saja menerbitkan karyanya sendiri, tanpa perlu juga kenyataan seperti itu jadi renungan lewat saringan tertentu. Kedua, kita memang bersama. sedang tidak punya kritikus sastra yang ber­ Kita tidak bisa bicara hanya soal kuantitas. wibawa dan professional. Krisis kritikus sastra? Masalah kualitas karya selamanya merupa­ Katakanlah demikian. kan hal yang terpenting sepanjang kita bicara Tentu sangat menyedihkan (juga memalu­ seni sastra. Pada mulanya, kata sastra memang kan), sikap penulis tertentu yang sangat naïf berarti tulisan atau karya tertulis. Namun terhadap kritik. Ada penulis yang memandang tidak setiap karya tertulis adalah karya sas­ peran kritikus sama dengan benalu. Katanya, tra. Samalah halnya, tidak setiap novel adalah jika tidak ada karya, maka tidak ada kritik. Maka karya sastra. Sekarang ini kebanyakan yang kritikus pun akan kenhilangan pekerjaan, jika terbit adalah karya tulis, tetapi tidak banyak tidak ada karya yang bisa dikritik. Bahkan ada yang berkualifikasi karya sastra. sastrawan ternama, ketika karyanya dikritik, Sastra, atau tepatnya susastra, memerlu­ naik pitam. Dari mulutnya yang sering bernada kan kekayaan kandungan nilai-nilai. Pada tasawuf, berhamburan makian bagaikan orang umumnya nilai-nilai filsafat dan agama mer­ sedang mabuk alcohol. upakan ramuan yang sangat penting untuk Bagaimana dengan sastra koran dan sas­ setiap karya sastra. Tanpa kandungan nilai- tra majalah? Pemuatan di media tentu mela­ nilai filosofis dan religius, sastra bukanlah lui tangan-tangan redaktur. Tetapi tidak ban­ sastra, tidak lebih dari seonggok teks yang yak redaktur yang memiliki kapasitas dan gagu dan hampa. cita rasa sastra yang Aneh rasanya, jika Sastra, atau tepatnya susastra, memer- unggul, setidaknya masih banyak penulis memadai. Dengan lukan kekayaan kandungan nilai-nilai. bersemangat, tetapi demikian banyaknya Pada umumnya nilai-nilai filsafat dan menjauhi nilai-nilai karya-karya yang agama merupakan ramuan yang sangat reliji dan filosofi. beredar lewat media Meskipun demikian penting untuk setiap karya sastra. Tanpa massa tidak pernah kita tidak bisa mengat­ kandungan nilai-nilai filosofis dan religius, mampu mendong­ akan bahwa tiap karya krak kualitas sastra sastra bukanlah sastra, tidak lebih dari yang syarat nilai-nilai seonggok teks yang gagu dan hampa. kita selama ini. Jan­ agama atau filsafat gan pula lupa, bahwa Aneh rasanya, jika masih banyak penulis pastilah sebuah karya atau majalah bersemangat, tetapi menjauhi nilai-nilai koran sastra yang berha­ adalah komoditi yang reliji dan filosofi sil. Dengan kata lain, tidak lepas dari spirit tidak dengan sendi­ industri. rinya seorang ahli agama atau ahli filsafat ada­ Tetapi bagaimanapun kualitas karya sastra lah sastrawan. ditentukan terutama oleh mutu sastrawannya Mungkin sudah kodrat sastra, harus men­ itu sendiri. Sayangnya, terlalu banyak penu­ gacu kepada filsafat. Jika tidak yang terjadi lis kita, yang terlalu minim pengetahuan­ hanyalah teks yang tergolong karya pop saja. nya tentang sastra itu sendiri. Masih banyak Sayangnya terlalu banhyak penulis kita yang penulis yang idak paham,misalnya,apa beda tidak atau belum tertarik kepada filsafat. Maka cerita dengan plot. Cerita, sebenarnya han­ janganlah heran jika yang kini membanjir ada­ ya merupakan bahan mentah (raw material) lah karya-karya pop. dari sebuah karya. Apabila cerita itu telah Kejadian seperti itu tampaknya akan ber­ diolah melalui reka cipta, barulah ia menjadi jalan terus, dalam kurun waktu yang akan cuk­ plot karya yang bersangkutan. up panjang. Itu dimungkinkan, karena tidak Kelemahan lain, kebanyakan penulis kita

Frasa

Edisi 4 Tahun I [Jumat, 28 September 2012]


HAL

8

UTAMA

Kita memang perlu bicara seni, termasuk seni fiksi. Sayang tidak sedikit orang yang menyuguhkan fiksi, tetapi bukan seni fiksi. Tidak sedikit, penulis, yang untuk menutupi kelemahan (karyanya) lalu melakukan berbagai upaya yang tidak relevan.Misalnya dengan menyuguhkan hal-hal yang berbau pornografis. Ada juga yang menjadikan bumbu politik, atau peristiwa politik, sebagai warna tulisannya

Edisi 4 Tahun I [Jumat, 28 September 2012]

adalah dalam penggunaan bahasa. Mereka berniat menulis karya sastra, tetapi bahasa yang digunakan adalah bahasa harian, bahasa biasa, bukan bahasa literer. Kebanyakan karyakarya mereka juga hanya menyuguhkan cerita seadanya (bahan mentah), belum diolah men­ jadi plot. Kita memang perlu bicara seni, termasuk seni fiksi. Sayang tidak sedikit orang yang menyuguhkan fiksi, tetapi bukan seni fiksi. Tidak sedikit, penulis, yang untuk menutupi kelemahan (karyanya) lalu melakukan berba­ gai upaya yang tidak relevan.Misalnya den­ gan menyuguhkan hal-hal yang berbau por­ nografis. Ada juga yang menjadikan bumbu politik, atau peristiwa politik, sebagai warna tulisannya. Tentu saja sastra politik juga sah-sah saja. Masalahnya, yang terjadi di sini, poli­ tik tampil sebagai polusi. Berbeda dengan dalam umumnya sastra Amerika Latin, di mana politik hadir sebagai tulang pung­ gung estetika. Salah paham masyarakat tampaknya tidak bisa dibiarkan terus-menerus. Mis­ alnya adanya mitos sastra exil atau sastra kiri. Sebenarnya apa yang selama ini dis­ ebut sebagai sastra kiri, kebanyakan sama sekali bukan karya sastra. Jika disimak dan diuji, ternyata tidak lebih dari teks-teks yang sangat sloganistis. Dan sastra tentu berbeda dengan slogan. Apa yang ditulis Widji Tukul, misalnya, bukanlah karya sastra, melainkan slogan untuk menyemangati ‘perjuangan’ golongan terten­ tu. Apa yang ditulis WS Rendra (almarhum) di bawah judul Potret Pembangunan, tentu saja juga bukan karya sastra, melainkan pamplet politik belaka. Ada baiknya jika kita menyimak pendapat Guillermo Cabrera Infante, sastrawan dan sineas kelahiran Cuba. Infante menilai, penu­ lis mashur seperti George Orwell, Alexander Solzhenytsin, Albert Camus, adalah orangorang yang gagal untuk jadi seniman atau sastrawan. Tetapi mereka adalah pahlawan, karena “melawan pedang dengan kata-kata”. Demikian pun, itu tidak menjadikan mereka sastrawan.***

Frasa


UTAMA

HAL

9

Dapatkan Harga Spesial! Untuk Pembelian

SEPASANG

DWILOGI PUISIMINI: KATA-KATA Karya: Makmur HM

hanya Rp60.000,dari harga semula Rp66.000,- (belum termasuk ongkir) Caranya: ketik KATA2_Alamat Lengkap_Nama Lengkap

Kirim ke 0852 6536 9405

Frasa

Edisi 4 Tahun I [Jumat, 28 September 2012]


HAL

10

SASTRA DUNIA

Pramoedya Ananta Toer; Suara-suara dari Seberang Oleh: Dani Wicaksono

B

erikut ini adalah kompilasi pandangan dan Ben Abel komentar mereka yang tinggal di seberang Indo­ Cornell University, abstraksi dari Sesi Asia Tenggara dalam nesia tentang Pram, sepak terjang politiknya, dan AAS, 1996: “Sebagai seorang penulis, Pramoedya menunjuk­ tentu saja karya-karyanya. kan jalan untuk mempergunakan Bahasa Indonesia sebagai M. Bakri Musa sarana pengungkapan gagasan, perhatian, dan aspirasi. Ia Penulis kelahiran Malaysia ini berprofesi sebagai ahli pun menolak batasan-batasan dari bahasa baku dan nonbedah di Silicon Valley, California: “Nyanyi Sunyi Seorang baku, formal dan informal, kromo dan ngoko. Ia mengajar­ Bisu (The Mute’s Soliloquy), adalah bukti paling kuat kan bahwa setiap frase dan ungkapan dalam Bahasa Indo­ bagi penindasan atas kemanusiaan yang dilakukan oleh nesia dapat digunakan secara bebas untuk menyampaikan pemerintahan Soeharto, jauh lebih kuat ketimbang lapo­ gagasan, menciptakan dinamika hidup baru yang kreatif.” ran Amnesty International.” Mishi Saran Tariq Ali Penulis asal Hongkong. International Herald Tribune, Penulis ini baru saja meluncurkan buku Street Fighting 6 April 1999: “Lebih dari semuanya, Pramoedya adalah Years dan, bersama dengan David Barsamian, Speaking of seorang humanitarian.” Empires & Resistance. Counter Punch, 2 Mei 2006: “Kema­ John McGlynn tian Pramoedya di Jakarta, 30 April 2006, adalah kehilangan Direktur Publikasi Lontar Foundation dan penerjemah besar bagi kesusastraan dunia. Dialah intelektual Indonesia sebagian karya Pram: “Fokusnya selalu mengenai lanskap terkemuka, sekaligus penulis fiksi yang jenius.” lebar, kekuatan-kekuatan sosial, politik, historis yang jal­ Carolyn See in-menjalin membentuk Indonesia. Tak ada penulis Indo­ The Washington Post, 2 Agustus 2002: “Mereka yang nesia lain yang sesukses Pramoedya dalam melakukan membaca karya Pramoedya Ananta Toer akan mengenal­ hal ini. Dan tidak ada penulis lain yang sedemikian ber­ nya sebagai seorang novelis Indonesia yang tiada tand­ korban untuk mendidik bangsanya.” ingan, juga seorang lelaki yang diluapi keberanian luar Max Lane biasa… dan berkali-kali ia dinominasikan sebagai peme­ Penerjemah sebagian karya Pram. Green Left Weekly, nang Nobel Sastra.” 10 Mei 2006: “Di antara banyak hal yang mempengaruhi Sumit Mandal Pramoedya, esai Maxim Gorky The People Must Know Their Vox, 24 September 2000, hal. 8-13. (Vox adalah majalah History teramat menuntunnya. Semenjak akhir 1950-an, khusus Minggu dari Harian Malaysia The Sun): “Ia menutur­ Pramoedya menjadi sejarawan Indonesia pertama yang kan masa lalunya dengan keterampilan seorang pencerita. otodidak. Tidak ada sumber asing di matanya—dokumenNada suaranya yang rendah melagukan kesedihan, ketaku­ dokumen pemerintahan, diari, apa yang diketahui oleh tan, sekaligus kegembiraan… Ia bicara dari kesunyian, ses­ seorang tukang cukur mengenai pelanggan setianya (yang uatu keadaan yang dicari oleh banyak penulis untuk men­ salah satunya mungkin merupakan tokoh politik), korancipta kembali dunia dalam imajinasi mereka.… Hidup dan koran harian, novel-novel detektif. Bahkan, Pramoedya ter­ karya Pramoedya, dalam kesunyian ini, adalah pengungka­ golong sebagai salah seorang sejarawan pertama di Indo­ pan nan kuat dari pedih-perih sejarah bangsanya.” nesia yang memakai tape recorder (pinjaman dari seorang

Edisi 4 Tahun I [Jumat, 28 September 2012]

Frasa


SASTRA DUNIA pengusaha kecil) untuk merekam sejarah lisan.”

Alex G Bardsley

OpenDemocracy Ltd, penulis tesis: A Political Subject: Changing Consciousness in Pramoedya Ananta Toer’s Bumi Manusia and Anak Semua Bangsa, Cornell University, Agus­ tus 1996: “Boleh saja Pram itu tuli, tetapi ia mendengar ban­ yak hal. Orang-orang membawakannya dokumen-dokumen dan materi-materi sejarah (termasuk makalah tua keluaran CIA, sewaktu saya bertamu ke sana). Ia mengatakan kepada saya pengaruh Partai Komunis Jepang pada angkatan laut kerajaan, dan peranannya dalam mempersenjatai perjuangan rakyat Indonesia. Kami mendiskusikan sepak-terjang Aung San Suu Kyi dari Burma, terutama membandingkannya dengan Megawati Sukarnoputri atau Cory Aquino dari Filipina; Pram menyampaikan pada saya kalau ia telah menulis sepucuk surat dukungan kepada Suu Kyi, yang ingin betul saya baca suatu saat nanti. Kami berdebat: apakah junta militer Burma yang kleptokratik, irasional, dan pembunuh itu lebih buruk dari Orde Baru-nya Soeharto…. Saya suka lukisan tarung-jago yang diberikan Günter Grass kepadanya.”

HAL

11

Wendy Law-Yone

Novelis yang kali terakhir mengunjungi Indonesia dan bertindak sebagai anggota delegasi HAM. The Washing­ ton Post, 25 April 1999: “’Jalan setapak ini,’ Pramoedya menulis sebuah epigraf di suatu tempat, ‘sebelumnya telah dilalui berkali-kali, tetapi baru sekarang seseorang menandai jalan ini.’ Sebuah pernyataan yang halus dan berwatak. Dan apakah yang menandai jalan itu selain daripada jejak langkah sang pahlawan?”

Willem Samuels

The New York Review of Books, Volume 37, Nomer 16, 25 Oktober 1990: “Tak ubahnya penulis-penulis lain yang terjun ke bidang politik, baik di persimpangan kiri maupun kanan jalan (dan hampir seluruh penulis Indonesia waktu itu, tanpa terkecuali, terlibat dalam dunia politik), apabila Mr. Toer merasa berseberangan dengan penulis lain, ia tidak akan mengutarakannya secara diam-diam atau rahasia, tetapi menyerukannya dalam sebuah ruang publik yang meniscayakan tanggapan balik. Terlebih lagi, kritiknya tidak ditujukan pada penulis-penulis lain yang menolak paham Wikipedia kaku yang digariskan partai kiri (Pram sendiri bahkan bukan The Free Encyclopedia: “Pramoedya Ananta Toer (6 Feb­ anggota PKI), tetapi mereka yang tidak mendukung idealruari 1925 – 30 April 2006) adalah seorang Indonesia yang ideal revolusi Indonesia, dan malah menyia-nyiakan bakat­ menulis novel, cerita pendek, esai, polemik, serta sejarah nya untuk melayani sebuah masyarakat yang korup.” tanah air dan bangsanya. Tulisan- tulisan Pramoedya yang Jamie James lugas dan berani, yang sangat dihargai di Barat, diberangus The New Yorker, 27 Mei 1996: “Prosa-prosa Pramoedya dan dilarang terbit di tanah airnya sendiri, hingga sekarang. tidak selalu mengkilap, dan buku-bukunya kadang-ka­ Oleh karena menentang kebijakan-kebijakan dari Presiden dang tidak terlalu menarik dalam sudut pandang ter­ Sukarno, serta penerusnya, Orde Baru Presiden Soeharto, tentu. Akan tetapi, setiap orang yang hendak memahami Pramoedya dipenjarakan tanpa proses pengadilan. Selama Indonesia, negara dengan jumlah penduduk terbesar bertahun-tahun menderita dalam penjara, ia telah menjadi keempat sedunia (setelah Cina, India, dan Amerika Ser­ a cause célèbre karena membela kebebasan berpendapat ikat), haruslah membaca buku-bukunya.” dan memperjuangkan HAM.” A. Teeuw

Loreen Neville dan James Blackburn

Roving Insight, September-Oktober 1999: “Pramoedya telah menjadi figur paling kontroversial, seorang novelis dan esais dengan reputasi internasional luar biasa yang masih tidak dihargai di negerinya sendiri. Kontroversi rupanya menjadi atmosfer yang melingkupi sang penulis, dan lagi-lagi namanya disebut-sebut sebagai calon penerima Nobel Sastra, sebuah penghargaan yang akan membuatnya tergolong dalam lingkaran orang-orang seperti Sir Winston Churchill, Perdana Menteri Inggris paling ternama, Nadine Gordimer, penulis kro­ nik Afrika Selatan yang menolak politik apartheid, dan penyair Chili Gabriela Mistral dan Pablo Neruda, serta banyak lagi. Seandainya panitia Nobel berkeputusan untuk memberikan penghargaan itu kepadanya, maka Pramoedya akan seperti peraih Nobel Perdamaian Jose Ramos-Horta, dan Uskup Belo: paria dari pemerintahannya, pahlawan dari para pembela kebenaran dan keadilan.”

Citra Manusia Indonesia dalam Karya Sastra Pramoedya Ananta Toer (Pustaka Jaya, 1997, Hal. 381): “Memang, Pramoedya memiliki rasa keadilan yang fana­ tik dan benci mendalam terhadap segala macam ketaka­ dilan, yang dibawa sejak kelahirannya dan/atau diilhami oleh lingkungan keluarga tempat ia tumbuh.”

Dr. Pamela Allen

Membaca, dan Membaca Lagi: Reinterpretasi Fiksi Indo­ nesia 1980-1995 (Indonesiatera, 2004, Hal. 24): “Tetralogi Pramoedya merupakan suntikan realisme historis serius yang mencakup 1898-1918, satu periode perubahan besar di bidang sosial, ekonomi, dan politik di Hindia Belanda, ke dalam sastra Indonesia. … Novel-novel tersebut tidak beru­ pa historiografi dan bukan sejarah yang tidak ditengahi, namun bersifat historis: mereka mengkonstruksi kembali suatu dunia khusus, menangkap kembali momen sekilas. …pembacaan saya atas novel-novel itu mengedepankan Robert Templer kenyataan sejarah itu maupun sejarah hidup Pramoedya Prospect Magazine, 2001: “Hidupnya adalah kaca sendiri, yang telah membentuk dan membatasi pengala­ benggala dari 74 tahun sejarah Indonesia.” mannya sebagai seorang penulis.”***

Frasa

Edisi 4 Tahun I [Jumat, 28 September 2012]


HAL

12

SASTRA INDONESIA

Sastra dan Minat Baca yang Suram Oleh: Arafat Nur

Teringat pada suatu ketika saat saya berjumpa dengan Silvia Signato, dosen dan novelis Italia yang berkunjung ke Aceh. Dia telah menyinggahi beberapa negara sampai kemudian menjejakkan kakinya beberapa kali di Indonesia. Dalam bincang-bincang kami mengenai perkembangan sastra, kabar terakhir mengenai Umberto Eco—salah seorang novelis dunia asal negaranya yang memperoleh hadiah Nobel— yang tangannya sudah gemetaran dan tidak bisa menulis lagi, sampai kemudian menyentuh soal minat baca di sejumlah negara. Ada ucapan Silvia yang membuat saya ter­ perangah. Sebagaimana di negaranya dan di neg­ ara maju lainnya, sebagian besar penduduknya terbiasa dengan kegiatan membaca di mana pun mereka berada, bahkan di kereta api, bus, pesa­ wat, taman-taman, dan semua tempat yang bisa diduduki dengan nyaman. “Mereka begitu bangun tidur, saat sarapan, atau berangkat kerja, sudah terbiasa dengan membaca. Membaca buku apa saja, terutama sekali novel. Kalau di sini tidak begitu, orang di sini begitu bangun tidur langsung putar musik atau pasang headset ke telinga. Budaya yang buruk,” begitulah ucapannya yang masih saya ingat sampai sekarang. Kenyataan ini diperkuat pula manakala saya

Edisi 4 Tahun I [Jumat, 28 September 2012]

menghadiri festival sastra internasoinal di Ubud tahun lalu, di mana wisatawan asing gemar mem­ bawa buku dan membaca di mana saja mereka sempat. Dan mereka sangat antusias serta meng­ hargai sastra, seumpama orang Indonesia yang tergila-gila pada musik. Sebuah fakta lain menunjukkan bahwa satu judul buku di Jepang bisa laku sampai 10 juta eksemplar, itu adalah hal biasa. Namun, di Indo­ nesia, sebuah judul buku laku 100 ribu eksemplar saja sudah menjadi hal yang sangat luar biasa. Ini menunjukkan bahwa gairah membaca pen­ duduk Jepang 100 kali lipat dibanding Indonesia. Padahal penduduk Jepang hanya 130 juta, set­ engah dari penduduk Indonesia yang berjumlah 250 juta jiwa. Jika ditilik dari sejarah, peradaban Indonesia saat ini masih sangat jauh tertinggal diband­ ing Jepang era 1890-an, semasa Meiji berkuasa. Sebagaimana digambarkan dalam buku A Note from Ichiyo karya Rei Kimura, saat itu penulis sastra sangat disanjung, dipuja-puja, dan punya kedudukan yang tinggi dalam strata sosial. Lebih-

Frasa


SASTRA INDONESIA lebih sekarang, sastra merupakan bagian pent­ ing yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan mereka. Gairah membaca penduduk Jepang juga bisa dilihat dalam setahun terakhir, di mana mereka tidak sabar menunggu terbitnya 1Q84 karya Haruki Muarakami, hingga ratusan ribu orang rela memesan dan membayar Rp 400 ribu untuk sebuah novel ke sejumlah toko buku jauh hari sebelum karya itu terbit dan beredar. Penulis yang namanya ini masuk sebagai nominator Nobel memang sangat menyentak dunia dan karyanya selalu ditunggu-tunggu oleh jutaan pembaca dunia, tidak hanya pembaca di Jepang. Tentunya, suasana semacam itu tidak akan pernah menjelma di Indonesia dan para penulis sastra cuma bisa berharap dan merindukan saja. Jika suasana negara ini berada di zaman Jepang tiga abad dulu, masih sangat jauh lebih baik. Mereka bangsa yang kuat, bersatu, dan haus ter­ hadap ilmu pengetahuan. Mereka bukan jenis orang yang gemar bertengkar dan bermusuhan antarsesama seperti di Indonesia. Tak berlebihan bila saya mengatakan keban­ yakan penduduk Indonesia yang terpuruk ini sangat membenci buku, bahkan mereka yang kerap berteriak-teriak perihal pentingnnya ilmu pengetahuan. Malahan, ada teman yang saya berikan buku secara cuma-cuma tidak pernah tamat membacanya, dan jangan harap orang ini bakal membeli buku secara sukarela. Saya selalu menemukan pengalaman buruk mengenai minat baca teman-teman, baik semasa sekolah dan kuliah dulu, bahkan sampai seka­ rang, di mana saya dikelilingi orang-orang tidak suka membaca. Saya tidak tahu kenapa mereka bisa lulus dan mendapatkan nilai bagus. Uniknya lagi, masih ada penduduk Indone­ sia ini yang tidak mengenal novel. Jika ini dia­ lami orang yang buta aksara tentunya wajar saja. Tetapi, ada guru agama yang tidak tahu sama sekali, ada pula yang beranggapan bah­ wa novel itu adalah buku murahan yang hanya pantas dibaca anak-anak nakal, dan banyak lagi orang anti terhadap ilmu pengetahuan dengan menyanjung-nyanjung Alquran, padahal kita tahu ia pun tidak bisa membaca dan malas pula melaksanakan shalat. Pengalaman buruk saya ini ternyata didu­ kung oleh hasil studi International Association for the Evaluation of Education Achievement (IEA) di Asia Timur, bahwa tingkat terendah

Frasa

HAL

13

membaca dipegang oleh Indonesia dengan skor 51,7, di bawah Filipina (skor 52,6) dan Thailand (skor 65,1). Bukan itu saja, kemam­ puan orang Indonesia dalam menguasai bahan bacaan juga sangat rendah, hanya 30 persen. Sedangkan Malaysia sudah mencapai 86,4 persen, dan negara-negara maju seperti Jepang, Inggris, Jerman dan Amerika Serikat umumnya mencapai 99 persen. Kalau dibilang minat baca itu kurang akibat tidak ada bacaan berkualitas, nyatanya karyakarya asing dunia yang laris dan berbobot tatka­ la diterjemahkan dalam bahasa Indonesia tetap saja sepi, hanya laku beberapa ribu eksemplar saja. Penerbit pun harus berulangkali memper­ timbangkan karya-karya itu untuk diterbitkan agar tidak jatuh merugi. Jangan harap kita dapat membaca karya sastra terbaru dunia di saat pen­ duduk negeri lain sudah puas menikmatinya. Kita benar-benar tertinggal jauh dan tidak bisa tertolong lagi. Beginilah buruknya wajah peradaban bangsa yang terpuruk, miskin, dan bodoh ini sampaisampai banyak yang masih beranggapan bah­ wa kegiatan membaca itu hanyalah pekerjaan sia-sia yang tidak mendatangkan pahala. Pola pikir semacam ini semakin menyeret bangsa ini ke lembah kemunduran yang luar biasa pesat, mereka lebih suka mengagumi ilmu guna-guna daripada ilmu pengetahuan. Daripada memba­ ca lebih memilih untuk sibuk menyakiti antars­ esama lalu merasa bahagia bila orang lain kena celaka. Melihat berbagai kenyataan gawat di atas, maka dapatlah dimaklumi bagaimana terpu­ ruknya sejumlah sastrawan yang ada di negara ini yang tidak bisa mengabdikan diri sepenuh­ nya pada sastra serta hidup dalam kemiskinan selalu. Wibawa sastrawan kita pun jauh berada di bawah kaki sastrawan negara lain yang hidup­ nya mapan dan berjaya serta bergelimang rasa hormat. Tidak heran bila ada ungkapan bahwa bila ingin menjadi penulis bersiaplah untuk men­ jadi miskin. Beberapa lainnya memang menjaga gengsi, tampil necis, dan menimbang-nimbang ego. Ya, silakan saja, masing-masing punya hak sendiri. Namun yakinlah, saat ini dan puluhan tahun mendatang, sastra di negara ini bukan­ lah sesuatu hal yang diperhitungkan di tengahtengah minat baca masyarakatnya sangat buruk dan suram!***

Edisi 4 Tahun I [Jumat, 28 September 2012]


HAL

14

SASTRA RELIGI

Sastra Islam, Sastra Sufi Oleh: Poetraboemi

B

ersyukurlah karena Tuhan mengirimkan seorang nabi sempurna yang telah menyemai benih salah satu peradaban besar dunia. Dan berbahagialah karena Tuhan telah menghiasi perada­ ban itu dengan keindahan dan keberisian cita makna. Islam datang dengan sesuatu yang lain, sesuatu yang maha indah yang hanya dapat dicapai dengan pen­ galaman pribadi yang tiada sempurna mampu dilu­ kis kata. Jangan pernah katakan agama yang dibawa Sang Cahaya Ilahi ini miskin rasa dan makna. Di sinilah kau lihat dan akan kau temukan apa yang selalu kau sangsikan keberadaanya. Sebuah penerimaan baru yang belum pernah kau rasa. Mari! Kau yang selalu dihinggapi rindu dan cinta, bersamalah kami menye­ lami kesejukan samudera yang maha dalam ini. Di sinilah rindu dan cintamu akan terpuaskan. Islam memiliki tradisi sastra yang dapat dikatakan berbeda dengan berbagai macam karya lain di luaran­ nya. Hal ini tidak lepas dari dasar yang digunakan oleh pelaku-pelaku sastra tersebut. Dasar yang mewarnai corak ragam seni dan sastra Islam antara lain; ber­ tumpu pada al-Qur’an, hadist, falsafah, dan estetika di dalam Islam. Lalu apa yang membedakan sastra Islam dengan sastra lainnya? Bukankah semua sastra memi­ liki ciri-ciri yang hampir sama, yaitu paling tidak harus memiliki empat unsur yang membentuknya. Pertama, majaz (figuratif). Kedua, tasbih (image atau citraan). Tiga, tamsil (simbol perumpamaan). Dan yang tera­ khir, istiarah (metafora). Dan saya pikir sastra manapun memiliki hal itu, meski tidak mutlak. Perbedaan men­

Edisi 4 Tahun I [Jumat, 28 September 2012]

dasar antara sastra Islam dan sastra lainnya dapat dika­ takan terletak pada kedekatan sastra Islam pada dunia tasawuf. Sastra Islam setidaknya berkembang karena tasawuf. Sejak abad ke-10 M, sastra telah digunakan oleh para sufi sebagai media dalam kegiatan keruha­ nian mereka. Perbedaan inilah yang nampak relevan untuk menjadi ciri khas sastra Islam, meskipun tidak menutup kemungkinan ada banyak perbedaan lain­ nya. Dari sinilah kemudian muncul sastra sufi, yaitu sastra Islam yang berisi artikulasi-artikulasi pengala­ man sufi. Dalam perkembangannya, sastra sufi dise­ marakkan oleh dua aliran besar sastra. Pertama, sastra Arab yang berkembang dari abad 8 M hingga abad 13 M. Aliran ini dipelopori oleh seorang sufi wanita, Rabiah al-Adawiyah, yang terkenal karena begitu cin­ tanya pada Tuhan, hingga segala penderitaan dalam hidupnya tidak ada arti baginya, kecuali itu berkenaan dengan kecintaannya pada Allah. Selain Rabiah sastra Arab juga diwarnai oleh Dhu al-Nun al-Misri, Sumnun bin Hasan Basri, Bayazid al-Bistami, Saqiq al-Balkhi, Sari al-Saqati, Junaid al-Baghdadi, Abu Bakar al-Syibli, Abu al-Hasan al-Nuri, Mansur al-Hallaj, Niffari, dan Abu al-Qasim al-Sayyani. Sastra sufi Arab kemudian menca­ pai masa jayanya pada tokoh-tokoh seperti Ibn `Arabi, Sustari, Sadruddin al-Qunyawi, Ibn Atha`ilah al-Sakan­ dari, Ibn al-Farid, Ibn Tufayl, Qushairy, Imam al-Ghazali, dan Najamuddin Daya. Aliran sastra kedua yang mewarnai sastra sufi ada­ lah Sastra Persia. Sastra sufi yang berkembang sejak abad 11 hingga 18 M ini diwarnai oleh tokoh-tokoh

Frasa


SASTRA RELIGI

HAL

15

seperti Sana`i, Abu Sa`id al-Khayr, Khwaja Abdul­ dunia sufi. Hanya dengan cintalah ungkapan-ungka­ lah Anshari, Baba Kuhi, Baba Tahir, Fariduddin `Attar, pan perasaan antara seorang sufi dengan Tuhannya Ruzbihan Baqli, Jalaluddin Rumi, Nizami al-Ganjawi, dapat termanifestasikan. Cinta bukan sekedar cinta Fakhrudin `Iraqi, Sa`di, Suhrawardi, Mahmud al-Shabi­ biasa. Cinta dalam kehidupan sufi adalah cinta altru­ stari, Maghribi, dan Jami Karim al-Jili. is pada yang dicintainya. Seperti yang digambarkan Dari orang-orang inilah sastra sufi berkembang dalam sajak Rumi di atas, seorang pencinta Tuhan ke berbagai tempat, terutama tempat-tempat yang dalam cintanyapun tidak akan mengatasnamakan penduduknya beragama Islam. dirinya sendiri dalam setiap Sastra sufi tercatat telah mera­ ada yang membedakan antara munajatnya. Cinta seperti inilah suki sastra yang berkembang sastra Arab maupun sastra Persia yang disebut cinta sejati, cinta di negara-negara seperti: Turki, terdiri dari; keintiman pada umumnya, dengan sastra yang Afrika, India, dan Kepulauan (uns) seorang pecinta dan yang sufi. Philip K. Hitti dalam History of dicintainya, kerinduan (syawq), Melayu. Sastra Sufi, Hanyakah Cinta Arab-nya mengatakan bahwa pada kecenderungan hati (mahab­ awalnya sastra Arab bercirikan bab), ketulusan, dan kesabaran Ilahi? Tentu ada yang membeda­ ungkapan-ungkapan yang singkat, (sabr). Tidak jauh berbeda den­ tegas, dan sederhana, namun gan Rumi, Rabiah al-Adawiyahkan antara sastra Arab maupun dalam perkembangannya sastra pun dalam setiap sajak dan sastra Persia pada umumnya, dengan sastra sufi. Philip K. Hitti Arab dan Persia tumbuh dengan pusinya begitu bermandikan dalam History of Arab-nya men­ kecendrungan untuk menggu- cahaya cinta; gatakan bahwa pada awalnya nakan ungkapan-ungkapan kiasan Saudara-saudaraku, Khalwat sastra Arab bercirikan ungka­ dan bersayap. Selain itu biasanya merupakan ketenangan dan pan-ungkapan yang singkat, kebahagiaankuKekasihku selalu kedua aliran sastra berkisah tegas, dan sederhana, namun di hadapankuTak mungkin aku tentang kehidupan pengelana, dalam perkembangannya sas­ pengganti-NyaCintakisah cinta anak manusia, lingkup mendapat tra Arab dan Persia tumbuh Nya pada makhluk cobaan bagi­ padang pasir, masalah-masalah kuO, hati yang ikhlasO, tum­ dengan kecendrungan untuk sosial, dan terkadang kritik-kritik puan harapanBerikanlah jalan menggunakan ungkapan-un­ terhadap pengusa. Sedangkan untuk meredam keresahankuO, gkapan kiasan dan bersayap. sastra sufi dalam bahasannya lebih Tuhan, sumber bahagia dalam Selain itu biasanya kedua aliran sastra berkisah tentang kehidu­ menekankan pada ungkapan-ung- hidupkuPada-Mu saja, kuserah­ kapan cinta pada Tuhan pan pengelana, kisah cinta kan hidup dan keinginan anak manusia, lingkup padang Kupusatkan seluruh jiwa pasir, masalah-masalah sosial, dan terkadang kritik- ragakuDemi mencari ridha-MuApakah harapanku kritik terhadap pengusa. Sedangkan sastra sufi dalam akan terwujud? bahasannya lebih menekankan pada ungkapan-ung­ Agak berbeda dengan sufi Rumi, Rabiah yang kapan cinta pada Tuhan. Dalam salah satu sajak Rumi, terkenal cantik, tetap tidak menikah dikarenakan gambaran tentang ungkapan-ungkapan cinta itu akan kecintaannya pada Allah. Dengan begitu cinta menu­ dapat kita lihat; rut Rabiah adalah totalitas cinta yang dapat diberi­ Suatu malam seorang berseru “Allah!” berulang- kan kepada yang kekasihnya. Seorang pecinta harus kali hingga bibirnya menjadi manis oleh pujian-pu­ rela berkorban demi yang dicintainya. Seperti hal­ jian bagi-Nya. Setan berkata, “ Hai kau yang banyak nya Rabiah yang rela mengorbankan apapun demi berkata-kata, mana jawaban ‘Aku di sini’ (labayka) atas mendapatkan keridhaan dari cintanya. Meskipun semua seruan ‘Allah’ ini?Tak satupun jawaban yang pada akhirnya dalam kesufian Rumi totalitas cintany­ datang dari ‘Arsy: berapa lama kau akan berkata ‘Allah’ apun muncul ketika muncul tokoh sufi misterius yang dengan wajah suram. menjadi kawan sekaligus guru sufinya-Syamsi Tabriz. Dan semangatmu adalah utusan-Ku kepadamu. Namun penulis tetap menilai bahwa totalitas cinta Ketakutanku dan cintamu adalah jerat untuk menang­ yang dimiliki Rabiah terlihat lebih besar dibanding­ kap Karunia-KuDi balik setiap ‘O Tuhan’-Mu selalu ada kan Rumi. Terlihat dari bait terakhir puisinya di atas. ‘Aku di sini’ dariku.” Dia berkorban hanya karena berharap akan keridhaan Tema cinta menjadi tema utama dalam sastra sufi, sang kekasih, apapun ia lakukan untuk itu. Selain cinta menurut Dr. Abdul Hadi W.M karena cinta merupakan Rabiah hanya diberikan pada seorang kekasih semata, peringkat keruhanian tertinggi dan terpenting dalam hanya Tuhannya. Sedangkan di dalam hubungan per­

Frasa

Edisi 4 Tahun I [Jumat, 28 September 2012]


HAL

16

SASTRA RELIGI

cintaan Rumi, terlihat ada hubungan percintaan segit­ iga antara Rumi, Syam, dan Allah. Rumi begitu men­ cintai Syam sampai tergila-gila karena sempat diting­ gal, sedangkan kecintaan Rumi pada Allah-pun tidak diragukan. Meskipun kita juga harus melihat siapa sebenarnya Syam ini. Tokoh Syamsi Tabriz ini janganjangan hanyalah tokoh karangan yang dibuat Rumi untuk menjadi sosok pengganti bagi Allah. Dan jika memang demikian, kesimpulan lainpun harus dibuat. Namun demikian pendapat umum yang beredar ten­ tu bahwa Syamsi Tabriz ini adalah guru spiritual Rumi. Yang karenanya, murid-murid Rumi merasa dicampak­ kan oleh gurunya dan mereka kemudian sepakat men­ gusir Syam secara diam-diam dari kehidupan Rumi. Tema utama dalam sastra sufi memang adalah cinta ilahi. Namun, selain tema ini, tema lainpun tetap men­ jadi bagian penting dalam sastra sufi seperti yang ter­ lihat dalam sajak Rumi tentang Pertentangan Agama berikut; Ketujuh-puluh golongan ini akan bertahan sam­ pai Hari Kebangkitan tiba: percakapan dan alasan dari orang bid’ah tidak akan gagal Banyaknya kunci atas harta benda adalah bukti ket­ inggian nilainya Panjangnya jalan yang berliku-liku, bertebing dan berjurang, serta banyak penyamun yang menghadan­ gnya, adalah petunjuk akan besarnya tujuan perjalan­ an setiap ajaran yang palsu menyerupai sebuah jalan pegunungan, bertebing curam, dan berpenyamun Beriman secara buta adalah berada dalam dilema, karena para pemuka berdiri tegak pada salah satu sisin­ ya: tiap-tiap kelompok bangga dengan caranya sendiri Hanya Cinta yang dapat mengakhiri pertentangan, hanya Cinta yang menjadi penyelamat apabila eng­ kau berteriak meminta tolong terhadap perbedaan pendapat mereka Orang yang fasih bicara akan terperangah oleh Cin­ ta: tak berani bertengkar Pecinta takut untuk membantah, supaya mutiara mistik jangan sampai menetes dari mulutnya Seolah-olah seekor burung yang sangat indah hinggap bertengger di atas kepalamu, lantas jiwamu takut ia akan terbang Engkau tak berani bergerak ataupun bernafas, eng­ kau menahan batuk, supaya burung itu tidak terbang. Rumi yang terkenal dengan madzab Cintanya, memang seolah agak geram melihat pertikaian yang terjadi antara firqoh-firqoh yang ada dalam Islam. Hadis yang menyebutkan bahwa pada hari Akhir nanti umat Islam akan terpecah menajadi tujuh puluh golongan dan hanya satu yang selamat menjadi pijakan pertika­ ian antar golongan di dalam tubuh Islam. Rumi seakan tidak rela melihat pertikain memperebutkan status satu golongan yang selamat itu. Puisinya ini menjadi

Edisi 4 Tahun I [Jumat, 28 September 2012]

semacam peringatan bagi para pemimpin golongangolongan itu, agar tidak saling bertikai hanya karena sesuatu yang belum terjadi. “Jadikanlah semua ber­ dasarkan cinta kasih, maka kalian akan selamat.” Sep­ ertinya itulah pesan yang ingin disampaikan Rumi pada kita semua. Beberapa Tokoh Sastra Sufi Di atas telah disebutkan bahwa tokoh-tokoh sastra sufi begitu banyak. Dan tiga dari sekian banyak sufi itu akan sedikit dipaparkan berikut ini. Mereka adalah Rabi­ ah al-Adawiyah, Fariduddin `Attar, dan Jalaluddin Rumi. Dan penulis harap dari pemaparan ini, dapat muncul gambaran yang lebih jelas terhadap corak sastra sufi. Rabiah al-Adawiyah (w. 764 M) dan Totalitas Cin­ taanya Sebelum masa Rabiah al-Adawiyah datang, mis­ tisisme Arab cenderung masih berupa gerakan asketisme yang benar-benar mementingkan kehidu­ pan akhirat dan menafikan dunia. Hidup para orangorang sufi identik dengan kesederhanaan bahkan kemelaratan minim keindahan. Mereka berkelana dengan baju wool yang pada umumnya terlihat lusuh. Menyendiri dan jarang beraktivitas bersama masyarakat. Dalam hubungannya dengan Tuhanpun mereka mengandalkan tawakal dan takwa. Rabiah alAdawiyah datang dan sedikit demi sedikit merubah pandangan tersebut. Meski jalan asketis tetap tidak ditinggalkan, namun Rabiah telah memberi warna lain dalam kehidupan tasawuf. Dengan sajak dan munajatmunajat yang ia lantunkan pada Allah, benih-benih Cinta mulai tumbuh di dalam tasawuf. Rabiah yang sejak kecil sudah terbiasa hidup menderita, mencari-cari hakikat hidup yang ia jalani. Sambil meneruskan usaha ayahnya menyeberang­ kan orang dengan perahu yang diwarisinya, ia tetap selalu beribadah pada Allah setiap saat. Kian hari kian ia semakin khusuk beribadah pada Allah, ia mencari ridha-Nya. Namun, ia tetap dalam kepedihan dan kes­ edihan karena merasa masih jauh dengan apa yang dicarinya. Ketika sedang khusuk tiba-tiba didengarlah suara menyebut namanya. “Rabiah janganlah engkau bersedih hati. Pada hari kiamat nanti orang-orang shaleh akan menaruh hormat padamu.” Dan inilah salah satu munajat Rabiah pada Tuhan;O. Tuhanku…Orang-orang berkhalwat ingin dekat denganmuIkan-ikan di laut bebas memuji keesaanMuDemi keagungan-Mu bergelora ombak-ombak di lautDemikian malam gelap gulitaCahaya siang terang benderangDan bahtera berlayar di laut bebasBulan purnama bersinar cerahBintang berkelap-kelipSe­ muanya menunjukkan keagungan-MuKarena Engkau Mahakuasa Kecintaannya pada Allah tiada taranya. Ia menghabiskan waktu-waktunya hanya untuk mengin­ gat Allah. Orang lain mungkin telah menganggapnya

Frasa


SASTRA RELIGI gila karena ia sering mengucapkan kalimat-kalimat yang sulit dimengerti. Namun dibalik kata-kata yang sulit dimengerti orang awam, lantunan-lantunan nyanyian cinta telah ia panjatkan pada kekasihnya. Diala Rabiah al-Adawiyah sang mistikus perempuan paling populer di dunia Islam. Farriduddin ‘Attar dan Pencarian Burung-burung pada Simurgh Farriduddin Abu Hamid Muhammad bin Ibrahim lebih dikenal dengan nama Attar, si penyebar wangi. Meskipun sedikit yang diketahui dengan pasti tentang hidupnya, namun agaknya dapat dikatakan bahwa ia dilahirkan sekitar tahun 506 H/1119 dekat Nisyapur di Persia Barat-Laut (tempat kelahiran Umar Khayyam) dan meninggal sekitar tahun 607 H/1220 di Syaikhuhah. Farriduddin ‘Attar pada mulanya hanyalah seorang pemilik sebuah kedai minyak wangi sebelum ia men­ jalani kehidupan tasawufnya. Dikisahkan bahwa kedainya kedatangan seorang Darwis berpakaian jubah wool. Darwis itu menangis ketika menghirup wewangian minyak wangi di kedai ‘Attar. Karena men­ ganggap Darwis ini hendak meminta belas, ‘Attar-pun menyuruh sang Darwis pergi. Tetapi sang Darwis tidak mau pergi dan berkata pada ‘Attar; “Tidak ada yang dapat menghalang saya dari meninggalkan kedaimu ini, dan mengucapkan selamat tinggal kepada dunia yang bobrok ini. Apa yang ada padaku hanyalah jubah bulu domba yang lusuh ini, tetapi aku justru kasihan kepadamu, bagaimanakah kau dapat mengubah pandangan kau kepada persoalan maut dan menin­ ggalkan harta benda dunia ini?” Dan setelah berkata demikian sang Darwis meninggal di kedai ‘Attar. Peristiwa inilah yang disinyalir membawa peruba­ han pada diri ‘Attar. Sejak saat itu ia mulai berkelana mencari guru-guru sufi untuk menemukan hakikat hidupnya. Meskipun jarang disebutkan tentang pen­ galamannya ketika berkelana, namun menurut hemat penulis ‘Attar telah berhasil mengalami pengalaman mistik dan menemukan jati dirinya. Dan dalam Man­ tiq al-Tayr (Persidangan atau Musyawarah Burung) ini­ lah ia memanifestasikan pengalaman yang pernah ia jalani agar lebih mudah dipahami. Mantiq al-Tayr sendiri berkisah tentang perjalanan sekawanan burung untuk mencari raja mereka yang disebut sebagai Simurgh di Puncak Gunung Kaf yang agung itu. Dalam perjalanan itu, para burung yang dipimpin oleh Hud-hud harus melalui tujuh jalan yang melambangkan tingkatan-tingakatan keruhanian. Pertama, jalan pencarian (talab). Di jalan inilah seorang pencari mulai menjalani kehidupan spiritual­ nya. Barbagai macam godaan duniawi harus dapat ia takhlukkan untuk dapat mencapai jalan berikut­ nya. Pada tahapan ini pengupayaan pembersihan diri harus diupayakan sesempurna mungkin. Para pencari

Frasa

HAL

17

diharuskan berjuang dengan gigih untuk mendapat­ kan cahaya ilahi yang didambanya dengan menghil­ angkan hasrat-hasrat duniawinya. Kedua, jalan cinta. Di tahapan ini sang pencari harus menemukan cinta sejati dalam dirinya untuk dapat menghalau tangan hitam akal yang menutupi ketajaman mata batin. Hanya dengan mata batin­ lah para pencari kebenaran ini dapat melihat realita apa adanya. Mata hati tidak dapat dibohongi. Dalam kecintaanya, seorang pencari haruslah memiliki kesu­ dian untuk mengorbankan apa-apa darinya demi yang diharapkannya—yang dicintanya. Keikhlasan dalam berkurban menunjukkan seberapa besar cintanya pada kekasihnya. Demikianlah jalan kedua merupa­ kan jalan pengujian akan cinta seorang pencari cinta, atas nama cinta. Dengan mata batin manusia akan menemukan sesuatu berdasarkan hakekatnya, bukan hanya dari segi fisik belaka. Berkenaan dengan ini saya menjadi teringat akan kisah Yusuf dan Zulaikha yang disebutkan di dalam al-Qur’an. Kisah percintaan sejati yang mengabaikan keindahan fisik demi satu keindahan ruhani. Dicerita­ kan bahwa ketika Zulaikha masih muda dan berstatus istri wazir Mesir, ia jatuh hati pada Yusuf bin Ya’qub anak angkat suaminya. Di masa mudanya, secara fisik Zulaikha adalah wanita yang benar-benar cantik, pal­ ing tidak di kawasan Mesir saat itu. Demi melihat ket­ ampanan Yusuf, jatuh cintalah ia pada pemuda ini. Zulaikha akhirnya mengutarakan juga hasratnya itu pada Yusuf. Namun, ada sesuatu yang membuat Yusuf merasa tidak tertarik dengan Zulaikha. Selain wanita ini masih bersuami, menurut Yusuf ia bukan kriteria wanita yang diidamkannya, karena kelakuannya. Bagi Yusuf kecantikan bukan soal fisik semata. Kecantikan terpancar karena dalam tubuh memancar kecantikan jiwa pemiliknya, wanita seperti inilah yang diharapkan putra Ya’qub ini sebagai pendampingnya. Namun, setelah beberapa tahun dan ketika usia Zulaikha sudah menua, Yusuf berbalik menjadi begitu mencintai wanita yang dulu pernah ditolaknya. Hal ini karena Zulaikha telah merubah sikap dan kelakuan­ nya. Wanita ini telah menjadi seorang yang taat berib­ adah, dan berbudi pekerti luhur. Zulaikha telah men­ gorbankan segalanya demi Yusuf dan pada akhirnya Yusuf-pun tidak memperdulikan kondisi fisik Zulaikha yang telah menua, mereka tetap saling mencintai den­ gan cahaya kerupawanan ruhani masing-masing. Cerita di dalam al-Qur’an ini tentu memberi pesan kepada kita bahwa seseorang itu tidak dapat dinilai dari segi fisiknya saja. Kadang ada orang yang dari segi fisik tidak begitu menarik, tetapi memiliki keru­ pawanan ruhani. Demikian pula dengan orang yang memiliki keelokkan fisik belum tentu memiliki keru­ pawanan ruhani. (BERSAMBUNG)

Edisi 4 Tahun I [Jumat, 28 September 2012]


HAL

18

KOMUNITAS

Sebagian anggota Persi nyantai bareng di Bukit Lancaran sehabis ngumpulngumpul bedah karya

Penyisir Sastra Iksabad;

Komunitas yang Berkopiah Pena dan Bersandal Buku

Orang berilmu dan beradab tidak akan diam di kampung halaman Tinggalkan negerimu dan merantaulah ke negeri orang Merantaulah, kau akan dapatkan pengganti dari kerabat dan kawan Berlelah-lelahlah, manisnya hidup terasa setelah lelah berjuang (Imam Syafi’i)

Penulis: Mawaidi D. Mas Penggalan sajak Imam Syafi’i telah mengan­ tarkan kami Subaidi Pratama ke Malang, Mawardi Stiawan ke Malang, Imam Jazuli Larat ke Malang, Mulyadi Al Fan’s ke Banyuwangi, semuanya berpencar dan dilakukan dengan tekad yang kuat dalam rangka menempuh pendidikan kuliah di sana. Kemudian ada Ach. Salman Syam, Abd. Latif Jm, Rusydiyono Misbah yang sekarang berada di Pondok Pesant­ ren Annuqayah sedang menempuh kuliahnya di Institut Ilmu Keislaman Annuqayah (INSTIKA). Ketujuh nama di atas adalah perintis Komunitas Persi dua tahun yang lalu seki­ tar pertengahan April 2010. Komunitas Persi merupakan akronim dari Penyi­ sir Sastra Iksabad. Komunitas ini berada di bawah naungan Pondok Pesantren Annuqayah daerah Lubangsa Guluk-guluk Sumenep Madura. Komuni­ tas ini bergerak di pintu sastra, utamanya puisi, esai

Edisi 4 Tahun I [Jumat, 28 September 2012]

dan cerpen. Ada banyak hal tentang Persi sejak berdirinya dan dalam perjalanannya. Syahdan, Persi dibentuk atas perbincangan kecil di antara ketujuh namanama di atas, waktu itu bertempat di kamar blok F/11. Persi bertujuan untuk mewadahi semangat dan potensi anggota organisasi yang menaungi kami yaitu Ikatan Keluarga Santri Batang-Batang Dungkek (Iksa­ bad). Anggota Iksabad sejak diperha­ tikannya memang cenderung banyak bergumul dengan dunia sastra. Dengan itulah Persi dibentuk, ditempati, dan difungsikan untuk berdiskusi, bedah karya kemudian meluncurkan kumpu­ lan puisi dan cerpen bersama. Menyambung lidah Subaidi Pratama dalam sambutannya selaku Kepala Suku yang perdana, “Kehidupan memang butuh ruang atau jem­ batan untuk bisa bergerak bebas laksana kupukupu yang terbang di malam lepas. Sebab, pada dasarnya hidup di muka bumi selalu bergerak, bertindak dan berusaha menentukan nasib masa

Frasa


KOMUNITAS

HAL

19

depannya. Begitu pen, bedah karya, dan serasehan kebu­ pun manusia, tanpa dayaan di laksanakan di atas bukit Lan­ jembatan atau ruang caran di daerah kampus INSTIKA. Sekali tidak mungkin bisa waktu, jika kegiatan jenuh dilaksana­ berproses meloncat atau kan di tempat semula, lalu pindah merangkak dari lubang dari satu ke tempat lain yang tak satu ke lubang lain. Demi jauh dari arena pesantren. meraih kesuksesan yang Kala itu, proses kami jauh diimpikan, ruang ini ini (baca: dengan dunia internet kar­ Komunitas Persi) bagi saya adalah ena memang pesantren salah satu ruang atau jembatan di melarangnya. Hanya per­ n e p r mana kita semua —wabil khusus pustakaan milik pesant­ ) n ce (2011 a teman-teman Persi— bisa bergaya ren dan sekolah saja yang d uisi r Mata p hidup meloncat ke sana kemari den­ sangat banyak membantu lan la Ai u p gan berkopiah pena bersandal buku. proses kami terutama untuk um emba k r K Dan untuk selanjutnya bergaul telanjang bahan apresiasi karya, diskusi dan lain­ e Cov r judul dengan media. Barangkali dengan ber­ nya. Cara kami berproses ingin menguat­ be gaya hidup seperti ini kehidupan kita akan kan eksistensi bahwa santri tidak hanya mampu lebih bermakna dan lebih mengenal jati diri bergulat dengan kitab kuning namun juga den­ kita yang sebenarnya (berseni). Meminjam jargon gan kitab sastra. Buktinya di kopiah kami tiap kali komunitas ini ‘Kita tercipta dari peristiwa dan lahir pergi akan terselip pena dan ke mana pun pergi, untuk peristiwa.” ke kamar mandi, makan, tidur, seolah-olah buku sudah menjadi sandal kami. Perlahan Persi berjalan dan menghasilkan Proses Kreatif kumpulan puisi dalam satu periode yang ber­ Dulu, dalam berkegiatan teman-teman menye­ judul Setandan Rindu (2010). Periode kedua pada matkan untuk tidak pernah bertanya hasil dari masa kepemimpinan saya meluncurkan kumpulan sebuah proses yang dijalani. Sebab, hasil akan dira­ sakan dengan tidak diduga dan tidak harus ditung­ cerpen dan puisi berjudul Kembala Air Mata (2011) sekaligus mempunyai anggota baru dari santri gu. Proses dapat ditemui ketika berlangsungnya sebuah kegiatan rutinitas, diskusi, baca putri. Periode ketiga juga meluncurkan kumpulan cerpen dan puisi berjudul Wasiat Darah (2011 akh­ buku; menerapkan, merep­ ir) masa kepemimpi­ nannya Jamalul Mut­ resentasikan, dan obro­ taqin (tinggal di Annuqayah) dan lan bebas dengan topik Cove r k periode keempat tahun u Setan mpul pembicaraan yang men­ a d n a 2012 ini di bawah n Rin puisi garah pada kajian sastra. du (2 ber ju Persi ibarat sebuah pimpinan Muham­ 010) dul rumah tanpa atap. Ketahui­ mad Ali Tsabit (tinggal di lah, seabrek kegiatan seperti Annuqayah). diskusi, apresiasi Silakan kunjun­ puisi dan cer­ gi blog: dialog­ langit.blog­ spot.com [Komunitas Persi]***

Imam Jazuli Larat sedang membacakan puisinya dalam kegiatan apresiasi sastra

Frasa

Edisi 4 Tahun I [Jumat, 28 September 2012]


HAL

20

CERPEN: Jatni Azna

Serenada

Empat Roda Edisi 4 Tahun I [Jumat, 28 September 2012]

Frasa


CERPEN

HAL

21

Ricuh, riuh suara penumpang membuat ritme tak beraturan. Bau badan yang beragam, ditambah lagi berdesak-desakkan membuat Atan mual. Digenggammnya besi licin di lengan pintu dengan erat. Angin kota yang kental menyapanya, pengap. Ini, kali pertama ia menjadi kondektur bus. Tiba-tiba, Bang Itam menginjak pedal rem tanpa toleran. Semua penumpang yang berdiri di badan bus hampir tersungkur ke depan.

“Woi!!! Mau mati kau!!!” teriaknya kasar. Semua mata dari dalam bus menyorot ke luar jendela kepada pengendara motor yang ugal-ugalan. Berbagai umpatan terlontar di sana sini. Atan diam saja. Dengan kaca yang terletak di atas kepalanya, Bang Itam bisa mengamati kelakar kernet baru itu. Lalu, dengan isyarat ia menyuruh Atan untuk meminta ongkos. Intruksi diterima. Dengan kalem, Atan mulai memunguti uang satu persatu pada penumpang. “Kurang lima ratus lagi Dek!” pintanya set­ elah menerima uang dua ribu rupiah dari wanita berambut pendek yang duduk di leretan supir. “Mahasiswa Bang,” jawabnya sekenanya. Atan melirik Bang Itam sesaat. Mata Bang Itam membesar. Itu pertanda buruk. “Inikan hari libur Dek, sama saja.” Tuturnya lagi. “Gak ada uang kecil Bang,” sahutnya lagi arogan. “Uang besar juga ngak apa-apa.” Imbuh Atan tak mau kalah. Wanita itu terlihat kesal. Atan merasa bersalah, hanya karena uang lima ratus rupiah ia harus ‘mempermasalahkan’ sede­ mikian rupa. Sejenak, wanita itu merogoh kantong celananya. Nihil. Lalu, beralih menggeledah isi tasnya. Wajahnya kusut, sepertinya ia tak menemukan yang ia cari. Atan beralih ke panumpang yang lain. Untuk sementara, Bang Itam tidak menge­ tahuinya. Itu lebih baik. Detik berikutnya, mata Bang Itam kembali membelalak. Ia mengerti. Dan beringsut diantara kepada­ tan penumpang. “Ada Dek?” tanyanya pada wanita tadi.

Frasa

“Nggak ada ya nggak ada Bang,” sahutnya cetus dan tatapan tajam. “Macam mana Dek, lima ratus lagi!” Atan tak mau kalah. “Ya, kayak mana lagi Bang.” Jawabnya tak peduli. “Sudah biar saya yang bayar,” sambar seorang Ibu yang duduk di dekat pintu bela­ kang bus. Atan menghampiri. Dan menerima uang yang dimaksud ibu tadi. Samar-samar, saat ia berbalik. “Gawat orang sekarang, uang lima ratus saja dipermasalahkan.” Atan menghela nafas panjang. Untuk pertama kalinya ia bekerja penuh dengan nyayian kehidupan yang baru diketahuinya.  “Lain kali, kau harus tegas dengan pen­ umpang Tan!” kata Bang Itam lalu menyum­ bat mulutnya dengan nasi. Atan mengang­ guk lemah. “Alamak, macam mana pulanya kau? Kalem kali jadi cowok!” logat Bataknya kelu­ ar. “Bukan begitu Bang, aku tak suka mem­ persulit orang. Tak suka mempermasalahkan yang kecil.” Akunya jujur. Dicomotnya ikan bakar nila yang menggugah selera. Bang Itam menghentikan suapannya, tertegun sesaat. “Aku paham. Tapi, Tan. Sekarang itu, uang seperti oksigen. Kalau kita tidak berebut menghirupnya kita akan mati Tan! Sama seperti kau di dalam bus, kalau kau tak kuatkuat, udara untuk kaupun akan dihirup orang.” Atan diam. “Makanlah kau cepat! Habis itu kita narik

Edisi 4 Tahun I [Jumat, 28 September 2012]


HAL

22

CERPEN

lagi.” Kata Bang Itam setelah menyapu mulutya dengan serbet. Atan masih meng­ habiskan sisa-sisa makanan yang tiba-tiba sulit dikunyah. “Oh, iya. Satu lagi catatan untuk kau! Kalau ada yang aneh-aneh nampak kau di bus, kau diamkan sajalah! Anggap saja kau tak tau! Demi kebaikan kau juga!” pesan Bang Itam dari ambang pintu, sebelum badan tambun itu menghilang di bawah terik siang. Atan masih diam dalam ketidak mengertian.  Sampai hari ini, Atan masih belum mengerti apa yang dimaksud bang Itam. Setelah seharian kemarin bekerja, Atan mendapat bagian sepertiga dari hasil. Sedikit memang, tapi setidaknya ia harus bersyukur. Begitu pesan Emak yang diin­ gatnya. Oh. Emak. Mendengar nama itu, pandangannya membayang kampung halaman tercinta. Pada Emak dan kedua adiknya. Ia merantau ke kota untuk mem­ bantu meringankan kesulitan hidup. Ber­ harap, di kota ia mendapat pekerjaan yang lebih layak. Tapi, ternyata. Tidak semudah membalikkan telapak tangan. Di kota ia belajar pahit getir kehidupan. Mendengar­ kan nyanyian bus adalah salah satu serena­ da yang sukar untuk dimaknainya. Namun, serenada inilah yang mengajaknya untuk memainkan tempo-tempo nada kehidu­ pan. Bunyi klakson menyadarkan Atan dari lamunan. Seperti biasa ia harus memung­ uti ongkos para penumpang. Naik memang gratis, tapi turun bayar Tan. Canda Bang Itam beberapa waktu lalu. “Ongkosnya duakan Buk?” tanyanya pada ibu yang duduk di dekat pintu depan. Wanita separuh baya itu menggeleng cepat dan menurunkan bibit bunga yang di letak­ kan di atas bangku yang bersisian dengan­ nya. “Maaf Buk, mau tidak mau. Ibu harus bayar dua, kasihan dari tadi penumpang lain tidak bisa duduk hanya karena bibit bunga ibu.” Tuturnya lembut. Melihat wajah wanita ini, mengingatkannya pada Emak. “Enak saja!!! Dari tadi kamu tidak ada

Edisi 4 Tahun I [Jumat, 28 September 2012]

bilang begitu!!!” bentaknya. Atan terkesiap. “Tapi ini sudah ketentuan buk, ibu pasti tau itu?” jawabnya tenang. “Sudahlah, turun saja ibu di sini!!!” sambung Bang Itam geram. Atan tak sampai hati. Biar bagaimanapun, wanita ini adalah seorang ibu yang harus dihormati. Suara rem berdecit meraung menyentuh aspal. “Turunkan dia di sini Tan!!! Kata Bang Itam kejam. “Enak saja, saya kan bayar di sini!” sam­ barnya tak mau kalah. “Tak usah buk, tak butuh kami uang dari orang kayak ibu!” sahut Bang Itam. Den­ gan wajah kesal wanita itu turun dari bus. Atan berusaha menurunkan bibit bunga miliknya. “Jangan bantu!!! Saya tidak butuh ban­ tuan kalian!!!” balasnya lagi. Selanjutnya ia mengoceh sebelum ahirnya hilang ditelan suara bus yang kembali melaju. Bus riuh, kata demi kata seperti desisan di sana sini. Pasti mereka membicarakan peristiwa tadi? Pikir Atan. Dalam hal ini, Atan tidak berani menilai siapa yang benar dan siapa yang salah, entahlah. Ternyata ada banyak nyany­ ian di atas bus. Sinar matahari kian merapat ke barat. Pen­ umpang makin padat saja. Tidak ada tandatanda Atan bisa menghirup udara yang long­ gar sesaat. Kental dan padat saling berebut oksigen. Tiga orang gadis baru saja menaiki bus. Bertambah padat saja. “Masuk ke dalam ya Dek,” pinta Atan ramah. Salah seorang di antaranya melem­ par senyum. Dua dari mereka bergayah acuh. Atan kikuk. Gadis ini cantik sekali, gumam­ nya membatin. “Hai, Yung! Jangan biarkan gadi-gadi rancak ko lecet! Inyo indak mau masuk ke dalam nanti jatuh.” Goda seorang kakek yang duduk di dekat pintu tempat Atan berdiri. Atan tersipu. Yang benar saja, seorang kakekpun mengagumi kecanti­ kan mereka. Apalagi dia? Namun, ini hanya sebatas mengagumi. Tidak lebih. Bus terus melaju meluncur di jalanan kota. Menyeli­ nap di antara kendaraan lain yag berseli­

Frasa


CERPEN weran. Masih ada beberapa waktu sebe­ lum ronda kelilingnnya pada penumpang. Ia ingin mengamati wajah gadis ini sesaat saja. Angin kasar, mengacak rambut Atan. Menampar lembut. Sesekali ia mencuri pandang ke arah gadis tadi. Namun, kali ini mata teduhnya membulat, ada yang beru­ saha menjawil tasnya. “Woi!!!” sergahnya pada laki-laki ber­ pipi tirus itu. Ia kaget. Dan gelagapan. Lalu, menyelinap di tengah kepadatan penump­ ang di badan bus. semua yang berdiri mera­ sa terganggu. Risih, riuh. Buru-buru laki-laki tadi berlari ke pintu belakang. “Jalan terus bang!!!”pintanya pada Bang Itam. Namun, keinginan berbalik 180 derajat. Bus tiba-tiba saja berhenti. Atan binggung. Dan laki-laki tadi hanya tersenyum menang sebelum menghilang dari pandangan. Satu lagi tanda tanya yang berkelindan dari nyay­ ian bus.  Atan sengaja tidak menanyakan perihal kejadian tadi sore. “Ini,” kata bang Itam seraya menyorong­ kan onggokan uang kertas dan logam yang beragam. Dengan cekatan, Atan langsung menyimpan ke dalam tas pinggangnya. Atan berangsur pulang. “Tan,” panggil bang Itam menghentikan langkah Atan. “Hati-hati kau pulang!!!”pesannya yang di jawab senyum. Angin malam menusuk tubuh-tubuh penghuni bumi yang masih berkeliaran. Sorot lampu menerangi sekenananya. Jalanan sunyi mulai Atan lewati. Malam yang dingin, pikirnya. Makin dingin saja. Sampai-sampai bulu kuduknya berdiri, ngeri. Bukan karena itu juga, melainkan sejak tadi ia merasa ada yang membututi­ nya. Dan tepat saat dikeremangan malam. Laki-laki berpipi tirus itu muncul lagi, tapi kali ini dia tidak sendiri. Ada berberapa laki-laki bertubuh besar di belakangnya. Tanpa dijelaskanpun Atan sudah mencium niat busuk mereka. Laki-laki berpipi tirus itu kembali tersenyum.

Frasa

HAL

23

“Aku tidak pernah cari masalah, tapi bila kau memulainya akan aku sudahi juga.” Katanya sok diplomatis. Atan terkekeh. Dia tidak akan takut. Setidaknya ia memiliki bekal ilmu bela diri yang pernah ia pelajari dari ocunya di kampung. Dan perkelahian­ pun bergulir. Atan memiting tangan satu diantaranya dengan ganas. Lalu, menghajar pelipis yang lain. Babak demi babak. Atan mulai kewalahan. Sekawanan itu menyerang sekaligus. Atan lengah. Dia tidak menyadari ada seseorang yang membawa balok besar. Atan sedang sibuk melawan dua orang di depannya. Orang itu: si laki-laki berpipi tirus mengayunkan balok ke arah kepala Atan, lalu mengenai kepalanya secara telak ‘duak’. Dan dalam hitungan detik, darah segar mun­ crat dari kepala Atan. Seakan slow motion, Atan terdiam, berhenti bergerak, lalu roboh ke bumi. Atan terkapar, tapi ia masih sadar. Kawanan itu terkekeh puas dan mengin­ jak-injak tubuh Atan dengan buas. Suara klakson dan sinar tajam. Sekawanan itu kaget dan lari terbirit-birit. Sebuah bus mendekat. Seorang yang dikenal Atan, Bang Itam. “ATAN!!!”teriaknya histeris. Pandangan Atan mulai kabur. Ia tidak sempat berpikir kenapa Bang Itam bisa di sini. “Sudah ku bilang kau jangan ban­ yak cerita, beginilah akibatnya.” Sesal Bang Itam. Lalu ia membopong tubuh Atan yang terkulai lemah penuh darah. Dengan susah payah tubuh tambun itu berhasil membar­ ingkan Atan ke atas kursi di dekat supir. Bus kota itupun melaju. Lamat-lamat ada dingin yang menyerang bukan kepalang. Mata Atan kian mengatup. Sayup-sayup suara roda bus mengalun kian redup. Hanya angin dan laju bus yang membuat serenada. Kemudian, semua menjadi gelap. *** Jatni Azna Mahasiswa Ilmu Komunikasi UIN SUSKA RIAU bergiat di Forum Lingkar Pena dan aktif dalam berbagai organisasi.

Edisi 4 Tahun I [Jumat, 28 September 2012]


HAL

24

PUISI

Ruh yang Kau Kirim

denyut mengerut

di riuh hujan kemarin ada tawa sisa menghampiri jalanan terbuka

ya, kini aku tahu ia hanya sebongkah ruh yang kaukirim untukku

kaukah itu? atau hanya ruh berkelabat dalam sesat kecut, katanya ketika melihatku menunggui tungku cinta jiwa berkulit jerami rambut bercadar panas gontai dan berlalu lalang seperti tak ada bulan yang pendar sekujur zikir, air mata sembilu berkelakar mencari si pemuja hati menciut

demi kenangan – tak bisa terurai demi luka terus menganga di tepian senja Doa Sunyi meracik muka dua nyawa bersisir seribu pengap tanpa harap embun curiga kau petik dari ranting gelisah seberapa panjang gagang waktumu

untukku? di lambungku, badai kan segera meny­ erbu ombakpun ikut mend­ ayu cepatlah, jika kau masih ingin kesunyian sebagai piaraan atau sobat menuju kodrat pasang jala emas tangkapi udara jahat bawa pancing nelayan agar doamu tak jadi bala anak-cucumu! Riwayatnya aku dan kata berbaur menjadi - sukmamu -

Riza Multazam Luthfy Menulis puisi, cerpen, esai, tinjauan buku, dan cerita anak. Karyakaryanya bertebaran di beberapa media, seperti Kompas, Jawa Pos, Seputar Indonesia, Suara Pembaruan, Lampung Post, Koran Jakarta, Jurnal Nasional, Kedaulatan Rakyat, Suara Merdeka, Pikiran Rakyat, Tribun Jabar, Riau Pos, Sriwijaya Post, Surabaya Post, Radar Surabaya, Malang Post, Radar Malang, Radar Bojonegoro, Sumut Pos, Padang Ekspres, Sumatera Ekspres, Jurnal Medan, Analisa, Waspada, Serambi Indonesia

Kampung Halaman

Perjalanan

Ketetapan tidak tumbuh di tanah asalku segalanya mencair dan mengalir serupa kalender meninggalkan jejak kenangan masa kanak dilingkaran pikiran yang semakin hijau

Lalu mereka berjalan bersama di samping gedung tua berlalu tanpa mengenal langkah satu sama lain jikalau ada semak belukar menghadang, tak mengapa mungkin langkahnya akan tertukar

dan di kedalaman ini, ibu-bapakku tetap akan menjadi mata air segala sumur yang tak terganti­ kan pada hari yang kian tua dan renta sebab segalanya berlalu tanpa kebersamaan

tangannya tak bergandeng, tatapan nanar memandang tiang-tiang taman dan patung meraung sesaat setelah mereka melewati gedung tua

perhitungan jarak dan kemauan yang berbeda Sewon, 2012

Sir Saifa Abidillah Lahir di ujung timur pulau Madura, Sumenep 12 Januari 1993. Beberapa puisinya terkumpul dalam antologi bersama: Langit Tetap Akan Mendung (Kosambhi) 2009, Reportase Yang Gagal (Sanggar Kotemang) 2010. dan kini bergiat di Lesehan Sastra Kutub Yogyakarta.

Edisi 4 Tahun I [Jumat, 28 September 2012]

tapi mereka masih tak mengenal langkah Lalu mereka mendekat pada sebuah kumpulan wangi melepas sendu malam kemarin, hampir saja mengering jari telunjuk mendekat, tapi satu tangan menghalang petik saja, katanya lalu, tak ada suara terdengar langkah menggertak mereka

Frasa


PUISI tak ada lagi langkah ragu, petik saja, katanya tapi... Makassar, 20 Juli 2012

HAL

25

malamku dan bau nikotin yang membuatku jijik pada sendiri Aku tenggelam pada kelam pekat pahit kopi pagiku Dan aku tersesat saat pulang bersama camarcamar di senja itu Tuhan Usap lembutlah debu di kepalaku dengan ujung jemari-Mu Karuniakanlah secercah hidayah dan setetes ridhoMu sebagai pelita dan penawar dahaga ruhku. Amin.

Wawan Kurniawan lahir 4 Maret 1992 sebagai anak pertama dari empat bersaudara. Bukan manusia produktif yang mampu haslilkan karya, lebih memilih banyak membaca dibandingkan menulis. Suka menulis ketia menunggu, dan saat ini tengah menyusun buku kumpulan Yogyakarta, 13 Desember 2011, 13:26 puisi pertama serta novel pertama yang diprediksikan rilis awal tahun 2013. Penulis dapat ditemui di Senja Di Kampus Putih akun twitter @wkhatulistiwa atau email ke wawan. kurniawan1992@gmail.com. “Anglaras ilining banyu, angeli ananging ora keli”* Aku dicumbu senja Aku terbakar diantara kelakar akarakar pemikiran nan kekar Tuhan di Mana atawa Aku di Mana Kemudian sayap burung baja sayup merobek selaput dara senjaku : tuhan Ia meraung Benihbenih khilaf dan salah telah berkecambah Mungkin burung itu atawa senjaku seperti mer­ dan tumbuh menjadi sulursulur hitam membe­ aung dalam karung lenggu jiwa yang bermalam dalam abadabad dosa Dan batok kepalaku masih saja terhujani tombak­ Aku pernah menjadi ilalang sungsang pada tandus tombak runcingruncing dan usang sajadahku pemikiranpemikiran dari langitlangit Jungkir balik merukuksujudkan tubuhku namun Kadang menyalibku pada tiang pancang bekas pendulum yang menggantung di ujung hatiku persaliban Yehusa antara otak botak dan hati basi tak sedikitpun bergetar meski dengan amplitudo dzikir yang sempurna Biar kubakar sendiri otak dan hatiku dengan sulut Setelah kukanankirikan uraturat leherku yang di liar neraka-Mu sana Maha sucimu mengalir bersama bau anyir Tuhan amis dosaku Dan taman surgaku akan berakhir pada prosa Aku tetap setia menjadi manusia ompong dan klasik nan asyik sombong yang pendosa Sesuatu menyeruku dari balik tabir waktu : - sur­ gane mbahmu !** Tengok kanan tapi hanya batang leher dan kepala yang melongok Kampus Putih, 08 Oktober 2011. Keakuanku masih membuat mereka yang lapar *mengalir bersama air, menghanyut tapi tidak terh­ tetap terkapar anyut (Serat Lokajaya. Lor. 11629) Tengok kiri tapi hanya pinggang bahuku yang **Surganya kakekmu! hampir terkilir dan nyeri Keakuanku masih membuat mereka yang fakir semakin dekat pada kafir Rahmat S Keras kepalaku Tuhan. Bersekongkol dengan lahir di Magelang 08 Juni 1989. Memulai proses hatiku yang terus mengeras. Aku tetap memuja kreatif dalam menulis puisi dan cerpen sejak di aku yang mengaku Aku karena keakuanku. Menya­ sekolah lanjutan tingkat pertama. Sekarang masih markan Aku Yang Satu. melanjutkan proses kreatifnya lewat beberapa komunitas sastra ; Pena Grage Community, KomuTuhan Engkau di mana nitas AKAR Yogyakarta, Sanggar Kreatifitas ManuAtawa aku yang di mana sia Yogyakarta, dan di beberapa kantong-kantong Aku terkulai bersama puntungpuntung cerutu sastra di Yogyakarta.

Frasa

Edisi 4 Tahun I [Jumat, 28 September 2012]


HAL

26

SASTRADUKASI

NILAI BUDAYA ASING DALAM

SASTRA ANAK TERJEMAHAN Oleh: Try Octavianus Sinaga

P

ara orang tua tentunya ingin memberikan yang terbaik bagi anak-anak mereka semen­ jak usia dini. Dalam mendidik anak, mereka umumnya juga berupaya untuk menanamkan halhal, kebiasaan, nilai-nilai, dan perilaku yang baik. Banyak orang tua, misalnya, ingin menumbuhkan minat baca anak dengan membiasakan anak mem­ baca sejak kecil. Agar anak mau membaca tentu­ nya diperlukan bahan-bahan bacaan yang dapat menjadikan kegiatan membaca menyenangkan bagi anak. Di sinilah peluang munculnya karyakarya sastra anak yang tidak hanya sekedar dapat memenuhi kebutuhan akan bahan bacaan bagi anak tetapi juga dapat menjadi jendela pembuka cakrawala dan dunia imajinasi anak. Peluang ini disadari betul oleh para penerbit di Indonesia yang berlomba-lomba untuk meng­ hadirkan berbagai bacaan menarik untuk anak. Namun, jika melihat buku-buku cerita anak popul­ er yang banyak memenuhi rak-rak toko buku saat ini, sebagian besar adalah karya sastra terjemahan. Sebut saja mulai dari dongeng-dongeng karya H.C. Andersen, dongeng Cinderella, Putri Salju, Putri Tidur dan sebagainya yang banyak dipopulerkan Disney, hingga Avatar: The Legend of Aang, Naruto, dan SpongeBob Squarepants yang diadaptasi dari serial televisi yang sangat digandrungi anak-anak. Sementara itu, bacaan anak karya asli pengarang Indonesia yang sempat berjaya di era 1980-an sep­ erti cerita-cerita petualangan karya Djoko Lelono atau Dwiyanto Setyawan, Soekanto S.A, dan pen­ garang lainnya tidak lagi dikenal oleh anak-anak zaman sekarang. Karya-karya asli Indonesia saat ini pun tidak banyak kita temui. Hal ini juga diakui oleh Dwiyanto. “Pengaruh dari luar negeri, setelah masuknya komik, teks (bacaan anak) kita agak ter­ gusur. Orientasi pembaca kita suka yang luar neg­

Edisi 4 Tahun I [Jumat, 28 September 2012]

eri,” katanya (Februana & Kurniawan 2008). Keberadaan bacaan anak terjemahan karya asing khususnya dari Jepang dan Amerika yang mendom­ inasi penerbitan karya sastra anak di Indonesia ini bisa jadi sangat menguntungkan. Bagi anak-anak sebagai pembaca, keberadaan karya-karya terse­ but dapat memuaskan dahaga mereka akan bahan bacaan anak mengingat terbatasnya jumlah karyakarya asli negeri sendiri. Bagi penerbit, hal ini ten­ tunya juga menjanjikan mereka keuntungan secara komersial karena anak-anak Indonesia memang cenderung lebih menyukai karya-karya terjemahan tersebut yang sedikit banyak kepopulerannya turut didongkrak oleh media pengusung budaya populer seperti televisi dan film. Akan tetapi selain keuntun­ gan yang diberikan, satu hal yang perlu kita waspa­ dai adalah kandungan nilai-nilai budaya asing yang turut terbawa dalam karya-karya terjemahan terse­ but. Memang ada nilai- nilai budaya yang bersifat universal, tetapi tidak jarang banyak nilai-nilai tipikal budaya tertentu yang mungkin tidak kita temui di dalam budaya kita. Terkait dengan maraknya sastra anak terjemahan ini dan kekhawatiran akan adanya nilai budaya asing di dalamnya, kita bisa menyikapi hal ini dengan lebih kritis dan obyektif. H. Lofting dalam World Friendship and Chil­ dren s Literature misalnya menganggap bahwa sastra anak terjemahan merupakan katalisator bagi pemahaman terhadap dunia. Dengan kata lain, sastra anak terjemahan dapat berperan untuk menumbuhkan rasa saling hormat antar sesama bagi semua orang di seluruh dunia (Joels 1999, 66). Hal ini dimungkinkan karena dengan adanya karyakarya sastra anak terjemahan tersebut, misalnya anak-anak Indonesia tidak harus mengalami kend­ ala bahasa dalam membaca cerita anak dari Jepang sehingga mereka mendapatkan gambaran tentang

Frasa


SASTRADUKASI kebiasaan dan kehidupan anak-anak Jepang. Satu hal yang perlu mendapat perhatian dalam penerje­ mahan karya sastra anak adalah proses penerjema­ han yang bukan merupakan sebuah proses mudah yang dapat berjalan secara otomatis dan dilaku­ kan secara asal-asalan. Banyak permasalahan yang mungkin timbul akibat adanya perbedaan dua sistem linguistik dan budaya. Kesulitan terutama muncul apabila karya yang hendak diterjemahkan diperuntukkan bagi anak-anak yang tidak memi­ liki banyak pengetahuan tentang budaya dari teks tersebut berasal (Yamazaki 2002, 53). Alih-alih memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang budaya masyarakat dari bagian dunia lain, pembaca anak mungkin malah tidak menya­ dari kekayaan dari keragaman budaya di sekitar mereka. Sebenarnya menerjemahkan bukanlah pekerjaan yang tunggal. Pengamatan yang lebih luas pada sastra anak di Indonesia akan membawa kita pada berbagai variasi terjemahan seperti ter­ jemahan, saduran, adaptasi, dan mungkin variasi lainnya. Variasi-variasi tersebut membawa kon­ sekuensi tersendiri dalam hal perlakuan terhadap teks asli dan hasil berupa teks berbahasa Indone­ sia. Isabelle Desmidt (2006) telah melakukan pene­ litian terkait dengan hal ini dalam tulisannya yang berjudul A Prototypical Approach within Descrip­ tive Translation Studies? Colliding Norms in Trans­ lated Children’s Literature. Desmidt mengupas tentang permasalahan terjemahan pada sastra anak-anak yang diakuinya diwarnai benturan antara sejumlah aturan misalnya sumber teks terkait, kesusastraaan, bisnis, pendidikan, penga­ jaran, dan masalah-masalah teknis. Selanjutnya, ia menyarankan perlunya penyesuaian dalam pener­ jemahan sastra anak-anak. Gonzales-Cascallana (2006) lebih jauh dalam Translating Cultural Intertextuality in Children’s Litera­ ture mengatakan bahwa dimensi budaya terjemahan menjadi penting karena adanya pengakuan bahwa baik naskah sumber maupun naskah terjemahan bukan sekedar contoh materi linguistik, tetapi juga terkait dengan jejaring penanda budaya. Bagi pen­ erjemah mengurai penanda budaya tersebut bisa menjadi lebih sulit dibanding dengan menyelesaikan permasalahan semantik atau sintak. Permasalahan menjadi semakin rumit ketika penerjemahan terse­ but dilakukan pada teks-teks untuk pembaca anakanak. Kerumitan tersebut terkait antara lain dengan peran yang diharapkan dari sastra anak seperti yang dikemukakan oleh Murti Bunanta, seorang pemerhati dan pakar sastra anak dari Universitas Indonesia, bah­ wa lewat sastra, anak-anak bisa lebih mendapatkan

Frasa

HAL

27

bacaan yang mengandung nilai-nilai kemanusiaan dan masalah umat manusia pada umumnya, budi pekerti, arti penting kerja keras, empati, juga artistik (Asrori 2007). Lewat bukulah orang dewasa bisa menana­ mkan nilai-nilai luhur secara lebih efektif. Beban yang dipanggul oleh sastra anak dalam bebera­ pa kasus bisa berubah menjadi pedang bermata dua. Pertama, nilai-nilai dari kita sebagai orang tua bisa disampaikan melalui sastra. Kedua, nilainilai orang lain yang termuat pada sastra tersebut bisa bertabrakan dengan nilai yang kita anut. Lalu seperti apakah karya sastra anak terjemahan yang beredar dan populer di kalangan anak-anak Indo­ nesia? Nilai-nilai budaya asing seperti apakah yang turut dibawa dalam karya-karya tersebut? Untuk mengkaji lebih lanjut tentang hal ini, dalam artikel ini dibahas beberapa contoh karya sastra anak ter­ jemahan beserta nilai-nilai budaya yang terkand­ ung di dalamnya.

1. Kemandirian

Sebuah nilai budaya yang sangat menarik yang dapat ditemui dalam karya sastra anak terjema­ han adalah kemandirian. Apakah ini sesuatu yang asing? Terus terang, iya. Kita harus mengakui bahwa kemandirian bukanlah sebuah nilai dasar dalam budaya masyarakat kita. Banyak orang tua juga men­ gakui sulitnya menanamkan kemandirian pada anak dari hal yang kecil sekalipun karena terutama kelu­ arga kelas menengah misalnya umumnya memiliki pembantu rumah tangga atau pengasuh anak yang selalu siap membantu anak melakukan hal-hal yang sebenarnya dapat ia lakukan sendiri. Kemandirian merupakan salah satu nilai paling mendasar dalam budaya Amerika yang sangat erat kaitannya dengan nilai lain, yakni kebebasan individu. Menurut Datesman dan Kearny (2005) seseorang hanya akan mendapatkan kebebasan pribadi ketika ia telah dapat berdiri di atas kedua kakinya sendiri, atau dengan kata lain memiliki nilai kemandirian. Nilai kemandirian ini merupakan salah satu nilai yang dapat ditemukan dalam bacaan Franklin seri storybooks yang berjudul Franklin dan Anak Besar yang dalam program televisi merupakan salah satu episode serial Franklin berjudul Franklin Delivers. Baik dalam buku maupun episode TV tersebut dic­ eritakan bahwa tokoh utama, Franklin si kura-kura, tidak mau lagi dianggap sebagai anak kecil lagi. Kar­ ena ingin diperlakukan sebagai anak yang sudah besar, maka ia ingin melakukan hal-hal seperti yang dilakukan oleh anak besar seperti Jack Rabbit yang memakai papan luncur ke mana-mana atau mengenakan topi secara terbalik. Itu semua terlihat keren bagi Franklin. (bersambung)

Edisi 4 Tahun I [Jumat, 28 September 2012]


HAL

28

LENTERA BUDAYA

Proses penguburan

dalam suku batak

P

roses penguburan dalam suku batak cukup rumit. Ada ritual-ritual yang harus di lakukan sebelum di makamkan. Pertama melakukan ritual simbolis dengan membalik tikar dimana jasad di letakkan keluar , sehingga posisi tubuh dan kepala terletak di kaki tikar . Selanjutnya, meletakkan jasad kedalam peti mati. Jasad di dalam peti mati kemudian diusung beberapa kali mengelilingi rumah. Ritual ini biasa di lakukan oleh kerabat perem足 puan. Setelah itu peti di bawa ke areal pemakaman di iringi musik Gondang yaitu Tradisional Batak dan Penembakan Senjata secara terus-menerus. Sesampainya di pemakaman, jasad diletakkan di dalam lubang yang sudah di gali. Beberapa tahun

Edisi 4 Tahun I [Jumat, 28 September 2012]

kemudian, keluarga dari orang yang meninggal mengambil kembali tulang belulang dan mem足 bersihkannya kemudian di kubur kembali. Tradisi pemakaman sekunder ini dalam bahasa Batak dis足 ebut Mangongkal Holi. Ritual terakhir dalam prosesi pemakaman adat Batak di lakukan setelah pemakaman sekunder atau Mangongkal Holi. Setelah tulang belulang di kubur kembali dilakukan upacara pemakaman dengan pidato dan doa. Kemudian keluarga dan kerabat dari orang yang meninggal menggelar pesta den足 gan menyediakn hidangan dari daging dan nasi, serta menari Tarian Tradisional Batak. (dwi/bermarwah.blogspot.com)

Frasa


LENTERA BUDAYA

HAL

29

Sistem kekerabatan

di Minangkabau

S

istem kekerabatan adalah hubungan yang teratur antara seseorang dengan orang lain. Di Minangkabau, Orang minangkabau men­ ganut sistem kekerabatan matrilineal yaitu : hubun­ gan kekerabatan berdasarkan garis keturunan ibu. Kekerabatan dapat timbul karena dua hal yakni : 1. Karena bertali darah 2. Bukan bertali darah (perkawinan) Sistem kekerabatan matrilineal ini bersumber dari filsaat adat minangkabau yaitu alam takam­ bang jadi guru yang didasarkan pada adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah. Kekerabatan ber­ langsung turun temurun dimasyarakat minang­ kabau dan sekarang pun masih tetap lestari. Kita dahulu, sampai dengan zaman kita sekarang. Pepatah adat mengatakan Kato pepatah caro minang Patitiah lubak nan tigo Turun dari datuak parpatiah nan sabatang Manjadi kato pusako Artinya ajaran adat yang disusun Datuak Par­ patiah Nan Sabatang ini merupakan ajaran adat yang menjadi pusaka orang minangkabau sam­

Frasa

pai saat ini. Garis keturunan yang diambil berdasarkan garis keturunan pihak perempuan/ibu disebut dengan garis keturunan matrilineal, sedangkan garis ketu­ runan yang diambil berdasarkan garis keturunan pihak laki-laki/bapak disebut garis keturunan patri­ lineal. Kekerabatan bertali darah dapt dilihat dari kehidupan sehari-hari dengan adanya panggilan dari seseorang kepada anggota keluarganya den­ gan sebutan : mamak, kemenakan, uni, uda, adiak, mak tuo, dan etek. Kaum ibu/perempuan di minangkabau mempu­ nyai kedudukan yang sangat penting. Fatwa adat menyatakan kaum ibu/perempuan adalah limpa­ peh rumah nan gadang yang berperan sebagai : Pemeliharaan hubungan kekerabatan Pewaris dan pelanjut keturunan sistem matrilineal Penguasaan atas harta benda, sawah, ladang dan lain-lain. Sehingga kaum ib u/perempuan dilambangkan sebagai amban ouruak, pumpunan jalo, pegangan kunci biliak artinya penyimpanan dan pemeliharaan kekayaan, baik berupa harta pusako dan sako. (des/bermarwah.blogspot.com)

Edisi 4 Tahun I [Jumat, 28 September 2012]


HAL

30

TEENLIT CERPEN

Bukan Lagi Malaikat “Apakah memang harus seperti ini? Bagaimana akhir dari semua ini, karena pilihan kadang tidak mudah” Aku memandang jauh ke depan, ke atap-atap gedung bertingkat yang mulai memadati kota Surabaya. Memoriku berlari kembali menembus waktu sekian waktu silam, berlomba, bisik berbisik, berpacu dengan angin sore, menceritakan episodeepisode lalu seperti slide film lama yang berkele­ bat di depan mataku. Kembali aku menghela nafas, tak lagi menyadari keberadaanku di balkon hotel mewah ini. Sejak aku menginjakkan kaki di bangku sekolah, aku telah menjadi anak emas dan kebanggaan ked­ ua orang tuaku. Bagaimana tidak, prestasi-prestasi akademik, aku ukir menggunung di setiap detik nafasku. Ya...sekolah adalah kehidupanku sekaligus pengabdianku. Seperti anugerah, setiap prestasi kuraih tanpa beban. Tidak seperti anak-anak seko­ lah pada umumnya, aku sangat menyukai mem­ baca buku-buku pelajaran sehingga kedua orang tuaku tidak perlu susah payah mengingatkanku untuk belajar. Meja belajar adalah semangatku. Aku benar-benar jelmaan malaikat yang tanpa cela bagi kedua orang tuaku. Tapi, tak seorangpun pernah tahu, meskipun aku dihujani pujian karena kepandaianku, aku tak lebih dari seorang itik buruk rupa yang senantiasa merasa tidak percaya diri. Aku tidak cantik, kuper, kolot dan cupu. Si kutu buku, yang hidup dalam tempurung. Aku punya teman, yang aku sendiri tidak yakin,

Edisi 4 Tahun I [Jumat, 28 September 2012]

apakah mereka akan tetap menjadi temanku jika aku bodoh dan berotak udang. Sehingga, meskipun bukan yang utama, namun liki teman adalah salah satu vasiku untuk selalu mengasah

memi­ m o t i ­ otakku. Keti­ ka mengalami masa-masa puber, semua kulewati dengan membo­ sankan. Setidaknya itu yang diutara­ kan oleh teman-temanku, meskipun bagiku tidak sama sekali. Cinta perta­ maku adalah rahasia pertamaku. Dia adalah guru Bahasa Indonesiaku yang sekaligus pengajar teater di sekolahku. Pak Hari namanya. Usia kami beda 10 tahun saat itu, dan dia adalah pangeran pertamaku yang melambungkan anganku mengenai indahnya pernikahan di usiaku yang baru 13 tahun. Can you imagine? Freak!! Mungkin itu yang pertama kali terlintas dipikiran orang. Tapi sungguh mati, aku benar-be­ nar sayang pada beliau. Bahkan ketika beliau harus dipindahkan ke sekolah lain diluar kota, karena saat itu beliau masih tenaga honorer, aku mencarinya kesana kemari dengan dibantu oleh salah seorang sahabat beliau yang pada akhirnya tidak pernah ketemu. Sedikitpun tidak pernah terlintas di benak­ ku yang lugu saat itu, jika beliau memang tidak ingin ditemukan. Kami berpisah tanpa kata perpisa­ han, tanpa tangis. Aku tahu bagaimana cara men­ galihkan kesedihanku, yaitu, belajar dan semakin giat membaca.

Frasa


TEENLIT CERPEN Menginjak SMU, duniaku sedikit penuh warna. Aku bertemu dengan dua orang sahabat yang sampai dengan saat ini sangat aku syukuri bahwa aku menemukan mereka. Kami adalah kumpulan orang-orang minder yang berusaha eksis melalui kegiatan-kegiatan positif. Kami mengembangkan diri melalui tulisan-tulisan yang kami eksplorasi sendiri. Waktu, kami habiskan untuk menulis artikel sederhana, belajar melalui wartawanwartawan lokal, mengikuti pelatihan-pelatihan menulis, mencari sumber-sumber tulisan di per­ pustakaan dan yang pasti membaca. Kegiatan yang cukup membosankan bagi remaja seusiaku, tapi kami menikmatinya. Dunia kami benar-be­ nar milik kami. Sekali lagi, aku adalah malaikat kedua orang tuaku. Disaat banyak berita remaja SMU hamil diluar nikah, aku dan kedua sahabatku, gemi­ lang menyandang predikat jomblowati sejati dengan segudang tulisan dan artikel yang bertebaran di sejumlah surat kabar lokal. Tentu saja, kami juga tidak perlu merengek-rengek meminta tambahan uang saku kepada kedua orang tua kami. Meski tidak besar, honor dari menulis artikel, lumayan untuk sekedar ber­ hura-hura ala kami. Makan di café, surfing di internet, atau sewa komik. Foto kami kerap menghiasi surat kabar, tapi lagilagi tak mengubah kenyataan bahwa kami kerap menangis karena cinta yang bertepuk sebelah tan­ gan. Yaahh, meskipun cara yang kami tempuh ber­ beda daripada umumnya, namun kami sama sep­ erti remaja lain yang juga kerap memiliki keinginan yang sama, termasuk bergaul dengan lawan jenis. Tapi Tuhan terlalu baik kepada kami sehingga men­ jaga kami sedemikian rupa. Mendung mulai gelap dilangit Surabaya. Aku memandang ke dalam kamar hotel, tidak ada suara. Hmmmm, sepertinya dia sudah tertidur. Kembali pikiranku menerawang. Mendung tak mampu menghalangi kepahitan yang kembali aku rasakan pada setiap kegagalanku menja­ lin cinta. Pengalaman itu, membawaku menjadi seorang yang religius. Aku percaya, bahwa han­ ya cinta sejati yang bisa menemukan itik buruk rupa ini. Tak pernah seorang lelakipun yang menyentuh seujung kulitku selain Pak Hari. Itu­ pun saat beliau merangkulku karena kesuksesan kami mementaskan sebuah pertunjukkan teater. Sebuah ungkapan kegembiraan seorang guru terhadap keberhasilan muridnya. Sesuatu yang aku salah artikan ketika itu. Aku tersenyum sendiri ketika mengingat per­

Frasa

HAL

31

temuanku dengan Alif, laki-laki yang sekarang menjadi suamiku. Kesederhanaan pola pikirnya mampu memikatku. Keteguhan dan kesunggu­ hannya dalam mencapai sukses benar-benar mem­ buatku kagum. Selain itu. laki-laki sederhana inilah yang akhirnya menemukan si itik buruk rupa 10 tahun silam. Baginya, aku adalah malaikatnya yang senantiasa berbakti dan mengabdi padanya. Bag­ inya aku adalah sosok istri yang sempurna dengan segala kekuranganku yang ada. Alif adalah laki-laki bijaksana yang kuharapkan menjadi satu-satunya laki-lakiku. Tapi... Rintik hujan membuyarkan lamunanku. Balkon mulai basah. Aku bangkit dan masuk ke dalam kamar hotel. Masih aku dengar suara dengkuran. Kutatap ia penuh cinta. Cinta yang mampu mem­ buatku menangis dan mengorbankan segalanya. Cinta yang membutakan sekaligus melenakan. Cin­ ta yang belum bisa kuterjemahkan dengan benar. Cinta yang aku kenali secara naluriah. Aku mele­ watinya dengan hati-hati, berharap ia tidak terban­ gun. “Wendi?” Oooppss, ia terbangun. Aku tersenyum meminta maaf. Tangannya berusaha menggapaiku. “Kemarilah” Aku mengangguk dan berbaring disampingnya. Tangannya memelukku rapat seolah tak mau aku jauh darinya. “Darimana?” tanyanya lembut. “Menunggu hujan” jawabku sembari tersenyum. Adam terkekeh pelan dan menepuk hidung­ ku sebagai balasannya. Selang tak berapa lama kemudian ia kembali mendengkur. Tak letih aku memandangi wajahnya. Garis wajah yang meng­ isi hariku selama 2 tahun terakhir. Guratan kasih sayangnya begitu nyata, memahat dengan tegas dilubukku yang paling dalam. Adam. Disinilah aku sekarang, yang mungkin lelah menjadi malai­ kat. Maafkan aku.

Vita Nanda Kusuma Wardani, lahir di Sidoarjo, 26 Maret 1980. Penulis bertempat tinggal di Kejapanan – Gempol , Pasuruan, Jawa Timur. Alamat e-mail yang bisa dihubungi adalah vita.nkw@gmail.com. Penulis aktif menulis puisi baik Bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris. Beberapa puisi tertuang pada note penulis di Facebook. Pada tahun 1997, aktif menulis di KROPEL asuhan Surabaya Post baik puisi maupun berita sekolah. Buku pertamanya berupa buku antalogi puisi (Diverse, 2012).

Edisi 4 Tahun I [Jumat, 28 September 2012]


HAL

32

TEENLIT PUISI

Homo Gen Saya tahu. Iya, saya tahu kamu tahu. Ih! Sok tahu, saya tahu bukan tahu. Kamu memang tahu, kan? Siapa bilang kamu tahu. Kamu! Kamu tidak tahu kalau saya tahu. Ah! Ribet! Kamu bukan tahu! Kamu itu tahu. Iya saya tahu saya itu tahu. Kamu bisa. Iya, kamu memang bisa. Bukan, bukan. Aku bisa bukan bisa. Siapa bilang kamu tidak bisa. Kamu itu bisa. Bukan bisa tapi bisa. Oh iya berbisa. Tidak bisa! Aku bisa! ‘ Dia berhak. Tentu! Selama ini kita ambil haknya. Bukan bukan. Saya tidak mengambil haknya. Ah! Bohong. Kamu sering mencuri hak sepatunya. 2012

Bola emas digantung di ruang kosong dan diberi sekepal cemburu. Bulan memerah, mungkin, karena marah. Matahari pindah tempat terbit-terbenam. Bumi kacaubalau dengan bulan yang galau. Ini sarang waktu. Ayo, Kiran kita keluar! Waktu itu kornea bangun setelah tidur berbulan. Matahari membelakang, membalik ke selatan. “Hey!” teriakku ke matahari. Kulihat bulan meleleh di lidahnya. Pinrang, 14 Mei 2012

Waktu Yang Lalu Dua puluh tahun lalu rumah kami dua puluh meter dari jalan. Dua belas tahun kemudian bentang jalan raya melebar bermeter-meter dengan roda-roda berguling amat pelan di punggungnya. Tersedusedan

Dua belas tahun lalu gubuk kami berdiri setinggi tujuh anak panah. Segi Empat Dua tahun lalu, rata dengan tanah. Aku sembunyi di balik gelap. Sedikit cahaya meram­ Tetumbuhan dan rumput terpenjara kata ‘Taman’ menduduki singgasananya. bat dengan tiarap memohon untuk masuk dan takut tertembak. Pintu Satu setengah tahun yang lalu dan jendela terbuka, seorang mencuat mencari seorang aku yang tidak nisan kami miring di tanah becek. Sekarang, kami diberi kue bolu ada di mana-mana. Tidak di sela daun menggunung atau kucing meng­ sebentuk tabung bercorak kuning lembek yang datang tiap hari bersama dari atas gulung. sesaat setelah jamban mengganti airnya. “Aku di sini.” di negeri tanpa matahari. “Kamu sama saja dengan kami,” kata kue bolu. Wajahnya kusut. Lusuh. 2012 Air terlalu berharga untuk membasuh, kecuali air mata. Kuraih dia dalam titik cahaya nol. “Kiran, maafkan Kucing Senja sekarang menempuh pendidikan aku.” Untuk keperempuananmu dan dua sungai kering tahun ke-tiga di SMA Negeri 1 Pinrang. Buku antologi cerita pendek bersama teman-temannya Tragedi di sisi hidungmu yang akan mengalir lagi. Puisi di Atas Panggung terbit April tahun 2012. “Iya,” katamu.

Edisi 4 Tahun I [Jumat, 28 September 2012]

Frasa


TEENLIT PUISI

HAL

33

Cinta Suciku

Di bumi dalam kasih yang tak pernah mati Sehingga surga merindukan kita Dan para penghuni langit menyanjung kita Cinta suci Mereka berkata Adalah ketika aku dan jiwaku ‘’inilah anak adam yang mencintai karena allah’’ Tidak mencium dan memeluk tubuhmu Maka semua kebesaran tuhan pun Layaknya kekasih-kekasih durjana di zaman ini Seakan merasuk dalam dada Yang megikis keperawanan wanita sejati Sehingga harga diri kekasihnya berubah menjadi Sehingga kesyukuran menjadi pengalaman ter­ indah api Di banding menikmati hidangan surgawi. Cinta suci Adalah ketika aku tidak menjadikanmu tujuan Muhammad Fikry bernama asli Muhammad Namun, penyemangat kehidupan Wahyu dfikry merupakan penyair dan pemuda Untuk beribadah dan bertasbih pembelajar yang dilahirkan 20 tahun yang lalu di Mengenang kasih tuhan di bumi kota angin mammiri sulawesi selatan, kini sedang magang di kantor pemerintah daerah kabupaten Sesungguhnya, cinta suci adalah kesadaramu pada barru dan juga aktif di beberapa sanggar seni di diri kotanya, aktif menulis puisi, sangat suka membaca Bahwa tujuanmu bukanlah berkasih dalam birahi buku dan nonton film, penulis bisa di hubungi Tapi, memohon hidayah dan anugerah ilahi lewat email di fikrimuhammad88@gmail.com Dalam cinta, hidup dan mati Cinta suci adalah pengabdian Kesetiaan dan pengharapan Bahwa tuhan telah menciptakan makhluk ber­ pasang-pasangan Yang disekap dalam ruang kebenaran

Pertemuan di perempatan air terusan rumah dan sawah mengalir senyum senyum perawan yang mencoba membasahi dinding pertemuan

Cinta suciku padamu Adalah ketika wudhu-ku membalut nafsuku Adalah ketika shalatmu membalut nafsumu Adalah ketika tahajud, shalawat dan witir kita ber­ antara serayu dan lautan dua Menjadi hadiah terindah untuk tuhan Banjarnegara, 2012 Sebelum kita bercinta Dalam sebuah ikrar ijab Kabul perkawinan Membangun rumah tuhan

Frasa

Hendrik Efriyadi

Edisi 4 Tahun I [Jumat, 28 September 2012]


HAL

34

FIKSIMINI Makmur HM

JAM DAN MALAIKAT PENCABUT NYAWA

S

eorang lelaki mengamuk-ngamuk di ruan­ gan serba putih itu. Sasaran utamanya adalah jam dinding yang sangat sulit ia jangkau kare­ na kakinya baru saja diamputasi akibat kecelakaan. Ia terus berteriak-teriak. Suaranya menembus hing­ ga ke ruanganku yang tepat di seberangnya. “Ber­ hentilah menghitung usiaku”, katanya, “Kau tak ber­

hak menjengkali nyawaku dengan jarummu yang tinggal setengah itu!”. Aku langsung mengamati setiap jengkal dinding yang ada di ruanganku. Tak ada jam. Yang ada hanya malaikat pencabut nyawa. *) sebelum malam, sebelum mata terpejam, setelah nisfu sya’ban

Makmur HM

mengaku sebagai penulis puisimini dan fiksimini. telah menerbitkan dwilogi puisimini bertajuk KATA-KATA, sedang menggarap antologi 1000 puisimini dan antologi fiksimini.

Edisi 4 Tahun I [Jumat, 28 September 2012]

Frasa


PUISIMINI

HAL

35

Jhody M. Adrowi tubuhku penuh garam mandikan aku di Socca bawa celurit untuk jagajaga ingat pesan Bunda!

Alvi Puspita Alvi, ketika kau berhasil membunuh l dalam tubuhmu, kau akan menjadi Avi. ini Api! bakar dirimu.... aku ingin mengumpulkan arang dan menerbangkan abu

Rizuki Indah Ferina simpan saja sekotah khilafmu di rusukku yang berdebu bawa saja waktu di mana rinduku menjelma jam pasir

Mawaidi D. Mas maukah kau memarahiku dengan cara memukulku tanpa rasa sakit?

Makmur HM pecakapan bagai neon dalam kamar seluas beton kita mengeong bulan kosong

Muhammad Asqalani eNeSTe

Adalah Anak Sakkibung dari Thamrin eNeSTe & Nurbaiti Anti Goleh. Mahasiswa Pend. Bahasa Inggris UIR. Menulis Puisi untuk Menangis

Frasa

Edisi 4 Tahun I [Jumat, 28 September 2012]


HAL

36

INSPIRING

Dorothea Rosa Herliany

Membebaskan Diri dari Kepompong Stereotip Perempuan Edisi 4 Tahun I [Jumat, 28 September 2012]

Frasa


INSPIRING

HAL

37

D

orothea Rosa Herliany, yang akrab dipanggil Rosa, lahir di Magelang, Jawa Tengah, 20 Oktober 1963 adalah seorang penulis dan penyair Indonesia. Setamat SMA Stella Duce di Yogyakarta, ia melanjutkan pendidikan ke Jurusan Sastra Indonesia, FPBS IKIP Sanata Dharma, Yogyakarta (kini Universitas Sanata Dhar­ ma) dan tamat tahun 1987. Ia memilih menulis dan berkesenian, sejak ia pada awalnya tinggal di Yogyakarta. Selain pernah menjadi wartawan di koran Sinar Harapan dan Suara Pembaruan serta di majalah Prospek, Rosa juga pernah men­ jadi guru bahasa dan sastra Indonesia di sebuah SMA di Yogyakarta. Pada 1990 Rosa mengikuti Pertemuan Sastrawan Muda ASEAN di Filipina dan pada 1995 mengikuti Festival Penyair Internasional di Belanda. Pada 2000 dia menjadi writer-in-residence di Australia atas sponsor La Trobe University dan Asialink. Pada tahun-tahun berikut­ nya Rosa makin tak terbendung untuk melanglangbuana karena puisi yakni dengan mengikuti/mengisi acara di acara sastra inter­ nasional di The Japan Foundation Study Tour Program For Publisher Group, atas sponsor Japan Foundation (November 2001), Winter­ nachten Festival, di Belanda (Januari 2002), Indonesian-Germany Literary Congress di University of Hamburg, Jerman (January 2002), Translation Program Indonesia-Germany di University of Bonn, Jer­ man (Januari 2002), Köln Cultural Community, di Koln, Jerman (Januari 2002), Brisbane Writers Festival, dan Writer in Residence, di Brisbane, Melbourne, Canberra dan Hobart/Tasmania, Australia (September, Oktober 2002), Weltklang Poesie, di Berlin, Jerman (Juli 2003), Frankfurt Book Fair, di Frankfurt, menjadi tamu yang diundang dan mengisi acara (Oktober 2003), Yunani-Indonesia Archipelago, on The Spirit of Olympic Games (Yunani, 2003), Wordstorm, 2004 Northern Territory Writers’ Festival, di Darwin, Australia. (Mei, 2004), Ubud Writers and Readers Festival –menjadi 1 dari 3 panitia utama (Oktober 2004), International Visitor Program of United Sates (Okto­ ber-November 2004) mengunjungi dan keliling ke beberapa kota di Amerika, APWN (Asia and Pacific Writers Network) di Melbourne (September 2005), TUK International Bienalle Festival di Borobudur (2007) dan Ubud Writers and Readers Festival (2007), Frankfurt Book Fair, Jerman, menjadi tamu yang diundang (Oktober 2008), Poetry International Festival di Dubai, UEA (Maret 2009), Grant Awards Hei­ nrich Böll Stiftung, dan tinggal di Heinrich Böll Haus Langenbroich, Köln (April-Juli 2009), Poetry On The Road, International Poetry Festi­ val, Bremen (Juni, 2011), serta Jakarta-Berlin Art Festival (Juli, 2011). Rosa juga aktif terlibat dalam penyelenggaraan beberapa event sastra berskala internasional, antara lain The First of Ubud Writ­ ers and Readers Festival (2004), Global Voices in Borobudur, part of Ubud Writers and Readers Festival (2009), Reading Tour of Martin Jankowski in Poetry Dialog tahun 2006 di (kurang lebih) 17 venues di Jawa dan Sulawesi pada tahun 2008 dan sekitar 15 venues pada tahun 2006, Discussion Tour of Novel Martin Jankowski tahun 2010 di (sekitar) 10 venues di Jawa, Bali dan Papua, serta Germany Poet­ ry Series Tour with Berthold Damshauser, di beberapa kota di Jawa Tengah pada tahun 2009, 2010 and 2011. Event terbaru yang ia ter­ libat aktif dari perencanaan sampai acara berlangsung yaitu “Forum Penyair Internasional Indonesia” di Magelang tanggal 1, 2, 3 April 2012 yang merupakan satu rangkaian acara di 4 kota (1-16 April 2012). Dimulai di Magelang, lalu Pekalongan, Malang dan Surabaya.

Frasa

Dorothea Rosa Herliany, yang akrab dipanggil Rosa, lahir di Magelang, Jawa Tengah, 20 Oktober 1963 adalah seorang penulis dan penyair Indonesia. Setamat SMA Stella Duce di Yogyakarta, ia melanjutkan pendidikan ke Jurusan Sastra Indonesia, FPBS IKIP Sanata Dharma, Yogyakarta (kini Universitas Sanata Dharma) dan tamat tahun 1987. Ia memilih menulis dan berkesenian, sejak ia pada awalnya tinggal di Yogyakarta.

Edisi 4 Tahun I [Jumat, 28 September 2012]


HAL

38

INSPIRING

Sekitar 30-an penyair Indonesia mengisi acara di berbagai kota dan 17 penyair dari berbagai negara, seperti Jerman, Zimbabwe, Belanda, Swedia, Den­ mark, Islandia, Australia, New Zealand, Afrika Sela­ tan, Makedonia, dan lain-lain melakukan perform­ ing reading. Rosa juga pernah menjadi dosen tamu, mem­ perkenalkan sastra Indonesia, dan membacakan puisinya di berbagai kota di luar negeri, yakni: 1990: Quezon City, Filipina (1990); 1995: Den Haag, Belanda ; 2000: University of Western Australia, Perth, (Australia), Curtin University, Perth, Austra­ lia, University of Melbourne, Melbourne (Australia), Monash University Clayton, (Australia), La Trobe University, Victoria, (Australia), University of Sydney, Sydney, (Australia), University of Tasmania, Launces­ ton, (Australia), The Striling Arms, Perth, (Australia), La Mama Theatre, Melbourne, (Australia), The Night Cat, Sir Raymond Ferral Centre, Launceston, (Aus­ tralia) ; 2001: Asia Japan Women’s Resources Cen­ ter, Tokyo (Jepang); 2002: University of New South Wales, Canberra, Academy Defence Force of Univer­ sity of New South Wales, Canberra, (Australia), Den Haag, (Belanda), Universität Bonn (Jerman), dan Universität Hamburg (Jerman); 2003: Berlin, Uni­ versität Bonn (Jerman), Paris, Universität Hamburg (Jerman) ; 2003: Frankfurt, Jerman. Athena (Yunani), Corfu (Yunani) ; 2004: Charles Darwin University, Darwin (Australia), NT Museum & Art Galerry, Dar­ win (Australia). 2009: Dubai/UEA dan Jerman (Berlin dan Koln), 2011: Stephani Church, Bremen; Bremen University (Bremen), Humboldt University (Berlin). D a l a m kumpulan sajak Nikah Ilalang, Afrizal Malna yang memberikan cata­ tan atas sajak-sajak dalam buku tersebut, menyatakan: Doro­ thea berusaha mere­ but sebuah ruang di antara dominasi lelaki, dengan mem­ bangun teks-teks puisinya sebagai sebuah labirin gender. Dan peran seperti ini memang masih didapatkan, ketika pem­ baca berusaha membaca puisi-puisi Dorothea lewat

Edisi 4 Tahun I [Jumat, 28 September 2012]

wacana gender dari perempuan yang telah menga­ caukan dirinya lewat diksi-diksi lelaki. Sedangkan Jakob Sumardjo menyatakan: Penyair ini sudah bisa menaklukkan kesuburan imajinya ke dalam sebuah bangunan sajak. Meskipun yang dia pilih adalah tema-tema samar, perasaan-perasaan halus yang subtil, namun ia mampu mendisiplinkan diri untuk menggiring semua imajinya ke dalam sebuah per­ istiwa konkret yang unik dan satu-satunya. “Apa yang membuat puisi Herliany begitu men­ gancam adalah penentangannya pada konvensikonvensi umum masyarakat Indonesia. Di sini perempuan digambarkan sangat agresif dan seba­ gai predator seksual, sedangkan lelaki sebagai kor­ ban pasif yang tidak dapat melindungi diri sendiri. Strategi ini juga ditopang oleh penggunaan imajiimaji kelam yang berkaitan dengan tubuh manu­ sia … lembah dan jurang, belatung, kesakitan dan kebusukan, kematian, dan korupsi, semuanya ter­ gambar kuat pada karya-karyanya yang semakin matang” (World Guide to Literature, 2003). Selain menulis puisi, ia juga menulis cerpen, esai, resensi buku, dan kritik seni. Karyanya termuat di berbagai media massa penting seperti Kompas, Suara Pembaruan, Horison, Kalam, Basis, Pikiran Rakyat, Media Indonesia, Republika, dan lain-lain. Karya berupa kumpulan sajak/puisinya adalah Nyanyian Gaduh, (Puisi Tunggal, Yogyakarta, 1987), Matahari Yang Mengalir (Nusa Indah, Ende, Flores, 1980), Kepompong Sunyi (Balai Pustaka, Jakarta, 1993), Nikah Ilalang (Pustaka Nusatama, Yogya­ karta, 1995, IndonesiaTera, 2003), Mimpi Gugur Daun Zaitun (Grasindo, Jakarta, 1999), Sebuah Radio Kumatikan, Kill The Radio (IndonesiaTera, Mei 2001), Para Pembunuh Waktu (Bentang, Yogya, 2002), Life Sentences (IndonesiaTera, English edi­ tion, 2004), Kill The Radio, dicetak untuk pasar Eropa oleh penerbit Arc Publication, London, 2007, Santa Rosa (IndonesiaTera, Agustus 2005, cetakan kedua: November 2006), schenk mir alles, was die Män­ ner nicht besitzen. doch schenk mir nicht das Him­ melreich / Beri Aku Semua Yang Dibutuhkan Lelaki, Tapi Bukan Surga (buku puisi 2 bahasa, IndonesiaJerman, multi media dengan CD ROOM). Germany, Agustus 2009. Sedangkan karya cerpennya adalah Blencong (Balai Pustaka, Jakarta, 1995), Karikatur dan Sepo­ tong Cinta (Pustaka Nusatama, Yogyakarta, 1995), Perempuan Yang Menunggu (IndonesiaTera, Mage­ lang, 2000, dicetak lagi: 2003), dan Cinta Tak Tumbuh di Sembarang Tempat (Indonesia Tera, 2005). Karya lainnya berupa cerita anak

Frasa


INSPIRING dan cerita remaja terkumpul dalam buku Dipo, si Pematung Batu (Jenar Melati Wangi, Jakarta, 1997), Medali Buat Sang Pemberani, Jakarta, (Gema Windu Pan­ cakarsa, Jakarta, 1994), Cerita Sepa­ njang Sungai, (Jakarta, 1996), dan Elegi Bagi Wesa, (Jakarta, 1996). Tulisan berupa cerita rakyat dalam tertuang dalam buku Cer­ ita Rakyat dari Kedu (Grasindo, 2003), Cerita Rakyat 33 Propinsi: Dari Aceh sampai Papua (ceta­ kan ke 5: Mei 2008), dan Cerita Rakyat Legenda Nusantara, dari 33 Propinsi (Indonesi­ aTera, 2010). Tulisan non fiksi meli­ puti Kecantikan Perem­ puan Timur (biografi Martha Tilaar), Farida Oetoyo, Menari di Atas Ilalang (biografi Farida Oetoyo), Toeti Heraty: Pencarian Belum Sele­ sai (biografi Toeti Heraty), dan Desa-Desa di Borobudur: Manusia, Alam dan Masyarakat (tulisan mengenai desa-desa di seluruh wilayah kecamatan Borobudur). Publikasi karyanya di luar negeri antara lain di buku dan jurnal: Solidarity (Filipina, 1990), Heat (Australia, 1999), Rantau (Australian-Indonesian Journal (2000), The Age (Australia, 2001), The Exam­ iner (Australia, 2000), Secret Needs Words (USA), Archipel (Netherlands, 2002), Generation Asia (Aus­ tralia, 2002), Building A New Book Road (dalam bahasa Jepang: 2003, dan bahasa Korea,: 2004), Van Hoc Nuoc Ngoai (dalam bahasa Vietnam, 2004), The Seattle Review (Seattle, USA, vol. XXVII, 2005), TERRA, A bilingual anthology from Wordstorm (2007), ASIA, magazine of Asian Literature (vol 2 no 2 Summer 2007), Language for a New Century: Contemporary Poetry from The Middle East, Asia and Beyond. (W & W Norton Company, New York, London, 2008), Words Without Borders: The Online Magazine for International Literature (2009), Le Banian, jurnal sastra di Perancis ( 2009), Semicer­ chio, (jurnal sastra di italia, 2009), Chroma (the UK) A Queer Literary and Arts Journal –jurnal sastra di Inggris, serta Hayden’s Ferry Review, jurnal sastra dari Arizona State University. Karya Rosa telah diterjemahkan dalam berbagai bahasa antara lain Inggris, Perancis, Jerman, Belan­ da, Jepang, dan Korea. Dari keseriusannya berkarya dan bergelut

Frasa

HAL

39

dengan dunia sastra, Rosa telah mendapat beberapa penghargaan antara lain Puisi Lingkungan Hidup Terbaik dari Menteri Lingkungan Hidup (1994), Sastrawan Terbaik Dari Per­ satuan Wartawan Jawa Ten­ gah (1995), Budayawan Ter­ baik dari Pemerintah Daerah Magelang (1995), Satu dari 19 Wanita Ternama 1997, Majalah Femina (1997), Buku Puisi Terbaik untuk Buku “ Mimpi Gugur Daun Zaitun”, dari Dewan Kesenian Jakarta (2000), Nomina­ tor 5 Terbaik “Khatulistiwa Literary Award” untuk bukunya Kill The Radio (2003), Pengarang Terbaik dari Pusat Bahasa (2003), Menerima Anugerah Seni dari Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata RI (2004), memenangkan penghargaan Khatulistiwa Literary Award (2006) untuk buku puisinya Santa Rosa serta Cempaka Award 2011 sebagai perem­ puan berprestasi. . Penyair yang tahun 2012 akan merilis antologi puisi bertajuk Tambur Metamorfosa ini kini tinggal di kota kelahirannya Magelang dan mengelola Rumah Baca Dunia Tera di Magelang. (berikut kutipan salah satu puisinya yang berjudul Nikah Pisau) Nikah Pisau aku sampai entah di mana. berputarputar dalam labirin. perjalanan terpanjang tanpapeta. dan inilah warna gelap paling sempurna. kuraba gang di antara sungai dan jurang. ada jerit, serupa nyanyi. mungkin dari mulutku sendiri. kudengar erangan, serupa senandung. mungkin dari mulutku sendiri. tapi inilah daratan dengan keasingan paling sempurna: tubuhmu yang bertaburan ulatulat. kuabaikan. sampai kurampungkan kenikmatan sanggama. sebelum merampungkanmu juga: menikam jantung dan merobek zakarmu, dalam segala ngilu 1992 *) disarikan dari berbagai sumber oleh Budhi Setyawan

Edisi 4 Tahun I [Jumat, 28 September 2012]


HAL

40

X-COVER

BACA DAN DOWNLOAD MAJALAH FRASA DI http://www.majalahfrasa.blogspot.com/ KIRIM KARYA ANDA KE redaksifrasa@yahoo.com

Edisi 4 Tahun I [Jumat, 28 September 2012]

Frasa


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.