Majalah Frasa

Page 1

E D I S I I TA H U N P E R TA M A | M A J A L A H D I G I TA L | J U M AT, 2 5 M E I 2 0 1 2

FRASA Cerpen: Ben Putra Sungai di Belakang Rumah Kami

SASTRA REMAJA MASA KINI Puisimini Makmur HM Puisi Zulkarnain dan Apriyadhi Teenlit: Putri Rayahu Fiksimini: Selasanya Eca


4 Bratvas, Sastra dan Majalah Frasa Halaman

2

SALAM

4 BRATVAS merupakan sebuah keluarga yang terbentuk secara ajaib di dunia maya beberapa bulan lalu bermula dari terbitnya sebuah karya (puisi) di media yang sama. Kemudian seiring berjalannya waktu, akhirnya dengan ide-ide gila yang hanya bermodalkan ke-pede-an, pada awal Mei 2012, 4 Bratvas mendirikan Majalah Frasa dengan bantuan beberapa sahabat seperchatting-an. Pada edisi perdana ini, mungkin masih

DAFTAR ISI Halaman 6

Sastra Dunia; Puisi tak Sekedar Kata-kata

Halaman 8

Sastra Indonesia; Format Baru Sejarah Sastra Indonesia

Halaman 10

Sastra Religi; Sastra Islam Melayu Indonesia

Halaman 12

Cerpen: Ben Putra Sungai dibelakang Rumah Kami

Halaman 15

Edusastra Puisi yang Baik Adalah Puisi yang Jujur

Halaman 16

Puisi Zulkarnain dan Apriyadhi

Halaman 18

Fiksimini: Putri Rahayu Selasanya Eca Puisimini: Makmur HM

Halaman 19

Inspiring Maulana Jalaluddin Rumi Muhammad

sangat banyak kekurangan baik dalam segi rubrik maupun isi, karena semua pengelola Majalah Frasa adalah para newbi di bidang media. Dengan mengangkat tema yang ringan, yaitu Sastra di Tangan Remaja, dengan terseok-seok Majalah Frasa memulai petualangan di dunia media. Oleh karena itu, Majalah Frasa sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi kemajuan Majalah Frasa dan Dunia Sastra.***

Social Media, Neraka atau Nyawa Baru Sastra SASTRA adalah salah satu buda- apa social media seperti Twitter.com, ya bangsa yang pernah meraih pun- Facebook.com, Multiply.com, Blogspot. cak kejayaan pada masa lama, yak- com, WordPress.com menjadi media ni pada abad 20 (1901-2000) dimulai yang diminati beberapa tahun teradari zaman balai pustaka (1920-1933) khir. Penulis sastra, baik yang terkenal hingga akhir dasawarsa 1990. Saat itu maupun tidak, banyak menggunakan banyak bermunculan sastrawan-sas- media-media tersebut sehingga bebertrawan berbakat seperti dalam dunia apa pihak mulai mengadakan lompuisi Chairil Anwar, Taufik Ismail, Asrul ba pada situs mereka dengan tujuan Sani dan lain-lain. Karya-karya mereka- mening­katkan dan mengembalikan pun tidak hanya diam kejayaan sastra. Oleh: Makmur HM dalam lembaran coreSebenarnya, Sastra Intertan saja. Tapi dapat dari berbagai sumber net pernah diusung pada terealisasikan dengan akhir 90-an oleh cybersasbaik. Sehingga peniktra.net (Yayasan Multimemat-penikmat sastra dia Sastra) dan merupakan dapat menikmatinya. tonggak sejarah yang turut Namun sayang, perkembangan mewarnai perkembangan sastra di sastra mulai dikatakan lambat. Teru- Indonesia. Banyak penulis sastra Indotama pada tahun 2000-an, sastrawan- nesia saat ini merupakan penggiat sassastrawan baru indonesia mulai tak tra di internet, khususnya penulis-penterdeteksi, mungkin hanya Abdur- ulis yang pernah berinteraksi dengan rahman Faiz yang mampu menunjuk- cybersastra.net dan beberapa mailing kan diri dengan karyanya ‘untuk bun- list komuntas maya lainnya. da dan dunia’. Hal itu terjadi akibat Namun, perkembangan didunia menurunnya penikmat sastra indo- maya ini memiliki beberapa kelemanesia pada dunia nyata. han diantaranya, banyaknya kasus Di zaman teknologi yang mulai plagiat, berkurangnya originalitas canggih ini, perkembangan sastra karya, tidak terkoordinirnya sebuah mulai membaik. Dapat kita lihat, kini karya sehingga memungkinkan termulai banyak bermunculan situs-situs bit dalam dua buku antologi yang sastra seperti duniasastra.com, sastra- berbeda dan lain sebagainya. Lalu indonesia.com, mediasastra.com, jen- apakah pantas Social Media disebut delasastra.com dan lain-lain. Selain itu sebagai nyawa baru sastra?, atau jusfasilitas gratis yang disediakan beber- tru malah neraka?***

ARTIKEL

Edisi I Tahun I [Jumat, 25 Mei 2012]

FRASA


FRASA

M A J A L A H

Penanggungjawab Pemimpin Umum Pemimpin Redaksi Wakil Pemipin Redaksi Tim Redaksi Design Tata Letak Sekretaris Redaksi

D I G I T A L

: 4 Bratvas : Makmur HM : M Asqalani eNeSTe : Delvi Adri : Jhody M Adrowi Makmur HM M Asqalani eNeSTe Delvi Adri Yohana May Moon Nst Nia Nurul Syahara : Makmur HM : Jhody M Adrowi

Redaksi menerima tulisan yang bersifat orisinil dan belum pernah diterbitkan di media manapun. Tulisan berupa karya sastra yang terbit akan dibukukan setiap edisi akhir tahun. email: redaksifrasa@yahoo.com TARIF IKLAN FULL COLOUR PER EDISI 1/4 Halaman: Rp150,000 1/2 Halaman: Rp300,000 1 Halaman: Rp500,000 Iklan Sosial: Mulai Rp30,000 - Rp100,000

C O R N E R

KALAU meminjam istilah kausal dan kalau boleh saya mengkorelasikan antara penulis (penyair) remaja dan satra "waktu akan berputar sepanjang hari, dan hari akan kembali kepada waktu". barangkali sudah saatnya para penulis remaja untuk membulatkan niat serta tekad upaya betul-betul manjadi penulis yang handal seperti para penulis atau para penyair senior. Karena di akui atau tidak sastra merupakan suatu karya keindahan yang tak bisa dipisahkan dari jantung kehidupan dunia. Jadi setidaknya untuk SUBAIDI PRATAMA menjaga eksistensi karya sastra agar tidak lenyap dari kehidupan, para remaja khususnya dituntut mulai belajar minimal mencintai sastra. dan selebihnya menulis adalah yang utama.***

ALAMAT REDAKSI / KONTAK Email: redaksifrasa@yahoo.com Phone: 0852 6536 9405 Blog: http://majalahfrasa.blogspot.com/

NEXT ISSUE Berangkat dari banyaknya ‘pencurian’ karya di jejaring sosial, majalah FRASA akan mencoba mengangkat tema: ‘Social Media, Neraka atau Nyawa Baru Sastra’ Bagaimana menurut anda, yang juga ikut berperan dalam perkembangan sastra social media? Kirimkan komentar anda di http://www.facebook.com/majalahfrasa komentar terbaik akan diterbitkan di rubrik CORNER

FRASA

NASTA’IN ACHMAD MENURUT Thomas Alva Edison, jenius adalah satu persen inspirasi dan sembilan puluh sembilan persen keringat. Itu adalah gambaran para remaja dalam mengatur hidupnya. Semangat yang membara, berjuang, rela berkorban. Tepat dengan tema Majalah Frasa perdana ini SASTRA DI TANGAN REMAJA. Dengan semangat para remaja mengembangkan dunia sastra di indonesia. Mulai dari mengenal sampai terkenal karena sastranya. Karena sastra dalam jiwa remaja harus tumbuh agar semua ide berkembang. Sastra seperti udara bagi remaja. Tanpa sastra remaja tak berarti. Hal utama adalah menulis untuk dirinya sendiri dari hati.*** Edisi I Tahun I [Jumat, 25 Mei 2012]

Hal. 3


UTAMA

SASTRA REMAJA MASA KINI Dikutip dari berbagai sumber

Jakob Sumardjo dan Burhan Nurgiyantoro (1982: 45-48; 2002: 16-22); membagi sastra fiksi menjadi dua jenis, yakni sastra literer dan sastra populer atau sastra serius dan hiburan.

Hal. 4

Edisi I Tahun I [Jumat, 25 Mei 2012]

S

ASTRA bagi remaja perkotaan bukanlah sastra yang terwakili oleh para sastrawan dari generasi Putu Wijaya sampai Linda Christanty sekalipun. Sastra bagi remaja perkotaan juga bukanlah sastra koran, majalah sastra seperti Horison, maupun jurnaljurnal kebudayaan yang memuat cerpen, puisi, dan esai-esai serius. Sastra remaja perkotaan adalah sastra pergaulan yang terekspresikan dalam medium-medium baru yang melekat pada gaya hidup mereka. Sastra remaja perkotaan saat ini adalah sesuatu yang sama sekali terlepas dari mata rantai sejarah sastra sebelumnya. Sejarah sastra yang saya maksud adalah sejarah sastra resmi versi para kritikus, teoritisi, akademisi dan para sastrawan sendiri. Sejarah sastra resmi ini sama halnya dengan sejarah pada umumnya yang berpihak pada kepentingan kekuasaan tertentu dengan muatan subjektivitas yang juga kental di dalam historiografi-nya. Dalam konteks remaja perkotaan secara riil, sebenarnya apa yang disebut mainstream sastra itu bahkan tidak eksis. Ada gap yang sangat jauh antara sastra dan kehidupan real remaja perkotaan sekarang. Medium-medium ekspresi kesusasteraan dalam gaya hidup remaja perkotaan sekarang kurang lebih merupakan sebuah dekonstruksi terhadap medium ekspresi sebelumnya yang terjadi sebagai akibat dari perkembangan teknologi. Pretensi menulis sebuah karya sastra tidak lagi dilandasi oleh motivasi mimpi-mimpi besar, ideide pemberontakan, maupun pemikiran-pemikiran

FRASA


UTAMA jenial untuk mengubah dunia. Remaja perkotaan sekarang cukup menulis di blog mereka tentang hal-hal personal keseharian yang remeh-temeh, mengirim sms romantis pada pacarnya, atau menciptakan syair lagu cinta yang juga sederhana saja. Itulah medium-medium ekspresi sastra remaja perkotaan sekarang. Di sisi lain para penulis generasi “tua” tetap asyik dengan mimpi-mimpi, keyakinan, arogansi, dan ide-ide besar untuk melahirkan sebuah magnum opus dalam “sejarah” kepenulisan mereka. Tanpa sadar, gap yang ada semakin curam dan dalam, mengingatkan kita pada kritik-kritik berpuluh tahun silam tentang ivory tower-nya para sastrawan dan seniman secara keseluruhan. Tentu masalahnya memang tak bisa dilepaskan dari “nilai-nilai, kriteria, teori-teori” tentang apa yang disebut dan dianggap sebagai “sastra”. Hal ini pun adalah persoalan lama yang terus menggantung tanpa penyelesaian. Bagi sejumlah sastrawan, sebut misalnya Seno Gumira Ajidarma, Sapardi Djoko Damono, atau Budi Darma, apa yang disebut dan dianggap sebagai “kriteria dan nilai-nilai” sastra adalah relatif dan subjektif. Pandangan ini memberi ruang kebebasan yang luas untuk menganggap dan menyebut apa itu karya sastra. Di lain pihak, masih banyak sastrawan dan kritikus yang berpegang pada teori-teori baku yang entah apa atau entah yang mana untuk mengategorisasikan sebuah karya sebagai “sastra”. Pandangan inilah yang kemudian mungkin membuat buku-buku semacam ensiklopedi sastra Indonesia tidak pernah lengkap dan utuh. Di buku-buku itu pastilah tidak pernah ada nama Agni Amorita Dewi misalnya, penulis cerpen remaja generasi tahun 80-an yang kerap mengisi lembar cerpen di berbagai majalah remaja dan pernah pula menjadi pemenang lomba cerber Femina. Di buku-buku itu pastilah tidak akan ada nama Raditya Dika atau Aditya Mulya, dua novelis muda masa kini yang penggemarnya menyebar di kalangan remaja perkotaan seluruh Indonesia. Dan di buku-buku itu juga tidak pernah ada nama FX Rudy Gunawan, penulis cerpen, esai, dan novel yang karya-karyanya juga kerap dimuat di sastra koran (non-Kompas) dan puluhan bukunya telah diterbitkan. Ini adalah sebuah stagnansi yang ironis. Generasi remaja sekarang merasa tidak ada perlunya membaca karya sastra adiluhung yang tidak connect dengan kehidupan riil mereka. Telah terjadi sebuah perubahan paradigma

FRASA

yang tidak pernah diantisipasi oleh para sastrawan. Program sastra masuk sekolah mungkin merupakan sebuah upaya yang pernah dilakukan untuk menjembatani gap atau mencairkan stagnansi ini. Tapi karena frame yang dibawa adalah “mindset lama” dan yang dilakukan dengan “cara lama” pula, maka bisa dikatakan upaya ini kurang membuahkan hasil. Sejumlah SMA yang didatangi mungkin jadi lebih mengenal sastrawan-sastrawan dan karya-karyanya, tapi hanya sebatas itulah hasilnya. Padahal yang dibutuhkan sekarang adalah menciptakan generasi baru pecinta sastra dan menumbuhkan iklim atau atmosfir yang subur bagi lahirnya generasi penulis sastra yang baru, segar, dan sama sekali berbeda. Dalam gaya hidup remaja perkotaan sekarang, film dan musiklah yang paling populer sebagai bagian dari kehidupan kesenian dan kebudayaan mereka. Ini terbukti dari suksesnya novel-novel adaptasi film yang digagas dan diterbitkan oleh penerbit spesialis novel remaja, GagasMedia. Hampir semua novel adaptasi film-film nasional terjual puluhan ribu kopi dalam hitungan bulan saja. Genre novel ini telah berhasil menjadi bagian dari gaya hidup remaja perkotaan berkat kolaborasi antara dunia film dan dunia sastra. Kolaborasi berarti sebuah persinggungan yang nyata dengan kehidupan. Kolaborasi menjadi sebuah pola untuk mencairkan stagnansi dan melahirkan karya yang “membumi”. Sebuah contoh kolaborasi ideal dari dunia musik adalah grup rock gaek Santana yang berkolaborasi dengan penyanyi remaja popular dalam tiga album terakhir mereka yang dirilis beberapa tahun belakangan. Kesadaran Santana sebagai grup yang melegenda untuk tetap tune in dengan perkembangan zaman sungguh sebuah kerendahan hati yang patut diteladani di dunia sastra kita. Sastra seharusnya menjadi bagian dari gaya hidup remaja perkotaan karena sastra seharusnya menjadi bagian dari kehidupan nyata termasuk kehidupan sehari-hari dengan segala tetek-bengek persoalannya yang mungkin cengeng, menyebalkan, dan tidak mutu. Tapi atas dasar apa seseorang berhak men-judge seperti itu terhadap kenyataan hidup yang nyata? Atas dasar apa seseorang atau sejumlah orang berhak menghakimi sebuah karya? Tiada satu dasar pun yang bisa membenarkan sikap-sikap seperti itu. Sebaliknya, justru pengikisan terhadap sikap-sikap seperti inilah yang akan mampu mengintegrasikan sastra dalam gaya hidup remaja perkotaan.*** Edisi I Tahun I [Jumat, 25 Mei 2012]

Hal. 5


SASTRA

D

UNIA

Puisi Tak Sekadar Kata-kata Oleh: Harry Susilo

Have you ever wondered As we pick up the dead, heavy Weight of the ugly brutal past That threatens to suffocate us Pernahkah kau bertanya Saat kita mengangkat mayat, beban Kekejaman masa lalu yang suram dan brutal Masa lalu yang mencekik kita

P

ENGGALAN puisi berjudul Mandela, Have you Ever Wondered? yang dibacakan penyair asal Afrika Selatan Vonani membuat sebagian penonton di Gedung Cak Durasim, Kota Surabaya, Jawa Timur, Rabu (11/4/2012) malam lalu, tertegun. Cukup singkat namun padat makna. Vonani mencoba mengisahkan perjuangan Nelson Mandela agar persamaan ras diakui di Afrika Selatan meskipun harus dilalui lewat pengorbanan banyak orang. Politik apartheid (pembedaan kulit putih dan kulit hitam) di Afsel memang banyak merenggut nyawa manusia. "Puisi di negara kami lebih banyak bercerita tentang kondisi sosial politik

Hal. 6

Edisi I Tahun I [Jumat, 25 Mei 2012]

FRASA


SASTRA DUNIA masyarakat," kata Vonani. Tidak hanya Vonani yang mengumandangkan keluh kesahnya. Sebanyak 25 penyair lain dari Indonesia dan mancanegara membacakan karya puisinya masing-masing dalam acara puncak Forum Penyair Indonesia Internasional (FPII) 2012 yang bertema Whats Poetry malam itu. Selain dari Indonesia, penyair yang berasal dari Jerman, India, Amerika Serikat, Australia, Belanda, Selandia Baru, Afrika Selatan, Denmark, Belarusia, Macedonia, dan Zimbabwe, menyampaikan pesan berbeda terkait realitas sosial di negeri mereka. Setiap penyair memiliki cara sendiri untuk membacakan karyanya. Penyair dari India, Sujata Bhatt, misalnya, membacakan puisi Like an Angel diiringi tarian kontemporer yang dibawakan Itumelang Makgope dari Afsel. Perpaduan kata-kata, musik, dan seni tari melebur menjadi sebuah harmoni. Selain diiringi tarian, ada juga yang membacakan puisi seperti menyanyi, bercerita, ataupun datar tanpa ekspresi. "Dengan begitu, penonton dapat menginterpretasikan sendiri apa itu puisi," ucap salah satu penyair asal Australia, Sarah Holland-Batt. Salah seorang kurator FPII dari Jerman, Silke Behl, mengatakan, puisi juga dapat menjadi jembatan budaya untuk bisa membangun rasa saling pengertian di antara bangsa-bangsa dunia. "Kami mengunjungi empat kota, membaca bersama-sama, berdebat dan saling mendengarkan. Elemen lintas negara ini tidak akan berjumpa sebagai orang-orang yang saling asing. Kami bertemu dalam iklim saling percaya," ujar Silke Behl. Itulah kenapa setiap penyair membacakan puisi dalam bahasa lokal masing-masing yang kemudian diterjemahkan dalam bahasa Indonesia agar dapat dimengerti penonton. Memahami aksen, cara penyair membacakan puisi, makna kata-kata yang tertuang dalam puisi tersebut seolah membawa imajinasi kita membayangkan yang sedang terjadi di negeri mereka masing-masing. Lewat FPII, para penyair lintas benua merenungkan kembali tema Whats Poetry? (Apa Itu Puisi?). "Itulah yang menjadi sebab pentingnya kita berkumpul dan berbicara, dari benua ke benua, melampaui segala pagar batas," ujar Silke Behl yang merupakan salah seorang pendiri festival internasional Poetry on the Road di Bremen, Jerman, tersebut. Malam itu, pembacaan puisi Whats Poetry ditutup pertunjukan seni dari Ayu Laksmi yang berkolaborasi dengan Cok Sawitri dan dilanjutkan dengan penampilan Sawung Jabo lewat lagu-lagunya yang menghentak dan penuh kritik sosial. Antologi puisi ini juga dicetak dalam buku sete-

FRASA

bal 500 halaman. Penggagas FPII, Henky Kurniadi mengatakan, pergelaran FPII ini dikuratori Afrizal Malna dan Saut Situmorang dari Indonesia serta Silke Behl, Indra Wussow, dan Michael Agustin dari Jerman. FPII digelar di empat kota, yakni Magelang (1-3 April), Pekalongan (4-6 April), Malang (7-9 Apri l), dan Surabaya (10-12 April). Terdapat 43 penyair yang terlibat dalam acara ini secara keseluruhan. Lewat pergelaran FPII, para penyair seolah berdakwah menyuarakan kebenaran tanpa lelah. Puisi memang dapat menjadi media penyampai pesan, curahan hati, ataupun keluh kesah tentang kondisi sosial, politik, ekonomi bangsa, maupun masalah pribadi. Persoalan bangsa yang terkontaminasi oleh korupsi pun dapat dengan mudah tertangkap lewat permainan kata-kata dalam puisi. Seperti puisi Vonani Bila lainnya berjudul The Pig. I checked his shoes Rough and wild And the nails Long and dirty And the mouth Big and grubby I checked his eyes Warped, wide awake though asleep Thats how I notice a boar Even in parliaement Too voracius He even kills the piglets Aku periksa sepatunya Kasar dan liar Kuku-kukunya Panjang dan dekil Moncongnya besar dan kotor Aku periksa matanya Membelalak padahal tidur Begitulah celeng Bahkan di parlemen Rakus sekali Bahkan ia memangsa anak-anaknya sendiri... Vonani dan puluhan penyair lainnya memang ingin berbagi dengan khalayak luas mengenai kekayaan khazanah budaya dunia dan realitas sosial yang beragam. Puisi memang tidak hanya permainan kata-kata tetapi juga harus dapat diterima oleh masyarakat. Ini puisi kami, mana puisi kalian?***

Edisi I Tahun I [Jumat, 25 Mei 2012]

Hal. 7


I

SASTRA NDONESIA

Format Baru Sejarah Sastra Indonesia Oleh: Yudiono KS

B

ERTOLAK pada kesepakatan ahli yang menyatakan sastra Indonesia berawal pada roman-roman terbitan Balai Pustaka tahun 1920-an, sejarahnya hingga sekarang terhitung masih sangat muda, sekitar 80 tahun. Karena itu, diperlukan buku-buku sejarah sastra yang bisa dirujuk pelajar, mahasiswa, peminat, dan ahli sastra. Karena itu, wajarlah apabila perjalanan sejarah sastra Indonesia dibagi-bagi dengan mempertimbangkan momentum perubahan sosial dan politik, seperti tampak dalam buku Ajip Rosidi (1968). Pembagian yang lebih rinci dengan angka tahun menjadi 1900-1933, 1933-1942, 1942-1945, 1945-1953, 1953-1961, dan 1961-1967 dengan warna masing-masing sebagaimana tampak pada sejumlah karya-karya sastra yang penting. Kemudian pada periode 1961-1967 tampak menonjol warna perlawanan dan perjuangan mempertahankan martabat, sedangkan sesudahnya tampak warna percobaan dan penggalian berbagai kemungkinan pengucapan sastra. Format baru Kalau momentum sosial-politik masih dipergunakan sebagai ancangan periodisHal. 8

Edisi I Tahun I [Jumat, 25 Mei 2012]

FRASA


SASTRA INDONESIA asi sejarah sastra Indonesia 1900-2000, mungkin saja tercatat format baru dengan menempatkan tiga momentum besar sebagai tonggak-tonggak pembatas perubahan sosial, politik, dan budaya, yaitu proklamasi kemerdekaan 17-8-1945, geger politik dan tragedi nasional 30 September 1965, dan reformasi politik 21 Mei 1998. Analisis struktural Umar Yunus tentang perkembangan puisi Indonesia dan Melayu modern (Bhratara, Jakarta, 1981) dan telaah struktural tentang novel Indonesia (Universiti Malay, Kuala Lumpur, 1974) barangkali dapat dipergunakan sebagai rujukan untuk menjelaskan perubahan-perubahan tersebut. Dengan mempertimbangkan ketiga momentum tadi maka diperoleh empat masa perjalanan sejarah sastra Indonesia, yaitu masa pertama mencakup tahun 1900-1945, masa kedua mencakup tahun 19451965, masa ketiga mencakup tahun 1965-1998, dan masa keempat yang dimulai pada tahun 1998 hingga waktu yang belum dapat diperhitungkan. Dengan meminjam baju politik yang dianggap populer dan tetap mempertimbangkan nasionalisme maka penamaan keempat masa perjalanan sastra Indonesia itu bisa menghasilkan tawaran sebagai berikut: Masa Pertumbuhan atau Masa Kebangkitan dapat dipergunakan untuk mewadahi kehidupan sastra Indonesia tahun 1900-1945 dengan alasan bahwa pada masa itu telah tumbuh nasionalisme yang juga tampak dalam sejumlah karya sastra, seperti sajak-sajak Rustam Efendi, Muhamad Yamin, Asmara Hadi dan lain-lain. Yang jelas, pada masa itu bertumbuhan karya sastra yang sebagian sudah bersemangat Indonesia dan sekarang memang tercatat sebagai modal awal khazanah sastra Indonesia. Masa Pemapanan dapat dipergunakan untuk mewadahi kehidupan sastra Indonesia tahun 1965-1998 dengan alasan pada masa itu terjadi pemapanan berbagai sistem: sosial, politik, penerbitan, dan pendidikan yang dampaknya tampak juga di bidang sastra Indonesia. Mengingat besarnya muatan sejarah sastra Indonesia itu maka diperlukan pembagian sejarah pertumbuhan dan perkembangannya menjadi empat masa seperti tersebut tadi, yaitu (1) masa pertumbuhan atau masa kebangkitan dengan angka tahun 1900-1945, (2) masa pergolakan atau masa revolusi dengan angka tahun 1945-1965, (3) masa pemapanan dengan angka tahun 19651998, dan (4) masa pembebasan dengan angka tahun 1998-sekarang.***

FRASA

UMAR YUNUS

Format baru Kalau momentum sosial-politik masih dipergunakan sebagai ancangan periodisasi sejarah sastra Indonesia 1900-2000, mungkin saja tercatat format baru dengan menempatkan tiga momentum besar sebagai tonggak-tonggak pembatas perubahan sosial, politik, dan budaya, yaitu proklamasi kemerdekaan 17-8-1945, geger politik dan tragedi nasional 30 September 1965, dan reformasi politik 21 Mei 1998.

Edisi I Tahun I [Jumat, 25 Mei 2012]

Hal. 9


SASTRA

R

ELIGI

Sastra Islam Melayu Indonesia Oleh: Prof. Dr. Abdul Hadi W.M.

Guru Besar Fakultas Falsafah dan Peradaban Universitas Paramadina, Jakarta, Indonesia.

S

ASTRA Islam di Indonesia pada awalnya muncul dalam bahasa Melayu pada abad ke-14 – 15 M bersamaan dengan semakin meluasnya penyebaran agama ini di kepulauan Melayu. Awal kemunculannya dalam bahasa Melayu dimungkinkan karena bahasa inilah yang pada awalnya digunakan sebagai media penyebaran Islam dan bahasa pengantar di lembaga-lembaga pendidikan Islam. Derasnya proses Islamisasi di kepulauan Nusantara pada abad ke-16 M membuat bahasa Melayu naik perannya menjadi bahasa keilmuan dan keagamaan terpenting di kawasan ini, dan karena itu pula memiliki kedudukan istimewa di tengah bahasa-bahasa etnik Nusantara yang lain. Begitu pula kesusastraammya. Walaupun pada abad-abad berikutnya karya-karya keislaman juga muncul dalam bahasa Nusantara lain seperti Jawa, Bugis, Sunda, dan Madura, namun karyakarya Melayu tetap memiliki kedudukan istimewa sebagai wadah ekspresi estetik Islam. Pada akhir abad ke-16 M, dan terutama sekali pada awal abad ke-17 M, ketika Islam telah tersebar luas ke hampir seluruh pelosok kepulauan ini, sastra Melayu mulai pula menapak puncak perkembangannya. Pada masa ini muncul tokoh-tokoh besar seperti Hamzah Fansuri, Bukhari al-Jauhari, Syamsudin Sumatrani, Nuruddin al-Raniri, dan lain-lain. Pada umumnya mereka adalah ulama dan ahli tasawuf terkemuka, yang juga giat menulis karya-karya keilmuan dan kitab agama. Pada masa keemasan ini berbagai genre yang membentuk keseluruhan tradisi sastra Melayu, muncul secara bersamaan. Suburnya kegiatan penulisan sastra pada abad ini didorong pula oleh pandangan Islam yang melihat alam semesta ini sebagai kitab agung yang ditulis oleh Tuhan dengan kalamnya di atas lembaran yang benar-benar terpelihara (lawh al-mahfudz). Dalam kitab agung-Nya itu sang Khaliq menebarkan ayat-ayat atau tanda-tanda keberadaanNya, yang wajib dibaca, direnungi dan ditafsirkan oleh mereka yang terpelajar. Pada tahun 1928, bahasa Melayu dipilih menjadi bahasa nasional. Ini menjadikan sastra Melayu dapat melanjutkan esksistensinya hingga sekarang. Apa yang disebut sebagai sastra Indonesia modern tidak lain adalah kelanjutan dari sastra Melayu yang telah berkemHal. 10

Edisi I Tahun I [Jumat, 25 Mei 2012]

bang berabad-abad sebelumnya. Derasnya pengaruh Barat berlangsung sejak sastra baru ini muncul, memang kerap memberi kesan bahwa ia telah terpotong dari akarnya. Namun dalam kenyataan, Islam dan tradisi estetiknya tetap memberikan pengaruh, yang bahkan semakin kuat pada dekade 1970-an. Khususnya dengan munculnya gerakan sastra sufistik, yang berkembang bersamaan dengan bangkitnya kembali minat terhadap tasawuf di kalangan luas masyarakat Muslim kota dalam dekade yang sama. PEMBABAKAN Perkembangan sastra Melayu Islam sejak awal kemunculannya hingga akhir zaman klasiknya dapat dibagi menjadi empat periodisasi: (1) Zaman Awal, pada abad ke-14 – 15 M; (2) Zaman Peralihan, dari akhir abad ke-15 hingga pertengahan abad ke-16 M; (3) Zaman Klasik, dari akhir abad ke-16 hingga awal abad ke-18 M; (4) Zaman Akhir, dari pertengahan abad ke-18 hingga awal abad ke-20 M. Zaman Awal ditandai dengan munculnya terjemahan dan saduran karya-karya Arab dan Persia ke dalam bahasa Melayu. Babakan ini bersamaan dengan munculnya dua kerajaan Islam awal yaitu Samudra Pasai (1270-1516 M) dan Malaka (1400-1511 M). Karya-karya saduran dan terjemahan itu pada umumnya ditulis untuk kepentingan pengajaran dan penyebaran agama. Terutama epos Arab Persia seperti Hikayat Iskandar Zulkarnain, Hikayat Amir Hamzah dan Hikayat Muhammad Ali Hanafiya; kisah-kisah para nabi (Qisas al-Anbiya‘), termasuk Nabi Muhammad s.a.w., dan cerita berbingkai seperti Hikayat Bayan Budiman dan Hikayat Seribu Satu Malam. Pada masa ini, puisi beberapa penyair seperti Ma‘arri, Umar Khayyam, ‘Attar, Sa‘di, dan Rumi juga telah muncul terjemahannya dalam bahasa Melayu. Zaman Peralihan berlangsung bersamaan dengan masa akhir kejayaan Malaka dan munculnya kesultanan Aceh Darussalam (1516-1700 M). Zaman ini ditandai dengan usaha Melayunisasi hikayat-hikayat Arab dan Persia, pengislaman kisah-kisah warisan zaman Hindu, dan penulisan epos lokal serta historiografi. Syair-syair tasawuf, agiografi sufi, dan alegori-alegori mistik mulai ditulis pada zaman ini. Di antara alegori mistik terkenal ialah Hikayat Burung Pingai, yang merupakan versi Melayu dari Mantiq al-Tayr (Musyawarah Burung) karangan

FRASA


SASTRA RELIGI penyair sufi Persia Farid al-Din al-‘Attar (w. 1220 M). Zaman Klasik sastra Melayu berlangsung dari akhir abad ke-16 hingga awal abad ke-18 M. Periode ini ditandai dengan kesadaran pengarang Melayu untuk membubuhkan nama diri dalam karangan yang ditulisnya. Syair-syair tasawuf dan karya bercorak sufistik lain kian banyak dilahirkan dalam periode ini, begitu juga epos, karya sejarah, dan roman yang lebih orisinal. Keorisinalan karya penulis Melayu pada periode ini tampak terutama dalam syair-syair tasawuf Hamzah Fansuri yang indah dan begitu mendalam isinya. Dalam menulis karya-karya mereka, penulispenulis Melayu pada umumnya bertolak dari dua wawasan estetika yang popular di dunia Islam. Pertama, wawasan etsteika yag diasaskan para filosof dan teoritikus peripatetik (mashsha‘iya) seperti al-Farabi, Ibn Sina, dan Abdul Qahir al-Jurjani, yang memandang sastra sebagai karya imaginatif (mutakhayyil). Keimaginatifan sebuah karya bisa tercapai jika pengarang menggunakan bahasa figuratif (majaz) seintensif dan semaksimal mungkin. Wawasan estetik ini merupakan sintesa pandangan Plato dan Aristoteles. Kedua, wawasan estetika yang diasaskan para sufi seperti Imam al-Ghazali, Ibn ‘Arabi, ‘Attar, Rumi, dan Jami. Bagi mereka karya sastra adalah representasi simbolik dari gagasan dan pengalaman keruhanian. Zaman Akhir membentang dari awal abad ke-18 hingga akhir abad ke-19 M. Pada periode ini karyakarya keislaman ditulis di berbagai pusat kebudayaan Islam baru seperti Palembang, Banjarmasin, Patani, Johor, Riau, Kelantan, dan tempat-tempat lain di kepulauan Melayu. Sekalipun sejak akhir abad ke-18 kerajaan-kerajaan Islam ini sudah jatuh ke tangan penguasa kolonial seperti Belanda dan Inggris, namun kegiatan penulisan sastra Islam masih terus berlanjut hingga awal abad ke-20 M. Tidak banyak pembaruan dilakukan pada zaman ini. Namun zaman ini melahirkan penulis-penulis kitab keagamaan dan historiografi terkemuka seperti Abdul Samad al-Falimbangi, Arsyad al-Banjari, Kimas Fakhrudin, Sultan Badruddin, Nawawi al- Bantani, Raja Ali Haji, dan lain-lain. Dalam sastra Melayu semua karya berbentuk prosa pada umumnya disebut hikayat, dari kata-kata Arab yang arti literalnya ialah kisah atau cerita. Berdasarkan pokok pembahasan dan corak penyajiannya, keseluruhan hikayat Melayu lazim dibagi ke dalam sepuluh jenis: Hikayat Para Nabi, biasa disebut Surat Anbiya‘. Mengisahkan kehidupan para nabi sebelum Nabi Muhammad, termasuk Nabi Adam, Idris, Nuh, Ibrahim, Musa, Ayub, Yusuf, Daud, Sulaiman, Isa Almasih, dan lain sebagainya. Yang paling populer ialah Hikayat Nabi Musa, Hikayat Nabi Sulaiman, Hikayat Yusuf dan Zuleikha, dan Isa Almasih. Kisah-kisah yang berhubungan dengan kehidu-

FRASA

pan Nabi Muhammad. Termasuk Hikayat Kejadian Nur Muhammad, Hikayat Nabi Mikraj, Hikayat Seribu Satu Masalah, Hikayat Nabi dan Iblis, Hikayat Nabi dan Orang Miskin, Hikayat Nabi Mengajar Ali, dan lain sebagainya. Kisah Sahabat dan Kerabat Nabi. Menceritakan kehidupan dan perjuangan sahabat-sahabat Nabi Muhammad seperti Abu Bakar, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Hikayat Raja Handak, Hikayat Salman al-Farisi, Hikayat Hasan dan Husein, dan lain sebagainya. Hikayat Para Wali Sufi. Misalnya Hikayat Rabi‘ah alAdawiyah, Hikayat Ibrahim Adham, Hikayat Bayazid Bhistami, Hikayat Syekh Abdul Qadir al-Jilani, Hikayat Syekh Saman, Hikayat Syamsi Tabriz, dan lain-lain. Hikayat Pahlawan atau epos. Misalnya yang paling populer dan dijumpai dalam berbagai versi ialah Hikayat Iskandar Zulkarnain, Hikayat Amir Hamzah, dan Hikayat Muhammad Ali Hanafiya. Hikayat Para Bangsawan. Misalnya Hikayat Johar Manik, Hikayat Syamsul Anwar, Hikayat Kamaruz Zaman, Hikayat Sultan Bustaman, Hikayat Siti Hasanah, Hikayat Siti Zubaidah Berperang dengan Pendekar Cina, Hikayat Syekh Mardan dan lain sebagainya. Hikayat jenis ini paling banyak dijumpai dalam sastra Melayu. Yang diceritakan biasanya adalah petualangan, percintaan, dan perjuangan tokoh membela negeri atau martabat keluarga. Jadi termasuk ke dalam jenis roman. Perumpamaan atau Alegori Sufi. Pada umumnya alegori sufi digubah berdasarkan roman yang popular, tetapi disajikan secara simbolik sebagai kisah perjalanan kerohanian. Yang terkenal di antaranya ialah Hikayat Syekh Mardan, Hikayat Inderaputra, Hikayat Burung Pingai, dan lain-lain. Cerita Berbingkai. Sebagian besar kisah berbingkai dalam sastra Melayu merupakan saduran dari cerita berbingkai Arab dan Persia. Yang terkenal selain Kisah Seribu Satu Malam adalah Hikayat Bayan Budiman, Hikayat Maharaja Ali, Hikayat Bachtiar, Hikayat Khalilah dan Dimnah, dan lain-lain. Di antara cerita terbingkai ini termasuk fabel, yaitu Hikayat Bayan Budiman dan Hikayat Khalilah dan Dimnah. Sebelum hadirnya versi Arab Persia, telah hadir versi India dalam sastra Jawa dengan judul Tantri Kamandaka, yang merupakan saduran dari Panchatantra. Fabel asli Melayu yang terkenal ialah Kisah Pelanduk Jenaka. Kisah Jenaka. Yang terkenal Hikayat Abu Nuwas dan Hikayat Nasrudin Affandi. Kisah Jenaka asli Melayu yang terkenal di antaranya ialah Hikayat Pak Belalang. Karya bercorak sejarah atau historiografi. Karya semacam ini sering pula disebut salasilah. Khazanahnya tergolong banyak dalam sastra Melayu. Yang terkenal ialah Hikayat Raja-raja Pasai, Sejarah Melayu, Hikayat Aceh, dan lain-lain.*** Edisi I Tahun I [Jumat, 25 Mei 2012]

Hal. 11


C

ERPEN

Oleh: BEN PUTRA

ilustrasi: internet

Sungai di Belakang Rumah Kami

Dulu kau pernah bertanya padaku, apa dan dimana tempat yang paling indah di dunia. Maka dengan yakin aku selalu menjawab bahwa sungai di belakang rumah kami adalah tempat yang paling indah. Kau tertawa mendengarnya, entah karena menurutmu jawabanku itu lucu atau kau bermaksud mengejekku. Tapi apa yang kukatakan adalah benar! Jika kau tak percaya, kau boleh melihatnya sendiri, tantangku waktu itu. Dan kau hanya tersenyum. Aku benci melihatmu, aku benci jika kau tak mempercayaiku. Hal. 12

Edisi I Tahun I [Jumat, 25 Mei 2012]

FRASA


Asal kau tahu, sungai di belakang rumah kami begitu indah luar biasa. Air yang mengalirinya tenang dan dalam, begitu jernih berkilau laksana kaca yang bergoyang. Jika kau melihatnya, kau pasti akan terpesona. Di sisi kiri dan kanan sepanjang aliran sungai itu, tumbuh berjenis-jenis pohon. Mulai dari jambu biji, jambu air, pohon kopi, pohon mahoni dan banyak lagi lainnya. Di bawah pohonpohon itu dipenuhi oleh perdu dan rumput-rumput hijau serta berbagai macam bunga liar yang berwarna warni. Cantik sekali. Dan di antara perdu dan rumput itu, kadang tumbuh buah berry liar yang berbuah merah menyala. Ketika waktu pagi, kau akan dibangunkan oleh suara percikan airnya yang mengalun merdu, seolah nyanyian yang berisi lagu-lagu pujian kepada sang pencipta. Kau akan terpesona melihat pantulan sinar mentari pagi yang berwarna kuning keemasan, bersinar terang seolah menembus dasar sungai yang dipenuhi oleh batu-batu sebesar kepala. Angin pagi akan berhembus bersama aliran air yang menari lembut seperti tarian perawan desa. Halus dan segar sekali. Di saat pagi berganti menjadi siang, pemandangan sungai itu akan menjadi lebih indah. Berpuluhpuluh kupu-kupu yang sayapnya berwarna-warni, datang menari-nari berpasangan di atas sungai. Mereka seolah mendendangkan alunan lagu cinta tentang kebesaran Tuhan, Sang Maha Segalanya. Tak hanya kupu-kupu, kawanan burung-burung gereja juga akan meramaikan suasana. Mereka akan bercicit merdu di atas pohon, sambil melihat bayang mereka yang terpantul di permukaan sungai yang tenang. Di antara burung-burung gereja itu, juga terdapat beberapa ekor burung pipit berwarna kuning. Mereka terbang rendah di bawah pohon, lalu masuk, menyelusup ke bawah semaksemak untuk mencari buah-buah berry yang jatuh. Dulu, aku dan teman-temanku sering menjerat burung-burung pipit itu dengan menggunakan getah nangka yang kami tempelkan di dahan semak. Jika sedang beruntung, kami akan mendapatkan burung malang yang melekat tak berdaya di sana. Kami akan membawanya pulang, lalu mengurungnya di dalam kardus bekas mie yang kami lubangi bagian samping dan atasnya.

FRASA

Amboi, mengasyikan bukan? Ketika sore datang, sungai itu akan menunjukan pesona yang lainnya. Pantulan langit merah senja terukir indah seperti lukisan di atas permukaannya. Airnya akan bersinar terang laksana emas. Di waktu sore seperti itu, aku akan betah bermain di sana, duduk di batu besar yang berada di tepian sambil menjuntaikan kakiku ke dalam airnya yang mengalir lembut mengelus-elus kaki dan betisku. Aku akan berlama-lama di sana, melihat ikan-ikan kecil berperut buncit sebesar kelingking yang berenang hilir mudik beramai-ramai dengan riang. Melihat capung-capung yang bertengger di rumput-rumput liar yang hijau. Kadang aku menjadi lupa waktu, dan baru tersadar bahwa langit telah gelap ketika mendengar suara teriakan ibu dari arah rumah kami. Aku akan segera berdiri dan tersenyum. Sebelum pergi, kulihat aliran air sungai yang mulai terlihat gelap karena malam telah menyelimuti langit. Selamat tinggal, riangku dalam hati. Apa kau tahu kapan waktu yang paling indah di sungai itu? Jawabannya adalah ketika malam hari. Aku sering diam-diam keluar kamarku melalui jendela untuk melihat sungai itu ketika malam tiba. Seandainya kau melihatnya, kau pasti akan takjub melihat apa yang kutemukan di sana. Di tengah pekatnya malam, akan muncul kerlap-kerlip lampu kecil yang bersinar melayang-layang di sepanjang aliran sungai. Mereka adalah para kunang-kunang jantan yang sedang mencari pasangan. Mereka terlihat sibuk menebarkan pesonanya, dan mereka berhasil. Bukan hanya kunang-kunang betina saja yang terpesona, akupun juga ikut mabuk oleh ketampanan mereka. Sepanjang malam aku akan bertahan di sana, tak perduli meski angin malam datang membujukku untuk meninggalkan keindahan sungai itu. Namun aku tak bergeming, tak memperdulikan nya, hingga akhirnya angin malam penggoda itu akan jengah dan pergi dengan sendirinya. Tapi itu dulu. Ketika kini kau kembali bertanya, dimana tempat yang paling indah di dunia, maka jawabanku sudah berbeda. Bagiku tak ada lagi tempat yang paling indah, tidak juga dengan sungai yang ada di belakang rumah kami. Kau heran mendengar jawabanku. Lalu kau membujukEdisi I Tahun I [Jumat, 25 Mei 2012]

Hal. 13


CERPEN ku untuk mengatakan padamu, apa kabar sungai yang dulu begitu kuagung-agungkan. Aku menarik napas lelah. Sedih rasanya jika harus bercerita tentang keindahan sungai di belakang rumah kami yang telah direnggut kesuciannya. Tapi kau terus memaksa. Baiklah, aku akan menceritakan semuanya. Kau tahu, sungai itu masih ada. Masih di sana, di belakang rumah kami. Airnya kini telah berubah warna, hitam bercampur coklat pekat, layaknya kopi mocca yang ada di dalam cangkirmu. Di sisi kanan dan kirinya, kini tak ada lagi pohon jambu, tak ada lagi pohon kopi, tak ada lagi pohon mahoni, tak ada lagi perdu, rumput hijau dan tak ada lagi buah beri liar di sana. Mereka telah tergusur, digantikan oleh rumah-rumah pemukiman yang bersusun padat laksana kotak korek api yang tak beraturan bentuknya. Ketika waktu pagi hari, kau tak akan pernah lagi mendengar suara percikan air, karena mereka telah hilang, digantikan oleh teriakan anak-anak dan orang tua yang mengantri untuk buang hajat di sana. Tak ada lagi hembusan angin yang sejuk, karena mereka telah kalah dengan bau ‘hajat’ anakanak dan orang tua itu. Amboi, menjijikan sekali! Sinar matahari pagi tak dapat lagi memantul di permukaan sengai itu, karena ia akan diserap dan tenggelam di dasar sungai yang penuh dengan lumpur dan kotoran. Ketika pagi berganti siang, kau akan melihat pemandangan yang tak kalah dahsyatnya. Berpuluh-puluh orang bergantian berdiri di pinggir sungai itu, lalu tanpa dosa melemparkan berbagai jenis sampah di sana. Sampah-sampah itu tak langsung hanyut, sebagian akan tenggelam di dasar sungai dan sebagian lagi akan tersangkut di tepian. Dan ketika musim hujan tiba, sampah itu akan menghambat laju sungai, lalu banjirpun datang. Jika itu terjadi mereka akan serta merta menyalahkan sungai itu, bahkan kadang mereka menyalahkan Tuhan sebagai pengirim bencana. Hahaha, lucunya. Tak ada lagi kupu-kupu yang dulu berwarnawarni, tak ada lagi burung-burung gereja, tak ada lagi burung pipit berwarna kuning. Yang ada hanya hembusan angin yang terdengar berat, seolah desahan dari hati mereka yang lelah. Uups, aku salah. Angin tak punya hati, yang punya hati hanyalah manusia. Oleh karena itulah hanya manusia yang boleh dijaga perasaannya, tidak yang lainnya. Ketika sore datang, di saat langit menyemburatkan senja. Sungai itu akan bertambah ramai. Hal. 14

Edisi I Tahun I [Jumat, 25 Mei 2012]

Orang-orang datang berduyun-duyun kesana. Ada yang membuang hajat, ada yang membuang sampah, bahkan ada juga yang membuang nyawa mereka. Dalam kurun waktu hampir sebulan ini saja, sudah ada tiga orang yang nekat terjun ke sungai ini. Sepertinya mereka menganggap sungai ini adalah tempat pembuangan akhir semua bendabenda yang tak berharga, termasuk diri mereka sendiri. Lucu bukan? Tidak, ini tidak lucu, tapi ini adalah realita. Aku tak pernah lagi duduk dan merendam kakiku di air sungai itu pada waktu sore. Selain karena batu yang dulu sering kududuki sudah tertimbun sampah, aku juga takut nanti kakiku gatal jika menyentuh air sungai itu. Kini, tak ada lagi suara ibu yang memanggilku, karena aku tak pernah lagi lupa waktu jika bermain di tepian sungai. Dan malam ini, aku akan menceritakan apa yang kulihat. Aku kini sedang berdiri di sana. Mungkin ini yang terakhir kalinya, karena besok aku akan pindah ke luar kota. Aku berdiri mematung di pinggir sungai belakang rumah kami. Menunggu dan berharap untuk dapat kembali melihat kunangkunang yang berburu cinta. Lama aku menunggu, tapi mereka tak juga datang. Mungkin mereka ogah bercinta di atas air yang bau dan penuh sampah seperti ini. Tapi aku merindukan mereka, aku ingin melihat pesonanya yang dulu mampu membuat aku tergila-gila. “Dimana mereka?� hatiku bertanya. Angin malam kembali datang membujukku untuk meninggalkan sungai itu. Dan kali ini mereka berhasil. Aku jengah, aku bosan melihat sungai belakang rumah kami yang tak lagi indah. Aku membalikan badanku ke arah rumah, dan dengan pelan aku melangkah. Namun langkahku terhenti ketika samar-samar aku mendengar suara gemericik air. Kudengar dengan seksama. Oh, ternyata itu bukan suara decikan air tapi itu adalah suara tangisan. Tangisan? Iya, itu adalah suara tangisan sungai di belakang rumah kami yang ternoda. [*] Ben Putra, terlahir dengan nama Bendi Saputra pada tanggal 13 Agustus 1988, di Kota Pagaralam, Sumatera Selatan. Penulis adalah Seorang Guru Bahasa Inggris dan juga seorang Penyiar Radio Swasta di kotanya. Penulis memulai langkahnya dalam dunia cerpen sejak bulan Oktober 2011. Saat ini, penulis sedang aktif mengikuti berbagai lomba untuk mengasah kemampuannya dan terus belajar untuk membuat tulisan yang lebih baik.

FRASA


edu-SASTRA PUISI YANG BAIK ADALAH PUISI YANG JUJUR Oleh: Marhalim Zaini

SALAH satu pertanyaan yang sering diajukan kawankawan penulis pemula pada saya adalah, “Bagaimana cara menulis puisi yang baik itu, bang?” Kata “baik” di sana, memang membuat saya tidak boleh menjawabnya dengan tergesa-gesa. Sebab, saya harus mendudukkan dulu makna dari kata “baik” itu jika dipakai untuk puisi. Saya kuatir, jika kata “baik” dimaknai untuk menunjukkan sesuatu yang teratur, yang sopan, yang rapi, yang bersih, dan yang sejenisnya, maka menjadi tidak tepat kata “baik” itu diperuntukkan bagi puisi. Kenapa? Sebagaimana sifat sebuah karya seni, puisi tentu tak bisa dikungkung oleh satu kriteria “baik” dalam makna yang umum. Sebab karya seni selalu “memberontak” dari konvensi-konvensi biasa. Karya seni harus menemukan “bahasa ucap” (ekspresi) yang berbeda dari realitas keseharian. Apalagi puisi, yang memang diberi kebebasan yang luas untuk melakukan “pembongkaran” bahasa. Kalau kriteria “baik” secara umum dipakai, maka ketika Chairil Anwar berteriak lewat puisi, “akulah binatang jalang…” tentu dicap bukan puisi “baik”-lah dia. Tapi, sebetulnya saya paham arah pertanyaan kawan penulis pemula itu. Dia agaknya kerap dihinggapi rasa bingung ketika dia harus menulis sebuah puisi yang “baik” sehingga dapat diterima di sebuah media massa. Kalau yang diinginkan adalah kriteria “baik” secara teoriteori sastra, maka kita akan sepakat sebuah puisi yang baik adalah: memiliki diksi (pilihan kata) tepat, kuat dan padu dengan menghadirkan metafora-metafora, kaya perbendaharaan kata, luas ruang permaknaannya, dan lain-lain. Itu soal-soal teknis yang memang mesti dilalui oleh seseorang yang akan menulis puisi. Namun, perlu kita ingat, bahwa puisi lebih bersifat subyektif. Artinya, kekuatan individu si penyairnya dalam menyelami realitas kehidupan dan memberi makna atas realitas itulah yang membuat puisi lebih sublim, lebih mendalam, lebih kokoh. Maka seorang penulis puisi, mau tak mau, harus semaksimal mungkin menghadirkan “kejujuran.” Sebab dengan kejujuran itulah kemudian subyektivitasnya muncul. Apa yang saya maksud kejujuran di sini adalah, bahwa puisi yang “baik” akan selalu menghadirkan kekuatan perasaan dan pikiran si penyairnya. Kekuatan perasaan dan pikiran itu akan mencuat dari kejujuran si penyairnya dalam mengatakan “sesuatu.” Jika adik-adik hendak mengatakan “sesuatu” itu berupa rasa dan pikiran tentang kesedihan yang teramat mendalam dalam diri, maka

FRASA

tak cukup hanya mengatakan dengan, “Oh, betapa hatiku sedih…” Sebab jika cukup dengan demikian, yang bukan penyair pun akan bisa mengatakan hal yang sama bukan? Maka yang mesti dilakukan adalah menggali “kejujuran” dari rasa sedih itu. Seberat apakah rasa sedih itu? Sesakit apakah rasa pilu itu? Seperti teriris pisaukah? Seperti ketika kepala terantuk di tembok? Atau sakitnya hanya sekedar seperti ujung jari ditusuk jarum? Nah, metafora-metafora mulai bermain. Semakin baik adikadik menyusun diksi dengan perumpamaan yang tepat, sehingga dapat mewakili “kesakitan” itu, maka semakin “baik”-lah nilai puisi kita. Ya, rupanya tak cuma dalam realitas kehidupan yang nyata saja kita harus mengedepankan kejujuran, tapi juga dalam penciptaan karya sastra, khususnya puisi. Edisi ini, sebuah cerpen berjudul “Selalu Ada Cerita Tentang Abah” karya Jumardi hadir di tengah kita. Cerpen ini memang masih terasa tersendat-sendat bertuturnya. Perlu terus berlatih menyusun narasi, dan memilih kalimat. Setidaknya, kita memang mendapatkan gambaran gigihnya perjuangan dan pengharapan seorang ayah untuk keberhasilan anaknya. Dan, perlu dicari lagi, bagaimana harus mengakhiri cerpen ini dengan baik. Puisi karya Azmy Al Izzah, berjudul “Untukmu Sahabat” lebih menghadirkan suasana hening pada kita. Makna yang disuguhkan masih permukaan, sehingga belum mendalam. Sementara puisi “Ayah” karya Delvi Adri, lebih bermain metafora. Meski nampak belum padu antara satu bait dengan bait lain, setidaknya kita bisa mengambil satu pesa tentang anak yang kehilangan pegangan. Yelna Yuristiary, kali ini hadir dengan “Malam di Tapal Batas.” Imaji-imaji mencuat sebagai kekuatan tersendiri. Diksi-diksi yang dinamis memang cukup memberi kesan pergulatan bathin si aku-lirik. Meski, harus terus digali lagi “kejujuran” dalam teks puisi ini. Pujiono Slamet dengan “Rima-rima Duka” cukup kokoh menghadirkan suasana. Diksinya cukup “baik” dan cermat, meski terasa lemah di bait terakhir puisi. Dua puisi terakhir ada Afriyanti dengan “Bilik Puisi” dan “Bahasa Gitar” karya Faisal. Afri lebih “bercerita” tentang eksistensi puisi itu sendiri. Cukup kuat membangun diksi yang liris. Sebuah puisi pembelaan terhadap puisi. Sementara Faisal, juga menganut puisi liris yang hampir serupa. Hanya saja, terasa masih menggantung akhir dari puisi ini.*** Edisi I Tahun I [Jumat, 25 Mei 2012]

Hal. 15


P

UISI

Oleh: ZULKARNAIN dan APRIYADHI

ilustrasi: internet

SEMBAB Dalam sembab malam Murung meraruh geram di kepalan Bau apak kedengkian Merebak ke relung gumam Ada gila di jari-jari Ada dusta di pundi-pundi Di pesisir ke dataran sunyi mala ini Beralih dari setangkup ria Ke segudang tanya Manyaksikn torehan-torehan tragedi luka berdarah Terukir di deretan waktu Luka memarpun tak akan terlihat Hanya aduh teraung di jiwa

AKU Aku adalah aku Yang lahir dari gumpalan-gumpalan darah yang busuk Aku dan aku Adalah tetap aku Kenapa aku dikatakan aku Walau dia. dia bukan dikatakan aku Dalam sejarah jiwa ini Aku adalah jiwa-jiwa kecil Bagaikan boneka-boneka dihadapan-Nya Aku akan mati

Hal. 16

Edisi I Tahun I [Jumat, 25 Mei 2012]

Jika telah tiba waktunya Tapi Tapi Aku belum sanggup mati Sebelum aku tahu mana tinta pena kertasku Tuk ku tulis sebaik sajak kehidupanku.

ADAKAH AKU Adakah aku di lembaran-lembaran kisah hidupmu??? Tolong kau angin tulis kan namaku di diarymu Baik yang lama maupun yang baru Biar aku dan kau bisa jadi satu bait sajak –sajak rindu Dirindu oleh waktu Adakah aku di lembaran-lembaran kisahmu? Jika ada Tolang kau awan kau simpan dalam dekapanmu Jangan kau biarkan luruh di hempas dengus waktu Ingat itu awan! Jangan kau biarkan Jangan kau biarkan Biar saja waktu berlalu

Zulkarnain adalah Pengurus FLP Pekanbaru Bidang Kajian Karya. Mahasiswa UIN suska. jurusan Jinayah Siyasah

FRASA


LANGIT MURKA MENDENGAR TANGISNYA

Terngiang kata-kata pedangku yang menancap tepat di hatinya

Kala itu rembulan tak menampakkan wajahnya Bintang genitpun tak terlihat merayuku seperti biasanya Hanya terlihat bahtera lampion menghiasi bingkai jendelaku Hati termenung penuh tanya, ada apakah gerangan?

Bibir pun membiru kelu kaku membisu Air yg terbendung di pelopak mataku kini menganak sungai di pipiku

Gumpalan hitam nan pekat menempel erat memenuhi pandanganku Melakukan tarian ritual yang tidak biasa aku lihat sebelumnya Gemertak giginya pun menyayat-nyayat hati dalam dadaku Hingga romansa gelisahpun menyelimuti ruangan saat itu Dalam tempurung ku coba membelai hati yang gelisah ini Menyanyikan senandung rindu pada sang Penyejuk Hati Udara sejukpun mulai mengalir diantara rongga-rongga dada ini Membuat hati ini untuk kembali menempati janji Hatipun mulai berani untuk melangkahi lorong bahtera ini Menyusuri bisikan halus diantara nanyian hujan Bisik kecil namun mengguncangkan benteng dalam hati Hingga sampaiku di depan pintu dengan cahaya jingga menerangi Bisik itupun mulai jelas menari-nari di telingaku Sangat jelas karna suara lirih itu mengalir dari bibir ibuku Bersama mutiara hati yg melekat di bulu halus pelopak mata indahnya Meratapi kisah kemarahanku padanya siang tadi Tubuh kecil ini pun kaku bergetar begitu hebatnya Menyaksikan pahlawanku menangis kalah karena diriku Hatipun yg mulai berdiri tersungkur sujud pada Sang Ilahi

FRASA

Sungguh durhaka diri ini membuat kekasih-Nya menangis karenaku Dalam Hati aku hanya bisa berkata : "Wahai Ibu Ampunilah Kehilafan Buah Hatimu...."

LINGKARAN SUCI PENGIKAT HATI Ketika sang mentari melepas lelah'a Bersama lambaian hujan mendinginkan suasana Hingga iman menuruti jasad'a Merebahkan semangat menutup lembar kisahnya Namun lain aku dengannya Sudah terbai'at dalam ikatan sucinya Mendapatkan surat kasih dari dirinya Menepati janji setia kepadaNya Dalam lingkar ini kami bersama Berbagi kisah dalam mengarungi dunia Diselimuti ketenangan cinta dari-Nya Dalam Doa setiap penjuru ciptaannya Inikah rasanya belaian iman Sangat nyaman bagai pangkuan ibunda Tak terkira syukur akan hidayahnya Mendapatkan ukhwah di atas sajadah cinta Wahai masjid tak berkubah Kelapanganmu mengikatkan tali sejatiku Sampaiku menemukan arti kehidupan Al Ghifari Sahabat Untuk Ummat *** Apriyadhi lahir bertepatan dengan hari raya idul fitri, tepatnya 16 april 1991 di kota Jakarta dan sekarang hidup bersama keluarganya tercinta di Depok. Masih tercatat sebagai Mahasiswa di kampus diploma IPB, jurusan teknik komputer.

Edisi I Tahun I [Jumat, 25 Mei 2012]

Hal. 17


TEENLIT

A

Fiksimini

Selasanya Eca

ku. Aku di sini sejak Reza berdiri di hadapanku dengan senyum polosnya itu. Senyum yang tak akan sama. Enggan aku beranjak dari sini, tempat yang sulit kujelaskan keberadaannya. “Mau berapa lama lagi menahannya, Ca?” Pertanyaan Riska yang selalu mengejar. Pertanyaan yang selalu kujawab dengan pernyataan yang sama. “Entahlah. Aku sendiri tak tahu. Biarkan aku menikmatinya.” Selasa menyapa, lagi. Tentu aku tersenyum menyambutnya sebab untuk kesekian kalinya aku menyapanya pula. Reza. Menyapanya dengan sentuhan kata di jejaring sosial. Ia selalu membalasnya, “rangkaian katamu selalu menegurku dengan ramah, terima kasih yang kesekian kalinya.” Riska mendekatiku. “Ca, sudah menyelesaikan ritual?” Tanya Riska padaku dan aku membalasnya dengan sebuah senyuman manis. “Riska, jangan terlalu melebih-lebihkan fakta. Kamu nanya menyelesaikan ritual, memangnya aku punya aliran baru? Aneh kamu, Ris!” tanggapku dengan tegas. “Kok kamu nunjuk diri sendiri, bukannya kamu yang aneh? Aneh semenjak menjadi Selasa untuk Reza. Reza yang selalu kamu kagumi tapi kamu tidak pernah mengutarakan kekagumanmu padanya. Ayolah, Ca! Ini

2012 dan waktunya kamu memulai. Mau sampai kapan berselimut dalam Selasa?” tutur Riska dengan panjang lebar. “Ris, aku mau jujur tapi keberanianku telah punah. Aku hanya tidak ingin senyum itu hilang di saat aku mengatakan bahwa Selasa itu aku, orang yang telah mengirimnya pesan selama dua tahun ini. Jujur, aku memang mengaguminya tetapi aku tidak mampu untuk mengutarakannya sebab aku tahu, dia tidak akan suka dengan rasa ini. Dan aku tidak mau pertemanan kami lenyap, Ris,” tuturku. Di saat meredakan nafas setelah berbicara panjang lebar, kulihat keadaan sekitar taman yang penuh dengan mahasiswa. Mataku terhenti pada sosok yang kukenal. Reza. Dia berada di belakangku. Entah berapa lama dia telah berada di sana. Apa dia mendengar pembicaraanku dengan Riska? Bagaimana kalau dia memang benar mendengarnya? Atau dia baru beberapa detik yang lalu di sana hanya untuk mengembalikan buku yang dipinjamnya seminggu yang lalu? Iput Milishay merupakan nama pena dari Putri Rahayu. Berdarah Minang. Lahir di Jambi, 08 April 1991. Masih tercatat sebagai mahasiswa pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Jambi.

PUISIMINI TENGGELAM

BATAS

Setelah seutas kalimat itu kau pasungkan di leherku kau tenggelam di bulan

Di khayal ini engkau melintas Lalu kuberi batas

KAU DAN BELATI

PULANG

Lepas belati itu dari tanganmu, dik ! : karna matanya mulai menatapku -tajam-

-ke pangkuanmu: terimalah

TUMPAH Kau tulis kasih pada selembar langkahku lalu kau tumpahkan tinta merah. Hal. 18

Edisi I Tahun I [Jumat, 25 Mei 2012]

*** Makmur HM Entah siapa. Hanya pemilik beberapa kata dari sekian entah. Pengemis inspirasi dan sebut saja apalah!

FRASA


Maulana

Jalaluddin Rumi Muhammad

Maulana Jalaluddin Rumi Muhammad bin Hasin al-Khattabi al-Bakri (Jalaluddin Rumi) atau sering pula disebut dengan nama ‘Rumi’ adalah seorang sufi/penyair sufi yang lahir di Balkh (sekarang Afganistan) pada tanggal 6 Rabiul Awwal tahun 604 Hijriah, atau tanggal 30 September 1207 Masehi.

Inspiring FRASA

Edisi I Tahun I [Jumat, 25 Mei 2012]

Hal. 19


INSPIRING

Rumi telah menjadi sufi, berkat pergaulannya dengan Tabriz. Kesedihannya berpisah dan kerinduannya untuk berjumpa lagi dengan gurunya itu telah ikut berperan mengembangkan emosinya, sehingga ia menjadi penyair yang sulit ditandingi. Guna mengenang dan menyanjung gurunya itu, ia tulis syair- syair, yang himpunannya kemudian dikenal dengan nama Divan-i Syams-i Tabriz. Ia bukukan pula wejangan-wejangan gurunya, dan buku itu dikenal dengan nama Maqalat-i Syams Tabriz.

Hal. 20

Edisi I Tahun I [Jumat, 25 Mei 2012]

AYAHNYA masih keturunan Abu Bakar, bernama Bahauddin Walad. Sedang ibunya berasal dari keluarga kerajaan Khwarazm. Ayah Rumi seorang cendekia yang saleh, mistikus yang berpandangan ke depan, seorang guru yang terkenal di Balkh. Saat Rumi berusia 3 tahun karena adanya bentrok di kerajaan maka keluarganya meninggalkan Balkh menuju Khorasan. Dari sana Rumi dibawa pindah ke Nishapur, tempat kelahiran penyair dan alhi matematika Omar Khayyam. Di kota ini Rumi bertemu dengan Attar yang meramalkan si bocah pengungsi ini kelak akan masyhur yang akan menyalakan api gairah Ketuhanan. Sejak itu Bahauddin bersama keluarganya hidup berpindah- pindah dari suatu negara ke negara lain. Mereka pernah tinggal di Sinabur (Iran timur laut). Dari Sinabur pindah ke Baghdad, Makkah, Malattya (Turki), Laranda (Iran tenggara) dan terakhir menetap di Konya, Turki. Raja Konya Alauddin Kaiqubad, mengangkat ayah Rumi sebagai penasihatnya, dan juga mengangkatnya sebagai pimpinan sebuah perguruan agama yang didirikan di ibukota tersebut. Di kota ini pula ayah Rumi wafat ketika Rumi berusia 24 tahun. Di samping kepada ayahnya, Rumi juga berguru kepada Burhanuddin Muhaqqiq at-Turmudzi, sahabat dan pengganti ayahnya memimpin perguruan. Rumi juga menimba ilmu di Syam (Suriah) atas saran gurunya itu. Ia baru kembali ke Konya pada 634 H, dan ikut mengajar pada perguruan tersebut. Setelah Burhanuddin wafat, Rumi menggantikannya sebagai guru di Konya. Dengan pengetahuan agamanya yang luas, di samping sebagai guru, ia juga menjadi da’i dan ahli hukum Islam. Ketika itu di Konya banyak tokoh ulama berkumpul. Tak heran jika Konya kemudian menjadi pusat ilmu dan tempat berkumpul para ulama dari berbagai penjuru dunia. Kesufian dan kepenyairan Rumi dimulai ketika ia sudah berumur cukup tua, 48 tahun. Sebelumnya, Rumi adalah seorang ulama yang memimpin sebuah madrasah yang punya murid banyak, 4.000 orang. Sebagaimana seorang ulama, ia juga memberi fatwa dan tumpuan ummatnya untuk bertanya dan mengadu. PENGARUH TABRIZ Fariduddin Attar, seorang tokoh sufi juga, ketika berjumpa dengan Rumi yang baru berusia 5 tahun pernah meramalkan bahwa si kecil itu kelak bakal menjadi tokoh spiritual besar. Sejarah kemudian mencatat, ramalan Fariduddin itu tidak meleset. Masa kecil Rumi, adalah masa pendidikan keras yang diterimanya. Ia tumbuh menjadi seorang lelaki yang kaku, selain Qur’an, hadits, fiqh, tafsir dan

FRASA


INSPIRING filsafat ia tak mau mempelajarinya. Sampai kemudian ia bertemu dengan seorang yang merubah hidupnya. Syamsi Tabriz, seorang sufi yang dengan tenang pernah membuang buku-buku filsafat Rumi ke dalam sumur. “Buku ini sangat rumit dan sulit dipahami,” katanya sambil melempar buku-buku tebal Rumi ke dasar sumur. Kontan saja, Rumi marah besar dibuatnya dan mengatakan betapa besar kerugian akan peristiwa itu. Tapi Syamsi, masih tenang. Tak banyak bicara ia menarik keluar buku-buku Rumi. Ajaib, semuanya utuh tak basah meski hanya selembar saja. Peristiwa itulah yang membuat Rumi memohon untuk menjadi murid Syamsi. Suatu saat, seperti biasanya Rumi mengajar di hadapan khalayak dan banyak yang menanyakan sesuatu kepadanya. Tiba- tiba seorang lelaki asing –yakni Syamsi Tabriz– ikut bertanya, “Apa yang dimaksud dengan riyadhah dan ilmu?” Mendengar pertanyaan seperti itu Rumi terkesima. Kiranya pertanyaan itu jitu dan tepat pada sasarannya. Ia tidak mampu menjawab. Berikutnya, Rumi berkenalan dengan Tabriz. Setelah bergaul beberapa saat, ia mulai kagum kepada Tabriz yang ternyata seorang sufi. Ia berbincang-bincang dan berdebat tentang berbagai hal dengan Tabriz. Mereka betah tinggal di dalam kamar hingga berhari-hari. Sultan Salad, putera Rumi, mengomentari perilaku ayahnya itu, “Sesungguhnya, seorang guru besar tiba-tiba menjadi seorang murid kecil. Setiap hari sang guru besar harus menimba ilmu darinya, meski sebenarnya beliau cukup alim dan zuhud. Tetapi itulah kenyataannya. Dalam diri Tabriz, guru besar itu melihat kandungan ilmu yang tiada taranya.” Rumi benar-benar tunduk kepada guru barunya itu. Di matanya, Tabriz benar-benar sempurna. Cuma celakanya, Rumi kemudian lalai dengan tugas mengajarnya. Akibatnya banyak muridnya yang protes. Mereka menuduh orang asing itulah biang keladinya. Karena takut terjadi fitnah dan takut atas keselamatan dirinya, Tabriz lantas secara diam-diam meninggalkan Konya. Bak remaja ditinggalkan kekasihnya, saking cintanya kepada gurunya itu, kepergian Tabriz itu menjadikan Rumi dirundung duka. Rumi benar-benar berduka. Ia hanya mengurung diri di dalam rumah dan juga tidak bersedia mengajar. Tabriz yang mendengar kabar ini, lantas berkirim surat dan menegur Rumi. Karena merasakan menemukan gurunya kembali, gairah Rumi bangkit kembali. Dan ia mulai mengajar lagi. Beberapa saat kemudian ia mengutus putranya, Sultan Salad, untuk mencari Tabriz di Damaskus.

FRASA

Lewat putranya tadi, Rumi ingin menyampaikan penyesalan dan permintaan maaf atas tindakan murid-muridnya itu dan menjamin keselamatan gurunya bila berkenan kembali ke Konya. Demi mengabulkan permintaan Rumi itu, Tabriz kembali ke Konya. Dan mulailah Rumi berasyikasyik kembali dengan Tabriz. Lambat-laun rupanya para muridnya merasakan diabaikan kembali, dan mereka mulai menampakkan perasaan tidak senang kepada Tabriz. Lagi-lagi sufi pengelana itu, secara diam-diam meninggalkan Rumi, lantaran takut terjadi fitnah. Kendati Rumi ikut mencari hingga ke Damaskus, Tabriz tidak kembali lagi. Rumi telah menjadi sufi, berkat pergaulannya dengan Tabriz. Kesedihannya berpisah dan kerinduannya untuk berjumpa lagi dengan gurunya itu telah ikut berperan mengembangkan emosinya, sehingga ia menjadi penyair yang sulit ditandingi. Guna mengenang dan menyanjung gurunya itu, ia tulis syair- syair, yang himpunannya kemudian dikenal dengan nama Divan-i Syams-i Tabriz. Ia bukukan pula wejangan-wejangan gurunya, dan buku itu dikenal dengan nama Maqalat-i Syams Tabriz. Selain menulis puisi, Syamsi Tabriz, mendiang gurunya itu mengenalkan pula kepada Rumi tarian religi yang biasa di sebut Sama’. Tarian ini biasanya dibawakan oleh para darwis, orang-orang yang mempelajari ajaran sufi. Kebanyakan di antara mereka adalah laki-laki. Tarian ini melambangkan kebebasan manusia untuk bertemu Tuhannya. Para penari memakai baju putih dengan bagian bawah yang lebar, seperti rok panjang. Asesoris lain adalah turbus sewarna yang menjulang di atas kepala. Mereka berputar, pertama membaca al Fatiha, kian lama kian cepat putaran mereka. Kemudian hanya kalimat Allah, Allah, Allah saja yang terdengar nyaris seperti dengungan lebah. Kini, meski bukan Rumi yang melakukan tarian ini untuk pertama kali, tapi Sama’ nyaris identik dengan Rumi. Jalaludin Rumi, dalam pengasingan dirinya menuangkan puisi-puisi jiwayang lahir dari hubungan saat beribadah. Tak heran jika membaca puisi Rumi, seakan menemukan kesejukan tersendiri karena puisinya lahir dari dasar hati. Rumi kemudian mendapat sahabat dan sumber inspirasi baru, Syekh Hisamuddin Hasan bin Muhammad. Atas dorongan sahabatnya itu, ia berhasil selama 15 tahun terakhir masa hidupnya menghasilkan himpunan syair yang besar dan mengagumkan yang diberi nama Masnavi-i. Buku ini terdiri dari enam jilid dan berisi 20.700 bait syair. Dalam karyanya ini, terlihat ajaran-ajaran tasawuf yang mendalam, yang disampaikan dalam bentuk apologi, fabel, legenda, Edisi I Tahun I [Jumat, 25 Mei 2012]

Hal. 21


INSPIRING anekdot, dan lain-lain. Karya tulisnya yang lain adalah Ruba’iyyat (sajak empat baris dalam jumlah 1600 bait), Fiihi Maa fiihi (dalam bentuk prosa; merupakan himpunan ceramahnya tentang tasawuf), dan Maktubat (himpunan surat-suratnya kepada sahabat atau pengikutnya). Bersama Syekh Hisamuddin pula, Rumi me­­

ngem­bangkan tarekat Maulawiyah atau Jalaliyah. Tarekat ini di Barat dikenal dengan nama The Whirling Dervishes (Para Darwisy yang Berputar-putar). Nama itu muncul karena para penganut tarekat ini melakukan tarian berputar-putar, yang diiringi oleh gendang dan suling, dalam dzikir mereka untuk mencapai ekstase.***

Jalaluddin Rumi

Berpuisi dengan Jiwanya Bagi anda yang gemar membaca puisi, khususnya sastera Islam tentu nama Jalaludin Rumi sudah tak asing lagi. Dalam dunia sastera, khususnya puisi, sufi yang satu ini jadi semacam prasasti yang abadi. Namanya, tak hanya dikenal orang Islam saja, yang bukan Islam pun juga memuji hasil karyanya. 30 September yang akan datang adalah ulang tahun Rumi yang 794. Tepatnya ia lahir di pada tahun 1207 di Balkh, sebuah kota kecil di kota Khurasan, Afghanistan. Jika dikaji salasillahnya, Rumi masih punya darah keturunan Abu Bakar dari ayahnya. Rumi lahir dari keluarga yang sangat keras menerapkan pendidikan agama. Nama Rumi sendiri di ambil dari kata Romawi, yang saat itu benarbenar menjadi pusat peradaban dunia. Jalaludin Rumi adalah seorang pengembara sejati, banyak kota dan penjuru yang sudah dijelajahinya. Banyak manusia dan bermacam karakter telah ditemuinya. Dalam perjalanannya mengembara ini, ia pernah bertemu dengan seorang ulama sufi terkenal di Nishafur, Fariduddin Attar. Dalam pertemuan ini, Attar memberikan hadiah pada Rumi, sebuah buku berjudul Asrarname. Selain itu, Attar juga mengatakan sesuatu yang kelak tak pernah dilupakan oleh Rumi. Attar saat itu meramal, bahwa suatu saat nanti Rumi akan menjadi terkenal. Dan adalah benar, kini siapa yang tak mengenal Rumi! Masa kecil Rumi, adalah masa pendidikan keras yang diterimanya. Ia tumbuh menjadi seorang lelaki yang kaku, selain Qur’an, hadits, fiqh, tafsir dan filsafat ia tak mau mempelajarinya. Sampai kemudian ia bertemu dengan seorang yang merubah hidupnya. Syamsi Tabriz, seorang sufi yang dengan tenang pernah membuang buku-buku filsafat Rumi ke dalam sumur. “Buku ini sangat rumit dan sulit difahami,” katanya sambil melempar buku-buku tebal Rumi ke dasar sumur. Rumi amat marah dan mengatakan betapa besar kerugian akan peristiwa itu. Tapi Syamsi, masih tenHal. 22

Edisi I Tahun I [Jumat, 25 Mei 2012]

ang. Tak banyak bicara ia menarik keluar buku-buku Rumi. Ajaib, semuanya utuh tak basah meski hanya selembar saja. Peristiwa itulah yang membuat Rumi memohon untuk menjadi murid Syamsi. Sejak saat itu, makin eratlah hubungan murid dan guru itu. Sedemikian eratnya, murid dan pengikut Rumi sampai dibikin ada yang iri. Akhirnya beberapa orang merencanakan pembunuhan pada Tabriz, dan terjadilah tragedi itu. Sejak tragedi itu, Rumi seolah memutuskan diri dengan dunia. Perhatiannya hanya tercurah untuk beribadah kepada Allah dan menulis buku serta puisi yang tadinya tak pernah ia sukai. Selain menulis puisi, Syamsi Tabriz, mendiang gurunya itu mengenalkan pula kepada Rumi tarian religi yang biasa di sebut Sama’. Tarian ini biasanya dibawakan oleh para darwis, orang-orang yang mempelajari ajaran sufi. Kebanyakan di antara mereka adalah laki-laki. Jalaludin Rumi, dalam pengasingan dirinya menuangkan puisi-puisi jiwa yang lahir dari hubungan saat beribadah. Tak heran jika membaca puisi Rumi, seakan menemukan kesejukan tersendiri karena puisinya lahir dari dasar hati. Berikut sepenggal puisi bagian dari karyanya yang terkenal Mastnawi yang diterbitkan oleh penerbit Mizan dengan judul: “Terang Benderang” Kuingin dadaku terbelah oleh perpisahan Agar bisa kuungkapkan derita kerinduan cinta Setiap orang yang jauh dari sumbernya Ingin kembali bersatu dengannya seperti semula.

FRASA


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.