Teman Seperjalanan Edisi 21

Page 1



Daftar Isi Daftar Isi & Redaksional .............................................1 Kolom Utama Sharing Seorang Formator........................................2

REDAKSIONAL

REDAKSIONAL

Belajar dari Formandi..................................................7 Aku Hanya Pelayan Tuhan.........................................11 Teman Seperjalanan..................................................15 Kemanapun Saya Diutus, Saya Berangkat.........18 Sharing Pastoral Benih-Benih dalam Genggaman Petani Agung............................................21 Menyongsong Masa Depan Gereja.....................24 Pojok Filsafat Mari Mengenal Filsafat.............................................28 Sosok Inspiratif Garam untuk ProfilKak Delviana Ledang...........30 Cerpen Mau..................................................................................32 Persona Iman

Dipanggil untuk Setia dan Kreatif dalam Perutusan..............................................35

Historia Domus...........................................................38

Sumber Foto : Dokumen Pribadi Hlm 15 : plus.google.com-Cyntia Hanafi Moderator: RD Joseph F. Susanto Pemimpin Umum: Fr. Robertus Guntur Ketua Redaksi: Fr. Albertus Ade Pratama Anggota Redaksi: Fr. Reinardus Doddy, Fr. Salto, Fr. S. Tino Dwi P. Editor: Fr. Bondika, Fr Marcellinus, Fr. Robertus Guntur Bendahara: Fr. Stefanus Harry Yudanto Redaktur Artistik: Fr. Patrick Slamet W, Fr. G. Mahendra Budi Sirkulasi & Iklan: Fr. Surya Nandi, Fr. Joko Prasetyo Alamat Redaksi: Seminari Tinggi Yohanes Paulus II-KAJ, Jl. Cempaka Putih Timur XXV No. 7-8, Jakarta Pusat 10510. Telp. (021) 4203374/4207480 Fax (021) 4264484 E-mail: tseperjalanan@yahoo.com Blog : temanseperjalanan.blogspot.com

Rekan Seperjalanan terkasih, pada Rekan Seperjalanan yangyang terkasih, Edisi Khusus XXI ini majalah teman seperjalasaat Indonesia merayakan Hari Ulang Tahun nan mengambil tema “Asyiknya jadiJakarta Formator”. kemerdekaannya yang ke-67 dan Warga Dalam hati tentu saja ada sebuah pertanyaan sedang mempersiapkan diri untuk mengikuti yang putaran menggelitik, bilang jadiseperjalanan formator pilkada kedua, siapa Majalah Teman itu asyik?pesta Jadi emas formator atau seseorang merayakan Ulang Tahun Imamatyang Romo diutus secara khusus untuk mendampingi para Koelman. Dalam rangka itu, redaksi membuat edisi calon50 imam entah dalam pendidikan seminari khusus tahun Imamat Romo Koelman. tinggiDalam maupun seminari menengah adalah edisi khusus ini, kami menyajikan tugas perutusan sering kali “dihindari” sejumlah artikel yangyang menceritakan kisah perjalanan karena harusKoelman. menjadiSelain teladan imamat Romo itu,bagi kamipara jugafrater ataupun seminaris selama 24 jam hidup mempersiapkan banyak artikel yang berisikan berkesan, sama. Mendampingi yang setiap hari pesan, dan pelajaran yangorang didapatkan dari orangditemui, dididik,memiliki dibina, dan diarahkan tentu orang yang pernah pengalaman menarik saja bukan yang mudah dengan segala bersama Romoperkara Koelman. Mulai dari romo-romo, kelebihan dan keterbatasan yang dimiliki oleh para frater, dan juga ada Bapak Agung Adiprasetyo formator tersebut. yang merupakan mantan murid Romo Koelman “Asyiknya jadi Formator” adalah suatu di SMA De Britto. Tidak lupa, laporan khusus yang klise apabila dilihat dari tugas dan dari perhelatan Temu Unio Frater Projo 2012tantangan yang oleh seorang formator melengkapi edisidihadapi khusus ini. dalamMelalui mempersiapkan edisi khususseorang ini, kamicalon ingin imam menuju imamat di tengah situasi mengajak pembaca untuk mensyukuri zaman rahmat saat Allah ini.nyata Oleh dalam karenaperjalanan itu, ungkapan tersebut meruyang setengah abad imamat pakan ungkapan kesetiaan kebahagiaan Romo Koelman. Selain itu, kamidan berharap melalui seorang formator yang dan dengan hatiyang penuh artikel ini banyak pelajaran inspirasi bisa pengorbanan, rela memberikan bagi dipetik dari kehidupan seorang imamdirinya yang berasal pembinaan calon imam di seminari tinggi dari Belanda tapi membaktikan hidupnya demi ini. Semoga pembaca dapat menggali Gereja Katolik Indonesia. inspirasi rohani dari ini. Inspirasi untuk Proficiat Kepada edisi Romokali Koelman. setia,Altijd bersyukur, dan menjalani hidup dengan gelukkig!!! hati yang tulus apapun tugas yang dipercayakan kepada kita. Overleefd lezing....

Teman Seperjalanan XXI/November-Desember 2013

1


KOLOM UTAMA Sharing Seorang Formator RD. Petrus Kanisius Tunjung Kesuma**

1. Pendahuluan Beberapa waktu lalu saya diminta untuk menulis sebuah refleksi tentang suka duka, pergulatan, dan juga keprihatinan saya sebagai seorang formator. Saya akui permintaan ini sesungguhnya mengingatkan saya akan hal-hal yang selama ini saya biarkan berlalu begitu saja dan sudah saya anggap biasa. Memang, kadang kala saya berfikir akan menulis tentang pengalaman saya sebagai formator di Seminari Tinggi KAJ, namun saya cenderung berfikir bahwa pengalaman saya itu akan saya bagikan apabila saya merayakan moment penting dalam 2

Teman Seperjalanan XXI/November-Desember 2013

hidup saya sebagai imam. Misalnya, 25 tahun imamat dan sekarang saya baru menjalani 22 tahun sebagai imam. Masih panjang jalan yang harus saya lalui untuk mencapai 25 tahun itu, dan kita tidak tahu apa yang akan terjadi. Permintaan menulis pengalaman sebagai formator mengingatkan saya akan hal-hal yang telah saya lewatkan selama ini, juga membawa saya pada kesadaran bahwa saya sudah cukup lama sebagai formator. Saya membagi pengalaman saya sebagai formator menjadi dua, yakni di Seminari Menengah dan Seminari Tinggi. Saya pernah menjadi formator di Seminari Menengah Wacana Bhakti ketika menjalankan Tahun Orientasi Pastoral, yakni tahun 1988-1989. Setelah ditahbiskan saya langsung bekerja di Seminari Tinggi, yakni di Wisma Murdai tahun 1991-1993 dan di Wisma Cempaka tahun 19931996. Setelah beberapa saat saya studi dan kemudian bekerja di Paroki, pada tahun 2005 saya kembali lagi ke Seminari Tinggi hingga kini. Kalau dihitung secara keseluruhan saya sudah bekerja sebagai formator selama 14 tahun. Setiap kali harus berkisah tentang pengalaman saya berada di Seminari, pertanyaan kerap yang muncul dan ditujukan pada saya ; apakah saya senang berada di seminari sehingga bisa bertahan begitu lama sebagai formator? Pertanyaan itulah yang ingin saya gali dalam refleksi ini. Apakah kesediaan


saya berkarya di seminari adalah persoalan senang atau tidak senang, ataukah sekadar suatu tugas yang tidak bisa saya tolak? Atau ada hal lain yang lebih mendalam? 2. Berawal dari sebuah pergulatan Saya merasakan antusiasme yang sangat besar dalam pembinaan imam Jakarta ketika saya masuk menjadi seminaris di Keuskupan ini pada tahun 1983. Dalam beberapa kesempatan tidak jarang kami bertemu dengan Bapak Uskup. Pada waktu itu terus menerus disuarakan pentingnya imam diosesan bagi Keuskupan ini. Yang masih saya ingat adalah perkataan bahwa keuskupan tanpa imam diosesan bagaikan macan ompong, maka sangat dibutuhkan imam-imam diosesan. Namun antusiasme yang besar ini rupanya tidak saya rasakan dalam kehidupan pembinaan sehari-hari. Kurangnya formator sehingga harus merangkap tugas di tempat lain serta belum mantapnya sistem pembinaan menyebabkan kami kerap kali merasa sendirian. Bagi kami yang mayoritas berasal dari Seminari Mertoyudan- sebuah seminari yang tua dengan tradisi yang sudah mapan-

“

Kalau kita merindukan suatu perubahan haruslah ada yang berani untuk mengorbankan dirinya untuk perubahan tersebut.

hal ini terasa tidak mudah. Dalam pembicaraan bersama teman-teman terasa sebuah pergulatan yang dialami oleh kami semua. Dalam kondisi dimana godaan mencari jalan pintas sangat kuat, di suatu siang saya membaca di perpustakaan sebuah majalah Tempo yang sudah lama terkait dengan sejarah pergolakan Politik di Nikaragua. Kalau tidak salah dalam majalah itu dikisahkan bagaimana pengorbanan seorang pejuang negara tersebut menggerakkan banyak orang untuk terlibat dalam usaha memerdekakan bangsanya. Kisah itu sangat berpengaruh pada diri saya yang waktu itu terombang-ambing oleh segala kerisauan hati karena perbenturan antara idealisme dan kenyataan. Setelah membaca kisah tersebut, saya tertarik dengan gagasan “pengorbanan�. Ternyata “pengorbanan� seseorang sungguh berdaya besar dalam menggerakkan orang lain lebih daripada sekadar kata-kata yang baik dan memotivasi. Kalau kita merindukan suatu perubahan haruslah ada yang berani untuk mengorbankan dirinya untuk perubahan tersebut. Pikiran spontan yang muncul pada saat itu adalah pertanyaan; apakah saya semata-mata hanya meratapi situasi yang tidak ideal dan kemudian mengacuhkannya dan bahkan lari dari situasi seperti ini ataukah saya berani untuk mengorbankan diri saya demi mewujudkan suatu cita-cita pembinaan imam yang baik yang saya pikirkan selama ini? Saya memilih yang kedua. Itulah awal mula mengapa saya terlibat dalam pembinaan di seminari ini. Kesadaran saya yang sangat sederhana ini terbantu oleh tugas perutusan yang diberikan Mgr. Leo Soekoto SJ kepada saya setelah menerima tahbisan imamat. Berbeda dengan yang Teman Seperjalanan XXI/November-Desember 2013

3


dialami oleh banyak imam yang lain, setelah menerima tahbisan saya langsung bertugas di Seminari Tinggi; tepatnya di Wisma Murdai. Bekerja di seminari saya rasakan sebagai suatu tugas yang tidak mudah bagi saya namun melalui tugas ini pula saya diperkaya dalam banyak pemahaman dan penghayatan imamat saya; yakni seorang imam diosesan hendaknya menyadari bahwa tugasnya adalah seluas kebutuhan keuskupan itu sendiri dan sebagai imam keuskupan saya memiliki tanggung jawab untuk terlibat dalam menjawab kebutuhan itu; apapun bentuk kebutuhannya. Karena itu, kalau kini saya refleksikan kembali keterlibatan saya dalam formasi calon imam di Keuskupan Agung Jakarta, saya menemukan dasar dari semua itu adalah perasaan tanggungjawab untuk terlibat dalam keprihatinan keuskupan. Semangat pengorbanan yang saya temukan dalam pergulatan ketika di tahun rohani sungguh membuat saya berani mengambil tanggung jawab yang tidak mudah 4

Teman Seperjalanan XXI/November-Desember 2013

ini. Dengan kesadaran ini saya tidak lagi disibukkan dengan pergulatan-pergulatan; apakah ini menyenangkan bagi saya atau tidak, apakah saya mendapat pujian atau tidak, apakah saya mendapat penghiburan psikologis atau tidak. Kiranya itulah yang selama ini saya rasakan. 3. Suatu harapan Setelah saya berbicara tentang apa yang menjadi dasar saya menekuni karya ini, saya ingin mengungkapkan apa yang menjadi harapan saya sebagai seorang formator kepada para frater. Pertama, perlunya mengembangkan rasa tanggung jawab untuk terlibat dalam kegembiraan, keprihatinan serta perwujudan visi dan misi Gereja setempat. Rasa tanggung jawab inilah yang akan membuat kita berani masuk dalam karya-karya yang dipandang tidak populer atau tidak menarik tetapi sangat dibutuhkan oleh Gereja. Dengan kesadaran ini kita tidak berhenti pada proyek-proyek pribadi atau pada kepriha-


tinan sendiri, melainkan mampu bersikap “altruis�, dalam arti keluar dari diri sendiri dan melihat apa yang dibutuhkan oleh Gereja serta bertanya apa yang bisa saya lakukan untuk Gereja. Dalam koordinasi dengan pimpinan Gereja kita mewujudkan rasa tanggung jawab tersebut. Agar kita dapat sungguh terlibat dalam kegembiraan, keprihatinan serta perwujudan visi dan misi tersebut, kiranya perlu disadari dibutuhkan kualitas manusia tertentu; bukan sekedar kemampuan praktis atau kemampuan intelektual. Menurut pengalaman saya, karya-karya di dalam Gereja membutuhkan kualitas-kualitas manusia tertentu. Inilah yang kerapkali kurang disadari. Saya mengamati secara tersamar terdapat kecenderungan melihat imamat semata sebagai pekerja dalam bidang rohani. Maka aksentuasinya adalah bagaimana meningkatkan ketrampilanketrampilan praktis kita; seseorang sudah merasa cukup kalau bisa berkotbah dengan baik, memberi rekoleksi dengan baik atau ceramah dengan baik dan menarik, kreatif membuat berbagai proyek dsb. Tentu saja ini semua penting. Namun demikian, yang tidak bisa diabaikan juga adalah kenyataan pelayanan kita membutuhkan pula orang-orang yang berkeutamaan seperti kemampuan memimpin, mampu bekerja dalam tim, mau terus belajar dan rendah hati, kemampuan untuk berdiskresi, disiplin dalam hidup, setia, sabar, tekun dan masih banyak lagi. Hal-hal inilah yang kiranya perlu dilatih dan diperhatikan di dalam seminari dan tidak boleh dianggap nomor dua. Kerapkali keinginan baik untuk terlibat dalam keprihatinan dan perwujudan visi dan misi Gereja tidak bisa terwujud secara maksimal karena kurangnya kualitas pribadi tersebut. Kedua, perlunya memberi teka-

nan lagi pada semangat pengorbanan. Kiranya kesadaran kita bahwa kita adalah imam dan calon imam bisa membantu memahami pengorbanan sebagai nilai yang penting dalam hidup kita. Kita semua telah dan akan mengambil bagian dalam imamat Kristus sang Imam Agung. Sebagai Imam, ia sekaligus adalah korban. Maka apabila kita mengambil bagian dalam imamatNya, kiranya dimensi pengorbanan tidak lepas dari hidup kita. Dengan menjadi imam kita siap pula untuk berkorban. Ekaristi yang setiap hari dirayakan bersama di seminari kiranya bisa mengingatkan dan mendorong kita untuk berani berkorban. Dengan semangat berkorban, saya terbebaskan dari segala kelekatan pada apa-apa yang merupakan minat atau perhatian atau kesukaan saya. Saya tidak lagi dibebani oleh keinginan untuk mencari atau mengejar semuanya itu. Saya sadari semuanya saya lepaskan karena adanya sesuatu yang lebih berharga bagi saya, yakni menghayati hidup saya sebagaimana saya seharusnya. Apabila saya ingin menghayati hidup imamat dengan serius maka perlulah saya menghayati pengorbanan tersebut. Kiranya kesadaran akan dimensi pengorbanan dalam hidup imam harus mulai disadari dalam masa pendidikkan calon imam. Pengorbanan baik juga dipahami sebagai bentuk kesadaran saya akan kebersamaan. Bagaikan sebuah tim sepak bola, dimana tidak semuanya ingin menjadi penyerang, melainkan harus ada yang rela menjadi penjaga gawang atau pemain belakang, demikian pula semangat pengorbanan memungkinkan kita mampu bekerja dalam kebersamaan. Hanya dengan ada yang mau berkorban maka sebuah kelompok atau tim dapat berhasil dengan baik. Semakin kuat kesadaran ini pada masing-masing angTeman Seperjalanan XXI/November-Desember 2013

5


gota, semakin mampulah tim atau kelompok tersebut mencapai hasil yang maksimal.Semangat pengorbanan ini kiranya dibutuhkan dalam keuskupan ini kalau kita memang merindukan bahwa imam diosesannya dapat berkembang dengan baik. Dan pengorbanan ini tidaklah dilakukan dengan terpaksa melainkan dengan kegembiraan dan kebanggaan. Saya gembira dan bangga karena pengorbanan melalui hal tersebut menunjukkan bahwa saya bersungguh-sungguh menghayati imamat saya dan saya serius terlibat dalam suka duka keuskupan.

4. Kata terakhir Apa yang saya sampaikan di sini semata-mata adalah ungkapan pengalaman saya. Saya memang tidak mengacu kepada dokumen tentang pendidikan calon imam atau apapun. Ini sematamata sharing yang sangat singkat dari seorang yang telah bergulat selama bertahun-tahun dalam bidang pembinaan calon imam di Keuskupan ini. Begitu singkatnya sehingga banyak aspek yang masih belum bisa diungkapkan. **Penulis adalah Rektor Seminari Tinggi Yohanes Paulus II KAJ

Jiwaku memuliakan Tuhan, dan hatiku bergembira karena Allah Juruselamatku. 6

Teman Seperjalanan XXI/November-Desember 2013


KOLOM UTAMA Belajar dari Formandi RP. Albertus Sadhyoko, SJ**

Redaksi Majalah Teman Seperjalanan meminta saya menulis tentang pergulatan, harapan, kecemasan, kebahagiaan, dan tantangan yang dialami sebagai formator. Alasan yang disampaikan karena saya lama berada dalam “dunia” formatio. Hal tersebut tidak ada salahnya karena sampai sekarang ini sudah 20 tahun saya berkecimpung di “dunia” tersebut. Selama 3 tahun (model lama) saya menjalani TOK (Tahun Orientasi Kerasulan) di Seminari Mertoyudan, sekaligus 6 tahun merangkap sebagai pendamping frater-frater TOK-er Jesuit, dan sekarang di TOR (Tahun Orientasi Rohani) KAJ memasuki tahun ke-7 (entah sampai kapan…). Bagi sebagian orang, pengalaman saya ini menjadi bahan tertawaan,

sindiran setengah mengejek, ya karena di seminari terus, padahal saya juga pernah bertugas di paroki Ambarawa dan St. Theresia Jakarta. Namun, sebagian justru kagum karena saya bisa betah, atau menerima kharisma. Saya mempunyai keyakinan ”dipanggil untuk diutus...” Tuhan telah memanggil saya lewat Gereja-Nya, Serikat, dan Keuskupan, lewat Pembesar saya. Ketaatanlah yang menjadi dasarnya. Kalau Tuhan mengutus, tentu juga akan memberikan rahmat kekuatan, kegembiraan, dan kebahagiaan. Diutus ke dalam karya formatio untuk calon imam, bagi saya, bukan hanya berarti menyiapkan calon pemimpin Gereja, tetapi juga calon pemimpin saya sendiri. Maka saya merasa dituntut tanggung jawab penuh atas tugas tersebut. Terbukti mereka yang pernah saya dampingi sudah menjadi anggota Kuria Provinsialat Serikat Jesus dan beberapa Kuria Keuskupan. Dulu mereka mesti taat kepada saya, sekarang gantian saya mesti taat kepada mereka. Saya bersyukur atas pengalaman tersebut. Inilah karya pendidikan kader Gereja, dan pada sisi lain juga kader masyarakat. Biasanya buahnya baru dirasakan di kemudian hari, misalnya sebagai pastor di paroki, seminari (Menengah dan Tinggi), kolese, yayasan, juga sebagai provincial dan magister di beberapa Lembaga Hidup Bhakti. Demikian pula halnya yang tetap sebagai awam dengan aneka profesi, misalnya karyawan, wiraswasta, guru, Teman Seperjalanan XXI/November-Desember 2013

7


dosen, dokter, polisi, dsb. Dalam rangka tugas rangkap saya di Rumah Retret Samadi Klender, ketika berkeliling ke seluruh paroki KAJ untuk sosialisasi dan penggalangan dana, saya selalu menjumpai mantan seminaris yang pernah saya dampingi, termasuk beberapa imam paroki tersebut. Dan di antara mereka ada yang menjadi aktivis di paroki, seperti anggota dewan paroki, prodiakon, pengurus lingkungan, dsb. Sungguh menggembirakan mendengar mereka dapat menghayati panggilan mereka dengan baik, baik sebagai imam maupun awam. Namun saya merasa prihatin bahwa ada sebagian dari mereka yang hidupnya kurang baik, ada juga yang terlibat dalam masalah serius, kriminal misalnya. Bertugas di lingkungan calon imam sering disebut sebagai formator, namun tetap harus ditempatkan pada tempatnya, agar tidak jatuh dalam sikap memutlakkan diri, sadar atau tidak sadar. Formator utama tentulah Allah sendiri, Allah yang memanggil. Roh Kudus adalah daya ilahi yang membentuk. Calon imam (formandi – calon yang sedang dibentuk) menjadi formator bagi dirinya sendiri. Ia bertanggungjawab atas dirinya sendiri. Baru kemudian formator-formator lain, seperti staf seminari, guru, dosen, karyawan, teman sepanggilan, orang tua, umat beriman yang lain. Masing-masing mempunyai perannya sendiri-sendiri. Seseorang itu dipanggil secara pribadi tetapi bersama orang lain. Salah satu sikap dasar yang penting ialah keterbukaan. Apakah dalam diri formandi terbangun sikap keterbukaan, maka formator akan terbantu mengenal mereka. Dengan demikian pendampingan dan pengarahan akan lebih realistis, bertitiktolak dari keadaan mereka, mengarah pada kebutuhan mer8

Teman Seperjalanan XXI/November-Desember 2013

eka, dalam rangka menanggapi panggilan imamat. Sebagai formator, baik di Seminari Menengah dan Seminari Tinggi, saya menyadari bahwa ada macam-macam peran yang bisa dihayati, misalnya sebagai pemimpin, pendidik, pembimbing, guru, orang tua, teman atau sahabat. Itulah sebabnya dalam proses formatio saya merasa bersyukur karena telah membantu, menyapa, memberikan jalan keluar dari masalah, menghibur, meneguhkan, menemani, dan sebagainya. Tetapi juga mesti siap bila kurang atau tidak disukai, dihindari, dicemooh (di belakang biasanya), karena harus menegakkan peraturan, kedisiplinan, keteraturan, terus-menerus menanamkan dan mengingatkan kebiasaan-kebiasaan yang baik, dan mengontrol segala sesuatunya, bahkan sampai �juweh� (Jawa), artinya terus-terus sampai bosan. Atau karena ada sikap yang dirasa kurang bijaksana dan kurang adil, dan tidak memberikan keteladanan yang baik. Memang bertugas di dalam karya formatio dapat dikatakan �sawangsinawang�, antara formator dan formandi �saling memperhatikan.� Itulah sebabnya sering terdengar mengapa ada romo yang keberatan ditugaskan di seminari, dengan alasan banyak aturannya, monoton, kering, harus kelihatan baik di depan

“

Dulu mereka mesti taat kepada saya, sekarang gantian saya mesti taat kepada mereka.


seminaris, tidak dapat menjadi teladan yang baik, dan sebagainya. Tiap-tiap tugas tentu membawa kegembiraannya sendiri yang harus dicari di tengah-tengah kaum muda yang dilayaninya. Menjalani tugas di seminari itu berarti memasuki dunia anak muda. Maka kalau kita bisa masuk ke dalamnya melalui bidang-bidang yang digemari kaum muda, seperti olah raga, kesenian, jurnalistik, ketrampilan-ketrampilan, organisasi, dan sebagainya, tentulah hal itu akan membantu dalam tugas-tugas pendampingan. Demikian pula halnya sebagai formator, kita mau terlibat dalam perbincangan-perbincangan bersama mereka waktu makan, rekreasi, �outing�, dan aneka kegiatan yang lain. Kegiatan opera atau kerja bersama saya rasa juga efektif dan menyenangkan untuk pendampingan dan pengenalan. Namun karena faktor �U� (umur), saya sadar makin lama terasa makin sulit terlibat dalam kegiatan mereka, misalnya saja sudah tidak mungkin lagi saya bermain sepak bola dan basket, yang saya sukai. Kalau main tenis meja masih bolehlah. Namun tetap harus kreatif dalam mencari bentuk dan sarana lain yang bisa membantu mendekatkan diri dengan mereka. Salah satu �spiritualitas� yang saya temukan dan saya hidupi sejak masa TOK, ialah �spiritualitas kehadiran�, bisa dekat dengan mereka tetapi tetap ada jarak karena posisi dan tugas. Beberapa prinsip yang coba saya hidupi juga ialah menghindari sikap �anak emas� atau pilih kasih, yang sering tidak mendidik; kalau ada kesalahan memberi sanksi diusahakan sepadan dengan kesalahan yang dibuat; sikap �ngecing� (jawa), yaitu mengincar kesalahan dan kekurangan orang lain. Formator sendiri bukanlah orang yang sempurna, bukan seperti dewa yang bebas dari kesalahan dan

kekurangan. Di samping itu, perlu dibangun komunikasi dan kerjasama yang baik dengan para formator yang lain, sesuai dengan peran dan fungsi masingmasing. Hal itu terjadi baik melalui jalur formal maupun non formal, dalam semangat persaudaraan. Sikap menonjolkan diri dan mencari perhatian untuk kepentingan sendiri di hadapan formandi, sering justru membuat keterpecahan dan menjadi kontra-produktif dalam pendampingan. Dalam pendampingan melalui berbagai macam cara, terlebih melalui perbincangan, dialog, bimbingan rohani, justru sering saya banyak belajar dari para seminaris, baik di Seminari Menengah maupun Seminari Tinggi. Saya belajar dari pergulatan mereka, bagaimana mereka ingin maju dan berkembang dalam menanggapi panggilan. Di sisi lain, saya bersyukur menemani mereka dalam menegaskan panggilan mereka, sehingga mereka dapat mengambil keputusan dengan benar dan tetap bahagia, entah ingin melanjutkan atau mengundurkan diri. Tentu saya merasa prihatin kalau mereka salah pilih. Misalnya saja, setelah di luar seminari lalu kecewa, tidak bahagia, tidak berkembang. Ujung-ujungnya menyalahkan staf, padahal sebenarnya mereka tidak berani bertanggungjawab atas pilihan yang diambil secara pribadi. Akibatnya sulit untuk bersyukur atas pengalaman selama di seminari. Saya juga merasa prihatin kalau ada seminaris yang ingin tetap melanjutkan proses formasio, tetapi hidupnya tidak mencerminkan sebagai calon imam, tidak sesuai dengan harapan seminari, tidak hidup dengan sungguh-sungguh bertanggungjawab. Hidup kita itu ditopang oleh umat, oleh Gereja. Teman Seperjalanan XXI/November-Desember 2013

9


Itulah sebagian dari pengalaman saya sebagai seorang formator. Beberapa kali saya ditanya, di mana saya menjalani pendidikan formal untuk menjadi seorang formator. Saya katakan bahwa tidak ada pengalaman pendidikan formal yang saya tempuh sebagai bekal. Saya merasa seperti begitu saja ”dicemplungkan” dalam ”dunia formasio”. Jadi yang saya alami adalah ”learning by doing”, dilengkapi ikut berbagai pertemuan, seperti kursus singkat, seminar, ”workshop”, dan sebagainya. Meskipun demikian

saya tetap bersyukur karena boleh ikut ambil bagian dalam mendampingi para calon imam selama ini. Pengalaman ini juga meneguhkan dan memperkaya panggilan saya sendiri sebagai seorang imam. **Direktur Tahun Orientasi Rohani “Wisma Puruhita” KAJ dan Direktur Rumah Retret Wisma Samadi KAJ

Seandainya aku menjadi...

10

Teman Seperjalanan XXI/November-Desember 2013


KOLOM UTAMA Aku hanya Pelayan Tuhan RD. Romanus Heri Santoso**

Pelayanan yang Penuh Syukur, Gembira, Kerja Keras, dan Berjuang Tepas (Temu Pastores) 2011 di Erema menjadi kesempatan baik bagi saya untuk bertemu dengan Mgr. Suharyo. “Bagaimana Rm. Romanus, apakah sudah mempersiapkan diri untuk bertugas di Seminari Tinggi”, tanya Bapak Uskup dengan nada lirih dan halus. “Saya akan selalu mempersiapkan Bapak Uskup”, tegasku dengan wajah terseyum. “Baik, semoga kamu bisa menjadi teman bagi para frater”, tegasnya sekali lagi. Saya akan selalu taat dengan pimpinan, itulah komitment saya dalam hati. Bukan ketaatan buta, tetapi

ketaatan yang penuh syukur, gembira, kerja keras, dan perjuangan. Ketika saya mengatakan “SIAP” akan perutusan di Seminari Tinggi, saya akan menjalankan dengan penuh syukur, gembira, kerja keras, dan harus terus diperjuangkan. Bagi saya, proses adaptasi jangan terlalu lama, selanjutnya adalah bekerja. Sebagai imam muda, yang mendapat rahmat tahbisan 18 Oktober 2009, saya mendapat perutusan dari Bapak Uskup di paroki super besar, yaitu Paroki St. Yakobus, Kelapa Gading. Saya sangat bersyukur dengan komunitas para romo yang sangat kondusif dan menggembirakan. Sebagai imam muda, saya masih membutuhkan bimbingan dan teladan. Di Kelapa Gadinglah saya mendapatkan bimbingan dan teladan dari para romonya. Melayani dengan gembira, kerjasama, kepemimpinan yang partisipatif, dan hidup bersama yang saling memahami adalah keutamaankeutamaan yang saya dapatkan sebagai imam muda. Sehingga, rasa lelah yang kami rasakan dalam totalitas pelayanan kepada umat, bukan menimbulkan keluhan, melainkan ucapan syukur dan kegembiraan karena kuatnya kebersamaan dalam komunitas pada saat itu. Bekal tiga tahun berada di komunitas Kelapa Gading menjadi modal baik bagi saya ketika mendapatkan perutusan baru dari Bapak Uskup, yaitu hidup dan berjalan bersama para frater calon imam Diosesan Keuskupan Agung Jakarta. Pelayanan kepada umat harus sungguhTeman Seperjalanan XXI/November-Desember 2013

11


sungguh ditopang dengan komunitas imam yang baik dan saling memahami. Sehingga, semua pelayanan kepada umat yang dilaksanakan dengan kerja keras dan penuh pengorbanan ini tetap membuahkan rasa syukur, penuh kegembiraan, dan menumbuhkan iman kami akan Yesus Kristus. Teman Seperjalanan Saya memaknai tugas ini sebagai pelayanan, melayani Yesus dalam diri teman-teman frater. Kita semua adalah “Teman Seperjalanan� dalam meniti jalan panggilan ini. Sebagai teman seperjalanan, ada kalanya dikuatkan, ada kalanya diteguhkan, ada kalanya mengalami perbedaaan pendapat dan cara berpikir, tetapi semuanya bermuara pada kehendak yang sama dalam membangun kebersamaan sebagai imam dan calon imam Keuskupan Agung Jakarta. Maka, dinamika sebagai Teman Seperjalanan adalah kerja keras dan berjuang dalam balutan hati yang penuh syukur dan gembira. Komunitas yang harus dibangun

12

Teman Seperjalanan XXI/November-Desember 2013

adalah komunitas yang saling memberi teladan baik sebagai imam dan calon imam. Satu dengan yang lainnya harus memberi teladan yang baik. Saya menempatkan keutamaan ini bukan sebagai tugas yang berat melainkan sebagai kehendak yang sungguh-sungguh keluar dari lubuk hati yang paling dalam. Jadi, bukan lagi sebagai tantangan, melainkan sebagai bentuk syukur akan jalan panggilan yang sudah kita pilih secara pribadi dan penuh dengan kesadaran ini. Maka, sebagai komunitas Seminari Tinggi Yohanes Paulus II, kita semua dengan rasa syukur dan gembira, menumbuh kembangkan di dalam komunitas keutamaan-keutamaan hidup sebagai Gembala yang baik dan murah hati. Apa saja buah-buah yang harus diperoleh? Buah-buahnya adalah menjadi pelayan yang murah hati, mau berkorban, siap mengalah, tangguh, tidak gampang mengeluh dan putus asa, dan berpihak kepada mereka yang miskin, tersingkir dan menderita. Tidak mudah, tetapi harus diperjuangkan terus-menerus. Inilah identitas sebagai murid-murid Yesus.


Terus mau berjuang sampai titik darah penghabisan, hanya untuk Yesus. Tenaga Lokal yang Berkualitas dan Mandiri “Khotbah yang sesungguhnya bukan dengan kata-kata, tetapi terwujud dalam kesaksian hidup baik sehari-hari”, inilah ungkapan mendalam yang harus kita hidupi sebagai imam dan calon imam. Menjadi imam dan calon imam harus mempunyai integritas hidup yang baik. Janganlah menjadi imam dan calon imam yang hanya “Omong doang”, melainkan sungguh-sungguh menghidupi dalam kehidupan sehari-hari. Jadilah pribadi yang mencintai hidup doa! Jadilah pribadi yang rendah hati! Jadilah pribadi yang bertanggung jawab! Jadilah pribadi yang santun! Jadilah pribadi yang siap berkorban! Jadilah pribadi yang setia dalam tugas utama! Jadilah pribadi yang serius dalam menjalani panggilan! Dan jadilah murid Kristus yang terus menerus meneladan Sang Guru! Mengapa saya katakan terus menerus, karena saya dan kita semua sedang sama-sama berjuang. Tidak ada yang sudah sempurna. Semua dari kita hanya bejana tanah liat, yang sedang di tangan dan dibentuk oleh Tuhan. Kita semua dalam kondisi retak dan bahkan sudah pecah. Tetapi keretakan dan ke-

Tantangan yang paling besar sebagai “Teman Seperjalanan” para frater adalah keberanian untuk “SERIUS” .

terpecahan kondisi hidup kita ini sedang berada ditangan Tuhan. Terbukalah dan berserahlah akan bentukan dan cara kerja Tuhan, yang pasti tak terpahami oleh kita manusia. Harapan saya, semoga imam diosesan Jakarta semakin mempunyai tenaga yang semakin mandiri. Jumlahnya semakin banyak, menghasilkan imamimam pendoa, pekerja keras, punya integritas dalam pelayanan, rendah hati dan gembira. Maka, kebanggaan sebagai imam diosesan terukur dalam hidup doanya, kerja kerasnya dan kegembiraannya. Jalan Hidup yang Dinamis Hal yang selalu membuat saya bahagia adalah ketika hidup dalam dinamika syukur, kerja keras, perjuangan, dan kegembiraan. Dalam dinamika tersebutlah saya bahagia. Dalam dinamika hidup yang dinamis inilah saya menemukan kegembiraan dan kebahagiaan. Kebahagian bukan berada dalam tataran luar dan kulit saja, tetapi sungguh-sungguh terpancar dari dalam. Saya menjalani pelayanan bersama para frater ini dengan penuh rasa syukur. Hidup bersama mereka berarti merasakan suka dan duka bersama mereka. Saya selalu bawa dalam doa. Saya bawa mereka satu persatu dalam doaku. Semoga segala kerja keras para formator dan kerja keras dari para frater yang sedang berjuang dan bergumul dalam meniti panggilan ini, ketika dibalut dalam kuasa doa, akan dilengkapi oleh Tuhan sendiri. Tak ada yang perlu saya sombongkan. “Jauhkan saya dari kesombongan, bahwa semua ini bukan berkat usaha dan kerja kerasku semata ya Tuhan”, itulah doa saya terus menerus dalam pelayanan ini. Tak ada yang hebat didalam diriku dan didalam setiap Teman Seperjalanan XXI/November-Desember 2013

13


pribadi manusia. Yang hebat dan dahsyat hanya satu yaitu, TUHAN. Maka, penopang, penggerak, dan yang berperan besar dalam kehidupan Seminari Tinggi ini adalah Tuhan. Kami semua hanyalah alatnya. Tuhan tidak akan pernah tinggal diam. Dia selalu memberi perhatian kepada kita dan selalu menopang kerja keras kita. Dan bahkan Ia selalu menaburkan kegembiraan dalam tugas pelayanan apapun, khususnya di dalam pelayanan di Seminari Tinggi tercinta ini. Punya Hati Untuk Seminari Saya bersyukur, struktur, dan sistem pendidikan di Seminari Tinggi sekarang ini sangat kondusif bagi para frater. Adanya keseimbangan antara hidup doa, hidup studi, hidup pastoral dan hidup bersama. Semoga sistem yang sudah dibangun dan diperjuangkan sedemikian rupa oleh Rm. Simon Lili dan Rm. Tunjung, sungguh-sungguh ditanggapi dan dijalani secara positif oleh teman-teman frater. Memang tidak

ada yang sempurna dan tak ada yang tak bisa dikritik. Semua sangat terbuka dengan perubahan. Tetapi janganlah selalu mudah “merubah-ubah” apa yang sudah ada, sebelum ditekuni, digumuli dan dijalani dengan serius terlebih dahulu. Jika memang sudah dijalani dengan berbagai kerja keras, pada saatnya pun keberanian untuk mengevaluasi sangat terbuka lebar. Tantangan yang paling besar sebagai “Teman Seperjalanan” para frater adalah keberanian untuk “SERIUS” dalam tugas pelayanan ini. Maka, keterbukaan hati akan Allah yang mengutus menjadi poin utama. Belajar terus menerus, kerja keras terus menerus, berjuang terus menerus, dan menjadi pendoa dan teladan yang baik terus menerus adalah kesempatan yang baik dalam menjalani pelayanan ini. Doakan kami… ** Pastor Unit Seminari Tinggi Yohanes Paulus II KAJ dan Ketua Komisi Kitab Suci KAJ

Terjadilah padaku menurut perkataan-Mu... 14

Teman Seperjalanan XXI/November-Desember 2013


KOLOM UTAMA TEMAN SEPERJALANAN Cynthia Hanafi**

Sebuah Pengalaman Pengabdian Selama 26 Tahun Ibu Chynthia Hanafi Dosen Psikologi Tahun Orientasi Rohani Keuskupan Agung Jakarta, Ibu Cynthia Hanafi, sudah 26 tahun berkarya. Kehadiran dosen ini memberikan salah satu warna yang khas bagi kehidupan para frater Tahun Orientasi Rohani KAJ. Mengapa demikian? Karena dosen yang satu ini mengajak para frater untuk keluar dari zona nyaman pribadi. Para frater diajak untuk melihat dirinya sendiri secara lebih jernih dan obyektif. Kemampuan mempelajari diri sendiri kemudian dijadikan bahan yang mempertajam refleksi serta kehidupan rohani mereka. Beliau turut ambil bagian dalam usaha para frater mempertajam refleksi atas diri dan panggilannya masing-masing. Berawal dari beberapa kebetulan Berawal dari suatu penjumpaan yang merupakan kebetulan dengan

romo Alex Dirdjo SJ di Gembala Baik Jakarta Timur sekitar 26 tahun lalu. Saat itu Romo Alex mengemukakan rancangannya untuk memberikan pelajaran psikologi bagi para frater Tahun Orientasi Rohani (dikenal dengan sebutan ‘Tahun Rohani’ pada waktu itu). Sebuah terobosan baru untuk memasukkan unsur Psikologi dalam program pengajaran para calon imam pada era tahun delapan puluhan tersebut. Kebetulan pula Seminari Tinggi KAJ baru membuka Wisma Puruhita untuk rumah frater-frater Tahun Rohani yang berlokasi di daerah Klender yang tidak jauh dari tempat tinggal baru ibu Cynthia. Beberapa kebetulan lain yang diyakininya sebagai “campur tangan karya Roh Kudus” merupakan awal ia menapaki jalan tugas perutusan ini dengan menyatakan “ya” terhadap permintaan romo Alex Dirdjo SJ selaku Direktur Tahun Rohani waktu itu. Kerangka Awal Romo Alex Dirdjo SJ memberikan beberapa petunjuk tentang maksud pemberian materi psikologi kepada para frater. Dasar pemikirannya adalah “Manusia berproses dan menjadi”. Bagaimana hal ini terjadi melalui tahap-tahap perkembangan; Bagaimana timbulnya dorongan-dorongan yang tidak disadari dalam tingkah laku kita; Bagaimana timbulnya rasa salah; Bagaimana dan dari mana motivasi kita berasal; Bagaimana perkembangan tanggung jawab. Tujuannya untuk membantu para frater mengenal diri dan mengenal orang lain. Dasar Teman Seperjalanan XXI/November-Desember 2013

15


pemikiran dan tujuan ini merupakan kerangka awal mendampingi para frater Tahun Orientasi Rohani. Menapaki jalan tugas perutusan Para frater adalah pribadi yang terpanggil. Keseluruhan dirinya, kebaikan maupun kekurangan mereka, merupakan pribadi yang merasakan panggilan Tuhan. Namun di sisi lain, seorang calon Imam perlu mempersiapkan diri sebagai pribadi yang matang dan bisa menjalankan peran sebagai gembala umat dengan segala kompleksitasnya. Kesediaan diri untuk mengajar Psikologi bagi para frater Tahun Rohani mengantarnya kepada “perjumpaan pribadi” (encounter) dengan putra-putra terpilih yang masih perlu berproses untuk mempersiapkan diri. Dari pengalaman ‘Perjumpaan Eksistensial’ ini ibu Cynthia juga berproses. Kehadirannya di Wisma Puruhita bukan hanya menunaikan tugas

mengajar semata, melainkan menjadi tugas pendampingan sebagai guru, teman seperjalanan, pembimbing, konselor dan juga sebagai seorang ibu bagi para frater yang dimaknai sebagai sebuah tugas perutusan. Pendampingan dalam tahap Tahun Orientasi Rohani, diharapkan dapat mengajak mereka untuk masuk ke kedalaman dirinya untuk menemukan dirinya sendiri sekaligus untuk menemukan Tuhan yang memanggil mereka. Beberapa ‘highlight’ Proses Pendampingan Pemberian materi psikologi (dengan tujuan membantu para frater untuk mengenal diri dan lebih mampu memahami orang lain), berkembang menjadi pemahaman proses perkembangan para frater secara lebih individual. Untuk melengkapi program pendampingan, dimulai dari masa romo Mardi Kartono, SJ. Menjabat sebagai direktur Tahun

Harmoni terwujud apabila ada cinta dan ketulusan dalam perbedaan 16

Teman Seperjalanan XXI/November-Desember 2013


Orientasi Rohani, ibu Cynthia menyediakan pula waktu khusus untuk wawancara pribadi bagi para frater. Program ini dimaksudkan membantu para frater menemukan dinamika kepribadian dan pemahaman lebih individual tentang diri secara unik. Para frater dibantu untuk berproses dalam pemahaman tentang latar belakang pribadi dan dinamika perkembangan sejarah pribadinya, untuk kemudian dilengkapi dengan bimbingan rohani dari Romo Sadhyoko SJ (Direktur Tahun Orientasi Rohani Seminari Tinggi KAJ). Pembahasan tentang kemandirian emosional sebagai salah satu butir tugas perkembangan remaja merupakan hal penting untuk membantu “awareness” para frater tentang kemampuannya untuk menjadi pribadi yang mandiri secara emosional. Pencapaian kemandirian emosional merupakan indikator dari “Pribadi yang sudah selesai” dan siap melangkah kedalam tahapan hidup yang bermakna bagi orang lain. Harapan dan Impian Keterlibatan dalam waktu yang cukup panjang di Tahun Orientasi Rohani Seminari Tinggi KAJ membuahkan beberapa catatan, harapan dan impian yang ingin dibagikannya. • Program pendampingan pribadi para frater di Tahun Orientasi Rohani telah dimulai dengan pemetaan potensi intelektual, kemampuan pemahaman diri dan sikap kerja. Proses awal sudah dimulai dengan bantuan ilmu profan secara lebih obyektif. • Proses awal pendampingan pribadi para frater seperti diuaraikan dalam butir diatas, telah ditindaklanjuti oleh para Staf Seminari Tinggi KAJ dengan pembahasan lebih mendalam dan menyeluruh, yang menyentuh aspek sos-

ial, moral dan kerohanian dalam konteks Keuskupan Agung Jakarta. • Team Formator ( dibagi tugas dalam team) sudah melakukan bimbingan pribadi secara berkala dan teratur dan bisa mempunyai rekam jejak obyektif dari sistem pencatatan dan menggunakannya untuk proses pembinaan berkesinambungan. • Harapannya program pendampingan pribadi para frater di Tahun Orientasi Rohani akan semakin tajam, berkesinambungan dibahas secara lebih obyektif dalam tim Formator, dalam kajian tenggat waktu dan kajian perilaku yang lebih terukur. • Harapan lain adalah adanya Program Internalisasi nilai-nilai acuan sebagai imam Projo KAJ dilakukan secara terencana dan terstruktur. Nilai-nilai acuan sebagai Imam Projo KAJ perlu diinternalisasikan dengan program yang terstruktur, dari berbagai metode (refleksi, diskusi, karya kreatif ), bukan hanya di Tahun Orientasi Rohani. Sehingga ada nilai-nilai acuan yang menjadi daya tarik panggilan untuk Kualitas Imam Projo KAJ. Nilai- nilai (Values) acuan bagi seorang Imam Projo KAJ yang jelas dan terpancar dari para calon Imam dan Imam Diosesan bisa menjadi daya tarik panggilan. Ada “branding” yang menarik dan berkualitas. • Impiannya adalah, ada puluhan putra-putra pilihan yang tertarik untuk suatu misi panggilan berkarya di Keuskupan Agung Jakarta karena adanya nilainilai (values) yang menjadi daya tarik sebagai pedoman pilhan hidup. **Tulisan ini adalah hasil wawancara fr. Albertus Ade Pratama dengan Ibu Cynthia Hanafi. Berkarya di Seminari dan mendiTeman Seperjalanan XXI/November-Desember 2013

17


KOLOM UTAMA “Kemanapun saya diutus, saya berangkat...� Hasil Wawancara dengan Mgr. Ignatius Suharyo

berangkat. Termasuk menjadi formator. Itu prinsipnya bagi saya. Jadi kesulitan apapun, petimbangan-pertimbangan apapun, dan tantangan apapun di seminari muaranya adalah ketaatan kepada gereja dalam hal ini kepada uskup setempat. Tentu gampang dikatakan tetapi harus menyingkirkan rencana-rencananya sendiri. Itu yang terkadang sulit.

dik para calon imam tentu membutuhkan penghayatan tertentu agar dapat menjalankan tugas perutusan dengan gembira dan tulus hati. Sama halnya dengan para calon imam yang juga hidup di seminari tentu saja memiliki aturan main dan penghayatan yang wajib dimiliki dalam penghayatannya sebagai seorang calon imam. Berikut hasil wawancara dengan Bapak Uskup yang berbicara akan membingkai kedua point tersebut. Penghayatan apa yang dihayati oleh seorang formator ketika bertugas di seminari? Bagi saya, penghayatan yang harus dihayati pertama-tama adalah ketaatan. Sebagai seorang imam yang menjadikan ketaatan kepada uskup, ya sudah kemanapun saya diutus saya 18

Teman Seperjalanan XXI/November-Desember 2013

Bagaimana dengan pengalaman Bapak Uskup sendiri? Dahulu dalam benak saya menjadi imam projo berarti menjadi imam di paroki. Akan tetapi, kenyataannya ketika menjadi imam saya diminta belajar dan kemudian menjadi formator. Memang ketika saya tahu bahwa saya akan diutus dalam tempat formasi, saya menyadari menjadi formator pasti akan lama. Saya bergumul 3-4 tahun untuk dapat menyesuaikan pada tugas perutusan. Akan tetapi, ya sudah saya menyesuaikan diri dengan segala resiko dan persoalan yang ada. Prinsipnya taat namun tetap menyesuaikan diri dengan tugas perutusan yang diberikan. Maksud Bapak Uskup dari menyesuaikan diri dengan tugas perutusan? Ya, intinya ketika mendapat tugas perutusan apapaun termasuk perutusan ke seminari, bukan perutusannya yang harus menyesuaikan dengan saya. Akan tetapi, saya yang harus menyesuikan diri dengan perutusan yang diberikan. Tentu saja hal Itu akan menyingkirkan cara


berfikirnya sendiri dan memang tidak bisa kalau memaksakan dengan cara berfikirnya sendiri. Bagaimana pertimbangan Bapak Uskup ketika mengutus seorang imam untuk berkarya di seminari? Kalau saya prinsipnya sederhana, saya tidak akan sembarangan menugaskan seseorang di tempat sembarangan, dalam hal ini karya formasi. Saya yakin kalau seorang imam ditugaskan dimanapun termasuk di formasi, imam itu akan berjuang untuk menjadi imam yang baik dengan segala kelemahan dan kelebihan yang dimilikinya. Maksud dari Bapak Uskup? Menjadi imam yang baik dapat disarikan dengan setia kepada Allah dan menaruh belas kasih terhadap sesama. Setia kepada Allah dalam hal doa, devosi, dan kegiatan-kegiatan liturgis. Itu penting dan tidak bisa ditawar-tawar lagi bagi seorang imam yang diutus dimanapun dalam hal ini karya formasi. Dan menaruh belas kasih terhadap sesama, wujudnya kontekstual. Dalam karya formasi, bagaimana belas kasih itu diwujudkan kepada sesama formator dan calon imam. Bukan sebagai penguasa tetapi lebih sebagai guru dan teman yang mendampingi. Tentu dengan pendekatan-pendekatan yang diperlukan. Prinsip-prinsip apa yang baik untuk dihidupi di Seminari? Bagi saya pribadi, prinsip-prinsip umum yang telah ada dalam dokumendokumen Gereja terkait pembinaan calon imam layak untuk dihidupi terus menerus. Semua sepertinya sudah diatur dalam dokumen-dokumen tersebut. Dan kalau saya menambahkan, tetap harus disesuaikan dengan realitas/kondisi Ge-

reja setempat. Dalam hal ini KAJ. Bagaimana relasi yang seharusnya terjalin antara formator(imam) dan formandi(calon imam)? Bagi saya relasi yang baik adalah relasi yang tahu tempat dan posisi. Sama di formasi. Dia adalah posisinya apa. Kalau dia posisinya pengambilan keputusan tentang formasi, ya ia bertindak sebagai pimpinan. Kalau sedang di meja makan atau sedang rekreasi ya sebagai teman. Demikian juga frater-fraternya, ya jangan merasa sombong dan merasa lebih pandai, seolah-olah bertindak sebagai pengambil keputusan. Semua harus tahu posisi dan peran masing-masing. Dan dapat memilah-milah fungsi sesuai dengan kondisi dan peran yang dihadapi. Lalu bagaimana posisi formator dalam konteks pembinaan sebagai seorang calon iman? Perlu disadari bahwa realitas imamat berbeda dengan seseorang yang mencari jabatan karier tertentu. Realitas imamat selalu menekankan adanya unsur ilahi dan roh dalam proses pembinaan seseorang. Maka dibutuhkan penegasan roh dalam proses pembinaan seorang calon imam. Penegasan roh itulah yang dibutuhkan, apakah saya terpanggil menjadi imam atau tidak? Disinilah formator diberi tanggung jawab yang tidak mudah untuk menemani para calon imam dalam proses pembinaan dan penegasan akan panggilan. Tentu dengan ilmu-ilmu profan yang ada seperti psikologi dsb untuk membantu para calon imam berproses. Harapan untuk calon imam melalui proses formatio? Seorang penari sebelum jadi penari hebat harus belajar jurus dasar. Harus ada jurus dasar yang harus dikuasai Teman Seperjalanan XXI/November-Desember 2013

19


sehingga dia dapat menari dengan tarian apapun. Oleh karena itu, bagi saya jurus dasar harus selalu dihayati oleh para calon imam. Jurus dasar menjadi imam, setia kepada Allah dan berbelas kasih terhadap sesama. Konkritnya? Setia kepada Allah, apakah para frater pernah berdoa atau tidak. Gambaran tentang Allah itu siapa, dan menjalani Ekaristi kerinduan atau hanya paksaan. Berbelas kasih terhadap sesama, memang harus konkrit dan kontekstual. Dengan mendoakan dan memiliki kepekaan terhadap sesama. Setiap hari ada orang kelaparan pernah terfikirkan atau tidak. Selalu mengasah kepekaan hati terhadap sesama, syukur kalau bisa berbuat bagi mereka yang miskin, lemah, dan tersingkir. Kalau setiap hari yang dipikirkan hanya hp keluaran terbaru, dsb ya jurus dasar itu gak akan pernah terjadi. Bisa kecetit atau sakit nanti. Khan

20

Teman Seperjalanan XXI/November-Desember 2013

repot kalau sudah seperti itu. Harapan bagi para formator dan Seminari Tinggi KAJ? Tanggung jawab menjadi formator memang tidak gampang. Bagi saya semoga Seminari Tinggi tidak menjadi pulau yang terasing di keuskupannya sendiri. Frater-frater tahu betul keuskupan sedang berdinamika apa dan melibatkan frater-frater dalam dinamika itu. Itu mutlak sehingga seminari tidak menjadi tempat yang terisolir tetapi kalau itu tidak berkembang tentu saya akan sangat kecewa. Formator selalu mengarahkan seminaris agar memiliki kepekaan terhadap Gereja dalam hal ini Gereja setempat. Sehati dan seperasaan terhadap KAJ. Terlibat walaupun tidak langsung secara fisik. Hal ini wajib diikuti selain tanggung jawab kuliah atau studi.


SHARING PASTORAL Benih-Benih dalam Genggaman Petani Agung Oleh: fr. Ambrosius Lolong**

Benih itu kecil dan rapuh. Kecil karena memang bentuknya yang kecil. Kecil juga bisa berarti sebagai awal dari sesuatu yang akan menjadi besar. Rapuh, ya, bisa saja sang benih menjadi busuk juga karena terlalu banyak disiram, atau mati karena lupa mendapat sinar matahari. Namun, benih itu punya sesuatu di dalam dirinya. Jika tepat disentuh dan dirawat, benih bisa menjadi besar dan kokoh. Biji sesawi yang kecil saja, ketika tumbuh dan berkembang, bisa menjadi tempat bagi burung-burung untuk bersarang. Petani Karbitan dan Benih Kala itu aku baru menyelesaikan ujian komprehensif dan romo rektor mengajakku berbincang. Pada kesempa-

tan itu, beliau memperkenankan diriku untuk melanjutkan pada tahap pembinaan lebih lanjut. Selain itu, beliau juga memberitahukan tempat tugasku, yaitu Seminari Menengah St. Petrus Canisius, Mertoyudan. Awalnya tidak terlalu mengkhawatirkan. Rasa takut dan gelisah mulai tampak ketika aku menjejakkan kaki pertama kali di Seminari. Rasa sendirian mulai menjadi sahabat malam pertamaku. Aku bingung harus berbuat apa dengan tugas pastoralku kali ini. Petani karbitan. Itu adalah kesan pertamaku ketika mulai menjalani tugas perutusanku kali ini. Aku baru saja menyelesaikan pendidikan S1. Walau masih dalam rangka pendidikan calon imam, tugas perutusan kali ini menempatkanku pada posisi yang berbeda. Selama sembilan tahun ini, aku terbiasa menjadi orang yang dididik sebagai calon imam. Dalam waktu kurang lebih satu bulan, posisi itu telah berganti. Aku dipercaya menjadi rekan bagi para formator yang lebih berpengalaman. Apakah aku sungguh mampu? Rasanya seperti dikarbit karena diyakini mampu menjadi rekan bagi para formator dan para seminaris. Dalam kegelisahan ini, terkadang, muncul rasa minder dan tidak layak. Petani karbitan menjadi jati diriku. Mungkin adaptasi bisa berjalan baik. Kendalanya adalah bahasa. Bahasa Jawa ternyata tidak mudah, bisa mengerti walau tidak utuh tapi tidak bisa membalasnya. Apalagi kalau sidang akademi dengan Bahasa Jawa, aku bisa panik Teman Seperjalanan XXI/November-Desember 2013

21


dari malam sebelumnya. Lebih dari itu, kesulitan yang lebih mendasar bagiku adalah usaha untuk menempatkan diri yang tepat pada tempatnya. Aku masih berjuang untuk bisa sungguh menjadi sahabat, formator, dan juga rekan seperjalanan dalam menjalani panggilan. Sejauh ini, tiga peran ini adalah peran yang dibutuhkan oleh para seminaris. Sahabat, sebagai rekan yang hidup berdampingan sehari-hari dan bisa berbicara tentang segala hal. Formator, sebagai rekan yang bisa menegur dan memberikan arah yang baik dan benar. Dan juga sebagai rekan seperjalanan dalam panggilan, sebagai teman yang bisa diajak bercerita dan saling meneguhkan dalam menanggapi belaian sang Petani Agung. Ladang dan benih. Ladangnya adalah Seminari Menengah St. Petrus Canisius, Mertoyudan. Sekarang ada sekitar 268 benih yang ditabur oleh sang Petani Agung. Namun, secara khusus, aku mendapat tugas untuk menemani 55 benih. Benih ini sudah menjejaki tahun ketiganya. Misi pentingnya adalah selesai mengerjakan Karya Tulis, mampu memi lih pilihan hidup (electio), mampu menemukan dan mengolah nilai-nilai yang memerdekakan dan bisa tumbuh menjadi benih yang mampu mengungkapkan diri secara benar, sehat dan kreatif. Disiram, dipupuk dan disiangi Disiram, dipupuk, dan disiangi adalah cara para petani mencintai benih. Bagaimana mungkin petani bisa merawat dengan cinta kalau dia tidak pernah menyentuh benihnya? Bagaimana aku bisa mengenal para sahabat mudaku kalau aku tidak pernah berjumpa dengan mereka? Hal pertama yang aku lakukan adalah berani membuka diri dan berjumpa langsung dengan mereka. Sebuah perjumpaan lewat cerita, sapaan 22

Teman Seperjalanan XXI/November-Desember 2013

bahkan teguran jika memang perlu. Perjumpaan bisa dibangun pula dalam karya hidup sehari-hari. Komitmenku bersama mereka adalah ambil bagian dalam opera setiap hari. Namaku tertulis dalam kertas jadwal opera medan. Selain itu, aku menyempatkan diri untuk mencuci dan menyetrika di medan. Betapa menyenangkan bila bisa mencuci dan menyetrika bersama dengan mereka. Betapa bahagia bisa mencuci dengan tangan sendiri dibanding mempercayakannya pada laundry. Bukankah aku juga masih punya tangan? Benih tidak bisa tumbuh begitu saja tanpa bantuan. Benih butuh air dan pupuk. Ada saat putus asa karena belajar banyak tetapi hasil minimal sekali. Ada saat galau, kala ada kunjungan dari luar dan pemudi-pemudinya menarik hati. Ada saat marah dan kecewa, ketika pekerjaan mereka tidak dihargai. Bahkan ada saat bimbang untuk menanggapi panggilan Tuhan. Benih butuh air yang menyegarkan dan juga pupuk yang membantu pertumbuhan. Jelas, Ekaristi dan kehidupan rohani pribadi adalah sumbernya. Tangan-tangan petani juga dibutuhkan. Ada saatnya untuk menyiangi. Saat untuk membersihkan benih yang

“

Namaku tertulis dalam kertas jadwal opera medan. Selain itu, aku menyempatkan diri untuk mencuci dan menyetrika di medan.


sudah mulai tumbuh dari hama. Tangan petani juga dibutuhkan walau kadang tidak sesuai dan menyakitkan bagi benih yang tumbuh. Terkadang, rasa tidak tega muncul dalam hatiku. Namun, demi kebaikan bersama, aku belajar untuk tegas. Baik untuk perkembangan sang benih. Dan, sekaligus baik untuk perkembanganku, berani menegur mereka dan dengan demikian juga menegur diriku. Tangan Petani Agung Awal tahun ajaran ini, Rm. Suryo selaku Pamong Umum memberikan lectio brevis tentang rumah yang ingin dibangun. Ada dua hal yang menginspirasi, yaitu rumah yang ingin dibangun adalah rumah Zakheus yang menerima Yesus dengan sukacita dan sikap yang ingin dibangun adalah sikap seperti Orang Samaria yang baik hati. Bagiku, tangan Petani Agung nampak dalam kisah Orang Samaria yang baik hati. Orang Samaria yang baik hati adalah orang yang sungguh memberikan diri dengan kepunyaannya demi membantu sesama yang terkapar. Sang Petani Agung pun demikian. Dia memberikan dirinya untuk kebaikan hidup bersama. Lalu bagaimana dengan benih yang telah ditaburkannya?

“

Totalitas merupakan sesuatu yang mendasar untuk melayani benih-benih ini.

Aku belajar dari para formator yang lain. Mereka adalah perpanjangan tangan Petani Agung yang menjaga dan merawat benih-benih tersebut. Memang butuh kesabaran dan ketekunan yang ekstra. Tapi, aku yakin bahwa benih-benih ini tidak dibiarkan tumbuh sendirian. Situasi yang paling terasa adalah keteladanan. Benih-benih akan selalu melihat dan mengamati para petani. Mereka mencermati dan kemudian menirukan. Dari pengalamanku bersama dengan mereka, totalitas merupakan sesuatu yang mendasar untuk melayani benih-benih ini. Kesabaran dan ketekunan sudah tidak bisa ditawar lagi karena setiap hari aku selalu berjumpa dengan segala kelebihan, kehebatan, kenakalan, dan keisengan mereka. Total dalam membina dan menemani sehingga benih dapat tumbuh dengan baik. Totalitas juga berarti mau bekerjasama dengan Sang Petani Agung, yang memiliki benihbenih itu. Suatu kebahagiaan tersendiri, dalam perutusanku kali ini, aku dipercayakan untuk menjadi perpanjangan tangan-Nya untuk menjaga dan merawat dengan segala kelebihan dan kekuranganku. Aku diutus agar benih-benih selalu berada dalam “genggaman� tangan Petani Agung. **Penulis adalah frater tahun orientasi Pastoral yang bertugas di Seminari Menengah Mertoyudan

Teman Seperjalanan XXI/November-Desember 2013

23


SHARING PASTORAL Menyongsong Masa Depan Gereja Oleh: fr. Bernardus Dimas Indragraha**

sekadar menjalani kewajiban saja. Saya berusaha menjawab pertanyaan, untuk apa saya bertugas di Seminari Wacana Bhakti? Akhirnya, saya menemukan satu penggalan lirik dari Mars Seminari Wacana Bhakti yang memberi saya motivasi dan semangat dalam menjalani tugas ini. Penggalan itu adalah “Menyongsong masa depan Gereja dalam doa dan karya nyata�. Kalimat itulah yang membuat saya menyadari bahwa melalui tugas ini, saya dapat sedikit berperan serta dalam mempersiapkan masa depan Gereja. Paling tidak dalam usaha mengenali tugas perutusan dan menjalaninya saya menemukan beberapa hal menyenangkan dan juga mengecewakan.

Pada masa Tahun Orientasi Pastoral ini, saya mendapat tugas untuk menjadi sub-pamong Seminari Menengah Wacana Bhakti. Sejujurnya, saya merasa enggan untuk menjalankan tugas ini. Seakan-akan, saya tidak memiliki banyak pengalaman baru bila dibandingkan dengan teman-teman saya yang ditugaskan di tempat lain. Saya berusaha untuk mengatasi perasaan enggan ini dan mencoba datang ke tempat tugas saya jauh lebih awal bila dibandingkan dengan temanteman lainnya. Saya mulai tinggal di Wacana Bhakti sejak 5 Juli 2013. Sejak itu, saya mulai mencari-cari motivasi yang membuat saya bersungguh-sungguh menjalani tugas perutusan ini, bukan 24

Teman Seperjalanan XXI/November-Desember 2013

Mendengarkan Kisah-Kisah Panggilan Hal yang menyenangkan dalam menjalani tugas ini adalah mendengarkan kisah-kisah awal mula panggilan yang menjadi motivasi dari para seminaris. Dalam perjumpaan dan pembicaraan dengan para seminaris, saya menemukan beraneka ragam kisah yang mengawali perjalanan panggilan seminaris atau membuat seseorang tertarik menjadi imam. Berbagai pengalaman sederhana seperti melihat sosok imam yang dikaguminya dan mengikuti jejak kakak atau saudaranya, merupakan pintu masuk dari kisah panggilan seseorang untuk kemudian mau menjadi imam dan mau masuk ke Seminari Menengah Wacana Bhakti. Salah satu kisah yang menarik


adalah seorang seminaris yang begitu tertarik dengan Kitab Suci karena sudah dibiasakan untuk membaca Kitab Suci di dalam keluarga. Kebiasaan ini membuat dia merasa tertarik dengan imam yang bisa menceritakan atau memberikan pesan-pesan dari Kitab Suci. Lantas, ketertarikannya ini membuat dia mau untuk menjadi imam dan mencoba menjalani masa pembinaan sebagai calon imam di Seminari Menengah Wacana Bhakti. Berbagai pengalaman sederhana awal ketertarikan mereka untuk menjadi imam tentu merupakan hal yang patut saya syukuri karena di tengah kehidupan modern sekarang ini, masih ada anak-anak muda yang merasa tertarik untuk menjadi imam. Hal ini membuat saya merasa bersyukur karena boleh menemukan karya Roh Kudus dalam kisah-kisah panggilan para seminaris ini. Kiranya Roh Kuduslah yang berkarya menuntun anak-anak muda ini sehingga mereka mau berusaha menjalani hidup

sebagai calon imam. Situasi Pembinaan Calon Imam Saya menemukan hal baru dalam pembinaan seminari yang sudah berjalan lebih dari dua tahun ini, yaitu mereka disamakan dengan anak-anak Gonzaga. Tidak ada lagi kegiatan yang dipisahkan. Para seminaris mengikuti kegiatan sekolah seperti jambore, live in, dan kursus-kursus, bersama-sama dengan anak Gonzaga. Para seminaris bahkan dicampurkan secara terpisah-pisah dalam kelas-kelas di Gonzaga. Harapannya agar seminaris itu hidup di tengah dunia dan mulai merasakan pentingnya kerjasama antara imam dan awam. Hal ini tentu memberikan pengaruh positif maupun negatif dalam pembinaan seminaris. Beberapa hal positif yang bisa saya temukan dari konsep ini adalah para seminaris bisa mengolah panggilannya melalui pengalaman perjumpaan kongkret dengan orang luar. Tidak jarang Teman Seperjalanan XXI/November-Desember 2013

25


seminaris yang menceritakan bahwa mereka menemukan tantangan-tantangan yang akan mereka hadapi suatu hari nanti berdasarkan cerita ataupun tingkah laku dari anak-anak Gonzaga. Selain itu, berbagai kegiatan tersebut, juga menjadi kesempatan bagi para seminaris untuk mengembangkan kepribadian dan nilainilai yang mereka hayati dalam hidup ini. Cukup menyenangkan melihat para seminaris yang dapat mengolah panggilan dan kepribadiannya berdasarkan pengalaman nyata yang mereka temukan di Gonzaga. Sementara itu, ada banyak juga hal negatif akibat konsep kesamaan ini. Saya melihat seminaris cenderung bersemangat dalam melaksanakan kegiatan di Gonzaga tetapi loyo atau malas-malasan ketika menjalani kegiatan Seminari. Beberapa kali saya menemukan bahwa mereka hanya memikirkan kehidupan studi saja dan tidak pernah memikirkan kehidupan rohani, komunitas, apalagi kebersihan. Alhasil, ketiga kehidupan itu

menjadi tidak terurus bahkan cenderung diabaikan oleh para seminaris. Tradisi kerja yang biasanya dilakukan oleh seminaris untuk melatih rasa memiliki dan melayani semakin memudar bahkan tidak dilakukan oleh beberapa orang. Hal ini cukup memprihatinkan dan mengecewakan saya sebagai formator. Akan tetapi, saya merasa ini tantangan yang harus terus menerus dihadapi oleh para Seminaris Wacana Bhakti. Mereka hidup di tengah dunia, tidak terpisah dari dunia luar, dan sangat rentan untuk dipengaruhi oleh godaangodaan yang ada di dunia ini. Mereka bahkan bisa saja kehilangan orientasi sebagai calon imam, melupakan motivasi panggilan mereka, dan akhirnya kehilangan semangat dalam menjalani kegiatan sehari-hari. Namun, inilah situasi yang senantiasa membentuk mereka dalam proses menanggapi panggilan ini. Mereka hanya perlu sadar bahwa segala sesuatu yang mereka lakukan itu, berbagai kegiatan di seminari maupun SMA,

SENANTIASA BERSYUKUR AKAN HARI YANG TELAH DIBERIKAN. 26

Teman Seperjalanan XXI/November-Desember 2013


harus selalu dijadikan kegiatan pembinaan sebagai calon imam. Di sinilah tanggung jawab saya sebagai teman sekaligus pamong, yaitu membantu mereka kembali menyadari bahwa mereka adalah calon imam. Membuat mereka tetap menyadari diri sebagai calon imam menjadi tantangan bagi saya sehingga saya berusaha agar Seminari Wacana Bhakti ini memiliki identitas yang jelas sebagai calon imam. Identitas inilah yang sekiranya akan menjadi kekuatan bagi mereka dalam menjalani proses pembinaan di Seminari Menengah Wacana Bhakti. Seminaris adalah calon imam yang menjadi harapan bagi masa depan Gereja. Berjuang Bersama Demi Masa Depan Gereja Dalam menjalani tugas perutusan ini, saya pun bertanya-tanya gambaran diri seperti apakah yang saya ingin tampilkan di hadapan para seminaris ini. Awalnya saya ingin sekali menjadi teladan bagi mereka sehingga seakanakan, saya adalah orang yang memang bisa mereka contoh. Ternyata, hal itu tidaklah mudah. Saya justru malah menyempitkan makna doa. Bukan lagi, sebagai usaha menjalin relasi dengan Allah tetapi hanya sekadar agar bisa menjadi teladan. Atau dalam pengalaman

“

Gambaran diri seperti apakah yang saya ingin tampilkan di hadapan para seminaris ini.

lain, saya justru merasa seperti seorang bapak asrama yang berusaha matimatian mendidik anak-anak asramanya menjadi disiplin. Hal ini tentu saja baik, akan tetapi saya justru melupakan identitas saya sebagai calon imam dan jatuh ke dalam pelaksanaan tanggung jawab saja. Akibatnya, saya merasa kacau dalam menjalani ritme hidup yang sudah saya atur dan akhirnya, kehilangan kebiasaankebiasaan baik yang pernah saya bangun di Seminari Tinggi Yohanes Paulus II KAJ. Ketika menyadari pengalaman ini, saya justru mulai mengenali siapa diri saya dan gambaran yang ingin saya tampilkan. Saya menyadari bahwa saya juga masih dalam masa perjuangan sebagai calon imam. Perjuangan menuju kepada kekudusan yang mungkin tidak akan pernah selesai. Saya rasa saya pun bagian dari masa depan Gereja, sama seperti para seminaris ini. Rasanya, kehadiran saya di tempat ini menjadikan saya sebagai calon imam yang juga berjuang bersama-sama dengan para seminaris untuk menyongsong masa depan Gereja. Akhirnya, saya merasa sungguh bersyukur bisa merasakan dan sedang mengolah tugas perutusan sebagai formator di Seminari Menengah Wacana Bhakti. Saya merasa bisa ikut ambil bagian dalam mempersiapkan masa depan Gereja meskipun hanya dalam porsi yang sangat sedikit. Di sisi lain, saya sendiri melalui tugas ini disadarkan bahwa saya juga bagian dari masa depan Gereja itu. Menyongsong masa depan Gereja menjadi kalimat yang akan terus saya renungkan dan jadikan pedoman dalam menjalani tugas perutusan ini. ** Penulis adalah frater tahun orientasi Pastoral yang bertugas di Seminari Menengah Wacana Bhakti KAJ. Teman Seperjalanan XXI/November-Desember 2013

27


POJOK FILSAFAT Mari Mengenal Filsafat Oleh: fr. Yohanes Prasetyo B. Kiran**

Pengantar Filsafat sering kali dipandang sebelah mata oleh ilmu-ilmu yang lainnya karena kurang relevan dalam kehidupan bermasyarakat. Fakta bahwa filsafat mendapat ‘image’ yang sedemikian rupa dari masyarakat di atas mungkin memang benar terjadi. Oleh karena itu, tulisan ini bermaksud untuk memperkenalkan kepada pembaca untuk mengetahui secara sekilas pengantar filsafat sehingga kiranya bisa mengurangi ‘image’ itu dalam masyarakat. Pengertian Filsafat Secara etimologis, filsafat berasal dari bahasa Yunani, yaitu Philosophia (philo: Pencinta, Sophia: kebijaksanaan/ pengetahuan) yang berarti pencinta kebijaksanaan. Seorang filsuf bukanlah seorang yang bijaksana, melainkan mereka yang mencintai kebijaksanaan. 28

Teman Seperjalanan XXI/November-Desember 2013

Menurut Phytagoras (582-496 SM) hanya Tuhan/dewa lah yang mempunyai kebijaksanaan. Dari situ dapat dilihat bahwa manusia apalagi filsuf tidak pernah mencapai kebijaksanaan melainkan selalu berusaha untuk mencapai kebijaksaanan tersebut. Selanjutnya pengertian filsafat itu berkembang menjadi pengetahuan metodis, sistematis, dan koheren tentang seluruh kenyataan. Walaupun menyelidiki seluruh kenyataan, dalam mempelajari filsafat biasanya dibagi lagi seturut dengan fokusnya, seperti epistemologi, metafisika, etika, estetika, filsafat manusia, filsafat sejarah, filsafat politik pun kita perlu mempelajari sejarah/alam pikir perkembangan filsafat sejak zaman Yunani kuno sampai zaman kontemporer ini. Meskipun demikian penjelasan di atas merupakan perkembangan filsafat yang terjadi di Barat. Oleh karena itu, masih ada lagi perkembangan filsafat yang terjadi di bagian asia terutama menyangkut tentang sejarah/alam pikir filsafat yang berkembang di India dan Tionghoa. Landasan Berfilsafat Sekiranya ada tiga landasan untuk berfilsafat, yakni: Keheranan: Rasa heran dari manusialah yang mendasari filsafat. Manusia heran akan gejala-gejala alam, heran akan prilaku manusia sendiri. Menurut Kant, Langit berbintang di atasku dan hukum moral di dalam diriku menjadi gejala yang paling mengherankan dan tempat dimana pikiran menyibukkan diri.


Kesangsian: Kalau sudah heran, kadang kala kita mulai menyangsikan perasaan itu. Pertanyaan seperti “Kok bisa ya?“, “Bagaimana Mungkin?“ atau “Bagaimana Caranya?“ merupakan awal dari perasaan ragu-ragu kita. Inilah yang disebut sikap skeptis. Dari sikap ini, ada perasaan menggelitik untuk menggalinya lebih dalam. Kesadaran akan Keterbatasan: Setelah menyangsikan, manusia mulai berfilsafat ketika ia mulai menyadari betapa kecil dan lemah dirinya bila dibandingkan dengan alam semesta di sekelilingnya. Penjelasan singkatnya kiranya demikian, kalau kita semakin sadar akan keterbatasan ini, jelaslah bahwa ada sesuatu yang tidak terbatas yang membatasi segala sesuatu ini. Dari ketiga landasan diatas, manusia kemudian mulai membuat abstraksi dan membuat pengamatan yang kongkret itu menjadi sebuah konsep yang bisa diterima secara universal. Oleh karena itu, dalam mempelajari sejarah/ alam pikir filsafat sering kali kita menemukan kenyataan bahwa para filsuf mengemukakan abstraksi tersebut secara sangat pribadi dalam melihat realitas di dunia ini. “Perlu gak sih belajar Filsafat?“ Ada beberapa alasan yang

Filsafat sering kali dipandang sebelah mata oleh ilmu-ilmu yang lainnya karena kurang relevan dalam kehidupan bermasyarakat.

menandakan bahwa belajar filsafat itu perlu. Pertama, belajar filsafat ini penting untuk mengasah sifat kritis. Melihat gejala-gejala atau informasi yang diterima, kiranya perlu diseleksi dan diteliti lebih jauh mengenai kebenarannya. Oleh karena itu, para filsuf biasanya mempersoalkan hal-hal yang biasa “taken for granted“ yang mana disinilah mungkin hal tersebut dianggap aneh orang masyarakat sekitar. Kedua, filsafat mengajak untuk berefleksi secara mendalam dan memperhatikan keseluruhan aspek yang ada yang menekankan kebebasan, akal budi dan keterbukaan. Berfilsafat berarti mencoba untuk mencari kedalaman dari suatu peristiwa hidup seharihari. Ketiga, filsafat mengajak untuk berefleksi mengenai keberadaan kita di dunia ini. Pertanyaan mendasar mengenai asal, tujuan, makna hidup, etika, tentang manusia menjadi pembahasan pokok dalam filsafat. Penutup Demikianlah sedikit mengenai pengantar belajar filsafat ini. Tulisan ini tidak bermaksud mengajak pembaca untuk belajar filsafat secara formal, melainkan mengajak pembaca untuk perlu mengenal filsafat secara garis besarnya saja. Setidak-tidaknya tulisan ini mengajak pembaca untuk bersikap kritis dalam menyikapi hal-hal biasa yang terjadi di kehidupan ini. mungkin saja ada hal unik yang berguna untuk hidup kita bila kita memaknai secara lebih mendalam mengenai peristiwa-peristiwa tersebut. **Penulis adalah frater filosofan tinggat IV. Daftar Pustaka: Hamersma, Dr Harry. Pintu Masuk ke Dunia Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 2008). Teman Seperjalanan XXI/November-Desember 2013

29


SOSOK INSPIRATIF Garam untuk Sesama Profil Kak Delviana Ledang Oleh: fr. Oktavianus Joko Prasetyo**

“Biar anak-anak datang kepada Ku itu sabda Yesus Dia memanggilku.� Sebuah kutipan yang diambil dari sebuah lagu, sangat tepat mencerminkan jalan panggilan Kak Delviana Ledang. Kak Delvi biasa ia dipanggil, lahir di Jakarta pada tanggal 18 Januari 1980. Kak Delvi adalah seorang awam yang mengabdikan dirinya untuk melayani sesama yang membutuhkan di bawah naungan karya misi milik Suster Putri Kasih di PapanggoJakarta Utara. Karya-karya misi yang dilakukan, yaitu pengajaran anak-anak SD, pengobatan, dan kegiatan-kegiatan lain yang dapat membantu masyarakat sekitar yang berada dalam kesulitan. Kak Delvi sebagai seorang awam yang mempunyai fokus pelayanan pada pengajaran anak-anak SD dan mengunjungi para lansia yang sudah 30

Teman Seperjalanan XXI/November-Desember 2013

tidak mempunyai keluarga untuk diberi makan. Jika melihat ke belakang, sebenarnya jiwa melayani sudah dimiliki oleh Kak Delvi semenjak beliau berusia 18 tahun. Di mulai dengan mengajar sekolah minggu, kemudian memberi les privat untuk mereka yang tidak mampu, dan sekarang ikut serta dalam karya misi milik Suster Putri Kasih. Dasar dari pelayanan yang dilakukan oleh Kak Delvi adalah hobi. Oleh karena itu, beliau tidak pernah merasakan adanya tekanan dari setiap pelayanan yang beliau berikan. Dalam pelayanan Kak Delvi juga mempunyai sebuah prinsip yang menjadi sumber kekuatan jika berada dalam situasi sulit. Prinsip itu adalah “Jika aku melayani maka aku kaya�. Kekayaan yang dimaksud adalah kekayaan batin, karena dengan melayani beliau mendapatkan pelajaran hidup dan akhirnya memiliki saudara-saudara yang baru. Hati yang Tulus dan Mencinta Banyak suster-suster Putri Kasih yang datang dan pergi di Papanggo karena harus berpindah tugas (rotasi). Akan tetapi, Kak Delvi tetap setia berada di sana sebagai awam yang tulus iklas melayani bersama suster-suster Putri Kasih. Beliau juga ikut menyaksikan proses awal Suster Putri Kasih berkarya di Papanggo. Di mulai dengan mengadakan pengobatan dan pengajaran di bawah kolong tol sampai sekarang sudah memiliki tempat yang tetap. Jika ada yang


bertanya kepada Kak Delvi, apa kesulitan yang ia alami bersama dengan para suster pada awal pelayanan di Papanggo? Ia akan menjawab, ya pasti banyak karena daerah Papanggo merupakan daerah yang �berbahaya�. Berbahaya karena di sana terdapat banyak seks bebas, perjudian, dan preman-preman. Warga papanggo sendiri ditinggali oleh mayoritas kelompok yang beragama muslim sehingga di awalawal sempat terjadi ketegangan antara karya yang dilakukan oleh suster dengan warga. Warga berpikir karya suster akan membawa mereka pada situasi Kristenisasi. Akan tetapi, kesulitan-kesulitan ini tidak selalu membawa Kak Delvi pada situasi duka. Sekarang, ia melihat situasi sulit yang pernah terjadi dapat membuatnya memiliki iman yang lebih kuat kepada Dia Sang pemilik kehidupan. Kak Delvi percaya itu semua terjadi atas campur tangan dari Tuhan. Ada satu pengalaman berkesan yang masih dingat oleh Kak Delvi sampai saat ini. Pengalaman saat awal-awal beliau dan suster mengajar di bawah jalan tol. Situasi yang terjadi saat itu adalah becek, banyak sampah di mana-mana, dan kotoran hewan seperti kambing dan ayam. Melihat situasi tersebut tidak membuat Kak Delvi dan suster menyerah. Justru, situasi tersebut membakar semangat yang dimiliki oleh Kak Delvi dan suster. Akhirnya, ia dan suster mempunyai inisiatif untuk merapikan tempat tersebut sehingga layak untuk dijadikan tempat mengadakan proses belajar-mengajar bagi anak-anak di lingkungan sekitar. Pengalaman tersebut membuatnya sadar bahwa sebuah pelayanan adalah sebuah pemberian diri secara total yang datang dari dalam hati untuk tulus melayani. Selain kesulitan-kesulitan yang

menyertai perjalanan yang ia lakukan bersama Suster Putri Kasih, Kak Delvi juga merasakan kebahagiaan-kebahagiaan di dalam setiap pelayanan yang ia berikan. Ia bahagia dapat membuat anak-anak yang diajar dan lansia yang hanya tinggal sendiri merasakan bahwa mereka dicintai. Ia juga sangat senang melihat anak-anak yang ia ajarkan dapat hidup menjadi manusia yang baik dan dapat membanggakan kedua orang tua serta berguna bagi negara, dan akhirnya dapat menjadi pribadi yang dewasa dan bertanggung jawab dalam hidup. Harapan Kelak Kak Delvi juga memiliki beberapa harapan atas segala pelayanan yang dilakukan selama ini. Kak Delvi berharap ada orang-orang yang tergerak hatinya untuk mau terjun langsung melayani mereka yang miskin bukan melalui kata-kata dan sekedar perasaan kasihan melainkan harus diwujudkan melalui tindakan berupa datang dan menjamah mereka secara langsung seperti yang dilakukan oleh Yesus sendiri ketika ada orang-orang yang meminta disembuhkan. Harapan agar Gereja secara khusus para imam juga turut mewartakan Kristus kepada masyarakat kecil melalui kedatangan mereka ke tengah-tengah masyarakat. Kak Delvi memiliki keyakinan bahwa masyarakat miskin juga merindukan kedatangan gembala yang dapat menyapa mereka. Semoga harapan dan mimpi dari Kak Delvi sungguh menginspirasikan kita bahwa “jika aku melayani maka aku kaya�. Bagaimana dengan kita? **Penulis adalah frater filosofan tingkat I.

Teman Seperjalanan XXI/November-Desember 2013

31


CERPEN Mau

Oleh: fr. Georgeus Mahendra Budi Prakoso** “Nak, kamu mau ikut bapak?� “Mau...� Siang hari, aku sudah berjalan bersama bapakku. Aku tak tahu hendak dibawa kemana, yang aku tahu hanya tanganku selalu digandengnya. Ya, dia selalu menuntunku. Aku masih berjalan tanpa mengetahui akan kemana diriku dibawa, aku tak tahu dan aku tak berniat untuk bertanya kemana diriku dibawa, yang aku tahu hanya tanganku selalu digandengnya. Ya, dia selalu menuntunku. Aku menikmati perjalanan bersama bapakku. Aku berjalan di atas trotoar, melihat orang banyak lalu lalang dengan kendaraan bermotor. Mengapa aku tak seperti mereka, berjalan tidak menggunakan kaki? Aku urung untuk menanyakan hal itu kepada bapakku, aku begitu nyaman dengan gandengannya. Ya, dia selalu menuntunku. Kami tiba di sebuah taman yang begitu indah. Kupu-kupu menari di udara dengan kecantikannya, pohon-pohon kekar menjulang tinggi dengan kegagahannya, rumput-rumput merendah diri dan rela diinjak-injak, segerombolan burung dara menggoda pengunjung agar diberi makan, dan ada satu kursi yang sepertinya rela kami kuasai. Kami duduk disitu, menikmati keindahan taman, dan tanganku nyaman di gengaman tangannya. Tanpa percakapan, dan hanya ketenangan ditengah gaduhnya taman oleh tawa anak kecil yang memberi makan rusa. Ketenangan ku hilang, di32

Teman Seperjalanan XXI/November-Desember 2013

hapus dengan bunga mawar disamping kursi yang kami kuasai. Bunga mawar. Warna merah bersih dan sangat menarik hatiku. Perhatianku terarah pada bunga mawar itu, aku sungguh terpukau dengan keindahannya. Aku mengendorkan tanganku, tapi bapakku tetap mencengkram tanganku dengan ketenangannya. Aku mulai tak nyaman dengan gandengannya, aku memilih untuk bermain dengan merahnya bunga mawar itu. Ya, aku menikmati bunga itu dengan satu tangan, dan tangan yang lain terus digandeng olehnya. Bunga mawar itu begitu cantik. Kecantikannya terus menarik diriku untuk memilikinya dan aku ingin sekali memilikinya. Aku mencoba memetik bunga itu, tapi duri-durinya sungguh melindungi tubuhnya dariku, apakah engkau tak mau aku miliki? Aku sungguh ingin memiliki bunga mawar itu. Ternyata bapakku mengetahui apa yang aku perbuat. Keheningannya pecah dipukul

“

Ajakan itu begitu hangat, sehingga membuat aku nyaman bersama dia.


dengan pertanyaannya. “Nak, apa yang kau lakukan?” “Bolehkah aku membawanya untuk menemaniku selama kita berjalan?” “Apakah kau tega membiarkannya mati dalam tanganmu?” Bapak, apakah kau tidak tahu apa yang aku rasakan? Aku bertanya dalam hati. Bapakku sungguh aneh, mengapa dia tak membiarkan diriku untuk menikmati bunga mawar itu, padahal aku begitu menikmati kebersamaan bersama bungaku. “Ayo jalan lagi...” “Lho, mengapa jalan lagi? Bu kankah ini tujuan kita?” Aku merasa keindahan ini adalah tujuan aku berjalan bersama dia. “Ayo jalan lagi!” Sekarang dia sudah berdiri dan tangannya yang hangat terus memeluk tanganku. Aku masih duduk,

aku tidak rela meninggalkan bunga mawar itu sendirian. “Nak, ayo jalan lagi.” Ia mengulangi perkataannya, perkataannya begitu hangat menyentuh hatiku dan aku teringat akan ajakan ayahku pertama kali. Ajakan itu begitu hangat, sehingga membuat aku nyaman bersama dia. Kini ia mengingatkan ku untuk terus berjalan bersama dia. Sekarang aku harus meninggalkan bunga mawarku. Aku bediri dan mulai berjalan dengan ketidak relaanku. Aku masih tidak rela untuk meninggalkan bungaku, dia sendiri, dan mungkin sedih bila aku tinggalkan. Aku berjalan, tangganku terus digandeng, dan aku melihat belakang untuk mengawasi bungaku. Aku mulai terusik dengan gandengan bapakku, apa aku harus melepaskannya dan kembali menemani bungaku? Tiba-tiba ada seorang lelaki dengan paras tampannya duduk disamping bungaku. Aku tidak rela tempatku dikuasai dia, aku ingin mengusir dia dan bapakku terus

Teman Seperjalanan XXI/November-Desember 2013

33


menggandengku. Dengan enaknya lelaki tersebut memetik bungaku dan menikmati keindahannya. Bungaku sekarang bersama dia, hatiku semakin terbakar, aku marah, dan kepada siapa aku harus marah? Kepada bapakku? Ya, dialah yang harus bertanggung jawab atas hal ini. “Pak, lihat! Bunga itu sekarang sudah tiada di tempatnya. Sekarang dia sudah ditangan lelaki itu. Mengapa aku tidak kau perbolehkan menyimpan bungaku? Dan sekarang kau membiarkanku menikmati kesedihan ini dan menyesal harus menjalankan perkataanmu.” Bapakku berhenti berjalan dan gandengannya semakin kuat. Aku malah takut untuk melihatnya, aku takut mendapat kemarahan hatinya. Dia menatap mataku dalamdalam, aku semakin takut, aku siap untuk mendengar kemarahannya. “Ayo jalan lagi...” Dengan senyum dan gandengannya yang begitu hangat kembali membuat diriku kembali nyaman bersama dia. Mengapa dia tak marah kepadaku? Aku bertannya-tanya dalam hatiku, apa yang sebenarnya dia rencanakan kepadaku? Dia membiarkan diriku sakit, dan terus berada ditangannya. Hatiku sakit, karena aku sadar bukanlah aku pemilik bunga itu, lelaki gagah itu pemiliknya. Aku bersalah karena aku telah merenggangkan gandengannya untuk menikmati keinda-

han bunga itu. Dia memecah keheningan perjalanan kami, aku sungguh kaget dengan pertanyaannya, aku tak menyangka. “Nak, apakah kau sakit hati denganku? “Mengapa kau tak membiarkan aku menikmati keindahan mawar itu?” tanyaku penasaran untuk menjawab segala sakit hatiku. “Apakah kau pemilik bunga itu? Kamu bukan pemilik bunga itu, biarkan dia mekar dan berkembang bersama lelaki itu, dan sekarang eratkanlah gandenganmu.” “Jadi apa yang kau mau dari perjalanan ini?” Dia tak menjawab partanyaanku, dia membisu seribu kata. Aku semakin bertanya-tanya apa yang dia kehendaki terhadap diriku ini? Tapi gengamannya terus menghangatkan hatiku, dan membuatku nyaman bersama dia. Aku tersadar, bukanlah hak ku untuk mengetahui jawaban pertanyaanku, yang aku tahu hanyalah tanganku selalu digandeng olehnya. Kamipun melanjutkan perjalanan, dan sekali lagi aku tak tahu kemana aku akan dibawa pergi. “Pak, Trimakasih karena kau memberi kesempatan diriku untuk duduk sejenak menikmati keindahan taman, termasuk keindahan bunga mawar itu, walau dia bukanlah milikku. Sekarang biarkan aku setia dalam genggamanmu.” **Penulis adalah frater filosofan tingkat I.

Seindah apa pun huruf terukir, dapatkah ia bermakna apabila tak ada jeda? Dapatkah ia dimengerti jika tak ada spasi? Bukankah kita baru bisa bergerak jika ada ruang? Dan saling menyayang bila ada ruang? Dewi Lestari-Filosofi Kopi

34

Teman Seperjalanan XXI/November-Desember 2013


PERSONA IMAM Dipanggil untuk SETIA dan KREATIF dalam Perutusan Oleh: RD. Hieronymus Sridanto Aribowo**

Saya masih ingat betul ketika saat masih duduk di Sekolah Dasar Tarakanita 5 Rawamangun. Saat itu saya kelas lima SD dan aktif sebagai Putra Altar di Paroki Keluarga Kudus Rawamangun. Setiap kali melihat romo paroki menggunakan jubah dan berkeliling ke rumah-rumah umat, ada keinginan dalam hati saya untuk menjadi seorang imam. Gambaran saya menjadi pastor saat itu begitu sederhana, yaitu ingin memakai pakaian antik (jubah putih polos) yang dipakai romo paroki. Melihat romo paroki yang menyalami umat setiap kali misa usai, tergerak hati saya untuk semakin mau menjadi imam. Waktu berjalan begitu cepat. Lulus SMP saya masuk Seminari Menengah Mertoyudan. Cita- cita saya tetap

tak berubah “menjadi romo paroki yang dekat dengan umat”. Ketika melamar menjadi imam diosesan, ada kesempatan untuk wawancara dengan alm.Mgr. Leo Soekoto (uskup KAJ saat itu). Dia bertanya ,” Mengapa kamu berniat menjadi imam projo?” Jawab saya singkat,” Karena saya ingin menjadi romo paroki.” Beliau melanjutkan bertanya “Mengapa projo Jakarta? Ada begitu banyak projo di Indonesia.” Saya menjawab,”Karena saya besar dan tumbuh di Jakarta. Jadi saya lebih mengenal dan memahami Jakarta.” Interview tidak kurang dari lima menit. Saya merenung mengapa begitu singkat, padahal teman-teman ada yang 30 menit bahkan ada yang sejam. Wah, kemungkinan besar saya tidak diterima di Seminari Tinggi KAJ. Hari terus berjalan dan ternyata saya diterima di KAJ. Hari pertama di Wisma Puruhita sungguh menggembirakan. Kegembiraan iman dan panggilan sangat terasa di Tahun Orientasi Rohani. Tahun Rohani menjadi tempat “Recreation with Lord”, berlibur bersama Allah – dalam bimbingan romo magister Tahun Rohani. Cita-cita untuk menjadi Romo Paroki semakin dekat. Setelah 4 tahun filsafat, dan 2 tahun melaksanakan Orientasi Pastoral, saya melanjutkan studi di Kentungan dan langsung menginjak di tingkat 4 Kentungan. Setelah hampir dua tahun setengah di Kentungan, saya diperkenankan melakukan tahun diakonat di St.Maria Tangerang selama 6 bulan. Teman Seperjalanan XXI/November-Desember 2013

35


Bulan madu saya sebagai imam muda ketika menjadi pastor pembantu di Paroki Bonaventura, Pulo Mas. Tampaknya bulan madu untuk menjadi imam yang berkarya di paroki itu tidak lebih dari satu tahun sepuluh bulan. Selanjutnya saya tidak pernah ditempatkan lagi di paroki, kecuali ketika pulang dari studi di Manila, saya sempat “mencicipi bulan madu” di Paroki Ibu Theresa Cikarang selama 5 bulan. Cita citaku bukan Cita cita-Mu Selama hampir 15 tahun menjadi imam, tampaknya cita-cita menjadi imam paroki semakin jauh dari harapan pribadi saya. Cita-citaku bukan cita-citaMu, lebih tepatnya keinginanku bukan kehendakMu. Dalam tugas perutusan tampaknya Tuhan (melalui penugasan dari Bp.Uskup) lebih menempatkan saya bukan di paroki, bukan di “tempat yang aku citacitakan”. Perutusan yang diberikan oleh Bp.Uskup senantiasa tidak selalu paralel dan sejajar dengan keinginan saya. Namun dalam refleksi pergumulan saya, saya mendapatkan banyak hal yang bisa saya sharingkan dalam tulisan ini. Membaca kehendak Tuhan dalam Perutusan yang diberikan oleh Bp.Uskup Kehendak Tuhan senantiasa sulit untuk dipahami. Salah satu cara untuk merefleksikan kehendak Tuhan adalah melalui tugas perutusan yang diberikan oleh Bp.Uskup. Artinya Bp.Uskup adalah wakil Tuhan yang melalui pertimbangan spiritual dan kehendak rohani yang matang mengutus imam imamnya untuk melayani kebutuhan umatnya seluas kehidupan dan kebutuhan umat Allah itu sendiri. Pada tahun kedua imamat saya, ketika saya diutus sebagai sekretaris eksekutif Komisi Seminari KWI, pertanyaan reflektif yang kerap muncul dalam 36

Teman Seperjalanan XXI/November-Desember 2013

benak saya adalah “Apakah di sini kehendak Tuhan memang saya temukan?” Ada semacam pertanyaan gugatan atas tugas perutusan itu. Namun tampaknya jawabannya semakin jelas bahwa Tuhan membimbing dan menuntun saya untuk memahami tugas perutusan yang diberikan kepada saya oleh Bp.Uskup dengan baik dan benar. Setelah satu periode bekerja di KWI selesai, Bp.Uskup mengutus saya untuk bekerja di Atma Jaya. Tampaknya waktu hampir 8 tahun melayani civitas akademika dan bertemu dengan banyak mahasiswa menjadi waktu-waktu yang banyak terisi dengan kegembiraan iman. Suka cita iman menjadi nyata ketika saya diijinkan untuk membaptis lebih kurang 600-an mahasiswa dan mempersiapkan hampir 1200 mahasiswa untuk menerima sakramen krisma selama hampir 8 tahun saat saya melayani di Pastoran Atma Jaya. Suka cita iman menjadi final dalam pernyataan di benak saya, ”tampaknya di sini kehendak Tuhan saya temukan.” Setelah hampir 8 tahun di Atma Jaya, Bp.Uskup meminta saya untuk kembali studi lanjut di Filipina. “Ya Tuhan, apakah yang kau kehendaki dari diriku dalam perutusan baru ini”, begitulah kesan spontan saya saat mendengar perutusan itu. Dinamika perutusan yang kerap

Kehendak Tuhan senantiasa sulit untuk dipahami.


mengejutkan membuat saya semakin sadar bahwa di situlah Tuhan memang ditemukan kehendaknya. Tuhan datang tiba-tiba, namun Ia tetap dengan lembut membimbing dan mengarahkan kita untuk senantiasa memahami misteri perutusan itu. Kehendaknya adalah misteri, perutusannya adalah juga misteri; yang pasti adalah misteri penyelamatanNya lah yang membawa, membimbing, dan mengarahkan saya pada kegembiraan iman dalam panggilan. Dibutuhkan kesetiaan dan kreatifitas untuk menjalan Perutusan dengan baik Tampaknya untuk bisa menjalankan perutusan dengan baik, dibutuhkan kesetiaan dan kreatifitas dalam pastoral. Spirit dan semangat kesetiaan dapat kita gali dalam kegembiraan pelayanan selama menghayati tugas perutusan, dalam perjumpaan dengan orang-orang yang kita layani, bahkan juga dalam kebaikan setiap orang yang kita jumpai di sekitar kita. Pengalaman saya merefleksikan bahwa selalu ada orang orang baik di sekitar saya yang mengarahkan saya untuk memahami dan mengerti problem-problem pelayanan saya. Dibutuhkan hati yang terbuka lebar untuk menjalankan perutusan dengan penuh

Ya Tuhan, apakah yang kau kehendaki dari diriku dalam perutusan baru ini”,

kesetiaan. Namun jangan lupa, dalam hati yang terbuka kerap saya temukan pula kreatifitas untuk menghidupi perutusan dengan luar biasa. Ketika menjalankan perutusan studi di Manila, saya mengatasi rasa bosan dalam studi dengan mengupayakan perjumpaan dan persahabatan dengan “warga dunia berbagai bangsa” dan komunitas Indonesia yang tidak selalu Katolik. Perjumpaan dan persahabatan dengan mereka membawa warna baru yang segar. Ada kreafitas di sana untuk menghidupi perutusan dengan jiwa yang segar dan semangat yang menggebu gebu untuk belajar dengan baik. Akhirnya, satu hal yang tak bisa ditawar tawar adalah hidup doa dan rohani yang teratur. Hal ini sangat membantu saya untuk semakin setia kepada Dia yang mengutus saya. Dan dengan mata iman ini, saya terbantu untuk terus menerus merefleksikan “syukur atas rahmat panggilan” sekaligus “syukur atas rahmat perutusan saat ini dan di sini.” Penutup Di Seminari para frater diutus untuk membina diri dan terus menerus belajar dalam mempersiapkan diri untuk menjadi seorang imam projo Jakarta yang setia dan kreatif dalam perutusan. Tentu saja dibutuhkan latihan rohani yang terus menerus dan teratur untuk bisa membaca kehendak Tuhan dalam perutusan para frater saat ini. “That in all things God might be glorified” **Socius Tahun Orientasi Rohani “Wisma Puruhita” KAJ dan Ketua Komisi Liturgi KAJ

Teman Seperjalanan XXI/November-Desember 2013

37


38

Teman Seperjalanan XXI/November-Desember 2013




Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.