Majalah Frasa

Page 1

Edisi 7 Tahun pertama | majalah digital | minggu, 30 desember 2012

Frasa

kekaburan kritik dan fenomena penulis pemula

Cerpen Agung Yuli TH | Puisi Indra KS, Ekohm Abiyasa, Syafrizal Sahrun dan Berto Tukan | Cerpen Teenlit Elsa Malinda | Puisi Teenlit Bobby Indra Pulungan, Ria Dwi Sutriani, Choyron Baba Muda dan Laura Rafti | Fiksimini Makmur HM | Puisimini Jumardi, Lilis Susanti dan Mawaidi D. Mas Art Cover: Internet


HAL

2

SALAM

Frasa

M a j a l a h

Pemimpin Umum Pemimpin Redaksi Wakil Pemipin Redaksi Tim Redaksi Design Tata Letak Sekretaris Redaksi

D i g i t a l

: Makmur HM : M Asqalani eNeSTe : Delvi Adri : Jhody M Adrowi Makmur HM M Asqalani eNeSTe Delvi Adri Yohana Nia Nurul Syahara Putu Gede Pradipta : Makmur HM : Jhody M Adrowi

Redaksi menerima tulisan yang bersifat orisinil dan belum pernah diterbitkan di media manapun. Tulisan berupa karya sastra yang terbit akan dibukukan setiap edisi akhir tahun. email: majalahfrasa@yahoo.com

Tarif Iklan full colour per edisi 1/4 halaman: Rp150,000 1/2 Halaman: Rp300,000 1 Halaman: Rp500,000 Iklan Sosial: Mulai Rp30,000 - Rp100,000 Alamat Redaksi / kontak Email: majalahfrasa@yahoo.com Phone: 0852 6536 9405 Blog: http://majalahfrasa.blogspot.com/

Pemimpin Redaksi MSD Frasa, Muhammad Asqalani eNeSTe (dilingkari) saat menghadiri sebuah acara di Sragen beberapa waktu lalu. Assalamualaikum dan kualifikasi kepenyairan dan salam hangat Frasa seorang penyair. untuk kita semua... Hal itu juga yang memaksa MSD Frasa untuk Kritik sastra akhir-akhir mengangkat tema ‘Kekaini memang sering diper- buran Kritik dan Fenomena bincangkan, baik itu di Penulis Pemula’ pada edisi kalangan elite sastra mau- kali ini. pun para pemula. AroPada rubrik Sastra Dungansi kritikus sastra yang ia kali ini MSD Frasa berseringkali melambungkan bagi tulisan mengenai ‘Krinama-nama penyair senior tik Marxist Dalam Sastra’, memang acapkali mem- rubrik Sastra Indonesia ada buat gerah penyair pemula ‘Omong-Omong Sastra : dan pada akhirnya semakin Mempertahankan Tradisi Silredup kepenyairannya dan aturahmi dan Berkarya’ dan secara otomatis terhenti lah rubrik Sastra Religi memuat pengkaderan kepenyairan ‘Reorientasi Nilai Religius di Indonesia. dalam Karya Sastra’. Tulisan Beni Setia dalam Petrichor* karya Agung ‘Demistifikasi Kritik’ demiki- Yuli TH menghiasi rubrik an menyadarkan kita pada Cerpen dan masih banyak fenomena kritik sastra yang lagi karya-karya tulis yang tanpa karakter. Sampai begitu segar dan sangat gemasnya melihat fenom- sayang untuk dilewatkan. ena kritik sastra dengan menyebutnya sebagai Terakhir, redaksi ucapkan: sebuah arogansi elite sasSelamat membaca! tra yang begitu determiRedaksi natif dalam pengukuan

Edisi 7 Tahun I [Minggu, 30 Desember 2012]

Frasa


DAFTAR ISI

HAL

3

Halaman 6

Utama: Kekaburan Kritik dan Fenomena Penulis Pemula

Halaman 10

Kritik Marxist Dalam Sastra

Halaman 12

Omong-Omong Sastra : Mempertahankan Tradisi Silaturahmi dan Berkarya

Halaman 14

Reorientasi Nilai Religius dalam Karya Sastra

Halaman 18

Komunitas: Komunitas Tanpa Nama (Kontan) dalam Kacamata Anggota

Halaman 20

Cerpen Agung Yuli TH: Petrichor*

Halaman 22-25

Puisi Indra KS, Ekohm Abiyasa, Syafrizal Sahrun dan Berto Tukan

Halaman 26

Sastradukasi: Penghalusan Bahasa

Halaman 28

Lentera Budaya: Kuntakha Khaja Niti, Kitab Rujukan Utama Falsafah Hidup Orang Lampung

Halaman 30

Cerpen Teenlit Elsa Malinda: Merah

Halaman 32-33

Puisi Teenlit Bobby Indra Pulungan, Ria Dwi Sutriani, Choyron Baba Muda dan Laura Rafti

Halaman 34

Fiksimini Makmur HM: Koluptol

Halaman 35

Puisimini Jumardi, Lilis Susanti dan Mawaidi D. Mas

Halaman 36

Inspiring: Taufiq Ismail, Bercita-cita Jadi Sastrawan Sejak Belia

Frasa

Edisi 7 Tahun I [Minggu, 30 Desember 2012]


HAL

4

NEXT ISSUE

Mengubah Paradigma “Sastra Kampung(an)” Oleh: Ahmadun Yosi Herfanda Jika Nusantara ini adalah kampung, maka sastra Indonesia adalah ‘sastra kampung’. Penempatan Indonesia sebagai bagian dari Kampung Nusantara, cukup tepat mengingat makin terpuruknya bangsa ini menjadi underdog negara-negara adidaya, terutama AS. Dalam ekonomi kita didekte oleh IMF, dalam politik kita didekte oleh AS, dalam kebudayaan kita didekte oleh Hollywood, dalam pemikiran sastra banyak di antara kita yang bernafas di ketiak Derrida dan Faucoul.***

Edisi 7 Tahun I [Minggu, 30 Desember 2012]

Frasa


CORNER

HAL

5

Telah Terbit!

Tangisan Kanal Anakanak Nakal (125 Puisi Pendek) Karya Muhammad Asqalani eNeSTe Spesifikasi Buku Sajak-sajak Muhammad Asqalani eNeSTe mengingatkan pada Presiden Penyair (Sutarji). Di balik diksi yang terkesan nyeleneh dan aneh tersimpan makna yang begitu dalam. Ia juga sangat lihai memasukkan kata-kata asing sehingga semakin kokoh diksi dan maknanya. Judul: Tangisan Kanal Anakanak Nakal (125 Puisi Pendek) (Hardcover) ISBN 978-602-17023-6-9 Hal. xiv+133 Ukuran: 5.6 x 7,7 inch BISAC: Antologi Puisi

harga Rp40.000,Pesan Melalui:

http://minangkabauonline.com/buku

Frasa

Edisi 6 Tahun I [Selasa, 26 November 2012]


HAL

6

UTAMA

Kekaburan Kritik dan Fenomena Penulis Pemula Oleh: Sutejo

Bagaimanakah potret kritik sastra kita dewasa ini? Tampaknya kritik sastra kita masih centang perenang, belum mempunyai sosok pribadi yang jelas. Beni Setia, pernah melontarkan tulisan ‘’Demistifikasi Kritik’’. Pemikiran Beni Setia demikian menyadarkan kita pada fenomena kritik sastra yang tanpa karakter. Sampai gemasnya penyair Bandung ini (kini tinggal di Caruban Jawa Timur-red) melihat fenomena kritik sastra dengan menyebutnya sebagai sebuah arogansi elite sastra yang begitu determinatif dalam pengukuan dan kualifikasi kepenyairan seorang penyair.

Edisi 7 Tahun I [Minggu, 30 Desember 2012]

Frasa


UTAMA Sebuah tombak dengan arsitektur kokoh terbangun Indonesia kecil yang terkotak-kotak. Sastra universal dan konstektual, puisi gelap dan puisi terang (komunikatif?), penyair kota dan daerah, penyair ibu kota dan penyair pedalaman. Akankah tembok-tembok yang muncul demikian, yang membagi dunia sastra menjadi dua –mungkin saling bertentanganadalah upaya untuk melindungi ideologi individu dan komuna kolektif masing-masing? Dalam pandangan Beni Setia, kearifan kasusastraan itu tak mengenal pusat dan daerah, tak mengenal sastrawan ibu kota dan sastrawan pedesaan, dan juga tak mau tahu karya yang adiluhung dan picisan. Bagi kearifan kasusastraan, setiap karya adalah karya, setiap karya sastra adalah karya sastra. Sampai saat ini, manakala kita memperbincangkan teori dan kritik sastra, keadaannya menjadi demikian kompleks dan menarik. Bagaimana seorang Arif Budiman dan Ariel Haryanto mengetengahkan paham kontekstual sastra sehingga menjadi sebuah perdebatan panjang di tahun 1984? Di satu pihak didengungkan sastrawan yang membumi. Sehingga karya sastra yang dihasilkan haruslah mencerminkan konteks sosiologisnya. Karenanya, karya sastra tidak akan seperti coca-cola yang dapat berlaku kapan saja dan di mana saja. Sedangkan di pihak lain didengungkan karya sastra yang adiluhung, yang mempunyai universalitas tersendiri, yang mempunyai nilai estetis yang dapat diterima oleh lapisan pembaca dalam berbagai kurun waktu. Kemudian muncul isu sastra gelap di tahun 1994, yang diawali dengan wawancara Yos Rizal dengan pastor puisi Sutardji Calzoum Bachry. Meskipun tak seheboh perdebatan sastra kontekstual, namun puisi gelap sempat mengundang gairah yang berujung dengan ledekan-ledekan, apologis, maupun sekadar ‘gurauan’, begitu tulus Ahmad Y. Herfanda, yang memberikan semacam ‘catatan kaki’ dari sejumlah perdebatan puisi gelap. Referensi yang lama berkembang ternyata bukan saja dalam kasus hibah Bapindo. Tapi juga dalam dunia sastra. Referensi itu bersanding dengan kedudukan penyair mapan sebagai legitimator. Sehingga hampir bisa dipastikan manakala muncul kumpulan cerpen atau puisi, di situ pula terdapat ‘’referensi’’ dari elite sastra. Mereka sebagai ‘’kritikus’’ yang merefensi atau mencocoki dan mengantarkan pembaca pada satu nilai estetis yang ditawarkannya. Kritikus yang demikian barangkali akan mampu menginstrumalisisr antara apresiasi pembaca dengan sebuah karya sastra. Namun persoalannya: kritikus sastra yang ‘’rendah hati’’, yang melempar-

Frasa

HAL

7

Kemudian muncul isu sastra gelap di tahun 1994, yang diawali dengan wawancara Yos Rizal dengan pastor puisi Sutardji Calzoum Bachry. Meskipun tak seheboh perdebatan sastra kontekstual, namun puisi gelap sempat mengundang gairah yang berujung dengan ledekan-ledekan, apologis, maupun sekadar ‘gurauan’, begitu tulus Ahmad Y. Herfanda, yang memberikan semacam ‘catatan kaki’ dari sejumlah perdebatan puisi gelap.

Edisi 7 Tahun I [Minggu, 30 Desember 2012]


HAL

8

UTAMA

kan ‘’kejujuran ‘’ esetetis tidaklah banyak. Bahkan sejauh mana perjalanan peta sastra kita bergerak. ada yang menyindir bahwa kritikus sastra kita cendKalau di kalangan penyair dan elite sastra senderung destruktif. Misalnya saja, istilah Afrizal Malna iri demikian kompleks dan rumitnya persoalan itu, terhadap fenomena kritik Sutardji Calzoum Bahcry, maka dapat dibayangkan dampaknya pada penyair yang cenderung memberikan penyerangan. Seh- pemula atau pada pembaca dalam menangkap ingga sastrawan Misran Hadi dalam sebuah wawan- kompleksitas kehidupan sastra kita secara makro. caranya pernah mengaku bahwasanya dia berhenti Sehingga tak mengherankan, jika banyak para menyair karena kritik penyerangan yang dilaku- pemula gagal menapaki dunia sastra. Padahal, kan Sutardji yang mengatakannya bahwa puisinya pemula, ibarat tunas-tunas muda membutuhkan jelek-jelek. siraman sejuk untuk mendewasakan pertumbuhan Tak mengherankan dan perkembangannya. kalau sastrawan kawakan, itu tentu bagi Pertama, karena penyebaran sastra kita Karena A.A Navis, berkomentar pemula dituntut membanyak berhutang budi pada media terhadap keberadaan punyai stamina tahan teori dan kritik sastra massa (khususnya koran), maka langkah banting yang akan menyang cenderung merusak pertama seorang pemula harus menembus gantarkannya pada dunterutama bagi seorang sastra, atau sekadar keredaksian budaya media massa yang ia‘’dunia pemula. Padahal, jika sastra.’’ Karena itu kita mau jujur yang tentu mempunyai ideologi estetis sendiri. bagi pemula perlu disabagaimanakah sosok kridari beberapa fenomena Dan fenomena sastra koran dengan tik sastra kita sebenarnya, segala ihwalnya beberapa minggu lalu berkaitan dengan dunia belumlah jelas sosok jati kita. sempat menjadi pembicaraan terutama sastra dirinya. Sehingga Budi Pertama, karena di Republika. Menyangkut digugatnya Darma pernah menyebut penyebaran sastra kita adanya kolusi antara sastrawan dengan banyak bahwasanya kritik sastra berhutang kita centang perenang. redaksi, adanya norma estetis redaksi yang budi pada media masTanpa sosok pribadi (lihat tidak jelas, sampai isu bagaimana media sa (khususnya koran), Horison edisi November maka langkah pertama 1992, No. 11/XXVII). Atau koran khususnya telah menjadi semacam seorang pemula harus tempat pembatisan sastrawan. Namun menembus keredaksian bagaimana bergeloranya pencarian kritik sastra isu demikian ditepis oleh Aan Kawisar, budaya media massa yang relevan untuk mem- redaksi Horison, yang mengatakan, ‘’Tidak yang tentu mempunyai bedah karya sastra yang estetis sendiri. ada kolaborasi, tidak ada pembabtisan, ideologi khas Indonesia, seperti Dan fenomena sastra Seminar Susastra Indo- yang ada layak muat’’. Atau adanya gejala koran dengan segala nesia di Universitas Bung dominasi sastrawan pusat, yang kemudian ihwalnya beberapa minHatta tanggal 23 s/d 26 juga dibantah oleh Efix Mulyadi redaktur ggu lalu sempat menjadi Maret 1988. pembicaraan terutama budaya Kompas dan Djadjat Sudrajat Tembok kritik sastra di Republika. Menyangredaktur budaya Media Indonesia. yang dibangun kritikus kut digugatnya adanya sastra belakangan juskolusi antara sastrawan tru mengesankan keangkuhan dunia sastra. Yang dengan redaksi, adanya norma estetis redaksi yang tidak semua orang boleh omong sastra. Tak pelak, tidak jelas, sampai isu bagaimana media koran jika karya sastra di sebagian pandangan terkesan: khususnya telah menjadi semacam tempat pembateraleanasi dari masyarakatnya. Bagaimanakah tisan sastrawan. Namun isu demikian ditepis oleh Umar Yunus yang begitu angker dengan teori-teori Aan Kawisar, redaksi Horison, yang mengatakan, Baratnya? Demikian juga dengan Andreas Hard- ‘’Tidak ada kolaborasi, tidak ada pembabtisan, yang jana. Kita tidak lagi menemukan sosok kritikus sep- ada layak muat’’. Atau adanya gejala dominasi saserti HB.Jassin yang begitu rajin, yang benar-benara trawan pusat, yang kemudian juga dibantah oleh menjembatani pembaca dengan karya sastra. Leb- Efix Mulyadi redaktur budaya Kompas dan Djadjat ih dari itu, mengenalkan pada penyairnya, sampai Sudrajat redaktur budaya Media Indonesia.

Edisi 7 Tahun I [Minggu, 30 Desember 2012]

Frasa


UTAMA

HAL

9

Kedua, tentunya pemula akan dihadapkan pada kan ‘’Para Priyayi’’ sebagai karya yang monumental mitos dan tembok komunikasi sastra, penyair pem- karena nuansa historis dan sosiologisnya, setelah ula dan penyair mapan, seniman pedalaman dan ‘’Bumi Manusia’’-nya Pramudya Ananta Toer, dan seniman kota, dan seterusnya. Fenomena demiki- ‘’Burung-burung Manyar’’-nya YB Mangun Wijaya? an sesungguhnya memprihatinkan. Bagaimana Kritik sastra yang ada kini tidaklah menjangkau pengadilan Redi Panuju yang mendeskripsikan wilayah dalam peta yang ada, begitu tulis Putu fenomena pembacaan puisi ‘’Semangat Tanjung Wijaya dalam suratnya yang dikirim kepada HB JasPerak’’ pada akhir tahun 1992, terhadap penyair sin dari Jepang, kemudian dimuat dalam Horison pedalaman misalnya, yang mengatakan begini: ‘’… edisi Maret 1993, Nomor 3/XXVII/76. Tambahnya, sistem RAPBN yang orientasinya hanya pada pem- dalam seperti itu, mudah sekali muncul kesesatan erataan, berbuat tanpa yang tak terselesaikan. menimbang kualitasnya, Akhirnya tak terasa tersaya kuatir hanya mela- Kedua, tentunya pemula akan dihadapkan jadi penjungkirbalikkan hirkan ‘’permasalahan pada mitos dan tembok komunikasi sastra, nilai… apa sebenarnya penyair’ dengan kualitas sasaran sastra itu? penyair pemula dan penyair mapan, yang rendah. Malam itu cara /perseniman pedalaman dan seniman kota, Bagamana telah betapa hanya dentimbangan kita untuk dan seterusnya. Fenomena demikian gan konsep ‘kesempatan’ menentukan karya sassesungguhnya memprihatinkan. saja (tok) telah melahirtra itu baik? Bagaimana kan penyair-penyair ple- Bagaimana pengadilan Redi Panuju yang kita meningkatkan diri setan, istilah teman yang mendeskripsikan fenomena pembacaan kita kalau tidak tahu duduk di depan saya, Begitupuisi ‘’Semangat Tanjung Perak’’ pada ukurannya? penyair tiban’’. Demikian lah wajah kritik sastra akhir tahun 1992, terhadap penyair elegankah kepenyairan kita yang tanpa sosok pedalaman misalnya, yang mengatakan pribadi. Penuh dengan seorang Redi Panuju? Di samping harus berbegini: ‘’…sistem RAPBN yang orienta- tembok-tembok untuk hadapan dengan para melindungi egoisme sinya hanya pada pemerataan, berbuat penyair mapan, penyair komunalnya. Penuh relpemula dalam bertarung tanpa menimbang kualitasnya, saya kuatir ativias estetis. Sehingga di media massa mereka hanya melahirkan ‘’permasalahan penyair’ banyak lapisan yang juga harus berhadapan mengharapkan kritik dengan kualitas yang rendah. Malam dengan para sastrawan itu harus akomoitu telah betapa hanya dengan konsep sastra mapan yang sampai datif, bukan tersegmensaat ini masih produktif. ‘kesempatan’ saja (tok) telah melahirkan tasi oleh kepentingan penyair-penyair plesetan, istilah teman individu dan sebuah Nama-nama seperti Putu Wijaya, Umar Kayam, yang duduk di depan saya, penyair tiban’’. kepentingan kolektif. Satyagraha Hoerip, Nil- Demikian elegankah kepenyairan seorang Yang pada ujungson Nadeak, Sori Siregar, nya keadaan demikian Redi Panuju? sekadar untuk menyebut bukan iklim positif bagi beberapa contoh. Belum calon para pemula. keberadaan kritikus sastra yang secara eksklusif Fenomena demikian mengingatkan kita betapa determinatif akan mengukuhkan dan memberikan centang perenang kehidupan sastra dan kritik kita. pengakuan terhadap sebuah karya. Dan ini, jelas Sehingga berbagai kecenderungan bisa muncul mimpi buruk bagi pemula. dalam berbagai bentuknya. Mudah-mudahan iklim Jangankan seorang pemula, seorang sastrawan, sastra demikian bukanlah faktor berarti bagi penudramawan, sutradara, teaterawan terkenal saja, lis-penulis pemula, tapi cambuk yang senantiasa Putu Wijaya, terengah-engah dengan potret kritik membangkitkan semangat tulis yang tak pernah sastra kita. Dan ini, terjadi ketika aspek historis dan habis.(www.sastra-indonesia.com) sosiologis tiba-tiba menjadi ‘’norma estetis’’ terhadap pengakuan terhadap sebuah karya sastra. *) Pengajar Sastra di Lingkungan Kopertis VII SuraBagaimana Dr. Daniel Dakidae, tiba-tiba menobatbaya, tingggal di Ponorogo.

Frasa

Edisi 7 Tahun I [Minggu, 30 Desember 2012]


HAL

10

SASTRA DUNIA

Kritik Marxist Dalam Sastra Oleh: Sastri Sunarti

K

ritik Sastra Marxist dalam kesusasteraan mempunyai sejarah yang panjang. Kritik teori Marxist ini berawal dari tiga teks besar dan terkenal. Dua diantaranya terdapat dalam suratsurat pujian dari Engels dan ketiga terdapat dalam esei pendek yang ditulis oleh Lenin, (Steiner 1967). Ajaran Marxis sendiri berawal dari pemikiran Karl Marx dan Frederick Engels. Pada tahun 1848 kedua tokoh pemuda Jerman yang revolusioner ini mengeluarkan pernyataan-pernyataan umum mengenai kebudayaan yang besar sekali pengaruhnya kemudian terhadap sejarah pemikiran manusia. Pikiran mereka itu terbit dalam suatu dokumen yang dikenal dengan Manifesto Komunis. Karl Marx sendiri sebelumnya sudah menulis sebuah buku yang berjudul Das Kapital yang akhirnya diselesaikan oleh Engels. Dua tema pokok dalam tulisan-tulisan Marx dan Engels yang mula-mula adalah pengaruh sosial ideologi dan pembagian kerja. Dalam hubungannya dengan konsep ideologi ini dijelaskan bahwa

Edisi 7 Tahun I [Minggu, 30 Desember 2012]

semua pikiran yang berbeda-beda, baik yang bersifat falsafah, ekonomi, dan historis, menampilkan tak lebih dari suatu perspektif yang berkaitan dengan posisi kelas pengarang. Marx dan Engels juga menyadari bahwa pembagian kerja memegang peranan penting dalam kehidupan sosial. Hal itu disebabkan oleh perkembangan perdagangan dan industri; adanya kelompok masyarakat yang bergeser dari taraf produksi material ke taraf produksi mental. Pembagian kerja ini menghasilkan sebuah teori murni seperti halnya filsafat, teologi dan secara tersirat sastra dan seni. Di bawah kekuasaan ekonomi kapitalisme, sastra semakin lama semakin dianggap sebagai barang industri. Dalam tulisan Eagleton, (1977:3) dijelaskan bahwa Marx sesungguhnya terpengaruh oleh dialektika filsafat Hegel dalam memandang seni. Namun menurut Eagleton, kemurnian pikiran Marx tidak terdapat dalam pendekatan sastra, melainkan terletak pada pemahaman yang revolusioner terhadap

Frasa


SASTRA DUNIA sejarah itu sendiri. Dalam suatu laporannya, Marx menjelaskan tentang Base ‘dasar’ dan Superstructur‘superstruktur’. Superstruktur yaitu ideologi dan politik yang bertumpu pada ‘dasar’ (hubungan-hubungan soiso-ekonomi). Marx menjelaskan bahwa kebudayaan bukanlah suatu kenyataan bebas, melainkan kebudayaan itu tidak terpisahkan dari kondisi-kondisi kesejarahan. Di dalam kesejarahan itu, manusia menciptakan hidup kebendaannya. Hubungan-hubungan antara penguasaan, penindasan, atau ekploitasi yang menguasai tata sosial dan ekonomi dari suatu fase sejarah manusia akan ikut menentukan seluruh kehidupan kebudayaan masyarakatnya. Dalam Ideologi Jerman (1846), Marx dan Engels berbicara pula mengenai moralitas, agama, dan filsafat sebagai momok-momok yang dibentuk dalam otak manusia yang merupakan refleks dan gema dari proses kehidupan yang nyata. Dalam serangkaian surat-surat terkenal (1890), Engels menekankan bahwa ia dan Marx selalu memandang aspek perekonomian masyarakat sebagai akhir dari aspekaspek lain. Jadi, seni menurut pandangan Marxis merupakan bagian dari superstruktur dari lingkungan sosial. Dengan demikian, menurut Marxis, untuk memahami sastra berarti memahami seluruh proses sosial. Status kesusasteraan yang khusus, diakui oleh Marx dalam sebuah bagian terkenal dalam bukunya Grundrisse.Di dalamnya ia menjelaskan tentang ketidakcocokan yang nyata antara perkembangan ekonomi dan kesenian. Ia menganggap bahwa tragedi Yunani sebagai puncak dari perkembangan kesusasteraan dan tragedi itu bersamaan waktunya dengan sistem kemasyarakatan dan sebuah bentuk ideologi; yang tidak lagi sahih bagi masyarakat modern. Dalam pembicaraan mengenai sebuah lakon Shakespeare, Timono of Athens, Marx mengatakan bahwa uang tidak hanya mengontrol manusia tetapi juga merupakan lambang keterpencilan manusia dari dirinya sendiri dan masyarakat. Marx memuji Shakespeare yang telah menggambarkan esensi uang sebagai suatu yang berada di luar manusia, mengatur tindakannya, dan merupakan sesuatu yang diciptakan manusia agar dapat digunakan. Gagasan Marx bukan merupakan hal yang penting dalam pengembangan sosiologi sastra. Tulisan -tulisan Engelslah yang banyak manfaaatnya bagi pengembangan pendekatan itu. Ada dua pokok penting dalam pikiran Engels yaitu pertama mengenai sastra. Tendensi politik penulis haruslah disajikan secara tersirat saja. Semakin tersembunyi pandangan si penulis, semakin bermutulah karya sastra

Frasa

HAL

11

yang ditulisnya. Ideologi politik bukanlah merupakan masalah utama bagi si seniman. Oleh karenanya karya sastra akan menjadi lebih baik apabila ia berhasil membuat ideologi itu tetap tersembunyi. Pokok kedua dalam gagasan pikiran Engels lebih bersifat dogmatis. Ia menjelaskan bahwa setiap novelis yang berusaha mencapai realisme harus mampu menciptakan tokoh-tokoh yang representatif dalam karya-karyanya. Hal itu disebabkan oleh adanya pengertian realisme yang meliputi reproduksi tokoh-tokoh yang merupakan tipe dalam peristiwa yang khas pula. Bapak realisme sosial di Uni Sovyet itu sendiri adalah Maxim Gorky yang sangat berhasil menggambarkan realisme dalam karyanya berjudul Ibu dan Anak yang dianggap sukses menerapkan ajaran realisme sosial di USSR. Namun, sebagai kritikus Marxis yang besar adalah George Lukacs, seorang Hongaria. Karya-karya Lukacs terutama menyoroti masalah-masalah realisme, walaupun pandangannya kemudian banyak bersinggungan dengan paham realisme sosialis resmi. Pada usia 25 tahun, Lukacs merampungkan naskah bukunya yang setebal 1000 halaman yang berjudul Soul and Form yakni tentang perkembangan drama modern. Pada tahun 1918 ia bergabung dengan Partai Komunis Hongaria. Tulisan-tulisannya mulai dipengaruhi oleh pemikiran Marxis sezaman. tulisan-tulisannya dalam periode Marxis banyak bicara tentang masalah filsafat, seperti alienasi, fetishism, reifikasi yang menjadi sumbangan penting bagi teori Marxis tentang kesadaran, ideologi, dan kebudayaan. Karya Lukacs yang penting dari kurun ini adalah History and Class Consciusnessyang terbit 1923. Ia menyerang gerakan modernisme yang muncul di Eropa Barat. Ia mengatakan bahwa modernisme hanya mampu melihat manusia sebagai makhluk putus asa yang terasing, bahwa modernisme sengaja mengingkari kenyataan seutuh-utuhnya, bahwa modernisme merupakan gerakan artistik yang steril. Dalam bidang seni dan sastra, Lukacs bicara mengenai bentuk (form) yang dianggap sangat menonjol dan berpengaruh. Sistem kapitalis menurutnya menciptakan pemisahan bidang-bidang kehidupan begitu parahnya dan pemujaan terhadap komoditas yang membutakan manusia dari jatidirinya. Dalam Studies in European Realism dan Historical Novel, ia melihat fungsi itu dipenuhi dalam karyakarya penulis realis seperti Shakespeare, Balzac, Tolstoy dan seniman Yunani kuno. Lukacs sangat terpengaruh oleh pikiran Thomas Mann.

BERSAMBUNG... Edisi 7 Tahun I [Minggu, 30 Desember 2012]


HAL

12

SASTRA INDONESIA

Omong-Omong Sastra : Mempertahankan Tradisi Silaturahmi dan Berkarya Oleh: M. Raudah Jambak

Sastra tentu tak lepas dari ragam persoalan kehidupan manusia dengan segala tetekbengeknya. Semua terpapar dengan filosofi dan citraannya. Kekayaan pengalaman referensial dan faktual yang dimiliki pengarang dapat mewarnai karya dengan ketajaman pena dan kedalaman makna yang dikandungnya. Sastra urban adalah kebangkitan sastrawan kebangsaan: sastra yang mampu memaknai kata dan menggetarkan kehidupan kemanusiaan. Sastra yang menyentuh dan bukan menyinggung: menghidupkan kembali ruh bangsa yang sekian lama belum terumuskan. Berdasarkan persoalan itu kembali Omongomong sastra (OOS) diaktifkan kembali. Mengingat usianya yang tidak bisa dikatakan muda lagi (beranjak 35 tahun), OOS merevitalisasi kembali persoalan-persoalan sastra yang memang tidak akan pernah selesai. Saripuddin lubis pernah menyinggung bahwa Era sebelum tahun 1920-an, dunia sastra di Sumatera Utara dianggap sebagai tonggak dasar kesusastran di Tanah Air. Sebab, saat itu sastrawan Sumatera Utara bisa dikatakan sebagai barometer sastra di tanah air. Pertama sekali dimulai dengan munculnya nama M. Kasim yang dianggap sebagai peletak dasar berdirinya cerita pendek di tanah air. Setelah itu

Edisi 7 Tahun I [Minggu, 30 Desember 2012]

muncullah nama Amir Hamzah, pemuda dari Langkat, yang dikenal sebagai motor puisi Angkatan Pujangga Baru. Kemudian lahir pula Chairil Anwar yang merupakan orang yang paling populer namanya dalam wilayah sastra tahun 1945 hingga sekarang. Beliau bahkan masih dianggap sebagai ikon sastra di Indonesia bersama Amir Hamzah. Jika diadakan survei, tentunya nama merekalah yang menduduki peringkat pertama sastrawan di Tanah Air yang dikenal masyarakatnya. Setelah itu, perhelatan sastra di Tanah Air mulai berpindah tangan kepada teman-teman sastrawan dari Pulau Jawa. Meskipun masih ada, namun nama-

Frasa


SASTRA INDONESIA nama sastrawan dari Sumatera Utara mulai tenggelam ditelan zaman. Nama-nama yang masih bertahan hanyalah sebagian saja seperti Maulana Samsuri, A. Rahim Qahhar, Damiri Mahmud dan beberapa nama lain. Selebihnya banyak yang tak lagi dikenal di jagad sastra nasional. Dan akhirnya, Saripuddin lubis menuturkan bahwa duaribuan kebangkitan sastrawan terutama dari yang muda-muda, mulai merambah belantara sastra Indonesia. 35 Tahun Omong-Omong Sastra Sumatera Utara Darwis Rifai Harahap ada menuliskan bahwa di abad serba digital ini, bahwa banyak penulis-penulis muda terus bermunculan dan tenggelam. Yang tenggelam karena tak mampu bersaing. A. Rahim Qahhar, Damiri Mahmud, Ali Sukardi, Maulana Samsuri, Aldian Arifin, masih terus bekarya walau usia mereka telah diatas enam puluh lima tahun. Cerpenis Lahmuddin Mane telah tiada. Profesor sastra kita Ahmad Samin Siregar juga telah menghadap Khaliknya. Generasi sastra Sumatera Utara, dari angkatan Choking Susilo Sakeh, Sugeng Satya Darma, Jaya Arjuna, mulai berangkat tua. Kini muncul namanama sastrawan muda seperti Hasan Albana, Raudah Jambak, Idris Siregar, Muram Batu, Rizlan Effendi dan banyak lagi yang lainnya, adalah nama-nama yang tak asing lagi di Sumatera Utara, bila kita membuka lembaran budaya surat kabar yang ada di Sumatera Utara. Mampukah karya-karya mereka berbicara di khazanah sastra Indonesia? Persis seperti yang diungkapkan Darwis Rifai Harahap, penulis menangkap sinyal-sinyal harapan. Bagaimana karya sastra sastrawan muda dapat bertahan menembus zaman. Tidak mudah berpuas diri dengan apa yang dihasilkan. Pun tidak langsung tinggi hati dengan satu dua karya yang dilahirkan. Sastrawan harus terus menyimpan ‘kegelisahan’. Sastrawan harus melahirkan ‘kegelisahan’ itu. Oleh sebab itu, maka OOS yang beranjak 35 tahun ini harus dipertahankan. Ia hadir tidak hanya sebagai ‘rumah’ nostalgia masa lalu, tetapi juga tempat pembelajaran kualitas dan kuantitas karya, serta pengasahan mental. Hal ini penting, sebab seperti yang pernah tetulis bahwa karya menyatakan kita kita ada, rendah hati akan menjadikannya abadi, tetapi kesombongan akan menghancurkannya perlahan. Terkadang ada yang berfikiran picik, mengatakan bahwa sastra bukan untuk diomongkan, dipertengkarkan, atau kesabaran menikmati segala hidangan nostalgia. Atau segelintir yang lain mengatakan bahwa belajar tidak harus di Komunitas OOS. Semua terserah kita. Kita adalah makhluk yang bebas. Tetapi, sebagai sebuah kekayaan OOS yang beranjak 35 tahun ini harus kita pertahankan,

Frasa

HAL

13

walaupun kekisruhan pernah terjadi beberapa kali kepemimpinan. Jujur, bahwa sampai sekarang komunitas OOS Sumatera Utara yang masih bertahan sampai sekarang di Indonesia, bahkan dunia, mengingat usianya. Melahirkan banyak sastrawan kawakan, seperti yang pernah disinggung sebelumnya. Sekarang, bagaimana kita menjadikan OOS adalah milik semua sastrawan, seniman, maupun budayawan Sumatera Utara, bukan milik segelintir orang yang memang kebetulan termasuk sebagai penggagas OOS ini sebelumnya. Mengingat Herman Ks, NA. Hadian, Rusli A. Malem, Awaluddin Ahmad, Z. Pangaduan Lubis, dll, yang telah berjuang ikut mengharumkan kejayaan sastra Sumatera Utara, maka wajarlah kiranya kita sedikit rendah hati untuk sama-sama peduli sekaligus ikut andil dengan keberadaan OOS ini tanpa harus mengingat segelintir orang yang sempat ‘menodai’ OOS Sumatera Utara ini. Dengan berbiaknya komunitas sastra saat ini, seperti KSI (komunitas sastra indonesia) medan, LABSAS, Komunitas Home Poetry, Komunitas Rumah Kata, KOMPAK, KONTAN, KOMISI, juga sebelumnya ada FKS, Kedai Sastra Kecil, dll, wajarlah kiranya yang kesemuanya itu saling berbagi ilmu, berbagi wawasan, termasuk saling bersilaturahmi di Omong-Omong Sastra Sumatera Utara. Juga diakui, tidak ada yang baru di bawah matahari. Dan walaupun matahari mati berkali-kali ia akan tetap lahir esok pagi. Indah memang kalau kita saling berbagi. Seperti sebuah keluarga ada orangtua yang mengayomi, juga saudara-saudara saling berbagi kasihsayang, walau pertengkaran abang-adik, juga orang tua dan anak, maupun suami-istri, toh tetap tidak akan pernah berhenti, justru itu adalah kekayaan yang harus ada dalam setiap sisi kehidupan.

UNDANGAN OOS DI RUMAH IDRIS SIREGAR

Akhirnya, sebagai konsep pembelajaran, setelah ‘pertengkaran’ YS. Rat dan Wika, maka selanjutnya ‘perseteruan’ Hidayat Banjar dan Intan HS, juga ‘kecurigaan’ Yulhasni dengan Wahyu Wiji Astuti kita teruskan mungkin akan disusul oleh Rina mahfuzah dan Azhari untuk pertemuan OOS ke depan. Dan setelah di rumah Hasan Al Banna, maka ‘perseteruan’ Hidayat banjar dan Intan HS akan kita ‘rampungkan, di rumah Idris Siregar tanggal 6 Februari 2011, di tanjuung morawa. Sekaligus mengundang seluruh ninik-mamak, handai-taulan sastrawan, seniman, budayawan, mungkin juga wartawan sebagai saudara untuk ‘melerai’ segala ‘perseteruan’ itu.***(www.sastra-indonesia.com)

Edisi 7 Tahun I [Minggu, 30 Desember 2012]


HAL

14

SASTRA RELIGI

Reorientasi Nilai Religius dalam Karya Sastra Oleh: Ahmad S Rumi

K

AJIAN tentang religius dalam kesusastraan Indonesia sebenarnya telah banyak dilakukan, tetapi kajian itu sering keliru dalam memformulasikan pengertian religiusitas. Kekeliruan yang paling mendasar ialah bahwa religiusitas sering dibedakan dari agama, sehingga religius dianggap sebagai representasi sikap orang tidak beragama. Padahal apabila dikaji lebih mendalam, religus sangat koheren dengan agama, keduanya sama-sama berorientasi pada tindakan penghayatan yang intens terhadap yang Maha Tunggal, yang di Atas, atau Sang Pencipta (Tuhan). Sesungguhnya pembicaraan mengenai religiusitas berkaitan dengan adanya kenyataan merosotnya kualitas penghayatan orang dalam beragama atau berkaitan dengan hilangnya dimensi kedalaman dan hakikat dasar yang universal dari religi. Jadi, religiusitas merupakan kritik terhadap kualitas keberagamaan seseorang Edisi 7 Tahun I [Minggu, 30 Desember 2012]

Frasa


SASTRA RELIGI di samping terhadap agama sebagai lembaga dan ajaran-Nya. Sebagai suatu kritik, religiusitas dimaksudkan sebagai pembuka jalan agar kehidupan orang yang beragama makin intens. Moljanto dan Sunardi (1990: 208) menyatakan bahwa makin orang religius, hidup orang itu makin nyata (real) atau merasa makin ada dengan hidupnya sendiri. Bagi orang yang beragama, intensitas itu tidak dapat dipisahkan dari keberhasilannya untuk membuka diri terus menerus terhadap pusat kehidupan. Religiusitas disebut sebagai inti kualitas hidup manusia, karena ia adalah dimensi yang berada di dalam lubuk hati, sebagai riak getaran nurani pribadi dan menempas intimitas jiwa (Mangunwijaya 1981: 11-15). Karya sastra sebagai struktur yang kompleks, yang di dalamnya menyoroti berbagai segi kehidupan termasuk masalah keagamaan patut kita gali untuk diambil manfaatnya. Sebelum kita menggalinya, terlebih dahulu kita harus mengetahui kriteria-kriteria religus dalam sebuah karya sastra. Atmosuwito (1987-124) mengemukakan kriteria-kriteria religius sebuah karya sastra: (1) penyerahan diri, tunduk dan taat kepada sang pencipta, (2) kehidupan yang penuh kemuliaan, (3) perasaan batin yang ada hubungannya dengan Tuhan, (4) perasaan berdosa, (5) perasaan takut, dan (6) mengakui kebesaran Tuhan. Ada juga kriteria religiusitas sastra yang dikemukakan oleh Saridjo (Jassin, 1972: 60), yakni karya sastra yang menitikberatkan kehidupan agama sebagai pemecahan persoalan. Jenis ajaran religius itu sendiri mencakup masalah yang tidak terbatas dan mencakup semua persoalan hidup dan kehidupan, seluruh persoalan yang mencakup harkat dan martabat manusia. Secara garis besar persoalan hidup dan kehidupan dapat dibedakan menjadi: persoalan hubungan manusia dengan diri sendiri, persoalan hubungan manusia dengan manusia lain dalam lingkup sosial termasuk hubungan dengan lingkungan alam, dan persoalan hubungan manusia dengan Tuhannya. Tema sebagai ide pokok yang mendasari sebuah cerita sangat menentukan apakah sebuah cerita itu bersifat religus

Frasa

HAL

15

Jenis ajaran religius itu sendiri mencakup masalah yang tidak terbatas dan mencakup semua persoalan hidup dan kehidupan, seluruh persoalan yang mencakup harkat dan martabat manusia. Secara garis besar persoalan hidup dan kehidupan dapat dibedakan menjadi: persoalan hubungan manusia dengan diri sendiri, persoalan hubungan manusia dengan manusia lain dalam lingkup sosial termasuk hubungan dengan lingkungan alam, dan persoalan hubungan manusia dengan Tuhannya.

Edisi 7 Tahun I [Minggu, 30 Desember 2012]


HAL

16

SASTRA RELIGI atau tidak, karena tema ditentukan terlebih dahulu sebelum pengarang tersebut membuat cerita. Menurut Aminuddin (1995: 91), tema merupakan ide yang mendasari sesuatu cerita sehingga berperan juga sebagai pangkal tokoh pengarang dalam memaparkan fiksi yang diciptakannya. Penokohan atau perwatakan dapat dijadikan cerita untuk menentukan apakah karya sastra itu bernilai religus atau tidak, yaitu dengan cara menelusurinya lewat: tuturan pengarang terhadap karakteristik pelakunya, gambarann yang diberikan pengarangnya lewat gambaran lingkungan kehidupannya maupun caranya berpakaian, menunjukkan bagaimana perilakunya, melihat bagaimana tokoh itu berbicara tentang dirinya sendiri, memahami bagaimana jalan pikirannya, melihat bagaimana tokoh lain berbicara tentangnya, melihat bagaimana tokoh-tokoh yang lain itu memberikan reaksi terhadapnya dan melihat bagaimana tokoh itu dalam mereaksi tokoh yang lainnya. Pengarang secara langsung mendeskripsikan perwatakan tokoh, cerita yang bersifat ‘memberi tahu’ atau memudahkan pembaca untuk memahaminya. Nilai religius yang ingin disampaikan atau diajarkan kepada pembaca itu diuraikan secara langsung (eksplisit). Dalam hal ini pengarang tampak menggurui pembaca. Secara langsung memberikan nasihat atau petuahnya. hal ini dimaksudkan agar pembaca tidak terlalu sulit menafsirkan sendiri dengan hasil yang belum tentu pas dengan yang dimaksud oleh pengarang. Latar (setting) karya sastra juga dapat menunjukkan religiusitasnya. Latar suatu karya sastra yang bernilai religi adalah seluruh keterangan mengenai tempat (ruang), waktu, dan suasana, sebagai lokasi dan situasi di sekitar tokoh-tokoh dalam karya sastra tersebut, menggambarkan hal-hal yang berhubungan dengan masalah-amsalah religi atau keagamaan. Begitu juga gaya (style). Gaya berarti cara seseorang pengarang mengekspresikan atau mengungkapkan perasaan, pikiran, dan pengalamannya melalui karya sastra yang ditulisnya. Gaya seorang pengarang dapat diamati melalui bahasa karyanya. Gaya dibentuk oleh pilihan kata (diksi), ungkapan dan simbol. Gaya bahasa pengarang dalam sebuah novel atau puisi religius, memperlihatkan kepada kita unsur-unsur religiusitasnya dalam pilihan kata yang dipakainya. Misalnya dalam karya: Hamzah Fansuri, Abdul Hadi WM, Mustofa Bisrih, Dzawawi Imron, Kuntowijoyo, Emha Ainun Nadjib, Jamal D Rahman, Ahmadun Yosi Herfanda, Abdul Wahid BS, Acep Zamzam Noor, Ahmad Subanudin Alwih, Soni Farid Maulana, Lukman A Sya, Hamdi Salad, Ahmad Nurullah, Helvy Tiana Rosa, dan Mathori A Elwa. Pada karya sastra kita juga akan menemukan pesan apa yang hendak disampaikan pangarang. Jika dalam suatu karya

Edisi 7 Tahun I [Minggu, 30 Desember 2012]

Frasa


SASTRA RELIGI

HAL

17

fiksi mengundang dan menawarkan pesan Teknik penyampaian secara tidak langreligius, banyak sekali jenis dan wujud ajaran sung menampilkan peristiwa-peristiwa, konfreligi yang dapat kita renungkan dan amalkan. lik, sikap, dan tingkah laku para tokoh dalam Sebuah karya sastra, baik itu roman, novel atau menghadapi peristiwa-peristiwa, baik yang puisi, sering terdapat lebih dari satu pesan reli- terlibat dalam laku verbal, fisik, maupun yang gus yang disampaikan, belum lagi dari segi jum- hanya terjadi dalam pikiran dan perasaannya. lah maupun jenisnya. Jenis dan wujud pesan Melalui berbagai hal tersebut nilai religius disreligius yang terdapat dalam suatu karya sastra ampaikan. akan bergantung pada keyakinan, keinginan, Pada dasarnya karya sastra adalah wujud dan minat pengarang yang bersangkutan. represntasi dunia dalam bentuk lambang Jenis hubungan tersebut masing-masing (kebahasaan). Karena itu, karya sastra merupadapat dirinci ke dalam kan salah satu media detail-detail wujud yang dapat menjadi yang lebih khusus. Nurgiantoro (1995: 36) mengungkapkan salah satu sumber Sebuah novel atau pengalaman estetik bahwa secara umum dapat dikatakan puisi tentu saja dapat yang pada gilirannya bentuk penyampaian nilai dalam fiksi mengandung lebih akan mengantarkan mungkin bersifat langsung atau tidak satu persoalan hidup seseorang untuk mensekaligus. Dari segi langsung. Pesan religius yang disampaikan capai pengalaman relisecara tidak langsung, biasanya tersirat gius. Salah satu cara tertentu fiksi dapat dipandang sebagai dalam cerita dan berpadu dengan unsur yang dapat dilakukan bentuk manifestasi cerita yang lainnya secara koherensif. Dalam manusia untuk meraih keinginan pengarang menyampaikan pengarang tidak melakukan pengalaman religius untuk menyampaiadalah dengan meninsecara serta merata, lewat siratan dan kan sesuatu. Sesuatu gkatkan kepekaannya terserah pembaca dalam menafsirkannya. itu mungkin berupa menangkap simbol Pembaca dapat merenungkannya dan pandangan tentang atau lambang yang menghayatinya secara intensif. sesuatu hal, gagasan, ada di sekelilingnya. moral, atau amanat. Dengan menangkap Dalam pengertian simbol dan lambangini, karya sastra pun dapat dipandang seba- lambang itu, manusia akan memperoleh pengai sarana komunikasi. Namun, dibandingkan galaman estetik, dan pengalaman estetik itulah dengan sarana komunikasi yang lain, baik yang yang akan mengarahkan atau membangkitkan lisan maupun tulisan, karya sastra merupakan pengalaman religius. salah satu wujud karya seni yang sebagian Bertolak dari pernyataan di atas, pemahaman besar mengembangkan tujuan estetik, tentu- terhadap religiusitas dalam karya sastra menjanya mempunyai kekhususan sendiri dalam hal di sangat begitu penting, tidak terkecuali relimenyampaikan pesan-pesan religius. giusitas dalam kesusastraan Indonesia. Hal ini Nurgiantoro (1995: 36) mengungkapkan bukan hanya karena alasan untuk memperoleh bahwa secara umum dapat dikatakan bentuk pengetahuan tentang religiusitas sastra (Indopenyampaian nilai dalam fiksi mungkin ber- nesia), melainkan juga karena secara pragmatis sifat langsung atau tidak langsung. Pesan reli- sebagai suatu gerakan mencari dimensi yang gius yang disampaikan secara tidak langsung, hilang dari religi. Religiusitas merupakan suatu biasanya tersirat dalam cerita dan berpadu yang dapat digunakan sebagai sarana pembidengan unsur cerita yang lainnya secara kohe- naan dan pendewasaan mental manusia-marensif. Dalam menyampaikan pengarang tidak nusia yang saat ironi dinilai telah mengalami melakukan secara serta merata, lewat siratan reduksi akibat merebaknya paham rasionalisme dan terserah pembaca dalam menafsirkannya. dan Materialisme.***(www.publiksastra.net) Pembaca dapat merenungkannya dan meng*) Penyair dan Esais Mahasiswa Bahasa dan hayatinya secara intensif. Sastra Indonesia FPBS UPI Bandung.

Frasa

Edisi 7 Tahun I [Minggu, 30 Desember 2012]


HAL

18

KOMUNITAS

KONTAN saat foto bersama sebelum penampilan baca puisi menyambut mahasiswa sastra Indonesia Mandailing. Memakai ulos sebagai ciri khas Medan.

Komunitas Tanpa Nama (KONTAN)

dalam kacamata Anggota

Penulis: Azizah Nur Fitriana

G

ila! mungkin kata ini layak dilekatkan dalam komunitas ini. Bagaimana tidak, komunitas ini baru terbentuk di awal bulan Agustus 2010 dan hanya beranggotakan sepuluh orang yang semuanya mahasiswa stambuk 2010 (mahasiswa baru) Unimed. Namun, walau terbilang baru karya para anggota telah tembus di beberapa surat kabar, seperti Medan Bisnis, Analisa dan Waspada. Inilah terobosan sekaligus kenekadan para mahasiswa yang berprinsip kedewasaan bukan hanya ditentukan dari segi usia, tetapi juga dari segi kematangan berpikirnya. Tetapi kegilaan mereka layak kita beri apresiasi. Sebab, keyakinan dan kepercayaan para anggotanya, komunitas ini akan mampu bersaing dalam dunia sastra. Komunitas Tanpa Nama (Kontan). Ya, inilah nama yang akhirnya di tabalkan untuk kami, meski tanpa

BEBERAPA anggota Kontan saat membacakan puisi. Edisi 7 Tahun I [Minggu, 30 Desember 2012]

nama. Merupakan komunitas yang menampung imaji-imaji kata bagi semua pencinta kata yang lalu merangkainya menjadi sesuatu yang indah. Kami lahir dari rahim pikir punggawa sastra pada 09 Agustus 2010.Walau berusia muda, namun eksistensi dari para penguhuniya telah diapresiasi beberapa media massa, antara lain; Harian Medan Bisnis, Harian Analisa, serta Harian Waspada dan sudah ada beberapa karya yang termaktub di beberapa buku antara lain Antologi puisi "Cahaya", Antologi puisi "Kanvas Sastra", antologi cerpen "Mah'yang" dan cerita fiksi 300 kata dalam buku "Kampung Horas". “Bumi Indonesia Kami Tercinta� dan baru-baru ini seorang penggagas kontan, Sartika Sari membagi kisah indahnya di Bali, lagi-lagi karena karyanya yang mewakili mahasiswa se-Sumatera Utara. Tidak hanya Sartika Sari, masih ada penggagas dan penghuni di dalamnya yang menghasilkan karya. Ya! Rudiansayah Siregar misalnya, berulangkali keluar kota karena prestasi memenangkan lomba kepenulisan, tanpa biaya sepeserpun. Winda Sriana saat ini masih berada di Suarabaya lagi-lagi bukan karena urusan keluarga melainkan juara menulis esai berbudaya. Berjiwa dengan Kata, Bermakna dengan Karya dan Berkomunitas dengan Keluarga merupakan semboyan yang mendarahdaging dalam jiwa-jiwa penghuninya. Ini satu nama yang tidak asing lagi dalam dunia literasi , SARTIKA SARI. Mahasiswa Jurusan Sastra Indonesia Unimed ini lahir di Medan pada tanggal

Frasa


KOMUNITAS 1 juni 1992. Saat ini ia bergiat di Komunitas Tanpa Nama. Pernah menjuarai beberapa Perlombaan seperti: Juara I Lomba Puisi Penyair Kota Medan tahun 2010, Juara Harapan III Lomba Baca Puisi Dewan Kesenian Medan, Juara II Lomba Cipta Puisi Komunitas Penulis Anak Kampus, Juara favorit Lomba Baca Puisi Rumah Kata, Juara III Lomba Baca Puisi Berpasangan, Juara III Lomba Baca Puisi LKK Unimed, Juara I Lomba Menulis Feature UKM Kreatif Unimed). Sejumlah karyanya (Puisi, Cerpen, Artikel, Cerita Anak) terbit di Media Cetak seperti Waspada, Medan Bisnis, Analisa, Jurnal Medan, Suara Pembaruan dan Sinar Harapan. Adapun beberapa karya lainnya telah termaktub dalam Antologi: Cahaya, puisi 53 penyair (Labsas, 2011), Kanvas Sastra,

HAL

19

antologi puisi Mahasiswa Sumatera Utara (Garputala, 2011), Kepadamu Pahlawanku, antologi puisi (Bergerak Sastra, 2011), Double Spirit, antologi puisi (Hasfa Publisher, 2011) dan Dear Love For Kids, antologi cerita anak (Hasfa Publisher, 2011). Selain itu, berkesempatan ia diundang dalam The Second Jakarta International Literray Festival (JilFest). Ini merupakan kegiatan yang acapkali dilakukan para anggota, pembacaan puisi, musikalisasi puisi atau bahkan pertunjukan puisi. Ah rasanya sudah menjadi kegiatan sehari-hari.*** Penulis adalah Mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Unimed. Tercatat sebagai anggota aktif Komunitas Tanpa Nama (KONTAN).

KONTAN saat berbincang sastra atau sharing serta saling memberi masukan.

ANGGOTA Kontan menyempatkan diri berpose usai pengumuman perlombaan baca puisi di Taman Budaya Sumatera Utara.

Anggota Kontan saat diundang mengisi acara PAMB Unimed 2012 (Penerimaan Akademik Mahasiswa Baru).

Frasa

Anggota Kontan angkatan I. Edisi 7 Tahun I [Minggu, 30 Desember 2012]


HAL

20

CERPEN: Agung Yuli TH

Petrichor* Edisi 7 Tahun I [Minggu, 30 Desember 2012]

Frasa


CERPEN

HAL

21

Hujan memiliki kemampuan menghipnotis manusia untuk meresonansi ingatan masa lalu. Tanpa bisa mendapatkan bukti ilmiah, para ilmuan hanya bisa menyimpulkan; di dalam hujan ada lagu yang hanya bisa di dengar oleh mereka yang rindu.

Hujan dan hutan Willow, suasana dan tempat yang sama dimana dia pernah membawaku kemari dua tahun yang lalu. Sampai saat ini, kenangan itu tetap saja bermusim semi dalam ingatanku, meskipun terkadang hati terasa diterpa salju ketika mengingatnya. Mungkin karena kudengar ‘nyanyian’ hujan, sebuah kerinduan memaksaku mengunjungi hutan ini. Ada yang harus kutuju, di ujung bukit sana; sebuah pohon Willow yang paling besar diantara yang lain disini. Dulu, pada dada pohon itu pernah terbentuk ukiran; sebuah garis berbentuk hati dengan dua ukiran nama di dalamnya. Namaku dan namanya. Ingin kuraba lagi salah satu nama yang ada di dalam garis tersebut. Rainzell. *** “Apakah ‘itu’ adalah bentuk ukiran dari perasaan yang tidak bisa kau ungkap secara verbal?” tanyaku dengan nada menggoda saat pertama kali ia menunjukkan ukiran tersebut padaku. Dia hanya menjawabnya dengan senyuman. Ya, senyuman, sebuah kebiasaan cueknya yang manis jika ia malas menjawab pertanyaanku. Senyumnya di hutan ini masih saja hidup. Tentang senyuman, ia pernah berkata padaku, “senyum adalah sebuah sihir yang mengantarkan kebahagiaan pada hati.” Aku bisa melihat dunia baru dan memiliki harapan yang manis dalam hidupku, saat ia membawakan senyumnya padaku dengan sekotak cincin. Hutan ini saksinya. Sejak saat dia membawaku pada hutan itu, setiap purnama yang kulihat seperti lingkaran madu. Enam purnama berlalu, doa-doa harapan selalu kupanjatkan menanti purnama yang ketujuh, malam dimana kami akan mengikatkan benang suci pada lembaran hidup kami. Hingga saat seharusnya purnama itu muncul, mendung telah lebih

Frasa

dulu menyembunyikannya dariku. Aku sangat risau. Tetapi dia terlihat tenang. Sangat tenang. “Ketika tanganmu kosong karena kehilangan, relahkanlah. Percayalah bahwa tuhan akan akan mengisi tanganmu yang kosong dengan pemberian-Nya yang lebih indah,” kata Rainzell. Kata-kata darinya tersebut masih terngiang dalam kepalaku. Sambil tersenyum ia mengatakannya kepadaku—saat itu: Saat dimana terakhir kali aku melihatnya menutup mata. Saat waktu membuat hujan turun terasa sangat lambat. Dan sebuah kecelakaan telah menjadi jawaban dari kejadian tersebut. *** “Rainzell, namamu adalah hujan,” batinku, saat meraba ukiran nama pada batang pohon tua itu. Hujan kini telah redah, petrichor telah memeluk hutan Willow; meninggalkan aroma wanginya yang basah di antara daun-daun dan rerumputan di hutan ini. Sama halnya dengan dirinya yang meninggalkan kenangan dan kisah harum padaku. *** Rumah, 13 November 2012 *Petrichor: senyawa yang menghasilkan bau wangi yang khas pada tanah, ilalang, dan rerumputan setelah hujan turun. *Agung Yuli TH, lahir di Lamongan, Juli 1988. Pecinta music rock yang menyukai ketenangan. Saat ini aktif bergeliat di Komunitas Sanggar Sastra (KOSTRA) Tuban. Untuk bisa menghubungi penulis bisa dilakukan via email dengan nama azhoulee@ yahoo.com atau lewat akun facebook dengan nama Agung Zhou-lee.

Edisi 7 Tahun I [Minggu, 30 Desember 2012]


HAL

22

PUISI Indra KS

Waktu Kuldi lidahku kian terbenam di bibirmu lalu menjelma ronggeng penumbuh nafsu pada riuh tetabuhan calung

Laron pada rumah sebentuk goa kau menjelma laron dengan sayap yang mulai sempurna lalu terbang kepakkan isyarat matangnya usia mencari pasangan dalam kesunyian semesta berharap percintaan paling rahasia antara adam-hawa saat takdir mempertemukannya ranggaslah sepasang sayap mereka pun menanam birahi beranak pinak di bawah tanah Banyumas, 23112012

Gula Merah tungku yang selalu berjelaga dari sisa malam sampai senja di retina matamu membawa lelah di sekujur tubuh pada usia yang tak lagi muda serupa pendaki bukit batu kau terus merangkak walau langit tumpahkan butiran-butiran hujan “semoga petir tak turun ke bumi,� hanya doamu pada langit yang retak sementara tetesan keringat yang kau kumpulkan kian terbakar seperti warna senja Banyumas, 20102012

Edisi 7 Tahun I [Minggu, 30 Desember 2012]

dua tiga butiran kancing lepas dan lima saudara memaksa masuk lalu bemain-main di dua coklatmu yang mulai batu sehelai kain terjatuh di lantai dua gelombang padat seperti menantang pejantan di puncak mendung lalu hujan pun turun basahi jeram jantungmu tak puas sampai di situ sehelai kain lagi-lagi jatuh tinggalkan tanah basah yang ditumbuhi rerumputan pada sebidang segitiga sama sisi dan perlahan menurun lewati ujung kaki tak sungkan kumasuki lobang di pangkal paha yang menganga dalam imajinasiku Banyumas, 21112012

Indra KS, lahir di desa Tanggeran pada 5 Oktober 1989. Tulisannya baru terpublikasikan di Riau Pos, Satelit Post, Minggu Pagi, dan Majalah ANCAS. Puisipuisinya juga tergabung dalam antologi : Jembatan Sajadah (UmaHaju Publisher, 2012), Ayat-ayat Ramadhan (AGP: 2012), dan lain-lain. Saat ini tercatat sebagai mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI) di Universitas Muhammadiyah Purwokerto (UMP). Bergiat di Komunitas Penyair Institute (KPI) dan Tunas Kata (TK). Bertempat tinggal di Desa Tanggeran, RT. 06 RW. 01, Kec. Somagede, Kab. Banyumas, Jawa Tengah 53193.

Frasa


Ekohm Abiyasa PUISI

HAL

23

Malam Seorang Pejalan Jauh malam adalah tempat persinggahan kepala dalam hati dalam simpang perjalanan berartikah engkau disisiku seberapa malam adalah tempat cerita kepalan dalam renungan ketika siang adalah buangbuang kata senyum itu memudar kiasan yang memendar semu belaka tahukah engkau, sesakit apa hati? tentang gelisah pada malam pertanyaanpertanyaan mengekal dalam kolom abadi langit tersimpan rapat untuk jejak kesekian dan pagi yang membutakan malam adalah rupa asap beterbangan dupa seorang pejalan jauh yang kelelahan menanti hujan makna dalam ladang jiwa yang gelisah Jakal KM 14 Jogja, 19 September 2012

Frasa

Malam Kesekian malam kesekian kembali menautkan rindu dan kenangan dalam kota tua dan sejarah prasasti abjad seperti kota kelahiranku fenomena dan penuh cerita malam kesekian pula naluri rindu memanggilmanggil namamu Jakal KM 14 Jogja, 07 Oktober 2012

Ekohm Abiyasa, Penikmat sastra terutama puisi. Karya-karyanya dipublikasikan di Solopos, Suara Merdeka. Puisinya termaktub dalam antologi bersama Requiem bagi Rocker (TBJT, 2012), Ukara Geni - Wuyung Ketundhung (Pawon Sastra Solo, 2012), Satu Kata - Istimewa (Ombak Yogyakarta, 2012), Dari Sragen Memandang Indonesia (Dewan Kesenian Daerah Sragen, 2012).

Edisi 7 Tahun I [Minggu, 30 Desember 2012]


HAL

24

PUISI Syafrizal Sahrun

Kunjungi Saja Aku Lewat Doa aku memang telah pergi melintasi satu pemikiran dan pemikiran lain dari satu rasa ke rasa lainnya dari satu kecupan hingga pendurhakaan oh ya, lihatlah tampangku di tembok sana tembok tinggi yang kau susun dari kerangkakerangka manusia masa lalu yang dindingnya kau cat dengan darah orangorang masa datang di situlah tampangku kau pajang empat lengan sebagai bingkai

goda setelah rasa yang menggoda lainnya bertandang ke kuduk kami kami ini maha pelupa bahkan maha berkata suka yang padahal kami tak paham tentang makna ingatkanlah kami setelah mencicipi isi untuk segera mencuci bentuk agar ruang dapur hati kami tak berantakan seperti rumah-rumah para pemalas

teruslah goda kami dengan masa lalu lecut kami dengan harapan yang ada di masa datang kami adalah makhluk maha pelupa jangan biarkan kami berleha-leha berikanlah aku senyummu yang seterus terang di tubuh para perawan yang melahirkan kepuasan semu pungguk pada rembulan jangan kau selipkan diantaranya sembilu, duri atau dan pada akhirnya kami terkulai dalam penyesalan belati maafkan kami jangan bunuh aku lagi terkadang kami suka mencuri-curi waktu untuk memakimu sebab itupulalah aku pergi kami suka mengendap-endap menelanjangimu bukan untuk menjauh untuk sekedar berolok-olok bahwa kebebasan adatapi untuk memekapmu lebih lekap lah tujuan kehidupan kepergian tak sekedar keluar yang sebenarnya kebabasan tak pernah kami dapat dari kepura-puaraan aku tahu, kau selalu mencariku selalu memanggil-manggil namaku 4 November 2012 tapi sayang, sudah kukatakan aku telah pergi Komunitas Home Poetry kunjungi saja aku lewat doa   jika rindu telah mendera maka aku akan muncul dari segenap tiada. engkau pernah melukisku bukan? saat aku termenung di dalam kepalamu membelai-belai otakmu karena aku jenuh jadi batu

Syafrizal Sahrun. Lahir tanggal 4 November 1986 di desa Percut. Berdomisili di desa kelahiran. Memperoleh gelar sarjana dari UISU dan sekarang tengah Doa Para Pelupa mengikuti PPs di UMN. Beberapa karya puisi dan esai ingatkanlah kami kepada ruang yang telah kosong sastra di muat pada koran Waspada, Analisa, Medan Bisnis, Mimbar Umum, Haluan Kepri, Lampung Post sebelumnya isi telah kami hirup dipusara kedatandan Majalah Horison. Puisinya juga di muat pada gan Antologi puisi Suara peri dan mimpi, Antologi puisi ketika hujan satu-satu menyentuh bubung hati Cahaya, Antologi Puisi Tarian Angin dan Antologi kami puisi Menguak Tabir. Bekerja sebagai guru dan dosen. Bergiat di komunitas Home Poetry, KAKTUS ingatkanlah UISU dan Komunitas Insan Sastra Indonesia (KOMISI). terkadang kami lupa akan rasa yang terlalu mengPercut, 2012 Komunitas Home Poetry

Edisi 7 Tahun I [Minggu, 30 Desember 2012]

Frasa


Berto Tukan PUISI Ketika Pagi, Kala Menyerah tigapuisihadir di pagigigil “sehelaicelana yang hilangsemalam ciumancinta di detikdetikmaut jugaanne yang lapar; berlaridengankudanya” —makakitaberandai kata waktu yang malumengungkaprindu—

HAL

25

Bisikkupadakekasih yangtengahmerintih. hiduptetapsajahidup bumitetapsajabumi keindahanbukandarahkehidupan kejelekanbukannadikehidupan danmakapuisi adalahnafaskehidupan

PukulSepuluh Lima Belas lalutigalaguberbisik di sisirlangit “samasepertikematian di danauKuda yang Terke- Ada orang aryapesakitan. Jauhsebelumiabercintadengankuda kang; takmampumenerimakenyataan Lucy in The Sky mengecup Kierkegaard atau Ketikamenulissebuahkisah Wake Up di sarapanCommandante Marcos, Makakisahnyamenjelmaistanaindah lantasperseteruantari di secangkir kopi” Sunyidansepi Di cerukotakterdalamnya —makakitamenghukum nada membunuhamadeus yang terlampau Akupernahjaditetangganya jenius— Itudulu Ketikasaputangankupakaimembungkuskelereng kinitinggaltiga film di epilog ngantuk yang banal melombakanbutir air di kaca Sungguhtakadarumah di kepala ”mimpiangka 23, Dada membuncahElfrida, danjanganlupakanketakberdandanan Monica Bel- Tanpabatu, pasir, semen, Kauharusbeliitu luci Di toko material terdekat Irrevesible” Yang takberalamat di kepalamu —maka… maka…. maka….. PukulSepuluhTigaPuluh makaragukankukukukudandan Katakatakatanyatakpasti danlubanghitam di ujungpucukdaun Katakatakatanyaselalulabil sadarkenangtakperludibunuh pun pula Katakatakatanyamembawajejakpurba diungkap— Katakatakatanyatakpernahcantikbercermin tamuhariiniadalahkemalangan yang terlampaudini Katakatakatanya mengetukpintudengan nada kresendo Lantaskitalihatiapergi, hilang, danmenjadikatakata ditingkaptanpacahaya, jamudiasebatangrokok dansetengahgelas kopi pahit Takadakepurbaandalamnamanya sambilmenantiradiasi Karenainitahunduaribuan. sinyaltelekomunikasi sambilmenanti denting PukulSepuluhEmpatlima waktu yang hantu Seseorang terperuk dalam nada sambilmenanti kata ketika lewat di depan penjajak dvd bajakan. kata mengambilcutiabadi

Sajaksajak Siang Bolong PukulSepuluh Seorangpenyairpernahlelahmenulispuisi karena taklagiadakeindahan dibumi. Diatakcintapuisi. Diatakcintabumi.

Frasa

Berto Tukan adalah mahasiswa STF Driyarkara, Jakarta. Selain puisi, menulis cerpen dan essei. Salah satu cerpennya tergabung dalam antologi Bob Marley dan 11 Cerpen Pilihan Sriti.com 0809 (Gramedia, 2009). Sedangkan puisinya tergabung dalam Antologi Puisi Festival Bulan Purnama Majapahit Trowulan 2010. Kini, aktif mengelolah jurnal Problem Filsafat yang mencakup perbincangan filsafat, budaya, dan seni, selain bergiat di Remotivi.

Edisi 7 Tahun I [Minggu, 30 Desember 2012]


HAL

26

SASTRADUKASI

Penghalusan Bahasa Oleh: Usman Hasan

B

ahasa itu penting. Memilih kata-kata yang pas, sopan, halus dan enak didengar menjadi sangat penting ketika harus berurusan dengan orang lain dalam soal apapun. Ketika tidak ada penguasaan yang komplit dalam soal bahasa, maka yang dialami pasti kegagalan. Apalagi orang yang menekuni profesi sebagai diplomat, penggunaan bahasa yang tepat sangat penting dan menentukan keberhasilan dalam mengemban tugasn negara. Dalam bahasa Indonesia ada yang disebut eufumismus. Maksudnya, penghalusan bahasa. Misalnya kalimat “orang itu gila�. Dihaluskan dalam kalimat “orang itu lemah pikiran�. Sebenarnya sama saja, apa yang disebut gila dan lemah pikiran, hanya lemah pikiran lebih halus dan enak didengar. Ketika zaman Orba, sering dipakai kata diamankan. Misalnya, ada yang ditangkap pemerintah, ketika dikonfiramsi pers, maka dikatakan pula bahwa orang itu diamankan, tidak dikatakan ditangkap.

Edisi 7 Tahun I [Minggu, 30 Desember 2012]

Frasa


SASTRADUKASI Padahal sudah babak belur dipukuli didalam sel, masih dikatakan diamankan. Demikian ketika terjadi kelaparan ratusan orang di Papua, pemerintah mengatakan bahwa yang terjadi di Papua bukan kelaparan, tapi gizi buruk. Gizi buruk itu bisa terjadi, salah satunya disebabkan sering menahan lapar, sedangkan menahan lapar hampir tidak ada bedanya dengan kelaparan. Sami mawon, kata orang Jawa. Eufimismus penting dalam komunikasi. Pemerintah Soekarno sangat berhasil dalam soal yang satu ini. Ketika menghadapi pemberontakan PRRI/ Permesta, maka dihimbaulah kepada mereka yang mengangkat senjata melawan saudara sebangsa dan setanah air, Dengan bahasa halus “kembalilah ke pangkuan ibu pertiwi”. Diplomasi bahasa yang dilakukan oleh Soekarno berhasil. Pihak Permesta kemudian mau keluar dari hutan meletakan senjata. Misalnya, dihimbau kepada Permesta supaya menyerah, hampir dapat dipastikan tidak akan dipedulikan, malahan kemungkinan akan bertambah melawan. Terlalu kasar dan tidak elok di pendengaran. Dengan memakai bahasa “kembalilah kepangkuan ibu pertiwi” terasa pas dan pas di telinga. Walaupun tidak ada bedanya yang dimaksud menyerah dengan kembali ke pangkuan ibu pertiwi. Iklan dagang menjadi salah satu contoh dimana kata-kata yang dususun begitu rupa kemudian diiklankan di koran atau televisi menjadi sangat penting. Pada saat perusahaan dagang memilih kata-kata yang pas dan komunikatif dengan publik, maka berapapun biaya iklan yang dikeluarkan pasti akan kembali berlipat ganda dengan laris terjualnya produk dagang. Tapi, ketika salah memilih kata-kata yang tepat, bukan keuntungan yang diraih, justru caci maki dan protes dari banyak pihak yang diterima. Contohnya, ketika iklan bir ditayangkan di televisi kemudian mendapat protes keras publik utamanya tokoh-tokoh agama. Pasalnya, perusahan Bir memasang iklan “jadilah orang modern dengan minum bir”. Komunikasi yang tidak menguntungkan, justru banyak menimbulkan masalah. Maksudnya hendak menarik konsumen, tapi melakukan komunikkasi tanpa mengkaji dari sisi budaya, agama dan pandangan hidup masyarakat.***(www.jendelasastra.com)

Frasa

HAL

27

Dalam bahasa Indonesia ada yang disebut eufumismus. Maksudnya, penghalusan bahasa. Misalnya kalimat “orang itu gila”. Dihaluskan dalam kalimat “orang itu lemah pikiran”. Sebenarnya sama saja, apa yang disebut gila dan lemah pikiran, hanya lemah pikiran lebih halus dan enak didengar.

Edisi 7 Tahun I [Minggu, 30 Desember 2012]


HAL

28

LENTERA BUDAYA

Kuntakha Khaja Niti

Kitab Rujukan Utama Falsafah Hidup Orang Lampung

K

untakha Khaja Niti merupakan Rujukan Utama falsafah hidup ulun / orang lampung yang secara garis besar membahas 5 (lima) pokok hidup antara lain : Pi'il PesenggikhiMalu melakukan pekerjaan hina menurut agama serta memiliki harga diri . Segala sesuatu yangmenyangkut harga diri, prilaku dan sikap hidup yang dapat menjaga dan menegakkan nama baik danmartabat secara pribadi maupun kelompok yang senantiasa dipertahan Sakai SambaianGotong Royong, Tolong-meno-

Edisi 7 Tahun I [Minggu, 30 Desember 2012]

long, bahu membahu, dan saling memberi sesuatu yang diperlukanbagi pihak lain. Nemui NyimahSaling mengunjungi untuk bersilaturahmi serta ramah menerima tamu. Bermurah hati dan ramahtamah terhadap semua pihak baik terhadap orang dalam kelompoknya maupun terhadap siapa sajayang berhubungan dengan dengan masyarakat lampung Nengah NyampukhTata pergaulan masyarakat Lampung dengan kesediaan membuka diri dalam pergaulan masyarakatumum dan pengetahuan luas.

Frasa


LENTERA BUDAYA Bejuluk AdokTata ketentuan pokok yang selalu diikuti dan diwariskan turun temurun dari zaman dahulu.Mempunyai kepribadian sesuai dengan gelar adat yang disandangnya Kitab itu terdiri dari dua bagian, bagian pertama ditulis dengan aksara Lampung gaya abad 17 (huruf-hurufnya lebih tidur dari aksara Lampung yang digunakan sekarang). Satu bagian lagi ditulis dengan huruf Arab gundul. Sedang bahasa yang digunakan pada seluruh teks adalah bahasa Jawa pertengahan dengan logat Banten. Masing-masing bagian memuat keseluruhan isi dari kitab Kuntara Raja Niti. Jadi, bagian yang satu dialihaksarakan pada bagian yang lain. Isi manuskrip tersebut sebenarnya bukan hanya masalah tata cara adat secara seremonial, seperti upacara pernikahan, kematian dll. tapi kitab tersebut memuat peraturan-peraturan kemasyarakatan atau yang lebih tepat disebut perundang-undangan. Sebagaimana disebutkan dalam manuskrip tersebut, bahwa kitab Kuntara Raja Niti dan Jugul Muda adalah kitab undang-undang yang berlaku di tiga wilayah, yaitu Majapahit, Padjadjaran, dan Lampung. Sebagai kitab undang-undang atau dasar hukum kemasyarakatan, kitab tersebut ditulis dengan sistematis. Setiap pembahasan diatur dalam bab-bab. Bab I (pada kitab terjemahan terdapat pada halaman 25), membahas tentang kiyas. Kiyas adalah hal yang mesti pada hukum, yang menyangkut tiga persoalan yaitu 1. Kuntara, 2. Raja Niti, 3. Jugul Muda. Selanjutnya pada kitab tersebut diterangkan, di antara raja-raja yang mempunyai tiga kebijakan itu adalah Prabu Sasmata dari Majapahit, Raja Pakuan Sandikara dari Pajajaran dan Raja Angklangkara dari Lampung. Bab II memuat sejarah.Bab III menyebutkan pen-

Frasa

HAL

29

jelasan tiga pokok hukum di antara prinsip-prinsip hukum yang ada dalam Kuntara Raja Niti, yaitu igama, dirgama dan karinah. Igama adalah yang dihukumkan, berarti sesuatu yang nyata dan kasatmata, bisa diakui keberadaan dan kebenarannya oleh semua orang. Dirgama itu hati nurani yaitu hukum-hukum yang ada pada kitab Kuntara Raja Niti sesuai dengan hati nurani. Karinah berkaitan dengan perbuatan yang dilakukan. Dengan ketentuan tiga pokok hukum ini, diterangkan bahwa hukum-hukum yang ada bisa diogolongkan; hukum yang bersifat nyata itu kuntara, hukum yang sesuai dengan hati nurani disebut raja niti, sedangkan hukum yang yang berhubungan dengan sebab akibat suatu perbuatan disebut jugul muda. Bab IV, V, dan VI membahas seputar kaidah hukum yang ada pada Bab III. Produk hukum atau bab yang berisi tentang aturan-aturan secara detail termuat dari Bab VIII sampai Bab XVII. Pada Bab VIII, diterangkan tentang hukum-hukum suami-istri. Bab IX membahas tentang peraturan jual beli. Pada Bab X menerangkan tentang tanah. Bab XI membahas tentang utang. Bab XII tentang gadai dan upah. Bab XIII berisi tata cara bertamu dan menginap. Bab XIV berisi tentang larangan mengungkit-ungkit persoalan. Bab XV membicarakan tentang perjanjian. Bab XVI tentang talak, sedangkan Bab XVII membahas tentang utang piutang. Kitab tersebut secara perinci mengatur tata cara kemasyarakatan yang termuat dalam pasal-pasal. Dalam pasal-pasal juga diatur tata cara berperahu dan menggunakan air, bahkan sampai tentang cara seorang laki-laki bertamu ke rumah perempuan ketika suaminya tidak ada di rumah. Tiap-tiap pasal tidak hanya memuat peraturan, juga hukuman yang melanggar peraturan tersebut.(www. budaya-indonesia.org)

Edisi 7 Tahun I [Minggu, 30 Desember 2012]


HAL

30

TEENLIT CERPEN

Oleh: Elsa Malinda Aku membuka mata. Menatap cahaya mentari pagi yang cerah hingga menembus tirai jendela. Cahaya mentari membuatku bersyukur masih bisa hidup hari ini. Warna merah yang menyelimuti dinding kamar selalu dapat menyemangatiku. Dan seketika aku tersadar, aku harus siap menghadapi tantangan yang telah menanti di setiap langkah, meskipun aku tahu tak akan ada tantangan yang dapat membuatku pusing tujuh keliling selama ini. Merah. Warna berani. Warna kesukaanku sejak aku mengenalnya. Warna yang bisa membuatku bergairah untuk menjalani hidupku yang sangat nyaman ini. Aku cewek beruntung yang selama ini tak pernah mengalami suatu permasalahan yang sangat pelik. Aku memiliki apa yang diharapkan oleh semua perempuan. Cerdas, cantik, ramah serta memiliki orang tua yang kaya. Meskipun aku tak pernah mau menghabiskan uang orang tuaku untuk berfoya-foya. Sangat tak penting menurutku. Hal itulah yang membuatku selalu bersyukur. Tak pernah aku berjumpa dengan lelaki seperti dia sebelumnya. Ali, cowok biasa tapi sangat menarik perhatianku. Entah kenapa aku ingin selalu

dekat dengan dirinya, meskipun hanya sebagai teman. Kami teman sekelas di SMA Bakti. Ali anak yang keras kepala dan berbakat dalam olahraga, khususnya futsal. Aku sering menonton Ali ketika ia bertanding. Entahlah perasaanku ini dibilang apa. Tapi aku bahagia ketika ia menyatakan cinta di hari ulang tahunku, tiga hari lalu. Bagiku dia merupakan hadiah terindah. “Wah, yang baru jadian nih! Jangan lupa, ya, makan-makannya ditunggu lho, Ocha. Hehehe,” ujar Vita usil. Aku hanya tersenyum, malu. “Apaan sih? Yang ada itu, kamu doakan aku sama Ali supaya langgeng.” Aku berharap selamanya kami akan terus bersama.

Merah

Edisi 7 Tahun I [Minggu, 30 Desember 2012]

Bagaimanapun aku merasa, jika suatu saat nanti datang masalah besar diantara kami, kami akan menyelesaikannya dengan dewasa dan memiliki akhir yang bahagia. Aaah, aku terlalu berharap.

*** “Cha, kamu mau kita hari ini jalan kemana?” tanya Ali seraya menyodorkan segelas jus mangga kesukaanku. Saat ini kami sedang menikmati soto ayam di salah satu kantin sekolah. Udara Balikpapan yang panas membuatku gerah. Meski flu mendera, aku tetap ingin meminum minuman yang dingin.

Frasa


TEENLIT CERPEN “Ehmmm, karokean aja, yok!” Aku sangat suka menyanyi. “Oke, deh. Tapi kamu flu seperti itu, aku khawatir kamu tambah sakit. Sebaiknya hari ini kamu istirahat. Aku pasti akan ke rumahmu nanti sore, jad karokeannya nanti saja, tunggu kamu sembuh.” Ali menampakkan wajah cemas. Aku mengangguk. Tiba-tiba Ali menukar jus mangga dengan sebotol air mineral biasa miliknya. Rupanya dia tak suka jika aku meminum minuman dingin saat kondisi tubuhku tak mendukung seperti ini. Ali cowok perhatian. Itulah yang membuatnya istimewa. Cinta memang aneh. Aku mulai merasa lebih baik setelah Ali datang ke rumah tadi sore. Yaah, setidaknya sakit kepalaku mereda. Aku merasa beruntung karena Ali memilihku untuk menjadi pacarnya. Meskipun ada tembok besar yang menghalangi kami. Hari Minggu pagi. Aku dan Ali jogging bersama di Lapangan Merdeka. Tempat olahraga paling asyik dan dilengkapi dengan berbagai macam kuliner Indonesia. Usai jogging, kami berhenti di salah satu tenda yang menjual lontong sayur kesukaan kami berdua. *** Lima belas menit lalu aku dihubungi seseorang. Seseorang yang menjadi bagian terpenting dalam hidup Ali. Seseorang yang akan Ali cintai selamalamanya. Seseorang yang melahirkan Ali delapan belas tahun lalu. Seseorang yang Ali panggil “Ibu”. Ya, beliau menghubungiku dan menyuruhku untuk menjauhi putra sulungnya yang sangat berharga baginya. Ali yang telah ia banggakan, ternyata telah membuat keputusan yang membuat perih hati. Hubungan kami ditentang pihak keluarga Ali. Keluarga Ali tidak menyetujui hubungan antara aku dan dia yang disebabkan oleh perbedaan dasar hidup. Perbedaan kepercayaan. Meskipun masih berstatus pacaran, tetap saja ditentang habis-habisan. Ditambah lagi dengan keadaan keluarganya yang sangat taat beragama sehingga tak bisa menerima kehadiranku di hidup Ali. “Maafin aku, Cha. Aku yang ceroboh. Saat itu Ibu melihat foto kamu yang kusimpan di lemari. Aku pikir Ibu tak akan pernah menemukannya. Dan sejak itu aku harus menceritakan semua tentang kamu, termasuk status dan perbedaan di antara kita. Aku terlalu mencintaimu. Aku nggak sanggup putus denganmu. Aku janji, bakal keluar dari agama aku dan masalah perbedaan itu tidak akan mengganggu kita lagi. Aku janji, Cha.” Ali memberikan penjelasan mengapa ibunya sampai menghubungiku. Tangan Ali dengan lembut mengusap rambutku. Aku juga mencintai Ali. Setelah

Frasa

HAL

31

setahun kujalani ini semua, aku terlalu berharap untuk hal yang tak mungkin terjadi. “Aku yang harus minta maaf. Aku memang bukan cewek yang tepat untukmu, Ali. Aku yakin kamu bakal menemukan cewek yang sangat mencintaimu suatu hari nanti. Jangan paksakan hubungan ini, aku nggak mau buat ibumu kecewa. Aku rela melepasmu karena itu sebagai bukti aku memang sayang sama kamu. Selamat tinggal, Ali.” Aku segera berlari menuju angkutan kota yang dipenuhi penumpang. Untung saja hari ini hari terakhir ujian nasional. Aku butuh waktu untuk melupakan semua kenangan kami. Tak kuasa aku menahan air mata yang menetes satu per satu. Tanpa dia, aku rapuh. Tangisku tak bisa berhenti. Dipikiranku hanya ada Ali dan semua yang pernah kulewati bersamanya. Aku tak menyangka jika masalah percintaan bisa menjadi sepelik ini. Itulah cinta, bisa sangat menyakitkan apabila kita tidak bisa bersama dengan orang yang kita cintai. Aku menyadari ini semua adalah kesalahanku. Jika aku tahu akhir dari cerita cinta ini, aku tidak akan pernah mau masuk kedalam hidupnya. Membuatnya mencintaiku merupakan kesalahan terbesar. Aku berusaha untuk menghilang dari kehidupannya. Aku memutuskan semua kontak dengan Ali dalam bentuk apapun, termasuk memutuskan untuk melanjutkan kuliah di Jepang. Itu semua kulakukan agar Ali tak mengingatku lagi dan bisa survive. *** Dulu aku gadis yang sangat bersemangat. Kini, sejak Ali bukan milikku lagi, aku menjadi pemurung dan sering mengurung diri di kamar. Semua sahabat dan keluarga selalu memberi semangat. Tetap saja tak ada yang berhasil membuatku tersenyum bahagia. Tiba-tiba aku memerhatikan warna merah dinding kamarku. Merah, warna darah. Aku terluka dan sakit. Sakit karena cinta. Tapi merah juga berarti berani. Berani melewati tantangan dalam hidup dan berani bangkit dari keterpurukan. Aku terpuruk, tapi bukan berarti untuk selamanya. Aku terluka, tapi bukan berarti tidak bisa bangkit. Aku harus bangkit. Ya, sudah waktunya bagiku untuk berpikir dewasa dalam menyikapi ini semua. Merah, warnaku. Yang selalu bisa membuatku bersemangat kembali dalam keadaan apapun. Balikpapan, Mei 2011 Elsa Malinda, lahir di Balikpapan, 18 Maret 1994. Karya-karyanya pernah dimuat di Kaltim Pos dan Majalah Imut

Edisi 7 Tahun I [Minggu, 30 Desember 2012]


HAL

32

TEENLIT PUISI

Menggorek Batin

Beranjak Pergi Pagi-pagi kau berlari Mengelilingi lapangan bola kaki Hujan terik kau tak peduli Kau terus mencari Mencari...teman nasi Kini tunas pucuk ubi Kan terus meninggi Yang ditinggal si cerdik Yang suka memetik Asqalani = Pucuk Ubi... Bobby Indra Pulungan. Mahasisa Ilmu Pemerintahan (UIR). Menyukai puisi sejak MAN. Baginya puisi untuk dimengerti.

Edisi 7 Tahun I [Minggu, 30 Desember 2012]

embun bertasbih membasahi dedaunan pohon puisi pohon sunyi menanam benih ditanah naluri tuhan... Jika hanya sepucuk asa dalam tasbihku daun - daun kering yang teronggok bila naluri berkata tasbih dalam renungku merajut asa menggorek batin bagai halilintar menyambar aku terdiam puisi sunyi bersama pohon-pohon dari benih yang tertanam hanya jiwa yang damai selalu ku jaga pekanbaru, 12 november 2012 Ria Dwi Sutriani, Mahasiswi semester 3 Pend. B. Inggris Univeritas Islam Riau. Belelajar bersastra di Community Pena Terbang (COMPETER). Pernah meraih Juara 2 Lomba Cipta Puisi atas puisinya berjudul “ Bersama buku-buku aku menangis� pada Milad ke-19 AKLaMASI UIR. Juara Harapan I Lomba Guru Sayap Favorite (GSF) di COMPETER Dunia Nyata.

Frasa


TEENLIT PUISI

HAL

33

Thariqat Ilalang Embun bertasbih Membasahi daundahan pohon puisi Pohon diri Sunyi menanam benih di tanah naluri Tuhan Aku Maujud ilalang Pada tiap sembahyang labuh MenyembahMu Menganut syari’at angin Merangkum bacaan yang bingung Bersilompat mengkhatam raka’at Dari baqa ke fana Fana ke baqa Baqa ke fana Fana ke fana Fana ke salam Tuhan Aku Maujud ilalang Hingga menjejak 26 tahun lebih Nuju kematian Sembahyangku Menganut syari’at angin Sungkurku limbung Sekedar condong kosong Setahap di bawah ruku’ Atau sebatas menjungkal Serendah takabbur Tak-tak lantas-tuntas Menyentuh hampar tanah kehambaan Mencumbu hakikat sujud Merajah AhadMu Di alir darah puisi. Tuhan Begini ini sembahyangku Pun hanya untukMu. Pondokkidul, 12112012 Choyron Baba Muda. Selain suka PUSING; Puisi Singkat, ia juga menyukai komunikasi mengendapendam dan diam-diam. Tinggal di Cilacap.

Frasa

Rindu di Tanah Usai Angin menggugurkan daun-daun rindu di tanah cinta usai mencekik leher hati dengan tarian bayang Tangan-tangan kenangan menari lemah gemulai Rasa meretak ngilu terberai kaku Air kalbu menggrogoti sango no kokoro* Karang mengerang… Rapuh Menjulang… Pekanbaru, 30 juli 2012 catatan: * diambil dari bahasa Jepang berarti karang hati Laura Rafti, kelahiran Kuala Gading 9 April 1991. Belajar tulis di Community Pena Terbang (COMPETER). Juara 3 lomba cipta puisi di Community Pena Terbang, Juara 3 lomba cipta puisi bersempena dengan “Milad UIR 50 thn”. Puisinya terbit di laman Metro Riau, Koran Cyber dan Al-bratva Blog. Puisinya termaktub juga dalam Antologi “ Seikat Darah Ukhwan dalam Mae Kematianku”

Edisi 7 Tahun I [Minggu, 30 Desember 2012]


HAL

34

FIKSIMINI Makmur HM

KOLUPTOL “Mama, kalo adek udah becal mau jadi koluptol kapan suami anda,” kata salah seorang dari mereka. ya?” kata adik temanku. Usianya masih mengeja Semua mendadak diam. abjad dan angkaangka. Belum mengerti pecahan Dan… seribu dan seratus ribu. Tapi kreatif, menurutku. Ia “Holeeeee… Papa jadi beli penjala!!!” bisa mengenal katakata yang sering ditayangkan di beritaberita televisi dengan cepat. *** “Ma, kalo adek udah jadi koluptol, telus duit adek banyak, adek mau beli penjala ya?” sambungnya. Si Mama tersenyum. Temanku cuek. Aku terbahakbaMakmur HM hak. Tibatiba sekelompok lelaki datang. Beberapa Penulis yang sebentar lagi mati, tapi masih saja mencoorang berseragam polisi. Beberapa orang lagi ber- ba merangkai mimpimimpi yang belum terpenuhi, menata seragam KPK. “Selamat sore, buk, ini surat penangcitacita dengan setetes tinta dan cinta pada dunia sastra.

Edisi 7 Tahun I [Minggu, 30 Desember 2012]

Frasa


PUISIMINI

HAL

35

Judi Mainkan Putar Sekeliling berputarputar Tutup Senyum congkak berhamburan. Pekanbaru, 18 Nov 2012

Hooooafh Dinding kamarku retak Bekas gempa malam tadi Dalam mimpiku

Lilis Susanti, kelahiran Pasir Pengarayan 09/Okt/’92. “menulis itu bagai menelusur hutan rimba. Semuanya menakjubkan!”

Riyadah Nyala Lilin

Baraku redup

: Bebek eNeSTe

Datang angin mengipas bara Api menyala membakar nila Dimakan drakula Berkepala dua Ah aku jadi gila Ha ha ha ha

Aku mau malam ini Tak ada bulan Apalagi cahaya Lampulampu

Jumardi, Bergiat di Alenia I FLP Pekanbaru. Banyak jenis tulisan telah dicobanya dan berhasil menggait beberapa media.

Mawaidi D. Mas, Menulis Cerpen dan Puisi. Sesekali bertinta dgn Esai & Resensi. Mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta (UNY).

Frasa

2012

Edisi 7 Tahun I [Minggu, 30 Desember 2012]


HAL

36

INSPIRING

Taufiq Ismail

Bercita-cita Jadi Sastrawan Sejak Belia Edisi 7 Tahun I [Minggu, 30 Desember 2012]

Frasa


INSPIRING

HAL

37

T

aufiq Ismail adalah seorang sastrawan senior Indonesia yang dibesarkan di Pekalongan dalam keluarga guru dan wartawan. Karena pengaruh lingkungan, profesi sebagai guru dan wartawan itu pun juga pernah dilakoninya. Taufiq dilahirkan di Bukittinggi dan menghabiskan masa SD di Yogyakarta, kemudian masa SMP kembali ke Bukittingi. Setelah itu ia melanjutkan SMA di Bogor, dan dengan pilihan sendiri Taufiq memilih jurusan kedokteran hewan di bangku kuliah karena ia ingin memiliki bisnis peternakan untuk menafkahi cita-cita kesusastraannya. Meskipun berhasil menamatkan kuliahnya, akan tetapi Taufiq gagal untuk memiliki sebuah usaha ternak yang pernah ia rencanakan. Pendidikan singkat lain yang Taufiq tempuh adalah American Field Service International School, International Writing Program di University of Iowa, dan di Faculty of Languange and Literature, Mesir. Sejak kecil, Taufiq sudah suka membaca dan bercitacita jadi sastrawan ketika masih SMA. Sajak pertamanya bahkan berhasil dimuat di majalah Mimbar Indonesia dan Kisah. Sampai saat ini, Taufiq telah menghasilkan puluhan sajak dan puisi, serta beberapa karya terjemahan. Karya-karya Taufiq pun telah diterjemahkan ke berbagai bahasa, misalnya Arab, Inggris, Jepang, Jerman, dan Perancis. Sebagai penyair, Taufiq telah membacakan puisinya di berbagai tempat, baik di luar negeri maupun di dalam negeri. Dalam setiap peristiwa yang bersejarah di Indonesia Taufiq selalu tampil dengan membacakan puisi-puisinya, seperti jatuhnya Rezim Soeharto, peristiwa Trisakti, dan peristiwa Pengeboman Bali. Ia bahkan sempat menulis puisi ketika kasus video Ariel Peterpan, Luna Maya, dan Cut Tari beredar. Dibidang musik, Taufik juga mahir menciptakan lagu. Ia bersama Bimbo, Chrisye, Ian Antono, dan Ucok Harahap menjalin kerjasama di bidang musik tahun 1974. Karena menandatangani Manifes Kebudayaan, yang dinyatakan terlarang oleh Presiden Soekarno, ia sempat batal dikirim untuk studi lanjutan ke Universitas Kentucky dan Florida. Hal itu menyebabkan Taufiq dipecat sebagai pegawai negeri pada tahun 1964.

Frasa

Taufiq dilahirkan di Bukittinggi dan menghabiskan masa SD di Yogyakarta, kemudian masa SMP kembali ke Bukittingi. Setelah itu ia melanjutkan SMA di Bogor, dan dengan pilihan sendiri Taufiq memilih jurusan kedokteran hewan di bangku kuliah karena ia ingin memiliki bisnis peternakan untuk menafkahi cita-cita kesusastraannya.

Edisi 7 Tahun I [Minggu, 30 Desember 2012]


HAL

38

INSPIRING

Namun bagaimanapun, kenyataan tersebut tidak membuatnya putus asa dan berhenti berkarya.

PENDIDIKAN

Sekolah Rakyat (Yogyakarta) SMP (Bukittinggi) SMA (Bogor) Fakultas Kedokteran Hewan IPB (tamat 1963) American Field Service International School guna mengikuti Whitefish Bay High School di Milwaukee, Wisconsin, AS (1956-1957) International Writing Program, University of Iowa, Iowa City, Amerika Serikat

Edisi 7 Tahun I [Minggu, 30 Desember 2012]

(1971–1972 dan 1991–1992) Faculty of Languange and Literature, American University in Cairo, Mesir (1993)

KARIR

Ketua Senat Mahasiswa FKHP UI (1960– 1961) Wakil Ketua Dewan Mahasiswa (1960– 1962) Asisten dosen Manajemen Peternakan Fakultas Peternakan, Universitas Indonesia Bogor dan IPB (1961-1964) Guru Ilmu Pengantar Peternakan di Pesantren Darul Fallah, Ciampea (1962) Guru bahasa di SMA Regina Pacis, Bogor (1963-1965) Kolumnis Harian KAMI pada tahun 1966-1970 Bersama Mochtar Lubis, P.K. Oyong, Zaini, dan Arief Budiman mendirikan Yayasan Indonesia mendirikan majalah sastra Horison (1966) Pendiri Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) Pendiri Taman Ismail Marzuki (TIM) Pendiri Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (LPKJ) (1968) Sekretaris Pelaksana DKJ Pj. Direktur TIM Rektor LPKJ (1968–1978) Ketua Lembaga Kesenian Alam Minangkabau (1984-1986) Sekretaris PII Cabang Pekalongan Pengurus perpustakaan PII, Pekalongan (1954-1956) Pendiri Badan Pembina Yayasan Bina Antarbudaya (1985) Tahun 1974–1976 terpilih sebagai anggota Dewan Penyantun Board of Trustees AFS International, New York Manajer Hubungan Luar PT Unilever Indonesia (1978-1990) Anggota Badan Pertimbangan Bahasa,

Frasa


INSPIRING

HAL

39

Pusat Bahasa dan konsultan Balai Pustaka Aktif sebagai redaktur senior majalah Horison

PENGHARGAAN

Karya: Tirani, Birpen KAMI Pusat (1966) Benteng, Litera (1966) Buku Tamu Musium Perjuangan, Dewan Kesenian Jakarta (buklet baca puisi) (1972) Sajak Ladang Jagung, Pustaka Jaya (1974) Kenalkan, Saya Hewan (sajak anakanak), Aries Lima (1976) Puisi-puisi Langit, Yayasan Ananda (buklet baca puisi) (1990) Tirani dan Benteng, Yayasan Ananda (cetak ulang gabungan) (1993) Prahara Budaya (bersama D.S. Moeljanto), Mizan (1995) Ketika Kata Ketika Warna, Yayasan Ananda (1995) Seulawah-Antologi Sastra Aceh, Yayasan Nusantara bekerjasama dengan Pemerintah D.I Aceh (1995) Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia, Yayasan Ananda (1998) Dari Fansuri ke Handayani, HorisonKakilangit-Ford Foundation (2001) Horison Sastra Indonesia, HorisonKakilangit-Ford Foundation (2002) Karya Terjemahan: Banjour Tristesse (terjemahan novel karya Francoise Sagan, 1960) Cerita tentang Atom (terjemahan karya Mau Freeman, 1962) Membangun Kembali Pikiran Agama dalam Islam ( d a r i

Frasa

buku The Reconstruction of Religious Thought in Islam, M. Iqbal (bersama Ali Audah dan Goenawan Mohamad), Tintamas (1964) Anugerah Seni dari Pemerintah RI (1970) Cultural Visit Award dari Pemerintah Australia (1977) South East Asia (SEA) Write Award dari Kerajaan Thailand (1994) Penulisan Karya Sastra dari Pusat Bahasa (1994) Sastrawan Nusantara dari Negeri Johor, Malaysia (1999) Doctor Honoris Causa dari Universitas Negeri Yogyakarta (2003) ( w w w. p r o f i l . merdeka.com)

Edisi 7 Tahun I [Minggu, 30 Desember 2012]


HAL

40

X-COVER

BACA DAN DOWNLOAD MAJALAH FRASA DI http://www.majalahfrasa.blogspot.com/ KIRIM KARYA ANDA KE majalahfrasa@yahoo.com

Edisi 7 Tahun I [Minggu, 30 Desember 2012]

Frasa


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.