TS/XI-Edisi 27
i
REDAKSIONAL “Life Style” sebuah kata yang sederhana dan sudah tidak asing didengar oleh kita semua. Kata Lifestyle ini biasanya mengarah kepada suatu gaya hidup yang dihidupi seseorang dalam zaman tertentu. Mungkin kita bisa juga memaknainya sebagai ”sebuah seni dalam menjalani kehidupan”. Seni apa saja kah yang terjadi pada zaman sekarang ini? Fashion yang mulai mengikuti gaya Barat atau Jepang, gadget yang seakan menjadi teman hidup, media sosial yang hampir mengisi sebagian besar waktu seseorang, buku cerita dan permainan tradisional yang mulai digantikan dengan game online, dan sebagainya. Tentu saja masih banyak hal yang dapat kita gali terkait dengan gaya hidup zaman sekarang. Akan tetapi, bagaimana dengan para pemuda dan pemudi yang memilih jalan hidup di balik tembok-tembok biara? Gaya hidup seperti apakah yang mereka jalani? Pemuda dan pemudi yang memilih jalan untuk menjadi imam, biarawan/ biarawati, bruder, tentunya juga merupakan bagian dari generasi muda. Sebagai generasi muda, mereka dibimbing untuk memiliki gaya hidup yang sedikit berbeda dari generasi muda kebanyakan. Gaya hidup mereka ini biasanya diwarnai dengan nuansa religius. Nuansa religius ini dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa mereka telah memilih untuk hidup sesuai dengan cara hidup Sang Guru, yaitu Yesus Kristus. Untuk semakin memudahkan mereka dalam mengikuti Yesus Kristus, pemuda dan pemudi ini biasanya mendapat gambaran dari gaya hidup santo-santa tertentu. Santo dan santa ini menjadi contoh konkret dari manusia yang telah berhasil untuk mengikuti cara hidup Yesus Kristus. Bagaimana dengan para frater Diosesan Jakarta? Frater Diosesan Jakarta menjadikan St. Yohanes Paulus II sebagai model dalam menanggapi panggilan Allah. Alasan seminari tinggi memilih sosok ini akan diulas dalam majalah ini. Besar harapan kami agar Lifestyle ini juga dapat menjadi inspirasi bagi para pembaca. Semoga para pemuda pun tergerak untuk menanggapi panggilan Allah sebagai Imam Diosesan Keuskupan Agung Jakarta. Selamat membaca!!!
Answer His Call! Seminari Tinggi St. Yohanes Paulus II Keuskupan Agung Jakarta
Jl. Cempaka Putih Timur XXV No.7-8 10510, Telp (021) 420 3374 ii
TS/XI-Edisi 27
REDAKSI Moderator: RD. Tunjung Kesuma; Pemimpin Umum: fr. Alberto Ernes; Pemimpin Redaksi: fr. Yoseph Sonny Sutanto; Sekretaris: fr. Bernard Rahadian; Sirkulasi: fr. Yohanes Aditya Raga Prakasa; Bendahara: fr. Antonius Arfin Samosir; Editor: fr. Ludowikus Andri Novian, fr. Bernard Rahadian, fr. Antonius Arfin Samosir; Layout: fr. Carolus Budhi Prasetyo, fr. Frederick Yolando; Publisher: Seminari Tinggi St. Yohanes Paulus II, Keuskupan Agung Jakarta, Jl. Cempaka Putih Timur XXV no. 7-8, Jakarta Pusat, 021-4203374, Email:seminaritinggi_yohanespaulusii@yahoo.co.id TS/XI-Edisi 27
1
Daftar Isi Redaksional .....1 Daftar Isi .....2 Menemukan Inspirasi-inspirasi Sederhana dari Tulisan dan Hidup St. Yohanes Paulus II .....6 Awal Pembentukan Gaya Hidup .....12 Teladan Hidup St. Yohanes Paulus II .....18 SMASH Sebagai Tanda Pembeda .....22 Berbekal Warisan Bunda .....26 Dikala Jemari Bergulir .....30 Mari Berpikir Kritis .....32 Melangkah dengan Ringan dan Pentingnya Teman Seperjalanan .....38 Manusia Nekat Kelas Megapolitan .....42 Gaya Hidup Para Frater dalam Kesehariannya .....44 Koko Frater .....46
2
TS/XI-Edisi 27
TS/XI-Edisi 27
3
4
TS/XI-Edisi 27
TS/XI-Edisi 27
5
Kolom Utama
saya tentang hal-hal yang saya lihat dalam diri St. Yohanes Paulus II. Pada saat saya merenungkan pribadi tersebut, saya temukan beberapa hal yang mengesankan tentangnya. Tentu saja yang saya temukan ini adalah bagian yang sangat kecil dari pribadi yang begitu kaya itu.
Menemukan Inspirasi-inspirasi Sederhana dari Tulisan dan Hidup St. Yohanes Paulus II Penulis: RD. Petrus Tunjung Kesuma
P
erkenalan saya dengan pribadi St. Yohanes Paulus II terjadi ketika beliau dipilih menjadi Paus. Saya teringat pada waktu itu seorang teman saya di SMP berkomentar sinis tentang terpilihnya beliau, ”ah paling-paling sebentar lagi mati lagi”. Perkataan itu merupakan tanggapannya terhadap kejadian yang menimpa Paus Yohanes Paulus I yang baru beberapa saat dipilih menjadi Paus lantas wafat. Pada waktu itu saya, yang sedang belajar di SMP, tidak berkomentar apapun karena sejauh ini nama Paus hanya saya ketahui namun tidak ada kesan apapun tentangnya. Ketika saya masuk ke seminari menengah saya semakin mengenal beliau dan pengenalan itu semakin mendalam ketika saya meneruskan ke seminari tinggi. Saya semakin mengenalnya melalui dokumen-dokumen yang diterbitkannya. Akan tetapi, puncak pengenalan saya terhadap beliau adalah ketika saya belajar di Roma. Pada saat itulah, saya semakin melihat beliau sebagai pribadi yang mengesankan dan dapat menjadi teladan dalam penghayatan imamat saya.
Seorang Pendoa Beberapa kesaksian mereka yang dekat dengan Paus ini mengatakan bahwa Paus adalah seorang pendoa yang luar biasa. Setiap pagi ia menyempatkan diri berdoa rosario, berdoa pribadi dan merayakan Ekaristi. Mereka melihat bahwa ketika ia sedang berdoa, ia tampak sungguh tenggelam dalam doa-doanya. Dalam kesaksiannya, ia pernah mengatakan bahwa dalam doa, ia sungguh ingin mengenal kehendak Allah sehingga apa yang dilakukannya adalah sesuai dengan kehendakNya. Paus emeritus Benediktus XVI pernah mengatakan bahwa spiritualitas Yohanes Paulus II ditandai oleh kedalaman hidup doanya dan berakar secara mendalam pada Perayaan Ekaristi. Kiranya hal ini merupakan inspirasi bagi kita semua. Doa rosario yang kerapkali kita lupakan dan kurang kita tekuni, doa pribadi dan juga Ekaristi adalah saranasarana bagi kita untuk mendekatkan diri kepada Allah agar semakin dalam dan menemukan kehendakNya dalam diri kita. Mereka yang ingin melayani Allah kiranya perlu belajar dari Paus ini—bagaimana kita berusaha agar terus menerus menemukan kehendak Allah dan kiranya caranya adalah semakin mendekatkan diri kita sendiri kepada Tuhan melalui latihan-latihan rohani dan sakramen-sakramen, terutama Sakramen Ekaristi.
Seorang Pemberani Kata-kata pertama yang disampaikan oleh Paus Yohanes Paulus II ketika beliau diangkat menjadi Paus adalah “Jangan takut”. Kiranya hal itu mencerminkan kepribadian St. Yohanes Paulus II sendiri. Pengalaman hidup dan imannya yang mendalam menjadikan ia seorang pemberani. St. Yohanes Paulus II mengatakan dalam bukunya,
Dalam doa, ia sungguh ingin mengenal kehendak Allah sehingga apa yang dilakukannya adalah sesuai dengan kehendak-Nya.
Menemukan Inspirasi dari Pikiran dan Tindakan Paus Yohanes Paulus II Tulisan ini bukanlah sebuah tulisan yang dipersiapkan dengan cukup matang dengan mengacu pada sumber-sumber yang kuat. Tulisan ini semacam sharing 6
TS/XI-Edisi 27
TS/XI-Edisi 27
7
“Jangan takut dengan apa yang kamu ciptakan sendiri, jangan takut terhadap semua yang diciptakan oleh manusia. Jangan takut bahwa setiap hari menjadi semakin membahayakan. Akhirnya jangan takut dengan dirimu sendiri.” (Melintasi Ambang Pintu Harapan, hal. 274) Mengapa kita “jangan takut”? St. Yohanes Paulus II mengatakan bahwa alasan ketidaktakutan kita adalah karena manusia telah ditebus oleh Allah: “Kekuatan salib Kristus dan kebangkitanNya jauh lebih besar daripada kejahatan yang dapat menakutkan manusia atau yang dapat ditakuti oleh manusia.” (MAPH, hal 275). Bukan hanya prinsip, namun juga tindakannya pun menunjukkan sifatnya yang berani itu. Ia berani mengkritik segala ketidakadilan dan kekerasan yang terjadi pada saat itu termasuk kritik kerasnya kepada Mafia. Keberaniannya yang luar biasa juga ditunjukkan dengan cara mengampuni orang yang telah berusaha membunuhnya.
Kapel Seminari di Hari Peringatan St. Yohanes Paulus II
Di dalam dunia yang kerapkali dipenuhi hal-hal yang menakutkan dan membahayakan ini, kita semua dipanggil untuk menjadi pribadi yang berani. Keberanian kita itu didasarkan pada iman kita. Dengan memiliki keberanian tersebut, kita siap diutus ke mana pun juga dan terbuka terhadap kebutuhan siapapun juga.
seorang yang halus dan peka. Ia jarang sekali menonton televisi dan hanya melihatnya apabila ada pertandingan sepak bola yang penting atau apabila ada kejadian-kejadian yang luar biasa. Dalam berbagai foto yang ada sering kali terlihat bahwa bahkan setelah menjadi imam, Paus ini tetap menyukai kegiatan fisik seperti pergi ke alam bebas dan terbuka.
Pewartaan kita juga menuntut keberanian kita. Kita perlu mengingat bahwa sebagai orang yang diutus untuk mewartakan Injil, kita bagaikan anak domba yang berada di tengah-tengah serigala. Tantangan ada di hadapan kita dan di situlah keberanian kita dibutuhkan sehingga Warta Gembira tetap sampai kepada semua orang.
Salah satu tantangan kita pada zaman ini adalah kesehatan dan pemeliharaan diri. Kecenderungan masyarakat saat ini yang mengalami obesitas adalah hal yang perlu kita perhatikan dengan serius. Mengapa? Karena bersama dengan naiknya berat badan, banyak sekali penyakit yang datang menyertainya. Hal itu tentu saja tidak menguntungkan untuk pelayanan kita. Persoalan ini semakin parah karena pola hidup orang zaman sekarang yang cenderung tidak mau bergerak. Mereka lebih suka ‘duduk berjam-jam di depan Internet’.
Seorang yang Sehat dan Kuat Jiwa-Raga Sebagai seorang anak, Lolek (panggilan kecil St. Yohanes Paulus II) adalah seorang yang aktif. Ia senang dengan kegiatan-kegiatan di luar; kemampuannya dalam bermain sepak bola, bermain pingpong serta aktifitas fisik lainnya membuatnya memiliki badan yang sehat dan kuat. Dalam perkembangan selanjutnya itu, kegemarannya akan puisi dan drama juga membuatnya menjadi
Jangan takut dengan apa yang kamu ciptakan sendiri, jangan takut terhadap semua yang diciptakan oleh manusia, jangan takut bahwa setiap hari menjadi semakin membahayakan.
8
TS/XI-Edisi 27
Cara hidup Karol Wojtyla pada masa muda yang penuh dengan aktifitas fisik maupun juga pengembangan kepribadian adalah contoh yang baik bagaimana kita yang menghayati panggilan hendaknya mengisi waktu-waktu kita sehingga kesehatan kita terjaga dan juga kepribadian dapat berkembang. Kita perlu menyadari bahwa pelayanan kita menuntut juga kesehatan yang prima serta kepribadian yang matang dan semua itu bukanlah hal yang tiba-tiba datang melainkan harus dibentuk melalui latihan-latihan setiap hari dan melalui kebiasaan yang kita kembangkan dalam kehidupan sehari-hari.
Seorang Pekerja Keras Dalam salah satu tulisannya Paus mengatakan bahwa, “Bahkan jikalau kita tak menemukan perintah khusus untuk bekerja dalam kata-kataNya, bagaimanapun juga, dampak persuasif kehidupan Kristus sangat jelas: Ia milik dunia pekerja; ia menghargai dan menghormati pekerjaan manusia. Maka, bisa dikatakan bahwa Ia mengasihi pekerjaan manusia yang beragam bentuknya karena melihat dalam setiap bentuk pekerjaan itu sisi tertentu kemiripan manusia dengan Tuhan, sang Pencipta dan Bapa.” TS/XI-Edisi 27
9
Tidak hanya melalui kata-katanya yang menunjukkan penghargaannya terhadap pekerjaan, dalam kehidupan sehari-harinya, Paus ini dikenal sebagai pekerja keras. Kebiasaan itu muncul dari pendidikannya ketika masih kecil. Ayahnya, Karol, mendidiknya untuk bekerja dengan semangat, disiplin dan kerja keras, karena itulah semangat tersebut juga berkembang dalam diri Lolek. Semangat kerja keras itu tampak dalam pelayanannya selama ia memimpin Gereja, dengan tanpa lelah ia mengunjungi umatnya di berbagai penjuru dunia sehingga ia dijuluki “The Pilgrim Pope” atau “The travelling Pope”. Pribadi Paus yang merupakan seorang pekerja keras ini mengingatkan saya akan semangat banyak orang Jakarta. Setiap pagi saya melihat serombongan besar para pekerja yang dengan tergesa-gesa menuju tempat kerja mereka masingmasing. Mereka bukanlah orang-orang kaya, melainkan pekerja-pekerja ‘kecil’ yang dengan motornya menempuh kemacetan jalan-jalan Kota Jakarta. Kerapkali itu dilakukan dalam keadaan yang berat misalnya hujan ataupun banjir. Mereka semua bekerja dengan susah payah untuk mendapatkan rejeki sehari-hari mereka. Paus ini dapat menjadi inspirasi bagi kita sebagai imam dan calon imam dalam mengembangkan semangat sebagai pekerja keras. Dengan melihat Paus yang dengan setia menjalankan tugasnya sampai akhir hidupnya, maka kita pun hendaknya menyadari panggilan yang sama untuk menjadi pekerja keras dalam Gereja. Apalagi kalau kita melihat kenyataan bahwa di Jakarta banyak orang merupakan pekerja keras, sikap kita mau bekerja keras dan tekun itu selaras dengan semangat Jakarta.
Seorang yang Selalu Belajar “Iman dan akal budi bagaikan dua sayap yang membawa manusia terbang menuju kontemplasi akan kebenaran; dan Allah telah meletakkan di dalam hati manusia keinginan untuk mengetahui kebenaran…” (Fides et Ratio). Dengan kata ini Paus menekankan pentingnya akal budi dalam setiap pencarian kita akan kebenaran tersebut. Akal budi itu kita kembangkan apabila kita mau belajar. Kalau kita menengok kehidupan St. Yohanes Paulus II, kita mengetahui dengan jelas bahwa ia seorang yang mau terus-menerus belajar. Ia memperoleh gelar doktoralnya di bidang teologi dengan disertasi tetang persoalan iman menurut St. Yohanes Salib dan disertasi keduanya terkait dengan persoalan moral yaitu, sistem etis Max Seheler—secara khusus sumbangannya dalam Teologi Moral. Dari pandangannya tentang pentingnya ratio (akal budi) dan juga dari hidupnya sendiri, kita bisa mengambil “insight” bahwa studi merupakan hal yang penting bagi Paus kita. Dengan studi itu ia dapat mengambil bagian dalam karya-karya Gereja melalui berbagai bentuk pelayanan. Dengan kebiasaan studi juga, kita dapat melayani dengan lebih baik. Studi di sini bukanlah semata-mata untuk mendapat nilai yang baik melainkan bagian dari perkembangan kita sendiri yang terus bergerak menuju Sang 10
TS/XI-Edisi 27
Kebenaran itu sendiri, yaitu Allah. Maka studi kiranya perlu kita maknai lebih dalam lagi. Berbagai informasi yang kita terima hendaknya bersifat formatif bagi kita agar kita mengalami transformasi. Dalam kaitannya dengan studi, kiranya yang dibutuhkan adalah sikap rendah hati dan mau mencari. Sikap rendah hati adalah kesadaran bahwa kita masih memiliki banyak kekurangan dan tidak sempurna. Sedangkan, kemauan mencari artinya saya terus menerus rindu untuk semakin mengenal kebenaran. Kesadaran bahwa kita masih banyak memiliki kekurang-tahuan akan bertumbuh dalam sikap mau belajar apabila dalam diri kita ada kemauan kuat untuk mencari, semakin dalam dan semakin dalam.
Sangat Manusiawi Di Youtube, kita dengan sangat mudah dapat melihat kejadian-kejadian yang menunjukkan sisi yang sangat manusiawi dari St. Yohanes Paulus II—entah ketika ia sedang menggendong seorang anak kecil, entah ketika ia tanpa canggung tertawa tergelak-gelak, juga ia yang sedang asyik memutar tongkatnya ketika anakanak muda bernyanyi. Sikapnya yang sangat manusiawi ini membuatnya sangat dikenang dan dicintai oleh banyak orang yang merasakan bahwa ia adalah sama seperti mereka. Saya sendiri memiliki pengalaman yang sangat menarik dengan Bapa Paus ini. Pada tahun 1999 bersama Bapa Paus dan banyak orang yang hadir saat itu, saya merayakan Ekaristi malam Paskah, Suasana saat itu sangat meriah dan megah. Di tengah keramaian dan kemegahan Ekaristi itu, Paus menyampaikan keprihatinannya yang sangat mendalam terhadap penderitaan sebuah bangsa di Eropa Timur yang sedang mengalami pemboman. Khotbah itu disampaikan dengan suara yang bergetar dan melibatkan perasaannya yang sangat mendalam dan membuat suasana Ekaristi menjadi hening. Kami semua seolah terlibat dalam keprihatinan yang mendalam terhadap mereka yang pada saat itu sangat menderita. Pengalaman ini membuat saya sangat terkesan. Ia adalah Paus yang sungguhsungguh bagian dari kita semua. Ia bukanlah seorang yang lepas dari penderitaan dan pergulatan yang dihadapi manusia pada umumnya. Ia memiliki hati yang peka terhadap apa yang terjadi dengan sesamanya dan berbela rasa dengan mereka yang sedang menderita. Pengalaman ini seolah menjadi pengingat bagi saya, “apakah saya peka dan mampu berbela rasa dengan sesama saya yang menderita?”.
Penutup
Paus Yohanes Paulus II menjadi pelindung bagi Seminari Tinggi Keuskupan Agung Jakarta. Saya memandang bahwa itu adalah anugerah Tuhan sendiri. Selayaknyalah kita menjadikan dia sebagai teladan kita dalam menghayati imamat yang dianugerahkan Tuhan kepada kita. Dengan demikian, kita memiliki pegangan dalam pembentukan diri. Terima kasih. TS/XI-Edisi 27
11
Kolom Utama Awal Pembentukan Gaya Hidup
T
Wawancara fr. Ludowikus Andri N. dengan RP. Markus Yumartana, SJ
ahun Orientasi Rohani (TOR) yang ada di Wisma Puruhita merupakan rumah awal bagi para frater Diosesan Jakarta untuk mengolah kehidupan panggilannya. Pengolahan tersebut bertujuan untuk membangun fondasi dasar perjalanan panggilan para frater di Keuskupan Agung Jakarta. Fondasi itu dibangun melalui kegiatan sehari-hari. Pengolahan ini dimaksudkan supaya para frater dapat semakin menghayati gaya hidup yang ada dan membentuk corporate culture (ed. yang artinya adalah budaya bersama). Lalu, fondasi apakah yang ingin dibangun di sana? Mengapa hal tersebut menjadi penting dan perlu dibangun? Bagaimana hal itu diimplementasikan dalam dinamika kehidupan sehari-hari para frater TOR KAJ? Berikut akan dipaparkan hasil dari wawancara singkat bersama Romo Markus Yumartana, SJ selaku Romo Direktur TOR KAJ.
pun ingin mengikuti Yesus,” ungkap Romo Yumartana. “Bagaimana Ia melayani? Bagaimana Ia berkorban? Bagaimana Ia memimpin?”, lanjut Romo Yumartana, SJ. Romo Yumartana, SJ melanjutkan, relasi persahabatan dengan Yesus Kristus tersebut tidaklah lepas dari relasi persahabatannya dengan sesama dan lingkungan. Relasi persahabatan itu bisa disebut sebagai Triple Friendship, yakni persahabatan manusia dengan Tuhan melandasi persahabatan dengan sesama dan lingkungan hidup. Ketiga persahabatan ini tidak bisa dipisahkan, sebab tindakan seorang imam itu tercermin dari bagaimana ia berelasi dengan ketiga unsur tersebut. Apalah artinya mengakui diri sebagai orang beriman, jika dalam kehidupannya relasinya tidak baik? Kita perlu bertanya, “Apakah benar mereka itu seorang Imam?” Ketiga relasi persahabatan inilah yang ingin dilatihkan lewat proses formasi di TOR KAJ.
Arah dan Tujuan
Fondasi panggilan hidup seorang calon imam itu ada pada persahabatannya dengan Tuhan. Itulah pegangan atau modal dasar bagi para frater untuk menghadapi berbagai tantangan di kemudian hari. Romo Yumartana, SJ menyebutkan ada beberapa tantangan besar dalam kehidupan orang beriman, yakni: kesuksesan, harta, dan budaya sensualisme (segala bentuk pemuasan inderawi dan instinktual). Selain itu, fondasi utama yang dibangun saat TOR juga bertujuan untuk mengarahkan para frater kepada peran imamat itu sendiri. Di tengah gempuran tantangan yang sering berupa tawaran kehormatan, kekayaan dan berbagai tawaran keenakan hidup yang memuja pemuasan inderawi, seorang calon imam dan imam perlu menempatkan Tuhan menjadi pusat hidup. Bila kita
Fondasi Utama
Romo Yumartana, SJ menegaskan bahwa fondasi utama yang harus dibangun oleh para frater di Tahun Orientasi Rohani adalah persahabatan dengan Tuhan. Tuhan diyakini sebagai “Subyek” yang telah memanggil dan memercayakan jalan panggilan imamat kepada para frater. Panggilan ini semakin nyata apabila ada relasi timbal-balik antara Tuhan dan sesama. Di satu pihak panggilan seorang imam memang berasal dari Tuhan. Akan tetapi, di pihak lain diperlukan tanggapan dari mereka yang terpanggil. Oleh sebab itu, para frater perlu membangun komunikasi (persahabatan) yang intensif, bahkan intim, dengan Allah dalam jalan panggilan yang mereka tekuni. Dalam relasi itu para frater diajak untuk mendengarkan, mengalami lebih dekat misteri Allah yang memaanggil dan merefleksikannya, lalu kemudian menentukan sikap atas kehendak dari Tuhan Sang Pemanggil. Romo Yumartana, SJ menunjuk figur dan teladan utama para calon imam dalam menjalani panggilannya ialah Yesus sendiri. “Belajarlah dari Yesus dalam menanggapi Panggilan Allah, sebab kita 12
TS/XI-Edisi 27
Para Frater TOR KAJ 2015/2016 mengucapkan doa penjubahan, 27 September 2015.
TS/XI-Edisi 27
13
Tetap ceria setelah bekerja di kebun.
tergerus oleh berbagai tawaran menggiurkan itu apakah artinya menjadi imam jaman sekarang? Lalu, apa artinya kesuksesan seorang imam? Apa arti kekayaan seorang imam? Apa arti kegembiraan dan sukacita seorang imam?
Menjadi Seorang Imam
Romo Yumartana, SJ menegaskan bahwa imam dipanggil untuk melayani, memimpin, dan memelihara. Itulah gambaran seorang imam sebagai gembala yang baik. Bagaimanapun juga seorang imam perlu belajar menjadi pemimpin, tetapi perlu dibarengi dengan semangat melayani dan memelihara. Itulah peran imam yang bisa disebut sebagai Leader, Servant dan Steward. Sikap memimpin (leader) yang ada pada diri imam menunjuk pada tugas untuk menuntun umatnya, berani ambil resiko, dan bertanggung jawab. Sedangkan, sikap melayani (servant) menunjuk pada pelayanan sakramen-sakramen, kehadiran di tengah umat, dan pelayanan administratif, seperti: pencatatan data pembabtisan, krisma, jumlah umat, dsb. Sikap memelihara (steward) menunjuk pada peran untuk memperhatikan yang lemah, yang sakit, yang miskin dan menghadirkan kasih yang mengasuh seperti peran ibu dan bapa bagi anak dalam keluarga. Tentu saja semangat memelihara ini juga dalam kaitannya dengan kepedulian terhadap lingkungan hidup. Memelihara kehidupan tidak bisa dilepaskan dari memelihara alam ciptaan. Sebab, manusia semakin menyadari bahwa ia tidak bisa hidup lepas dari alam sekitarnya.
Corak Kehidupan yang Ingin Dibangun
Menurut Romo Yumartana, SJ, pemaknaan tujuan hidup inilah yang perlu diperjelas dengan dasar pilihan hidup agar tidak terombang-ambing, khususnya dalam tugas perutusan nanti di tengah banyaknya tawaran duniawi. Di satu sisi, pemaknaan akan tujuan hidup membuat calon imam tidak mudah terpengaruh dengan berbagai kepentingan. Di sisi lain, pemaknaan tujuan hidup ini bukan berarti bersikap sinis atau apatis. Seorang imam KAJ diharapkan menjadi gembala yang baik yang bisa dan mau merangkul semua orang.
semangat yang ingin dibangun dalam relasi dengan Tuhan itu didasarkan pada rumusan yang telah dibuat oleh UNIO KAJ, yakni H.A.M.B.A (Hangat, Andal, Misioner, Bahagia, Andil). Semangat HAMBA yang terjabarkan dalam lima poin ini pun mempunyai deskripsinya masing-masing. Hangat yang berarti mengupayakan suasana persaudaraan yang erat, terbuka, dan bersahabat dengan semua orang, dilandasi oleh semangat kasih dan belarasa. Andal yang berarti memiliki kecakapan pastoral yang profesional, berkualitas dan berkomitmen pada tugas perutusan. Misioner yang berarti memiliki kesadaran dan tekad tinggi menjalankan tugas perutusan dengan setia dan rendah hati dalam ketaatan kepada Uskup. Bahagia yang berarti mengembangkan rasa syukur dan sukacita batin terus-menerus atas rahmat panggilan mewartakan injil, Kabar Gembira Tuhan. Andil yang berarti mengambil bagian secara aktif dalam kehidupan menggereja dan memasyarakat. Selain pokok-pokok dari semangat HAMBA dalam menghayati persahabatan dengan Tuhan, hal lain yang ditekankan oleh Romo Yumartana, SJ dan tidak boleh dilupakan dalam berelasi dengan Tuhan adalah semangat sukacita injili. Semangat sukacita injili yang dimaksud adalah adanya “semangat muda” dari para frater KAJ yang adalah anak muda hingga menjadi imam nanti. Pilihan panggilan hidup memang memisahkan peran setiap orang, tetapi bukan berarti memisahkan jati diri para frater yang ada juga pada anak muda lainnya, misalnya spontanitas (canda-tawa, penuh gairah, rasa ingin tahu yang tinggi, dan adanya daya juang). Peran menjadi calon imam tidak boleh memudarkan keontentik-kan, jati diri, dan semangat para frater; seperti “jaim” (ed. jaga images) terhadap orang lain terlebih pada lawan jenis, tindakannya seperti ke-Romo-Romoan atau ke-tua-tua-an, tidak senang diajak bercanda, mudah tersinggung, loyo dan berbeban berat. “Jika menjadi Romo, ketika umatnya melihat Romonya terlihat seperti itu: loyo, kaku, “jaim”, dsb; justru akan membuat umat takut dan malas untuk bertemu dengan Romo itu,” ungkap Romo Yumartana, SJ. Hal tersebut malah membuat hambatan terhadap tugas pelayanan nanti.
Pemaknaan tujuan hidup perlu diperjelas dengan dasar pilihan hidup agar tidak terombang-ambing, khususnya dalam tugas perutusan nanti di tengah banyaknya tawaran duniawi.
Dalam konteks hidup di Jakarta dengan segala macam tantangannya, corak 14
TS/XI-Edisi 27
TS/XI-Edisi 27
15
Oleh sebab itu, semangat muda yang dimiliki oleh kaum muda perlu terusmenerus dihidupi dan bukannya dihilangkan. Semangat ini perlu dimiliki oleh seorang calon imam dan diarahkan ke arah yang positif. “KAJ membutuhkan Romo yang seperti itu,� ungkap Romo Yumartana, SJ. Semangat muda yang dihidupi oleh para calon imam akan membawa mereka pada keinginan untuk mau mengembangkan diri terus-menerus menjadi pribadi berkualitas. Dengan menjadi pribadi yang berkualitas, seorang imam KAJ akan dapat membantu Keuskupan Agung Jakarta dalam tugas pelayanan yang diembannya di Kota Jakarta sebagai kota yang sarat akan pelbagai perkembangan.
Dinamika Kehidupan
Adapun dinamika-dinamika yang dibuat untuk membangun fondasifodasi dasar tersebut selama TOR antara lain: Ekaristi setiap hari, latihan rohani satu jam, peregrinasi (berjalan kaki menuju suatu tempat), probasi (bekerja dengan profesi tertentu), perutusan ke lingkungan-lingkungan, berkebun, studi, tugas melayani saat waktu makan, dsb. Dari semua dinamika yang ada, para frater diharapkan dapat semakin mendalami dinamika tersebut dan mengembangkan dirinya, sehingga dapat menjadi keunikan dan gaya hidup dari setiap frater dan pada akhirnya menjadi keunikan dan gaya hidup dari imam Keuskupan Agung Jakarta.
Semangat muda yang dihidupi oleh para calon imam akan membawa mereka pada keinginan untuk mau mengembangkan diri terus-menerus menjadi pribadi berkualitas.
16
TS/XI-Edisi 27
han ti Asu e Pan k n a ng Kunju uari 2016 r 8 Feb
aru
B Fajar
TS/XI-Edisi 27
17
Kolom Utama
Teladan Hidup St. Yohanes Paulus II Penulis: fr. Alberto Ernes
T
he Pilgrim Pope atau The Travelling Pope, itulah kirakira julukan yang diberikan kepada St. Yohanes Paulus II dalam pelayanannya selama memimpin Gereja. Ia tanpa kenal lelah mengunjungi umatnya di berbagai penjuru dunia. Santo Yohanes Paulus II memang dikenal sering melakukan perjalanan berkeliling ke lebih 100 negara untuk menyebarkan pesan iman dan perdamaian. Tentu saja, perjalanan ini didasari oleh kehendak serta semangat pelayanan yang besar. Sebagai seorang frater diosesan KAJ yang sedang menjalani masa formatio (pendidikan) di Seminari Tinggi St. Yohanes Paulus II-Keuskupan Agung Jakarta, St. Yohanes Paulus II tentunya menjadi teladan dalam keseharian hidup saya. Begitu banyak inspirasi, nilai-nilai, dan teladan dari St. Yohanes Paulus II, rasarasanya tulisan ini tidak dapat memuat semuanya, namun dalam hal ini, saya akan mengambil satu teladan yang telah dinyatakan dalam hidupnya, yaitu hidup sebagai seorang pekerja keras.
Teladan dan Gaya Hidup St. Yohanes Paulus II St. Yohanes Paulus II dikenal sebagai seorang pekerja keras. Gambaran ini semakin nyata dan tampak terlihat dalam semangatnya selama beliau memimpin Gereja. Salah satunya jelas terlihat dalam kunjungan kepada umatnya di berbagai penjuru dunia tanpa lelah yang membuat beliau mendapat julukan sebagai “The Pilgrim Pope” atau “The Travelling Pope”. Semangat hidup yang tampak dari kisahkisah perjalanannya memperlihatkan bahwa beliau adalah seorang pekerja keras— inilah yang menjadi gaya hidupnya. 18
TS/XI-Edisi 27
Melihat dan berkaca dari pribadi St. Yohanes Paulus II yang adalah seorang pekerja keras, saya teringat akan pengalaman saya di tingkat II ini. Saya mendapatkan tugas perutusan untuk mengajar anak-anak STM di SMK Strada Rajawali, Kemayoran. Tugas perutusan yang saya dapatkan ini amat menantang diri saya terutama karena jarak dan perjalanan yang harus saya tempuh setiap minggunya. Akan tetapi, tantangan yang saya dapatkan ini tidak menjadi suatu halangan, melainkan justru mengajak saya untuk berusaha menghidupi teladan yang telah diberikan St. Yohanes Paulus II, yaitu bekerja keras. Pekerja keras kerap identik dengan orang yang melakukan pekerjaan-pekerjaan kasar dan berat, seperti halnya tukang bangunan dan para buruh. Akan tetapi, gambaran pekerja keras di sini juga mengarah kepada St. Yohanes Paulus II yang mewartakan Kerajaan Allah kepada dunia ini. Saya sungguh bersyukur bahwa saya mempunyai sosok teladan yang amat luar biasa, yaitu St. Yohanes Paulus II. Semangat dan kerja kerasnya ini rasa-rasanya menular kepada diri saya terutama dalam menjalani tugas perutusan saya di tingkat II ini. Tugas perutusan saya ini selalu ditempuh bersama sahabat sejati saya, yaitu sepeda. Sebenarnya, saya dapat menggunakan alternatif kendaraan yang lain untuk menuju tempat tugas perutusan saya, tetapi hati saya lebih tergerak dan mendorong saya untuk menggunakan sepeda. Di kalangan para frater, sepeda merupakan sesuatu yang tidak asing. Benda inilah yang selalu menemani para frater dalam menjalani aktivitas hariannya, seperti untuk kuliah ke STF Driyarkara, menjalani tugas perutusan pastoral, berbelanja, dan keperluan yang lain. Bagi saya, (ber-) sepeda inilah yang menjadi gaya hidup para frater. Sebagai seorang frater diosesan Jakarta, saya sungguh bersyukur masih dapat menggunakan sepeda di tengah di tengah-tengah kota metropolitan dan arus modernisasi yang menawarkan pelbagai kemudahan sekaligus kemewahan. Tidak dapat dipungkiri bahwa terkadang ada keinginan untuk menggunakan kendaraan umum, tetapi saya menyadari bahwa sebagai seorang calon imam hendaknya tidak melulu terbuai akan hal-hal yang menyenangkan dan memudahkan.
Kita hendaknya tidak terbuai dengan hal-hal yang menyenangkan dan memudahkan.
TS/XI-Edisi 27
19
“Semua ada saatnya dan segala sesuatu indah pada waktunya (Pkh. 3:11)”, hal inilah yang berusaha saya hidupi terus-menerus. Ada waktunya bagi kita untuk merasakan hal-hal yang menyenangkan dan kemudahan-kemudahan, tetapi ada juga waktunya bagi kita untuk berjuang tanpa mempunyai kelekatan akan hal-hal tersebut. Hal ini pun juga merupakan suatu pilihan, tetapi sebagai seorang calon imam yang meneladani kesederhanaan dan semangat seorang pekerja keras dari St. Yohanes Paulus II, saya memilih untuk tetap berjuang selama saya masih mau dan mampu melakukannya.
bahwa semangat kerja keras ini tidak akan dapat saya jalani dan hidupi dengan baik tanpa adanya kehendak yang kuat untuk melayani orang-orang di sekitar saya yang sangat membutuhkan pertolongan.
Dinamika Bersepeda
Bagi saya, gaya hidup bersepeda merupakan hal yang sederhana tetapi penuh dengan nilai-nilai di dalamnya. Bersepeda tidak hanya menjadi olahraga semata, tetapi juga mempunyai dimensi perjuangan, kerja keras, melatih diri untuk tangguh dan mempunyai daya tahan dalam segala tantangan yang ada, lebih mengakrabkan diri dengan lingkungan sekitar (karena langsung bersentuhan dengan realitas, tidak dibatasi dengan pintu dan kaca mobil), dan tidak berada dalam zona nyaman melulu. Pada akhirnya, saya hanya dapat bersyukur dan berterima kasih bahwa St. Yohanes Paulus II menjadi teladan sekaligus pelindung serta Bapa Rohani bagi saya sebagai frater diosesan KAJ. Ia mengajarkan saya untuk terus-menerus menghidupi teladan dan keutamaan yang telah ditunjukkan beliau sebagai seorang pekerja keras melalui semangat dan kesederhanaannya dalam mewartakan Kerajaan Allah di dunia ini dan inilah gaya hidup kami. Totus Tuus.
Pengalaman menjalani tugas perutusan dengan bersepeda merupakan pengalaman suka-duka. Perjalanan saya tidak hanya ditemani sepeda saya tercinta, tetapi juga terkadang ditemani kendaraan-kendaraan lain dan cuaca yang tidak menentu. Capek, lelah, letih, panas, keringat, buru-buru, menjadi dinamika saya dalam perjalanan ini. Perasaan-perasaan ini membuat saya sadar bahwa saya ini hidup dan saya sedang berjuang dalam hidup ini. Dinamika yang saya alami juga tidak hanya itu. Terkadang ada perasaanperasaan kesal dan marah ketika saya harus berhadapan dengan kendaraankendaraan yang lebih besar dan tidak mau mengalah. Tidak jarang saya harus balapan dengan mereka! Terkadang, saya mengeluh di dalam hati mengenai pengalaman-pengalaman itu, tetapi rupanya ada juga pengalaman-pengalaman menyenangkan yang juga memberi warna tersendiri.
Sebagai seorang frater diosesan, saya merefleksikan bahwa gaya hidup bukanlah semata-mata hanya tampak dari tampilan luarnya saja, tetapi juga dari dalam. Masih teringat jelas di benak saya bahwa gaya hidup para frater maupun imam diosesan seringkali dinilai mewah karena tidak mengucapkan kaul kemiskinan. Sebaliknya, meskipun kami tidak mengucapkan kaul tersebut, kami berusaha untuk melakukan dan menghidupinya.
Bersepeda menuju tempat tugas perutusan saya di tengah kota metropolitan ini juga memberi keuntungan bagi saya seperti: bebas macet, bebas dari berbagai peraturan untuk kendaraan bermotor, bebas dari penilangan yang dilakukan polisi, tidak perlu khawatir atau takut jika ada polisi, dan mampu lebih peka dengan lingkungan sekitar seperti menolong orang yang mengalami kecelakaan. Tidak hanya itu, bersepeda juga lebih ekologis-ramah lingkungan, lebih fleksibel, dan sepertinya membuat tubuh saya lebih sehat dan bugar (jarang sakit). Inilah dinamika yang saya alami selama bersepeda dalam menjalani tugas perutusan pastoral saya. Memang, terkadang tidak mudah, tetapi saya selalu berusaha untuk menikmatinya dengan santai dan hati yang gembira.
Pekerja Keras dalam Mewartakan Kerajaan Allah Lalu Ia berkata kepada mereka: “Pergilah ke seluruh dunia, beritakanlah Injil kepada segala makhluk …” (Mrk 16:15). Ayat inilah yang akhirnya menjadi penutup rangkaian tulisan sederhana ini. Saya hanya dapat bersyukur bahwa St. Yohanes Paulus II menjadi teladan bagi saya dalam menjalani aktivitas harian saya, terutama dalam menjalani tugas perutusan pastoral. Semangat kerja keras dari beliau sungguh mulai menjadi salah satu keutamaan dalam diri saya. Saya menyadari 20
TS/XI-Edisi 27
Retret akhir tahun tingkat III - Teologan bersama RD Parjono, Wisma Maya.
TS/XI-Edisi 27
21
Ad Intra
sebagai Tanda Pembeda Penulis: fr. Reinardus Doddy Triatmaja
U
paya untuk membentuk identitas yang menguatkan kesatuan komunitas, menimbulkan inisiatif untuk menyuarakan nilai-nilai inti yang dapat dihayati. Upaya ini pun diusahakan sebagai wujud dari kecintaan pada panggilan-Nya untuk semakin menyelaraskan diri dengan-Nya.
Kebahagiaan memiliki identitas juga berarti siap untuk dikenal dan memperkenalkan diri. Lebih mendalam lagi, hal itu juga berarti berani mewartakan diri yang terbaik demi terwartanya gambaran diri Allah sendiri. Dengan memiliki sikap atau gaya hidup yang baik, berarti menghargai pula diri sendiri, terlebih orang-orang yang dijumpai dan dilayani. Dengan gaya hidup itu, identitas seseorang mampu tergambarkan—apakah ia seorang calon imam, apakah ia seorang mahasiswa atau apakah sekalipun ia seorang karyawan. Nyatanya, karakter seseorang tercermin dari apa yang ia lakukan, dari gaya hidup yang menjadi pembawaannya. Dengan kata lain, identitas tercermin dalam realitas. Dalam rangka membentuk identitas ini, dewan inti STKAJ—yang juga dibantu oleh Romo Tunjung Kesuma sebagai rektor seminari—berupaya melanjutkan pembentukan tradisi dengan merumuskan nilai-nilai kehidupan yang coba digali dari keprihatinan sehari-hari. Yang khas dan istimewa, nilai-nilai itu juga diambil dan dikaitkan dengan spiritualitas alkitabiah dan santo pelindung seminari, Santo Yohanes Paulus II. Mencoba berefleksi atas Arah Dasar KAJ 2011-2015 dan mengambil inspirasi dari Arah Dasar KAJ 2016-2020—sebagai bentuk kesatuan gerakan dengan KAJ— secara khusus STKAJ bertekad untuk membentuk komunitas yang bersekutu dan bergerak. Adalah SMASH yang coba dihayati sebagai nilai bersama. SMASH pula yang dihidupi sebagai gerak bersama komunitas.
22
TS/XI-Edisi 27
SMASH adalah buah dari kristalisasi permenungan St. Yohanes Paulus II yang coba dimaknai kembali. Gaya hidupnya yang menggambarkan kematangan diri dalam menjalani panggilan Tuhan menjadikannya sebagai model yang diidentifikasikan oleh para frater STKAJ dalam menekuni panggilan Tuhan. Kumpulan nilai-nilai yang bermakna ini pula yang menjadi core values sebagai gaya hidup yang menjiwai para frater dengan menyandarkan diri pada nilai-nilai spiritualitas St. Yohanes Paulus II. Tak lain, nilai-nilai ini pula yang merujuk pada cara hidup yang khusus, yang membedakan para frater dari orang muda yang lain atau hanya sebagai seorang mahasiswa.
Stewardship. “Karena setiap orang yang mempunyai, kepadanya akan diberi, sehingga ia berkelimpahan. Tetapi siapa yang tidak mempunyai, apa pun juga yang ada padanya akan diambil dari padanya.” (Matius 25:29) Upaya untuk membentuk diri dalam kesetiaan menjalani setiap tugas dan tanggung jawab melahirkan pribadi yang mempunyai inisiatif dan kepekaan mulai dari hal-hal sederhana.
Mary. “Dari Maria kita belajar untuk tunduk kepada kehendak Allah dalam segala hal; kita belajar untuk percaya bahkan bila semua harapan tampak sirna; kita belajar untuk mencintai Kristus, Putranya dan Putra Allah. Sebab Maria bukan hanya Bunda Allah, ia juga adalah Bunda Gereja.” (St. Yohanes Paulus II) Kekuatan dalam menjalani panggilan juga didasarkan pada gaya hidup yang menjadikan sosok Bunda Maria sebagai teladan. Kerendahan hati dan penyerahannya kepada Bapa mengajarkan sikap penyerahan diri dan kesetiaan menekuni pelbagai pergumulan dalam jalan panggilan Tuhan. TS/XI-Edisi 27
23
Adoration. “Dengan kurban ini, Allah memberikan rahmatNya dan kurnia pertobatan, dan Ia mengampuni dosa-dosa. Berkat penebusan Kristus yang diberikan-Nya kepada kita melalui kematian- Nya yang berdarah di Kalvari, kini ‘kita terima secara berlimpah melalui kurban-Nya yang tidak berdarah’.” (St. Yohanes Paulus II) Melalui penghormatan kepada Sakramen Mahakudus, rasa syukur untuk menjalani panggilan dari-Nya takkan pernah habis. Rasa syukur itu juga yang membuat kesadaran akan kehadiran-Nya selalu menampak dalam anugerah pertobatan dan rahmat panggilan-Nya.
Sharing. “Sebab di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam nama-Ku, di situ Aku ada di tengah-tengah mereka.” (Matius 18:20) Kebahagiaan dalam menjalani panggilan senantiasa terus bertumbuh dari perasaan dicintai oleh Tuhan dan dekat dengan-Nya. Kebahagiaan itu juga yang meneguhkan setiap orang untuk saling memberikan manfaat dan berbagi pengalaman dalam cinta Tuhan—semakin terbiasa berani ke luar dari diri sendiri secara berani. 24
TS/XI-Edisi 27
Hospitality. “Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu, dan barangsiapa ingin menjadi terkemuka di antara kamu, hendaklah ia menjadi hambamu.” (Matius 20:26-27). Keramahan yang hangat kepada orang lain menjadi salah satu cara untuk menampakkan wajah Allah yang terbuka dan murah hati dalam hidup seharihari. Dengan demikian, gaya hidup—tak lain—merupakan cara membawakan diri. Sebagai seorang calon imam, sudah sepatutnya bahwa gaya hidup merupakan hal yang penting disadari sejak masa pembinaan. Sebab, karakter diri yang terbentuk dalam identitas komunitas merupakan salah satu aspek penting dalam pembinaan kematangan diri untuk siap menjadi gembala bagi umat-Nya. Gaya hidup yang berbeda dengan kebanyakan kaum muda sekaligus juga menjadi tanda pembeda yang khas dimiliki oleh seorang calon imam—yang juga adalah orang muda. Sebuah spanduk besar bertuliskan SMASH itu kini terpampang di salah satu sudut ruang makan seminari. Berjalan memasuki ruang rekreasi outdoor, juga ditemukan spanduk yang sama. Kata ‘saya’ yang sengaja dipilih untuk diletakkan pada tekad menjalankan setiap nilai itu dimaksudkan agar para frater yang membacanya juga sekaligus dapat menginternalisasikan segala nilai itu. Harapannya, agar benar terwujud dalam tindakan dan gaya hidup. Maka, bukan hanya untuk dilekatkan di dinding, tapi juga dilekatkan dalam hati setiap frater agar tampak dalam wujud tindakan konkret sehari-hari. Akhirnya, rasa syukur dalam berupaya membangun identitas komunitas merupakan kebahagiaan untuk berkarya dan menjadi bagian dalam satu korps STKAJ—secara khusus sebagai seorang calon imam Diosesan KAJ. Secara sadar, pembentukan identitas ini juga yang menumbuhkan kebahagiaan dan untuk mampu bersyukur atas panggilan-Nya yang istimewa.
TS/XI-Edisi 27
25
Sharing Pastoral
Berbekal Warisan Bunda
Penulis: fr. Giovanni Surya Nandi Putra
I
bu saya sering bilang, “Nduwe omah semene wes syukur, seng penting iki seng maringi Gusti - omahku dewe, lan anak-anakku sekolah pinterpinter. Aku ora menehi kowe warisan harta sur tapi kapinteran” – “punya rumah segini saya sudah bersyukur, yang paling penting ini rumah pemberian Tuhan lewat hasil kerjaku sendiri dan anak-anakku sekolahnya baik, dan aku bukan memberi warisan harta tapi kepandaian dan keutamaan”. Kata-kata ibu itu terus terngiang dan terpatri dalam diri kami anak-anaknya. Berbicara soal tema Majalah Teman Seperjalanan tentang “Life Style”, apa yang diajarkan oleh orangtuaku adalah lifestyle yang kuhidupi kini. “Life Style” bagiku bukan pertama-tama menyangkut apa yang tampak di luaran mata, namun yang di luaran itu merupakan pancaran prinsip yang dihidupi—setidaknya ada dua hal: yakni syukur dan kepintaran atau keutamaan. Syukur berarti menyadari bahwa segala sesuatu adalah pemberian Tuhan yang baik adanya dan oleh karenanya harus diterima dan dibagikan. Kepintaran atau keutamaan merupakan nilai-nilai yang mendasari segala tingkah laku. Di antara segudang nilai, saya kira kerendahan hati, kesederhanaan, kebijaksanaan, dan hati yang tulus—yang mencinta merupakan nilai utama yang kuperjuangkan. Itu semua yang diajarkan oleh keluarga. Itu juga mengapa Paus Fransiskus menyatakan bahwa keluarga adalah warisan dunia—sekolah iman, cinta, dan keutamaan. Berbicara soal life style Santo Yohanes Paulus II aku kurang begitu mendalaminya. Justru aku memperoleh patron dari Santo Yohanes Maria Vianney seorang Imam sederhana dari Ars. Tentu saudara-saudariku sedikit banyak sudah
26
TS/XI-Edisi 27
mengenal pribadinya. Yang paling berkesan padaku adalah cinta dan perhatiannya kepada umat dan kesederhanaannya. Tiap hari ia berpuasa dan berjam-jam melayani umat dengan pengakuan dosa. Ia pun berpenampilan sederhana sampai salah satu rekan con-fraternya berkata, “Tidakkah ia punya jubah yang lain? Tidak mampukah ia membeli jubah yang lain?”. Pun demikian, aku mengira kedua Yohanes itu memiliki kesamaan “life style” yakni gaya hidup yang diarahkan untuk umat dan untuk Tuhan. Kini aku diberi kesempatan menjalani TOP (Tahun Orientasi Pastoral) di Paroki Stefanus, Cilandak. Saya bersyukur boleh TOP di paroki ini dan terlebih lagi, di Jakarta. Aku dihadapkan pada kompleksitas kenyataan umat Jakarta yang penuh tantangan namun, seru! Paroki Cilandak memiliki 8.700-an umat, dari yang miskin sampai yang paling kaya, ada di sana. Dari yang punya rumah di pinggir kali sampai rumah yang di dalamnya ada lift-nya pun ada. Para pejabat, artis, dan awam professional ‘bejibun’ di Paroki ini. Kaum yang dalam tanda petik termarginalkan juga ada. Aku kenal baik dengan mama Yulie, ketua waria Indonesia. LGBT yang lagi hot-hotnya di media juga banyak kutemukan. Setiap hari selalu ada kegiatan di Gedung Pastoral Leo Dehon. Dalam dinamika gerejapun banyak kutemui aneka situasi entah yang menggembirakan, memprihatinkan, menjengkelkan, menantang, dan tak jarang gemes. Namun seperti ibuku bilang bersyukur dengan semua yang ditemui. Kembali ke laptop yang soal “life style” tadi. Bagiku pertama-tama yang harus dimiliki adalah kebiasaan hidup doa. Minimal saya punya satu devosi agar api pelayanan tetap berkobar dan tidak ‘hambar’. Jujur saja, devosiku baru dapat kutemukan saat TOP ini—yakni berdoa Rosario dengan di peristiwa terakhir mendoakan semua orang yang minta doa dan butuh doa. Bahkan terkadang aku membuat peristiwaperistiwaku sendiri. Kedua adalah hati yang terbuka dan peka. “Life style” membuka hati inilah yang saya kira memampukan Santo Yohanes Paulus II dan Maria Vianney peka terhadap situasi pastoralnya, lalu kemudian menjawabnya dengan segala pelayanan yang didasari cinta tersebut. Di Paroki Cilandak
St. Yohanes Paulus II senantiasa merenungkan misteri Rosario Suci.
TS/XI-Edisi 27
27
Aku harus banyak berlatih dan belajar—mempelajari karakteristik umat yang kulayani serta keterampilan lain secara lengkap agar aku terbiasa mengambil sikap yang tepat dalam menghadapi situasi-situasi waw tersebut. Asal mau terbuka untuk belajar dan berkembang pasti bisa. Sepertinya cukup sampai di sini sharing ku tentang lifestyle. Aku terbuka untuk sharing pribadi, mendengar dan belajar dari rekan-rekan semua. Doaku agar kita semua yang mempunyai lifestyle yang mampu menunjukkan kerahiman dan belas kasih Allah.
...Namun yang di luaran itu merupakan pancaran prinsip yang dihidupi— setidaknya ada dua hal: yakni syukur dan kepintaran atau keutamaan.
Fr. Surya mendampingi Legio Maria Junior Presidium Maria Diangkat ke Surga Paroki St. Stefanus berziarah ke Gua Maria Katedral, 10 Januari 2016
dan paroki-paroki lain, aku mengira orang muda dengan berbagai masalah dan tantangannya, orang tua yang sendiri dan kesepian, orang sakit adalah yang butuh perhatian khusus. Maka pelayanan pastoral paroki perlu diarahkan ke arah sana dengan berbagai bentuknya. Legio Mariae orang muda untuk bagi orang muda, SEC (St. Stephens' English Club), koor orang muda, Kursus Evangelisasi, kelompok musik, kunjungan orang sakit dan orang tua merupakan beberapa contohnya. Ketiga adalah kesederhanaan dan kerendahan hati. Yang terakhir ini bukan hanya berarti sederhana dalam berpenampilan tapi juga dalam bersikap. Sebagai calon imam, saya memang harus mampu menyesuaikan diri dalam penampilan dan sikap. Terlebih di Lingkungan Paroki St. Stefanus dengan banyak tawaran yang “menggiurkan” banyak mall, kafe, serta tempat-tempat lain yang Joss. Dalam bahasa ‘inggris-nya’ “empan-papan” sehingga bisa “mendampingi” dengan tepat semua kalangan. Bagaimana caranya? Menurut Frater Wacul (panggilan sayang bagi fr. Wahyu) struktur membentuk kultur.
28
TS/XI-Edisi 27
TS/XI-Edisi 27
29
Puisi
Di Kala Je mari Bergulir Di kala jemari bergulir Selama kaki ini belum terkilir Selama doa masih terucap di bibir Selama hati merayap ke hilir Impian yang masih terpikir Asa kan terus terukir Apa salahmu debu? Bukan salahmu terik Merenungi diri yang masih belum rapi Senandung sepi di jalan ini Membuat segala perjumpaan menjadi lebih berarti Kasih-Nya‌ Meresap lembut ke dalam batin Meski gersang tanpa embun Kasih-Nya‌ Membawa kesegaran pagi H inggap riang di sisi Aku meratap di jalan panjang ini 30
TS/XI-Edisi 27
Di kala jemari bergulir Hanya Dia yang menemani Dalam keterbatasan Dalam kekhawatiran Dalam kelekatan akan ketakutan Aku didampingi Tak sulit membuat awan menjadi mendung Terlalu sukar membuat surya tersenyum indah Selama hati merayap ke hilir Langkah kaki terseret dalam orientasi sejati Dalam kesunyian batin yang terus bernyanyi Setiakah aku Tuhan? Meragukan embun yang datang terlalu akhir Menolak mentari yang datang terlalu pagi Salahkah aku Tuhan? Menikmati harapan yang tak pasti Membiarkan hati terbawa rasa kagum TS/XI-Edisi 27
31
Pojok Filsafat
Mari Berpikir Kritis! Penulis: fr. Marcellinus Vitus Dwiputra
Dua hal memenuhi hati sanubari dengan rasa takjub dan takzim yang senantiasa baru dan semakin bertambah, dengan kedua hal inilah pemikiran menyibukkan diri tanpa henti: Langit berbintang di atasku dan hukum moral di dalam diriku ~ Immanuel Kant ~
B
erbicara tentang lifestyle dalam kehidupan para filsuf akan menghasilkan suatu perbincangan yang amat menarik. Seperti orang pada umumnya, para filsuf pun memiliki gaya hidupnya masing-masing. Ada yang aneh nan nyeleneh; ada pula yang hidup “normal” (seperti orang pada umumnya), tetapi memiliki pemikiran yang aneh-aneh. Meskipun demkian, kiranya ada satu gaya hidup yang tumbuh dan dihidupi oleh para filsuf dalam berfilsafat, yakni berpikir kritis. Dengan berpikir kritis – meski gaya hidupnya sableng – mereka melihat, merenungkan, serta merefleksikan dunia di sekitar dengan cara pandang yang luar biasa.
32
TS/XI-Edisi 27
Sokrates: Sang Ahli Perbidanan Perbincangan kita akan bermula dari zaman Yunani Kuno, tepatnya dengan melihat kehidupan seorang filsuf besar, bernama Sokrates. Sokrates merupakan seorang yang miskin, berwajah buruk-rupa, tetapi cara berpikirnya menginspirasi banyak orang pada saat itu, termasuk Plato. Dalam kehidupannya ia menerapkan suatu prinsip etika yang rigor (keras) untuk mencari kebenaran sehingga ia amat menolak gaya hidup para sofis yang menekankan retorika untuk memengaruhi orang lain. Patung Sokrates di Akademia Athena. Dalam pencariannya akan kebenaran, Sokrates menggunakan cara yang ia sebut maieutike (bidan yang membantu kelahiran roh).1 Cara maieutike diterapkan dalam perbincangannya dengan orang-orang lain untuk mencari kebenaran suatu hal, seperti “Apa itu Kebenaran?”. Dalam proses pencariannya ini Sokrates selalu bertanya, bertanya, dan bertanya kepada orang-orang di sekitarnya. Baginya, setiap ide, pengetahuan, pikiran dan bahkan cara hidup, selalu harus dikonfrontasikan dengan orang lain. Dengan demikian, melalui pertanyaan dan diskusi yang terjadi seseorang dengan sendirinya akan menemukan kebenaran yang dicari. Seperti seorang bidan yang membantu kelahiran, proses diskusi dan pertanyaan yang diajukan akan membantu kelahiran kebenaran. Kebenaran adalah jalan yang tak pernah usai; kecintaan pada kebenaran adalah tuntutan untuk hidup dalam terang dengan keberanian meninggalkan kegelapan.
Immanuel Kant: Kekritisan Sang Penepat Waktu Immanuel Kant merupakan salah satu filsuf besar yang pemikirannya sempat mengguncang dunia filsafat karena usahanya dalam “mendamaikan” rasionalisme2 dan empirisme3. Gaya hidup Kant amat eksentrik. Ia hidup membujang seumur hidupnya dengan jadwal acara yang sama di setiap harinya. Konon acara hariannya begitu teratur, sampai-sampai penduduk Konigsberg tahu bahwa waktu menunjukkan pukul setengah lima sore bila mereka melihat Kant melewati halaman balai kota dengan tongkat kayu dan jas kelabunya.4 TS/XI-Edisi 27
33
Dalam filsafatnya, Kant membentuk suatu filsafat baru sebagai respon atas pertentangan rasionalisme dan empirisme dalam mencari dan menjadi sumber pengetahuan. Aliran kritisisme yang ia bangun, bergerak dengan pertama-tama menyelidiki kemampuan rasio (akal budi) dan batas-batasnya. Penyelidikannya ini dijalankan dengan menjawab tiga pertanyaan dasar, sebagai berikut: (1) Apa yang bisa kuketahui?; (2) Apa yang harus kulakukan?; dan (3) Apa yang bisa kuharapkan? Oleh karena itu – dengan filsafat kritisnya juga dalam buku “Kritik atas Rasio Murni”Kant “mendamaikan” perseteruan rasionalisme-empirisme dengan menyatakan adanya tiga tingkatan pengetahuan manusia: pemahaman inderawi, akal budi, dan budi/intelektual.
St. Yohanes Paulus II: Marxisme Ortodoks vs Marxisme Humanis St. Yohanes Paulus II juga dikenal sebagai seorang filsuf ciamik. Ia lahir dan dibesarkan dalam situasi yang mencekam dengan banyaknya penindasan di sana-sini. Pemerintah Polandia yang komunis serta tekanannya pada rakyat Polandia serta aktivitas Gereja pun turut memengaruhi formasi awal dirinya sebagai manusia. Pelbagai usaha “melawan” komunisme pun ia lakukan semenjak menjadi Uskup Agung Krakow hingga terpilih sebagai Paus (1978). Bentuk “konfrontasi”nya terhadap komunisme, dapat kita lihat dalam dokumen-dokumen yang ia keluarkan selama ia menjadi paus. Ensiklik Laborem Exercens, Solicitudo Rei Socialis, dan Centessimus Annus merupakan salah tiga contoh buah pemikiran St. Yohanes Paulus II dalam menanggapi Komunisme. Satu hal menarik yang dilakukan oleh St. Yohanes Paulus II adalah mengonfrontasi komunisme sebagai buah dan perluasan Marxisme Ortodox - dengan Marxisme Humanis5. St. Yohanes Paulus II tidak hanya terkenal karena kesalehannya, tetapi juga kedalaman pemikirannya.
34
TS/XI-Edisi 27
St. Yohanes Paulus II menggunakan Marxisme Humanis karena Marxisme
Ketika manusia hanya dilihat dalam dimensi praksisnya, kekayaan dimensi manusia menjadi disempitkan karena menghilangkan unsur subyektivitas dalam manusia Humanis beranjak dari titik yang sama dengan pemikiran St. Yohanes Paulus II, yakni manusia. Dalam bukunya The Acting Person (Osoba i Czyn), St. Yohanes Paulus II berusaha merenungkan serta merefleksikan “ada”-nya manusia (being of man) di dunia dan maknanya sebagai pribadi. Beda di antara keduanya, St. Yohanes Paulus II menekankan segi “tindakan” (action) manusia sebagai pemenuhan kediriannya dan realisasi kebenaran dirinya, sementara pemikiran Marx menekankan segi “praksis” manusia dalam mengubah keadaan dirinya.6 Menurut St. Yohanes Paulus II, ketika manusia hanya dilihat dalam dimensi praksisnya, kekayaan dimensi manusia menjadi disempitkan karena menghilangkan unsur subyektivitas dalam manusia. “Tindakan” (action) memiliki kategori dan unsur metafisis yang mengungkapkan kepenuhan manusia sebagai manusia.
Berpikir Kritis: Menjadi Hakim Pemaparan terkait tiga filsuf besar di atas tentunya belum bisa melukiskan kebesaran dan luarbiasanya pemikiran ketiga filsuf tersebut. Akan tetapi, kiranya kita dapat melihat serta menarik kesamaan di antara ketiganya, yakni berpikir secara kritis. Cara berpikir kritis ala Sokrates diperlihatkan dalam pelbagai pertanyaannya ketika mencari kebenaran suatu hal. Kant menggunakan pemikiran kritisnya untuk melihat batas-batas pengetahuan manusia. Sementara itu, St. Yohanes Paulus II memperlihatkannya dengan menghadapi Marxisme (dalam komunisme) dengan Marxisme (yang humanis). Apa yang sebenarnya disebut dengan berpikir secara kritis? Kata “kritis” di sini tentunya bukan dalam arti atau nuansa genting atau darurat. Kata “kritis” yang dimaksud berasal dari Bahasa Yunani krinein, yang berarti memilah-milah, menyelidiki, dan menilai. Seperti hakim, dengan berpikir secara kritis berarti kita mencoba untuk memilah-milah atau melakukan pengelompokan berdasarkan bukti-bukti yang kuat dan argumentatif. Pemilahan dan pengelompokan yang paling sederhaTS/XI-Edisi 27
35
STF Driyarkara, tempat kami mencari kedalaman di tengah kedangkalan dunia.
na adalah dengan melakukan pengelompokan berdasarkan argumen atau sisi yang kuat (kelebihan atau unsur positif ) dengan yang lemah (kekurangan atau unsur negatifnya). Kata “kritis” ini lebih-lebih mengajak kita mau secara fair menyampaikan sisi kelebihan dan kekurangan dari suatu hal yang kita selidiki. Lalu, bagaimana cara atau kiat-kiat berpikir secara kritis? Cara sederhana yang dapat kita lakukan adalah (1) telitilah dalam membaca, mendengar, atau mengetahui suatu persoalan. Maksudnya adalah pahami secara komprehensif argumen-argumen yang diberikan; (2) pertanyakan pengandaian atau unsur-unsur dalam argumentasi yang diberikan; (3) Kelompokkan argumen-argumen tersebut (bisa berdasarkan kelebihan/kekurangan, dsb); (4) Sampaikan (lebih baik juga dengan pujian) kelebihan/kebaikkannya dan sampaikan pula (seranglah) titik lemahnya. Dengan berpikir kritis, kita diajak untuk bertatapan dengan pemikiran orang lain, sekaligus mengajak kita untuk secara jeli melihat kelebihan dan kekurangan yang ada. Di sinilah kemudian diajak untuk mengemukakan pemikiran khas kita sebagai tanggapan atas pemikiran yang telah ada. Di sinilah filsafat dan cara berfilsafat dimulai. Dalam Theatitetos 149a-151d; lih. A. Setyo Wibowo, “Dialektika (1) Sokrates: Maieutike” Basis no. 11-12, tahun ke-64, 2015, 57. Rasionalisme adalah aliran filsafat yang menekankan bahwa sumber pengetahuan ada dalam rasio. Filsuf yang masuk dalam aliran ini adalah Descartes, Rousseau. 3 Empirisme adalah aliran filsafat yang menekankan bahwa sumber pengetahuan terdapat dalam pengalaman empiris. Filsuf yang masuk dalam aliran ini adalah David Hume, Thomas Hobbes. 4 Simon P. Tjahjadi, Petualangan Intelektual: Konfrontasi dengan Para Filsuf dari Zaman Yunani hingga Zaman Modern (Yogyakarta: Kanisius, 2004), 279—280. 5 Marxisme Humanis merupakan pemikiran Karl Marx pada masa mudanya. Para pengikut aliran ini mendasarkan pemikirannya pada kumpulan tulisan Marx yang dikumpulkan dalam The Parish Manuscript. Karyanya ini ditemukan jauh lebih kemudian dibandingkan Das Kapital yang menjadi dasar bagi kaum Marxis Ortodox. 6 Rocco Buttiglione, Karol Wojtyla: The Thought of the Man Who Became Pope John Paul II (Michigan: William B. Eerdmans Publishing Company, 1997), 119—121. 1
2
36
TS/XI-Edisi 27
Animasi Panggilan di Stella Maris 13-14 Februari 2016
TS/XI-Edisi 27
37
Sharing Pastoral
Melangkah dengan Ringan Bersama Teman Seperjalanan fr. Albertus Adiwenanto Widyasworo
K
Pagi harinya ketika saya mulai mengecek kembali barang bawaan yang akan saya bawa, saya terkejut ternyata barang bawaan saya cukup banyak dan berat. Hal ini kemungkinan karena bekal air minum yang saya bawa, ditambah dengan baju-baju yang saya pikir akan saya gunakan nantinya. Ketika mencoba mengenakan tas ransel di bahu saya, tas saya terasa berat. Saya merasa seperti membawa bayi tapir dalam ransel. Tetapi karena barangbarang itu sudah disertakan dalam perencanaan yang telah saya buat, maka saya tetap membawanya dalam perjalanan ini. Akhirnya perjalanan pun dimulai. Setelah Misa dan berkat dari Romo Yumartana dan Romo Romanus, kami berangkat menuju tempat tujuan kami. Adapun rute yang kami ambil yaitu mulai dari Klender –
Kalimalang-Cililitan-Jalan Raya BogorDepok-Cibinong-Bogor-Tajur-CiawiParungkuda-Cibadak. Dari sejak semula saya melangkahkan kaki, saya sudah merasa bahwa beban yang saya bawa dalam ransel tidaklah ringan dan seiring dengan bertambahnya jarak yang kami tempuh saya semakin merasakan beban berat dan nyeri di pundak saya, sampai pada akhirnya tiba di Cibadak saya mengalami luka lecet di pundak dan kaki terkilir karena terus menerus menjadi tumpuan beban. Ketika saya merenungkan hal ini, saya teringat kata-kata Mgr.Ignatius Suharyo ketika mengetahui bahwa saya diterima di Tahun Orientasi Rohani periode 2015-2016, “Proficiat, semoga dapat melangkah dengan ringan karena jalan masih panjang�. Saat itu saya tidak terlalu mengerti apa yang diucapkan oleh
etika redaksi Teman Seperjalanan menelepon saya dan meminta agar saya dapat membagikan sesuatu dari pengalaman peregrinasi (pergi berziarah dengan berjalan kaki), saya cukup bingung, karena banyak hal yang saya dapatkan dari peregrinasi di Tahun Orientasi Rohani ini. Walaupun begitu saya akan coba membagikan hal yang saya rasa mengubah cara pandang saya tentang perjalanan kehidupan. Dalam hal ini adalah perjalanan formasi imamat.
Melangkah dengan ringan Peregrinasi yang saya lakukan, yaitu berjalan kaki dari Wisma Puruhita, Klender sampai ke Gua Maria Sumber Kahuripan, Cibadak-Jawa Barat, yang berjarak kurang lebih 95 km. Jarak tersebut bila ditempuh dengan mobil hanya membutuhkan waktu kurang dari 2 jam (kalau tidak macet), namun dengan berjalan kaki membutuhkan waktu 3 hari 18 jam 5 menit plus kaki terkilir. Pada masa persiapan, saya bersama fr.Vincent, teman seperjalanan peregrinasi saya, telah mempersiapkan perlengkapan yang perlu dibawa. Mulai dari baju, obatobatan, sampai dengan perencanaan dan prediksi tantangan yang mungkin kami temui dalam perjalanan nanti. 38
TS/XI-Edisi 27
Gua Maria Sumber Kahuripan di Cibadak menjadi tujuan perjalanan fr. Wenan dan fr. Vincent.
TS/XI-Edisi 27
39
beliau. Akan tetapi, seiring berjalannya formasi dan peregrinasi, saya mulai mendapatkan titik terang bahwa dalam menjalani sebuah peziarahan salah satu faktor yang penting adalah daya tahan untuk sampai di garis finish. Oleh karena itu, diperlukan langkah yang ringan dan secara bertahap mengurangi bebanbeban yang saya bawa dalam hidup saya. Dalam permenungan saya, beban merupakan salah satu bentuk keterikatan. Keterikatan yang disadari maupun tidak disadari seperti: kekuatiran akan mengecewakan orang yang mendukung dalam panggilan imamat, ekspektasi terhadap hidup dan jalan formasi calon imam, dan dapat berupa harapan terhadap diri saya sendiri yang dibenturkan dengan realita sesungguhnya siapa saya saat ini, ataupun harapan-harapan terhadap orang-orang di sekitar kita.
adalah sebuah perjalanan dari dan kembali menuju kepada Allah. Adalah sesuatu yang penting untuk terusmenerus dapat menanggalkan diri dan membiarkan rahmat Allah bekerja dalam diri saya.
kanan saya, sehingga saya berjalan menyeret sepanjang 20 kilometer terakhir menuju Cibadak. Kala itu fr.Vincent yang terus memberikan saya semangat sehingga saya dapat sampai ke tempat tujuan kami.
bukan hanya perjalanan sebagai calon imam atau imam, tetapi lebih dalam lagi adalah perjalanan sebagai seorang manusia yang berjalan kembali menuju kepada Allah, adalah teman seperjalanan.
Pentingnya teman seperjalanan
Bahkan nantinya dalam kehidupan imamat, bukanlah hal yang mustahil “kaki saya terkilir” kembali, entah dalam bentuk apapun yang menyangkut panggilan, atau kegelisahan hidup imamat. Pada saat itu, pribadi yang mengerti dan membantu saya untuk tiba di garis akhir perjalanan saya,
Oleh karena itu, sudah selayaknya kita bersyukur, bahwa Tuhan tidak membiarkan kita berjalan sendirian dalam perutusan sebagai calon imam dan imam di dunia ini, Tuhan selalu hadir dalam teman seperjalanan, dan memberikan kekuatan kepada kita sampai akhir.
“Mau seperti apapun temantemanmu baik sikap atau pun tingkah lakunya saat ini, mereka adalah teman seperjalananmu, yang nantinya juga mereka lah yang akan menguatkan kita di jalan panggilan ini.” Itu adalah kata-kata Rm. Romanus ketika mewawancarai saya pada saat solisitasi di tahun lalu. Saya renungkan, benar juga, dan hal ini terbukti pada saat saya menjalani peregrinasi. Ketika itu saya mengalami terkilir pada kaki
Tuhan selalu hadir dalam teman seperjalanan, dan memberikan kekuatan kepada kita sampai akhir.
Selain itu, beban keterikatan yang sering terjadi adalah penyesalan akan masa lalu dan kekuatiran akan masa depan. Dengan kata lain, tidak hidup ‘di saat ini’ dalam arti tertentu akan membuat langkah menjadi lebih berat dan menambah beban yang saya bawa. Beban dan keterikatan tersebut akan menghambat perjalanan untuk “mencapai garis finish”. Satu-satunya cara untuk dapat melangkah dengan ringan adalah dengan melepaskan beban dan keterikatan tersebut, “LET GO and LET GOD”, menanggalkan diri saya dan membiarkan Allah memimpin hidup saya. Saya percaya bahwa hidup itu sendiri sudah merupakan rahmat Allah, sehingga menyadari bahwa kehidupan 40
TS/XI-Edisi 27
Bersama Teman Seperjalanan, fr. Vincent, sebelum peregrinasi.
Mengunjungi Vihara Sakyawanaram Pacet, Cipanas.
TS/XI-Edisi 27
41
Ad Extra
Manusia Nekad Kelas Megapolitan
Mereka pintar dalam membawa suasana, tahu situasi, dan mampu membangkitkan lagi semangat umat yang sudah kendor saat acara bersama. Membawakan khotbah dengan cara seperti Stand Up Comedy juga merupakan hal penting yang jarang dimiliki oleh imam dari diosesan maupun tarekat lain. Kenekadan-kenekadan dalam menangani situasi dan kondisi mereka inilah yang membuat mereka menjadi terlihat lebih berani untuk tidak hanya terpaku pada tradisi kuno Gereja, tetapi mampu menjadikan tradisi sebagai pijakan untuk mengikuti laju zaman sesuai dengan tempat perutusan mereka. Jika dipandang bentuk relasinya, mereka adalah teman sekaligus guru yang mampu menambah wawasan kita dan mengubah cara pandang kita dalam menyikapi hidup sehari-hari. Ya.. mereka adalah orang-orang yang diutus menjadi rekan sejawat, teman sepergaulan, juga pemimpin kepada jalan Allah, karena mereka adalah HAMBA. Penulis adalah seminaris tahun ke-3 di Seminari Menengah St. Petrus Kanisius, Mertoyudan
Penulis: Alfredo Kevin Pratama
P
ara Imam dan frater Diosesan Jakarta adalah manusia nekad yang tidak takut terhadap segala situasi. Mereka selalu siap untuk menghadapi pelbagai bentuk rintangan di depan mereka tanpa takut pada hal tersebut—padahal mereka hanyalah manusia lemah yang senantiasa butuh orang lain. Modal nekad dan ditambah pemahaman akan situasi setempat menjadi sangat penting di Jakarta. Tantangannya memang tidak mudah, butuh segala macam pengorbanan untuk memecahkan masalah yang rumit. Mereka tidak hanya terlibat dalam persoalan rohani. Lihat bung! Mereka ada di Ibukota, kota megapolitan, D.K.I. Jakarta. Mulai dari masalah rohani, sosial, masyarakat RD. Lucky di BomomNikasius, misionaris ekonomi, persekolahan, bisnis, bahkan ani, Papua. domestik KAJ, berk arya kemiskinan sampai hedonisme dan politik adalah makanan mereka seharihari. Dengan latar belakang pribadi masing-masing yang pastinya berbeda satu dengan yang lain, mereka masih bisa terlihat bahagia di depan teman atau umat mereka. Itulah keutamaan mereka. Mereka harus unggul dalam akal budi dan unggul dalam masalah rohani untuk menyikapi segala sesuatu, karena umat di Jakarta rata-rata adalah lulusan S2 sampai S3.
42
TS/XI-Edisi 27
Tantangannya [para frater dan Imam Diosesan Jakarta] memang tidak mudah, butuh segala macam pengorbanan untuk memecahkan masalah yang rumit.
Temu Seminaris KAJ, momen kebersamaan antara seminaris, frater KAJ, dan Uskup KAJ, Mgr. Ignatius Suharyo
TS/XI-Edisi 27
43
Ad Extra
Gaya Hidup Para Frater Diosesan Jakarta dalam Kesehariannya Penulis: Ibu Emilia Ganis
S
aya mengenal para frater Diosesan Jakarta sejak kuliah di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara (STFD). Selama kurang lebih enam bulan mengenal para frater Diosesan Jakarta, saya mempunyai kesan yang baik terhadap mereka. Mereka bersepeda atau berjalan kaki ke kampus—kecuali ketika sakit, dibonceng dengan motor. Para frater Diosesan Jakarta tidak pernah terlambat kuliah, aktif bertanya, dan berperan serta dalam diskusi kelompok. Wakil ketua kelas kami adalah salah seorang frater Disosesan Jakarta. Ia tidak jemu-jemu mengirimkan bahan kuliah melalui e-mail kepada seluruh mahasiswa, mengkoordinasi bahan kuliah yang diperbanyak, mengambil daftar hadir, dan sebagainya. Para frater Diosesan Jakarta mempunyai gaya hidup seperti yang dimiliki Santo Yohanes Paulus II, yaitu rendah hati, ramah, mudah menyapa, menjadi sahabat kaum muda dan anak-anak, memberi perhatian kepada orang sakit, aktif dalam promosi panggilan, dan lain-lain (hal ini saya ketahui melalui akun facebook mereka). Di dalam kelas dan kampus, para frater Diosesan Jakarta berbaur bersama teman-teman lainnya. Mereka sederhana, kompak, peduli, mudah berbagi, dan menolong. Salah satu contoh konkret yang saya rasakan adalah ketika seorang frater Diosesan Jakarta memberikan kepada saya fotokopi tesis-tesis dari mata kuliah yang sedang dibahas. Bagi frater tersebut mungkin hal itu adalah biasa, 44
TS/XI-Edisi 27
Mereka sederhana, kompak, peduli, mudah berbagi, dan menolong.
tetapi bagi saya hal itu sungguh luar biasa mengingat saya tidak punya komunitas. Saya bangga dan kagum kepada para frater Diosesan Jakarta, orang muda yang berkomitmen dalam menjawab panggilan mulia Tuhan. Mengutip kalimat Santo Yohanes Paulus II dalam buku In Loving Memory of John Paul II karya RD.Terry Th. Ponomban, “Imam adalah seniman, dan seni paling indah, mulia dan agung itulah seni merawat jiwa-jiwa�. Semoga para frater Diosesan Jakarta selalu bersemangat, penuh cinta, penuh kerinduan dan penuh dengan harapan untuk menekuni panggilan mulia Tuhan ini. Hingga pada akhirnya dapat menjadi seorang imam yang mengerjakan seni paling indah, mulia, dan agung, yaitu seni merawat jiwajiwa. Penulis adalah Mahasiswi Prodi Teologi STF Driyarkara Semester 2 dan Pendamping Misdinar Paroki St. Lukas, Sunter.
Tim Masak Frater Projo KAJ dan Ibu Emilia serta Miss Lilian (dosen STF) tam setelah selesai mengiku pak ceria ti lomba masak Dies Na talis STF Driyarkara ke-47.
TS/XI-Edisi 27
45
Ad Extra
Koko Frater!
Penulis: Bernadet Beatricea Larisa
H
alo! Saya Bernadet Beatricea Larisa yang biasa dipanggil Betris. Saya berasal dari keluarga Katolik yang tinggal di daerah Gading Serpong, Tangerang. Saya juga tidak sendirian, saya ditemani oleh satu orang kakak laki-laki dan satu adik perempuan. Saya bersama saudara-saudara kandung saya selisih usia-nya tidak jauh—hanya tiga dan dua tahun saja. Sebagai anak tengah, saya tahu rasanya menjadi kakak dan adik itu seperti apa. Akan tetapi, sebagai adik, saya merasa ada yang berbeda dari adikadik yang lainnya, Mengapa? karena Betris memiliki seorang kakak laki-laki yang berbeda dan unik untuk era modern ini. Pertama-tama, apa sih yang membuat kakak saya itu unik? Padahal sebenarnya kakak saya hanyalah seorang anak laki-laki yang kurus, pecicilan tapi pendiam dan terlihat biasa-biasa saja. Nah sebelumnya apakah kalian tahu frater itu apa? Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia arti kata frater adalah istilah dalam agama katolik untuk calon pastur. Kakak saya sekarang ini kerap disapa dengan sebutan frater—keren kann??? kaget kann?? Ya, saya terkejut begitu tahu dan mendengar bahwa kakak saya ingin menjadi seorang imam. Semua ini terasa seperti mimpi yang aneh. Selama ini tidak pernah terpikir bahwa kakak saya akan menjadi seorang frater.
membuat kedua orang tua kami bahagia, membuat saya juga senang, dan bisa menjadi generasi-generasi penerus untuk panggilan yang langka ini. Lalu sedih yang saya rasakan dengan memiliki kakak seorang frater itu adalah, saya tidak bisa merasakan dengan penuh kehadiran sosok kakak di rumah, menemani saat senang, sedih, marah, ataupun berkelahi, yang karena ia jarang pulang. Betris tidak jarang merasa seperti anak pertama di rumah yang memiliki tanggung jawab untuk memandu atau membimbing adik saya yang setia menemani hari-hari saya selama ini. Terkadang saya merasa iri dengan teman yang memiliki kakak laki–laki yang dekat, bisa bertikai layaknya kakak dan adik ketika bersama, dan akrab. Ya tentunya saya sering kangen juga dengan kakak frater yang satu ini, yang hanya boleh pulang saat libur-libur tertentu. Tapi saya tidak apa-apa karena itu semua tidak sebanding dengan apa yang kakak saya lewati dan rasakan dalam menjalani panggilan ini. Setelah itu, karena kakak saya seorang frater, saya juga mau tidak mau mengenal beberapa frater, baik teman kakak saya ataupun yang bukan teman kakak saya tapi mengenal kakak saya. Awalnya, saya kira mengenal para frater yang calon imam itu adalah hal yang membosankan dan membuat canggung sehingga harus dihindari. Tetapi rupa-rupanya sungguh berbeda dari pandangan tersebut. Tidak semua frater itu membosankan walaupun memang awalnya membuat canggung. Semua itu seakan menghilang apabila sudah mengenal mereka. Setiap frater memiliki karakter masing–masing yang juga unik setiap pribadinya, sehingga itu yang bisa membuat saya senang bisa mengenal para frater. Saya jadi bisa belajar atau menambah pengalaman serta ilmu–ilmu baru yang belum tentu didapat di belahan dunia manapun. O iya! Setiap Betris lihat frater-frater itu tuh kesannya seperti melihat imam amatiran, namun bukan dalam arti yang negatif. Misalnya, belum menjadi imam yang ditahbiskan tapi sudah pakai jubah, ikut-ikutan pastur saja hehehe… Selain itu setiap kali saya melihat mereka pasti langsung terpikirkan bahwa frater itu adalah
Ya tentunya saya sering kangen juga dengan kakak frater yang satu ini, yang hanya boleh pulang saat libur-libur tertentu. Tapi saya tidak apa-apa karena itu semua tidak sebanding dengan apa yang kakakku lewati dan rasakan dalam menjalani panggilan ini.
Rasanya mempunyai kakak seorang frater itu ada senang dan sedihnya. Senang karena, saudara kandung Betris sendiri bisa membantu mewartakan hal-hal baik kepada orang yang membutuhkan. Kakak saya dipanggil untuk tentunya dapat 46
TS/XI-Edisi 27
TS/XI-Edisi 27
47
sosok orang yang multi talenta, punya banyak kemampuan atau bakat-bakat. Selain itu, bagi saya frater itu identik sebagai pribadi yang pintar. Dari frater-frater yang pernah saya lihat dan kenal, semuanya pintar, tidak ada yang di bawah rata-rata. Kemudian, kalau menurut saya frater yang ideal itu yaa.. yang sudah sesuai dengan keinginan dan standard yang ditentukan oleh Gereja. Tetapi bisa juga frater yang ideal itu frater yang pintar akademis maupun non akademis, cerdas, cakap atau pandai berbicara, memiliki iman dan harapan yang kuat, bisa menyesuaikan diri di berbagai situasi dan kondisi, nurut sama pastur pendampingnya, hormat dan tidak lupa sama keluarga terutama orang tua, berani mencoba dan membuat inovasi–inovasi baru demi kemajuan di masa depan, baik hati, rendah hati, rajin menabung, dan tidak sombong. Tentunya juga setia kepada panggilannya demi memuliakan nama Tuhan Yesus Kristus. Buat para frater yang masih memiliki perjalanan yang panjang, tetaplah berjuang—semangat, kuatkan panggilan dalam hati masing-masing, dan kuatkan iman dari godaan–godaan duniawi, karena keluarga selalu mendukung dalam doa demi kakak-kakak frater yang masih ingin berjuang untuk memuliakan namaNya dan mencari panggilan-panggilan yang tersembunyi di dalam diri generasi penerus.
Doa untuk Pencarian Makna Hidup (St. Yohanes Paulus II)
Yesus mewartakan, bahwa hidup menemukan pusatnya, maknanya dan pemenuhannya bila diserahkan... Kami pun dipanggil untuk menyerahkan hidup kami demi saudara-saudari kami, dan dengan demikian mewujudkan dalam kepenuhan kebenaran makna dan tujuan hidup kami. Kami akan mampu melaksanakannya karena Engkau, ya Tuhan, telah memberi kami teladan, dan mencurahkan atas diri kami kekuatan Roh-Mu. Kami akan mampu menjalankannya setiap hari, bersama Dikau dan seperti Dikau, kami taat kepada Bapa dan menjalankan kehendak-Nya. Oleh karena itu berilah, supaya kami dengan hati terbuka dan jiwa yang besar mendengarkan setiap kata yang keluar dari mulut Allah. Begitulah kami akan belajar bukan hanya mematuhi perintah jangan membunuh hidup manusiawi , melainkan juga menghormati hidup, mencintai dan memeliharanya. (Evangelium Vitae art. 51)
Momen kebersamaan antara fr. Bernard dan keluarga saat Paskah UNIO dan Seminari Tinggi KAJ, 11 April 2015.
48
TS/XI-Edisi 27
TS/XI-Edisi 27
iii
Luke 24:6
iv
TS/XI-Edisi 27